repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · bab metode penelitian -...
TRANSCRIPT
44
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian adalah eksperimental laboratorik ex vivo, yang dipilih
karena baik sampel maupun perlakuan lebih terkendali, terukur dan
pengaruh perlakuan dapat lebih dipercaya. Rancangan penelitian ini
menggunakan rancangan randomized post test only control group
laboratory experimental design untuk mengetahui efek pemberian
curcuminoid terhadap ekspresi SOD pada fibroblas koklea setiap unit
eksperimen dengan pengukuran variabel yang hanya dilakukan setelah
pemberian perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dan
ada kontrol pembanding.
3.2 Tempat dan Teknik Pengambilan Data Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium terstandardisasi dan mempunyai
peralatan lengkap serta pengalaman memadai. Pemeliharaan hewan coba
dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya, pembuatan sediaan dan teknik pemeriksaan
imunohistokimia dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD dr.
Soetomo Surabaya.
3.2.2 Teknik Pengambilan Data
Data yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari
sebuah penelitian besar yang dilakukan oleh Tengku Siti Hajar Haryuna
dan dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada
Masyarakat Tahun Anggaran 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian
Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelitian bagi Dosen Perguruan Tinggi
Batch I Universitas Sumatera No. 120/SP2H/PL/Dit.Litabmas/II/2015
tanggal 05 Februari 2015.
Universitas Sumatera Utara
45
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel bebas
Variabel bebas adalah stres hiperglikemik yang didapatkan melalui
injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal serta pemberian
curcuminoid dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 dan
10 hari.
3.3.2 Variabel terikat
Respon molekuler pada fibroblas berupa ekspresi SOD.
3.3.3 Variabel terkendali
Tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin tikus, kandang tikus
terpisah, berat badan tikus, makanan dan minuman tikus, cara pemberian
perlakuan injeksi streptozotocin serta curcuminoid, prosedur penelitian
dan cara pemeliharaan hewan coba.
3.4 Sampel Tikus dipilih menjadi sampel penelitian karena memiliki kemiripan
struktur telinga dalam dengan manusia. Tikus telah digunakan sebagai
model hewan coba untuk penelitian penyakit ketulian genetik manusia dan
terbukti bermanfaat dalam membantu mengidentifikasi gen yang sesuai
pada manusia yang berperan dalam perkembangan sistem auditorius.
Melalui identifikasi genetik dan sekuensnya, tikus dinyatakan homolog
(>70%) dengan manusia (Gravel & Ruben, 1996).
Tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin jantan, kondisi
sehat, umur dewasa (2-3 bulan), dengan berat badan 150-250 gram agar
perubahan berat selama penelitian relatif kecil (Hume, et al.,1978).
Sampel penelitian ini menggunakan tikus dengan galur populasi yang
sama, homogen dalam jenis kelamin dan umur, tikus tersebut merupakan
hasil pembiakan (breeding) di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Perlakuan pada tikus dengan injeksi streptozotocin
dengan dosis tertentu, kemudian diukur variabel penelitian hanya setelah
pemberian perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
46
Rancangan penelitian memiliki kriteria; pengambilan sampel dilakukan
secara acak, streptozotocin diberikan dalam dosis tertentu sesuai berat
badan tikus, ada kontrol pembanding, dan bersifat double blind.
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji
variat untuk mencapai tujuan penelitian.
3.4.1 Besar sampel
Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah ulangan yang
dianggap telah cukup baik (Federer, 1955), dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
k = jumlah kelompok subyek penelitian (k=6)
r = jumlah ulangan
Perhitungan:
(6-1) (r-1) ≥ 15; 5r-5 ≥ 15; 5r ≥ 20; r ≥ 4
n = r x k; n = 4 x 6 = 24
ditetapkan besar sampel secara keseluruhan yaitu minimal 24 ekor tikus.
3.4.2 Pengelompokan sampel
Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel adalah tikus yang
diambil peneliti secara random untuk tiap kelompok perlakuan, sehingga
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang
dibagi menjadi 6 kelompok sebagai berikut:
(k-1) (r-1) ≥ 15)
P1 (Perlakuan 1) K2 (Kelompok 2)
Subyek
P0 (tanpa perlakuan = kontrol) K1 (Kelompok 1)
K2 (Kelompok 2)
R P2 (Perlakuan 2)
P3 (Perlakuan 3)
P4 (Perlakuan 4)
P5 (Perlakuan 5)
K3 (Kelompok 3)
K4 (Kelompok 4)
K5 (Kelompok 5)
K6 (Kelompok 6)
Universitas Sumatera Utara
47
K1 : Kelompok kontrol, diberikan injeksi buffer natrium sitrat.
K2 : Kelompok perlakuan diberikan injeksi streptozotocin 60
mg/kgbb/ekor dosis tunggal.
K3 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60
mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 200
mg/kgbb/ekor/hari selama 5 hari.
K4 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60
mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 400
mg/kgbb/ekor/hari selama 5 hari.
K5 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60
mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 200
mg/kgbb/ekor/hari selama 10 hari.
K6 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60
mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 400
mg/kgbb/ekor/hari selama 10 hari.
3.4.3 Teknik pengambilan sampel
Tikus Rattus norvegicus galur Wistar didapat dari institusi penyedia
yang memiliki kualifikasi standar. Sebelum digunakan sebagai subyek
penelitian, hewan coba dilakukan evaluasi klinis dan dikondisikan dalam
lingkungan yang sesuai (selama 14x24 jam) untuk meyakinkan bahwa
hewan tersebut tidak berpenyakit atau tidak berpotensi menularkan
penyakit.
Sebelum mendapatkan perlakuan penelitian, dilakukan skrining dengan
beberapa kriteria, yaitu:
1. Kriteria inklusi: hewan coba berusia 2-3 bulan, jenis kelamin jantan
dan berat badan 150-250 gram.
2. Kriteria eksklusi:
a. Hewan dinyatakan berpenyakit oleh dokter hewan konsultan, baik
penyakit menular atau tidak menular atau cedera fisik atau berpotensi
menularkan penyakit dalam kurun waktu evaluasi klinis di dalam kondisi
lingkungan yang sesuai (selama 14 x 24 jam).
Universitas Sumatera Utara
48
b. Hewan terdeteksi memiliki kelainan bawaan yang dinyatakan oleh dokter
hewan konsultan.
c. Hewan berperilaku agresif, dalam pengamatan sering menyerang
anggota kelompok lain.
Setelah didapatkan sampel yang homogen melalui skrining dengan
kriteria inklusi dan eksklusi di atas, dilakukan pembagian kelompok
sampel yang homogen secara alokasi random sehingga setiap anggota
sampel mempunyai kesempatan sama untuk menempati kelompoknya.
Penelitian berlangsung dengan prosedur pelakuan hewan secara
benar ditinjau dari prinsip 3R (Reduction, Replacement, Refinement) serta
prinsip 5F (Freedom from Hunger and Thirst, Freedom from Discomfort,
Freedom from Pain, Injury or Disease, Freedom to Express Normal
Behaviour, Freedom from Fear and Distress) (FAO, 2011) dan
diberlakukan kriteria Putus Uji apabila subyek penelitian mengalami sakit
atau kematian sehingga tidak bisa memenuhi prosedur penelitian yang
membutuhkan waktu 5 - 10 hari. Selanjutnya tikus diterminasi dan
dilakukan pengambilan jaringan koklea untuk dibuat sediaan dan
pengecatan imunohistokimia untuk menganalisis ekspresi SOD.
3.5 Definisi Operasional Penelitian 1. Induksi Diabetes: injeksi Streptozotocin dengan dosis 60
mg/kgbb/ekor dosis tunggal secara intraperitoneal, kemudian kadar
gula darah diukur 2 hari pasca injeksi, sampai terjadi kondisi
hiperglikemia (KGD >200 mg/dl).
2. Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah tikus
mencapai >200 mg/dl yang diukur menggunakan strip pengukur kadar
gula darah merk Gluko DR® Bio Sensor dari allmedicus.
3. Fibroblas: sel yang terdapat pada jaringan dinding lateral koklea. Sel
berinti tunggal dalam bentuk yang panjang.
4. Ekspresi SOD diidentifikasi dengan pengecatan imunohistokimia yang
memperlihatkan sel fibroblas berinti tunggal berwarna coklat pada inti
dan sitoplasma pada jaringan dinding lateral koklea tiap kelompok di
bawah mikroskop cahaya yang dilengkapi mikrometer okuler dengan
perbesaran 40x oleh 2 orang pemeriksa (peneliti dan pemeriksa ahli
Universitas Sumatera Utara
49
(dokter spesialis Patologi Anatomi)) untuk kemudian dilakukan
penghitungan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan
mengalikan skor luas dengan skor intensitas.
Hasil ukur skor imunoreaktif: 0-9.
Dalam penelitian ini digunakan Polyclonal Anti-SOD1 Antibody
catalog#:PA1345 dari Boster Immunoleader.
5. Curcuminoid: zat pigmen kuning yang diekstraksi dari tumbuhan
Curcuma domestica Val. atau Curcuma longa L. Pada penelitian ini
yang digunakan adalah curcuminoid serbuk dengan kadar 80%
curcuminoid standar dari Tradimun. Sediaan yang diberikan berupa
curcuminoid serbuk dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/hari per ekor
tikus (dengan rerata berat badan tikus adalah 200 mg, maka dalam
penelitian ini dosis yang dipakai adalah 40 dan 80 mg/ekor/hari) karena
berdasarkan literatur dan penelitian terdahulu dosis tersebut dapat
meningkatkan ekspresi SOD.
3.6 Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1 Hewan coba yang dikenai perlakuan
Tikus putih jantan Rattus norvegicus galur Wistar yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi akan mendapatkan pembagian kelompok
sesuai hasil randomisasi.
3.6.2 Bahan perlakuan
a. Streptozotocin
Streptozotocin disimpan pada suhu 200C. Konsentrasi
streptozotocin adalah 22,5 mg/l, disimpan dalam tabung reaksi
yang ditutup dengan aluminium foil (karena sensitif terhadap
cahaya).
b. Curcuminoid
Curcuminoid yang dipakai berasal dari Curcuma longa L. dengan
kadar curcuminoid (28,1 ± 1,0)% b/b dibandingkan dengan
standar yang distandarisasi menggunakan metode kromatografi
lapisan tipis dan densitometri. Sediaan yang diberikan berupa
Universitas Sumatera Utara
50
curcuminoid serbuk dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/hari
perekor tikus.
c. Buffer natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 1,47 gram Natrium
sitrat dalam 50 ml dH2O.
d. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dibuat dengan mensuspensikan
0.5 gram CMC dalam 100 cc larutan akuades.
e. Eter sebagai obat anestesi inhalasi.
3.6.3 Alat dan bahan pemeriksaan laboratorium
Alat yang digunakan pada penelitian ini, antara lain: kandang tikus,
gunting bedah, disposible syringe, mikroskop binokuler, gelas obyek dan
cover glass, mikrotom, tabung reaksi, pipet pasteur steril, tabung silikon,
pipet mikro, beker gelas, NGT no.10, spuit 1 cc, spuit 3 cc, spuit 5 cc dan
lemari es, Gluko DR® Bio Sensor, timbangan, aluminium foil, pot, formalin
10 % untuk fiksasi jaringan.
Untuk Hematoxillin Eosin dan Imunohistokimia meliputi H2O2 3%, xylol,
alkohol 100%, PBS, HCL 0.5 M, antibodi primer SOD dan biotinylated
secondary Ab (anti rabbit), streptavidin berlabel peroksidase, pewarna
Meyer-hematoxilen, TrisHCl pH 6.8, entelen, akuades steril, parafin lunak,
poli-D-lysin, BSA 3%, tripsin 0.025%, substrat DAB.
3.7 Prosedur Penelitian 3.7.1 Tahap persiapan
Untuk menjamin bahwa semua prosedur yang dilakukan pada
penelitian ini laik etik, maka sebelum dilakukan penelitian proposal
diajukan terlebih dahulu pada komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan kelaikan
etik.
3.7.2 Prosedur induksi diabetes menggunakan streptozotocin.
a. Tikus dipuasakan selama 4 jam untuk mengosongkan lambung dan
mengurangi risiko aspirasi.
b. Hitung dosis induksi streptozotocin dengan kebutuhan 60 mg/kgbb/ekor
tikus.
Universitas Sumatera Utara
51
c. Hitung kebutuhan dapar sitrat yang dibutuhkan dengan konsentrasi
streptozotocin 22,5 mg/ml dalam dapar sitrat.
d. Siapkan tabung dan bungkus dengan aluminium foil pada bagian
luarnya.
e. 15 – 20 menit sebelum induksi, timbang streptozotocin yang dibutuhkan
kemudian larutkan ke dalam dapar sitrat dengan volume yang telah
ditentukan.
f. Masukan larutan streptozotocin yang diperoleh kedalam tabung
berbungkus aluminium foil.
g. 30 detik – 1 menit sebelum induksi pindahkan larutan streptozotocin ke
dalam spuit 1 ml.
h. Injeksikan larutan streptozotocin melalui intraperitoneal tikus sesuai
dengan kebutuhan dosis per ekor. Induksi dilakukan hanya satu kali.
i. Berikan larutan sukrosa 10% atau dekstrosa 10% sepanjang malam
pertama setelah induksi untuk menghindari sudden hypoglycemic post
injection.
j. Setiap pagi tikus diperiksa kadar glukosa darah puasa (tikus
dipuasakan dengan cara tidak diberi pakan dan kandang dikosongkan
dari sekam selama 6 jam). Hiperglikemia yang bermakna akan dijumpai
2 hari setelah induksi.
3.7.3 Prosedur pemberian curcuminoid
Curcuminoid (kadar curcuminoid 80%) dosis 200 mg dan 400 mg
disuspensikan dalam Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 0.5% (CMC dibuat
dengan mensuspensikan 0.5 gram CMC dalam 100 cc larutan akuades).
Setelah disuspensikan, diberikan langsung ke lambung tikus dengan
menggunakan Naso Gastric Tube (NGT).
3.7.4 Perlakuan pada tikus
Setelah tikus putih beradaptasi terhadap lingkungan kandang di
laboratorium selama 2 minggu, selanjutnya perlakuan diberikan sesuai
dengan kelompok yang direncanakan.
3.7.5 Prosedur pengambilan jaringan koklea tikus
Universitas Sumatera Utara
52
Tikus dikorbankan dengan inhalasi eter, dilakukan nekropsi jaringan
tulang temporal kepala tikus. Sampel jaringan diambil, difiksasi dengan
larutan buffer formalin 10% dan dilakukan dekalsifikasi dengan EDTA
selama 4 minggu. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium.
3.7.6 Pemeriksaan laboratorium
a. Fiksasi jaringan dengan pembuatan paraffin block jaringan.
Jaringan tulang didekalsifikasi dengan menggunakan EDTA selama
4 minggu. Jaringan selanjutnya dicuci dengan PBS 3-5 kali untuk
membersihkannya dari kontaminan. Kemudian jaringan difiksasi
pada larutan formalin 10%. Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan
alkohol bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolut)
masing-masing selama 60 menit. Dilakukan clearing menggunakan
xylol sebanyak 2 kali masing-masing 60 menit. Kemudian dilakukan
impregnasi dengan parafin lunak selama 60 menit pada suhu 480C.
Selanjutnya dilakukan blocking preparat dalam parafin keras pada
cetakan dan didiamkan selama sehari.
b. Proses deparafinisasi
Dilakukan pemotongan blok parafin setebal 4 µm dengan rotary
microtome. Jaringan yang sudah dipotong dimasukkan dalam air
hangat, lalu diletakkan pada kaca.
c. Proses pewarnaan Hematoxilin Eosin
Dimasukkan sediaan ke dalam xylol sebanyak 2 kali masing-
masing selama 5 menit, setelah itu dilakukan rehidrasi dengan
alkohol berseri (absolut, 96%, 80%, 70%, 50% dan 30%) masing-
masing selama 5 menit, kemudian bilas dalam dH2O selama 5
menit. Warnai sediaan dengan Hematoxilin selama 10 menit,
setelah itu direndam dalam tap water selama 10 menit lalu dibilas
dengan dH2O. Sediaan selanjutnya diwarnai kembali dengan
larutan Eosin selama 3 menit lalu didehidrasi dengan alkohol
berseri 30% dan 50% masing-masing selama 5 menit, cuci dengan
dH2O selama 5 menit dan dikering-anginkan. Inkubasi kembali
dengan xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit
Universitas Sumatera Utara
53
kemudian dilakukan mounting dengan entelan dan tutup dengan
cover glass.
d. Pemeriksaan ekspresi SOD dengan teknik imunohistokimia.
Masukkan sediaan ke dalam xylol sebanyak 2 kali masing-masing
selama 5 menit, setelah itu dilakukan rehidrasi dengan alkohol
berseri (absolut, 96%, 80%, 70%, 50% dan 30%) masing-masing
selama 5 menit, kemudian dibilas dalam dH2O selama 5 menit.
Masukkan kembali ke dalam H2O2 3% selama 20 menit, lalu cuci
menggunakan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit.
Blocking protein non-spesifik dilakukan dengan menggunakan 5%
FBS yang mengandung 0.25% Triton X-100. lalu cuci kembali
dengan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali, selama 5 menit. Inkubasi
dengan menggunakan antibodi primer [Polyclonal Anti-SOD1
Antibody (Boster Biological Technology Co.,Ltd. cat#:1345)] selama
60 menit lalu cuci dengan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5
menit. Selanjutnya, sediaan direaksikan dengan antibodi sekunder
(biotinylated secondary antibody) selama 60 menit, lalu cuci
kembali dengan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit.
Inkubasi dengan dengan steptavidin-HRP selama 60 menit, lalu
cuci menggunakan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit.
Tetesi dengan DAB dan inkubasi selama 30 menit, lalu cuci
menggunakan dH2O selama 5 menit. Masukkan sediaan ke dalam
larutan Mayer Hematoxylin sebagai counterstaining dan diinkubasi
selama 10 menit, lalu cuci menggunakan tap water. Selanjutnya,
sediaan dibilas dengan dH2O dan dikering-anginkan. Kemudian
dilakukan proses mounting menggunakan entelan lalu ditutup
dengan cover glass.
3.7.7 Penghitungan sel pada pemeriksaan imunohistokimia
Menggunakan mikroskop Olympus XC 10 dengan pembesaran 100.
Penghitungan jumlah fibroblas terekspresi dilakukan oleh peneliti dan
pemeriksa ahli.
Universitas Sumatera Utara
54
1. Penghitungan dilakukan terhadap semua slide yang ada. Setiap
hewan coba diambil sampel jaringan, difiksasi dengan 10% formalin,
dilakukan dekalsifikasi dengan EDTA selama 4 minggu. Masing-
masing sampel jaringan dibuat sediaan irisan setebal 4 µm, kemudian
diwarnai dengan Hematoxilin Eosin (HE).
2. Semua slide yang sudah berkode ditutup nomor kodenya dan diberi
nomor baru secara acak sehingga pemeriksa dan peneliti yang ikut
memeriksa tidak mengetahui slide yang diperiksa milik sampel yang
mana (double blind).
3. Penghitungan dilakukan secara semi kuantitatif yaitu dengan
mengalikan skor luas (p) x intensitas (i) dimana skor luas ditentukan
dengan melihat luas daerah yang terwarnai positif (warna coklat)
dengan skor : 0 = 0%; 1 = 10%; 2 = 10–50%; 3 = 50%, sedangkan
skor intensitas adalah 0 = tidak terwarna, 1 = low (intensitas lemah), 2
= moderate (intensitas sedang), 3 = strong (intensitas kuat). Sehingga
didapatkan hasil perkalian adalah 0 – 9.
4. Pemeriksa terdiri dari 2 orang, masing-masing yaitu peneliti dan
pemeriksa ahli (dokter spesialis patologi anatomi).
5. Pemeriksaan dan penghitungan sel dilakukan secara terpisah diantara
ke 2 pemeriksa, disesuaikan dengan kemampuan/kesediaan waktu
pemeriksa.
6. Pemeriksaan dan penghitungan sel dilakukan terhadap masing-
masing slide pada bidang pandang di dinding lateral koklea yaitu
daerah yang ditandai dengan adanya fibroblas dengan pembesaran
40x.
7. Hasil penghitungan sel sesuai dengan slide yang diperiksa ditulis di
lembar kerja pada kotak yang sesuai.
8. Analisis statistik dilakukan bila semua hasil sudah dikembalikan ke
nomor kode.
Universitas Sumatera Utara
55
3.8 Alur Penelitian
Pemeriksaan imunohistokimia fibroblas koklea untuk melihat
ekspresi SOD
Curcuminoid 200
mg/kgbb/hari selama 5 hari
Terminasi hari ke 5
Curcuminoid 200
mg/kgbb/hari selama 10 hari
Terminasi hari ke 10
Curcuminoid 400
mg/kgbb/hari selama 5 hari
Curcuminoid 400
mg/kgbb/hari selama 10
hari
Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal
Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal
Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal
Kelompok 2 / Perlakuan 1
Kelompok 3 / Perlakuan 2
Kelompok 4 / Perlakuan 3
Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal
Kelompok 5 / Perlakuan 4
Injeksi STZ 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal
Kelompok 6 / Perlakuan 5
Randomisasi
Kelompok Perlakuan
Kelompok 1 (Kontrol) (Injeksi Buffer Na-Sitrat (1x), dilanjutkan pemberian CMC
(setiap hari)
Populasi Hewan
Universitas Sumatera Utara
56
3.9 Analisis Statistik Data penelitian yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara
univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan IBM SPSS
Statistics. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh nilai rata-rata
hitung dan standar deviasi untuk tiap kelompok penelitian sehingga dapat
diketahui deskripsi masing-masing variabel dalam penelitian. Analisis
bivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel independen
terhadap variabel dependen, menganalisis kesetaraan antara masing-
masing kelompok dan mengetahui perbedaan (penurunan atau
peningkatan) yang terjadi pada masing-masing kelompok setelah
diadakan intervensi. Untuk menganalisis perbedaan atau peningkatan
pada masing-masing kelompok penelitian ini digunakan uji t-independent
bila data terdistribusi normal, atau Mann-Whitney bila data tidak
terdistribusi normal. Normalitas data dinilai dengan uji Shapiro-Wilk.
Analisis multivariat dengan uji ANOVA dan uji Post-Hoc Bonferroni
dilakukan untuk mengetahui kelompok perlakuan yang mana yang
memiliki perbedaan yang bermakna pada perubahan ekspresi SOD
(variabel terikat) setelah diinduksi DM dan pemberian curcuminoid
(variabel bebas). Perlakuan diuji pada taraf nyata 5%.
Universitas Sumatera Utara
44
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Profil Ekspresi SOD pada Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Mellitus
Hasil penelitian yang didapat berdasarkan pemeriksaan histopatologis
dengan metode imunohistokimia. Diperoleh gambaran mikroskopis
variabel yang mewakili tiap kelompok perlakuan yaitu ekspresi SOD pada
fibroblas koklea tikus model DM (kelompok 2,3,4,5 dan 6). Gambaran
jumlah sel yang mengekspresikan SOD pada keenam kelompok penelitian
tampak pada gambar 4.1 dan tabel 4.1 dibawah ini:
Gambar 4.1 Nilai Rerata Ekspresi SOD pada Fibroblas Dinding Lateral
Koklea Tiap Kelompok Perlakuan
Gambar 4.1 menunjukkan terjadinya penurunan ekspresi SOD pada
fibroblas koklea tikus model DM yang tidak mendapatkan curcuminoid.
Pemberian curcuminoid meningkatkan ekspresi SOD pada fibroblas
koklea tikus model DM. Pada kelompok 4 dan 6 didapatkan perbedaan
ekspresi SOD yang lebih tinggi, yang menunjukkan bahwa dosis
curcuminoid yang lebih tinggi (400 mg/kgbb/hari/ekor) lebih baik dibanding
dosis yang lebih rendah (200 mg/kgbb/hari/ekor) dalam meningkatkan
ekspresi SOD pada fibroblas koklea yang diinduksi DM.
5.5
2
5.5
6.75 6.25
6.75
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Kelompok1
Kelompok2
Kelompok3
Kelompok4
Kelompok5
Kelompok6
Universitas Sumatera Utara
45
Tabel 4.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi SOD antara
kelompok.
Kelompok (n=6)
Ekspresi SOD Nilai Rerata Standar Deviasi
1 5.5 1.000
2 2 0.816
3 5.5 1.000
4 6.75 1.500
5 6.25 2.062
6 6.75 1.500
Keterangan:
- Nilai rerata ekspresi SOD terendah sebesar 2 ditemukan pada
kelompok 2 dibandingkan kelompok lainnya, menggambarkan
bahwa ekpresi SOD paling sedikit ditemukan pada kelompok model
DM dibandingkan kelompok lainnya.
- Nilai rerata SOD paling tinggi sebesar 6,75 ditemukan pada
kelompok 4 dan 6 dibanding kelompok lainnya. Menggambarkan
bahwa ekspresi SOD paling banyak ditemukan pada fibroblas
koklea tikus yang diinduksi DM bersamaan dengan pemberian
curcuminoid 400 mg/kgbb/hari.
Universitas Sumatera Utara
46
4.2 Pengecatan Hematoksilin Eosin dan Imunohistokimia Fibroblas Dinding Lateral Koklea
Pengecatan HE (Gambar 4.2) dilakukan untuk melihat potongan dinding
lateral koklea yang tepat secara histopatologis dan kemudian digunakan
sebagai pembanding untuk selanjutnya dilakukan pengecatan
imunohistokimia (Gambar 4.3)
Gambar 4.2 Penampang Dinding Lateral Koklea Rattus Norvegicus (tanda
panah) dengan Pengecatan HE (perbesaran 4)
Gambar 4.3 Penampang Dinding Lateral Koklea Rattus Norvegicus (tanda
panah) dengan Pewarnaan Imunohistokimia (perbesaran 4)
Universitas Sumatera Utara
47
4.3 Hasil Uji Curcuminoid dalam meningkatkan Ekspresi SOD pada fibroblas koklea tikus model DM
A
B
C
D
E
F
Gambar 4.4 Ekspresi SOD pada tiap kelompok perlakuan (perbesaran
100) : (A) Kelompok 1; (B) Kelompok 2; (C) Kelompok 3;
(D) Kelompok 4; (E) Kelompok 5; (F) Kelompok 6. Tanda
panah menunjukkan ekspresi SOD pada fibroblas koklea
yang ditandai dengan warna coklat.
Universitas Sumatera Utara
48
Keterangan:
Pada fibroblas koklea tikus model DM (kelompok 2) [Gambar 4.3 (B)]
diatas menunjukkan densitas yang lebih rendah (warna coklat lebih pucat)
dan ekspresi SOD (warna coklat yang lebih sedikit pada fibroblas koklea
dibanding kelompok lainnya [Gambar 4.3 (A), (C), (D), (E), (F)]. Pada
fibroblast koklea tikus model DM yang mendapatkan curcuminoid dosis
400 mg/kgbb/hari/ekor selama 5 dan 10 hari [Gambar 4.3 (D), (F)]
menunjukkan densitas yang lebih tinggi dan ekspresi SOD yang lebih
banyak dibandingkan kelompok yang mendapatkan curcuminoid dosis 200
mg/kgbb/hari/ekor selama 5 dan 10 hari [Gambar 4.3 (C), (E)]. Kelompok
kontrol [Gambar 4.3 (A)] menunjukkan densitas dan ekspresi SOD yang
lebih banyak dibandingkan kelompok DM [Gambar 4.3 (B)]. Hasil ini
menunjukkan perbedaan jumlah sel yang mengekspresikan protein SOD
pada fibroblas koklea antara semua kelompok.
Data hasil penelitian yang didapat berdasarkan pemeriksaan
histopatologis tersebut diatas selanjutnya diolah dan dianalisis secara
statistik untuk melihat kelompok perlakuan mana yang memiliki
perbedaan, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.2
Universitas Sumatera Utara
49
Tabel 4.2 Hasil Uji ANOVA terhadap Ekspresi SOD pada Setiap Kelompok
Kelompok Perbedaan rerata ±
Standar error
Nilai p
Kelompok 1 Kelompok 2 3.500 ± 0.975 .032*
Kelompok 3 .000 ± 0.975 1.000
Kelompok 4 -1.250 ± 0.975 1.000
Kelompok 5 -.750 ± 0.975 1.000
Kelompok 6 -1.250 ± 0.975 1.000
Kelompok 2 Kelompok 3 -3.500 ± 0.975 .032*
Kelompok 4 -4.750 ± 0.975 .002*
Kelompok 5 -4.250 ± 0.975 .006*
Kelompok 6 -4.750 ± 0.975 .002*
Kelompok 3 Kelompok 4 -1.250 ± 0.975 1.000
Kelompok 5 -.750 ± 0.975 1.000
Kelompok 6 -1.250 ± 0.975 1.000
Kelompok 4 Kelompok 5 .500 ± 0.975 1.000
Kelompok 6 .000 ± 0.975 1.000
Kelompok 5 Kelompok 6 -.500 ± 0.975 1.000
*Bermakna secara statistik (p<0.05)
Dari tabel 4.2 diatas didapatkan bahwa terdapat perbedaan ekspresi
SOD yang signifikan (p<0.05) antara kelompok 1 dan 2, yang berarti
terdapat penurunan SOD yang bermakna pada kelompok model DM yang
tidak mendapatkan curcuminoid dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selain itu juga terdapat pebedaan yang signifikan (p<0.05) antara
kelompok 2 dengan seluruh kelompok perlakuan lainnya (kelompok 3, 4, 5
dan 6). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi SOD
yang signifikan pada kelompok model DM yang mendapatkan curcuminoid
baik dosis 200 mg/kgbb/hari dan 400 mg/kgbb/hari baik diberikan selama
Universitas Sumatera Utara
50
5 hari maupun 10 hari dibandingkan dengan kelompok model DM yang
tidak mendapatkan curcuminoid. Perbedaan dosis pemberian curcuminoid
tidak memberikan perubahan peningkatan ekspresi SOD yang signifikan
(p>0.05), tampak pada perbandingan antara kelompok 3 dengan
kelompok 4 dan juga kelompok 5 dengan kelompok 6. Perbedaan durasi
pemberian pun tidak memberikan perubahan peningkatan ekspresi SOD
yang signifikan (p>0.05), tampak pada perbandingan antara kelompok 3
dengan kelompok 5 dan juga kelompok 4 dengan kelompok 6.
Universitas Sumatera Utara
64
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Curcuminoid terhadap Ekspresi SOD pada Fibroblas Koklea Rattus norvegicus
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan efek curcuminoid terhadap
perubahan molekuler fibroblas koklea yang mendasari mekanisme
terjadinya kerusakan koklea akibat stress oksidatif pada diabetes melitus.
Informasi yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi
kajian ilmiah dalam memperjelas mekanisme sampai memperbaiki
kerusakan pada tingkat molekuler.
Pada penelitian ini induksi diabetes melitus dilakukan dengan
menggunakan streptozotocin dosis tunggal yang akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan sel β pankreas. Kerusakan sel β pankreas tersebut
selanjutnya menyebabkan stress hiperglikemik yang mendasari terjadinya
patogenesis berbagai komplikasi diabetes melitus, termasuk kerusakan
koklea. Pemberian curcuminoid diharapkan dapat mengatasi stress
oksidatif yang dapat menyebabkan kerusakan yang terjadi secara
molekuler sehingga gangguan pendengaran dapat dicegah.
Koklea, terutama stria vaskularis, adalah organ yang sangat tergantung
pada mikrovaskuler. Permeabilitas endotel yang meningkat dapat
mengakibatkan perubahan pada keseimbangan elektrolit dalam endolimfe
yang berakibat kepada proses tranduksi dan transmisi sinyal pada sel-sel
rambut (Frisina dkk., 2006). Sedangkan organ Corti sebagai organ
pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan menjadi target
organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah & Srinivas,
2011).
Meskipun diketahui bahwa hiperglikemia adalah faktor penyebab
penting terjadinya komplikasi diabetes melitus, mekanisme pasti yang
mengakibatkan disfungsi bermacam sel dan organ belum diketahui
dengan jelas. Empat teori telah dipakai untuk menjelaskan hal ini yaitu: 1)
Peningkatan glukosa intrasel mengakibatkan pembentukan advanced
Universitas Sumatera Utara
65
glycosylation end products atau AGEs melalui non enzim glikolasi dari
protein intra dan ekstraselular, 2) hiperglikemi meningkatkan metabolisme
glukosa melalui jalur sorbitol, 3) hiperglikemia meningkatkan pembentukan
diasilgliserol yang mengakibatkan aktvasi protein kinase C atau PKC, 4)
Hiperglikemi meningkatkan aliran darah melalui jalur heksosamin, yang
menyebabkan terbentuknya fruktosa 6 fosfat, sebuah bahan yang
menghasilkan produk glikosilasi O- linked dan proteoglikan (Powers,
2008).
Menurut Frisina et al (2006), hiperglikemi mengakibatkan perubahan
biokimia dalam sistem metabolik. Tiga konsekuensi utama berupa
pemecahan glukosa non enzimatik, aktivasi jalur polyol dan pembentukan
Reactive Oxygen Species atau ROS. Meskipun semua individu dengan
proses penuaan mengalami proses fisiologik abnormal yang sama seperti
oksidasi yang meningkat, glikasi dan meningkatnya produk akhir selama
metabolisme oksidatif, proses ini terjadi lebih cepat pada penderita
diabetes melitus.
Pada penelitian penelitian sebelumnya yang menggunakan hewan
coba dengan pajanan bising sebagai stresor mendapatkan bahwa
fibroblas dinding lateral koklea merupakan sel yang labil dan responsif
terhadap stimulus. Pajanan bising dapat menyebabkan gangguan pada
fibroblas yang diamati secara histopatologi tanpa adanya kerusakan pada
sel sensoris (Hirose & Liberman, 2003; Purnami, 2009).
Berdasar pada penelitian sebelumnya, pada penelitian ini digunakan
curcuminoid dengan dosis 200 mg/kgbb/hari per ekor karena pada dosis
tersebut curcuminoid mampu berperan sebagai antioksidan (Gonzalez-
Salazar et al., 2011; Bayrak et al., 2008) dan digunakan dosis 2x lipatnya
untuk melihat apakah terdapat pengaruh pemberian dosis terhadap
ekspresi SOD. Selain itu juga dihipotesiskan bahwa terdapat pengaruh
durasi pemberian curcuminoid terhadap ekspresi SOD (dose and time
dependent) (Van Erk et al., 2004).
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok model DM tanpa
pemberian curcuminoid terjadi penurunan ekspresi SOD, yang dikaitkan
Universitas Sumatera Utara
66
dengan terjadinya stres oksidatif akibat hiperglikemia. SOD merupakan
enzim antioksidan lini pertama yang berperan dalam katalisis radikal
superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. SOD ekstraseluler
juga merupakan satu satunya enzim antioksidan yang dapat berperan
sebagai scavenger superoksida pada kompartemen ekstraseluler (Nozik-
Grayck, Suliman & Piantadosi, 2005). Pada diabetes, keadaan
hiperglikemia meningkatkan stress oksidatif melalui beberapa jalur.
Mekanisme yang sangat penting adalah overproduksi anion superoksida
melalui rantai transport elektron di dalam mitokondria. Pembentukan
spesies oksigen fisiologis (terutama radikal superoksida) terjadi pada saat
transfer elektron oleh sitokrom dalam proses rantai tranpor elektron.
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan produksi donor elektron (NADH
dan FADH2) pada siklus trikarboksilat (Aronson, 2009).
Hasil tersebut diatas sesuai dengan hasil penelitian oleh Kasznicki et al
(2012) yang mendapatkan penurunan kadar SOD secara signifikan pada
plasma penderita diabetes yang menderita distal symmetric
polyneuropathy (DSPN). Palma et al (2014) juga mendapatkan hal yang
sama, bahwa aktivitas SOD menurun pada plasma dan hepar tikus model
diabetes melitus.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa curcuminoid mampu
meningkatkan ekspresi SOD pada kelompok model DM, dimana
pemberian curcuminoid dengan dosis dosis 200 mg/kgbb/hari/ekor selama
5 hari (kelompok 3) dan 10 hari (kelompok 5) maupun dosis 400
mg/kgbb/hari/ekor selama 5 hari (kelompok 4) dan 10 hari (kelompok 6)
terbukti mampu meningkatkan ekspresi SOD secara signifikan (p<0.05).
Mekanisme kerja curcumin sebagai antioksidan didasari oleh sifat
scavenging curcumin terhadap radikal superoksida dan hidroksil oksida,
serta melalui upregulasi ekspresi enzim antioksidan endogen seperti SOD,
GSH dan GSHPx (Jagetia & Rajanikant, 2015; Malik & Mukherjee, 2014).
Upregulasi tersebut terjadi melalui mekanisme induksi terhadap gen Nrf2
[(Nuclear factor-(erythroid derived 2)-related factor-2)].. Nrf2 berada dalam
sitoplasma dan akan bertranslokasi ke dalam nucleus untuk menginisiasi
Universitas Sumatera Utara
67
jalur antioksidan (Jagetia & Rajanikant, 2015; Tapia et al., 2012). Selain
itu curcumin bekerja melalui inhibisi aktivitas seluler yang menghasilkan
ROS melalui inhibisi aktivitas enzim NADPH oksidase,
lipoksigenase/siklooksigenase, xantin dehidrogenase, dan nitrit oksid
sintase, yang pada akhirnya akan meningkatkan bioavailabilitas enzim
antioksidan seluler (Khan & Mahboob, 2014).
Hasil tersebut diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jagetia & Rajanikant (2015) yang mendapatkan bahwa pemberian
curcumin sebelum dan sesudah radiasi pada tikus dapat meningkatkan
ekspresi SOD. Tapia et al (2012) juga mendapatkan hal yang serupa pada
percobaan yang melihat efek curcumin terhadap status oksidan-
antioksidan pada ginjal tikus yang mengalami stres oksidatif akibat
nefrektomi. Peranan curcumin dan regulasi ekspresi SOD juga didapati
oleh penelitian Jena et al (2013). Penelitian tersebut memperlihatkan
efektivitas curcuminoid dalam memperbaiki dan meningkatkan ekspresi
SOD pada korteks serebrum dan serebelum yang mengalami stress
oksidatif akibat PTU (6-propyl-2thiouracil).
Pada penelitian ini didapati perbedaan yang tidak signifikan secara
statistik (p>0.05) dalam hal perbedaan dosis dan durasi pemberian
curcuminoid. Besarnya dosis yang diberikan tidak mempengaruhi ekspresi
SOD yang telihat pada kelompok 3 dan 4, serta 5 dan 6, dimana dosis
400 mg/kgbb/hari/ekor tidak menunjukkan peningkatan ekspresi SOD
yang bermakna dibanding dengan dosis 200 mg/kgbb/hari/ekor.
Selain perbedaan besarnya dosis, perbedaan durasi pemberian
curcuminoid juga tidak memberikan pengaruh terhadap ekspresi SOD. Hal
ini terlihat pada kelompok 3 dan 5, serta 4 dan 6, dimana curcuminoid
dengan dosis yang sama (200 mg/kgbb/hari/ekor atau 400
mg/kgbb/hari/ekor) diberikan dalam waktu yang berbeda (5 dan 10 hari)
tidak menunjukkan perbedaan ekspresi SOD yang bermakna.
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryuna
et al (2013) yang mendapatkan bahwa terdapat dose-response
relationship pada pemberian curcuminoid terhadap ekspresi SOD dan
Universitas Sumatera Utara
68
CAT pada fibroblas dinding lateral koklea yang diinduksi bising. Selain itu
penelitian oleh Van Erk et al (2004) yang meneliti tentang peranan
curcumin terhadap ekspresi berbagai gen pada sel kanker kolon
mendapatkan hasil bahwa pada sel kanker kolon yang dipaparkan dengan
dua konsentrasi curcumin yang berbeda serta beberapa durasi paparan
curcumin yang berbeda, terjadi perbedaan ekspresi berbagai gen pada
perbedaan perlakuan tersebut, yang mengindikasikan bahwa efek
curcumin bersifat time and dose dependent.
Perbedaan hasil yang didapatkan pada penelitian ini dapat terjadi
akibat variasi dosis pemberian curcuminoid antar kelompok tidak jauh
berbeda (200 mg/kgbb/hari dan 400 mg/kgbb/hari), serta variasi durasi
pemberian curcuminoid juga cukup kecil (5 hari dengan 10 hari) sehingga
belum memberikan perbedaan dalam hal ekspresi SOD. Faktor lain yang
dapat berpengaruh adalah sifat curcumin yang dapat berperan sebagai
antioksidan pada dosis kecil, namun bersifat sebagai prooksidan pada
dosis besar( Malik & Mukherjee, 2014). Hal tersebut telah ditunjukkan oleh
beberapa penelitian, dimana curcumin pada dosis kecil mengurangi
produksi ROS, namun pada dosis besar justru meningkatkan produksi
ROS pada penelitian terhadap sel leukemia manusia (Chen et al., 2005).
Penelitian lain menunjukkan bahwa curcumin dosis rendah (<10microM)
dapat mencegah deplesi enzim antioksidan GSH namun pada dosis yang
lebih tinggi malah menyebabkan penurunan GSH secara bertahap pada
sel darah merah yang mengalami kerusakan oksidatif (Banerjee et al.,
2008). Selain hal-hal tersebut diatas, faktor lain yang juga dapat
berpengaruh adalah faktor farmakodinamik yang dapat mempengaruhi
efikasi obat, yaitu ceiling effect yaitu aktivitas intrinsik maksimal obat,
dimana penambahan dosis yang lebih besar tidak memberikan
penambahan efikasi obat.
5.2 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dari penelitian ini adalah bahwa dalam pengambilan
sampel dinding lateral koklea yang diperiksa secara imunohistokimia,
peneliti sulit mendapatkan potongan yang sama dari setiap sampel.
Universitas Sumatera Utara
69
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi SOD pada fibroblas koklea
tikus model diabetes mellitus yang bermakna secara statistik (p<0.05).
2. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari tidak terbukti lebih baik
dibandingkan dosis 200 mg/kgbb/ekor/hari dalam meningkatkan
ekspresi SOD pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana
pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang tidak bermakna
secara statistik (p>0.05).
3. Curcuminoid dosis 200 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 10
hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dengan curcuminoid 200
mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 5 hari dalam meningkatkan
ekspresi SOD pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana
pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang tidak bermakna
secara statistik (p>0.05).
4. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 10
hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dengan curcuminoid 400
mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 5 hari dalam meningkatkan
ekspresi SOD pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana
pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang tidak bermakna
secara statistik (p>0.05).
Universitas Sumatera Utara
70
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disampaikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian dengan penambahan kelompok yang
mendapatkan terapi curcuminoid sebelum dilakukan induksi diabetes
melitus untuk melihat apakah curcuminoid memiliki sifat preventif
terhadap terjadinya stres oksidatif pada fibroblas koklea.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan pemilihan sediaan curcuminoid yang
memiliki bioavailabilitas yang baik, seperti nanocurcumin atau kapsul
liposom.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pemeriksaan OAE
(Otoaccoustic Emission) ataupun BERA (Brainstem Evoked Response
Audiometry) terhadap sampel sebelum dan sesudah pemberian
perlakuan untuk melihat apakah perubahan seluler yang terjadi dapat
mempengaruhi fungsi organ secara klinis dalam hal fungsi
pendengaran.
Universitas Sumatera Utara