56941597 biofloc technology
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Udang putih (L. vannamei) merupakan spesies introduksi yang
dibudidayakan di Indonesia. Udang putih yang dikenal masyarakat dengan nama
vannamei ini berasal dari perairan Amerika Tengah. Negara-negara di Amerika
Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brasil, dan Meksiko
sudah lama membudidayakan jenis udang yang dikenal juga dengan pasific
white shrimp (Supono, 2008).
Udang vannamei (L. vannamei) adala salah satu komoditas budidaya di
tambak yang telah dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
Kementrian Kelautan dan Perikanan yang diharapkan sebagai pengganti posisi
udang windu sebagai primadona ekspor yang mulai merosot. Beberapa karakter
spesifik yang dimiliki udang vannamei adalah laju pertumbuhan yang cepat dan
memungkinkan ditebar dengan kepadatan tinggi (Adiwijaya, dkk, 2003).
Udang vannamei merupakan salah satu jenis udang penaeid yang
memiliki kelebihan karena toleransinya terhadap kadar garam yang tinggi.
Vannamei hidup menempati permukaan dasar tambak dan kolom air, sehingga
dapat dipelihara dengan tingkat kepadatan tinggi. Nafsu makan vanamei juga
tinggi, dapat memanfaatkan pakan berkadar protein rendah pada penebaran
rendah atau pola semi-intensif sehingga biaya pakan dapat diminimalisir
Burhanuddin (2009). Litopenaeus vannamei memiliki karakteristik kultur yang
unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam
kultur dengan densitas 100 udang/m2. Berat udang dewasa dapat mencapai lebih
dari 20 gram dan Udang betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan
(Wyban, et al. 1991).
2
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keberlanjutan
daya dukung ekosistem tambak adalah pemanfaatan mikroorganisme sebagai
agen untuk memperbaiki kualitas lingkungan budidaya. Salah satu
mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri yang bersifat menguntungkan
bagi kegiatan budidaya perairan adalah Bacillus subtilis karena merupakan salah
satu jenis bakteri yang dapat membentuk bioflok (Anonim, 2009).
Menurut Irianto (2003), menjelaskan bakteri B. subtilis, B. megaterium,
dan B. polymyxa dapat digunakan sebagai probiotik untuk memperbaiki kualitas
air pada kolam pemeliharaan channel catfish. Penggunaan inokulan tersebut
mampu menyebabkan perubahan spesifik pada variabel kualitas air selama
pemeliharaan. Penggunaan probiotik diharapkan dapat membantu perbaikan
kualitas air tambak. Bioflok diharapkan mampu merangsang tumbuhnya bakteri
probiotik dalam bentuk flok sehingga mampu memperbaiki kualitas air, flok yang
terbentuk juga dapat mengurangi permasalahan pemenuhan kebutuhan protein
serta mampu mengurangi ketergantungan udang terhadap pakan buatan.
Bioflok adalah partikel yang teraduk oleh aerasi dan sirkulasi yang terdiri
dari kumpulan organisme autotrof dan heterotrof serta bahan tidak hidup (bakteri
fitoplankton, fungi, ciliate, nematode dan detritus (Conguest dan Tacon, 2006
dalam Suprapto, 2007).
Bioflok terbentuk dari flok yang akan membentuk agregat bakteri di
perairan. Prinsip dasar dalam teknologi bioflok adalah mengubah senyawa
organik dan anorganik yang mengandung senyawa karbon (C), hidrogen (H),
Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit adanya posfor (P) menjadi massa
endapan berupa “bioflocs” dengan menggunakan bakteri pembentuk floks ( flocs
forming bacteria ). Bakteri pembentuk flok dipilih dari genera bakteri yang non
patogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA (poly hidroksi alkanoat),
memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin (zat yang dihasilkan
3
bakteri probiotik) untuk menekan populasi bakteri patogen, mengeluarkan
metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari
plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan (Shirota, 2008).
Kelebihan dari teknologi bioflok menurut Suprapto (2007), yaitu 1) pH
relatif stabil dan cendrung rendah sehingga kandungan amoniak (NH4+) relatif
rendah, 2) tidak tergantung dari sinar matahari, namun aktivitasnya menurun
apabila suhu rendah, 3) tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga biosecuriti
terjaga, 4) limbah tambak (kotoran, alga, sisa pakan, amonia), dapat di daur
ulang dan dijadikan makanan alami dengan protein tinggi, dan lebih ramah
lingkungan. Kekurangannya yaitu 1) tidak dapat diterapkan pada tambak yang
bocor/rembes karena sedikit pergantian air bahkan tidak ada pergantian air, 2)
memerlukan peralatan (blower) cukup banyak sehingga kebutuhan listrik lebih
tinggi, 3) aerator harus hidup terus karena apabila aerasi kurang maka akan
terjadi pengendapan bahan organik sehingga resiko munculnya H2S tinggi.
Maulani (2009), menjelaskan teknologi bioflok pada budidaya udang
vannamei dapat mengurangi FCR (Food Conversiton Rasio) secara signifikan
dengan pengurangan pakan sebesar 25%. Avnimelech (2000 dan 2005),
menyatakan BFT (Bio Flocs Technology) merupakan salah satu solusi yang
efisien energi dan pengeluaran biaya dalam pakan. Masalah yang dihadapi
dalam usaha budidaya adalah keterbatasan dalam manajemen pakan sehingga
menyebabkan nilai FCR sangat tinggi, selain itu juga dipengaruhi oleh harga
pakan yang meningkat. Penyakit juga menjadi salah satu kendala dalam usaha
budidaya terutama TSV (Taura Syndrome Virus), dan IMNV (Infectious
Myonecrosis Virus) yang dapat menimbulkan kematian secara masal pada
udang vannamei.
4
Teknologi bioflok berbasis probiotik Bacillus subtilis merupakan salah satu
alternatif yang dapat membantu dalam meningkatkan hasil produksi budidaya
udang vannamei, maka diperlukan pemahaman dan pengetahuan tentang
bagaimana teknik bioflok pada usaha budidaya udang vanammei secara tepat
pada Praktek Kerja Lapang. Berhasilnya aplikasi teknologi bioflok pada usaha
budidaya dapat meningkatkan produksi secara berkesinambungan, berjalan
secara berkelanjutan (suistainable aquaculture) dan dapat memenuhi pasar
dunia.
1.2 Rumusan Masalah
Budidaya udang vannamei yang sudah dilakukan menghadapi banyak
kendala terutama tingginya nilai FCR serta rendahnya kualitas air yang tidak
mendukung bersumber dari sisa pakan yang tidak termanfaatkan. Dengan
menurunya kualitas air menyebabkan adanya penyakit seperti Taura Syndrome
Virus (TSV) dan Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) yang mulai menyerang
udang vannamei pada usaha budidaya di Indonesia. Teknologi bioflok berbasis
probiotik Bacillus subtilis merupakan salah satu alternatif dalam pengembangan
budidaya udang terutama udang vannamei, namun banyak tambak salah
mempraktekan karena kurangnya pemahaman, sehingga teknologi bioflok harus
dikaji lebih mendalam. P3raktek kerja lapang yang dilaksanakan di CV. Adi
Sarana Permai, Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali.
Berdasarkan pernyataan diatas maka rumusan masalah yang dapat
dimabil adalah:
1. Bagaimanakah pendekatan teknologi bioflok (BFT) berbasis probiotik
Bacillus subtilis pada tambak udang vannamei di CV. Adi Sarana Permai?
5
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari Praktek Kerja Lapang ini adalah agar mahasiswa
mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan kerja lapang secara
langsung serta bisa membandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh di
bangku kuliah, melalui Pendekatan Teknologi Bioflok (BFT) Berbasis Probiotik
Bacillus subtilis dalam Peningkatan Produksi Usaha Budidaya Udang Vannamei
(Litopenaeus Vanammei) Di CV. Adi Sarana Permai, Desa Patas, Kecamatan
Gerokgak, Buleleng, Bali
Tujuan khusus dari Praktek Kerja Lapang ini adalah untuk mengetahui
pendekatan teknologi bioflok dengan pemberian probiotik Bacillus subtilis di
tambak udang CV. Adi Sarana Permai serta diharapakan dapat mengurangi
FCR seminim mungkin yang dapat menjalankan budidaya yang berkelanjutan
(suistainable aquaculture).
I.4 Kegunaan
Praktek Kerja Lapang diharapkan dapat bermanfaat menambah
pengetahuan tentang Teknologi Bioflok yang memanfaatkan bakteri probiotik
Bacillus subtilis yang diterapakan dalam budidaya udang vannamei yang
nantinya dapat menigkatkan hasil panen.
1.5 Tempat dan Waktu
Praktek Kerja Lapang dilaksanakan di Tambak Budidaya Udang
Vannamei CV. Adi Sarana Permai, Desa Patas Kecamatan. Gerokgak,
Kabupaten. Buleleng, Bali pada bulan Februari 2011.
6
2. MATERI DAN METODE PELAKSANAAN
2.1 Materi Penelitian
Materi dalam praktek kerja lapang yaitu pengukuran bioflok berbasis
probiotik B. subtilis pada tambak dan pengambilan kualitas air secara fisika
(suhu, kecerahan, dan salinitas), kimia (DO, pH dan amonia) sedangkan secara
biologi yaitu dengan melakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk
mengetahui jenis bakteri yang ada di dalam flok.
2.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini dapat
dilihat pada lampiran 3.
2.3 Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang
(PKL) adalah dengan menggunakan metode deskripsi dimana bertujuan untuk
membuat data secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta – fakta yang
terjadi di lapangan. Marsuki (1986), menyatakan bahwa metode ini melukiskan
keadaan objek atau persoalan dan tidak dimaksudkan untuk mengambil atau
menarik kesimpulan yang berlaku umum. Surakhmad (1998), menyatakan
metode deskriptif adalah sebuah metode yang menggambarkan keadaan atau
kejadian di suatu daerah tertentu. Pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas
pada pengumpulan dan penyusunan data saja, tetapi meliputi analisa dan
pembahasan tentang data tersebut, sehingga diharapkan dapat memberikan
data secara umum ,sistematis aktual dan valid mengenai fakta dan sifat – sifat
populasi daerah tersebut.
7
2.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data pada Praktek Kerja Lapang dilakukan dengan berbagai
cara yakni observasi langsung, partisipasi aktif dan wawancara. Observasi atau
pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu
penelitian. Observasi langsung dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan
secara disengaja dan sistematis tentang keadaan atau kondisis dan gejala –
gejala dalam kegiatan. Pendekatan Teknologi Bioflok (BFT) Berbasis Probiotik
Bacillus subtilis dalam Peningkatan Produksi Usaha Budidaya Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) di CV. Adi Sarana Permai Desa Patas, Kecamatan
Gerokgak, Buleleng, Bali. Observasi ini berupa persiapan petak, pembuatan
probiotik, pengukuran bioflok, pemberian pakan, pengamatan kualitas air, dan
pengamatan flok.
Partisipasi aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
mengikuti, membantu dan melaksanakan semua kegiatan dalam Pendekatan
Teknologi Bioflok (BFT) Berbasis Probiotik Bacillus subtilis dalam Peningkatan
Produksi Usaha Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di CV. Adi
Sarana Permai Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan secara menyeluruh melalui
percakapan dan tatap muka dengan orang yang berhubungan langsung pada
kegiatan Teknologi Bioflok (BFT) Berbasis Probiotik Bacillus subtilis dalam
Peningkatan Produksi Usaha Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) di CV. Adi Sarana Permai Desa Patas, Kecamatan Gerokgak,
Buleleng, Bali wawancara ini dilakukan untuk melengkapi data – data yang ada.
8
2.4.1 Data Primer
Data primer diproleh dan dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang
yang melakukan penelitian, praktek kerja lapang atau yang memerlukanya. Data
primer dalam kegiatan PKL ini didapatkan langsung dengan ikut serta dalam
kegiatan tersebut secara mandiri. Data primer merupakan data yang diproleh
langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara) dimana melakukan kegiatan
secara langsung dan dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan. Data primer
yang didapatkan pada kegiatan Praktek Kerja Lapang adalah semua yang
berhubungan dengan kegiatan Teknologi Bioflok (BFT) Berbasis Probiotik
Bacillus subtilis dalam Peningkatan Produksi Usaha Budidaya Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) di CV. Adi Sarana Permai Desa Patas, Kecamatan
Gerokgak, Buleleng, Bali berupa persiapan petak, pembuatan probiotik,
pengukuran bioflok pemberian pakan, pengamatan kualitas air, dan pengamatan
flok.
2.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang
yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini
biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti
terdahulu. Ditambahkan pula oleh Surachmad (1985), menjelaskan bahwa data
ini dapat diambil dari biro statistik, majalah, keterangan atau publikasi yang lain.
9
2.5 Metode Pengambilan dan Pengukuran Sampel Kualitas Air
2.5.1 Parameter fisika
a) Suhu
Prosedur pengambilan suhu pada lokasi penelitian berdasarkan
(Subarijanti, 1990), yaitu:
1. Menyiapkan thermometer, lalu masukan dalam perairan dengan
membelakangi matahari dan thermometer tidak menyentuh
tangan.
2. Menunggu selama ± 2 menit.
3. Membaca skala di perairan.
4. Mencatat hasilnya dalam oC.
2.5.2 Parameter kimia
a) Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen).
Prosedur pengambilan DO pada perairan yakni dengan menggunakan
DO meter dengan cara kerja berdasarkan (Suprapto, 2011), sebagai berikut:
Sebelum menggunakan DO meter terlebih dahulu di kalibrasi dengan cara
sebagai berikut:
1.Memasukan probe ke dalam kotak kalibrasi yang terdapat pada bagian
belakang atas dimana alat dalam keadaan spons basah/lembab.
2.Menyalakan tombol power dan biarkan ± 3 – 5 menit sampai dalam
keadaan stabil.
3.Menekan tombol secara bersamaan lalu lepaskan lagi tombol bertanda
panah ke atas dan ke bawah.
4.Menekan mode sampai terbaca % oksigen.
10
5.Menaikan atau menurunkan nilai altitude dengan menggunakan tombol
tanda panah ke atas dan ke bawah sampai sesuai dengan nilai altitude
dan tekan Enter.
6.DO meter siap digunakan, memasukan probe ke perairan.
7.Menyalakan DO meter, ditunggu sampai angka stabil dimana angka atas
menunjukan nilai DO (oksigen terlarut) dan mencatat hasilnya.
b) Derajat Keasaman (pH)
Prosedur analisis derajat keasaman (pH) pada perairan di lokasi
penelitian berdasarkan (Suprapto, 2011), adalah sebagai berikut.
1. Melakukan kalibrasi pH meter dengan menggunakan larutan buffer atau
aquades.
2. Memasukkan pH meter ke dalam air sampel selama 2 menit
3. Menekan tombol “HOLD” pada pH meter untuk menghentikan angka yang
muncul pada pH meter.
c) Amonia (NH3)
Prosedur pengukuran kadar amonia (NH3) pada perairan di lokasi
penelitian menurut (Suprapto, 2011), sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Mengambil air sampel sebanyak 12,5 ml yang sudah disaring
dengan kertas saring.
3. Menuangkan ke dalam beaker glass atau erlenmeyer
4. Menambahkan pereaksi nessler sebanyak 2 ml, dan
dihomogenkan
5. Menunggu sampai terjadi perubahan warna
6. Melihat kadar amonia dengan menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 425 μm.
7. Mencatat hasilnya dalam ppm.
11
2.6 Metode Pembentukan Bioflok Berbasis Probiotik Bacillus subtilis
Penumbuhan flok dapat dilakukan dengan melakukan penambahan media
bakteri. Penumbuhan ini menggunakan media yang sudah banyak dijual di
pasaran yakni dengan menggunakan Super NB dimana salah satunya
mengandung bakteri yaitu B. subtilis.
Tahapan dalam pembentukan flok dengan melakukan pengkulturan
probiotik yang mengandung probiotik B. subtilis lebih awal antara lain:
1. Mengukur luas tambak udang yang dipakai untuk menentukan
dosis yang tepat dalam penggunaan media.
2. Mengkultur media super NB 2 liter, 2 liter molase (tetes tebu),
pakan udang berukuran 0 sebanyak 1 kg, dan air 100 liter
selanjutnya diberikan aerasi dan dikultur selama 15 – 24 jam.
3. Melakukan aplikasi ke tambak apabila sudah terbentuk flok di
dalam bak pengkulturan. Aplikasi ke tambak yakni 3 – 4 ppm per
Ha
4. Pemberian pada tambak dilakukan sampai terbentuk flok yang
biasanya akan terlihat:
1. Ari jernih pada minggu ke 1
2. Di dominasi dengan algae pada minggu ke 2 – 5.
3. Terjadi perubahan dengan busa yang agak banyak pada
minggu ke 7 – panen udang.
4. Air akan berwarna coklat atau hijau tua.
2.7 Metode Pengukuran Flok
Pengukuran bioflok dengan menggunakan “imhoff cone” sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat yang digunakan yaitu dengan “imhoff cone”
2. Mengambil flok di perairan dengan menggunakan “imhoff cone” 1 L
12
3. Mengendapkan flok
4. Mengukur endapan flok melalui skala pada “imhoff cone”
Metode pengukuran bioflok disajikan pada Lampiran 3.
2.8 Metode Pengamatan Flok di Bawah Mikroskop.
Pengamatan flok di bawah mikroskop yaitu untuk megetahui flok yang
mendominasi pada tambak. Organisme yang mendominasi flok diamati di bawah
mikroskop Olympus CX-21 Pengamatan dilakukan di Laboratorium tambak.
Pengamatan dilakukan sama dengan pengamatan plankton. Pengamatan
dimulai dari pengambilan sampel flok 1 tetes dari hasil pengukuran dan
diteteskan ke Haemocytometer atau slide glass dan diamati di bawah mikroskop
dengan perbesaran 400 kali.
13
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang
3.1.1 Sejarah dan perkembangan lokasi
Tambak CV. Adi Sarana Permai pertama kali didirikan pada tahun 1987
oleh dana pribadi dari Bapak Setyo Budi Rahardjo merupakan tambak milik
pribadi dimana dulunya bernama PT. Adi Sarana Permai dengan luas 15 Ha.
Awalnya tambak ini merupakan tambak semi permanen dengan komoditas
pertama yang dibudidayakan adalah udang windu (Penaeus monodon) karena
pada waktu itu udang itu masih mempunyai masa kejayaan. Sekitar pada tahun
1990 tanah tambak diperluas menjadi 25 Ha.
Budidaya udang windu dimulai dari 1987-1995 dimana saat itu jumlah
petakan sebanyak 38 petak budidaya dan belum ada petak tandon, selanjutnya
pada tahun 1996 komoditas budidaya udang windu diganti dengan budidaya
udang vannamei sampai sekarang dengan memiliki 54 petak. Tahun 2000 PT.
Adi Sarana Permai berubah menjadi CV. Adi Sarana Permai dan sekarang
pimpinan tambak dipegang oleh Bapak Hengky Putro Rahardjo. Sampai
sekarang CV. Adi Sarana Permai fokus ke budidaya udang vannamei untuk
dapat memenuhi pasar udang vannamei di Indonesia maupun dunia.
3.1.2 Letak geografis dan topografi
Tambak CV. Adi Sarana Permai atau sering dikenal dengan tambak ASP
terletak di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
dengan ketinggian 1 meter di atas permukaan laut. Tata letak (denah) dan peta
lokasi tambak dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Tambak Adi Sarana Permai
memilki luas 25 ha dimana luas tersebut digunakan untuk semua kegiatan
budidaya. Tambak ini terdiri dari 54 petak dimana ukuran petak berkisar antara
14
2000 – 6000 m2. Periode ini petak yang digunakan untuk produksi 25, petak
tandon 9, dan sisanya tidak beroperasi karena masih dalam proses pengeringan.
Tambak ini berbatasan sebelah utara pantai dan laut Bali, sebelah
selatan berbatasan dengan perkampungan warga, sebelah timur berbatasan
dengan Tambak PT Windu, sebelah Barat berbatasan dengan Pura umat hindu
dan tambak. Tambak ini memiliki beberapa bangunan diantaranya bangunan
kantor pimpinan, gudang pakan dan pupuk, ruangan pengkulturan probiotik,
gudang obat, ruangan genset, bangsal panen, laboratorium, ruang istirahat para
karyawan, rumah pompa air. Lokasi dan denah tambak dapat dilihat pada
Lampiran 1 dan 2.
3.1.3 Struktur organisasi dan ketenagakerjaan
Struktur organisasi dan ketenagakerjaan yang ada di tambak CV. Adi
Sarana Permai adalah sebagai berikut:
Pimpinan : Hengky Putro Rahardjo
Manajer : Wayan Mertha
Teknisi Produksi : Bari dan P. Kadek Arjana
Anggota berjumlah 13
Laboran : Yulianto
Administrasi : Putu Widana
Gudang : Kertiasa
Mekanik : Simon
Anggota berjumlah 3 orang
Transportasi : Tien
Keamanan : Sweca
Anggota berjumlah 5 orang
15
Jumlah keseluruhan tenaga kerja yang ada di tambak berjumlah 31
orang. Latar belakang pendidikan dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Latar Belakang Pendidikan Tenaga Kerja.Bidang Pendidikan
Produksi (Orang Petakan) SD-SMA
Teknisi Sarjana
Administrasi SMA
Mekanik STM
Laboran Sarjana
Sumber: Tambak CV. Adi Sarana Permai
3.2 Sarana dan Prasarana
3.2.1 Sarana
a. Sistem Penyediaan Listrik
Tambak Adi Sarana Permai menggunakan penyediaan listrik utama dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan kapasitas 197.000 VA, juga disiapkan
sumber listrik cadangan apabila terjadi pemadaman dari PLN yaitu generator
dengan kapasitas 780 KVH dengan tegangan 380 volt. Generator ini berbahan
bakar solar yang mampu untuk memberikan listrik untuk menghidupkan seluruh
kincir dan peralatan listrik lainya yang ada di tambak. Mesin dan ruangan
generator disajikan pada Gambar 1a dan 1b.
16
Gambar 1a. Mesin Generator Gambar 1b. Ruang Generator
b. Sistem Penyediaan Air Laut
Sumber air laut utama yang bergantung pada pasang surut karena
pengambilan air laut menggunakan pipa dan jaraknya yang cukup jauh dimana
kadar salinitasnya berkisar antara 32 – 35 ppt. Untuk pengambilan air laut
melalui saluran yang terbuat dari pipa ukuran 12” dimana dalam pengambilan
menggunakan 3 mesin colt diesel merek Mitsubishi 6 HP (Horse Power) setiap
mesin dilengkapi 2 pompa. Menggunakan mesin ini untuk pengisian air dengan
luas petak 3000 m2 dengan ketinggian air 90 – 100 cm membutuhkan waktu
sekitar 2,5 jam. Pada pompa diberi saringan warna hitam dengan ukuran mata
jaring 1 mm, sedangkan pada ujung pipa pengeluaran air diberi saringan warna
hijau dengan mesh size 200 mikron agar mengurangi kotoran yang masuk ke
petak tandon.
Pendistribusian air laut menggunakan dua saluran yaitu saluran primer
dan sekunder. Saluran primer digunakan untuk mengalirkan air laut dari pompa
utama ke petak tandon sedangkan saluran sekunder mengalirkan air laut dari
petak tandon ke petak–petak budidaya (petak pembesaran). Panjang saluran
primer dari pompa ke tengah laut sekitar 0,5 km dengan pemasangan pipa pada
ketinggiian 2 m. Saluran sekunder dipasang pada bak tandon dengan ketinggian
4 m yang kemudian disalurkan melalui kanal-kanal di pinggir petakan budidaya.
17
Sebelum digunakan untuk kegiatan budidaya, air laut terlebih dahulu diberi
perlakuan dengan pemberian kaporit pada dosis 15 – 20 ppm, ini bertujuan agar
makhluk hidup yang ada di air tersebut mati, baik bibit ikan liar, udang liar,
penyakit dan organisme lain yang dapat membahayakan kehidupan udang.
Saluran sekunder (petak tandon) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Saluran Sekunder (petak tandon)
c. Sistem Penyediaan Air Tawar
Penyediaan air tawar yang ada di tambak ASP menggunakan sumber
utama yakni sumur bor. Jumlah sumber sumur bor yang ada di tambak ASP
berada pada 4 titik yang terpasang di sekitar area tambak dengan berkadar
salinitas 7 – 10 ppt dan kedalaman sumur bor 60 – 80 m. Sumur bor ini
menggunakan kincir listrik dengan merek Teco dengan kapasitas 1 HP 380 volt.
Air tawar digunakan untuk keperluan dapur, mandi, mencuci peralatan,
laboratorium, dan sebagai pencampur air laut yang sudah di dalam bak tandon
untuk menurunkan salinitas hingga salinitas yang diinginkan untuk diberikan ke
dalam petakan tambak apabila salinitasnya terlalu tinggi >30 ppt. Tidak ada
perlakuan yang diberikan sebelum air tawar digunakan. Mesin kincir dan pompa
air tawar disajikan pada Gambar 3.
18
Gambar 3. Mesin Kincir dan Pompa Air Tawar
d. Sistem Aerasi
Sistem aerasi atau penyuplai oksigen ke dalam petakan budidaya yang
digunakan pada tambak ini yaitu menggunakan kincir (paddle wheel). Kincir yang
digunakan dengan merek Teco yang mempunyai daya 1 HP. Kincir yang ada
hanya terdiri dari 2 baling – baling. Penempatan kincir lebih banyak berada di
pojok – pojok agar mampu menghasilkan oksigen yang tinggi karena kebanyakan
udang berada di daerah pinggir. Udang tidak ke tengah diduga karena
banyaknya kotoran atau lumpur yang mengendap. Pemasangan kincir juga
dilakukan di tengah petakan yang berfungsi untuk mempermudah pembuangan
lumpur. Kincir yang berada di pinggir dan di tengah masing- masing berjumlah 4
buah. Kincir harus terus dihidupkan selama 24 jam, sehingga harus diawasi terus
menerus. Pengawasan ini dilakukan dengan cara piket secara bergantian pada
malam hari oleh masing-masing satu orang untuk satu blok petakan tambak.
Apabila ada kincir yang mati maka petugas piket dapat langsung
menghidupkan kembali dengan cara mengecek saklar kincir yang mati, tapi jika
petugas piket tidak bisa memperbaiki sendiri maka petugas piket dapat
memanggil mekanik untuk memperbaikinya. Kincir bisa dimatikan pada saat
melakukan penyiponan tetapi hanya untuk 4 kincir yang berada di tengah
19
tambak. Sedangkan yang di pinggir tetap harus dihidupkan agar kotoran yang
berada di pinggir menuju ke tengah tambak sehingga penyiphonan menjadi lebih
mudah dan efisien. Kincir yang tadi mati dapat dihidupkan kembali apabila sipon
sudah selesai. (Gambar 4) Kincir air yang sedang beroperasi.
Gambar 4. Kincir Air
Untuk menentukan jumlah kincir pada petak budidaya dibutuhkan
tergantung beberpa aspek yaitu kebutuhan kincir (DO .> 4 ppm) dan 1 HP untuk
500 – 600 kg udang di kolam. Contoh perhitungan jumlah kincir sebagai berikut:
Kebutuhan kincir (DO > 4 ppm):
1 HP untuk 500-600 kg udang di kolam.
Perlu kincir 11 – 12 buah untuk petak 3500 m2 dengan jumlah tebaran 420.000
benur dan berat rata-rata 20 g/ekor dengan perhitungan:
Biomassa udang = benur x berat rata-rata produksi x SR
= 420.000 x 20 gr x 80% = 6720 kg
Kincir = 6720 : 600 = 11,2
sehingga memerlukan kincir sebanyak 11-12 buah.
20
Untuk awal kegiatan penebaran benih sampai sampling, kincir yang
digunakan berjumlah 8 diletakan di bagian pojok tambak. Penempatan kincir
untuk umur >50 hari dapat digambarkan seperti Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Penempatan Kincir pada Petak
a. Konstruksi Petak
Petak Pembesaran
Petak pembesaran merupakan petak yang semuanya petak intensif
(permanen) dimana terbuat dari beton cor yang dapat mengurangi perembesan
air dan petak beton juga tahan lama. Kanal saluran air laut berada di antara
petakan dengan lebar 1 m dan tinggi 1,5 m. Petak pembesaran mempunyai
ukuran antara 2000 – 6000 m2 dengan kedalaman 80 – 100 cm. Pada bagian
tengah petak terdapat central drainase yang digunakan untuk mengeluarkan air
saat kegiatan budidaya untuk proses sirkulasi air. Pintu outlet berukuran 0,5 m
yang terdapat di bagian pojok dan setiap petakan mempunyai 1 pintu outlet yang
juga digunakan sebagai pintu panen. Inlet hanya 1 di masing-masing petak yang
dialirkan dari saluran sekunder dengan ukuran inlet 3”.
21
Petak Tandon
Konstruksi petak tandon sama dengan petak pembesaran hanya saja
posisi petak tandon dekat dengan saluran primer. Hal ini memudahkan dalam
penerimaan air dari pompa utama dan mempermudah pembagian air dari petak
tandon melaui saluran sekunder ke petak – petak pembesaran. Pembagian air
dilakukan dengan menggunakan pompa Isble dengan kapasitas 100m3 per 20
menit dimana tegangan 380 volt dengan pipa ukuran 10”. Inlet untuk petak
tandon berukuran 3” yang diberi jaring saringan sebagai filter agar kotoran yang
masuk ke dalam saluran primer tidak masuk ke dalam bak tandon. Pada petak
tandon diberi kincir air sebanyak 4 buah diletakan di pojok – pojok sebagai
penyuplai oksigen dan pengaduk air agar kaporit yang diberikan bisa merata ke
seluruh petak. Kaporit diberikan pada saat air yang diisikan ke bak tandon sudah
penuh dan tidak ada pengisian lagi, pemberian dosis kaporit 15 – 20 ppm.
Pemberian kaporit dengan menggunakan jaring warna hijau yang memiliki mesh
size 200 mikron sebagai pembungkus agar serbuk kaporit tidak terbawa angin
sehingga tidak menyebar ke petakan yang lain. Petak tandon disajikan pada
Gambar 6.
Gambar 6. Petak Tandon
22
3.2.2 Prasarana
a. Jalan dan Transportasi
Jarak tambak ASP dengan jalan provinsi sekitar 0,5 km. Untuk menuju
lokasi tambak ASP hanya ada satu jalan yang dapat digunakan dari jalan raya.
Jalan ini berupa jalan yang sudah di aspal yang melewati perkampungan dan
perkebunan warga serta tidak ada transportasi umum yang melewati jalan ini.
Transportasi yang ada di tambak yaitu 1 buah mobil truk dan 1 buah sepada
motor dengan gandengan barang yang akan digunakan pengangkutan barang,
pakan, probiotik dan lain – lain.
b. Laboratorium
Laboratorium yang digunakan untuk budidaya udang vannamei di tambak
ASP yaitu Laboratorium Kualitas Air dan Laboratorium Mikrobiologi, tetapi tempat
atau bangunannya bergabung menjadi satu. Pengecekan kualitas air yang bisa
dilakukan di laboratorium kualitas air antara lain pH, salinitas, DO, warna air,
tinggi air, kecerahan, hardness, alkalinitas, TOM, amoniak, nitrit, dan plankton.
Untuk laboratorium mikrobiologi hanya digunakan untuk mengetahui Total Bakteri
dan bakteri Vibrio. Alat-alat yang digunakan di Laboratorium Kualitas Air yaitu
pH meter, refraktometer, DO meter, sektrofotometer, buret, statif, erlenmeyer
1000 ml, 500ml, 250 ml, 100 ml, tabung reaksi, gelas ukur 100 ml, corong gelas,
botol semprot, hot plate, autoclave, bola hisap, pipet ukur; pipet volume; pipet;
botol sampel, nampan, serbet, kalkulator, sendok kecil, mikroskop,
haemocytometer; cawan petri, cover glass, pipet mikro, mikrotip, inkubator, oven,
dan botol film untuk tempat sampel plankton atau bakteri. Suasana laboratorium
disajikanpada Gambar 7. Daftar peralatan yang ada di Laboratorium dapat dilihat
pada Lampiran 3.
23
Gambar 7. Laboratorium
c. Komunikasi
Alat komunikasi di tambak ASP berupa telepon yang digunakan untuk
komunikasi di luar tambak. Tidak ada alat komunikasi yang digunakan untuk
berkomunikasi intra tambak
3.3 Teknik Pembesaran Udang Vannamei
3.3.1 Udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
a. Udang vannamei (L. vannamei)
Litopenaeus vannamei (Gambar 8) adalah udang introduksi yang berasal
dari pantai timur pasifik Mexico, Amerika tengah dan selatan. Suhu air pada
daerah tersebut sepanjang tahun diatas 200C merupakan media hidup dari udang
ini. Spesies ini dapat tumbuh mencapai ukuran 23 cm, dan menyukai dasar
berlumpur hingga kedalaman 72 meter (Holthuis, 1980).
Gambar 8. Litopenaues vannamei (http://www. google.com/ graphics/photos )
24
b. Klasifikasi L. vannamei
Beberapa nama umumnya telah diberikan pada spesies ini, tetapi
klasifikasinya diketahui seperti yang dikemukakan (Holthuis, 1980 ; Perez-
Farfante and Kensley, 1997).
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Klas : Malacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobranchiata
Superfamily : Penaeoidea
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
c. Keragaan morfologi L. vannamei
Udang L. vannamei memiliki tubuh berbuku-buku yang dibentuk oleh dua
cabang (biromus) yaitu exopodite dan endopodite. Bagian tubuh sudah
mengalami modifikasi sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan makan,
bergerak, menopang insang, organ sensor seperti pada antenna dan antenulla.
Bagian kepala (thorax) terdiri dari antenulla, antena, mandibula, 2 pasang
maxillae, 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (peripoda) atau kaki
sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi
sebagai organ untuk makan (Gambar 9). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6
ruas dan dilengkapi dengan 5 pasang kaki renang dan sepasang uropoda yang
membentuk kipas bersama telson (Rubiyanto dan Dian, 2002).
25
Gambar 9. Morfologi kepala udang L. vannamei yang terdiri dari antena, antena, mandibula dan 5 pasang kaki jalan.
d. Aspek biologi L. vannamei
Udang L. vannamei mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap
salinitas yang luas dengan kisaran salinitas 0 sampai 50 ppt (Tizol, et al. 2004).
Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. L.
vannamei akan mati jika terpapar pada air dengan suhu dibawah 15 0C atau
diatas 33 0C selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 oC
dan 30-33 0C. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan L. vannamei adalah 23-
30 0C. Pengaruh temperatur pada pertumbuhan L. vannamei adalah pada
spesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air
dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur
optimum air akan menurun (Wyban et al., 1991).
e. Budidaya udang L. vannamei
Spesies L. vannamei telah diintroduksi dari Pacific Islands sekitar tahun
1970, dan dilakukan penelitian tentang breeding dan potensi budidaya untuk
akuakultur. Sejak tahun 1970 dan awal 1980 spesies ini diperkenalkan ke Hawaii
dan Amerika dari Carolina utara dan Texas sampai Brazil. Pada tahun 1978-
1979, udang L. vannamei ini sudah diperkenalkan ke Asia tetapi budidaya
secara komesial baru berhasil sejak 1980, selanjutnya menyebar ke China dan
26
Taiwan pada tahun 1996, kemudian diikuti oleh Negara asia lainnya termasuk
Indonesia dari tahun 2000-2001 (Briggs, et al. 2004).
3.3.2 Persiapan tambak
Persiapan tambak dilakukan dengan melakukan pembersihan peralatan
yang akan digunakan yaitu kincir, kabel, pipa paralon, saringan dan
“penembelan” petakan apabila ada kebocoran pada bagian plesteranya serta
penutupan pintu air (blok). Pembersihan saluran dengan melakukan penyiraman
menggunakan kaporit dengan dosis 20 ppm sepanjang saluran primer dan
sekunder dan selanjutnya dibilas keesokan harinya dengan menggunakan air.
Kegiatan pengeringan dilakukan ± 2 bulan agar membunuh bakteri yang ada
pada petakan. Kemudian dilanjutkan pemasangan senar setinggi 2 meter
memanjang di atas petakan sebagai BSD (Bird Scaring Device) agar tidak ada
burung-burung yang mendekati permukaan air untuk mengambil air ataupun
udang. Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan penyakit yang dibawa oleh
burung dari petak satu ke petak lainnya. Setelah itu dilakukan pemasangan atau
pengaturan kincir sesuai target produksi seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya.
Pemasangan saringan rangkap 2 pada semua inlet, bagian dalam berupa
jaring dengan “mesh zise” 1 mm, bagian luar jaring 200 mikron. Selanjutnya
dilakukan pengisian air dengan ketinggian awal 80 – 100 cm kemudian diberikan
kaporit (65% bahan aktif) dengan dosis 30 ppm. Setelah pemberian kaporit
dilanjutkan dengan pemberian CuSO4 untuk membunuh moluska dengan dosis 2
ppm. Selanjutnya diberikan perlakuan pemberian “Bestacin” yang mengandung
bahan aktif Dichlorvos yang tidak terakumulasi dan mudah terurai untuk
membunuh crustacea liar dengan dosis 1 ppm.
27
Amri dan Iskandar (2008), mengatakan untuk menghindari penumpukan
residu klorine dalam tambak setelah diberi kaporit, diperlukan pengoperasian
kincir penuh selama 2 hari berturut-turut untuk menghilangkan atau menguapkan
sisa-sisa klorine yang ada dalam air tambak.
Tahap selanjutnya adalah pemberian fermentasi berupa campuran 2 liter
tetes tebu, Super NB 2 liter, pakan udang berukuran 0 sebanyak 1 kg dan 100
liter air, diaerasi selama 15 – 24 jam. Hasil dari fermentasi dapat langsung
diaplikasikan ke petak-petak budidaya sebanyak 3-4 ppm/Ha. Pemberian
fermentasi diharapkan dapat merubah warna air menjadi hijau (green algae) atau
coklat (brown algae/ diatome) yang mengindikasikan tumbuhnya plankton jenis
Chlorella sp (green algae) atau Chaetoceros sp. (brown algae), selanjutnya
petakan siap di tebar benur.
3.3.3 Penebaran benih udang vannamei
Benur yang digunakan dalam kegiatan pembesaran udang ini berasal dari
Central Pertiwi Bahari Rembang, Situbondo. Ukuran benur yang sudah bisa
digunakan berumur antara PL 10-12. Benur dari “hatchery” di atas sudah
merupakan benur SPF (Specific Pathogen Free) yang sudah bersertifikat. Faktor
yang harus diperhatikan sebelum dilakukan penebaran benur yaitu dipilih benur
yang berkualitas baik, kualitas benur dari “hatchery” dan kualitas air harus
memenuhi standar, serta dilakukan aklimatisasi benur di tambak.
Teknik penebaran benur adalah dengan melakukan aklimatisasi terlebih
dahulu sebelum benur dilepaskan ke dalam air petakan tambak dengan tujuan
untuk mengadaptasikan udang terhadap keadaan lingkungan yang baru agar
udang tidak stres akibat perubahan suhu dan salinitas. Cara aklimatisasi ini yaitu
mula-mula benur yang masih dalam plastik ditaruh di air petakan tambak tanpa
dibuka lebih dulu, ditunggu kira-kira 10-15 menit agar benur beradaptasi dengan
28
lingkungan barunya. Setelah 10-15 menit baru plastik benur dibuka dan benur
bisa dilepas ke air petakan dalam tambak. Ketinggian air yang digunakan untuk
penebaran benur adalah 1 meter. Teknik penebaran benih disajikan pada
Gambar 10. Padat penebaran benur dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 10. Penebaran Benih
3.3.4 Probiotik
a. Probiotik Bacillus subtilis
Fuller (1989), menjelaskan probiotik merupakan makanan tambahan
berupa sel-sel mikroba hidup, yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi
hewan inang yang mengkonsumsinya melalui penyeimbangan flora mikroba
intestinalnya. Menurut Soeharsosno (2010), “Probiotics”, “Probiont”, “Probiotic
Bacteria” atau “Benefical Bacteria” semua istilah tersebut sama artinya yakni
bakteri probiotik, yang mampu meningkatkan produksi melalui perbaikan sistem
akuakultur. Castex, et al. (2006), menjelaskan probiotik merupakan
mikroorganisme yang umum digunakan dalam budidaya untuk mengontrol
ekosistem mikrobiologi, terutama untuk mengobati air dalam bak dan kolam. ini
dikenal sebagai konsep bioremediasi.
29
Penambahan mikroorganisme hidup melalui pakan (pendekatan probiotik)
untuk menyeimbangkan ekosistem usus hewan dan meningkatkan pencernaan.
Keuntungan dari probiotik sebagai bioremediasi adalah efek langsung dari
mikroorganisme pada usus udang. Bakteri probiotik dalam dunia perikanan
adalah sejumlah bakteri yang mampu memperbaiki kualitas air pada akuakultur
dan menekan bakteri patogen dalam air.
Salah satu jenis probiotk yang digunakan dalam budidaya udang
vannamei di Indonesia adalah probiotik yang mengandung B. subtilis. Bakteri ini
adalah salah satu bakteri probiotik yang mampu membentuk bioflok. B. subtilis
(Gambar 11) seperti anggota genus Bacillus lainnya, adalah bakteri yang sangat
umum ditemukan dalam tanah, air, udara, dan materi tanaman membusuk
(Anonimous, 2011).
Gambar 11. Bakteri Bacillus subtilis (http//.www.google.com/image/bacillus subtilis/html).
30
b. Kalisifikasi Bacillus subtilis
Ehrenberg (1835) dalam Wikipedia (2011), menjelaskan klasifikasi dari
bakteri Bacillus subtilis adalah sebagai berikut:
Domain : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Species : Bacillus subtilis
c. Kegunaan Bacillus subtilis
B. subtilis memiliki banyak manfaat terutama dalam aplikasi industri.
bakteri ini digunakan untuk menghasilkan berbagai enzim, seperti amilase dan
enzim protease, termasuk subtilisin. Berbagai enzim yang dihasilkan oleh bakteri
ini seperti amilase digunakan untuk memecah sumber karbon yang dihasilkan
dan protease untuk memecah protein.
Ochoa dan Olmos (2011), menyatakan bakteri dari golongan Bacillus
memiliki enzim protease yang tinggi dan mampu memanfaatkan protein yang
terdapat pada pakan tambahan pada tambak pemeliharaan udang. Bakteri ini
bekerja sebagai agen bioremediasi detritus organik pada tambak dan
menghasilkan molekul yang lebih sederhana bagi organisme lain seperti bakteri
nitrifikasi untuk berkembang. Prinsip kerja yang digunakan oleh bakteri ini adalah
proses oksidasi.
Moriarty (1998), Penggunaaan probiotik yang mengandung Bacillus spp
untuk tambak udang penaeid di Indonesia, dengan tujuan agar Bacillus spp.
memperbaiki kualitas air melalui dekomposisi materi organik, menyeimbangkan
komunitas mikroba serta menekan bakteri patogen sehingga menyediakan
lingkungan yang lebih baik bagi udang.
31
c. Pengkulturan Probiotik Bacillus subtilis
Pengkulturan probiotik pada tambak ASP dengan menggunakan probiotik
komersial yang sudah banyak dijual dipasaran yakni dengan menggunakan
Super NB yang mengandung B. subtilis. Pengkulturan dilakukan dengan
penambahan 2 liter Super NB (Gambar 12)., 1 liter Super media (tetes tebu,
garam, karbon, dan beberapa enzim) ditambahkan dengan 100 liter air dan
diberikan aerasi selama 12 jam. Probiotik berbasis B. subtilis siap diaplikasikan
ke petak – petak budidaya. Setelah itu penambahan dilakukan setiap 3 – 4 hari
sekali sebanyak 3 – 4 ppm/ Ha.
Perhitungan aplikasi probiotik:
Diketahui :
Luas Petakan = 4000 m2 = 0,4 Ha
Jadi untuk luas kolam 4000 m2 membutuhkan probiotik yang sudah
dikultur sebanyak 3 – 4 ppm, maka kebutuhan per Ha sekitar 12 – 16 liter.
Pengkulturan dilakukan untuk menekan biaya dari probiotik sehingga
pengeluaran bisa diminimalisir.
Gambar 12. Probiotik Super NB
32
3.3.5 Pendekatan teknologi bioflok
a. Teknologi bioflok
Bioflok adalah partikel yang teraduk oleh aerasi dan sirkulasi yang terdiri
dari kumpulan organisme autotrof dan heterotrof serta bahan hidup lainya
(bakteri fitoplankton, fungi, ciliate, nematoda dan detritus (Conguest dab Tacon,
2006 dalam Suprapto, 2007).
Sahidir (2011), Lumpur aktif dapat pula diibaratkan sebagai ‘sup mikroba’
yang terbentuk dari pemberian aerasi terus-menerus pada biomassa tersuspensi
dan mikroorganisme pengurai dalam limbah cair. Jadi, bioflok terdiri atas
mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa, fitoplankton) dan limbah. Namun
ada beberapa mikroorganisme yang telah diidentifikasi berfungsi sebagai
bioflocculant yang teridiri dari:
1. Zooglea ramigera
2. Escherichia intermedia
3. Paracolobacterium aerogenoids
4. Bacillus subtilis
5. Bacillus cereus
6. Flavobacterium
7. Pseudomonas alcaligenes
8. Sphaerotillus natans
9. Tetrad dan Tricoda
10. Escherichia intermedia
Soeharsono (2010), menjelaskan bioflok merupakan agregat diatom,
makroalga, pelet sisa bakteri, protista dan invertebrata, juga mengandung
bakteri, fungi, protozoa dan lain – lain yang berdiameter 0,1 – 2 mm. Bahan –
bahan organik itu merupakan pakan alami ikan dan udang yang mengandung
nutrisi yang baik, yang mampu disandingkan dengan pakan alami, sehingga
pertumbuhan akan baik bahkan jumlah pakan buatan yang diberikan bisa
diturunkan.
33
Schryver (2008), menyatakan teknologi bioflok adalah suatu sistem
budidaya bakteri heterotrof dan alga dalam suatu gumpalan “flocs” secara
terkontrol dalam suatu wadah budidaya atau merupakan suatu sistem yang
memanipulasi kepadatan dan aktivitas mikroba sebagai suatu cara megontrol
kualitas air dengan mentransformasikan amonium menjadi protein mikrobial agar
mampu mengurangi residu dari sisa pakan.
b. Prinsip dasar teknologi bioflok
Shirota (2008), menjelaskan prinsip dasar dari bioflok adalah mengubah
senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa karbon (C),
hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N) menjadi massa sludge berupa bioflok
dengan menggunakan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) yang
biopolimer poli hidroksil alkanoat sebagai ikatan bioflok. Skema pembentukan
bioflok dapat dilihat dari Gambar 13.
Proses pembentukan bioflok dimulai dari pemberian pakan pada
budidaya udang. Sebagaimana yang diketahui, pakan yang digunakan dalam
budidaya udang memiliki kandungan protein tinggi. Pakan yang diberikan tidak
seluruhnya mampu diasimilasi oleh tubuh udang dan ikan. Hanya sebagian saja
yang mampu diasimilasi kedalam tubuh sedangkan sisanya terbuang ke perairan
dalam bentuk sisa pakan dan buangan metabolit. Sisa pakan dan buangan
metabolit ini menjadi suatu masalah pada tambak udang karena unsur protein
yang terlarut akan segera membentuk amoniak yang sangat berbahaya bagi
organisme akuatik khususnya udang.
34
Gambar 13. Skema Pembentukan Bioflok (Soeharsono, 2010).
Keterangan : Makanan mengandung protein tinggi masuk dimakan oleh udang. Makanan yang dimakan akan di eksresikan menjadi amonia (NH3) sedangkan yang tidak termakan menjadi N-Organik yang terakumulasi di kolam. Penangulangan amonia dilakukan beberapa proses yaitu pemanfaatan langsung oleh alga, melalui proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri autotrof menghasilkan nitrit dan nitrat yang juga dimanfaatkan oleh alga untuk pertumbuhanya. Proses terakhir yaitu amonia, N-organik dan hasil nitrifikasi (nitrit dan nitrat) dapat diasimilasi dengan bantuan bakteri heterotorof dan alga yang dibantu dengan pengadukan dan sirkuklasi akan membentuk komunitas yang disebut “Bio-Flocs”
Durborow, et al. (1997), Amonia (NH3) merupakan produk akhir utama
dalam pemecahan protein pada budidaya udang maupun hewan akuatik lainnya.
Udang mencerna protein pakan dan mengekskresikan amonia melalui insang
dan feses. Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan bervariasi tergantung jumlah
pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budidaya. Avnimelech (1999),
menyatakan hewan perairan seperti ikan dan udang, mengekskresikan amonia,
yang dapat terakumulasi di tambak. Sumber utama amonium adalah biasanya
pakan yang kaya akan protein. Hewan air membutuhkan pakan dengan
konsentrasi protein tinggi, karena produksi tergantung pada jalur energi yang
sebagian besar bergantung terhadap oksidasi dan katabolisme protein. Effendi
35
(2003), menjelaskan amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik
terhadap organisme akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan
meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu.
Budidaya ikan dan udang untuk mengurangi kadar amonia pada kolam
budidaya ada beberapa metode yang digunakan yakni dengan pembuangan
langsung (dilution), pemanfaatan alga, proses nitrifikasi (autothropic bacteria),
dan melalui asimilasi oleh bakteri heterotropik (Heterothropic Bacteria) yang
sering disebut dengan Bioflocs Technology.
Amonia (NH3) dapat dimanfaatkan secara langsung oleh alga namun
tidak dapat dimanfaatkan oleh udang maupun ikan. Amonia dapat diubah melalui
proses nitrifikasi menjadi nitrit (NO2) dimana terjadi secara aerob dengan bantuan
bakteri nitrosomonas selanjutnya nitrit dioksidasi dengan bantuan nitrobacter
menjadi nitrat (NO3). Hasil dari proses nitrifikasi dapat langsung digunakan oleh
alga.
Effendi (2003), menyatakan pemecahan nitrogen di perairan terjadi pada
tiga tahap yakni terjadi amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Amonifikasi adalah
pemecahan N organik menjadi amonia,. Reaksi amonifikasi adalah N organik +
O2 NH3. Nitrifikasi adalah proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan
nitrat.oksidasi amonia menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas
sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter.
Perubahan bentuk nitrogen selama proses nitrifikasi ditujukan pada reaksi
berikut.
2 NH3 + 3 O2 (Nitrosomonas) 2 NO2 + 2 H+ + 2 H2O
2 NO2 + O2 (Nitrobacter) 2 NO3
Salah satu cara untuk mengurangi kadar amonia pada kolam budidaya
adalah dengan menguraikan amonia dengan pemanfaatan bakteri heterotropik
(Heterotropic Bacteria). Lumpur yang mengendap di dasar tambak yang
36
mengandung amonia, nitrit dan N-organik diuraikan melalui proses asimilasi
melalui penambahan bakteri heterotropik. Penambahan bakteri ini bisa dilakukan
dengan penambahan probiotik yang mengandung bakteri B. subtilis Amonia
(NH3), nitrit (NO2), dan N-organik di kolam budidaya akan diasimilasi dengan
bakteri heterotropik dimana apabila alga dan bakteri mengalami kematian atau
kerusakan akan menempel pada flok (partikel) sehingga nantinya dapat
membentuk Bioflocs. Pemanfaatan bakteri heterotropik harus memperhatikan
kandungan oksigen terlarut, pengadukan (mixing), kebutuhan karbon
(molases) ,pH, dan suhu.
Muylder, et al. (2010), menyatakan pembentukan bioflok harus
memperhatikan pengaturan aerasi secara intensif karena sangat dibutuhkan
untuk proses asimilasi dari sisa metabolisme udang oleh bakteri. Dalam
pembentukan bioflok harus ada penambahan starter yang mengandung karbon
seperti molase, tepung tapioka, tepung terigu, dan sebagainya. Penambahan
karbon bertujuan dalam proses pernafasan anaerobnya bakteri ketika
melangsungkan asimilasi.
Avnimelech (1999), menyatakan mengontrol nitrogen anorganik dengan
cara memanipulasi rasio C/N merupakan metode pengendalian potensi untuk
sistem akuakultur. Kontrol nitrogen disebabkan oleh pemberian makan bakteri
dengan karbohidrat, dan melalui pengambilan nitrogen dari air, oleh sintesis
protein oleh mikroba. Hubungan antara penambahan karbohidrat, pengurangan
amonia dan produksi protein mikroba tergantung pada konversi mikroba rasio C
dan N dalam biomassa mikroba, dan isi karbon dari bahan tambahan. Kontrol
nitrogen anorganik dapat diatasi dengan menggunakan prinsip pengubahan
karbon dan nitrogen melalui proses mikrobial, prosesnya adalah sebagai berikut:
C organik CO2 + energy + C yang diasimilasi oleh sel mikroba
37
Shirota (2008), menjelaskan C/N rasio sangat menentukan tingkat
kesuburan air dan laju mineralisasi bahan organik menjadi garam mineral yang
bersifat available untuk diserap oleh jasad eukariotik dan prokariotik. Kondisi C/N
rasio antara 10 – 20 atau lebih sangat kondusif bagi bakteri heterotrof untuk
menggunakan bahan organik sebagai makanan dan kurang kondusif bagai
pertumbuhan plankton hijau atau palankton coklat. C/N rasio 20 ke atas
mendorong nitrifikasi dan denitrifikasi yang cepat, menyebabkan nitrogen
konsentrasinya rendah dalam instalsi pengolahan limbah dan mendorong
pertumbuhan bakteri filamen yang dapar mengambil langsung gas nitrogen dari
udara menyebabkan bioflok sulit mengendap.
c. Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Bioflok
Adapun kelebihan dan kekurangan dalam penerapan teknologi bioflok
(BFT). Suprapto (2007), menjelaskan teknologi bioflok memiliki keuntungan dan
kekurangan.
Kelebihan dari teknologi bioflok yaitu
1. pH relatif stabil dan cendrung rendah sehingga kandungan amoniak
(NH4+) relatif rendah.
2. Tidak tergantung dari sinar matahari, namun aktivitasnya menurun
apabila suhu rendah.
3. Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga “biosecurity” terjaga.
4. Limbah tambak (kotoran, alga, sisa pakan, ammonia), dapat didaur
ulang dan dijadikan makanan alami dengan protein tinggi, dan lebih
ramah lingkungan.
Kekurangannya dari teknologi bioflok yaitu
1. Tidak dapat diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena sedikit
pergantian air bahkan tidak ada pergantian air,
38
2. Memerlukan peralatan (kincir) cukup banyak sehingga kebutuhan listrik
lebih tinggi,
3. Aerasi harus hidup terus karena apabila aerasi kurang maka akan terjadi
pengendapan bahan organik sehingga resiko munculnya H2S tinggi.
3.3.6 Pengukuran bioflok
Pengukuran atau kontrol bioflok (Gambar 14) pada tambak ASP
dilakukan pada tiap 1 minggu sekali. Pengukuran flok menurut beberapa ahli flok
(floker) adalah dengan menggunakan alat yang disebut Imhoff cone yaitu alat
yang terbuat dari bahan kaca atau palstik transparan berbentuk kerucut dan
dilengkapi dengan skala. Pengukuran dilakukan dengan mengambil 1 liter air
pada tambak yang berasal dari 2 tempat berbeda dalam satu kolam budidaya
dengan kedalaman pengambilan 1- 15 cm pada pukul 09.00 - 12.00 WITA.
Langkah selanjutnya yaitu mengendapkan dalam imhoff cone selama 10 – 15
menit. Volume flok dapat dibaca pada skala imhoff cone. Hasil pengukuran
bioflok pada praktek kerja lapang terihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengukuran Bioflok dengan Imhoff coneTanggal Pukul Pengambilan Hasil Pengukuran (ml/L)
12 Feb 2011 10.00 WITA 18 ml/L
19 Feb 2011 09.00 WITA 22 ml/L
26 Feb 2011 10.00 WITA 26 ml/L
Sumber: Tambak CV. Adi Sarana Permai.
Hasil pengukuran bioflok di tambak ASP dengan menggunakan Imhoff
cone pada minggu pertama didapatkan jumlah flok sebesar 18 ml/liter, pada
minggu kedua sebesar 22 ml/liter,dan pada minggu ketiga 25 ml/liter. Hasil
pengukuran seminggu sekali selama 3 minggu, adanya penambahan flok pada
39
minggu kedua dengan penambahan sebanyak 4 ml/L sedangkan pada minggu
ketiga terjadi penambahan flok sebesar 3 ml/L. Ini menandakan adanya
peningkatan flok selama 3 minggu melalui penambahan probiotik B. subtilis
sebanyak 2- 3 ppm/ Ha setiap 3-4 hari sekali.
Gambar 14. Pengukuran Bioflok dengan Imhoff cone (Nyan Taw, et al. 2009)
Nyan Taw, et al. (2009), menyatakan kontrol bioflok maksimum atau
bioflok yang baik pada tambak adalah 15 ml/liter. Berdasarakan hasil yang
dilakukan pengukuran volume flok pada petak budidaya udang ASP masih
berada pada kadar optimal dan tidak menyebabkan adanya pengaruh terhadap
pertumbuhan udang. Pemberian probiotik B. subtitlis memberikan hasil yang baik
dalam pembentukan bioflok berarti dekomposisi amonia, nitrit, dan N-organik
berlangsung optimal melalui proses asimilasi.
Sahidir (2011), menyatakan flok yang terlalu padat akan menurunkan
kualitasnya. Konsentrasi bioflok tidak boleh lebih dari 200 ml/liter dengan
menggunakan imhoff cone. Pengurangan kepadatan dapat dilakukan dengan
siphon (pembuangan).
3.3.7 Pengamatan flok di bawah mikroskop
Pengamatan bioflok dilakukan di Laboratorium Kualitas Air tambak ASP
dengan menggunakan mikroskop Olympus CX-21. Pengamatan dilakukan
hampir sama dengan pengamatan plankton. Pengamatan dimulai dari
40
pengambilan sampel flok 1 – 2 tetes dari hasil pengukuran dengan
menggunakan pipet tetes dan diteteskan ke dalam Haemocytometer atau slide
glass dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 - 400 kali.
Adapun hasil dari pengamatan flok di tambak ASP ditampilkan pada Gambar 15a
dan 15b. Hasil dari seluruh pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 15a. Komunitas Flok Alga
Keterangan : “absorb matter” adalah partikel yang melayang di dalam air yang teraerasi dan tersirkulasi dalam pembentukanya dibantu oleh bakteri heterotrof. Alga yang terdapat dalam flok merupakan jenis 1. Nitzschia sp, 2. Peridinium sp, dan 3. Chlorococcum sp.
Komposisi dari bioflok tidak hanya dari golongan flok alga. Selain flok alga
adapaun flocs filamentous bacteria, flok rotifera, flok cacing, flok protozoa dan
flok campuran (mix). Berdasarkan hasil pengamatan di laboraotrium jenis flok
pada petak budidaya tambak ASP di dominasi oleh jenis flok alga (Flocs Algae)
dan terdapat bakteri filamen (Flocs – Filamentous Bacterial). Komposisi flok tidak
hanya terdiri dari alga namun terdapat partikel – partikel yang berada didasar
petak yang sudah tersirkulasi dengan bantuan kincir air. Adanya partikel –
Absord matter
Algae1
2
3
41
pertikel ini maka alga yang mati atau mengalami kerusakan akan menempel
(perifiton) pada pertikel dimana partikel ini merupakan salah satu pakan udang
yang mengandung protein yang cukup untuk membantu mempercepat
pertumbuhan udang. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan jenis alga
yang ada pada flok yakni Nitzschia sp, Merismopedia sp, Peridinium sp,
Chlorococcum sp. Hasil identifikasi disajikan pada lampiran 7.
Jorand, et al. (1995) dalam Shcryver, et al. (2008), menjelaskan mikroba
flok terdiri dari campuran mikroorganisme heterogen (pembentuk flok dan bakteri
filamen), partikel, koloid, polimer organik, kation dan sel mati. Bakteri pembentuk
flok dapat dilihat pada Gambar 16
Gambar 15b
Gambar 15a. Komunitas flok alga; 15b; Struktur flok dengan sistem bioflok dan komposisnya.
Keterangan: bakteri filament adalah bakteri yang memyebabkan bentuk flok menjadi sangat kompak dan tidak tepadatkan sehingga tidak mudah mengendap.
Bacterial filament (Filamentous Bacteria)
42
Anonimous (2011), menyatakan komponen selain bakteri dalam flok
adalah alga. Jenis alga yang dioharapkan tumbuh adalah dari kelompok diatom
dan alga hijau. Beberpa jenis diatom yang hidup menempel pada flok adalah
Navicula sedangkan alga berkoloni dari jenis Skeletonema dan Chaetoceros.
Diatom memberikan ciri flok yang berwarna kecokelatan. Sedangkan kelompok
green algae memberikan ciri flok berwarna kehijauan. Meski green algae tidak
dimakan oleh udang, namun kelompok alga ini bersifat stabil atau siklus hidup
yang lebih lama. Bioflok dianggap bermutu jelek bila terdapat dinoflagellata
dalam jumlah yang banyak (lebih dari 10% dari komunitas algae yang ada). Di
samping itu, bila alga yang menyusun bioflok didominasi oleh blue green alga
(Gambar 16A dan 16 B).
Gambar 16. A. Struktur Flok dengan sistem BFT dan komposisnya, B. protozoa yang merumput di tepi sebuah flok mengeluarkan sel yang cenderung meninggalkan flok. (Schryver, et al. 2008).
43
Nyan Taw, et al. (2009), menyatakan pada kontrol bioflok dapat
ditemukan flok yang terdiri dari komunitas flok coklat (brown flocs), dan flok hijau
(green flocs). Komunitas antra kedua agla dapat dilihat pada Gambar 17a dan
17b
Gambar 17a. Gambar 17b.
Gambar 17a. Komunitas Flok Coklat (Brown Flocs); 17b. Komunitas Flok Hijau (Green Flocs) (Nyan Taw, et al. 2009).
3.3.8 Pemberian pakan
Pakan yang digunakan dalam proses pembesaran udamg vannamei pada
Tambak ASP adalah Kaiohji dengan kode KJV 2B dari PT. Matahari Sakti,
Irawan – V (681 – 684) dari PT. Central Proteinaprima, Tbk. Pakan ini
mempunyai ukuran yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan umur dan
ukuran udang. Semakin besar udang maka kode pakan juga semakin tinggi.
Pakan Kaiojhi dan Irawan dapat dilihat pada Gambar 18a dan 18b.
Pemberian pakan disesuaikan dengan feeding rate (FR) setiap umur dan
ukuran udang. Tetapi untuk pemberian pakan satu bulan pertama masih
menggunakan blind feed yaitu cara pemberian pakan yang mengikuti standar
pemberian pakan menurut pihak CP. Prima karena belum diketahui berat udang
sebagai patokan untuk menetapkan berapa banyak pakan yang diberikan, maka
pakan yang diberikan mengikuti jumlah pakan yang ditentukan oleh CP. Prima
sesuai tabel pada Lampiran 6.
44
Gambar 18a Gambar 18b
Gambar 18a. Pakan Udang Merek Kaiojhi dari PT. Matahari Sakti ; 18b. Pakan Udang Merek Irawan dari PT. Proteinaprima, Tbk.
Pakan diberikan sebanyak 5 kali dalam sehari yaitu pada pukul 06.00,
pukul 10.00, pukul 14.00, pukul 17.00, pukul 12.00 WITA. Penambahan dan
pengurangan pemberian pakan dilakukan setelah melihat kondisi anco. Semakin
banyak sisa pakan yang ada di anco maka pakan yang diberikan selanjutnya
akan semakin dikurangi. Dengan begitu maka dapat mencegah banyaknya sisa
pakan yang terakumulasi dalam tambak yang dapat menyebabkan penurunan
kualitas air tambak yang berbahaya bagi kehidupan udang. Untuk komposisi
pakan yang digunakan di CP. Prima dan PT. Matahari Sakti dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Komposisi Pakan Irawan - VKode Pakan Ukuran Udang
(g)Crude Protein (% min)
Moisture(% max)
Fat (% min)
681 V PL 13-1 30 12 5
682 V 1 – 2 30 12 5
683 V 2 – 5 30 12 5
683 – SP V
5 – 14 30 12 5
684 – S 14 – 22 28 12 5
Sumber: Tambak CV. Adi Sarana Permai.
45
Penentuan besarnya pakan yang akan diberikan perlu dilakukan sampling
terlebih dahulu. Kegiatan sampling pertama sebaiknya dilakukan pada saat
udang mencapai umur 50 hari masa pemeliharaan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya stres pada udang.
Tabel 4. Komposis Pakan KaiojhiKode Pakan Ukuran Udang
(g)Crude Protein (% min)
Moisture(% max)
Fat (% min)
1 0.01 - 0,31 37 13 5
2A 0,31 – 1,81 37 13 5
2B 1,81 – 3,93 37 13 5
3S 3,93 – 7,17 34 11 5
3M 7,17 – 12,04 34 11 5
3L 12,04 20,02 34 11 5
4 20,02 - harvest 34 11 5
Sumber : Tambak CV. Adi Sarana Permai
Sampling berikutnya dilakukan 7 atau 10 hari sekali dari sampling
sebelumnya. Sampling dilakukan dengan cara menebar jala di bagian pinggir
tambak kemudian mengambil udang di dalam jala baru ditimbang beratnya.
Sampling bertujuan untuk mengetahui berat rata-rata (average body weight),
pertambahan berat rata-rata harian (average daily gain) dan size udang.
Kegiatan sampling dapat dilihat pada Gambar 19a dan 19b. Amri dan Iskandar
(2008), menjelaskan sampling juga bertujuan untuk mengetahui nafsu makan
dan kesehatan udang.
46
Gambar 19a Gambar 19b.
Gambar 19a. Penimbangan udang pada saat sampling; 19b. Proses penjalaan udang pada saat sampling.
3.3.9 Pengelolaan kualitas air pada pendekatan sistem bioflok
Pengelolaan kualitar air di tambak dilakukan setiap hari yaitu parameter
yang perlu diperhatikan dalam budidaya udang dengan pendekatan Teknologi
Bioflok (BFT) dimana berbasis Probiotik Bacillus subtilis adalah parameter fisika,
(warna air, dan suhu), parameter kimia (DO, pH, NH3, NO2, P) Dari pengukuran
kualitas air yang dilakukan maka hasil pengukuran dapat digunakan untuk
memantau kondisi air dan tindakan apa yang harus dilakukan untuk menjaga
kualitas air agar bagus untuk digunakan sebagai media hidup udang dan udang
mampu dengan cepat tumbuh di lingkungan tersebut. Pengukuran kualitas air
ada yang dilakukan setiap hari yaitu, pH, kedalaman air, suhu, DO dan warna air,
sedangkan untuk kualitas air seperti NH3, NO2, Pospat dan diukur setiap 3 atau
4 hari sekali. Standar kualitas air yang ada di tambak ASP tersedia pada Tabel 5.
47
PARAMETER UNIT STANDARTpH 7,5 – 8,5DO Ppm > 3Salinitas Ppt 15 – 30 Suhu oC 28 – 31 Total alkalinitas Ppm 120 – 225 Bicarbonat alkalinitas Ppm < 200Total Hardness Ppm 3000 – 6000Ca Hardness Ppm < 1000Mg Hardness Ppm < 1250Total Plankton Cdl/ml 5 – 20 x 105
NH3 Ppm < 0,15NO2 Ppm < 0,15TOM Ppm < 50Residu Chlorine Ppm < 0,02Total Vibrio CFU/ml < 3 x 103
Total Vibrio alginoliticus CFU/ml < 103
Total Vibrio Parahaemoliticus
CFU/ml < 102
Total Luminesent Vibrio CFU/ml < 101
Tabel 5. Standar Kualitas Air di Tambak Adi Sarana Permai.Sumber: Tambak CV. Adi Sarana Permai
a. Suhu
Suhu mempunyai peranan penting dalam ekosistem perairan yang
berpengaruh terhadap viskositas, kelarutan gas-gas dalam air dan akan
mempengaruhi pertumbuhan organisme dalam air (Subarijanti, 1990). Suhu
dapat mempengaruhi proses metabolisme udang apabila perairan mengalami
penurunan maupun kenaikan suhu akan mempengaruhi nafsu makan udang
sehingga dapat menghambat pertumbuhan dari udang. Hasil pengamatan
kisaran suhu pada petak budidaya dengan pendekatan teknologi bioflok disajikan
pada Tabel 6. Schryver, et al. (2008), menyatakan pengaruh suhu kompleks
penelitian telah dilakukan pada sampel lumpur aktif untuk menemukan hubungan
antara suhu dan kekuatan atau morfologi flok. Menemukan bahwa deflocculation
dari flok terjadi pada suhu rendah (4°C) dibandingkan dengan suhu yang lebih
tinggi (18-20°C), mungkin karena penurunan aktivitas mikroba dalam flok.
48
Tabel 6. Data Pengukuran Suhu pada Petak Budidaya
Tanggal Suhu (°C)Pagi Siang
12 Feb 2011 29,3 30,113 Feb 2011 28,4 30,814 Feb 2011 29,2 31,915 Feb 2011 29,4 30,216 Feb 2011 29,4 30,117 Feb 2011 29,3 30,418 Feb 2011 29,0 Hujan Deras19 Feb 2011 29,0 30,920 Feb 2011 29,2 31,821 Feb 2011 29,4 31,022 Feb 2011 29,4 30,223 Feb 2011 28,2 Hujan Deras24 Feb 2011 28,0 Gerimis25 Feb 2011 28,9 Hujan Deras26 Feb 2011 28,3 28,5
b. Oksigen Terlarut/ Dissolved oxygen
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada
suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan
ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin
kecil (Effendi, 2003). Hasil pengukuran kisaran oksigen terlarut pada petak
budidaya dengan pendekatan teknologi bioflok disajikan pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil pengukuran kisaran oksigen terlarut pada petak budidaya
yakni berkisar antara 3,6 – 4,3 mg/L, ini menandakan kadar oksigen terlarut pada
petak berada pada keadaan optimal dalam membantu pembentukan bioflok dan
kadar oksigen terlarut pada kisaran diatas optimal untuk pertumbuhan udang,
namun ada sedikit penurunan oksigen terlarut pada tanggal 20 dan 21 ini
dikarenakan adanya 2 kincir mengalami kematian akibat terkena petir, sehingga
perlu adanya perbaikan.
49
Tabel 7. Data Pengukuran Oksigen Terlarut pada Petak Budidaya
Tanggal Oksigen Terlarut (ppm)Pagi Malam
12 Feb 2011 4,2 4,213 Feb 2011 4,0 4,014 Feb 2011 4,2 4,015 Feb 2011 4,0 4,016 Feb 2011 4,0 4,217 Feb 2011 4,2 4,118 Feb 2011 4,2 Hujan Deras19 Feb 2011 4,1 4,020 Feb 2011 3,9 3,621 Feb 2011 3.6 3.622 Feb 2011 4,2 3,923 Feb 2011 3,9 Hujan Deras24 Feb 2011 3,9 Gerimis25 Feb 2011 4,2 Hujan Deras26 Feb 2011 4,3 3,9
. Shirota (2008), menyatakan kondisi optimum oksigen terlarut dalam
pembentukan bioflok sekitar 4 -5 ppm. Schryver (2008), menjelaskan tingkat DO
tidak hanya penting bagi aktivitas metabolisme sel dalam flok aerobik tetapi juga
diduga mempengaruhi struktur flok. Kecenderungan yang lebih besar dan lebih
kompak flok pada konsentrasi DO lebih tinggi.
c. pH (Potensial Hidrogen)
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan,
didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara
matematis dinyatakan sebagai pH = log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion
hidrogen dalam mol per liter larutan (Barus, 2004). Kordi dan Tancung (2007),
menyatakan pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif,
malah dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah (keasaaman tinggi)
kandungan oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi
oksigen menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan menurun. Hal
50
yang sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha
budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9,0 dan kisaran
optimal adalah 7,5- 8,7. Hasil pengukuran kisaran pH pada petak budidaya
udang dengan pendekatan teknologi bioflok disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Data Pengukuran pH pada Petak Budidaya
Tanggal pHPagi Siang
12 Feb 2011 7,7 8,1
13 Feb 2011 7,8 8,2
14 Feb 2011 7,9 8,2
15 Feb 2011 7,8 8,2
16 Feb 2011 7,7 8,3
17 Feb 2011 7,8 8,2
18 Feb 2011 7,7 Hujan Deras
19 Feb 2011 7,7 8,1
20 Feb 2011 7,8 8,2
21 Feb 2011 7,7 8,3
22 Feb 2011 7,6 8,2
23 Feb 2011 7,7 Hujan Deras
24 Feb 2011 7,7 Gerimis
25 Feb 2011 7,7 Hujan Deras
26 Feb 2011 7,5 8,1
Kisaran pH pada petak budidaya dengan pendekatan bioflok pada
tambak ASP berkisara antara 7,5 – 8,3. Sesuai pernyataan berarti kadar pH
pada tambak berada pada kadar optimal yang tidak menyebabkan gangguan
pada udang. Untuk sistem budidaya bioflok pH cendrung stabil dan dengan
fluktuasi pH tidak terlalu drastis Shirota (2008), menyatakan bioflok terbentuk,
jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan
bergerak bersama arus. pH cendrung di kisaran 7 (antara 7,2 – 7,8) dengan
kenaikan pH pagi dan sore yang kecil (rentang pH antara 0,02 – 0,2).
51
d. Amnonia (NH3)
Effendi (2003), menjelaskan amonia bebas (NH3), yang tidak terionisasi
bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas amonia terhadap
organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut,
pH, dan suhu. Durborow, et al. (1997) menyatakan amonia (NH3) merupakan
produk akhir utama dalam pemecahan protein pada budidaya udang maupun
hewan akuatik lainnya. udang mencerna protein pakan dan mengekskresikan
amonia melalui insang dan feses. Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan
bervariasi tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem
budidaya.
Gambar 16. Siklus Nitrogen pada Kolam (Moriarty, 2009)
Keterangan: Udang dan ikan mengsekresikan amonium (NH4) dimana akan mengalami proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri autotrof dan dapat juga memanfaatkan bakteri hetertrog seperti Bacillus spp unutk mendegradasi/ dekomposisi limbah organik yang menumpuk di dasar kolam. Kedua proses ini membutuhkan oksigen yang tinggi dan unutk proses dengan bakteri heterotrof harus ada penambahan karbon.
52
Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan bervariasi tergantung jumlah
pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budaya (Durborow, et al. 1997).
Amonia merupakan senyawa yang sangat berbahaya karena dapat mengganggu
fungsi fisiologis dalam tubuh bagi organisme akuatik. Selain menggangu fungsi
dalam tubuh, konsentrasi amonia yang tinggi disuatu perairan dapat
menyebabkan penurunan beberapa parameter kualitas air lainnya. Meningkatnya
konsentrasi amonia akan diikuti dengan peningkatan pH air yang berimplikasi
pada penurunan kemampuan oksigen terlarut dalam air (Dissolved oxygen).
Peningkatan pH yang diikuti dengan penurunan konsentrasi oksigen
terlarut dapat menimbulkan gangguan fungsi fisiologi serta metabolisme seperti
respirasi dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Ketika terjadi gangguan seperti
ini, maka udang sangat rentan terhadap serangan mikroorganisme patogen dan
berpotensi mengalami kegagalan panen bahkan kerugian yang cukup besar.
Oleh karena itu, diperlukan suatu manajemen kualitas air yang baik sebagai
suatu alternatif pencegahan. Hasil pengukuran amonia pada petak budidaya
dengan pendekatan teknologi bioflok disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Data Pengukuran Amonia (NH3) pada Petak Budidaya
TanggalAmonia (NH3)
(ppm)12 Feb 2011 0.04216 Feb 2011 0.05620 Feb 2011 0.06526 Feb 2011 0.065
Berdasarkan hasil pengukuran kisaran amonia (NH3) pada petak
budidaya dengan pendekatan teknologi bioflok adalah 0,042 – 0,065 ppm.
Berdasarkan hasil terjadi peningkatan kadar amonia tiap pengukuran 4 hari
53
sekali selama 2 minggu dikarenakan masukan dari pakan yang diberikan makin
besar umur udang maka adanya peningkatan dalam pemberian pakan pelet.
Effendi (2003), mengatakan amonia bebas (NH3), yang tidak terionisasi
bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas amonia terhadap
organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut,
pH, dan suhu.
3.3.8 Kendala yang dihadapi
Kendala yang dihadapi di tambak ASP dengan penerapan teknologi
bioflok yang berbasis probiotik B. subtilis adalah:
1. Konstruksi petak yang sudah mulai mengalami penyusutan dalam
kekuatan menahan air, hanya dilakukan perbaikan – perbaikan kecil
pada plesteran yang retak retak belum dilakukan renovasi secara
keseluruhan sehingga pendekatan penerapan teknologi bioflok
kurang optimal.
2. Masih kurangnya pemahaman tentang bagaimana perhitungan C:N
rasio sehingga sulit menentukan kebutuhan karbon yang dibutuhkan
pada petak dan selama ini kebutuhan karbon hanya dilakukan pada
proses pengkulturan probiotik.
54
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapang yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil pengukuran bioflok di tambak ASP dengan menggunakan Imhoff
cone pada minggu pertama didapatkan jumlah floc sebesar 18 ml/liter,
pada minggu kedua sebesar 22 ml/liter, dan pada minggu ketiga 25
ml/liter.
2. Hasil pengukuran kualitas air pada tambak ASP dimana suhu berkisar
antara 28,3 – 31,9 0C, pH berkisar antara 7,5 – 8,3, oksigen terlarut
(DO) berkisar antara 3,6 – 4,3 mg/L, amonia 0,042 – 0,065 ppm.
3. Pemberian probiotik B. subtilis pada budidaya tambak dapat digunakan
dalam pendekatan pembentukan bioflok di tambak yang dimana hasil
pengamatan bioflok dibawah mikroskop ditemukan flok yang
mendominasi adalah komunitas flok alga (Flocs Algae) selain itu juga
ditemukan flok dari filamentous bakteri.
4.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian yang membandingkan tentang efisiensi produksi
udang vannamei dengan penggunaan teknologi bioflok dan tanpa bioflok.
2. Diperlukan kajian tentang jenis bakteri probiotik yang lebih efektif dan
efesien dalam pembentukan bioflok dan pemanfaatanya dalam budidaya
udang.
55
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K dan Iskandar Kanna. 2008. Budidaya Udang Vannamei. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 161 hal.
Anonim. 2009. Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotrof Dengan Biofloks. http://aiyushirota.com (6 Maret 2011).
Anonim. 2010. Bacillus subtilis. http://www.probiotic.org/bacillus-subtilis.htm (8 Maret 2011)
Adiwijaya, D., Sapto, P.R., E. Sutikno, Sugen dan Subiyakto, 2003. Budidaya udang vanammei (L. vannamei) sistim tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 hal
Avnimelech Yoram. 1999. Carbonr nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture 176: 227-235.
Avnimelech, Yoram 2000. Nitrogen control and protein recycle. Activated suspension pond. The Advocate April 23-24
Avnimelech, Yoram 2005a. Tilapia harvest microbial flocs in active suspension research pond. Global Aquaculture Advocate V 8 (5), 57-58
Avnimelech, Yoram, 2005b. Feeding of Tilapia on microbial flocs: Quantitive evluation using material balances. Paper presented at World Aquaculture 2005, May 9-13, Nusa Dua, Bali, Indonesia. Book of Abstracts, 57
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Program Studi Biologi USU FMIPA. Medan
Briggs, M., Funge-Smith, S., Subasinghe, R. and Philips, M. 2004. Introductions and movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the Pacific. Food and Agriculture Organization of The United Nations Regional Officer for Asia and The Pacific. R. P. 2004/10. Bangkok, FAO: 99 pp
Burhanuddin, 2009. Riset Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Dengan Umur Tokolan Berbeda. Seminar Nasional Hasil Riset Kelautan dan Perikanan.
56
Castex,M., Vincent U., Sylvie R.,.2006. Probiotik Bacteria Effect on Shrimp Survival. Aquaculture Health International: 28-32.
Durborow, R.,David M., Martin W. 1997. Ammonia in Fish Ponds. Southern Regional Aquaculture Center, SRAC publication 463.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Proses Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Fuller, R., 1989. Probiotics in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66, 365–378.
Holthuis, L.B. 1980. FAO species catalogue. Shrimps and prawns of the world. An annotated catalogue of species of interest to fisheries. FAO Fish. Synop., 125 (l): 271.
Irianto, Agus. 2003. Probiotik Untuk Akuakultur. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Kordi K. Dan Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air pada Kolam Budidaya. Rineka Cipta: Jakarta.
Liza,2011. Teknologi Bioflok. http://liza-ingazetteland.blogspot.com/2011/01/tugas -manbio-5-biofloc.html
Marsuki. 1986. Metodologi Riset. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. 130 hal
Maulani, N. 2009. Aplikasi teknologi bioflok dalam budidaya udang putih (Litopenaeus vannamei Boone.). Skripsi. ITB. Bandung.
Moriarty, D. 2009. Nitrifiers and Denitrifiers- Myths and Facts. Aqua Culture AsiaPasific Magazine. 32-35.
Muyder, E., Claessens L., Mekki H. 2010. Production of Shrimp (Litopenaeus vannamei) Without Marine Protein in a Bioflocs System. Aquafeed Magazine.
Nyan Taw & Saenphon Chandaeng, 2005. The role of R&D and commercial trials on efficiency and productivity of large integrated shrimp farm. Paper presented at World Aquaculture 2005, May 9-13, Nusa Dua, Bali, Indonesia. Book of Abstracts, 643.
Nyan Taw, Hendri F., Naira T., Kaesar S. 2009. Partial Harvest With BFT, a Promising System For Pacific White Shrimp. Worl Aquaculture. Mexico.
Ochoa J Leonel, Olmos Jorge. 2011. The functional property of Bacillus for shrimp feeds. http://www.aseanbiotechnology.info [10 Maret 2011].
57
Rubiyanto, W.H., dan Dian A.S. 2002. Udang vannamei, pembudidayaan dan prospek pasar udang putih tahan penyakit. Seri agribisnis penerbit Penebar Swadaja Jakarta Hal 11-13.
Sahidir, I. 2011. Teknologi Bioflok: Teori dan Praktek. http/www.bioteknology-tambak-info.com. diakses 10 Maret 2011.
Schryver, P.,R. Crab, T, Defoirdt, N. Boon, W. Vertraete. 2008. The Basic of Bio-Floc Tekchnology: The Added Value for Aquaqulture. Aquaculture. 277: 125 – 137.
Shirota, A. 2008. Concept Of Heterotrophic Bacteria System Using Bioflocs in Shrimp Aquaculture. Biotechnology Consulating and Trading.
Soeharsosno, H. 2010. Probiotik: Basis Ilmiah, Aplikasi dan Aspek Praktis.
Widya Padjajaran. Padjajaran.
Subarijanti, H. U. 1990. Diklat Kuliah Limnologi. LUW/ UNIBRAW/ FISH. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Suprapto, 2007. Pemahaman biofloc teknologi sebagai budidaya alternatif. Shrimp Club Indonesia.
Suprapto, 2011. Metode Analisis Parameter Kualitas Air Untuk Budidaya Udang. Shrimp Club Indonesia.
Surakhmad, W.1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Torsito Press. Bandung. 139 hal.
Tizol, R., Jaime, B., Laira, R., Pérez, L., Machado, R. and Silveira, R. 2004. Introduction in Cuba of L. vannamei. Quarantine I. Paper below Fishery Research Center (CIP).
Wyban, James A., Sweeney, James N., 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute. Hawai
58
LAMPIRAN
Lampiran 1. Denah Tambak CV. Adi Sarana Pemai
59
60