bab 1- daftar pustaka
Post on 15-Apr-2016
242 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini, tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat semakin tinggi, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan
juga semakin meningkat, termasuk kesehatan gigi dan mulut. Oleh karena itu, kualitas
pelayanan kesehatan juga harus ditingkatkan demi memenuhi keamanan pasien. Salah
satu faktor yang mempengaruhi keamanan pasien adalah pentingnya kontrol infeksi
untuk mendapat suatu pelayanan kesehatan.
Sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, wajib memberikan jaminan
keamanan kesehatan baik bagi tenaga kesehatan maupun pasiennya. Tindakan kontrol
infeksi masuk ke dalam MDGs (Milenium Development Goals) ke-6 dan 7 yaitu
pengendalian infeksi silang yang tepat diperlukan untuk mencegah penularan penyakit
menular selama perawatan gigi. Target WHO (World Health Organization) 2020
salah satunya adalah meningkatkan jumlah pelayanan kesehatan yang kompeten untuk
mengenali dan mengurangi risiko dari transmisi penyakit menular di lingkungan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut.1
Di bidang kedokteran gigi, tingkat risiko terjadinya infeksi silang bisa
dibilang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena dalam melaksanakan perawatan
gigi, operator dapat berkontak langsung dengan saliva, plak gigi, darah, pus, dan
cairan gingiva pasien. Mikroorganisme dapat menyatu dengan material-material
tersebut dan menyebabkan infeksi hingga dapat menularkan penyakit. Hal ini dapat
terjadi karena kelalaian seorang dokter gigi, perawat gigi, bahkan mahasiswa
kepaniteraan klinik (co-ass) dalam mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP)
yang berlaku sewaktu melaksanakan prosedur perawatan. Beberapa penyakit yang
paling umum adalah influenza, penumonia, tuberkulosis, herpes, hepatitis dan AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome).2
Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia mempunyai kewajiban
untuk selalu memenuhi salah satu kriteria standar pelayanan kedokteran gigi di
Indonesia, yaitu melaksanakan kontrol infeksi. Prosedur pelaksanaan kontrol infeksi
harus dilaksanakan pada semua fasilitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut di
1
seluruh Indonesia. Tindakan kontrol infeksi termasuk penggunaan alat pelindung diri
(APD) yang sesuai dengan SOP, pembuangan limbah, pembersihan, disinfeksi dan
sterilisasi peralatan serta bahan yang digunakan.1 SOP memberikan langkah yang
benar dan terbaik untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan
yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi, sesuai
yang dibutuhkan di rumah sakit.
Tenaga kesehatan gigi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan
penyakit infeksi baik dari pasien, dokter gigi, perawat gigi, dan mahasiswa
kepaniteraan klinik (co-ass). Manajemen kontrol infeksi yang baik dalam suatu rumah
sakit, dapat memberikan jaminan keamanankesehatan baik bagi tenaga kesehatan
maupun pasiennya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang menjadi pusat
perhatian dalam kunjungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Bagaimana manajemen kontrol infeksi di RSGM Trisakti ?
- Bagaimana tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing di
RSGMP Trisakti ?
- Bagaimana tindakan kontrol infeksi terhadap pasien di RSGM Trisakti ?
- Bagaimana tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi di RSGM Trisakti ?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencegah dan mengendalikan
penyebaran infeksi pada pasien, operator, pembimbing, dan tenaga medis di RSGM
Trisakti.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi tentang pentingnya dokter gigi atau operator memproteksi
diri dan menghindari infeksi silang di RSGM Trisakti.
2. Mengendalikan penyebaran infeksi pada pasien, operator, pembimbing, dan
tenaga medis di RSGM Trisakti.
3. Mengevaluasi kinerja operator dan staf RSGM Trisakti dalam hal kontrol infeksi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kontrol Infeksi
a. Definisi Kontrol Infeksi
Tujuan kontrol infeksi dalam praktek gigi adalah untuk mencegah penularan penyakit
seperti bakteri, virus dan jamur dari satu pasien ke pasien lain, dari dokter gigi dan staf
klinik ke pasien, dan dari pasien ke dokter gigi atau staf klinik lainnya. Kontrol infeksi
berfokus pada mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi atau
yang berkontribusi terhadap penyebaran mikroorganisme. Tata laksana penanganan
pasien:
a) Lakukan pembersihan tangan.
b) Pakai alat pelindung diri (sarung tangan, masker).
c) Berkumur antiseptik sebelum diperiksa.
d) Pemberian antiseptik pada daerah operasi untuk tindakan invasif.
e) Penggunaan suction sekali pakai yang berdaya hisap tinggi.
f) Penggunaan gelas kumur disposable (sekali pakai).
g) Jumlah alat diagnosa yang tersedia minimal ½ jumlah rata-rata jumlah kunjungan
pasien per hari.
h) Perjelas area yang dikhususkan bagi bahan dan alat yang telah disterilkan dari bahan
dan alat yang belum dibersihkan.
i) Buat SOP untuk pemrosesan instrumen: mulai dari penerimaan instrumen
terkontaminasi, pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi dan penyimpanan.
j) Siapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk perawatan sebelum memulai suatu
perawatan. Penempatan posisi pasien dengan benar sehingga memudahkan kerja
operator dan mencegah timbulnya kecelakaan kerja.
k) Dianjurkan pemakaian isolator karet (rubberdam) untuk mencegah terjadinya
percikan dari mulut pasien dan mereduksi kontak yang tidak perlu antara tangan dan
mukosa pasien.
Kebersihan tangan merupakan hal yang paling penting dan merupakan pilar untuk
pencegahan dan pengendalian infeksi. Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut
harus melakukan kebersihan tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir jika
3
tangan terlihat kotor (termasuk keadaan terkena serbuk dari sarung tangan),
terkontaminasi cairan tubuh, kontak langsung dengan individu pasien, setelah kontak
dengan permukaan dalam ruang praktik termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan gips.
Lamanya mencuci tangan 40-60 detik. Jika tangan tidak tampak kotor lakukan
kebersihan tangan dengan cara gosok tangan dengan handrub/cairan berbasis alkohol,
lamanya 20-30 detik.
Metode dan tata cara mencuci tangan tergantung pada beberapa tipe dan prosedur,
tingkat keparahan dari kontaminasi dan persistensi melekatnya anti mikroba yang
digunakan pada kulit. Untuk pelaksanaan rutin dalam praktik dokter gigi dan prosedur
non bedah, mencuci tangan dan antiseptik dapat dicapai dengan menggunakan sabun
detergen anti mikroba yang standar. Prosedur pembedahan, sabun anti mikroba bedah
yang mengandung chlorhexidin gluconate 4% harus digunakan. Hal-hal yang harus
diperhatikan mengenai kebersihan tangan:6
a) Sebelum kebersihan tangan, cincin, jam dan seluruh perhiasan yang ada di
pergelangan tangan harus dilepas.
b) Kuku harus tetap pendek dan bersih.
c) Jangan menggunakan pewarna kuku atau kuku palsu karena dapat menjadi tempat
bakteri terjebak dan menyulitkan terlihatnya kotoran di dalam kuku.
d) Selalu gunakan air mengalir, apabila tidak tersedia, maka harus menggunakan salah
satu pilihan sebagai berikut:
• Ember berkeran yang tertutup.
• Ember dan gayung, dimana seseorang menuangkan air sementara yang lainnya
mencuci tangan.
e) Tangan harus dikeringkan dengan menggunakan paper towel atau membiarkan
tangan kering sendiri sebelum menggunakan sarung tangan.
b. Penyakit infeksius di tempat kerja
Banyak penyakit yang dijumpai pada praktek dokter gigi. Kadang-kadang pasien
yang terinfeksi datang untuk mencari perawatan, dan kadang-kadang juga staf dokter
tertular oleh kondisi penyakit dari pasien.
a). Hepatitis
Hepatitis A
4
Virus hepatitis A (HAV) adalah penyakit keturunan dan merupakan virus
RNA (Ribonucleic Acid). Infeksi HAV menyebabkan penyakit kuning dan jarang
menyebabkan kematian. Pada orang dewasa tingkat kematian adalah sekitar 1
dari 1000 orang dan pada orang lebih dari 50 tahun tingkat kematian sekitar 27
dari 1000. Masa inkubasi virus hepatitis A adalah sekitar 4 sampai 6 minggu.
Setelah seseorang sembuh dari infeksi virus hepatitis A, orang tersebut akan
terlindungi seumur hidup. Vaksin untuk virus hepatitis A sekarang sudah tersedia.
Jika seseorang belum terkena HAV, vaksinasi satu kali dapat memberikan
kekebalan seumur hidup.7
Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B (HBV) disebabkan oleh virus DNA (Deoxyribonucleic
Acid) yang merupakan suatu hepadnavirus. Secara klinis kebanyakan pasien yang
terinfeksi HBV tidak teridentifikasi.7 Virus ini diperkirakan menginfeksi sepertiga
dari total populasi dunia dan sekitar sekitar 20% dari mereka terinfeksi kronis.
Tidak hanya menyebabkan infeksi kronis, virus ini juga dapat menyebabkan
sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Sebagai tahap awal dalam mencegah
infeksi HBV, small hepatitis B surface antigen (sHBsAg) digunakan sebagai
komponen utama dari vaksin hepatitis B.4
Sekitar 2-7% dari populasi di Asia Selatan, Timur Tengah, wilayah
Mediterania, Eropa Timur, Rusia, Bagian Tengah dan Selatan wilayah Amerika
terinfeksi dengan virus ini. Daerah Alaska dan Kanada (Tundra), Amerika
Selatan, Afrika, Asia Tenggara termasuk Cina dianggap memiliki prevalensi yang
tinggi (>8% dari populasi). Sebagian besar Amerika Utara, Amerika Selatan,
Australia, dan Eropa Barat dianggap memiliki prevalensi yang rendah (<2% dari
populasi). Masa inkubasi berlangsung 45-160 hari oleh karena itu disebut juga
infeksi hepatitis kronis. Transmisi dapat secara perkutan dan non-perkutan, tetapi
ditularkan terutama melalui darah. Virus hepatitis ini sangat menular dan telah
diakuisisi oleh dokter gigi occupationally di masa lalu. Menurut hasil infeksi
HBV, sekitar 90% dari yang terinfeksi menjadi sehat kembali, sekitar 9-10%
menjadi pembawa asimtomatik atau menderita hepatitis kronis persisten; sekitar
1% berkembang menjadi penyakit fulminan setelah terinfeksi dan menyebabkan
kematian. Vaksin terhadap infeksi HBV telah tersedia. Tingkat infeksi di
kalangan dokter gigi (termasuk dokter umum dan spesialis) berkisar dari 13,6%
5
sampai 38,5%. Menurut Centers for Disease Control & Prevention (CDC) dosis
vaksin booster mungkin tidak dianggap perlu karena respon anemnistic dan
kurangnya bukti dari orang yang sebelumnya diimunisasi menjadi terinfeksi
kembali (tubuh akan menunjukkan respon imun protektif).7
c) Hepatitis C
Hepatitis C Virus (HCV) di identifikasi pertama kali pada tahun l998 dan
merupakan penyebab utama dari hepatitis non-A, non-B. Hepatitis C merupakan
penyakit yang penting karena bertanggung jawab atas sekitar 90% hepatitis pasca
transfusi dan diduga 3% populasi dunia telah terinfeksi virus hepatitis C yang
mempunyai masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-26 minggu). Hepatitis C kronis
menjadi penyebab utama dari sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler.3 Lebih dari
60% yang terinfeksi dapat menjadi penyakit hati kronis. Kelanjutan dari penyakit
ini, 30-60% menjadi penyakit hati aktif dan 5-20% menjadi sirosis hati.7
Virus hepatitis C biasanya menular melalui transfusi darah, kontak dengan
darah dan cairan tubuh lainnya. Penyakit ini juga biasa terlihat pada orang-orang
yang menggunakan berbagi jarum selama pemakaian narkoba, dan pada pasien
dengan penyakit menular seksual lainnya. Penyakit ini bisa sangat melemahkan
dan bisa berakibat fatal.7
Sebelum ditemukannya tes serologis untuk hepatitis C, diagnosis hepatitis
non-A non-B ditegakkan atas eksklusi hepatitis A, hepatitis B dan kemungkinan
penyebab hepatitis lain. Virus hepatitis C merupakan virus RNA beruntai tunggal
termasuk famili Flaviviridae. Genom HCV ditemukan pada tahun 1989 oleh
Choo dkk. Karena struktur genom HCV yang sangat heterogen dan mudah
mengadakan mutasi maka mudah terjadi variasi perjalanan klinik infeksi HCV,
respon terapi anti virus yang kurang baik dan sulitnya pembuatan vaksin.
Keberhasilan terapi anti virus terhadap infeksi HCV lebih rendah dibandingkan
dengan terapi hepatitis virus B dan angka relapsnya lebih tinggi.3
d) Hepatitis D
Virus hepatitis D adalah suatu virus seperti partikel yang selalu tergantung
pada kehadiran infeksi virus Hepatitis B pada pasien (piggy-back virus). Penyakit
ini mungkin terjadi sebagai koinfeksi dengan HBV atau setelah terinfeksi oleh
HBV. Cara penularannya dapat melalui darah dan kontak cairan tubuh lainnya.7
6
Infeksi virus hepatitis D adalah infeksi paling berbahaya yang terjadi pada
pasien. Dokter gigi harus menghindari kontak dengan darah dan cairan tubuh lain
dari pasien dengan menggunakan teknik perlindungan yang baik dan benar serta
memiliki pembuangan limbah yang baik untuk menghindari infeksi silang antara
pasien lainnya.7
b). Human Immunodeficiency Virus
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) disebabkan oleh HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yaitu suatu virus yang melumpuhkan sistem kekebalan
tubuh.5 HIV penularan terjadi melalui kontak dengan darah dan cairan tubuh lainnya.
Penyakit ini diidentifikasi pada bulan juni 1981 dan telah mewabah sampai abad ke-
20. Awalnya penyakit ini hanya terlihat pada masyarakat homoseksual dan
kemudian ditemukan pada semua lapisan masyarakat termasuk heteroseksual,
perempuan dan anak-anak. Infeksi ini meningkat di daerah Asia Selatan dan Asia
Tenggara, sementara tingkat infeksi menurun atau stabil di daerah Amerika Serikat.
Awalnya Infeksi HIV berkembang menjadi kondisi yang lebih parah dan
melemahkan dimana hal ini terkait dengan infeksi lain yang disebut AIDS. 7
Ada banyak klasifikasi untuk AIDS seperti Center For Disease Control’s
Surveilance Definition, Klasifikasi Walter- Reed atau klasifikasi WHO. Pada tahap
awal infeksi HIV tidak dapat terlihat dan biasa disertai dengan gejala seperti lemah,
artralgia, atau bahkan sama sekali tanpa gejala. Pada perkembangannya, infeksi HIV
dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi. Beberapa lesi oral yang terkait dengan
infeksi HIV dan AIDS adalah hairy leukoplakia, kaposi’s sarcoma dan candidiasis.
Sangat penting dokter gigi untuk mengetahui tampakan klinis dari lesi oral tersebut.
Selain kondisi dalam rongga mulut, ada juga kondisi sistemik seperti infeksi
protozoa, infeksi jamur, infeksi virus lain dan infeksi mikobakteri. Pasien yang telah
terinfeksi HIVoleh dokter gigi mungkin ada, namun di Florida, USA, tidak ada
kasus penularan HIV dari dokter gigi yang telah dilaporkan. Tidak ada eksposur
kepada dokter gigi atau perawat gigi yang terinfeksi selama perawatan gigi.7
c). Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang paling lama
dikenal oleh manusia. Di masa lalu negara yang paling banyak terjangkit
tuberkulosis masih ada dibawah kontrol. Tapi sekarang penyakit ini telah muncul
kembali dengan tipe baru multi-drug-resistant-strains.7Mycobacterium tuberculosis
7
adalah bakteri yang dibawa oleh infektif udara inti droplet dan dapat dihasilkan oleh
paru-paru, bersin, batuk, berbicara atau menyanyi. Partikel-partikel yang sangat
kecil (1-5 µm) dapat tinggal di udara selama berjam-jam. Infeksi dapat terjadi ketika
seeorang menghirup inti droplet yang mengandung M. tuberkulosis, yang kemudian
berjalan sampai ke alveoli paru-paru.8
Setiap tahun sekitar 8 juta orang terjangkit TBC dan 3 juta diantaranya
meninggal. TBC banyak menyerang sistem pernafasan, gejala penyakit TBC aktif
adalah batuk lebih dari 3 minggu (batuk produktif), dahak dengan darah, kelelahan,
malaise, demam, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, dan berkeringat
di malam hari. Pasien yang terdiagnosis infeksi aktif, harus dirawat sampai sembuh
dan kemudian dapat dilakukan perawatan gigi. Di Amerika Serikat, dokter gigi dapat
menunda perawatan gigi sampai pasien tersebut telah dikatakan sembuh, dan
pengobatan gigi darurat dapat diberikan tetapi harus dilengkapi dengan
perlengkapan khusus dengan kontrol kontaminasi silang dalam pekerjaan. Fasilitas
tersebut meliputi ruang pengobatan yang negatif terkontaminasi virus. Pendingin
udara dan sistem ventilasi juga harus dilengkapi dengan filter HEPA dan personil
harus menggunakan masker yang memiliki filter HEPA (High-Efficiency Particulate
Air) selama kontak dengan pasien yang terinfeksi. Dokter gigi dan staf harus
menjalani tes untuk penyakit secara periodik, terutama jika tinggal di daerah
endemis dengan prevalensi yang tinggi. Di daerah endemik, pengujian dapat
dilakukan setiap enam bulan. Rencana kontrol yang sama dapat diadopsi oleh klinik
individu untuk kepentingan personil dan pasien.7
c. Penyebaran Mikroorganisme
Dunia kedokteran gigi, penyakit dapat ditularkan dari pasien ke pasien, dokter gigi
ke pasien, dan pasien ke dokter gigi, jika tindakan pencegahan yang memadai tidak
dilaksanakan. Beberapa cara penularan penyakit berdasarkan keparahannya antara lain:7
Risiko transmisi penyakit bervariasi tergantung dari daya tahan tubuh host, virulensi,
infektivitas organisme, dosis atau jumlah mikroorganisme, waktu pemaparan, dan cara
transmisi.kontrol terhadap virulensi organisme patogen atau mengurangi kerentanan
pasien hampir tidak mungkin. Petugas klinis harus mengerti tentang proses penyakit,
rute transmisi, metode mengontrol transmisi, dan mengimplementasikan proteksi diri
selama praktek sebagai pencegahan terhadap infeksi silang. Imunisasi terhadap
penyakit, penggunaan peralatan pelindung, kontrol pada teknik dan tempat kerja,
8
disinfeksi permukaan/peralatan, sterilisasi instrumen yang kritis dan semi-kritis,
penggunaan protokol aspetik selama perawatan dan secara luas mencakup wilayah
dental control infection dan keselamatan kerja dokter gigi.7
Kontak langsung
Infeksi dapat berasal dari tenaga pelayanan kesehatan gigi yang tidak menggunakan
alat pelindung diri (APD). Tersentuh atau terpaparnya kulit yang non-intact terhadap
lesi oral yang menginfeksi, permukaan jaringan yang terinfeksi, atau cairan yang
terinfeksi, percikan cairan yang terinfeksi.
Kontak tidak langsung
Melalui menyentuh permukaan benda mati yang terkontaminasi pada ruangan
perawatan atau ruang operasi. Limbah medis (cair dan padat) yang tidak dikelola
sesuai aturan yang benar, untuk itu perlu memiliki instalasi pengelolaan limbah
medis. Infeksi dapat berasal dari sumberair yang digunakan di tempat pelayanan
kesehatan gigi. Peralatan kedokteran gigi yang tidak dilakukan sterilisasi dengan
sempurna dan permukaan peralatan dental unit yang terkontaminasi yang paling
sering disentuh tenaga pelayanan kesehatan gigi.
Percikan
Menghirup bioaerosol yang mengandung material infektif saat menggunakan
handpiece dan scaler atau droplet nucleii yang berasal dari batuk. Percikan saliva
yang mengandung mikroorganisme
B. Metode Kontrol Infeksi
a. Penggunaan alat proteksi diri
a). Masker
Masker pada kedokteran gigi digunakan untuk mengendalikan paparan terhadap
rongga mulut dokter dan mukosa hidung terhadap material infeksius dan darah serta
cairan rongga mulut pasien.7 Sebuah masker bedah melindungi terhadap
mikroorganisme yang dihasilkan oleh para pemakainya, dengan > 95% efisiensi
filtrasi bakteri, dan juga melindungi penggunanya dari partikel besar yang mungkin
mengandung patogen dari darah atau mikroorganisme infeksius lainnya. Pada saat
diperlukan isolasi pencegahan infeksi udara (misalnya, untuk pasien TBC), Institut
Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (NIOSH) mengeluarkan sertifikat
9
untuk penggunaan particulate-filter respirator (misal: N95, N99, atau N100). N95
memiliki kemampuan untuk menyaring partikel 1-μm dengan filter efisiensi >95%
(penyaring kebocoran <5%), memberikan tingkat aliran <50 L/min (yaitu, perkiraan
laju aliran udara maksimum pekerja kesehatan saat bernafas). Data menunjukkan
ukuran infectious droplet adalah berinti 1-5 μm; oleh karena itu, respirator yang
digunakan dalam pengaturan layanan kesehatan harus dapat efisien menyaring
partikel terkecil dalam kisaran ini. Mayoritas masker bedah tidak bersertifikasi
NIOSH sebagai respirator, dan tidak melindungi penggunanya dari paparan TB.8
Masker yang menempel pada garis mata dapat dibuang setiap kali pakai. Setiap
kali menggunakan masker, pekerja kesehatan harus membuangnya setelah merawat
satu pasien. Jika prosedur melampaui 25-30 menit, mungkin perlu untuk mengganti
masker dengan yang baru. Ketika terlihat kontaminasi atau percikan yang berulang-
ulang, masker baru harus digunakan setelah mencuci muka dan mata (jika
diperlukan).
b). Sarung tangan
Sarung tangan dapat berupa single-use-disposable non-sterile exam gloves atau
single-use-disposable sterile surgical gloves dapat digunakan didalam mulut pasien.7
Sarung tangan digunakan untuk mencegah kontaminasi tangan petugas kesehatan.
Fungi sarung tangan:
Mengantisipasi kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh, selaput
lendir, kulit nonintact dan bahan lainnya yang berpotensi menular;
Mencegah kontak langsung dengan pasien yang terpapar atau terinfeksi
dengan patogen ditularkan oleh rute kontak misalnya, VRE (Vancomycin
Resistant Enterococci), MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus),
RSV (Respiratory Syncytial Virus).
Digunakan pada saat melakukan penanganan atau menyentuh peralatan
perawatan.
c). Kaca mata pelindung
Pada dunia kedokteran gigi pelindung mata dapat berupa goggles, glass
polikarbonat dengan sisi-perisai, face-shield dan prescription glasses dengan side-
shields sekali pakai. Kebanyakan kacamata setidaknya harus dibersihkan dengan
sabun dan air pada akhir setiap sesi atau ketika tampak terkontaminasi. Pada saat t
model, trimming model, gigi palsu, memotong kabel dan melakukan pekerjaan
10
laboratorium atau selama pengolahan ulang pada instrumen, penggunaan pelindung
mata adalah suatu keharusan untuk mengurangi kemungkinan terpapar bahan
berbahaya dan partikel keras yang dapat merusak mata.
d). Pakaian pelindung
Pakaian pelindung dan peralatan (misalnya: gaun, jas laboratorium, sarung
tangan, masker, dan pelindung mata atau pelindung wajah) harus dipakai untuk
mencegah kontaminasi dari pakaian yang dikenakan dan melindungi kulit pekerja
kesehatan dari paparan darah dan zat tubuh lainnya. Lengan baju harus cukup
panjang untuk melindungi lengan saat baju dikenakan. Pekerja kesehatan harus
mengganti pakaian pelindung ketika terlihat kotor dan tertembus oleh darah atau
cairan lain yang berpotensi infeksius. Semua pakaian pelindung harus dibersihkan
sebelum meninggalkan daerah pekerjaan.8 Pakaian bedah harus terbuat dari bahan
yang dapat dicuci dengan mesin dengan deterjen yang pada suhu 65oC untuk
membasmi kontaminasi mikroba yang potensial.7
b. Sterilisasi dan larutan desinfektan
Barang-barang yang bersentuhan dengan pasien (instrumen dan peralatan dental)
dikategorikan sebagai kritis, semikritis, atau nonkritis, tergantung pada potensi risiko
infeksi yang berhubungan dengan penggunaannya. Barang-barang kritis adalah yang
digunakan untuk menembus jaringan lunak atau tulang memiliki risiko terbesar
penularan infeksi dan harus disterilkan dengan panas. Barang-barang semi kritis
menyentuh kulit atau membran mukosa yang tidak utuh dan memiliki risiko penularan
lebih rendah; karena mayoritas barang-barang semikritisdalam kedokteran gigi adalah
toleran terhadap panas, mereka juga harus disterilkan dengan menggunakan panas. Jika
barang semi kritis sensitif terhadap panas, maka dapat menggunakan desinfeksi tingkat
tinggi. Barang nonkritis memiliki resiko penularan infeksi yang paling rendah, karena
hanya berkontak dengan kulit yang utuh, yang berfungsi sebagai barier yang efektif
untuk mikroorganisme.
a). Metode sterilisasi
Ada beberapa metode sterilisasi:
Uap dibawah tekanan (autoclaving)
Di antara metode sterilisasi, sterilisasi uap adalah yang paling diandalkan dan
ekonomis. Sterilisasi uap digunakan barang-barang kritis dan semi kritis yang
11
tidak sensitif terhadap panas dan kelembaban. Sterilisasi uap memerlukan
pemaparan langsung dari setiap item untuk langsung menguapinya pada suhu dan
tekanan pada jangka waktu tertentu untuk membunuh mikroorganisme. Dua tipe
dasar sterilisasi uap adalah perpindahan gravitasi dan high-speed prevacuum
sterilizer.
Dry Heat
Strerilisasi dry heat digunakan untuk sterilisasi material yang dapat rusak oleh
sterilisasi panas yang lembab (misalnya, bur dan beberapa instrumen ortodontik).
Dry heat memiliki keuntungan biaya operasional yang rendah dan tidak korosif,
namum membutuhkan waktu proses yang lama dan tempratur yang tinggi
sehingga tidak cocok untuk beberapa barang dan instrumen.
Unsaturated chemical vapor
Sterilisasi unsaturated chemical vapor melibatkan pemanasan larutan kimia
alkohol primer dengan 0.23% formaldehyde pada ruangan tertutup bertekanan.
Unsaturated chemical vapor mensterilisasi instrumen carbon steel (misal bur
dental) menghasilkan korosi yang lebih sedikit dibandingkan sterilisasi uap
karena rendahnya tingkat air yang terdapat selama siklus. Instrumen harus dalam
keadaan kering sebelum sterilisasi.
b). Cairan desinfektan
Pada dunia kedokteran gigi, digunakan beberapa jenis disinfektan. Beberapa yang
umum digunakan digolongkan dalam tiga kategori utama seperti cairan sterilants
(disinfektan tingkat tinggi), disinfektan (tingkat menengah dan rendah), dan
antiseptik.7
Jenis disinfektan:
Sterilants
• Glutaraldehyde
• Chlorine dioxide
• Hydrogen Peroxide
Disinfectants (Intermediate and Low Level)
• Hydrogen Peroxide
• Sodium Hypochlorite
• Chlorine Dioxide
• Iodophors
12
• Synthetic Phenols
• Quaternary Ammonia Compounds
Antiseptik (untuk penggunaan oral dan non-oral)
• Active Chlorine Dioxide Germicides
• Essential Oil Compunds
• Chlorhexidine Compounds
• Cetylpiridium Compounds
• Sanguinarine Based Compounds
• Parachlorometaxylenol Compounds
• Other Bacteriostatic/Bactericidal Compounds
C. Limbah dokter gigi
a. Limbah benda tajam
Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung, atau
bagian yang menonjol dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan intravena, pecahan gelas, pisau bedah. Benda-benda tajam yang terbuang
mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, dan bahan
beracun atau radioaktif.
b. Limbah Infeksius
Limbah infeksius adalah limbah yang diduga mengandung bahan patogen (bakteri,
virus, parasit atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang cukup untuk
menyebabkan penyakit pada penjamu yang rentan. Kultur infeksius, limbah dari otopsi,
bangkai hewan, dan limbah lain yang terkontaminasi, terinfeksi atau terpapar hal
semacam itu disebut limbah yang sangat infeksius. Dalam kategori ini antara lain
tercakup sebagai berikut.6
a) Kultur dan stok agen infeksius dari aktivitas di laboratorium.
b) Limbah buangan hasil operasi dan otopsi pasien yang menderita penyakit menular
(jaringan dan materi atau peralatan yang terkena darah atau cairan tubuh yang lain).
c) Limbah pasien yang menderita penyakit menular dari bangsal isolasi (seperti
pembalut luka bedah atau luka yang terinfeksi, pakaian yang terkena darah pasien,
atau cairan tubuh yang lain).
13
d) Limbah yang sudah tersentuh pasien yang menjalani hemodialisis (peralatan dialisi
seperti selang dan filter, handuk, baju RS, apron, sarung tangan sekali pakai dan baju
laboratorium).
e) Hewan yang terinfeksi dari laboratorium.
f) Instrument atau materi lain yang tersentuh orang atau hewan yang sakit.
g) Limbah ini dapat menjadi sumber penyebaran penyakit pada petugas, pasien,
pengunjung, maupun masyarakat sekitar. Oleh karena itu, limbah ini memerlukan
wadah atau kontainer khusus dalam pengolahannya.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Observasi ini dilakukan di RSGM Trisakti Klinik Integrasi H pada hari Kamis, 5
November 2015 sampai Jumat, 6 November 2015.
B. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah observasional
deskriptif dengan rancangan potong silang dan pendekatan survei.
C. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah para mahasiswa co-ass yang masih aktif menjalani
pendidikan di RSGM Trisakti, dan para pembimbing yang meliputi asdos dan dosen.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple accidental sampling, yaitu
sebanyak 57 mahasiswa co-ass yang sedang merawat pasien dan dipilih secara acak.
Penentuan jumlah sampel ditentukan menggunakan Rumus Slovin:10
n= NN (d)2+1
n = sampel; N = populasi; d = nilai presisi 90% atau significance= 0,1
D. Variable Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tindakan kontrol infeksi
terhadap operator dan pembimbing, tindakan kontrol infeksi terhadap pasien, dan
tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi.
E. Cara Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data yang sudah diperoleh melalui hasil observasi
ditabulasikan dan data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel.
15
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing di RSGM
Trisakti
Tindakan kontrol infeksi terhadap
operator dan pembimbing
Ya Tidak
N % n %
Menggunakan masker co-ass 46 80,70% 11 19,30%
Menggunakan masker asdos 5 17,86% 23 82,14%
Menggunakan masker dosen 1 11,11% 8 88,89%
Menggunakan sarung tangan co-ass 53 92,98% 4 7,02%
Menggunakan sarung tangan asdos 17 60,71% 11 39,29%
Menggunakan sarung tangan dosen 2 22,22% 7 77,78%
Menggunakan kacamata pelindung co-ass 1 1,75% 56 98,25%
Menggunakan pakaian pelindung co-ass 57 100% 0 0%
Kebersihan unit selama kerja 16 28,07% 41 71,93%
Pembuangan limbah KEDOKGI yang
tepat
26 45,62% 31 54,38%
Rata-rata 22,4 46,10% 19,2 53,90%
Tabel 1 menunjukan bahwa 57 operator (100%) menggunakan pakaian pelindung,
sebanyak 46 (80,70%) dari 57 operator menggunakan masker, dan sebanyak 53 (92,98%) dari
57 operator menggunakan sarung tangan. Hanya 1 (1,75%) dari 57 operator menggunakan
kacamata pelindung dan 1 (11,11%) dari 9 dosen menggunakan masker pada saat melakukan
pemeriksaan.
16
Tabel 2. Tindakan kontrol infeksi terhadap pasien di RSGM Trisakti
Tindakan kontrol infeksi terhadap
pasien
Ya Tidak
N % n %
Menggunakan alat steril sewaktu
kerja (alat diagnostik)
57 100% 0 0%
Menggunakan alat steril sewaktu
kerja (alat kerja)
35 76,09% 11 23,91%
Penggunaan poly bib sekali pakai 57 100% 0 0%
Penggunaan 1 gelas kumur untuk 1
pasien
57 100% 0 0%
Penggunaan tip suction sekali pakai 57 100% 0 0%
Disinfeksi dental unit 0 0% 57 100%
Rata-rata 43,83 79,35% 11,33 20,65%
Tabel 2 menunjukan bahwa seluruh operator (100%) menggunakan alat diagnostik
steril sewaktu kerja, menggunakan poly bib sekali pakai, menggunakan 1 gelas kumur untuk
1 pasien, dan menggunakan tip suction sekali pakai. Tidak ada operator (0%) yang
melakukan disinfeksi pada dental unit.
Tabel 3. Tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi di RSGM Trisakti
Tindakan sterilisasi alat kedokteran
gigi
Ya Tidak
N % n %
Mencuci alat setelah kerja dengan air
yang mengalir dan sabun
57 100% 0 0%
Menggunakan pelindung tangan saat
melakukan pembersihan
4 7,02% 53 92,98%
Penggunaan cairan disifektan 2 3,5% 55 96,5%
Alat disterilisasi autoklaf (alat
diagnostik)
57 100% 0 0%
Alat disterilisasi autoklaf (alat kerja) 21 45,65% 25 54,35%
Rata-rata 28,2 51,23% 26,60 48,77%
17
Tabel 3 menunjukan bahwa seluruh operator (100%) mencuci alat setelah kerja
dengan air yang mengalir dan sabun, serta mensterilisasi autoklaf alat diagnostik. Terdapat 2
operator (3,5%) yang menggunakan cairan disinfektan untuk mencuci alat.
Tabel 4. Manajemen kontrol infeksi di klinik RSGM Trisakti
Manajemen kontrol infeksiYa Tidak
N % n %
Tindakan kontrol infeksi
terhadap operator dan
pembimbing
22,4 46,10% 19,2 53,90%
Tindakan kontrol infeksi
terhadap pasien
43,83 79,35% 11,33 20,65%
Tindakan sterilisasi alat
kedokteran gigi
28,2 51,23% 26,60 48,77%
Rata-rata 31,48 58,89% 19,04 41,11%
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa manajemen kontrol infeksi
di RSGM Trisakti telah terlaksana 58,89%.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada orang-orang yang bekerja dalam bidang kedokteran gigi terjadi peningkatan
risiko terkena infeksi setelah merawat pasien. Penyebaran penyakit infeksi terjadi karena
sebagian mikroorganisme patogen pada manusia terdapat pada sekresi mulut. Sebagai akibat
dari kontak secara terus menerus dengan mikroorganisme yang terdapat pada darah dan
saliva, insiden dari beberapa penyakit infeksi secara bermakna terjadi paling banyak pada
orang yang bekerja pada bidang kesehatan gigi bila dibandingkan dengan penduduk lainnya.
Hepatitis, Tuberkulosis, HIV merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi
dilingkungan dokter gigi.9
Pada penelitian ini, peneliti menggambarkan penerapan kontrol infeksi terhadap
operator (co-ass) dan pembimbing, kontrol infeksi terhadap pasien, dan tindakan sterilisasi
alat kedokteran gigi di RSGM Trisakti sebagai upaya untuk mencegah terjadinya infeksi
silang. Peneliti memfokuskan penerapan kontrol infeksi terhadap operator, pasien, dan para
pembimbing untuk pencegahan bahaya terjadinya infeksi silang selama prosedur perawatan,
dan selama pemeriksaan pasien. Jumlah operator (co-ass) pada penelitian ini sebanyak 57
sampel, asdos (asisten dosen) 28 sampel, dosen 9 sampel.
Pada hasil penelitian ini didapatkan jumlah operator sebanyak 57 operator (100%)
menggunakan pakaian pelindung saat melakukan perawatan. Baju pelindung harus dipakai
untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada pakaian operator. Aerosol dan percikan dapat
mengkontaminasi baju kerja operator dan asistennya.9 53 operator (92,98%) yang
menggunakan sarung tangan dan 46 operator (80,70%) yang menggunakan masker saat
melakukan perawatan. Hal ini menunjukkan bahwa operator telah mencegah terjadinya
infeksi silang karena masker yang menutupi mulut dan hidung dapat mengurangi masuknya
mikroorganisme infeksius yang terdapat pada aerosol ke dalam saluran nafas. Masker juga
dapat melindungi membran mukosa dari mulut dan hidung terhadap kontaminasi langsung. 9Operator yang menggunakan kacamata pelindung hanya 1 orang (1,75%). Kebanyakan
operator tidak menggunakan kacamata pelindung beralasan bahwa menggunakan kacamata
pelindung dapat menghambat saat bekerja karena penggunaan kacamata pelindung dapat
menganggu kenyamanan saat bekerja. Padahal, pada saat merawat pasien, partikel besar dari 19
debri dan saliva dapat tersembur pada wajah operator. Partikel ini dapat mengandung
konsentrasi tinggi dari bakteri dan secara fisik dapat melukai mata. Untuk ini kacamata
pelindung harus dipakai, bukan hanya untuk mencegah terjadinya luka, tetapi juga untuk
mencegah terjadinya infeksi, terutama sewaktu melakukan tindakan skeling dan penambalan.9
Pada hasil penelitian terdapat 5 asdos (17,86%) yang menggunakan masker dan 17
asdos (60,71%) yang menggunakan sarung tangan saat melakukan pemeriksaan. Dari hasil
observasi, kebanyakan asdos ditemukan menggunakan sepasang sarung tangan untuk
memeriksa banyak pasien. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya infeksi silang yang
ditularkan dari satu pasien ke pasien lain. Dari hasil penelitian juga ditemukan masih banyak
asdos yang tidak menggunakan masker saat melakukan pemeriksaan, ini menunjukan bahwa
kesadaran akan kontrol infeksi terhadap pembimbing di RSGM Trisakti masih harus
ditingkatkan lagi. Sedangkan dosen yang menggunakan masker saat melakukan pemeriksaan
hanya 1 orang (11,11%) dan 2 orang (22,22%) yang menggunakan sarung tangan saat
melakukan pemeriksaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hanya sedikit pembimbing
yang menggunakan masker dan sarung tangan saat melakukan pemeriksaan. Namun hasil ini
juga dipengaruhi oleh pembimbing yang tidak semua melihat secara langsung tindakan yang
dilakukan oleh operator.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa operator yang menjaga kebersihan
unit selama kerja sebanyak 16 operator (28,07%) dan yang melakukan pembuangan limbah
kedokteran gigi yang tepat sebanyak 26 operator (45,62%). Dapat disimpulkan bahwa tingkat
kebersihan unit saat melakukan tindakan perawatan masih sangat rendah. Masih banyak
barang-barang yang terdapat pada meja unit yang semestinya tidak boleh diletakan pada meja
(gambar 1). Hal ini menunjukan masih kurang sadarnya operator akan kebersihan di sekitar
tempat perawatan. Dapat disimpulkan pula pembuangan limbah klinik oleh operator masih
kurang. Hal ini ditunjukan dengan adanya pembuangan yang tidak tepat pada sampah
infeksius dan non-infeksius (gambar 2) (gambar 3).
20
Gambar 1. Menunjukkan botol minum, tas terletak diatas meja unit. Tas tidak berada dalam
loker.
Gambar 2. Pembuangan limbah infeksius dan non-infeksius yang tidak tepat. Pada tempat
sampah non-infeksius terdapat sarung tangan dan poly bib, sedangkan pada
tempat sampah infeksius ditemukan bungkusan makan.
21
Gambar 3. Poly bib, tisu, cotton roll ditemukan pada tempat sampah non-infeksius.
Tabel 2 tentang tindakan kontrol infeksi terhadap pasien yang dilakukan oleh operator
menunjukan bahwa 100% operator menggunakan alat steril sewaktu kerja (alat diagnostik),
menggunakan poly bib sekali pakai, menggunakan 1 gelas kumur untuk 1 pasien, dan
menggunakan tip suction sekali pakai. Terdapat 35 operator (76,09%) yang menggunakan
alat steril sewaktu kerja (alat kerja). Pada observasi ini, alat kerja yang dikatakan steril adalah
alat yang dikeluarkan dari tray tertutup, alat yang kerja yang masih terbungkung plastik steril.
Alat-alat yang dikeluarkan dari kotak plastik, alat dari tray tanpa tutup, alat yang terjatuh
kemudian dipakai kembali dianggap tidak steril. Tidak ada satupun operator (0%) yang
melakukan disinfeksi dental unit yang mereka gunakan sebelum melakukan tindakan
perawatan. Jumlah mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak sebanding dengan jumlah
dental unit sehingga pergantian penggunaan dental unit dilakukan dengan cepat. Akibatnya
tindakan disinfeksi pada dental unit terabaikan. Hal ini juga menunjukan bahwa kurangnya
kepedulian terhadap dental unit yang digunakan dan kurangnya kesadaran terhadap penularan
infeksi melalui permukaan kerja.
Tabel 3 menunjukan tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi. Dari hasil penelitian
menunjukan seluruh operator (100%) mencuci alat yang terkontaminasi setelah kerja dengan
air yang mengalir dan sabun. Namun masih banyak operator yang tidak menggunakan
pelindung tangan (92,98%) saat melakukan pembersihan alat tersebut, dan tidak
22
menggunakan cairan disinfektan (96,5%) (gambar 4) setelah mencucinya dengan air mengalir
dan sabun. Posisi cairan disinfektan yang kurang terjangkau oleh operator menyebabkan
banyak operator yang tidak melakukan disinfeksi alat. Selain itu, dari hasil wawancara
dengan operator menyatakan 1 tempat disinfektan tidak mungkin mencukupi untuk 26 dental
unit. Cairan disinfektan cepat menjadi kotor dan perawat tidak segera mengganti cairan
tersebut. Sehingga percuma jika dilakukan perendaman dengan cairan disinfektan yang kotor.
Kemudian, tidak tersedianya perlatan perlindungan diri saat melakukan pembersihan
peralatan dan kurangnya kesadaran operator mengakibatkan pencegahn infeksi saat
penanganan instrumen diabaikan oleh sebagian besar operator. Sterilisasi alat diagnostik
dengan autoklaf telah terlaksana 100%, sedangkan pada sterilisasi alat kerja dengan autoklaf
baru terlaksana 54,35%. Pada saat observasi, yang termasuk sterilisasi alat kerja dengan
autoklaf adalah alat-alat yang langsung disterilisasi autoklaf setelah dicuci dengan air
mengalir dan sabun.
Gambar 4. Cairan disinfektan yang jarang digunakan oleh operator karena letak disinfektan
yang kurang terjangkau berada diantara Unit No. 2 dan 3.
Tabel 4 menunjukan tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing yaitu
46,10%, tindakan kontrol infeksi terhadap pasien 79,35%, dan tindakan sterisasi alat
kedokteran gigi 51,23%. Berdasarkan hasil observasi tersebut, dihitung rata-rata, maka
diperoleh manajemen kontrol infeksi di RSGM Trisakti baru terlaksana 58,89%. Angka ini
menunjukan angka yang kecil mengingat resiko infeksi yang dihadapi. Hal ini menunjukan
23
bahwa tenaga kesehatan gigi di RSGM Trisakti belum melaksanakan tindakan kontrol infeksi
secara maksimal.
Tindakan kontrol infeksi seharusnya dilakukan secara menyeluruh baik oleh penyedia
pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga pelayanan kesehatan gigi. Kedua pihak ini harus
sama kuat untuk melakukan tindakan kontrol infeksi, karena jika penyedia pelayanan telah
menyediakan fasilitas, namun kurangnya kesadaran dan pengetahuan dari tenaga pelayanan
kesehatan gigi maka infeksi tidak dapat dikendalikan secara maksimal dan begitupun
sebaliknya.
24
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian manajemen control infeksi yang dilakukan pada klinik
integrasi H, RSGM Universitas Trisakti pada tanggal 5-6 oktober 2015, maka
disimpulkan bahwa :
1. Tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing yang meliputi
pemakaian masker, sarung tangan, kacamata, jas pelindung juga kebersihan unit
termasuk pembuangan limbah masih tergolong sangat rendah, berdasarkan hasil
penelitian yakni 46,10% melakukan tindakan kontrol infeksi dan 53,90% tidak.
2. Tindakan kontrol infeksi terhadap pasien yang meliputi penggunaan alat steril,
polybib, suction dan disinfeksi dental unit tergolong cukup baik, berdasarkan hasil
penelitian yakni dengan rata-rata 79,35% dilakukan kontrol infeksi pada pasien dan
20,65% tidak.
3. Tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi pada klinik masih tergolong rendah,
berdasarkan hasil penelitian rata-rata 51,23% melakukan tindakan sterilisasi dan
48,77% tidak.
4. Berdasarkan Penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat tindakan manajemen
control infeksi pada klinik RSGM Universitas Trisakti masih tergolong rendah dan
baru terlaksana 58,89%.
B. Saran
1. Diharapkan seluruh operator dan pembimbing lebih memperhatikan proteksi
terhadap diri sendiri dan pasien dan mengerti bahaya-bahaya yang dapat
ditimbulkan jika mengabaikannya.
2. Diharapkan seluruh operator dan pembimbing dapat meningkatkan lagi tindakan
kontrol infeksi yang hanya 58,89% menjadi 100%.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Standar pencegahan dan pengendalian infeksi pelayanan
kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI; 2012: 1-2
2. Mubin AH. Proyeksi penyakit infeksi pada abad XXI. Jurnal Medika Nusantara; 2005:
26(3): 88-97
3. Brataatmadja D. Aspek laboratorium pada infeksi virus hepatitis C. JKM 2003; 3:1.
[internet] Available from URL:
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/43/pdf. Accessed
November 10,2015
4. Jinata C, Arifin E, Rachman G, dkk. Molecular Analysis of immune-escape of hepatitis B
virus local clinical samples. Jurnal microbiologi Indonesia 2012; 6:1:p.9-14 [internet]
Available from URL: http://jurnal.permi.or.id/index.php/mionline/article/viewFile/109/pdf.
Accessed November 10,2015
5. Kamila N, Siwiendrayanti A. Persepsi orang dengan HIV dan AIDS terhadap peran kelompok
dukungan sebaya. KEMAS; 2010:6:1: p.36-43. Available from URL:
http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas/article/viewFile/1750/1945. Accessed Juni 14,
2012
6. Kementrian Kesehatan RI. Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan
Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI; 2012. Hlm. 12-14, 20.
7. Kohli A., Puttaiah R. Infections Control And Occupational Safety recommendations For Oral
Health Professional. Dental Council of India. pp. 2-3, 5-6, 9-12, 25-6, 27-8, 30-3, 40-8.
[internet] Available from
URL:http://www.osap.org/resource/resmgr/Docs/India_Infectioncontrolbook_2.pdf.
Accessed November 10,2015
8. Kohn W., Collins A., Cleveland J., Harte J., Eklund K., Malvitz D. Guidelines for Infection
Control In Dental Health-Care Settings-2003; pp. 7-12, 14-8, 20-5. [internet] Available from
URL: http://www.cdc.gov/mmwr/pdf/rr/rr5217.pdf . Accessed November 10,2015
9. Sunoto, RI. 2010. Tindakan pencegahan penularan penyakit infeksi pada praktek dokter gigi.
Bagian Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. Jakarta, Indonesia.
10. Sugiyono. Statistik Nonparametrik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2001.
26
top related