ahmad fahmi yahya abdillah-fisip.pdf
TRANSCRIPT
STRATEGI BERTAHAN JEMAAT AHMADIYAH DI
PONDOK UDIK, KECAMATAN KEMANG,
KABUPATEN BOGOR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun oleh:
Ahmad Fahmi Yahya Abdillah
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
STRATEGI BERTAHAN JEMAAT AHMADIYAH DI
PONDOK UDIK, KECAMATAN KEMANG,
KABUPATEN BOGOR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Dibawah Bimbingan:
Ahmad Abrori, M.Si
NIP.19760225 200501 1 005
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
Skripsi ini berusaha mendeskripsikan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah
di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dalam menghadapi
tekanan.Sebagaimana diketahui Ahmadiyah telah mendpat banyak tekanan dari
berbagai pihak karena doktrin-doktrin teologi ajaran Ahmadiyah yang dianggap
menyimpang dari Islam mainstream di Indonesia. Bahkan MUI juga menjatuhkan
vonis bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat, dan berada di luar Islam.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam
terhadap fenomena yang diteliti. Kemudian teknik pengumpulan data yang
digunakan berupastudi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara
mendalam dengan key informan yang terkait dengan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menyatakan, Jemaat Ahmadiyah melakukan tindakan
resistensi dengan tujuan untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi
koersif dari pihak dominan. Tindakan resistensi ini peneliti kategorikan menjadi
dua, yaitu; resistensi tertutup, dan resistensi semi-terbuka. Contoh resistensi
tertutup yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah penolakan terhadap
kategori-kategori yang dipaksakan, dan membicarakan keburukan pihak lain di
area domestik. Sedangkan contoh dari resistensi semi-terbuka yang dilakukan oleh
Jemaat Ahmadiyah adalah membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain,
dan member penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan.
Kata Kunci :Strategi Bertahan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu „alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah. yang telah
memberikan Karunia dan Rahmat-Nya serta limpahan kekuatan dan kasih sayang-
Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, meskipun banyak hambatan dan
tantangan.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa mendapat
bantuan dari banyak pihak, baik secara kelembagaan maupun perorangan, oleh
karenanya penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Bpk. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bpk. Prof. Dr. Zulkifly, MA., Selaku Ketua Program Studi Sosiologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Iim Halimatussaidiyah, M.Si.,
selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bpk. Prof. Yusron Razak, MA., dan Ibu Dra. Ida Rosyidah MA., selaku
penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang
membangun dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bpk. Abrori, M.Si., selaku pembimbing skripsi penulis yang senantiasa
membimbing, memotivasi dan menginspirasi penulis, sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Jazakumullah ahsana al jaza.
iii
5. Segenap dosen civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khususnya Program Studi
Sosiologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas segala
ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di kampus
tercinta ini, baik di dalam maupun di luar perkuliahan.
6. Ayahanda dan Ibunda penulis tercinta yang selalu memotivasi serta
mendukung baik secara moril maupun materil selama ini sehingga dapat
menyelesaikan studi ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan
rahmat, keselamatan dan kesehatan.
7. Kakak-kakak dan adik penulis tersayang yang telah mencurahkan
perhatian serta dukungannya di tengah kesibukkannya selama ini.
Semoga Tuhan selalu memberkati kalian.
8. Segenap pengurus dan mubaligh Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik,
atas kesediaannya menerima penulis dengan ramah, memberikan
informasi, bantuan, dan menemani penulis selama penelitian.
Jazakumullah Khairan Katsiran.
9. Gus Zuhairi Mizrawi, selaku mediator yang telah menghubungkan
penulis dengan informan. Syukron Katsiran
10. Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2009, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Pengalaman selama bersama kalian akan selalu
ada.
11. Sahabat-sahabatku di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
khususnya komfisip Ciputat atas segala partisipasi dan dukunganya.
iv
12. Kawan-kawan Persatuan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang
bersedia untuk berbagi dan bertukar pikiran.
13. Komunitas Sepeda UIN yang selalu setia untuk berbagi keceriaan
selama ini.
14. Untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, dan
dukungan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan anda
semua.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karenanya, penulis mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan tersebut. Penulis
juga sangat menantikan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga karya ini
bermanfaat bagi pihak-pihak yang bersangkutan serta menjadi semangat untuk
penelitian selanjutnya.
Wassalamu „alaikum Wr. Wb
Ciputat, 8 Juli 2014
Ahmad Fahmi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ......................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 4
D. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 6
E. Kerangka Teoretis ............................................................................ 11
1. Tipe-tipe Organisasi Keagamaan ................................................. 11
2. Strategi Bertahan ......................................................................... 15
3. Teori Resistensi …………………………………………………… 19
F. Metodologi Penelitian...................................................................... 22
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 28
BAB II GAMBARAN UMUM
A. Profil Kabupaten Bogor .................................................................. 30
B. Profil Jemaat Ahmadiyah ................................................................ 36
C. Ahmadiyah Sebagai Organisasi Keagamaan .................................. 41
D. Sistem Organisasi Ahmadiyah ....................................................... 45
vi
BAB III HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
A. Strategi Bertahan Jemaat Ahmadiyah ........................................... 50
1. Strategi Bertahan Internal ......................................................... 50
2. Strategi Bertahan Eksternal ...................................................... 59
B. Analisis……………………………………………………………. 67
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 74
B. Saran ............................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... vii
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………… xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini mengkaji tentang strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah di
Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dalam mempertahankan
eksistensinya. Ahmadiyah merupakan suatu gerakan keagamaan yang
didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1891 di India. Sementara
eksistensi Ahmadiyah sendiri di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun
1925. Ahmadiyah mempunyai dasar pemikiran dan penafsiran berdasarkan
ajaran Islam, namun ada beberapa hal yang membuat mereka berbeda dari
umat Islam pada umumnya. Beberapa hal yang membedakannya adalah
penafsiran mengenai kenabian, konsep tentang wahyu, dan kedatangan Nabi
Isa yang kedua (Lubis, 1994: 13).
Bagi Jemaat Ahmadiyah, nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir,
karena bagi mereka pintu kenabian akan terus terbuka sepanjang masa.
Namun demikian, mereka tetap mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai
khatam al-nabiyyin, yakni sebagai nabi yang paling sempurna dan nabi
terakhir pembawa syariat (Novianti, 2006: 3).
Intrepretasi di atas telah menuai kontroversi mengingat term “nabi” bagi
sebagian masyarakat muslim terutama kelompok konservatif-radikal
merupakan term yang sangat sensitif, sehingga pada tahun 1980 MUI
mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah dan menganggap
2
Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan.
Sejauh ini MUI telah mengeluarkan dua fatwa tentang Ahmadiyah.
Pertama, pada Juni 1980. Kedua, pada Juli 2005. Dalam dua fatwa itu, MUI
menegaskan bahwa “Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan
menyesatkan”. Pada fatwa pertama, MUI tidak secara jelas menyebutkan
konsekuensi pemberian status sesat itu. Dalam fatwa berikutnya, konsekuensi
itu jelas disebutkan, yakni mengajak kaum muslim untuk menyikapi persoalan
tersebut secara tegas. Atas dasar fatwa tersebut, dan berpayung pada UU No.
1/PNPS/1965 tentang pasal penodaan dan penistaan agama, MUI kemudian
mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin membubarkan Ahmadiyah.
Beragam respon lahir dalam menyikapi fatwa tersebut. Tidak sedikit
yang menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras
bahkan sampai melakukan tindakan anarkis. Tercatat pada tahun 1993, terjadi
perusakan di Sukawening, Garut. Tahun 2001 terjadi tragedi Sambi Elen,
Lombok yang menewaskan 1 orang anggota Ahmadiyah.Tahun 2002, terjadi
kerusuhan di beberapa pusat Ahmadiyahdi Pancor, Majenang, Kuningan.
Tahun 2003 juga terjadi kerusuhan di Tolenjeng, Garut. Kemudian pada tahun
2004 tercatat terjadi kerusuhan di Manislor, Arjasari, dan Parigi.Puncaknya
pada tahun 2005, tercatat 12 kasus kekerasan menimpa Jemaat Ahmadiyah di
beberapa tempat. Fatwa MUI seakan menjadi peneguh atas diperkenankannya
kebencian kepada Ahmadiyah (Munawar, 2013: 272).
Pondok Udik Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor sendiri dipilih
sebagai lokasi penelitian karena disanalah pusat Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Sementara itu, terbitnya Surat Keputusan Bersama tentang Pelarangan
kegiatan Jema‟at Ahmadiyah di wilayah Bogor yang dikeluarkan oleh Bupati
3
Bogor, Ketua DPRD Bogor, Dandim 0621, Kepala Kejaksaaan Negeri
Cibinong, Kapolres Bogor, Ketua PN Bogor, DANLANUD ARS, Departemen
Agama dan MUI Bogor, serta disusul Peraturan Gubernur tentang Pelarangan
yang serupa sehingga membuat Jemaat Ahmadiyah hanya diperbolehkan
menjalankan keyakinannya masing-masing, namun dilarang untuk berdakwah.
Keluarnya rentetan fatwa tersebut mendapat respon yang beragam dari
masyarakat, bahkan sebagian mengarah ke tindakan anarkis. Jemaat
Ahmadiyah di lokasi tersebut tercatat telah mendapat dua kali serangan oleh
kelompok Anti-Ahmadiyah, yakni pada 9 dan 15 Juli 2005. Akibat dari
serangan tersebut beberapa bangunan di kompleks kantor pusat Jemaat
Ahmadiyah mengalami rusak parah dan ratusan jemaat terkepung oleh massa
yang anti Ahmadiyah. Meski akhirnya berhasil dievakuasi dan dibawa ke
Pemda Kabupaten Bogor, namun banyak dari mereka yang mengalami
trauma. Terlepas dari setuju atau tidak mengenai Ahmadiyah, secara empiris
dan objektif kehadiran Jemaat Ahmadiyah tetap survive sampai saat ini,
bahkan terlihat semakin kokoh dan solid meski mendapat tantangan dari
berbagai pihak seperti beberapa ulama dan organisasi-organisasi keagamaan
lain (Zulkarnain, 2005: 315).
Atas dasar itulah yang membuat penulis penasaran untuk mengetahui
lebih mendalam dan menjelaskan secara proporsional mengenai bagaimana
strategi atau cara Jema‟at Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor dalam
merespon berbagai tekanan tersebut serta mempertahankan eksistensinya.
Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk
tindakan resistensi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Melalui penelitian
ini, peneliti ingin mengkaji kasus Ahmadiyah Bogor dengan pendekatan
4
sosiologis. Peneliti berharap dengan pendekatan sosiologis ini mampu
menunjukkan sisi lain jemaat Ahmadiyah sebagai subjek yang aktif dalam
mempertahankan dirinya.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik,
Kemang, Bogor untuk mempertahankan eksistensinya?
2. Bagaimana bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan Jemaat
Ahmadiyah untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi
koersif dari pihak dominan?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana strategi bertahan Jemaat Ahmadiyahdi
Pondok Udik, Kemang, Bogor. Dalam penelitian ini, strategi bertahan
yang dimaksud berkaitan dengan strategi atau cara bertahan Jemaat
Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor dalam menghadapi tekanan.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan
Jemaat Ahmadiyah untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan
persuasi koersif dari pihak dominan.
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi
yang positif bagi semua pihak. Adapun manfaat penelitian ini dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
5
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya ilmu pengetahuan
sosial, terutama bidang Sosiologi Agama.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan koleksi
sehingga memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas
tentang studi kajian Sosiologi yang ada dalam kehidupan
masyarakat.
b. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
bacaan bagi mahasiswa dan mampu memberikan informasi,
pengetahuan, serta pemahaman yang lebih mendalam tentang
realitas yang ada di dalam masyarakat, sehingga dapat
menumbuhkan pemikiran-pemikiran yang kritis yang berujung
pada solusi-solusi atas permasalahan yang timbul.
c. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi bekal pengetahuan dan
pengalaman secara nyata bagi peneliti sehingga nantinya dapat
memberikan pemahaman dan kontribusinya terhadap permasalahan
di masyarakat.
6
d. Bagi Masyarakat Umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
terhadap masyarakat pada umumnya agar lebih peka terhadap
masalah-masalah yang timbul, sehingga mampu menelaah lebih
dalam atas situasi yang terjadi dan tidak terprovokasi maupun
bertindak provokatif atas apa yang belum jelas.
e. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran nyata mengenai
kelompok minoritas serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam membuat suatu kebijakan yang bersentuhan
langsung dengan hal sensitif seperti keyakianan beragama.
f. Bagi Tokoh Agama
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi refrensi bagi tokoh
agama dalam rangka memahami Jemaat Ahmadiyah sehingga dapat
menghasilkan sikap terbuka terhadap perbedaan serta kedewasaan
dalam beragama hingga pada gilirannya tercipta kehidupan yang
harmonis.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat banyak studi yang mengkaji tentang Ahmadiyah, baik yang
berdasar pada penelitian langsung maupun hasil refleksi telah banyak
diterbitkan dalam bentuk buku, tesis, maupun jurnal. Diantaranya penelitian
yang dilakukan oleh Khairul Abror (2012). Penelitian yang berjudul
“Imajinasi dan Strategi Penganut Identitas Sosial Ahmadiyah” ini bertujuan
untuk mendeskripsikan bagaimana Imajinasi dan Strategi Penganut Identitas
7
Sosial Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Kabupaten Bogor. Jenis penelitian
ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penggalian data menggunakan metode observasi, wawancara
dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model analisis
interaktif.
Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa Imajinasi outgroup
terhadap identitas sosial Ahmadiyah tidak sama dengan imajinasi ahmadi
terhadap identitas sosialnya. Pada kondisi aman untuk mempertahankan
eksistensi identitas sosialnya ahmadi menerapkan strategi kreatifitas sosial,
sedangkan jika kondisi tidak aman maka ahmadi menerapkan strategi
kompetisi sosial. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh setiap ahmadi di
mana pun mereka berada, bahkan sebagai pengingat yang mantap strategi
tersebut tertuang dalam kalender Ahmadiyah.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Arif Nur Fauzi, (2010).
Penelitian yang berjudul “Strategi Rekrutmen Anggota Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (GAI) Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009” ini tujuannya untuk
mendeskripsikan strategi rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(GAI).
Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif, tujuannya untuk
mendeskripsikan strategi rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(GAI). Penelitian tersebut menggunakan teori Tajnid Jamahiri Tentang
langkah-langkah strategi dan rekrutmen anggota. Tekhnik pengumpulan data
yang digunakan memakai metode wawancara, observasi dan dokumentasi.
Untuk mendapatkan data primer peneliti melakukan wawancara secara
langsung dengan pengurus Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) mengenai
8
strategi dan langkah-langkah rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (GAI). Sedangkan data sekunder diambil dari beberapa refrensi
buku, modul, dan brosur yang dikeluarkan oleh pengurus Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun tulisan dari luar pengurus.
Pengambilan data menggunakan metode obserfasi dijadikan sebagai penguat
dari hasil data wawancara dan kumpulan data dokumentasi dengan langsung
menjadi partisipan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI).
Hasil penelitian selama kurang lebih satu Tahun di lembaga Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI) Kota Yogyakarta adalah GAI dalam melakukan
rekrutmen anggota menggunakan strategi kultural; hubungan personal,
seperti keluarga, saudara, dan tetangga terdekat. Dan strategi natural; ikatan
kerja, dan kedinasan. Dengan tahapan dan langkah-langkah menggunakan
media dakwah untuk mendapatkan pengikut atau kader baru.
Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dewi Nurrul
Maliki yang berjudul “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia”. Penelitian ini mengkaji kontestasi antara kelompok
Islam Sub-altern dan kelompok Islam mainstream. Penelitian ini fokus pada
dua hal, yakni; pertama, mengidentifikasi bentuk perlawanan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Yogyakarta. Kedua, bagaimana Kota
Yogyakarta sebagai Kota yang mempunyai toleransi yang tinggi
mengkoordinir kedua kelompok Islam tersebut. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Yogyakarta
memobilisasi jaringan intelektual eksternal mereka sebagai modus
perlawanan terhadap kelompok Islam mainstream. Mereka menggunakan
9
kelompok intelektual untuk mewakili mereka, menciptakan ruang (sphere)
yang cenderung bebas dari hegemoni kelompok dominan ditengah-tengah
dunia akademis, serta membentuk jaringan bersama-sama dengan kelompok-
kelompok lain yang independen. Berbagai jaringan dan kerjasama serta
upaya meng-counter klaim-klaim kelompok mayoritas-dominan meliputi: 1)
Membangun jaringan dengan berbagai kelompok/lembaga seperti Aliansi
Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai), Institut DIAN/Interfidei, Impulse
(Institute for Multicultural dan Pluralism Studies), dan FPUB; 2)
membangun jaringan dan kerjasama dengan kampus seperti UIN Sunan
Kalijaga dan UGM; 3) Memanfaatkan media mulai dari media elektronik,
cetak, penerbitan buku-buku (termasuk bekerjasama dengan pihak penerbit),
dan lain-lain.
Adapun buku “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”, buku yang
merupakan thesis karya Iskandar Zulkarnain, yang diterbitkan oleh LkiS
Yogyakarta ini mencoba memotret peran Ahmadiyah Indonesia dalam
mengisi dan mengembangkan gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Di
dalamnya juga dibahas mengenai peta penyebaran Ahmadiyah di Nusantara.
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kajian ini menggunakan
pendekatan sejarah yang bertumpu pada empat kegiatan pokok, meliputi; (1)
Heruistik, kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau, (2) Kritik
(sejarah), menyelidiki apakah jejak-jejak tersebut asli, baik bentuk maupun
isinya, (3) Interpretasi, menetapkan saling hubung antarfakta yang diperoleh,
(4) Penyajian, menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam satu bentuk
kisah sejarah.
10
Penelitian relevan terakhir adalah jurnal ilmu sosial dan ilmu politik
yang dibuat oleh Ishomuddin (2012) yang berjudul “Problem Kohesivitas
Kehidupan Sosial Ahmadiyah dengan Muslim Meanstream di Jawa Timur”.
Kajian ini ingin mengungkapkan tingkat kohesivitas sosial antara pengikut
Ahmadiyah dengan komunitas Muslim arus utama di pedesaan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara mendalam sebagai
instrumen untuk mendapatkan data. Penelitian ini dilakukan di pedesaan di
Kediri.
Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian tentang kohesivitas
kehidupan sosial Ahmadiyah dengan muslim arus utama (mainstream) yang
berpaham (Ahlus-Sunnah wal Jamaah). Selain di Indonesia, Ahmadiyah
memiliki basis keanggotaan yang tersebar di Afrika, Amerika Utara,
Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa. Bagi masyarakat muslim
mainstream seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis, Ahmadiyah dipandang
sebagai kelompok keagamaan yang cacat secara aqidah melarang
keberadaan dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Untuk merespon
hal itu, sejak 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan
Ahmadiyah Qadian sebagai aliran yang sesat dan berada di luar Islam.
Kesesatan Ahmadiyah kian dipertegas oleh MUI pada tahun 2005, bahkan
tidak hanya Ahmadiyah Qadian, tetapi juga Ahmadiyah Lahore.
Dari penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian-penelitian yang
terkait dengan Ahmadiyah lebih banyak mengkaji pada persoalan eksternal
Ahmadiyah secara umum. Penulis belum mendapati pembahasan secara
khusus dan terperinci yang mengkaji tentang Jemaat Ahmadiyah berupa
penelitian lapangan yang mencakup strategi bertahan internal dan strategi
11
bertahan eksternal serta resistensi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah
dalam mempertahankan eksistensinya. Maka, dianggap perlu adanya sebuah
karya ilmiah yang membahas tentang hal tersebut.
E. Kerangka Teoretis
1. Tipe-Tipe Organisasi Keagamaan
Agama tidak bisa dilepaskan dari sebuah kelompok kepercayaan atau
disebut pula umat beragama. Namun, ada beragam cara bagaimana kelompok
keagamaan tersebut tersusun atau terorganisir. Secara umum organisasi
keagamaan bisa dibagi menjadi tiga tipe yaitu; gereja, sekte, dan denominasi.
Tipe yang pertama adalah Gereja, walaupun sangat berakar pada tradisi
Kristen tetapi memiliki pengertian sebagai satu kelompok religius yang
menerima lingkungan sosial di mana ia berada. Yang perlu ditekankan di sini
adalah, gereja tidak menarik diri dari dunia dan juga tidak memeranginya.
Gereja yang ideal bisa hidup selaras dengan lingkungannya, bahkan nyaris
tidak dapat dibedakan dari keadaan di sekitarnya (Johnson, 1963: 542). Hal ini
dapat terjadi manakala sebuah Gereja lokal melebur dengan satu identitas
etnis seperti yang terjadi di Tanah Batak yang Protestan dan Flores yang
Katolik.
Tipe yang kedua yaitu Sekte. Sekte adalah kelompok kecil yang
memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan yang besar ke
dalam pembentukan komunitasnya sendiri. Sekte lebih merupakan kata sifat
(kecenderungan sekterian) daripada kata benda (lembaga agama tertentu).
Semakin sebuah gerakan religius berciri eksklusif dan percaya diri, semakin
sektarian pula coraknya (Johnson, 1963: 543).
12
Sekte muncul sebagai akibat dari konflik antara prinsip dan nilai agama
Kristen dengan lembagalembaga masyarakat yang telah mapan. Terjadinya
persinggungan berupa konflik antara nilai agama yang mapan dengan
lingkungan sekitar memunculkan sekte yang bersifat “menolak dunia” atau
mungkin juga “berkompromi dengan dunia”. Munculnya sekte juga diduga
merupakan dampak kontak agama dengan dunia sekitar. Sekte terkadang
dapat menyesuaikan diri menjadi “sekte yang mapan”. Terlepas dari
perubahan yang ada di dalam diri dan situasinya, mereka itu tetap ada,
meskipun generasi pendiri mereka telah berlalu, menarik diri atau
bertentangan dengan masyarakat umum (O‟dea, 1992: 118).
Secara etimologi, sekte dapat dihubungkan dengan dengan istilah latin
sequi yang berarti mengikuti (Eliade, 1972: 154). Dalam Sosiologi Agama,
sekte berarti suatu kelompok religius yang relatif kecil dibandingkan dengan
kelompok religius lainnya dalam suatu masyarakat. Sedangkan secara
Psikologis, sekte berarti sekelompok individu yang mengikuti praktek-praktek
tertentu atau mempertahankan dan biasanya mengungkapkan ide-ide tertentu
yang membedakan mereka dengan masyarakat luas (Waryono, 1998: 147).
Dalam Religion in Secular Society, Bryan R Wilson menuturkan bahwa
sekte terepresentasikan dalam strata partikular, yang mana para anggota
kelompoknya merasa tidak diakomodasi secara keagamaan dan barangkali
secara sosial. Ada empat ciri umum dari kemunculan sekte dalam setiap
tradisi agama. Pertama, dari segi ajaran, biasanya berbeda dari doktrin agama
yang telah disepakati. Kedua, mereka biasanya memiliki pemimpin-pemimpin
karismatik yang menuntut ketaatan mutlak. Ketiga, memiliki kecenderungan
untuk merasa lebih benar dari kelompok lain. Keempat, ”terpanggil” untuk
13
menyelamatkan dunia. Keyakinan mereka, bahwa dengan kelompoknya itu,
kehidupan manusia akan selamat. (Wilson, 1996: 181-182).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut ada sesuatu yang menjadi ciri
khas dari sekte, yaitu; berkelompok dan mempunyai paham atau praktek yang
berbeda dengan masyarakat secara umum. Definisi tersebut memberi beberapa
pengertian bahwa; sekte lahir dan muncul dari dalam „organisasi keagamaan‟.
Spilka (dalam Waryono ,1998: 142) menyebutkan bahwa sekte tumbuh dan
berkembang sebagai bagian inheren dari agama, yang ingin memisahkan diri
dari hegemoni kelompok mapan, dan sekte memisahkan diri karena memiliki
paham atau pengalaman yang berbeda dari yang selama ini dipraktekkan oleh
mayoritas. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sekte adalah komunitas
dalam komunitas atau komunitas kecil yang berada dalam komunitas yang
besar.
Bryan Wilson, seorang sosiolog asal Inggris, yang membagi sekte ke
dalam tujuh tipe. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap
dunia sekitar yang kesemuanya hampir secara nyata terwakili dan berkembang
di Indonesia. Ketujuh tipe sekte ini adalah sebagai berikut. Pertama,
Conversionist, yakni sekte yang mengarahkan perhatiannya kepada perbaikan
moral individu dengan kegiatan utamanya men-tobat-kan orang luar. Di
Indonesia gerakan yang mirip tipe ini adalah gerakan dakwah seperti jemaah
Tabligh. Kedua, Messianistik, suatu sekte yang percaya akan datangnya Imam
Mahdi, Messiah, al-Masih, Ratu Adil ataupun Satria Piningit yang akan
menyelamatkan dunia dari kehancuran. Ketiga, Introversionis, kelompok yang
mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Keempat,
Manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat"), yakni suatu sekte yang
14
cenderung tidak peduli terhadap keselamatan dunia sekitar, akan tetapi mereka
mengklaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus yang biasanya dirahasiakan
dari orang luar, seperti aliran kebatinan dengan amalan-amalan khusus dan
sistem bai'at. Kelima, Thaumaturgical, yakni gerakan sekte yang
mengembangkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau
penguasaan alam gaib. Keenam, tipe reformis, yakni gerakan yang melihat
usaha reformasi sosial sebagai kewajiban esensial agama, dan ketujuh tipe
Utopian, yakni suatu gerakan komunitas ideal sebagai teladan untuk
masyarakat luas (dalam Nunu B, 2010: 504).
Tipe ketiga, Denominasi. Kelompok ini relatif stabil, ukuran dan
kompleksitasnya seringkali besar (Nottingham, Elizabeth, 1994: 165).
Denominasi berasal dari sebuah sekte yang berubah menjadi badan yang
terlembagakan dan tidak lagi berbicara lantang tentang protes keagamaan
sebagaimana ciri khas sekte. Sebuah sekte yang survive, dalam perjalanan
sejarahnya biasanya berubah menjadi denominasi. Dalam sejarah Kristen
misalnya, ditemukan sekte seperti Calvinisme dan Metodis yang pada awalnya
merupakan sekte, namun belakangan telah berubah menjadi denominasi.
Dalam hal status sosial, denominasi sedikit banyak mendapatkan pengakuan
dari gereja atau kelompok keagamaan mapan dan selalu menjaga sikap
kooperatif dengan pihak gereja (Giddens, 1997: 8).
Niebuhr (1929) melihat bahwa sekte-sekte muncul sebagai gerakan
protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja (dan negara), kemudian
lambat laun menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir, rapi dan semakin
formalistik. Setelah dua-tiga generasi, aspek kesukarelaan sudah mulai
menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir dalam lingkungan sekte
15
sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit hirarki internal sudah
ditanam. Dengan demikian bekas sekte tersebut sudah mulai menjadi
semacam Gereja sendiri dan lahirlah gerakan sekte baru, sebagai reaksi yang
berusaha menghidupkan semangat asli, kemudian berkembang menjadi
denominasi dan demikianlah seterusnya.
Selama ini, di negeri kita, pemahaman agama yang berada dengan
tradisi agama mainstream selalu dilabeli sesat dan karena itu sah untuk
dimusuhi. Parahnya lagi, dalam menyikapi gejala tersebut, negara justru
tampil sebagai kekuatan fasis yang memaksakan tafsir formal tertentu atas
pemahaman keagamaan. Alih-alih memberi tempat bagi keragaman
keyakinan, negara justru menjadi kekuatan penghancur aneka-ragam
keyakinan. Tipologi organisasi keagamaan yang kedua relevan untuk
membaca organisasi keagamaan Ahmadiyah di Indonesia. Karena beberapa
ajarannya yang berbeda dengan mainstream, maka mereka dilabeli sesat dan
dimusuhi banyak pihak.
2. Strategi bertahan
Sekte perlu memainkan strategi agar mampu bertahan dan lolos dari
cengkeraman politik negara yang berupa label dan stigma negatif, serta
membuatnya tetap eksis di tengah kelompok mainstream. Strategi tersebut
mencakup; strategi adaptasi dalam mempertahankan eksistensi (strategi
bertahan internal) dan mengembangkan gerakannya (strategi bertahan
eksternal).
16
a. Strategi Bertahan Internal
Strategi internal yang perlu diterapkan oleh sekte untuk
mempertahankan eksistensinya adalah:
1. Loyalitas kepada pemimpin
Pada fase pertama suatu gerakan keagamaan biasanya dipengaruhi
oleh kepribadian pendirinya.Menurut Weber, otoritas karismatik hanya
akan ada dalam tahap awal gerakan keagamaan. Permasalahan muncul
ketika sang pendiri (sosok karismatik) meninggal. Oleh karena itu,
gerakan keagamaan harus diarahkan pada bentuk yang lebih
stabil(Nottingham, Elizabeth, 1994: 158).
2. Pernikahan dengan sesama anggota
Kelompok tertentu berupaya untuk mempertahankan kemurnian
garis keturunan dan eksklusivitas kelompok mereka.Misalnya, melalui
pernikahan hanya di kalangan anggotadan menghindari pernikahan
campuran.
3. Internalisasi nilai-nilai keagamaan
Apabila organisasi (keagamaan) ingin berhasil dalam
mempengaruhi masyarakat sesuai dengan arah tujuannya maka organisasi
tersebut harus menanamkan nilai-nilai keagamaan serta menertibkan
kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin
dicapai (Nottingham, Elizabeth, 1994: 145).
4. Konsolidasi internal
Konsolidasi internal merupakan upaya mewujudkan persatuan di dalam
organisasi. Dengan terus meningkatkan konsolidasi internal, maka komunikasi
baik antar anggota maupun komunikasi antara anggota dengan pemimpin terus
17
terjalin dan organisasi akan terus berjalan (Hamim M, 2012: 102).
5. Finansial
Kebutuhan finansial merupakan faktor yang mempengaruhi dalam
melakukan sebuah kegiatan baik kegiatan rutin, maupun kegiatan
besar/umum. Untuk memenuhi kebutuhan finansial, pada umumnya
organisasi mendirikan badan usaha ekonomi seperti usaha koperasi,
maupun bentuk badan usaha lainnya (Fransiskus Randa, 2011: 72).
b. Strategi Bertahan Eksternal
Di samping pendekatan internal, Strategi eksternal yang perlu diterapkan
oleh sekte untuk mempertahankan eksistensinya adalah:
1. Merekrut orang-orang yang berpengaruh
Apabila sekte ingin mempengaruhi masyarakat secara luas, mereka
harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang
potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai
kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka (Nottingham,
Elizabeth, 1994: 145).
2. Adaptasi
Yang dimaksud dengan adaptasi di sini adalah proses penyesuaian
organisasi terhadap lingkungan dan keadaan sekitar (Metnarno, 2011:
66). Adaptasi tersebut misalnya berupa perubahan karakter gerakan, dari
gerakan yang eksklusif menuju gerakan yang inklusif. Beberapa doktrin
yang mengganggu proses dialektika kebudayaan ditafsir ulang. Pada
proses ini terjadi perubahan fundamental (Hamim M, 2012: 5).
18
3. Badan hukum/legalitas
Aspek legalitas memegang peranan penting untuk kemajauan
organisasi itu sendiri. Legalitas merupakan usaha yang terkait dengan
kebijakan pemerintah dan aspek hukum.Ajaran maupun aktivitas
keorganisasian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan dan hukum
yang berlaku. Tanpa dukungan legalitas, strategi yang direncanakan
dikhawatirkan akan mendapat hambatan pada tahap implementasi
rencana dan keberlanjutan usahanya terancam berhenti. Selain itu,
legalitas sangat diperlukan apabila akan berhubungan dengan pihak lain
(Hamim M, 2012: 159).
4. Membangun hubungan yang baik dengan pemerintah
Sekte perlu untuk membangun kedekatan dengan penguasa.
Penguasa mampu memberikan keuntungan bagi sekte berupa materi dan
perlindungan politik dari ancaman eksternal dari kelompok mainstream
yang menolak kehadirannya (Hamim M, 2012: 6).
5. Perkawinan di luar anggota (hibridasi)
Hibridisasi, artinya perkawinan campuran/silang atau perkawinan
antara anggota dengan non-anggota. Sejarah telah membuktikan bahwa
perkawinan merupakan satu sarana yang cukup efektif. Perkawinan
akan lebih menguntungkan apabila terjadi antara anggota sekte dengan
orang yang memiliki status sosial yang tinggi (Rusadi, 2011: 14).
19
3. Teori Resistensi
Setiap hari manusia selalu berkutat dengan kegiatan yang berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologisnya. Dengan kata lain,
manusia selalu berusaha mengatasi hal-hal yang mengancam kelangsungan
eksistensinya (existential anxiety). Berbagai bentuk cara digunakan
individu maupun kelompok untuk melindungi diri agar tidak terkena
pengaruh buruk dari suatu hal yang dianggap mengancam keberlangsungan
eksistensinya, salah satunya adalah dengan melakukan resistensi.
Resistensi dalam studi James Scott yaitu fokus pada bentuk-bentuk
perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan
sehari-hari. Ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan
kaum minoritas. Menurut Scott, tujuan resistensi dimaksudkan untuk
memperkecil atau menolak sama sekali klaim-klaim yang diajukan kelas-
kelas dominan atau mengajukan klaim-klaim mereka sendiri dalam
menghadapi kelas dominan (dalam Suriadi, 2008:54).
Bentuk resistensi menurut Scott dan James (dalam Suriadi, 2008:52)
dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Bentuk-bentuk tipikal resistensi tersebut
dapat dilihat sebagai berikut; Pertama, resistensi tertutup
(simbolis/ideologi) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-
kategori yang dipaksakan kepada masyarakat/ buruh, serta penarikan
kembali rasa hormat kepada pihak penguasa. Bentuk resistensi ini tidak
berpotensi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem
yang berlaku, yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Kedua, resistensi
semi terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaim
kepada pihak yang berwenang. Bentuk resistensi ini diwujudkan untuk
20
menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya.
Ketiga, resistensi terbuka merupakan bentuk resistensi yang terorganisir,
sistematis, dan berprinsip. Resistensi terbuka ini mempunyai dampak-
dampak yang revolusioner (yang mendukung perubahan mendadak, cepat,
dan drastis). Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi
itu sendiri. Manifestasi (wujud) dari bentuk resistensi ini adalah
digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.
Scott dalam teorinya menyatakan bahwa kelompok lemah cenderung
menggunakan cara yang samar dalam melakukan penentangan. Cara
tersebut disebut Scott sebagai routine resistance (resistensi rutin). Karena
samar dan halusnya teknik penentangan jenis ini, maka terkadang pihak
ketiga baik itu target maupun pengamat seperti peneliti seringkali salah
melihatnya sebagai suatu teknik bertahan hidup semata (dalam Ngatini,
2013:28). Sebagai tambahan bahwa antara perlawanan dan berusaha
bertahan hidup adalah dua hal yang sulit dibedakan dan sulit dipisahkan
karena dalam kenyataannya manusia melawan untuk bertahan hidup. Atau
dengan kata lain, cara manusia bertahan hidup adalah dengan cara
melakukan perlawanan. Perlawanan itu sendiri ada yang dilakukan dengan
cara jelas seperti konfrontasi fisik, atau cara lain yang langsung diketahui
sebagai perlawanan, dan ada juga yang dilakukan secara tersembunyi samar
dan halus seperti yang digambarkan oleh Scott.
Konflik ahmadiyah baik di indonesia maupun di Bogor ini merupakan
jenis konflik vertikal dan juga konflik horizontal karena yang dilawan oleh
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Bogor dalam hal ini adalah negara yaitu
Departemen Agama dan juga agen agen negara seperti MUI maupun ormas
21
yang mengadopsi pemikiran negara yang menentang Ahmadiyah. Dengan
alasan ini, peneliti berpendapat bahwa teori resistensi Scott ini dapat
digunakan untuk menganalisa kasus Ahmadiyah di Bogor.
Alasan lain bahwa teori resistensi Scott akan mampu menjelaskan apa
yang terjadi dengan Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah karena adanya
persamaan antara subjek penelitian Scott dengan Jemaat Ahmadiyah Bogor.
Kesamaan pertama adalah bahwa masyarakat Sedaka dan Jemaat
Ahmadiyah Bogor merupakan kelompok yang lemah dalam beberapa aspek
seperti politik. Persamaan kedua adalah masyarakat ini sama-sama
mengalami apa yang disebut Scott sebagai “routine repression” (represi yg
hampir tidak tampak sebagai represi karena begitu samarnya). Lebih dari itu
Jemaat Ahmadiyah juga mengalami apa yang tidak dialami oleh masyarakat
Sedaka, yaitu jenis koersi yang disebut Scott dengan nama “exclusive
coersion” yang meliputi kekerasan fisik yang mengambil harta dan nyawa
mereka. Scott menyatakan bahwa seseorang yang sudah diciderai hak dan
kebebasannya akan cenderung untuk melakukan penentangan sesuai dengan
kondisi yang dimilikinya.
Sejauh ini, sudah banyak penelitian yang berfokus pada analisa
mengenai tindakan agresi manusia terkait dengan usaha adaptasinya
terhadap kondisi yang mereka hadapi, seperti yang terekspresikan dalam
bentuk demonstrasi anarkis, atau adu fisik. Sebaliknya, baru sedikit
penelitian mengenai pola adaptasi bertahan dan melawan dengan cara
damai, terutama yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki keterbatasan
seperti Jemaat Ahmadiyah.
22
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Di dalam
penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif, dimana metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2006:9)
adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.
Dalam penelitian ini, untuk mengolah dan menyajikan data dilakukan
dengan menggunakan teknik analisis kualitatif, di mana prosedur penelitian
bersifat menjelaskan, mengelola, menggambarkan dan menafsirkan hasil
penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas
permasalahan yang diteliti yang bertujuan menerangkan dan mengumpulkan
fakta-fakta yang diteliti.
Menurut Moleong (2002:6), penelitian kualitatif adalah “penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya; prilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah”.
23
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dimulai pada bulan Januari 2014 sampai dengan bulan Maret
2014. Lokasi penelitian ini di Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jl.
Raya Parung-Bogor 27, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tempat tersebut dipilih
sebagai lokasi penelitian karena di sanalah pusat Jemaat Ahmadiyah berdiri
.Selain itu, keluarnya rentetan fatwa tentang pelarangan Jemaat Ahmadiyah
yang telah mendapat respon yang beragam dari masyarakat. Bahkan,
Jemaat Ahmadiyah di lokasi tersebut tercatat telah mendapat dua kali
serangan oleh kelompok Anti-Ahmadiyah, yakni pada 9 dan 15 Juli 2005.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang
berada di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.
4. Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data
primer dan sekunder.
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan atau
penelitian empiris melalui wawancara dengan informan. Untuk
memperoleh data guna kepentingan penelitian maka diperlukan
informan kunci (key informant) yang memahami dan mempunyai
kaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti (Miles dan
Huberman, 1992 )
b. Data sekunder, yaitu data yang diperlukan untuk melengkapi data dan
informasi yang diperoleh dari data primer. Data ini diperoleh dari
24
dokumentasi-dokumentasi, laporan-laporan maupun arsip-arsip,
buku-buku, majalah, koran, internet dan sumber lainnya yang sesuai
dengan kebutuhan.
Penggunaan data primer dan data sekunder secara bersama-sama
dimaksudkan agar saling melengkapi yang disesuaikan dengan keperluan
penelitian. Selain itu, hal ini dilakukan untuk perbandingan data yang
diperoleh. Data Primer dan Sekunder yang telah dikumpulkan tidak
langsung dianalisis, melainkan terlebih dahulu diperiksa atau dicek
kembali, dengan tujuan agar data yang diperoleh tidak mengalami
kekurangan dan kesalahan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan
prosedur pengumpulan data triangulasi untuk menjamin validitas dan
reliabilitas informasi yang diperoleh. Alasan menggunakan metode
triangulasi adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat, lengkap dan
dapat dipercaya dengan cara sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di
25
mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
yang relatif lama. Teknik wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur, artinya
wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang
digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan (Sugiyono, 2006:138).
Jumlah informan yang diwawancarai dalam penelitian ini
adalah sebanyak 10 informan, yang secara umum dapat dibagi
menjadi dua, yakni; 7 orang dari pihak internal dan 3 orang pihak
eksternal.
Informan dari pihak internal ini terdiri dari; Pengurus Majlis
Lajnah Imaillah, Pengurus Majlis Khuddamul Ahmadiyah,
Pengurus Majlis Ansharullah Ahmadiyah, Pengurus Jamiah
Ahmadiyah, Pengurus MTA, serta Mubaligh Ahmadiyah.
Sedangkan dari pihak eksternal terdiri dari warga dan stakeholder
seperti Ketua RT serta Kepala Desa setempat.
Pemilihan informan dari pihak internal yang terdiri dari
mubaligh dan pengurus badan-badan dalam Ahmadiyah sendiri
bertujuan untuk menggali informasi mengenai strategi bertahan
yang mereka terapkan, khususnya dalam badan yang mereka
naungi. Sementara pengambilan informan dari pihak eksternal
dimaksudkan untuk mengetahui strategi bertahan eksternal yang
diterapkan oleh Jemaat Ahmadiyah serta untuk mengetahui sejauh
26
mana keberhasilan pelaksanaan strategi tersebut.
2. Observasi
Observasi adalah salah satu teknik mendapatkan data atau
informasi dengan cara mengamati secara langsung ataupun tidak
langsung terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Pondok Udik, Kecamatan Kemang,
Kabupaten Bogor.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah tehnik pengumpulan data dengan
menggunakan cara atau berdasarkan catatan-catatan yang
terdokumentasi (otentik), berupa data statistik, kumpulan peraturan
dan perundang-undangan, kepustakaan, gambar, selebaran, atau
brosur yang terdapat atau dijumpai di lokasi penelitian yang
berkaitan serta mendukung pelaksanaan penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Untuk mengolah dan medeskripsikan agar data agar lebih
bermakna dan mudah dipahami maka digunakan prosedur analisis data
yang dikembangkan (dalam Moleong, 1989:190), adapun prosedur analisis
data tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reduksi data
Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemikiran,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstarakan dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan, dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah pengkodean,
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
27
perlu dan mengorganisasi data.
Reduksi data dari hasil wawancara dan dokumentasi misalnya,
ada informan yang memberikan keterangan yang kita paham
bertentangan dengan keadaan sebenarnya di lapangan, maka data
semacam itu dapat direduksi.
2. Penyajian data
Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan, dengan melihat penyajian-penyajian peneliti
dan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus
dilakukan.
Kecendrungan kognitifnya akan menyederhanakan informasi
yang kompleks ke dalam bentuk yang disederhanakan dan diseleksi
atau konfigurasi yang mudah dipahami, polanya berupa matrik,
jaringan, tabel maupun bagan. Pada proses ini adalah dengan
menyiapkan data hasil wawancara dan dokumentasi secara rapih
berdasarkan rentang waktu agar mudah untuk dipahami siapa saja
yang melihat ataupun membaca data tersebut.
3. Verifikasi
Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik kesimpulan atau
verifikasi. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni yang
merupakan validitasnya. Pada tahap ini data yang telah disajikan
diteliti lebih dalam kebenarannya untuk kemudian disimpulkan.
28
Pada tahap ini, peneliti berusaha membandingkan data dari
informan yang berbeda. Selain itu, peneliti juga membandingkan data
primer dan data sekunder untuk mengetahui validitas serta untuk
mencegah adanya data yang menyimpang sebelum diolah dan
dianalisis.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini memuat empat bab yang di mulai dengan
BAB I yang berisi penegasan judul untuk memberikan batasan-batasan istilah
dalam melakukan penelitian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
memahami judul ini. Selanjutnya dibahas tentang pernyataan masalah dan
alasan penulis mengangkat judul ini sebagai sebuah penelitian, diteruskan
dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan kajian
pustaka. Setelah itu disajikan pula kerangka teoritik yang akan dijadikan
sebagai pertimbangan dalam menganalisa hasil penelitian yang didapatkan.
Bab pendahuluan ini kemudian diakhiri dengan penyajian metode penelitian
dan sistematika penulisan skripsi ini.
Selanjutnya pada BAB II skripsi ini berisi gambaran umum lokasi
penelitian, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni; profil
lokasi penelitian dan profil subjek penelitian. Dalam profil lokasi penelitian,
mencakup kondisi geografis, kondisi sosial demografis, dan kondisi
keagamaan. Sedangkan dalam profil Ahmadiyah, mencakup awal masuk dan
berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia, sejarah berdirinya Pusat Ahmadiyah
di Pondok Udik Kemang Kabupaten Bogor, Ahmadiyah sebagai organisasi
keagamaan, serta diakhiri dengan pembahasan mengenai sistem organisasi
Ahmadiyah.
29
Kemudian pada BAB III skripsi menyajikan hasil penelitian
berdasarkan temuan yang diperoleh dari lapangan, terutama yang berkaitan
dengan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang terdiri dari
strategi bertahan internal dan strategi bertahan eksternal. Pada bab ini juga
menyajikan analisa yang berdasarkan hasil temuan yang penulis dapatkan dari
lapangan menggunakan teori resistensi.
Dan pada bab terakhir skripsi ini, yakni BAB IV, yang merupakan
penutup berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan yang berkenaan dengan
identifikasi masalah serta beberapa refleksi dari penelitian ini yang ditujukan
untuk Jemaat Ahmadiyah, pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan bagi
penelitian selanjutnya.
30
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Profil Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,
Indonesia .Ibukotanya adalah Cibinong. Pusat Pemerintahan Bogor semula
masih berada di wilayah Kota Bogor yaitu tepatnya di Panaragan, kemudian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1982, Ibu Kota Kabupaten
Bogor dipindahkan dan ditetapkan di Cibinong. Sejak tahun 1990 pusat
kegiatan pemerintahan menempati Kantor Pemerintahan di Cibinong.
Dari sisi sejarah, Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang
menjadi pusat kerajaan tertua di Indonesia. Catatan Dinasti Sung di Cina dan
prasasti yang ditemukan di Tempuran sungai Ciaruteun dengan sungai
Cisadane, memperlihatkan bahwa setidaknya pada paruh awal abad ke 5 M di
wilayah ini telah ada sebuah bentuk pemerintahan.
Nama Bogor menurut berbagai pendapat bahwa kata Bogor berasal dari
kata “Buitenzorg”, nama resmi dari Penjajah Belanda. Pendapat lain berasal
dari kata “Bahai”, yang berarti Sapi yang kebetulan ada patung sapi di Kebun
Raya Bogor. Sedangkan pendapat ketiga menyebutkan Bogor berasal dari kata
“Bokor”, yang berarti tunggul pohon enau (kawung). Dalam versi lain
menyebutkan nama Bogor telah tampil dalam sebuah dokumen tanggal 7
April 1952, tertulis “Hoofd Van de Negorij Bogor” yang berarti kurang lebih
Kepala Kampung Bogor, yang menurut informasi kemudian bahwa Kampung
Bogor itu terletak di dalam lokasi Kebun Raya Bogor yang mulai dibangun
31
pada tahun 1817. Asal mula adanya masyarakat Kabupaten Bogor cikal
bakalnya adalah dari penggabungan sembilan kelompok permukiman oleh
Gubernur Jendral Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga menjadi
kesatuan masyarakat yang berkembang menjadi besar di waktu kemudian.
Kesatuan masyarakat itulah yang menjadi inti masyarakat Kabupaten Bogor
(http://www.bogorkab.go.id/selayang-pandang/diunduh pada 2 mei 2014).
Banyak aspek yang melatarbelakangi dipilihnya Kabupaten Bogor
sebagai lokasi Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), akan tetapi, peneliti
hanya akan membahas tiga diantaranya, yakni; kondisi geografis, kondisi
sosial demografis, dan kondisi keagamaan.
1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas 298.838,304 Ha. Secara geografis
terletak antara 6,18° LU – 6,47° LS dan 106°1 – 107°103 Bujur Timur dengan tipe
morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara
hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29,28 % berada pada ketinggian
15 – 100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42,62% berada pada ketinggian 100 – 500
meter dpl, 19,53% berada pada ketinggian 500 – 1.000 meter dpl, 8,43% berada pada
ketinggian 1.000 – 2.000 meter dpl dan 0,22% berada pada ketinggian 2.000 – 2.500
meter dpl. Secara klimatologi, wilayah Kabupaten Bogor termasuk dalam iklim tropis
sangat basah di bagian selatan dan ilkim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata
curah hujan tahunan 2.500 – 5.000 mm/tahun. Suhu rata-rata 20º – 30ºC, dengan rata-
rata tahunan 25ºC, kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah dengan
rata-rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2
mm/bulan (https://sites.google.com/site/profilbogorkab/gambaran-umum Diunduh
pada 2 mei 2014).
32
Kabupaten Bogor memiliki batas-batas strategis antara lain:
- Utara: Kota Depok
- Barat: Kabupaten Lebak
- Barat Daya: Kabupaten Tangerang
- Timur: Kabupaten Karawang
- Timur Daya: Kabupaten Bekasi
- Selatan: Kabupaten Sukabumi
- Tenggara: Kabupaten Cianjur
- Tengah: Kota Bogor
Untuk jarak tempuh Kabupaten Bogor dengan Pemerintahan Provinsi
dan Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:
1. Ibukota propinsi Jawa Barat 120 km
2. Ibukota Negara Republik Indonesia 60 km
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Bogor
memiliki jarak yang cukup dekat dengan kantor pusat Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) yang terletak di Jalan Balikpapan 1 No. 10, Cideng, Jakarta
Pusat. Sebelum didirikannya Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
Kabupaten Bogor, lokasi tersebut menjadi pusat kegiatan-kegiatan Jemaat
Ahmadiyah yang berskala Nasional. Meski telah mengalami beberapa kali
perluasan, namun tetap tidak mampu menampung banyaknya jemaat. Hal
inilah yang mungkin melatarbelakangi dipilihnya Kabupaten Bogor sebagai
lokasi Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
2. Kondisi Sosial Demografis
Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2012 berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 5,077,210 jiwa yang terdiri dari
33
penduduk laki-laki 2,604,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,472,337 jiwa.
Jumlah penduduk tersebut telah mengalami kenaikan apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 yang berjumlah 4,992,205 jiwa.
Kondisi ini menyebabkan tingginya rata-rata laju pertumbuhan penduduk
Kabupaten Bogor, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor pada tahun
2012 sebesar 3.15%.
Data sex rasio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 106, artinya
setiap 100 orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Sex rasio yang di
atas 100 tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
daripada jumlah penduduk perempuan di daerah tersebut. Pada tahun 2012,
rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor yaitu sebanyak
1.873 jiwa per-km2.
Pada tahun 2012, Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 434
desa/kelurahan yang meliputi 17 kelurahan dan 417 desa. Jumlah Rukun
Warga (RW) sebanyak 3.882 dan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak
15.561. Hampir sebagian besar desa pada Kabupaten Bogor sudah
terklasifikasi sebagai desa Swakarya yakni 351 desa, lainnya 77 desa
merupakan desa Swasembada, dan sudah tidak ada lagi yang tergolong desa
Swadaya. Berdasarkan klasifikasi daerah, yang di lihat dari aspek potensi
lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial terdapat kategori desa
perkotaan sebanyak 102 desa dan desa pedesaan sebanyak 332 desa.
(Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008: 11)
Dengan demikian, besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah
Kabupaten Bogor secara tidak langsung menjadi lahan yang subur bagi
tumbuhnya organisasi-organisasi keagamaan. Di Kabupaten Bogor terdapat
34
berbagai organisasi keagamaan seperti; NU, Muhammadiyah, Persis, LDII,
Ahmadiyah, dan lainnya. Ajaran Ahmadiyah cenderung paralel dengan
kepercayaan Sunda tradisional yang meyakini adanya Ratu Adil atau yang
dikenal masyarakat Sunda tradisional dengan istilah Ratu Sunda.Hal tersebut
terlihat dalam naskah-naskah kuno yang menceritakan masalah Imam Mahdi
(Nina, 2010: 205). Sementara itu, di Kabupaten Bogor Ahmadiyah telah
tersebar di beberapa Kecamatan seperti; Ciampea, Cibungbulang, Cigombong,
Leuwiliang, dan Kemang.
3. Kondisi Keagamaan
Umat beragama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sangat beragam.
Mayoritas penduduk Kabupaten Bogor beragama Islam. Pada tahun 2007 di
Kabupaten Bogor ada 3.144.724 penduduk yang beragama Islam, Katolik
24.446, Kristen (Protestan) 21.665, Hindu 11.932, dan Budha 21.209 orang.
Sementara untuk tempat ibadah, Pada tahun yang sama terdapat sebanyak
2.762 masjid, 517 mushola, 29 gereja, 4 pura, dan 11 vihara (Kabupaten
Bogor Dalam Angka 2008: 11).
Kabupaten Bogor merupakan basis daerah Religius, hal itu terindikasi
dari semaraknya kegiatan-kegiatan keberagamaan seperti; pengajian, majelis
ta‟lim, peringatan hari-hari besar keagamaan, serta kuatnya dominasi
lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti madrasah, organisasi dakwah
maupun pesantren. Jumlah pesantren yang ada di Kabupaten Bogor sebanyak
642 buah, beserta 856 kyai dan 100.988 santri. Adapun sedikitnya 282
organisasi dakwah yang berada di Kabupaten ini. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut:
35
Tabel 5: Banyaknya Madrasah, Murid, dan Guru
No. Jenis Madrasah Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru
1 Diniyah 780 60.336 3.337
2 TPA 2.793 56.553 8.106
3 Ibtidaiyah 529 103.151 4.849
4 Tsanawiyah 220 57.932 4.447
5 Aliyah 80 9.939 1.505
Sumber: Diolah berdasarkan data BPS
Di Kabupaten inilah pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) beridiri,
tepatnya berada di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang. Tempat ini
menjadi pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang berskala Nasional seperti;
pendidikan mubaligh, Jalsah Salanah (kongres), serta sebagai kantor Pengurus
Besar Ahmadiyah. Pada tahun 1940-1986, sebelum pusat Ahmadiyah tersebut
berdiri, Jalsah Salanah (kongres) digelar secara estafet dari Cabang satu ke
Cabang yang lain. Baru pada tahun-tahun berikutnya, setelah berdirinya Pusat
Ahmadiyah di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang ini Jalsah Salanah
(kongres) hampir setiap tahun digelar di sana (Munawar, 2013: 245).
Sementara kegiatan-kegiatan lainnya yang berskala besar sebelumnya digelar
di Jakarta, tepatnya di Jalan Balikpapan 1 No. 10, Cideng, Jakarta Pusat.
Namun, lokasi tersebut tidak mampu menampung banyaknya jemaat, meski
telah mengalami beberapa kali perluasan. Dipilihnya Kabupaten Bogor
sebagai pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) nampaknya
berkaitan dengan banyaknya Cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang
36
berada di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya, diantaranya; Garut, Sukabumi,
Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, dan Jakarta.
B. Profil Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Jemaat Ahmadiyah telah berada di Indonesia sejak 1925, beriringan
dengan organisasi keagamaan lainnya, seperti; Muhammadiyah (1916), dan
Nahdatul Ulama (1926). Dengan demikian, hingga tahun 2014 ini, keberadaan
Jemaat Ahmadiyah telah mencapai usia 89 tahun, suatu rentang usia yang
panjang. Bagi sebuah organisasi masyarakat, usia tersebut dianggap sebagai
ruang diterima oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut, sehingga
organisasi tersebut telah menyatu dengan masyarakat itu sendiri. Namun
kenyataan tersebut tidak berlaku bagi Jemaat Ahmadiyah, justru memasuki ke
80 tahun keberadaan mereka digugat oleh masyarakat Indonesia.
1. Masuk dan Berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya
mubaligh Ahmadiyah yang pertama kali diutus oleh Imam Jemaat
Ahmadiyah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah al-Masih II, Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mubaligh tersebut ialah Maulana Rahmat Ali,
yang bertolak dari Qadian pada Agustus 1925 dan tiba di Tapaktuan,
Sumatera Utara pada tanggal 2 Oktober 1925. Tujuan diutusnya Maulana
Rahmat Ali adalah untuk menyebarkan kabar gembira bahwa Imam Mahdi
yang ditunggu-tunggu telah datang di kawasan Hindia Timur (julukan
Indonesia pada waktu itu) (Sholikhin, 2013: 77).
Kedatangan mubaligh Ahmadiyah tersebut ke Indonesia tidak terlepas
dari peranan 19 pemuda Islam asal Indonesia di India, yang kemudian berbaiat
masuk Ahmadiyah. Merekalah yang mengajukan permohonan kepada
37
Khilafah al-Masih II, agar dapat mengirimkan mubalighnya ke Indonesia,
yang dijawab bahwa Khalifah dari Dzulqarnain (sebutan Mirza Bashiruddin
Mahmud Ahmad), akan memenuhi permintaan tersebut. Atas permintaan
tersebut, Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menugaskan
Maulana Rahmat Ali untuk datang ke Indonesia (Sholikhin, 2013: 78).
Sesampainya di Tapaktuan, Rahmat Ali tinggal di rumah Muhammad
Samin, orang yang pernah belajar di Qadian. Masyarakat Tapaktuan
sebelumnya telah mengenal kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi. Para
pelajar Indonesia di Qadian sering berkirim surat agar jika utusan dari Imam
Mahdi datang supaya diterima sebaik-baiknya. Dalam waktu yang tidak lama,
beberapa penduduk Tapaktuan sudah ada yang mengaku secara terang-
terangan mengikuti Ahmadiyah (Zulkarnain, 2005:177).
Meski sudah masuk sejak tahun 1925 dan telah tersebar ke beberapa
kota, baik di Sumatra maupun Jawa, akan tetapi sebagai sebuah organisasi,
Pengurus Besar baru terbentuk setelah sepuluh tahun kemudian. Pada tanggal
25 Desember 1935, diadakan pertemuan tokoh-tokoh di Clubgebouw
Kleykampweg (sekarang menjadi jalan Balikpapan) No. 41 Jakarta dan telah
memutuskan untuk membentuk Pengurus Besar Ahmadiyah. Organisasi diberi
nama Anjuman Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia (AQDI). Dalam
rangka penyempurnaan, Pengurus Besar berusaha menyesuaikan organisasi
AQDI dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di Qadian. Untuk mewujudkan
rencana tersebut, dalam konferensi yang diadakan pada tanggal 12 dan 13 Juni
1937 di masjid Hidayat, Jalan Balikpapan I/10 Jakarta, memutuskan untuk
menyesuaikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ahmadiyah
Qadian Departemen Indonesia (AQDI) dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di
38
Qadian. Nama Ahmadiyah telah diganti dari Ahmadiyah Qadian Departemen
Indonesia (AQDI) menjadi Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia
(AADI) (Zulkarnain, 2005:194).
Pada bulan Desember 1949, diadakan Mukatamar di Jakarta. Selain
menyetujui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang baru, juga
mengganti nama organisasi dari Anjuman Ahmadiyah Qadian Indonesia
(AADI) menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam perkembangan
selanjutnya, organisasi ini telah mendapat pengesahan dari Pemerintah
Republik Indonesia sebagai badan hukum dengan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman No.J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tanggal 31 Maret 1953
(Zulkarnain, 2005:196).
2. Sejarah berdirinya Pusat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor
Perkembangan Jemaat Ahmadiyah di wilayah kota Jakarta telah
membuat masjid Hidayat di Jalan Blikpapan 1/10 Jakarta Pusat, yang juga
merupakan Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia harus mengalami
beberapa kali perluasan, terutama hal itu dilakukan di masa Maulana H.
Mahmud Ahmad Cheema HA. Sy sebagai amir & Raisuttabligh, dan Ir. Syarif
Ahmad Lubis sebagai Ketua Pengurus Besar atau Ketua Nasional. Demikian
pula perkembangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di luar wilayah Jakarta pun
sangat meningkat, sehingga untuk keperluan kegiatan-kegiatan Jemaat
Ahmadiyah yang berskala Nasional seperti Jalsah Salanah, diperlukan tempat
yang cukup luas (Qoyum, 2010: 1).
39
Sejak lama Hadrat Khalifatul Masih IIra menginginkan dan
menganjurkan supaya Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki sebuah Pusat
yang cukup luas. Guna memenuhi keinginan Huzur tersebut pada tahun 1975
Maulana Imamuddin HA selaku Raisuttabligh telah membentuk sebuah
Panitia, dan Ir. Pipip Sumantri ditunjuk sebagai Project Officer, untuk
mengurus pembelian tanah seluas 10 hektar dan membangun Pusat Pendidikan
di atasnya (Qoyum, 2010: 1).
Sejalan dengan rencana tersebut telah diusahakan pembelian tanah di
daerah Pinang, Kabupaten Tangerang. Namun disebabkan oleh ketidakjujuran
seorang oknum, usaha tersebut menjadi gagal, dan dibentuklah sebuah Panitia
yang diketuai oleh Kol.TNI AD Surya Sudjana.Kasus “pembelian tanah” di
daerah Pinang, Tangerang itu sendiri prosesya diteruskan ke Pengadilan
sampai selesai (Qoyum, 2010: 1).
Pada tahun 1976 di dalam Majlis Musyawarah yang ke 27 di Jakarta,
telah diambil keputusan bahwa lokasi Pusdik supaya dipindahkan dari Pinang,
Tangerang ke Sindang Barang, Bogor. Kemudian dibentuk sebuah panitia
yang diketuai oleh Kol.TNI AD Hasan Muhammad. Sebuah Panitia lagi
dibentuk yang diketuai oleh A, Qoyum Wahid guna mengurus pembelian
tanah di Sindangbarang, Bogor (Qoyum, 2010: 2).
Tanah yang terletak di daerah Pinang, Tangerang dijual. Sesuai dengan
keputusan Majlis Musyawarah dibeli sebidang tanah seluas 4 hektar di
Sindangbarang, Bogor, karena sebelumnya di sana telah tersedia 2,5 hektar.
Namun kembali panitia pembangunan menghadapi kendala. Yakni ketika
tanah telah selesai dibeli, pemerintah setempat tidak memberi izin kepada
Jemaat Ahmadiyah untuk mendirikan Pusdik Mubarak di lokasi tanah tersebut
40
atas dasar bahwa masyarakat di sekeliling tanah itu tidak menyetujui adanya
rencana pembangunan Pusat Jemaat Ahmadiyah di sana (Qoyum, 2010: 2).
Pada tanggal 12 Februari 1979, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia
mengajukan appeal (permohonan) kepada Gubernur Jawa Barat, Mayjen TNI
AD Solichin GP, dan pada tanggal 27 Juli 1980 kepada Menteri Dalam
Negeri, Jenderal TNI Amir Mahmud, namun tidak ada jawaban. Untuk
pembangunan Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu telah
direncanakan sejumlah angaran. Untuk pendirian Pusdik Mubarak di
Sendangbarang, Bogor direncanakan anggarakan sebesar Rp. 500,000,000.-
dan pembangunannya direncanakan akan selesai dalam tempo 10 tahun.
Untuk itu akan disediakan anggaran Rp. 50,000,000.- per tahun. Sumbangan
dari para anggota setiap tahun Rp. 26,000,000.- dan sisanya akan diterima dari
penerimaan hak Pusat (Qoyum, 2010: 2).
Ketika pembangunan Pusdik Mubarak di Sindangbarang, Bogor tidak
mendapat izin, maka kepada beberapa Cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia
yakni Jakarta, Bandung dan Garut. Akan tetapi jawaban mereka mengatakan
bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan izin dari Pemerintah. Usaha
Cabang Manislor juga tidak berhasil. Mula-mula Cabang Jakarta
mengusahakan izin untuk pembangunan Pusdik ini di daerah Bekasi, namun
juga tidak berhasil. Pada akhirnya Cabang Jakarta dengan perantaraan seorang
Ahmadi, Letkol TNI AD Abdul Mukti, berhasil memperoleh izin dari
Pemerintah Kabupaten Bogor dan mendapat lokasi di Desa Jampang, Parung.
Ketika itu yang menjadi Bupati Bogor ialah Letkol TNI AD Ayip Rughby
(Qoyum, 2010: 3).
41
Sebelum panitia Pembangunan Pusdik Mubarak membeli tanah di Desa
Udik, Parung, Kemang, telah disebarkan pengumuman ke Cabang-cabang
supaya melakukan shalat istikharah, namun jawaban hanya diterima dari
seorang anggota Lajnah Imaillah yaitu Ny. Sri Wenda Thayyib (Ibu Entoy).
Di dalam istikharahnya diisyaratkan bahwa tempat itu sangat baik. Semula
direncanakan untuk membeli tanah di Desa Jampang Kcamatan Parung,
sekarang Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, seluas 7 hektar. Namun
karena penjualan tanah di Pinang dan Sindangbarang mengalami banyak
hambatan maka pihak Jemaat hanya dapat membeli 3 hektar saja, padahal
yang 4 hektar keadaan permukaan tanahnya rata, namun tidak dapat dibeli
karena tidak ada biaya (Qoyum, 2010: 4)
3. Ahmadiyah Sebagai Organisasi Keagamaan
Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi
politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Dalam mengembangkan
dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada
undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa di manapun
Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Banyak orang menganggap bahwa Ahmadiyah merupakan sebuah
sekte karena hidup dalam eksklusivisme, yakni cenderung memisahkan diri
dari masyarakat luas. Beberapa hal yang menyebabkan orang berpandangan
demikian diantaranya karena; Ahmadiyah beribadah di masjidnya sendiri,
intensitas hubungan sesama anggota Ahmadiyah, dan warga Ahmadiyah
menikah dengan sesama anggota (Munawar, 2013: 257)
42
Eksklusivitas Ahmadiyah tidak hanya mengesankan bahwa
Ahmadiyah bersikap menutup diri dari komunitas luar, tetapi secara
bersamaan juga menganggap salah kelompok yang lain. Implikasinya,
benturan antara pengikut Ahmadiyah dengan kelompok Islam lain memang
banyak ditemukan di berbagai daerah.
Sengaja atau tidak, eksklusivitas dan sikap menutup diri tersebut
sebenarnya tidak muncul tanpa alasan dan landasan. Oleh karena itu,
pertanyaan besarnya adalah, apakah sikap eksklusif tersebut muncul sebagai
kekuatan sosiologis semata untuk mempertahankan kemurnian identitas, atau
memang ada dasar atau landasan teologis dan doktrinalnya yang mampu
menkonstruksi budayabudaya eksklusif di tubuh Ahmadiyah?
Dalam aspek doktrinal memang ada beberapa ajaran keagamaan
Ahmadiyah yang mampu mendorong penganutnya untuk menjadi sangat
eksklusif. Doktrin seperti; imamah, amir, dan bai‟at, menjadi benteng dan
pembentukan karakter eksklusif Ahmadiyah. Kekuatan doktrin ini jelas sekali
pengaruhnya dalam menafikan kelompokkelompok lain di luar kelompok
mereka. Selain itu, adanya doktrin komunalisme yang mewujudkan
komunalitas kelompok yang sangat eksklusif.
Akan tetapi, secara sosiologis-kultural sikap eksklusif tersebut
bukanlah karakter yang permanen. Sikap eksklusivisme tersebut nampaknya
dilatarbelakangi oleh argumen sosial yang dibangun oleh sejarah yang
panjang. Sejarah Ahmadiyah selalu dipenuhi oleh penderitaan, pemboikotan,
dan penindasan terhadap pengikutnya baik di negara asalnya (Pakistan)
maupun negara-negara lainnya. Keadaan tersebut telah berlangsung sejak
Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai al-Masih. Sejak saat itulah pengikut
43
Ahmadiyah selalu mendapat tekanan hingga saat ini .Oleh karena itu, Mirza
Ghulam Ahmad menganjurkan untuk menikah dengan sesama anggota
Ahmadiyah, mendirikan masjid untuk beribadah berjamaah, dan melakukan
hubungan secara intens dengan sesama anggota Ahmadiyah. Suatu ketika
ijtihad tersebut mungkin akan dicabut apabila kondisi telah berubah
(Munawar, 2013: 258). Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika pada
perkembangan selanjutnya terdapat perubahan sangat mendasar yang
dilakukan oleh Ahmadiyah.
Dalam setiap tahunnya, banyak orang yang masuk ke dalam
Ahmadiyah. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel: Jumlah penambahan pengikut Ahmadiyah dari tahun 1992-2011
No Tahun Anggota Baru
1 19921993 5.898
2 19931994 7.487
3 19941995 8.000
4 19951996 6.000
5 19961997 17.020
6 19971998 41.120
7 19981999 25.287
8 19992000 20.757
44
9 20002001 10.574
10 20012002 4.962
11 20022003 1.321
12 20032004 1.163
13 20042010 5.000
Data: Munawar, 2013: 246
Data di atas menunjukkan selama 19 tahun (19922011) telah masuk
ke dalam Jemaat Ahmadiyah 154.586 orang. Hingga tahun 2011, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia memiliki 298 jemaat lokal (berada pada tingkat
kecamatan) di berbagai daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa
Ahmadiyah cukup ekspansif dalam melakukan pertablighan karena tiap tahun
banyak orang yang masuk ke dalam Ahmadiyah, yakni 12.465,5 orang
pertahun atau 8,33% pertahun orang masuk ke dalam Ahmadiyah (Munawar,
2013: 247).
Jika merujuk pada tipologi sekte yang disebutkan oleh Bryan Wilson,
Ahmadiyah termasuk tipe sekte Messianistik. Di dalam Ahmadiyah, doktrin
al-Mahdi dan al-Masih merupakan ajaran pokok. Menurut Ahmadiyah,
doktrin tentang al-mahdi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan Isa al-Masih
di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, yang
kedatangannya dijanjikan Tuhan. Ia ditugaskan Tuhan untuk menunjukkan
serta meyakinkan masyarakat luas tentang kebenaran Islam. Selain itu, ia juga
ditugaskan untuk menegakkan kembali syariat Nabi Muhammad Saw, sesudah
45
umatnya mengalami kemerosostan dalam kehidupan beragama (Zulkarnaen:
2005: 83).
Mengenai turunnya al-Masih, kaum muslimin pada umumnya
berpendapat bahwa al-Masih yang akan datang pada akhir zaman itu ialah
Ibnu Maryam a.s. sementara dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yang
dijanjikan kedatangannya bukanlah pribadi Nabi Isa a.s. melainkan salah
seorang umat Nabi Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al-
Masih a.s. Tidak disangkal bahwa Ahmadiyah mempunyai pandangan yang
berbeda dengan umat Islam pada umumnya mengenai al-Masih. Dengan
demikian, al-Masih dan al-Mahdi dalam pandangan Ahmadiyah itu satu
pribadi, dan berbeda dengan apa yang diapahami orang pada umumnya
(Zulkarnaen: 2005: 85).
4. Sistem Organisasi Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan gerakan dakwah Islam, visi dan misinya adalah
dalam rangka tabligh al-Islam. Perbedaannya dengan organisasi Islam yang
lain yakni, Ahmadiyah dikoordinir secara sistematis dan terpusat secara
Internasional. Sementara itu, keorganisasian Jemaat Ahmadiyah Ahmadiyah
di Pondok Udik, Kemang, Bogor yang menjadi markas pengurus besar ini
terlihat sangat rapi. Amir merupakan jabatan tertinggi. Amir sebagai kepala
eksekutif (administrasi), yang membawahi staf secara nasional. Dalam
Ahmadiyah Internasional, Amir ini adalah Gubernur. Dalam hal ini Gubernur
yang dimaksud adalah perwakilan pada setiap negara (Sholikhin, 2013: 87).
Agar dakwah dan proses tabligh berjalan dengan efektif, dibentuklah
berbagai majlis untuk menangani segmen tertentu, yaitu:
46
1. Majlis Ansharullah untuk pria usia di atas 40 tahun.
2. Majlis Khuddam al-Ahmadiyah untuk pemuda yang berumur antara 15
sampai 40 tahun.
3. Lajnah Imaillah untuk kaum perempuan usia 15 tahun ke atas
4. Majlis Athfal al-Ahmadiyah untuk anak laki-laki.
5. Majlis Banat al-Athfal untuk anak-anak perempuan.
Untuk masing-masing majlis dipimpin oleh seorang qaid/qaidah yang
berada di bawah garis pertanggungjawaban Amir. Mereka memiliki garis
otonom dalam roda organisasi, namun tetap bertanggungjawab terhadap
struktur di atasnya. Gerakan-gerakan sosial, terutama Wikari Amal (semacam
kerja bakti bersama) menjadi andalan kegiatan dakwahnya (Sholikhin, 2013:
90).
Selain lembaga-lembaga tersebut, di bawah Amir juga terdapat
semacam departemen yang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok; Tabligh,
Tarbiyat, dan keuangan.
Untuk kelompok Tabligh sendiri menangani tujuh bidang, yaitu:
1. Bidang Tabligh, yang bertugas untuk menangani dakwah Ahmadiyah agar
menjadi mubayyin ke dalam Ahmadiyah;
2. Bidang Umur Kharijah, yang bertugas untuk menangani hubungan dan
urusan-urusan eksternal, atau semacam humas;
3. Isya‟at, yang bertugas untuk menangani expo, perpustakaan, maupun
publikasi;
47
4. Audio-Video, yang bertugas untuk menangani dokumentasi dari
keseluruhan kegiatan Ahmadiyah baik dari daerah maupun nasional ke
dalam berbagai bentuk;
5. Dhiafat, yang bertugas untuk menangani acara-acara yang dapat diikuti
Ahmadiyah, urusan tamu, rapat dan kunjungan-kunjungan;
6. Zira‟at, yang bertugas untuk menangani masalah pertanian dan
peternakan;
7. Sanat wa Tijarah, perekonomian dan perdagangan.
Sedangkan kelompok Tarbiyat menangani tujuh bidang juga, yaitu:
1. Bidang Tarbiyat, yang bertugas untuk menangani persoalan kependidikan
dan regenerasi Ahmadiyah;
2. Bidang Ta‟lim, yang bertugas untuk menangani persoalan sekolah resmi,
madrasah, beasiswa, dan jami‟ah.
3. Bidang Umur Ammah, yang bertugas untuk menangani kegiatan-kegiatan
sosial, seperti bencana alam, sumbangan sosial, donor darah dan mata,
wikari amal, dan kegiatan sosial lainnya;
4. Bidang Rishta Nata, yang bertugas untuk menangani urusan pernikahan,
dan penyuluhan keluarga Ahmadi;
5. Bidang Wakfi Nou, yang bertugas untuk menangani bidang perwakafan
anak untuk lembaga. Anak diwakafkan untuk kepentingan adakwah di
jalan Allah;
6. Bidang al-Wasiyat, yang bertugas untuk menangani masalah wasiat harta
benda untuk jemaat.
7. Bidang Tahrik Jadid dan Perjanjian Lain, yang bertugas untuk menangani
masalah perjanjian seperti pendanaan maupun kontrak.
48
Sementara kelompok Keuangan membidangi lima bidang, yaitu:
1. Bidang Mal, yang bertugas untuk menyusun dan merealisasikan anggaran
pemasukan dan pengeluaran;
2. Bidang Mal Tambahan, yang bertugas untuk menangani dan mengevaluasi
pelaksanaan anggaran;
3. Bidang Amin/Bendahara, yang bertugassebagai kasir jemaat;
4. Bidang Jaidad, yang bertugas untuk menangani seputar pelaksanaan-
pelaksanaan anggaran di lapangan;
5. Bidang Audit, yang bertugas untuk mengevaluasi dan mengaudit
keuangan secara keseluruhan.
Berkantor pusat di Jl. Raya Parung-Bogor 27, Pusat Jemaat
Ahmadiyah Indonesia ini memiliki lembaga pendidikan yang bernama Jamiah
Ahmadiyah. Lembaga tersebut merupakan Perguruan Tinggi Mubaligh Pusat
di mana pelajar dari seluruh daerah di Indonesia, yang diresmikan langsung
oleh Hadhrat Masih Ma‟ud a.s. sendiri.. Lembaga tersebut dipimpin oleh
seorang kepala sekolah. Administrasi lembaga ini berada pada Tahrik Jadid
dan Wakilut Ta‟lim merupakan wakil yang terkait. Sadr Anjuman Ahmadiyah
dan Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah memikul bersama pembiayaannya.
Beberapa fasilitas disediakan untuk menunjang kegiatan pelajar seperti
perumahan untuk mubaligh, asrama jamiah, laboratorium komputer dan
bahasa, perpustakaan, gedung serba guna serta guest house. Di sana pelajar-
pelajar tersebut dilatih dan dipersiapkan untuk menjadi misionaris yang
nantinya akan disalurkan ke berbagai daerah. Mubaligh sangat berperan dalam
penyebaran Ahmadiyah di Indonesia. Karena itu, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia mendidik dengan serius para penyebar keyakinan mereka tersebut.
49
Di tengah-tengah kompleks seluas 3,5 hektar tersebut, berdiri sebuah
masjid yang diberi nama masjid An-Nasr. Masjid yang berdiri di atas tanah
seluas 1300 m2 tersebut mampu menampung hingga 2000 orang jamaah.
Masjid dua lantai itu juga merangkap sebagai perkantoran. Lantai satu
digunakan untuk administrasi, dan lantai dua untuk tempat beribadah jamaah.
Dengan melihat model dan sistem organisasinya tersebut, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia nampak memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan
pola organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah juga nampak sebagai sekte
yang mapan dan terorganisir.
50
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS
Bab ini akan menjelaskan hasil penelitian berdasarkan temuan dari
lapangan, terutama yang berkaitan dengan strategi bertahan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia yang terdiri dari strategi bertahan internal dan strategi
bertahan eksternal serta bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan oleh Jemaat
Ahmadiyah.
A. Strategi Bertahan Jemaat Ahmadiyah Pondok Udik Kemang
Banyak cara yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Kampung Udik
Kemang agar tetap survive dan mampu mempertahankan doktrin dan identitas
keagamaan serta jati diri organisasinya. Cara atau strategi tersebut dapat
dibagi menjadi dua, yakni strategi bertahan internal dan strategi bertahan
eksternal.
1. Strategi bertahan Internal
Yang dimaksud dengan strategi bertahan internal ini adalah suatu
proses atau cara yang dilakukan organisasi agar dapat melangsungkan
hidupnya (bertahan) dengan melibatkan seluruh sumber daya yang ada
didalam organisasi. Strategi bertahan internal yang diterapkan Jemaat
Ahmadiyah Pondok Udik untuk mempertahankan eksistensinya adalah
melalui loyalitas kepada pemimpin, internalisasi nilai-nilai keagamaan,
konsolidasi internal, pernikahan dengan sesama anggota, dan melalui
finansial.
51
a. Loyalitas terhadap pemimpin
Setelah Mirza Ghulam Ahmad wafat, maka sistem komando dan
organisasi Ahmadiyah memakai pola Khilafat al-Masih (pengganti
al-Masih) sehingga Khalifah menjadi jabatan tertinggi dalam
organisasi Ahmadiyah, yang berpusat di Rabwah Pakistan, dan
London sebagai pusat pengendalian organisasi. Khalifah memiliki
wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Amir. Amir
adalah Gubernur, yang dimaksud Gubernur di sini adalah perwakilan
pada setiap negara. Khalifah berfungsi sebagai Imam bagi seluruh
jemaat Ahmadiyah di dunia. Khalifah ini diibaratkan sebagai induk
ayam yang di bawah sayapnya bernaung jutaan jiwa yang menerima
didikan dan perlindungannya.
Sistem organisasi dakwah yang bercorak sentralistik tersebut
memiliki beberapa keuntungan. Hal ini memudahkan sistem
komando dalam dakwah yang dilaksanakan. Tentu pengambilan
label “jemaat” bagi organisasi ini memiliki kaitan filosofis dengan
cita-cita dan rencana dakwah yang akan dilakukan oleh organisasi ini
dalam jangka panjang. Dengan sistem organisasi sentralistik tersebut,
maka efek perpecahan pada tahun 1914, kemudian dapat dinetralisir.
Konsolidasi yang sentralistik dalam sistem dakwah agama,
nampaknya memberikan kekuatan dan energi yang lebih positif
dibanding sistem yang lain.
Sistem tersebut juga semakin mengokohkan loyalitas para
jamaah, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan program
yang dicanangkan oleh organisasi. Hal ini didorong oleh motivasi
52
mengenai „keselamatan‟ yang akan mereka peroleh nanti melalui
imam jamaah, yang dimiliki oleh Khalifat al-Masih sebagai penerus
Ghulam Ahmad, yang menyatakan sebagai juru selamat.
Sebagaimana pernyataan Yaqub, yang mengungkapkan bahwa:
“Dengan adanya pemimpin tunggal untuk seluruh dunia yang
dibarengi dengan semangat ketaatan kepada pemimpin, maka
tidak akan melahirkan perpecahan dalam tubuh jamaah.Tertutup
segala kemungkinan untuk berbeda.Suara Khalifah sangat ditaati
dalam Ahmadiyah, sehingga mampu menyatukan
semua.”(Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014).
Loyalitas atau ketaatann para jamaah ini juga nampaknya
berkaitan dengan salah satu poin yang terdapat dalam syarat bai‟at
yang disampaikan Yaqub ketika peneliti menanyakan seputar proses
bai‟at yang harus dijalani bagi calon anggota baru;
“Orang yang bai‟at berjanji dengan hati yang jujur bahwa; . . .
akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini (Imam Mahdi
dan Al-Masih Mau'ud), semata-mata karena Allah swt dengan
pengakuan taat dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan
berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung
tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan
keluarga, ikatan persahabatan atau pun ikatan
kerja.”(Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa syarat bai‟at
yang harus dipenuhi oleh calon anggota Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) cukup ketat. Ketika sesorang sudah bersedia untuk
menerima persyaratan tersebut, hampir dapat dipastikan ia akan setia
terhadap organisasi, hal tersebut bisa dilihat dari sedikitnya anggota
yang keluar dari Ahmadiyah.
53
b. Internalisasi nilai-nilai keagamaan
Strategi internal berikutnya yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah
dalam menghadapi tekanan adalah penguatan nilainilai yang
bersumber dari Hazrat Mirza Ghulam.Menukil wawancara dengan
Yaqub:
“Ahmadiyah sangat memperhatikan nilai-nilai
kerohanian.Melalui berbagai peraturan maupun tradisi
jemaat.Ahmadiyah memiliki seperangkat peraturan-peraturan
maupun tradisi yang menjadi panduan bagi Ahmadi untuk
menjalankan keahmadiyahaannya.Serta melalui tarbiyat yang
dilakukan secara terus menerus.”(Wawancara pribadi dengan
Yaqub, 17 Februari 2014).
Dalam rangka penguatan nilai-nilai keahmadiyahan, perempuan (ibu)
memiliki peran yang sangat vital. Perempuan (ibu) bertugas untuk
menanamkan nilai-nilai keahmadiyahan kepada anak-anaknya. Mengutip
wawancara dengan Lilis, tokoh Lajnah Imaillah yang mengungkapkan
bahwa:
“Perempuan (ibu) harus bisa menjadi contoh bagi anak-
anaknya.Berlangsung secara alami maupun natural tanpa adanya
paksaan.Maka tumbuhlah pemuda pemudi Ahmadi.”(Wawancara
pribadi dengan Lilis, 28Januari 2014).
Hal tersebut menunjukkan bahwa Ahmadiyah sangat mengoptimalkan
peran keluarga dalam hal internalisasi nilai-nilai yang mereka yakini. Oleh
karena itu, keluarga juga mempunyai peran utama dalam proses regenerasi di
tubuh organisasi Ahmadiyah.
Jika perempuan (ibu) bertugas untuk menanamkan nilai-nilai
keahmadiyahan (kepada anak-anaknya), maka Amir dan pengurus-pengurus
memiliki tugas mengawasi aktivitas kerohanian jamaah. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Ahmad Amin dalam wawancara yang menuturkan bahwa:
54
“Ahmadiyah memiliki susunan pengurus yang memiliki fungsinya
masing-masing. Pengurus-pengurus tersebutlah yang harus
memastikan bahwa keadaan setiap anggota baik, dari segi
kerohanian, keilmuan maupun kesejahteraan berjalan dengan baik”
(Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin, 17 Februari 2014)
Sementara kaum laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas yang tergabung
dalam Majlis Ansharullah juga memiliki tugas dalam penguatan nilai-nilai
keahmadiyahan, sebagaimana apa yang disampaikan oleh Anwar, selaku
pengurus Majlis Ansharullah yang mengungkapkan bahwa:
“Agenda utama Ansharullah adalah tarbiyat, selain kepada anggota
juga kepada semua anggota badan lain (Khuddam dan Lajnah
Immaillah) terutama yang ada dalam lingkup keluarganya.Anggota
Majlis Ansharullah juga diberi tugas untuk manganjurkan dan
mengajarkan kepada keturunannya untuk tetap setia kepada
Khilafat. Karena itulah antara lain Ansharullah diposisikan sebagai
Pengawas bagi badan-badan.” (Wawancara pribadi dengan Anwar,
23 Februari 2014)
Dengan demikian, berbagai elemen yang ada di dalam Ahmadiyah
seperti keluarga dan pengurus mempunyai peran besar dalam penguatan
nilainilai keahmadiyahan.
c. Konsolidasi Internal
Seperti yang sudah dijelaskan di muka, sistem organisasi yang dianut
Jemaat Ahmadiyah bercorak sentralistik. Sistem tersebut nampaknya
memberikan kekuatan dan energi pertahanan yang lebih baik dibandingkan
dengan sistem yang lain. Ini menjadi kunci bagi soliditas organisasi, relatif
aman dari kemungkinan perpecahan. Mengutip wawancara dengan Ahmad
Amin yang menyebutkan bahwa:
“Ketaatan kepada pemimpin baik di tingkat lokal hingga
internasional menjadi pilar tegaknya persatuan di antara
anggota” (Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin, 17 Februari
2014)
55
Selama penelitian, peneliti menyaksikan bahwa anggota Jemaat
Ahmadiyah nampak sangat antusias melaksanakan shalat berjamaah yang
digelar di masjid An-Nasr. Mengutip wawancara dengan Yusuf selaku
Pengurus Majlis Khuddamul Ahmadiyah yang menyatakan bahwa:
“Dalam Ahmadiyah, sebenarnya sudah ada ruh untuk selalu
dalam kebersamaan. Itu sudah ada dengan sendirinya, tanpa ada
usaha yang lebih.Hal ini ada pada setiap anggota karena
sebelumnya telah ada pernyataan komitmen.Persaudaraan antar
anggota itu, tak sekedar kawan tetapi juga saudara yang
sesungguhnya. Kalau kegiatan untuk lebih mempererat ya, melalui
pengajian, sholat jumat, organisasi-organisasi yang ada, dan
banyak kegiatan lain.” (Wawancara pribadi dengan Yusuf, 23
Februari 2014)
Di samping itu, teknologi juga digunakan oleh kalangan Ahmadiyah
untuk meningkatkan soliditas mereka. Hal tersebut terlihat dari didirikannya
Muslim Television Ahmadiyya International (MTA), serta pemanfaatan
internet, Chatting dan mailing menjadi tugas rutin para mubaligh yang berada
di daerah untuk korespondensi dengan pengurus pusat. Mengutip wawancara
dengan Bilal Ahmad selaku pengurus MTA, yang menyebutkan bahwa:
“Salah satu tujuan didirikannya Muslim Television Ahmadiyya
International (MTA) adalah untuk memberikan kesempatan kepada
para pengikutnya dimanapun diseluruh dunia untuk berhubungan
secara instan dengan khalifah.” (Wawancara pribadi dengan Bilal,
28Januari 2014)
Dengan terus menjalin komunikasi yang baik, akan tercipta hubungan
yang harmonis antara sesama anggota maupun antara anggota dengan
pemimpin, akan mempermudah organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dengan demikian, organisasi akan terus berjalan.
d. Pernikahan dengan sesama anggota
Strategi bertahan internal Ahmadiyah selanjutnya adalah mengatur
pernikahan anggota. Secara kelembagaan, Ahmadiyah mempunyai peraturan
56
menyangkut pernikahan anggotanya. Peraturan tersebut yaitu kewajiban
untuk melakukan pernikahan hanya dengan sesama anggota. Peraturan
tersebut berdasarkan pertimbangan dari aspek „kufu‟. Mengutip wawancara
dengan Yaqub, yang menyatakan bahwa:
“Islam mengajarkan bahwa alangkah baiknya di dalam
pernikahan laki-laki dan perempuan itu dalam keadaan kufu.Di
dalam kufu, kesamaan mazhab, agama, keadaan keluarga sebagai
tolak ukur utama.Maksud dari kufu sebenarnya adalah
menciptakan keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan
berkeluarga bagi kedua belah pihak”. (Wawancara pribadi dengan
Yaqub, 17 Februari 2014)
Hal senada juga disampaikan oleh Lilis, tokoh Lajnah Imaillah yang
menuturkan bahwa:
“Kami punya aturan untuk mengatasi, karena pernikahan itu kan
sesungguhnya penyamaan persepsi (akidah). Jadi kami berprinsip
secara Islami penuhi dulu itu, tapi kami punya persepsi lain
alangkah baiknya apabila ada persamaan, daripada berbeda maka
nantinya akan sulit dalam proses pembinaan dengan anak-anak
tadi.” (Wawancara pribadi dengan Lilis, 28Januari 2014)
Berdasarkan pernyataan kedua informan tersebut menunjukkan bahwa,
kecil kemungkinan anggota Ahmadiyah menikah dengan non-anggota.
Namun bukan berarti tidak mungkin. Mengutip wawancara dengan Yosep,
ketua RT setempat yang mengungkapkan bahwa:
“Hubungan warga di sini dengan Ahmadiyah baik, tidak ada
masalah dengan warga di sini. Bahkan beberapa warga bekerja di
sana. Ada pula yang menikah dengan anggota
Ahmadiyah.Memang pada awalnya mereka sangat tertetutup
namun lama-lama mereka sedikit terbuka dengan kita (warga).”
(Wawancara pribadi dengan Yosep, 28 Januari 2014)
Pernyataan tersebut menarik untuk dicermati. Pernikahan antara angoota
Ahmadiyah dengan non-anggota seperti yang telah disebutkan di atas
menunjukkan adanya interaksi dengan kelompok lain, dalam hal ini
masyarakat sekitar. Perubahan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh
57
semakin heterogennya warga Ahmadiyah, baik dari segi latar belakang
pendidikan maupun profesi seperti pegawai negeri, dosen, dan wiraswasta,
yang mana memberikan nuansa tersendiri dalam perubahan pandangan
tersebut. Meskipun pada masamasa awal pendirian Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad tidak memperbolehkan pernikahan di luar jamaah. Sementara
itu, pernikahan antara anggota Ahmadiyah dengan non-muslim rasanya
menjadi hal yang mustahil, mengingat kecilnya kemungkinan pernikahan
antara anggota Ahmadiyah dengan non-anggota, walaupun itu sesama
muslim.
e. Finansial
Organisasi Ahmadiyah secara finansial mandiri dari bantuan pihak luar.
Sumber pendanaan diperoleh dari iuran para anggotanya.Iuran di luar zakat
dan shadaqah bagi kalangan Ahmadiyah disebut dengan “pengurbanan” atau
disebut juga candah.Pengurbanan sendiri bisa berbentuk harta maupun
tenaga. Mereka menyandarkan diri pada berbagai ayat al-Qur‟an yang
menyatakan bahwa para umat Nabi terdahulu juga diperintahkan untuk
melakukan pengurbanan yang besar, demi syi‟ar keagamaan. Iuran yang
paling pokok, yang menjadi kewajiban anggota Ahmadiyah terdiri dari tiga
jenis iuran, yakni:
1. Candah Aam, di mana setiap anggota Ahmadiyah yang sudah
berpenghasilan mengeluarkan minimal 1/16 dari penghasilannya
perhari, atau perbulan, pertiga bulan, atau perenam bulan.
2. Candah Wasiat, kontribusi yang ditentukan oleh orang yang
menginginkan dengan perjanjian 1/10 dan 1/3 dari harta. Dalam
artian, organisasi menjadi salah satu ahli waris.
58
3. Tahrik Jadid, perjanjian yang isinya kesediaan kontribusi 1/5 atau
jumlah tertentu untuk masa satu tahun, di mana dalam pembayarannya
dapat dicicil.
Selain ketiga jenis iuran wajib tersebut, juga masih terdapat berbagai
jenis iuran, yakni:
1) Candah Wasiyat Jaidad;
2) Fund Kongres;
3) Fund Umar Foundation;
4) Buyut al-Hamd (dana untuk pembangunan rumah bagi orang miskin);
5) Zakat;
6) Fitrah dan Fidyah;
7) Ied Fund;
8) Dana Seabad;
9) Dana Pusdik;
10) Bilal Fund (dana untuk keluarga korban);
11) Tousee Makan Bharat (untuk pemeliharaan tempat-tempat suci);
12) Markas Eropa;
13) Priok Jalsah;
14) Dana Komputer;
15) Waqvi Jadid;
16) Dana Darwisy;
17) Dana Pendidikan, dan sebagainya.
Dengan demikian, hampir semua event dan moment-moment penting
dapat menjadi sumber infaq untuk kepentingan dakwah. Dana tersebut
dikembangkan dalam skala perencanaan satu tahun. Semua itu didasarkan pada
59
kontrak yang diinginkan oleh penyetor dana yang tidak lain ialah anggota,
memilih untuk menyalurkan infaqnya di bidang apa.
Oleh JAI, anggota yang paling setia membayar berbagai jenis infaq, dan
berdasarkan jumlah kekayaannya, paling sesuai dengan peraturan yang
ditetapkan, maka orang tersebut dinyatakan memiliki hak untuk dimakamkan di
Behisyti Maqbarah (perkuburan ahli surga), lingkungan perkuburan suci yang
hanya disediakan bagi orang-orang yang dianggap suci di lingkungan
Ahmadiyah yang terletak di Qadian, Punjab, India.
Dengan pendanaan secara mandiri serta dikelola secara profesional dan
bertanggung jawab itulah, maka Jemaat Ahmadiyah mampu menghimpun dana
dalam skala besar, yang dapat mencukupi pembiayaan dakwahnya. Dengan
system pendanaan secara mandiri membuat Ahmadiyah percaya diri untuk
bersikap independen terhadap pihak luar.
2. Strategi Bertahan Eksternal
Strategi eksternal yang diterapkan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik untuk
mempertahankan eksistensinya adalah:
a. Adaptasi
Yang dimaksud dengan adaptasi di sini adalah proses penyesuaian
organisasi terhadap lingkungan dan keadaan sekitar (Metnarno, 2011: 66).
Salah satu strategi bertahan eksternal Ahmadiyah adalah dengan melakukan
perubahan nama organisasi. Perubahan nama ini dapat dikategorikan ke
dalam strategi eksternal karena nama merupakan unsur identitas yang paling
mudah dikenali.
Ahmadiyah tercatat telah tiga kali mengganti nama mereka. Pertama,
Jemaat Ahmadiyah menggunakan nama Ahmadiyah Qadian Departemen
60
Indonesia (AQDI). Penggunaan nama „departemen‟ dalam nama organisasi
ini menunjukkan bahwa Ahmadiyah ingin menerapkan pola pendekatan
kulturalkeagamaan dengan memadukan bahasa Arab dengan bahasa
Indonesia ke dalam nama mereka, dengan harapan dapat diterima oleh
masyarakat.
Kedua, setelah menyandang nama Ahmadiyah Qadian Departemen
Indonesia (AQDI), kemudian Ahmadiyah merubah namanya menjadi
Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (AADI). Nama tersebut
merupakan hasil dari Muktamar bulan Desember 1949 yang digelar di
Jakarta. Selain menghasilkan nama baru, Mukatamar tersebut juga
Ahmadiyah menghasilkan perubahan pada Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Ahmadiyah, yang mana Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga tersebut disesuaikan dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di
Qadian (Zulkarnaen, 2005: 195).
Ketiga, nama Ahmadiyah berubah lagi menjadi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) hingga saat ini. Perubahan nama tersebut nampaknya
berkaitan dengan banyaknya protes dan kecaman yang ditujukan kepada
Ahmadiyah Qadian, sehingga kata “Qadian” dihilangkan untuk menghindari
stigma di kalangan umat Islam Indonesia.
b. Berpartisipasi pada kegiatan warga
Strategi bertahan berikutnya adalah dengan berpartisipasi pada kegiatan
warga. Secara sosial hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat
berlangsung cukup baik. Mereka sering melakukan kegiatan bersama, meski
baru sebatas kegiatan-kegiatan non-formal. Sebagaimana ditegaskan oleh
Ahmad Amin bahwa:
61
“Hubungan kami dengan masyarakat baik. Tidak ada masalah
dengan masyarakat setempat, masyarakat di sini menerima kami
dengan baik. Terutama dengan pemuda di sini. Pemuda-pemuda
Ahmadi sering berkomunikasi dengan pemuda di sini. Mereka
sering bertanding sepakbola, voli, dan sebagainya” (Wawancara
pribadi dengan Ahmad Amin, 17Februari 2014)
Hal senada juga disampaikan oleh Yosep selaku Ketua RT setempat
ketika penulis menanyakan seputar kegiatan bersama yang dilakukan oleh
warga dengan anggota Ahmadiyah:
“Kalau kegiatan yang formal sih tidak pernah, tapi kalau kegiatan
yang non-formal seperti kerjabakti, bermain sepak bola, bermain
volly, dan sebagainya cukup sering. Ya, saya sih berharap mereka
bisa lebih dekat dengan warga, lebih sering berkomunikasi dengan
kita, biar nggak ada rasa curiga atau apa satu sama
lain.”(Wawancara pribadi dengan Yosep, 28 Januari 2014)
Hubungan tersebut membuktikan bahwa Jemaat Ahmadiyah mulai
membuka diri terhadap lingkungan sekitar. Keterbukaan yang mulai
diperlihatkan Jemaat Ahmadiyah tersebut penting untuk menghindari adanya
kecurigaan yang diekspresikan oleh masyarakat sekitar.
c. Aktivisme bersama organisasi lain
Di samping menciptakan hubungan yang baik dengan warga setempat,
Jemaat Ahmadiyah juga berusaha membangun kedekatan dengan organisasi
lainnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad Amin bahwa:
“Ahmadiyah terbuka dengan siapa saja, baik itu dengan pemerintah,
dengan kelompok mainstream, maupun dengan kelompok minoritas.
Kami sering berkomunikasi dengan kelompok-kelompok minoritas
lainnya seperti Syi‟ah”(Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin,
17Februari 2014)
Seperti halnya Ahmad Amin, hal senada juga disampaikan olehYaqub
yang mengungkapkan bahwa:
“Jemaat Ahmadiyah melalui Badan Lajnah Immaillah secara
kontinu turut ambil bagian dalam berbagai kegiatan sosial
62
kemasyarakatan, terutama dalam memberikan bantuan pengobatan,
dan lain-lainkepada para korban bencana alam di berbagai daerah
di Indonesia bekerja sama dengan lembaga dan kelompok
masyarakat lainnya yang non-Ahmadiyah seperti Fatayat NU.”
(Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014)
Demikian pula Lilis, pengurus Lajnah Imaillah yang mengungkapkan
bahwa:
“Kita sering mengadakan kegiatan bersama dengan
organisasiwanita, baik organisasi formal (parlemen) maupun
LSM.Jadi mereka sudah tahu kalau Lajnah Imaillah dari
Ahmadiyah.Kami sangat terbuka kalau diajak kerja sama. Memang
ada juga organisasi lain yang "takut" atau mereka menghindar dari
kita itu ada juga, karena merasa kita "berbeda" dari mereka."
(Wawancara pribadi dengan Lilis, 28 Januari 2014)
Relasi dengan kelompok lain tersebut memainkan peranan penting untuk
semakin meneguhkan sikap keterbukaan serta menghilangkan kesan eksklusif
yang melekat pada Ahmadiyah. Karena sikap itulah yang menjadi salah satu
penyebab kehebohan serta mengundang resistensi dari masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa meski Ahmadiyah telah mencoba untuk membuka
diri, namun masih ada organisasi yang anti terhadap mereka.
d. Membangun relasi yang baik dengan pemerintah
Strategi bertahan eksternal berikutnya adalah dengan membangun
kedekatan dengan penguasa atau stakeholder setempat.Ahmadiyah sendiri
memiliki doktrin untuk mentaati pemerintah di manapun mereka berada. Di
daerah manapun, Ahmadiyah selalu melakukan pendekatan, dan menghindari
konflik serta perselisihan dengan pemerintah yang ada. Menurut Yaqub;
“Doktrin tersebut didasarkan pada friman Allah:
63
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,taatlah kepada Allah
swt., dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang
memegang kekuasaan di antaramu. Dan, jika kamu berselisih
mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah
swt.dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah swt.
dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus
akibatnya (An-Nisa :59)” (Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17
Februari 2014)
Ayat itulah yang menjadi dasar kesetiaan Ahmadiyah terhadap
Pemerintah. Yaqub menambahkan:
“Kata „taat‟ yang terletak sebelum kata-kata „Allah swt‟ dan „Rasul‟
telah ditiadakan sebelum perkataan orang-orang yang memegang
kekuasaan agar menunjukkan bahwa ketaatan sepenuh-penuhnya
kepada penguasa yang diangkat menurut undang-undang, berarti
pula taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.” (Wawancara pribadi
dengan Yaqub, 17 Februari 2014)
Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Amin ketika peneliti
menanyakan terkait hubungan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik
dengan stakeholder setempat:
“Hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan para pemimpin baik. Jemaat
Ahmadiyah harus taat dan setia pada pemerintah dan negara di
manapun mereka berada, sebagaimana ayat “wa uli al-amri
minkum” yang artinya: dan taatlah kepada pemerintah. Bahkan
Khalifah juga memerintahkan untuk demikian.”(Wawancara pribadi
dengan Ahmad Amin, 17 Februari 2014)
Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik sendiri, mempunyai
hubungan yang cukup dekat dengan Pemerintah setempat, dalam hal
ini dengan pihak Kelurahan Pondok Udik. Mengutip wawancara
dengan M. Sutisna, Kepala Desa Pondok Udik:
“Mereka (Jemaat Ahmadiyah) sudah cukup lama di sini (Pondok
Udik).Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak ada
masalah, semua baik-baik saja. Tidak ada yang merasa dirugikan
oleh keberadaannya.Mereka (Ahmadiyah) ikut berpartisipasi dalam
acara-acara bersama seperti agustusa-an, kita juga sering
mengajukan bantuan dana kepada mereka (Ahmadiyah).”
(Wawancara pribadi dengan Sutisna, 28 Januari 2014)
64
Berdasarkan penuturan di atas, tergambar hubungan antara
pemerintah dengan Jemaat Ahmadiyah. Hal itu terwujud dalam sikap
dari pihak kelurahan yang tidak segan umtuk mengajukan bantuan
kepada pihak Ahmadiyah. Relasi ini merupakan upaya yang
strategis. Setidaknya, dengan membangun kedekatan dengan
Pemerintah setempat, dalam hal ini dengan pihak Kelurahan dapat
menciptakan rasa aman bagi pihak Ahmadiyah. Karena Pemerintah
mampu memberikan keuntungan seperti perlindungan politik dari
ancaman eksternal yang datang dari kelompok yang menolak
kehadiran Jemaat Ahmadiyah.
e. Legalitas
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Jemaat Ahmadiyah
adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi politik dan tidak
memiliki tujuan politik. Di dalam mengembangkan dakwah
keagamaannya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh
kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang
berkuasa di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Ketika Republik Indonesia mulai berdiri dan tatanan
pemerintahan serta undang-undang negara Republik Indonesia telah
tertata dan terbangun, Jemaat Ahmadiyah pun segera menyesuaikan
diri dengan peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada
di negara Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1952, Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan surat kepada
pemerintah Republik Indonesia yaitu surat permohonan pengesahan
AD dan ART Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai Badan
65
Hukum. Dan pada tanggal 13 Maret 1953 Menteri Kehakiman
Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No.JA.5/23/13
menetapkan, bahwa Perkumpulan atau Organisasi Jemaat
Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai sebuah badan hukum. Surat
keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan
Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26 (Sidik, 2008:
21).
Pengakuan Badan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu
lebih dipertegas lagi oleh pernyataan Surat Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 0628/Ket/1978 yang menyatakan bahwa
Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan hukum
berdasarkan Stasblaad 1870 N0. 64 (Sidik, 2008: 21).
Selanjutnya, kelengkapan Organisasi Jemaat Ahmadiyah juga
diakui telah memenuhi persyaratan ketentuan Undang-undang
Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sehingga
keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku oleh Direktorat
Jendral Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dengan Surat
Nomor 363.A/DPM/505/93 (Sidik, 2008: 22).
Demikian juga dalam rangka pelaksanaan Undang-undang
Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1986
serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1986 tentang
Ruang Lingkup, Tata Cara, Pemberitahuan Kepada Pemerintah,
serta Papan Nama dan Lambang Organisasi Kemasyarakatan,
66
Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui keberadaannya oleh
Departemen Dalam Negei Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Kesatuan Bangsa dengan Nomor inventarisasi di DEPAGRI dengan
sifat kekhususan Kesamaan Agama Islam tanggal 5 Juni 2003
dengan Nomor 75/D.I/VI2003 (Sidik, 2008: 22).
Keputusan tersebut merupakan pengakuan pemerintah terhadap
eksistensi Jemaat Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia.
Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia sebagai organisasi yang memiliki hak dan kewajiban yang
setara dengan organisasi keagamaan yang sah lainnya. Jemaat
Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah
sekaligus mentaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.
Sementara itu, pengesahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
sebagai lembaga yang memiliki badan hukum oleh Pemerintah pada
tahun 1953 tersebut nampaknya berkaitan dengan upaya pendekatan
tokoh-tokoh Ahmadiyah dengan pihak Pemerintah. Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa pada masa-masa antara tahun 1946-
1955, pengaruh Soekarno sangat besar di Indonesia, sehinggga ada
kemungkinan terbitnya SK Menteri Kehakiman yang ditujukan
untuk Ahmadiyah berkaitan dengan kedekatan tersebut (Suvenir,
1994: 73).
Sementara kehadiran Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik
sendiri juga tidak lepas dari peran Pemerintah, dalam hal ini
Pemerintah Kabupaten Bogor. Pada saat itu yang menjadi Bupati
Bogor ialah Letkol TNI AD Ayip Rughby, yang kebetulan memiliki
67
hubungan yang baik dengan salah satu anggota Ahmadiyah, yakni
Letkol TNI AD Abdul Mukti(Qoyum, 2010: 4). Kemungkinan besar
terbitnya izin untuk pembangunan Pusdik Jemaat Ahmadiyah ini
berkaitan dengan hubungan tersebut.
B. Analisis
Keberadaan JAI telah diakui secara legal oleh negara dengan
pengesahan organisasi ini sebagai badan hukum melalui SK Menteri
Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No.JA 5/23/13 dan Tambahan Berita
Negara RI No.26 Tanggal 31 Maret 1953, terdaftar di Departemen Agama RI,
Departemen Sosial, serta Departemen Dalam Negeri. Terbitnya fatwa-fatwa
dari MUI serta berbagai peraturan baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah memang telah mengerdilkan Ahmadiyah, yakni dengan
membatasi hak-hak penganutnya untuk menjalankan keyakinan mereka yang
dijamin oleh Undang-undang Dasar. Beragam respon lahir dalam menyikapi
fatwa tersebut. Tidak sedikit yang menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak
pula yang bereaksi keras sehingga mengakibatkan Jemaat Ahmadiyah menjadi
korban kekerasan. Sebagai badan hukum resmi, seharusnya Jemaat
Ahmadiyah mendapatkan hak-hak yang sama dengan lembaga lain yang juga
berbadan hukum, namun fatwa-fatwa dari MUI serta berbagai peraturan baik
dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah jelas telah mengerdilkan dan
memasung hak-hak Ahmadiyah dan warganya. Meski demikian bukan berarti
tidak ada celah bagi mereka untuk „bersuara‟. Walaupun secara kuantitas
memang tidak begitu banyak, namun mereka tidak diam dan mencoba untuk
memperkecil atau menolak sama sekali klaim-klaim yang diajukan kelompok
dominan (anti-Ahmadiyah) serta mengajukan klaim-klaim mereka sendiri
68
dalam menghadapi kelompok dominan. Dengan kata lain Jemaat Ahmadiyah
melakukan resistensi (perlawanan) terhadap kelompok tersebut. Tetapi yang
penting untuk diketahui adalah resistensi yang ditunjukkan oleh Jemaat
Ahmadiyah bukan merupakan resistensi yang dipahami secara umum, bukan
resistensi seperti demonstrasi anarkis ataupun yang melibatkan kontak fisik.
Untuk mengurai bagaimana respon Jemat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dalam menghadapi berbagai tekanan, peneliti menggunakan pandangan James
Scott, yang membagi resistensi menjadi 3 bentuk, yakni; resistensi tertutup,
resistensi semi-terbuka, dan resistensi terbuka.
1. Resistensi Tertutup
Mengacu pada pembahasan Scott, resistensi tertutup adalah perlawanan
yang dilakukan secara tersembunyi, samar dan halus. Resistensi jenis ini
sulit untuk dikenali secara langsung sebagai tindakan resistensi oleh pihak
ketiga. Karena samar dan halusnya teknik penentangan jenis ini, maka
terkadang pihak ketiga baik itu target maupun pengamat seperti peneliti
seringkali salah melihatnya sebagai suatu teknik bertahan semata. Dalam
kasus Jemaat Ahmadiyah Bogor ini, peneliti menemukan beberapa bentuk
resistensi tertutup, yakni;
a. Penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan
Pada tahun 1980, MUI mengeluarkan fatwa yang menyebutkan
bahwa Ahmadiyah adalah organisasi di luar Islam dan
sesat.Keputusan tersebut menimbulkan beragam respon dari
masyarakat, bahkan sebagian mengarah ke tindakan anarkis.Tidak
heran jika Jemaat Ahmadiyah menolak kategori-kategori yang
69
dipaksakan MUI tersebut, atau dengan kata lain Jemaat Ahmadiyah
menolak dianggap sesat. Mereka mengeklaim bagian dari Islam dan
sama dengan umat Islam pada umumnya. Sikap initerlihat saat
wawancara, berikut petikan wawancara peneliti dengan salah satu
informan:
“Secara umum (Ahmadiyah) tidak ada perbedaanya dengan
umat Islam pada umumnya karena Ahmadiyah merupakan
bagian dari islam dan yang mengikuti ajaran islam.”
Selain menolak untuk dianggap sesat, Jemaat Ahmadiyah juga
membantah stigma 'eksklusif' yang selama ini disematkan ke
Ahmadiyah, seperti apa yang disampaikan salah satu informan
kepada peneliti yang menyatakan:
“Kami sangat terbuka kalau diajak kerja sama. Memang
ada jugaoranganisasi lain yang "takut" atau mereka
menghindar dari kita itu ada juga, karena merasa. kita
"berbeda" (dari mereka). Tapi secara umum di tingkat
pemerintahan, LSM kita bekerja sama dengan oranganisasi
lain. Jadi yang disebut eksklusif itu kita bingung, dimana
eksklusinya gitu, orang dengan berbagai organisasi kita
bekerja sama. Kalau dikatakan mereka tidak mau
mengundang, itu iya, karena mngkin mereka sudah alergi”.
Meski bentuk-bentuk resistensi tersebut tidak berpretensi
mengubah sistem dominasi, namunpenolakan terhadapkategori-
kategori yang dipaksakan MUI tersebut perlu untuk mengurangi
pengaruh buruk dari pelabelan-pelabelan yang dapat mengancam
keberlangsungan eksistensi mereka.
b. Membicarakan keburukan pihak lain di area domestik
Scott dalam teorinya menyatakan bahwa kelompok lemah
cenderung menggunakan cara yang samar dalam melakukan
pertentangan, misalnya dengan membicarakan keburukan pihak lain
70
di area domestik. Bentuk perlawanan tersebut juga dilakukan oleh
Jemaat Ahmadiyah. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu
informan yang menyebutkan bahwa:
“Kalau kita sudah biasa, itu hal yang wajar dan tak hanya
Ahmadiyah saja yang menghadapi hal-hal negative.Jika
ada yang berpikir negative tentang Ahmadiyah, mungkin
saja mereka belum tahu benar tentang Ahmadiyah.Maka
dari itu, kita menyelenggarakan pemahaman-pemahaman
kepada mereka.Pendek kata, jika ada yang menganggap
kami negative maka kami berpikir bahwa mereka belum
tahu”.
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan lain, yang
mengatakan bahwa:
“Sejak zaman dahulu (nabi-nabi terdahulu), juga sering
dihina dan diejek oleh orang-orang.Saya hanya berdoa
kepada mereka, supaya dibukakan jalan pengetahuan bagi
mereka”.
Pertentangan tersebut dilakukan bukan tanpa sebab, faktor
seperti adanya frustasi atas kondisi yang mereka alami membuat
mereka melakukan tindakan semacam itu. Teknik penentangan ini
memang sangat samar dan halus, sehingga tidak nampak seperti
sebuah perlawanan. Sikap ini diambil karena dirasa aman. Bentuk
perlawanan seperti itu memang kurang efektif, tetapi karena ada satu
alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin
konfrontasi langsung. Terlepas apakah cara ini efektif atau tidak,
Jemaat Ahmadiyah sangat berhati-hati dalam berkomunikasi,
khususnya kepada orang luar. Hal itu terlihat pada pemilihan kata-
kata yang mereka gunakan ketika wawancara dengan peniliti.
71
2. Resistensi Semi-Terbuka
Berbeda dengan jenis resistensi sebelumnya yang dilakukan secara
tersembunyi dan samar, jenis resistensi ini dilakukan dengan cara yang
lebih terbuka sehingga dapat diketahui langsung sebagai sebuah
tindakan perlawanan. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Bogor ini,
peneliti menemukan beberapa bentuk resistensi semi-terbuka, yakni;
a. Membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali tekanan terhadap
Jemaat Ahmadiyah yang datang dari berbagai pihak seperti MUI
dan kelompok anti-Ahmadiyah. Hal tersebut mendorong Jemaat
Ahmadiyah untuk menggalang dukungan dari pihak non-
Ahmadiyah pemerhati isu-isu pluralisme ataupun HAM seperti;
Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Kontras
(Komisi untuk Orang hilang dan Tidak Kekerasan), Wahid Institute,
AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama), dan
sebagainya.
Selain menggalang dukungan dari pihak non-Ahmadiyah
pemerhati isu-isu pluralisme ataupun HAM, Jemaat Ahmadiyah
juga menjalin kerjasama dengan pihak luar yang lebih kuat misalnya
bekerjasama dengan NU (Nahdlatul Ulama), sebagaimana yang
dipaparkan oleh salah satu informan yang menyatakan bahwa:
“Jemaat Ahmadiyah melalui Badan Lajnah Immaillah
secara kontinu turut ambil bagian dalam berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan, terutama dalam
memberikan bantuan pengobatan, dan lain-lain kepada
72
para korban bencana alam di berbagai daerah di
Indonesia bekerja sama dengan lembaga dan kelompok
masyarakat lainnya yang non-Ahmadiyah seperti Fatayat
NU”
Tindakan-tindakan tersebut mengindikasikan bahwa Jemaat
Ahmadiyah sebagai subjek yang aktif yang mencoba keluar dari
tekanan yang melingkupi mereka.Bentuk-bentuk resistensi yang
mereka terapkan bisa dibilang sangat baik, setidaknya agar Jemaat
Ahmadiyah tidak terlalu tertekan dan tertindas. Selain itu, dengan
membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain juga dapat
menyanggah stigma yang beredar di masyarakat bahwa Jemaat
Ahmadiyah merupakan kelompok eksklusif.
b. Memberi penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan
Terlepas apakah banyak yang bersimpati atau tidak, Ahmadiyah
dikenal sebagai komunitas yang damai karena doktrinnya
mengajarkan perdamaian. Dakwah Ahmadiyah tidak pernah
menyinggung apalagi menyerang madzhab lain, juga tidak
melakukan serangan balik atas pengkritiknya. Hal tersebut
sebagaimana dengan apa yang disampaikan oleh salah informan
yang menyebutkan bahwa:
“Orang boleh memandang kami sebelah mata, tapi kami punya
slogan "love for all, hated for none".Cinta kepada semua, tidak
benci pada siapapun. Kami dilarang untuk membalas apa yang
orang lain lakukan kepada kita (kekerasan). Kita tidak boleh
berprasangka negatif juga kepada mereka.Jadi kita tetap
berprasangka baik, kita doakan.Menurut kami, dimana bumi
diinjak, disitu langit dijunjung.Jadi tidak pernah kita melakukan
perlawanan-perlawanan.Demo saja tidak pernah.Diserang dimana-
mana.SKB keluarpun kita tidak turun ke jalan, karena kita memang
taat kepada pemerintah”.
73
Dalam menanggapi berbagai kritik yang ditujukan kepada
mereka, Jemaat Ahmadiyah meresponnya dengan cara-cara yang
damai seperti memberi penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan.
Jemaat Ahmadiyah memanfaatkan setiap media untuk digunakan
menyuarakan kepentingan dan hak-hak mereka. Untuk penjelasan
dalam bentuk tulisan, sejauh ini sudah banyak buku-buku maupun
leaflet yang telah diterbitkan oleh Jemaat Ahmadiyah melalui
lembaga penerbitan miliknya sendiri. Dengan memiliki lembaga
penerbitan sendiri, mereka lebih leluasa untuk menyuarakan hak-
hak serta menjelaskan ajaran Ahmadiyah tanpa harus bergantung
pada media lain. Selain itu, media lainnya seperti blog juga menjadi
tempat untuk bersuara. Sedangkan untuk penjelasan berbentuk lisan,
Jemaat Ahmadiyah memanfaatkan stasiun televisinya sendiri yang
bernama MTA (Muslim Television Ahmadiyya International). Hal
tersebut sebagaimana yang diutarakan oleh salah satu informan
kepada peneliti, berikut kutipannya:
“Salah satu tujuan MTA adalah untuk memperkuat kedudukan
Ahmadiyah di negara-negara dimana ajaran tersebut mengalami
tekanan seperti Pakistan, Bangladesh dan Indonesia, para pengikut
Ahmadiyah telah dibunuh dengan motif agama. Selain itu juga
memberikan kesempatan kepada para pengikutnya dimanapun
diseluruh dunia untuk berhubungan secara instan dengan
khalifah.Selain itu tujuan didirikannya MTA juga untuk
menyampaikan kebenaran Islam kepada dunia.”
74
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan bagaimana strategi
bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor. Dalam
penelitian ini, strategi bertahan yang dimaksud berkaitan dengan strategi atau
cara bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor dalam
menghadapi tekanan.
Masuknya Ahmadiyah di Indonesia bermula dari pemuda-pemuda
Indonesia yang sedang studi di Qadian.Merekalah yang mengajukan
permohonan kepada Khilafah al-Masih II, agar dapat mengirimkan
mubalighnya ke Indonesia, yang dijawab bahwa Khalifah akan memenuhi
permintaan tersebut. Atas permintaan tersebut, Khalifah II, Mirza Basyiruddin
Mahmud Ahmad menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang ke
Indonesia.
Sementara berdirinya Pusat Jemaat Ahmadiyah di Bogor
dilatarbelakangi olehperkembangan Jemaat Ahmadiyah yang membuat Kantor
Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang menjadi pusat kegiatan-kegiatan
Jemaat Ahmadiyah yang berskala Nasional tidak mampu menampung
banyaknya Jemaat meski telah mengalami beberapa kali perluasan. Di
samping itu Kabupaten Bogor memiliki jarak yang cukup dekat dengan kantor
pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang terletak di Jalan Balikpapan 1
75
No. 10, Cideng, Jakarta Pusat.Selain itu juga faktor sosial demografis
Kabupaten Bogor yang memungkinkan bagi tumbuhnya organisasi-organisasi
keagamaan seperti Ahmadiyah.
Mengenai tipologi organisasi keagamaan, Ahmadiyah dapat
dikategorikan ke dalam tipe sekte Messianistik, karena di dalam Ahmadiyah
terdapat doktrin al-Mahdi dan al-Masih. Menurut Ahmadiyah, doktrin tentang
al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan Isa al-Masih di akhir zaman.
Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, yang kedatangannya
dijanjikan Tuhan.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki keunikan tersendiri dibanding
dengan pola organisasi keagamaan lainnya.Ahmadiyah dikoordinir secara
sistematis dan terpusat secara Internasional.Sementara itu, keorganisasian
Jemaat Ahmadiyah Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor yang
menjadi markas pengurus besar ini terlihat sangat rapi.
Dalam mempertahankan eksistensinya, Jemaat Ahmadiyah
menerapkan strategi bertahan yang terdiri dari strategi bertahan internal dan
strategi bertahan eksternal.Strategi bertahan internal yang diterapkan Jemaat
Ahmadiyah Pondok Udik untuk mempertahankan eksistensinya adalah
melalui loyalitas kepada pemimpin, internalisasi nilai-nilai keagamaan,
konsolidasi internal, pernikahan dengan sesama anggota, dan melalui
kemandirian finansial.
Sementara strategi bertahan eksternal yakni dengan adaptasi,
berpartisipasi pada kegiatan warga, aktivisme bersama organisasi lain,
membangun relasi yang baik dengan pemerintah, serta pengakuan dari
76
pemerintah.Kemudian Jemaat Ahmadiyah melakukan tindakan resistensi
dengan tujuan untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi
koersif dari pihak dominan.Tindakan resistensi ini peneliti kategorikan
menjadi dua, yaitu; resistensi tertutup, dan resistensi semi-terbuka. Contoh
resistensi tertutup yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah
penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, dan membicarakan
keburukan pihak lain di area domestik. Sedangkan contoh dari resistensi semi-
terbuka yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah adalah membangun jaringan
dan kerjasama dengan pihak lain, dan member penjelasan dalam bentuk
tulisan dan lisan.
B. Saran
Penelitian ini sebenarnya tidak ditujukan untuk mencari penyelesaian masalah,
melainkan hanya untuk mendeskripsikan masalah yang sedang berlangsung. Namun
demikian, ada beberapa refleksi dari peniliti, diantaranya:
1. Pengurus Jemaat Ahmadiyah sebaiknya mengadakan kegiatan-kegiatan
yang melibatkan masyarakat sekitar yang lebih luas, agar membaur dan
menghilangkan kekakuan satu sama lainnya.
2. Jemaat Ahmadiyah harus lebih terbuka dengan masyarakat serta
organisasi lainya agar tidak dianggap sebagai kelompok yang eksklusif.
3. Bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang Jemaat Ahmadiyah,
lebih baik mencari tahu informasinya secara langsung dari sumbernya,
bukan dari sumber-sumber yang tidak jelas.
4. Hendaknya masing-masing petinggi organisasi keagamaan saling
bekerjasama untuk membangun umat Islam yang lebih baik dalam
kerangka ukhuwah Islamiyah.
77
5. Hendaknya semua kelompok saling belajar dari kelompok lain serta
mengambil segi-segi positifnya untuk selanjutnya diaplikasikan dalam
kelompoknya, dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan bidang
teologis dan fiqh.
6. Masyarakat terutama umat Islam pada umumnya, harus lebih berhati-
hati dalam menanggapi isu-isu yang berkembang mengenai hal-hal
negatif tentang adanya aliran atau kelompok yang dianggap sesat
seperti Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
7. Pemerintah harus menghapus dan mencabut semua undang-undang
yang mengandung berbagai bentuk diskriminasi terhadap minoritas
seperti SKB 3 Menteri tahun 2008.
8. Pemerintah hendaknya bersikap lebih otonom dalam mengambil
kebijakan. Jangan sampai terpengaruh pada tekanan dari kelompok
tertentu.
9. MUI seharusnya bersikap lebih obyektif dalam mengambil keputusan,
bukan hanya karena faktor mainstream yang mempengaruhi
keputusannya.
10. Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya tidak hanya meneliti Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (Qadian) saja, namun juga menyertakan
Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Lahore) sebagai komparasi untuk
menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan respon
mereka dalam menghadapi tekanan.
vii
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Arikunto Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Benton, Johnson. “On Church and Seet”. American Sociological Review, 28
(1963), 542.
Hadi, Sutrisno, 1990. Metodologi Penelitian. Bandung: Pustaka Setia
K. Nottingham, Elizabeth. 1994. Agama dan Masyarakat, Cet. V Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Lexi, J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Miles, M.B and Huberman, M.A. 1984. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjetjep
Rohendi Rohidi). Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Muhammad Sholikhin, 2013. Kontroversi Ahmadiyah.Yogyakarta: Garudhawaca
Munawar Ahmad, 2013. Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama. Yogyakarta:
SUKA-Press
Musthafa Kamal Pasya, Muhammadiyyah Sebagai Gerakan Islam, Perspketif Historis dan
Ideologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Niebuhr, H. Richard, 1929. The Social Sources of Denominationalism. New York : Holt.
O’dea, Thomas F, 1992. Sosiologi Agama (terjemahan : Tim Yasogama). Jakarta:
Rajawali
viii
Roland Robertson (ed.) 1988, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:
Rajawali
Sugiyono, 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Zulkarnain Iskandar, 2005. “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”. Yogyakarta: LkiS
2. Disertasi, Tesis, dan Hasil Penelitian Lainnya
BPS Kabupaten Bogor, 2012.Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2012. Kabupaten
Bogor: BPS Kab. Bogor.
Fransiskus anda, Akuntabilitas Keuangan dalam Organisasi Keagamaan (Studi etnografi
pada Sebuah Gereja Katolik di Tana Toraja). Jurnal Sistem Informasi Manajemen
dan Akuntansi Vol 9 No 2 Oktober 2011, 59- 83
Hilmi M, Pegulatan Komunitas Lembaga Dakwah Islam Indonesia di Kediri Jawa Timur.
Disertasi: Univesitas Indonesia.
Martin Van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar
belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and
cultural background"), Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27
____________________, Duit, Jodoh, Dukun: Remarks on cultural changes among poor
migrants to Bandung. Masyaakat Indonesia XV, 1998Rusadi, 2010. “Ugasan
Torop Dalam Ugamo Malim” (Studi Kasus Di Lembaga Sosial Milik Masyarakat
Parmalim). Disertasi: Universitas Sumatra Utara
Mircea Eliade, The Encycloedia of Religion.New York: Macmilian Publishing Company,
1972), Vol. XIII, hlm 154
Suriadi, 2008. Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan.
Jurnal Komunitas Universitas Indonesia.
ix
Waryono, 1998. Mencari Agama Baru (Studi Tehadap munculnya Sekte-Sekte Agama).
Al-Jami’ah No.61
3. Wawancara
Wawancara dengan Yaqub pada 17 Februari 2014
Wawancara dengan Ahmad Amin pada 17 Februari 2014
Wawancara dengan Lilis pada 28 Januari 2014
Wawancara dengan Anwar Saleh pada 23 Februari 2014
Wawancara dengan Yusf pada 23 Februari 2014
Wawancara dengan Iqbal pada 28 Januari 2014
Wawancara dengan Muniru pada 23 Februari 2014
Wawancara dengan Sutisna pada 28 Januari 2014
Wawancara dengan Yosep pada 28 Januari 2014
Wawancara dengan Reni Fatmawati pada 28 Januari 2014
4. Internet
Profil Kabupaten Bogor: https://sites.google.com/site/profilbogorkab/gambaran-umum.
Diunduh pada 2 mei 2014.
Profil Kabupaten Bogor: http://bogorkab.bps.go.id/publikasi/statistik-daerah-kabupaten-
bogor-tahun-2013. Diunduh pada 2 mei 2014.
5. Dokumen
Dildar Ahmad, 2012. Pendalaman Aqidah Ahmadiyah oleh Komisi 8 DPR RI. Jakarta:
x
Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Maulana, 2013. Awal Perselisihan Dalam Islam. Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Munasir Sidik, 2008. Dasar-dasar Hukum dan Legalitas: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Qoyum Wahid, 2010. Sejarah Pembangunan Kampus Mubarak. Jakarta: Jemaat
Ahmadiyah Indonesia
Tim, 2013. Penjelasan Aqidah Jemaat Ahmadiyah di Hadapan Parlemen Nasional
Pakistan. Jakarta: Wisma Damai
Video CD: Selayang Pandang Ahmadiyah
xi
Dokumentasi Pribadi
Guest House
Asrama Jamiah
F
Perumahan Mubaligh
xii
Gedung Serbaguna
Masjid An-Nasr
Wawancara dengan beberapa informan
xiii
Wawancara dengan pengurus MTA
Suasana ketika peneliti wawancara di dalam gedung serbaguna
xiv
Hasil Wawancara dengan Mubaligh Ahmadiyah
1.Identitas Diri
a. Nama : Ya’qub
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 32
2.Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana struktur organisasi di dalam Jemaat Ahmadiyah?
Organisasi Jemaat Ahmadiyah terdiri dari:
a.Ketua
b.Majlis Musyawarah
c.Mubalighin
d.Pengurus Besar
e.Auditor
f.Dewan Pengampu
g.Pengurus Cabang
2. Bagaimanakah peran dari ketua/amir?
Amir adalah kepala administratif Jemaat yang memegang kewenangan
tertinggi dalam Jemaat di negerinya.
3. Bagaimana mekanisme dalam pemilihan ketua/amir?
Pengurus Nasional termasuk Amir sesuai dengan ketentuan memiliki masa
jabatan selama 3 tahun. Pengurus nasional tersebut dipilih melalui proses
xv
Maslis Syuro (Majlis Musyawarah Nasional). Dimana anggota Majlis
Syuro Nasional terdiri dari
A. Amir/Ketua Nasional
B. Para Muballigh Markazi
C. Para Wakil Amir/wakil ketua dan semua pengurus Besar Jemaat
Nasional
D. Para Amir/Ketua lokal
E. Perwakilan dari Jemaat Lokal selain Amir/ketua lokal, melalui proses
pemilihan dengan cara:
i. Setiap Jemaat lokal yang mempunyai anggota pembayar Candah
sampai dengan 50 orang memilih seorang wakil.
ii. Jemaat lokal yang mempunyai anggota pembayar candah antara 51
sampai 100 orang masing-masing memilih dua orang wakil
iii. Jemaat lokal yang mempunyai anggota pembayar candah lebih dari
100, memilih seorang tambahan wakil untuk setiap 50 orang anggota
atau kurang dari itu.
iv.Amir/ketua Nasional atas pertimbangan nya sendiri dapat
mengundang anggota jemaat lainnya untuk secara khusus hadir dalam
Majlis Syuro . Jumlah undangan seperti itu tidak lebih dari 5 % dari
total jumlah anggota Majlis Syuro
v. (a) Dua wakil dari Majlis Khuddamul Ahmadiyah , terdiri dari Sadr
Majlis dan seorang wakil yang dipilihnya, (b) Dua wakil dari Majlis
Ansharullah , terdiri dari Sadr Majlis dan seorang wakil yang
dipilihnya, (c) Wakil dari Lajnah Imaillah , terdiri dari sadr Lajnah dan
mereka yang dipilihnya .Mengenai jumlahnya, amir /ketua Nasional
agar meminta persetujuan dari Hadhrat Khalifatul Masih
xvi
vi. Adalah perlu bahwa usia dari 25 % wakil-wakil yang dipilih oleh
suatu Jemaat untuk Majlis Syuro ada di bawah 30 tahun.
F. Para wakil dipilih dalam rapat umum Jemaat lokal berdasarkan suara
terbanyak
G. Dan seterusnya.
Hal lain yang harus diperhatikan saat proses pemilihan tidak
diperkenankan mengadakan kampanye, atau mengajukan diri sendiri. Hal
ini sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Pasal 236. Bila ada yang
mengeluhkan terjadinya kampanye propaganda untuk mendukung
seseorang dan keluhan itu terbukti benar setelah diteliti maka hasil
pemilihan harus dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, sedangkan
mereka yang terlibat dalam kampanye propaganda itu dikenai
pertanggungjawaban serta harus diadakan pemilihan ulang dan mereka
yang terlibat dalam kampanye itu tidak diizinkan mengikuti pemilihan
ulang ini. Untuk melakukan langkah ini harus memperoleh izin dari
Hadhrat Khalifatul Masih lebih dulu. Catatan: Dalam sebuah pemilihan
seseorang tidak boleh mengusulkan namanya sendiri maupun memberikan
suara untuk dirinya sendiri. Jika terbukti seseorang melakukan demikian
maka ia dianggap tidak pantas untuk jabatan itu dan juga, ia akan
dibebastugaskan dari jabatan apapun yang tengah disandangnya saat itu.
4. Berapa banyak jumlah anggota Jemaat Ahmadiyah di Indonesia dalam 3
tahun terakhir (2011, 2012, 2013)? Apakah ada peningkatan dari tahun-
tahun sebelumnya, atau sebaliknya?
Berdasarkan data yang diterima telah terjadi peningkatan baik dari segi
jumlah anggota maupun jumlah cabang terjadi peningkatan. Bahkan yang
cukup mengejutkan terjadi peningkatan yang signifikan dari penerimaan
pengorbanan anggota.
xvii
5. Bagaimana cara membedakan antara anggota Jemaat Ahmadiyah dengan
non-anggota?
Secara umum tidak ada perbedaanya dengan umat Islam pada umumnya
karena Ahmadiyah merupakan bagian dari islam dan yang mengikuti
ajaran islam. Anggota Ahmadiyah juga tidak mengenakan simbol-simbol
atau atribut-atribut khusus seperti jubah, serban, dan sebagainya.
6. Bagaimana proses yang dijalani seseorang, bila ingin masuk menjadi
anggota Ahmadiyah?
Setelah seseorang mengenal kebenaran Imam Mahdi dan Nabi Isa yang
dijanjikan melalui Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, kemudian menerima
Syarat Bai’at (terlampir dibawah) juga segala akidah Ahmadiyah termasuk
segala petunjuk yang penting maka seseorang diizinkan berbai’at dengan
mengisi Formulir Surat Pernyataan Bai’at yang telah disediakan.
Adapun Syarat Bai’at itu adalah :
Orang yang bai'at berjanji dengan hati yang jujur bahwa:
i. Dimasa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan
menjauhi syirik
ii. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina.
pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbutan fasik, kejahatan,
aniaya, khianat, mengadakan huru hara, dan memberontak serta tidak akan
dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan
terhadapnya.
iii. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus-putusnya
sesuai dengan perintah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya dan dengan sekuat
tenaga berikhtiar akan senantiasa mengerjakan shalat tahajud dan
mengirim shalawat kepada junjungannya yang Mulia Rasulullah saw dan
setiap hari akan membiasakan mengucapkan pujian dan sanjungan
xviii
terhadap Allah Ta'ala dengan mengingat karunia-karunia-Nya dengan hati
yang penuh rasa kecintaan.
iv. Tidak akan mendatangkan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya
terhadap makhluk Allah seumumnya dan kaum Muslimin khususnya
karena dorongan hawa nafsunya, baik dengan lisan atau dengan tangan
atau dengan cara apapun juga.
v. Akan tetap setia terhadap Allah Ta'ala baik dalam segala keadaan susah
ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya
akan rela atas putusan Allah Ta'ala. Dan senantiasa akan bersedia
menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah. Tidak akan
memalingkan mukannya dari Allah Ta'ala ketika ditimpa suatu musibah,
bahkan akan terus melangkah ke muka.
vi. Akan berhenti dari adat kebisaan yang buruk dan dari menuruti hawa
nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Quran suci
atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi
pedoman baginya dalam setiap langkahnya.
vii. Akan meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan
merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti yang halus dan
sopan santun.
viii. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam
lebih daripada jiwanya, harta bendanya, anak-anaknya dan dari segala
yang dicintainya.
ix. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah
seumumnya dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada
ummat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah
Ta'ala.
x. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini (Imam Mahdi dan Al-
Masih Mau'ud), semata-mata karena Allah swt dengan pengakuan taat
dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian
ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi
xix
ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan atau pun ikatan
kerja.
7. Adakah anggota Jemaat Ahmadiyah yang mempunyai posisi strategis
dalam masyarakat maupun pemerintahan?
Sejak masa perjuangan hingga saat ini tidak terhitung jumlahnya warga
Ahmadiyah yang memiliki posisi strategis dalam pemerintahan maupun
dalam masyarakat. Bahkan dalam daftar para pahlawan bangsa tercatat
beberapa nama yang merupakan anggota Ahmadiyah; Wr soepratman, R.
Muhyiddin, Arif Rahman Hakim dan lain-lain.
8. Hal-hal apa saja, yang dilakukan untuk menguatkan solidaritas antar
anggota?
Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa faktor yang dapat menjadi
penguat jalilan solidaritas antar anggota, namun penulis hanya
memberikan beberapa contoh saja.
a. Melalui ketaatan dalam sistem berjamaah yang dipimpin oleh seorang
khalifahtul Masih (pemimpin) Internasional. Dengan adanya pemimpin
tunggal untuk seluruh dunia yang dibarengi dengan semangat keitaatan
kepada pemimpin, maka tidak akan melahirkan perpecahan dalam tubuh
jamaah. Tertutup segala kemungkinan untuk berbeda. Oleh karena itu
ahmadi yang ada di Indonesia secara prinsip sama dengan ahmadi di
seluruh dunia. Suara Khalifah sangat ditaati dalam Ahmadiyah, sehingga
mampu menyatukan semua. Dimana suara khalifah tersebut dapat diterima
setiap ahmadi baik melalui khutbah Jumat yang langsung, media cetak dan
lain-lain. Para pengurus di tingkat internasional, nasional, lokal harus
memastikan bahwa seruan khalifah di dengar dan dilaksanakan oleh
seluruh ahmadi dengan baik.
b. Melalui berbagai peraturan maupun tradisi Jemaat. Ahmadiyah memiliki
seperangkat peraturan maupun tradisi yang menjadi panduan bagi ahmadi
xx
untuk menjalankan keahmadiaanya yang tentunya berlandaskan kepada
ajaran-ajaran Islam.
9. Bagaimana cara Jemaat Ahmadiyah dalam mengarahkan perilaku
anggotanya agar sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai?
Jemaat Ahmadiyah adalah sebuah organisasi yang secara murni
berlandaskan pada kerohanian. Oleh sebab itu Jemaat ahmadiyah sangat
menekankan kepada anggotanya untuk selalu memperhatikan nilai-nilai
kerohanian. Upaya ini dilakukan dengan beragam cara yang sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Serta melalui tarbiyat yang dilakukan secara terus
menerus.
10. Apa saja badan atau lembaga yang dibuat untuk menunjang kegiatan
Jemaat Ahmadiyah?
Secara internasional, Jemaat Ahmadiyah saat ini memiliki kurang lebih 45
badan atau organisasi yang bergerak dibawah naungan Jemaat Ahmadiyah.
Namun saya hanya berikan beberapa contoh saja.
Sebagai upaya untuk mempermudah suksesnya berbagai program Khalifah
Ahadiyah yang ke 2 telah membentuk badan-badan berdasarkan gender
dan usia seperti sebagai berikut:
a. Majlis Ansharullah : kelompok pria berusia dari 40 tahun hingga
seterusnya.
b. Majlis Khuddamul Ahmadiyah : Kelompok pria berusia dari 15 tahun
hingga 40 tahun.Dalam badan ini ada sub badan yang disebut Majlis
Athfalul Ahmadiyah yang beranggotakan anak laki-laki berusia antara 7-
15 tahun.
c. Lajnah Imaillah : kelompok wanita ahmadiyah berusia 15 tahun ke atas.
badan ini memiliki sub badan untuk anak-anak perempuan berusia 7
hingga 15 tahun bernama Nasiratul Ahmadiyah.
d. Jamiah Ahmadiyah : lembaga yang didirikan untuk mendidik calon
muballigh.
xxi
e. Muslim Television Ahmadiyya Internasional (MTA). tayang sejak tahun
1992, saat ini mengudara 24 jam non stop dipancarkan dari 8 satelit ke
seluruh dunia.
f. Majlis Nusrat Jahan, yayasan yang bergerak untuk kesehatan dan
pendidikan untuk masyarakat Afrika. dengan mendirikan klinik, RS,
sekolah-sekolah dan lainnya di berbagai tempat di afrika.
11. Apakah Ahmadiyah membolehkan anggotanya menikah dengan non
Ahmadiyah (NU, Muhammadiyah, dsb)?
Itu sah-sah saja. Namun dalam koridor organisasi Jemaat Ahmadiyah tidak
mengizinkan kepada anggotanya untuk menikah dengan seorang laki-laki
non Ahmadi, hal ini memiliki alasan-alasan yang kuat, diantaranya;
mengenai hal kufu (keseimbangan, kesetaraan). Dimana Islam sendiri
mengajarkan bahwa alangkah baiknya didalam pernikahan laki-laki dan
perempuan itu dalam keadaan kufu. Maksud dari kufu yang sebenarnya
adalah menciptakan keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan
berkeluarga bagi kedua belah pihak. Untuk lebih jelas diantara semua hal
ini persamaan dan kufu dalam agama meraih kepentingan dasar.
Berdasarkan hal inilah Rasulullah saw bersabda:
تنكح المزأة الربع لما لها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفز بذات الدينتزبت يداك
Artinya: “ Yakni untuk menentramkan kehidupan keluarga dalam silsilah
menikahi seseorang perempuan diperhatikan empat hal yang sangat
penting, yaitu; Keadaan harta keluarga perempuan, aspek keluarga
perempuan, kecantikan dan keelokan perempuan, ketakwaan dan akhlak
perempuan.
Meskipun demikian seorang Mukmin hendaknya mengutamakan segi
agama dan akhlaknya.” Seorang ahmadi yang memiliki pasangan hidup
yang sama dalam hal keyakinan, visi dan misi tentunya akan lebih mudah
meraih ketenangan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Oleh karena
xxii
itu sejatinya Jemaat Ahmadiyah membuat aturan tersebut untuk
anggotanya demi tegaknya kebaikan bersama.
12. Apakah Ahmadiyah membolehkan anggotanya menikah dengan non
Muslim?
Tidak boleh menikahi laki-laki musyrik atau perempuan musyrik akan
tetapi diperbolehkan menikahi perempuan Ahli Kitab. Haramnya menikahi
laki-laki musyrik atau perempuan musyrik sesuai dengan nash yang jelas.
Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan janganlah kamu menikahi
perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman; dan sebenarnya
hamba-sahaya perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun ia menawan hatimu. Dan, janganlah kamu menikahkan
perempuan beriman dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman,
dan sebenarnya hamba-sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik, meskipun ia menawan hatimu. Mereka mengajak ke
Api, dan Allah swt. mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan, Dia menjelaskan Tanda-tanda-Nya kepada manusia supaya mereka
dapat meraih nasihat. (Al-Baqarah :221)
Menikah dengan perempuan musyrik termasuk dalam hokum nikah fasid
sampai batas terbuktinya nasab. Pernikahan ini adalah batil dan bukanlah
dianggap suatu pernikahan. Seandainya perempuan musyrik ini beriman
maka harus dilakukan pernikahan ulang.
13. Bagaimana tanggapan tentang identitas keahmadiyahan dalam pergaulan
di masyarakat luas? Apakah akan menutupinya, atau bersikap terbuka?
Bersikap terbuka. Di dalam Ahmadiyah tidak ada ketentuan yang
mengharuskan untuk menutupi identitas keahmadiyahannya.
14. Bagaimana hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan para stakeholder
setempat? RT, RW, Kepala desa, Camat, dan sebagainya
Al-Quran menyebutkan
xxiii
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,taatlah kepada Allah swt., dan
taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang
kekuasaan di antaramu. Dan, jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka
kembalikanlah hal itu kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, jika kamu
memang beriman kepada Allah swt. dan Hari Kemudian. Hal demikian itu
paling baik dan paling bagus akibatnya (An-Nisa :59)
Kata “taat,“ yang terletak sebelum kata-kata “Allah swt.” dan “Rasul,”
telah ditiadakan sebelum perkataan orang-orang yang memegang
kekuasaan agar menunjukkan bahwa ketaatan sepenuh-penuhnya kepada
penguasa yang diangkat menurut undang-undang, berarti pula taat kepada
Allah swt. swt. dan Rasul-Nya. Perintah yang terkandung dalam kata-kata,
“Kembalikanlah hal itu kepada Allah swt. swt. dan Rasul-Nya “ dapat
ditujukan kepada sengketa antara rakyat itu sendiri. Jika ditujukan kepada
keadaan yang pertama, maka maksudnya ialah, seandainya ada suatu
perkara yang mengenainya timbul ketidaksepakatan antara penguasa-
penguasa dan rakyat, maka hal itu hendaknya diputuskan menurut ajaran
Alquran; dan jika Alquran diam mengenai hal itu, maka hendaknya
menuruti sunah dan hadis. Akan tetapi, apabila Alquran, sunah, dan hadis
diam mengenai masalah itu, hendaknya diserahkan kepada orang-orang
yang diberi wewenah mengurusi perkara-perkara kaum Muslimin.
Agaknya ayat itu menunjuk kepada hal-hal yang khusus berhubungan
dengan perkara-perkara kenegaraan. Dalam hal ini yang menjadi dasar
perintah itu ialah, segala ketaatan kepada penguasa itu harus tunduk
kepada ketaatan terhadap Tuhan dan Rasul-Nya. Tetapi, apabila ada
perbedaan paham dan sengketa mengenai utusan kemasyarakatan dan
sebagainya yang nampaknya disinggung dengan kata-kata jika kamu
berselisih, kaum muslimin harus dibimbing oleh hukum syariat Islam dan
bukan oleh hukum yang lain.
15. Bagaimana hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan kelompok mainstream
seperti NU, Muhammadiyah, dsb?
xxiv
Ahmadiyah secara internasional dikenal sebagai pembawa pesan damai,
salah satu moto yang terkenal adalah love for all hatred for none. oleh
sebab itu tentunya Ahmadiyah akan selalu berusaha menjalin hubungan
baik dengan siapapun.
16. Bagaimana hubungan sosial dengan masyarakat sekitar?
Diberbagai tempat keberadaan ahmadiyah Tidak ada masalah dengan
masyarakat setempat, bahkan selalu membangun kerja sama. seperti
contoh Cabang yang ada di Kebayoran selalu mengadakan kerja sama
dengan warga sekitar, termasuk membuat aksi-aksi sosial.
17. Adakah kegiatan bersama yang dilakukan antara anggota Jemaat
Ahmadiyah dengan masyrakat sekitar? Jika ada, kegiatan seperti apa yang
dilakukan?
Jemaat Ahmadiyah melalui Badan Lajnah Immaillah secara kontinu turut
ambil bagian dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, terutama
dalam memberikan bantuan pengobatan, dan lain-lain kepada para korban
bencana alam di berbagai daerah di Indonesia bekerja sama dengan
lembaga dan kelompok masyarakat lainnya yang non-Ahmadiyah seperti
Fatayat NU.
18. Bagaimana tanggapan anggota Jemaat Ahmadiyah bila ada pihak-pihak
yang menganggap negatif keberadaan Jemaat Ahmadiyah?
Mensikapi dengan baik, berusaha menerangkan bahwa ahmadiyah itu
bukan seperti anggapan orang yang salah mengenai ahmadiyah.
19. Bagaimana cara atau strategi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah
dalam menghadapi pihak luar yang tak suka terhadap keberadaan Jemaat
Ahmadiyah?
Strategi apapun yang lakukan oleh Jemaat Ahmadiyah selalu mengikuti
ketentuan hukum yang berlaku.
xxv
Hasil Wawancara dengan Mubaligh Ahmadiyah
1.Identitas Diri
a. Nama : Ahmad Amin
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 56
2.Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana struktur organisasi di dalam Jemaat Ahmadiyah?
Struktur organisasi Ahmadiyah hampir sama seperti struktur-struktur
organisasi pada umumnya, di mana terdapat; ketua, wakil, sekertaris,
bendahara dan lainnya.
Untuk posisi sekertaris terdapat beberapa bagian, yakni: Ta’lim, Tarbiyat,
Tabligh, Maal, dan sebagainya. Jika perlu sekertaris-sekertaris tersebut
dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan persetujuan Majlis
Musyawarah. Pengurus-pengurus tersebut dipilih secara musyarawah
mufakat melalui rapat dan disahkan oleh Majlis Musyawarah untuk masa
jabatan 3 tahun. Pada akhir masa jabatannya, anggota pengurus Besar atau
Majlis Amlah tersebut mempertanggungjawabkan kepengurusannya
kepada Dewan Pengurus.
2. Bagaimanakah peran dari ketua/amir?
Amir berperan untuk mengawasi aktivitas kerohanian, moral, pertablighan,
intelektual, perekonomian, kebudayaan dan fisikal dari para anggota
Jemaat serta menerapkan rencana konsolidasi, pengembangan dan
kesejahteraan Jemaat.
3. Bagaimana mekanisme dalam pemilihan ketua/amir?
a. Amir nasional diangkat atas rekomendasi dari Hazrat Khalifatul Masih
b. Pengurus besar dipilih berdasarkan kongres
c. Pengurus daerah dipilih berdasarkan konferensi daerah
xxvi
d. Pengurus cabang dipilih berdasarkan rapat cabang
4. Berapa banyak jumlah anggota Jemaat Ahmadiyah di Indonesia? Apakah
ada peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, atau sebaliknya?
Data tahun 2011 menyebutkan bahwa 150ribu orang telah masuk ke dalam
Jemaat Ahmadiyah dalam 19 tahun terakhir (1992-2011). Pada tahun yang
sama, Jemaat Ahmadiyah memiliki 298 cabang di berbagai daerah.
5. Bagaimana cara membedakan antara anggota Jemaat Ahmadiyah dengan
non-anggota? (karakteristik)
Jamaah Islam Ahmadiyah memiliki beberapa perbedaan dengan umat
Islam pada umumnya (mayoritas), misalkan bila sebagian besar umat
islam sedang menunggu kedatangan nabi Isa ke dua kali, maka Ahmadiyah
meyakini bahwa nabi Isa yang ditunggu tersebut telah datang dalam diri
pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.
6. Bagaimana proses yang dijalani seseorang, bila ingin masuk menjadi
anggota Ahmadiyah?
Terkait dengan bagaimana bai’at dalam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza
Ghulam Ahmad as. bersabda: "Janji bai'at ini bertujuan untuk
mengumpulkan orang-orang benar yang tidak dapat dipengaruhi dunia dan
membawa berkat bagi Islam dengan berkhidmat untuk penyebarannya
dengan cita-cita yang sama. Kelompok ini tidak boleh terdiri dari orang-
orang Islam yang malas, tak berguna, dan bermulut besar yang melalui
perpecahan dan amal buruk mereka telah menyebabkan kerugian tak
terhitung bagi Islam serta mengotori wajah Islam yang bersih. Jama'ah ini
juga tidak boleh terdiri dari orang-orang yang mengisolasi diri, yang tidak
mengenal kepentingan-kepentingan Islam dan kebutuhan manusia serta
kesejahterahan mereka. Jama'ah ini harus terdiri dari orang-orang yang
menolong si miskin, menjadi ayah si yatim dan siap untuk menyerahkan
hidup mereka demi pengabdian untuk Islam. Mereka harus berjuang untuk
menyampaikan berkat-berkat kepada dunia sehingga air kecintaan Allah
xxvii
dan pengabdian sesama manusia menyatu di bumi. Allah telah
merencanakan agar Jama'ah ini mewujudkan kemuliaan dan kekuasaan-
Nya. Dia akan memberkati mereka sehingga dunia dapat menyaksikan
kecintaan baru kepada Tuhan, tobat dari dosa, kesalehan sejati,
kedamaian, niat baik, dan kesejahteraan manusia maka kelompok ini akan
terdiri dari orang-orang yang didukung oleh rohulqudus. Dia (Allah
Ta'ala) akan membersihkan mereka dari kekotoran kehidupan dunia dan
memberikan mereka kehidupan baru. Dalam nubuatan-nubuatan-Nya yang
penuh berkat Dia telah menjanjikan kepadaku bahwa dia akan
memperbesar Jama'ah ini berlipat ganda dan ribuan orang yang ta'at akan
menggabungkan diri. Dia akan memelihara dan mengembangkan mereka
sampai jumlah dan kekuatan mereka akan terlihat mencengangkan bagi
para pengamat. Mereka akan menerangi dunia seperti cahaya yang
ditempatkan diatas bukit dan mereka akan menjadi contoh karunia-karunia
Islam. Anggota-anggota Jama'ah yang benar-benar patuh, akan unggul di
atas penentang mereka dan akan selalu muncul diatara mereka sekelompok
yang akan dipilih Allah untuk mendukung-Nya sampai dunia berakhir.
Inilah yang diinginkan Allah Tuhan kita Yang Maha Kuasa. Dia Maha
Kuasa dan melakukan apa yang Dia inginkan karena semua kekuasan dan
kemampuan adalah milik-Nya."
7. Adakah anggota Jemaat Ahmadiyah yang mempunyai posisi strategis
dalam masyarakat maupun pemerintahan?
Jemaat Ahmadiyah di sini cukup heterogen. Kami berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Ada yang dari kalangan menengah ke atas,
ada juga yang berpendidikan tinggi. Tapi kami tidak memandang itu, bagi
kami semuanya sama.
8. Hal-hal apa saja, yang dilakukan untuk menguatkan solidaritas antar
anggota?
xxviii
Adanya Ketaatan kepada Pemimpin baik di tingkat lokal hingga
Internasional. Kondisi ini yang menjadi pilar tegaknya persatuan di antara
anggota. Ahmadiyah memiliki susunan pengurus yang memiliki fungsinya
masing-masing. Pengurus-pengurus tersebutlah yang harus memastikan
bahwa keadaan setiap anggota baik, dari segi kerohanian, keilmuan
maupun kesejahteraan berjalan dengan baik
9. Bagaimana cara Jemaat Ahmadiyah dalam mengarahkan perilaku
anggotanya agar sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai?
Jemaat Ahmadiyah adalah sebuah organisasi yang secara murni
berlandaskan pada kerohanian. Oleh sebab itu Jemaat ahmadiyah sangat
menekankan kepada anggotanya untuk selalu memperhatikan nilai-nilai
kerohanian. Upaya ini dilakukan dengan beragam cara yang sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Serta melalui tarbiyat yang dilakukan secara terus
menerus. Melalui media khutbah, pengajian, maupun pertemuan-
pertemuan lainnya.
10. Apa saja badan atau lembaga yang dibuat untuk menunjang kegiatan
Jemaat Ahmadiyah?
a. Lajnah Imaillah, yang terdiri dari Ahmadi perempuan yang berusia
15 tahun ke atas.
b. Majlis Ansharullah, yang terdiri dari pria Ahmadiyang berusia dari
40 tahun hingga seterusnya.
c. Majlis Khuddamul Ahmadiyah, yang terdiri daripria-pria Ahmadi
yang berusia dari 15 tahun hingga 40 tahun.
11. Apakah Ahmadiyah membolehkan anggotanya menikah dengan non
Ahmadiyah (NU, Muhammadiyah, dsb)?
Tidak diharamkan seorang anggota ahmadiyah menikah dengan non
ahmadiyah. Bila pun harus terjadi pernikahan tersebut (ahmadi dan non
ahmadi), maka pernikahan tersebut dinyatakan tidak ditetapkan bathil,
xxix
Yakni nasab anak terbukti setelah pernikahan seperti ini, anak tersebut
mendapat semua hak syariat dan hukum serta berhak mendapat warits.
Berdasarkan pengalaman, seorang ahmadi yang memiliki pasangan hidup
yang bukan ahmadi sering sekali terjadi ketimpangan dalam meraih
keharmonisan. Pasangan yang non ahmadi sering melarang segala bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh pasangan hisupnya yang ahmadi.
12. Apakah Ahmadiyah membolehkan anggotanya menikah dengan non
Muslim?
Sebagaimana hukum Islam yangmengharaman menikah dengan non-
muslim, kecuali dengan ahlil Kitab yang dapat dilihat dalam Al-Quran
surah Al-Maidah : 5
Artinya: “Hari ini telah dihalalkan bagimu segala barang yang baik. Dan
makanan orang-orang yang diberi Kitab halal bagimu dan makananmu
halal bagi mereka. Dan dihalalkan bagimu wanita-wanita yang
memelihara kehormatan dari antara wanita-wanita mukmin dan wanita-
wanita yang memelihara kehormatan dari antara orang-orang yang diberi
Kitab sebelum kamu, apabila kamu memberikan kepada mereka maskawin
mereka untuk nikah dengan sah dan bukan untuk berbuat zina, dan tidak
pula untuk menjadikan gundik-gundik. Dan barangsiapa menjadi ingkar
sesudah beriman, maka sesungguhnya hapuslah amalannya, dan di akhirat
ia di antara orang-orang yang merugi”
Sekalipun Islam mengizinkan kaum pria Muslim menikah dengan wanita
bukan-Muslim dari antara Ahli kitab, namun tentu saja Islam lebih
menyukai kalau kaum pria Muslim menikah dengan kaum wanita Muslim
saja.
13. Bagaimana tanggapan tentang identitas keahmadiyahan dalam pergaulan
di masyarakat luas? Apakah akan menutupinya, atau bersikap terbuka?
Bersikap terbuka
xxx
14. Bagaimana hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan para stakeholder
setempat? RT, RW, Kepala desa, Camat, dan sebagainya?
Hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan para pemimpin baik. Jemaat
Ahmadiyah harus taat dan setia pada pemerintah dan negara di manapun
mereka berada, sebagaimana ayat “wa uli al-amri minkum” yang artinya:
dan taatlah kepada pemerintah. Bahkan Khalifah juga memerintahkan
untuk demikian.
15. Bagaimana hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan kelompok mainstream
seperti NU, Muhammadiyah, dsb?
Ahmadiyah terbuka dengan siapa saja, baik itu dengan pemerintah, dengan
kelompok mainstream, maupun dengan kelompok minoritas. Kami sering
berkomunikasi dengan kelompok-kelompok minoritas lainnya seperti
Syi’ah.
16. Bagaimana hubungan sosial dengan masyarakat sekitar?
Hubungan kami dengan masyarakat baik. Tidak ada masalah dengan
masyarakat setempat, masyarakat di sini menerima kami dengan baik.
Terutama dengan pemuda di sini. Pemuda-pemuda Ahmadi sering
berkomunikasi dengan pemuda di sini. Mereka sering bertanding
sepakbola, voli, dan sebagainya.
Jemaat Ahmadiyah juga sering mengadakan kegiatan sosial seperti
pemberian santunan kepada fakir miskin, pengumpulan sumbangan dana
maupun tenaga pada lokasi bencana, kerja bakti serta donor darah. Hal ini
sebagai wujud kepedulian sosial warga Ahmadiyah terhadap
lingkungannya.
17. Adakah kegiatan bersama yang dilakukan antara anggota Jemaat
Ahmadiyah dengan masyrakat sekitar? Jika ada, kegiatan seperti apa yang
dilakukan?
xxxi
Jemaat Ahmadiyah sering berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat. Selagi kami diajak maupun diundang pasti kami akan ikut
serta, kami tidak ingin kehadiran kami dalam suatu kegiatan yang tidak
diharapkan.
18. Bagaimana tanggapan anggota Jemaat Ahmadiyah bila ada pihak-pihak
yang menganggap negatif keberadaan Jemaat Ahmadiyah?
Apapun pandangan orang luar, baik itu positif maupun negatif, kami
menanggapinya dengan baik, karena kami punya motto yakni love for all
hatred for none.
19. Bagaimana cara atau strategi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah
dalam menghadapi pihak luar yang tak suka terhadap keberadaan Jemaat
Ahmadiyah?
Sebenarnya tidak ada strategi khusus, namun kita akan berusaha untuk
mengajak berdialog, berbicara dengan baik-baik, bukan dengan cara-cara
kekerasan.
xxxii
Hasil Wawancara dengan pengurus Majlis Lajnah Imaillah
1.Identitas Diri
a. Nama : Lilis
b. Jenis Kelamin : perempuan
c. Umur : 53
2.Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana posisi perempuan dalam Ahmadiyah?
Sama dengan posisi perempuan dalam Islam. Kami sangat menjunjung
nilai perempuan dalam keseharian maupun dalam organisasi, sehingga di
dalam Ahmadiyah scara internasional itu sama kedudukan perempuannya.
Adapun Lajnah Imaillah yang artinya adalah perempuan (hamba allah).
Kalau disebut hamba allah itu sudah membuat wanita kedudukannya luar
biasa, karena diposisikan sebagai hamba allah (orang yang hanya tidakut
kepada Allah) dan berupaya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang
muslimah. Jadi kalau ditanya posisi perempuan dalam Ahmadiyah, sama
seperti yang ada di Islam, sangat dimuliakan, sehingga ada organisasi
secara khusus bagi perempuan yakni Lajnah Imaillah. Karena ia
diposisikan khusus berarti ada panduannya, ada sisi pembinaannya,
lengkap dan sama (Ahmadiyah) di seluruh dunia dimana semua sudah ada
dalam satu aturan yang baku yang sekarang ini dipimpin oleh khalifah
yang ke 5. Kami senantiasa untuk bisa mengarahkan perempuan-
perempuan Ahmadiyah ini secara Islami, itu semuanya diatur sedemikian
baik karena semuanya terstruktur dengan rapi. Jadikalau dikatakan
bagaimana posisi perempuan, jelas sama dengan posisi perempuan dalam
Islam sangat dimuliakan.
2. Berapa banyak jumlah anggota perempuan Ahmadiyah di Indonesia saat
ini? Apakah ada peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, atau
sebaliknya?
xxxiii
Secara alamiah yang lahir itu pasti ada dan sekarang dengan adanya SKB
memang membatasi aktivitas (penyebaran aqidah), tetapi tentu saja orang-
orang yang ingin mengetahui kami lebih lanjut, kemudian ingin
mempelajari tentang Ahmadiyah, mereka tertarik kemudian ada yang
masuk, walaupun kami secara de facto menyatakan kita tidak boleh
menyebarkan akidah karena SKB itu.
Ciri kalau Ahmadiyah benar, salah satunya adalah dalam segi jumlah.
Kalau jumlahnya stagnan itu berarti organisasi ini tidak ada pengikutnya,
tapi karna kita terus berupaya ingin mengajak orang kepada Allah otomatis
orang yang hatinya bersih ingin tahu dan tertarik bisa bergabung.
Walaupun ada SKB yang secara de yure membatasi kita untuk
menyebarkan aqidah, tapi untuk orang-orang yang ingin tahu kami tidak
bisa melarang, karena memang itu keinginan mereka. Jadi kalau dikatakan
jumlah, saat ini terus berkembang, sekarang memang kita sedang berupaya
untuk menarik orang-orang itu ke jalan allah menuju kebaikan yang Allah
kehendaki.
3. Bagaimana latar belakang berdirinya Lajnah Imaillah Indonesia?
Menyangkut pertanyaan nomer 1, karena perempuan begitu dimuliakan
dan diberi petunjuk, kami menganggap perempuan Ahmadiyah itu begitu
mulia. Dia harus bisa memposisikan dirinya sebagai muslimah yang sejati,
tetapi dia juga ada tugas-tugas yang lain yang sama mulianya yakni
mengkhidmati orang lain, berkhidmat dalam kemanusiaan (sosial). Itu
wajib disamping tugas internal dalam keluarga. seperti layaknya sepeda.
Sepeda mempunyai 2 roda yang berputar secara beriringan, apabila
dikayuh dengan cepat maka larinya pun akan cepat juga. Perempuan
Ahmadiyah tidak boleh hanya berpangku tangan di rumah.
4. Apa saja agenda yang dilakukan oleh Lajnah Imaillah?
Agenda utama (internal): Kembali pada 2 fungsi tadi (muslimah dan
sosialita), berarti ada proses tarbiyah. Kalau dia sebagai muslimah sejati
xxxiv
berarti dia harus memposisikan diri sebagai ibu yang sejati yang harus
membawa keluarga dan anak-anaknya menjadi keluarga yang muslim.
Agenda berikutnya (eksternal): kita punya agenda sosial. Kita sering
menjalin kerja sama dengan oraganiasi perempuan lainnya seperti Fatayat
NU, lembaga-lembaga pemerintah maupun LSM. Untuk agenda
kemanusiaan kami paling depan, malahan (bukan hanya perempuan) kami
pendonor mata terbanyak. Selain itu juga membantu korban bencana
walaupun tidak terekspos tapi alhamdulillah kita bisa berkontribusi.
5. Seperti apakah pakaian perempuan dalam JAI?
Dalam JAI tak ada aturan baku. Tetapi kita memakai pakaian yang sesuai
dengan syariah, yaitu tertutup seluruh badan kecuali telapak tangan dan
muka. Dan ketika berada dalam rumah/ keluarga juga tak wajib memakai
jilbab. Jadi tak ada ketentuan yang ketat. Kalau saya pribadi tak mau
memakai pakaian yang terlalu mencolok perhatian masyarakat.
6. Bagaimana peran Lajnah Imaillah dalam proses regenerasi yang ada dalam
Ahmadiyah?
Perempuan (ibu) harus bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya.
Berlangsung secara alami maupun natural tanpa adanya paksaan. Maka
tumbuhlah pemuda pemudi ahmadi.
Fokus pada ruang lingkup keluarga. Menurut kami ketahanan keluarga itu
penting. Kalau keluarga kuat, negara juga akan kuat. Organisasi manapun,
kalau di level keluarganya kuat, itu akan kuat. Jadi kita akarnya dari situ
(keluarga) untuk menjadi organisasi yang kuat.
7. Bolehkah perempuan Ahmadiyah menikah dengan laki-laki non-
Ahmadiyah?
Kami punya aturan untuk mengatasi, karena pernikahan itu kan
sesungguhnya penyamaan persepsi (akidah). Secara syarat syah harus
xxxv
terpenuhi dulu. Tapi kami punya prinsip, kalau memang memiliki akidah
yang sama, maka akan keluarga itu akan lebih baik, bisa memelihara anak-
anaknya juga. Jadi kami berprinsip secara Islami penuhi dulu itu, tapi kami
punya persepsi lain alangkah baiknya apabila ada persamaan, daripada
berbeda maka nantinya akan sulit dalam proses pembinaan dengan anak-
anak tadi.
Secara personal itu hak dia, untuk bisa memutuskan masa depannya. Tapi
secara organisasi kami punya aturan-aturan, yang bisa menyelamatkan
generasi berikutnya untuk bisa menjadi keluarga yang Islami itu, kami
punya aturan tersebut. Tapi kalau memang dia mau menikah (dengan yang
lain) itu hak dia. Ada hak dan kewajiban, kita menjaga keutuhan keluarga
itu.
8. Jika tidak boleh, bagaimana sanksinya?
Kita tidak menyebut secara tegas itu sanksi, tapi ada proses pembinaan,
kita terus berkomunikasi serta penerangan-penerangan pada yang
bersangkutan, walaupun kita ada aturan-aturan khusus tentang pembinaan
pada perempuan-perempuan Ahmadiyah itu. Tapi itu hak dia, secara asasi
itu hak dia untuk bisa menentukan, tapi kami secara organisasi punya
aturan untuk menyelamatkan perempuan itu.
9. Bagaimana tanggapan tentang identitas keahmadiyahan dalam pergaulan
di masyarakat luas? Apakah akan menutupinya, atahu bersikap terbuka?
Kita tidak ada aturan/himbauan untuk menutupi identitas. Dia harus bisa
memposisikan dimana dia berada trgantung kepada bagaimana dia
membawakan dirinya. Misalnya gini: saya tidak pernah ditanya 'kamu
Ahmadiyah bukan?' Biasanya kita berupaya untuk membuat diri kita
tampil beda dalam arti positif, mereka akan tanya 'kenapa perempuan
Ahmadiyah jumatan?', kan yang lain masih sangat jarang yang jumatan.
Saya di kantor tiap jumat ikut jumatan. Itu akan mengundang rasa
penasaran orang lain. Jadi proses-proses penunjukkan identitas dengan
xxxvi
cara demikian. Kami tidak pernah menghimbau untuk menutupi identitas,
semuanya akan terlihat secara natural. Orang biasanya akan melihat dari
perbuatan kita sehari-hari.
10. Bagaimana hubungan Lajnah Imaillah dengan organisasi keagamaan
perempuan lainnya, seperti muslimat NU, Aisiyah, dan sebagainya?
Biasanya kita bergerak di bidang pendidikan, sosial, kemanusiaan. Kita
sering mengadakan kegiatan bersama dengan organisasi wanita, baik
organisasi formal (pemerintah) maupun LSM. Jadi mereka sudah tahu
kalau Lajnah Imaillah dari Ahmadiyah. Kami sangat terbuka kalau diajak
kerja sama. Memang ada juga organisasi lain yang "takut" atau mereka
menghindar dari kita itu ada juga, karena merasa. Kita "berbeda" (dari
mereka). Tapi secara umum di tingkat pemerintahan, LSM kita bekerja
sama dengan organisasi lain. Jadi yang disebut eksklusif itu kita bingung,
dimana eksklusinya gitu, orang dengan berbagai organisasi kita bekerja
sama. Kalau dikatakan mereka tidak mau mengundang, itu iya, karena
mungkin mereka sudah alergi. Kita terbuka, dengan komnas
perempuan,organisasi keagamaan perempuan, LSM, dll.
11. Bagaimana tanggapan anggota Lajnah Imaillah bila ada pihak-pihak yang
menganggap negatif keberadaan Ahmadiyah?
Orang boleh memandang kami sebelah mata, tapi kami punya slogan "love
for all, hated for none". Cinta kepada semua, tidak benci pada siapapun.
Kami dilarang untuk membalas apa yang orang lain lakukan kepada kita
(kekerasan). Kita tidak boleh berprasangka negatif juga kepada mereka.
Jadi kita tetap berprasangka baik, kita doakan. Menurut kami, dimana
bumi diinjak, disitu langit dijunjung. Jadi tidak pernah kita melakukan
perlawanan-perlawanan. Demo saja tidak pernah. Diserang dimana-mana.
SKB keluarpun kita tidak turun ke jalan, karena kita memang taat kepada
pemerintah.
xxxvii
Hasil Wawancara dengan Pengurus Majlis Ansharullah
1.Identitas Diri
a. Nama : Anwar M. Saleh
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 61
2.Daftar Pertanyaan
1. Apa itu Majlis Ansharullah?
Majelis Ansharullah merupakan badan yang terdapat di dalam organisasi
Jemaat Ahmadiyah. Majelis Ansharullah terdiri dari laki-laki Ahmadi
empat puluh tahun keatas. Majelis Ansharullah memiliki beberapa
tingkatan, dari tingkat Nasional sampai tingkat Ranting. Di tingkat pusat,
pemimpinnya disebut Sadr Majelis Ansharullah Ahmadiyah.
2. Kapan berdirinya Majelis Ansharullah?
Secara organisatoris, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia telah
terbentuk sejak tahun 1949 yang kemudian mengalami berbagai
penyempurnaan. Setelah melewati proses organisasi, Majelis Khuddamul
Ahmadiyah Indonesia (MKAI) pada tanggal 28-12-1952, susunan
pengurusnya yang pertama terpilih tahun 1953, tanggal 1 Januari di Jakarta
dan mengalami revisi pada tanggal 5 Juli 1953.
3. Apa maksud dan tujuan didirikannya Majelis Ansharullah?
Melatih dan mendidik para anggotanya, termasuk Athfalul Ahmadiyah,
dengan cara Islam sejati, untuk menanamkan dalam diri mereka kecintaan
kepada Allah dan Hadhrat Khataman Nabiyyin Muhammad Mustafa
S.a.w., jiwa pengabdian kepada Islam, negara dan umat manusia, dan
berjuang untuk kesejahteraannya.Motto kami adalah “A Nation cannot be
reformed without the reformation of its youth. ”
xxxviii
4. Apa agenda utama Majlis Ansharullah?
Agenda utama Ansharullah adalah tarbiyat, selain kepada anggota juga
kepada semua anggota badan lain (Khuddam dan Lajnah Immaillah)
terutama yang ada dalam lingkup keluarganya. Anggota Majlis
Ansharullah juga diberi tugas untuk manganjurkan dan mengajarkan
kepada keturunannya untuk tetap setia kepada Khilafat. Karena itulah
antara lain Ansharullah diposisikan sebagai Pengawas bagi badan-badan.
5. Bagaimana peran Ansharullah dalam proses regenerasi yang ada dalam
Ahmadiyah?
Proses regenerasinya ya melalui lembaga keluarga. Dikonekkan dengan
organisasi LI, merekalah yang mengkonsep kegiatan-kegiatan yang bisa
mengembangkan sumber daya manusia. Kami selalu mencoba
memaksimalkan pendidikan hingga S3, dan kami selalu mencoba memilih
profesi-profesi yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat.
6. Hal-hal apa saja yang dilakukan untuk menguatkan solideritas diantara
anggotanya?
Tak ada hal khusus, semua kegiatan yang kami lakukan jelas membuat
anggota JAI semakin erat persaudaraannya.
7. Dimana saja Majelis Ansharullah Ahmadiyah selain di Pondok Udik ini?
Untuk sementara ini Majelis Ansharullah Ahmadiyah Indonesia hanya
terdapat di cabang-cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia, untuk di tingkat
ranting belum ada karena belum memungkinkan.
8. Bagaimana tanggapan Ansharullah bila ada pihak-pihak yang menganggap
negatif keberadaan Ahmadiyah?
Ya biasa saja. Hal tesebut bagi kami sudah menjadi sunatullah. Sejak
zaman dahulu (nabi-nabi terdahulu), juga sering dihina dan diejek oleh
orang-orang. Saya hanya berdoa kepada mereka, supaya dibukakan jalan
pengetahuan bagi mereka.
xxxix
Hasil Wawancara dengan Pengurus Khadamul Ahmadiyah
1.Identitas Diri
a. Nama : Yusuf
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 35
2.Daftar Pertanyaan
1. Apa itu Majlis Khuddamul Ahmadiyah?
Majelis Khuddamul Ahmadiyah merupakan organisasi pemuda
Ahmadiyah yang terdiri dari laki-laki Ahmadi yang berumur 15 sampai 40
tahun. Khuddam berasal dari kata khadim yang memiliki arti
pengkhidmat. Inti dari didirikannya organisasi ini adalah untuk
mengkhidmati Islam secara tulus dan sepenuh hati. Majelis Khuddamul
Ahmadiyah dipimpin oleh seorang Sadr Majelis Khuddamul Ahmadiyah.
2. Kapan berdirinya Majelis Ansharullah?
Secara organisatoris, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia telah
terbentuk sejak tahun 1949 yang kemudian mengalami berbagai
penyempurnaan. Setelah melewati proses organisasi, Majelis Khuddamul
Ahmadiyah Indonesia (MKAI) pada tanggal 28-12-1952, susunan
pengurusnya yang pertama terpilih tahun 1953, tanggal 1 Januari di Jakarta
dan mengalami revisi pada tanggal 5 Juli 1953.
3. Apa maksud dan tujuan didirikannya Majelis Khuddamul Ahmadiyah?
Melatih dan mendidik para anggotanya, termasuk Athfalul Ahmadiyah,
dengan cara Islam sejati, untuk menanamkan dalam diri mereka kecintaan
kepada Allah dan Hadhrat Khataman Nabiyyin Muhammad Mustafa
S.a.w., jiwa pengabdian kepada Islam, negara dan umat manusia, dan
berjuang untuk kesejahteraannya.Motto kami adalah “A Nation cannot be
reformed without the reformation of its youth. ”
xl
4. Apa agenda utama Majlis Khuddamul Ahmadiyah?
Agenda utama Khuddamul Ahmadiyah adalah tarbiyat mempererat tali
silaturahmi, menambah keakraban serta meningkatkan semangat dalam
berkhidmat untuk kepentingan Jema’at.
5. Hal-hal apa saja yang dilakukan untuk menguatkan solideritas?
Dalam Ahmadiyah, sebenarnya sudah ada ruh untuk selalu dalam
kebersamaan. Itu sudah ada dengan sendirinya, tanpa ada usaha-usaha
yang lebih. Hal ini ada pada setiap anggota karena sebelumya telah ada
pernyataan komitmen. Persaudaraan antar anggota itu, tak sekedar kawan
tetapi juga saudara yang sesungguhnya. Kalau kegiatan untuk lebih
mempererat ya, melalui pengajian, sholat Jumat, organisasi-organisasi
yang ada, dan banyak kegiatan lain.
6. Dimana saja Majelis Khuddamul Ahmadiyah Ahmadiyah selain di Pondok
Udik ini?
Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia terdapat dihampir semua
Cabang-cabang Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Sedangkan untuk di
markaz, wajib terdapat organisasi ini.
7. Bagaimana tanggapan Khuddamul Ahmadiyah bila ada pihak-pihak yang
menganggap negatif keberadaan Ahmadiyah?
Kalau kita sudah biasa, itu hal yang wajar dan tak hanya Ahmadiyah saja
yang menghadapi hal-hal negatif. Jika ada yang berpikir negatif tentang
Ahmadiyah, mungkin saja mereka belum tahu benar tentang Ahmadiyah.
Maka dari itu, kita menyelenggarakan pemahaman-pemahaman kepada
mereka. Pendek kata, jika ada yang menganggap kami negatif maka kami
berpikir bahwa mereka belum tahu.
xli
Hasil Wawancara dengan Pengurus Jamiah Ahmadiyah
1.Identitas Diri
a. Nama : Muniru
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 58
2.Daftar Pertanyaan
1. Apa itu Jamiah Ahmadiyah?
Jamiah Ahmadiyah Indonesia atau disingkat dengan JAMAI adalah sebuah
sekolah tinggi dalam Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, yang bertujuan
untuk membentuk mubaligh-mubalig Islam dalam menyebarkan ajaran
Rasulullah saw keseluruh dunia. Mahasiswa yang telah lulus dari jamiah
ini diharapkan bisa menjadi orang yang bermanfaat terutama untuk Jemaat
Ahmadiyah sendiri, bahkan kepada orang diluar Ahmadiyah diharapkan
menjadi ulama yang dapat mengayomi masyarakat dan bisa berdialog
bukan hanya dengan ulama-ulama yang mahir dalam keagamaan tapi juga
dengan orang-orang yang terdidik yang mahir dalam ilmu-ilmu
keduniawian.
2. Berapa banyak jumlah mahasiswa Jamiah Ahmadiyah saat ini? Apakah
ada peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, atau sebaliknya?
Sebelum tahun 1997, Jamiah menerima mahasiswa baru setiap tiga tahun
sekali dengan banyaknya mahasiswa baru per tahun 20 orang. Setelah
Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h mencanangkan pertablighan yang
berencana dan terus berlipat maka secara otomatis membutuhkan tenaga
Mubalig serta peningkatan pendidikan Jamiah baik secara kualitas dan
kuantitas. Sekarang Jamiah Ahmadiyah menerima mahasiswa setiap
tahunnya sebanyak 25 orang.
xlii
3. Bagaimana latar belakang berdirinya Jamiah Ahmadiyah?
Latar belakang berdirinya Jamiah Ahmadiyah diawali oleh keprihatinan
kita atas minimnya kader-kader yang handal. Mubalig jamaah Ahmadiyah
sangat berperan dalam penyebaran Ahmadiyah di Indonesia. Karena itu,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendidik dengan serius para mubaligh
tersebut.
Bermula dari tempat yang sederhana tepatnya di Tasikmalaya, Jamiah
yang nama awalnya adalah Kursus Kader Pembantu Mubaligh (KKPM)
berdiri. Dari tempat inilah awal mula sejarah Jamiah Ahmadiyah Indonesia
dirintis. Dengan program satu tahun, sebanyak 14 mahasiswa diterima
sebagai angkatan pertama tahun 1973-1974. Setelah suskses pada jenjang
perdana KKPM menerima angkatan ke II pada tahun 1980-1981 dengan
jumlah siswa 18 orang.
Di periode berikutnya tepatnya tahun 1981-1982 KKPM berubah nama
menjadi Kursus Mubalighin dengan jenjang pendidikan selama 3 tahun
yang bertempat di Bandung. Selain itu ada juga kursus bagi Mu’alimin dan
Mu’alimat dengan lama pendidikan satu tahun. Akhirnya pada tahun 1983
institusi pengkaderisasian ini dinamai Jamiah Ahmadiyah. Akhirnya pada
tahun 1985 hijrah ke Kampus Mubarak, Kemang, Bogor sampai sekarang.
4. Apa misi Jamiah Ahmadiyah?
a. Menggali, mengembangkan, dan menyebarluaskan misi Islam melalui
Imam Mahdi as. sehingga manusia di Indonesia pada khususnya dan
di dunia pada umumnya menjadi manusia-manusia yang bertakwa
kepada Tuhan YME. Mereka mengikuti ajaran agama Islam yang
hakiki sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan manusia, yaitu
untuk menyembah-Nya.
b. Menggali, mengembangkan, menerapkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan melalui pendidikan untuk membentuk manusia
Indonesia yang cerdas, kreatif, dan mandiri.
xliii
5. Bagaimana kurikulum dalam Jamiah Ahmadiyah?
Pada tahun 1997 Jamiah Ahmadiyah Indonesia (JAMAI) dengan jenjang
pendidikan selama lima tahun atau setingkat dengan Strata Satu (S1), tapi
tahun berikutnya Jamiah ini ditambah menjadi tujuh tahun. Dalam
kurikulumnya terdapat Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), Mata Kuliah
Dasar (MKDK), dan Mata Kuliah Bidang Studi (MKBS). Dengan
peningkatan jenjang, dari kursus menjadi Strata Satu (S1) maka JAMAI
pun menambah pengajar yang memiliki kualitas yang baik.
Ilmu yang dipelajari disini sebagian besar adalah pelajaran yang
berkaitan dengan keagamaan seperti sekolah tinggi islam lainnya. seperti
Fiqih, Hadits, ilmu kalam, tarikh, perbandingan agama, bahasa, ilmu-ilmu
mengenai kejemaatan, dll. Khusus untuk bahasa, mereka mewajibkan tiga
bahasa sebagai mata kuliah yang wajib dikuasai. Yakni, bahasa Urdu,
Inggris, dan bahasa Arab. Mereka tak hanya disiapkan untuk berdakwah di
Indonesia, tapi juga di negara-negara di Asia Tenggara. Karena itu, mereka
minimal bisa berbahasa Inggris, Urdu, dan Arab. Setiap ditugaskan ke luar
negeri, bisa dipastikan mereka mampu berbahasa daerah setempat.
6. Dari mana saja mahasiswa-mahasiswa Jamiah Ahmadiyah berasal?
Kami merekrut dari anak-anak Jemaat Ahmadiyah. Mereka diambil dari
kantong-kantong kampung Ahmadiyah yang tersebar di berbagai provinsi
di Indonesia. Jadi prinsipnya dari Ahmadiyah untuk Ahmadiyah.
xliv
Hasil Wawancara dengan Pengurus MTA
1.Identitas Diri
a. Nama : Bilal
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 45
2.Daftar Pertanyaan
1. Kapan berdirinya MTA?
Awalnya bernama AMP yakni Ahmadiyya Muslim Presentations, tapi
kemudian Hadhrat Khalifatul Masih IV memberi nama MTA, Muslim
Television Ahmadiyya International. Muslim Television Ahmadiyya
International (MTA) mulai beroperasi pada 31 Januari tahun 1992 di
London dan mulai membuka cabang di Indonesia pada tahun 1994.
Awalnya MTA hanya tayang secara mingguan, dan itupun hanya berisi
khotbah-khotbah Khalifah saja. Pada tahun 1996 sudah mulai berkembang
sampai sekarang MTA sudah tayang selama 24 jam, dan kontennya pun
bermacam-macam, bukan hanya khotbah khalifah saja.
2. Apa tujuan didirikannya MTA?
Salah satu tujuan MTA adalah untuk memperkuat kedudukan Ahmadiyah
di negara-negara dimana ajaran tersebut mengalami tekanan seperti
Pakistan, Bangladesh dan Indonesia, para pengikut Ahmadiyah telah
dibunuh dengan motif agama. Selain itu juga memberikan kesempatan
kepada para pengikutnya dimanapun diseluruh dunia untuk berhubungan
secara instan dengan khalifah. Selain itu tujuan didirikannya MTA juga
untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada dunia.
3. Bagaimana cara untuk mengakses MTA?
Saluran MTA bisa diakses melalui TV kabel atau melalui Web streaming
www.MTA.tv ataupun bisa banyak ditemukan di youtube. Untuk
xlv
sementara ini belum bisa ditangkap menggunakan antena biasa karena
belum memperoleh izin dari pemerintah. Kami berharap sih pemerintah
memberi izin seperti saluran-saluran lainnya, biar bisa disaksikan oleh
masyarakat secara luas.
4. Apa saja program-program yang ditayangkan MTA?
Program utama kita adalah bagaimana menyampaikan kebenaran,
keindahan dan kebesaran Islam. Selain itu MTA juga menayangkan hal
lain, misalnya seperti pariwisata di negara-negara yang terdapat Jemaat
Ahmadiyah. adapun kegiatan-kegiatan dari Jemaat kami tayangkan di
MTA.
5. Dari mana sumber dana oprasional MTA?
Yang perlu diketahui adalah MTA ini tidak seperti saluran-saluran TV
lainnya, di MTA itu tidak ada iklan. Jadi semua pembiayaan murni
berdasarkan dari iuran anggota Jemaat Ahmadiyah.
6. apakah MTA memperkerjakan pegawai dari non-Ahmadiyah?
Muslim Television Ahmadiyya (MTA) hampir seluruhnya
diselenggarakan oleh sukarelawan yang berasal dari komunitas
Ahmadiyah.
xlvi
Hasil Wawancara dengan Kepala Desa setempat
1.Identitas Informan
a Nama : Sutisna
b Jenis Kelamin : laki-laki
c Umur : 53 tahun
2.Daftar Pertanyaan
a Bagaimana tanggapan anda mengenai keberadaan Ahmadiyah di desa anda?
Mereka (Jemaat Ahmadiyah) sudah cukup lama di sini (Pondok Udik).
Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak ada masalah, semua
baik-baik saja. Tidak ada yang merasa dirugikan oleh keberadaannya. Saya
dulu pernah berkunjung ke sana, saya diterima dan disambut dengan baik,
walaupun kata orang-orang sulit untuk masuk ke sana.
b Apakah pernah terjadi penolakan terhadap keberadaan Ahmadiyah tersebut?
Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak pernah ada warga
yang menolak keberadaan Ahmadiyah. Memang dulu pada tahun 2000an di
sini pernah terjadi kasus penolakan terhadap Ahmadiyah, tapi saya kurang
mengetahui kronologisnya, apakah mereka (yang menolak) dari warga sini
atau bukan saya kurang tahu.
c Bagaimana hubungan sosial antara warga dengan anggota Ahmadiyah?
Hubungan dengan masyarakat cukup baik, tidak pernah terjadi masalah
antara warga dengan anggota Ahmadiyah. Semua hidup berdampingan dan
rukun-rukun saja, walaupun mereka sedikit tertutup.
d Apakah warga memprotes adanya kegiatan-kegiatan keahmadiyahan yang
dilakukan disekitar lingkungan?
Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak ada protes atau
sebagainya terhadap kegiatan-kegiatan Ahmadiyah, apalagi sampai
mengusir mereka.
xlvii
e Pernahkah diadakan kegiatan yang melibatkan warga dengan anggota
Ahmadiyah?
Mereka (Ahmadiyah) ikut berpartisipasi dalam acara-acara bersama seperti
agustusa-an, kita juga sering mengajukan bantuan dana kepada mereka
(Ahmadiyah).
xlviii
Hasil Wawancara dengan Ketua RT Setempat
1.Identitas Diri
a. Nama : Yosep
b. Jenis Kelamin : laki-laki
c. Umur : 47
2.Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana tanggapan anda mengenai keberadaan Ahmadiyah di lingkungan
sekitar tempat tinggal anda?
Saya pribadi tidak masalah, toh warga sini juga nggak begitu
mempermasalahkan, itu kan masalah kepercayaan, jadi harus saling
menghormati saja walaupun apa yang mereka yakini sedikit berbeda dengan
keyakinan saya.
2. Apakah pernah terjadi penolakan terhadap keberadaan Ahmadiyah tersebut?
Ya paling satu-dua orang saja yang nggak bisa menerima, nggakada
penolakan besar-besaran, sedangkan yang lain nggak
mempermasalahkannya. Waktu ada demo dulu saja nggak ada warga sini
yang terlibat, semua berasal dari daerah lain.
3. Bagaimana hubungan sosial antara warga dengan anggota Ahmadiyah?
Hubungan warga sini dengan Ahmadiyah baik, nggak ada masalah dengan
Ahmadiyah. Bahkan beberapa warga bekerja di sana. Ada juga yang
menikah sama anggota Ahmadiyah, memang pada awalnya mereka
tertetutup banget sama warga tapi lama-lama mereka sedikit terbuka dengan
kita (warga).
4. Apakah warga memprotes adanya kegiatan-kegiatan keahmadiyahan yang
dilakukan disekitar lingkungan?
Enggak, warga nggak memprotes, apalagi semenjak dikeluarkannya SKB,
mereka melakukan kegiatannya di dalam (komplek) saja. Mereka patuh
sama aturan. Yang penting ya saling menghormati aja sih.
xlix
5. Bila ada protes, bagaimana peran anda dalam mengatasi hal tersebut?
6. Pernahkah diadakan kegiatan yang melibatkan warga dengan anggota
Ahmadiyah?
Kalau kegiatan yang formal sih tidak pernah, tapi kalau kegiatan yang non-
formal seperti kerja bakti, bermain sepak bola, bermain volly, dan
sebagainya cukup sering. Ya, saya sih berharap mereka bisa lebih dekat
dengan warga, lebih sering berkomunikasi dengan kita, biar nggak ada rasa
curiga atau apa satu sama lain.
l
Hasil wawancara dengan warga setempat
1.Identitas Diri
d. Nama : Reni Fatmawati
e. Jenis Kelamin : Perempuan
f. Umur : 37
g. Pekerjaan :PNS
h. Agama : Islam
2.Daftar Pertanyaan
a Apa yang anda ketahui tentang Ahmadiyah?
Ahmadiyah itu aliran dalam Islam yang berasal dari Pakistan. Setahu saya
Ahmadiyah berbeda dengan Islam pada umumnya, terutama dalam hal
kenabian.
b Bagaimana tanggapan anda tentang keberadaan Jemaat Ahmadiyah disekitar
lingkungan tempat tinggal anda?
Karena belum lama tinggal di sini (di Pondok Udik) jadi saya tidak begitu
tahu soal Ahmadiyah di sini, yang pasti mereka sudah ada sebelum saya
pindah di sini (Pondok Udik).
c Pernahkah anda melakukan interaksi sosial dengan anggota Jemaat
Ahmadiyah?
Kalau saya sendiri sih belum pernah ya, soalnya saya juga jarang di rumah
karena tiap hari kerja dari pagi sampai sore, paling di rumah hari sabtu dan
minggu saja. Jangankan sama Ahmadiyah, sama tetangga sekitar saja jarang.
d Bagaimana interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar? Apakah
mereka bersikap eksklusif?
Wah, kalau interaksi (Ahmadiyah) sama masyarakat sekitar saya sendiri
kurang tahu ya. Kayaknya sih jarang, soalnya dilihat dari penjagaannya saja
ketat, pagarnya tinggi dan dijaga satpam 24 jam, jadi masyarakat juga sulit
kalau mau masuk kecuali orang Ahmadiyahnya yang keluar.
li
a Pernahkah diadakan kegiatan sosial bersama yang mengikutsertakan
anggota Jemaat Ahmadiyah?
Karena saya baru 3 tahunan tinggal di sini (Pondok Udik) jadi belum kenal
semua warga sini (Pondok Udik), jadi tidak bisa membedakan mana yang
anggota Ahmadiyah mana yang bukan anggota (Ahmadiyah).