2.8. mengelola fungsi lingkungan kebun ok
DESCRIPTION
lhTRANSCRIPT
BAHAN AJARPELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI
ASISTEN KEBUN KELAPA SAWIT
KODE PROGRAM PELATIHAN : A.0126201.01.15
Mengelola Fungsi Lingkungan Kebun(Kode: TAN. KS02.008.01)
I. Judul Unit Kompetensi : MENGELOLA FUNGSI LINGKUNGAN KEBUN
KEMENTERIAN PERTANIAN RIBADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA PERTANIANJl. Harsono RM No.3 Ragunan Jakarta Selatan
2015
II. Kompetensi Dasar :
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu mengelola fungsi
lingkungan kebun tanaman kelapa sawit.
III. Indikator Kompetensi : Setelah selesai pembelajaran peserta dapat ,
1. Menyiapkan Pekerjaan
2. Melakukan Konservasi Keanekaragaman Hayati
3. Melakukan pengelolaan fungsi lingkungan fisik kebun
IV. Langkah Kerja:
1. Mengidentifikasi kebijakan yang terkait dengan fungsi lingkungan kebun
dalam pengelolaan lingkungan kebun.
2. Memahami konsep konservasi keanekaragaman hayati sebagai bagian dari
lingkungan kebun.
3. Menyusun dan menetapkan perencanaan pengelolaan fungsi lingkungan
kebun.
4. Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dan relevan dilakukan sesuai
dengan kebijakan dan prosedur.
5. Mengidentifikasi keanekaragaman melakukan konservasi keanekaragaman
hayati.
6. Merencanakan konservasi sesuai dengan lingkungan.
7. Mengintegrasikan konservasi sesuai dengan ketentuan dalam pengelolaan
kebun.
8. Menyusun rencana pengelolaan fungsi lingkungan fisik kebun sesuai dengan
ketentuan.
9. Mengelola fungsi lingkungan fisik kebun sesuai dengan standar pengelolaan
kebun.
10.Melakukan penanganan limbah kebun sesuai dengan ketentuan
11.Membuat catatan dan rekaman hasil pengelolaan fungsi lingkungan kebun
dengan menggunakan format dan prosedur yang ditetapkan.
V. Teori Fungsional
Gencarnya isu negatif, masalah, dan tuntutan bagi industri sawit
merupakan sebuah tantangan bagi perkembangan dunia persawitan. Berkenaan
dengan hal tersebut, dewasa ini di kalangan pemangku kepentingan perkebunan
termasuk kelapa sawit Indonesia telah berkembang wacana dan bahkan telah
dijabarkan dalam langkah kongkrit sebagai upaya agar Indonesia memiliki sistem
sendiri tentang pembangunan kelapa sawit yang berpedoman pada prinsip
berkelanjutan (sustainability) yang berwawasan lingkungan.
Penetapan prinsip sustainability dalam pembangunan kelapa sawit
Indonesia yang berwawasan lingkungan tentu berdasar pada 1) komitmen
internasional; 2) UUD 1945; 3) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
4) referensi kepada tuntutan pembeli dan komitmen dari produsen; 5) Uni Eropa
dan seluruh jaringannya di luar negeri hanya akan membeli minyak sawit yang
sustainable pada tahun 2015. Di samping itu juga berpedoman pada
Commitment International di bawah UNCED Agenda 21 (Global Programme of
Action on Sustainable Development) yaitu 1) Rio Earth Summit 1992; 2) Earth
Summit +5 1997; 3) World Summit on Sustainable Development 2002
(Johannesburg); 4) International Conference on Financing Development (DOHA
Round)-Monterey Consensus. Dimana Hasilnya organisasi PBB ini meminta
semua negara sejumlah 178 menerapkan sustainable development principles.
Penerapan prinsip sustainability tersebut selanjutnya dijabarkan dalam
beberapa kebijakan Pemerintah Indonesia. Diantaranya:
1) Memberlakukan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tanggal 28 Februari 2007 tentang
Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan;
2) Memberlakukan secara resmi mulai Maret 2012 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO);
3) Membuat kebijakan bahwa kebun kelapa sawit yang sudah mendapat Kelas I,
Kelas II, dan Kelas III dapat langsung mengajukan permohonan Sertifikasi
ISPO; kebun kelapa sawit Kelas I, Kelas II, dan Kelas III harus menerapkan
ISPO paling lambat 31 Desember 2014;
4) Penerapan ISPO bersifat mandatory (harus/wajib) dalam artian semua
ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia wajib dipatuhi dan diterapkan oleh
seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit serta akan ditindak bagi yang
melanggar.
ISPO merupakan tuntunan/guidance pengembangan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesiadan merespons tuntutan pasar global.
Adapun tujuan ditetapkannya ISPO adalah meningkatkan kesadaran
tentang pentingnya memproduksi minyak sawit lestari; meningkatkan daya saing
minyak sawit Indonesia di pasar internasional; mendukung komitmen Indonesia
untuk mengurangi emisi GRK; mendukung komitmen unilateral pemerintah
Indonesia di Kopenhagen (2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan
Norwegia (2010). Dengan demikian ISPO merupakan mandatory/kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di
Indonesia.
Tujuan lainnya adalah untuk memposisikan pembangunan kelapa sawit
sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia; memantapkan
sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit
berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global; mendukung komitmen
Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup.
Pelaksanaan sertifikasi ISPO mengacu pada ketentuan nasional (Komite
Akreditasi Nasional) dan internasional (ISO). Persyaratan dalam ISPO meliputi 7
prinsip, 39 (41) kriteria dan 128 indikator. Dimana kewajiban yang harus dipenuhi
pelaku usaha pengembangan kelapa sawit berkelanjutan meliputi 7 prinsip
sebagai berikut:
1) Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan,
2) Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit,
3) Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan;
4) Tanggung Jawab Terhadap Pekerja,
5) Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas,
6) Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat,
7) Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.
1. Sistem Perijinan dan Manajemen Perkebunan
1.1. Perizinan dan sertifikat.
Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta sertifikat tanah.
1.2. Pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar
Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun
kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas
areal kebun yang diusahakan
1.3. Lokasi Perkebunan
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan
perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah
Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tata ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai dengan perundangan yang berlaku atau
kebijakan lain yang sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh
pemerintah atau pemerintah setempat.
1.4. Tumpang Tindih dengan Usaha Pertambangan
Pengelola usaha Perkebunan apabila di dalam areal
perkebunannya terdapat Izin usaha Pertambangan harus diselesaikan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1.5. Sengketa Lahan dan Kompensasi
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan perkebunan
yang digunakan bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani
disekitarnya. Apabila terdapat sengketa maka harus diselesaikan secara
musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan
perundangan dan /atau ketentuan adat yang berlaku namun bila tidak
terjadi kesepakatan maka penyelesaian lahan harus menempuh jalur
hukum.
1.6. Bentuk Badan Hukum
Perkebunan kelapa sawit yang dikelola harus mempunyai bentuk badan
hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.7. Manajemen Perkebunan
Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang untuk
memproduksi minyak sawit lestari.
1.8. Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan pabrik
1.9. Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai ketentuan yang berlaku
dan pemangku kepentingan lainnya terkecuali menyangkut hal yang patut
dirahasiakan
2. Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit
2.1.Penerapan pedoman teknis budidaya
1).Pembukaan lahan
Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
2). Konservasi Terhadap Sumber dan Kualitas Air
3). Perbenihan
Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul bermutu harus
mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
baku teknis perbenihan.
4). Penanaman pada lahan mineral
Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman sesuai baku teknis
5). Penanaman pada Lahan Gambut
Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan
dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak
menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan
6). Pemeliharaan tanaman
7). Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Pengelola perkebunan harus menerapkan sistem Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) sesuai Pedoman Teknis.
8). Pemanenan
Pengelola perkebunan melakukan panen tepat waktu dan dengan cara
yang benar
2.2 Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan.
1). Pengangkutan Buah.
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen harus
segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan
kualitas.
2). Penerimaan TBS di Pabrik
Pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima sesuai
dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
3). Pengolahan TBS.
Pengelola pabrik harus merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS
melalui penerapan praktek pengelolaan / pengolahan terbaik (GHP/GMP).
4). Pengelolaan limbah.
Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa sawit dikelola
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
5). Pengelolaan Limbah B3
Limbah B3 merupakan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan
atau beracun yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau jumlahnya
dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu
harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada
fungsi semula.
6). Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak
Gangguan sumber yang tidak bergerak berupa baku tingkat kebisingan,
baku tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat gangguan
lainnya ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan
terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta
kelestarian bangunan.
7). Pemanfaatan limbah.
Pengelola Perkebunan/Pabrik harus memanfaatkan limbah untuk
meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.
3. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
3.1 Kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik
Pengelola perkebunan yang memiliki pabrik harus melaksanakan
kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai ketentuan
yang berlaku.
3.2 Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL,UKL dan UPL.
Pengelola perkebunan harus melaksanakan kewajibannya terkait AMDAL,
UKL dan UPL sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.3 Pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Pengelola perkebunan harus melakukan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran
3.4 Pelestarian biodiversity
Pengelola perkebunan harus menjaga dan melestarikan keaneka
ragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan ijin usaha
perkebunannya
3.5 Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai nilai konservasi
tinggi
Pengelola perkebunan harus melakukan identifikasi kawasan yang
mempunyai nilai konservasi tinggi yang merupakan kawasan yang
mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa dengan tidak membuka untuk usaha perkebunan kelapa
sawit.
3.6 Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Pengelola usaha perkebunan harus mengidentifikasi sumber emisi GRK.
3.7 Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi.
Pengelola perkebunan harus melakukan koservasi lahan dan
menghindari erosi sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Tanggung Jawab terhadap Pekerja
1.1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Pengelola perkebunan wajib menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
1.2. Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja / buruh.
Pengelola perkebunan harus memperhatikan kesejahteraan pekerja
dan meningkatkan kemampuannya.
1.3. Penggunaan Pekerja Anak dan Diskriminasi pekerja (Suku, Ras, Gender
dan Agama)
Pengelola perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur
dan melakukan diskriminasi.
1.4. Pembentukan Serikat Pekerja.
Pengelola perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja
dalam rangka memperjuangkan hak-hak karyawan / buruh.
1.5. Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan
koperasi pekerja
2. Tangung Jawab Sosial dan Komunitas
2.1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan
Pengelola perkebunan harus memiliki komitmen sosial, kemasyarakatan
dan pengembangan potensi kearifan lokal.
2.2. Pemberdayaan Masyarakat Adat/ Penduduk Asli
Pengelola perkebunan berperan dalam mensejahterakan masyarakat
adat/ penduduk asli.
3. Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat
3.1. Pengembangan Usaha Lokal
Pengelola perkebunan memprioritaskan untuk memberi
peluang pembelian / pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di
sekitar kebun.
4. Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan
Pengelola perkebunan dan pabrik harus terus menerus meningkatkan kinerja
(sosial ekonomi dan lingkungan) dengan mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi
berkelanjutan.
Selain itu kebun yang dikelola perusahaan agar tidak menganggu dan
merusak kelestarian lingkungan hidup antara lain melalui pemantauan
lingkungan secara rutin diseluruh pabrik, pemantauan kinerja IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah), kajian awal, perancangan dan pengembangan Sistem
Manajeman Lingkungan dalam rangka Penerapan ISO 14001:2004, dan
kerjasama dengan BAPEDAL Propinsi dan Kabupaten.
Beberapa tanggung jawab kebun/perusahaan yang perlu dilakukan
sebagai berikut:
5. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Sebagai salah satu entitas bisnis yang besar di Provinsi Riau, Perusahaan
selalu berusaha keras untuk terus menjaga eksistensi dan keberlanjutan
operasionalnya agar dapat memberikan manfaat optimal baik bagi para
pemegang saham (shareholders) maupun stakeholders. Komitmen tersebut
menjadi salah satu pegangan penting bagi manajemen untuk mengelola
perusahaan. Perusahaan sebagai bagian dari lingkungan bisnis menjaga
keharmonisan dan keselarasan dengan komponen lingkungan internal dan
eksternal seperti karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat sekitar, lingkungan
ekologi dan komponen lainnya. Salah satu usaha yang dilakukan Perusahaan
adalah selalu mengikuti perkembangan Konferensi Minyak Sawit Lestari atau
RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
RSPO merupakan prakarsa berbagai pengambil keputusan di dunia
mengenai minyak sawit lestari dan telah menghasilkan 8 prinsip dan 39 kriteria
yang meliputi dimensi hukum, tanggung jawab lingkungan atau ekologi, tenaga
kerja dan sosial, dan komitmen ekonomi jangka panjang. Tujuan utama RSPO
adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan penggunaan minyak sawit lestari
melalui kerjasama dalam mata rantai pemasokan dan membuka dialog antara
para pengambil keputusan.
6. Tanggung Jawab Lingkungan Ekologis
Isu miring kerusakan lingkungan hidup akibat alih fungsi hutan menjadi
areal perkebunan merupakan salah satu bentuk kampanye negatif yang sangat
tidak menguntungkan bagi keberlanjutan industry perkebunan, khususnya sektor
industri kelapa sawit dan karet, yang diusahakan Perusahaan karena secara
tidak langsung dapat memengaruhi citra dan kinerja Perusahaan.
Hal tersebut menjadi salah satu perhatian serius pihak manajemen dan telah
ditindaklanjuti antara lain dengan mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan
operasional baik pabrik maupun kebun yang dikelola Perusahaan agar tidak
menganggu dan merusak kelestarian lingkungan hidup antara lain melalui
pemantauan lingkungan secara rutin diseluruh pabrik, pemantauan kinerja IPAL
(Instalasi Pengolahan Air Limbah), kajian awal, perancangan dan pengembangan
Sistem Manajeman Lingkungan dalam rangka Penerapan ISO 14001:2004, dan
kerjasama dengan BAPEDAL Propinsi dan Kabupaten.
7. Tanggung Jawab Terhadap Konsumen
Perusahaan senantiasa memelihara kualitas produk yang diserahkan
kepada pembeli. Perusahaan menetapkan batasan indikator-indikator mutu atas
produk yang diserahkan kepada pembeli, antara lain kadar asam lemak bebas,
kadar air, kadar kotoran dan sebagainya.
8. Tanggung Jawab Terhadap Karyawan
Hubungan antara Perusahaan dan karyawan dituangkan dalam Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) yang disusun oleh Perusahaan dan karyawan yang diwakili
oleh Serikat Pekerja Perkebunan (SP Bun). Perjanjian yang diperbaharui setiap
dua tahun ini mengatur hak dan kewajiban Perusahaan dan karyawan serta
tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan
peraturan ketenagakerjaan lainnya. Perusahaan memberikan fasilitas yang
memadai kepada karyawan, baik fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan,
fasilitas ekonomi (melalui koperasi karyawan), fasilitas olahraga dan fasilitas
lainnya.
Perusahaan menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti (defined
benefit) untuk seluruh karyawan tetap melalui Dana Pensiun Perkebunan
(Dapenbun). Dalam program ini, manfaat pensiun yang akan dibayarkan dihitung
berdasarkan gaji pokok terakhir dan masa kerja karyawan.
Pembinaan karyawan dilaksanakan secara terstruktur melalui mekanisme
reward and punishment serta mutasi dan promosi. Sedangkan untuk
pengembangan karyawan, Perusahaan memberikan kesempatan untuk
mengikuti berbagai program pendidikan, baik yang diselenggarakan secara
internal (in house training) maupun yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
pendidikan. Perusahaan juga menyediakan peluang yang sama kepada
karyawan yang memiliki kompetensi bidang kerja yang dibutuhkan Perusahaan
untuk pengembangan karirnya sesuai dengan kelayakan dan kemampuan.
Proses pengembangan karir karyawan dilakukan melalui tahapan-tahapan
uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan standar Perusahaan. Pelaksanaan
rekrutmen karyawan baru didasari atas kebutuhan Perusahaan dan dilaksanakan
melalui lembaga independen.
Selain tanggung jawab diatas, masih ada hal yang perlu dilakukan dalam
rangka mengelola funsi lingkungan kebun diantaranya:
1. Komunitas Bina Lingkungan
Sebagai wujud kepedulian Perusahaan terhadap masyarakat tempatan
dan sekaligus membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan serta
mengurangi kesenjangan sosial, Perusahaan bisa menyalurkan dana Bina
Lingkungan/CD untuk Kabupaten/Kota. Bentuk bantuan Bina Lingkungan yang
bias diberikan kepada masyarakat di lingkungan Perusahaan diberikan bagi
sektor Pendidikan, sektor Kerohanian, sektor Kesehatan, sektor Olahraga, sektor
Kesenian, bantuan untuk Bencana Alam dan Infrastruktur.
2. Proyek Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)
Dalam rangka pemerataan pembangunan melalui penyebaran
pendapatan masyarakat tempatan yang belum terakomodasi dalam kegiatan
pembangunan, Perusahaan bias melakukan kemitraan dengan petani. Hal ini
diwujudkan melalui pembangunan kebun kelapa sawit pola KKPA. Perusahaan
bermitra dengan sejumlah 15 Koperasi Unit Desa.
3. Petani Plasma
Hubungan antara perusahaan dan petani harus terus dijaga dalam
mengelola bisnis kelapa sawit. Perusahaan memberikan pembinaan manajemen
dan bantuan teknis kepada petani plasma sekitar kebun. Keberadaan
perusahaan harus merupakan salah satu faktor dalam meraih sukses dan
memberikan standar kehidupan yang lebih baik bagi petani.
4. Pengelolaan Limbah
Perusahaan mengupayakan teknologi yang lebih bersih dan ramah
lingkungan pada setiap kegiatan produksi. Perusahaan harus memastikan tidak
terdapat pencemaran terhadap tanah, udara dan air melalui pengelolaan limbah
seperti zero burning, land application dan analisa mengenai dampak lingkungan.
Perusahaan juga mencoba merubah anggapan bahwa produk sampingan seperti
cangkang, fiber, buangan pabrik bukanlah limbah, dan dapat dijadikan pupuk bila
diangkut ke kebun. Perusahaan yakin penciptaan lingkungan kerja yang sehat,
nyaman dan aman bukan hanya membawa kebaikan tetapi memberikan dampak
potensial bagi pertumbuhan usaha.
5. Koperasi dan PUKK
Program Kemitraan merupakan wujud pertanggung jawaban sosial
Perusahaan yang didanai dari alokasi hasil laba Perusahaan. Program ini
berbentuk pemberian pinjaman modal kerja kepada sektor usaha kecil, mikro dan
koperasi dengan imbal jasa (bunga) yang terjangkau. Pengembalian modal kerja
tersebut dan hasil pengembangannya dialokasikan kembali untuk membantu
usaha kecil, mikro dan koperasi lainnya.
Dampak Pembangunan perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Keragaman Hayati
1. Dampak Ekologi dan Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit Skala Besar
Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka
pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya
untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal
perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap
keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit
utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin
menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi,
pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun meski harus
mengkonversi hutan.
Sebut saja Program sawit di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di
pulau Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6 juta ( tribun Kaltim, 6 juta
ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program pemerintah itu tentu saja sangat diminati
investor, karena lahan peruntukan kebun yang ditunjuk pemerintah adalah wilayah
hutan. sebelum mulai berinvestasi para investor sudah bisa mendapatkan
keuntungan besar berupa kayu dari hutan dengan hanya mengurus surat Ijin
Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda pihak pemerintah, dalam hal ini departemen
kehutanan.
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman
hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga
menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek
konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah
menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar
berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan
perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit
diantaranyai:
1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi.
Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam
berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land
clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam
satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti
lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau
Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh
berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini
akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya.
Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat
monokulturasi.
5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan
cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan
yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin
merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang
melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa
sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya
perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat
pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
7. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan
kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir
dan tanah longsor
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam
prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada
kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi,
hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang
unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000;
Potter and Lee, 1998).
Masihkan kita membutuhkan konversi hutan untuk menjadi kebun sawit
mengingat dampak negatif yang munculkannya begitu banyak bahaya dan jelas-
jelas mengancam keberlangsungan lingkungan hidup? Sebuah pertanyaan untuk
kita permenungkan demi kelangsungan dan keseimbangan alam serta
penghuninya. (cepot)
2. Aspek Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit
Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang peran
yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah
sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama
minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus
mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula
menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat. Pemerintah Indonesia dewasa ini telah bertekad untuk menjadikan
komoditas kelapa sawit sebagai salah satu industri non migas yang handal.
Bagi Pemerintah Daerah komoditas kelapa sawit memegang peran yang
cukup penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu membuka
peluang kerja yang besar bagi Masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi
perkebunan yang dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Komoditas perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Tengah tercatat 14 jenis
tanaman, dengan karet dan kelapa sebagai tanaman utama perkebunan rakyat, dan
kelapa sawit sebagai komoditi utama perkebunan besar yang dikelola oleh
pengusaha perkebunan baik sebagai Perkebunan Besar Swasta Nasional/Asing
ataupun PIR-Bun (perusahaan inti rakyat perkebunan) dan KKPA (Kredit Koperasi
Primer untuk Anggotanya).
3. Aspek Sosial Budaya Perkebunan Kelapa Sawit
Pembangunan sebagai proses kegiatan yang berkelanjutan memiliki dampak
yang luas bagi kehidupan Masyarakat. Dampak tersebut meliputi perubahan
lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem, yaitu terganggunya
keseimbangan lingkungan alam dan kepunahan keanekaragaman
hayati(biodiversity). Terhadap kehidupan Masyarakat, dapat membentuk
pengetahuan dan pengalaman yang akan membangkitkan kesadaran bersama
bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu proses
pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga
menimbulkan respon dari Masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya
proses pembangunan.
Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan
Masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif didorong
untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi perimbangan kekuasaan
(power sharing) antara pemerintah dan Masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari
Masyarakat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting
untuk mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan Masyarakat yang
cenderung berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok
pengusaha memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah
dan pendapatan nasional.
4. Aspek Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting, antara lain, hidro-
orologi, penyimpan sumberdaya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan dan iklim
serta rosot (penyimpan, sink) karbon, Hutan juga berfungsi sebagai penyimpan
keanekaragaman hayati. Ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki dampak-
dampak besar bagi penduduk Indonesia Umumnya, khususnya Masyarakat
Kalimantan Tengah.
Perluasan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan pemindahan lahan
dan sumberdaya, perubahan luar biasa terhadap vegetasi dan ekosistem setempat.
Lingkungan menjadi bagian yang sangat rawan terjadi perubahan kearah rusaknya
lingkungan biofisik yang terdegredasi serta bertambahnya lahan kritis. apabila
dikelola secara tidak bijaksana. Aspek lingkungan mempunyai dimensi yang sangat
luas pengaruhnya terhadap kualitas udara dan terjadinya bencana alam seperti
kebakaran, tanah longsor, banjir dan kemarau akibat adanya perubahan iklim global.
5. Dampak Positif dan Negatif Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan
pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas
lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara
ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem
hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta
plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Selain itu juga
mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan,
peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam.
Secara sosial juga sering menimbulkan terjadinya konflik antara perusahaan dengan
masyarakat sekitar baik yang disebabkan oleh konflik kepemilikan lahan atau karena
limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit. Limbah yang dihasilkan oleh
industri kelapa sawit merupakan salah satu bencana yang mengintip, jika
pengelolaan limbah tidak dilakukan secara baik dan profesional, mengingat industri
kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan
6. Pencemaran Limbah Industri Kelapa Sawit dan Tata Cara pengelolaanya
Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab
pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi
bagi masyarakat (Agustina,dkk, 2009). Dalam pengelolaan industri kelapa sawit juga
dihasilkan limbah baik yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit maupun yang
dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit.Untuk menghindari masalah
lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri kelapa sawit,maka diperlukan
konsep pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini didukung oleh sikap
untukmenciptakan produk yang harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat
dengan proses yangramah lingkungan (green consumerism) dan menempatkan
lingkungan sebagai non tariff barrier. Oleh karena itu pendekatan yang banyak
diterapkan adalah konsep produk bersih (cleaner production).
Konsep ini dilakukan dengan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai
dari hulu hingga hilir yang terkait dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk
meningkatkan efesiensi pemakaian sumberdaya alam, mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan dan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya,
sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia serta kerusakan lingkungan. Kata kunci yang diperlukan dalam pengelolaan
adalah menimalkan limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan.Pola
pendekatan untuk meciptakan produk bersih adalah pencegahan dan
meminimalisasi limbah yang menggunakan hirarki pengelolaan melalui 1E 4R yaitu
Elimination (pencegahan),Reduce (pengurangan), Reuse (penggunaan kembali),
Recycle (daur ulang), Recovery/Reclaim(pungut ulang) (Panca Wardhanu, 2009)
1) Pengelolaan Limbah Cair Limbah Industri Kelapa Sawit
Industri kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil
pengolahan. Limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit dapat
berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah cair yang dihasilkan berupa Palm
Oil Mill Effluent (POME) air buangan kondensat (8-12 %) an air hasil pengolahan
(13-23 %). Menurut Djajadiningrat dan Femiola (2004) dari 1 ton Tandan Buah
Segar (TBS) kelapa sawit dapat dihasilkan 600-700 kg limbah cair. Bahkan saat
ini limbah cair hasil pengolahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 28,7 juta ton
limbah / tahun. Ketersediaan limbah itu meupakan potensi yang sangat besar jika
dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Namun sebaliknya akan menimbulkan
bencana bagi lingkungan dan manusia jika pengelolaannya tidak dilakukan
dengan baik dan profesional.
Limbah cair kelapa sawit dapat menghasilkan biogas dengan melakukan
rekayasa. Limbah cair ditempatkan pada tempat khusus yang disebut bioreaktor.
Bioreaktor dapat diatur sedemikian rupa sehingga kondisinya optimum untuk
meproduksi biogas. Selain itu juga dapat ditambahkan mikroba untuk
mempercepat pembentukan gas metan untuk menghasilkan biogas. Proses
tersebut dapat menghasilkan potensi yang sangat besar. Dari 28,7 juta ton
limbah cair kelapa sawit dapat dihasilkan 90 juta m3 biogas yang setara dengan
187,5 milyar ton gas elpiji (Anonim, 2009).
Selain itu limbah cair dapat juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, bahan
pembuat sabun, serta pembuatan biodiesel, dan air sisanya dapat digunakan
untuk pengairan bila telah memenuhi standar baku mutu lingkungan.
2) Pengelolaan Limbah Padat Limbah Industri Kelapa Sawit
Limbah padat yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit terdiri
atas tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung /
cangkang (7-9 %) (Naibaho, 1996). Tandan kosong kelapa sawit dapat
dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos dengan proses fermentasi dan
dimanfaatkan kembali untuk pemupukan kelapa sawit itu sendiri. Penggunaan
pupuk tandan kosong kelapa sawit dapat menghemat penggunaan pupuk kalium
hingga 20 %. 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 600-650 kg
kompos.
Selain itu tandan kosong kelapa sawit mengandung 45 % selulose dan 26
% hemiselulose. Tingginya kadar selulose pada polisakarida tersebut dapat
dihidrolisis menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi
bioetanol. Bioetanol ini dapat digunakan sebagai bahan bakar yang ramah
lingkungan dan dapat diperbaharui dengan cepat (renewable). 1 ton tandan
kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 120 liter bioetanol (Anonim, 2009).
Tandan kosong kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
bahan pulp untuk pembuatan kertas. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan sabun dan media budidaya jamur, sehingga dapat menambah
pendapatan dan mengurangi limbah padat.
Cangkang dan serat kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai sumber
energi potensial. Cangkang dan serat kelapa sawit biasanya dibakar untuk
menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan oleh pembakaran cangkang dan
serat telah mencukupi kebutuhan energi pengolahan pabrik kelapa sawit. Namun
seiring dengan pelarangan pembakaran cangkang dan serat, maka serat dan
cangkang dimanfaatkan untuk keperluan lain. Cangkang saat ini telah
dimanfaatkan untuk pembuatan berikat arang aktif dan bahan campuran
pembuatan keramik. Sedangkan serat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk.
Sementara itu limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit
berupa pelepah kelapa sawit dan batang kelapa sawit telah dimanfaatkan
sebagai bahan pulp untuk pembuatan kertas dan perabot. Sedangkan daun dan
pelepah kelapa sawit digunakan untuk pakan ternak ruminansia.
7. Masalah Kelapa Sawit Indonesia : Lingkungan, ketahanan pangan
7.1 Kerusakan Lingkungan
Budidaya tanaman kelapa sawit menerapkan sistem monokultur yang
mensyaratkan pembersihan awal pada lahan yang akan digunakan (land
clearing). Secara ekologis, memang pola monokultur lebih banyak merugikan
karena penganak-emasan tanaman tersebut akan berdampak pada
penghilangan (atau pengurangan tanaman lain).
Jika lahan baru yang dibuka berupa hutan, maka tentu saja ini akan
berdampak pada berkurangnya -atau bahkan hilangnya- keanekaragaman hayati
yang sudah ada sebelumnya. Keanekaragaman hayati membentuk ekosistem
yang kompleks dan saling melengkapi, gangguan atas ekosistem tentu akan
mengganggu keseimbangan alam, misalnya pada hilangnya aktor-aktor alam
yang berperan dalam rantai makanan. Kehilangan satu aktor yang ada pada
rantai makanan dalam posisi lebih tinggi dari aktor lainnya akan menyebabkan
peningkatan populasi aktor dibawahnya tanpa dikontrol oleh predator alami yang
ada di atasnya. Bisa dibayangkan jika ledakan populasi itu merupakan ancaman
bagi populasi lain. Contoh paling gampang adalah populasi yang mengganggu
dan kemudian disebut hama.
Pada beberapa kasus, pembukaan lahan hutan -tidak hanya lahan sawit-
diikuti dengan pembakaran untuk mempercepat proses land clearing. Kasus
asap yang muncul dari kebakaran (atau pembakaran) hutan sangat sering
muncul beberapa waktu lalu dan kita semua sudah tahu dampaknya.
Adapun untuk lahan yang sudah beroperasi, kegiatan pertanian dan
perkebunan, seperti aktivitas pemupukan, pengangkutan hasil, termasuk juga
pengolahan tanah dan aktivitas lainnya, secara kumulatif telah mengakibatkan
tanah mengalami penurunan kualitas (terdegradasi), karena secara fisik, akibat
kegiatan tersebut mengakibatkan tanah menjadi bertekstur keras, tidak mampu
menyerap dan menyimpan air. Penggunaan herbisida dan pestisida dalam
kegiatan perkebunan akan menimbun residu di dalam tanah. Demikian juga
dengan pemupukan yang biasanya menggunakan pupuk kimia dan kurang
menggunakan pupuk organik akan mengakibatkan pencemaran air tanah dan
peningkatan keasaman tanah.
Tanaman kelapa sawit juga merupakan tanaman yang rakus air.
Ketersediaan air tanah pada lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit
tersebut akan semakin berkurang. Hal ini akan mengganggu ketersediaan air,
tidak hanya bagi manusia namun bagi tanaman itu sendiri. Dengan berkurangnya
kuantitas air pada tanah dapat menyebabkan para petani akan sulit
mengembangkan lahan pertanian pasca lahan perkebunan kelapa sawit ini
beroperasi.
Jika dibiarkan tanpa antisipasi atas dampak jangka panjang, maka lahan
demikian akan menjadi terlantar dan pada akhirnya akan menjadi lahan kering
juga gersang yang terbengkalai.
Dampak lingkungan tersebut memang cukup mengkhawatirkan. Namun
bukan berarti tidak ada solusi yang bisa dikembangkan guna mengantisipasi
dampak tersebut.
Kita harus mempertimbangkan ulang pembukaan hutan, terutama pada
hutan-hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan di masa mendatang
diproyeksikan sebagai sumber air untuk infrastruktur pendukung pertanian
seperti waduk. Namun memang diperlukan sinergi supaya semua kebijakan
tersebut dapat saling topang.
Konservasi hutan dalam jangka panjang akan membantu konversi balik
lahan sawit menjadi lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan
yang terkonservasi dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit
itu sendiri, pasokan air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman
kelapa sawit dalam hal ketersediaan air dalam jangka panjang.
Demikian juga penggunaan masif pupuk kimia harus mulai dikombinasi
dengan pupuk organik berbasis bioteknologi yang memiliki kadar mikroba
penyubur/pembenah tanah. Penggunaan pupuk kimia yang lebih berorientasi
pada pertumbuhan tanaman harus dikombinasi dengan pupuk organik yang
berorientasi pada kesuburan tanah dengan menjaga proses biologi dan kimia
tanah tetap berlangsung. Kesuburan tanah diharapkan bisa tetap terjaga
sehingga tidak hanya menguntungkan bagi tanaman, namun mencegah proses
penggurunan yang terjadi.
7.2 Ancaman Ketahanan Pangan
Jika lahan yang akan digunakan bukan hutan dan merupakan lahan
produktif pertanian tanaman lain terlebih tanaman pangan maka konversi lahan
ini pasti akan berdampak pada ketahanan pangan. Pola perubahan lahan seperti
ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang menunjukkan bahwa komoditas
kelapa sawit merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang cukup
menjanjikan karena tren konsumsi yang terus meningkat pada pasar
internasional.
Faktor ekonomi tersebut pada level pengusaha perkebunan skala kecil
akan mendorong mereka melakukan konversi lahan karena secara modal
mungkin tidak memiliki kemampuan untuk membuka lahan baru dengan cara
konversi hutan. Fluktuasi harga kelapa sawit yang relatif stabil mendorong
masyarakat yang memiliki lahan pertanian pangan mengalihkannya ke
perkebunan sawit. Hal itu terjadi di sejumlah sentra perkebunan sawit. Jambi
misalnya, saat ini telah menggantungkan pasokan berasnya ke daerah lain akibat
banyaknya lahan padi yang dikonversi.
Demikian juga dengan para pengusaha dalam skala besar, konversi lahan
ini akan menjadi pilihan ketika konversi hutan dihentikan sementara oleh
pemerintah melalui moratorium Inpres No 10 Tahun 2011. Inpres ini berlaku
khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Permintaan internasional yang tidak pernah turun dan mempunyai tren
meningkat ditambah dengan tingginya produksi minyak kelapa sawit dibanding
minyak nabati lainnya dalam hal efisiensi lahan, jalan keluar yang terlihat karena
tembok moratorium adalah konversi lahan yang sudah ada saat ini.
Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan termasuk kelapa
sawit bisa memicu semakin tingginya harga pangan. Pasalnya, luas lahan
pertanian semakin menyusut dan berimbas terhadap penurunan produksi atau
bahkan hilangnya komoditas pangan di daerah tersebut. Di Sumatra Utara, beras
yang selama ini menjadi andalan, beras Ramos Leidong sudah ‘menghilang.’
Dan tidak tertutup kemungkinan akan menyusul komoditas lainnya.
Dalam konteks ketahanan pangan, kondisi ini akan mendorong masuknya
produk impor untuk komoditas pangan. Sehingga langsung atau tidak, akan
berdampak pada naiknya harga kebutuhan pangan dan ketergantungan atas
pangan dari luar.
Masalah ketahanan pangan memang tidak bisa hanya dibebankan pada
komoditas kelapa sawit atau komoditas lain perkebunan besar saja. Masalah ini
selalu saja menjadi topik ‘panas’ yang menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Masalah ini lebih pada keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan petani
tanaman pangan. Bagaimana mungkin petani menanam komoditas yang tidak
bisa menopang kehidupannya?
Subsidi dan insentif sangat dibutuhkan pada urusan ketahanan pangan.
Subsidi bukan hanya untuk pupuk, namun juga untuk stabilitas dan kepastian
harga jual petani. Bantuan permodalan harus serius diselenggarakan dan bukan
hanya sebatas program kerja dan pernyataan namun benar-benar terealisasi ke
bawah dan dirasakan petani sebagai bentuk perhatian negara/pemerintah.
Demikian juga infrastruktur yang memadai dan terus terpelihara.
Insentif bagi perkebunan besar harus diberikan untuk mendorong
penggunaan lahan-lahan ‘terbengkalai.’ Lahan tidur yang sulit dimanfaatkan
pertanian pangan dapat diinisiasi untuk lahan perkebunan dengan membuat
persyaratan yang tegas mengenai tanggungjawab lingkungan. Misalkan
pembukaan perkebunan yang mensyaratkan adanya reservoir air dan
sebagainya. Insentif dapat diberikan dengan pengurangan pajak, memberikan
kemudahan ijin dan perpanjangan HGU dan sebagainya yang bisa dikalkulasi
secara ekonomi oleh pengusaha perkebunan. Tapi lagi-lagi perlu ditekankan
konsistensi atas kebijakan ini. Dan seperti pada masalah lingkungan hidup,
sinergi lagi-lagi diperlukan agar kebijakan ini bisa menjadi bagian dari strategi
besar yang akan dilakukan. Jangan hari ini bicara insentif, tahun depan kenaikan
pajak dan diversifikasi pajak dilakukan.
VI. Gambar
Gambar 1. Koordinasi dengan pihak terkait
Gambar 2. Menyiapkan tenaga kerja
Gambar 3. Membuat terasering dan sumber air
Gambar 4. Instalasi pengelolaan limbah cair
Gambar 5. Pengelolaan limbah padat tandan sawit
Gambar 6. Salah satu bentuk kegiatan kemitraan dengan masyarakat sekitar
Gambar 7. Kegiatan pengamatan lingkungan
VII. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk menunjang kegiatan ini adalah:
- Alat tulis.
- Alat dokumentasi digital.
- Global Positioning System (GPS).
- Alat komunikasi.
VIII. Keamanan Kerja
Hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan kegiatan mengelola fungsi
lingkungan kebun pada kebun kelapa sawit sebagai berikut:
- Topi kerja
- Sepatu boot
- Sarung tangan
- Pakaian kerja
- Racun pemadam
IX. Kriteria Yang Dinilai
Kriteria yang dinilai untuk unit kompetensi ini sebagai berikut:
- Mengidentifikasi fungsi lingkungan kebun;
- Membuat program kegiatan konservasi;
- Merencanakan dan melakukan penanganan limbah;
- Merencanakan dan melakukan penanganan limbah.
X. Evaluasi
1. Apa yang yang menjadi dasar penetapan prinsip sustainability dalam
pembangunan kelapa sawit Indonesia?
2. Apa tujuan ditetapkannya ISPO?
3. Sebutkan 7 prinsip persyaratan ISPO!
4. Sebutkan system perijinan dan management kebun kelapa sawit!
5. Bagaimana cara pemantauan dan pengelolaan lingkungan?
6. Bagaimana bentuk tanggun jawab social dan komunitas bagi pengelola
kebun?
XI. Kunci Jawaban
1. Penetapan prinsip sustainability dalam pembangunan kelapa sawit Indonesia
yang berwawasan lingkungan berdasar pada:
a. komitmen internasional;
b. UUD 1945;
c. UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
d. Referensi kepada tuntutan pembeli dan komitmen dari produsen;
e. Uni Eropa dan seluruh jaringannya di luar negeri hanya akan membeli
minyak sawit yang sustainable pada tahun 2015.
2. Tujuan ditetapkannya ISPO adalah
a. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memproduksi minyak sawit
lestari;
b. meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional;
mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK;
c. Mendukung komitmen unilateral pemerintah Indonesia di Kopenhagen
(2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010).
d. Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari
pembangunan ekonomi Indonesia;
e. Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak
kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global;
f. Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam
dan fungsi lingkungan hidup.
3. 7 prinsip persyaratan dalam ISPO sebagai berikut:
1) Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan,
2) Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit,
3) Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan’
4) Tanggung Jawab Terhadap Pekerja,
5) Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas,
6) Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat,
7) Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.
4. Sistem Perijinan dan Manajemen Perkebunan sebagai berikut:
1) Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta sertifikat tanah.
2) Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun
kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas
areal kebun yang diusahakan
3) Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan
perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tata ruang Wilayah
Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tata ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai dengan perundangan yang berlaku atau
kebijakan lain yang sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh
pemerintah atau pemerintah setempat.
4) Apabila di dalam areal perkebunannya terdapat Izin usaha Pertambangan
harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5) Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan perkebunan
yang digunakan bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani
disekitarnya.
6) Perkebunan kelapa sawit yang dikelola harus mempunyai bentuk badan
hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang untuk
memproduksi minyak sawit lestari.
8) Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan pabrik
9) Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai ketentuan yang
berlaku dan pemangku kepentingan lainnya terkecuali menyangkut hal
yang patut dirahasiakan
5. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
1) Pengelola perkebunan yang memiliki pabrik harus melaksanakan
kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai ketentuan yang
berlaku.
2) Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL,UKL dan UPL.
3) Pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
4) Pelestarian biodiversity
5) Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai nilai konservasi
tinggi
6) Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
7) Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi.
6. Tangung Jawab Sosial dan Komunitas
a. Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan
Pengelola perkebunan harus memiliki komitmen sosial, kemasyarakatan
dan pengembangan potensi kearifan lokal.
b. Pemberdayaan Masyarakat Adat/ Penduduk Asli
Pengelola perkebunan berperan dalam mensejahterakan masyarakat
adat/ penduduk asli salah satunya dengan pengembangan usaha lokal