5. indeks keberlanjutan lahan sawah berdasarkan … · berdasarkan zona agroekologi 5.1 rasional...

63
5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Permasalahan yang bersifat multidimensi tersebut pada hakekatnya pertama kali dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan sumberdaya lahan sawah menjadi tertekan, sehingga terjadi penyusutan lahan karena adanya konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri. Apabila tekanan penduduk terhadap lahan sawah terus meningkat, cepat atau lambat daya dukung lahan sawah akan terlampaui. Terlampauinya daya dukung lahan sawah ini tentunya dapat berdampak pada timbulnya masalah degradasi lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dampak multidimensi tersebut berpotensi mengancam keberlanjutan lahan sawah. Terancamnya keberlanjutan lahan sawah dapat mengancam kelangsungan hidup manusia generasi mendatang. Oleh karena itu, keberlanjutan lahan sawah sangat berkaitan dengan daya dukungnya dalam menopang kelangsungan hidup manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti yang telah dikaji di bab sebelumnya (bab 4), daya dukung lahan sawah dapat berperan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah di suatu wilayah. Keunggulan daya dukung lahan sawah tersebut, namun demikian, belum dapat menjelaskan status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan kondisi ekologisnya. Keterbatasan ini disebabkan oleh basisdata kependudukan dikelola berdasarkan batas wilayah administrasi, bukan berdasarkan pada batas ekologi. Salah satu cara untuk mengetahui status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan kondisi ekologisnya adalah dengan melakukan pemetaan indeks keberlanjutan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi. Zona agroekologi lahan sawah yang telah didefinisikan di bab 4 mencerminkan pewilayahan lahan sawah yang sesuai dengan potensi lahan dan daya dukung di suatu wilayah. Karena pertambahan penduduk, agroekosistem dalam zona agroekologi lahan sawah menjadi semakin tertekan, sehingga dapat menimbulkan perubahan atribut dimensi lingkungan biofisik (ekologis), ekonomi,

Upload: dangquynh

Post on 21-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

130

5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI

5.1 Rasional

Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek

lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Permasalahan yang bersifat

multidimensi tersebut pada hakekatnya pertama kali dipicu oleh pertambahan

jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan sumberdaya

lahan sawah menjadi tertekan, sehingga terjadi penyusutan lahan karena adanya

konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri. Apabila tekanan

penduduk terhadap lahan sawah terus meningkat, cepat atau lambat daya dukung

lahan sawah akan terlampaui. Terlampauinya daya dukung lahan sawah ini

tentunya dapat berdampak pada timbulnya masalah degradasi lingkungan biofisik,

ekonomi, dan sosial-budaya. Dampak multidimensi tersebut berpotensi

mengancam keberlanjutan lahan sawah. Terancamnya keberlanjutan lahan sawah

dapat mengancam kelangsungan hidup manusia generasi mendatang. Oleh

karena itu, keberlanjutan lahan sawah sangat berkaitan dengan daya dukungnya

dalam menopang kelangsungan hidup manusia dari satu generasi ke generasi

berikutnya.

Seperti yang telah dikaji di bab sebelumnya (bab 4), daya dukung lahan

sawah dapat berperan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah di

suatu wilayah. Keunggulan daya dukung lahan sawah tersebut, namun demikian,

belum dapat menjelaskan status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan

kondisi ekologisnya. Keterbatasan ini disebabkan oleh basisdata kependudukan

dikelola berdasarkan batas wilayah administrasi, bukan berdasarkan pada batas

ekologi. Salah satu cara untuk mengetahui status keberlanjutan lahan sawah

yang sesuai dengan kondisi ekologisnya adalah dengan melakukan pemetaan

indeks keberlanjutan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi.

Zona agroekologi lahan sawah yang telah didefinisikan di bab 4

mencerminkan pewilayahan lahan sawah yang sesuai dengan potensi lahan dan

daya dukung di suatu wilayah. Karena pertambahan penduduk, agroekosistem

dalam zona agroekologi lahan sawah menjadi semakin tertekan, sehingga dapat

menimbulkan perubahan atribut dimensi lingkungan biofisik (ekologis), ekonomi,

Page 2: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

131

dan sosial-budaya yang menjadi kaidah pertanian berkelanjutan. Untuk

mendeteksi perubahan setiap dimensi pertanian berkelanjutan tersebut diperlukan

indikator yang tepat, yaitu yang dapat mencirikan gejala kondisi keberlanjutan

lahan sawah yang mulai terancam. Menurut Rao dan Rogers (2006), indikator

keberlanjutan harus dari atribut yang dapat diukur dan dikuantifikasikan yang

sesuai dengan tujuannya. Dalam penelitian ini, indikator dimensi ekologis

dicerminkan oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah, seperti ketersediaan

air, bahan organik tanah, ketersediaan unsur hara tanah, bahaya banjir,

pencemaran air tanah, serangan hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain.

Indikator dimensi ekonomi dan sosial-budaya dicerminkan oleh kondisi dan nilai

manfaat ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat yang hidupnya tertumpu pada

produksi lahan sawah. Indikator dimensi ekonomi yang penting adalah

keuntungan yang diperoleh petani, modal usaha tani, pemasaran hasil produksi,

ancaman konversi lahan, dan lain-lain. Indikator sosial-budaya yang dapat

mencerminkan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah motivasi bertani,

kearifan lokal, adopsi teknologi, peran aktif kelompok tani (Poktan), penguasaan

lahan, dan lain-lain. Indikator multidimensi tersebut dapat diseleksi dengan

analisis faktor, sehingga diperoleh indikator utama yang digunakan sebagai dasar

pemetaan indeks keberlanjutan dengan menggunakan perangkat SIG.

Peta indeks keberlanjutan digunakan untuk menentukan status keberlanjutan

lahan sawah. Indikator utama yang mencakup dimensi ekologis, ekonomi, dan

sosial-budaya di setiap zona agroekologi pada peta indeks keberlanjutan tersebut

digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk merumuskan

kebijakan teknis dalam mendukung penataan ruang yang berkaitan dengan upaya

untuk menjaga ketahanan pangan, terutama dari aspek ketersediaan pangan

(beras).

5.2 Tinjauan Pustaka

5.2.1 Konsep Indikator Keberlanjutan Pertanian

Istilah indikator dalam keberlanjutan pertanian dapat dianalogikan dengan

indikator kesehatan manusia. Apabila kita merasa sakit demam, suhu badan akan

naik. Kenaikan suhu badan tersebut, namun demikian, belum dapat memastikan

Page 3: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

132

jenis penyakit apa yang kita derita. Yang pasti kesehatan kita mulai terganggu.

Contoh lainnya adalah tekanan darah. Apabila kita pergi ke dokter karena merasa

kesehatan kita terganggu, dokter dipastikan akan mengukur tekanan darah kita.

Tekanan darah yang naik merupakan indikator kesehatan jantung kita terganggu.

Menurut Bach (2005), indikator adalah suatu parameter yang digunakan

untuk menyederhanakan, mengkomunikasikan, dan mengkuantifikasikan suatu

masalah. Indikator harus dapat memberikan informasi tentang makna fenomena

yang terdekteksi. Suhu badan kita merupakan informasi sangat penting bagai

kesehatan kita. Demikian juga dalam kesehatan lingkungan, banyaknya

kandungan muatan sedimen air sungai memberikan informasi penting tentang

terganggunya ekologi daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu. Dalam contoh

tersebut, indikator muatan sedimen air sungai mampu mengkomunikasikan

masalah kesehatan kita atau lingkungan DAS. Dalam hal ini, komunikasi berperan

dalam menyederhanakan fenomena yang kompleks. Ringkasnya, identifikasi

indikator lingkungan dimaksudkan untuk mengkuantifikasi aspek penting

lingkungan yang dapat menyederhanakan masalah-masalah kompleks sehingga

informasi permasalahannya mudah dikomunikasikan untuk dicarikan solusinya.

Bach (2005) menjelaskan konsep mengidentifikasi indikator keberlanjutan

lingkungan berdasarkan hubungan sebab akibat antara tenaga pemicu (driving

force), kondisi tekanan (pressure state), dampak (impacts), dan respon

(responses), yang dikenal dengan model DPSIR (Driving Force-Pressure-State-

Impacts-Responses) (Gambar 53). Model DPSIR dimaksudkan untuk

menginventarisasi dan mengidentifikasi indikator keberlanjutan lingkungan.

Tenaga pemicu adalah aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan perubahan

lingkungan berbagai sektor, seperti pertanian, transportasi, industri, dan lain-lain.

Dampak adalah hasil dari tekanan tenaga pemicu pada ekosistem dan kesehatan

manusia.

Model DPSIR telah banyak diaplikasikan oleh organisasi-organisasi dunia

seperti PBB, Bank Dunia, FAO untuk mengidentifikasi indikator keberlanjutan

lingkungan. Contoh aplikasi model DPSIR terbaru adalah indeks keberlanjutan

lingkungan (Environmental Sustainability Index, ESI) yang dikembangkan oleh

Forum Ekonomi Dunia (Wolrd Economic Forum, WEF) yang bekerjasama

Page 4: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

133

dengan Yale University dan Columbia University, Amerikat Serikat ( Esty, 2005).

ESI menggunakan indikator yang disusun berdasarkan model DPSIR, yang

dikelompokkan menjadi lima kategori/komponen tematik, yaitu 1) sistem

lingkungan, 2) stres lingkungan, 3) kerentanan manusia (human vulnerability), 4)

kapasitas sosial dan kelembagaan, dan 5) pelayanan global (global stewardship).

Contoh indikator dari setiap komponen untuk ESI disajikan pada Tabel 28.

Seperti yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, pertanian berkelanjutan

pada hakekatnya mengandung empat aspek, yaitu (1) kesadaran ekologi

(ecological sound), (2) bernilai ekonomi (economic viability), (3) berkeadilan

sosial (social justice), dan (4) berperikemanusiaan (humaneness). Definisi

tersebut memberikan petunjuk bahwa pertanian berkelanjutan harus menekankan

kesadaran ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Pengalaman pada era revolusi

hijau di Indonesia telah membuktikan bahwa pembangunan pertanian lebih

banyak mengedepankan aspek produksi (ekonomi) telah membawa dampak

degradasi lahan dan lingkungan. Selain itu, masalah kemiskinan masih tetap

Tenaga Pemicu Perkembangan penduduk Sektor : - Pertanian - Industri - Transportasi - Perumahan

Tekanan Akitivias manusia yang mempengaruhi lingkungan: - Eksploitasi hutan - Perubahan land use - Resiko teknologi - Penggunaan pupuk kimia

Kondisi Perubahan lingkungan terukur: - Kualitas air - Pelandaian produksi padi - Kesuburan tanah - Spesies endemik - Emisi CO2

Respon - Mitigasi bencana alam - Penataan ruang - Pemupukan berimbang - Konservasi tanah & air - Reforma agraria - Program keluarga berencana

Dampak Pengaruh perubahan lingkungan - Pelandaian produksi padi - Kekeringan - Banjir - Urbanisasi

Gambar 53. Kerangka model DPSIR (modifikasi dari Bach, 2005)

Page 5: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

134

membelenggu kehidupan petani. Kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi kalau

penerapan revolusi hijau juga memperhatikan aspek ekologis dan sosial-budaya.

Tabel 28. Contoh komponen, indikator, dan variabel untuk keberlanjutan

lingkungan (modifikasi dari Esty et al., 2005)

Kompoenen Indikator Variabel

Sistem lingkungan Kualitas udara Konsentrasi NO2, SO2

Keragaman hayati Spesies burung terancam (%)

Lahan % lahan terancam konversi

Kualitas air Konsentrasi oksigen terlaurut

Jumlah air Ketersediaan air tawar

Pengurangan stres lingkungan Pengurangan polusi udara Emisi NO2, CO

Pengurangan stres ekosistem Laju deforestasi

Pengurangan tekanan penduduk Kepadatan penduduk

Pengelolaan sampah Laju pengolahan sampah

Pengurangan stres air Penggunaan pestisida per ha

Pengelolaan sumberdaya alam Produktivitas

Pengurangan kerentanan manusia Kesehatan lingkungan % kematian karena infeksi pernapasan

Makanan pokok manusia % kurang gizi, % penduduk akses air

Kerentanan bencana alam % korban tewas karena banjir, kekeringan

Kapasitas sosial dan kelembagaan Pengaturan lingkungan % Kawasan lindung, indeks korupsi

Efisiensi lingkungan

Respon sektor swasta % perusahaan/lembaga tersetifikasi ISO

Ilmu dan teknologi % peneliti

Pelayanan global Kerjasama internasional Keikutsertaan organisasi lingkungan dunia

Emisi gas rumah kaca Emisi karbon/kapita

Pengurangan tekanan lingkungan Ekpor SO2, % impor barang tercemar

lintas negara

Dampak negatif penerapan revolusi hijau juga telah melanda dunia.

Kegagalan revolusi hijau di dunia ditunjukkan oleh masih banyaknya penduduk

yang kelaparan dan kurang gizi, selain terjadinya degradasi lahan dan lingkungan

(Dalgaard et al., 2003). Kegagalan revolosi hijau ini memberikan ide bagi

Gliessman (1998; dalam Gliessman, 2002) untuk mengemukakan konsep

agroekologi yang bertujuan memfasilitasi terwujudnya pertanian berkelanjutan.

Konsep agroekologi ini digunakan oleh Rao dan Rogers (2006) untuk

mengembangkan metode kajian pertanian berkelanjutan.

Page 6: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

135

Kajian pertanian berkelanjutan berdasarkan konsep agroekologi dari

pemikiran Rao dan Rogers (2006) mengacu model DPSIR yang dikemukakan

oleh Bach (2005). Pada model DPSIR untuk mengkaji keberlanjutan pertanian

yang berdasarkan konsep agroekologi, hubungan sebab akibat dikelompokkan

menjadi empat komponen, yaitu agroekosistem, stres agroekosistem, kerentanan

agroekosistem, dan pengelolaan agroekosistem. Indikator tenaga pemicu

diarahkan ke lima komponen agroekosistem, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya

manusia, sumberdaya keuangan, sumberdaya infrastruktur, dan sumberdaya sosial.

Indikator tekanan berkaitan dengan stres agroekosistem yang dicirikan dengan

mayor atribut multidimensi keberlanjutan (produktivitas, stabilitas, reliabilitas,

resilien, dan adaptabilitas). Indikator kondisi (state) dan dampak (impact)

menentukan kepekaan agroekosistem dan masing-masing dicirikan dengan

indikator lingkungan dan indikator sosial-ekonomi. Indikator respon

mendefinisikan instrumen kebijakan dan pengelolaan, serta strategi kelembagaan

untuk menjaga keberlanjutan agroekosistem pada jangka panjang. Variabel yang

mencirikan setiap indikator diidentifikasi pada Tabel 29. Variabel-variabel

tersebut bisa distandarkan, kemudian dirata-ratakan untuk memperoleh nilai

indikator. Untuk menentukan indeks keberlanjutan, nilai atribut indikator dapat

dirata-ratakan, seperti yang ada pada ESI. Atribut indikator (variabel) yang

dapat diagregasi dalam zona agroekologi dan dapat diintegrasikan dengan

perangkat SIG.

5.2.2 Konsep Indeks Keberlanjutan Pertanian

Indeks keberlanjutan adalah nilai agregasi dari indikator-indikator yang

menunjukkan kelangsungan fungsi suatu sistem, sehingga dapat dimanfaatkan

untuk pengkajian terpadu dari keberlanjutan suatu sistem tersebut (Rao dan

Rogers, 2006). Indeks keberlanjutan tersebut ditentukan dari integrasi nilai atribut

–atribut indikator dengan menggunakan berbagai metode.

Pada Indeks keberlanjutan lingkungan (ESI) yang dikembangkan oleh Esty

et al. (2005), indikator yang digunakan sebanyak 21 indikator yang terdiri dari 76

variabel. Nilai indeks pada ESI merupakan nilai rata-rata dari 21 indikator, yang

diidentifikasi dengan model DPSIR. ESI digunakan sebagai alat kebijakan untuk

Page 7: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

136

mengidentifikasi masalah-masalah lingkungan yang menjadi perhatian dalam

lingkup nasional dan negara lain. Dengan menggunakan ESI, negara dimudahkan

untuk mengambil kebijakan dalam menangani masalah-masalah lingkungan yang

paling praktis. Hal ini dapat dilakukan karena ESI memberikan pedoman untuk

mengontrol polusi dan tantangan pengelolaan sumberdaya alam, serta

memberikan informasi penting tentang kondisi lingkungan di negara lain yang

memerlukan bantuan keuangan dalam mengatasi permasalahannya. Kegunaan ESI

yang penting adalah dalam hal memberikan informasi kondisi lingkungan negara-

negara di dunia, yang dirangking tidak hanya pada produk domestik bruto (GDP:

Gross Domestic Product) tetapi juga pada tujuan kebijakan penanganan masalah

lingkungan.

Tabel 29. Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Rao dan Rogers, 2006) Kompoenen Indikator Variabel

Agroekosistem Modal sumberdaya alam Agroklimat , kesuburan tanah, luas lahan (ha)

Modal sumberdaya manusia Jumlah petani, jumlah petani produktif

Modal keuangan Modal usaha tani (Rp/ha), subsidi pupuk (Rp/kg)

Modal infrastruktur Kualitas irigasi, aksesibilitas, fasilitas pascapanen,

perolehan pupuk, pasar

Modal sosial Poktan, kearifan lokal, pemilikan lahan, motivasi

bertani

Stres agroekosistem Kualitas air Kadar salinitas (ppm)

Konversi lahan Potensi konversi lahan

Produksi Produktivitas (ton/ha), keuntungan diperoleh (Rp/ha)

Stres tanaman % daerah serangan hama dan penyakit tanaman

Degradasai tanah Kandungan C-organik tanah (%), erosi (ton/ha)

Kerentanan agroekosistem Lingkungan Penggunaan air tanah (l/ha), % daerah rawan banjir,

erosi (ton/ha), penurunan air tanah

Ekonomi Peningkatan pendapatan petani

Sosial Fragmentasi lahan (ha), penguasaan lahan

Pengelolaan agroekosistem Ilmu dan teknologi Adopsi teknologi, tingkat pendidikan

Kelembagaan dan sosial Keaktifan petani dalam keanggotaan Poktan,

Pelayanan lembaga Uji kualitas tanah, uji kualitas air, rekomendasi pupuk,

rekomendasi dosis pestisida, introduksi bibit unggul,

penyuluhan

Page 8: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

137

Tidak seperti hanya dengan kajian keberlanjutan lingkungan yang telah

banyak diinisiatif oleh lembaga internasional dan nasional, kajian keberlanjutan

pertanian masih diinisiatif oleh para ahli secara individu. Dengan demikian,

metode yang ada berbeda-beda, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga grup,

yaitu kajian berdasarkan agroekosistem, faktor total produktivitas, dan tingkat

usahatani (Rao dan Rogers, 2006). Di Indonesia, kajian indeks keberlanjutan

yang berkaitan dengan pembangunan pertanian telah dilakukan oleh beberapa

ahli. Penilaian indeks keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil telah

dilakukan oleh Susilo (2003), dengan menggunakan Multidimensional Scaling

(MDS). Agar lebih mudah diaplikasikan oleh para praktisi di daerah, Susilo

(2006) telah membuat Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil

(IBPK) dengan menggunakan metode Sidik Kriteria Ganda (SKG). Salah satu

keunggulan metode SKG selain mudah dan mempunyai basis teori yang kuat, juga

dapat menangani berbagai jenis data (kuantitatif dan kualitatif) serta berbagai

jenis variabel yang diukur dalam satuan yang berbeda-beda. Penilaian IBPK

terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu 1) inventarisasi indikator yang relevan

berdasarkan dimensi ekologis, ekonomi, sosial, dan kelembagaan; 2) penapisan

indikator berdasarkan aspek potensi dan dampak pemanfaatan sumberdaya alam

dan lingkungan untuk menjamin kehidupan masyarakat pulau-pulau kecil, dan 3)

penilaian IBPK dengan menggunakan model penjumlahan terbobot (MJB) yang

dirumuskan sebagai berikut:

IBPKm= ∑WiXim

Wi = bobot standar setiap atribut indikator ke-i

Xim = nilai skor standar setiap atribut indikator ke-i pada pulau ke-m.

Penentuan nilai bobot dalam rumus IBPKm berdasarkan wawancara atau

diskusi dengan para praktisi pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Untuk

masing-masing atribut mencerminkan pentingnya atribut tersebut di dalam

menentukan keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil.

Indeks keberlanjutan pertanian yang berkaitan dengan sistem ketersediaan

beras (IKSKB) telah diteliti oleh Nurmalina (2008). Penelitian IKSKB

dimaksudkan untuk menentukan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras

berbasis wilayah. Analisis indeks keberlanjutan sistem ketersediaan beras ini

Page 9: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

138

menggunakan berbagai data statistik yang dikelompokkan menjadi 5 dimensi,

yaitu ekologi, ekonomi, sosial-budaya, kelembagaan, dan teknologi; yang

kesemuanya terdiri dari 60 atribut indikator (Tabel 30). Penilaian indeks

keberlanjutan sistem ketersediaan beras dilakukan melalui empat tahapan

kegiatan, yaitu 1) penentuan atribut indikator, 2) penilaian setiap atribut dalam

Tabel 30. Dimensi dan indikator sistem ketersediaan beras (Nurmalina, 2008)

Dimensi Indikator

Ekologi % luas hutan, dosis pupuk/ha, suhu tahunan, curah hujan tahunan, jumlah bulan kering, Kesesuaian lahan, kemampuan lahan, sistem irigasi, produktivitas padi, alih fungsi lahan, Pencetakan sawah, puso karena banjir, puso karena kekeringan, puso karena jasad pengganggu, status lahan

Ekonomi Efisiensi ekonomi, tingkat keuntungan, PDRB, produksi padi, nilai tukar petani, upah riil buuruh, jumlah rumah tangga petani dengan luas lahan > 0,5 ha, jumlah tenaga kerja pertanian di subsektor tanaman pangan, harga eceran beras, % penduduk miskin, % pangsa produksi padi, banyak desa yang memiliki sarana pemasaran produksi

Sosial –budaya % tingkat partisipasi konsumsi beras wilayah perkotaan, % tingkat partisipasi konsusmi beras wilayah pedesaan, % desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, penduduk, jumlah rumah tangga petani padi, rumah tangga pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, pertumbuhan konsumsi per kapita, perempuan berpendidikan, pendidikan formal, desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tanman pangan

Kelembagaan Perkembangan KUD, kelembagaan sekolah tinggi penyuluhan pertanian, sekolah pertanian pembangunan, Jumlah unit pelaksana teknis Balitbang (BPTP), jumlah unit pelaksana teknis ditjen BP tanaman pangan (BPSBTPH), lembaga keungan mikro, kelompok usaha pertanian, jumlah kelompok taruna tani, junlah kelompok wanita tani

Teknologi Jumlah mesin pengolah lahan jenis traktor roda dua, jumlah alat penanaman, jumlah alat pemupukan ure tablet, pompa air, jumlah mesin pemberantas jasad penggangu, jumlah mesin pemberantas jasad pengganggu jenis emposan tikus (fumigator). Jumlah mesin perontok padi, jumlah mesin pengering gabah, jumlah mesin pembersih gabah, jumlah mesin penyosoh beras, jumlah mesin penggiling padi, jumlah mesin rice miling unit (RMU), jumlah mesin pemecah kulit gabah

Page 10: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

139

skala ordinal (skoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, 3)

mereduksi dimensi atribut indikator dengan metode MDS seperti yang digunakan

oleh Susilo (2003), dan 4) menilai indeks keberlanjutan berdasarkan nilai atribut

indikator terpilih yang telah distandarkan dengan menggunakan rumus:

Xik sd = nilai skor standar wilayah ke-i pada atribut ke-k, k = 1,2,.....,p

Xik = nilai skor wilayah ke-i pada atribut ke-k, k = 1,2,..........p

Xk = nilai tengah skor pada setiap atribut ke-k, k = 1,2,..........p

Xk = simpangan baku pada setiap atribut ke-k, k = 1,2,..........p

Tabel 31. Faktor kunci dan alternatif kebijakan (Nurmalina, 2008)

Faktor kunci Strategi Kebijakan

Produktivitas Pengelolaan tanaman padi terpadu

Produksi padi Peningkatan indeks pertanaman

Konversi lahan sawah dan pencetakan sawah Lahan berkelanjutan

Kelembagaan pemerintah Peningkatan optimalisasi

Ketersediaan sistem irigasi Peningkatan investasi irigasi

Kesesuaian lahan Pencetakan sawah disesuaiakan

dengan zona agroklimat yang sesuai

untuk tanaman padi

Pertumbuhan penduduk Keluarga Berencana (KB)

ditingkatkan

Pertumbuhan konsumsi per kapita Diversifikasi pangan

Hasil penelitian IKSKB yang dilakukan oleh Nurmalina (2008) menemukan

delapan faktor kunci untuk menentukan strategi kebijakan dalam menjaga

keberlanjutan sistem ketersediaan beras di Indonesia (Tabel 31). Faktor kunci

tersebut merupakan permasalahan utama yang harus diatasi agar keberlanjutan

sistem ketersediaan beras terjaga. Penerapan kebijakan yang ditawarkan ini,

namun demikian, tidak dapat menjelaskan lokasi lahan sawah yang menghadapi

permasalahan keberlanjutan yang disebabkan faktor produktivitas, produksi padi,

Xik - Xk Sk

Xik sd =

Page 11: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

140

konversi lahan, sistem irigasi, dan kesesuaian lahan. Kelemahan ini disebabkan

oleh kajian yang dilakukan berdasarkan pada batas wilayah adminisistrasi, bukan

berdasarkan batas dimensi ekologi.

5.3 Bahan dan Metode

Indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dipetakan pada skala 1: 250. 000.

Satuan pemetaan menggunakan satuan pemetaan zona agroekologi lahan sawah

yang telah dibahas di bab 4. Analisis IKLS dilakukan melalui beberapa tahapan

kegiatan, yaitu penentuan indikator, penapisan indikator, standarisasi nilai atribut

indikator, dan penilaian IKLS.

5.3.1 Penentuan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah

Analisis IKLS menggunakan 28 atribut indikator atau variabel yang

mencakup 11 atribut indikator dimensi biofisik (ekologi), 6 atribut indikator

ekonomi, dan 11 atribut indikator sosial-budaya (Tabel 32). Indikator

keberlanjutan lahan sawah tersebut diturunkan dari model DPSIR: Driving

Force-Pressure-State-Impact-Response (Bach, 2005). Dalam model DPSIR

(Tabel 33), 28 atribut indikator IKLS diturunkan dari komponen tenaga pemicu

(Driving force): agroekosistem, komponen tekanan (Pressure): stres

agroekosistem, komponen kondisi (State)-dampak (Impact): kerentanan

agroekosistem, dan komponen respon (Response): pengelolaan agroekosistem.

Komponen agroekosistem terdiri dari 5 indikator: modal sumberdaya lahan (6

variabel: ketersediaan air, N-total, P-total, K-total, penguasaan lahan), modal

sumberdaya manusia (2 variabel: pendidikan petani, usia petani), modal keuangan

(1variabel: modal usahatani), dan modal infrastruktur (3 variabel: kondisi irigasi,

fasilitas pengolahan pascapanen, pemasaran), dan modal sosial (5 variabel:

motivasi bertani, persepsi terhadap harga padi, persepsi terhadap konversi lahan,

keanggotaan Poktan, budaya lokal). Komponen stres agroekosistem terdiri dari 6

indikator : kualitas air (1 variabel: bebas bahaya salinitas), stres lahan (1 variabel:

potensi konversi lahan), produksi (1variabel: produktivitas lahan), stres tanaman

(1 variabel: bebas serangan hama dan penyakit tanaman), degradasi kesuburan

tanah (3 variabel: kandungan C-organik tanah, P-tersedia, K-tersedia).

Page 12: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

141

Tabel 32. Indikator keberlanjutan lahan sawah

Faktor/Variabel Indikator Satuan Sumber Data

Faktor Biofisik:

Ketersediaan air (X1) Skala ordinal Peta Irigasi (PU, 2003), pengamatan lapang

Kualitas air (X2) ppt Pengukuran di lapangan : water checker

Bebas bahaya banjir (X3) % area aman Pengamatan lapangan, peta banjir (PU,2007)

Bebas serangan hama & penyakit tanaman (X4) % area aman Pengamatan lapangan

Kandungan C- organik tanah (X5) % Analisis laboratorium: Walkley & Black

Kandungan hara N-total (X6) % Analisis laboratorium: Kjeldahl

Kandungan hara P-tersedia (X7) ppm Analisis laboratorium: Bray I

Kandungan hara P-total (X8) Skala ordinal Peta status hara P & K (Puslitanak, 2006)

Kandungan hara K-tersedia (X9) ppm Analisis laboratorium: Bray I

Kandungan hara K-total (X10) Skala ordinal Peta status hara P dan K (Puslitanak, 2006)

Kondisi irigasi (X11) % Pengamatan lapang, Peta Irigasi (PU, 2003) Faktor Ekonomi:

Perolehan keuntungan (X12) % keuntungan Wawancara dengan petani, data sekunder

Modal usahatani (X13) skala ordinal Wawancara dengan petani, data sekunder

Perolehan pupuk (X14) skala ordinal Wawancara dengan petani, data sekunder

Potensi konversi lahan (X15) km Wawancara dengan petani, pengukuran di lapangan

Fasilitas pengolahan pascapanen (X16) skala ordinal Wawancara dengan petani, data sekunder

Pemasaran (X17) skala ordinal Wawamcara dengan petani, data sekunder Faktor Sosial -Budaya:

Motivasi petani bertani (X18) skala ordinal Wawancara dengan petani

Persepsi terhadap harga padi HPP (X19) skala ordinal Wawancara dengan petani

Persepsi terhadap konversi lahan sawah (X20) skala ordinal Wawancara dengan petani

Keanggotaan Poktan (X21) skala ordinal Wawancara dengan petani

Adopsi teknologi (X22) skala ordinal Wawancara dengan petani

Fungsi penyuluhan (X23) skala ordinal Wawancara dengan petani

Penguasaan lahan (X24) skala ordinal Wawancara dengan petani

Fragmentasi lahan (X25) ha Wawancara dengan petani, pengukuran lapangan

Pendidikan petani (X26) skala ordinal Wawancara dengan petani

Usia petani (X27) tahun Wawancara dengan petani

Budaya lokal (X28) skala ordinal Pengamatan lapangan, wawancara dengan petani

Komponen kerentanan agroekosistem terdiri dari 3 indikator: lingkungan

(1 variabel: bebas bahaya banjir), ekonomi (1 variabel: perolehan keuntungan),

sosial (1 variabel: fragmentasi lahan). Komponen pengelolaan agroekosistem

terdiri dari 2 indikator: ilmu dan teknologi (1 variabel: adopsi teknologi),

Page 13: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

142

kelembagaan dan sosial (1 variabel: fungsi penyuluhan). Variabel indikator

tersebut dinyatakan dalam satuan berbeda-beda. Penilaian indikator menggunakan

kriteria keberlanjutan lahan sawah (Lampiran 3).

Tabel 33. Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan lahan sawah

Komponen Nomor

Indikator

Indikator Variabel (atribut)

1 Modal sumberdaya lahan Ketersediaan air (X1), N-total (X6), P-total (X8), K-total (X10), penguasaan lahan (X24)

2 Modal sumberdaya manusia Pendidikan petani (X28), usia petani (X27)

Agroekosistem 3 Modal keuangan Modal usaha tani (X15)

4 Modal infrastruktur Kondisi irigasi (X11), fasilitas pengolahan pascapanen (X16), pemasaran (X17)

5 Modal sosial-budaya Motivasi bertani (X20), persepsi terhadap harga padi (X21), persepsi terhadap konversi lahan (X19), keanggotaan dalam Poktan (X21), budaya lokal (X28),

6 Kualitas air Bebas bahaya salinitas (X2)

7 Stress lahan Potensi konversi lahan (X17)

Stres agroekosistem 8 Produksi Produktivitas lahan (X12), perolehan keuntungan (X14)

9 Stres tanaman Serangan hama dan penyakit tanaman (X4)

10 Penurunan kesuburan tanah Kandungan C-organik tanah (X5), P-tersedia (X7), K-tersedia (X9)

Kerentanan

agroekosistem

12 Lingkungan Bebas bahaya banjir (X3),

13 Ekonomi Perolehan keuntungan (X12)

14 Sosial Fragmentasi lahan (X25)

Pengelolaan

agroekosistem

15 Ilmu dan teknologi Adopsi teknologi (X22)

16 Kelembagaan dan sosial Fungsi penyuluhan (X23), perolehan pupuk (X14)

5.3.2 Penapisan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah

Penapisan variabel indikator dimaksudkan untuk menyeleksi variabel-

variabel indikator, sehingga diperoleh indikator utama yang mempengaruhi

keberlanjutan pertanian lahan sawah. Proses penapisan variabel indikator

menggunakan metode statistik analisis faktor seperti yang dijelaskan oleh

Srivasta dan Carter (1983). Model matematik analisis faktor dapat dinyatakan

dengan rumus:

X = µ + Λƒ + ε

Page 14: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

143

X = matrik variabel indikator keberlanjutan (p x n)

µ = matrik nilai tengah indikator keberlanjutan (p x n)

Λ = λ jk matrik faktor loading variabel indikator keberlanjutan (p x k)

ƒ = matrik faktor (laten variables) (k x n)

ε = matrik galat dengan ukuran k x n

p = banyaknya variabel indikator keberlanjutan

n = ukuran sampel

k = banyaknya faktor yang dipilih.

Penetapan banyaknya faktor yang dipilih dalam model ini berdasarkan

nilai eigen matrik korelasi > 1.0 (Srivasta dan Carter, 1983). Untuk

memaksimalkan nilai keragaman, dilakukan rotasi faktor dengan menggunakan

metoda varimax. Dalam penelitian ini, variabel indikator yang memiliki faktor

loading ≥ 0.50 di setiap faktor dipilih sebagai indikator utama se tiap ZAELS.

Penghitungan nilai parameter untuk model analisis faktor dimaksud

menggunakan program statistik Systat versi 12.0.

5.3.3 Standarisasi Data Atribut

Karena variabel indikator memiliki satuan yang berbeda-beda, maka data

atribut indikator perlu distandarkan. Standarisasi data atribut diperlakukan di

setiap variabel indikator (x) ke-j pada hasil pengukuran sampel ke-i hingga ke-n.

Rumus yang digunakan untuk menstandarkan nilai atribut dimaksud adalah:

Xji = nilai standar pada variabel indikator utama ke-j pada sampel ke-i

xji = nilai asli variabel indikator utama ke-j pada sampel ke-i

min xj = nilai minimum variabel indikator utama ke-j

maks xj= nilai maksimum variabel indikator utama ke-j

Melalui standarisasi seperti ini diperoleh data atribut dalam skala yang

sama, sehingga dapat digunakan sebagai input data untuk penilaian IKLS. Nilai

atribut standar yang dihasilkan memiliki kisaran 0 – 1.

(xji - min xj)

(maks xj - min xj)

Xji =

Page 15: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

144

5.3.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah

Nilai Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah (IKLS) didasarkan pada nilai

respon variabel-variabel indikator utama untuk masing-masing faktor yang diteliti,

yaitu faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Penghitungan nilai

IKLS di setiap zona agroekologi menggunakan nilai standar dari variabel-

variabel indikator utama ketiga faktor tersebut.

Nilai IKLS memiliki kisaran angka 0 – 1 (jika dikalikan 100 kisarannya

menjadi 0 - 100). Kisaran nilai indeks ini menunjukkan bahwa semakin besar

nilai indeks semakin baik tingkat keberlanjutannya. Sebaliknya, semakin rendah

nilai indeks semakin buruk tingkat keberlanjutan. Dalam penelitian ini, nilai

IKLS diklasifikasikan menjadi 4 kelas status keberlanjutan, yaitu: 0-25 (buruk),

>25-50 (kurang), >50-75 (cukup), >75-100 (baik).

5.3.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah

Pengkategorian nilai IKLS di setiap zona agroekologi menggunakan analisis

diskriminan. Dengan analisis diskriminan, status keberlanjutan lahan sawah di

setiap zona agroekologi dapat dikelompokkan apakah termasuk kategori buruk,

kurang, cukup, atau baik. Model analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS

di setiap zona agroekologi merupakan fungsi linear, yang menurut Supranto

(2004) dapat dinyatakan sebagai berikut:

Di = nilai (skor) diskriminan dari kategori IKLS ke-i

i = 1, 2, ........ n. D merupakan variabel tak bebas

Xij = variabel (atribut) indikator utama ke-j dari kategori IKLS ke-i

bj = koefisien diskriminan dari atribut indikator utama ke-j

Penghitungan nilai parameter statistik seperti koefisien diskriminan dan nilai

eigen, korelasi kanonik, Wilk’s lamda (λ), serta nilai F untuk uji nyata statistik

model menggunakan perangkat lunak Systat versi 12.0. Menurut Supranto (2004),

nilai eigen mencerminkan tingkat superior fungsi diskriminan. Korelasi kanonik

mengukur seberapa kuat asosiasi antara skor diskriminan dan kelompok (kategori).

Wilk’s lamda nilainya antara 0 dan 1. Kalau nilai besar (mendekati 1)

Di = bo + b1Xi1 + b2Xi2 + b3Xi3 ......+ bjXij + .......+ bkXik

Page 16: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

145

menunjukkan bahwa rata-rata antar kelompok tidak berbeda, sebaliknya kalau

angkanya kecil (mendekati 0), rata-rata kelompok sangat berbeda, artinya fungsi

diskriminan yang diperoleh adalah cukup nyata untuk membedakan suatu

kelompok.

5.4 Hasil dan Pembahasan

5.4.1 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah

Hasil analisis faktor (Tabel Lampiran 4-12) menunjukkan bahwa setiap

zona agroekologi lahan sawah memiliki indikator utama yang berbeda-beda.

Indikator utama hasil seleksi dengan faktor analisis tersebut didasarkan pada nilai

muatan faktor (faktor loading) minimal 50%. Nilai varian faktor dari indikator

utama untuk semua zona agroekologi berkisar dari 71.20% hingga 94.2%. Nilai

varian minimum ditunjukkan oleh indikator utama keberlanjutan lahan sawah di

zona B (S1/IP200), sedangkan terbesar di zona F (S2/IP100).

Berdasarkan hasil analisis diskriminan (Tabel 34), nilai IKLS dari indikator

utama yang terseleksi dengan analisis faktor dapat dikategorikan menjadi dua

kelas, yaitu “cukup berkelanjutan” (nilai IKLS rata-rata: 52% - 60%) dan “kurang

berkelanjutan” (nilai IKLS rata-rata: 43% - 50%) . Indikator utama tersebut ada

yang berperan sebagai faktor penghambat dan pendukung keberlanjutan lahan

sawah. Indikator utama yang berperan sebagai faktor penghambat ditunujukkan

dengan nilai koefisien diskriminan negatif, sedangkan yang berperan sebagai

faktor pendukung ditunjukkan dengan nilai koefisien diskriminan positif.

Kategori IKLS dari hasil analisis diskriminan dipetakan pada Gambar 54.

Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa status keberlanjutan lahan sawah

di P. Jawa dengan luas total 3,101,354 ha terdiri dari 2,867,055 ha (92%) dengan

kategori “cukup berkelanjutan” dan 234,299 ha (8%) dengan kategori ”kurang

berkelanjutan”. Lahan sawah yang termasuk kategori ”cukup berkelanjutan”

meliputi zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S2/IP100), dan D (S2/IP300), G

(S3/IP300) dan H (S3/IP200); sedangkan yang termasuk kategori ”kurang

berkelanjutan” terdiri dari zona E (S2/IP200), F (S2/IP100), dan I (S3/IP100).

Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 35, zona agroekologi lahan sawah

yang memiliki status ”cukup berkelanjutan” tersebut sebagian besar merupakan

dataran aluvial volkanik dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts),

Page 17: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

146

Tabel 34. Hasil analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS berbasiskan zona agroekologi

Zona Agroekologi

Kategori IKLS

Fungsi Diskriminan (Di) Wilk’s λ

F-rasio

Nilai-p

A (S1/IP300) Cukup berkelanjutan

0.39X1 + 0.34X2 – 0.02X3 + 0.01X4 – 0.16X5 – 0.16X6 – 0.06 X7 + 0.16X8 – 0.11X9 – 0.71X10 – 0.16X12 – 0.01X13 – 1.24X14 + 0.16X15 + 1.24X16 + 0.24X17 + 0.21X18 + 0.20X20 + 0.50X21 + 0.31X22 + 0.14X23 – 1.64X24 – 0.05X25 – 0.08X26 – 0.17X27 – 0.50X28; (Rk = 0.94)

0.11 29.55 0.00

B (S1/IP200) Cukup berkelanjutan

– 0.06X1 + 0.18X2 – 0.23X3 – 0.24X5 – 0.40X6 – 0.04X7 + 0.64X8 – 0.34X9 + 0.21X10 + 0.23X11 – 0.16X13 – 0.24X14 – 0.20X15 + 0.19X16 + 0.21X17 + 0.09X18 – 0.03X19 + 0.21X20 + 0.18X21 + 0.57X23 – 0.60X24 – 0.24X26 - 0.23X27 + 0.34X28; (Rk = 0.85)

0.29 30.63 0.00

C (S1/IP100) Cukup berkelanjutan

–7.53X1 + 6.05X2 + 1.68X3 + 0.03 X4 – 0.46X5 – 4.09X6 + 4.04X7 + 0.24X8 – 7.35X9 + 0.21X10 – 0.23X11 – 0.16X12 – 0.09X13 – 0.24X14 + 0.27X15 + 0.19X16 + 0.21X17 + 0.09X18 – 0.80X19 + 0.25X20 + 0.20X21 + 0.31X22 + 0.57X23 – 0.70X24 -– 0.05X25 – 0.27X26 – 0.23X27 + 0.64X28; (Rk = 0.98)

0.03 23.85 0.01

D (S2/IP300) Cukup berkelanjutan

1.35X1 + 2.76X2 + 1.21X3 + 0.72X4 + 2.91X5 + 4.23X6 + 0.07X7 + 0.10X8 + 2.64X9 + 0.51X10 + 1.89X11 – 3.23X12 - 0.87X13 - 0.89X14 – 0.65X15 + 1.43X16 + 0.65X17 + 0.09X18 - 0.85X19 + 0.35X20 + 0.22X21 + 0.33X22 + 0.67X23 - 0.71X24 - 0.15X25 - 0.21X26 - 0.25X27 - 0.66X28; (Rk = 0.95)

0.02 20.53 0.06

E (S2/IP200) Kurang berkelanjutan

0.45X2 + 0.10X3 + 2.07X4 - 1.52X5 – 0.94X6 – 0.15X7 – 0.23X8 – 3.95 X9 – 0.20X10 + 1.51X11 – 0.09X12 – 0.45X13 – 0.78X14 - 0.40X15 + 1.32X16 + 2.34X17 + 0.23X18 - 0.45X19 + 1.10X20 - 0.62X24 - 1.18X26 – 0.75X27 + 2.91X28; (Rk = 0.97)

0.06 15.25 0.00

F (S2/IP100) Kurang berkelanjutan

– 0.67 X1 + 1.39X3 – 0.23X4 + 1.04X4 – 7.04X5 – 12.40X6 – 0.54X7 – 4.14X8 – 4.05 X9 + 0.67X10 – 0.77X11 – 2.59X12 – 1.46X13 – 0.78X14 + 1.31X15 + 0.45X16 + 0.38X17 + 0.77X18 – 1.45X19 – 0.33X20 – 0.41X21 + 1.66X22 – 0.23X23 – 0.45X24 + 0.33X25 – 0.33X26 – 0.44X27 + 1.31X28 (Rk = 0.98)

0.04 25.46 0.00

Page 18: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

147

Tabel 34 (lanjutan)

Zona Agroekologi

Kategori IKLS

Fungsi Diskriminan (Di) Wilk’s λ

F-rasio

Nilai-p

G (S3/IP300) Cukup berkelanjutan

1.24X1 + 0.14X2 + 1.60X3 + 1.94X4 +– 0.50X5 – 1.60X6 – 1.73X7 + 0.87X8 – 2.08X9 + 0.15X10 + 0.5X11 - 4.28X12 – 1.23X13 – 1.67 X15 + 0.46X16 + 0.26X17 + 0.35X18 – 0.15X19 + 0.58X20 + 1.72X21 + 1.33X22 + 2.83X23 - 1.52X24 - 5.75X25 - 0.94X26 – 0.01 X27 - 0.34X28; (Rk = 0.94)

0.12 2.80 0.05

H (S3/IP200) Cukup berkelanjutan

–7.60X1 + 0.35X2 + 3.22 X3 + 3.70X4 – 1.02X5 – 0.15X6 – 6.12X7 – 7.06X8 – 6.96X9 + 6.50X10 – 6.40X11 – 0.78X12 – 1.02X13 – 0.63X14 + 2.39X15 + 1.37X16 + 0.19X17 + 1.78X18 – 4.24X19 + 0.80X20 + 0.73X21 + 2.39X22 + 0.72X23 – 1.55X24 – 1.61X 25 – 0.81X27 + 6.60X28; (Rk = 0.94)

0.12 3.01 0.03

I (S3/IP100) Kurang berkelanjutan

– 1.17X1 + 0.30X3 + 10.13X4 – 1.32X5 – 0.47X6 – 0.11X7 – 0.10X8 – 0.02X9 – 0.10X10 – 1.50X11 – 0.64X12 – 10.27X13 – 0.23X14 + 0.30X15 + 0.20X16 + 1.77X17 + 5.67X18 – 3.50X19 – 2.13X20 + 0.28X21 + 0.31X22 + 0.53X23 – 5.18X24 – 2.74X25 – 0.51X26 – 0.31X27 + 0.30X28; (Rk = 0.99)

0.02 26.15 0.00

Keterangan: X1: ketersediaan air, X2: salinitas, X3 : bahaya banjir, X4 : hama & penyakit tanaman, X5 : C-organik X6 : N-total, X7 : P-tersedia, X8 : P-total, X9 : K-tersedia, X10 : K-total, X11 : irigasi, X12 : keuntungan, X13 : modal usahatani, X14 : akses pupuk, X15: konversi lahan, X16 : fasilitas pascapanen, X17 : pemasaran, X18 : motivasi bertani, X19 : persepsi terhadap harga padi HPP, X20 : penolakan konversi lahan, X21 : keanggotaan Poktan, X22 : adopsi teknologi, X23 : penyuluhan, X24 : penguasaan lahan, X25 : fragmentasi lahan, X26 : pendidikan petani, X27 : usia petani, X28 : budaya lokal Rk : korelasi kanonik

Grumusol (Epiaquerts), Latosol (Eutrudepts), dan Regosol (Udipsamments);

sedangkan yang kurang berkelanjutan terjadi pada lahan sawah dengan jenis

tanah dominan Podsolik (Epiaquults).

Hasil analisis pada Gambar 55 menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan

lahan sawah di setiap zona agroekologi memiliki nilai indeks faktor biofisik,

ekonomi, dan sosial-budaya yang berbeda-beda. Sebagian besar nilai indeks dari

setiap faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah tersebut berkisar

antara 36% dan 76%. Nilai indeks terendah dan tertinggi ditunjukkan oleh faktor

biofisik, yaitu 36% di zona I (S3/IP100) dan 76% di zona D (S3/IP300). Nilai

indeks faktor ekonomi terendah (45%) ditunjukkan oleh zona E (S2/IP200),

sedangkan tertinggi (59%) ditunjukkan oleh zona C (S1/IP100). Untuk faktor

Page 19: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

148

Gambar 54 . Peta indeks keberlanjutan lahan sawah pulau Jawa

Page 20: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

149

sosial-budaya, nilai indeks terendah (44%) ditunjukkan oleh zona I (S3/IP100),

sedangkan tertinggi (58%) ditunjukkan oleh zona C (S1/IP100) dan H (S3/IP200).

Untuk zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) yang mendominasi lahan sawah di

Jawa, nilai indeks faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya berkisar antara

50% dan 58%. Zona B memiliki nilai indeks antara 53% dan 55%, sedangkan

zona H (S3/IP200) antara 50% dan 58%. Nilai indeks terendah di zona B

(S1/IP200), yaitu 53%, ditunjukkan oleh faktor biofisik dan ekonomi. Untuk zona

Ekonomi (0,56)

0 20

40 60

80 100

Sos-bud (55%)

Ekonomi (53%)

Biofisik (53%) Zona B (S1/IP200)

0 20

40

60 80

100 Ekonomi (59%)

Sos-bud (58%) Biofisik (57%) Zona C (S1/IP100)

Sos-bud (51%)

0 20

40

60 80

100 Ekonomi (54%)

Biofisik (76%) Zona D (S2/IP300)

100

Biofisik (44%)

Ekonomi (59%)

0 20

40

60

80

Sos-bud (48%)

Zona F (S2/IP100)

0 20

40 60

80

100

Zona E (S2/IP200) Biofisik (49%) Sos-bud (50%)

Ekonomi (45%)

0 20 40

60 80

100

Biofisik (71%) Sos-bud (55%)

Ekonomi (54%)

Zona G (S3/IP300)

0 20

40

60

80

100

Biofisik (54%) Sos-bud (58%)

Ekonomi (50%)

Zona H (S3/IP200)

0 20 40

60

80

100

Zona I (S3/IP100) Sos-bud (44%) Biofisik (36%)

Ekonomi (49%)

0 20 40

60

80

100

Biofisik (51%) Sos-bud (53%) Zona A (S1/IP300)

Gambar 55. Indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi

Page 21: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

150

Tabel 35. Indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) di Jawa berdasarkan zona agroekologi

ZAE Bentuklahan Jenis Tanah Dominan

Irigasi IKLS

A (S1/IP300) Dataran alluvial, topografi datar Aluvial,Grumusol (Epiaquepts, Epiaquerts)

Baik Cukup berkelanjutan

B (S1/IP200) Dataran alluvial-volkanik, topografi datar-berombak

Alluvial, Grumusol (Epiaquepts, Epiaquerts)

Sedang-Baik Cukup berkelanjutan

C (S1/IP100) Dataran alluvial volkanik, topografi datar-berombak

Aluvial (Epiaquerts) Tadah hujan Cukup berkelanjutan

D (S2/IP300) Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang

Latosol , Podsolik (Epiaqualfs, Epiaquults)

Baik Cukup berkelanjutan

E (S2/IP200) Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang

Podsolik (Epiaquults) Sedang-Baik Kurang berkelanjutan

F (S2/IP100) Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang

Latosol (Epiaqualfs) Podsolik (Epiaquults)

Tadah hujan Kurang berkelanjutan

G (S3/IP300) Dataran volkanik, topografi bergelombang-berbukit

Latosol (Eutrudepts)

Baik Cukup berkelanjutan

H (S3/IP200) Lereng volkanik, topografi bergelombang-berbukit

Latosol (Eutrudepts) Regosol (Udipsamments)

Sedang-Baik Cukup berkelanjutan

I (S3/IP100) Dataran hillok berbatuan sedimen tuf

Podsolik (Dystrudepts)

Tadah hujan Kurang berkelanjutan

H (S3/IP300), nilai indeks terendah ditunjukkan oleh faktor ekonomi (50%).

Beragamnya nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengaruh faktor

biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya terhadap keberlanjutan lahan sawah berbeda-

beda, tergantung pada karakteristik lahan zona agroekologinya yang dicerminkan

oleh indikator dari setiap faktor.

5.4.1.1 Faktor Biofisik

Indikator utama faktor biofisik yang mempengaruhi keberlanjutan lahan

sawah diilustrasikan pada Gambar 56a, 56b, 56c. Berdasarkan hasil analisis

diskriminan (Tabel 34), indikator utama faktor biofisik yang mengancam

keberlanjutan lahan sawah (nilai koefisien diskriminan negatif) di zona

agroekologi yang telah dipetakan umumnya berbeda-beda (Tabel 36). Dari

aspek tanah, indikator C-organik (rata-rata 1.29%), N-total (rata-rata 0.13%), P-

tersedia (rata-rata 9.14 ppm), dan K-tersedia (rata-rata 100.45 ppm) mengancam

keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi. Menurut Pramono (2004),

Page 22: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

151

rendahnya kandungan C-organik tanah menunjukkan kondisi tanah sawah sudah

diusahakan lama secara intensif dengan penggunaan pupuk kimia dosis tinggi,

sehingga tanah mengalami gejala sakit. Kondisi ini berakibat tanah menjadi tidak

produktif lagi atau mengalami pelandaian produktivitas karena terganggunya

Tabel 36. Indikator utama faktor biofisik yang mengancam keberlanjutan lahan sawah

Zona Agroekologi

Indikator Utama

A (S1/IP300) Bahaya banjir (β: -0.02), C-organik (β: -0.16) N-total (β: -0.16 ), P-tersedia (β:-0.06), K-tersedia (β: -0.11), K-total (β: -0.71)

B (S1/IP200) Ketersediaan air (β: -0.06), Bahaya banjir (β: -0.23), C-organik (β: -0.24), N-total (β: -0.40), P-tersedia (β: -0.04), K-tersedia (β : -0.34)

C (S1/IP100) Ketersediaan air (β:-7.53), C-organik (β: -0.46), N-total (β:-4.09), K-tersedia (β: -7.53), kondisi irigasi (β:-0.23)

D (S2/IP300) C-organik (β: -2.91), N-total (β: -4.23). P-tersedia (β:-0.07)

E (S2/IP200) Bahaya banjir (β: -0.10), C-organik (β: -1.52), N-total (β:-0.94), P-tersedia (β:-0.15), P-total (β: -0.23), K-tersedia (β: -3.95), K-total (β: -0.20)

F (S2/IP100) Ketersediaan air (β: -0.67), serangan hama dan penyakit tanaman (β: -0.23), C-organik (β: -7.04, N-total (β: -12.40), P-tersedia (β: -0.54), P-total (β: -4.14), K-tersedia (β: -4.05), kondisi irigasi (β: -0.77)

G (S3/IP300) C-organik (β: -0.50), N-total (β: -1.60), P-tersedia (β: -1.73), K-tersedia (β : -2.08)

H (S3/IP200) Ketersediaan air (β: -7.60), C-organik (β: -1.02), N-total (β: -0.15), P-tersedia (β: -6.12), P-total (β: -7.06), K-tersedia (β: -6.96), kondisi irigasi (β: -6.40)

I (S3/IP100) Ketersediaan air (β: -1.17), C-organik (β: -1.32), N-total (β: -0.47). P-tersedia (β: -0.11), P-total (β: - 0.10), K-tersedia (β: -0.02), K-total (β: -0.10), kondisi irigasi (β: -0.150)

Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)

keseimbangan hara tanah. Adiningsih (1992) mengemukakan bahwa indikasi

pelandaian produktivitas lahan sawah disebabkan oleh degradasi kesuburan tanah

dan perubahan fisik akibat reaksi fisiko-kimia tanah sawah. Berdasarkan data

BPS (2001-2008), pelandaian produktivitas lahan sawah mencapai 52,48 kw/ha

(Gambar 59). Menurut Mulyanto et al. (2000), rendahnya kandungan C-

organik tanah sawah karena dikonsumsi oleh mikroorganisma tanah untuk

Page 23: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

152

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Nilai Indeks

80%

78%

52%

60%

36%

16%

30%

70%

33%

51%

Indi

kato

r U

tam

a

Zona A (S1/IP300)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi 73%

53% 70%

58% 42%

34% 14%

67%

23% 83%

Nilai Indeks

Indi

kato

r U

tam

a

Zona B (S1/IP200)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi Irigasi

Nilai Indeks

10% 78%

90% 80%

40%

39% 65%

80%

51% 80%

10%

Indi

kato

r U

tam

a

Gambar 56a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)

Zona C (S1/IP100)

Page 24: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

153

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi

Nilai Indeks

92%

92%

Gambar 56b. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi

86%

79%

93%

86%

52%

59%

52%

86%

63%

86%

90% In

dika

tor

Uta

ma

Zona D (S2/IP300)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi

77%

55%

64% 39%

41%

26%

47%

26%

44%

72%

Indi

kato

r U

tam

a

Zona E (S2/IP200)

50%

17%

25%

27% 54%

50% 26%

8%

Indi

kato

r U

tam

a

Zona F (S2/IP100)

Nilai Indeks

Nilai Indeks

Page 25: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

154

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi

Indi

kato

r U

tam

a

Nilai Indeks

Zona I (S3/IP100)

28%

33%

40%

25%

40%

4%

26%

60%

96% 4%

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi

Zona H (S3/IP200)

Nilai Indeks

Indi

kato

r U

tam

a

56% 78%

93%

66%

39%

35%

34% 54%

28% 67%

56%

Nilai Indeks 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ketersediaan air

Tingkat Salinitas

Bebas Banjir

Bebas Hama dan Penyakit Tanaman

C-organik

N-total

P-tersedia

P-total

K-tersedia

K-total

Kondisi irigasi

Indi

kato

r U

tam

a

97% 77%

82%

91%

55% 40%

40%

76%

45%

81% 96%

Zona G (S1/IP300)

Gambar 56c. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)

Page 26: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

155

proses mineralisasi, penguapan dalam bentuk gas karbondioksida (CO2) dan gas

metan (CH4). Rendahnya kandungan C-organik tanah mengakibatkan unsur hara

N menjadi rendah karena suplai N pada tanah sawah salah satunya berasal dari

proses mineralisasi bahan organik oleh mikroba tanah tertentu yang menghasilkan

amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) (Prasetyo et al., 2004). Adiningsih et al.

(2004) menambahkan bahwa rendahnya kandungan C-organik tanah dapat

mengakibatkan penurunan efisiensi pemupukan P. Rendahnya ketersediaan unsur

hara P, menurut Sofyan et al. (2000) karena sebagian besar terikat dalam tanah.

Efisiensi pemupukan P pada tanah sawah sangat rendah, hanya sekitar 10-

20% dari jumlah pupuk yang diberikan. Rendahnya ketersediaan unsur hara K

bisa dimaklumi karena sifat inheren kation K+ ini yang monovalen, sehingga

mudah hilang tercuci oleh air. Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh Krauskopf

(1979), kation K+ hasil pelapukan mineral primer (K-feldspar) terikat cukup

kuat pada permukaan lapisan-lapisan Si-tetrahedron mineral liat (illit dan

muskovit) yang bermuatan negatif. Ketersediaan unsur hara K rata-rata 100 ppm

yang terukur dalam penelitian ini sebenarnya cukup memenuhi kebutuhan unsur

hara K yang diperlukan oleh tanaman padi sawah karena cadangan unsur hara K

(K-total) tanah sawah di semua zona agroekologi cukup tinggi (> 400 ppm).

Kelangsungan ketersediaan unsur hara K ini juga didukung oleh kearifan lokal

petani dalam pengolahan tanah sawah dengan cara mencangkul atau membajak

tanah sawah (sapi bajak) yang membalikkan lapisan olah pada kedalaman 20 – 30

cm sebagai tempat terakumulasinya unsur hara K yang tercuci dari lapisan atas.

Menurut Poniman (1989), pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak atau

mencangkul merupakan ciri khas budaya padi di Jawa dan Bali karena kondisi

tanahnya yang berbahan induk bahan volkan.

Indikator utama lainnya yang berperan sebagai faktor penghambat

keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air dan atau kondisi irigasi.

Ancaman kedua indikator tersebut terjadi di zona C (S1/IP100), F (S2/IP100),

dan I (S3/IP100), yang ada di daerah provinsi Banten (467 ha; 0.01%),

Jawa Barat (64,156 ha; 1.80%), Jawa Tengah (36,926 ha; 1.03% ), D.I

Yogyakarta (9,251 ha; 0.26%) , dan Jawa Timur (22,147 ha; 0.63%). Ancaman

indikator ketersediaan air dan kondisi irigasi ini bisa dimaklumi, mengingat

Page 27: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

156

ketiga zona agroekologi tersebut merupakan sawah tadah hujan dengan

agroklimat tipe C3 dan D3 yang memiliki periode bulan basah 3–6 bulan.

Prediksi suplai air dan kebutuhan air tanaman padi sawah varietas

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

A (S1/IP

300)

B (S1/IP

200)

C (S1/I

P100)

D (S2/I

P300)

E (S2/IP

200)

F (S2/I

P100)

G (S3/I

P300)

H (S3/I

P200)

I (S3/I

P100)

Zona Agroekologi

Pers

en (%

)

C-organik

N-total

Gambar 57. Kandungan unsur hara C-organik dan N-total di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa

0.000.501.001.502.002.503.003.504.00

A (S1/IP

300)

B (S1/IP

200)

C (S1/I

P100)

D (S2/I

P300)

E (S2/IP

200)

F (S2/I

P100)

G (S3/I

P300)

H (S3/I

P200)

I (S3/I

P100)

Zona Agroekologi

Ting

kat K

andu

ngan

Har

a

P-tersediaP-totalK-tersediaK-total

Gambar 58. Tingkat kandungan unsur hara P dan K di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa (n = 624, α = 4%)

P-tersedia (ppm) – P2O5 Skor 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) Skor 2 – 3 : sedang (16 – 25) Skor 3 – 4 : tinggi (26 – 35)

P-total (mg/100g) – P2O5 Skor 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor 1 – 2 : rendah ( 10 –20) Skor 2 – 3 : sedang (21 – 40) Skor 3 – 4 : tinggi (41 – 60)

K-tersedia (mg/100g) – K2O Skor : 0 – 1 : sangat rendah (< 5) Skor : 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) Skor : 2 – 3 : sedang (11 - 15) Skor : 3 – 4 : tinggi (16 – 25)

K-total (mg/100g) – K2O Skor : 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor : 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) Skor : 2 – 3 : sedang (21 - 40) Skor : 3 – 4 : tinggi (41 - 60)

Sumber: CSR/FAO Staff (1983)

Keterangan:

Page 28: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

157

Ciherang yang dominan ditanam di Jawa, seperti pada Tabel 37,

menunjukkan bahwa pada musim hujan (musim tanam), suplai air sekitar 8.4 –

9.7 juta liter/ha di ketiga zona agroekologi ini masih cukup untuk memenuhi

kebutuhan air yang diperlukan oleh tanaman padi sawah varietas Ciherang, yaitu

sekitar 8.0 – 9.2 juta liter/ha. Selain pada ketiga zona tersebut, indikator

ketersediaan air juga cukup berpotensi mengancam keberlanjutan lahan sawah di

Jawa karena sebagian besar zona agroekologi yang didominasi oleh zona B

(S1/IP200) dan H (S3/IP200) memiliki nilai indeks antara 0.53 dan 0.54, yang

mendekati angka batas kritis status ”kurang berkelanjutan”. Ancaman

keberlanjutan lahan sawah tersebut dimungkinkan disebabkan oleh menurunnya

daya dukung sumberdaya air karena peningkatan jumlah penduduk dan perubahan

iklim.

Penelitian yang dilakukan oleh Guritno (2006) menyimpulkan bahwa daya

dukung sumberdaya air di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa

Timur yang berperan sebagai lumbung beras sudah terlampaui. Terlampauinya

daya dukung sumberdaya air tersebut ditunjukkan oleh indikator bahaya

banjir yang sering menimpa di beberapa wilayah di Jawa. Dalam penelitian ini,

indikator bahaya banjir mengancam keberlanjutan lahan sawah yang ada di zona

A (S1/IP300) dan zona B (S1/IP200), yang cakupannya cukup luas (sekitar 2 juta

ha) Kejadian banjir yang sering terjadi merupakan banjir genangan di dataran

0

10

20

30

40

50

60

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

Pro

dukt

ivita

s (k

w/h

a)

Gambar 59. Produktivitas lahan sawah di Jawa (2001 – 2008) (Sumber data: BPS, 2008)

Page 29: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

158

Tabel 37. Prediksi suplai air dan kebutuhan air tanaman padi sawah varietas Ciherang di Jawa

Zona Agroekologi

Tipe Agroklimat1)

Curah Hujan Efektif 2)

(mm/musim)

Tipe Irigasi

Debit Air Irigasi3)

(l/det/ha)

Suplai Air per Musim

4)

(liter/ha)

Kebutuhan Air

per Musim5)

( liter/ha) A

(S1/IP300) A1, B1, B2 1,040

Teknis 10 105,440,000

9,187,724

B

(S1/IP200) B3 1,000

Teknis 5 57,520,000

9,187,724

C

(S1/IP100) D3 968

Tadah hujan

0 9,680,000

9,187,724

D (S2/IP300)

A1,B1,B2 1,032

Teknis 10 105,360,000

8,607,768

E (S2/IP200)

C3 960

Teknis 5 57,120,000

8,607,768

F (S2/IP100)

D3 888

Tadah hujan

0 8,880,000

8,607,768

G (S3/IP300)

A1,B1, B2 1,020

Teknis 10 105,240,000

7,982,026

H (S3/IP200)

C3 920

Teknis 5 56,720,000

7,982,026

I. (S3/IP100)

D3 840

Tadah hujan

0 8,400,000

7,982,026

banjir atau banjir bandang di daerah perbukitan dari daerah aliran sungai (DAS)

bagian hulu; seperti yang terjadi di kecamatan Panti, kabupaten Jember (provinsi

Jawa Timur), kecamatan Sidareja, kabupaten Cilacap (provinsi Jawa Tengah),

dan kecamatan Kibin, kabupaten Serang (provinsi Banten). Masalah banjir di

Jawa salah satunya dipicu oleh penggundulan hutan di DAS bagian hulu seperti

yang sering menimpa daerah persawahan dan permukiman dikecamatan Panti,

kabupaten Jember. Ancaman bencana banjir di daerah ini adalah sebagai akibat

penggundulan hutan oleh masyarakat di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai )

Bedadung bagian hulu atau lereng atas gunung Argopuro. Penggundulan hutan

diisebabkan oleh adanya kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar

Keterangan: 1) : Berdasarkan peta agroklimat BMG (2008) 2) : Dihitung dengan rumus: 0.80 x CH bulan basah rata-rata pada periode 1998-2007 3) : Berdasarkan peta potensi indikasi air tanah dan daerah irigasi (Departemen PU, 2003) 4) : Dihitung dengan rumus: suplai air irigasi + curah hujan efektif (Arsyad, 2006) 5) : Dihitung berdasarkan konsumsi air padi sawah varietas Ciherang 2.348 liter/kg beras, hasil penelitian Nurrochmad (2007). Lama muism tanam 110 hari. Data produktivitas padi didasarkan pada data BPS (2007), yaitu Zona A (S1/IP300): 6.02 ton/GKG/ ha, zona B (S1/IP200): 6.02 ton GKG /ha, zona C (S1/IP100): 6.02 ton GKG/ha, zona D (S2/IP300): 5.64 ton GKG /ha, zona E (S2/IP200: 5.64 ton GKG/ha, zona F (S2/IP100): 5.64 ton GKG/ha, zona G (S3/IP300): 5.02 ton GKG /ha, zona H (S3/IP200): 5.02 ton GKG/ha, zona I (S3/IP100): 5.02 ton GKG/ha. Angka rendemen padi sawah 65 %.

Page 30: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

159

wilayah DAS Bedadung bagian hulu tersebut (Tenure dan Huma, 2008). Hasil

kajian perubahan penutup lahan dengan citra satelit ETM yang dilakukan oleh

LAPAN (2006) menunjukkan bahwa lahan di DAS Bedadung bagian hulu

didominasi oleh tanaman semusim dan semak belukar yang tidak memiliki daya

serap air baik dan perakarannya kurang dalam. Arsyad (2006) menjelaskan

bahwa penggundulan hutan mengakibatkan hilangnya penutup vegetasi yang

berperan menekan laju aliran permukaan atau meningkatkan infiltrasi tanah.

Sampai saat ini, lahan di DAS Bedadung bagian hulu tersebut masih kritis,

sehingga sewaktur-waktu pada musim hujan bencana banjir berpotensi merusak

daerah permukiman, tanaman padi dan infrastruktur jaringan irigasi di zona B

(S1/IP200) dan G (S3/IP300) yang terletak di bagian hilir DAS Bedadung atau

lereng bawah gunung Argopuro. Ancaman bencana banjir terhadap keberlanjutan

sawah ini nampaknya masih memerlukan kewaspadaan karena tendensi frekwensi

kejadian banjir per tahun diprediksi masih cukup tinggi (Gambar 60).

Selain disebabkan oleh penggundulan hutan di DAS bagian hulu, masih

maraknya kejadian banjir di Jawa dimungkinkan disebabkan oleh perubahan iklim.

Susandi (2009) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa perubahan iklim di

Indonesia telah terjadi, yang ditandai dengan munculnya fenomena cuaca ekstrim,

badai tropis yang semakin sering, dan pergeseran musim. Pergeseran musim

dapat mengakibatkan musim hujan memendek/musim kemarau memanjang atau

musim hujan memanjang/musim kemarau memendek. Seperti yang diperlihatkan

pada Gambar 61, sebagian besar wilayah di Jawa telah mengalami pergeseran

musim 0.1 – 1.5 hari per tahun. Apabila musim hujan menjadi lebih panjang,

0

5

10

15

20

25

30

1997 1998 1999 2000' 2001 2002

Tahun

Frek

uens

i Ban

jir/th

Kejadian aktualTendensi kejadian

Gambar 60. Tendensi perubahan frekuensi banjir di Jawa (Guritno, 2006)

Page 31: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

160

petani dimungkinkan diuntungkan karena ketersediaan air untuk menanam padi

menjadi surplus. Sebaliknya, apabila musim kemarau menjadi lebih panjang,

petani akan mengalami kesulitan air untuk menanam padi. Memanjangnya musim

kemarau sebagai dampak perubahan iklim ini diduga juga ikut memicu terjadi

keterbatasan air yang sering menimpa lahan sawah di Jawa.

Terjadinya fenomena yang terakhir ini ada yang direspon secara cerdas oleh para

petani di kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta (Gambar 62). Kearifan lokal

petani di daerah ini berupaya untuk tetap dapat melakukan usahatani dengan

menanam tanaman palawija (kacang tanah ) dan hortikultura (bawang merah) di

lahan sawah pada musim kemarau, yaitu dengan membuat sumur untuk pengairan

tanaman. Pengambilan air sumur dilakukan dengan ditimba dan disalurkan

melalui parit-parit kecil. Penyiraman tanaman dilakukan dengan menggunakan

gayung yang terbuat dari tempurung buah kelapa. Penggunaan penaung daun

kelapa dimaksudkan untuk mengurangi evapotranspirasi persemaian bibit

tanaman. Cara cerdas yang dilakukan oleh petani Bantul tersebut merupakan

contoh sederhana adaptasi terhadap perubahan iklim yang dapat dijadikan contoh

oleh petani di daerah lain dalam menyikapi kelangkaan air untuk bertani.

Dalam penelitian ini, indikator yang berperan sebagai faktor pendorong

keberlanjutan lahan sawah di sebagian besar zona agroekologi, seperti zona B

(S1/IP200) dan H (S3/IP200) adalah tingkat salinitas yang rendah atau bebas

bahaya salinitas (faktor loading: 0.76 – 0.79; nilai indeks:70% – 78%), kandungan

Gambar 61. Kecenderungan perubahan panjang musim (Susandi, 2009)

0.1-0.3 hari per tahun 0.4-0.6 hari per tahun 0.7-0.9 hari per tahun 1.0-1.2 hari per tahun 1.3-1.5 hari per tahun

0.1-0.3 hari per tahun 0.4-0.6 hari per tahun 0.7-0.9 hari per tahun 1.0-1.2 hari per tahun 1.3-1.5 hari per tahun

Tetap

Page 32: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

161

unsur hara K-total (faktor loading: 0.81 – 0.92 nilai indeks: 67% – 92%), dan

kandungan unsur hara P-total (faktor loading: 0.77 – 0.83; nilai indeks: 54% –

67%). Bebas dari bahaya salinitas disebabkan oleh genesa bentuklahan yang ada

terbentuk dari proses volkanik dan fluvial, bukan proses marin. Tingginya unsur

hara K di daerah penelitian ini diduga disebabkan oleh bahan induk tanah berasal

dari batuan volkanik andesitik. Mohr (1944) menunjukkan bahwa batuan volkan

di seluruh Jawa sebagian besar bersifat intermedier (andesitik atau andesitik

basaltik) dengan kandungan silika (SiO2) berkisar 49,95 hingga 59,91%.

Menurut Krauskopf (1979) dan Sarwono (2003), unsur hara K dalam tanah

bersumber dari mineral feldspar (ortoklas) yang bersifat felsik atau masam.

Gambar 62 Contoh kearifan lokal petani untuk tetap dapat bertani pada musim kemarau (Lokasi desa Parangtritis, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta, tanggal 15 Agustus 2009)

b) Sumur untuk pengairan tanaman a) Gayung dari tempurung kelapa untuk menyiram tanaman

c) Parit untuk pengairan d) Naungan untuk mengurangi evapotranspirasi tanaman

Page 33: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

162

kandungan hara P-total yang tinggi diprediksi merupakan hasil akumulasi

pemupukan P yang telah berlangsung lama.

5.4.1.2 Faktor Ekonomi

Pengaruh indikator utama terhadap keberlanjutan lahan sawah diilustrasikan

pada Gambar 63a, 63b, 63c. Berdasarkan koefisisan diskriminan yang bernilai

negatif (Tabel 34), indikator utama faktor ekonomi yang mengancam

(penghambat) keberlanjutan lahan sawah umumnya meliputi indikator

keuntungan, modal usahatani, akses pupuk , dan potensi konversi lahan (Tabel

38). Dari keempat indikator utama tersebut, indikator modal usahatani dan akses

pupuk sensitif mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah di semua zona

agroekologi. Hasil wawancara dengan petani memperlihatkan bahwa sebagian

besar para petani memperoleh keuntungan pas-pasan (42%) dan rugi (22%).

Yang mengaku memperoleh keuntungan layak hanya sekitar 36 %. Selain itu,

sebagian besar petani juga mengeluh kekurangan modal (54%) dan kesulitan

memperoleh pupuk (63%) (Gambar 64).

Masalah perolehan keuntungan rendah berkaitan dengan ketimpangan

penguasaan dan fragmentasi lahan. Sempitnya lahan garapan mengakibatkan

proses produksi tidak efisien, sehingga keuntungan yang diperoleh petani bersifat

marginal karena hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi yang

dikeluarkan. Berdasarkan data BPS (2008b), kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP)

rata-rata di Jawa dari tahun 2004 – 2007 hanya sekitar 4%, yang tidak sebanding

dengan kenaikan nilai inflasi setiap tahun sekitar 10%. Kenaikan NTP tersebut

tidak merata di semua wilayah. Nilai NTP tertinggi dicapai di provinsi D.I

Yogyakarta: 122.73 – 127.67, kemudian menyusul secara berurutan provinsi Jawa

Barat: 117.11 – 116.78, Jawa Tengah 91.42 – 103.12, Jawa Timur: 87.78 –

101.64 (Gambar 65). Nilai NTP tersebut menunjukkan usahatani padi sawah

kurang memberikan keuntungan yang layak karena produksinya tidak efisien.

Inefisiensi produksi tersebut dimungkinkan disebabkan oleh harga padi penetapan

pemerintah (HPP) masih relatif rendah dan subsidi yang diberikan kepada petani

masih belum memadai. Pada saat survei dilakukan, harga padi GKG (Gabah

Kering Giling) dari HPP adalah sekitar Rp 2,500,-/kg. Kondisi ini diperparah

Page 34: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

163

Tabel 38. Indikator utama faktor ekonomi yang mengancam keberlanjutan lahan sawah

Zona Agroekologi

Indikator Utama

A (S1/IP300) Keuntungan (β: -0.16), modal usahatani (β: -0.01), akses pupuk (β: -1.24)

B (S1/IP200) Modal usahatani (β: -0.16), akses pupuk (β : -0.24), potensi konversi lahan (β: -0.20)

C (S1/IP100) Keuntungan (β:-0.16), modal usahatani (β: -0.09), akses pupuk (β: -0.24)

D (S2/IP300) Keuntungan (β: -3.23), modal usahatani (β: -0.87), akses pupuk (β: -0.89), potensi konversi lahan (β: -0.65)

E (S2/IP200) Keuntungan (β: -0.09), modal usahatani (β: -0.45), akses pupuk (β: -0.78), potensi konversi lahan (β: -0.40 )

F (S2/IP100) Keuntungan (β: -2.59), modal usahatani (β: -1.46 ), akses pupuk (β: - 0.78)

G (S3/IP300) Keuntungan (β: -4.28), modal usahatani (β: -1.23 ), potensi konversi lahan (β: -1.67)

H (S3/IP200) Keuntungan (β: -0.78), modal usahatani (β: -1.02), akses pupuk (β: -0.63)

I (S3/IP100) Keuntungan (β: -0.64), modal usahatani (β: -10.27), akses pupuk (β: -0.23).

Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)

oleh sulitnya petani untuk memperoleh pupuk dan kecilnya modal yang

mereka miliki. Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani di beberapa

daerah persawahan di semua provinsi, kesulitan memperoleh pupuk disebabkan

oleh tidak dijualnya pupuk di pasar bebas. Petani hanya dapat membeli di

kelompok tani (Poktan) yang ada. Ironisnya, tidak semua wilayah pertanian

lahan sawah memiliki Poktan yang dapat melayani kebutuhan pupuk para petani.

Pada kondisi demikian, banyak diantara para petani dengan terpaksa membeli

pupuk dengan harga mahal. Kesulitan petani yang demikian serius ini, menurut

Irawan et al. (2004), disebabkan oleh sifat multifungsi lahan sawah yang

dikategorikan sebagai barang publik, sehingga nilai manfaat jasa petani lahan

sawah tidak dinilai dalam mekanisme pasar (market failure) dan dalam banyak hal

kurang memberikan keuntungan yang layak karena produksinya tidak efisien.

Inefisiensi terabaikan dalam pengambilan keputusan. Keengganan pemerintah

tetap memberikan harga patokan padi yang relatif rendah karena beras merupakan

komoditi politik yang mengorbankan kepentingan petani demi untuk meredam

gejolak sosial yang dapat membahayakan kestabilan keamanan nasional.

Page 35: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

164

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

49%

44%

48%

64%

67%

66%

Nilai Indeks

Indi

kato

r U

tam

a

Zona A (S1/IP300)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

Nilai Indeks

38%

41%

Zona B (S1/IP200)

Indi

kato

r U

tam

a

31%

76%

79%

0,10

0,35

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

50%

90%

80%

90%

Zona C (S2/IP100)

Indi

kato

r U

tam

a

Nilai Indeks

35%

10%

Gambar 63a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)

Page 36: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

165

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

Nilai Indeks

45%

21%

29%

50%

86%

79%

Zona D (S2/IP300) In

dika

tor

Uta

ma

Nilai Indeks

48%

19%

13%

47%

71%

73%

Zona E (S2/IP200)

Indi

kato

r U

tam

a

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

Nilai Indeks

46%

50%

17%

67%

92%

83%

Zona F (S2/IP100)

Indi

kato

r U

tam

a

Gambar 63b. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)

Page 37: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

166

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

50%

37%)

31%

82%

68%

Zona G (S3/IP300)

Indi

kato

r U

tam

a

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas Pascapanan

Pemasaran

Indi

kato

r U

tam

a

Nilai Indeks

Zona H (S3/IP200)

47%

48%

23%

64%

59%

59%

Nilai Indeks

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Keuntungan

Modal usahatani

Akses pupuk

Konversi lahan

Fasilitas pascapanen

Pemasaran

Indi

kato

r U

tam

a

Zona I (S3/IP300)

40%

32%

28%

60%

68%

64%

Nilai Indeks

Gambar 63c. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)

Page 38: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

167

Dalam penelitian ini, ancaman keberlanjutan yang disebabkan oleh konversi

lahan didekati dengan data tingkat harga tanah sawah yang terletak disekitar jalan

arteri. Seperti pada Tabel 37, indikator potensi konversi lahan pada zona B

(S1/IP200) yang mendominasi lahan sawah di Jawa (KD: -0.20) berperan sebagai

faktor penghambat. Timbulnya ancaman konversi lahan tersebut

dimungkinkan disebabkan oleh status kepemilikan lahan yang pada umumnya

Gambar 65. Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa periode 2004 – 2007 (Sumber data: BPS, 2008)

0

20

40

60

80

100

120

140

2004 2005 2006 2007

Tahun

NTP

(%)

DI. YogyakartaJawa BaratJawa TengahJawa TimurRata-rata

Gambar 64. Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi (n = 624, α = 4%)

05

1015202530354045

Sangat rugi Rugi Pas-pasan Untung Sangat untung

Keuntungan

Pro

po

rsi

(%)

0

10

20

30

40

50

60

Tidak ada Kurang Cukup Besar Sangat besar

Modal Usahatani

Pro

po

rsi

(%)

0

10

20

30

40

50

60

70

Sangat sulit Sulit Sedang Mudah Sangat mudah

Akses Perolehan Pupuk

Pro

po

rsi

(%)

a) Keuntungan petani b) Modal usahatani

c) Akses pupuk

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Sangat Rentan Rentan Sedang Sulit Sangat Sulit

Potensi Konversi

Pro

po

rsi

(%)

d) Potensi konversi lahan

0

20

40

60

80

100

120

140

2004 2005 2006 2007

Tahun

NTP

(%)

DI. YogyakartaJawa BaratJawa TengahJawa TimurRata-rata

Page 39: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

168

dikuasai oleh tuan-tuan tanah dari luar wilayah desa dimana lahan sawah

berada. Kondisi ini diperkuat oleh data status penguasaan lahan sawah yang

didominasi oleh petani penggarap. Selain itu, hasil overlay antara peta zona

agroekologi dengan peta pola ruang RTRW (Departemen Pekerjaan Umum, 2003)

mengindikasikan adanya rencana konversi lahan sawah di zona B (S1/IP200)

menjadi kawasan permukiman sebesar ± 296,948 ha (9%). Temuan ini

menguatkan prediksi yang dikemukakan oleh Isa (2006) tentang adanya indikasi

kuat mengenai rencana sistimatis untuk mengkonversi lahan sawah irigasi

menjadi non-sawah melalui mekanisme RTRW provinsi atau kabupaten.

Ancaman konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman tersebut harus

dicegah karena konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak

negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, penurunan

pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal,

pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja, dan pendapatan

komunitas setempat. Selain itu, karena fungsinya secara hidrologis dapat

menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat

dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir (Sumaryanto et al.,

2001).

Selain adanya indikator yang berperan sebagai faktor penghambat

keberlanjutan lahan sawah, hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya faktor

pendukung, yaitu indikator fasilitas pascapanen (faktor loading 0.90; nilai indeks

0.76) dan pemasaran (faktor loading 0.80; nilai indeks 0.79). Berdasarkan hasil

survei di lapangan (Gambar 66), lebih dari 95% petani merasa mudah dalam

pengolahan dan pemasaran hasil panen. Dalam pengolahan hasil panen, fasilitas

pengolahan pascapanen hampir tersedia di setiap desa. Dalam hal pemasaran

hasil, para petani juga merasa tidak kesulitan. Mereka dapat menjual hasil

panennya ke Depot Logistik (DOLOG) atau ke tengkulak. Walaupun tidak

mengalami kesulitan untuk menjual hasil panennya, para petani di beberapa

wilayah, seperti daerah-daerah di kabupaten Jember, ada juga yang mengeluh

terhadap peranan DOLOG yang belum optimal untuk membeli hasil panen,

apabila dibandingkan dengan penjualan ke tengkulak. Banyak diantara petani

Page 40: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

169

menjual padi hasil panennya kepada tengkulak pedagang beras dari kota-kota

besar seperti Surabaya. Para petani merasa lebih senang menjual hasil panennya

ke tengkulak daripada ke DOLOG karena tengkulak berani membeli hasil

panen petani dengan harga melebihi harga HPP. Hasil temuan ini bermakna

bahwa peranan DOLOG dalam membeli hasil panen petani perlu dikaji oleh

pihak-pihak terkait. Peranan DOLOG sebagai lembaga pemerintah harus

dioptimalkan dalam menampung hasil panen agar para petani sebagai pelaku

utama produsen beras tetap bersemangat melakukan usahatani padi sawah.

5.4.1.3 Faktor Sosial-Budaya

Pengaruh indikator utama terhadap keberlanjutan lahan sawah yang

dicerminkan oleh nilai indeks diilustrasikan pada Gambar 67a, 67b, 67c.

Berdasarkan koefisien diskriminan yang bernilai negatif (Tabel 34), indikator

0

10

20

30

40

50

60

Sangat Sulit Sulit Sedang Mudah Sangat Mudah

Akses Pemasaran

Pro

pors

i (%

)

0

10

20

30

40

50

60

Sangat Kurang Kurang Cukup Banyak Sangat Banyak

Ketersediaan

Prop

orsi

(%)

a) Pemasaran

b) Fasilitas pascapanen

Gambar 66. Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi , a dan b (n = 624, α = 4%)

Page 41: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

170

utama dari faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah

adalah persepsi terhadap harga padi HPP, fragmentasi lahan, penguasaan lahan,

pendidikan petani, usia petani, dan budaya lokal (Tabel 39). Indikator utama

tersebut mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah di zona agroekologi yang

berbeda-beda. Indikator utama yang mengancam keberlanjutan lahan sawah di

semua zona agroekologi meliputi indikator penguasaan lahan, pendidikan petani,

dan usia petani. Indikator persepsi terhadap harga padi HPP mengancam

keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi, kecuali di zona A

(S1/IP300). Indikator fragmentasi lahan mengancam keberlanjutan lahan sawah

di zona A (S1/IP300), C (S1/IP100), D(S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200),

Tabel 39. Indikator utama faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah

Zona Agroekologi

Indikator Utama

A (S1/IP300) Penguasaan lahan (β: -1.64), fragmentasi lahan (β: -0.05), pendidikan petani (β: -0.08), usia petani (β: - 0.17), budaya lokal (β: - 0.50)

B (S1/IP200) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.03), penguasaan lahan (β: -0.60), pendidikan petani (β: -0.24), usia petani (β: -0.23)

C (S1/IP100) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.80), penguasaan lahan (β: -0.70), fragmentasi lahan (β:-0.05 ), pendidikan petani (β: -0.27), usia petani (β: -0.23)

D (S2/IP300) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.85), penguasaan lahan (β: -0.71), fragmentasi lahan (β: -0.15), pendidikan petani (β:-0.21 ), usia petani (β: -0.25), budaya lokal (β: -0.66)

E (S2/IP200) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.45), penguasaan lahan (β: -0.62), pendidikan petani (β: -1.18), usia petani (β: -0.75)

F (S2/IP100) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -1.45), penolakan konversi lahan (β: -0.33), keanggotaan dalam Poktan (β: -0.41), peranan penyuluhan (β: -0.23), penguasaan lahan (β:-0.45), pendidikan petani (β: -0.33), usia petani (β: -0.44)

G (S3/IP300) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.15), penguasaan lahan (β: -1.52), fragmentasi lahan (β: -5.75). pendidikan petani (β: -0.94), usia petani (β: -0.01), budaya lokal (β: -0.34)

H (S3/IP200) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -4.24), penguasaan lahan (β : -1.55), fragmentasi lahan (β: -1.61), usia petani (β: -0.81)

I (S3/IP100) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -3.50), penolakan konversi lahan (β: -2.13), pengusaaan lahan (β: -5.18), fragmentasi lahan (β: -2.74). pendidikan petani (β: -0.51), usia petani (β: -0.31)

Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)

Page 42: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

171

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

Nilai Indeks

60%

74%

71%

62%

72%

50%

17%

34%

47%

38%

Zona A (S1/IP300) In

dika

tor

Uta

ma

Nilai Indeks

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi Bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

Nilai Indeks

Indi

kato

r U

tam

a

Zona C ( S1/IP100)

80% 10%

90%

80%

90%

80%

10%

46% 13%

50%

90%

Gambar 67a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

Indi

kato

r U

tam

a

Zona B (S1/IP200)

66% 27%

35%

47% 63%

60% 74%

50% 74%

Page 43: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

172

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Adopsi teknologi

Penguasaan lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

Zona D ( S2/IP300)

Indi

kato

r U

tam

a

Nilai Indeks

7%

86%

14% 79%

71%

61%

86%

29%

44%

36%

49%

Nilai Indeks

Indi

kato

r U

tam

a

Zona E ( S2/IP200)

93% 2%

71%

77% 12%

37%)

48%

64%

83% 42%

17% 67%

17%

33% 65%

17% 47%

92%

Indi

kato

r U

tam

a

Zona F ( S2/IP100)

Nilai Indeks

Gambar 67b Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)

54%

Page 44: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

173

Nilai Indeks

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Respon harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

Indi

kato

r U

tam

a

Nilai Indeks

Zona G( S3/IP300)

6%

66%

68%

69%

90%

47%

26%

45%

46%

46%

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Usia petani

Budaya lokal

Nilai Indeks

Indi

kato

r U

tam

a

Zona H( S3/IP200)

64%

21% 63%

69%

78%

86% 49%

30% 49%

68%

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Motivasi bertani

Persepsi terhadap harga padi HPP

Penolakan konversi lahan

Keanggotaan dalam Poktan

Adopsi teknologi

Peranan penyuluhan

Penguasaan lahan

Fragmentasi lahan

Pendidikan petani

Usia petani

Budaya lokal

Indi

kato

r U

tam

a

Zona I ( S3/IP100)

72% 8%

46%

60% 64%

60% 22%

19% 23%

50%

60%

Gambar 67c. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)

94%

Page 45: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

174

0102030405060708090

Sangat TidakPuas

Tidak Puas Kurang Puas Puas Sangat Puas

Persepsi Petani

Pro

po

ri (

%)

0

10

20

30

40

50

60

70

Buruh Tani Penggarap Penyewa Pemilik Konglomerasi

Penguasaan Lahan

Pro

po

rsi

(%)

05

101520

2530354045

Sangat Sempit Sempit Sedang Luas Sangat Luas

Fragmentasi Lahan

Pro

po

rsi

(%)

0

10

20

30

40

50

60

70

Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Diploma/Sarjana

Tingkat Pendidikan

Usia

(ta

hu

n)

a) Persepsi terhadap harga padi HPP b) Penguasaan lahan garapan

d) Fragmentasi lahan e) Tingkat pendidikan petani

Gambar 68. Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)

05

101520

2530354045

Sangat Muda Muda Agak Lanjut Lanjut Sangat Lanjut

Tingkat Usia

Pro

po

sri

(%)

c) Usia petani

D.I. Yogyakarta 374,811

Jawa Timur 3,441,091

Jawa Tengah 3,145,975

Jawa Barat 2,579,063

Banten 430,576

Gambar 69. Distribusi rumah tangga petani gurem di Jawa (Sumber data: BPS, 2004)

Page 46: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

175

dan I (S3/IP100). Indikator budaya lokal hanya mengancam keberlanjutan lahan

sawah di zona yang menerapkan IP300, yaitu zona A (S1/IP300), D (S2/IP300),

dan G (S3/IP300). Hasil penelitian tersebut bermakna bahwa pengaruh indikator

sosial-budaya terhadap ancaman keberlanjutan lahan sawah tergantung pada

karakteristik zona agroekologi.

Berdasarkan data hasil wawancara dengan petani, sekitar 81% petani

merasa kurang puas dan tidak puas terhadap harga jual padi HPP (Gambar 68).

Menurut mereka harga padi HPP terlalu rendah. Selain itu, penguasaan lahan

sawah didominasi oleh petani penggarap (sekitar 58%) yang memiliki lahan

garapan sempit (< 0.5 ha) sekitar 49%. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian

tahun 2003 (Gambar 69), jumlah rumah tangga petani gurem (RTPG) di Jawa

mencapai 9.97 juta atau 73% dari jumlah RTPG di Indonesia yang mencapai

13.67 juta (BPS, 2004). Dari jumlah tersebut, sebagian besar RTPG berada di

provinsi Jawa Timur (3.4 juta), Jawa Tengah (3.1 juta), Jawa Barat (2.6 juta),

Banten (0.43 juta), dan DI. Yogyakarta (0.37 juta). Kondisi ini diperparah oleh

tingkat pendidikan petani rendah dan umumnya berusia lanjut.

Data dari hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa sebagian

besar petani di Jawa berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) (79%), berusia agak lanjut hingga lanjut atau

berumur 40- 60 tahun (83%). Kedua ancaman sosial yang terakhir ini

mempengaruhi tingkat profesionalitas usahatani dan keberlanjutannya. Semakin

profesional petani, semakin cerdas petani dalam melakukan bisnis usahatani.

Tingginya usia lanjut ini menunjukkan kurangnya regenerasi petani, yang

dapat mengancam usaha pertanian lahan sawah kekurangan tenaga kerja.

Menurut Mubyarto (1978) seperti yang dikutip oleh Jamal et al. (2002), masalah

penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang sudah ada sejak awal abad

ke-20 pemerintah Belanda. Tidak terselesaikannya masalah ini hingga saat ini

disebabkan oleh tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi

penambahan lahan pertanian. Tambunan (2008) mengemukakan bahwa

pertambahan jumlah penduduk di pedesaan semakin menambah ketimpangan

penguasaan lahan. Jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan

sendiri atau dengan lahan sangat sempit yang tidak mungkin menghasilkan

Page 47: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

176

produksi yang optimal semakin bertambah. Selain itu, terbatasnya lahan pertanian

menjadikan harga jual atau sewa lahan semakin mahal, sehingga hanya sedikit

petani yang mampu membeli atau menyewanya. Menurut Isa (2006),

keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya lahan pertanian,

sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang

menguntungkan.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Sangat Terpaksa Terpaksa Biasa Tinggi Sangat Tinggi

Motivasi Bertani

Pro

po

rsi

(%

)

0

10

20

30

40

50

60

SangatMendukung

Mendukung Biasa Menentang SangatMenentang

Persepsi Petani

Pro

po

rsi

(%)

0

10

20

30

40

50

60

70

Tidak ada Poktan Tidak Aktif Agak Aktif Aktif Sangat Aktif

Keaktifan Petani

Pro

po

rsi

(%)

0

10

20

30

40

50

60

70

Sangat Sulit Sulit Agak Mudah Mudah Sangat Mudah

Adopsi Teknologi

Po

rsi

(%)

a) Motivasi bertani b) Persepsi petani terhadap konversi lahan

d) Keaktifan keanggotaan dalam Poktan

e) Persepsi terhadap adopsi teknologi

Gambar 70. Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial- budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)

010203040

5060708090

Tidak Ada Tidak Berguna Agak Berguna Berguna Sangat Berguna

Peranan Penyuluhan

Pro

po

rsi

(%)

c) Persepsi petani terhadap peranan penyuluhan

Page 48: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

177

Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah

meliputi motivasi bertani (faktor loading 0.61 – 0.85, nilai indeks 0.60 – 0.93),

persepsi penolakan konversi lahan (faktor loading 0.66 – 0.99, nilai indeks 54% –

90%), keanggotaan dalam Poktan (faktor loading 0.78 – 0.96, nilai indeks 60% -

80%), adopsi teknologi (faktor loading 0.51 – 0.99, nilai indeks 61% – 90%), dan

peranan penyuluhan (faktor loading 0.57 – 0.98, nilai indeks 60% – 90%). Hasil

survei wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa sebagian besar para

petani memiliki motivasi yang tinggi (74%) dan sangat tinggi (17%) untuk

bertanam padi sawah (Gambar 70). Petani yang memiliki motivasi untuk

bertanam padi dalam kategori biasa adalah 8%, yang terpaksa 1%. Motivasi yang

tinggi ini dilatarbelakangi oleh pandangan mereka tentang pentingnya meneruskan

usahatani padi sawah yang telah diwariskan oleh para leluhur. Walaupun

pendapatan dari usaha tani padi sawah yang diperoleh petani, yang sebagian besar

merupakan petani penggarap, adalah relatif rendah, para petani tetap bersemangat

untuk tetap berupaya melakukan usahatani padi sawah. Berdasarkan hasil survei

ini, usahatani padi sawah nampaknya sudah terinternalisi atau menjadi

budaya, sehingga dapat digunakan sebagai suatu aset budaya untuk menjaga

keberlanjutan pertanian lahan sawah. Hasil penelitian ini juga menemukan

indikator budaya lokal ada yang bersifat pendukung atau penghambat

keberlanjutan lahan sawah. Indikator budaya lokal yang berperan sebagai

pendukung keberlanjutan diindikasikan dengan nilai indeks 60% – 92%. Hasil

0

10

20

30

40

50

60

70

IP 100 IP 200 IP 300

Intensitas Pertanaman

Jum

lah

Peta

ni (%

)

Gambar 71. Intensitas pertanaman padi sawah yang diterapkan petani di Jawa (n = 624, α = 4%)

Page 49: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

178

survei di lapangan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar

petani padi sawah di Jawa menerapkan penanaman padi dengan IP200 (Gambar

71). Data hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 65% petani padi sawah di Jawa

yang memiliki kearifan lokal dengan menerapkan budaya bertani dengan pola

tanam IP200 (2 kali padi sawah, 1 kali palawija). Kearifan lokal ini diterapkan di

zona B (S1/IP200), dan H (S3/IP200) yang mendominasi cakupan lahan sawah

produktif di Jawa.

Pada pola tanam IP200 (2 kali padi sawah, 1 kali palawija), petani secara

cerdas memberikan waktu istirahat pada tanah untuk restorasi. Pada saat tanah

ditanami tanaman palawija, tanah dalam kondisi kering atau oksidatif. Kyuma

(2004) menjelaskan bahwa pengeringan tanah sawah mengakibatkan ion Fe2+ (ion

ferro) teroksidasi menjadi ion Fe3+ (ion ferri), yang ditunjukkan oleh bercak-

bercak (mottles) warna karat (coklat kekuningan) yang umumnya terbentuk pada

zona perakaran. Bercak-bercak warna karat ini menunjukkan adanya mineral

amorf hematit (Fe2O3.nH2O). Pada saat tanah kondisi kering diari atau terjadi

hujan, senyawa Fe2O3 bereaksi dengan H2O untuk membentuk senyawa ferri

hidrooksida Fe(OH)3, yang mengandung gugusan ion Fe3+ dan OH-. Ion Fe3+

menjadi tercuci dan pH tanah menjadi naik karena meningkatnya ion OH- dalam

larutan tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki (1960, dalam

Kyuma, 2004) menunjukkan bahwa pengairan pada tanah sawah yang

dikeringkan mengakibatkan pH tanah naik dari 5,6 menjadi 6,3. Peningkatan pH

ini seiring dengan peningkatan potensi redoks (Eh).

Pengelolaan tanah sawah dengan menggunakan intesitas penanaman IP200-

PL (Padi, Padi, Palawija) yang umum diterapkan di Jawa juga memungkinkan

tanah terhindar dari ancaman ion Fe2+ yang dapat meracuni tanaman padi. Pada

kondisi pengelolaan tanah dengan intensitas penanaman IP200-PL, reaksi tanah

masih dalam kondisi oksidatif, sehingga masih dimungkinkan ion Fe3+ menjadi

tercuci ketika terjadi hujan atau dilakukan pengairan. Pengurangan ion besi

melalui sistem bera total (IP200-Bera) atau pergiliran dengan tanaman palawija

Fe2O3 + 3H2O

2Fe3+ + 6OH- (tercuci)

Page 50: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

179

(IP200-PL) merupakan tindakan bijak dari para petani untuk menjaga

keberlanjutan pertanian lahan sawah.

Kebalikan dari pola tanam IP200, budaya lokal dengan pola tanam IP300 di

zona A (S1/IP300) dan G (S3/IP300) yang banyak dijumpai di desa-desa di

wilayah kecamatan Ajung, Balung, Jelbuk, Mayang, Silo, dan Tanggul tidak

memberi kesempatan tanah beristirahat. Pada kondisi demikian, tanah secara

terus menerus dalam kondisi reduksi. Ponnamperuma (1976) menjelaskan bahwa

pada tanah sawah tergenang, ion Fe3+ tereduksi menjadi ion Fe2+ yang larut

dalam larutan tanah. Penggenangan tanah sawah secara terus menerus

dikhawatirkan terjadi akumulasi ion Fe2+ yang dapat meracuni tanaman. Selain

itu, penggenangan tanah sawah terus menerus diindikasikan dapat menimbulkan

pencemaran tanah, air, dan lingkungan karena efek residu pupuk dan pestisida

secara berlebihan, serta produksi gas rumah kaca (GRK), terutama gas metan

(CH4), nitro oksida (N2O), dan CO2 (Kyuma, 2004; Las, 2006). Munculnya gas

metan pada tanah sawah , menurut Kyuma (2004), dipicu oleh kondisi tanah yang

ekstrim reduktif. Pada kondisi reaksi tanah yang demikian, gas CO2 tereduksi

membentuk gas metan, yang dinyatakan dengan reaksi kimia sebagai berikut:

(1/8) CO2 + H+ + e = (1/8) CH4 (g) + (¼ ) H2O

Dari penjelasan perspektif ilmu tanah tersebut, penerapan IP200 dapat

berperan untuk menjaga tanaman padi sawah agar tidak mengalami keracunan ion

Fe2+ (ion ferro) yang berlebihan apabila tanah sawah digenangi air terus-menerus.

Selain itu, penerapan IP200 juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan

karena emisi gas rumah kaca, yaitu gas metan (CH4), karbondiosida (CO2) dan

nitrooksida (N2O), dari tanah sawah seperti yang dikemukakan oleh Prasetyo et al.

(2004). Pengaruh budaya lokal terhadap proses pedogenesis tersebut tidak

terlepas dari konsep pembentukan tanah yang dikemukakan oleh Jenny (1941),

yang dikatakan bahwa tanah sebagai benda alami tiga dimensi terbentuk dari hasil

interaksi antara iklim, organisma, relief, bahan induk, dan waktu. Pengaruh

budaya dalam konsep pedologi adalah melalui faktor organisma yang mencakup

perilaku manusia. Pengaruh budaya melalui perilaku manusia terhadap proses

pedogenesis ini mencerminkan konsep pedologi dalam lingkup ekologi, yang

dikenal sebagai ekopedologi.

Page 51: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

180

Berdasarkan hasil survei di lapangan, pola tanam padi sawah dengan IP300

banyak yang dipaksakan oleh para petani di beberapa daerah kabupaten Jember,

Madiun, Nganjuk (provinsi Jawa Timur), Sragen (provinsi Jawa Tengah), Bantul

(provinsi DI. Yogyakarta); dengan melakukan penyedotan air tanah pada musim

kemarau (Gambar 72). Ketersediaan air di daerah-daerah ini sebenarnya hanya

mampu untuk pola tanam padi sawah dengan IP200. Karena tuntutan kebutuhan

hidup, para petani di daerah-daerah tersebut memaksakan menanam padi pada

musim kemarau, walaupun suplai air dari irigasi tidak mencukupi. Dengan

berbekal pengetahuan yang sederhana, mereka memompa air tanah agar dapat

menanam padi pada musim kemarau, tanpa menyadari dampaknya yang dapat

menimbulkan krisis air karena air tanah berperan sangat vital untuk mendukung

sektor kehidupan lainnya, terutama sektor pemukiman dan industri. Sampai

dengan saat ini, dampak fenomena pemompaan air tanah untuk menanam padi

memang belum menimbulkan krisis persediaan air tanah. Namun demikian,

a) Lokasi: Desa Mojokerto, kecamatan Kedawung, kabupaten Sragen (16 Agustus 2009)

b) Lokasi: Desa Gandul, kecamatan Bagor, kabupaten Nganjuk (26 September 2009)

c) Daerah Parangtritis, kecamatan Kretek kabupaten Bantul (15 Agustus 2009)

d) Lokasi: desa Bagi, kecamatan Madiun kabupaten Madiun (18 Juli 2009)

Gambar 72. Contoh budaya eksploitatif usahatani padi sawah di kabupaten Sragen, Nganjuk, Bantul, dan Madiun (a, b,c,d)

Page 52: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

181

budaya lokal petani yang eksploitatif tersebut perlu dicermati agar keseimbangan

ketersediaan air secara sunnatullah melalui siklus hidrologi di daerah aliran

sungai (DAS) dapat terjaga. Penyedotan air tanah mengakibatkan percepatan

penurunan tinggi muka air tanah (water table), sehingga penyedotan air tanah

dalam skala luas dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan air tanah.

Apabila volume pengisian air tanah (ground water recharge) tidak sebanding

dengan volume air yang disedot, maka krisis air dimungkinkan akan terjadi.

Berdasarkan hasil pemetaan neraca sumberdaya air yang dilakukan oleh Suryanto

et al. (2001), neraca air di Jawa pada musim kemarau (Mei – Agustus) pada

umumnya mengalami defisit sebesar 118 – 653 juta m3/th. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Sukrisno dan Warsono (1990) dan Muhammad (1997)

dalam Asdak (2004) menunjukkan bahwa pengambilan air tanah telah dan

sedang memberikan dampak serius terhadap kelangsungan persediaan air tanah di

daerah Bandung dan sekitarnya. Dari tahun 1970 – 1995, pengambilan air tanah

dengan jumlah sumur bor 96 menjadi 2.225 telah mengakibatkan penurunan

produksi air tanah rata-rata dari 0.11 juta m3/th menjadi 0.03 juta m3/th. Hasil

penelitian para ahli tersebut mengisyaratkan perlunya upaya-upaya pengaturan

dari pihak-pihak terkait terhadap pengambilan air tanah untuk pemaksaan pola

tanam padi sawah dengan IP300 pada musim kemarau, agar kekhawatiran

terjadinya krisis persediaan air tidak terjadi. Asdak (2004) mengemukakan

bahwa peningkatan pengambilan air tanah yang tidak direncanakan dengan baik

dan terutama tidak diikuti dengan usaha-usaha konservasi air tanah yang memadai

dapat mengakibatkan terjadinya degradasi dan deplesi sumber-sumber air tanah.

5.4.2 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Penataan Ruang

Pada hakekatnya tujuan penataan ruang sebagaimana yang telah

diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 2 (UUPR Pasal 2) adalah untuk mewujudkan pembangunan nasional

berkelanjutan di berbagai sektor. Untuk mewujudkan pembangunan pertanian

berkelanjutan, perlindungan lahan pertanian dilakukan dengan melakukan

pengalokasian pemanfaatan ruang (lahan) harus didasarkan pada dukung

lingkungannya. Dalam penelitian ini, IKLS yang dipetakan berdasarkan zona

Page 53: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

182

agroekologi dapat digunakan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah

yang sesuai dengan kondisi ekologisnya.

Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, hasil pemetaan IKLS dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar status keberlanjutan lahan di

Jawa termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, yang dicerminkan oleh nilai

indek indikator utama dari faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Berdasarkan nilai indeks di setiap indikator utama yang berperan sebagai faktor

penghambat, kegunaan nilai IKLS di setiap zona agroekologi dapat digunakan

sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang

dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Kegunaan

nilai IKLS berdasarkan hasil kajian pengelolaan sawah dapat berperan untuk

mendukung pelaksanaan penataan ruang, terutama dari aspek pengendaliannya.

5.4.2.1 Faktor Biofisik

Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, indikator utama dari faktor

biofisik yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah

berbeda-beda di setiap zona agroekologi. Hasil kajian pengelolaan lahan sawah

untuk mendukung penataan ruang berdasarkan nilai IKLS di setiap zona

agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 40. Pada zona A (S1/IP300)

dengan nilai rata-rata IKLS 0,36 (kurang berkelanjutan), permasalahan

keberlanjutan lahan sawah yang ditunjukkan oleh indikator kandungan C-organik,

N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serta serangan hama dan penyakit tanaman

dapat diatasi dengan pengelolaan lahan sawah yang menerapkan penambahan

unsur hara berimbang dan pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu.

Penambahan unsur hara berimbang dapat dilakukan dengan pemupukan organik

dan anorganik secara berimbang. Pengelolaan lahan sawah tersebut bersinergi

dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikemukakan oleh

Zaini et al. (2009). Pemupukan organik dilakukan dengan menggunakan bahan

organik berupa sisa tanaman (jerami padi), kotoran hewan, pupuk hijau, dan

kompos (humus). Pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu

dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah populasi orgasnisma pengganggu

Page 54: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

183

tanaman (OPT) yang mengakibatkan tingkat kerusakan tanaman menurut kerugian

ekonomi atau aman tindakan.

Tabel 40. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang

berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor biofisik

ZAELS (Nilai IKLS)

Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat)

Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang

A (S1/IP300) (IKLS: 0.36)

C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serangan hama dan penyakit tanaman

Penambahan unsur hara berimbang dan pengendalian hama & penyakit tanaman

B (S1/IP200) (IKLS:0.33)

Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, P-tersedia, kondisi irigasi

Perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi

C (S1/IP100) (IKLS:0.30)

Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, kondisi irigasi

Pembangunan irigasi, penambahan unsur hara berimbang

D (S2/IP300) (IKLS:0.54)

C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia Penambahan unsur hara berimbang

E (S2/IP200) (IKLS:0.49)

Bahaya banjir, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, P total, dan K-total

Konservasi tanah dan air, penambahan unsur hara berimbang

F (S2/IP100) (IKLS:0.32)

Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi irigasi

Pembangunan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.

G (S3/IP300) (IKLS:0.45)

C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, Penambahan unsur hara berimbang

H (S3/IP200) (IKLS:0.41)

Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia, kondisi irigasi

Pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.

I (S3/IP100) (IKLS:0.25)

Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia,, K-total, kondisi irigasi

Pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.

Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat

Pada zona B (S1/IP200) dengan nilai rata-rata IKLS 0.33 (kurang

berkelanjutan) yang dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air, C-

organik, N-total, P-tersedia, dan kondisi irigasi; pengelolaan lahan sawah untuk

mendukung penataan ruang dapat dilakukan dengan perbaikan saluran irigasi,

penambahan unsur hara berimbang, dan penyediaan ketersediaan air minimum

untuk pertumbuhan tanaman padi. Perbaikan saluran irigasi dimaksudkan untuk

memperbaiki saluran-saluran irigasi yang rusak karena bencana banjir,

pendangkalan oleh bahan sedimen karena erosi yang banyak dijumpai pada saat

survei lapangan seperti di kabupaten Jember, Malang, Blitar, Nganjuk, Madiun,

Tuban, Sragen, Bantul, Cilacap, Tegal, Pemalang; Subang, Pandegelang, dan lain-

Page 55: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

184

lain. Adapun penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan tanaman

padi dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pengairan dengan

teknik berselang (intermitten), yaitu teknik pengairan dengan mengatur kondisi

sawah tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu.

Pada zona C (S1/IP100) dengan nilai rata-rata IKLS 0.30 (kurang

berkelanjutan), pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang

meliputi pembangunan irigasi dan penambahan unsur hara berimbang untuk

mengatasi keterbatasan ketersediaan air, rendahnya C-organik, N-total, K-tersedia,

P-tersedia, dan kondisi irigasi. Pembangunan irigasi di zona C (S1/IP100) yang

merupakan lahan sawah tadah hujan sangat berpotensi untuk meningkatkan

produksi padi di zona ini, mengingat kesesuaian lahannya termasuk kategori

sangat sesuai (S1). Seperti di zona A (S1/IP300) dan zona B (S1/IP200),

pengelolaan lahan sawah di zona C (S1/IP100) adalah dengan melakukan

penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan

tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, P-tersedia,

dan K-tersedia. Kandungan C-organik tanah yang rendah dapat diatasi dengan

pemberian bahan organik berupa sisa tanaman (jerami padi), kotoran hewan,

pupuk hijau dan kompos. Kandungan N-total, P-tersedia, dan K-tersedia yang

rendah dapat diatasi dengan pemupukan anorganik berdasarkan kebutuhan

tanaman dan status hara tanah.

Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona D

(S2/IP300) dengan nilai rata-rata IKLS 54% (cukup berkelanjutan) dapat

dilakukan melalui penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi

permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-

organi, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia. Masalah ketersediaan air di zona D

(S2/IP300) ini tidak menjadi kendala karena zona ini memiliki debit air tanah

yang besar, yaitu > 10 liter/det/ha, yang dapat mensuplai ketersediaan air untuk

kebutuhan air lahan sawah sepanjang tahun.

Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona E

(S2/IP200) dengan nilai rata-rata IKLS 0.49 (kurang berkelanjutan) dapat

dilakukan melalui konservasi tanah dan penambahan unsur hara berimbang.

Konservasi tanah dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan

Page 56: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

185

lahan sawah yang disebabkan oleh indikator bahaya banjir yang memiliki nilai

indeks 0.55, sedangkan penambahan unsur hara berimbang dimaksudkan untuk

mengatasi rendahnya kandungan unsur hara tanah (C-organik tanah, P dan K).

Indikator ketiga unsur hara tanah ini memiliki nilai indek < 0.50 (kurang

berkelanjutan). Konservasi tanah di zona E (S2/IP200) ini perlu dilakukan di

DAS bagian hulu yang mengalami penggundulan hutan. Seperti yang telah

dikemukan sebelumnya, bencana banjir akibat penggundulan hutan ini sering

dialami di kecamatan Panti (Kabupaten Jember) yang terletak wilayah DAS

Bedadung (Lereng G.Argopuro). Konservasi tanah di bagian DAS hulu dimaksud

dapat dilakukan dengan menggunakan metode vegetatif seperti yang dijelaskan

oleh Arsyad (2006, 2008), yaitu dengan melakukan penanaman tumbuhan hutan

(penghutanan).

Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona F

(S2/IP100) yang merupakan sawah tadah hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS

0.32 (kurang berkelanjutan) meliputi pembangunan irigasi, penambahan unsur

hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, serta pengendalian

hama & penyakit tanaman terpadu. Pembangunan dan perbaikan irigasi adalah

untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh

indikator kondisi irigasi, yang memiliki nilai IKLS 0.08. Penambahan unsur

hara berimbang dan ketersediaan air minimun untuk pertumbuhan padi

dimaksudkan untuk mengatasi masalah ketersedian air (IKLS: 0.50) dan unsur

hara tanah C-organik (IKLS: 0.25), N-total (IKLS: 0.27), K-tersedia (0.26), dan

P-tersedia (IKLS: 0.54). Adapun pengendalian hama & penyakit tanaman terpadu

adalah untuk mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman, terutama hama

tikus sawah, keong emas, wereng coklat, penggerek batang padi, penyakit tungro

dan hawar daun bakteri.

Seperti halnya di zona D (S2/IP300), pengelolaan lahan sawah untuk

mendukung penataan ruang di zona G (S3/IP300) juga dapat dilakukan melalui

penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan

tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, K-tersedia,

dan P-tersedia. Faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah ini dicerminkan

oleh nilai IKLS dari keempat unsur hara tanah yang rendah (0.40 – 0.55).

Page 57: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

186

Besarnya debit air irigasi (> 10 liter/der/ha) dari air tanah di zona G (S3/IP300) ini

memungkinkan penanaman padi dapat dilakukan 3 kali dalam setahun (IP300).

Di zona H (S3/IP200) yang memiliki nilai IKLS 0.41 (kurang berkelanjutan),

pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dapat dilakukan

melalui pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang,

penyediaan ketersediaan air menimum untuk pertumbuhan padi, dan pengendalian

hama & penyakit tanaman secara terpadu. Pengelolaan lahan sawah dengan

pembangunan dan perbaikan irigasi didasarkan pada indikator utama ketersediaan

air dan kondisi irigasi, yang sama-sama memiliki nilai IKLS 0.55 (cukup

berkelanjutan). Berdasarkan survei lapangan dan data sekunder, ketersediaan air

di zona H (S3/IP200) yang memiliki tipe agroklimat C3 (periode bulan basah 5 –

6 bulan) dan debit air irigasi dari air tanah (2.5 – 10 liter/det/ha) masih dapat

dikategorikan cukup untuk dapat menerapkan penanaman padi sawah dengan

IP200. Namun demikian, pengelolaan lahan sawah dengan menerapkan

penyediaan air minimum untuk pertumbuhan padi dinilai masih cukup penting

untuk mengefisiensikan penggunaan air, mengingat musim kemarau panjang

sebagai dampak perubahan iklim global (Susandi, 2009) masih sering menerpa

Indonesia pada umumnya dan pulau Jawa pada khususnya.

Seperti halnya di zona F (S2/IP100), pengelolaan lahan sawah untuk

mendukung penataan ruang di zona I (S3/IP100) yang merupakan sawah tadah

hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS 0.25 (keberlanjutan buruk) juga dapat

dilakukan melalui pembangunan irigasi, penambahan unsur hara dan ketersediaan

air minimum untuk pertumbuhan padi. Pengelolaan lahan sawah dimaksud

adalah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang

dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air (IKLS: 0.04 ), C-organik

(IKLS: 0.26), N-total (IKLS: 0.28 ), K-tersedia (IKLS: 0.25), P-tersedia (IKLS:

0.33), P-total (IKLS: 0.40), K-total (IKLS: 0.40), dan kondisi irigasi (IKLS: 0.04).

Pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan

sawah yang dicerminkan oleh nilai IKLS dari indikator faktor biofisik ini adalah

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UUPR, yaitu Pasal 3

butir a (penyelenggaraan penataan ruang harus harmonis antara lingkungan alam

dan lingkungan buatan), Pasal 3 butir b (keterpaduan dalam penggunaan

Page 58: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

187

sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya

manusia), dan Pasal 3 buitir c (terwujudnya perlindungan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang).

5.4.2.2 Faktor Ekonomi

Hasil kajian pengelolaan lahan untuk mendukung penataan ruang

berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah disajikan pada Tabel 41. Secara

keseluruhan, faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah di hampir semua zona

agroekologi pada umumnya dicerminkan oleh indikator utama keuntungan, modal

usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan. Berdasarkan nilai IKLS indikator-

indikator utama tersebut, pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi keberlanjutan

lahan sawah dapat melalui peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran,

pemberian subsidi/kredit kredit usahatani, revisi peta RTRW, serta pemberian

insentif dan disinsentif. Pengelolaan lahan sawah dengan peningkatan posisi

tawar petani dan pemberian subsidi/kredit usahatani merupakan faktor kunci

untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh

indikator utama keuntungan yang diperoleh petani (IKLS: 0.10 – 0.50), modal

usahatani (0.19 – 0.48), dan akses pupuk (0.13 – 0.50). Revisi peta RTRW

provinsi atau kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif dimaksudkan

untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh

konversi lahan sawah.

Permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator

keuntungan yang diperoleh petani (IKLS: 0.10 – 0.50) dan modal usahatani

(IKLS: 0.19 – 0.48) merupakan masalah mendasar yang dihadapi oleh petani padi

sawah di Jawa. Kedua indikator utama ini berperan esensial dalam menentukan

keberlanjutan lahan sawah. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya,

rendahnya keuntungan yang diperoleh petani dan keterbatasan modal usahatani

membuktikan adanya kegagalan mekanisme pasar yang dipicu oleh sifat lahan

sawah yang multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai barang publik dan

ketidakberpihakan pemerintah kepada petani. Oleh karena itu, penataan ruang

untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan mustahil akan dapat

Page 59: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

188

terwujud apabila pemerintah tetap tutup mata terhadap keterpurukan kehidupan

ekonomi para petani.

Tabel 41. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor ekonomi

ZAELS (Nilai IKLS)

Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat)

Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang

A (S1/IP300) (IKLS:0.47)

Keuntungan,, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani

B (S1/IP200) (IKLS:0.37)

Modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Pemberian subsidi/kredit usahatani, dan revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif

C (S1/IP100) (IKLS:0.32)

Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani

D (S2/IP300) (IKLS:0.36)

Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan

Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif

E (S2/IP200) (IKLS:0.27)

Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan

Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif

F (S2/IP100) (IKLS:0.38)

Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani

G (S3/IP300) (IKLS:0.39)

Keuntungan, modal usahatani, konversi lahan Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif

H (S3/IP200) (IKLS:0.39)

Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani

I (S3/IP100) (IKLS: 0.33)

Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani

Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat

Pengelolaan lahan sawah dengan melakukan revisi peta RTRW provinsi atau

kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif adalah untuk mengatasi

ancaman keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator konversi

lahan. Indikator utama ini mengancam keberlanjutan lahan sawah di zona B

(S1/IP200), zona D (S2/IP300), zona E (S2/IP200), dan zona G (S3/IP300). Nilai

IKLS indikator konversi lahan sawah di ZAE-ZAE berkisar antara 0.31 dan 0.50.

Berdasarkan penelitian ini, timbulnya ancaman keberlanjutan lahan sawah oleh

konversi lahan disebabkan oleh rencana sistematis melalui mekenaisme RTRW

(Isa, 2006) dan tuntutan kebutuhan hidup petani. Untuk mengatasi ancaman

konversi lahan sawah karena mekanisme RTRW, peta RTRW provinsi dan

kabupaten mutlak dilakukan. Ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah

Page 60: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

189

karena RTRW ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena hal ini melanggar

undang-undang penataan ruang itu sendiri.

Menurut Rustiadi et al. (2008), di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi

lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-

aktivitas yang land rent lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan

konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Karena

lahan sawah memiliki sifat multifungsi, maka konversi lahan sawah menjadi non

sawah karena pergeseran nilai land rent tidak selalu dapat membawa keuntungan

bagi petani karena ada nilai fungsi lahan sawah yang tidak ditransaksikan di pasar,

seperti fungsi sosial-budaya dan kelestarian sumberdaya tanah. Adanya kegagalan

pasar ini harus dikendalikan oleh institusi non-pasar. Oleh karena itu, pengelolaan

lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif kepada petani dinilai

penting agar petani tidak begitu mudah menjual lahan sawahnya karena hanya

sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi semata. Upaya pengelolaan

lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif ini sesuai dengan

ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dalam UUPR, yaitu bab 3 Pasal 35

dan Pasal 38.

5.4.2.3 Faktor Sosial-Budaya

Berdasarkan nilai rata-rata IKLS dari indikator utama sosial-budaya yang

berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan, pengelolaan lahan sawah

untuk mendukung penataan ruang meliputi pengendalian jumlah penduduk,

usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria (Tabel 42).

Penentuan pilihan pengelolaan lahan sawah tersebut merujuk pada permasalahan

keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama pada Gambar

67a, 67b, dan 67c yang memiliki nilai IKLS ≤ 0. 50, yaitu persepsi petani

terhadap harga padi HPP (nilai IKLS: 0,06 – 0,50), penguasaan lahan (IKLS: 0.10

– 0.50), fragmentasi lahan (IKLS: 0.17 – 0.49), pendidikan petani (IKLS: 0.13 –

0.48), usia petani (IKLS: 0.47 – 0.50), dan budaya lokal (IKLS: 0.07 – 0.46).

Hasil penelitian ini bermakna bahwa permasalahan keberlanjutan lahan sawah

yang disebabkan oleh faktor sosial-budaya terjadi di hampir semua zona

agroekologi.

Page 61: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

190

Tabel 42. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor sosial-budaya

ZAELS (Nilai IKLS)

Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat)

Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang

A (S1/IP300) (IKLS:0,37)

Penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani,

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

B (S1/IP200) (IKLS:0,40)

Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

C (S1/IP100) (IKLS:0,26)

Penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

D (S2/IP300) (IKLS:0,30)

Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

E (S2/IP200) (IKLS:0,25)

Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

F (S2/IP100) (IKLS:0,32)

Persepsi terhadap harga padi HPP, keanggotaaan dalam Poktan, peranan penyuluhan, penguaasaan lahan, pendidikan petani, usia petani

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

G (S3/IP300) (IKLS:0,36)

Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani, budaya lokal

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

H (S3/IP200) (IKLS:0,33)

Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

I (S3/IP100) (IKLS:0,28)

Persepsi terhadap harga padi HPP, penolakan konversi lahan, peenguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani

Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria

Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat

Pengelolaan lahan dengan melalui pengendalian jumlah penduduk, usahatani

bersama, pemberdayaan petani & Poktan, dan reforma agraria merupakan faktor

kunci untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah dari faktor

sosial-budaya. Pengendalian jumlah penduduk (petani) dan reforma agraria dapat

berperan untuk mengurangi penguasaan lahan yang timpang (hampir 75% petani

di Jawa merupakan petani penggarap) dan fragmentasi lahan yang semakin

menyempit (lahan garapan petani penggarap < 0.3 ha) karena penerapan sistem

hukum waris. Usahatani bersama adalah untuk mengefisiensikan usahatani secara

kolektif dari para petani yang memiliki lahan sempit, agar petani dapat

memperoleh keuntungan yang layak. Pemberdayaan petani &Poktan dimaksudkan

untuk memberdayakan petani yang tergabung dalam Poktan melalui kegiatan

penyuluhan (adopsi teknologi, budaya tani yang ramah lingkungan) dan

Page 62: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

191

menanamkan “cinta bertani” kepada generasi muda agar usahatani padi sawah

tetap dapat berkelanjutan. Semua upaya pengelolaan lahan sawah dimaksud

adalah untuk mewujudkan penataan ruang kawasan perdesaan yang diarahkan

untuk pemberdayaan masyarakat perdesaan (UUPR Pasal 48 ayat 1 butir a) dan

konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (UUPR Pasal 48 butir c).

5.5 Kesimpulan dan Saran

5.5.1 Kesimpulan

1. Status keberlanjutan lahan sawah ditentukan oleh indikator faktor biofisik,

ekonomi, dan sosial-budaya petani yang ada di setiap zona agroekologi lahan

sawah. Jumlah indikator utama dari ketiga faktor tersebut bervariasi,

tergantung pada karakteristik zona agroekologi lahan sawah.

2. Indeks keberlanjutan lahan sawah di Jawa sebagian besar termasuk kategori

cukup berkelanjutan. Indikator utama yang sebagian besar berperan sebagai

faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air, bahaya

banjir, kandungan C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, perolehan

keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, potensi konversi lahan, persepsi

terhadap harga padi, penguasaan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani,

dan usia petani. Indikator utama yang berperan sebagai pendukung

keberlanjutan di semua zona agroekologi lahan sawah adalah tingkat salinitas,

kandungan unsur hara K-total dan P-total, fasilitas pengolahan hasil panen dan

pemasaran yang kondusif, serta kondisi sosial-budaya masyarakat petani yang

memiliki motivasi bertani tinggi, menolak konversi lahan sawah menjadi non-

sawah, dan kearifan lokal pengelolaan lahan sawah yang mendukung

kelestarian sumberdaya tanah.

3. Indeks keberlanjutan sawah yang dipetakan berdasarkan zona agroekologi

dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan untuk mendukung

pelaksanaan penataan ruang, terutama dalam hal pengendalian ruang yang

bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan.

Page 63: 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek ... penduduk terhadap

192

5.5.2 Saran

1. Penanganan permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa disarankan

untuk dapat difokuskan pada indikator utama yang berperan sebagai faktor

penghambat, dengan tetap menjaga indikator yang berperan sebagai faktor

pendukung keberlanjutan. Indikator yang berperan sebagai faktor penghambat

keberlanjutan lahan sawah dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan

lahan sawah untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lahan sawah yang

mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari

aspek ketersediaan beras. Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung

perlu dijaga kualitasnya agar tidak berbalik menjadi faktor penghambat yang

dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah.

2. Kekhawatiran budaya eksploitatif petani dengan melakukan pemompaan air

tanah untuk memaksakan penanaman padi dengan IP300 disarankan untuk

dikaji lebih detil agar tidak berkembang meluas. Pengkajian dampak

pemompaan air tanah untuk pengairan padi sawah pada musim kemarau dapat

diarahkan ke langkah-langkah pencegahan agar tidak menimbulkan kerusakan

lingkungan karena gangguan keseimbangan neraca air.

3. Untuk mengantisipasi ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah

perlu dibuat peraturan yang melarang pemilikan lahan sawah di luar wilayah

desa kawasan persawahan. Lahan sawah tidak boleh dikonversi menjadi non-

sawah tanpa seijin penduduk di wilayah desa dimana lahan sawah berada.

4. Para pemangku kepentingan disarankan melakukan sosialisasi kepada petani

padi sawah tentang konservasi lingkungan dan adaptasi perubahan iklim

dengan menggali potensi kearifan lokal, agar kelangkaan air dan bahaya

banjir sebagai dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam

keberlanjutan lahan sawah dapat dikurangi secara efektif dan efisien.