graharieka.files.wordpress.com file · web viewhal itu semakin nyata dengan adanya undang-undang...

25
KAJIAN BATIK KAWUNG ( Tugas Individual UTS Filsafat Seni ) Prof. Drs. Jakobus Sumardjo Rika Nugraha, S.Sn PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI PENGKAJIAN SENI PROGRAM PASCA SARJANA SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA BANDUNG 2012

Upload: phamkien

Post on 25-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAJIAN BATIK KAWUNG

( Tugas Individual UTS Filsafat Seni )

Prof. Drs. Jakobus Sumardjo

Rika Nugraha, S.Sn

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI PENGKAJIAN SENI

PROGRAM PASCA SARJANA

SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA

BANDUNG

2012

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756 .

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil

2

Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945.  Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas.  Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang.  DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab.  Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan

3

untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA

4

I     BATAS WILAYAH

      Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya

daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus

Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Kabupaten Sleman

2. Sebelah Timur : Kabupaten Bantul & Sleman

3. Sebelah Selatan : Kabupaten Bantul

4. Sebelah Barat : Kabupaten BAntul & Sleman

   Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur

dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas

permukaan laut

II     KEADAAN ALAM

      Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur

relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga)

sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :

1. Sebelah Timur adalah Sungai Gajah Wong

2. Bagian Tengah adalah Sungai Code

3. Sebelah barat adalah Sungai Winongo

5

III     LUAS WILAYAH

      Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II

lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY

      Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617

RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan

rata-rata 15.000 jiwa/Km²

IV     TIPE TANAH

      Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai

tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng

gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau

tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan

pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan.  Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan

7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)

V     IKLIM

      Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari

hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%.  Angin pada umumnya bertiup

angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220°  bersifat basah

dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering

dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam.

6

VI     DEMOGRAFI

      Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah

penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota

Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km².  Angka

harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan

perempuan usia 76,31 tahun.

7

IDENTITAS LAMBANG KOTA YOGYAKARTA

Dasar Hukum

Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta

Makna Lambang :

1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan Pangeran

Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)

2. Warna Hitam : Simbol Keabadian

o Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran

o Warna Putih : Simbol Kesucian

o Warna Merah : Simbol Keberanian

o Warna Hijau : Simbol Kemakmuran

3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat

4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang

kemakmuran

o  Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan

sandang

5. Perisai : Lambang Pertahanan

6. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta

7. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang

8. Gunungan : Lambang kebudayaan

8

o Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan

o Banteng : Lambang semangat keberanian

o Keris : Lambang perjuangan

9. Terdapat dua sengkala

o Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan

pemakaian Lambang Kota Yogyakarta

o Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884

FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA

Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan

pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis

Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta.

Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat

Yogyakarta, karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya

yang sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna

simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.

Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan

suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan

kraton.  Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada Kota

Yogyakarta.

9

SUKU JAWA

Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di sekitar

90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta

Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu saja di Jakarta, mereka juga banyak

ditemukan. Sebahagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa

percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat yang dijalankan oleh Majalah Tempo pada awal

dekad 1990-an menunjukkan bahawa hanya sekitar 12% daripada orang-orang Jawa

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertuturan harian. Sekitar 18% menggunakan

campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dengan yang lain menuturkan bahasa Jawa sebagai

bahasa utama mereka.

Keturunan-keturunan masyarakat Jawa berpendapat bahawa bahasa Jawa adalah bahasa

yang sangat sopan dan mereka, khususnya orang-orang yang lebih tua, menghargai orang-orang

yang menuturkan bahasa mereka. Bahasa Jawa juga sangat mempunyai arti yang luas.

Sebahagian besar orang Jawa menganuti agama Islam pada nama sahaja. Yang menganuti agama

Kristian, Protestan dan Katolik juga banyak, termasuknya di kawasan luar bandar, dengan

penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan di kalangan masyarakat Jawa.

Terdapat juga agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen.

Kepercayaan ini pada dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh agama

Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal kerana sifat asimilasi kepercayaannya,

10

dengan semua budaya luar diserap dan ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa sehingga

kepercayaan seseorang kadang kalanya menjadi kabur.

Masyarakat Jawa juga terkenal kerana pembahagian golongan sosialnya. Pada dekad 1960-

an, Clifford Geertz, pakar antropologi Amerika Syarikat yang ternama, membagikan masyarakat

Jawa kepada tiga buah kelompok:

1. Kaum santri

2. Kaum abangan

3. Kaum priyayi.

Menurut beliau, kaum santri adalah penganut agama Islam yang warak, manakala kaum

abangan adalah penganut Islam pada nama sahaja atau penganut Kejawen, dengan kaum priyayi

merupakan kaum bangsawan. Tetapi kesimpulan Geertz ini banyak ditentang kerana ia

mencampurkan golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Pengelasan sosialnya juga

dicemari oleh penggolongan kaum-kaum lain, misalnya orang-orang Indonesia yang lain serta

juga suku-suku bangsa bukan pribumi seperti keturunan-keturunan Arab, Tionghoa dan India.

11

BATIK YOGYAKARTA

Bila mengamati ragam busana yang sedang tren saat ini, maka akan terlihat begitu

pesatnya perkembangan fashion di Indonesia. Termasuk diantaranya adalah batik yang telah

mengalami transformasi fungsi yaitu dari batik sebagai busana untuk acara-acara resmi menjadi

batik yang dapat dikenakan sebagai busana dalam berbagai kesempatan dan kepentingan. Batik

sendiri mempunyai sejarah panjang sehingga dapat disebut sebagai warisan budaya Indonesia

yang sudah berlangsung secara turun-temurun.

Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti lebar, luas,

kain; dan “titik” yang berarti titik atau matik (kata kerja membuat titik) yang kemudian

berkembang menjadi istilah “batik” yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar

tertentu pada kain yang luas atau lebar.

Batik di Indonesia secara historis sudah dikenal sejak abad XVIII. Batik ditulis pada daun lontar

yang didominasi dengan motif bentuk binatang atau tanaman. Namun dalam perkembangannya,

corak-corak tersebut beralih menjadi motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang,

cerita rakyat, dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak dan teknik muncul seni

batik tulis seperti yang dikenal saat ini.

Corak dan warna batik tradisional sangat bervariasi macamnya sesuai dengan filosofi dan

budaya yang beragam di tiap-tiap daerah. Khasanah budaya Indonesia yang begitu kaya telah

mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri tersendiri. Jadi 12

walaupun batik berasal dari bahasa Jawa, namun sebenarnya tradisi membatik telah tersebar

lebih dahulu di berbagai wilayah Nusantara seperti, Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Corak

batik juga mendapat pengaruh dari luar yang dibawa oleh pedagang asing, seperti bangsa China,

ataupun pengaruh dari bangsa Belanda.

Corak batik yang beragam ini dibuat dengan teknik penulisan di atas sehelai bahan

berwarna putih yang terbuat daru kapas atau sering disebut kain mori. Motif batik dibentuk

dengan cairan lilin (malam) dengan menggunakan alat yang dinamakan canting sehingga cairan

lilin meresap ke dalam serat kain. Kain tersebut kemudian dicelup dengan warna yang

diinginkan, dengan beberapa kali proses pewarnaan. Dengan teknik seperti ini, akan

menghasilkan kain yang disebut “Batik Tulis”.

Pembuatan batik tulis harus dilakukan dengan tingkat ketelitian dan kesabaran yang

tinggi karena membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan dalam pengerjaannya sehingga pada

masa lampau khususnya di Jawa, pekerjaan ini secara eksklusif dilakukan oleh kaum perempuan.

sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.

Pada masa itu, batik hanya dikerjakan terbatas di kraton (istana) dan dijadikan sebagai

pakaian untuk keluarga kerajaan. Hingga kemudian batik mulai dikenakan oleh pengikut istana

dan selanjutnya meluas di kalangan rakyat jelata. Dengan penyebaran ini menyebabkan semakin

berkembangnya motif batik di dalam masyarakat. Batik dengan motif tertentu dapat

menunjukkan status sosial seseorang, sehingga ada beberapa motif yang hanya dipakai oleh

keluarga tertentu. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tradisional yang hanya dipakai

oleh keluarga kraton Yogyakarta dan Surakarta.

Secara filosofis motif batik mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing sesuai dengan

kebudayaan daerah setempat. Misalnya saja di pulau Jawa, batik telah menyebar ke berbagai

wilayah seperti Mojokerto, Tuban, Sidoarjo, Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, hingga

Cirebon. Daerah-daerah ini mempunyai adat, tradisi, dan budaya yang berbeda satu sama lain.

Nilai-nilai tersebut akan tertuang dalam bentuk motif batik yang akan menyampaikan

pesan dari sang pemakai. Sebagai contoh dalam batik gedog Tuban, motif batik Gringsing yang

berasal dari gering (bahasa Jawa) yang berarti kurus. Harapannya, pemakai batik gringsing tidak 13

akan kurus lagi, yang lebih jauh memiliki filosofi keseimbangan dalam kemakmuran dan

kesuburan. Untuk tema pernikahan, mulai dari batik pada saat melamar, hantaran hingga paska

pernikahan, antara lain menggunakan batik Mahkota dari Sidoarjo yang menandai bahwa

pemakai batik yang akan menikah tersebut merupakan orang terpandang.

Di Surakarta dan Yogyakarta, motif batik berhubungan dengan makna filosofis dalam

kebudayaan Hindu-Jawa. Pada beberapa motif yang dianggap sakral dan hanya dipakai pada

kesempatan dan peristiwa tertentu. Misalnya motif Sida Mukti, yang secara harafiah berarti

“menjadi berkecukupan”, kemudian motif Wahyu Tumurun (turunnya wahyu), yang digunakan

hanya untuk upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta). Sementara motif Parang

yang bernuansa ramai dipakai pada saat pesta atau perayaan. Sedangkan untuk melayat,

digunakan warna yang lebih lembut yaitu motif Kawung. Keempat motif batik tersebut

hanya diperuntukan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh digunakan oleh rakyat jelata. Di luar

empat motif batik tersebut, tentu masih terdapat banyak motif lain.

Di kraton Yogyakarta, terdapat aturan yang resmi mengenai penggunaan kain batik ini.

Ketika ada acara hajatan perkawinan, kain batik haruslah bermotif idoasih, Taruntum,

Sidomukti, Sidoluhur, dan Grompol. Sedangkan untuk mitoni, biasa menggunakan motif Picis

Ceplok Garudo, Parang Mangkoro, atau Gringsing Mangkoro.

Dari berbagai jenis motif batik tersebut memberikan gambaran nilai-nilai sosial, kultural

dan ketuhanan yang ada pada masyarakat Indonesia kemudian disampaikan dalam wujud karya

yang sangat luhur dan penuh makna filosofis yang akan terus menggemakan kekuatan budaya

bangsa Indonsesia.

Kini Indonesia semakin giat memperkenalkan dan memasarkan batik ke seluruh dunia

sebagai warisan budaya yang unik dan indah namun tetap sesuai dipadu-padankan dengan

dinamisme kehidupan modern. Indonesia juga patut berbangga karena sejak 2 Oktober 2009,

batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya

yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan

dan Nonbendawi

14

BATIK KAWUNG

Gambar 1. Batik Kawung Keraton

Gambar 2 . Batik Kawung ( Melayat )

Batik Motif Kawung dikategorikan sebagai pola mandala, dimana membawa symbol paradox, yakni hadirnya yang tak terbatas di dunia terbatas, hadirnya yang transenden didunia imanen, hadirnya daya adikodrati di dunia kodrat.

15

Kain Batik Kawung sedikitnya terdiri dari dua setengah kacu. Satu Kacu adalah berbentuk segi empat ( mandala ) di garis persis bagian tengahnya secara vertical maupun horizontal. Dengan demikian ada mandala empat bagian.

Mandala ini dapat diperluas menjadi Mandala 8 dengan cara membelah tiap bagian mandala dengan cara yang sama pada mandala 4 bagian. Selanjutnya mandala 8 bagian dapat dijadikan mandala 16 bagian, mandala32 again, mandala 64 bagian.

Dalam batik 64 bagian, mandala akan didapatkan 64 motif yang diulang-ulang sampai seluruh kain dipenuhi motif yang sama. Orang tinggal mencari mana bagian pusat mandalanya.

POLA LIMA DALAM BATIK KAWUNG

Pola lima adalah kategori etika, bersumber dan system kepercayaan religinya, sehingga kebudayaan pra modern pola lima masuk kategori budaya mistis-spiritual. Batik kawung yang dipergunakan untuk melayat jenazah, mengandung symbol angka empat dalam kebudayaan suku jawa, mengandung falsafah asal muasal kehidupan manusia ( Kiblat Papat Lima Pancer ).

Semua hal dipola berdasarkan mancapat kalimo pancer, baik alam rohani, alam semesta ( jagad besar ), manusia ( jagad kecil ), budaya ( Negara, seni, teknologi, ekonomi ). Mancapat Kalimo Pancer adalah paradigm hubungan Tunggal dan Plural.

Tunggal adalah pusat ( Titik Tengah ) dan plural adalah pengikut, saudara, keluarga, anggota dan pusat, inilah Dwitunggal. Kawulo – Gusti, tunggal adalah paradox karena merupakan sintesa dari angota-anggotanya yang plural dan dualistic.

Pengaturan ini menghadirkan yang transenden ( rohani, ilahi, kedewaan ) ke dunia imanen ( materi, duniawi, manusiawi ) atau membuat yang imanen menjadi transenden. Gerak memusat dan menyebar ada pada batik kawung, dalam gerak memusat, yang imanen menuju pusat, Tunggal, yang transenden.

Inilah “ Jalan ke atas “ manunggaling kawulo dengan Gustinya. Dalam zaman Hindu – Budha jalan ini mengikuti gerak pradaksina atau arah jarum jam. Sedangkan gerak menyebar , yang transenden menyebar mengaliri atau menjadi pasangan- pasangan antagonistic imanen.

Inilah “ Dari Atas Ke Bawah “ Gusti Manunggal dengan kawulonya, arah geraknya mengirikan pusat atau berbalikan dengan arah jarum jam.

16

BATIK KAWUNG DALAM FALSAFAH JAWA

Kebudayaan suku jawa merupakan kebudayaan tertua yang ada di indonesia, hadirnya berbagai kerajaan yang berdiri kokoh di masa lampau merupakan salah satu bukti yang berbicara bahwa kebudayaan suku jawa sudah ada sejak lama, jauh sebelum modernisasi mengenai kehidupan masyarakat jawa seperti sekarang ini.

Setiap peradaban yang pernah lestari di bumi selalu meninggalkan warisan simbol-simbol

Yang menjadi bukti eksistensi. Simbol-simbol tersebut pada masanya bias menjadi merupakan media komunikasi. Entah komunikasi kepada sesama manusia atau dengan Tuhannya. Begitupun yang terjadi pada kebudayan suku jawa.

Kebudayaan suku jawa melintasi waktu yang teramat panjang, banyak simbol yang dimiliki dan tetap bertahan sampai sekarang. Dengan simbol itu komunikasi masa lalu dikirim dengan akurat kepada masyarakat modern, sehingga mereka dapat mengetahui makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya.

Pada perkembangannya batik mengalami perkembangan yang berkenaan dengan motif dan corak. Motif dan corak batik itu sendiri diciptakan dari proses yang cukup panjang, sebuah proses wajar yang memang sering terjadi pada sebuah kebudayaan suku Jawa.

Batik Kawung merupakan batik tertua, jika diperhatikan motif batik kawung ini memiliki irama dalam repetisi pola lingkaran geometris yang saling berisikan. Mengambil bentuk dasar buah aren ( kawung ) yang distilasi dalam bentuk segiempat simetris. Angka empat dalam kebudayaan suku jawa, mengandung falsafah asal muasal kehidupan manusia ( Kiblat Papat Lima Pancer ).

17

Bentuk dasarnya berupa lingkaran oval yang hampir menyentuh satu sama lain dengan simetris, yang diperhatikan jika seksama menimbulkan ilusi optik dengan munculnya bentuk bunga kelopak. Masing –masing kelopak membentuk runcing ramping.

Dinamakan batik kawung karena motif yang dipakai merupakan stilasi dari penampang buah aren ( kawung ). Aren sebagai penghasil gula yang meyimbolkan rasa manis , memiliki filosofis keagungan, dan kebijaksanaan. Pohon yang lurus tanpa cabang melambangkan keadilan, karena itu motif batik kawung memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi tentang kekuasaan yang adil dan bijaksana.

Bunga empat kelopak dianggap representasi dari lotus ( bunga teratai ). Bunga dalam falsafah jawa kuno mengandung makna kesucian , sementara stilasi bunga dan buah secara umum memiliki makna kesuburan dan harapan.

Batik kawung mengandung falsafah kehidupan yang sangat dalam dan suci tentang asal muasal penciptaan manusia. Umur panjang yang dimaknai sebagai perjalanan menuju kehidupan yang abadi. Karena itulah maka dalam beberapa tradisi jawa , Batik Kawung digunakan untuk menyelimuti jenazah . Sebagai perlambang perjalanan panjang menuju keabadian yang sedang ditempuh roh.

Empat unsur bunga kawung yang saling beririsan simetris dengan menyisakan ruang kosong di titik pusat, dimaknai juga sebagai kiblat papat lima pancer, falsafah adiluhung Jawa yang bermakna : memandang dari segi empat perspektif mata angin untuk mendapatkan cahaya ( pancer ) kebijaksanaan.

18

19