akm-persediaan
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
MAKALAH AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH I
PENILAIAN PERSEDIAAN (Inventory Valuation)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Keuangan Menengah I
Dosen Pengampu : Rr. Indah Mustikawati, M.Si dan Adeng Mustikawati, M.Si
Disusun Oleh :
Jatu Arifa Fahmi (09403241003)
Pinesthy Putri Hartoyo (09403241013)
Yuni Wijayanti (09403241024)
Reny Ika Wulandari (09403241034)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI REGULER
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Akuntansi Keuangan Menengah I
dengan judul Penilaian Persediaan (Inventory Valuation). Makalah Akuntansi
Keuangan Menengah I ini berisi prinsip penilaian persediaan dengan beberapa
metode dan cara perhitungannya.
Makalah ini dapat diselesaikan berkat bantuan beberapa pihak, di
antaranya Rr. Indah Mustikawati, M.Si dan Adeng Mustikawati, M.Si selaku
dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah I serta teman-teman
yang telah membantu, yang tidak dapat penyusun sebutkan satu per satu.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi perbaikan pembuatan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi para pembaca. Amin.
Yogyakarta, Desember 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun-tahun terakhir ini penilaian persediaan mendapat perhatian
lebih besar karena laju inflasi yang tinggi. Pemilihan prinsip atau metode
penilaian persediaan mempunyai suatu pengaruh penting pada pendapatan
yang dilaporkan dan posisi keuangan perusahaan tertentu. Oleh karena
persediaan biasanya merupakan harta lancar yang terpenting, maka metode
penilaian persediaan merupakan suatu faktor yang penting dalam menetapkan
hasil operasi dan kondisi keuangan.
Salah satu tujuan dari akuntansi persediaan, termasuk penilaian
persediaan adalah untuk menetapkan penghasilan yang wajar dengan
membebankan biaya yang bersangkutan terhadap penghasilan perusahaan.
Dalam proses penjualan dan pembelian dapat dilihat bahwa persediaan
merupakan nilai yang tersisa setelah jumlah biaya telah dibebankan terhadap
penjualan atau sebagai jumlah biaya yang tersisa untuk dibebankan terhadap
penjualan di masa yang akan datang.
Tujuan dari penilaian persediaan adalah untuk menyajikan secara
wajar posisi keuangan perusahaan sebagai suatu going concern dan bukan
sebagai perusahaan yang sedang menuju pembubaran atau dalam kondisi
likuidasi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut ini.
1. Apa pengetian persediaan?
2. Bagaimanakah penilaian persediaan itu?
3. Bagaimana cara menghitung nilai persediaan akhir dengan sistem
periodik dan perpetual?
4. Bagaimana perhitungan harga pokok dan laba kotor?
C. Tujuan Penyususnan
Tujuan penyususnan makalah ini adalah sebagai berikut ini.
1. Menjelaskan pengertian persediaan.
2. Menjelaskan bagaimana persediaan dinilai.
3. Menghitung nilai persediaan akhir sistem periodik dan sistem perpetual
dengan metode FIFO, LIFO dan rata-rata (average).
4. Menjelaskan perhitungan harga pokok penjualan dan laba kotor.
D. Manfaat Penyusunan
Adapun manfaat penyusunan makalah ini adalah agar pembaca dapat
mengerti dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan persediaan dan
penilaian persediaan barang dengan beberapa sistem dan berbagai metode.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Persediaan
1. Pengertian Umum
Persediaan (inventory), adalah meliputi semua barang yang dimiliki
perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual atau dikonsumsi
dalam siklus operasi normal perusahaan. Aktiva lain yang dimiliki
perusahaan, tetapi tidak untuk dijual atau dikonsumsi tidak termasuk
dalam klasifikasi persediaan. Persediaan merupakan aktiva perusahaan
yang menempati posisi yang cukup penting dalam suatu perusahaan, baik
itu perusahaan dagang maupun perusahaan industri (manufaktur), apalagi
perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi, hampir 50% dana
perusahaan akan tertanam dalam persediaan yaitu untuk membeli bahan-
bahan bangunan.
2. Inventory Perusahaan Dagang
Persediaan merupakan barang-barang yang dibeli oleh perusahaan dengan
tujuan untuk dijual kembali dengan tanpa mengubah bentuk dan kualitas
barang, atau dapat dikatakan tidak ada proses produksi sejak barang dibeli
sampai dijual kembali oleh perusahaan.
3. Inventory Perusahaan Industri
Pengertian persediaan untuk perusahaan industri adalah barang-barang
atau bahan yang dibeli oleh perusahaan dengan tujuan untuk diproses
lebih lanjut menjadi barang jadi atau setengah jadi atau mungkin menjadi
bahan baku bagi perusahaan lain, hal ini tergantung dari jenis dan proses
usaha utama perusahaan.
Misalnya : Perusahaan industri permintaan kapas, bahan bakunya adalah
kapas dari petani atau perkebunan, diolah menjadi benang, benang
merupakan barang jadi baginya. Sedangkan perusahaan industri kain
bahan bakunya adalah benang yang diolah menjadi kain sebagai barang
jadi, dan perusahaan industri pakaian jadi membutuhkan bahan baku kain
dan seterusnya.
Dengan gambaran diatas maka persediaan untuk perusahaan-
perusahaan manufaktur pada umumnya mempunyai tiga jenis persediaan
yaitu:
a. Bahan baku (direct material)
Barang persediaan milik perusahaan yang akan diolah lagi melalui proses
produksi, sehingga akan menjadi barang setengah jadi atau barang jadi
sesuai dengan kegiatan perusahaan. Besarnya persediaan bahan baku
dipengaruhi oleh perkiraan produksi, sifat musiman produksi, dapat
diandalkannya pihak pemasok serta tingkat efisiensi penjadwalan
pembelian dan kegiatan produksi.
b. Barang dalam proses (work in proses)
Adalah barang yang masih memerlukan proses produksi untuk menjadi
barang jadi, sehingga persediaan barang dalam proses sangat dipengaruhi
oleh lamanya produksi, yaitu waktu yang dibutuhkan sejak saat bahan
baku masuk keproses produksi sampai dengan saat penyelesaian barang
jadi. Perputaran persediaan bisa ditingkatkan dengan jalan
memperpendek lamanya produksi. Dalam rangka memperpendek waktu
produksi salah satu cara adalah dengan menyempurnakan tekhnik-
tekhnik rekayasa, sehingga dengan demikian proses pengolahan bisa
dipercepat. Cara laian adalah dengan membeli bahan-bahan dan bukan
membuatnya sendiri.
c. Barang jadi (finished goods)
Adalah barang hasil proses produksi dalam bentuk final sehingga dapat
segera dijual, pada persediaan ini besar kecilnya persediaan barang jadi
sebenarnya merupakan masalah koordinasi produksi dan penjualan.
Manajer keuangan dapat merangsang peningkatan penjualan dengan cara
mengubah persyaratan kredit atau dengan memberikan kredit untuk
resiko yang kecil (marginal risk). Tetapi tidak peduli apakah barang-
barang tercatat sebagai persediaan atau sebagai piutang dagang, manajer
keuangan harus tetap membiayainya. Sebenarnya perusahaan lebih suka
menjualnya (dan tercatat sebagai piutang dagang), karena dengan
demikian untuk menuju realisasi kas tinggal satu langkah saja. Dan laba
potensial dapat menutup tambahan resiko penagihan piutang.
B. Metode Pencatatan Persediaan Barang
Metode yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan pencatatan
persediaan ada dua, yaitu sebagai berikut ini.
1. Metode Stock Opname atau Metode Periodik (Fisik)
Persediaan yang merupakan komponen cost of goods sold (CGS) maka
perhitungan kuantitas persediaan yang dilakukan dengan stock opname
tergantung dari kelengkapan data atau catatan dan perhitungan barang.
Dengan cara ini perhitungan persediaan yang dibebankan pada CGS ada
kemungkinan overstatement, karena hanya membandingkan dan
menghitung jumlah barang yang dimiliki dikurangi dengan persediaan
akhir. Sehingga kalau terjadi adanya barang yang hilang, rusak,
menguap, turun kualitasnya dsb, maka hal ini bila tidak terungkap akan
menyebabkan laporan laba–rugi tidak atau kurang informatif.
Karena tidak ada catatan mutasi persediaan barang maka harga
pokok penjualan juga tidak dapat diketahui sewaktu-waktu. Harga pokok
penjualan baru dapat dihitung apabila persediaan akhir sudah dihitung.
Di samping itu, karena adanya kerugian-kerugian yang seharusnya
diperlukan sebagai kerugian extraordinary item, kemudian dengan
perhitungan stock opname secara berkala tidaklah cukup sebagai dasar
pembuatan keputusan yang bersifat manajerial secara cepat.
Perhitungan harga pokok penjualan dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Persediaan barang awal Rp xxx
Pembelian xxx (+)
Brg tersedia untuk dijual Rp xxx
Persediaan barang akhir xxx (-)
Harga Pokok Penjualan Rp xxx
2. Metode Perpetual
Dalam metode perpetual ini terdapat kelemahan pada saat menentukan
nilai dan jumlah barang, karena dengan metode pencatatan yang kontinyu
ini berarti saldo persediaan setiap saat dapat diketahui, namun perlu
diperhatikan bahwa dengan hanya menghitung jumlah barang bedasarkan
catatan akan mengakibatkan nilai persediaan overstatement, karena
adanya persediaan yang rusak dsb. Oleh karena itu yang lebih tepat
dalam menentukan jumlah persediaan adalah kalau menggunakan metode
gabungan antara metode perpetual dengan stock opname (metode fisik).
Perbedaan perhitungan atau pencatatn antara metode stock opname
(metode fisik) dengan metode perpetual dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
TRANSAKSI METODE FISIK METODE PERPETUAL
Pada saat
pembelian barang
dagangan
Pembelian xx
Kas/Utang xx
Persediaan brg dgng xx
Kas/ Utang xx
Pada saat penjualan
barang dagangan
Kas/piutang xx
Penjualan xx
__
Kas/Piutang xx
Penjualan xx
Harga Perolehan xx
Persediaan brg dgng xx
Retur Penjualan Retur Penjualan xx
Piutang xx
Retur penjualan xx
Piutang xx
Persediaan brg dgng xx
Harga perolehan xx
Retur Pembelian Utang Dgng xx
Retur Pemb xx
Utang Dagang xx
Retur Pembelian xx
Penyesuaian Ikhtisar L/R xx
Prsdiaan brg dgng xx
Persediaan brg dgng xx
Ikhtisar L/R xx
__
C. Masalah Pemilikan Persediaan Barang
1. Kepemilikan Persediaan dalam Perjalanan
Persediaan barang dalam perjalanan, meliputi pihak yang berhak
menerima persediaan.
a. FOB (Free on Board) shipping point. Kepemilikan barang menjadi
milik pembeli pada saat diserahkan penjual kepada penyelenggara
transportasi atau pihak perusahaan pengirim barang yang independen.
b. FOB (Free on Board) destination point. Kepemilikan barang masih
berada di penjual sampai barang tersebut diterima oleh pembeli.
2. Barang-barang yang Dipisahkan (Segregated Goods)
Kadang-kadang terjadi suatu kontrak penjualan barang dalam jumlah
besar hingga pengirimannya tidak dapat dikirim sekaligus. Barang-barang
yang dipisahkan tersendiri dengan maksud untuk memenuhi kontrak-
kontrak atau pesanan-pesanan walaupun belum dikirim, haknya sudah
berpindah kepada pembeli. Oleh karena itu pada tanggal penyusunan
laporan keuangan jika ada barang-barang dipisahkan, harus dikeluarkan
dari jumlah persediaan penjual dan dicatat sebagai penjualan. Begitu pula
pembeli dapat mencatat pembelian dan menambah persediaan barangnya.
3. Barang Konsinyasi (Consignment Goods)
Dalam cara penjualan titipan, barang-barang yang dititipkan untuk
dijualkan (dikonsinyasikan) haknya masih tetap pada yang menitipkan
sampai barang-barang tersebut dijual. Sebelum barang-barang tersebut
dijual masih tetap menjadi persediaan pihak yang menitipkan (consignor).
Pihak yang menerima titipan (consignee) tidak mempunyai hak atas
barang-barang tersebut sehingga tidak mencatat barang-barang tersebut
sebagai persediaannya. Apabila barang-barang itu sudah dijual maka yang
menerima titipan membuat laporan pada yang menitipkan. Pada waktu
menerima laporan, pihak yang menitipkan mencatat penjualan dan
mengurangi persediaan barangnya.
4. Penjualan Angsuran (Installment Sales)
Dalam penjualan angsuran, hak atas barang tetap pada penjual sampai
seluruh harga jualnya dilunasi. Penjual akan melaporkan barang-barang
tersebut dalam persediaannya dikurangi jumla yang sudah dibayar.
Pembeli akan melaporkan barang-barang tersebut dalam persediannya
sejumlah yang sudah dibayarkannya.
Apabila dianggap bahwa kemungkinan pembatalan penjualan
tersebut kecil maka penjual dapat mengakuinya sebagai penjualan biasa
yang diangsur dan pembeli dapat mencatatnya sebagai pembelian biasa
yang pembayarannya diangsur. Ada beberapa cara penjualan angsuran di
mana masing-masing cara akan ditentukan cara mencatatnya.
Contoh kasus:
a. Dibeli mesin dengan harga RP20.000.000,00 yang pembayarannya
akan diangsur selama 5 tahun, setiap tahun sebesar Rp4.000.000,00
ditambah bunga 10% pertahun. Jurnal yang dibuat oleh pembeli untuk
mencatat pembelian mesin dan pembayaran angsuran adalah sebagai
berikut:
Pembelian mesin:
Mesin Rp20.000.000,00
Hutang Rp20.000.000,00
Akhir tahun pertama:
Hutang Rp4.000.000,00
Biaya bunga 2.000.000,00
Kas Rp6.000.000,00
Bunga: 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00
Akhir tahun kedua:
Hutang Rp4.000.000,00
Biaya bunga 1.600.000,00
Kas Rp5.600.000,00
Bunga: 10% x Rp16.000.000,00 = Rp1.600.000,00
dan seterusnya.
b. Mesin dibeli dengan harga Rp30.000.000,00 diangsur lima tahun,
setiap tahunnya Rp6.000.000,00 tanpa bunga. Jika dibeli tunai maka
harga mesin itu Rp20.000.000,00.
(Dalam cara penjualan seperti ini bunga selama masa angsuran
inklusif termasuk dalam harga mesin. Harga perolehan (cost) mesin
adalah sebesar harga tunainya dan selisihnya dicatat sebagai biaya
bunga)
Jurnal yang dibuat oleh pembeli untuk mencatat pembelian mesin dan
angsuran setiap yahun sebagai berikut:
Pembelian mesin:
Mesin Rp20.000.000,00
Biaya bunga 10.000.000,00
Hutang Rp30.000.000,00
Akhir tahun pertama:
Hutang Rp6.000.000,00
Kas Rp6.000.000,00
Jurnal penyesuaian:
Cadangan bunga Rp8.000.000,00
Biaya bunga Rp8.000.000,00
Cadangan bunga dalam neraca dikurangkan pada jumlah utang
pembelian mesin sehingga dpat menunjukkan nilai tunai utang pada
tanggal neraca. Pada awal tahun berikutnya dibuat jurnal penyesuaian
sebagai berikut:
Biaya bunga Rp8.000.000,00
Cadangan bunga Rp8.000.000,00
Akhir tahun kedua:
Hutang Rp6.000.000,00
Kas Rp6.000.000,00
Jurnal penyesuaian:
Cadangan bunga Rp6.000.000,00
Biaya bunga Rp6.000.000,00
Jurnal penyesuaian kembali;
Biaya bunga Rp6.000.000,00
Cadangan biaya Rp6.000.000,00
D. Metode Penentuan Harga Pokok Penjualan
1. Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow
approach) ini terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem
periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara
penilaian persediaan, yaitu:
a. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama (MPKP)
Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan
awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu,
sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai perolehan persediaan
yang terakhir masuk (dibeli). Metode ini cenderung menghasilkan
persediaan yang nilainya tinggi dan berdampak pada nilai aktiva
perusahaan yang dibeli.
b. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama (MTKP)
Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan
terakhir masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga
persediaan akhir dinilai dan dilaporkan berdasarkan nilai perolehan
persediaan yang awal (pertama) masuk atau dibeli. Metode ini
cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang rendah dan
berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.
c. Metode Rata-rata (average method)
Dengan menggunakan metode ini nilai persediaan akhir akan
menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO dan nilai
persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga
pokok penjualan dan laba kotor.
2. Penilaian Persediaan Selain Arus Harga Pokok
Dalam pendekatan ini ada tiga metode yang digunakan, yaitu:
a. Lower Cost of Market
Yaitu metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar.
Metode ini dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak
normal, misalnya cacat, rusak dan kadaluarsa. Pokok dari metode
ini adalah membandingkan nilai yang lebih rendah antara nilai
pasar (replacement value) dan nilai perolehan (cost). Nilai pasar
yang akan dipilih harus dibatasi, yaitu tidak boleh lebih rendah dari
batas bawah (floor limit) dan tidak boleh lebih tinggi dari batas atas
(ceiling limit).
b. Gross Profit Method
Metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian
persediaannya. Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen
yang terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi bencana
kebakaran dan banjir. Dasar penilaian persediaannya adalah pada
persentase laba kotor perusahaan tahun berjalan atau rata-rata
selama beberapa tahun. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1) mengestimasi nilai penjualan tahun berjalan,
2) menghitung nilai harga pokok penjualan berdasarkan pada
persentase laba kotor yang telah diketahui, dan
3) menghitung estimasi nilai persediaan akhir dengan
mengurangkan harga pokok penjualan terhadap penjualan.
c. Retail Method
Metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara
menghitung terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan
eceran. Nilai persediaan akhir dengan harga pokok akan diketahui
dengan cara menghitung rasio antara nilai persediaan yang tersedia
untuk dijual dengan pendekatan harga pokok dibandingkan dengan
pendekatan ritel. Kemudian rasio yang diperoleh dikalikan dengan
persediaan akhir yang dinilai dengan pendekatan eceran dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Persediaan akhir
menurut harga
pokok
Persediaan
akhir
menurut
eceran
Barang sedia dijual
menurut harga
pokok
Barang sedia dijual
menurut harga
eceran
Contoh Kasus:
Tanggal Keterangan Kuantitas Harga
2 Jan
10 Maret
5 April
7 Mei
21 Sept
18 Nov
20 Nov
10 Des
Persediaan awal
Pembelian
Penjualan
Penjualan
Pembelian
Pembelian
Penjualan
Penjualan
200 unit
300 unit
200 unit
100 unit
400 unit
100 unit
200 unit
200 unit
Rp9.000,00
Rp10.000,00
Rp15.000,00
Rp15.000,00
Rp11.000,00
Rp12.000,00
Rp17.000,00
Rp18.000,00
1) Hitunglah nilai persediaan akhir (per 31 Desember 2001) sistem periodik dan
sistem perpetual dengan metode FIFO, LIFO dan rata-rata (average)!
2) Hitunglah harga pokok penjualan dan laba kotor!
Jawaban :
Persediaan Akhir
1. Sistem Periodik
Persediaan awal (2 Jan 2001) 200 unit
Pembelian 800 unit
Barang tersedia untuk dijual 1.000 unit
Penjualan 700 unit
Persediaan akhir (31 Des 2001) 300 unit
Barang tersedia untuk dijual:
Tanggal Keterangan Unit Harga/unit Total Harga
(RP)
02/01 Persediaan awal 200 Rp9.000,00 1.800.000
10/03 Pembelian 300 Rp10.000,00 3.000.000
21/09 Pembelian 400 Rp11.000,00 4.400.000
18/11 Pembelian 100 Rp12.000,00 1.200.000
1000 10.400.000
a. FIFO (masuk pertama keluar pertama)
Persediaan akhir
Tanggal Unit Harga/unit Total Harga (RP)
21/09 200 Rp11.000,00 2.200.000
18/11 100 Rp12.000,00 1.200.000
Jumlah 300 3.400.000
b. LIFO (masuk terakhir keluar pertama)
Persediaan akhir
Tanggal Unit Harga/unit Total Harga
01/02 200 Rp9.000,00 1.800.000
10/03 100 Rp10.000,00 1.000.000
Jumlah 300 2.800.000
c. Rata-rata (average)
Harga rata-rata per unit = Rp10.400.000,00 / 1.000 unit
= Rp10.400,00
Persediaan akhir = 300 unit x Rp10.400,00
= Rp3.120.000,00
2. Sistem Perpetual
a. Metode FIFO (MPKP)
Tgl
Pembelian Harga PokokPembelian Persediaan
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
02/01 - - - - - - 200 9000 1.800.000
10/03 300 10.000 3.000.000 - - - 200 9000 1.800.000
- - - - - - 300 10.000 3.000.000
05/04 - - - 200 9000 1.800.000 300 10.000 3.000.000
07/05 - - - 100 10.000 1.000.000 200 10.000 2.000.000
21/09 400 11.000 4.4000.000 - - - 200 10.000 2.000.000
- - - - - - 400 11.000 4.400.000
18/11 100 12.000 1.200.000 - - - 200 10.000 2.000.000
- - - - - - 400 11.000 4.400.000
- - - - - - 100 12.000 1.200.000
20/11 - - - 200 10.000 2.000.000 400 11.000 4.400.000
- - - - - - 100 12.000 1.200.000
10/12 - - - 200 11.000 2.200.000 200 11.000 2.200.000
Total 800 - 8.600.000 700 - 7.000.000 300 - 3.400.000
b. Metode LIFO (MTKP)
Tgl
Pembelian Harga PokokPembelian Persediaan
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
02/01 - - - - - - 200 9000 1.800.000
10/03 300 10.000 3.000.000 - - - 200 9000 1.800.000
- - - - - - 300 10.000 3.000.000
05/04 - - - 200 9000 1.800.000 200 9.000 1.800.000
100 10.000 1.000.000
07/05 - - - 100 10.000 1.000.000 200 9.000 1.800.000
21/09 400 11.000 4.4000.000 - - - 200 9.000 1.800.000
- - - - - - 400 11.000 4.400.000
18/11 100 12.000 1.200.000 - - - 200 9.000 1.800.000
- - - - - - 400 11.000 4.400.000
- - - - - - 100 12.000 1.200.000
20/11 - - - 200 10.000 2.000.000 200 9.000 1.800.000
- - - - - - 300 11.000 3.300.000
10/12 - - - 200 11.000 2.200.000 200 9.000 1.800.000
100 11.000 1.100.000
Total 800 - 8.600.000 700 - 7.500.000 300 - 2.900.000
c. Metode Rata-rata (Average)
Tgl
Pembelian Harga PokokPembelian Persediaan
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
Unit
Harga/
unit
(Rp)
Total
Harga
(Rp)
02/01 - - - - - - 200 9.000 1.800.000
10/03 300 10.000 3.000.000 - - - 500 9.600 4.800.000
05/04 - - - 200 9.600 1.920.000 300 9.600 2.880.000
07/05 - - - 100 9.600 1.960.000 200 9.600 1.920.000
21/09 400 11.000 4.4000.000 - - - 600 10.530 6.320.000
18/11 100 12.000 1.200.000 - - - 700 10.740 7.520.000
20/11 - - - 200 10.740 2.148.000 500 10.740 5.372.000
10/12 - - - 200 10.740 2.148.000 300 10.740 3.224.000
Total 800 - 8.600.000 700 - 7.176.000 300 - 3.224.000
Harga Pokok Penjualan
1. Sistem Periodik
Keterangan FIFO
(Rp)
LIFO
(Rp)
Rata-rata
(Rp)
Persediaan awal
Pembelian
Barang tersedia utk dijual
Persediaan akhir
Harga Pokok Penjualan
1.800.000
8.600.000
10.400.000
(3.400.000)
7.000.000
1.800.000
8.600.000
10.400.000
(2.800.000)
7.600.000
1.800.000
8.600.000
10.400.000
(3.120.000)
7.280.000
2. Sistem Perpetual
Keterangan FIFO
(Rp)
LIFO
(Rp)
Rata-rata
(Rp)
Persediaan awal
Pembelian
Barang tersedia utk dijual
Persediaan akhir
Harga Pokok Penjualan
1.800.000
8.600.000
10.400.000
(3.400.000)
7.000.000
1.800.000
8.600.000
10.400.000
(2.900.000)
7.500.000
1.800.000
8.600.000
10.400.000
(3.224.000)
7.176.000
Penjualan
Tanggal Unit Harga/unit Total Harga
05/04 200 Rp15.000,00 Rp3.000.000,00
07/05 100 Rp15.000,00 Rp1.500.000,00
20/11 200 Rp17.000,00 Rp3.400.000,00
10/12 200 Rp18.000,00 Rp3.600.000,00
Total 700 - Rp11.500.000,00
Laba Kotor
1. Sistem Periodik
Keteranagan FIFO
(Rp)
LIFO
(Rp)
Rata-rata
(Rp)
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Laba Kotor
11.500.000
(7.000.000)
4.500.000
11.500.000
(7.600.000)
3.900.000
11.500.000
(7.280.000)
4.220.000
2. Sistem Perpetual
Keteranagan FIFO
(Rp)
LIFO
(Rp)
Rata-rata
(Rp)
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Laba Kotor
11.500.000
(7.000.000)
4.500.000
11.500.000
(7.500.000)
4.000.000
11.500.000
(7.176.000)
4.324.000
Jurnal
1. Periodik (FIFO)
Mencatat Pembelian:
Mencatat Penjualan:
Pembelian Rp8.600.000,00
Utang usaha/Kas Rp8.600.000,00
Piutang Usaha/Kas Rp11.500.000,00
Penjualan Rp11.500.000,00
Penyesuaian untuk Persediaan:
2. Perpetual (FIFO)
Mencatat Pembelian:
Mencatat Penjualan:
E. Penilaian Persediaan Barang
Yang dimaksud dengan penilaian persediaan barang dagang adalah
menentukan nilai persediaan yang dicantumkan dalam neraca. Persediaan
akhir bisa dihitung harga pokokny menggunakan beberapa cara penentuan
harga pokok persediaan akhir, tetapi nilai ini tidak terlalu nampak dalam
neraca, jumlah yang ditampilkan dalam neraca tergantung pada metode
penilaian yang digunakan.
Ikhtisar Rugi Laba Rp1.800.000,00
Persediaan Rp1.800.000,00
Persediaan Rp3.400.000,00
Ikhtisar Rugi Laba Rp3.400.000,00
Persediaan Rp8.600.000,00
Utang Usaha/Kas Rp8.600.000,00
Piutang Usaha Rp11.500.000,00
Penjualan Rp11.500.000,00
Harga Pokok Penjualan Rp7.000.000,00
Persediaan Rp7.000.000,00
1. Metode Harga Pokok
Dalam metode ini harga pokok persediaan akhir akan dicantumkan dalam
neraca. Di sini tidak ada perbedaan antara harga pokok persediaan dan
nilai persediaan dalam neraca. Harga pokok persediaan barang dapat
dilakukan dengan cara MPKP (FIFO), rata-rata tertimbang, MTKP (LIFO)
atau yang lain dan hasilnya dicantumkan dalam neraca tanpa perubahan.
PSAK N0. 14 tidak membenarkan digunakannya metode harga pokok
untuk menentukan nilai persediaan dalam neraca.
2. Metode Harga Pokok atau Nilai Realisasi yang Lebih Rendah
Nilai realisasi bersih merupakan batas maksimum yang diperkenankan
untuk mencantumkan persediaan dan disebut batas atas (ceiling). Nilai
realisasi bersih dikurangi laba normal merupakan batas minimum di mana
nilai persediaan barang tidak boleh lebih rendah.
Untuk menentukan dengan nilai berapakah persediaan barang yang
akan dicantumkan dalam neraca, pertama kali dibandingkan antara harga
pokok dengan nilai realisasi bersih, dipilih yang lebih rendah. Jumlah yang
lebih rendah tersebut kemudian dibandingkan dengan batas atas dan batas
bawahnya. Apabila jumlah yang lebih rendah tersebut masih dalam batas-
batas atas dan bawah maka nilai persediaan dalam neraca adalah jumlah
yang lebih rendah tersebut. Tetapi apabila jumlah yang lebih rendah
tersebut di luar batas atas dan batas bawah, maka persediaan akan dinilai
dengan batas atas atau batas bawah.
Biaya penjualan barang A per unit = Rp400,00
Laba normal per unit = 300,00
Contoh:
Keterangan:
1. Nilai realisasi bersih yang dipilih adalah batas atas (Rp1.100,00),
karena harga pokok pengganti (Rp1.200,00) lebih tinggi dari batas
atas. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp1.100,00) dibandingkan
dengan harga pokoknya (Rp1.050,00), dan dipilih yang lebih rendah,
yaitu Rp1.050,00.
2. Harga pokok pengganti (Rp950,00) masih di dalam batas atas dan
batas bawah, sehingga harga pokok pengganti ini (Rp950,00) dipilih
sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih ini (Rp950,00)
dibandingkan dengan harga pokok (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih
rendah, yaitu Rp950,00.
3. Harga pokok pengganti (rp750,00) lebih rendah dari batas atas
(Rp800,00) sehingga batas bawah (Rp800,00) dipilih sebagai nilai
realisasi bersih. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini dibandingkan
dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah,
yaitu Rp800,00.
4. Harga pokok pengganti (Rp1000,00) lebih tinggi dari batas atas
(Rp950,00) sehingga yang dipilih adalah batas atas (Rp950,00). Nilai
realisasi bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga
pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih lebih rendah yaitu Rp950,00.
No Taksiran
Harga Jual Harga Pokok
Nilai Realisasi Bersih Harga Pokok
atau Nilai
Realisasi
Bersih yang
Lebih Rendah
Batas
Bawah Batas Atas
Harga
Pokok
Pengganti
1. Rp1.500,00 Rp1.050,00 Rp800,00 Rp1.100,00 Rp1200,00 Rp1.050,00
2. 1.500,00 1.050,00 800,00 1.100,00 950,00 950,00
3. 1.500,00 1.050,00 800,00 1.100,00 750,00 800,00
4. 1.350,00 1.050,00 650,00 950,00 1.000,00 950,00
5. 1.350,00 1.050,00 650,00 950,00 850,00 850,00
6. 1.350,00 1.050,00 650,00 950,00 600,00 650,00
5. Harga pokok pengganti (Rp850,00) masih berada diaantara batas
bawah dan batas atas sehingga harga pokok pengganti ini yang dipilih
(Rp850,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp850,00)
dibanding harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah,
yaitu Rp850,00.
6. Harga pokok pengganti (Rp600,00) lebih rendah dari batas bawah
(Rp650,00) sehingga yang dipilih yaitu batasa bawah. Nilai realisasi
bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya
(Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah yaitu Rp650,00.
Cara Penerapan Metode Harga Pokok atau Nilai Realisasi Bersih yang
Lebih Rendah
Metode harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah
bisa diterapkan kepada masing-masing jenis persediaan, masing-masing
kelompok persediaan atau kepada jumlah keseluruhan persediaan.
Dibawaah ini contoh penerapan untuk ketiga cara diatas. Misalnya toko
Maju mempunyai persediaan barang pada tanggal 31 Desember 2005
dengan harga pokok dan nilai bersih sebagai berikut:
Jenis Barang Harga Pokok Harga Pasar Harga Pokok atau Harga Pasar yang Lebih rendah
Masing-masing
Jenis Persediaan
Kelompok
Persediaan
Keseluruhan
Persediaan
Kelompok 1:
Barang A
Barang B
Kelompok 2:
Barang C
Barang D
Rp 50.000,00
45.000,00
Rp 95.000,00
Rp105.000,00
70.000,00
Rp175.000,00
Rp 45.000,00
52.000,00
Rp 97.000,00
Rp110.000,00
60.000,00
Rp170.000,00
Rp 45.000,00
45.000,00
105.000,00
60.000,00
Rp 95.000,00
170.000,00
Jumlah
Nilai
Persediaan
Rp270.000,00 Rp267.000,00 Rp267.000,00
Rp255.000,00 Rp265.000,00 Rp267.000,00
Apabila metode harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah
diterapkan kepada :
1) Masing-masing jenis persediaan barang, maka nilai persediaan barang
yang dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 desember 2005
sebesar Rp255.000,00;
2) Kelompok-kelompok persediaan barang, maka nilai persediaan yang
dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar
Rp265.000,00;
3) Keseluruhan persediaan barang, maka nilai persediaan ynag
dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar
Rp267.000,00;
Dari perhitungan diatas nampak bahwa penerapan untuk masing-
masing jenis persediaan akan menghasilkan nilai yang lebih rendah
dibandingkan dengan cara penerapan yang lain. Sedangkan penerapan
untuk masing-masing kelompok atau keseluruhan persediaan
menghasilkan nilai yang mendekatti keadaan, karena penurunan harga
salah satu jenis barang dapat diimbangi dengan kenaikan harga yang lain.
Masing-masing cara diatas dapat digunakan untuk menilai persediaan
barang dengan batasan hendaknya diterapkan secara konsisten setiap
periode.
3. Metode Laba Bruto (Laba Kotor)
Menentukan jumlah persediaan dengan metode laba bruto, biasanya
dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut ini.
a. Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang diperlukan untuk
menyusun laporan-laporan jangka pendek, di mana perhitungan fisik
tidak mungkin dijalankan.
b. Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang rusak karena terbakar
dan menentukan jumlah barang sebelum terjadinya kebakaran.
Perhitungan ini sering diperlukan untuk menentukan besarnya klaim
terhadap perusahaan asuransi. Dalam keadaan seperti ini metode laba
bruto dapat digunakan bila sebagian catatan-catatan yang diperlukan
ada dan tidak musnah terbakar.
c. Untuk mengecek jumlah persediaan yang dihitung dengan cara-cara
lain, disebut test laba bruto.
d. Untuk menyusun taksiran harga pokok penjualan, persediaan akhir dan
laba bruto. Taksiran ini dihitung sesudah dibuat budget penjualan.
Dalam metode laba bruto, pertama kali harus ditentukan besarnya
persentase laba bruto. Persentase ini bisa didasarkan pada penjualan atau
harga pokok penjualan. Biasanya persentase laba bruto ditentukan dengan
menggunakan data tahun-tahun lalu. Sesudah persentase laba bruto
diketahui, kemudian dikalikan pada penjualan dan hasilnya dikurangkan
pada penjualan, sehingga dapat ditentukan jumlah harga pokok penjualan
selisih antara harga pokok penjualan dengan barang-barang yang tersedia
untuk dijual merupakan persediaan akhir.
Contoh penggunaan metode laba bruto adalah sebagai berikut:
Persediaan barang awal Rp100.000,00
Pembelian (netto) 400.000,00
Penjualan (netto) 300.000,00
(1) Misalnya laba bruto sebesar 25% dari penjualan, maka:
Penjualan = 100%
Aba bruto = 25%
Harga Pokok Penjualan = 75%
Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut:
Persediaan awal Rp100.000,00
Pembelian (netto) 400.000,00
Barang tersedia untuk dijual Rp500.000,00
Penjualan Rp300.000,00
Laba bruto (25% x Rp300.000,00) 75.000,00
Taksiran Harga Pokok Penjualan 225.000,00
Taksiran nilai persediaan akhir Rp275.000,00
(2) Misalnya laba bruto sebesar 40% dari harga pokok penjualan maka:
Harga Pokok Penjualan = 100%
Laba bruto = 40%
Penjualan = 140%
Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut:
Persediaan awal Rp100.000,00
Pembelian (netto) 400.000,00
Barang tersedia untuk dijual Rp500.000,00
Penjualan Rp300.000,00
Laba bruto:
40/140 x 100% x Rp300.000,00 85.7110,00
Taksiran Harga Pokok Penjualan 214.290,00
Taksiran nilai persediaan akhir Rp285.710,00
Apabila barang-barang yang dijual bermacam-macam dan
persentase laba brutonya berbeda-beda, maka perhitungan taksiran nilai
persediaan dilakukan untuk masing-masing kelompok barang yang
persentase laba brutonya sama. Dengan demikian hasil perhitungan akan
lebih mendekati kenyataan bila dibandingkan dengan perhitungan seluruh
persediaan barang sekaligus.
Evaluasi atas Metode Laba Bruto (Laba Kotor)
Apa kelemahan utama metode laba kotor? Salah satu kelemahan
utamanya adalah bahwa metode ini menghasilkan suatu estimasi.
Akibatnya, perhitungan fisik persediaan harus dilakukan sekali setahun
untuk memeriksa jumlah persediaan yang sebenarnya ada di tangan.
Kedua, metode laba kotor menggunakan persentase masa lalu dalam
menentukan markup. Walaupun masa lalu sering kali dapat memberikan
jawaban atas masalah masa depan, namun persentase masa kini pasti lebih
akurat. Di sini harus diperhatikan bahwa setiap kali fluktuasi yang
signifikan terjadi, persentase ini harus disesuaikan. Ketiga, aplikasi
persentase-laba-kotor-kelompok harus dilakukan secara hati-hati. Sering
kali, sebuah toko atau departemen menangani barang dagang yang
memiliki persentase laba kotor yang beragam. Dalam situasi ini, metode
laba kotor mungkin harus diaplikasikan menurut subbagian, lini barang
dagang, atau dasar serupa yang mengklasifikasikan barang dagang
menurut persentase laba kotornya masing-masing.
Metode laba kotor biasanya tidak boleh dipakai bagi tujuan
pelaporan keuangan karena hanya menyediakan suatu estimasi.
Perhitungan fisik persediaan diharuskan oleh GAAP sebagai verifikasi
tambahan bahwa persediaan yang ditunjukkan dalam catatan benar-benar
ada di tangan. Meskipun demikian, metode laba kotor dibolehkan untuk
menentukan persediaan akhir bagi tujuan pelaporan interim (biasanya
kuartalan) dan pemakaian metode ini harus diungkapkan dalam catatan
kaki. Perhatikan bahwa metode laba kotor akan menyerupai metode
persediaan yang dipakai (FIFO, LIFO, biaya rata-rata) karena metode itu
didasarkan atas catatan historis.
4. Metode Harga Eceran (Retail Inventory Method)
Metode harga eceran biasanya digunakan dalam toko-toko yang menjual
bermacam-macam barang secara eceran, termasuk toko serba ada. Dalam
perusahaan-perusahaan seperti itu biasanya digunakan metode fisik untuk
pencatatan persediaan karena metode buku akan menimbulkan banyak
pekerjaan. Metode harga eceran ini memungkinkan dihitungnya jumlah
persediaan tanpa mengadakan perhitungan fisik. Metode ini bisa
digunakan untuk :
a. Menaksir jumlah persediaan barang untuk penyusunan laporan
keuangan jangka pendek
b. Mempercepat perhitungan fisik, karena jumlah yang dihitung itu
dicantumkan dengan harga jualnya, maka untuk mengubahnya ke
harga pokok ialah dengan mengalikannya dengan presentase harga
pokok tanpa perlu memperhatikan masing-masing fakturnya.
c. Mutasi barang dapat diawasi yaitu dengan membandingkan hasil
perhitungan fisik yang dinilai dengan harga jual dengan hasil
perhitungan dari metode harga eceran.
Metode persediaan eceran (retail inventory method), mensyaratkan
bahwa pencatatan dilakukan atas dasar:
a. Total biaya dan nilai eceran dari barang yang dibeli
b. Total biaya dan nilai eceran barang yang tersedia untuk dijual.
c. Penjualan periode berjalan
Ada beberapa versi metode persediaan eceran yaitu:
a. Metode Konvensional, yaitu nilai terendah antara biaya rata-rata dan
harga pasar.
b. Metode Biaya
c. Metode Eceran LIFO
d. Metode Eceran LIFO nilai-dolar
Tanpa memperhatikan versi mana yang dipakai, metode persediaan
eceran didukung oleh IRS, berbagai asosiasi perusahaan eceran, dan
profesi Akuntansi. Salah satu keunggulannya adalah saldo persediaan
dapat diestimasi tanpa perhitungan fisik. Namun untuk menghindari
kemungkinan lebih-saji persediaan, Perhitungan persediaan periodikharus
dilakukan terutama dalam bisnis eceran dimana kerugian akibat pencurian
dan kerusakan sering terjadi.
Metode persediaan eceran sangat berguna bagi setiap jenis laporan
Interim, karena pengukuran nilai persediaan yang handal dan cepat
biasanya dibutuhkan. Para penaksir Asuransi biasanya memakai metode
ini untuk mengestimasi kerugian akibat kebakaran, banjir atau bencana
lainnya. Metode ini juga berfungsi sebagai perangkat pengendalian
(control device) karena setiap penyimpangan dari hasil fisik pada akhir
tahun harus dijelaskan. Selain itu, metode eceran juga mempercepat
perhitungan fisik persediaan pada akhir tahun. Petugas yang melakukan
perhitungan fisik persediaan hanya perlu mencatat harga eceran setiap
barang tidak perlu melihat biaya faktur setiap barang sehingga bisa
menghemat waktu dan uang.
1) Konsep Metode Harga Eceran
Dalam praktek, harga jual sering kali di-markup atau di-markdown.
Bagi peritel, istilah di markup berarti markup tambahan atas harga eceran
awal. Sedangkan pembatalan markup (markup cancellations) adalah
penurunan harga barang dagang yang sebelumnya telah di markup di atas
harga eceran awal.
Dalam pasar kompetitif, peritel seringkali perlu menggunakan
markdown yakni penurunan harga jual awal. Hal ini mungkin diperlukan
karena adanya penurunan tingkat harga umum, penjualan khusus,
kerusakan barang, kelebihan persediaan, dan persaingan. Sedangkan
Pembatalan markdown (markdown cancellation) terjadi apabila markdown
kemudian di offset oleh kenaikan harga barang yang sebelumnya sudah di
markdown seperti setelah penjualan satu hari.
2) Metode Persediaan Eceran dengan Markup dan Markdown – Metode
Konvensional
Metode ini dirancang untuk memperkirakan nilai terendah antara
biaya rata-rata dan harga pasar.
Pos-pos khusus yang berhubungan dengan metode Eceran
Metode persediaan eceran menjadi lebih rumit apabila pos-pos
seperti transportasi masuk, retur pembelian dan pengurangan harga, dan
diskon pembelian terlibat. Dalam metode eceran, kita memperlakukan pos-
pos semacam itu sebagai berikut:
a) Biaya pengangkutan (freight cost) diperlakukan sebagai bagian dari
biaya pembelian.
b) Retur Pembelian (purchase return) biasanya dipandang sebagai
pengurang baik pada biaya maupun harga eceran.
c) Diskon pembelian dan pengurangan harga (purchase discount and
allowances) biasanya dipandang sebagai pengurang biaya pembelian.
Perlu diingat bahwa retur penjualan dan pengurangan harga (sales
return and allowance) dipandang sebagai penyesuaian terhadap penjualan
kotor, namun diskon penjualan (sales discount) tidak diakui apabila
penjualan dicatat sebagai penjualan kotor.
Selain itu, sejumlah pos-pos khusus juga memperlukan analisis
yang seksama, diantaranya :
a) Transfer-masuk (transfer-in) dari departemen lain, misalnya harus
dilaporkan dengan cra yang sama seperti pada pembelian dari
perusahaan lain.
b) Kekurangan normal (normal shortages) bisa disebabkan pecah, rusak,
hilang, atau aus. Biaya semacam ini harus dicerminkan dalam harga
jual karena kekurangan dalam jumlah tertentu dipandang normal
dalam perusahaan eceran. Akibatnya, jumlah ini tidak diperhitungkan
dalam menghitung rasio biaya terhadap harga eceran. Hal ini akan
ditunjukkan sebagai pengurangan terhadap penjualan yang sama untuk
mendapatkan persediaan akhir menurut harga eceran.
c) Kekurangan abnormal (abnormal shortages)
d) Diskon untuk karyawan (employee discount)
Penggunaan Metode persediaan eceran untuk menghitung
persediaan karena alasan sebagai berikut
a) Agar laba bersih dapat dihitung tanpa harus melakukan perhitungan
fisik persediaan
b) Sebagai ukuran pengendalian dalam menentukan kekurangan
persediaan
c) Dalam pengaturan kuantitas barang dagang ditangan
d) Untuk informasi asuransi
Salah satu karakteristik dari metode persediaan eceran adalah
bahwa metode itu memiliki pengaruh rata-rata terhadap berbagai tingkat
laba kotor. Jika diaplikasikan kepada perusahaan secara keseluruhan,
dimana tingkat laba kotor bervariasi di antardepartemen, maka tidak ada
penyisihan yang dibuat untuk menutupi distorsi hasil akibat perbedaan
seperti itu.
Contoh perhitungan persediaan akhir dengan metode harga eceran.
Harga eceran Harga pokok
Persediaan barang awal Rp 100.000,00 Rp 60.000,00
Pembelian (netto) 1.100.000,00 780.000,00
Barang tersedia untuk dijual Rp1.200.000,00 Rp 840.000,00
Penjualan 1.040.000,00
Persediaan barang akhir Rp 160.000,00
Persentase harga pokok:
(Rp 840.000,00 : Rp1.200.000,00) x 100% = 70%
Persediaan barang akhir dengan harga pokok:
70% x Rp160.000,00 = Rp112.000,00
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Persediaan (inventory), adalah meliputi semua barang yang dimiliki
perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual atau dikonsumsi dalam
siklus operasi normal perusahaan. Aktiva lain yang dimiliki perusahaan, tetapi
tidak untuk dijual atau dikonsumsi tidak termasuk dalam klasifikasi persediaan.
Persediaan merupakan aktiva perusahaan yang menempati posisi yang cukup
penting dalam suatu perusahaan.
Dengan gambaran tersebut maka persediaan untuk perusahaan-perusahaan
manufaktur pada umumnya mempunyai tiga jenis persediaan yaitu:
1. Bahan baku (direct material)
2. Barang dalam proses (work in proses)
3. Barang jadi (finished goods).
Metode yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan pencatatan
persediaan ada dua, yaitu:
1. Metode Stock Opname atau Metode Periodik (Fisik)
2. Metode Perpetual.
Masalah kepemilikan barang dalam perjalanan (Goods in transit) sangat
tergantung dari perjanjian yang disepakati oleh penjual dan pembeli. 2 syarat
tersebut adalah (1) Fob Shipping Point dan (2) Fob Destination. Tidak semua
barang yang berada di gudang/toko bisa diakui menjadi milik perusahaan,
misalnya barang titipan (barang konsinyasi) dari pihak lain dengan tujuan akan
dijual untuk dan atas nama pihak lain tersebut dengan mendapatkan sejumlah
komisi (consignment in) tidak dapat diakui sebagai milik perusahaan. Sebaliknya
untuk barang yang sifatnya consigment out, yang sampai dengan tanggal neraca
belum terjual harus dicantumkan di Neraca.
Sistem pencatatan (administrasi) persediaan ada dua, yang pertama sistem
fisik/periodik (periodic inventory system), berdasarkan sistem ini persediaan
ditentukan dengan melakukan menghitung fisik terhadap persediaan.
Penghitungan fisik persediaan dilakukan secara periodik. Dalam sistem ini
pencatatan terhadap mutasi persediaan tidak selalu diikuti. Oleh karena itu
prosedur penghitungan fisik persediaan pada akhir periode harus dilakukan
(mandatory procedure) untuk dapat menentukan fisik persediaan yang akan
dilaporkan dalam laporan keuangan. Hasil perhitungan fisik ini dipakai sebagai
dasar penentuan nilai persediaan. Yang kedua, sistem perpetual (perpetual
inventory system), Pencatatan terhadap mutasi persediaan selalu diikuti secara
konsisten, dengan mencatat semua transaksi yang menyebabkan berkurang atau
bertambahnya persediaan.
Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approach)
terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem
perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan, yaitu:
1. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama (MPKP), metode ini
menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk
akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai
dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli).
2. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama (MTKP), metode ini
menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan
dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan
dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama)
masuk atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir
yang rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.
3. Metode Rata-rata (average method), dengan menggunakan metode ini nilai
persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode
FIFO dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai
harga pokok penjualan dan laba kotor.
Dalam penilaian persediaan selain arus harga pokok ada tiga metode yang
digunakan, yaitu:
1. Lower Cost of Market, yaitu metode harga terendah antara harga pokok dan
harga pasar. Metode ini dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak
normal, misalnya cacat, rusak dan kadaluarsa.
2. Gross Profit Method, metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian
persediaannya. Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang
terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan
banjir.
3. Retail Method, metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara
menghitung terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran.
DAFTAR PUSTAKA
Kieso, Donald E, dkk. Akuntansi Intermediate.2007. Jakarta: Erlangga
Zaki Baridwan. Intermediate Accounting. 2004. Yogyakarta: BPPE