2. aspek regulasi
TRANSCRIPT
BAB 2ANALISIS REGULASI DAN KEBIJAKAN
2.1 ANALISIS ASPEK HUKUM
Landasan hukum untuk pembangunan dan pengembangan rumah sakit adalah
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan
pedoman penyelenggaraan rumah sakit.
Dalam mengimplementasikan kegiatan pelayanannya, rumah sakit akan berpegang
pada landasan hukum yang berlaku di Indonesia. Landasan hukum yang diacu
adalah peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan
pedoman penyelenggaraan rumah sakit, meliputi regulasi pemerintah yang
berkaitan dengan bidang kesehatan dan pedoman penyelenggaraan rumah sakit,
yaitu:
2.1.1 Perundang-undangan
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah;
Bab 2 - 1
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Perencanaan
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;
8. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.1.2 Peraturan-peraturan
1. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011
Tentang Pelayanan Darah;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009
Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku Pada Departemen Kesehatan;
5. Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pedoman
Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.03.01/Menkes/146/I/2010 Tentang Harga Obat Generik Menteri
Kesehatan Republik Indonesia;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK03.01/MENKES/159/I/2010 Tentang Pedoman Pembinaan Dan
Pengawasan Penggunaan Obat Generik Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/MENKES/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165/MENKES/SK/X/2007
tentang Pola Tarif Rumah Sakit Badan Layanan Umum;
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/ SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di
Rumah Sakit;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit;
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 003A/MENKES/SK/I/2003
tentang Unit Desentralisasi;
Bab 2 - 2
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun
2012 Tentang Akreditasi Rumah Sakit;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1171/MENKES/PER/VI/2011 Tentang Sistem Informasi Rumah Sakit;
15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
755/MENKES/PER/IV/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik
Di Rumah Sakit;
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit;
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 Tentang Kewajiban Menggunakan Obat
Generik Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah;
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
161/MENKES/ PER/I/2010 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan;
20. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
299/MENKES/PER/II/2010 Tentang Penyelenggaraan Program
Internsip Dan Penempatan Dokter Pasca Internsip;
21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
317/MENKES/PER/III/2010 Tentang Pendayagunaan Tenaga
Kesehatan Warga Negara Asing Di Indonesia;
22. Peraturan Menteri Kesehatan Repubuk Indonesia
Nomor:653/MENKES/PER/VIII/2009 Tentang Rumah Sakit Indonesia
Kelas Dunia;
23. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008
Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di
Kabupaten/Kota;
24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis;
25. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
780/MENKES/PER/VIII/2008 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Radiologi;
Bab 2 - 3
26. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran;
27. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1109/MENKES/PER/IX/2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Komplementer-Alternatif Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
28. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1045/Menkes/SK/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di
Lingkungan Departemen Kesehatan;
29. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah;
30. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010
tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL);
31. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL);
32. Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit tahun 2008, DirJen Bina
YanMed.
Selain peraturan di atas, dalam rencana pembangunan dan pengembangan
rumah sakit sebagai salah satu fasilitas kesehatan juga harus berpegang
pada regulasi pemerintah dalam peruntukkan ruang wilayah. Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan aspek penataan ruang untuk
dijadikan referensi antara lain :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota menjadi dasar
untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan;
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Dengan
Permendagri tersebut, diharapkan mendorong Pemerintah Daerah
untuk mematuhi aturan minimal Ruang Terbuka Hijau yang harus
disediakan;
Bab 2 - 4
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Daerah;
4. Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 Tanggal 12
Agustus 2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2009-2031.
2.2 ANALISIS ASPEK KEBIJAKAN
Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
oleh yang berwenang untuk dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk dalam
pengembangan ataupun pelaksanaan program/ kegiatan guna tercapainya
kelancaran dan keterpaduan dalam perwujudan sasaran, tujuan serta visi dan misi
instansi pemerintah. Beberapa aspek kebijakan pemerintah yang mendasari
pengembangan/ pembangunan rumah sakit adalah arah dari kebijakan
pembangunan dibidang kesehatan yaitu :
1. Millenium Development Goals (MDG’s);
Millenium Development Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium
adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui
komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8
(delapan) tujuan pembangunan, yaitu :
a. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan;
b. Mencapai pendidikan dasar untuk semua;
c. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
d. Menurunkan angka kematian anak;
e. Meningkatkan kesehatan ibu;
f. Memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya;
g. Kelestarian lingkungan hidup;
h. Membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia memiliki dan ikut melaksanakan
komitmen tersebut dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat.
Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai bagian dari negara kesatuan Republik
Indonesia juga ikut serta mendukung komitmen pemerintah tersebut, dengan
Bab 2 - 5
melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target
MDG’s.
2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-
2025;
Dalam Visi RPJPN Tahun 2005-2025 disebutkan bahwa pembangunan
bangsa Indonesia bukan hanya sebagai bangsa yang mandiri dan maju,
melainkan juga sebagai bangsa yang adil dan makmur. Keadilan dan
kemakmuran harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan. Semua rakyat
mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan,
memperoleh lapangan pekerjaan, mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan
dan kesehatan, mengemukakan pendapat, melaksanakan hak politik,
mengamankan dan mempertahankan negara, serta mendapatkan
perlindungan dan kesamaan didepan hukum. Arah pembangunan kesehatan
ini lebih lengkap sudah tercantum Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Bidang Kesehatan (RPJP-K) Tahun 2005-2025.
3. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang kesehatan (RPJP-K) Tahun
2005-2025;
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJP-K) adalah
rencana pembangunan nasional di bidang kesehatan, yang merupakan
penjabaran dari RPJPN Tahun 2005-2025, dalam bentuk dasar, visi, misi, arah
dan kebutuhan sumber daya pembangunan nasional di bidang kesehatan
untuk masa 20 tahun ke depan, yang mencakup kurun waktu sejak tahun 2005
sampai dengan tahun 2025.
Visi
Keadaan masa depan masyarakat Indonesia yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang
ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku
hidup sehat, baik jasmani, rohani maupun sosial, dan memiliki kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Keadaan
masyarakat Indonesia di masa depan atau visi yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan dirumuskan sebagai: “Indonesia Sehat 2025”.
Bab 2 - 6
Dalam Indonesia Sehat 2025, lingkungan strategis pembangunan kesehatan
yang diharapkan adalah lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan
sehat jasmani, rohani maupun sosial, yaitu lingkungan yang bebas dari
kerawanan sosial budaya dan polusi, tersedianya air minum dan sarana
sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat,
perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta terwujudnya
kehidupan masyarakat yang memiliki solidaritas sosial dengan memelihara
nilai-nilai budaya bangsa.
Perilaku masyarakat yang diharapkan dalam Indonesia Sehat 2025 adalah
perilaku yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;
mencegah risiko terjadinya penyakit; melindungi diri dari ancaman penyakit
dan masalah kesehatan lainnya; sadar hukum; serta berpartisipasi aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat, termasuk menyelenggarakan masyarakat
sehat dan aman (safe community).
Dalam Indonesia Sehat 2025 diharapkan masyarakat memiliki kemampuan
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan juga memperoleh
jaminan kesehatan, yaitu masyarakat mendapatkan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Pelayanan kesehatan bermutu
yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan
dalam keadaan darurat dan bencana, pelayanan kesehatan yang memenuhi
kebutuhan masyarakat serta diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika
profesi.
Diharapkan dengan terwujudnya lingkungan dan perilaku hidup sehat, serta
meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang bermutu, maka akan dapat dicapai derajat kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Misi
Dengan berlandaskan pada dasar Pembangunan Kesehatan, dan untuk
mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2025, ditetapkan 4 (empat) misi
Pembangunan Kesehatan, yaitu :
Bab 2 - 7
1) Menggerakkan Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan;
2) Mendorong Kemandirian Masyarakat untuk Hidup Sehat;
3) Memelihara dan Meningkatkan Upaya Kesehatan yang Bermutu, Merata,
dan Terjangkau;
4) Meningkatkan dan Mendayagunakan Sumber Daya Kesehatan.
Sesuai dengan tujuan nasional pembangunan kesehatan adalah agar bangsa kita
mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang untuk dapat hidup
produktif secara sosial dan ekonomis, maka salah satu upaya dalam mencapai itu
dengan membangun sistem pemeliharaan kesehatan yang memadai.
Ada tiga tujuan ideal bagi suatu sistem nasional untuk pemeliharaan kesehatan :
1. Menyediakan upaya kesehatan yang bermutu;
2. Menyediakan upaya pemeliharaan kesehatan dasar yang terjangkau dan sama
bagi setiap orang;
3. Memanfaatkan sumber daya dan sumber dana kesehatan secara efisien.
Kebijakan Departemen Kesehatan untuk melaksanakan desentralisasi dalam
pengaturan dan pengelolaan Rumah Sakit Daerah adalah diantaranya dengan
mendorong perubahan status kelembagaan Rumah Sakit Daerah menjadi Badan
Layanan Umum sehingga untuk mengantisipasi keterbatasan dalam alokasi
anggaran dengan mendorong Rumah Sakit Daerah melakukan hubungan bisnis
dengan pihak swasta yang semakin memungkinkan dengan otoritas otonomi yang
lebih besar dengan status Badan Layanan Umum (BLU) tersebut.
Walaupun demikian kebijakan pemerintah berkaitan dengan kecenderungan
pelayanan kesehatan rumah sakit yang semakin menuntut kemampuan pembiayaan
masyarakat yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan biaya yang harus
ditanggung oleh masyarakat untuk mempertajam prioritas kegiatan pembangunan di
bidang kesehatan dengan sasaran utama yang hendak dicapai adalah pelayanan
untuk kelompok masyarakat miskin dengan menerapkan dan memperluas
pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan meningkatkan
kualitas pelayanan yang sama bagi pasien keluarga miskin.
2.3 PERIZINAN RUMAH SAKIT
Bab 2 - 8
Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara
kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan
akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah
diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien,
jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam
pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu
Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi
urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian
rumah sakit.
Prosedur perizinan pendirian rumah sakit tersebut dituangkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 147/MENKES/PER/I/2010 tentang
Perizinan Rumah Sakit. Berdasarkan pada Permenkes tersebut, pihak yang akan
mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin mendirikan rumah sakit dan izin
operasinal rumah sakit. Izin operasional dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin
operasional sementara dan izin operasional tetap. Penjelasan selengkapnya,
sebagai berikut :
1. Permohonan izin mendirikan dan izin operasional rumah sakit diajukan
menurut jenis dan klasifikasi rumah sakit;
2. Izin mendirikan dan izin operasional rumah sakit kelas A dan rumah sakit
penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh
Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di
bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi;
3. Izin mendirikan dan izin operasional rumah sakit kelas B diberikan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota;
4. Izin mendirikan dan izin operasional rumah sakit kelas C dan kelas D diberikan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota setelah mendapat rekomendasi dari
pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota.
Tata cara pemberian izin rumah sakit adalah sebagai berikut :
1. Izin Mendirikan
Bab 2 - 9
a. Rumah sakit harus mulai dibangun setelah mendapatkan izin mendirikan;
b. Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) tahun;
c. Untuk memperoleh izin mendirikan, rumah sakit harus memenuhi
persyaratan yang meliputi :
1) Studi Kelayakan;
2) Master Plan;
3) Status kepemilikan;
4) Rekomendasi izin mendirikan;
5) Izin undang-undang gangguan (HO);
6) Persyaratan pengolahan limbah;
7) Luas tanah dan sertifikatnya;
8) Penamaan;
9) Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
10) Izin Penggunaan Bangunan (IPB); dan
11) Surat Izin Tempat Usaha (SITU).
d. Pemohon yang telah memperoleh izin mendirikan rumah sakit, apabila
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud belum atau tidak melakukan
pembangunan rumah sakit, maka pemohon harus mengajukan izin baru
sesuai ketentuan izin mendirikan.
2. Izin Operasional
a. Izin operasional sementara diberikan kepada rumah sakit yang belum
dapat memenuhi seluruh persyaratan perizinan;
b. Izin operasional sementara diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun;
c. Untuk mendapatkan izin operasional, rumah sakit harus memenuhi
persyaratan yang meliputi :
1) Sarana dan prasarana;
2) Peralatan;
3) Sumber daya manusia; dan
4) Administrasi dan manajemen.
d. Rumah sakit yang telah memiliki izin operasional sementara harus
mengajukan surat permohonan penetapan kelas rumah sakit kepada
Menteri, dengan melampirkan :
Bab 2 - 10
1) Rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Dinas
Kesehatan Provinsi;
2) Profil dan data rumah sakit; dan
3) Isian instrument Self Assessment penetapan kelas.
e. Dalam rangka penetapan kelas rumah sakit, Menteri membentuk tim
penilai klasifikasi rumah sakit. Berdasarkan hasil penilaian tim tersebut
Menteri menetapkan klasifikasi rumah sakit;
f. Rumah sakit yang telah memiliki izin operasional sementara dan
mendapatkan penetapan kelas rumah sakit diberikan izin operasional
tetap;
g. Izin operasional tetap berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan;
h. Setiap rumah sakit yang telah mendapatkan izin operasional harus
diregistrasi dan diakreditasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi
dan akreditasi dilaksanakan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh
Menteri.
3. Izin Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal
a. Izin Rumah Sakit Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau
Penanaman Modal Asing (PMA) diberikan oleh Menteri;
b. Untuk mendapatkan izin tersebut Rumah Sakit Penanaman Modal Asing
(PMA) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Harus berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
2) Mengadakan kerjasama dengan badan hukum Indonesia yang
bergerak di bidang perumahsakitan;
3) Hanya untuk menyelenggarakan rumah sakit;
4) Pelayanan yang diberikan adalah pelayanan spesialistik dan/ atau
subspesialistik;
5) Jumlah tempat tidur minimal 200 buah untuk PMA yang berasal dari
negara-negara ASEAN dan minimal 300 buah untuk PMA yang
berasal dari negara-negara Non ASEAN;
6) Lokasi di seluruh wilayah Indonesia;
7) Besaran modal asing maksimal 67%;
8) Direktur Rumah Sakit harus Warga Negara Indonesia.
Bab 2 - 11
c. Rumah Sakit Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman
Modal Asing (PMA) selain memenuhi persyaratan tersebut di atas juga
harus memenuhi ketentuan Perundang-undangan tentang Penanaman
Modal;
d. Rumah Sakit Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman
Modal Asing (PMA) wajib mengikuti program-program Pemerintah sesuai
kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan;
e. Permohonan diajukan kepada Departemen Kesehatan c.q. Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik dengan melampirkan data-data :
1) Studi Kelayakan (Feasibility Study); dan
2) Formulir isian mendirikan rumah sakit yang telah dilengkapi.
f. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik mengeluarkan surat
rekomendasi apabila permohonan memenuhi persyaratan. Berdasarkan
rekomendasi, pemohon mengajukan persetujuan penanaman modal ke
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)/ Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Setelah diterbitkannya
persetujuan, maka pemohon wajib mengajukan izin mendirikan dan
operasional rumah sakit sesuai ketentuan.
2.4 AKREDITASI RUMAH SAKIT
2.4.1 Akreditasi Standar Nasional
Akreditasi rumah sakit di Indonesia adalah suatu program yang dilaksanakan
oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit Indonesia (KARS), sebuah badan yang
dibentuk oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk menyusun
standar akreditasi, melakukan proses akreditasi dan memberikan sertifikat
akreditasi kepada rumah sakit-rumah sakit yang telah memenuhi persyaratan
standar akreditasi yang disusun oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit
Indonesia (KARS).
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, sistem akreditasi
rumah sakit yang dilaksanakan oleh KARS mengalami perubahan, yaitu dari
sistem akreditasi versi 2007 menjadi sistem akreditasi versi 2012. Perubahan
sistem akreditasi KARS dari versi 2007 menjadi 2012 juga diikuti dengan
perubahan paradigma. Yang utama, terletak pada penekanan bahwa tujuan
akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, bukan
Bab 2 - 12
hanya semata-mata untuk lulus. Selain itu dilakukan perubahan terhadap
standar akreditasi, karena standar akreditasi harus memenuhi kriteria-kriteria
internasional dan bersifat dinamis. Standar akreditasi 2012 menekankan pada
pelayanan berfokus pada pasien serta kesinambungan pelayanan dan
menjadikan keselamatan pasien sebagai standar utama. Berikut
pengelompokkan standar akreditasi KARS versi 2012 :
1. Kelompok Standar Pelayanan Berfokus pada Pasien :
a. Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas
Pelayanan (APK);
b. Hak Pasien dan Keluarga (HPK);
c. Asesmen Pasien (AP);
d. Pelayanan Pasien (PP);
e. Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB);
f. Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO);
g. Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK).
2. Kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit :
a. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP);
b. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI);
c. Tata Kelola, Kepemimpinan dan Pengarahan (TKP);
d. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK);
e. Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS);
f. Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI).
3. Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit :
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastikan tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan;
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Hasil survai penilaian atau kelulusan untuk sistem akreditasi KARS 2012 ini
berupa level pencapaian, yang merupakan upaya pencapaian rumah sakit
Bab 2 - 13
terhadap skoring yang ditentukan. Level tersebut adalah dasar, madya, utama
dan pencapaian tertinggi adalah paripurna.
2.4.2 Akreditasi Standar Internasional
A. Definisi
Tidak bisa dihindari saat ini Indonesia memasuki era globalisasi dan
persaingan pasar bebas, untuk itu diperlukan peningkatan mutu dalam segala
bidang, salah satunya peningkatan mutu pelayanan melalui akreditasi Rumah
Sakit menuju kualitas pelayanan Internasional. “dalam menjawab tantangan
tersebut peningkatan kualitas pelayanan sangatlah penting agar rumah sakit
mampu berkompetisi baik di tingkat regional, nasional bahkan Internasional”,
akreditasi standar internasional menggunakan Joint Commission International
(JCI).
JCI adalah versi internasional dari The Joint Commission (USA); Misi JCI
adalah memperbaiki kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan di
masyarakat internasional. Selama lebih dari 75 tahun, The Joint Commission
(USA) dan organisasi pendahulunya didedikasikan untuk meningkatkan
kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan. Kini The Joint Commission
(USA) merupakan pemberi akreditasi terbesar di Amerika Serikat di bidang
organisasi pelayanan kesehatan; lembaga ini menyurvei hampir 16.000
program layanan kesehatan melalui proses akreditasi sukarela. Baik The
Joint Commission (USA) maupun JCI bersifat nonpemerintah, dan merupakan
perusahaan nirlaba di Amerika Serikat.
Akreditasi JCI adalah berbagai inisiatif yang dirancang untuk menanggapi
meningkatnya kebutuhan seluruh dunia akan sebuah sistem evaluasi
berbasis standar di bidang perawatan kesehatan. Tujuannya adalah untuk
menawarkan kepada masyarakat internasional proses objektif untuk
mengevaluasi organisasi pelayanan kesehatan yang berbasis standar.
Dengan demikian diharapkan program ini akan menstimulasi perbaikan yang
berkelanjutan dan terus-menerus dalam organisasi-organisasi pelayanan
Bab 2 - 14
kesehatan lewat penerapan standar standar konsensus internasional,
Sasaran Internasional Keselamatan Pasien (International Patient Safety
Goals), didukung oleh pengukuran datasebagai tambahan untuk standar bagi
rumah sakit yang terdapat di edisi keempat ini, JCI juga telah
mengembangkan standar dan program akreditasi sebagai berikut:
a.Rawat Jalan (Ambulatory Care);
b.Laboratorium Klinik (Clinical Laboratories);
c.Pusat Pelayanan Primer (Primary Care Center);
d.Perawatan Berkelanjutan (The Care Continuum; perawatan di rumah, hidup
dengan dibantu, perawatan jangka panjang, perawatan di rumah sakit
hingga ajal menjemput);
e.Pelayanan Transportasi Medik (Medical Transport Organization).
JCI juga menawarkan sertifikasi program perawatan klinis, seperti program
untuk perawatan stroke, perawatan jantung, atau penggantian sendi. Program
akreditasi JCI didasarkan pada kerangka kerja standar internasional yang
disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Semua akreditasi JCI dan program sertifikasi bercirikan sebagai berikut:
a.Standar konsensus internasional, dikembangkan dan dikelola oleh sebuah
badan internasional, dan disetujui Dewan internasional, yang merupakan
dasar program akreditasi.
b.Filosofi yang mendasari standar didasarkan pada prinsip manajemen
bermutu yang terus-menerus diperbaik mutunya.
c.Proses akreditasi ini dirancang untuk mengakomodasi faktor hukum,
agama, dan/atau faktor budaya di sebuah negara tertentu. Meski standar
yang diterapkan bersifat seragam demi harapan tinggi untuk keselamatan
dan kualitas perawatan pasien, proses akreditasi juga
mempertimbangkan sejauh mana kondisi khas negara tertentu dapat
memenuhi harapan tinggi tersebut.
d.Tim survei lapangan dan penentuan agenda survei akan bervariasi
tergantung pada besar-kecilnya organisasi pelayanan kesehatan dan
jenis layanan yang diberikan. Sebagai contoh, sebuah rumahsakit yang
memiliki berbagai spesilis yang cukup banyak mungkin memerlukan
survei empat atau lima hari oleh dokter, perawat, dan administrator,
Bab 2 - 15
sementara rumah sakit dengan 50 tempat tidur dan spesialisasi di satu
bidang mungkin hanya memerlukan survei lebih pendek dengan tim yang
lebih kecil.
e.Akreditasi JCI ini dirancang agar absah, dapat dipercaya, dan objektif.
Berdasarkan analisis hasil survei, keputusan akreditasi akhir dibuat oleh
komite akreditasi internasional.
B. Hal-Hal Berkaitan Dengan Penerapan Akreditas JCI
Rumah sakit pelayanan kesehatan yang ingin diakreditasi oleh Joint
Commission International (JCI) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.Persyaratan Umum untuk Survei
Setiap rumah sakit pelayanan kesehatan dapat mendaftar untuk
diakreditasi JCI jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
-Rumah sakit tersebut saat ini beroperasi dengan izin sebagai rumah
sakit penyedia layanan kesehatan di negara yang bersangkutan.
-Rumah sakit tersebut harus bersedia dan siap bertanggung jawab
untuk meningkatkan kualitas rawatan dan layanannya.
-Rumah sakit tersebut menyediakan layanan yang ditentukan oleh
standar JCI.
2.Maksud dan Tujuan Survei Akreditasi
Sebuah survei akreditasi menilai sejauh mana rumah sakit memenuhi
standar dan pernyataan tujuan standar JCI.
Survei mengevaluasi rumah sakit berdasarkan:
-Wawancara dengan staf dan pasien daninformasi lisan lainnya;
-Pengamatan setempat oleh pelaku survei mengenai proses
perawatan pasien;
-Kebijakan, prosedur, pedoman praktik kiinis, dan dokumen lain yang
disediakan rumah sakit; dan
-Hasil penilaian diri sebagai bagian dari proses akreditasi.
Proses survei di lokasi dan penilaian diri secara berkelanjutan dapat
membantu rumah sakit mengidentifikasi dan memperbaiki masalah serta
meningkatkan kualitas layanan dan jasanya. Di samping mengevaluasi
kepatuhannya terhadap standar dan maksud dan tujuan standar JCI
Bab 2 - 16
serta kepatuhannya terhadap Sasaran Internasional Keselamatan
Pasien, pelaku survei juga memberikan edukasi dalam rangka
mendukung aktivitas perbaikan kualitas rumah sakit.
3.Ruang Lingkup Survei Akreditasi
Ruang lingkup survei JCI meliputi seluruh fungsi rumah sakit yang
terkait dengan standar dan seluruh penatalaksanaan perawatan pasien.
Standar yang berlaku dipilih JCI dari buku pedoman ini didasarkan pada
lingkup layanan yang tersedia di rumah sakit yang mendaftar untuk
disurvei.
Survei di lokasi akan mempertimbangkan faktor budaya dan/atau faktor
hukum khas yang dapat mempengaruhi atau menentukan keputusan
terkait dengan penyediaan perawatan dan/atau kebijakan dan prosedur
rumah sakit.
4.Hasil Survei Akreditasi
Komite Akreditasi JCI membuat keputusan akreditasi berdasarkan
temuan survei. Rumah sakit dapat menerima salah satu dari dua
keputusan akreditasi, yaitu Diakreditasi atau Ditolak permohonan
akreditasinya. Keputusan akreditasi ini didasarkan atas apakah rumah
sakit telah memenuhi amar keputusan atau tidak.
5.Pemberian Akreditasi
Untuk memperoleh akreditasi, rumah sakit harus unjuk bukti bahwa
seluruh standar dipatuhi dan mencapai skor angka minimal standar
sebagaimana tercantum dalam amar keputusan. Rumah sakit yang
Terakredirasi menerima Laporan Resmi Temuan Survei dan sertifikat
penghargaan. Laporan ini menunjukkan tingkat pemenuhan terhadap
standar JCI yang dicapai rumah sakit.
6.Masa Berlaku Akreditasi
Pemberian akreditasi ini berlaku selama tiga tahun kecuali dicabut JCI.
Akreditasi ini berlaku surut sejak hari pertama setelah JCI selesai
Bab 2 - 17
melakukan survei di rumah sakit atau sejak survei terfokus yang
kemudian perlu dilakukan telah selesai.
Pada akhir siklus tiga tahun akreditasi rumah sakit harus dievaluasi
ulang untuk memenuhi persyaratan pembaharuan pemberian akreditasi.
Jika selama periode akreditasi, rumah sakit mengalami perubahan
struktur, kepemilikan, atau layanan, JCI harus diberitahu. JCI kemudian
akan menentukan perlu tidaknya menyurvei ulang rumah sakit dan/atau
membuat keputusan akreditasi baru.
7.Cara Mengajukan Akreditasi
Sebuah rumah sakit yang ingin diakreditasi memulai proses itu dengan
melengkapi dan mengajukan aplikasi untuk survei. Dokumen ini
memberi informasi penting tentang rumah sakit, termasuk kepemilikan,
demografi, jenis dan banyaknya layanan yang diberikan baik secara
langsung, berdasarkan kontrak maupun berdasarkan pengaturan
lainnya.Aplikasi untuk survei:
-Mendeskripsikan rumah sakit yang mencari akreditasi;
-Memuat seluruh catatan resmi dan laporan tentang lisensi,
peraturan, atau badan pemerintah lainnya yang relevan;
-Memberikan juga wewenang kepada JCI untuk mendapatkan setiap
catatan dan laporan tentang rumah sakit yang tidak dimiliki oleh
rumah sakit tersebut, dan ketika semuanya sudah lengkap dan
disetujui baik oleh JCI maupun pemohon, disusunlah persyaratan
hubungan kerja antara rumah sakit dan JCI.
Rumah sakit dapat mengajukan dan memperoleh formulir secara
elektronik dengan mengunduh formulir aplikasi di
http://www.jointcommissioninternational.org dan mengembalikan formulir
yang telah lengkap melalui faksimili atau e-mail ke :
Joint Commission International Accreditation
Fax: +1 630.268.2996
E-mail: [email protected]
Rumah sakit harus menginformasikan kepada JCI jika ada perubahan
informasi yang terkandung dalam aplikasi survei dari saat permohonan
diajukan hingga saat survei dilakukan.
Bab 2 - 18
8.Penjadwalan Survei dan Perencanaan Agenda Survei
JCI dan rumah sakit menetapkan tanggal survei dan mempersiapkan
agenda survei bersama untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit dan
agar survei berjalan efisien. Untuk mengurangi biaya perjalanan pelaku
survei, JCI akan melakukan segala upaya untuk mengkoordinasikannya
dengan penjadwalan survei rumah sakit lain atau Iembaga lain yang
terkait di suatu Negara atau wilayah tertentu.
JCI akan menyediakan bagi setiap rumah sakit seorang spesialis
layanan akreditasi, yang akan menjadi kontak atau penghubung utama
antara rumah sakit dan JCI. Individu ini akan mengkoordinasikan
perencanaan survei dan harus mampu menjawab setiap pertanyaan
tentang kebijakan, prosedur atau masalah akreditasi rumah sakit
tersebut.
Spesialis layanan akreditasi itu akan bekerjasama dengan rumah sakit
mempersiapkan agenda survei berdasarkan jenis, ukuran, dan
kompleksitas rumah sakit pelayanan kesehatan. Di dalam agenda itu
ditentukan lokasi mana saja di dalam rumah sakit yang akan dikunjungi,
jenis wawancara yang akan dilakukan, para karyawan yang
diwawancara, dan dokumen yang perlu disediakan bagi pelaku survei.
Pelaku survei internasional dengan kualifikasi tinggi akan melakukan
survei. JCI akan melakukan segala upaya untuk menyediakan pelaku
survei yang fasih dalam bahasa setempat. Jika pelaku survei JCI
dengan kemampuan bahasa yang memadai tidak ada, JCI akan bekerja
sama dengan rumah sakit mencari penerjemah berkualitas.
Bab 2 - 19