al-mu’awwidzatain dalam al-tafsĪr al-qayyim ...repository.uinjambi.ac.id/3007/1/ut150241_zuhrida...
TRANSCRIPT
AL-MU’AWWIDZATAIN DALAM AL-TAFSĪR AL-QAYYIM
KARYA IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S.1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh
ZUHRIDA HAYATI NIM: UT.150241
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2019
v
MOTTO
ö≅è% èŒθ ããr& Éb>t� Î/ È,n=x�ø9 $# ∩⊇∪ ÏΒ Îh�Ÿ° $ tΒ t, n=y{ ∩⊄∪ ÏΒ uρ Îh�Ÿ° @,Å™% yñ #sŒ Î) |=s%uρ ∩⊂∪
ÏΒ uρ Ìh�x© ÏM≈ sV≈ ¤�Ζ9 $# †Îû ωs)ãè ø9 $# ∩⊆∪ ÏΒ uρ Ìh� x© >‰Å™% tn #sŒ Î) y‰|¡ym ∩∈∪
“Katakanlah”: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya, Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita, Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."(QS. Al-Falaq: 1-5)
ö≅è% èŒθ ããr& Éb>t� Î/ Ĩ$ ¨Ψ9 $# ∩⊇∪ Å7Î=tΒ Ä¨$ ¨Ψ9 $# ∩⊄∪ ϵ≈ s9 Î) Ĩ$ ¨Ψ9 $# ∩⊂∪ ÏΒ Ìh� x©
Ĩ# uθ ó™uθ ø9 $# Ĩ$ ¨Ψsƒø: $# ∩⊆∪ “Ï% ©!$# â Èθ ó™uθ ム†Îû Í‘ρ߉߹ ÄZ$Ψ9 $# ∩∈∪ zÏΒ
ÏπΨÉf ø9 $# Ĩ$ ¨Ψ9 $#uρ ∩∉∪
“Katakanlah”: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. Al-Nās : 1-6)
vi
PERSEMBAHAN
Yang utama dari segalanya …. Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT, atas karunia serta
kemudahan yang engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan, shalawat dalam selalu terlimpahkan kepada Rasulullah SAW. Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi.
Ibunda Hamida dan Ayahanda Sumardi tercinta Sebagai tanda bakti, hormat dan rasa terimakasih yang tiada terhingga
kupersembahkan karya kecil ini kepada ibu dan ayah yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat ayah dan ibu bahagia, karena kusadar selama ini belum bisa berbuat yang lebih. Terimakasih selalu membuatku termotivasi, dan selalu menyirami kasih sayang, selalu mendo’akanku, selalu menasehatiku menjadi lebih baik. Terimakasih Ibu.. terimakash Ayah.
Kedua Adik laki-laki ku Suhardi dan Mardian Saputra Untuk kedua adik laki-laki ku, tiada yang paling mengharukan saat
berkumpul bersama kalian, walaupun sering bertengkar tapi hal itu selalu menjadi warna yang tak bisa tergantikan. Terimakasih atas do’a dan bantuan kalian selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat aku persembahkan, maaf belum bisa menjadi panutan seutuhnya tapi, aku akan menjadi yang terbaik untuk kalian semua.
Untuk keluarga besar Untuk Buya-buya, Kyai-kyai, Ustad-ustadzah, Guru-guru, para Dosen
yang telah menjadi pembimbing didik-ku Kepada sahabat-sahabat seperjuangan Untuk dia yang yang nanti kan dituliskan Tuhan hidup bersamaku Kepada Almamater UIN STS JAMBI Tercinta Untuk Indonesia
vii
ABSTRAK
Isti’ādzah merupakan salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang mukmin, karena isti’ādzah merupakan bentuk permohonan seorang mukmin kepada Allah SWT, dengan ber-isti’ādzah maka seseorang akan merasakan sebuah keamanan dan merasa terlindungi, karena telah melakukan perlindungan kepada suatu hal yang bisa melindungi dirinya dari godaan atau yang membahayakan dirinya. Semua makhluk butuh akan sebuah perlindungan untuk melindungi dirinya, apalagi manusia yang merasa dirinya lemah dan membutuhkan suatu perlindungan dari godaan yang mengancam dirinya. Dan secara umum isti’ādzah diperintahkan kepada seluruh hamba Allah bahkan termasuk para utusan-Nya yaitu para Nabi dan Rasul. Tujuan Allah memerintahkan manusia untuk ber-isti’ādzah adalah sebagai bentuk kekuasaan-Nya, bahwa segala bentuk perlindungan itu datangnya hanya dari Allah.
Penelitian ini berusaha mengungkap isti’ādzah dalam pandangan al-Tafsīr al-Qayyim karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Penelitian ini memfokuskan pada apa yang dimaksud dengan isti’ādzah, bagaimana bentuk-bentuk kata isti’ādzah di dalam al-Qur’an dan bagaimanakah isti’ādzah dalam surat al-Falaq dan al-Nās menurut al-Tafsīr al-Qayyim karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Hasil penelitian ini, dapat menyimpulkan bahwa: (1) isti’ādzah merupakan salah satu kewajiban seorang hamba untuk selalu memohon perlindungan kepada Allah, karena Allah merupakan tempat muaranya segala permohonan. Isti’ādzah diperintahkan kepada semua hambanya yang lemah dan memerlukan perlindungan dari-Nya. (2) Isti’ādzah dan berbagai bentuk katanya terulang sebanya tujuh belas kali dalam al-Qur’an. (3) Dalam al-Tafsīr al-Qayyim karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa isti’ādzah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana ia menafsirkan surat al-Falaq dan al-Nās bahwa isti’ādzah merupakan bagian dari tauhid dan upaya untuk memohohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan musuh manusia yang terbesar yaitu setan.
viii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan inayah-Nya, sehingga skripsi ini yang berjudul “Al-Mu’awwidzatain Dalam al-Tafsīr al-Qayyim Karya Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan alam Rasulullah Muhammad SAW, manusia paling mulia yang dalam setiap sisi kehidupan dan sifat-sifatnya menjadi tuntunan dan teladan bagi umat manusia dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa materil maupun moril, berupa saran-saran, bimbingan, nasehat dan sebagainya. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat dan kerendahan serta ketulusan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak yang berjasa diantaranya kepada:
1. Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc., MA., Ph.D, Sebagai Pembimbing I dan Bapak Akbar Imanuddin, S.Th.I.,M. Ud Sebagai Pembimbing II yang telah sabar membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Ermawati S, Ag M.A. Selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. H. Abdul Ghaffar, M.Ag. Sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan, M.Ag. Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. 5. Bapak H. Abdullah Firdaus Lc, M.A. Selaku Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum. 6. Bapak Dr. Firhat Abas, M.Ag. Selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan dan Kerjasama luar. 7. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 8. Bapak Prof. H. Su’aidi Asy’ari MA. Ph.D. Selaku Wakil Rektor bidang
akademik dan pembangunan. 9. Bapak Dr. Hidayat, M. Pd. Selaku Wakil Rektor bidang Administrasi
umum, perencanaan dan keuangan. 10. Ibu Dr. H. Fadhilah, M.Pd selaku Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan
dan Kerjasama luar. 11. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i NOTA DINAS .................................................................................................... ii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ................................... iii PENGESAHAN ................................................................................................. iv MOTTO ............................................................................................................. v PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................... x PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7 C. Batasan Masalah ............................................................................ 7 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 8 E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9 F. Metode Penelitian ......................................................................... 10 G. Sistematika Penulisan ................................................................... 12
BAB II BIOGRAFI IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DAN
SEKILAS TENTANG AL-TAFSĪR AL-QAYYIM
A. Riwayat Hidup .............................................................................. 13 B. Kondisi Sosil Masyarakat ............................................................. 15 C. Latar Belakang Penulisan al-Tafsīr al-Qayyim ............................. 19 D. Karya-karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ........................................ 20 E. Metode Penafsiran dalam al-Tafsīr al-Qayyim ............................. 21 F. Pandangan Ulama Terhadap Ibnu Qayyim ................................... 22
BAB III ISTI’ĀDZAH DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Isti’adzāh ...................................................................... 24 1. Pengertian Isti’ādzah Menurut Bahasa……………………….. 24 2. Pengertian Isti’ādzah Menurut Istilah…….…………………. 25
B. Isti’ādzah dalam al-Qur’an ............................................................ 26 1. Asbāb al-Nuzūl Sūrah al-Falaq dan al-Nas tentang isti’ādzah ........................................................................................ 29 2. Hadis tentang Isti’ādzah .......................................................... 31 3. Urgensi Isti’ādzah .................................................................... 33
BAB VI ISTI’ĀDZAH DALAM AL-TAFSĪR AL-QAYYIM
A. Tafsir Ibnu Qayyim terhadap Sūrah al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nās) ..................................................................... 36
1. Tafsīr al-Mu’awwidzatain ....................................................... 36 2. Penafsiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap
vi
Ayat-ayat Isti’ādzah ................................................................. 37 a. Penafsiran Terhadap Sūrah al-Falaq ………………………. 37 b. Penafsiran Terhadap Sūrah al-Nās………...……………….. 44 c. Dasar Isti’ādzah…………………………………………….. 49 d. Cara Melindungi Diri dari Setan…………………………… 50
B. Kontekstualisasi Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap Sūrah al-Falaq dan al-Nās(Al-Mu’awwidzatain) ..................................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 60 B. Saran .............................................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA
CURICULUM VITAE
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
T ط ` ا
ẓ ظ B ب
` ع T ت
Gh غ Ts ث
F ف J ج
Q ق ḥ ح
K ك Kh خ
L ل D د
M م Dz ذ
N ن R ر
W و Z ز
H ه S س
؍ ء Sy ش
Y ى ṣ ص
ḍ ض
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
Ī اى Ā ا A ا
Aw او Á اى U ا
Ay اى Ū او I ا
viii
C. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbutah ini ada dua macam:
1. Ta’ Marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka transliterasinya adalah/h/.
contoh:
Arab Indonesia
Salāh صلاة
Mir’āh مراة
2. Ta’Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,
maka transliterasinya adalah/t/.
Contoh:
Arab Indonesia
Wizãrat al-Tarbiyah وزارة التبية
الزمن مراة Mir’āt al-Zaman
3. Ta’ Marbutah yang berharakat tanwin maka transliterasinya adalah /tan/tin/tun.
Contoh:
Arab Indonesia
فجئة
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kāffah), maka langkah
yang harus dilakukan adalah memahami kandungan isi al-Qur’an dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan
konsisten.1 Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci Allah yang telah Ia benamkan
didalam qalbu Rasulullah SAW untuk memberi petunjuk kepada manusia dan
seluruh alam semesta ini, agar berjalan menurut hukum-hukum-Nya.
Al-Qur’an dapat menyampaikan keterangannya kepada kalangan yang
sangat luas, dengan menggunakan kalimat yang sangat singkat, al-Qur’an dapat
menjawab semua pertanyaan dan mampu memberi pengaruh kepada semua qalbu
yang mencari kebenaran.2 Salah satu persoalan penting yang termaktub dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah adalah mengenai isti’ādzah atau memohon perlindungan
kepada Allah SWT dari segenap kejahatan setan yang terkutuk.3 Yang dapat
menghindarkan diri dari kejaran setan hanyalah isti’ādzah kepada Allah, tiada
jalan lain kecuali memohon perlindungan kepada sang Maha Pencipta.
Baik dari al-Qur’an maupun Hadis, dalam sebuah tradisi keilmuan, perlu
diketahui bahwa pemahaman terhadap makna ayat-ayat dalam al-Qur’an
maupun Hadis kebanyakan mengalami pergeseran makna dari makna yang
sebenarnya. Dalam artian, orang hanya memahami suatu ayat atau kata yang ada
didalam al-Qur’an hanya sebatas pemaknaan secara tekstual, tanpa ada
penjelasan yang luas dan mendalam, yang mampu memberikan pemahaman
secara universal. Seperti ayat tentang isti’ādzah mengandung makna yang lebih
luas dan mendalam, mulai dari pengertian isti’ādzah itu sendiri, yang dimintai
perlindungan, sesuatu yang dimintai perlindungan, dan lain sebagainya.
1 Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawwar, MA., al-Qur’an Membangun Tradisi
Keshalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet Ke-1, 3 2 Muhammad Fathullah Gulen, Cahaya al-Qur’an (Jakarta: Republika, 2012), 12 3 Abdul Husin Dasteghib, Isti’ādzah, Kiat-Kiat Menghindari Godaan Setan, Terj. M.
Najib dan M. Ilyas, (Jakarta: al-Huda, 2002), Cet ke-1, 17
2
Allah SWT menjelaskan dalam al-Qur’an tentang keberadaan manusia
yang meminta perlindungan kepada makhluk-Nya dan melarangnya karena hal
tersebut hanya akan membuat makhluk-makhluk yang dimintai pertolongan
semakin sombong. Hal ini digambarkan Allah SWT dalam QS. Al-Jin ayat 6:
…çµ ¯Ρr& uρ tβ% x. ×Α% y Í‘ zÏiΒ Ä§ΡM}$# tβρèŒθãètƒ 5Α% y Ì� Î/ z ÏiΒ ÇdÅgø: $# öΝèδρߊ# t“sù $ Z)yδ u‘ ∩∉∪
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS. Al-Jin : 6)”4 Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ayat tersebut menunjukkan bahwa
kebiasaan bangsa arab semasa jahiliyah yaitu ketika hendak bepergian kesuatu
tempat atau ketika mereka berada pada saat senja hari dipadang pasir, mereka
berkata “saya berlindung kepada leluhur tempat ini dari kejahatan kaumnya”
kemudian mereka bermalam dengan aman dalam perlindungan hingga datang
waktu pagi hari.5 Menurut al-Qur’an mereka sesungguhnya meminta perlindungan
dan mengagungkan jin, pengagungan dan permintaan perlindungan terhadap jin
hanya akan membuat jin tersebut semakin congkak dan akan bersikap melampaui
batas.
Isti’ādzah yang mempunyai arti meminta perlindungan dan penjagaan.
Orang yang berlindung kepada Allah berarti dia telah membawa dirinya kepada
Allah dan meminta penjagaan kepada Dzat yang menguasai alam semesta dari
suatu perkara yang dapat mengganggu atau membinasakannya. Ia mengandung
sikap membutuhkan Allah, dan keyakinan akan kesempurnaan penjagaan dan
perlindungan-Nya.6
Sifat yang paling dasar pada manusia adalah membutuhkan perlindungan
dari ancaman kejahatan, baik kejahatan yang dilakukan oleh jin maupun manusia,
4 Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro,
2011), 572 5 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Darul Falah, 2000), 657 6 Redaksi, Berlindung Hanya Kepada Allah, Dalam Buletin Dakwah Jum’at al-Sunnah,
Edisi 35, 30 Agustus 2013, 3
3
karena rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia.7 Fenomena yang terjadi di
Indonesia, ketika masyarakat dihadapi dengan ujian kehidupan mereka meminta
perlindungan kepada orang pintar seperti paranormal dan dukun. Disaat mereka
meminta perlindungan kepada orang pintar, maka yang dijadikan dasar
perlindungannya adalah perlindungan kepada jin dan setan.
Seperti yang terdapat dalam Sūrah al-Falaq dan al-Nās. Sūrah al-Falaq
dan al-Nās disebut juga dengan Sūrah al-Mu’awwidzatain yang berarti dua sūrah
yang melindungi. Ketika manusia sedang dalam kondisi sakit atau sedang dalam
bahaya, tentu dirinya akan senantiasa berdoa kepada Allah SWT supaya dirinya
tetap dilindungi oleh-Nya. Karena bagi setiap muslim pasti tahu bahwa tidak ada
sesuatu yang melindungi dirinya kecuali Allah SWT.
Sebagaimana telah diterangkan dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang
ber-isti’ādzah, QS. Al-Falaq ayat 1-5 dan Al-Nās ayat 1-6:
ö≅è% èŒθ ããr& Éb>t� Î/ È,n=x�ø9 $# ∩⊇∪ ÏΒ Îh�Ÿ° $tΒ t, n=y{ ∩⊄∪ ÏΒ uρ Îh�Ÿ° @,Å™% yñ #sŒ Î) |=s%uρ ∩⊂∪
ÏΒ uρ Ìh�x© ÏM≈ sV≈ ¤�Ζ9 $# †Îû ωs)ãè ø9 $# ∩⊆∪ ÏΒ uρ Ìh� x© >‰Å™% tn #sŒ Î) y‰|¡ym ∩∈∪
“Katakanlah”: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya, Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita, Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.8Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."(QS. Al-Falaq: 1-5)9
ö≅è% èŒθããr& Éb>t� Î/ Ĩ$ ¨Ψ9 $# ∩⊇∪ Å7Î=tΒ Ä¨$ ¨Ψ9 $# ∩⊄∪ ϵ≈ s9 Î) Ĩ$ ¨Ψ9 $# ∩⊂∪ ÏΒ Ìh� x©
Ĩ# uθ ó™uθ ø9 $# Ĩ$ ¨Ψsƒø: $# ∩⊆∪ “Ï% ©!$# â Èθ ó™uθ ム† Îû Í‘ρ߉߹ ÄZ$Ψ9 $# ∩∈∪ zÏΒ
ÏπΨÉf ø9 $# Ĩ$ ¨Ψ9 $#uρ ∩∉∪
“Katakanlah”: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan
7 Achmad Turam, Kiat Menghindari Kejahatan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1995), xi 8 Biasanya tukang-tukang sihir dalam melakukan sihirnya membikin buhul-buhul dari tali
lalu membacakan jampi-jampi dengan menghembus-hembuskan nafasnya ke buhul tersebut. Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2011), 604
9 Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah., 604
4
(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. Al-Nās : 1-6)10 Dua surah (al-Mu’awwidzatain) ini mencakup permohonan perlindungan
dari semua kejahatan, dengan menggunakan lafadz yang singkat namun
menyeluruh. Lebih dapat menunjukkan maksudnya dan lebih umum dalam hal
permohonan perlindungan, sehingga tidak ada satu kejahatanpun melainkan sudah
masuk dibawah apa yang dimintakan perlindungan didalam dua sūrah ini.
Kejahatan merupakan sumber dari perbuatan dosa dan kemaksiatan yang
dilakukan manusia. Hal ini terjadi karena manusia mendapat bisikan-bisikan
kejahatan yang masuk kedalam jiwanya, dimana jiwa manusia tersebut larut
dalam kemaksiatan. Dengan kata lain bahwa kejahatan manusia akan menjadi
sumber hukum ketika manusia tersebut berada didunia maupun diakhirat.
Kejahatan yang dilakukan oleh jin kepada manusia melalui bisikan-bisikan
atau rasa was-was kedalam hati manusia, hal tersebut tidak termasuk kepada
kejahatan yang bersifat taklīf (pembebanan).11 Karena jin hanya membujuk dan
merayu manusia untuk berbuat dosa dan kemaksiatan, sehingga al-Qur’an pun
sebagai petunjuk bagi manusia tidak memerintahkan untuk menghentikannya,
namun al-Qur’an menyuruh manusia untuk berlindung dari bisikan-bisikan atau
rasa was-was tersebut.
Pemecahan dari persoalan godaan setan yang terus berusaha menjadikan
amal baik rusak dan sia-sia adalah dengan ber-isti’adzah (memohon pelindungan)
kepada Allah SWT. Anjuran ini tidak hanya ditujukan kepada umat manusia
biasa, namun juga terhadap Nabi Muhammad SAW. Allah SWT Berfiman dalam
QS. Al-Mu’minūn Ayat 97
≅è%uρ Éb>§‘ èŒθããr& y7 Î/ ô ÏΒ ÏN≡ t“yϑyδ ÈÏÜ≈u‹ ¤±9$# ∩∠∪
“Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku Aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan.”(QS. Al-Mu’minūn: 97)12
10 Ibid., 604 11 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 600 12
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah., 348
5
Merupakan kesalahan yang besar kalau kita hanya diam menyaksikan
musuh yang begitu kuat dan bersemayam dalam diri kita, betapapun pahitnya
tetap harus hadapi dengan memohon pertolongan-Nya, bila tidak segera bertindak
niscaya kita akan menyaksikan diri kita tersungkur dalam kesesatan. Dan akhirnya
yang disembah bukan lagi Allah melainkan setan.
Upaya untuk menghindari kejahatan setan yang tidak mendatangkan
manfaat dan tidak pula mengajak kepada kebaikan Nabi SAW menganjurkan
kepada umatnya untuk selalu mengucapkan isti’ādzah.13 Didalam hadis juga
disebutkan tentang isti’ādzah (memohon perlindungan) kepada Allah:
ــال: ــن عــامر، ق ــة ب ــع رســول اF صــلى الله عليــه وعــن عقب نــا أL أســير م بـيـنا ريـــح، وظلمـــة شـــديدة، فجعـــل ـــواء، إذ غشـــيـتـ حفـــة، والأبـ وســـلم بــــين الج
أعـــوذ بـــرب رســـول اF صـــلى الله عليـــه وســـلم يـتـعـــوذ bعـــوذ بـــرب الفلـــق، و ــة، تـعــوذ hمــا فمــا تـعــوذ متـعــوذ بمثلهمــا«النــاس، ويـقــول: ، قــال: »i عقب
عته يـؤمنا hما في الصلاة وسم“Dari Uqbah Bin Amir R.A, dia berkata : ketika aku berjalan bersama Rasulullah SAW antara Juhfah dan Abwa’, tiba-tiba kami meliputi angin dan cuaca gelap sekali. Maka Rasulullah SAW memohon perlindungan dengan membaca “Qul a’ūdzu birabbi al-falaq” dan “Qul a’ūdzubirabbi al-nāsi”, dan bersabda : “wahai Uqbah, berlindunglah kepada Allah dengan kedua sūrah itu. Maka tak ada seseorang berlindung kepada Allah dengan (doa) yang menyerupai keduanya”, katanya: “dan aku mendengar beliau menjadi imam shalat dengan membaca kedua sūrah itu.”14 Isti’ādzah (memohon perlindungan kepada Allah) adalah termasuk ibadah
besar yang semestinya hanya pantas diserahkan kepada Allah semata dan tidak
13 Isti’ādzah secara etimologi adalah ‘ādza yang berarti terlindung, terjaga dan selamat. Hakikat makna ‘ādza adalah lari dari sesuatu yang ditakuti menuju sesuatu yang dapat melindunginya. Oleh karena itu, sesuatu yang memberikan perlindungan adalah disebut dengan
ma’ādz. Lihat Tafsir Ibnu Qayyim, 653. Adapun bacaan isti’ādzah hal ini dikutip dari sabda Nabi SAW yang berbunyi: “sungguh ketika kami meminta perlindungan kepada Rasulullah, kemudian beliau berkata”: aku berlindung dengan)“ اعوذ باm السميع العليم من الشيطن الرجيم من همزه ونفخه ونفثه"nama Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui dari setan yang terkutuk dari bisikannya, kesombongannya dan keburukannya). Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzīm, juz 3, 238
14 H. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin, Terjemah Sunan Abu Daud, (Kuala
Lumpur: Victory Agencie,1993), Jilid 2, 304-305
6
boleh ditujukan kepada makhluk apapun, maka memalingkan ibadah ini kepada
makhluk adalah termasuk perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah) yang bisa
mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Sebagai ulama yang sangat diakui, imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
merupakan sosok yang sangat luas ilmu pengetahuannya yang meliputi Hukum
Islam, Tafsir, Hadis, Ilmu alat (Nahwu) dan Ushul Fiqh. Para ulama mengakui
kualitas Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam ilmu pengetahuan dan agama.
Sebagaimana yang dikatakan al-Qādhi al-‘Allāmah Muhammad Ibn Ali al-
Syaukani yang berkata:
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah figur yang selalu terkendali dengan
dalil-dalil yang Shahīh, selalu mengerjakannya tanpa berpegangan dengan dalil-
dalil yang belum jelas kebenarannya, selalu menegakkan kebenaran dan tidak
mau bertoleransi dengan seseorang dalam kebathilan.15
Menurut guru besar Ilmu Hadis Universitas al-Azhar, Kamal Ali al-
Jamal, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah seorang muslim yang selalu berpegang
teguh pada al-Qur’an dan al-Hadis serta anti taqlid buta.16 Sifat dan sikap Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah tersebut tidak berbeda dengan sifat dan sikap gurunya
yaitu Ibnu Taimiyah, karena Ibnu Taimiyah adalah guru Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah yang memiliki pengaruh terbesar dibandingkan guru-guru yang
lainnya.
Menurut penulis, agar terjaga dan terlindungi dari gangguan setan,
manusia harus senantiasa memohon perlindungan kepada Allah SWT, dan tidak
berharap mampu menghadapi gangguan setan tanpa bantun-Nya disertai
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan tentang isti’ādzah dalam
al-Tafsīr al-Qayyim yaitu berupa ungkapan permohonan perlindungan kepada
Allah menggunakan kalimat Rabb, Malik,dan Ilah. Dimana kalimat Rabb disini
mengandung arti “pemelihara” yang Dia sifatkan bagi diri-Nya sangat sesuai
dengan permohonan dan perlindungan yang dibutuhkan manusia. Untuk itu
15 Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Melumpuhkan Senjata Syetan (Jakarta: Darul Falah,
1998), xxix 16 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Memetik Manfaat al-Qur’an, Terj. Mahrus Ali, (Jakarta:
Cendikia Sentra Muslim, 2000), xxiv
7
perlu adanya konteks isti’ādzah dalam kehidupan saat ini guna menguji apakah
isti’ādzah digunakan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun alasan yang mendasari penulis memilih al-Tafsīr al-Qayyim
adalah disamping dalam tafsir tersebut terdapat porsi terbanyak yang berkutat
pada persolan pemahaman dan pemikiran teologis seorang Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, didalamnya memuat berbagai aspek keilmuan dan pengetahuan-
pengetahuan yang dapat mengantarkan pembaca kepada pemahaman yang baru
dan signifikan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam mengenai: Al-Mu’awwidzatain dalam al-Tafsīr al-Qayyim Karya
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
B. Permasalahan
Rumusan masalah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam suatu
penelitian agar pembahasan dapat lebih terarah. Bagaimana konteks isti’ādzah
dalam kehidupan saat ini guna menguji apakah isti’ādzah digunakan dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan isti’ādzah?
2. Bagaimana bentuk-bentuk kata isti’ādzah didalam al-Qur’an?
3. Bagaimanakah Al-Mu’awwidzatain menurut al-Tafsīr al-Qayyim Karya Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang skripsi ini, mengingat banyaknya ayat al-
Qur’an yang berbicara tentang isti’ādzah, diantaranya adalah sebagai berikut: al-
Mu’minūn ayat 97, al-Jin ayat 6, al-Falaq ayat 1-5, al-Nās ayat 1-6 dan lain
sebagainya, serta banyaknya mufassir yang menafsirkan ayat tentang isti’ādzah,
demi terfokusnya pembahasan skripsi ini, maka penulis membatasi dua sūrah,
yakni QS. Al-Falaq dan QS. Al-Nās yang mana kedua surah ini disebut dengan al-
Mu’awwidzatain, alasan memilih ayat ini karena secara tekstual ayat-ayat tersebut
sangat jelas membahas tentang isti’ādzah, Al-Mu’awwidzatain mencakup tiga hal
mendasar mengenai isti’ādzah yaitu Nafs al Isti’ādzah (perlindungan itu sendiri),
8
al-Musta’ādz bih (sesuatu yang dimintai perlindungan) dan al-Musta’ādz Minhu
(sesuatu yang dimintakan perlindungan), dengan menggunakan al-Tafsīr al-
Qayyim karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dan
kegunaan dari penelitian ini adalah :
a) Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian isti’ādzah
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kata isti’ādzah yang terdapat didalam al-
Qur’an
3. Untuk mengetahui Al-Mu’awwidzatain menurut al-Tafsīr al-Qayyim
karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
b) Kegunaan penelitian
Apabila tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana, maka penelitian ini
diharapkan dapat berguna :
1. Sebagai suatu pandangan bagi penulis pribadi dan masyarakat dalam
memahami isti’ādzah.
2. Untuk memperkaya khazanah keilmuan Islam, khususnya pemahaman
tentang isti’ādzah dan makna yang terkandung didalamnya.
3. Diharapkan pula dapat menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN
STS Jambi yang tengah mengembangkan paradigma keilmuan yang
berwawasan global dalam bentuk Universitas Islam.17
E. Tinjauan Kepustakaan
Kajian pustaka pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan gambaran
tentang hubungan topik yang akan di ajukan dengan penelitian sejenis yang
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga tidak terjadi pengulangan
yang tidak perlu.
17 Su’aidi Asy’ari, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Iain STS Jambi, (Jambi: Fak. Ushuluddin Iain STS Jambi, 2016), Cet ke-3, 41
9
Berdasarkan penelusuran dan pembacaan penulis terhadap penelitian-
penelitian terdahulu, penulis menemukan beberapa buku, jurnal yang terkait
dengan judul yang diangkat penulis, diantaranya:
Karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, “Al-Tafsīr al-Qayyim” didalam buku ini
terdapat penjelasan tentang isti’ādzah, sebagai salah satu contoh ayat yang
membahas tentang isti’ādzah didalam sūrah yang terakhir dalam susunan al-
Qur’an yaitu sūrah al-Falaq dan al-Nās. Yang mana kedua sūrah tersebut
mencakup tiga dasar isti’ādzah: pertama perlindungan itu sendiri (Nafs al-
Isti’ādzah), kedua yang dimintai perlindungan (al-Musta’ādz Bih), yang ketiga
sesuatu yang dimintakan perlindungan (al-Musta’ādz Minhu). Dengan mengetahui
masing-masing dari tiga hal ini, maka bisa diketahui seberapa jauh kebutuhan
terhadap dua sūrah ini. Sūrah al-Falaq dan al-Nās dengan pembahasan yang
lugas dan tuntas yang mendatangkan manfaat amat besar bagi orang-orang yang
ingin mendapatkan manfaat dalam kehidupannya.
Buku Abdul Husin Dasteghib “Isti’ādzah, Kiat-Kiat Menghindari Godaan
Setan” buku ini berisi tentang pentingnya isti’ādzah menurut al-Qur’an dan
Hadis. Isti’ādzah memiliki nilai yang sangat penting sebagaimana yang telah
dikatakan dalam al-Qur’an: “Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk.”
Isti’ādzah diperintahkan oleh Allah kepada semua hamba Allah, bahkan
termasuk para utusannya, yaitu para Nabi dan Rasul. Apalagi mereka yang merasa
bahwa dirinya lemah dan membutuhkan suatu perlindungan dari godaan dan
segala sesuatu yang membahayakan dirinya. Tujuan Allah memerintahkan untuk
melakukan isti’ādzah adalah sebagai bentuk kekuasaaan-Nya, bahwa semua
perlindungan itu datangnya dari Allah. Isti’ādzah juga memiliki tujuan sebagai
bentuk untuk menahan diri dari hawa nafsu yang jelek, dengan ber-isti’ādzah
maka seorang hamba akan terhindar dari perbuatan melakukan maksiat.
Selanjutnya Skripsi M. Fashlul Indrawan, mahasiswa Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan judul Isti’ādzah dalam al-Qur’an skripsi ini berisikan
10
tentang Isti’ādzah dalam al-Qur’an secara umum dengan menggunakan metode
Tafsīr Maudhū’i (tematik).18
Adapun alasan yang mendasari penulis memilih al-Tafsīr al-Qayyim
mengenai isti’ādzah yang terdapat dalam Sūrah al-Falaq dan al-Nās, secara
tekstual dapat diketahui bahwa sūrah ini membahas tentang isti’ādzah dan
pembahasan isti’ādzah dalam tafsir ini, terdapat porsi yang banyak mengenai
pembahasan isti’ādzah itu sendiri.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu
mengumpulkan data dari kepustakaan baik berupa buku, jurnal, maupun sumber
data lainnya yang berhubungan dengan topik yang menjadi sasaran penelitian,
dimana penulis dalam proses pencarian data tidak perlu terjun ke lapangan dengan
survey maupun observasi.19
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
penelitian kepustakaan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data yang dihimpun harus melalui sumber primer dan sumber
sekunder, data dikumpulkan sebanyak mungkin guna pengayaan
analisis
b. Data tersebut dikodifikasikan dan disesuaikan dengan kerangka acuan
c. Melakukan cek dan ricek untuk meneliti kelengkapan data
d. Mengkonsultasikan data tersebut kepada pembimbing skripsi, jika
pembimbing menganggap data itu telah cukup barulah dilanjutkan
pada langkah-langkah berikutnya, namun sebaiknya jika data itu belum
memadai, maka penelitian harus mencari kembali.
3. Sumber dan Jenis Data
18
M. Fashlul Indrawan, Isti’ādzah dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Program Strata Satu Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga, 2006), 101
19 Anton Bekker dan Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 63
11
a. Sumber Data
Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian, baik dari bagian bahan perpustakaan maupun
sumber lainnya, guna memperoleh hasil yang optimal.
b. Jenis Data
Data dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
1) Data primer
Data primer merupakan data pokok yang tampak dominan dengan
mempelajari buku-buku yang menjadi landasan dalam mempertegas
analisa penulis terhadap permasalahan penelitian. Data primer tersebut
adalah buku yang dikarang langsung oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
2) Data skunder
Data skunder yaitu data selain data primer. Data ini bisa diperoleh
dari buku, artikel, jurnal, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas.
4. Metode Analisis Data
Setelah data-data tersebut terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan metode maudhu’i (tematik). Metode maudhu’i adalah suatu
metode atau tekhnik menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat
al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti membicarakan satu topi
dan masalah yang sama. Penafsiran dengan metode maudhu’i dapat dikategorikan
kepada tiga bentuk; pertama, menetapkan suatu tema yang sedang dikaji atau
diteliti, kedua mengumpulkan seluruh ayat-ayat lalu dijelaskan serta
mencantumkan Asbāb al-Nuzūl, ketiga menjelaskan atau menafsirkan isi tafsir
dengan tafsir lainnya mengenai sejumlah ayat yang telah ditetapkan yang
memiliki keterkaitan dengan tema yang sedang dibahas atau diteliti.
Setiap metode tentunya ada langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
menerapkan prinsip-prinsip yang akan dikerjakan, begitu juga metode tafsir,
khususnya metode tafsir maudhu’i. Adapun langkah-langkah metode ini dalam
sebuah penelitian adalah:
12
a. Memilih atau menetapkan masalah yang akan dikaji secara tematik
(maudhu’i).
b. Mengumpulkan atau melacak semua ayat yang membahas tema yang
sedang dikaji baik makkiyyah atau madaniyyah.
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya, yang disertai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut
(Asbāb al-Nuzūl).
d. Menyusun tema bahasan yang sesuai dan sistematis secara utuh.
e. Melengkapi pembahasan menggunakan hadis, bila dipandang perlu
sehingga pembahasan semkin sempurna dan jelas.20
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran sederhana agar mempermudah penulisan
skripsi ini, maka disusun sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab dengan
rincian sebagai berikut :
Bab I membahas tentang: latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan sistematika penulisan
Bab II merupakan bab mengenal sosok Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan
sekilas tentang al-Tafsīr al-Qayyim dengan sub bab; Riwayat hidup Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, kondisi sosial masyarakat, latar belakang penulisan al-Tafsīr al-
Qayyim, karya-karya Ibnu Qayyim, metode penafsiran Ibnu Qayyim dalam al-
Tafsīr al-Qayyim serta pandangan ulama terhadap Ibnu Qayyim.
Bab III ini merupakan bab tentang isti’ādzah dalam al-Qur’an dengan sub
bab; pengertian isti’ādzah, isti’ādzah dalam al-Qur’an, Asbāb al-Nuzūl ayat
mengenai isti’ādzah dalam Sūrah al-Falaq dan al-Nās, hadis tentang isti’ādzah
serta urgensi isti’adzāh
Bab IV merupakan tentang isti’ādzah dalam al-Tafsīr al-Qayyim dengan
sub bab; Al-Mu’awwidzatain dalam al-Tafsir al-Qayyim karya Ibnu Qayyim al-
20 Abd Hay Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Terj. Suryana A. Jamrah (Jakarta:
Pustaka Mizan, 2008), 36
13
Jauziyyah, serta kontekstualisasi Tafsir Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap al-
Mu’awwidzatain dalam al-Tafsīr al-Qayyim.
BAB V merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir penelitian dan saran-saran dari penelitian.
14
BAB II
BIOGRAFI IBNU QAYYIM DAN SEKILAS TENTANG
AL-TAFSĪR AL-QAYYIM
A. Riwayat Hidup
Nama asli Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Muhammad Bin Abi Bakr Ibn
Ayyūb Ibn Sa'ad Ibn Hariz al-Zur’i al-Dimasyqi Abu Abdillah Syams al-Dīn.21
Nama panggilan beliau adalah Abu Abdillah sedangkan nama julukan beliau
adalah Syams al-Dīn. Beliau lahir di desa Azra, Damaskus pada tanggal 7 Shafar
691 H, bertepatan dengan tahun 1292 M.22 Dan dibesarkan di keluarga yang
penuh dengan nuansa keilmuan, kemuliaan, kebaikan, dan taqwa.
Ayahnya bernama Syaikh al-Shaleh al-Abid al-Nāsik Abu Bakar bin
Ayyūb al-Zur’i, beliau adalah salah seorang pendiri madrasah al-Jauziyyah di
damaskus untuk beberapa periode, dan oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Inilah rahasia penamaan imam ini oleh para ulama
klasik menyebutnya dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sementara ulama
kontemporer mayoritas menyebutnya Ibnu Qayyim, sebutan ini sebenarnya
dipakai untuk menyingkat, yang ternyata sebutan ini pada akhirnya justru lebih
populer di kalangan para ulama dan para penuntut ilmu.23
Namun beberapa kalangan memberikan kepadanya gelar Ibnu Jauzi,
padahal hal tersebut sangatlah keliru, sebab nama asli Ibnu al-Jauzi adalah Abd
al-Rahman bin Ali al-Quraisy. Gurunya Ibnu Jauzi adalah Ibn Nashīr yang banyak
memberikan ilmu kepadanya sehingga ilmunya bermanfaat untuk disampaikan
kepada kaum muslimin. Ilmu-ilmu yang dikuasai oleh Ibnu Jauzi yaitu dalam
bidang tafsir, hadis, sejarah dan kedokteran. Ibnu Jauzi wafat pada tahun 579 H
atau abad ke 6 H, saat usianya 90 tahun dan dimakamkan di pemakaman Bab
Harb.24 sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pada tahun 691 H atau abad ke 7 H.
21 R.A. Gunadi. M Shoelhi. Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol, (Jakarta:
Republika, 2002), 17 22 Syaikh M. Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005), Cet ke-1, 227 23 Ibid., 228 24Ibnu al-Jauzi, Cerminan Jiwa, Terj. Amir Hamzah Fachrudin, (Jakarta: Mustaqim,
2001), 16
15
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa antara Ibnu Jauzi dan Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah sangatlah berbeda dan penyebutan nama Ibnu al-Jauzi
kepada beliau adalah salah dan kita haruslah menyebut beliau Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah karena itu adalah gelar populer yang dimiliki beliau, atau kita sebut saja
dengan Syaikh Ibnu Qayyim untuk lebih mudah dan ringkasnya.25
Ayah Ibnu Qayyim merupakan sosok yang cukup mulia, tampil apa
adanya, memiliki peran penting dalam mengembangkan Ilmu Faraidh. Kepada
sang Ayahlah Ibnu Qayyim belajar Faraidh. Sang Ayah meninggal pada malam
Ahad tanggal 10 Dzulhijjah di Madrasah al-Jauziyyah.
Sebagaimana Ibnu Qayyim mewarisi ilmu ayahnya, ia juga mewariskan kepada
anak-anaknya:
1. Abdullah, sangat cerdas dan hafalannya sangat kuat, ia bisa hafal sūrah al-
A’raf dalam dua hari, serta menamatkan al-Qur’an saat berumur 9 tahun,
ia satu-satunya penerima mandat untuk mengajar di Madrasah al-
Shadriyah setelah ayahnya wafat.
2. Ibrahim, yang menerima ilmu dari ayahnya dan ulama-ulama lain. Ia telah
memberikan fatwa serta mengajar di Madrasah al-Shadriyyah. Ia
mengikuti jejak ayahnya dan juga punya andil besar dalam pengembangan
ilmu nahwu.26
Ibnu Qayyim termasuk seorang tokoh yang berhasil pada masanya. Ia
menjadi tokoh sentral dan mempunyai kedudukan yang cukup tinggi diantara para
ulama, ia pun mempunyai anak-anak yang cerdas serta murid-murid yang populer.
Hal itu dikarenakan Ibnu Qayyim mempunyai sifat yang sangat mulia dan hati
yang bersih, pemikiran yang cemerlang, kelapangan dada, kekuatan hafalan yang
menakjubkan, bacaan yang luas, dan sangat konsen dalam meletakkan etika-etika
berinteraksi dengan sesama, dan menyembuhkan perangai dengan kepekaan yang
cukup tinggi serta jiwa yang sensitif. Itulah yang membuat Ibnu Qayyim
25 Muhammad al-Anwar al-Sunhuti, Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Tuhan, (Jakarta:
Mustaqim, 2001), 19-20 26 Jamal, Biografi 10 Imam Besar., 228-229
16
mendapat pujian yang baik, pamor yang mulia, hidup bahagia, serta meninggalkan
pustaka dan keilmuwan yang cukup berharga.27
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah meninggal dunia dalam usia 60 tahun pada
malam kamis 13 Rajab 751 H atau bertepatan dengan tahun 1350 M waktu adzan
isya di kota Damaskus. Jenazahnya dimakamkan dipemakaman al-Bāb al-Saghīr
disamping makam orang tuanya.28
Hikmah yang dapat diambil dari biografi Ibnu Qayyim agar menjadi orang
yang sukses adalah menjadi manusia yang memiliki akhlak yang mulia, memiliki
perangai yang lembut dalam pergaulan, mempunyai semangat yang tinggi dalam
menjalani kehidupan, berwawasan luas, memiliki karakteristik yang baik dan
selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
B. Kondisi Sosial Masyarakat
Pada masa khazanah Ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang
dilingkungan intelektual, Ibnu Qayyim berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan
semenjak masih usia belia. Beliau tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat
yang cemerlang sehingga sangat mempengaruhi berbagai ide dan gagasan yang
muncul dalam pemikirannya.
Beliau adalah tipe anak yang tidak mudah puas dengan ilmu yang didapat
dari orang tuanya, ini karena beliau memiliki prinsip bahwa ilmu adalah
segalanya. Walaupun beliau masih belia, tanpa rasa takut dan malu, beliau duduk
bersama beberapa orang yang usianya jauh di atasnya, beliau juga menimba ilmu
dari imam terkemuka pada masanya tanpa mengenal lelah, beliau berusaha meraih
berbagai macam ilmu pengetahuan, sehingga tercapailah impian dengan baik dan
jadilah beliau dengan sosok yang sangat kompeten dengan setiap cabang ilmu
agama.29
Dalam sejarah pendidikannya beliau berguru pada bnyak ulama untuk
memperdalam berbagai ilmu keIslaman. Ilmu-ilmu yang beliau pelajari adalah
27 Jamal, Biografi 10 Imam Besar., 28-230 28 Sunhuti, Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Tuhan., 17 29 Ibid., 21-22
17
Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam, Tasawuf, Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh, Farāidh,
Bahasa Arab, Nahwu, serta masih banyak lagi.30
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pada masanya dikenal sebagai sumber ilmu
laksana ensiklopedia hidup, beliau telah menyusun kitab dalam bidang fiqih,
sejarah, ushul dan karya tulis beliau sulit dihitung jumlahnya, disamping memiliki
bobot ilmiah yang tinggi. Sekalipun Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dikenal dengan
pemahamannya terhadap Ilmu Syari’at, Ilmu Fiqih dan Ilmu Hadis. Beliau juga
seorang sastrawan yang memiliki bakat tentang Sya’ir.31
Ibnu Al-Qayyim memiliki banyak guru, di antaranya adalah ayahnya
sendiri, Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Daim al-Maqdisiy, Badr al-Dīn ibn
Jamā’ah, al-Hāfiz al-Zahabī, dan lainnya. Diantara sekian gurunya yang banyak
mempengaruhi manhaj dan pandangan keagamaan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
adalah Ibnu Taimiyah. Ibnu Qayyim berguru pada Ibnu Taimiyah sejak tahun 712
H setelah sang guru datang dari mesir. Ia pernah di penjara bersama gurunya itu
pada akhir kehidupannya disebuah benteng karena menantang acara ziarah ke
kuburan al-Khalil. Selama berada dipenjara ia selalu membaca al-Qur’an dan
melakukan perenungan-perenungan. Justru kehidupan penjara banyak membuka
cakrawala pemikirannya mengenai berbagai persoalan dunia. Ia baru dikeluarkan
dari penjara setelah Ibnu Taimiyah meninggal dunia, Ibnu Taimiyah meninggal
dunia pada tahun 782 H.
Ibnu Qayyim bersama sang guru Ibnu Taimiyah dikenal sebagai tokoh
pemurni ajaran Islam, beliau ingin mengembalikan pemahaman agama umat Islam
kepada pemahaman Rasulullah SAW. Pemikirannya dalam berbagai bidang selalu
merujuk pada al-Qur’an dan Hadis dan tidak fanatik dengan pendapat ulama
pendahulu seperti yang merebak dizamannya.32
Kebersamaan bersama gurunya, Ibnu Taimiyah selama 16 tahun itu,
ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk pola pikirnya,
30 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Pesona Keindahan, Terj. Hadi Mulyo, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 1999), Cet. Ke-1, 172 31 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Memetik Manfaat al-Qur’an, Terj. Mahrus Ali, (Jakarta:
Cendikia Centra Muslim, 2000), xxviii 32 R.A. Gunadi, M. Shoelhi, Dari penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol, 108-109
18
pengisian dan pengembangan potensinya, serta penguatan terhadap basis
pengetahuannya terutama yang berkenaan dengan al-Qur’an dan Hadis. Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah kemudian tumbuh menjadi muridnya yang paling menonjol
serta paling populer. 33
Ibnu Taimiyah yang membuat Ibnu Qayyim terpengaruh kepadanya dan
mengikuti jalannya sehingga beliau sangat gigih dalam menerangi orang-orang
yang menyimpang dari ‘aqīdah dan agama Islam.
Beliau diklaim sebagai pengikut Mazhab Hanbāli, yang mungkin penyifatan
seperti itu memberikan pemahaman bahwa Ibnu Qayyim adalah orang yang
fanatik terhadap Mazhab Hanbāli dan “Taqlid”34 dalam segala hal. Pemahaman
seperti itu tidaklah benar secara mutlak disandarkan kepada beliau, beliau
meskipun bermazhab kepada Mazhab Hanbali hanyalah sekedar Ittiba’
(mengikuti pendapat-pendapat) yang dikuatkan oleh dalil-dalil dan menolak
Taqlid.
Dengan itu beliau dikenal sebagai muslim yang teguh dalam pendiriannya
dalam mempertahankan kemurnian dan anti taqlīd buta. Ibnu Qayyim bersama
gurunya Ibnu Taimiyah, ia berpendapat bahwasanya pintu ijtihad tetap terbuka,
siapapun boleh ber-ijtihad sejauh yang bersangkutan memiliki kesanggupan untuk
melakukannya.
Perjuangan yang diberikan untuk kemajuan Islam menjadikan beliau tokoh
yang disegani banyak orang dan sebagian ingin menjadi muridnya. Ada beberapa
murid beliau yang menjadi tokoh dan populer. Mereka adalah para imam dunia
pengetahuan dan tumbuh menjadi orang-orang pilihan. Murid-murid beliau
adalah:
1. al-‘Allāmah (alim), al-Hāfidz (kuat hafalannya), al-Mufassīr (Ahli Tafsir),
al-Masyhūr (yang sangat dikenal), ‘Imad al-Din Ismail Abu Fida bin Umar
bin Katsir al-Quraisy al-Syafi’i, wafat pada tahun 774 H
2. Abd al-Rahman Zainuddin Abu al-Farj bin Ahmad bin Abd al-Rahman
yang dijuluki Ibn Rajab al-Hanbāli, wafat pada tahun 795 H
33 Jamal, Biografi 10 Imam Besar, 234-235 34 Taqlid yaitu mengikuti tanpa alasan yang jelas, Lihat A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh
Satu dan Dua, (Jakarta:Kencana, 2010), 195
19
3. Muhammad Syams al-Din Abu Abdullah bin Ahmad bin Abd al-Hadī bin
Qudamah al-Muqaddisi, wafat pada tahun 744 H
4. Muhammad bin Ya’qūb bin Muhammad Majd al-Dīn Abu al-Thahīr al-
Fairuza Abadi al-Syāfi’ī, seorang penulis kamus yang wafat pada tahun
817 h.35
Ibnu Qayyim merupakan sosok ulama yang memiliki kepedulian tinggi
terhadap masalah sosial. Secara umum kehidupan umat Islam pada masanya
sedang mengalami kemunduran, walaupun pada beberapa segi kehidupan
mengalami kemajuan. Pada masa dinasti mamluk berkuasa, telah dibangun
beberapa sarana umum untuk menunjang kehidupan masyarakat, seperti sekolah,
masjid, rumah sakit, perpustakaan museum, dan lain-lain.36
Pemerintah juga memberikan kebebasan kepada para penganut mazhab
untuk mengembangkan ajarannya. Namun demikian, umat islam sedang
mengalami kemujudan berfikir. Hal ini disebabkan karena pendapat yang
mengatakan bahwa pintu ijtihād telah tertutup sehingga menyebarlah sikap taqlid
dan fanatik yang berlebihan khususnya terhadap imam mazhab yang empat.37
Mereka hanya puas dengan menerima fatwa-fatwa tersebut tanpa berusaha
menggali dari sumber-sumber yang diambil oleh para imam itu sendiri. Disinilah
Ibnu Qayyim bangkit untuk menyerukan kebebasan berfikir dan berijtihad dengan
kembali kepada dua sumber yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta menjadikan
keduanya neraca kebenaran terhadap berbagai paham dan aliran, dan membuang
ajaran yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis, memperbaharui kajian
ilmu agama yang benar, membersihkannya dari ajaran bid’ah yang diciptakan oleh
kaum muslimin sendiri terutama dalam hal manhāj palsu yang mereka temukan
sendiri sekitar abad-abad lampau yakni abad kemunduran, kejumudan dan taqlid
buta.38
35 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Shalawat Nabi SAW, Terj. Ibn Ibrahim, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2000), 34-35 36 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 128 37 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), 83 38 Jauziyyah, Pesona Keindahan., 172
20
Disamping itu, gerakan tarekat sufī semakin bertambah luas di kalangan
masyarakat. Hal ini turut ditunjang dengan dibangunnya tempat-tempat khusus
oleh pemerintah untuk menampung para sufī dalam menyebarkan ajaran-ajaran
mereka. Yang mana ajaran-ajaran mereka memberikan pengaruh negatif terhadap
tatanan kehidupan sosial masyarakat. Disamping itu mereka juga banyak
menciptakan ritual-ritual aneh untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
melakukan tarian-tarian dan nyanyian-nyanyian tertentu yang mereka anggap
sebagai bagian dari dzikir. Ibnu Qayyim dalam beberapa karya tulisnya banyak
mengkitik konsep-konsep dan praktik-praktik bid’ah yang mereka lakukan.39
Semua yang dilakukan Ibnu Qayyim dan gurunya (Ibnu Taimiyah) adalah
satu rangkaian usaha untuk menyatukan dunia islam dibawah satu panji yaitu
menyelamatkan dari fanatisme mazhab dan menciptakan keamanan serta
kestabilan untuk dunia Islam.
C. Latar Belakang Penulisan al-Tafsīr al-Qayyim
Tafsir ini hanya 1 jilid, al-Tafsīr al-Qayyim ini merupakan tafsir ayat-ayat
pilihan yang dituliskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam berbagai kitabnya.
Berbagai penafsiran ini diambil dari sekian banyak karya Ibnu Qayyim, yang
tentu saja berkaitan dengan penafsiran al-Quran ketika beliau sedang mengupas
tentang berbagai masalah. Kemudian tafsir-tafsir ini dikumpulkan dan disusun
secara berurutan menurut urutan dalam al-Quran, sūrah dan ayat-ayatnya.40
Pengumpulan tafsir-tafsir ini dilakukan oleh seorang ulama Muhaqqiq
yang berasal dari India, Muhammad Uwais al-Nadwī, seorang pecinta karya Ibnu
Qayyim. Hal ini dapat diketahui dari Muqaddimah Kitab ini: Kitab ini berisikan
Tafsir ayat-ayat pilihan yang dihimpun oleh Muhammad Uwais al-Nadwiy yang
ia temukan dalam karya-karya Ibnu Qayyim, yang kemudian penafsiran al-Quran
yang dia temukan dalam karya-karya tersebut dia kumpulkan ke dalam sebuah
39 Mahmud ‘Awad, Para Pemberontak Dijalan Allah; Ibn Hazm, Ibn Taimiyah, Rifa’ah
al-Thahthawi, Jamaluddin al-Afghani, Abdullah an-Nadi, Terj. Alimin, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2002), 89-90
40 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Piihan, (Jakarta: Darul Falah, 2000), viii
21
kitab. Dikarenakan penafsiran yang dia kumpulkan tersebut murni berasal dari
Ibnu Qayyim, maka kitab ini dia beri nama “ 41.” التفسير القيم للإمام ابن القيم
D. Karya-Karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Ibnu Qayyim adalah penulis adalah penulis yang amat produktif dan setiap
kitab yang ditulisnya disenangi oleh berbagai kalangan. Sehingga dalam
tulisannya, tertuang pikiran yang luas dan sangat mengedepankan kejelasan
ungkapan. Kalimat-kalimatnya sangat panjang dan sebagian dari perkataan sang
guru, Ibnu Taimiyah. Ia sangat menguasai pendapat gurunya dan menghafal
dengan sangat kuat.42
Kebanyakan pembahasan Ibnu Qayyim selalu disandarkan kepada dalil
yang rājih (kuat) dan senantiasa menyandarkan pembahasannya atas apa yang
terjadi serta tidak menginginkan pembahasan pada hal-hal yang belum terjadi atau
mengandai-andai.43
Beliau menulis buku dengan tangannya sendiri dalam jumlah yang sangat
banyak, mengarang dalam banyak disiplin ilmu sebab beliau sangat cinta terhadap
ilmu, menulis, menelaah dan mengoleksi banyak buku.
Karya-karya Ibnu Qayyim mencapai 60 lebih dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Sebagian berukuran besar dalam beberapa jilid. Kesemuanya
merupakan karya yang sangat bagus dan bermanfaat dibidangnya.44 Adapun
karya-karya ilmiahnya adalah:
1. Ahkām Ahli al-Zimmah
2. I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb ‘Ālamīn
3. Raudhah al-Muhibbīn
4. Zād al-Ma’ād fi Hadyi Khair al-‘Ibād
5. Madārij al-Sālikīn Baina Manāzih Iyyāka Na’budu wa Iyyāka Nasta’īn
6. Al-Da’wa al-Dawā
7. Al-Fawā’id
41 Ibid., viii 42 Jauziyyah, Indahnya Sabar., 10 43 Jauziyyah, Memetik Manfaat al-Qur’an., xxv 44 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Petunjuk Nabi SAW Menjadi Hamba Teladan dalam
Berbagai Aspek Kehidupan, Terj. Achmad Sunarto, (Jakarta: Robbani Press, 1997), Jilid 1, xxvii
22
8. Kasyf al-Ghitā’ ‘an Hukm Simā’ al-Ghinā
9. Hidāyah al-Hiyarīm fī Ajwibah al-Yahūdi wa an-Nasharā
10. Syifā’ al-‘Ālif fi Masā’il al-Qadhā wa al-Qadhar wa al-Hikmah wa at-
Ta’līl. Dan lain sebagainya.45
D. Metode Penafsiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Tafsīr al-Qayyim
Pada beberapa tempat Ibnu Qayyim menafsirkan al-Qur'an dengan metode
Tahlilī, tetapi pada tempat lainnya beliau menggunakan metode Ijmalī dan
Muqaran. Metode yang beliau pakai dalam Sūrah al-Falaq dan al-Nās (al-
mu’awwidzatain) adalah metode tahlilī46, yang mana penafsiran terhadap kedua
sūrah ini cukup panjang, yang mengungkapkan segala aspek yang mungkin dapat
dipahami dari Sūrah ini. Gambaran metode Ibnu Qayyim tersebut dapat tergambar
sebagai berikut: Langkah awal yang ia lakukan adalah membuat sūrah al-Falaq
dan al-Nās.
Setelah itu, Ibnu Qayyim menyertakan beberapa hadis yang mengandung
keutamaan sūrah ini:
“Muslim meriwayatkan dalam shahīhnya, dari hadis Qais bin Hazim dari
Uqbah bin Amīr, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: apakah kamu tidak
melihat ayat-ayat yang diturunkan semalam, yang tidak penah dilihat yang serupa
dengan itu sama sekali, yaitu “a’ūdzu birabbi al-falaq dan a’ūdzu birabbi al-
nās.” Dalam lafadz lain dari riwayat Muhammad bin Ibrahim at-Tainy, dari
Uqbah bahwa Rasulullah SAW berkata kepadanya Uqbah maukah jika aku
beritahukan kepadamu tentang sesuatu yang paling baik untuk dijadikan
pelindungan oleh orang-orang yang meminta pelindungan kepadanya? Aku
menjawab, mau. Beliau bersabda a’ūdzu birabbi al-falaq dan a’ūdzu birabbi al-
nās. Didalam riwayat al-Tirmidzi disebutkan dari Uqbah bin Amir, dia berkata,
45Al-Hāfiz Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), Juz 14,
234 46 Metode Tahlili adalah metode Tafsir yang memaparkan segala aspek yang terkandung
didalam yang ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Glaguh Uhiv, 1998), 31
23
Rasulullah SAW pernah menyuruhku untuk membacakan mu’awwidzatain seusai
setiap shalat. Ini hadis gharib.”47
Serta masih ada beberapa hadis lainnya yang berisikan keutamaan kedua
surat ini. Setelah menyertakan hadis-hadis tersebut, Ibnu Qayyim menjelaskan
maksud dan tujuannya memaparkan hadis-hadis tersebut:
Uraian tentang dua sūrah ini (al-Falaq dan al-Nās), adalah penjelasan
tentang keagungan dan manfaatnya, kebutuhan yang mendesak kepada-Nya, yang
tidak seorangpun melainkan pasti sangat membutuhkan-Nya, yang mana kedua
surat ini memiliki pengaruh yang khusus untuk menolak sihir dan pandangan mata
mendengki serta segala kejahatan, adalah sesuatu yang sangat penting. Kebutuhan
terhadap dua sūrah ini lebih besar kebutuhan terhadap hembusan nafas, makanan,
minuman, dan pakaian.48 Kemudian Ibnu Qayyim menjelaskan isi kandungan
kedua srat ini. Dua sūrah ini mencakup tiga dasar isti’ādzah, memohon
perlindungan.
1. Nafs al-Isti’ādzah (Pelindungan itu sendiri)
2. Al-Musta’ādz bihi (Yang dimintai perlindungan)
3. Al-Musta’ādz Minhu (Sesuatu yang dimintakan perlindungan,)
E. Pandangan Ulama Terhadap Ibnu Qayyim
Para ulama menyatakan bahwa Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memiliki sifat
wara’ dan berhati-hati dalam perkara syubhat, apalagi perkara haram. Beliau
memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas.
1. Menurut Nu’man al-Alūsī al-Baghdādi dalam kitabnya Jalāl al-‘Ainain
bahwa Ibnu Qayyim adalah sorang pakar dibidang Fiqih, Tafsir, Nahwu,
dan Ilmu Ushul. Adapun tentang ketekunannya dalam beribadah dan sikap
wara’nya maka al-Qādhi Burhan al-Din al-Zar’i menyatakan bahwa Ibnu
Qayyim melakukan haji beberapa kali, lalu tinggal didekat ka’bah dan
47
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Piihan”, 650-651 48 Ibid., 652
24
penduduk menyebut Ibnu Qayyim sebagai figur yang sangat tekun dalam
beribadah dan banyak melakukan aktivitas tasawuf.49
2. Ibnu Hajar al-‘Asqalānī mengatakan bahwa Ibnu Qayyim adalah seorang
yang mempunyai keberanian yang tinggi, ilmu yang sangat luas,
mengetahui perbedaan pendapat serta mazhab ulama salaf.50
3. Ibnu Katsīr mengatakan bahwa Ibnu Qayyim sangat cinta ilmu, selalu
belajar diwaktu siang dan malam, selalu melaksanakan shalat, membaca
al-Qur’an, baik budinya dan senang kepada sesama, tidak pernah hasud
atau dengki. Ibnu Katsīr menyatakan bahwa ia sendiri tidak pernah
mengetahui ada orang lain yang tekun dalam beribadah melebihi Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah pada masa itu.51
4. Burhān al-Dīn al-Zar’i menyebutkan tentang ilmu Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah bahwa tidak ada orang lain dibawah langit yang memiliki ilmu
yang luas seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Ibnu Qayyim belajar di al-
Shadriyyah, menulis beberapa kitab yang tidak terhitung jumlahnya,
menyusun dan mempelajarinya serta menyimpannya sebagai kitab
referensi, dan Ibnu Qayyim memiliki kitab-kitab yang tidak dimiliki oleh
orang lain.52
49 Manshur Abd al-Rāziq dan Kamal Ali Jamāl, “Perkenalan dengan Ibn Qayyim al-
Jauziyyah: Sang Imam yang Agung”, Terj. Mahrus Ali (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2000), xxvii
50 Ibid., xxv 51
Ibid., xxvii 52 Ibid., xxvi
25
BAB III
ISTI’ĀDZAH DALAM AL-QUR’AN SECARA UMUM
A. Pengertian Isti’ādzah
1. Pengertian Isti’ādzah Menurut Bahasa
Isti’ādzah secara bahasa berasal dari kata kerja استعذ (ista’ādza) wazan
termasuk pada tsulasi mazid (tiga asal kata yang mendapat (istaf’ala)استفعل
tambahan yaitu huruf alif, sin, dan ta). Setiap kata yang mendapatkan huruf
tambahan tersebut menunjukkan kepada permintaan. Dalam kitab Lisān al-‘Arab
dijelaskan bahwa ada yang menyebutkan kata tersebut dengan berbagai bentuk,
seperti عوذ(‘audza) عياذ(‘iyādz), يعوذ (ya’ūdzu), عاذ(‘ādz) dan اذمع (mu’ādz) yang
berarti berlindung, berdamping dan berpegang.53
Kata (العوذ)mempunyai dua makna:
1. Al-Iltijā’ atau al-Istijār yang bermakna meminta perlindungan
2. Al-iltishāq yang bermakna menempel. Contoh : أطيب اللحم عوذه “Daging
yang paling lezat adalah yang menempel dengan tulang”54
Didasarkan pada makna yang pertama, maka makna mأعوذ با adalah saya
meminta perlindungan kepada rahmat dan penjagaan Allah. Sedangkan jika
didasarkan pada makna yang kedua, maka makna mأعوذ با adalah saya
menempelkan jiwa dan diriku dengan karunia dan rahmat Allah.
Ibnu Qayyim menambahkan kata العوذ memiliki dua sisi makna yaitu الستر
yang memiliki makna sesuatu yang menutupi dan لزوم المجاورة yaitu yang
mempunyai makna adanya keamanan lingkungan, dari sini dapat dipahami
bahwasanya kata عوذ dalam segi bahasa dapat di defenisikan sebagai suatu hal
yang menutupi dan melindungi sesuatu sehingga akan tercapai suatu keamanan
dari hal yang tidak diinginkan.55
53 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-ayat Pilihan, Terj. Kathur
Suhardi (Jakarta: Darul Falah, 2000), 653 54 Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “Zādul Ma’ād”, Jilid V. 55 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsīr al-Mu’awwidzatain (T.p.Dar al-Hadis, 1989), 13
26
Selain itu sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ibnu Faris dalam
maqayis-nya, عوذ merupakan suatu proses permohonan perlindungan yang
menyebabkan sesesuatu yang berbahaya menyatu dengan pelindungannya
kemudian diseret kedalam hal yang bisa melindungi, sehingga akan tetap terjaga
keamanannya.56
Isti’ādzah juga disebut قعاذ الله(qa’ādzu Allah) yang berarti aku berlindung
kepada Allah, perkataan ini sama artinya dengan kata-kata معاذة الله (ma’ādzatu
Allah), معاذة وجه الله (ma’ādzatu wajh Allah), serta معاذ وجه الله (ma’ādzu wajh
Allah). Isti’adzah terkadang juga juga disebut dengan kata-kata منك mاعوذ با
(a’ūdzu bi Allah minka) dengan dimasukkan huruf jar “bi” pada lafadz al-Jalalah
yang mempunyai arti aku berlindung kepada Allah daripada engkau. Rangkaian
kata ini sama dengan kata منكمعاذ mة با (mu’ādzatu bi Allah minka) dan mتعويذ با
- عاذ 57 Adapun kata isti’ādzah berasal dari kata.(ta’wīdzu bi allah minka) منك
واستعاذ-وتعوذ-ومعاذا-وعياذا- عوذا yang memiliki pengertian “berlindung, mencari
perlindungan.”58
2. Pengertian Isti’ādzah Menurut Istilah
Dalam Tafsīr al-Qurthubī, Syekh Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa
makna isti’ādzah dalam perkataan bangsa arab adalah meminta perlindungan dan
keberpihakan kepada sesuatu, dalam artian supaya tercegah dari hal-hal yang tidak
disukai.59
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmū’at al-Rāsail li Ibn
Taimiyah, isti’ādzah adalah memohon perlindungan kepada Allah dari perkara al-
waswās yang merupakan pangkal dari kekufuran, kefasikan, kemaksiatan dan
seluruh kejahatan. Ketika manusia mampu menahan diri dari kejahatannya
56 Abu al-Hasan Ahmad Ibn Faris, al-Maqāyis al-Lughah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1972),
183-184 57 Arifin Omar, Rahasia di Sebalik Sūrah al-Falaq (Malaysia: Cahaya Pantai, 1994), 15 58 A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya :
Pustaka Progresif, 1997), 984 59
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsīr al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. Terj. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, 231
27
niscaya ia akan terjaga dari siksa jahanam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati,
fitnah Dajjal, karena hal itu bersumber dari pintu al-waswās.60
Penilaian yang serupa juga diutarakan oleh Bey Arifin, pengarang Tafsīr
al-Fātihah, isti’ādzah adalah meminta perlindungan kepada Allah swt dari bahaya
kepercayaan (I’tiqad), bahaya yang timbul dari gerak gerik manusia
dikehidupannya yang merusak agama dan bahaya penyakit yang ada pada badan
manusia.61
Jadi, isti’ādzah adalah memohon perlindungan kepada Allah SWT dan
bergantung disisi-Nya dari segala macam bentuk kejahatan, serta memohon
perlindungan dari segenap godaan setan yang terkutuk. Kaum beriman harus
betul-betul memperhatikan masalah isti’ādzah, sebab hal itu senjata paling ampuh
untuk mengahadapi godaan setan.
B. Isti’adzah dalam al-Qur’an
1. Bentuk kata Isti’adzah dalam al-Qur’an
Salah satu persoalan penting yang termaktub dalam al-Qur’an adalah
isti’ādzah (memohon perlindungan kepada Allah). Isti’ādzah berasal dari
dan kata ini dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-Qur’an (audz‘)عوذ
sebanyak tujuh belas kali.62 Berikut ini adalah ayat-ayat tersebut.63
1). Bentuk Kata عذت/‘Udztu (Fi’il Madhi Dhamir Mutakalim Wahdah)
ρu%s$Αt Βãθ›y# )ÎΤoÎ’ ãã‹õNß /Î�t1nÎ’ ρu‘u/nÎ6àΝ ΒiÏ .ä≅eÈ ΒãFt3s9iÉ�9 ωā ƒãσ÷ΒÏß /΋uθöΘÏ É>$ |¡Ïtø: $# ∩⊄∠∪
“Dan Musa berkata”: "Sesungguhnya Aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab". (QS. Ghāfir: 27)64
60 Ibnu Taimiyah, Risalah Ibnu Taimiyah tentang Tafsīr al-Qur’an, Terj. Drs. As’ad yasin
et.al,(Solo: Cv. Pustaka Mantiq, 1996), 113 61 Bey Arifin, Samudera al-Fatihah, (Surabaya: Tt. Bina Ilmu, 1980), 63 62
Ibnu Mandzur al-Mishri, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Jilid 3, 498 63 Muhammad Fuad al-Baqi, al-Mu’jam al- Mufahras li Alfādz al-Qur’an al-Karīm
(Beirut: Dar al-Ma’arif, 1991), 627 64
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah.,470
28
ρu)ÎΤoÎ’ ãã‹õNß /Î�t1nÎ’ ρu‘u/nÎ3ä/ö &rβ ?s�ödäΗçθβÈ ∪⊃⊄∩
“Dan Sesungguhnya Aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu, dari keinginanmu merajamku.” (QS. Al-Dukhān : 20)65
2). Bentuk kata اعوذ/A’ūdzu (Fi’il Mudhari’ Dhamir Mutakallim Wahdah)
øŒ Î)uρ tΑ$ s% 4y›θ ãΒ ÿϵÏΒ öθ s)Ï9 ¨βÎ) ©!$# ôΜä.â÷ß∆ ù' tƒ βr& (#θçtr2 õ‹s? Zοt� s)t/ ( (# þθ ä9$ s% $ tΡä‹Ï‚ −Gs?r&
δè“âρY# ( %s$Αt &rããθŒè /Î$$!« &rβ÷ &r.äθβt ΒÏz #$:øgp≈γÎ=Κ ∪∠∉∩
“Dan (ingatlah)”, ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"66Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (QS. Al-Baqarah: 67)67
%s$Αt ‘u>bÉ )ÎΤoÎ’þ &rããθŒè /Î�š &rβ÷ &r™ó↔t=n�š Βt$ 9sŠø§} <Í’ /ÎµÏ ãÏ=ùΝÖ ( ρu)Îωā ?sóø�Ï�ö <Í’ û Í_ôϑym ö� s?uρ à2r& z ÏiΒ zƒ Î�Å£≈ y‚ ø9 $# ∩⊆∠∪
“Nuh berkata”: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang Aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya Aku akan termasuk orang-orang yang merugi."(QS. Hūd: 47)
%s$9sMô )ÎΤoÎ’þ &rããθŒè /Î$$9�§q÷Ηu≈Ç ΒÏΖ7y )Îβ .äΖM| ?s)É‹|$ ∪∇⊇∩
“Maryam berkata”: "Sesungguhnya Aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa". (QS. Maryam: 18)68
ρu&rããθŒè /Î�š ‘u>bÉ &rβ †støØÛ�çρβÈ ∪∇∩
“Dan Aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku."(QS. Al-Mu’minūn: 98)69
65 Ibid., 497 66
Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa penghormatan mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah. Lihat Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2011), 10
67 Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah., 10
68 Ibid., 306 69 Ibid., 348
29
%è≅ö &rããθŒè /Î�t>bÉ #$9ø�x=n,È ∪⊇∩
“Katakanlah”: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh.” (QS. Al-Falaq: 1)70
%è≅ö &rããθŒè /Î�t>bÉ #$9Ψ$¨Ä ∪⊇∩
“Katakanlah”: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.”(QS. Al-Nās: 1)71
3). Bentuk kata يعوذون/Ya’ūdzūna (Fi’il Mudhari’ Dhamir Ghaib Jama’
mudzakkar)
ρu&rΡ¯µç… .x%βt ‘Íy%Α× ΒiÏz #$}MΡ§Ä ƒtèãθŒèρβt /Î�Ìy%Α5 ΒiÏz #$:øgÅdÇ ùs“t#ŠßρδèΝö ‘uδy)Z$ ∪∉∩
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan72 kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”(QS. Al-Jin: 6)73
4). Bentuk kata اعيذها/U’īdzuhā (Fi’il Mudhari’ Tsulasi Mazid Dhamir
Mutakallim Wahdah)
$ £ϑn=sù $ pκ÷Jyè|Ê uρ ôM s9$s% Éb>u‘ ’ÎoΤÎ) !$ pκçJ÷è|Ê uρ 4s\Ρé& ª!$#uρ ÞΟ n=÷ær& $ yϑÎ/ ôMyè|Ê uρ }§øŠs9 uρ
#$!%©.x�ã .x%${WΡ\s4 ( ρu)ÎΤoÎ’ ™yϑ£‹øJçκp$ Βt�öƒtΟz ρu)ÎΤoÎ’þ &éãÏŠ‹äδy$ /Î�š ρuŒè‘h̓−Gtγy$ ΒÏz Ç≈sÜ ø‹¤±9 $# ÉΟŠÅ_ §�9$# ∩⊂∉∪
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya”, diapun berkata: "Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."(QS. Al-Imran: 36)74
70 Ibid., 604 71 Ibid., 604 72 Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, Maka mereka
minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap Kuasa di tempat itu. Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 572
73 Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah.,572
74 Ibid., 54
30
5). Bentuk kata فاستعذ/Fasta’idz (Fi’il Amar Mufrad)
ρu)ÎΒ¨$ ƒt∴”uîxΖ�š ΒÏz #$9±¤‹øÜs≈Ç Ρt“÷øØ ùs$$™óGtèÏ‹õ /Î$$!« 4 )ÎΡµç… ™yϑÏ‹ìì æt=ΊΟí ∪⊃⊃⊄∩
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.75 Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)76
¨βÎ) š Ï%©!$# šχθä9 ω≈ pgä† þ’Îû ÏM≈ tƒ#u «!$# Î�ö�tó Î/ ?≈sÜ ù=ß™ öΝßγ9 s?r& βÎ) ’ Îû
¹ß‰ßρ‘ÍδÏΝö )Îωā 2Å9ö�× Β¨$ δèΝ /Î6t≈=ÎóÉŠµÏ 4 ùs$$™óGtèÏ‹õ /Î$$!« ( )ÎΡµç… δèθu #$9¡¡ϑÏŠìß ç�� ÅÁt7 ø9 $# ∩∈∉∪
“Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka77 tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, Maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Ghāfir: 56)78
ùs*ÎŒs# %s�t&ùN| #$9ø)à�öu#βt ùs$$™óGtèÏ‹õ /Î$$!« ΒÏz #$9±¤‹øÜs≈Ç #$9�§_ÅŠΟÉ ∪∇∩
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”(QS. An-Nahl: 97)79
ρu)ÎΒ¨$ ƒt∴”uîxΖ¨7y ΒÏz #$9±¤‹øÜs≈Ç Ρt“÷øØ ùs$$™óGtèÏ‹õ /Î$$!« ( )ÎΡµç… δèθu #$9¡¡ϑÏŠìß #$9øèy=ΊΟÞ ∪∉⊂∩
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Fusshilat: 36)80
6). Bentuk kata معاذ/Ma’ādza (Isim Makan)
75 Maksudnya: من الشيطان الرجيم mاعوذ با 76
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah., 176 77 Maksudnya mereka menolak ayat-ayat Allah tanpa alasan yang datang kepada mereka,
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 437 78
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah., 473 79 Ibid., 278 80 Ibid., 480
31
çµø?yŠ uρ≡ u‘uρ ÉL ©9$# uθ èδ †Îû $ yγ ÏF ÷�t/ tã ϵš ø�Ρ ÏM s)=yñ uρ šU≡ uθ ö/F{$# ôM s9$ s%uρ |M ø‹ yδ
9s�š 4 %s$Αt Βtèy$Œs #$!« ( )ÎΡ¯µç… ‘u1nÎ’þ &rmô¡|z ΒtW÷θu#“y ( )ÎΡ¯µç… ωŸ ƒã�ø=Îxß #$9à©≈=Îϑßθχš
∩⊄⊂∪
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu”, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku Telah memperlakukan Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (QS. Yūsuf: 23)81
%s$Αt Βtèy$Œs #$!« &rβ Ρ'ù{è‹x )Îωā Βt ρuy‰ôΡt$ ΒtFt≈èyΨo$ ãÏΨ‰yνç…ÿ )ÎΡ¯$! )ÎŒ]# 9©às≈=Îϑßθχš
∩∠∪
“Berkata Yusuf”: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, Maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim". (QS. Yusuf: 79)82
Al-Qur’an menggunakan perkataan a’udz dengan berbagai bentuk, hal ini
menunjukkan arti yang sama yaitu berlindung kepada Allah dari perkara yang
tidak disukai baik yang datang dari manusia maupun yang datang dari setan dan
lain sebagainya.83 Dalam arti lain bahwa pemaknaan isti’ādzah yang sebenarnya
adalah melibatkan hati orang yang mencari keamanan untuk dirinya.
2. Asbāb al-Nuzūl Sūrah al-Falaq dan al-Nās (al-Mu’awwidzatain)
Imam al-Baihāqi meriwayatkan dalam kitab Dalā’il al-Nubuwwah dari al-
Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbās yang berkata: “Suatu ketika, Rasulullah
menderita sakit parah. Dua malaikat lantas mendatangi beliau, yang satu duduk di
arah kepada sementara yang satu lagi di arah kaki. Malaikat yang berada di
sebelah kaki lalu bertanya kepada yang di sebelah kepala, ‘Apa yang terjadi
kepadanya?’ Malaikat yang di sebelah kepala menjawab, ‘Disihir orang.’ Malaikat
yang di sebelah kaki bertanya lagi, ‘Siapa yang menyihir?’ Dijawab, ‘Labid ibnu
81 Ibid., 82 Ibid., 240 83 Arifin Omar, Rahasia Disebalik Sūrah al-Falaq., 15
32
al-A’shām, seorang Yahudi.’ Malaikat itu bertanya lagi, “Di mana diletakkan
sihirnya itu?’ Dijawab, ‘Di sebuah sumur milik si Fulan, di bawah batu. Oleh
sebab itu, hendaklah Muhammad pergi ke sumur itu kemudian keringkan airnya
lalu angkat batunya.
Setelah itu ambillah kotak yang ada di bawahnya dan bakarlah.’Pada pagi
harinya, Rasulullah mengutus Amar bin Yasīr serta beberapa sahabat untuk pergi
ke sumur tersebut. Ketika sampai, mereka melihat airnya berwarna merah
kecoklatan seperti air pacar/inai. Mereka lantas menimba airnya, mengangkat
batunya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalamnya lalu membakarnya.
Ternyata di dalamnya terdapat seutas tali yang memiliki sebelas simpul.
Selanjutnya, Allah menurunkan kedua Sūrah ini. Setiap kali Rasulullah membaca
satu ayat maka terurailah satu simpul.”84
Riwayat yang hampir sama dengan yang di atas terdapat dalam Shahīh
Bukhāri dan Shahīh Muslim, namun tanpa menyebut turunnya kedua sūrah.85
Akan tetapi, juga terdapat riwayat serupa yang disertai penyebutan turunnya
kedua sūrah.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab al-Dalā’il dari jalur Abu Ja’far al-
Rāzi dari Rabi’ bin Anas bin Malik yang berkata, “Seorang laki-laki Yahudi
membuatkan sesuatu terhadap Rasulullah sehingga beliau menderita sakit parah.
Tatkala para sahabat menjenguk, mereka meyakini bahwa Rasulullah telah
terkena sihir. Malaikat Jibril kemudian turun membawa al-Mu’awwidzatain
(Sūrah al-Falaq dan al-Nās) untuk mengobatinya. Akhirnya, Rasulullah pun
kembali sehat.”
3. Hadis tentang Isti’ādzah
Sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran maka didalam Hadis juga
disebutkan tentang isti’ādzah (memohon perlindungan) kepada Allah:
84 A.A. Dahlan (dkk), Asbāb al-Nuzūl; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-
Qur’an, (Bandung: Diponegoro, 2009), Edisi 2, 692 85 Lihat Shahih Bukhari, Kitab al-Thībb, hadis nomor 5766 dan Shahih Muslim, kitab al-
Salām, hadits nomor 2189
33
Fعن خولة بنت حكيم السلمية رضي الله عنها قالت: سمعت رسول اول: من نـزل منزلا ثم قال((أعوذ بكلمات اF صلى الله عليه وسلم يـق
التامات من شر ما خلق)) لم يضره شىء حتى يـرتحل من منزله ذلك(رواه )مسلم
“Dari Khaulah binti Hakīm al-Sulamiyyah R.A beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang singgah/menempati suatu tempat lalu dia membaca (dzikir) “ A’ūdzu bikalimātillaahi al-tāmmāti min syarri mā khalaqa“ “(Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan yang ada pada makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang akan mengganggu/membahayakannya sampai dia pergi dari tempat itu”. (HR. Muslim).86
Hadis ini termasuk dalil isti’ādzah (memohon perlindungan) adalah
termasuk ibadah besar yang semestinya hanya pantas diserahkan kepada Allah
semata dan tidak boleh ditujukan kepada makhluk apapun, maka memalingkan
ibadah ini kepada makhluk adalah termasuk perbuatan syirik besar
(menyekutukan Allah) yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
نا أL أسير مع رسول اF صلى الله عليه وعن عقبة بن عامر، قال: بـيـنا ريح، وظلمة شديدة، فجعل حفة، والأبـواء، إذ غشيـتـ وسلم بـين الج
أعوذ برب رسول اF صلى الله عليه وسلم يـتـعوذ bعوذ برب الفلق، و ، قال: »i عقبة، تـعوذ hما فما تـعوذ متـعوذ بمثلهما«الناس، ويـقول:
عته يـؤمنا hما في الصلاة وسم“Dari Uqbah Bin Amir R.A. dia berkata : ketika aku berjalan bersama Rasulullah SAW antara Juhfah dan Abwa’, tiba-tiba kami meliputi angin dan cuaca gelap sekali. Maka Rasulullah SAW memohon lindung dengan membaca “Qul a’ūdzu birabbi al-falaq” dan “Qul a’ūdzubirabbi al-nāsi”, dan bersabda : “wahai ‘Uqbah, berlindunglah kepada Allah dengan kedua Sūrah itu. Maka tak ada seseorang berlindung kepada Allah dengan (doa)
86https://almanhaj.or.id/8452-keutamaan-berzdikir-untuk-memohon-perlindungan-
Allah.html, diunduh pada tanggal 17 September 2018
34
yang menyerupai keduanya”, katanya: “dan aku mendengar beliau menjadi imam shalat dengan membaca kedua Sūrah itu.”87
Akhirnya, hanya kepada Allah kita meminta perlindungan dari segala
kesulitan yang menimpa diri kita. Hanya Allah pula lah sebaik-baik pelindung.
4. Urgensi Isti’ādzah
Segala kebaikan dan kemudahan menjadi idaman setiap manusia untuk
mendapatkannya, ketika segala keburukan dan kejahatan menjadi perkara yang
ingin dihindari oleh setiap manusia. Oleh sebab itu kata mاع�وذ ب�ا(a’ūdzu bi Allāh)
akan menolak segala keburukan baik itu rohani maupun jasmani. Dengan kata lain
bahwa seseorang yang mengucap mاعوذب�ا(A’ūdzu bi Allah) ia akan menolak tiga
keburukan, yaitu:88
1. Keburukan kejahilan yang tidak terhitung jumlahnya
2. Keburukan perbuatan jahat (fāsiq) yaitu perbuatan yang bertentangan
dengan agama
3. Keburukan perkara-pekara yang dibenci, segala penyakit dan segala
yang ditakuti.
Perasaan ingin mendapatkan kebaikan dan kemudahan sebanyak-
banyaknya dan benci terhadap keburukan dan kejahatan itulah yang manusia
untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT agar keburukan dan kejahatan
tidak akan menimpa dirinya. Apa yang diungkapkan oleh seorang muslim dalam
kalimat isti’ādzah secara khusus ditujukan untuk menghadapi setan yang tidak
Nampak wujudnya, untuk menghadapi setan yang berasal dari kalangan jin
diperintahkan untuk ber-isti’ādzah.
Sayyid Abdul Husain Dasteghib menyebutkan lima syarat isti’ādzah yaitu:
taqwā, tadzakkur (mengingat Allah), tawakkal (bersandar kepada Allah), ikhlās
(ketulusan), dan tawādhu’ (merendahkan diri). Imam Ali bin Abi Thalib dalam
Nahj al-Balaghah menyebutkan.89
87 H. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin, Terjemah Sunan Abu Daud, (Kuala
Lumpur : Victory Agencie,1993), Jilid 2, 304-305 88 Abdul Husain Dasteghib, Isti’ādzah, Terj. M. Najib dan M. Ilyas (Jakarta: al-Huda,
2000),71 89 Ibid., 41
35
Taqwa ibarat seorang penunggang kuda yang ahli dengan kuda terlatih,
kendali dan kontrolnya diarahkan dengan mudh menuju pilihannya. Tadzakkur
adalah penyandaran diri sepenuh hati bahwa dia selalu mengamati, mengawasi
dan sadar akan status hambanya dan sebagai konsekuensinya apa yang
diperintahkan Allah ia kerjakan dan apa yang dilarang dia jauhi.90
Tawakkal (berserah kepada Allah), seorang mukmin wajib tawakkal
kepada Allah SWT karena seluruh urusannya berada ditangan Allah. Tawakkal
tidak cukup hanya pada lisan saja dengan mengatakan, aku pasrahkan segala
urusanku kepada Allah, tetapi harus menjelma dalam sikap dan perilaku sehari-
hari.91
Hakikat ikhlās adalah penyucian amalan dari segala kotoran. Hati yang
ikhlas akan menampung cahaya-cahaya ilahiyyah dan dari hati tersebut akan
tersingkap hikmah dan ilmu melalui lisan, ikhlas adalah pewujudan kesempurnaan
dalam perjalannan rohani. Tawādhu’ (merendahkan diri), maksudnya merasa hina,
hanya membutuhkan Allah, meyakini keselamatan dan bermohon hanya kepada
Allah, seorang hamba yang sadar sepenuh hati tentang kekuasaan dan keagungan
Tuhan pasti ia tunduk merendahkan diri dihadapannya, ia merasa malu atas
kelemahan dan keterbatasan dirinya.92
Memohon perlindungan kepada Allah akan tercermin pada diri seseorang
yang merendahkan diri. Dengan ketidakmampuan membela diri menghadapi
musuh yang begitu kuat dan ketidakmampuan membebaskan diri dari
pengaruhnya, seseorang pasti akan memnggil tuhan yang maha kuasa lagi maha
penyayang untuk memohon perlindungannya. Manusia yang tidak berhias dengan
taqwā, tadzakkur, tawakkal, ikhlās dan tawādhū’ maka perlindungan yang
diharapkan dari Allah hanyalah angan-angan belaka.93
Orang yang bertaqwa pasti akan selalu memohon kepada Allah dengan
sepenuh hati agar jangan setan menyusup disela-sela hatinya. Orang yang tidak
bertaqwa tidak lain dari sahabat karib setan. Setan akan bertengger dipalung
90 Abdul Husain Dasteghib, Isti’adzāh., 41 91 Ibid., 75 92 Ibid., 77 93 Ibid., 35
36
hatinya. Dengan begitu apapun yang diperbuatnya tidak lain dari dorongan setan,
hal ini bertolak belakang dengan orang yang hatinya penuh ketaqwaan.
Dikarenakan selalu ber-isti’ādzah kepada Allah setan tidak akan menemukan
apapun didalam hatinya melainkan ketaqwaan.94
Isti’adzāh merupakan jalan satu-satunya bagi siapa saja yang termasuk
orang bertaqwa untuk menghindar dari jangkauan setan, setiap orang harus
berhati-hati agar jangan sampai dirinya dikuasai oleh setan. Isti’adzāh tidak boleh
ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
94 Ibid., 37
37
BAB IV
ISTI’ĀDZAH DALAM AL-TAFSĪR AL-QAYYIM KARYA IBNU QAYYIM
AL-JAUZIYYAH
A. Tafsir Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap Ayat-Ayat Isti’ādzah
1. Tafsīr al-Mu’awwidzatain
Tafsir Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap ayat-ayat isti’ādzah penulis
kutip dari kitab al-Tafsīr al-Qayyim, tafsir tersebut merupakan tafsir ayat-ayat
pilihan dan memiliki sistematika yang tidak jauh berbeda dengan tafsir al-Qur’an
yang lainnya (Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili berdasarkan
urutan sūrah). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam menafsirkan al-Qur’an selain
menjelaskan al-Qur’an dengan ayat per ayat juga berdasarkan kepada penyusunan
kitab-kitab fiqih yaitu berdasarkan pasal-pasal.95
Metode Tafsir Tahlili banyak digunakan oleh ulama-ulama mufassir
terdahulu, dan sampai sekarangpun metode ini masih dipakai. Para ulama ada
yang mengungkapkan kesemuanya itu dengan panjang lebar seperti Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah dalam menafsirkan Sūrah al-Mu’awwidzatain.
Al-Tafsīr al-Qayyim karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menerapkan
sistematika tertib mushafi yaitu suatu sistem penafsiran yang berkembang secara
umum sejak periode ketiga, ketika mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan
disiplin hadis, yaitu dengan munculnya trend menafsirkan al-Qur’an ayat demi
ayat menurut tertib susunan mushaf al-Qur’an. Tafsir ini merupakan salah satu
tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan atau disebut
dengan (Tafsīr al-Adabi wa al-Ijtima’i).96
Tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’i adalah tafsir yang coraknya menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berhubungan langsung dengan masalah
yang ada pada masyarakat berdasarkan petnjuk al-Qur’an dengan menggunakan
bahasa yang mudah digunakan dan dipahami oleh orang umum.
Menurut M. Quraish Shihab ada empat unsur yang dimiliki oleh Tafsīr al-Adabi
wa al-Ijtimā’i diantaranya: Pertama, menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-
95 M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm; Tafsir atas Sūrah-Sūrah Pendek Berdasarkan urutan Turunnya Wahyu, v
96 Ibid., vi
38
Qur’an. Kedua, menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan
susunan kandungan yang indah. Ketiga, aksentuasi yang unggul pada tujuan
utama yang diuraikannya al-Qur’an. Keempat, penafsiran ayat al-Qur’an dikaitkan
dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.97
2. Penafsiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap Al-Mu’awwidzatain.
a. Penafsiran Terhadap Sūrah al-Falaq
Sūrah al-Falaq terdiri atas lima ayat, yang mana sūrah ini termasuk
golongan Sūrah al-Makkiyah, nama al-Falaq di ambil dari kata al-Falaq yang
terdapat pada ayat pertama sūrah ini, adapun mengenai pokok-pokok isinya
mengenai perintah agar kita berlindung kepada Allah SWT dari segala macam
kejahatan.98
Kata al-Falaq yang berarti subuh adalah permulaan munculnya cahaya dan yang
mengusir pasukan kegelapan dan orang-orang yang berbuat kerusakan pada
malam hari. Sūrah al-Falaq mencakup permohonan perlindungan dari empat hal:
a. Kejahatan makhluk yang memiliki kejahatan secara umum
b. Kejahatan malam apabila telah gelap gulita
c. Kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-
buhul
d. Kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.99
Al-Mu’awwidzatain adalah doa yang diajarkan Allah kepada Nabi dan umat-Nya.
Ketika membaca qul dan lanjutannya, seseorang hendaknya dapat menghadirkan
dalam jiwanya kesan bahwa yang memerintahkannya mengucapkan permohonan
itu adalah Allah. Hal ini dapat memberikan ketenangan bagi orang yang membaca
sūrah tersebut dan akan membantu menghadapi kesulitan yang dihadapi.
Setan paling lihai memanfaatkan setiap keadaan untuk membujuk manusia
melakukan kemaksiatan. Hal pertama yang dilakukan adalah menggoda hati agar
membatalkan niat ibadah. Jika berhasil maka mereka menyiapkan perangkap yang
berikutnya dengan membuat hati ragu kepada ibadah yang dilaksanakan. Pada
97 Ibid., vii 98 Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Dīn al-Suyūthi, Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzhīm (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-A’rabiyyah, tth), 305 99 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Tafsīr al-Qayyim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 544
39
akhirnya harapan pelaku ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tidak
memperoleh apapun selain kesia-siaan, persis seperti harapan setan.
Upaya setan yang paling berbahaya, ketika tipuannya berhasil masuk
kehati manusia dan mereka bertahta dalam hati, sehingga sulit bagi pemiliknya
melepaskan diri. Hal ini merupakan sebuah kesalahan yang besar bila
menyaksikan keberadaan musuh yang begitu kuat dalam diri tanpa melakukan
perlawanan. Betapapun pahitnya, tetap harus hadapi dengan memohon
perlindungan kepada Allah SWT.
Berikut uraian tentang sūrah al-Falaq yang mencakup permohonan perlindungan
dari empat macam kejahatan:
1. Kejahatan Makhluk, Yang Memiliki Kejahatan Secara Umum.
Dalam ayat kedua Sūrah al-Falaq ini, terdapat kalimat syarr. Dalam bahasa arab,
kalimat syarr mengandung dua arti: yakni rasa sakit dan sebab-sebab yang
menyebabkan rasa sakit itu. Pengertian syarr hanya mencakup dua makna itu.
Selain dua makna itu tidak ada lagi sesuatu yang dapat dimasukkan kedalam
pengertian syarru. Maka kalimat al-Syurūr mengandung segala macam rasa sakit
dan sebab-sebab yang membuat rasa sakit itu muncul. Perbuatan maksiat yang
dilakukan oleh manusia, perilaku syirik, kufur, dan berbagai macam kedzaliman
dapat disebut dengan al-Syurūr.100
Perbuatan manusia yang merupakan sebab sesuatu yang jahat dan buruk,
meski didalamnya terdapat kelezatan disebut juga dengan ungkapan al-Syarr
karena meski sebab-sebab tersebut lezat tetapi akan menghasilkan suatu kejahatan
dan keburukan yang besar. Misalnya seseorang menyantap hidangan yang sangat
lezat namun mengandung racun maka meskipun ia menyantapnya dengan lezat,
namun sebenarnya ia melakukan pekerjaan yang membinasakan dirinya.101
Kejahatan pertama ini kejahatan yang bersifat umun didalam firman-Nya
“dari kejahatan makhluknya”. Kejahatan didalam ayat ini disandarkan kepada
makhluk yang diciptakan dan bukan kepada penciptaan Allah yang merupakan
perbuatan-Nya, karena kejahatan tidak termasuk kedalam sifat-sifat-Nya dan
100 Ibid., 544-545 101 Ibid., 545
40
pebuatan-Nya. Hal ini juga tidak layak ditujukan kepada dzat-Nya, karena dzat-
Nya memiliki kesempurnaan yang mutlak dan keagungan yang sempurna, tidak
ada aib didalamnya dan tidak ada kekurangan sekecil apapun. Begitu pula
perbuatannya yang semuanya adalah kebaikan semata tidak ada kejahatan apapun
didalamnya. Kejahatan hanya dinisbatkan kepada hamba karena kejahatan hanya
terkait dengan diri dan ulah mereka sendiri.102
2. Kejahatan Waktu Malam Apabila Telah Gelap Gulita
Banyak para mufassir mengartikannya malam hari. Menurut ibnu abbas, malam
hari apabila telah datang kegelapannya dari arah timur, yang juga termasuk segala
sesuatu yang gelap. Kegelapan didalam ayat ini merupakan masalah yang lebih
tepat untuk dimintakan perlindungan,kejahatan yang ada dalam kegelapan lebih
layak untuk memohon perlindungan daripada hawa dingin yang ada pada malam
hari, karena itu hamba memohon peindungan kepada Rabb yang menguasai subuh
dan cahaya serta dari kegelapan malam. Sebab turunnya perintah Allah untuk
berlindung dari kejahatan malam dan kejahatan rembulan apabila telah gelap
gulita, karena apabila waktu malam telah tiba maka itulah waktu munculnya roh-
roh yang jahat dan setan berkeliaran.103
Malam adalah waktu gelap yang pada saat itu setan-setan dari jenis dan manusia
sedang bekuasa, mereka tidak dapat menguasai waktu siang. Sebab siang adalah
terang dan merupakan cahaya, sementara setan hanya dapat berkuasa dalam
kegelapan.
“Diriwayatkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Musallamah al-Kadzzab, orang yang mengaku sebagai Nabi, “bagaimana sosok yang datang kepadamu?” maka dia menjawab, seperti kegelapan yang pekat. ”Sementara ketika Nabi SAW ditanya bagaimana sesuatu yang datang kepada engkau? maka beliau menjawab seperti terangnya siang hari. Dengan gambaran inilah beliau menghadirkan bukti tentang Nubuwah. Yang datang kepada beliau adalah malaikat sementara yang datang kepada Musailamah adalah syetan.”104 Karena itu kekuasaan sihir dan pengaruhnya hanya berlaku dimalam hari, sihir
pada malam hari adalah sihir yang kuat pengaruhnya karena itu hati yang gelap
102Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim : Tafsir Ayat-Ayat Pilihan., 666 103 Ibid., 674-675 104 Ibid., 677
41
merupakan tempat pangkalan setan, rumah dan tempat perlindungannya. Allah
memerintahkan agar berlindung kepada Rabb cahaya, yang menyingkirkan
kegelapan, yang memaksa dan mengalahkan pasukannya. Karena itu selalu
disebutkan dalam kitab-Nya bahwa dia mengeluarkan hamba-hamba-Nya dari
kegelapan ke cahaya dan membiarkan orang-orang kafir dalam kegelapan kufur
mereka. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 257
ª!$# ÷’ Í<uρ šÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u Οßγ ã_ Ì�÷‚ ムzÏiΒ ÏM≈yϑè=—à9$# ’ n<Î) Í‘θ –Ψ9$# ( š Ï%©!$#uρ
(# ÿρã� x�x. ãΝèδ äτ!$ uŠÏ9 ÷ρr& ßNθ äó≈ ©Ü9$# Νßγ tΡθ ã_ Ì�÷‚ ムš∅ÏiΒ Í‘θ –Ψ9$# ’ n<Î) ÏM≈ yϑè=—à9$# 3 š�Í×≈ s9 'ρé&
Ü=≈ys ô¹r& Í‘$Ψ9 $# ( öΝèδ $ pκ� Ïù šχρà$Î#≈ yz ∩⊄∈∠∪
“Allah pelindung orang-orang yang beriman, dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir pelindungnya adalah syetan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.”(QS. Al-Baqarah : 257)
3. Kejahatan Wanita-Wanita Tukang Sihir yang Menghembus pada Buhul-
Buhul.
Kejahatan ini maksudnya adalah tukang sihir wanita, karena pada umunya yang
menjadi tukang sihir adalah wanita, namun ayat ini juga mencakup tukang sihir
laki-laki dan wanita. Para wanita yang biasa menghembus pada buhul-buhul
adalah para tukang sihir yang merangkai beberapa utas tali lalu menghembus pada
masing-masing buhul tali, sehingga terbentuk sebuah rangkaian seperti yang
dikehendakinya menurut praktik sihir.105
Sihir bisa dilakukan oleh laki-laki dan wanita, lalu mengapa perlindungan ini
dikhususkan dari wanita-wanita tukang sihir tanpa menyebutkan tukang sihir laki-
laki?. Masalah ini keluar dari sebab bahwa putri-putri Labid bin al-A’sham pernah
menyihir Nabi SAW, ini merupakan jawaban yang diberikan Abu Ubaidah dan
lain-lainnya. Tapi jawaban ini tidak benar, sebab yang menyihir beliau bukanlah
105 Ibid., 680
42
putri-putrinya melainkan Labid bin al-A’sham sendiri. Hal ini disebutkan didalam
al-Shahīh.106
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa yang dimaksudkan al-Naffātsāti disini
ialah roh dan jiwa yang suka menghembus bukan para wanita yang biasa
menghembus. Sebab pengaruh sihir hanya berasal dari jiwa dan roh yang jahat.
Dengan kata lain roh yang jahat dan kekuasaannya hanya hanya muncul dari roh
dan jiwa itu, karena itulah lafadz ini disebutkan dalam bentuk muannats bukan
mudzakkar.107
Al-Naffātsāti adalah menyemburkan ludah tetapi tidak sampai berdahak. Ia
merupakan perbuatan tukang sihir jika tukang sihir punya niat jahat pada
seseorang, maka ia akan meminta bantuan kepada arwah jahat dan menyemburkan
ludah pada buhul tali. Menurut al-Baghawī, ada yang berpendapat bahwa sihir itu
dilakukan melalui tusukan jarum. Lalu Allah menurunkan dua sūrah al-
Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nās), setiap kali beliau membaca satu ayat,
maka satu buhul terlepas hingga semua buhul terlepas.108
4. Kejahatan Orang yang Dengki Apabila Ia Dengki.
Al-Qur’an dan al-Sunnah sudah menunjukkan bahwa kedengkian orang yang
mendengki itu sendiri sudah dapat mengganggu orang yang didengki. Orang yang
mendengki tidak dapat disebut mendengki kecuali jika dia dapat melampiaskan
kedengkiannya.109
Asal makna dengki ialah tidak menyukai nikmat Allah yang diterima orang yang
didengki dan berharap kehilangannya. Orang yang mendengki merupakan musuh
nikmat,kejahatan ini berasal dari jiwa dan tabi’atnya, bukan merupakansesuatu
yang dicari dari selain itu, bahkan hal itu muncul dari kejahatan tabi’at dan
jiwanya, berbeda dengan sihir yang terjadi dengan mencari dari sesuatu yang lain
dan meminta pertolongan kepada roh-roh setan.110
106 Ibid., 680 107 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim., 563-564 108 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsīr Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan., 684 109 Ibid., 691 110 Ibid., 691
43
Firman Allah yang mengikat kejahatan orang yang dengki “apabila ia dengki”,
sebab adakalanya seseorang menyimpan kedengkian tetapi dia hanya
menyembunyikan kedengkian dan tidak berkeinginan menampakkan gangguan,
entah dengan hatinya, lisannya maupun tangannya. Orang yang mendengki
merupakan wakil dan pengganti setan, keduanya merupakan musuh nikmat Allah
yang bermaksud menyingkirkan nikmat itu dari hamba-hamba-Nya.
Kejahatan orang yang dengki dapat ditolak dan disingkirkan dari orang yang
didengki dengan sepuluh cara:
1. Berlindung kepada Allah dari kejahatannya dan kembali kepadanya,111
inilah yang dimaksudkan dari sūrah ini. Allah maha mendengar
permohonan perlindungan yang disampaikan hambanya dan mengetahui
dengan apa yang dimintakan perlindungan darinya.
2. Takwa kepada Allah, memperhatikan perintah dan larangannya.112 Siapa
yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan dan tidak
menyerahkannya kepada yang lain.
3. Sabar dalam menghadapi musuhnya, tidak boleh merasa tersiksa dan
mengeluh karenanya serta tidak perlu merasakan gangguannya. Tidak ada
yang dapat memberi pertolongan dalam menghadapi orang yang dengki
dan musuh seperti halnya kesabaran dan tawakal kepada Allah serta tidak
merasa gerah karena pertolongannya.
4. Tawakkal kepada Allah.113 Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka
Allah cukup sebagai pelindungnya . Tawakal merupakan sebab yang
paling kuat untuk menolak gangguan manusia yang terasa terlalu berat
atau menolak kedzaliman dan kejahatan mereka. Jika bertawakkal maka
Allah akan menjadi pelindung.
5. Membebaskan hati untuk tidak memikirkan dan menghapus segala ingatan
tentang kejahatan orang yang dengki, tidak perlu mmperhatikan,
menengok kearahnya, tidak perlu takut, tidak membayangi pikiran dengan
111 Ibid., 704 112 Ibid., 705 113 Ibid., 706
44
keadaannya.114 Hal ini merupakan penawar yang mujarab dan sebab amat
kuat untuk menolak kejahatan.
6. Menghadap kepada Allah, ikhlas karenanya menjadikan cinta dan
keridhaan hanya kepada Allah, menanamkannya didalam relung hati,
menjadikn angan-angannya mencari didalamnya seperti satu unsur dengan
unsur yang lainnya hingga akhirnya terhimpun menjadi satu.115 Dengan
begitu seluruh perasaan, angan-angan dan pemikiran ada dalam kecintaan
kepada Allah, kedekatan dan keridhaan kepadanya yang senantiasa
tergugah untuk mengingatnya.
7. Memurnikan taubat kepada Allah dari berbagai dosa akibat kekuasaan
musuh terhadap dirinya. Tidak ada sebab yang membuat seseorang
diganggu orang lain melainkan dosa yang dilakukannya baik yang
diketahui maupun yang tidak diketahui. Kebutuhan hamba memohon
ampunan atas dosa-dosa yang tidak diketahuinya lebih banyak daripada
dosa-dosa yang diketahuinya.116
Diantara tanda-tanda kebahagiaan hamba ialah jika dia memusatkan pikiran dan
pandangan kepada dirinya sendiri, dosa dan aibnya. Sehingga kemudian dia hanya
sibuk dengan perbaikan dan taubat, didalam hatinya tidak ada tempat untuk
memikirkan apa yang menyusupinya. Dia hanya sibuk dengan aib dan taubatnya,
kemudian Allahlah yang akan menolong dan menjaganya.
8. Memberikan shadāqah dan melakukan kebajikan menurut kesanggupan,
karena hal ini memberikan pengaruh yang amat mengagumkan untuk
menolak gangguan, menghadang pandangan mata dan kejahatan orang
yang dengki.117 Orang yang berbuat kebajikan dan suka mengeluarkan
shadāqah berada dalam perlindungan kebajikan dan shadaqahnya, dia
mendapat penjagaan yang kuat dari Allah. Secara umum dapat dikatakan
bahwa syukur merupakan penjaga bagi nikmat dari segala sebab yang akan
mengenyahkannya.
114 Ibid., 707 115 Ibid., 708 116 Ibid., 709 117 Ibid., 710
45
9. Ini termasuk sebab yang amat berat bagi jiwa dan sulit, yang tidak dapat
dipikul kecuali orang yang memiliki kedudukan khusus disisi Allah, yaitu
memadamkan api orang yang dengki dan berbuat aniaya kepadanya
dengan cara berbuat baik kepadanya. Selagi kedengkian, aniaya dan
kedzaliman yang dilancarkan kepadanya semakin hebat, maka kebaikan
yang diberikan juga semakin banyak.118
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika ada kerabat yang
mengadu kepadanya padahal orang itu selalu berbuat baik kepada mereka,
tapi mereka justru berbuat jahat kepadanya, maka beliau bersabda Allah
senantiasa akan menjadi penolongmu selagi engkau berada dalam keadaan
itu.119
10. Ini merupakan cara yang menghimpun semua cara di atas dan merupakan
inti dari seluruh sebab yang ada, yaitu memurnnikan tauhid.120 Jika hamba
memurnikan tauhid maka dihatinya keluar ketakutan kepada selainnya.
Musuhnya terlalu remeh untuk ditakuti jika dibandingkan dengan
ketakutannya kepada allah. Tauhid adalah benteng Allah yang paling besar
yang siapapun masuk kedalamnya, maka dia termasuk orang-orang yang
aman. Sebagian salaf berkata “siapa yang takut kepada Allah, maka segala
sesuatu takut kepadanya dan siapa yang tidak takut kepada Allah maka dia
dibuat takut oleh segala sesuatu.
Didalam sūrah ini digabungkan antara kejahatan orang yang dengki dan kejahatan
tukang sihir, sebab permohonan pelindungan dari kejahatan dua orang ini sudah
mencakup seluruh kejahatan yang berasal dari setan jenis dan manusia. Dengki
berasal dari kejahatan manusia sedangkan sihir berasal dari keduanya.
b. Sūrah al-Nās
118 Ibid., 711 119 Ibid., 712 120 Ibid., 713
46
ö≅è% èŒθããr& Éb>t� Î/ Ĩ$ ¨Ψ9 $# ∩⊇∪ Å7Î=tΒ Ä¨$ ¨Ψ9 $# ∩⊄∪ ϵ≈ s9 Î) Ĩ$ ¨Ψ9 $# ∩⊂∪ ÏΒ Ìh� x©
Ĩ# uθ ó™uθ ø9 $# Ĩ$ ¨Ψsƒø: $# ∩⊆∪ “Ï% ©!$# â Èθ ó™uθ ム† Îû Í‘ρ߉߹ ÄZ$Ψ9 $# ∩∈∪ zÏΒ
ÏπΨÉf ø9 $# Ĩ$ ¨Ψ9 $#uρ ∩∉∪
“Katakanlah:” "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. (QS. Al-Nās: 1-6) Sūrah ini mencakup permohonan perlindungan, yang dimintai perlindungan dan
apa yang dimintakan perlindungan. Yang dimintai perlindungan adalah Rabb
manusia, Malik manusia dan Ilāh manusia.121
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kesempurnaan aqīdah yang terdapat pada
ayat-ayat tersebut karena adanya penyebutan secara jelas mengenai tauhid
Rubūbiyyah, Mulkiyyah dan Uluhiyyah. Ketiga bentuk tersebut dipaparkan dalam
sūrah an-Nās dalam bentuk idhāfat (kata majemuk) yang disandarkan pada kata
al-Nās (manusia)
llāh menyebutkan Rubūbiyyah-Nya kepada manusia, Mulkiyyah dan
Uluhiyyah-Nya, yang tentunya ada singkronisasi dalam penyebutan permohonan
perlindungan dari setan. Pertama-tama Allah menyebutkan makna penggabungan
tiga hal ini, kemudian menyebutkan sisi kesesuaiannya dengan permohonan
perlindungan ini.
Bentuk idhāfat yang pertama adalah idhafat rubūbiyah (رب الناس) kalimat
tersebut mengandung makna tuhan bagi manusia yang mencakup hak manusia,
pengaturan, pemberian kemaslahatan, penyingkiran kejahatan dan penjagaan diri
mereka dari hal-hal yang merusak. Inilah makna rububiyah Allah bagi mereka.
Hal ini mengharuskan cakupan kekuasaanya secara sempurna, rahmatnya yang
luas, kemurahannya, ilmunya tentang keadaan mereka secara mendetail,
pemenuhan doa mereka dan pengangkat malapetaka terhadap seluruh manusia.122
121 Ibid ., 717 122 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim., 596
47
Bentuk idhāfat yang kedua adalah idhāfat mulkiyyah atau kekuasaan yang
terkandung dalam ayat (Maliki al-Nāsi). Bentuk kalimat ini memiliki makna
bahwa Allah adalah raja manusia, Allah dapat berbuat apapun terhadap manusia
menurut kehendaknya, karena manusia adalah hamba dan milik-Nya. Allah
memiliki kekuasaan secara mutlak terhadap manusia, karena hanya dia yang
merupakan raja secara hakiki.123
Oleh Karena itu sudah seharusnya manusia mengembalikan segala urusannya
kepada Allah SWT pada saat susah dan tertimpa malapetaka. Karena Allah
merupakan raja manusia yang telah menetapkan aturan-Nya dn manusia tidak
memiliki daya dan kuasa apapun tanpa adanya pemberian dari Allah. Hal inilah
yang mengharuskan manusia menyerahkan perlindungan hanya kepada Allah sang
raja dari gangguan dan serangan musuh utama manusia yaitu setan.
Bentuk idhafat yang ketiga adalah idhāfat uluhiyyah yang terkandung dalam ayat
(ilāhi al-Nāsi) bahwa dia adalah Ilāh, sesembahan yang tiada Ilāh bagi mereka
melainkan dia semata. Bentuk kalimat tersebut memiliki makna bahwa Allah
merupakan sembahan manusia yang hakiki, karena tiada yang berhak disembah
melainkan Allah semata.124
Karena Allah satu-satunya Rabb, Malik dan Ilāh kita, maka tidak ada tempat
mengadu selain kepada-Nya pada saat kita sulit, tidak ada tempat kembali kepada
kita kecuali kepadanya, tidak ada sesembahan bagi kita selainnya, maka selain
Allah tidak boleh dimintai doa, ditakuti, diharapkan, dicintai dan ditunduki.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tiga bentuk idhāfat pada sūrah al-Nās Rabb,
Malik dan Ilāh manusia, mencakup seluruh kaidah iman dan makna-makna al-
Asmā’ al-Husna. Kata Rabb mengandung makna al-Qādir (yakni Dzat yang maha
berkuasa), al-Khāliq (maha pencipta), al-Bāri’ (yang membentuk), al-Mushawwir
(yang melukiskan), al-Hay (maha hidup), al-Qayyum (yang terus menerus
mengatur makhluk), al-‘Ālim (maha mengetahui), al-Sāmi’ (maha mendengar), al-
Bashīr (maha melihat), al-Muhsin (yang berbuat kebaikan), al-Mun’im (yang
memberi kenikmatan), al-Jawwad (maha dermawan), al-Mu’thi (maha memberi),
123 Ibid., 596-597 124 Ibid., 597
48
al-Māni’ (maha mencegah), al-Dhar (yang memberi mudharat), al-Nāfi’ (yang
memberi manfaat), al-Muqaddim (yang mendahulukan), al-Muakhkhir (yang
mengakhirkan), Alladzī Yudhil wa Yahdī Man Yasā’ (yang membahagiakan dan
mencelakakan kepada yang dikehendakinya), Alladzi Yu’idz wa Yudzil man Yasyā
(yang memuliakan dan menghinakan siapa saja yang dikehendakinya), dan segala
makna yang terkait dengan aspek rububiyyah dan termasuk dalam al-Asma’ al-
Husna.125
Adapun arti al-Malik adalah yang memerintahkan dan melarang, yang
meninggikan dan menghinakan, yang menangani seluruh perkara hamba-hamba-
Nya sebagaimana mestinya. Dia membaliknya sebagaimana yang Dia kehendaki.
Kata al-Malik mengandung makna al-Amīr (yang memerintah), al-Nahī (yang
melarang), al-‘Adl (maha adil), al-‘Adzīm (maha agung), al-Mājid (yang memiliki
kemuliaan), Malik al-Mulk (raja segala raja) dan lain sebagainya yang kembali
kepada sifat ini.126
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kata Ilah menghimpun segala sifat
kesempurnaan dan keagungan, termasuk al-Asma’ al-Husna, pendapatnya
tersebut sesuai dengan pendapat Sibawaih (ulama nahwu) dan mayoritas ulama
nahwu yang lainnya.127
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa sūrah al-Nās mencakup
permohonan perlindungan dari syarr (kejahatan) yang menjadi sebab seluruh dosa
dan kedurhakaan yaitu syirik yang menyusup kedalam diri manusia, yang juga
menjadi sumber hukuman didunia dan diakhirat. Sūrah al-Falaq mengandung
permohonan perlindungan dari kejahatan yang berasal dari luar diri manusia,
sedangkan sūrah al-Nas mengandung permohonan perlindungan dari kejahatan
yang berasal dari dalam diri manusia.128
Berdasarkan hal tersebut, kejahatan yang terdapat daam sūrah al-Falaq tidak
dikenai taklīf (pembebanan hukum), karena bukan berasal dari diri sendiri dan
tidak dituntut untuk menghetikannya, sedangkan kejahatan yang terdapat dalam
125 Ibid., 598-599 126 Ibid., 599 127 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan., 720 128 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim., 599
49
sūrah al-Nās termasuk dalam pembebanan taklīf dan dilarang untuk
mengerjakannya.
Adapun mengenai kata al-Waswās pada ayat keempat merupakan bentuk
fa’lāl dari lafadz waswasa. Asal makna al-waswasa ialah gerakan atau suara yang
amat lirih dan hampir tidak ditangkap indera, sehingga perlu ekstra perhatian
kepadanya. Al-waswās artinya penyusupan secara sembunyi-sembunyi kedalam
jiwa, entah dengan suara lirih yang hampir tidak didengar, atau tanpa suara seperti
bisikan syetan kepada hamba.129
Makna waswās adalah memasukkan gerakan atau suara yang sangat halus
dan sukar untuk dirasakan kedalam jiwa, sehingga tidak ada seorangpun yang
mendengarnya kecuali orang yang dimasuki gerakan atau suara tersebut,
sebagaimana setan berusaha membisikkan kedalam jiwa manusia, oleh karena itu
waswās tersebut berusaha untuk dihindari.
Al-Khannās merupakan bentuk fa’āl dari Khanasa Yakhnisu yang berarti
bersembuyi. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Khannās ialah yang
memperdayakan, mengganggu, yang pergi dan datang ketika seseorang berdzikir
kepada Allah SWT, dia adalah setan. Tapi tiap kali nama Allah disebutkan tentu
ia akan bersembunyi dan menyingkir, penyebutan nama Allah membuat syetan
ketakutan dan tersiksa seperti cambuk yang dilecutkan kepadanya. Karena itu
setan menjadi tidak berdaya dan lemah jika berhadapan dengan orang mukmin
yang ta’at kepada Allah dan senantiasa menyebut Asma-Nya.130
Kata waswās dan khannās menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah kata
sifat dan bukan mashdar. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa kata waswās
dan khannās merupakan dua sifat yang dimiliki oleh setan.131 Setelah menjelaskan
dua sifat setan yakni (Waswās dan Khannās) yang terdapat dalam Sūrah al-Nās,
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan pula sifat setan yang ketiga terdapat pada
ayat kelima dalam sūrah al-Nas yaitu yang membisikkan kejahatan kedalam dada
manusia (Alladzī Yuwaswisu fī Sudūri al-nāsi).
129 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat pilihan., 721 130 Ibid., 725-726 131 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim., 605
50
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa pada ayat tersebut Allah
menggunakan kata shudūr (dada) bukannya qalb (hati), karena dada merupakan
ruangan yang menampung hati dan rumahnya. Segala informasi masuk dan
dikumpulkan didalam dada, lalu diteruskan ke hati. Dada bagaikan pintu masuk
dan rumah bagi hati.132
Selanjutnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa setan yang
membisikkan kepada manusia terbagi kepada dua macam yakni jin dan manusia
(Minal jinnati wa al-nās). Adapun waswās yang datang dari jin adalah hal yang
nyata, sebab ia mengalir di aliran darah manusia. Adapun waswās yang datang
dari manusia yaitu dengan membisikkan sesuatu kepada orang lain suatu
kejahatan sehingga orang itu menerima kejahatan tersebut.133
Setan membisikkan kepada manusia hal-hal yang bathil dan manusia juga
membisikkan kebatilan yang sama kepada orang lain. Jadi setan-setan dari
golongan jin dan manusia saling bersekutu dalam pembisikan setan. Ayat ini
menunjukkan permohonan perlindungan kepada Allah dari kejahatan dan dua
jenis setan yaitu setan manusia dan setan jin.134
c. Dasar Isti’ādzah
Sūrah al-Falaq dan al-Nās mencakup tiga dasar isti’ādzah yaitu:
Isti’ādzah itu sendiri (نفس الاستعاذة/nafsul isti’ādzah), Yang dimintai perlindungan
المستعاذ ) Sesuatu yang dimintakan pelindungan ,(al-Musta’ādz bihi /المستعاذ به)
al-Musta’ādz minhu).135/منه
Dengan mengetahui tiga hal ini maka bisa diketahui seberapa jauh
kebutuhan terhadap dua Sūrah ini. Berikut uraian tentang tiga hal tersebut.
1. Isti’ādzah, sebagaimana telah dibahas pada bab yang terdahulu.
2. Yang dimintai perlindungan (al-Musta’ādz bih)
Yang dimintai perlindungan atau al-Musta’ādz adalah Allah semata, Rabb
manusia, Malik manusia, Ilah manusia. Maka tidak sepantasnya memohon
132 Ibid., 614 133 Ibid., 619 134 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan., 740 135 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim., 537-538
51
perlindungan kepada selainnya dan tidak seorangpun yang diantara makhluk-
makhluknya yang layak dimintai perlindungan.136
Permohonan perlindungan didalam dua Sūrah ini menggunakan Rabb,
Malik,dan Ilah. Rubūbiyyah disebutkan dalam dua Sūrah ini yang dikaitkan
dengan al-Falaq, waktu subuh dan juga dikaitkan dengan kepada al-Nās
(manusia). Maka sudah semestinya jika apa yang disifatkan kepada diri-Nya disini
sesuai dengan pemohonan perlindungan yang dimintakan, dan mengharuskan
penolakan kejahatan.
3. Sesuatu yang dimintakan perlindungan
Berbagai jenis kejahatan yang dimintakan perlindungan didalam dua surat ini,
kejahatan manusia tidak lepas dari dua macam.137
a) Dosa yang dilakukan sendiri dan mengakibatkan siksaan baginya. Hal
tersebut terjadi karena perbuatan, usaha dan maksudnya sendiri.
Kejahatan inilah yang disebut dosa dengan segala resikonya. Ini
merupakan kejahatan yang lebih besar dan kekal serta lebih lama
kaitannya dengan pelakunya.
b) Kejahatan yang datang dari orang lain, entah itu dari orang yang
mukallaf (seseorang yang dalam dirinya terdapat syarat-syarat untuk
terkena ketentuan syari’at), seorang mukallaf dianggap jika ia telah
baligh, berakal sempurna dan mengerjakan sesuatu sesuai dengan
kehendaknya sendiri, maupun bukan mukallaf (makhluk Allah yang
tidak terkena ketentuan-ketentuan hukum syari’at) seperti binatang
buas. Dua surat ini mencakup permohonan pelindungan dari semua
kejahatan.
d. Cara Melindungi Diri dari Setan
Sūrah al-Falaq dan Sūrah al-Nās (al-Mu’awwidzatain) membahas kaidah yang
amat besar manfaatnya yaitu dengan apa seorang hamba melindungi diri dari
setan, menolak kejahatan dan mewaspadainya? Ada 10 cara untuk mengatasi hal
tersebut, yaitu:
136 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan., 657 137 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsīr al-Qayyim., 543-544
52
1. Memohon perlindungan kepada Allah dari setan, sebagaimana Firman
Allah SWT dalam QS. Fushilat Ayat 36.138
$ ¨ΒÎ)uρ š�Ζxîu”∴tƒ z ÏΒ Ç≈sÜ ø‹¤±9 $# Øø ÷“tΡ õ‹ÏètGó™$$ sù «!$$ Î/ 4 … çµΡÎ) ìì‹Ïϑy™ íΟŠÎ=tæ ∩⊄⊃⊃∪
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushilat : 36)139
2. Membaca dua sūrah ini, yakni al-Falaq dan al-Nās, karena keduanya
memiliki pengaruh yang amat mengagumkan dan perlindungan kepada
Allah dari kejahatan setan, untuk menolak dan memelihara diri dari
gangguannya. Karena itu Nabi SAW bersabda tidaklah orang-orang
yang memohon perlindungan seperti memohon perlindungan dengan
dua Sūrah ini.140
3. Membaca ayat Qursi, ayat Qursi dapat digunakan untuk
menghindarkan diri dari setan, bahwa orang yang membacanya akan
terhindar dari setan.
4. Membaca sūrah al-Baqarah. Didalam al-Shahīh disebutkan dari hadis
Sahl bin Abdullah, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
“Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya rumah yang dibacakan sūrah al-Baqarah tidak akan dimasuki setan.”141
5. Membaca penutup sūrah al-Baqarah. Telah disebutkan didalam al-
Shahih dari hadis Abu Mas’ud al-Anshary dia berkata, Rasulullah
SAW bersabda. Didalam riwayat al-Tirmidzi disebutkan dari al-
Nu’man bin Basyir, dari Nabi SAW beliau bersabda:
“Sesungguhnya semenjak dua ribu tahun sebelum menciptakan makhluk, Allah telah menulis kitab dan menurunkan bersamanya dua
138 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tafsīr Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan., 741 139
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwīd dan Terjemah., 480 140 Ibid., 742 141 Ibid., 743
53
ayat untuk menutup sūrah al-Baqarah. Tidaklah dua ayat ini dibaca disuatu tempat tinggal tiga malam, lalu setan mendekatinya.”142
6. Awal Sūrah al-Mu’mīn hingga ayat ketiga beserta ayat Qursī. Didalam
riwayat al-Tirmidzy disebutkan dari Hadis Abdurrahman bin Abu
Bakar dari Abi Usamah dari Abi Hurairah, dia berkata Rasulullah
SAW bersabda:
“Siapa yang membaca hāmīm Sūrah al-Mu’min hingga Ilaihi al-Mashīr dan ayat kursī pada pagi hari maka dengan keduanya dia terjaga hingga petang hari, dan siapa yang membaca keduanya pada petang hari maka dengan keduanya dia akan terjaga hingga pagi hari.”143
7. Membaca lā ilāha illallāh wahdahu lā syarīkalahu, lahul mulk wa
lahul wamdu wahua ‘alā kulli syai’in qadīr sebanyak seratus kali.
Didalam al-Shahīhain disebutkan dari Hadis Suma, pembantu Abu
Bakar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda
bahwa siapa yang membaca kalimat itu sebanyak seratus kali dalam
sehari, maka seakan dia memiliki sepuluh budak dan ditetapkan
baginya seatus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan dan dia
memiliki benteng pertahanan dari setan pada hari itu hingga petang
hari. Hal ini merupakan benteng pertahanan yang sangat ampuh dan
sekaligus amat mudah bagi orang yang memang diberikan kemudahan
oleh Allah.144
8. Cara yang paling bermanfaat untuk berlindung dari setan yaitu banyak
mengingat Allah. Seorang hamba tidak dapat melindungi dirinya dari
setan kecuali dengan dzikir kepada Allah SWT, jika seorang hamba
lalai menyebut asma Allah maka dia kembali membisikkan kedalam
hati dan ini merupakan sumber segala kejahatan. Maka tidak ada
senjata lebih efektif yang dapat dijadikan perlindungan oleh hamba
selain dzikir.
142 Ibid., 743 143 Ibid., 744 144 Ibid., 744
54
9. Wudhu dan shalat, juga termasuk perlindungan yang paling besar,
apalagi jika muncul amarah dan syahwat yang memuncak, tidak ada
cara untuk memadamkan amarah dan syahwat melainkan dengan
wudhu dan shalat, amarah adalah api dan wudhu adalah cara
memadamkannya. Jika shalat dilakukan secara khusyu’ dan
menghadap Allah, tentu mampu menyingkirkan semua itu.145
10. Menahan dari kelebihan dari apa yang dibutuhkan dalam masalah
pandangan, perkataan, makanan, dan bergaul dengan manusia. Karena
setan dapat menguasai hamba dan berhasil melancarkan aksinya lewat
pintu ini.146
B. Konteksualisasi al-Tafsīr al-Qayyim Karya Ibnu Qayyim Al-jauziyyah
terhadap Al-Mu’awwidzatain
Pada Sūrah al-Falaq Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa
kejahatan manusia yang terdapat pada Sūrah tersebut adalah dari kejahatan (syarr)
orang-orang yang melakukan sihir (al-Nafātsāti Fi al-‘Uqad) dan orang-orang
yang dengki (Hāsidin Idzā Hasad), selain itu setiap ciptaan Allah (Mā Khalaq)
memiliki potensi kejahatan pada dirinya, termasuk manusia. Adapun waktu yang
tepat bagi manusia untk melakukan kejahatannya adalah pada waktu malam hari.
(Ghīsiqin Idzā waqab).
Semua bentuk kejahatan manusia tersebut meupakan bentuk kejahatan
eksternal, karena berasal dari luar diri orang yang terkena kejahatan, Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah menyebut kejahatan ini sebagai kejahatan yang tidak dikenai beban
(taklīf), sehingga orang yang ditimpa kejahatan tidak boleh membalas kejahatan
tersebut kepada orang yang telah melakukannya tetapi cukup dengan bersabar dan
memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Selain kejahatan yang diakibatkan oleh faktor eksternal manusia juga
ditimpa kejahatan yang diakibatkan oleh faktor internal yaitu kejahatan bisikan
waswās dan khannās yang dihembuskan kedalam dada manusia. Meskipun
kejahatan tersebut berasal dari luar diri manusia tetapi dampak dari bisikan
145 Ibid., 746 146 Ibid., 747
55
kejahatan tersebut adalah perbuatan manusia itu sendiri, sehingga dikenai taklīf
dan dapat dijatuhi hukuman terhadap orang yang melakukan apa yang telah
dibisikkan oleh setan tersebut.
Kejahatan-kejahatan yang tidak terlihat dan hanya dirasakan oleh
penderita kejahatan dapat berbentuk apa saja yng bersifat kejahatan fikiran.
Kejahatan fikiran yang dimaksud adalah seperti informasi-informasi yang
menyesatkan dan mengajak kepada kemaksiatan.
Kedua konteks Sūrah al-Mu’awwidzatain dapat terjadi dalam suatu
kejadian tertentu. Contoh dari hal tersebut adalah dari kedengkian (Hasad) orang-
orang kafir terhadap umat Islam dan mereka berpotensi untuk melakukan
kejahatan tersebut (Syarri Mā Khalaq). Mereka menayangkan tayangan-tayangan
yang merusak aqidah umat islam diwaktu malam hari (Ghāsiqin Idzā Waqab)
tayangan tersebut merupakan bentuk lain dari bisikan-bisikan mereka secara halus
yang hanya dirasakan oleh individu yang menontonnya saja (waswās)dan
tayangan tersebut ditampung didalam hati (Alladzī Yuwaswisu fī Sudūri al-Nāsi),
tayangan tersebut diputar berulang-ulang (Khannās).
Kejahatan manusia sangat beragam macamnya dan merupakan upaya
untuk menjerumuskan manusia lainnya kedalam kesesatan dan menjadi pengikut
setan, Allah telah menjelaskan bahwa setan adalah musuh manusia yang nyata.
Selain itu setan telah berjanji atas nama Allah bahwa ia akan terus mencari
pengikut-pengikutnya dari kalangan manusia untuk menjadi temannya dineraka
sampai hari kiamat.147
Bentuk-bentuk kejahatan yang terdapat pada kedua surah al-
Muawwidzatain (Sūrah al-Falaq dan al-Nās) tersebut dapat pula dilakukan oleh
setan yang berupa jin. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah bahwa jin juga melakukan potensi untuk melakukan kejahatan (Syarri
mā khalaq) selain itu jin biasanya keluar dimalam hari (ghāsiqin idzā waqab), dan
jin membantu manusia melaksanakan aktifitas sihirnya (al-Naffātsāti fi al-‘Uqad).
Bahkan jin pun memiliki rasa dengki terhadap manusia yang didasari oleh
147 Muh. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Setan Versus Manusia: Pertarungan Setan dan Anak
Manusia, Terj. Utbah Romim Suhaily, (Jakarta: Studio Press: 1996), cet-1, 93-94
56
kesombongannya, karena keinginannya untuk menjadi mulia tidak tercapai seperti
manusia.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa kerjasama antara jin dan
manusia dalam melakukan aktivitas sihir merupakan tindakan yang sangat
berbahaya, bukan hanya terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya. Orang
yang tertimpa sihir akan mengalami musibah, tetapi orang yang melakukan
kerjasama dengan jin justru telah menyekutukan Allah, oleh karena itu jin
sangatlah senang apabila ada orang yang bersedia bekerjasama dengannya
termasuk dalam aktivitas sihir.
Kejahatan jin yang lainnya adalah (waswās) yang dilakukan secara terus
menerus tanpa henti (khannās), pada saat seseorang yang dibisikkan jin tersebut
ingat Allah maka jin tersebut akan lari darinya, namun sebaliknya jika orang
tersebut lupa dengan Allah maka jin akan datang secara cepat untuk membisikkan
berbagai kejahatan kedalam dada manusia. Setan telah bersumpah atas nama
Allah bahwa ia akan terus menggoda manusia hingga hari kiamat, kecuali orang-
orang yang ikhlas berserah diri pada Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam
QS. Shād Ayat 82:
tΑ$ s% y7 Ï?“ Ïè Î6 sù öΝßγ ¨Ζtƒ Èθ øî_{ tÏèuΗød r& ∩∇⊄∪
“Iblis menjawab”: "Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS. Shād: 82).148
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa inti dari isti’ādzah adalah
tauhid, karena hanya menyerahkan permasalahan ganggun setan kepada allah
semata, sebagai Rabb al-Falaq, Rabb al-Nās, Malik al-Nās, Ilāhi al-Nās, oleh
karena itu isti’ādzah dihukum wajib karena dua hal; yang pertama, sebagai
pemantapan tauhid bahwa hanya Allah yang berhak menjadi pelindung karena
nama dan sifat-sifat-Nya. Kedua, sebagai upaya memohon perlindungan dari
gangguan setan, karena setan pasti akan mengganggu manusia dalam berbagai
bentuknya. Dan gangguan tersebut hanya dapat diatasi dengan memohon
perlindungan kepada Allah SWT.
148
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah.,457
57
Manusia diharuskan untuk ber-isti’ādzah kepada Allah selain karena
adanya gangguan setan juga agar dirinya tidak menjadi setan, karena setiap
individu manusia berpotensi untuk menjadi setan dan menjalankan perbuatan
kejahatan sebagai aktivitas setan. Isti’ādzah merupakan upaya untuk melindungi
diri dari gangguan setan baik yang berupa jin maupun yang berupa manusia. Inti
dari isti’ādzah kepada Allah adalah mengingat dan beribadah kepada Allah SWT
sebagai perwujudan tauhid, serta menjaga diri sendiri untuk tidak menjadi setan.
Setan akan semakin kuat apabila ia sangat diperhatikan dan diawasi, setan hanya
akan melemahkan godaannya, bahkan bisa hilang hanya pada orang yang
mengingat Allah SWT dan memohon perlindungan-Nya. Mengenai hal tersebut
sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah QS. Al-A’rāf ayat 27
û Í_t6≈ tƒ tΠ yŠ# u Ÿω ãΝà6 ¨Ψt⊥ÏF ø�tƒ ß≈ sÜø‹ ¤±9$# !$ yϑx. ylt� ÷zr& Νä3÷ƒ uθ t/r& zÏiΒ ÏπΖyf ø9 $# äí Í”∴tƒ
$ yϑåκ÷]tã $yϑåκyP$ t7 Ï9 $ yϑßγ tƒ Î�ã�Ï9 !$ yϑÍκÌE≡ u öθ y™ 3 … çµΡÎ) öΝä31 t� tƒ uθ èδ …çµ è=‹Î6 s%uρ ô ÏΒ ß]ø‹ ym Ÿω
öΝåκtΞ÷ρt� s? 3 $ ¯ΡÎ) $uΖù=yèy_ tÏÜ≈ uŠ¤±9 $# u !$ u‹Ï9 ÷ρr& t Ï%©#Ï9 Ÿω tβθ ãΖÏΒ ÷σム∩⊄∠∪ “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al-A’rāf: 27)149
Firman Allah SWT mengenai hal tersebut juga dinyatakan oleh Ali bin
Abi Thalib dalam ungkapannya.150
ذكر الله دعامة الايمان وعصامة من الشيطان“Ingat kepada Allah adalah pilar keimanan dan penjagaan dari setan”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, perlindungan diri manusia terdiri dari
dua hal, yaitu isti’ādzah dari gangguan setan secara eksternal (gangguan sihir,
149 Ibid., 157 150 Ali Umar al-Habsyi, Benarkah Nabi Muhammad Pernah Tersihir, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003), Cet-1, 141
58
dengki, bisikan yang intens dalam dada manusia), dan isti’ādzah dari gangguan
setan secara internal (upaya setan untuk menjadikan diri sebagai setan). Oleh
karena itu, penulis berpendapat bahwa aktivitas ruqyah151 yang banyak
diinformasikan oleh berbagai media hanya tepat bagi para penderita gangguan
sihir. Namun inti dari keseluruhan aktivitas tersebut bukanlah pembebasan diri
dari gangguan sihir belaka, tetapi penanaman tauhid secara mantap dalam hati,
sehingga memiliki keyakinan permohonan perlindungan (isti’ādzah) hanyalah
kepada Allah SWT, melalui sarana dzikir kepada Allah yang berawal dari
pemahaman sūrah al-Mu’awwidzatain sekaligus upaya menyelamatkan diri dari
menjadi setan.Selain itu, konteks isti’ādzah sebagai bentuk perwujudan tauhid
Rubūbiyyah, Mulkiyyah dan Uluhiyyah dalam kehidupan sehari-hari terlihat dalam
bentuk akhlak. Kepercayaan yang mantap kepada Allah melalui tauhid tersebut
akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan
manusia, sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu akan tertuju
semata-mata kepada Allah SWT, berdasarkan hal tersebut, tauhid akan
mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas dan memasrahkan diri kepada
Allah SWT.
Ketiga bentuk idhāfat tersebut meniscayakan al-Asmā al-Husna yang
terkandung didalamnya tidak cukup dihafal saja tetapi yang terpenting adalah
mencontoh terhadap makna yang terkandung dalam al-Asmā al-Husna tersebut,
sehingga dapat menyelamatkan diri dari setiap gangguan setan yang dapat
menjerumuskan dalam kemaksiatan.
Pengamalan aspek Rubūbiyyah dalam kehidupan keseharian dapat dilihat
dari contoh berikut ini. Seorang muslim harus meyakini bahwa Allah adalah tuhan
yang maha pengatur (Rabb) segala makhluk dengan rahmat-Nya. Keyakinan
tersebut berdampak pada penyadaran diri bahwa satu-satunya yang pantas menjadi
sandaran hidup adalah Allah . Seseorang yang menyandarkan diri hanya kepada
Allah maka ia akan menemukan dirinya dalam kebahagiaan.
151 Ruqyah adalah bacaan-bacaan untuk pengobatan syar’i. Yazid bin Abdul Qadhir
Jawas, Ruqyah Mengobati Guna-Guna dan Sihir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), Cet ke-3, 1
59
Godaan apapun yang cenderung menjerumuskannya kedalam kemaksiatan
tidak dapat mempengaruhinya sedikitpun. Seperti godaan seorang pejabat untuk
melakukan korupsi, godaan tersebut tidak akan menggoyahkannya karena ia
meyakini bahwa Allah yang mengatur segala urusan manusia sehingga sangatlah
tidak pantas baginyamelakukan perbuatan korupsi tersebut karena perbuatan
tersebut sangat lah dibenci Allah Rabb al-‘Ālamīn.
Rubūbiyyah adalah kepercayaan bahwa Allah satu-satunya pencipta,
pemelihara, dan pengatur alam semesta, tauhid Rubūbiyyah adalah mengesakan
Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya seperti menciptakan, memberi rezeki,
mengatur segala urusan, menghidupkan, mematikan, dan lain sebagainya.
Pengamalan aspek tauhid Mulkiyyah dalam kehidupan keseharian. Penyadaran
diri seorang muslim Allah adalah satu-satunya raja manusia, bahwa selaku hamba
tidak pantas bersikap sombong, karena sombong merupakan perbuatan iblis yang
menyebabkan terusir dari surga.
Contoh dari hal tersebut adalah dapat dilihat dari seseorang yang
menyombongkan diri atas kekayaan yang dimilikinya, sehingga ia sangat susah
mengeluarkan zakat dan sedekah. Pada saat kekayaan tersebut hilang darinya
maka ia akan mengalami depresi yang luar biasa, namun berbeda dengan perilaku
orang yang meyakini bahwa satu-satunya raja manusia adalah Allah. Pada saat
muslim tersebut memiliki kekayaan maka ia tidak menganggap bahwa kekayaan
tersebut sepenuhnya milik pribadinya sehingga ia tidak ragu untuk bersedekah dan
tidak merasa gelisah atas hilangnya kekayaan yang ada pada dirinya, karena ia
hanyalah seorang hamba yang hanya dituntut untuk mengabdi kepada-nya.
Tauhid Mulkiyyah adalah bahwa Allah raja kerajaan langit dan bumi
beserta penguasa tertinggi di alam semesta, kekuasaan atas pengaturan alam
semesta ini hanya ada pada Allah SWT yang tidak pernah digandakan sehingga
tidak seorangpun yang memiliki kekuasaan secara mutlak seperti Dia.
Adapun pengamalan tauhid uluhiyyah dalam keseharian dapat dilihat dari
perilaku seorang muslim yang meyakini bahwa Allah sepenuhnya berkuasa atas
segala hal dan maha adil yang meniscayakan bahwa segala yang menimpa dirinya
pasti sempurna dan tidak layak kecewa. Keyakinan tersebut akan berdampak pada
60
sikapnya yang selalu optimis dan berbaik sangka kepada Allah yang membuat
hidup menjadi aman.
Terdapat kata Ilah (sembahan) karena manusia sesudah berakal menyadari
bahwa hanya kepada Allah harus tunduk dan hanya Dia saja yang berhak untuk
disembah. Ialah Dzat yang dicintai, ditaati dan tidak dimaksiati dengan rasa
cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, dan tempat memohon
kepada-Nya.
Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa aspek tauhid tergambar dalam
tiga bentuk idhāfat yang merupakan suatu landasan untuk melakukan segala
aktivitas dalam keseharian. Oleh karena itu, tauhid merupakan landasan akhlak,
dan akhlak memberikan penjabaran dan pengamalan tauhid. Tauhid tanpa akhlak
tidak akan ada artinya dan akhlak tanpa tauhid tidak akan kokoh.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan dalam skripsi ini, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Isti’ādzah adalah suatu bentuk permohonan perlindungan dari sesuatu yang
membahayakan dirinya, didalam al-Qur’an semua isti’ādzah hanya ditujukan
hanya kepada Allah SWT. Hanya Allah yang memiliki semua perlindungan.
Isti’ādzah diperintahkan kepada semua hamba Allah bahkan termasuk para
utusannya yaitu para Nabi dan Rasul, apalagi mereka yang merasa dirinya
lemah dan membutuhkan suatu perlindungan dari godaan dan ancaman yang
membahayakan dirinya.
2. Isti’ādzah berasal dari عوذ(‘audz) dan kata ini dalam berbagai bentuknya
terulang dalam al-Qur’an sebanyak tujuh belas kali.
3. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa isti’ādzah menempati posisi
yang penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana ia menafsirkan Sūrah
al-Falaq dan al-Nās(Al-Mu’awwidatain). Ia mengatakan bahwa isti’ādzah
merupakan bagian dari tauhid dan upaya untuk memohon perlindungan
kepada Allah dari kejahatan musuh manusia yang terbesar yaitu setan.
Isti’ādzah kepada Allah merupakan upaya untuk melindungi diri dari
gangguan setan baik yang berupa jin maupun manusia. Hal tersebut perlu
dilakukan karena jin dan manusia berpotensi melakukan perbuatan jahat
(syarr mā khalaq), memiliki waktu untuk melakukan perbuatan jahat (syarr
ghāsiqin idzā waqab), mampu saling bekerja sama untuk melakukan aktivitas
sihir (syarri al-naffātsāti fi al-‘uqad) , memiliki rasa dengki (syarr hāsidin
idzā hasad), memiliki kemampuan membisikkan (waswās) secara berulang-
ulang (khannās) kedalam dada manusia (yuwaswisu fī sudūri al-nās.
Pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dapat dikontekstualisasikan pada
masa kini dengan berusaha memahami bahwa diperlukan pemahaman secara
utuh, menyeluruh dan mendalam. Karena inti dari isti’ādzah adalah mengingat
62
dan beribadah kepada Allah sebagai realisasi tauhid serta menjaga diri
sendiri agar tidak menjadi setan. Perlindungan diri manusia terdiri dari dua
hal, yaitu perlindungan dari gangguan setan secara eksternal (gangguan sihir,
dengki, bisikan setan dalam dada manusia), dan perlindungan diri dari
gangguan setan secara internal (upaya setan untuk menjadikan diri sebagai
setan).
Menurut pendapat penulis aktivitas ruqyah yang banyak diinformasikan
berbagai media hanya tepat bagi para gangguan sihir. Namun inti dari
keseluruhan aktivitas tersebut bukanlah pembebasan diri dari gangguan sihir
belaka tetapi penanaman tauhid yang mantap dalam hati sehingga memiliki
keyakinan bahwa permohonan perlindungan (isti’ādzah) hanyalah kepada
Allah SWT.
B. Saran-Saran
Sebagai catatan akhir dari skripsi ini, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfat, khususnya diruang lingkup Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan terkhususnya buat diri
penulis sendiri, serta menambah khazanah keilmuan khususnya bagi diri
penulis, selain itu penulis juga berharap agar skripsi ini dapat menambah
semangat dalam hal dunia penelitian. Hendaknya dapat juga menambah
pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an khususnya dalam hal menafsirkan
dan menjelaskan makna dan kandungan ayat al-Qur’an serta mengambil
pesan-pesan Allah yang tercantum dalam al-Qur’an.
Akhir kata, penulis menyadari tidak ada hal yang mudah dalam meraih
sesuatu kecuali berusaha dengan gigih dan kerja keras, serta tidak ada
pemahaman yang benar kecuali dengan membaca pengalaman. Penulis mohon
maaf atas segala kekurangan dan kesalahan baik yang bersifat tulisan maupun
pemahaman. Wallāhu a’lam bi al-shawāb.
63
DAFTAR PUSTAKA
A. Karya Ilmiah
Al-Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al- Mufahras li Alfādz al-Qur’an al-Karim Beirut: Dar al-Ma’arif, 1991 Al-Habsyi, Ali Umar. Benarkah Nabi Muhammad Pernah Tersihir. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003 Al-Jamal, M. Hasan. Biografi 10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005 Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Al-Tafsīr al-Qayyim, Beirut: Dar al-Fikr, 1998 -----. Ibnu QayyimTafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Darul Falah, 2000 -----. Cerminan Jiwa, Terj. Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Mustaqim, 2001 -----. Pesona Keindahan, Terj. Hadi Mulyo, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 -----. Memetik Manfaat al-Qur’an, Terj. Mahrus Ali, Jakarta: Cendikia Centra Muslim, 2000 -----. Siraman Rohani Bagi Yang Mendambakan Ketenangan Hati, Terj. Arif Iskandar. Jakarta: Lentera, 2000 -----. Shalawat Nabi SAW, Terj. Ibn Ibrahim. Jakarta: Pustaka Azzam, 2000 -----. Petunjuk Nabi SAW Menjadi Hamba Teladan dalam Berbagai Aspek Kehidupan, Terj. Achmad Sunarto, Jakarta: Robbani Press, 1997 -----. Tafsir al-Mu’awwidzatain . T.p.Dar al-Hadis, 1989 Al-Munawwar, Agil Husin, MA., al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002 Al-Rāziq, Abd Manshur. Dan Jamāl, Ali Kamal “Perkenalan dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah: Sang Imam yang Agung”, Terj. Mahrus Ali. Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2000 Al-Mahalli, Jalaluddin dan al-Suyūthi, Jalaluddin. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhīm Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-A’rabiyyah, tth Al-Mishri, Ibnu Mandzūr. Lisanal-‘Arab. Beirut: Dar al-Fikr, 1990 Al-Sunhuti, M. Al-Anwar, Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Tuhan, Jakarta: Mustaqim, 2001 Al-Qurthubi, Tafsīr al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. Terj. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 Arifin, Bey, dan Djamaluddin A. Syinqithy. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzīm, Terjemah Sunan Abu Daud, Kuala Lumpur: Victory Agencie,1993 Arifin, Bey. Samudera al-Fatihah,Surabaya: Pt. Bina Ilmu, 1980 Asy’ari, Su’aidi Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin Iain STS Jambi, Jambi: Fak. Ushuluddin Iain STS Jambi, 2016 Al-Sya’rawi, Mutawalli. Setan Versus Manusia: Pertarungan Setan dan Anak Manusia, Terj. Utbah Romim Suhaily, Jakarta: Studio Press: 1996 ‘Awad, Mahmud. Para Pemberontak Dijalan Allah; Ibn Hazm, Ibn Taimiyah,
Rifa’ah al-Thahthawi, Jamaluddin al-Afghani, Abdullah an-Nadi, Terj.
Alimin, Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2002
64
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an Yogyakarta: Glaguh Uhiv, 1998 Bekker, Anton dan Zubair, Charis. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Bey Arifin, Bey dan A. Syinqithy, A. Djamaluddin, Terjemah Sunan Abu Daud, Kuala Lumpur : Victory Agencie,1993 Dahlan, A.A. Asbab an-Nuzul ; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al- Qur’an, Bandung: Diponegoro, 2009 Dasteghib. Abdul Husain. Isti’ādzah, Kiat-Kiat Menghindari Godaan Setan, Terj. M. Najib dan M. Ilyas, Jakarta: al-Huda, 2002 Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, Bandung: Diponegoro, 2011 Farid, Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf, Terj. Masturi Ilham, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007 Faris, Ibnu Ahmad. al-Maqayis al-Lughah, Bairut: Dar al-Fikr, 1972 Gulen, Muhammad Fathullah. Cahaya al-Qur’an. Jakarta: Republika, 2012 Haris, Ainul. Melumpuhkan Senjata Syetan Jakarta: Darul Falah, 1998 Indrawan, M. Fashlul Isti’ādzah dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Program Strata Satu Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga Jawas, Abdul Qadhir. Ruqyah Mengobati Guna-Guna dan Sihir, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2005 Katsir, Ibnu. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut: Dār al-Fikr, 1986 Munawwir, A. Warson. Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997 Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985 Omar, Arifin. Rahasia di sebalik Sūrah al-Falaq Malaysia: Cahaya Pantai, 1994 Shoelhi, M. Gunadi. Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol, Jakarta: Republika, 2002 Taimiyah, Ibnu. Risalah Ibnu Taimiyah tentang Tafsir al-Qur’an,Terj. Drs. As’ad yasin et.al. Solo: Cv. Pustaka Mantiq, 1996 Turam, Achmad. Kiat Menghindari Kejahatan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 199 Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000 B. Jurnal
https://almanhaj.or.id/8452-keutamaan-berzdikir-untuk-memohon-perlindungan Allah.html, (diunduh pada tanggal 17 September 2018) Redaksi, Berlindung Hanya Kepada Allah, Dalam Buletin Dakwah Jum’at al Sunnah, Edisi 35, 30 Agustus 2013, (diunduh pada tanggal 17 September 2018)
65
CURICULUM VITAE
Nama : Zuhrida Hayati Tempat & tanggal lahir : Rantau Api, 03 Oktober 1996 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Alamat Asal : Desa Rantau Api, Kec. Tengah Ilir, Kab. Tebo Alamat Sekarang : Mendalo Asri No.Tlp / Hp : 085377956898 E-mail : [email protected] Riwayat Pendidikan Formal Nama Jenjang Tahun Lulus
SDN 101/VIII Rantau Api 2002-2008
MTS-TI Canduang 2008-2011
MAS-TI Canduang 2012-2015
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi 2015-2018