1. referat yessica tifoid.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid telah diketahui menjadi masalah kesehatan yang besar di negara
berkembang. Demam tifoid ini disebabkan oleh Salmonella thypi. Penyebab lain dari demam
tifoid dan tidak menyebabkan penyakit berat yaitu S. paratyphi A, S. paratyphi B (Schotmulleri)
dan S. paratyphi C (Hirschfeldil). Penyakit ini merupakan endemik di daerah yang persediaan air
bersih tidak adekuat, seperti di Asia Tenggara, negara bagian India, Afrika, Amerika selatan dan
Amerika tengah.1 Insiden demam tifoid ini diperkirakan mencapai 22 juta kasus dengan paling
sedikit terdapat 200.000 kematian setiap tahun.2 Penyakit ini bisa terjadi pada semua usia dengan
insiden tertinggi ditemukan pada anak-anak.3
Menurut penelitian Crump, J.A., dkk (2000), insiden demam tifoid di Eropa yaitu 3 per
100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia yaitu 274 per 100.000
penduduk.4 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2005, demam tifoid menempati urutan ke-2
dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2004 yaitu 77.555 kasus.
Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, demam tifoid menempati urutan
ke-8 dari 10 penyakit penyebab kematian umum di Indonesia sebesar 4,3%.5 Pada tahun 2005
jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116 kasus (3,15%) dan menempati urutan ke-2
dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia.6
Diagnosis dini dan akurat sangat penting untuk penatalaksaan yang tepat dan efektif bagi
pasien dengan demam tifoid. Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar memberikan
pelayanan yang tepat pada pasien. Tidak hanya dengan pemberian obat, perawatan yang baik dan
benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien
dengan demam tifoid.6
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever adalah penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.7
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Demam
paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan.5
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasa mengenai saluran cerna dengan
gejala demam >7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.9
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
salmonella typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia
tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, Kelenjar limfe, usus, dan Peyer’s patch.
Beberapa terminology lain erat kaitannnya adalah demam paratifoid dan demam enteric. Demam
paratiroid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya
lebih ringan, penyakit ini disebabkan spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enteric
dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella
enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, B (S. Schotsmuelleri), atau C (S. Hirschfeldii).11
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tifoid
adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype
typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam
paratifoid).31
2.2 Epidemiologi
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 2
a. Distribusi dan frekuensi
1) Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70
– 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %.8
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per
100.000 penduduk.9
2) Tempat
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di
Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.4 Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001,
insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi
1.426 per 100.000 penduduk.10
b. Faktor yang mempengaruhi
1) Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya.11
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid
pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan
anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 3
penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan (OR=2,7).12
2) Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.13
3) Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid
adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.14
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang
baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih
besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak
tercemar berat coliform (OR=6,4) .14
2.3 Etiologi
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 4
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella.
Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi
Ciri – ciri :
1. Bakteri bentuk batang
2. Gram negatif,
3. Tidak membentuk spora,
4. Motil berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar),
5. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu,
6. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. 15
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 5
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.15
2.4 Sumber penularan
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.16
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 6
a. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang
dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung
bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.17
b. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis.Pada
penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feces atau urin.Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.17
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal
(infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa
dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya.18 Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.19
a. Healthy carrier (inapparent)
Adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit
tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada
orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas)
Adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk
menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan
pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis)
Adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih
merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya
kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan
pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun)
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 7
Merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis
dan pada hepatitis B.17
2.5 Patogenesis
S. Typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan
limfoid plak payeri di ileum terminalis yang hipertrofi. 17
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) kurang baik , maka kuman akan menembus
sel-sel epitel. Dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
di fagosit terutama oleh sel-sel fagosit. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 8
makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan ke kelenjar getah bening
mesenterika.1 Di dalam makrofag ini kuman masuk ke dalam sirkulasi darah( mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik). Dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. 1 Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
berkembang biak diluar sel dan masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 1
Didalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik.1
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri
yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus.1 S. Typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan
leukosit pada jaringan yang meradang.9
2.6 Gejala klinis
Gejala demam tifoid yang timbul sangat bervariasi. Perbedaan ini tidak hanya saja antara
berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 9
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang
khas dengan komplikasi dan kematian.16
1. Demam > 7 hari minggu II makin tinggi terutama malam hari siang agak
turun tetapi tidak pernah mencapai suhu normal.
2. Gejala konstitusional nyeri kepala, malaise, myalgia, anoreksia
3. Gejala gastrointestinal obstipasi, diare, mual, muntah, kembung
4. Gang. Saraf sentral apatis, kesadaran menurun, mengigau, delirium
5. Hepatomegaly ringan
6. Splenomegaly
7. Lidah kotor, tepi hiperemis
8. Bradikardi relative
9. Rose spot terutama kulit putih
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa.Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat.Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :20
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.Bersifat febris remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 10
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) .Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,
jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.20
2.7 Diagnosis
Ada dua cara untuk mendiagnosis demam tifoid yaitu secara klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas pada
demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain.
Diagnosis klinis demam tifoid seringkali terlewatkan karena penyakit dengan demam beberapa
hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.21 Oleh karena itu, untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode
untuk mendiagnosis demam tifoid, yaitu:
A. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada
demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain.
Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
B. Diagnosis mikrobiologik/pembiakankuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 11
drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun
demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada
minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat
ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.20,29
a. Pemeriksaan darah rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia.Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia.Laju endap darah pada tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT
tidak memerlukan penanganan khusus.20,29
b. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotic
Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negative.
2) Volume darah yang kuran(diperlukan kurang lebih 5cc darah)
Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative.Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke dalam media cair empedu untuk
pertumbuhan kuman.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 12
3) Riwayat vaksinasi
Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam darah pasien.Antibody
(agglutinin) dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negative.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.29
c. Diagnosis serologik
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).Aglutinin
yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada
orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.23
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari.23
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan
diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.15
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :2,7
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 13
a) Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita
Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu
minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan
antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin
O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di
daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.15
b) Faktor-faktor teknis
Aglutinasi silang
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 14
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.
Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi
hasilnya.
Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada
suspensi antigen dari strain lain. 15,29
2) Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi
Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang
dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.15
b) Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang
sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu
double antibody sandwich ELISA.15
3) Pemeriksaan IgM dan IgG Anti Salmonella (TUBEXRtes)
IgM anti Salmonellaatau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan
diagnostic in vitrosemikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 15
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri Salmonella
typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.15
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay
(IMBI).Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui kemampuannya untuk
menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang
disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09 (reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic
yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen warna coklat).Setelah sedimentasi
partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam
cairanmenunjukkan daya inhibisi.Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setaradengan
konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secaravisual dengan
membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.15
Tabel 1. Interpretasi Uji Tubex
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan, ulangi
pengujian. Apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vidan H kurang
imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuatterhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehinggarespon antibodi
dapat terdeteksi lebih cepat.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 16
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dancepat melalui aktivasi
sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarangditemukan baik di alam
maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella:
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat15
2.8 Penatalaksanaan
A. Istirahat dan perawatan.
Dengan tirah baring dan perawatan profesinal bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perklengkapan pakaian yang
di pakai.25
B. Diet
Makanan yang kurang akan menurukan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin
turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan dengan
makan padat dini tinggi kalori tinggi protein yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran berserat) dapat di beri dengan aman pada pasien demam
tifoid.25
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 17
C. Antimikroba
Antimikroba kloramfenikol masih menjadi drug of choice bagi pengobatan demam tifoid
di Indonesia. Pada pasien anak, kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari. Regimen lain yang dapat diberikan pada anak, yaitu:
ampisilin (200 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian IV), amoksisilin (100
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian PO), trimethoprim (10 mg/kg/hari) atau
sulfametoksazol (50 mg/kg/hari) terbagi dalam 2 dosis, seftriakson 100 mg/kg/hari terbagi dalam
1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) untuk 5-7 hari, dan sefotaksim 150-200 mg/kg/hari terbagi
dalam 3-4 dosis.26,27
a) Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran
dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal)
atau pasien yang mengalami renjatan septik. Regimen yang dapat diberikan adalah
deksamethasone dengan dosis 3x5 mg. Sedangkan pada pasien anak dapat digunakan
deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30 menit sebagai dosis awal yang
dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48 jam. Pengobatan lainnya bersifat
simtomatik dapat juga diberikan PCT 10mg/kgbb/kali.25,27
Indikasi
a) Progesic yang mengandung Parasetamol.
Parasetamol berfungsi untuk mengatsi demam pada pasien demam tifoid dengan
mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin di SSP , tepatnya di hipotalamus.33
b) Dexamethason dalam resep berfungsi untuk mengatasi gejala spelomegali pada pasien
tifus. Splenomegali merupakan pembekakan atau pembesaranlimpa. Pembesaran terjadi
akibat peradangan yang menyebabkan peningkatan infiltrasi sel-sel fagosit dan sel-sel
neutrofil. Dexamethasone mengatasi splenomegali akibat peradangan dengan cara
menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan
permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun.
c) Kalium Diklofenak digunakan untuk mengatasi nyeri perut yang dialami pasien tifus
dengan cara menghambat aktivitas siklooksigenase dengan pengurangan produksi
prostaglandin.32,34
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 18
d) cloramfenikol dalam resep digunakan untuk membunuh Salmonella tiphy dengan cara
Menghambat sintesa protein yang berinteraksi dengan ribosom 50 S.32
D. Pencegahan
1. SANITASI & KEBERSIHAN
2. VAKSIN Vaksin diindikasikan bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang
terpapar dengan penderita karier tifoid, dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
a) TY-21A V. berisi kuman hdp yg dilemahkan 3x peroral interval pemberian
selang sehari 6 thn
b) TAB Vaccine mati subkutan perlindungan terbatas
c) Vaksin berisi komponen Vi intramuscular 3 tahun. 28-30
2.9 Diagnosis Banding
Ada beberapa jenis penyakit yang mempunyai gejala yang mirip dan hampir serupa
dengan demam tifoid.Oleh karena itu maka kita harus jeli memperhatikan gejala yang tampak
pada pasien. Berikut adalah jenis-jenis penyakit yang hampir serupa dengan demam tifoid.29-31
2.9.1 Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Etiologi
DBD diesebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam virus flavivirus family dari
flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Dalam
laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kucing, anjing,
danb primata. Penelitian pada arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada
nyamuk Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.29,30
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 19
Manifestasi klinik
Pada DBD mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diabetes haemorragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh.29
2.9.2 Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.30
Etiologi
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia.Termasuk genus plasmodium
dari famili plasmodidale.Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit.Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk
yaitu Anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi
binatang.30
Manifestasi klinis
Manifestasi malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi
malaria.Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium.Malaria mempunyai
gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Keluhan prodormal dapat
terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa
dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan , anoreksia, perut tak enak, diare
ringan dan kadang-kadang dingin.30
2.10 Prognosis
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 20
Prognosis demam tifoid baik jika tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan.Pada
mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan
yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada
infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.30,31
2.11 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
Komplikasi kardiovaskular Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
Komplikasi darah Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
Komplikasi paru Penuomonia, empiema dan peluritis.
Komplikasi hepar dan kandung kemih Hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
Komplikasi tulang Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik Delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 21
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila
perawatan pasien kurang sempurna.9,30.31
DAFTAR PUSTAKA
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 22
1. Gillespie S. Salmonella infection. In: Cook GC, Zumla A, eds. Manson's Tropical Diseases, 21st ed. London, UK:Elsevier Science, Health Science Division; 2003: pp. 937-947.
2. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ 2004; 82: 1-24.
3. Anggraini R, Handoyo I, Aryati. DOT-EIA typhoid test using Omp Salmonella thypi local phage type antigen to support the diagnosis of typhoid fever. Folia Medica Indonesiana 2004;40:10-20.
4. Crump, J.A., dkk. 2004. The global burden of typhoid fever.Bull World Health Organ. May 2004;82(5):346-53.
5. Depkes RI. 2005. Profil kesehatan Indonesia tahun 2005
6. Depkes RI. 2006. Profil kesehatan Indonesia tahun 2006
7. T. H. Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Cetakan I. Tahun 1993.
8. Dinas Kesehatan Kab. Karanganyer Tahun 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Karanganyer Tahun 2007. Karanganyer.
9. Simanjuntak, C. H, 1993. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.
10. Ariyanti, T. Dan Supar, 2006. Problematika Salmonellosis pada Manusia.www. Peternakan. Litbang. Deptan.go.id.
11. Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008.
12. Heru Laksono, 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Tifoid Pada Anak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun 2009. Tesis Program Pasca Sarjana FK- Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2009.
13. Agus Syahrurahman. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Penerbit Binarupa Aksara. 1994.
14. Lubis, R, 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
15. Indro Handojo. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga University Press. 2004.
16. Ditjen P2M & PL. Depkes RI, 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.
17. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 23
18. Eddy Soewandojo Soewando, 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit Airlangga University Press.
19. Nur Nasry Noor. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka Cipta. 2006.
20. Rusepno Hasan. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. Jakarta. 1995.
21. Soegijanto, S., 2002. Demam tifoid. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Edisi Penatalaksanaannya. Edisi Pertama. Salemba Medika:Jakarta
22. Agus Syahrurahman. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Penerbit Binarupa Aksara. 1994.
23. Juwono R, 1996. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi III. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.
24. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th Jakarta Antimicrobial Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia
25. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan Medik, PB PABDI, Jakarta.
26. Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.
27. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
28. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC. 20066.
29. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. 2009.
30. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
31. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi. EGC: Jakarta.2008
32. Dr. Mahar Mardjono. 2007. Farmakologi dan Terapi.Jakarta: FKUI
33. Darsono, Lusiana. 2002. “Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol” Jurnal Kimia Vol. 2, No. 1.
34. Martindale.2006. The Complete Drug Reference 35th Edition.London: Pharmaceutical Press
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 24
35. Soegijianto,2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 25