128429448 protokol penanganan status epileptikus
DESCRIPTION
medicTRANSCRIPT
Protokol Penanganan Status Epileptikus
1. Definisi
Epilepsi adalah manifestasi klinik dari bangkitan seizure(stereotipik),
berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik
dengan berbagai macam penyabab yang ditandai serangan kejang berulang yang
disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya
dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi
kelainan di otak.
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua
atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau
serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih. Serangan yang
berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum pulih
setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.
2. Klasifikasi
a Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy
(ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi yaitu:
1112.1 Bangkitan Parsial
2.1.1 Bangkitan Parsial sederhana
Motorik
Sensorik
Otonom
Psikis
1
2.1.2 Bangkitan Parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal
bangkitan
2.1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi
umum tonik klonik
2.2 Bangkitan Umum
Lena (absence)
Mioklonik
Tonik
Tonik-klonik
Atonik
2.3 Tak tergolongkan
Klasifikasi status epileptikus
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat,
karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus.
Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal
bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer
otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status
epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan
2
status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi
berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus
non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga
dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode
neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
3. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik
2. Kriptogenik : Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan
epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus
3. Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat
misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP),
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neuro degenerative.
3.1 Faktor pencetus Status Epileptikus
Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak
memadai
Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres
psikis, atau stres fisik.
Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti
depresi
3
4. Patofisiologi
Sel saraf diootak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia.
Ada keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan
inhibisi aktifitas listrik otak.
Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku,
banyak sel saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah
kecil kumpulan sel saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel
didekatnya atau pada sel yang memilik hubungan erat dengannya. Pada
kejang, sejumlah besar kumpulan sel saraf tereksitasi bersamaan
(hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas tubuh berlebihan.
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang
menginhibisi sel eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin
dikarenakan produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan
sel mengeluarkan sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga
dilepasakan berlebihan dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang
normalnya membatasi penyebaran sinyal listrik yang abnormal. Diantara
neurotansmitter-neurotarsmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin, dan asetilkolin, sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA).
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi
lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan
aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak,
peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa
serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf
reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan
glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini.
Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
4
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap
keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas
kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak
berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus,
tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam
dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan
amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status
epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu
kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor
GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.
5. Gambaran klinik
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium
untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum
(Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling
sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44-74%, tetapi bentuk
yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
5
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah
menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea
retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan
laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali
pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada
periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.
6
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran
dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan
respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat
kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG
terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada
semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin
intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
7
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari
dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada
satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari
tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak
terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok
dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya
afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat
terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi
mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus
8
6. Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal
untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik
maupun mental yang dimiliki pasien. Untuk tercapainya tujuan tersebut
diperlukan beberapa upaya, yaitu menghentikan bangkitan, mengurangi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang
ringan, serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Pertolongan pertama pada saat kejang
Bantulah pasien berbaring, jauhkanlah dari sesuatu yang keras dan
tajam seperti sudut meja
Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ketanah agar air ludah
tidak masuk ke jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan nafas
Longgrkan baju, lepaskan kaca mata tetapi kontak lens biarkan saja
Jangan berusaha memasukkan apapun kedalam mulut pasien, lidah tak
dapat berfungsi untuk menrlan sehingga akan menyebabkan tersedak
Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan (restrain) pasien,
hal ini akan mengakibatkan perlawanan atau agitasi pasien.
Hindari pemberian obat oral, minuman atau makanan sebelum pasien
pulih 100% kesadarannya.
Pilihan obat-obat untu status epileptikus
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan
Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah
Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric
acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks
Reseptor-Barbiturat.
9
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570
pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat
kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan
obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase
1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan
dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang.
Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak
tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh
ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan
menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg
dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis
selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan
jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak
digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal
10
OBAT CARA PEMBERIAN DOSIS DEWASA DOSIS ANAKDiazepam
Lorazepam
Midazolam
Phenobarbital
Phenytoin
IV bolus Rektal IV infus
IV bolus
IM/Rektal IV bolus IV infus Buccal
IV bolus
IV bolus/infus
10-20 mg at 2-5 mg/min10-30 mg8 mg/jam
4 mg
5-10 mg0,1-0,3 mg/kg at<4 mg/jam0,05-0,4mg/kg/jam10 mg
10 mg/kgBB kecepatan <100 mg/min
15-18mg/kg kecepatan <50 mg/kg/min
0,25-0,5 mg/kgBB2-5 mg/kgBB0,5-0,75 mg/jam
0,1 mg/kg
0,15-0,3 mg/kg
10 mg
15-20 mg/kg kecepatan <100 mg/min
20 mg/kg kecepatan <25 mg/min
Manajemen emergensi
Manajemen emergensi merupakan suatu manajemen dasar untuk mengatasi
keadaan status epilepsi dengan urutan sebagai berikut:
1. Resusitasi
Prinsip resusitasi pada status epileptikus sama dengan emergensi
neurologis lainnya. Pada keadaan akut, Airway, Breathing, Circulation
(ABC) yang berkaitan dengan fungsi cardio respirasi dan sirkulasi perlu
segera di antisipasi.
11
2. Algoritma investigasi emergensi
Algoritma pemeriksaan dan penegakan diagnosis status epileptikus
12
Pasien EpilepsiTanpa obatDengan obatObat tidak memadaiObat cukup:Tiba-tiba henti obatGangguan cernaKurang tidurAlcoholNarkotikStress psikis erat
STATUS EPILEPSI
ANAMNESA
Bukan Pasien EpilepsiTraumaTumorInfeksi otak/meningenKeracunan kehamilanDemam tingiIntoksikasiGanguan metabolikGangguan elektrolitTiak diketahui
PEMERIKSAAN FISIKUmumNeurologis:Kesadaran, saraf kranial, motorik, sensorik, otonom, fungsi luhur
PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratorium; pengamblan 50 ml sampel darah: periksa Hb, leukosit, Diffcount, K,Na,Ca,Mg, Glukosa, Creatinin,Ureum, AGDAEEG (elektro ensefalo grafi)Pungsi Lumbal, stelah pasien tenang dan tidak ada kontra indikasi LP, maka pemeriksaancaitan otak lengkap dapat dilakukanCT-scan otak dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus khusus (tumor/trauma otak, stroke hemoragic) Lanjutkan dengan Algoritma terapi pada status epileptikus
3. Protokol penatalaksaan status epileptikus
STADIUM PENATALAKSANAANStadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardio respirasi
Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi
Stadium II (1-60 menit) Pemeriksaan status nerologik Penukuran tekanan darah, nadi, dan suhu EKG (elektro kardio grafi) Memasang infus paa pembuluh darah besar Megambil darah 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
lab Pemberian OAE emergensi:
Diazepam 10-20 g iv (keceatan pemberian ≥ 2-5 mg/menit atau rectal apat diulang 15 menit kemudian)
Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa Thiamin 250 mg intravena
Stadium III (0-60/90 menit)
Menentukan etiologi Bila kejang berlangsung terus selama 30 menit seteah
pemberian diazepam pertama, beri phenytoin iv 15-18mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit) Bila kejang tetapi tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien k ICU, beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau thiopentone (100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG ter-akhir, lalu dilakukan tapering off
Memantau bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai pemberian OAE dosis rumatan
(Menurut pedoman tatalaksana epilepsy PERDOSSI 2007 dan Scottish
intercollegiate Guidelines Network 2003)
Protokol penanganan SE konvulsivus
13
Status epileptikus Refrakter
OBAT DOSIS DEWASA
MIDAZOLAM 0,1-1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4 mg/menit
dilanjutkan dengan pemberian 0,05-0,4 mg/kgBB/jam melalui
infuse
THIOPENTHONE 100-250 mg bolus, diberikan dalam 20 detik kemudian
dilanjutkan denan bolus 50 mg setiap 2-3 menit samapai
bangkitan teratasi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian
dalam infus 3-5 mg/kgBB/jam
PENTOBARBITAL 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25 mg/menit, kemudian
0,5-1 mg/kgBB ditingkatkan sampai 1-3 mg/kgBB/jam
PROPOFOL 2 mg/kgBB kemudian dtingkatkan menjadi 5-10 mg/kgBB/jam
Pada umumnya sekitar 80% pasien dengan SE konvulsif dapat terkontrol
dengan pemberian benzodiazepine atau phenytoin. Bila bangkitan masih
berlangsung yang kita sebut sebgai status epileptikus refrakter, maka
diperlukan penanganan di ICU untuk dilakukan tindakan anastesi
Status epileptikus non konvulsif
Dapat ditemukan pada sepertiga kasus epileptikus, dapat dibagi menjadi SE
lena, SE parsial kompleks, SE non konvilsif pada pasien koma, dan SE pada
pasien dengan gangguan belajar
Pemilihan OAE untuk SE non konvulsif tercantum pada tabel dibawah ini
14
Tabel pilihan obat tindakan anastesi untuk status epileptikus refrakter
TIPE TERAPI PILIHAN TERAPI LAIN
SE Lena
SE Parsial Kompleks
SE Lena atipikal
SE tonik
SE nonkonvulsivus pada pasien koma
Benzodiazepine IV/Oral
Clobazam Oral
Valproate Oral
Lamotrigine oral
Phentoin IV atau Phenobarbtal
Valproate IV
Lorazepam/phenyton/Phenobarbital IV
Benzodiazepin, lamotrigine, topiramate, mthylphenidate, sterod oral
Methylhenidate, steroid
Anastesia dengan thiopentone, phenobarbital, propofol atau midazolam
15
Tabel terapi status epileptikus non konvulsif
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa
adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki
spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar
etiologi.
Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus
ditangani segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada
sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan
kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang
berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut.
Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status epileptikus,
dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik penting.
Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit
ini dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Status Epileptikus, maka
diharapkan prognosa pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.
16