a. modul b4.a aktivitas mengurai persoalan keluarga

44

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 2: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 3: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga (Curhat, Konsultasi, Bimbingan, dan Konseling)

b. Modul B4.b Posisi Konseling dalam Penguatan Ketahanan Keluarga

c. Modul B4.c Langkah‐langkah Konseling

d. Modul B4.d Teknik Umum Konseling

7

17

25

35

Page 4: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 5: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 6: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 7: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Aktivitas Megurai Persoalan Keluarga (Curhat, Konsultasi, Bimbingan, dan Konseling) ini disusun untuk membekali relawan konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan gambaran mengurai persoalan keluarga dengan curhat, bimbingan, konsultasi, dan konseling. Manusia tidak bisa lepas dari permasalahan kehidupannya. Seberapa jauh seseorang menghindar masalah tersebut tetap akan mengikuti. Pasalnya, tetap ada orang yang bisa mengahadapi permasalannya sendiri namun ada pula yang tidak mampu menyelesaikannya sendiri. Beberapa orang memerlukan bantuan untuk mengurai dan menyelesaikan masalahnya. Beberapa orang ingin berkeluh kesah namun tidak tahu tempat yang tepat. Akibatnya, justru masalahnya tidak selesai. Sebenarnya tidak salah menceritakan permasalahan pribadi jika tepat pada tempatnya. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait aktivitas aktivitas mengurai persoalan keluarga (curhat, konsultasi, bimbingan, dan konseling) untuk para relawan konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan keluarga di masyarakat sangat penting.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Mampu memahami perbedaan aktivitas curhat, konsultasi dan konseling, serta memiliki

ketrampilan untuk menerima curhat, konsultasi dan konseling.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami pengertian dan aktivitas curahan hati (curhat). 2. Memahami pengertian dan aktivitas konsultasi. 3. Memahami pengertian dan aktivitas bimbingan. 4. Memahami pengertian dan aktivitas konseling.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Curahan Hati (Curhat)B. KonsultasiC. BimbinganD. Konseling

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, meta plan, kain tempel lembar simulasi, spidol, papan tulis, lembar diskusi, lembar latihan, dan pedoman micro‐teaching.

Page 8: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

V. METODE PEMBELAJARAN

Brainstorming, ceramah, tanya‐jawab, diskusi kelompok, menonton video, latihan, dan micro‐teaching.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 4 jam pelajaran (T=2jp, P=2jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (135 menit) 1. Fasilitator menyampaikan materi: a. Curahan Hati b. Konsultasi c. Bimbingan d. Konseling. 2. Fasilitator memandu diskusi tentang persoalan keluarga. 3. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan atau mendiskusikan beberapa hal yang dianggap

belum jelas. 2. Fasilitator memberikan tanggapan balik kepada peserta. 3. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 4. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

Page 9: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

VII. URAIAN MATERI

A. Curahan Hati (Curhat) Setiap keluarga tentu tidak bisa lepas dari “masalah” dalam kehidupannya. Bahkan pemuda

yang masih lajang saja bisa memiliki masalah, apalagi yang sudah berumah tangga. Dalam menghadapi masalah tersebut, masng‐masing individu maupun keluarga memiliki sikap yang berbeda‐beda. Ada yang bersikap positif dengan menganggap masalah menjadi bagian dari peningkatan kasih sayang, peningkatan kualitas diri, dan bumbu kehidupan. Ada pula yang bersikap sebaliknya, begitu mudah mengumbar permasalahannya kepada khalayak. Mental mereka belum kuat mengahdapi permasalahan seperti itu.

Ketika mengahdapi permasalah, orang cenderung berpikir untuk menceritakan kepada orang lain atau sering disebut melakukan curahan hati (curhat). Dalam bahasa psikologi, dikenal sebagai katarsis. Pasalnya, tidak semua aktivitas curhat ini memunculkan solusi, terkadang justru malah semakin menambah masalah. Oleh karena itu, kita harus mampu menahan diri dari mengobral masalah keada sembarang orang.

Curhat menjadi sah‐sah saja jika dengan aktivitas ini akan diperoleh solusi untuk menyelesaikan masalah. Untuk itu perlu diketahui tentang beberapa larangan curhat yang harus diperhatikan:

1. Jangan curhat di sosial media Curhat di sosial media hanya akan mengumbar masalah tanpa solusi. Di sosial media yang

notabene bukan dunia nyata, sulit ditemukan orang yang akan memberi solusi secara bertanggung jawab.

2. Jangan “curhat jalanan” Yang dimaksud dengan “curhat jalanan” adalah curhat kepada sembarang orang di sembarang

tempat. Jangan sekali‐kali curhat kepada sembarang orang. Kita harus berhati‐hati untuk tidak mudah mencerikan masalah keluarga, sebab bisa jadi jalan untuk mengumbar aib sendiri.

3. Jangan curhat kepada wanita atau pria lain Orang yang sudah berumah tangga, ketika memilki masalah dan lari ke pada teman wanita atau

lelakinya lebih berpotensi membentuk PIL dan WIL yang justru akan merusak rumah tangga. 4. Jangan curhat kepada orangtua maupun mertua Masalah yang semestinya ringan jika melibatkan orangtua dan mertua berpotensi

menimbulkan keretakan keluarga. Orang yang sudah berkeluarga harus berani menyelesaikan masalahnya sendiri.

Ketika memang masalah keluarga tidak dapat diselesaikan sendiri, maka perlu ditempuh jalan mediasi. Medisi sebaiknya dilakukan oleh orang yang memiliki kemampun untuk memediasi. Intinya curhat boleh dilakuan jika dengan orang yang tepat.

B. Konsultasi Konsultasi adalah kegiatan tanya jawab. “Anda bertanya, kami menjawab.” Sifatnya jangka

pendek, dan tidak berkelanjutan. Seseorang datang untuk menanyakan hal yang memerlukan jawaban. Maka relawan konselor keluarga bertugas memberikan jawaban, atau memberikan rekomendasi dan referensi agar masyarakat bisa mengakses jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan.

Tujuan dari kegiatan konsultasi adalah memberikan informasi dan jawaban yang diperlukan oleh masyarakat, terkait berbagai dinamika kehidupan keluarga. Yang diperlukan oleh masyarakat yang melakukan konsultasi adalah jawaban dari berbagai pertanyaan mereka. Ketika sudah mendapatkan jawaban yang memuaskan, maka konsultasi sudah selesai. Jika relawan tidak mengetahui jawabannya, bisa memberikan akses rujukan dan rekomendasi kepada masyarakat.

Page 10: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

Kegiatan konsultasi sebagai aktivitas sosial sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat setiap hari. Di majelis taklim, di warung makan, di kafe, di kantor, di pasar, bahkan di gardu ronda, sudah lazim ada orang mengobrol menyampaikan pertanyaan kepada teman, dan direspon oleh teman itu dengan sejumlah nasihat. Seorang tukang potong rambut bisa menjadi konsultan bagi pelanggan setianya. Seorang sopir taksi bisa menjadi konsultan bagi pelanggannya, dan seterusnya. Ketika seseorang sering menjadi tempat curhat, maka sesungguhnya ia juga telah menjadi seorang konsultan yang menjawab berbagai pertanyaan. Bisa pula dilakukan lewat SMS, telepon, email, chatting, dan seterusnya.

Inilah perbedaan antara konsultasi yang dilakjukan oleh seorang konsultan, dengan konseling yang dilakukan oleh konselor. Konseling adalah hubungan yang bersifat spesifik. Ada etika, prinsip, dan teknik yang spesifik pada konseling. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa menjadi konselor. Karena untuk bisa menjadi konselor diperlukan sejumlah pengetahuan, persiapan dan pelatihan yang memadai.

C. Bimbingan 1. Pengertian bimbingan Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada

seseorang atau beberapa orang individu, baik anak‐anak, remaja, orang dewasa, atau keluarga; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma‐norma yang berlaku.

Bimbingan bersifat preventif, yaitu menghindarkan individu, komunitas atau keluarga dari hal‐hal negatif yang tidak diinginkan. Berbeda dengan aktivitas konseling yang bersifat kuratif dan penyelesaian permasalahan yang terlanjur terjadi. Bimbingan lebih mengarahkan pribadi dan keluarga agar tidak terjatuh ke dalam permasalahan yang sesungguhnya bisa dihindari.

2. Tujuan bimbingan Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu

dalam menghindari atau mengatasi kesulitan‐kesulitan hidupnya, agar individu dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Para ahli mengungkapkan, bahwa bimbingan diadakan dalam rangka membantu setiap individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.

3. Yang diperlukan oleh mereka yang mendapat bimbingan adalah penguatan, pengarahan, pencerahan, agar mereka bisa bersikap secara lebih baik dan lebih positif dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

4. Teknik memberikan bimbingan Untuk melaksanakan bimbingan yang baik diperlukan teknik‐teknik yang tepat. Hal itu agar

teknik tersebut dapat efektif untuk mencapai keberhasilan dalam bimbingan. Teknik‐teknik tersebut harus disesuaikan dengan masalah, kondisi klien, dan kapasitas dari konselor sendiri. Teknik bimbingan dibagi menjadi 2 yaitu individu dan kelompok.

Jika individu lebih sering dilakukan dengan konseling. Adapun beberapa teknik dalam bimbingan kelompok yaitu:

a. Home room program Bimbingan dilakukan secara tidak formal. Dengan situasi yang lebih akarab, seseorang lebih

terbuka mengemukakan masalah‐masalah yang dihadapinya. b. Karyawisata Rekreasi memberikan kesempatan seseorang untuk mengamati objek. Selain rekreasi,

karyawisata dapat mendorong aktivitas penyesuaian diri, kerja sama, tanggung jawab, kepercayaan diri, bakat, dan cita‐cita.

Page 11: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

c. Diskusi kelompok Seseorang berkesempatan untuk memecahkan masalah bersama‐sama. Selain

mengembangkan kemampuan sosial, dapat pula menambah kepercayaan diri sebab seseorang dilatih memecahkan masalah secara mandiri.

d. Kegiatan kelompok Bentuk kegiatan kelompok yang dapat dilakukan seperti kelompok belajar, kelompok

bermain, dan sebagainya. e. Organisasi Aktivitas dalam berorganisasi mengembangkan seseorang dalam kepemimpinan, tanggung

jawab, dan harga diri. f. Sosiodrama Dengan bermain peran, seseorang dapat belajar dan mengambil nilai‐nilai positif tentang

peran yang dimainkan. g. Psikodrama Seperti bermain peran dalam sosiodrama. Perbedaanya pada jenis permasalahannya yang

melibatkan konflik‐konflik psikologis. h. Remedial teaching.

D. Konseling 1. Pengertian konseling Pertama kali perlu kita ketahui pengertian konseling, agar memahami batasan dan cakupan

yang terkandung di dalamnya. Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seorang pembimbing (konselor) kepada seorang konseli atau sekelompok konseli (klien, terbimbing) untuk mengatasi problemnya dengan jalan wawancara, dengan maksud agar klien atau sekelompok klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan mampu memecahkan problem sesuai dengan kemampuannya, dengan mempelajari saran‐saran yang diterima dari konselor.

Yang dimaksud konselor adalah pihak yang memberikan konseling, sedangkan konseli atau Klien adalah pihak yang mendapatkan konseling. Hubungan dalam konseling itu bersifat membantu (helping) bukan memberi (giving) atau mengambil alih pekerjaan orang lain. Membantu tetap memberi kepercayaan kepada klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan dorongan dan motivasi.

2. Tujuan konseling Seringkali ketika mendengar istilah konseling, yang terbayang oleh benak kita hanyalah

sebuah proses bantuan yang dilakukan konselor kepada klien untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Padahal dalam konseling, aktivitas yang terjadi bukan hanya sempit, sekedar mencari jalan penyelesaian masalah. Namun ada berbagai tujuan yang lebih luas dan lebih mendalam daripada sekedar mencari jalan penyelsaian masalah.

Kegiatan konseling memiliki sejumlah tujuan yang positif. Dari berbagai kepustakaan, didapatkan berbagai tujuan konseling, di antaranya:

a. Tujuan perkembangan Yang dimaksud dengan tujuan perkembangan adalah, klien dibantu dalam proses

pertumbuhan dan perkembangannya serta mengantisipasi hal‐hal yang akan terjadi pada proses tersebut, seperti perkembangan kehidupan sosial, pribadi, emosional, kognitif, fisik dan sebagainya.

Page 12: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

b. Tujuan pencegahan Dalam mencapai tujuan pencegahan, konselor membantu klien menghindari kondisi‐

kondisi yang tidak diinginkan. Ada kondisi tertentu yang tidak diinginkan oleh klien, maka konselor membantu klien untuk menemukan cara agar bisa menghindari atau mencegah munculnya kondisi yang tidak diinginkan tersebut.

c. Tujuan peningkatan Untuk mencapai tujuan peningkatan, klien dibantu oleh konselor untuk meningkatkan

ketrampilan dan kemampuan memecahkan masalah. Klien sesungguhnya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, namun perlu bantuan dan intervensi konselor dalam penyelesaian masalah yang dihadapi.

d. Tujuan perbaikan Dalam mencapai tujuan perbaikan, klien dibantu oleh konselor untuk mengatasi atau

menghilangkan perkembangan atau kondisi yang tidak diinginkan. Kondisi yang tidak diinginkan tersebut sudah terjadi, dan klien ingin melakukan perbaikan.

e. Tujuan penyelidikan Dalam mencapai tujuan penyelidikan, konselor bersama klien menguji kelayakan suatu

tujuan, atau memeriksa pilihan‐pilihan dalam upaya penyelesaian masalah, atau mencoba langkah serta aktivitas baru yang berbeda dari yang sudah dilakukan sebelumnya, dan lain sebagainya.

f. Tujuan penguatan Dalam mencapai tujuan penguatan, konselor membantu klien untuk menyadari apa yang

dilakukan, dipikirkan dan dirasakan. Kadang klien datang hanya memerlukan penguatan dari cara pandang dan langkah yang sudah direncanakan sebelumnya. Klien memerlukan penguatan dari cara pandang konselor.

g. Tujuan kognitif Dalam mencapai tujuan kognitif, konselor bersama klien berproses untuk menghasilkan

pondasi bagi pembelajaran dan ketrampilan kognitif. Ada sejumlah pengetahuan kognitif yang diperlukan klien untuk bisa menyelesaikan masalahnya.

h. Tujuan fisiologis Dalam mencapai tujuan fisiologis, konselor bersama klien berinteraksi untuk menghasilkan

pemahaman dasar dan kebiasaan hidup yang lebih baik. Konselor mengajak klien untuk memahami berbagai pola hidup yang sehat dan bermartabat.

i. Tujuan psikologis Dalam mencapai tujuan psikologis, konselor membantu meningkatkan motivasi hidup,

mengembangkan ketrampilan sosial yang baik, belajar mengontrol emosi, mengembangkan konsep diri positif dalam diri klien, dan lain sebagainya.

j. Tujuan Solutif Dalam konseling, konselor bersama klien berproses bersama untuk mencari jalan keluar

dari permasalahan yang sedang dihadapi. Konselor mengarahkan klien agar mampu mengambil keputusan terbaik bagi upaya penyelesaian masalahnya sendiri.

3. Aktivitas konseling Dari tinjauan konselor, maka aktivitas konseling secara umum terbagi atas empat tahap

sebagai berikut: a. Membangun relasi Yang dimaksud adalah membuat hubungan yang lebih nyaman antara konselor dengan

klien. Ketika klien adalah orang yang belum dikenal sama sekali oleh konselor, maka harus ada upaya membangun kedekatan emosional agar suasana konseling tidak berjalan kaku dan menegangkan.

Page 13: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

Hal ini bisa dilakukan dengan menyapa terlebih dahulu, memperkenalkan diri, dan menyampaikan bahwa konselor bersedia membantu membersamai klien dalam permasalahan yang dihadapi. Setelah itu konselor meminta kepada klien untuk memperkenalkan diri. Buat suasana rileks dan santai, agar klien merasa nyaman dan aman berada bersama konselor.

b. Memahami kedalaman masalah Pada tahap ini, klien mulai menceritakan masalahnya. Kadang cerita ini bisa sedemikian

runtut sehingga mudah dipahami konselor. Namun kadang cerita tidak runtut karena suasana emosional klien, sehingga membuat sulit dipahami oleh konselor. Tugas konselor adalah berusaha memahami sejauh mana kedalaman masalah tersebut.

Biarkan saja klien menceritakan semua yang ingin diceritakan. Konselor tidak layak memutus atau memotong pembicaraan klien, karena akan mengganggu konsentrasi dan “mud” untuk mengungkap permasalahannya. Di bagian akhir cerita klien, konselor bisa mengkonfirmasi bagian yang dianggap kurang jelas, atau menyampaikan ulang persepsi konselor atas masalah klien untuk mendapatkan kesamaan cara pandang.

c. Mencari solusi‐solusi alternatif bersama klien Setelah memahami kedalaman dan keluasan masalah, maka konselor bersama klien

mencari solusi alternatif yang mungkin dilakukan. Konselor harus menggunakan perspektif kemampuan klien, maka pertanyaannya adalah, “Menurut anda, apa yang bisa anda lakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut?” Bukan kalimat, “Anda harus mengerjakan sepuluh langkah sebagai berikut.”

Konselor harus membangkitkan kemampuan klien dalam mencari solusi alternatif, agar sesuai dengan kemampuan dirinya. Konselor tidak layak mengukur kemampuan klien dengan kemampuan dirinya, atau dengan kemampuan orang lain, karena setiap klien adalah unik dan spesifik. Jika klien tidak bisa mengungkapkan alternatif solusi yang akan dilakukan, maka konselor bisa membimbing dengan beberapa pertanyaan tentang apa yang sudah dilakukan oleh klien selama ini, dan apa yang mungkin ia lakukan di waktu yang akan datang.

d. Memutuskan jalan keluar terbaik Bantu klien untuk mencari berbagai cara yang dapat dilakukan guna menyelesaikan

masalah dengan baik. Diskusikan pendapat dan perasaan mereka sampai mereka dapat memutuskan cara yang dianggap paling baik dari berbagai alternatif yang mungkin klien kemukakan. Konselor membimbing dan membingkai jalan keluar yang terbaik dari hasil konseling.

Jalan keluar ini muncul dari klien sendiri, sehingga sesuai dengan daya dukung dan kemampuan yang dimiliki. Konselor hanya memberikan penguatan serta catatan atas langkah yang akan dilakukan klien. Karena klien sendirilah yang akan melakukan serangkaian langkah tersebut, maka sudah selayaknya semua diukur dengan perspektif kemampuan klien, bukan perspektif dan kemampuan konselor.

e. Penyelesaian dan evaluasi Pada tahap ini, telah ada kesepakatan sementara antara konselor dengan klien untuk

melakukan suatu tindakan tertentu, yang akan dilakukan evaluasi pada waktu tertentu pula. Konselor harus menegaskan dan memotivasi bahwa klien pasti akan mampu keluar dari masalah dengan baik.

Page 14: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

Konseling dinyatakan selesai, berdasarkan beberapa ukuran berikut. Pertama, karena waktu yang disediakan oleh konselor sudah habis. Setiap melakukan konseling, harus ada kesepakatan batasan waktu yang disampaikan kepada klien. Misalnya, konseling akan berlangsung dalam waktu satu jam. Dengan demikian, konseling (sesi pertama) berakhir, karena waktu yang disediakan sudah habis. Jika tidak ada batasan waktu, konseling akan sangat melelahkan bagi konselor, apalagi bagi konselor pemula.

Kedua, karena sudah terdapat kesimpulan antara konselor dengan klien, walaupun waktu yang tersedia belum habis. Misalnya pada konseling sesi kedua dan seterusnya, ternyata baru setengah jam, konselor dan klien sudah menemukan titik temu dan kesepakatan tertentu. Maka konseling bisa berakhir, walau waktu masih tersedia.

Pada akhir sesi konseling, sampaikan kepada klien bahwa konseling sesi ini sudah selesai dan klien boleh menghubungi lagi apabila ada perkembangan.

VIII. REFERENSI

Geldard, Kalthryn. 2011. Ketrampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Takariawan, Cahyadi. Artikel. Diambil dari http://m.kompasiana.com/pakcah/curhat‐norak‐dan‐curhat‐bijak_555bdbf31a7b616f0ecc8f4b/ pada tanggal 19 Mei 2016.

Takariawan, Cahyadi. Artikel. Diambil dari http://www.kompasiana.com/pakcah/lima‐larangan‐curhat_552b2aaff17e613a79d623a6/ pada tanggal 19 Mei 2016.

Takariawan, Cahyadi & Nurlaila, Ida. 2012. Konselor Dakwah. Solo: Era Intermedia.Tim Dosen PPB FIP UNY. 2013. Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: UNY Press.

14

Page 15: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 16: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 17: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Posisi Konseling dalam Penguatan Ketahanan Keluarga ini disusun untuk membekali relawan konselor keluarga agar mampu memposisikan diri sebagai konselor dalam penguatan ketahanan keluarga. Menjadi relawan konselor harus memahami bagaimana posisinya dalam membantu memberikan penguatan keluarga. Konselor harus memahami apa itu klien dan bagaimana harus mengahadapinya. Setiap klien memiliki penanganan yang berbeda, sebab masing‐masing Konselor juga harus memilki ketrampilan konseling yang memadai. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait aktivitas langkah‐langkah konseling untuk para relawan konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan keluarga di masyarakat sangat penting.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Mampu mampu memahami dasar‐dasar ilmu konseling.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami asumsi dasar dalam konseling. 2. Memahami tujuan konseling. 3. Memahami kompetensi dasar konselor keluarga.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Asumsi Dasar Konseling 1. Klien bukan orang sakit mental 2. Konseling bersifat membantu 3. Konseling bersifat memberdayakanB. Kompetensi Konselor Keluarga 1. Konseling sebagai upaya penguatan ketahanan keluarga 2. Peran konselor keluarga dalam masyarakat 3. Arti penting konselor bagi bangsa dan negara

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, meta plan, kain tempel lembar simulasi, spidol, papan tulis, lembar diskusi, lembar latihan, pedoman micro‐teaching.

17

Page 18: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

VII. URAIAN MATERI

V. METODE PEMBELAJARAN

Brainstorming, ceramah, tanya‐jawab, diskusi kelompok, menonton video, latihan dan micro‐teaching.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 4 jam pelajaran (T=2jp, P=0jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (15 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (135 menit) 1. Fasilitator menyampaikan materi: a. Asumsi Dasar konseling b. Kompetensi Konselor Keluarga. 2. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan atau mendiskusikan beberapa hal yang dianggap

belum jelas. 2. Fasilitator memberikan tanggapan balik kepada peserta. 3. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 4. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

A. Asumsi Dasar Konseling Dalam kegiatan konseling, ada beberapa asumsi yang mendasari cara pandang konseling.

Asumsi ini penting ditetapkan agar kegiatan konseling berada pada jalur yang semestinya, apalagi bagi seorang relawan atau pekerja sosial, harus mengerti batasan asumsinya agar lebih tepat dalam melaksanakan tugas. Asumsi ini juga yang akan membedakan kegiatan konseling dengan yang lainnya.

1. Klien Bukan Orang Sakit Mental Pertama, klien dipandang sebagai seseorang yang sehat, bukan orang sakit mental. Klien

memiliki potensi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri, untuk memilih tujuan, membuat keputusan dan secara umum menerima tanggungjawab dari tingkah lakunya dan konsekuensinya di kemudian hari. Klien adalah manusia “normal” sama dengan yang lainnya, namun tengah menghadapi permasalahan yang memerlukan bantuan pihak lain.

18

Page 19: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

Dalam konseling diasumsikan, klien adalah klien, bukan pasien, hanya saja pada saat itu sedang kehilangan kemampuan untuk mendayagunakan potensinya. Jika yang datang adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan, atau pasien, ia perlu dirujuk ke psikiater, atau dokter atau rumah sakit. Bukan lagi kewenangan Konselor Keluarga untuk menanganinya. Konselor Keluarga hanya menangani klien, bukan menangani pasien.

2. Konseling Bersifat Membantu Kedua, hubungan dalam konseling itu bersifat membantu (helping) bukan memberi (giving)

atau mengambil alih pekerjaan orang lain. Karena bersifat membantu, maka Selga tetap memberi kepercayaan kepada klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan dorongan dan motivasi. Seorang Selga tidak boleh mengambil alih beban klien, karena hanya membantu klien dalam mengurai dan mencari jalan penyelesaian masalah.

Contoh mengambil alih beban klien itu misalnya Selga ikut mengalami kesedihan sebagaimana yang dirasakan klien. Hendaknya Selga membatasi bahwa ruang lingkupnya adalah empati. Beban permasalahan tetap ada pada diri klien, bukan diambil alih oleh Selga. Dengan cara seperti ini, tidak ada residu beban persoalan yang memberatkan Selga saat selesai bertemu klien. Hal ini pula yang membuat Selga bisa menolong lebih dari seorang klien dalam waktu yang bersamaan.

Sedangkan yang dimaksud dengan giving (memberi) itu misalnya Selga memberikan tips atau resep atau jalan keluar untuk dilaksanakan klien. Konseling tidak untuk memberikan jalan keluar instan, bukan pula untuk memberikan sejumlah instruksi penyelesaian masalah. Namun konseling ada proses interaksi bersama antara Selga dengan klien dalam mengurai persoalan dan menemukan alternatif penyelesaian.

3. Konseling Bersifat Memberdayakan Ketiga, hubungan dalam konseling itu bersifat memberdayakan, maka Selga tidak

memberikan instruksi penyelesaian masalah. Selga hanyalah sahabat untuk berbagi, kemudian membantu klien menganalisis masalah untuk mencari berbagai peluang solusi yang akan diambil sendiri oleh klien. Keputusan akhir dilakukan dan diambil oleh klien sendiri, bukan oleh konselor.

Ketika Selga menginstruksi jalan keluar bagi klien, ini menyebabkan klien merasa tergantung kepada Selga. Klien bersikap pasrah, menyerahkan semua hal kepada Reselga untuk mengambil keputusan. Akhirnya Selga bertindak di luar batas kemampuan dan kewenangannya, dengan memberikan berbagai instruksi praktis kepada klien. Selain bukan kewenangannya, cara seperti itu juga tidak memberdayakan dan memampukan klien.

B. Kompetensi Konselor Keluarga Yang dimaksud konselor adalah pihak yang memberikan konseling, sedangkan konseli atau klien

adalah pihak yang mendapatkan konseling. Hubungan dalam konseling itu bersifat membantu (helping) bukan memberi (giving) atau mengambil alih pekerjaan orang lain. Membantu tetap memberi kepercayaan kepada klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan permasalahan‐nya sendiri dengan dorongan dan motivasi.

Yang perlu kita ketahui, klien adalah klien dan bukan pasien, bukan orang yang sakit mental. Klien hanyalah seseorang yang sedang tidak mampu menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik. Dia bukanlah orang yang sakit. Jika seseorang teridentifikasi mengalami sakit kejiwaan, maka yang diperlukan bukanlah konseling, namun terapi medis. Diperlukan seorang dokter jiwa untuk mengobati sakit kejiwaannya, bukan lagi seorang konselor.

19

Page 20: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

Hubungan dalam konseling dibangun berbeda dengan pola hubungan sosial pada umumnya, karena konseling memerlukan hubungan yang dijalin dengan keterbukaan, pemahaman, penghargaan secara positif, dan empati. Inilah sebabnya, perlu ada pembekalan dan pelatihan bagi konselor, agar bisa menempatkan diri secara tepat dan proporsional dalam menjalankan konseling.

Gibson dan Mitchell (1995:150) menyebutkan ada empat keterampilan konseling yang diperlukan oleh konselor, yakni keterampilan komunikasi, keterampilan diagnostik, keterampilan memotivasi dan keterampilan manajemen.

1. Ketrampilan Komunikasi Ketrampilan komunikasi terdiri atas dua yakni keterampilan komunikasi nonverbal dan

keterampilan komunikasi verbal. Gazda, Asbury, Balzer, Childers and Walters (dalam Gibson dan Mitchell (1995:150) membagi keterampilan komunikasi nonverbal atas empat keterampilan yakni:

a. Perilaku komunikasi nonverbal menggunakan waktu; terdiri atas mengenali waktu dan prioritas waktu.

b. Perilaku komunikasi nonverbal menggunakan tubuh; terdiri atas kontak mata, mata, kulit, postur tubuh, ekspresi wajah, tangan dan pergerakan lengan, perilaku diri, pengulangan perilaku, sinyal atau aba‐aba, menarik perhatian.

c. Perilaku komunikasi nonverbal menggunakan media suara; terdiri atas nada suara, kecepatan berbicara, kerasnya suara, gaya berbicara.

d. Perilaku komunikasi nonverbal menggunakan lingkungan; terdiri atas pengaturan jarak, pengaturan seting fisik, pakaian yang digunakan dan posisi dalam ruangan konseling.

Ketrampilan komunikasi verbal yang penting adalah mendengar, memberi respon balik dan mengajukan pertanyaan. Mendengar adalah persyaratan komunikasi verbal yang efektif. Cavaugh (Gibson & Mitchell, 1995:154) menyatakan bahwa “listening is the basis of a counselor’s effectiveness”. Selanjutnya, dengan keefektifan mendengar maka akan dapat dilakukan respon balik terhadap perilaku, perasaan, perhatian, aksi, ekspresi klien.

Dalam mengajukan pertanyaan pun harus digunakan bentuk pertanyaan terbuka yang akan memberikan kesempatan klien untuk mengekspresikan perasaan, merinci pembicaraan dan memperoleh pemahaman baru.

2. Ketrampilan Diagnostik Ketrampilan ini mensyaratkan konselor terampil dalam mendiagnosa dan memahami klien,

memperhatikan klien, dan pengaruh lingkungan yang relevan. Konselor harus terampil dalam mendiagnosa permasalahan yang dihadapi klien. Setiap klien datang dengan membawa permasalahan yang berbeda, baik dari segi jenis masalah, tingkat kerumitan dan kedalaman masalah, serta akar permasalahan. Oleh karena itu diperlukan keterampilan untuk melakukan proses diagnosa peramasalahan yang berbeda‐beda tersebut.

3. Ketrampilan Memotivasi Tujuan konseling biasanya untuk membantu perubahan perilaku dan sikap klien. Untuk

memenuhi tujuan ini, seorang konselor harus mempunyai keterampilan memotivasi klien. Banyak klien datang dalam kondisi sudah kalah, menyerah dan tidak memiliki semangat menatap masa depan. Konselor harus bisa membangkitkan semangat dan motivasi klien, agar klien mengerti ada banyak hal yang bisa mereka lakukan untuk diri, keluarga dan orang lain. Klien harus dimotivasi untuk yakin bahwa selalu ada jalan keluar dari masalah yang dihadapinya.

4. Ketrampilan Manajemen Yang termasuk keterampilan manajemen adalah perhatian terhadap lingkungan dan

pengaturan fisik, pengaturan waktu, mengatur proses membantu klien bahagia, mengatur kontribusi konselor dalam proses konseling, mengenali dan bekerja dalam keprofesionalan seorang konselor. Menentukan poin dan metode mengakhiri konseling, tindak lanjut dan mengevaluasi merupakan tanggung jawab konselor.

20

Page 21: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

VIII. REFERENSI

Geldard, Kalthryn. 2011. Ketrampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Takariawan, Cahyadi & Nurlaila, Ida. 2012. Konselor Dakwah. Solo: Era Intermedia.Tim Dosen PPB FIP UNY. 2013. Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: UNY Press.

21

Page 22: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 23: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 24: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 25: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Langkah‐langkah Konseling ini disusun untuk membekali relawan konselor keluarga agar mampu memberikan konseling dengan langkah‐langkah yang tepat. Menjadi konselor bukanlah suatu hal yang mudah sebab ia harus memahami cara memberikan konseling dan memahami hal‐hal yang yang harus diperhatikan dalam memberikan konseling kepada keluarga. Meskipun tidak mudah relawan konselor tetap dapat membantu penyelesaian masalah keluarga dengan catatan memiliki pemahaman yang cukup. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait aktivitas langkah‐langkah konseling untuk para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan keluarga di masyarakat sangat penting.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Mampu memahami langkah‐langkah konseling dan mampu melaksanakan konseling.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami langkah‐langkah konseling dalam tinjauan konselor. 2. Memahami langkah‐langkah konseling dalam tinjauan klien. 3. Menerapkan langkah‐langkah konseling dalam membantu masalah klien.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Langkah‐langkah Konseling dalam Tinjauan Konselor 1. Teknik membangun relasi dengan klien 2. Teknik memahami klien 3. Teknik menemukan solusi masalah klienB. Langkah‐langkah Konseling dalam Tinjauan Klien 1. Teknik membangun kesadaran klien akan masalah yang dihadapi 2. Teknik membangun motivasi klien akan kemampuan menyelesaikan masalahnya sendiriC. Konseling untuk Membantu Menyelesaikan masalah Klien

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, meta plan, kain tempel lembar simulasi, spidol, papan tulis, lembar diskusi, lembar latihan, pedoman micro‐teaching.

V. METODE PEMBELAJARAN

Brainstorming, ceramah, tanya‐jawab, diskusi kelompok, menonton video, latihan dan micro‐teaching.

25

Page 26: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 4 jam pelajaran (T=2jp, P=0jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (15 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (60 menit) 1. Fasilitator menyampaikan materi: a. Langkah‐langkah Konseling dalam Tinjauan Konselor b. Langkah‐langkah Konseling dalam Tinjauan Klien 2. Fasilitator memandu praktik konseling untuk membantu menyelesaikan masalah klien. 3. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan atau mendiskusikan beberapa hal yang dianggap

belum jelas. 2. Fasilitator memberikan tanggapan balik kepada peserta 3. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 4. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

VII. URAIAN MATERI

A. Langkah‐langkah Konseling dalam Tinjauan Konselor Dari tinjauan konselor, maka aktivitas konseling secara umum terbagi atas beberapa tahap

sebagai berikut: 1. Teknik membangun relasi dengan klien Yang dimaksud adalah membuat hubungan yang lebih nyaman antara konselor dengan

klien. Ketika klien adalah orang yang belum dikenal sama sekali oleh konselor, maka harus ada upaya membangun kedekatan emosional agar suasana konseling tidak berjalan kaku dan menegangkan.

Hal ini bisa dilakukan dengan menyapa terlebih dahulu, memperkenalkan diri, dan menyampaikan bahwa konselor bersedia membantu membersamai klien dalam permasalahan yang dihadapi. Setelah itu konselor meminta kepada klien untuk memperkenalkan diri. Buat suasana rileks dan santai, agar klien merasa nyaman dan aman berada bersama konselor.

2. Teknik memahami kedalaman masalah klien Pada tahap ini, klien mulai menceritakan masalahnya. Kadang cerita ini bisa sedemikian

runtut sehingga mudah dipahami konselor. Namun kadang cerita tidak runtut karena suasana

26

Page 27: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

emosional klien, sehingga membuat sulit dipahami oleh konselor. Tugas konselor adalah berusaha memahami sejauh mana kedalaman masalah tersebut.

Biarkan saja klien menceritakan semua yang ingin diceritakan. Konselor tidak layak memutus atau memotong pembicaraan klien, karena akan mengganggu konsentrasi dan “mud” untuk mengungkap permasalahannya. Di bagian akhir cerita klien, konselor bisa mengkonfirmasi bagian yang dianggap kurang jelas, atau menyampaikan ulang persepsi konselor atas masalah klien untuk mendapatkan kesamaan cara pandang.

3. Teknik menemukan solusi masalah klien Setelah memahami kedalaman dan keluasan masalah, maka konselor bersama klien

mencari solusi alternatif yang mungkin dilakukan. Konselor harus menggunakan perspektif kemampuan klien, maka pertanyaannya adalah, “Menurut anda, apa yang bisa anda lakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut?” Bukan kalimat, “Anda harus mengerjakan sepuluh langkah sebagai berikut.”

Konselor harus membangkitkan kemampuan klien dalam mencari solusi alternatif, agar sesuai dengan kemampuan dirinya. Konselor tidak layak mengukur kemampuan klien dengan kemampuan dirinya, atau dengan kemampuan orang lain, karena setiap klien adalah unik dan spesifik. Jika klien tidak bisa mengungkapkan alternatif solusi yang akan dilakukan, maka konselor bisa membimbing dengan beberapa pertanyaan tentang apa yang sudah dilakukan oleh klien selama ini, dan apa yang mungkin ia lakukan di waktu yang akan datang.

4. Memutuskan jalan keluar terbaik Bantu klien untuk mencari berbagai cara yang dapat dilakukan guna menyelesaikan

masalah dengan baik. Diskusikan pendapat dan perasaan mereka sampai mereka dapat memutuskan cara yang dianggap paling baik dari berbagai alternatif yang mungkin klien kemukakan. Konselor membimbing dan membingkai jalan keluar yang terbaik dari hasil konseling.

Jalan keluar ini muncul dari klien sendiri, sehingga sesuai dengan daya dukung dan kemampuan yang dimiliki. Konselor hanya memberikan penguatan serta catatan atas langkah yang akan dilakukan klien. Karena klien sendirilah yang akan melakukan serangkaian langkah tersebut, maka sudah selayaknya semua diukur dengan perspektif kemampuan klien, bukan perspektif dan kemampuan konselor.

5. Penyelesaian masalah dan evaluasi Pada tahap ini, telah ada kesepakatan sementara antara konselor dengan klien untuk

melakukan suatu tindakan tertentu, yang akan dilakukan evaluasi pada waktu tertentu pula. Konselor harus menegaskan dan memotivasi bahwa klien pasti akan mampu keluar dari masalah dengan baik.

Konseling dinyatakan selesai, berdasarkan beberapa ukuran berikut. Pertama, karena waktu yang disediakan oleh konselor sudah habis. Setiap melakukan konseling, harus ada kesepakatan batasan waktu yang disampaikan kepada klien. Misalnya, konseling akan berlangsung dalam waktu satu jam. Dengan demikian, konseling (sesi pertama) berakhir, karena waktu yang disediakan sudah habis. Jika tidak ada batasan waktu, konseling akan sangat melelahkan bagi konselor, apalagi bagi konselor pemula.

Kedua, karena sudah terdapat kesimpulan antara konselor dengan klien, walaupun waktu yang tersedia belum habis. Misalnya pada konseling sesi kedua dan seterusnya, ternyata baru setengah jam, konselor dan klien sudah menemukan titik temu dan kesepakatan tertentu. Maka konseling bisa berakhir, walau waktu masih tersedia.

Pada akhir sesi konseling, sampaikan kepada klien bahwa konseling sesi ini sudah selesai dan klien boleh menghubungi lagi apabila ada perkembangan kondisi, untuk dilakukan evaluasi.

27

Page 28: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

B. Langkah‐langkah Konseling dalam Tinjauan Klien Proses konseling bisa berjalan dengan baik apabila ada kesediaan dari klien untuk diintervensi.

Jika klien menolak intervensi, maka konseling akan menghadapi persoalan yang besar. Untuk itu, dari segi klien, harus ada sejumlah langkah yang dilakukan, dengan difasilitasi oleh konselor.

Beberapa langkah yang harus dilakukan oleh klien, dengan bimbingan dari konselor adalah sebagai berikut:

1. Kesadaran akan Masalah Jika seseorang tidak sadar dengan permasalahan yang dihadapi, mereka tidak akan

termotivasi untuk melakukan usaha yang dibutuhkan untuk perubahan. Dalam sebuah area konseling, terkadang terdapat kesulitan untuk mendapatkan orang yang benar‐benar menyadari masalahnya. Banyak orang cenderung menyangkal keberadaan masalah dalam dirinya, padahal masalah itu dirasakan oleh pasangannya.

Bagi orang yang menyangkal keberadaan masalah dalam dirinya, perubahan konstruktif tidak akan terjadi kecuali jika konselor menemukan cara untuk meyakinkan bahwa mereka tengah berada dalam masalah. Saat seseorang menyangkal permasalahannya, konselor harus fokus dalam menyelidiki mengapa klien tidak percaya bahwa ada masalah pada dirinya. Jika klien masih menyangkal permasalahannya, konselor harus menyadarkan masalah‐masalah klien sendiri.

“Saya merasa tidak memiliki masalah, tapi saya heran mengapa organisasi menyuruh saya untuk konsultasi di sini...” keluh seorang klien.

“Apa yang bapak rasakan saat isteri meninggalkan rumah?” tanya konselor. “Biasa saja. Saya biasa hidup sendiri. Tidak ada masalah,” jawab klien. “Tapi istri anda pergi dengan membawa anak yang paling kecil, apa bapak tidak khawatir

tentang kondisi anak anda?” “Itu yang saya khawatirkan. Saya ingin anak saya kembali. Saya ingin mendidik anak‐anak

saya sendiri,” jawab klien. “Itulah masalah yang sedang bapak hadapi sekarang.” 2. Relasi dengan Konselor Eriksen (1979) menekankan betapa pentingnya relasi yang dibangun dengan klien.

Kepentingan tersebut terfokus pada bagaimana membangun relasi konstruktif, sebagai berikut :

a. Usahakan agar klien merasakan aman dan nyaman untuk mengkomunikasikan permasalahannya kepada konselor.

b. Pada awal berhubungan dengan klien, konselor harus berlaku ramah, tidak arogan atau bersikap menakutkan.

c. Bersikap tenang, janganlah tertawa atau mengekspresikan ejekan saat klien membuka permasalahannya.

d. Tidak menghakimi dan tidak bersikap “moralistik”. Tunjukkan perhatian yang tulus kepada klien dan jangan cepat memberikan “fatwa” atas masalah yang dihadapi klien.

e. Memandang setara kepada klien. Para “calon” konselor terkadang menganggap klien itu kelompok “orang bermasalah” sehingga motivasi para klien menjadi semakin jauh.

f. Gunakan kata‐kata yang dimengerti oleh klien. g. Nada suara harus menampilkan sikap empati dan pengertian konselor terhadap perasaan

klien. h. Menjaga kerahasiaan dari informasi yang disampaikan klien. i. Jangan terlibat secara emosional dengan permasalahan yang dikemukakan klien, yang

membuat konselor menjadi tidak bisa berlaku obyektif dalam memandang perasoalan

28

Page 29: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

sebanarnya. 3. Motivasi Diri Agar konseling efektif, seorang klien harus menyimpulkan, “Saya ingin mengubah keadaan

saya menjadi yang lebih baik, dan saya rela melakukan sesuatu usaha.” Konselor berusaha membangkitkan motivasi diri klien, bahwa klien harus bangkit dari keterpurukan, harus tegar menghadapi permasalahan, dan harus menghadapi masa depan yang lebih baik dari sekarang.

Kadang klien datang dengan keterpaksaan, keputusasaan, dan memiliki gambaran yang serba gelap dan negatif tentang kehidupan. Seakan‐akan tidak ada lagi jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, seakan‐akan semua jalan sudah buntu dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Pada titik ini, ia tidak memiliki motivasi untuk bangkit, bahkan menjadi orang yang merasa seakan‐akan hidupnya sudah berakhir.

Konselor berusaha membangkitkan motivasi diri klien untuk berubah, untuk keluar dari masalah, untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.

“Hidup saya sudah berakhir. Istri saya meninggalkan saya,” kata klien. “Saya sangat mengerti penderitaan bapak, tetapi bapak masih memiliki anak‐anak, keluarga

besar, teman‐teman yang mencintai bapak. Mereka semua mengharapkan kehadiran bapak di tengah mereka. Ada banyak hal yang masih harus bapak kerjakan bersama mereka....”

4. Mengkonsep Permasalahan Klien membutuhkan pengenalan terhadap masalahnya. Banyak klien cenderung untuk

melihat situasi mereka sebagai sesuatu yang kompleks sehingga mereka menjadi bersikap sangat emosional. Untuk membantu klien dalam mengkonsep permasalahan, seorang konselor harus menggali permasalahan dengan dalam bersama klien. Beberapa fokus untuk menggali permasalahan secara mendalam:

a. Menggali area permasalahan dengan mendalam bersama klien. Di antaranya adalah dengan mengenali sudah berapa lama permasalahan ada, apa yang menyebabkannya, apa yang dirasakannya, apa dampaknya dan apa yang sudah dilakukan klien untuk menyelesaiakan masalahnya.

b. Tanyakan kepada klien permasalahan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu, apabila ada banyak permasalahan.

c. Konselor secara terus‐menerus bekerja keras untuk mengajak klien memahami permasalahan yang sedang dihadapi, dan membuat formulasi permasalahan.

Langkah ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan tentang apa permasalahan yang dihadapi klien dan harus diselesaikan.

5. Menggali Alternatif Solusi Setelah masalah dan submasalah dipahami, langkah selanjutnya bagi klien dan konselor

adalah mempertimbangkan alternatif pemecahan masalah. Di dalam penggalian alternatif pemecahan, seorang konselor menyampaikan pertanyaan seperti:

“Apakah anda telah memikirkan apa kira‐kira pemecahannya?” “Menurut anda, apa yang akan anda lakukan sebagai solusi dari permasalahan yang anda

hadapi?” “Saya yakin anda sudah memiliki banyak rencana untuk menyelesaikan permasalahan anda,

bisakah anda ceritakan?” Biasanya seorang klien telah mengetahui bahwa dia memiliki masalah, oleh karena itu ia

mengumpulkan beberapa solusi alternatif yang akan dicoba dilakukan. Jika klien menyebutkan sejumlah solusi alternatif, konselor membantu menyampaikan kelebihan dan kekurangan alternatif tersebut. Setiap klien adalah unik, termasuk permasalahannya. Apa yang dilakukan

29

Page 30: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

untuk klien bisa saja bukan yang terbaik untuk klien yang lainnya. 6. Memilih Strategi Setelah konselor dan klien berdiskusi mengenai masalah, dan mampu mengkonsep

permasalahan sampai ke tingkat menemukan alternatif solusi, maka langkah berikutnya adalah memilih strategi yang tepat untuk solusi yang telah disepakati. Konselor mengarahkan klien dengan pertanyaan:

“Untuk mencapai alternatif solusi yang telah anda sampaikan, strategi apa yang bisa anda lakukan?”

Diharapkan klien akan menyampaikan detail aktivitas yang akan dilakukannya. Langkah ini mengajak klien kepada kesimpulan “Saya yakin pendekatan ini dapat menolong saya dan saya akan mencoba itu.”

Biasanya klien sudah memiliki pilihan dan keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri dalam memilih strategi. Tugas konselor membantu klien mengklarifikasi dan memahami kemungkinan konsekuensi setiap alternatif strategi yang ada. Bukanlah tugas seorang konselor untuk memberikan dan menentukan pilihan langkah strategi bagi klien. Konselor hanyalah membimbing dan mengarahkan klien pada strategi yang dipilih oleh klien.

Jika seorang konselor menentukan strategi yang harus dilakukan klien, ada dua kemungkinan hasilnya. Pertama, alternatif yang diberikan tidak disukai oleh klien, karena berada di luar kemampuannya. Kedua, klien akan menyalahkan konselor apabila strategi tersebut tidak membuahkan hasil positif, dan selanjutnya hubungan dengan konselor akan terhambat.

7. Implementasi Konseling akan berhasil, jika klien berkomitmen terus untuk mencoba mengimplementasi‐

kan strategi yang telah dipilih. “Strategi ini adalah langkah awal untuk menolong saya keluar dari masalah.” Jika klien tidak yakin dengan strategi yang telah dipilih, maka konseling cenderung gagal, “Saya tidak percaya pendekatan ini dapat membantu saya.”

Tugas konselor adalah meyakinkan bahwa strategi yang telah dipilih klien akan mampu menolongnya keluar dari masalah. Di saat klien memilih alternatif strategi, seharusnya klien memahami secara jelas tujuan apa yang akan dicapai, aktivitas apa yang diperlukan untuk implementasi, sarana apa yang diperlukan, dan lain sebagainya. Konselor harus menekankan bahwa klien bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri untuk melaksanakan serangkaian tindakan implementasi.

Klien harus memulai langkah‐langkah penyelesaian masalah, dengan strategi yang telah disepakati. Konselor mendorong klien untuk benar‐benar komitmen mengimplementasikan strategi yang dipilihnya. Jika klien tidak melakukan tindakan implementasi, maka konseling telah gagal.

8. Evaluasi Setelah mengimplementasikan strategi, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi.

Apakah strategi pemecahan masalah yang disepakati berhasil dilaksanakan dengan baik? Bagaimanakah perkembangan permasalahan yang dihadapi? Bagaimana perkembangan kondisi dirinya dalam menghadapi masalah tersebut?

Saat klien bertemu konselor untuk melaporkan perkembangan dan hasil implementasi, hargai mereka dengan pujian dan berbagai apresiasi positif. Menghargai klien akan menambah rasa percaya diri diri mereka dan semakin memotivasi mereka untuk melanjutkan bekerja untuk

30

Page 31: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

C. Konseling untuk Membantu Menyelesaikan Masalah Klien Sekarang anda berada di ruang konseling. Yang dimaksud dengan ruang konseling itu bisa di

mana saja, tidak mesti di kantor RKI atau di kantor Lembaga Konsultasi. Ruang konseling bisa di rumah klien, bisa di rumah konselor, atau bisa di tempat lain yang disepakati bersama konselor dengan klien. Namun harus memenuhi standar ruang konseling, yaitu harus bisa menjaga privasi klien, serta memberikan perasaan aman dan nyaman bagi klien maupun konselor untuk melakukan konseling.

Oleh karena itu, konseling tidak bisa dilakukan di tempat umum, walaupun nyaman, namun tidak memberikan perasaan privasi. Misalnya di rumah makan, atau di taman umum. Suasananya bagus dan menarik, namun karena banyak orang lalu lalang, banyak petugas berseliweran, ini akan mengganggu perasaan privasi klien. Mereka tidak nyaman untuk bercerita secara terbuka sampai menumpahkan emosi dan menangis, karena dilihat orang lain yang berada di taman atau restoran tersebut.

Di ruang yang telah disediakan untuk konseling, aturlah tempat duduk klien dan konselor. Jangan membuat format tempat duduk yang berhadap‐hadapan secara langsung antara klien dengan konselor, namun dibuat posisi sedikit serong, tidak berhadap‐hadapan langsung. Posisi yang berhadap‐hadapan secara lurus dan langsung antara klien dan konselor, bisa menimbulkan suasana kurang nyaman, karena bisa menimbulkan suasana “tekanan psikologis” dari konselor.

Sebagai konselor anda harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk melakukan konseling agar hasilnya optimal. Beberapa petunjuk berikut penting untuk anda perhatikan agar proses konseling berjalan dengan baik:

1. Sebelum Memulai Konseling a. Persiapkan diri secara mental spiritual agar anda siap melakukan konseling. Bersihkan niat,

mohonlah perlindungan dan petunjuk kepada Tuhan YME agar dimudahkan melakukan konseling.

b. Persiapkan ruangan yang nyaman dan terjaga kerahasiaannya. c. Persiapkan kursi untuk konselor dan klien dengan posisi yang nyaman. d. Hindari adanya gangguan serta interupsi seperti orang yang lalu lalang, bunyi telepon, dan

lain‐lain. e. Persiapkan waktu selama 1 (satu) jam, disarankan untuk memberitahukan kepada klien

bahwa konseling akan berlangsung selama 1 jam. 2. Selama Sesi Konseling a. Bersikaplah ramah terhadap klien agar ia merasa nyaman bersama anda. b. Mulai dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa keberadaan anda adalah

untuk membantu dan mendengarkan klien. c. Usahakan agar klien merasa nyaman, tanyakan bagaimana keadaannya saat ini, apakah

klien ingin dibantu, apakah ia ingin membicarakan sesuatu dengan anda, serta apa yang ingin dibicarakannya.

d. Akan sangat membantu bila anda menyimpulkan kembali apa yang dikemukakan klien di akhir pertemuan.

e. Berpatokan pada waktu yang telah ditentukan (kira‐kira 1 jam). Konseling yang terlalu lama akan sangat melelahkan bagi konselor pemula.

f. Beritahukan kepada klien 10 menit sebelum konseling berakhir. Dengan cara membatasi waktu, klien akan selektif memilih mengatakan hal yang penting.

g. Jadwalkan waktu pertemuan berikutnya sebelum klien pulang. 3. Setelah Sesi Konseling a. Bila merasa tertekan secara emosional, pergilah berjalan‐jalan ke luar ruangan sejenak

atau mengobrol dengan teman atau melakukan kegiatan yang dapat membuat anda merasa segar kembali.

31

Page 32: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

b. Buatlah catatan yang penting tentang pembicaraan klien segera setelah sesi konseling berakhir.

c. Tuliskan pula ide‐ide untuk pertemuan berikutnya. d. Buatlah jeda yang memadai, jika akan melakukan konseling dengan klien berikutnya. Contoh Sesi Pertama Konseling: Konselor : Selamat pagi pak, silakan duduk. Saya Andi konselor RKI... Klien : Terima kasih... Konselor : Bapak Anton kan? Apa kabar pagi ini pak Anton... Klien : Alhamdulillah baik... Konselor : Apa yang dapat saya bantu pak Anton? Klien : Saya sulit tidur, sering bermimpi buruk... Konselor : Mimpi buruk? Bisakah pak Anton menceritakan lebih lanjut? 4. Bila Klien Diam Konselor : Ada yang bisa saya bantu bu Ani? Klien : Klien menunduk, menangis Konselor : Nampaknya ibu mengalami masalah yang sangat menekan. Dapatkah ibu

ceritakan kepada saya? Saya akan membantu ibu... Klien : Tetap diam dan memandang konselor Konselor : Rupanya bu Ani masih ragu terhadap saya, mungkin karena ini pertemuan kita

yang pertama. Saya akan menyimpan rahasia apa yang ibu ceritakan kepada saya...

Klien : Tetap diam Konselor : Baiklah bu Ani... Kalau sekarang belum bisa, saya tunggu… 5. Menemukan Kata Kunci Kata kunci perlu diperhatikan dan dieksplorasi, karena akan membawa klien kepada

masalah yang mengganggu atau dipendam. Biasanya, kata kunci permasalahan dapat ditemukan konselor selama sesi konseling dengan memperhatikan secara cermat beberapa bagian berikut:

a. Pada kata atau kalimat yang diucapkan berulangkali. b. Pada kata atau kalimat yang diucapkan dengan nada emosional. c. Pada kata atau kalimat yang diucapkan dengan tata bahasa yang tak layak. d. Pada kata atau kalimat yang justru tidak diucapkan.

VIII. REFERENSI

Geldard, Kalthryn. 2011. Ketrampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Takariawan, Cahyadi & Nurlaila, Ida. 2012. Konselor Dakwah. Solo: Era Intermedia.Tim Dosen PPB FIP UNY. 2013. Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: UNY Press.

32

Page 33: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 34: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 35: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

I. DISKRIPSI SINGKAT

Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seorang pembimbing (konselor) kepada seorang konseli atau sekelompok konseli (klien, terbimbing) untuk mengatasi problemnya dengan jalan wawancara, dengan maksud agar klien atau sekelompok klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan mampu memecahkan problem sesuai dengan kemampuannya, dengan mempelajari saran‐saran yang diterima dari Konselor. Untuk memahami lebih dalam seperti apa konseling, terutama bagi sapapun yang akan menjadi konselor yang baik perlu bekal yang cukup berupa ilmu. Hal‐hal diantaranya yang perlu dipelajari adalah seperti apa teknik umum konseling, dasar‐dasar etika konseling, dan keterampilan konselor.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti materi ini, konselor keluarga mampu memahami teknik umum konseling, dasar‐

dasar konseling, serta keterampilan‐keterampilan konselor.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami teknik umum konseling. 2. Memahami dasar‐dasar etika konseling. 3. Memahami keterampilan‐keterampilan konselor.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Teknik Umum Konseling 1. Teknik Attending 2. Teknik Empati 3. Teknik Refleksi 4. Teknik Eksplorasi 5. Teknik Interpretasi 6. Teknik ParaphrasingB. Aplikasi Teknik Konseling 1. Pertanyaan Terbuka 2. Pertanyaan Tertutup 3. Dorongan Minimal 4. Mengarahkan 5. Menyimpulkan SementaraC. Etika Konseling 1. Kerahasiaan 2. Keterbukaan 3. Proporsionalitas 4. Kemandirian

35

Page 36: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

V. METODE PEMBELAJARAN

Brainstorming, ceramah, tanya‐jawab, diskusi kelompok, latihan dan praktik micro‐teaching.

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, meta plan, spidol papan tulis, perlengkapan multimedia, lembar diskusi, lembar latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 4 jam pelajaran (T=2jp, P=2jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (15 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (135 menit) 1. Fasilitator menyampaikan materi: a. Teknik Umum dan aplikasi Konseling b. Dasar‐dasar etika konseling 2. Fasilitator memandu diskusi tentang persoalan keluarga. Fasilitator memberi kesempatan

kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Review Pokok Bahasan (45 menit) 1. Peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan atau mendiskusikan beberapa hal yang dianggap

belum jelas. 2. Fasilitator memberikan tanggapan balik kepada peserta. 3. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 4. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

36

Page 37: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

VII. URAIAN MATERI

A. Teknik Umum Konseling Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan‐tahapan

konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Di antara teknik umum konseling adalah hal‐hal berikut:

1. Teknik Attending Teknik attending disebut juga perilaku “menghampiri klien” yang mencakup komponen

kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat meningkatkan harga diri klien, menciptakan suasana yang aman, serta mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.

Contoh teknik attending yang baik; (a) Kepala: melakukan anggukan jika setuju (b) Ekspresi wajah: tenang, ceria, senyum (c) Posisi tubuh: agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan (d) Tangan: variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah‐ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan (e) Mendengarkan: aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.

Contoh teknik attending yang tidak baik, (a) Kepala: kaku (b) Muka: tegang, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, melotot (c) Posisi tubuh: tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling (d) Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara (e) Perhatian: terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.

2. Teknik Empati Konselor harus memiliki empati, bukan simpati. Empati ialah kemampuan konselor untuk

merasakan apa yang dirasakan klien, “merasa dan berpikir bersama klien,” dan bukan untuk atau tentang klien. Kalau simpati lebih kepada perasaan kasihan. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati.

Terdapat dua macam empati, yaitu empati primer dan empati tingkat tinggi. Yang dimaksud empati primer adalah bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka. Contoh ungkapan empati primer, ”Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda,” “Saya dapat memahami pikiran Anda,” “Saya mengerti keinginan Anda.”

Sedangkan empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor mengerti hakikat perasaan tersebut. Pengertian konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi, “Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu.”

3. Teknik Refleksi Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran,

dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu refleksi perasaan, refleksi pikiran dan refleksi pengalaman.

a. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbal klien. Contoh: “Tampaknya yang Anda rasakan adalah…”

37

Page 38: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

b. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbal klien. Contoh: “Tampaknya yang Anda sedang anda pikirkan adalah…”

c. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman‐pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbal klien. Contoh: “Tampaknya yang Anda lakukan adalah…”

4. Teknik Eksplorasi Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini

penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu eksplorasi perasaan, eksplorasi pikiran dan eksplorasi pengalaman.

a. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang tersimpan. Contoh, “Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan…”

b. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Contoh, “Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang...”

c. Eksplorasi pengalaman, yaitu ketrampilan atau teknik untuk menggali pengalaman‐pengalaman klien. Contoh, “Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui, namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap...”

5. Teknik Interpretasi Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk

pada teori‐teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut. Contoh dialog:

Klien : “Saya pikir dengan meninggalkan rumah akan membuat suami saya mengerti kalau saya sudah sangat muak dengan dirinya, dan dia akan menjadi disibukkan oleh urusan rumah tangga.”

Konselor : “Memang bisa jadi suami akan lebih mengerti kemarahan anda. Namun anda tetap harus mempertimbangkan anak‐anak. Siapa yang akan mengurus mereka kalau anda tinggalkan...”

6. Teknik Paraphrasing Menangkap pesan (paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau inti

ungkapan klien dengan teliti, mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal: adakah atau tampaknya, dan mengamati respons klien terhadap konselor.

Tujuan paraphrasing adalah: (a) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (b) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan; (c) memberi arah wawancara konseling; dan (d) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien. Contoh dialog:

Klien : “Memaafkan suami itu perbuatan yang baik, akan tetapi saya tidak bisa melakukannya. Saya merasa telah dikhianati.”

Konselor : “Tampaknya Anda masih menyimpan dendam terhadap kesalahan suami yang terdahulu...”

38

Page 39: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

B. Teknik Aplikasi Konseling 1. Pertanyaan Terbuka (Opened Question) Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing klien agar mau berbicara

mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya. Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya ‘mengapa’ atau ‘apa sebabnya.’ Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab‐sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah. Contoh:

”Apakah anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan?” “Bagaimana cerita awalnya sampai anda menemukan kesimpulan bahwa suami anda

selingkuh?” 2. Pertanyaan Tertutup (Closed Question) Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal‐hal

tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata ‘ya’ atau ‘tidak,’ atau dengan kata‐kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk: mengumpulkan informasi; menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh. Contoh dialog:

Klien : “Saya berusaha meningkatkan pelayanan yang lebih baik kepada suami, tetapi ia tetap tidak peduli kepada saya. Ia tetap pulang larut malam.”

Konselor : “Biasanya jam berapa suami pulang kerja?” Klien : “Jam empat sore.” Konselor : “Sekarang menjadi berapa pulangnya?” Klien : “Jam sebelas malam.” Konselor : “Apakah suami pulang selalu dalam kondisi marah?” Klien : “Ya.” 3. Dorongan minimal (Minimal Encouragement) Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat

terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan: ‘oh…, ya…, lalu…, terus…, selanjutnya...’

Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien. Contoh dialog:

Klien : “Saya putus asa… dan saya nyaris… ” (klien menghentikan pembicaraan) Konselor : “Ya…” Klien : “Nekat kabur dari rumah...” Konselor : “Lalu…” 4. Mengarahkan (Directing) Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya

menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu. Klien : “Suami saya sering marah‐marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri.

Akhirnya sering terjadi pertengkaran sengit.” Konselor : “Bisakah Anda mencontohkan di depan saya, bagaimana sikap dan kata‐kata

suami jika memarahi Anda.”

39

Page 40: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

5. Menyimpulkan Sementara (Summarizing) Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan

semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk: (a) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal‐hal yang telah dibicarakan; (b) menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (c) meningkatkan kualitas diskusi; (d) mempertajam fokus pada wawancara konseling. Contoh:

“Setelah kita berdiskusi beberapa waktu, coba kita simpulkan dulu agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi‐materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad anda untuk pergi dari rumah suami semakin besar; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu urusan anak‐anak jika anda tinggalkan.”

C. Etika Konseling 1. Kerahasiaan Asas kerahasiaan ini menekankan bahwa segenap rahasia pribadi klien menjadi tanggung

jawab konselor untuk merahasiakannya dari siapapun juga. Keyakinan klien bahwa adanya perlindungan terhadap kerahasiaan diri dan segala hal yang diungkapkan, menjadi jaminan untuk suksesnya layanan konseling perorangan.

Konselor tidak boleh menceritakan masalah klien kepada orang lain, walaupun kepada suaminya sendiri atau kepada isterinya. Misalnya, seorang konselor perempuan merasakan masalah klien sangat berat, lalu ia menceritakan masalah tersebut kepada suaminya yang bukan tim konselor, dalam rangka mendapatkan masukan. Hal seperti ini tidak layak dilakukan, karena bermakna membocorkan rahasia klien. Kecuali apabila klonselor ini adalah sepasang suami‐istri yang sama‐sama menjadi tim konselor di lembaga yang sama, tentu mereka bisa sharing karena sesama anggota konselor dalam sebuah lembaga konseling.

2. Keterbukaan Asas keterbukaan bisa terjadi karena sudah ada jaminan kerahasiaan. Klien akan bisa

terbuka menceritakan masalah pribadinya, karena ada jaminan bahwa kasusnya tidak akan terbuka dan terkuak kepada siapapun, kecuali kepada tim konselor. Kesukarelaan klien menjalani proses konseling merupakan hasil dari terjaminnya kerahasiaan klien. Kesukarelaan klien dalam konseling harus terus dipupuk dan dikuatkan.

Dalam syariat Islam kita mengenal keharaman ghibah, namun kita juga mendapatkan pengecualian. Di antara alasan kebolehan melakukan ghibah, menurut kitab Nuzhatul Muttaqin, adalah apabila ghibah dilakukan dalam rangka mencari penyelesaian masalah. Oleh karena itu, agar klien tidak terkena larangan ghibah, maka harus melakukan konseling kepada konselor. Kalau ia menceritakan masalah kepada sembarang orang, maka ini berarti melakukan ghibah yang dilarang, karena tidak semua orang punya kompetensi untuk menyelesaikan masalahnya.

Para konselor tidak perlu ragu mendengar semua cerita dari klien, karena yang dilakukan klien adalah dalam rangka mencari penyelesaian masalah. Para konselor menjadi memiliki legitimasi untuk mendengarkan semua masalah klien, karena memiliki kompetensi untuk melakukan konseling. Kompetensi ini, dalam batas minimal dan formal, ditunjukkan oleh dua hal, pertama adalah adanya pembekalan bagi konselor, dan kedua adalah adanya SK (surat keputusan) pengangkatan sebagai konselor.

Para konselor ini mendapatkan pembekalan oleh lembaga, dan mendapatkan SK oleh lembaga. Artinya, dalam batas tertentu, para konselor telah disiapkan dan diyakini memiliki kompetensi untuk menjaga kerahasia dari kasus‐kasus para klien.

40

Page 41: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga

VIII. REFERENSI

Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective Families. US: FranklinCovey Co.Suhardjo, Dradjat. 2004. Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton. Yogyakarta: Safiria Insania Press.Geldard, Kalthryn. 2011. Keterampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Takariawan, Cahyadi & Nurlaila, Ida. 2012. Konselor Dakwah. Solo: Era Intermedia.Takariawan, Cahyadi. 2016. Wonderful Journey for Marriage: Menyiapkan Diri Menuju Pernikahan

Suci. Solo: Era Intermedia.

3. Proposionalitas Asas proporsional mengandung makna jarak yang proporsional antara konselor dengan

klien. Seorang konselor tidak layak memasuki wilayah yang sangat intim dengan klien, yang menyebabkan ia memasuki wilayah emosional klien. Jika ia masuk terlalu dalam, akan menyebabkan tidak bisa bersikap obyektif dalam memandang masalah. Jika ia mengambil jarak yang terlalu jauh, akan menyebabkan ia tidak bisa empati dengan masalah yang dihadapi klien.

Maka konselor harus menempatkan diri secara tepat, baik secara fisik maupun secara psikis, agar bisa bersikap secara obyektif dan tidak terjebak dalam suasana emosional tertentu yang membuat konselor berlaku tidak obyektif.

4. Kemandirian Pada akhirnya, konselor harus membiarkan klien memutuskan sendiri hal‐hal yang menjadi

keputusannya. Asas keputusan diambil oleh klien sendiri akan menunjang kemandirian klien. Konselor selalu bertanya kepada klien, “Apa yang akan anda lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah anda ceritakan tadi?”

Tidak layak konselor memberikan instruksi kepada klien, “Anda harus melakukan beberapa langkah berikut ini...” Jika konselor mengambil alih permasalahan klien, kemudian konselor mengambil keputusan langkah yang harus dilakukan klien, maka ada dua dampak negatif yang akan terjadi. Pertama, apabila terjadi kesalahan dalam pengambilan langkah penyelesaian, maka klien akan menyalahkan konselor. Hal ini tentu akan membebani konselor sendiri. “Gara‐gara saya mengikuti caramu, maka kondisi hubungan saya dengan suami semakin memburuk,” demikian klien menyalahkan konselor.

Kedua, cara seperti itu tidak menumbuhkan kemandirian pada klien, justru bisa menimbulkan ketergantungan kepada konselor. Pada saat konseling, semestinya konselor berusaha memandirikan klien, bukan membuat klien bergantung dengan dirinya.

41

Page 42: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 43: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga
Page 44: a. Modul B4.a Aktivitas Mengurai Persoalan Keluarga