acute respiratory distress syndrome (ards) pada pneumonia

14
11 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24 Arie Zainul Fatoni 1 , Ramacandra Rakhmatullah 2 1 SMF/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr Saiful Anwar / Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 2 Intensivis Instalasi Anestesi dan Terapi Intensif RSU Karsa Husada Batu / Staf Pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Malang PENDAHULUAN Pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina, muncul pneumonia virus yang belum diketahui penyebabnya. Awalnya jumlah pasien teridentifikasi belum terlalu banyak tetapi sebagian besar mengalami kerusakan paru yang berat. World Health Organization (WHO) memberi nama pneumonia ini dengan corona-virus disease 2019 (COVID-19). Jumlah pasien COVID-19 meningkat cepat ke seluruh dunia dengan sebagian jatuh pada kondisi kritis. Angka mortalitas dan morbiditas pada pasien COVID-19 dengan kondisi kritis masih cukup tinggi. Studi menjelaskan bahwa sebagian besar pasien terinfeksi COVID-19 kritis mengalami disfungsi organ, dimana 67% diantaranya dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), 29% dengan disfungsi hepar, 29% dengan Acute Kidney SUMMARY Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is an acute respiratory disease characterized by pneumonia and respiratory failure. The causative agent for COVID-19 has been confirmed as the new coronavirus, which is now known as severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the most common complications of COVID-19 with a high mortality rate. ARDS appears as an organ dysfunction in the hyperinflammatory phase of COVID- 19. The pathophysiology and clinical manifestations of ARDS caused by COVID-19 are different from typical ARDS. Therefore, we suggest use of personalized ARDS management based on the type of ARDS that occurs in COVID-19 to get a good outcome. Keywords: Acute respiratory distress syndrome, COVID-19, pneumonia RANGKUMAN Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan pneumonia dan gagal paru-paru. Agen penyebab COVID-19 telah dikonfirmasi sebagai virus korona baru, yang sekarang dikenal sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu komplikasi COVID-19 yang paling sering dengan angka kematian yang cukup tinggi. ARDS muncul sebagai salah satu gambaran disfungsi organ pada fase hiperinflamasi COVID-19. Patofisiologi dan manifestasi klinis ARDS yang disebabkan COVID-19 memiliki perbedaan dengan ARDS pada umumnya. Oleh sebab itu, kami merekomendasikan manajemen ARDS pada COVID-19 disesuaikan dengan tipe ARDS yang terjadi sehingga dapat memperoleh luaran yang baik. Kata kunci: Acute respiratory distress syndrome, COVID-19, pneumonia Korespondensi: dr.Arie Zainul Fatoni, SpAn,KIC* SMF/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr Saiful Anwar / Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang e-mail: [email protected] Tinjauan Pustaka Journal of Anaesthesia and Pain, 2021, Volume: 2, No.1: 11-24 P-ISSN : 2722-3167 https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada Pneumonia COVID-19 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) in COVID-19 Pneumonia

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

Arie Zainul Fatoni1, Ramacandra Rakhmatullah2

1SMF/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr Saiful Anwar / Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

2 Intensivis Instalasi Anestesi dan Terapi Intensif RSU Karsa Husada Batu /

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Malang

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina,

muncul pneumonia virus yang belum diketahui

penyebabnya. Awalnya jumlah pasien teridentifikasi

belum terlalu banyak tetapi sebagian besar

mengalami kerusakan paru yang berat. World

Health Organization (WHO) memberi nama

pneumonia ini dengan corona-virus disease 2019

(COVID-19). Jumlah pasien COVID-19 meningkat

cepat ke seluruh dunia dengan sebagian jatuh pada

kondisi kritis. Angka mortalitas dan morbiditas pada

pasien COVID-19 dengan kondisi kritis masih cukup

tinggi. Studi menjelaskan bahwa sebagian besar

pasien terinfeksi COVID-19 kritis mengalami

disfungsi organ, dimana 67% diantaranya dengan

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), 29%

dengan disfungsi hepar, 29% dengan Acute Kidney

SUMMARY

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is an acute respiratory disease characterized by pneumonia and

respiratory failure. The causative agent for COVID-19 has been confirmed as the new coronavirus,

which is now known as severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Acute

respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the most common complications of COVID-19 with a

high mortality rate. ARDS appears as an organ dysfunction in the hyperinflammatory phase of COVID-

19. The pathophysiology and clinical manifestations of ARDS caused by COVID-19 are different from

typical ARDS. Therefore, we suggest use of personalized ARDS management based on the type of

ARDS that occurs in COVID-19 to get a good outcome.

Keywords: Acute respiratory distress syndrome, COVID-19, pneumonia

RANGKUMAN

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan

pneumonia dan gagal paru-paru. Agen penyebab COVID-19 telah dikonfirmasi sebagai virus korona

baru, yang sekarang dikenal sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2).

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu komplikasi COVID-19 yang paling

sering dengan angka kematian yang cukup tinggi. ARDS muncul sebagai salah satu gambaran

disfungsi organ pada fase hiperinflamasi COVID-19. Patofisiologi dan manifestasi klinis ARDS yang

disebabkan COVID-19 memiliki perbedaan dengan ARDS pada umumnya. Oleh sebab itu, kami

merekomendasikan manajemen ARDS pada COVID-19 disesuaikan dengan tipe ARDS yang terjadi

sehingga dapat memperoleh luaran yang baik.

Kata kunci: Acute respiratory distress syndrome, COVID-19, pneumonia

Korespondensi:

dr.Arie Zainul Fatoni,

SpAn,KIC*

SMF/Departemen

Anestesiologi dan

Terapi Intensif RSUD dr

Saiful Anwar / Fakultas

Kedokteran Universitas

Brawijaya Malang

e-mail:

[email protected]

Tinjauan Pustaka

Journal of Anaesthesia and Pain, 2021, Volume: 2, No.1: 11-24 P-ISSN : 2722-3167 https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

pada Pneumonia COVID-19 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) in COVID-19 Pneumonia

12 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

Injury (AKI), 23% dengan cardiac injury, dan 2%

dengan pneumothoraks.1,2,3

ARDS yang dipicu oleh pneumonia COVID-

19 biasa disebut sebagai CARDS. Pasien pasien

COVID-19 yang mengalami ARDS mempunyai

tingkat kematian 50% - 94%. Luaran pasien ARDS

yang disebabkan oleh COVID-19 lebih buruk

daripada pasien ARDS yang disebabkan oleh

penyakit lain.1,2,3,4 Data sampai bulan November

2020 di Intensive Care Unit (ICU) COVID-19 RSUD dr

Saiful Anwar Malang dan RSU Karsa Husada Batu

mempunyai angka mortalitas antara 47% (190

pasien) sampai 81,7% (82 pasien). CARDS

mempunyai manifestasi klinis dan radiologis yang

beragam. Hal ini membuat beberapa perbedaan

pada tatalaksana CARDS terutama terkait

manajemen ventilasi mekanik.5 Oleh sebab itu, kami

akan membahas tentang ARDS pada pneumonia

COVDI-19 dari patofisiologi sampai manajemen

terapinya.

PEMBAHASAN

ARDS merupakan masalah yang sering

ditangani di ICU. ARDS ini pertama kali

digambarkan oleh Ashbaugh di tahun 1967 dan

berlanjut sampai konsensus American-European

Consensus Conference (AECC) tentang ARDS pada

tahun 1994. Pada tahun 2012 European Society of

Intensive Care Medicine (ESICM) bersama American

Thoracic Society (ATS) dan Society of Critical Care

Medicine (SCCM) membuat klasifikasi terbaru

tentang ARDS dengan kriteria Berlin. Pada awalnya,

ARDS juga dikenal dengan nama shock lung, Da

Nan lung (dari perang Vietnam), sindrom stiff-lung,

acute lung injury, non-cardiogenic pulmonary

edema, adult respiratory distress syndrome, atau

leaky capillary pulmonary edema, dengan

gambaran morfologi berupa kerusakan alveoli

inflamatorik yang difus. ARDS didefinisakan oleh

Kriteria Berlin dengan gagal napas hipoksemik akut

dengan penyebab tertentu (seperti infeksi virus

pernapasan) disertai munculnya infiltrat bilateral

pada foto thoraks/CT scan dengan menyingkirkan

etiologi kardiogenik atau hidrostatik. ARDS yang

disebabkan oleh pneumonia COVID-19 biasa

disebut sebagai CARDS.5,6,7 Salah satu keterbatasan

Kriteria Berlin untuk ARDS adalah ketergantungan

terhadap pemeriksaan analisa gas darah untuk

menghitung rasio PaO2/FiO2. Pada tahun 2016,

Riviello dkk melakukan penelitian retrospektif di

kota Kigali, Rwanda, Afrika Tengah dengan

membuat definisi ARDS berdasarkan kriteria

modifikasi Kigali yang tidak memakai analisa gas

darah untuk penegakan diagnosa ARDS.

Perbandingan kriteria tentang ARDS dapat dilihat

pada tabel 1. 8,9

1. Patogenesis

ARDS adalah suatu bentuk cedera jaringan

paru sebagai respons inflamasi terhadap berbagai

faktor penyebabnya, dan ditandai dengan adanya

inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan

penurunan aerasi jaringan paru.10 Pada ARDS terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler karena ada

kerusakan endotel vaskular atau epitel alveolar yang

menyebabkan penumpukan cairan kaya protein

dalam alveolus, sehingga terjadi kerusakan alveolar

difus dan pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamasi

misalnya Interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan Tumor

Necrosis Factor (TNF). Sitokin ini menarik neutrofil

dan mengaktifkannya, sehingga terjadi pelepasan

reactive oxygen species dan protease yang

menyebabkan kerusakan oksidatif pada jaringan

paru. Berbagai patogenesis dapat berkontribusi

terhadap perkembangan ARDS. Fase akumulasi

cairan ini diikuti dengan fase proliferasi yang

ditandai dengan meredanya edema pulmoner,

proliferasi sel alveolar tipe II, fibroblas, dan

myifobroblas, serta deposisi matriks. Selanjutnya

ARDS dapat berlanjut ke fase fibroproliferatif atau

terjadi resolusi dan paru menjadi normal kembali.11

Virus SARS-CoV-2 utamanya menyebar

melalui droplet infeksius yang masuk ke tubuh

melalui membran mukosa. Protein S dari virus

corona menempel dan membajak reseptor human

angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang

diekspresikan di paru, jantung, ginjal dan usus.

Protein S kemudian mengalami perubahan

struktural yang menyebabkan membran sel virus

fusi dengan membran sel penjamu.12

13 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

Proses endositik ini dipermudah oleh adanya

beberapa enzim protease dari sel penjamu, antara

lain transmembrane protease serine protease 2

(TMPRSS2), cathepsin L, dan furin. TMPRSS2 banyak

diekspresikan bersama ACE2 di sel epitel hidung,

paru, dan cabang bronkus, yang menjelaskan

tropisme jaringan SARS- CoV-2 ini.13 Setelah

menempel, virus bereplikasi di epitel mukosa

saluran pernapasan bagian atas (rongga hidung dan

faring), kemudian bereplikasi lebih lanjut di saluran

pernapasan bawah dan mukosa gastrointestinal,

sehingga menimbulkan viremia ringan. Sebagian

reaksi infeksi pada tahap ini dapat dikendalikan dan

pasien tetap asimtomatik.8 Namun pada beberapa

kasus, replikasi cepat SARS-CoV-2 di paru-paru

dapat memicu respons imun yang kuat. Sindrom

badai sitokin menyebabkan ARDS dan kegagalan

pernapasan, sampai kematian.13

Salah satu ciri utama ARDS pada COVID-19

adalah adanya badai sitokin. Badai sitokin

merupakan respons inflamasi sistemik yang tidak

normal karena produksi sitokin dan kemokin pro-

inflamasi yang berlebihan.14 Pada kondisi normal,

respons sistem imun bawaan menjadi pertahanan

pertama melawan infeksi. Namun, respons imun

yang tidak normal dan berlebihan dapat

menyebabkan kerusakan imun pada tubuh manusia.

Suatu eksperimen sel in vitro menunjukkan bahwa

pada tahap awal infeksi SARS-CoV terjadi pelepasan

sitokin dan kemokin yang tertunda oleh sel epitel

Tabel 1. Definisi ARDS berdasarkan definisi Berlin, Kigali, dan American-European Consensus Conference

(AECC)

Definisi Berlin Definisi AECC Modifikasi Kigali

Onset Onset 1 minggu dari

pencetus klinis yang

diketahui atau

gejala pernapasan baru atau

perburukan gejala

Onset akut Onset 1 minggu semenjak

pencetus klinis yang

diketahui atau

gejala pernapasan yang baru

atau

terjadi perburukan gejala

Oksigenasi Ringan:

PaO2/FiO2 > 200 mmHg <

300 mmHg

Sedang:

PaO2/FiO2 > 100 mmHg <

200 mmHg

Berat: PaO2:FiO2 < 100 mmHg

PaO2/FiO2 < 200 mmHg,

dikatakan acute lung injury

jika < 300 mmHg.

SpO2/FiO2 < 315

Kebutuhan PEEP Ventilasi mekanik invasif

membutuhkan PEEP minimal

5 cmH2O (noninvasif

diperbolehkan pada ARDS

ringan)

Tidak ada Tidak ada

(sama dengan definisi AECC)

Foto thoraks Opasitas bilateral yang tidak

dapat dijelaskan dengan

kolaps lobus/paru, efusi, atau

nodul pada radiografi dada

atau Computed Tomography

Infiltrat bilateral terlihat di

radiograf dada frontal

Opasitas bilateral yang tidak

bisa dijelaskan dengan

kolaps lobus/paru, efusi atau

nodul pada chest

radiography

atauultrasonografi

Asal edema Gagal napas yang tidak bisa

dijelaskan dengan kejadian

gagal jantung atau kelebihan

cairan.

Membutuhkan penilaian

obyektif misalnya

ekokardiografi untuk

mengeksklusi edema

hidrostatik bila tidak ada

faktor risiko

Pulmonary artery wedge

pressure < 18 mmHg terukur

atau tanpa tanda-tanda

hipertensi atrium kiri

Gagal napas yang tidak

dapat dijelaskan dengan

gagal jantung atau kelebihan

cairan. Membutuhkan

penilaian obyektif, misalnya

menggunakan

ekokardiografi untuk

mengeksklusi edema

hidrostatik bila tidak ada

faktor risiko)

PEEP: positive end-expiratory pressure; FiO2: fraksi oksigen inspirasi; CT: computed tomography;SpO2: saturasi oksigen arterial yang

diukur dengan pulse oximetry; PaO2: tekanan oksigen arterial;

14 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

pernapasan, sel dendritik, dan makrofag. Kemudian,

sel mengeluarkan antiviral factors interferons (IFNs)

dan sitokin pro-inflamasi (interleukin (IL)-1 β, IL-6,

dan tumor necrosis factor (TNF)) dan kemokin (C-C

motif chemokine ligand (CCL) -2, CCL-3, dan CCL-5)

dalam jumlah besar. Produksi IFN-I atau IFN- α/β

adalah kunci respons kekebalan alami melawan

infeksi virus, dan IFN-I adalah molekul kunci yang

memainkan peran antivirus pada tahap awal infeksi

virus. Tertundanya pelepasan IFN pada tahap awal

infeksi SARS-CoV dan MERS-CoV menghalangi

respons antivirus tubuh. Kemudian, sitokin dan

kemokin yang meningkat pesat menarik banyak sel

inflamasi, seperti neurotrofil dan monosit, yang

mengakibatkan infiltrasi berlebihan sel inflamasi ke

jaringan paru-paru sehingga terjadi cedera paru.

Selain itu, IFN- αβ dan IFN- γ juga menginduksi

infiltrasi sel inflamasi melalui mekanisme yang

melibatkan Fas-Fas ligand (Fas L) atau TRAIL-death

receptor 5 (DR5) dan menyebabkan apoptosis sel

epitel jalan napas dan alveolar. Apoptosis sel

endotel dan sel epitel merusak mikrovaskuler paru

dan barier sel epitel alveolaris sehingga terjadi

kebocoran vaskular dan edema alveolaris, yang

akhirnya menyebabkan hipoksia dalam tubuh. Oleh

karena itu, mediator inflamasi memainkan peran

kunci dalam patogenesis ARDS.15

SARS-CoV-2 mengaktivasi sistem imun

melalui ikatan dengan sel epitel alveolar dan

memicu pelepasan berbagai sitokin, utamanya IL-6.

IL-6 merupakan sitokin yang memiliki peran penting

dalam diferensasi sel B dan produksi antibodi.

Sitokin IL-6 menginduksi aktivasi sel T sitotoksik,

stimulasi perkembangan dan fungsi sel T-helper 17

(Th-17), respons self-reactive pro-inflamasi sel T

CD4, dan menginhibisi regulasi sel T regulator.16 IL-6

diproduksi dan bekerja pada berbagai sel imun dan

non imun di berbagai sistem organ. IL-6 dapat

memberi sinyal melalui jalur cis dan trans. Aktivasi

jalur persinyalan cis memberi efek pleiotropik pada

sistem imun, dan berkontribusi pada terjadinya

badai sitokin. Sementara pada kadar tinggi seperti

pada badai sitokin, IL-6 mengaktivasi jalur

persinyalan trans dimana IL-6 berikatan dengan IL-

6R terlarut, membentuk kompleks dengan protein

lainnya dan berikatan pada sel-sel yang tidak

mengekspresikan IL-6R di membran selnya, seperti

pada endotel. Hal ini menyebabkan terjadinya

hiperinflamasi sistemik di mana terdapat pelepasan

protein kemoatraktan monosit 1 (MCP-1), IL-8, IL-6,

dan vascular endotheliat growth factor (VEGF), serta

penurunan ekspresi E-cadherin pada sel endotel.17

Proses ini menyebabkan permeabilitas alveoli-

kapiler terhadap cairan, protein, dan sel darah

meningkat, terjadi kebocoran plasma, hipotensi,

disfungsi pulmoner dan gagal napas.17,16

Salah satu ciri menonjol dari patofisiologi

ARDS adalah adanya membran hyalin, yaitu

eksudat kaya fibrin, yang terbentuk karena aktivasi

koagulasi dan hambatan fibrinolisis. Pada pasien

COVID-19 sering kali didapatkan penignkatan kadar

D-dimer, yaitu fragmen protein hasil degradasi

fibrin yang menandakan adanya gangguan

trombosis. Pada pasien COVID-19 juga sering

mengalami vascular endothelialitis, thrombosis, dan

angiogenesis pada parunya, yang berkaitan dengan

ARDS.10 Selain itu, kerusakan paru juga diperkirakan

diperparah oleh hilangnya fungsi ACE-2 pulmoner

karena infeksi virus menginduksi ACE2

downregulation dan shedding yang menyebabkan

disfungsi renin-angiotensin system (RAS), dan

semakin meningkatkan inflamasi serta permeabilitas

vaskular. Beratnya gejala pada infeksi SARS-CoV-2

juga mungkin berkaitan dengan fenomena

antibody-dependent enhancement (ADE), di mana

antibodi yang dihasilkan tubuh pada awal infeksi

untuk menetralisir virus berikatan dengan virus dan

membentuk kompleks virus–antibodi yang infeksius,

kemudian berinteraksi dengan Fc receptors (FcR),

FcγR, atau reseptor lain, sehingga semakin banyak

virus masuk dalam sel dan justru meningkatkan

infeksi sel target. Pada pasien-pasien yang parah

juga didapatkan limfopenia perifer dan

hiperaktivitas sel T CD4 dan CD8 yang sering

dijadikan prediktor keparahan dan mortalitas

(Gambar 1).18

15 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

2. Manifestasi Klinis

Gejala infeksi COVID-19 muncul setelah

masa inkubasi selama 1 hingga 14 hari dengan

rerata 5,2 hari.19 Konsentrasi virus SARS- CoV-2 dari

saluran napas atas akan memuncak sejak minggu

pertama muncul gejala, sehingga risiko viral

shedding dan transmisi virus sudah tinggi sejak awal

perjalanan penyakit, walaupun pasien hanya

mengalami gejala ringan atau bahkan asimptomatik.

Hal ini berkontribusi pada tingginya tingkat

penularan SARS- CoV-2.20,13 Gejala yang paling

sering timbul di awal di antaranya batuk kering,

demam, serta mengalami kelelahan. Selain itu,

rinorea, bersin, sakit tenggorokan, produksi dahak,

hemoptisis, sesak, sakit kepala, nyeri dada,

menggigil, anoreksia, mual, muntah, diare,

gangguan penghidu dan pengecapan, serta

limfopenia juga dapat muncul sebagai gejala lain

yang mungkin muncul.20,13 Hasil CT scan dada

menunjukkan gambaran opasitas ground-glass

bilateral menandakan adanya pneumonia. Selain itu

juga dapat menunjukkan gambaran yang abnormal

misalnya anemia, gangguan sistem pernapasan

akut, gangguan jantung akut, serta insiden

kekeruhan ground-glass yang menyebabkan

kematian.20

Manifestasi klinis COVID-19 dapat bervariasi

sesuai dengan usia. Secara umum, pasien pria

berusia lebih tua (> 60 tahun) dengan penyakit

penyerta lebih mungkin untuk berkembang menjadi

penyakit pernapasan yang parah yang

membutuhkan rawat inap atau bahkan meninggal,

sedangkan kebanyakan orang muda dan anak-anak

hanya memiliki penyakit ringan (non-pneumonia

atau pneumonia ringan) atau sedang asimtomatik.13

Sherren dkk.21 menggambarkan perjalanan penyakit

COVID-19 dalam 3 fase yaitu: (1) tahap satu (0 - 7

hari setelah gejala berkembang): Terjadi replikasi

virus yang cepat dan fase respons imun bawaan

menghasilkan gejala klinis, limfopenia, dan

peningkatan biomarker inflamasi serta sitokin. Pada

fase awal ini, pada gambaran CT scan akan muncul

(Jin dkk., 2020)

Gambar 1. Skema patogenesis infeksi SARS-CoV-2

16 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

focal peribronchovascular dan subpleural ground

glass opacities yang mendahului gejala pernapasan

(2) tahap kedua (5-14 hari setelah gejala

berkembang): Akan muncul disfungsi organ yang

diakibatkan oleh sitopati virus yang sedang

berlangsung dan respons imun adaptif. Pada fase ini

dapat muncul dua kelompok yang berbeda yaitu

kelompok yang berkembang menjadi gagal napas

akut sehingga memerlukan bantuan ventilasi invasif

dini dan kelompok yang memiliki gejala disfungsi

organ lain yang lebih menonjol (3) tahap ketiga (>

10 hari setelah gejala berkembang): Terjadi

perburukan/kerusakan organ tahap akhir meskipun

dukungan organ invasif sudah dilakukan (Gambar

2). Hal ini dimediasi oleh: (a) Hiperinflamasi: terjadi

respons imun yang tidak teratur berupa keadaan

hiperinflamasi sistemik persisten, hiperinflamasi

paru yang lebih terbatas atau jarang idiosinkratik

sindrom hiperinflamasi seperti secondary

haemophagocytic lymphohistiocytosis (sHLH) atau

cytokine release syndrome (CRS). (b) Komplikasi

pada organ: kondisi paru paru yang berat karena

proses peradangan yang berlangsung pada COVID-

19 tampaknya terjadi karena berbagai komplikasi

dari proses penyakit kritis dan disfungsi organ;

misalnya akumulasi extravascular lung water (EVLW),

patient self-inflicted lung injury (PILI), ventilator-

induced lung injury (VILI), multiorgan dysfunction

syndrome (MODS), dan infeksi nosokomial.

3. Gambaran thoraks dan Oksigenasi

Pada pasien COVID-19 dengan ARDS

(CARDS), akan mengalami sesak, dengan

peningkatan frekuensi napas sampai ≥ 30 kali/

menit, hipoksemia SpO2 ≤ 92 % dan PaO2/FiO2

≤ 300 mmHg, bahkan dengan pemberian oksigen.

Pasien juga dapat mengalami penurunan komplians

paru dan hipertensi pulmoner. Pada pencitraan

dengan CT scan akan nampak opasitas difus pada

paru. Namun yang khas pada COVID-19, opasitas

terdistribusi di perifer, dengan gambaran ground

glass opacity dan terdapat penebalan atau

pembesaran vaskular.21,11 Pada pemeriksaan

laboratorium juga mungkin didapatkan peningkatan

(Sherren dkk., 2020)

Gambar 2. Tiga tahapan COVID-19

17 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

D-dimer, IL-6 dan marker inflamasi lain yang cukup

signifikan.10,16 Pada beberapa kasus CARDS dapat

memenuhi kriteria definisi Berlin 2012, tetapi pada

sebagian lain memiliki perbedaan dengan kriterian

tersebut. Pada umumnya, ARDS mempunyai gejala

hipoksemia yang memiliki kesesuaian dengan

Dynamic Lung Compliance. Nilai median Dynamic

Lung Compliance normal pasien dengan ventilasi

mekanik adalah 50 ml/cmH2O. Semakin rendah

Dynamic Lung Compliance maka akan semakin berat

derajat hipoksemia yang dialami oleh pasien karena

semakin sedikit area yang terjadi proses oksigenasi.

Tetapi, tidak sepenuhnya demikian pada CARDS.

Menurut Desai dan Moustarah 22 serta Gattinoni

dkk5 CARDS dibagi menjadi dua tipe yaitu Tipe 1

disebut sebagai tipe non-ARDS, sedangkan tipe 2

disebut sebagai tipe ARDS. Pada publikasi yang lain,

Gattinoni dkk23 mendefiniskan tipe 1 adalah

fenotipe L, dan tipe 2 adalah fenotipe H. Pada

gambaran foto thoraks akan sulit membedakan

kedua tipe tersebut dengan jelas. Perbedaannya

akan lebih mudah diketahui dengan melakukan

pemeriksaan CT scan thoraks (Gambar 3).

Pada CARDS tipe 1 (fenotipe L) mempunyai

karakteristik compliance paru yang normal. Derajat

hipoksemia sedang sampai berat masih terjadi

meskipun compliance sistem respirasi lebih dari 50

ml/cmH2O. Pada tipe ini volume gas paru masih

tinggi dan respons terhdapat rekruitmen paru

minimal. Paru-paru mempunyai berat yang tetap

rendah, hanya meningkat sedikit, karena pada CT

scan thoraks berupa densitas ground glass di

subpleural dan di sepanjang fisura paru. Kondisi

hipoksemia diduga karena hilangnya refleks hypoxic

pulmonary vasoconstriction (HPV) dan gangguan

regulasi aliran darah di sistem pulmonal sehingga

terjadi ventilasi/ perfusi (VA/Q) mismatch serta

kemungkinan adanya mikrotrombus kapiler paru.

Stategi PEEP tinggi dan posisi prone mungkin tidak

banyak memperbaiki oksigenasi, tetapi strategi in

dapat meredistribusi perfusi pulmonal, sehingga

dapat memperbaiki hubungan VA/Q walaupun

kurang signifikan. Tipe 2 (fenotipe H) memiliki

karakteristik seperti ARDS tipikal yang lain. Elastansi

Tipe 1

(Fenotipe L)

A B

Tipe 2

(Fenotipe H)

(Gattinoni dkk 2020; Gattinoni dkk, 2020)

Gambar 3. Tipe 1 (A) P/F ratio 95, (B) berat paru 1192 g, volume udara 2774 ml, persentase jaringan

yang tidak teraerasi/non-aerated 8,4%, P/F ratio 68, dan lung compliance 80 ml/cmH2O; Tipe 2 (A) P/F

ratio 84; Tipe 2 (B), berat paru 1441 g, volume udara 1640 ml, persentase jaringan yang tidak

teraerasi/non-aerated 39%, venous admixture 49%, P/F ratio 61, dan lung compliance 43 ml/cmH2O

18 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

paru yang tinggi dan komplians paru yang rendah

karena terjadi edema pada paru paru. Pada analisis

kuantitatif gambaran CT scan thoraks menunjukkan

berat paru-paru yang bertambah lebih dari 1,5 kg.

Pada tipe ini, area paru paru yang non aerated

cukup banyak, seperti ARDS pada umumnya

sehingga peluang perekrutan paru-paru cukup

tinggi.6,5,24 Pada jurnal yang terbaru, Robba dkk.25

mengklasifikasikan CARDS menjadi tiga jenis

berdasarkan gambaran pada CT scan thorkas yaitu:

1) multipel, fokal, kemungkinan kekeruhan ground-

glass; 2) atelektasis yang tidak homoge, dan 3) a

patchy, pola menyerupai ARDS.

Pada era COVID-19 ini, pemeriksaan CT scan

yang dilakukan di luar ICU menjadi sangat sulit

dilakukan karena risiko transmisi aerosol sehingga

metode evaluasi parenkim paru dengan

ultrasonografi (USG) menjadi pilihan yang tepat.

Pemeriksaan USG paru paru dengan prinsip Point of

Care Lung Ultrasound (LUS) sesuai dengan protokol

Bedside Lung Ultrasound in Emergency (BLUE) dapat

digunakan untuk menilai karakteristik CARDS

dengan nyaman, tidak invasif, real time, dan bisa

menilai fungsi paru paru serta menilai organ tubuh

yang lain. Penelitian pada 42 pasien di Union

Hospital yang dilakukan pada pasien CARDS

didapatkan gambaran berupa Alveolar Interstitial

Syndrome (AIS) pada area anterior (85,7%-100%)

dengan adanya B-lines yang difuse dan multiple

serta konsolidasi paru (71,4%-95,2%) dengan shred

sign (80,9%-95,2%) pada Posterolateral Alveolar or

Pleural Syndrome (PLAPS) point yang bersamaan

dengan adanya gambaran penebalan pleura di regio

anterior dan posterior (76,2%-95,2%) (Gambar 4).3

4. Manajemen

Prinsip manajemen ARDS membutuhkan

pendekatan yang intensif dan sistematik untuk

mendiagnosa dan menterapi penyebab injuri paru

paru, mencegah secondary injuries pada organ paru

dan organ lain, menghindari komplikasi dan

memberikan perawatan supportif yang lain. Prinsip

penanganan ini juga bisa diterapkan pada CARDS,

yaitu dengan langkah – langkah sebagai berikut :

1. Diagnosa dan manajemen awal : Untuk

mencegah progresifitas dan keparahan

CARDS, terapi penyebab utama merupakan

prioritas. Sesuai dengan patofisiologi CARDS

yang terjadi hiperinflamasi dan

hiperkoagulasi maka pemberian

antiinflamasi dan antikoagulan menjadi

sangat penting selain antivirus. Antivirus

remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1)

dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5

4.2 4.1

4.3

(Li dkk., 2020)

Gambar 4. (4.1) B-lines difuse dan multiple pada area dada depan;

(4.2) Gambaran konsolidasi dan shred sign (panah kuning) pada PLAPS point,

(4.3) Gambaran pleura yang menebal ireguler (panah merah) dan efusi pleura minimal (panah biru)

19 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

atau hari ke 2-10) atau favipiravir (avigan

sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12

jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600

mg (hari ke 2-5). Antikoagulan dosis terapi

dapat diberikan low molecular weight

heparin (LMWH) 2 x 1 mg/kg/bb subkutan

atau unfractuionated heparin (UFH) sesuai

protocol emboli paru. Antiinflamasi dapat

diberikan steroid dosis rendah

deksametason 6 mg/24 jam selama 10 hari

atau kortikosteroid lain yang setara seperti

hidrokortison dan metilprednisolon.

2. Manajemen hemodinamik: manajemen

cairan konservatif direkomendasikan untuk

pasien pasien CARDS tetapi pemberian

cairan yang restriksi ini harus diimbangi

dengan target euvolumia dengan tetap

mengevaluasi fluid responsiveness

(menggunakan parameter dinamis, suhu

kulit, capillary refilling time, dan serum

laktat). Perhatikan tanda-tanda

ketidakcukupan perfusion organ sebagai

tanda hipovolemia (biasanya ditandai

dengan gagal ginjal akut prerenal). Surviving

sepsis campaign (SSC) merekomendasikan

jenis cairan kristaloid untuk resusitasi awal

pasien COVID-19

3. Pencegahan dan manajemen infeksi:

pemberian antiorganisme (antibiotik dan

antijamur) yang dini dan sesuai dengan peta

kuman rumah sakit sangat dianjurkan pada

pasien sepsis yang diduga kuat oleh karena

ko-infeksi bakteri/jamur, pemilihan antibiotik

disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus

infeksi dan faktor risiko yang ada pada

pasien. Pemeriksaan kultur darah, sputum

dan sumber infeksi yang lain harus segera

dilakukan dengan penuh kehati hatian.

4. Direkomendasikan pemberian nutrisi dini (24

– 48 jam). Pemberian nutrisi rute oral dan

enteral lebih direkomendasikan

dibandingkan akses nasogastric atau jejunal.

Pemberian nutrisi dapat dimulai dengan

trophic enteral nutrition (10 Kkal/kgbb per 24

jam) dan dinaikkan bertahap sampai 25- 30

Kkal/kgBB pada hari ke 5 -7. Protein

diberikan 1,3 g/kgBB/24 jam. Untuk

menentukan kebutuhan energi sebaiknya

menggunakan indirek kalorimetri jika

memungkinkan. Pada pasien obesitas dapat

menggunakan 11–14 kkal/kgBB actual/24

jam (body mass index (BMI)= 30–50)) dan

22–25 kkal/kg BB ideal/24 jam pada pasien

dengan BMI >50. Pemberian protein 2.0

g/kg BB ideal/24 jam pada BMI 30–40

sampai 2.5 g/kg BB ideal/24 jam pada BMI

≥40. Kombinasi nutrisi enteral dan

supplemental parenteral dapat

dipertimbangkan jika rute enteral/oral sulit

untuk mencapai target yang diinginkan.

5. Terapi supportif lain seperti : (a) Vitamin :

vitamin C dosis 200-400 mg tiap 8 jam,

vitamin B1/thiamin 100 – 200 mg /24

jam/intravena, vitamin D 400 IU-1000 IU/hari

(b) pertimbangkan terapi tambahan yang

lain jika terapi standar yang sudah diberika

memberikan respons yang kurang baik

seperti pemberian anti-IL 6 (tocilizumab),

Anti IL-1 (Anakinra), metilprednisolon dosis

tinggi, plasma konvalesen, intravenous

Immunoglobulin (IVIG) atau Mesenchymal

Stem Cell (MSCs) / Sel Punca, terapi plasma

exchange (TPE) dan lain-lain, (c) Pengobatan

penyakit penyerta, support dsifungsi organ

lain dan manajemen terhadap komplikasi

yang ada. Apabila pasien mengalami syok

sepsis, lakukan resusitasi cairan dan vasoaktif

dengan target mean arterial pressure (MAP)

60 – 65 mmHg.21,26,27,28,29,30,31

6. Tatalaksana oksigenasi

Terapi utama dari CARDS sampai saat ini

yaitu untuk menanggulangi hipoksemia akut.

Selanjutnya dilakukan identifikasi serta

terapi terhadap penyebab ARDS. Sehingga,

terapi oksigen dan dukungan napas

merupakan kunci dari tatalaksana CARDS.

Manajemen ini berhubungan erat dengan

manajemen jalan napas, pernapasan, dan

sirkulasi. Manajemen jalan napas bisa

dilaksanakan baik invasif ataupun non-

20 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

invasif. Non-invasive dapat menggunakan

terapi oksigen konvensional (non

rebreathing mask/ NRBM), high flow nasal

cannula (HFNC) dan non-invasive positive-

pressure ventilation (NIPPV). NIPPV biasanya

menngunakan ventilator dengan mode

continuous positive airway pressure (CPAP)

dan bilevel positive airway pressure (BiPAP).

Untuk yang invasif, dilakukan intubasi

endotrakeal dengan bantuan ventilasi

mekanik.32,33 Berikut ini, salah satu protokol

terapi oksigenasi yang kami rangkumkan

dari beberapa sumber (Gambar 5).

Gambar 5. Protokol terapi respirasi untuk CARDS

NIV: Non Invasive Ventilation, ROX: index didapat dari persamaan (SpO2/FiO2)/Frekuensi Napas,

PBW: Predicted Body Weight, ECMO: Extracorporeal Membrane Oxygenation, HFNC: High Flow Nasal

Canule

Pasien probable/terkonfirmasi

COVID-19 derajat berat/kritis

PaO2 / FiO2 > 150mmHg PaO2 / FiO2 < 150mmHg

Intubasi Endotracheal

Strategi Lung Protective

Ventilation

Rekruitmen Paru dan

titrasi PEEP

Posisi Prone

ECMO

NIV atau HFNC dengan

awake prone

NIV

- Hipoksemia - VT < 9ml/kgPBW - Skor HACOR <5

HFNC

- ROX index > 4,88

NIV

- Hipoksemia - 9ml/kgPBW < VT <

12ml/kgPBW - Skor HACOR<5 - Evaluasi peak flow

HFNC

- 3,85 < ROX index < 4,88

NIV

- Semakin memberat - Hipoksemia berat - Hipoksemia tidak

membaik - Napas spontan sangat

berat - Skor HACOR >5

HFNC

- ROX index < 3,85

Lanjutkan

NIV atau HFNC Monitoring ketat

NRBM 10-15 Lpm

(target SpO2 92 – 96%)

- Observasi dan monitoring

- Awake prone

Ya

Tidak

21 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

Prinsip lung protective strategy mencakup beberapa

langkah yaitu :

1. Langkah pertama

(a) Menghitung PBW

(b) Perempuan=45.5+(0,91 (tinggi badan

(cm) – 152,4))

Laki-laki=50+(0,91 (tinggi badan (cm)

– 152.4))

(c) Atur volume tidal 8 ml/kgBB PBW

dengan mode target volume atau

pressure

(d) Berikan positive end expiratory

pressure (PEEP) minimal 5 - 8 cmH2O

(e) Memilih FiO2 terendah untuk

mencapai SpO2 88 – 96% dan PaO2

55-80

(f) Evaluasi driving pressure. Jika driving

pressure < 15 cmH2O pertahankan

volume tidal 8 ml/kgBB

(g) Jika Jika driving pressure >15 cmH2O,

turunkan volume tidal 1 ml/kgBB tiap

dua jam hingga 6 ml/kgBB

2. Langkah kedua

(a) Lakukan pengukuran peak plateu

(Pplat) ketika tidal volume 6 ml/kgBB

(b) Pplat< 25 cm H2O dan VT< 6 ml/kg,

volume tidal dinaikkan 1 ml/kg secara

bertahap sampai Pplat>25 cmH2O

atau VT =6 ml/kg

(c) Pplat<30 serta terdapat asinkroni:

volume tidal boleh dinaikkan 1ml/kg

secara bertahap sampai 7 atau 8

ml/kg selama Pplat tetap < 30 cm

H2O

(d) Jika Pplat>30 cm H2O: volume tidal

diturunkan 1ml/kg secara bertahap,

minimal = 4 ml/kg

3. Langkah ketiga

(a) Evaluasi analisa gas darah (untuk

asidosis respiratorik)

(b) Jika pH 7,15 hingga 7,30, naikkan laju

napas ventilator 35 kali per menit

atau sampai pH> 7,30

(c) Jika pH< 7,15 naikkan laju napas

ventilator menjadi 35 kali per menit.

Jika pH < 7,15 naikkan tidal volume 1

ml/kgBB secara bertahap hingga pH

> 7,15

(d) Jika pH < 7,15, pertimbangkan

pemberian NaHCO3

(e) Ketika terjadi hipoksemia refrakter,

rekrutmen paru dapat

dipertimbangkan, pasien diposisikan

tengkurap selama 12-16 jam/hari,

strategi inverse ratio, pemberian

inhalasi vasodilator paru, pemberian

recombinant tissue plasminogen

activator (r-TPA) untuk memperbaiki

microvascular paru (dosis 25 mg

dalam 2 jam dilanjutkan infus 25 mg

dalam 22 jam yang diikuti heparin

dosis terapi) dan terapi extracorporeal

membrane oxygenation (ECMO).7,21,29, 31,34

Pemberian terapi ventilasi mekanik

sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pasien.

Marini dan Gattinoni35 mempublikasikan strategi

ventilasi mekanik pada CARDS melalui JAMA Insight

seperti tampak pada Tabel 2.

22 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

KESIMPULAN

ARDS merupakan komplikasi yang paling

sering muncul pada fase kritis COVID-19 dengan

tingkat kematian yang masih cukup tinggi. CARDS

memiliki karakteristik yang berbeda dengan ARDS

pada umumnya, sehingga perlu pengenalan dini

tentang jenis jenis CARDS. Manajemen CARDS

disesuaikan dengan manifesatasi klinis/fenotip yang

muncul sehingga kita dapat memberikan terapi dini

yang tepat dan tidak memberikan cedera sekunder

yang semakin memperparah kondisi cedera paru

paru dan organ lain.

DAFTAR PUSTAKA 1. Mcelroy MC, River C, International L. Coronavirus ARDS ( CARDS ) – Healing a Broken Lung. 2020;(May).

2. Shang Y, Pan C, Yang X, et al. Management of critically ill patients with COVID-19 in ICU: statement from front-

line intensive care experts in Wuhan, China. Ann Intensive Care. 2020;10(1):1-24. doi:10.1186/s13613-020-

00689-1

3. Li R, Liu H, Qi H, et al. Lung ultrasound assessment of acute respiratory distress syndrome caused by

coronavirus disease 2019: An observational study. Hong Kong J Emerg Med. 2020.

doi:10.1177/1024907920969326

4. Gibson PG, Qin L, Puah SH. COVID-19 acute respiratory distress syndrome (ARDS): clinical features and

differences from typical pre-COVID-19 ARDS. Med J Aust. 2020;213(2):54-56.e1. doi:10.5694/mja2.50674

Tabel 2. Strategi ventilasi mekanik pada CARDS (Marini dan Gattinoni, 2020)

Kondisi Target Pilihan Dukungan Ventilasi Keterangan

Sebelum intubasi

Pertukaran gas adekuat

Menghindari P-SILI

Suplemen Oksigen, CPAP,

NIV, HFNC, posisi prone saat

sadar penuh, mengurangi

frekuensi napas

Respiratory efforts yang terlalu

kuat memberikan

stress/tekanan lebih pada

paru dan pembuluh darah,

bisa menyebabkan injury

Selama Ventilasi Mekanik

Menghindari injury paru dan

terjadinya VILI

Minimalkan PEEP, frekuensi

dan volume tidal. Lakukan

penyesuaian untuk mencapai

pertukaran gas yang adekuat.

Jaga keseimbangan cairan.

Turunkan kebutuhan Oksigen.

Pertimbangkan ECMO

Meminimalkan stress

transpulmonal dan stress

vaskuler

Setelah Intubasi

Meminimalkan stress paru

Oksigenasi Optimal

Menghindari VILI

Tipe L (komplians > 30 – 40

cm H2O) Gunakan PEEP

rendah (<10 cmH2O), volume

tidal bisa liberal, sesuai

dengan kebutuhan (7-9

mL/kg). Turunkan kebutuhan

Oksigen. Pertimbangkan

posisi prone

Tidal volume rendah tidak

dibutuhkan. PEEP tinggi tidak

efektif, bisa menimbulkan

dead space dan dapat

memutarbalikkan blood flow

Mengurangi dan

mendistribusikan

stress/tekanan terhadap paru

dan vaskuler secara merata,

optimalisasi oksigenasi,

hindari VILI

Tipe H (komplians < 30 – 40

cm H2O) Gunakan PEEP lebih

tinggi (<15 cmH2O), volume

tidal rendah (5-7 mL/kg).

Turunkan kebutuhan Oksigen.

Terapkan posisi prone

Karakteristik lebih mirip dan

lebih berespons seperti ARDS

pada umumnya

Fase weaning

Hindari perburukan kembali

kondisi paru dengan memicu

terjadinya VILI dan

memperberat edema

Hati-hati saat proses transisi,

hindari perubahan secara

mendadak, SBT hanya di akhir

proses penyapihan

Usaha napas spontan yang

berat/terlalu kuat

meningkatkan kebutuhan

oksigen, meningkatkan

terjadinya edema dan memicu

P-SILI

Keterangan: SBT, Spontaneus Breathing Trial; P-SILI: Patient Self-Inflicted Lung Injury

23 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

5. Gattinoni L, Chiumello D, Rossi S. COVID-19 pneumonia: ARDS or not? Crit Care. 2020;24(1):1-3.

doi:10.1186/s13054-020-02880-z

6. Fan E, Del Sorbo L, Goligher EC, et al. An official American Thoracic Society/European Society of intensive care

medicine/society of critical care medicine clinical practice guideline: Mechanical ventilation in adult patients

with acute respiratory distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med. 2017;195(9):1253-1263.

doi:10.1164/rccm.201703-0548ST

7. Marino Pl. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Marino’s, The ICU Book,. 4th ed. Philadelphia: : Wolters

Kluwer Health / Lippincott Williams & Wilkins; 2014.

8. Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, et al. Acute respiratory distress syndrome: The Berlin definition. JAMA

- J Am Med Assoc. 2012;307(23):2526-2533. doi:10.1001/jama.2012.5669

9. Riviello ED, Kiviri W, Twagirumugabe T, et al. Hospital incidence and outcomes of ARDS using the Kigali

modification of the Berlin definition. Am J Respir Crit Care Med. 2015;193(1):52–59.

10. Grasselli G, Tonetti T, Protti A, et al. Pathophysiology of COVID-19-associated acute respiratory distress

syndrome: a multicentre prospective observational study. Lancet Respir Med. 2020;8(12):1201-1208.

doi:10.1016/S2213-2600(20)30370-2

11. Pierrakos. Acute Respiratory Distress Syndrome: Pathophysiology and Therapeutic Options. J Clin Med Res.

2012;4(1):7-16. doi:10.4021/jocmr761w

12. Yuefei J, Yang H, Ji W, Wu W, Chen S, Duan G. Intuition on virology, epidemiology, pathogenesis, and control of

COVID-19. Nov Res Microbiol J. 2020;4(5):955-967. doi:10.21608/nrmj.2020.118446

13. Hu B, Guo H, Zhou P, Shi ZL. Characteristics of SARS-CoV-2 and COVID-19. Nat Rev Microbiol. 2020;(December).

doi:10.1038/s41579-020-00459-7

14. Nile SH, Nile A, Qiu J, Li L, Jia X, Kai G. COVID-19: Pathogenesis, cytokine storm and therapeutic potential of

interferons. Cytokine Growth Factor Rev. 2020;53:66-70. doi:10.1016/j.cytogfr.2020.05.002

15. Ye Q, Wang B, Mao J. The pathogenesis and treatment of the ‘Cytokine Storm’’ in COVID-19.’ J Infect.

2020;80(6):607-613. doi:10.1016/j.jinf.2020.03.037

16. Khiali S, Khani E, Entezari-Maleki T. A Comprehensive Review of Tocilizumab in COVID-19 Acute Respiratory

Distress Syndrome. J Clin Pharmacol. 2020;60(9):1131-1146. doi:10.1002/jcph.1693

17. Fajgenbaum DC, June CH. Cytokine Storm. N Engl J Med. 2020;383(23):2255-2273. doi:10.1056/nejmra2026131

18. Jin-Soo Kim, Justin Sangwook Ko SB, Hyungtae Kim and SYL. Cervical Plexus Block 2018 Korean. Korean J

Anesthesiol. 2018;August 71(4):274-288. doi:https://doi.org/10.4097/kja.d.18.00143

19. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease (COVID-19) outbreak. J

Autoimmun. 2020;109(February):102433. doi:10.1016/j.jaut.2020.102433

20. Chen Y, Li L. SARS-CoV-2: virus dynamics and host response. Lancet Infect Dis. 2020;20(5):515-516.

doi:10.1016/S1473-3099(20)30235-8

21. Sherren PB, Ostermann M, Agarwal S, Meadows CIS, Ioannou N, Camporota L. COVID-19-related organ

dysfunction and management strategies on the intensive care unit: a narrative review. Br J Anaesth.

2020;125(6):912-925. doi:10.1016/j.bja.2020.08.050

22. Desai J, Moustarah F. Pulmonary Compliance. In: StatPearls. StatPearls Publishing, Treasure Island (FL).

23. Gattinoni L, Chiumello D, Caironi P, et al. COVID-19 pneumonia: different respiratory treatments for different

phenotypes? Intensive Care Med. 2020;46(6):1099-1102. doi:10.1007/s00134-020-06033-2

24. Aoyama H, Uchida K, Aoyama K, et al. Therapeutic Interventions and Lung Protective Ventilation in Patients

With Moderate to Severe Acute Respiratory Distress Syndrome: A Systematic Review and Network Meta-

analysis. JAMA Netw Open. 2019;2(7):E198116. doi:Published 2019 Jul 3.

doi:10.1001/jamanetworkopen.2019.8116

25. Robbaa C, Denise Battaglinia B, Lorenzo Balla B, et al. Distinct phenotypes require distinct respiratory

management strategies in severe COVID-19. 2020;(January).

26. Wiener-Kronish JP, E. ABJ, Eikermann CJ, Matthias PC, Quraishi SA. Critical Care Handbook of the Massachusetts

General Hospital. Sixth edit. Philadelphia.: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2016.

27. Alhazzani W, Møller MH, Arabi YM, et al. Surviving Sepsis Campaign: Guidelines on the Management of Critically

Ill Adults with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Vol 46. Springer Berlin Heidelberg; 2020.

doi:10.1007/s00134-020-06022-5

28. Pardo E, Constantin JM, Bonnet F, Verdonk F. Nutritional support for critically ill patients with COVID-19: New

strategy for a new disease? Anaesth Crit Care Pain Med. 2020;39(6):738-739. doi:10.1016/j.accpm.2020.10.002

29. Burhan E, Susanto AD, Isbaniah F, et al. PEDOMAN TATALAKSANA COVID-19. Edisi 3. Jakarta; 2020.

30. Marik P, Sa FCP, Frcp C. An overview of the MATH + and I-MASK + Protocols A Guide to the Management of

COVID-19 HOWEVER , TIMING IS CRITICAL. 2020;501(C):1-48.

31. McClave SA, Taylor BE, Martindale RG, et al. Guidelines for the Provision and Assessment of Nutrition Support

24 Journal of Anaesthesia and Pain. 2021. Vol.2(1):11-24

Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for

Parenteral and Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). Vol 40.; 2016. doi:10.1177/0148607115621863

32. Ferrando C, Suarez-Sipmann F, Mellado-Artigas R, et al. Clinical features, ventilatory management, and

outcome of ARDS caused by COVID-19 are similar to other causes of ARDS. Intensive Care Med.

2020;46(12):2200-2211. doi:10.1007/s00134-020-06192-2

33. Thompson BT, Chambers RC, Liu KD. Acute Respiratory Distress Syndrome B. N Engl J Med. 2017;377:562-572.

doi:10.1056/NEJMra1608077

34. Sembroski E, Sanghavi D, Bhardwaj A. Inverse Ratio Ventilation. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):

StatPearls Publishing; 2020 Jan-.

35. Marini JJ, Gattinoni L. Management of COVID-19 Respiratory Distress. JAMA Insights. 2020;323(22):2329-2330.

doi:10.1186/cc2392

Untuk menyitir artikel ini: Fatoni, AZ dan R Rakhmatullah. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada Pneumonia

COVID-19. Journal of Anaesthesia and Pain. 2021;2(1):11-24. doi: 10.21776/ub.jap.2021.002.01.02