54931214-nafas-mulut

Upload: steve-azhari-p

Post on 30-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

AbstractThe impact of air pollution on the upper respiratory tract has become an issue of recent interst, leads mouth breating and abnormal growth and development of dentocraniofacial structure. The purposes of this study were imvestigate the sociodemographic population and malocclsion characteristics of hypertrophic tonsiloadenoid patients with mouth breating habit in ENT Departement of RSUPN Ciptomangunkusumo FKUI Jakarta, from 26th may 2003 to 31st July 2003. We classified the occlusions from dental cast and cephalometric radiograph based on asessessment of tonsiloadenoid size and questioner. The total patients were 87 (57 subjects: 22 females amd 35 males). Age was devided into 6 classes (5-5ys 11m; 6-8ys 11 m; 9-11ys 11m; 12-14ys 11m; 15-17ys 11m and >18ys). From total subjects with permanent dentitions 45, there were 4 subjects had normal occlusion. The protrusion of anterior teeth was the very frequent case of malocclusion characteristic. The conclusions were malocclusion and its characteristic of hypertrophy tonsiloadenoid patients was not specific. From this research it is needed further research.

Key word : Respiration, mouth breathing, dentocraniofacial.

AbstrakPolusi udara mengancam kesehatan saluran napas, mengakibatkan berbagai penyakit saluran napas atas yang dapat mencetuskan kebiasaan buruk bernapas melalui mulut, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dentokraniofasial. Telah dilakukan suatu penelitiam yang bertujuan mengetahui gambaran sosidemografi dan karakteristik maliklusi penderita hipertropi tonsiloadenoid dengan kebiasaan buruk bernafas melalui mulut di poliklinik THT RSUPN Ciptomangunkusumo FKUI Jakarta, dari tanggal 26 Mei 2003 sampai 31 juli 2003. Subyek penelitian dan data-data diperoleh melalui seleksi pemeriksaan, penggunaan kuesioner, model gigi dan sefalometri. Diperoleh 57 subyek penelitian dari 87 penderita hipertropi tonsiloadenoid yang datang. Dari 57 subyek tersebut terdapat 22 subyek perempuan dan 35 laki-laki. Umur subyek dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu 5-5 tahun 11 bulan; 6-8 tahun 11 bulan; 9-11 tahun 11 bulan;12-14 tahun 11 bulan; 15-17 tahun 11 bulan dan > 18 tahun. Dari 57 subyek terdapat 45 subyek periode gigi tetap, 4 diantaranya mempunyai oklusi normal. Karekteristik maluklusi terbanyak adalah gigi anterior atas protrusi. Kesimpulannya adalah pada penderita hipertropi tonsiloadnoid, maloklusi dan karakteristiknya tidak khas. Perlu penelitian lebih lanjut.

Kata kunci : respirasi, napas mulut, dentokraniofasial.

PendahuluanKemajuan pembangunan di berbagai bidang, memberi dampak pada kesehatan. Polusi udara mengancam kesehatan saluran napas, mengakibatkan berbagai penyakit saluran napas atas yang dapat mencetuskan kebiasaan buruk bernapas melalui mulut. Bila hal ini terjadi selama masa tumbuh kembang akan mempengaruhi pertumbuhan dentokraniofasial. Banyak penderita maloklusi kelas II divisi 1 dan maloklusi Kelas I tipe 2 yang mempunyai kebiasaan buruk bernapas melalui mulut (kebiasaan napas mulut).

Moyers (1988)(1) dan Graber, dkk (1997)(2) mengatakan bahwa kebiasaan napas mulut dapat menyebabkan penyimpangan oklusi, yaitu gigi anterior atas protrusi atau maloklusi kelas I tipe 2 atau maloklusi kelas II divisi 1. Rakosi,dkk (1993) berpendapat kebiasaan napas mulut dapat mengakibatkan maloklusi dengan gigi anterior atas retrusi, atau berjejal atau protrusi. Oleh karena ada perbedaan pendapat, perlu dicari kejelasannya. (3)

McNamara (1981) dalam penelitiannya menemukan banyak manifestasi deviasi tumbuh kembang kraniofasial pada penderita dengan kebiasaan napas mulut, tetapi yang menonjol adalah bidang mandibula yang curam. (4) Kesimpulan yang sama juga dikemukakan dari hasil penelitian oleh Limme (1981),(5) Gray (1993), (6) dan wollens dkk (1991) (7).

Penelitian Soeselowati (1988) pada anak-anak yang mengalami pembesaran tonsil faringeal (adenoid) menyimpulkan terdapat perubahan bentuk dan posisi kompleks maksilomandibular dalam arah anteroposterior, superoinferior dan transversal pada anak-anak dengan pembesaran adenoid. Frekuensi gigitan silang posterior bertambah seiring dengan bertambah besarnya adenoid. Pada pembesaran adenoid 45% sampai 55% mulai terjadi perubahan pada posisi dan morfologi kompleks maksilomandibular. Penelitian ini dilakukan menggunakan foto radiografi sefalogran dan model gigi. (8)Linder-Aronson dan Woodside (2000) mengatakan penyebab yang paling sering dari obtruksi nasofaringeal adalah hipertrofi adenoid. Pada saat lahir ukuran adenoid kecil, membesar dan tumbuh mengisi ruang nasofaringeal pada umur 3-5 tahun, sehingga mengurangi ukuran saluran napas nasofaringeal dan mencapai puncaknya pada umur 5 dan 10-11 tahun. Adenoid dalam keadaan normal mengecil pada masa pubertas. Pada beberapa anak adenoid tidak mengecil sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebiasaan napas mulut. (9)

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan ingin diketahui bagaimanakah gambaran sosiodemografi penderita kebiasaan napas mulut dilihat dari usia dan jenis kelamin serta jumlahnya dan bagaimanakah gambaran maloklusi penderita kebiasaan buruk napas mulut di Indonesia. Selain itu ingin diketahui bagaimanakah penyimpanan pertumbuhan dentokraniofasial yang disebabkan oleh kebiasaan napas mulut.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sarana bagi dokter gigi dan ortodontis untuk mendeteksi adanya obstruksi saluran napas atas hidung maupun faring pada penderita maloklusi, dan meng-indikasikan perawatan, baik perawatan di bidang orthodonti maupun dibidang THT. Dengan demikian, sehingga kualitas hidup penderitapun dapat meningkat.

DentokraniofasialKompleks maksilomandibular bersama tulang-tulang splanknokranium merupakan satu kesatuan tulang yang membentuk muka secara keseluruhan. Komponen tulang dentokraniofasial ini bersama otot dan jaringan lain mempunyai kesatuan fungsi yang sangat berpengaruh pada tumbuh kembang setiap bagian tulang, saling terkait dan saling mempengaruhi. Salah satu fungsi tersebut adalah fungsi pernapasan. (1)Obstruksi Saluran Napas Atas (OSNA)Osna adalah adanya sumbatan pada struktur saluran napas atas, sehingga ruang untuk mengalirnya udara inspirasi mengecil yang menyebabkan penderita mengalami gangguan pernapasan. Osna menurut struktur yang terkait, dan dapat menyebabkan kebiasaan napas mulut, dibagi menjadi dua, yaitu sumbatan faring menurut letaknya ada sumbatan nasofaring dan orofaring. (10) Pernapasan merupakan salah satu fungsi dari pernapsan merupakan salah stu fungsi dari struktur dentokraniofasial dan dalam tumbuh kembang dentokraniofasial ia merupakan kunci dari wajah. (1)

Sumbatan hidung :secara anatomi hidung terbagi dua, yaitu hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung atau kavum nasi. Kavum nasi terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh septum nasi. Apabila terjadi penyimpangan pada struktur nasal, sehingga terjadi sumbatan atau obstruksi, maka terjadi gangguan respirasi nasal. Resistensi atau tahanan aliran udara nasal adalah rasio tekanan udara yang melalui nasofaring terhadap kecepatan aliran udara nasal selama siklus respirasi. (11)

Sumbatan faring :Adenoid dan tonsil disebut sebagai penyebab terjadinya sumbatan saluran napas atas kronik sehingga terjadi sumbatan menetap yang dapat menimbulkan kebiasaan napas mulut. (12) Bila mengalami infeksi berulang dapat terjadi hiperplasia, akibatnya dinding faring menebal dan rongga faring menyempit, menjadi sumbatan untuk aliran udara respirasi. Individu dengan kondisi seperti ini akan membuka mulutnya agar dapat bernapas lebih longgar. (10)

Obstruksi Saluran Napas Atas (OSNA) dan tumbuh kembang dentokraniofasialKomponen-komponen dentokraniofadial dalam melakukan fungsi dan tumbuh kembangnya saling terkait dan saling menunjang, menghasilkan bentuk muka dan profil harmonis dan seimbang. Fungsi-fungsi tersebut adalah pernapasan, mengunyah, menelan, bicara dan kebiasaan buruk napas mulut, mengisap jari, mendorong lidah dan sebagainya.

Linder-Aronson & Woodside (2000) menyimpulkan hasil studinya, bahwa karakteristik morfologi muka anak-anak dengan obstruksi napas hidung, tinggi total muka dan muka bawah lebih penjang dibanding anak-anak kelompok kontrol. Demikian juga rahang lebih retrognatik dan kedalaman wajah dari arah sagital lebih pendek. Penampilan fasial penderita sering disebut adenoid facies. (9)

Infeksi yang berulang dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan pembesaran adenoid dan pembengkakan mukosa hidung, sehingga mengembangkan kebiasaan napas mulut karena berkurangnya kuantitas bernapas melalui hidung. Keadaan lain ialah deviasi septum nasi dan kontraksi lengkung maksila, juga dapat menyebabkan kebiasaan napas mulut. Untuk menunjang pernapasan mulut, posisi kepala menjadi tegak dan lidah turun, sehingga berpengaruh pada tumbuh kembang mandibula, karena posisi mandibula menjadi turun. Sudut mandibula terhadap kranium menjadi besar. (2)

Bacon, dkk (1989) meneliti karekteristik morfologi penderita sleep apnea syndrome (SAS) melalui gambaran sefalogram. Kesimpulannya adalah pada penderita SAS palatum mole panjang, dimensi sagital dari muka atas dan basis kranium anterior kurang, yang berhubungan dengan rongga faring sempit, serta bertambahnya tinggi muka bawah berhubungan dengan posisi dagu dan lidah di posterior. (13)

Bahan dan MetodePada penelitian ini variabel bebas adalah Osna yaitu pembesaran tonsilo-adenoid derajat T2 atau T3, dengan indikasi operasi dan terungkap mempunyai kebiasaan napas mulut kronis melalui kusioner. Variabel tergantung adalah morfologi dentokraniofasial dalam arah sagital (anteroposterior), yang dapat dinilai melalui model gigi dan gambaran sefalogram lateral. Penilaian melalui model gigi yaitu periode perkembangan oklusi (gigi sulung, gigi bercampur dan gigi tetap), penggolongan oklusi (oklusi normal dan maloklusi) dan kareakteristik maloklusi.

Penelitian ini dilakukan dengan rancangan potong lintang. Sampel penelitian adalah pasien pembesaran tonsilo-adenoid indikasi operasi, usia 6-30 tahun dari populasi pengunjung Klinik Bagian THT RSUP CIPTOMANGUNKUSUMO FKUI, pada bulan Juni dan Juli 2003. Kriteria inklusi: ras deutromalayid, usia 5-30 tahun, laki-laki maupun perempuan, kesehatan umum:ada riwayat infeksi berulang saluran saluran napas atas, yang terungkap melalui kuesioner, diagnosis hipertropi tonsiloadenoid, dan gigi molar satu permanen serta gigi insisif sudah erupsi. Kriteria eksklusi:mempunyai riwayat OSNA karena sebab lain selain hipertropi tonsilo-adenoid, mempunyai kebiasaan buruk oral lain selain napas mulut, pernah menderita sakit asma, pernah atau sedang dirawat orthodonti, ada karies gigi, pencabutan gigi dan ada kelainan gigi atau tulang rahang yang mempengaruhi pengukuran.

Alat dan bahan penelitian meliputi alat dan bahan untuk mencetak gigi geligi; sefalogram lateral serta model gigi atas dan bawah; U Max Power Look 1000 scanner dan program V-Ceph.

Cara penelitian, pertama pemilihan subyek penelitian dengan tonsilo-adenoid T2 T3 oleh dokter spesialis/residen di Klinik THT RSUPN Cipto Mangunkusumo FKUI Jakarta. Melalui kusioner subyek dideteksi apakah mempunyai kebiasaan napas mulut saat tumbuh kembang, sehingga OSNA-nya dapat dideteksi terpapar atau tidak. Kemudian pembuatan foto sefalograf, pencetakan model gigi, scanning sefalograf, penilaian oklusi serta pengukuran variabel sefalometri.

Hasil penelitianHasil seleksi dari 87 penderita tonsilandenoid dengan indikasi operasi menunjukkan 57 penderita yang memenuhi kriteria inklusi subyek penelitian. Mengacu usia tumbuh kembang manusia, penderita dikelompokkan menjadi 6 kelompok umur yaitu 5-5 tahun 11 bulan; 6-8 tahun 11 bulan; 9-11 tahun 11 bulan; 12-14 tahun 11 bulan; 15-17 tahun 11 bulan dan sama dan lebih dari 18 tahun.

Tabel 1.Sebaran frakuensi penderita napas mulut dibagian THT RSUPN CM FKUI menurut kelompok umur dan jenis kelamin.___________________________________________________________Kelompok Umur Perempuan Laki-laki Total n % n % N &___________________________________________________________5-5 th 11 bln 2 3,51 2 3,51 4 7,026-8 th 11 bln 4 7,029 15,79 13 22,819-11 th 11 bln 7 12,28 11 19,30 18 31,5812-14 th 11 bln 6 10,53 5 8,77 11 19,3015-17 th 11 bln1 1,75 1 1,75 2 3,51>=18 th2 3,51 7 12,289 15,79____________________________________________________________Total 22 38,60 35 61,40 57 100,00____________________________________________________________

Analisis model gigi rahang atas dan rahang bawah

Periode perkembangan gigi secara garis besar dibagi menjadi periode gigi bercampur dan periode gigi tetap. Penderita yang terbanyak pada kelompok periode gigi tetap sebanyak 30 atau 52,6%

Tabel 2Sebaran subyek penelitian napas mulut-DKF di bagian THT RSUPN CM FKUI menurut periode gigi_________________________________Periode N %_________________________________Gigi sulung 12 21.05Gigi bercampur15 26.32Gigi tetap 30 52.63_________________________________Total 57 100_________________________________

Kelompok subyek dengan periode gigi bercampur dan gigi tetap yang berjumlah 45, digolongkan menjadi oklusi Normal dan Maloklusi dengan beberbagai ciri. Oklusi normal dengan profil muka lurus berjumlah 4 subyek. Maloklusi dengan berbagai ciri ada 41 subyek, dengan catatan seorang subyek dapat menderita lebih dari satu ciri.

Tabel 3.Karakteristik maloklusi penderita napas mulut dibagian THT RSUPN CM FKUI_________________________________________________Karakteristik N_________________________________________________1. Proturusi Anterior Atas 252. Gigi Anterior Atas dan bawah berjejal 113. Protrusi Bimaksiler 94. Diastema Anterior 75. Gigitan Terbuka Anterior 56. Gigi Anterior Bawah Berjejal 57. Gigi Anterior Atas Berjejal 58. Gigitan Dalam Anterior 29. Gigitan silang Anterior 2__________________________________________________

PembahasanSebaran penderita kebiasaan napas mulut (umur, jenis kelamin serta jumlahny)

Proporsi penderita yang dapat menjadi subyek penelitian adalah 45 subyek dari 87 penderita, sebesar 51,72%. Subyek penelitian mayoritas adalah anak-anak dam praremaja dari umur 6 sampai 14 tahun 11 bulan sebanyak 42 subyek, subyek terbanyak pada kelompok umur 9-11 tahun 11 bulan. Jumlah subyek laki-laki lebih banyak dari subyek perempuan hampir dalam berbagai kelompok umur. Dari jumlah total 57 subyek, terdapat 22 subyek perempuan (38,6%) dan 35 subyek laki-laki (61,4%).Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang manifestasinya tidur dengan mulut terbuka, mayoritas laki-laki. Hal inilah yang mendasari peneliti dari China yaitu Liu dkk (200) dan Tsuchinya (1992) dari Canada untuk melakukan penelitian OSA hanya pada penderita laki-laki. (14,15)

Lowe dkk (1997) melakukan penelitian pada penderita OSA diperoleh subyek penelitian 85% laki-laki. Dari penelitian ini dan penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penderita hipertropi tonsiloandenoid mayoritas adalah laki-laki sehingga apabila merawat penderita maloklusi, kondisi tonsiloadenoid perlu diperhatikan, terutama pada penderita laki-laki. (16)

Infeksi kronis dinding faring dapat menyebabkan hipertropi tonsiloadenoid, sehingga terjadi penyempitan saluran napas, saat tidur akan menimbulkan bunyi yang biasa disebut mengorok. Tidur mengorok dengan mulut terbuka merupakan manifestasi dari Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS). Menurut Nieminen dkk (2001) tidur mengorok dengan mulut terbuka secara reguler setiap harinya dialami oleh 10% anak-anak prasekolah. (17) Pada penelitian ini penderita yang diperoleh dari Poliklinik THT RSUPN CM FKUI mayoritas adalah anak-anak dan remaja awal dari usia 6 tahun sampai 14 tahun 11 bulan 42 subyek, sedangkan subyek usia remaja akhir ada 2 subyek, dan dewasa 9 subyek. Hal ini menunjukkan keluhan tonsiloadenoid menurun pada usia remaja dan dewasa, sesuai dengan teori pustaka, bahwa masa kanak-kanak akan mengecil pada saat remaja sekitar umur 13 tahun. (18)

Subyek yang termasuk periode gigi sulung 12(21,05%); gigi bercampur 15%(26,05) dan gigi tetap 30 (52,63%). Dengan demikian, disimpulkan bahwa penderita yang datang dengan keluhan hipertropi tonsiloadenoid mayoritas mempunyai periode gigi tetap da gigi bercampur dengan gigi molar satu dan insisif satu telah erupsi. Hal ini memungkinkan melakukan berbagai analisis dan pengukuran parameter.

Bila memperhatikan umur subyek penelitian mayoritas masih anak-anak dan praremaja, maka masih ada kesempatan untuk melakukan perawatan maloklusi dengan memanfaatkan potensi tumbuh kembang yang masih ada. Hal positif lain untuk perawatan adalah periode gigi tetap ini merupakan periode gigi tetap awal, dengan demikian masalah pada gigi geligi dan lengkungnya belum menjadi parah.

Gambaran maloklusi dan karakteristiknyaSteiner menetapkan hubungan maksila terhadap mandibula melalui sudut ANB. Rerata sudut ANB 2 derajat. Klasifikasi maloklusi dari Steiner adalah bila sudut ANB 2 derajat, menunjukkan hubungan rahang kelas I; bila sudut ANB lebih dari 2 derajat, menunjukkan hubungan rahang cenderung Kelas II; dan bila sudut ANB lebih kecil dari 2 derajat menunjukkan hubungan rahang Kelas III. (19)

Klinik Orthodonsi RSGM FKUI menetapkan penggolongan klasifikasi maloklusi berdasarkan sudut ANB sebagai berikut. Kelas I sudut ANB 2-5 derajat; Kelas II sudut ANB lebih dari 5 derajat dan Kelas III sudut ANB kurang dari 2 derajat. Bila sudut ANB lebih dari 4 dan kurang dari 5, dikatakan cenderung Kelas II. Berdasarkan klasifikasi ini subyek penelitian pada setiap kelompok umur digolongkan maloklusinya. Ternyata secara umum maloklusi subyek penelitian bervariasi dengan mayoritas adalah Kelas I sebesar 49,12%, kelas II sebesar 35,09% dan kelas III sebesar 15,79%. Dengan demikian pula pada setiap kelompok unur, kecuali kelompok umur 5-5 tahun 11 bulan dan 6-8 tahun 11 bulan jumlah maloklusi Kelas II lebih banyak.

Maloklusi dibagi menjadi 9 karakteristik maloklusi. Pada satu subyek dapat mempunyai lebih dari satu karakter maliklusi. Karakteristik maloklusi yang terbanyak adalah protusi gigi anterior atas.

Pada penderita hipertropi tonsiloadenoid, keadaan rongga faring serta kavum nasi menyempit akan menyebabkan pernapasan melalui hidung berkurang, kemudian mengembangkan pola pernapasan mulut. Pola napas mulut atau napas hidung kombinasi napas mulut yang berlangsung lama pada masa tumbuh kembang, mengurangi pertukaran udara baersih di rongga hidung, sehingga tumbuh kembang sinus maksilaris terganggu. sinus maksilaris yang seharusnya berkembang ke arah mediolateral dan vertikal ke inferior, tetap kecil, akibatnya rahang atas kurang berkembang, menjadi sempit dengan palatum dalam. Hal ini berdampak buruk pada tumbuh kembang struktur dentokraniofasial, pada gigi geligi yang mengakibatkan maloklusi. Dentoalveolar, lengkung rahang baik dari ukuran maupun bentuknya menjadi tidak harmonis dengan ukuran gig geligi, sehingga mengakibatkan gigi geligi kekurangan tempat untuk erupsi dengan baik di rongga mulut, gigi anterior erupsi lebih ke labial, timbullah kondisi gigi protusi. Ketidakharmonisan ukuran gigi dengan rahang dapat juga menimbulkan gigi berjejal.

Pola napas mulut membuat bibir kurang aktif, tonusnya berkurang sehingga gigi anterior, dapat berakibat gigi menjadi protrusi atau terjadi diastema anterior. Pola napas mulut juga membuat gigi-gigi posterior erupsi berlebihan, akibatnya terjadi gigitan terbuka anterior. Kurangnya tumbuh kembang rahang atas dapat berakibat gigitan silang anterior.

KesimpulanGambaran penderita dengan kebiasaan napas mulut di poliklinik THT RSUP CM FKUI, ternyata penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, umur penderita bervariasi mulai 5 sampai 30 tahun, dengan penderita terbanyak umur 6 sampai 14 tahun 11bulan, penderita napas mulut terdapat pada periode gigi sulung (21,05%); periode gigi bercampur (26,32%) dan periode gigi tetap (52,63%). Pada penelitian ini ternyata penderita dengan oklusi normal 8,89% dan maloklusi 91,11%. Maloklusi penderita berdasarkan Steiner bervariasi, terbanyak adalah maloklusi kelas I (49,12%); kelas II (35,09%) dan kelas III (15,19). Maloklusi penderita dengan kebiasaan napas mulut tidak khas, meskipun subyek penelitian dengan maloklusi Kelas I terbanyak, tetapi subyek penelitian dengan maloklusi Kelas II dan III juga cukup banyak. Karakteristik maloklusi penderita bervariasi terbanyak protrusi gigi anterior atas. Pada satu subyek dapat mempunyai lebih dari satu karakter. Karakteristik maloklusi tidak khas, meskipun terbanyak adalah protrusi gigi anterior atas.

SaranPenelitian lanjutan masih dapat dilakukan untuk memperoleh banyak informasi dentokraniofasial dari subyek dengan kebiasaan napas mulut pada penderita tonsiloadenoid, baik arah sagital, vertikal dan transversal. Apabila subyek penelitian lebih banyak, maka dapat diperoleh data pada usia berapa penyimpangan tmbuh kembang dentokraniofasial terjadi yang disebabkan oleh kebiasaan napas mulut.

Daftar Pustaka1. Moyers RE. Handbook of ortodontics for the student and general practitioner. Chicago: Year Book Med. Pub.;1988.p.:53,83, 157-9, 206-8.

2. Graber TM, Rakosi T, Petrovic AG. Dentofacial orthopedics with functional appliances, 2nd.ed. St.Louis: Mosby; 1997.p.7-11.

3. Rakosi T, Jonas I, Graber TM. Orthodontic diagnosis. Color atlas of dental medicine. New York: Thieme Med.Pyb.;1993.p.93-4;160-4.

4. McNamara JA Jr. Influence of respiratory pattern on craniofacial growth. Angel Orthod 1981;51(4):269-300.

5. Limme M. Orthodontic treatment in mouth breathing. Acta Otorhinolaryngol Belg 1993;47(2): 263-71.

6. Gray LP. Result of 310 cases of rapid maxillary expansion selected for medical reasons. J Laryngol Otol 1975; 89(6):601-14.

7. Wollens AG, Goffart Y, Lismonde P, Limme M. Therapeutic maxillary expansion. Rev Belge Med Dent 1991; 46(4):51-8

8. Soesilowati. Gambaran kompleks Maxillomandibular pada anak-anak dengan pembesaran tonsilla pharyngealis. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 1988

9. Linder-Aronson S, woodside DG. Excess face height malocclusion: etiology, diagnosis, and treatment. Chicago: Queentessence Pub. Co, Inc.; 2000.

10. Rusmarjono, Soepardi K. Penyakit hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Editor. Buku ajar ilmu kesehatan: telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.p.110-22;173-84.

11. Ung N, Shapiro PA, Shapiro G, Trask G.A quatitative assessment of respiratory patterns amd their effects on dentofacial development. Am J Orthod Dentofac Ortop 1990; 90(6): 523-32

12. Brodsky L. Tonsilitis, tonsillectomy, dan adenoidectomy. In: Bailey BJ, Editor. Head and neck sugery-otolaryngology. Philadelpia: JB Lippincott Co.;1993.p.833-47

13. Bacon WH, Turlot JC, Krieger J, Stierle JL. Cephalometric evaluation of pharyngeal obstructive factors in patients with sleep apneas syndrome. Angle Ortho 1989; 60 (2): 115-22

14. Liu Y, Lowe AA, Zeng X, Fu M, Feetham JA. Cephalometric comparisons beetwen Chinese and Caucasian patients with obstructive sleep apnea. Am J Orthod Dentofac Orthod 2000; 117:479-85

15. Tsuchiya M, Lowe AA, Pae K, Feetham JA. Obstructive sleep apnea subtypes by cluster analysis. Am J Orthop 1992; 101:533-42

16. Lowe AA, Ozbek MM, Miyamto K, Pae EK, Fleetham JA. Cephalometric an demographic characteristics of obtructive sleep apnea: An evaluation with partial least squares analysis. Angel Orthod 1997;67(2):143-54

17. Nieminen P, Tolonen U, loppponen H. Snoring and obstructive sleep apnea children. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2000;126:481-6

18. Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and neck surgery-otolaryngology, Vol.1. Philadelphia: JB Lippncott Co.; 1993.p. 598-611

19. Jacobson. radiographic cephalometry:from basic to videomaging. Chicago: Quintessence Pub. Co, Inc;1995.p.124-6.