febrytsuhendrie.files.wordpress.com file · web viewpaper aids dan hipersensitivitas. mata kuliah :...
TRANSCRIPT
Paper AIDS dan Hipersensitivitas
Mata Kuliah : Sistem Imun dan Hematologi
Semester : 5 / 3A
Presented By : uti febri suhendri
A. Latar Belakang
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul
dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi
yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut
respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja,
2009).
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan
jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem
pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe
pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada
antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme
imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen
yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang
didapat secara aktif dan didapat secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat
pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan
terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi
komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk
menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas.
Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat
pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008)
B. AIDS
1. Definisi
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala
penyakit infeksi opurtunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya system kekebalan
tubuh oleh infeksi Human Immunodeficincy virus (HIV) (Prawirohardjo, 2008)
2. Etiologi
Berikut ini antara lain penjelasan penyebab dari HIV pada ibu dan bayi:
a. Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan HIV terjadi
kalau ada cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan
pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan alat-alat penusuk (tato, penindik, dan
cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau
disusui oleh wanita pengidap HIV.
b. Bayi yang dilahirkan dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular.
c. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, bayi lebih mungkin tertular jika
persalinan berlanjut lama.
d. Selama proses persalinan,bayi dalam keadaan beresiko tertular darah ibu.
e. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus tersebut. Jadi jika bayi
disusui oleh ibu HIV (+), bayi bisa tertular. (www.odhaindonesia.org, 2012)
3. Patofisiologi
Berikut ini penjelasan dari patofisiologi HIV
a. Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan
secret vagina.
b. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui kontak seksual
c. HIV awalnya di kenal dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV)
merupakan golongan retrovirus dengan materi genetic Ribonucleic acid (RNA) yang
dapat di ubah menjadi Deoxyribonucleic acid (DNA) untuk di intergrasikan ke dalam
sel penjamu dan deprogram membentuk gen virus.
d. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen permukaan CD4, terutama limfosit T yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh, (prawirohardjo, 2008)
4. Stadium HIV
Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS. Yakni:
a. Stadium I, gejalanya antara lain:
1) Belum menunjukkan gejala
2) Dalam hal ini, ibu dengan HIV positif tidak akan menunjukkan gejala klinis yang
berarti, sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang normal dan mampu
melakukan aktifitasnya seperti biasa.
b. Stadium II, gejalanya antara lain:
1) Sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan.
2) Gejala ringan tersebut, seperti penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi
yang berulang pada saluran nafas dan kulit
c. Stadium III, gejalanya antara lain:
1) Ibu dengan HIV sudah tampak lemah
2) Gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan.
3) Ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebih berat.
4) Diare yang tidak kunjung sembuh.
5) Demam yang hilang timbul
6) Mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar
ke paru-paru
d. Stadium IV, gejalanya antara lain:
1) Pasien akan menjadi AIDS
2) Aktifitas pasien akan banyak dilakukan ditempat tidur karena kondisi dan
keadaannya sudah mulai lemah
3) Infeksi mulai bermunculan dimana-mana dan cenderung berat
4) Salah satu kesulitan infeksi HIV adalah masa laten tanpa gejala yang lama, antara
2 bulan hingga 2 tahun
5) Umur rata-rata saat di diagnosis infeksi HIV ditegakkan adalah 35 tahun
5. Pencegahan:
a. Karena belum ada obat untuk HIV, terapi dewasa ini hanya untuk memperlambat
kemajuan penyakit
b. Karena itu penting sekali menekankan upaya pencegahan.
c. Disamping upaya untuk tidak melakukan hubungan seksual (abstinantia) atau hanya
menjalin hubungan seksual dengan satu mitra saja yang diketahui tidak terinfeksi,
penggunaan kondom lateks yang sudah dilumasi dengan nonoxynol 9 merupakan
metode yang paling efektif dalam membatasi resiko infeksi.
d. Jika seorang wanita positif HIV, dia harus diberi nasihat untuk:
1) Tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan, atau organnya
2) Menghindari kehamilan
3) Menjaga hubungan dengan satu pasangan, dan
4) Tekun menggunakan kondom yang telah dilumasi dengan nonoxynol 9 selama
kontak seksual apapun.
e. Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Bayi:
Ibu dengan HIV (+) dapat mengurangi Resiko bayinya tertular dengan:
1) Mengkonsumsi obat anti Retroviral (ARV)
2) Menjaga Proses Kelahiran tetap singkat waktunya
3) Menghindari menyusui
4) Melakukan diet khusus untuk orang HIV
6. Asuhan Keperawatan HIV
a. Pengkajian
1) Lakukan pengkajian fisik
2) Dapatkan riwayat imunisasi
3) Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-
anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk
darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko
tinggi
4) Observasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati,
hepatosplenomegali
5) Infeksi bakteri berulang
6) Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter
interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
7) Diare kronis
8) Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai
sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan neurologis abnormal
9) Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.
b. Diagnosa
1) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan ekspnsi paru
3) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan
penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
c. Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret
Tujuan: Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi
a) Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi
napas adventisius,
R/: penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi
napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi.
b) Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan dinding
dada
R/: takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi
karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru.
c) Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi
duduk tinggi
R/: Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih
kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia
untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih
dalam dan lebih kuat
d) Penghisapan sesuai indikasi
R/: merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan
tingkat kesadaran
e) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air
hangat dari pada dingin
R/: Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan secret
f) Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti
bronchodilator)
R/: alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat
bronchodilator dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk
dikeluarkan
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan: anak dapat menunjukan pola napas yang efektif
Intervensi
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi paru. Catat upaya
pernafasan, termaksud penggunaan otot bantu.
R/: Kecepatan biasanya meningkat. Dispnue dan terjadi peningkatan kerja
nafas. Kedalaman pernafasan berfariasi tergantung derajat gagal nafas.
b) Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi seperti ronchi.
R/: Bunyi nafas menurun / tidak ada bila jalan nafas obstruktif sekunder
terhadap pendarahan, Ronki dan mengi menyertai obstrusi jalan nafas/
kegagalan nafas.
c) Tinggkan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun sari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
R/: Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru memudahkan pernafasan.
d) Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/: Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering / iritasi. Sputum berdarah
dapat mengakibatkan infark jaringan.
e) Berikan oksigen tambahan.
R/: Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
3) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody
Tujuan: Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC
Intervensi
a) Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut yang
tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan 24 oC
R/: Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara
radiasi
b) Beri antipiretik sesuai petunju
R/: Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam
c) Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tiba
R/: Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang
d) Beri antimikroba/antibiotik jira disaranka
R/: Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab.
e) Berikan kompres dengan suhu 37oC pada anak untuk menurunkan demam
R/: kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan
penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak
mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup
Intervensi:
a) Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi protein
R/: Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
b) Beri makanan yang disukai anak
R/: Untuk mendorong agar anak mau makan
c) Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau
suplemen yang dijual bebas
R/: Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan
d) Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan baik
R/: Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang berharga bagi perawat
maupun orang tua untuk memberikan makanan sehingga porsi yang disediakan
dihabiskan
e) Gunakan kreativitas untuk mendorong anak
R/: Dapat menarik minat anak untuk makan dan menghabiskan porsi makanan
yang disediakan
f) Pantau berat badan dan pertumbuhan
R/: Pemantauan berat badan dilakukan sehingga intervensi nutrisi tambahan
dapat diimplementasikan bila pertumbuhan mulai melambat atau berat badan
turun
g) Berikan obat antijamur sesuai instruksi
R/: Untuk mengobati kandidiasis oral
C. Reaksi Hipersensitivitas
1. Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas
berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara
(Baratawidjaja, 2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe,
yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung
antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-
mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau
stimulatory hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).
2. Tipe Hipersensitivitas
a. Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena
terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan,
dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma.
Antibodi ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel mast dan
basofil. Selmast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi),
karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama,
tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20
jam. Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan
reseptor disel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi
tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan
dengan IgE yang berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau basofil dan
menyebabkan terjadinya granulasi (Abbas, 2004).
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.
1) mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator primer
terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi,
bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera
dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat
agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator
lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen
komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan
(misalnya, C3a).
2) Mediator Sekunder yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan
spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu
kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan
alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik
untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator
yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan
faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh
selB.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor
of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator
yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil
(NCF = neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan
metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I
(Arwin dkk, 2008).
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat
dan fase lambat.
1) Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi
beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan
dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
2) Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel
mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti
bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase
cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik
sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast
tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
b. Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian
sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang
merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul
asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang
terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan
sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel
efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan
berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi,
penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit
autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
1) Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2) Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor
untuk Fc
3) Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu:
1) Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu
A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi
(anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan
B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit
golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen
tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat
mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut
isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi.
Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan
transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik
yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma.
Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek
toksik dan kompleks haem yang lepas.
2) Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat
pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan
ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak
akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu
yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan
membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat
melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus
biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig
tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya
terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
3) Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang
membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor
untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa
aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk
aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat
diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).
4) Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit
yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat
mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan
trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah
putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.
5) Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan
membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan
paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran
paru. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid,
imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi.
c. Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks
antigencantibodi c (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri
dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk
dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah
ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada
organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan
mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme
terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang
menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks
imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana
dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa
bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan
cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk
dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa
ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut
sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka
waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks
imun tersebut mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).
Penyakit oleh kompleks imun
Penyakit
Spesifitas
antibodi Mekanisme
Manifestasi
klinopatologi
Lupus
eritematosus
DNA,
nucleoprotein
Inflamasi
diperantarai
komlplemen
dan reseptor
Fc
Nefritis,
vaskulitis,
artritis
Poliarteritis
nodosa
Antigen
permukaan
virus
hepatitis B
Inflamasi
diperantarai
komplemen
dan reseptor
Fc Vaskulitis
Glomreulonefr
itis post-
streptokokus
Antigen
dinding sel
streptokokus
Inflamasi
diperantarai
komplemen
dan reseptor
nefritis
Fc
(Dikutip dari Abbas,2004)
d. Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih
dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang
sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan
dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit
yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu
merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi
kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing
(seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll).
Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein
yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang
oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena
adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap
sel yang mengandung antigen itu (sel target).
Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola,
morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa
(leishmaniasis, schitosomiasis).
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T,
termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini
dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui
terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa
penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus
maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)
Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori
hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang
sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan
IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana
inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang
berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang
berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)
Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap:
Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai
autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T.
Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada
produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag)
terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1.
IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi
sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF-
β untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi sel
ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang
lama (Abbas, 2004).
Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC.
Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab
dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag
yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang
memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1
dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12
yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan
mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut
berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka
akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa
juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17,
IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan
monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12
yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).
Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit
yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan
histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam
penolakan pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan
infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I
dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang
telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat
pada kerusakan sel (Abbas, 2004).
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T
melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari
CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan
perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke
sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi
pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang
memecah dan mengaktivasi caspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target.
Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog
denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan memicu
apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi
inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos oleh beberapa
agen kontak (Abbas, 2004).
KESIMPULAN
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala penyakit
infeksi opurtunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh infeksi
Human Immunodeficincy virus (HIV) (Prawirohardjo, 2008)
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. , reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi,
tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory
hypersensitivity, namun tipe V tidak dibahas dalam paper ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease..
SAUNDERS: China
Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI.
Jakarta
Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8.Balai Penerbit FKUI:Jakarta
http://www.odhaindonesia.org