papuabarat.bps.go · ii. metodologi 7 2.1 sejarah penghitungan ipm 7 2.2 pengukuran pembangunan...

83
https://papuabarat.bps.go.id

Upload: truongkhanh

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 2: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 3: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

PROVINSI PAPUA BARAT 2016

Nomor ISSN : 2089-1660

Nomor Publikasi : 91550.1705

Katalog : 4102002.91

Ukuran Buku : 16,5 x 21,5 cm

Jumlah Halaman : x + 71 halaman

Naskah :

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik

Penyunting:

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik

Gambar Kulit :

Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik

Diterbitkan oleh :

©BPS Provinsi Papua Barat

Dicetak Oleh :

CV. Nasional Indah

Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebgian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 4: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 5: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 6: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii

Daftar Isi vi

Daftar Tabel vii

Daftar Gambar viii

I. Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penulisan 4

1.3 Manfaat Penulisan 5

1.4 Sistematika Penulisan 5

II. Metodologi 7

2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7

2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7

2.3 Perubahan Metodologi IPM 9

2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11

2.5 Dampak Perubahan Metodologi 12

2.6 Implikasi IPM Metode Baru di Indonesia 13

2.7 Penghitungan IPM Metode Baru di Indonesia 14

2.8 Ilustrasi Penghitungan IPM Metode Baru 24

2.9 Klasifikasi / Pemeringkatan IPM Metode Baru 26

III. KONDISI UMUM PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI PAPUA BARAT 29

3.1 Sekilas Provinsi Papua Barat 29

3.2 Status Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 34

3.3 Pembangunan Manusia Bidang Kesehatan 36

3.4 Pembangunan Manusia Bidang Pendidikan 41

Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) 42

Harapan Lama Sekolah(HLS) 43

3.5 Pembangunan Manusia Bidang Ekonomi 44

3.6 IPM dan Kemiskinan 47

3.7 Perkembangan IPM 48

3.8 Pertumbuhan IPM 51

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 7: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 vi

IV Penutup 53

4.1 Prioritas Pertama : Sektor Pendidikan 54

4.2 Prioritas Kedua : Sektor Perekonomian 58

4.3 Prioritas Ketiga : Sektor Kesehatan 54

4.4 Kesimpulan 60

Lampiran Tabel-Tabel 61

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 8: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 vii

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal.

5.1 Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2016

63

5.2 Harapan Lama Sekolah (HLS) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua

Barat Tahun 2016

64

5.3 Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua

Barat Tahun 2016

65

5.4 Pengeluaran Disesuaikan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

66

5.5 Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun

2012 - 2016

67

5.6 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun

2012 - 2016

68

5.7 Indeks Pengleuaran Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun

2012 - 2016

69

5.8 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi

Papua Barat Tahun 2012 - 2016

70

5.9 Laju Pertumbuhan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Ta-

hun 2011 - 2016

71

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 9: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 10: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 ix

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Hal.

3.1 Perkembangan Penduduk Provinsi Papua Barat 30

3.2 Piramida Penduduk Provinsi Papua Barat Tahun 2016 31

3.3 Rasio Ketergantungan Penduduk Provinsi Papua Barat Tahun 2016 32

3.4 Perbandingan IPM Provinsi Papua Barat dengan Provinsi Papua dan

nasional Tahun 2016

33

3.5 IPM Provinsi di Indonesia Tahun 2016 34

3.6 Trend IPM Provinsi Papua Barat Tahun 2011 - 2016 35

3.7 Visi Indonesia Tahun 2030 36

3.8 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2016

37

3.9 Faktor-Faktpr Yang Mempengaruhi Indikator Indeks Harapan Hidup 38

3.10 Estimasi Angka Kematian Bayi (AKB) Seluruh Provinsi di Indonesia

Tahun 2016

39

3.11 Angka Kesakitan (Morbiditas) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua

Barat Tahun 2016

40

3.12 Faktor-Faktpr Yang Mempengaruhi Indikator Indeks Pendidikan 41

3.13 Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua

Barat Tahun 2016

42

3.14 Gap antara Rata-Rata Lama Sekolah dan Harapan Lama Sekolah

(HLS) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016

44

3.15 Pengeluaran perkapita Disesuaikan Provinsi Papua Barat dan Na-

sional Tahun 2016

45

3.16 Laju Pertumbuhan Ekonomi dengan Migas dan Non MIgas Provinsi

Papua Barat Tahun 2016

46

3.17 Trend Gini Ratio Provinsi Papua Barat Tahun 2011 - 2016 46

3.18 Kategorisasi Hubungan antara IPM dan Persentase Penduduk Miskin

Kab/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016

48

3.19 Indeks Komponen Penyusun IPM di Provinsi Papua Barat Tahun

2016

49

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 11: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 x

3.20 Pertumbuhan IPM Menurut Kab/Kota di Provinsi Papua Barat 52

3.21 Meningkatkan IPM dari Perspektif Sektor Pendidikan 55

3.22 Meningkatkan IPM dari Perspektif Sektor Ekonomi 58

3.23 Meningkatkan IPM dari Perspektif Sektor Kesehatan 59

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 12: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudah banyak diungkap bahwa modal manusia (human capital) merupakan salah satu

faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dengan modal manusia yang berkualitas,

kinerja ekonomi diyakini juga akan menjadi lebih baik. Kualitas modal manusia ini misalnya dilihat

dari tingkat pendidikan, kesehatan atau ataupun indikator-indikator lainnya sebagaimana dapat

dilihat pada laporan pembangunan manusia yang dipublikasikan oleh United Nation Development

Programme (UNDP).

Dengan pertimbangan itu, maka dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi maka perlu

pula dilakukan pembangunan manusia, termasuk dalam konteks ekonomi regional. Kondisi ini

dilakukan karena pertumbuhan diyakini sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab

itu, tidaklah mengherankan jika paradigma pembangunan masih didominasi oleh pentingnya

mengejar ketertinggalan, atau yang lebih dikenal dengan paradigma pertumbuhan (growth para-

digm).

Dalam growth paradigm, pertumbuhan ekonomi diyakini sebagai ukuran utama keberhasilan

pembangunan. Hal ini disebabkan karena hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat sampai pada

lapisan yang paling bawah, baik dengan sendirinya ataupun melalui campur tangan pemerintah

(trickle-down effect). Namun hipotesis “trickle-down effect” yang melekat pada “growth paradigm”

ini yang diharapkan secara otomatis menyertai pertumbuhan ternyata tidak dapat terwujud.

Bahkan yang terjadi di banyak negara yang sedang membangun justru sebaliknya yakni kesen-

jangan menjadi semakin lebar.

Melihat berbagai kegagalan ini, maka timbullah pemikiran bahwa pertumbuhan haruslah

secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan serta

pembagian hasil-hasilnya secara lebih merata. Semua ini pada akhirnya akan mempercepat

pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Strategi yang demikian dikenal dengan istilah “redistribution

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 13: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 2

with growth” (RWG). Strategi ini dikembangkan berdasarkan sebuah studi yang disponsori oleh

Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenerey, at al., 1974).

Selanjutnya paradigma pembangunan dunia kembali mendapat nuansa baru. Permasalahan

hak asasi manusia semakin menjadi perhatian masyarakat dunia. Demikian pula halnya dengan

demokrasi yang makin disadari memiliki keterkaitan erat dengan keberhasilan pembangunan.

Dan akhirnya makin disadari pula bahwa fokus pembangunan haruslah bertumpu pada manu-

sianya itu sendiri. Pilihan masyarakat terhadap arah, tujuan dan jalan yang ditempuh dalam pros-

es pembangunan haruslah dapat meningkatkan sepenuhnya keberdayaan dan keikutsertaan

masyarakat dalam proses pembangunan. Dan konsep pembangunan inilah yang dianggap paling

lengkap, hal ini dikarenakan konsep pembangunan tersebut merupakan sintesa dari model-model

pembangunan sebelumnya. Model pembangunan ini yang kemudian dikenal dengan istilah para-

digma pembangunan manusia (human development paradigm).

Menurut human development paradigm, tujuan utama pemabangunan adalah memperluas

pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan

manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua,

penggunaan kemampuan yang telah dimilikinya untuk bekerja, menikmati kehidupan atau aktif

dalam berbagai kegiatan kebudayaan, social dan politik.

Konsep holistik dari human development paradigm memiliki empat komponen penting, yaitu:

• Produktivitas. Masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan ber-

partisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan beru-

pah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pem-

bangunan manusia.

• Ekuitas. Masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil.

Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyara-

kat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-

kesempatan ini.

• Kesinambungan. Akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 14: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 3

untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk per-

modalan fisik, manusia, lingkungan hidup harus dilengkapi.

• Pemberdayaan. Pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat, dan bukan tanpa

mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan pros-

es-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Tingkat capaian pembangunan manusia telah mendapatkan perhatian dari penyelenggara

negara agar hasil-hasil pembangunan tersebut dapat diukur dan dibandingkan. Terdapat

berbagai ukuran pembangunan manusia yang telah dibuat, namun tidak seluruhnya dapat dijadi-

kan sebagai sebuah ukuran standar yang dapat digunakan untuk perbandingan antar waktu dan

antar wilayah. Oleh karena itulah Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan sebuah ukuran

standar pembangunan manusia yang dapat digunakan secara internasional yaitu Indeks Pem-

bangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Indeks komposit ini terbentuk

atas empat komponen indikator, yaitu angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata

lama sekolah, dan pengeluaran per kapita disesuaikan.

Luasnya cakupan pembangunan manusia menjadikan peningkatan IPM sebagai manifestasi

dari pembangunan manusia. Hal ini dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam meningkatkan

kemampuan dan memperluas pilihan-pilihan manusia (enlarging the choice of the people). Dua

faktor penting yang dinilai efektif dalam pembangunan manusia adalah pendidikan dan

kesehatan. Kedua faktor ini merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mengembangkan poten-

si yang ada dalam dirinya.

Capaian pembangunan manusia yang tinggi diperlukan sebuah percepatan untuk

mendapatkan hasil yang optimal bagi tiap daerah. Berdasarkan pengalaman pembangunan

manusia di beberapa negara, untuk mempercepat pembangunan manusia dapat dilakukan

dengan distribusi pendapatan yang merata dan alokasi belanja publik yang memadai untuk bi-

dang pendidikan dan kesehatan. Sebagai contoh sukses adalah Korea Selatan yang tetap kon-

sisten mengaplikasikan dua hal tersebut. Sebaliknya Brazil harus mengalami kegagalan karena

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 15: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 4

ketimpangan distribusi pendapatan dan alokasi belanja publik yang kurang memadai untuk bi-

dang pendidikan dan kesehatan (UNDP, Bappenas, BPS, 2004).

Perhatian pemerintah Indonesia akan isu perkembangan pembangunan manusia kini se-

makin baik. Hal ini ditandai dengan dijadikannya IPM sebagai salah satu alokator Dana Alokasi

Umum (DAU) untuk mengatasi kesenjangan keuangan antar wilayah (fiscal gap) dan memacu

percepatan pembangunan di daerah. Alokator lain yang digunakan untuk mendistribusikan DAU

adalah luas wilayah, jumlah penduduk, produk domestik regional bruto (PDRB), dan Indeks Ke-

mahalan Konstruksi (IKK). Dengan adanya DAU diharapkan nantinya daerah yang mempunyai

capaian IPM yang rendah mampu untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah lain yang

mempunyai capaian IPM lebih baik karena memperoleh alokasi dana yang berlebih. Namun hal

ini tergantung pada kebijakan dan strategi pembangunan dari masing-masing daerah apakah

mampu memanfaatkan kucuran dana yang ada untuk mencapai hasil pembangunan khususnya

pembangunan manusia secara lebih baik.

Publikasi “Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016” ini diharapkan mam-

pu memberikan gambaran tentang kondisi, posisi dan perkembangan pembangunan manusia

serta komponen-komponen penyusunnya dibandingkan dengan daerah lain dan periode sebe-

lumnya.

1.2 Tujuan Penulisan

Secara umum publikasi ini menyajikan data dan analisis indeks pembangunan manusia di

Provinsi Papua Barat tahun 2016. Untuk melihat perkembangan dan keterbandingan antar waktu

serta wilayah, umumnya data disajikan dari tahun 2014-2016 untuk membandingkan dengan

kondisi sebelumnya serta disajikan menurut kabupaten/kota.

Secara khusus, tujuan dari penulisan publikasi ini adalah:

1. Melihat perkembangan pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat tahun 2016.

2. Memberi gambaran yang lebih sederhana dan lengkap dalam melihat dampak pem-

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 16: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 5

bangunan yang dilaksanakan di Provinsi Papua Bart dan implikasinya terhadap peningkatan

kualitas penduduk.

3. Memberikan gambaran tentang seberapa besar kemajuan IPM di Provinsi Papua Barat dari

tahun ke tahun sebagai pembanding di tahun-tahun yang akan datang.

4. Mengetahui posisi relatif status capaian IPM Provinsi Papua Barat terhadap capaian IPM

Provinsi Papua Barat dan juga capaian IPM kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua Barat

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat yang ingin dicapai dari penyusunan publikasi ini adalah:

1. Tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan berbagai pihak yang berkepentingan da-

lam perencanaan program dan kebijakan di Provinsi Papua Barat, khususnya yang berkai-

tan dengan program pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat.

2. Publikasi ini dapat dijadikan rujukan atau referensi ilmiah bagi para akademisi dan masyara-

kat pendidikan yang ingin menggali informasi terkait kondisi sumber daya manusia di Provin-

si Papua Barat .

1.4 Sistematika Penulisan

Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 disusun menjadi enam

bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, menyajikan pendahuluan yang menguraikan secara rinci mengenai latar

belakang dan studi literatur berupa perkembangan paradigma pembangunan dan kerangka kon-

septual pembangunan manusia. Selain itu juga dibahas mengenai arah, tujuan dan sistematikan

penulisan .

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 17: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 6

Bab II Metodologi, yaitu bab yang berisi uraian tentang perubahan metodologi, metode

penghitungan masing-masing komponen sampai terbentuknya IPM Metode Baru.

Bab III Kondisi Umum Pembangunan Manusia di Provinsi Papua Barat, yang memberikan

gambaran secara lengkap hasil-hasil pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat. Pembaha-

san difokuskan pada bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian.

Bab selanjutnya yakni Bab IV menganalisis perkembangan komponen IPM. Pembahasan

diperluas dengan melakukan komparasi pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat dengan

nasional, pembahasan perkembangan IPM dan pertumbuhan IPM.

Bab V mengulas disparitas IPM antar wilayah. Didalamnya dapat diketahui bagaimana po-

sisi relatif IPM kabupaten/kota di tingkat provinsi dan posisi relatif provinsi di tingkat nasional.

Analisis dsiparitas IPM diperdalam dengan menggunakan indeks disparitas.

Publikasi ini ditutup dengan Bab VI, yang terdiri dari sub bab kesimpulan dan saran yang

berisi ringkasan dari paparan pada Bab III hingga Bab V sekaligus sebagai jawaban atas tujuan

dari penyusunan publikasi ini.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 18: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 7

BAB II METODOLOGI

2.1 Sejarah Penghitungan IPM

Indeks Pembangunan Manusia atau disingkat IPM, untuk pertama kalinya diperkenalkan

pada tahun 1990 oleh UNDP (United Nation Development Programme) dalam laporannya “Global

Human Development Report” sebagai sebuah cara alternatif untuk mengetahui perkembangan

pembangunan kualitas manusia di 177 negara.

Di Indonesia, pemantauan pembangunan manusia mulai dilakukan sejak tahun 1996 melalui

Laporan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 1996 yang memuat informasi pembangunan

manusia untuk kondisi tahun 1990 dan 1993. Sayangnya, cakupan laporan pembangunan manu-

sia tersebut masih terbatas pada level provinsi. Namun mulai tahun 1999, informasi pem-

bangunan manusia telah disajikan sampai level kabupaten/kota.

Di Provinsi Papua Barat, pemantauan pembangunan manusia juga sudah dilakukan sejak

tahun 2006 melalui publikasi Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat Tahun 2006

yang memuat kondisi pembangunan manusia Provinsi Papua Barat tahun 2005. Selanjutnya

indeks pembangunan manusia Provinsi Papua Barat dipublikasikan secara berkala dalam bentuk

publikasi tahunan Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat.

2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia

Seperti halnya dengan konsep pembangunan ekonomi, konsep pembangunan manusia juga

terukur. Berdasarkan perspektif pembangunan, konsep pembangunan manusia tidak diukur dari

pendapatan semata, tetapi dari indeks komposit yang disebut dengan indeks pembangunan

manusia (IPM).

Idealnya indeks pembangunan manusia mencakup sebanyak mungkin variabel sehingga

benar-benar dapat mencerminkan berbagai segi kehidupan manusia yang sangat banyak dan

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 19: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 8

kompleks. Tetapi ketersediaan data statistik membatasi hal tersebut.

Pada tahap awal pengukuran indeks pembangunan manusia, pilihan diberikan pada tiga

unsur penting dimensi kehidupan manusia, yakni usia panjang dan sehat, pengetahuan dan ke-

hidupan yang layak. Indikator-indikator pembentuk indeks pembangunan manusia harus dipilih

dengan cermat agar dapat menangkap dengan baik berbagai dimensi dari pilihan-pilihan manu-

sia.

Pertama, usia panjang dan sehat (a long and healthy life). Dimensi ini diwakili oleh indi-

kator usia harapan hidup pada waktu lahir. Pertimbangannya adalah usia harapan hidup yang

tinggi mencerminkan tingkat kesehatan dan gizi yang baik. Usia harapan hidup pada waktu lahir

diukur dengan tahun. Kedua, pengetahuan (knowledge). Dimensi ini diwakili oleh indikator melek

huruf bagi orang dewasa. Kemampuan ini dianggap sebagai langkah pertama atau jendela

menuju ke dunia pengetahuan. Melek huruf diukur dalam persentase penduduk dewasa yang

mampu membaca dan menulis. Ketiga, kehidupan yang layak (a decent standard of living).

Dimensi ini diwakili oleh indikator pendapatan perkapita. Namun agar dapat diperbandingkan

antar negara, angka pendapatan perkapita tersebut perlu disesuaikan daya belinya melalui kon-

sep yang disebut dengan “purchasing power parity” (PPP) atau daya beli yang disesuaikan.

Penyesuaian perlu dilakukan untuk mencerminkan adanya “diminishing return of the income utili-

ty”.

Gambar 2.1 Dimensi, Indikator dan Indeks Dimensi Dalam

Penghi- tungan IPM Metode Lama

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 20: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 9

2.3 Perubahan Metodologi IPM

Sejak IPM dilaunching pada tahun 1990, telah dilakukan beberapa kali penyempurnaan

penghitungan IPM sebagai berikut:

Tahun 1990: komponen indikator pembangunan manusia yang digunakan adalah usia hara-

pan hidup, angka melek huruf dan produk domestik bruto (PDB) perkapita.

Tahun 1991: awalnya dimensi pengetahuan diukur dengan indikator angka melek huruf.

Indikator tersebut kemudian diperluas dengan indikator rata-rata lama bersekolah. Sehingga

komponen indikator pembangunan manusia menjadi usia harapan hidup, angka melek huruf, rata

-rata lama sekolah dan produk domestik bruto (PDB) perkapita.

Tahun 1995: karena sulitnya memperoleh informasi rata-rata lama sekolah, kemudian indi-

kator ini diganti dengan kombinasi angka partisipasi kasar pada tingkat pendidikan dasar, pen-

didikan menengah dan pendidikan tinggi. Sehingga komponen indikator pembangunan manusia

menjadi usia harapan hidup, angka melek huruf, kombinasi angka partisipasi kasar dan produk

domestik bruto (PDB) perkapita.

Tahun 2010: UNDP merubah metodologi. Indikator angka melek huruf diganti dengan indi-

kator harapan lama sekolah, karena angka melek huruf dianggap sudah tidak relevan lagi dalam

mengukur dimensi pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidi-

kan. Demikian pula halnya dengan indikator produk domestik bruto (PDB) perkapita diganti

dengan indikator produk nasional bruto (PNB) perkapita, karena produk domestik bruto (PDB)

perkapita dianggap tidak dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.

Sementara itu, metode agregasi indeks komposit diubah dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata

geometric.

Tahun 2011: penyempurnaan metodologi kembali dilakukan dengan mengganti tahun dasar

PNB perkapita dari tahun 2000 menjadi tahun 2005.

Tahun 2014: penyempurnaan metodologi kembali dilakukan dengan mengganti tahun dasar

PNB perkapita dari tahun 2005 menjadi tahun 2011. Selain itu, metode agregasi indeks pendidi-

kan juga dirubah dari rata-rata geometric menjadi rata-rata aritmetik.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 21: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 10

Mengapa Metodologi IPM Dirubah?

1. Beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka

melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak

dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagi-

an besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan

antardaerah dengan baik.

2. PDB perkapita tidak dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.

3. Penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM menggambarkan bahwa

capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain.

Apa Saja Yang Berubah

1. Indikator

Angka melek huruf pada metode lama diganti dengan Angka Harapan Lama Sekolah

(HLS).

Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per

kapita.

2. Metode Penghitungan

Metode agregasi diubah dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata geometrik.

Apa Saja Keunggulan IPM Metode Baru

1. .Menggunakan indikator yang lebih tepat dan dapat membedakan dengan baik

(diskriminatif).

Dengan memasukkan rata-rata lama sekolah dan angka harapan lama sekolah, bisa didapatkan gambaran yang lebih relevan dalam pendidikan dan perubahan

yang terjadi.

PNB menggantikan PDB karena lebih menggambarkan pendapatan masyarakat

pada suatu wilayah

2. Dengan menggunakan rata-rata geometrik dalam menyusun IPM maka capaian satu dimen-si tidak dapat ditutupi oleh capaian di dimensi lain. Artinya, untuk mewujudkan pem-bangunan manusia yang baik, ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama be-

sar karena sama pentingnya.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 22: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 11

2.4 Cakupan Perubahan Metodologi

UNDP memperkenalkan penghitungan IPM metode baru dengan beberapa perbedaan nyata

dibandingkan metode lama. Setidaknya, terdapat dua hal mendasar dalam perubahan metode

baru ini. Kedua hal mendasar tersebut, terdapat pada aspek indikator dan cara penghitungan

indeks.

Gambar 2.2 Perbedaan Indikator IPM Metode Lama dan Metode Baru

Pada metode baru, UNDP memperkenalkan indikator baru pada dimensi pengetahuan yaitu

harapan lama sekolah (HLS). Indikator ini digunakan untuk menggantikan indikator AMH yang

memang sudah tidak lagi relevan. UNDP juga menggunakan indikator PNB per kapita untuk

menggantikan indikator PDB per kapita.

Selain indikator baru, UNDP melakukan perubahan cara penghitungan indeks komposit,

dimana metode rata-rata aritmatik diganti menjadi rata-rata geometrik. Cara penghitungan indeks

yang terbilang baru ini, membuat indeks cenderung sensitif terhadap ketimpangan. Dengan kata

lain, metode rata-rata geometrik menuntut adanya keseimbangan dari ketiga dimensi, sehingga

capaian IPM menjadi optimal.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 23: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 12

2.5 Dampak Perubahan Metodologi

Perubahan mendasar yang terjadi pada penghitungan IPM, tentunya membawa dampak.

Secara langsung, ada dua dampak yang terjadi akibat perubahan metode penghitungan IPM.

Pertama, perubahan level IPM. Secara umum, level IPM metode baru akan lebih rendah

dibandingkan IPM metode lama. Hal ini terjadi karena adanya perubahan indikator dan cara

penghitungan. Penggantian indikator AMH menjadi HLS, membuat angka IPM menjadi rendah.

Secara umum AMH sudah di atas 90 persen, sedangkan HLS belum cukup optimal. Selain itu,

perubahan rata-rata aritmatik menjadi rata-rata geometrik juga turut andil dalam menurunkan

level IPM metode baru. Hal ini karena, ketimpangan antar dimensi akan mengakibatkan capaian

IPM menjadi rendah.

Kedua, terjadi perubahan peringkat IPM. Perubahan indikator dan cara penghitungan mem-

bawa dampak pada peringkat IPM. Perubahan indikator berdampak pada perubahan indeks di-

mensi, sedangkan perubahan cara penghitungan berdampak signifikan terhadap agregasi in-

deks. Namun, perlu dicatat bahwa peringkat IPM antara kedua metode tidak dapat dibandingkan,

karena keduanya menggunakan metode yang tidak sama. Beberapa negara yang telah mencoba

mengimplementasikan metode baru penghitungan IPM, mencacat adanya perubahan peringkat

yang terjadi di tingkat regional.

Misalnya, China yang menerapkan metode baru di tingkat regional mulai tahun 2013 dengan

menggunakan data tahun 2011. Hasilnya, cukup menggembirakan tetapi dampak yang muncul

juga signifikan. Tercatat, beberapa provinsi mengalami perubahan drastis, antara lain Guang-

dong (4 menjadi 7), Hebei (10 menjadi 16), dan Henan (15 menjadi 20). Filipina juga mengalami

hal serupa. Terjadi perubahan peringkat yang tajam di tingkat regional. Misalnya, Abra (46 men-

jadi 51), Aklan (49 menjadi 63), Camiguin (28 menjadi 39), dan Albay (30 menjadi 43).

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 24: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 13

2.6 Implikasi IPM Metode Baru di Indonesia

Indonesia juga turut ambil bagian dalam mengaplikasikan penghitungan metode baru.

Dengan melihat secara mendalam tentang kelemahan pada penghitungan metode lama, Indone-

sia merasa perlu memperbarui penghitungan untuk menjawab tantangan masyarakat internasion-

al.

Pada tahun 2014, Indonesia secara resmi melakukan penghitungan IPM dengan

menggunakan metode baru. Namun Indonesia telah melakukan penyesuaian dalam melakukan

penghitungan IPM metode baru, yakni diantaranya:

1. Pada dimensi kesehatan, sumber data yang digunakan dalam penghitungan indikator ang-

ka harapan hidup telah diperbaharui dengan menggunakan Angka Harapan Hidup (AHH)

saat lahir hasil Proyeksi Penduduk (SP2010).

2. Pada dimensi pengetahuan, perubahan indikator perlu dilakukan dengan adanya peru-

bahan penimbang (weight) dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang meru-

pakan sumber data penghitungan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Angka Harapan La-

ma Sekolah (HLS). Cakupan pengukuran rata-rata lama sekolah juga mengalami perubahan

yang sebelumnya mencakup penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi penduduk usia 25

tahun ke atas. Perubahan tersebut mempertimbangkan kondisi masih banyaknya masyara-

kat yang melakukan pendidikan pada rentang usia 15-25 tahun.

3. Pada dimensi pengeluaran, PNB per kapita tidak tersedia pada tingkat provinsi dan kabu-

paten/kota, sehingga digunakan pendekatan pengeluaran per kapita disesuaikan

menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Cakupan pengukuran

pengeluaran perkapita disesuaikan juga mengalami perubahan yang sebelumnya hanya

mencakup 27 komoditas menjadi 96 komoditas.

4. Penentuan nilai maksimum dan minimum menggunakan Standar UNDP untuk

keterbandingan global, kecuali standar hidup layak karena menggunakan ukuran rupiah.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 25: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 14

Gambar 2.3 Nilai Minimum dan Maksimum IPM Metode Baru

2.7 Penghitungan IPM Metode Baru

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

mengukur pencapaian pembangunan manusia dalam tiga dimensi yakni dimensi kesehatan,

dimensi pendidikan dan dimensi pengeluaran (kehidupan yang layak). Indikator-indikator pem-

bentuk indeks pembangunan manusia harus dipilih dengan cermat agar dapat menangkap

dengan baik berbagai dimensi dari pilihan-pilihan manusia.

Penghitungan Komponen IPM

1. Dimensi Kesehatan

Sebenarnya cukup banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur dimensi umur

panjang dan sehat. Namun dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara umum, UNDP

memilih indikator angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) sebagai proxy-nya.

Angka harapan hidup (AHH) didefinisikan sebagai rata-rata perkiraan banyak tahun yang

dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Secara teori, semakin baik kesehatan seseorang

maka kecenderungan untuk bertahan hidup akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin buruk

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 26: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 15

kesehatannya maka umur kehidupan orang tersebut akan semakin pendek. Dengan demikian,

AHH jelas dapat menggambarkan dimensi umur panjang dan sehat.

Dalam suatu negara yang belum memiliki sistem vital registrasi yang baik seperti Indonesia,

e0 atau AHH dihitung dengan menggunakan metode tidak langsung (yakni dengan Metode Brass

dan Varian Trussel). Metode ini menggunakan dua macam data dasar, yaitu rata-rata anak yang

dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup yang dilaporkan dari tiap kelompok wanita

berumur 15-49 tahun. Prosedur penghitungan e0 atau AHH dengan metode ini hanya efisien jika

dilakukan dengan menggunakan Paket Program Mortpack Lite atau software lainnya. Selanjutnya

dipilih metode Trussel dengan model West karena menurut Preston (2004), Metode Trussel

dengan Model West sangat sesuai dengan histori kependudukan Indonesia dan negara-negara

Asia Tenggara pada umumnya. Sebagai catatan, e0 atau AHH yang diperoleh dengan metode

tidak langsung merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei.

Adapun langkah-langkah penghitungan angka harapan hidup waktu lahir (e0 atau AHH)

adalah sebagai berikut:

1. Mengelompokkan umur wanita dalam interval 15 – 19, 20 – 24, 25 – 29, 30 – 34, 35 – 39, 40

– 44, dan 45 – 49 tahun;

2. Menghitung rata-rata anak yang lahir hidup (ALH) dan rata-rata anak yang masih hidup

(AMH) dari wanita pernah kawin menurut kelompok umur pada point satu di atas;

3. Input rata-rata anak yang lahir hidup (ALH) dan rata-rata anak yang masih hidup (AMH)

pada point dua di atas pada paket program MORTPACK sub program CEBCS;

4. Kemudian gunakan Metode Trussel untuk mendapatkan angka harapan hidup waktu lahir

(e0 atau AHH) dengan menggunakan referensi waktu 3 atau 4 tahun sebelum survey;

5. Melakukan ekstrapolasi guna mendapatkan angka harapan hidup waktu lahir (e0 atau AHH)

tahun 2016.

Setelah mendapatkan angka harapan hidup waktu lahir (e0 atau AHH) tahun 2016, langkah

selanjutnya adalah menghitung Indeks Kesehatan menggunakan rumus berikut:

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 27: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 16

dimana,

AHH : usia harapan hidup pada tahun 2016.

AHH(min) : usia harapan hidup minimum = 20 tahun.

AHH(maks) : usia harapan hidup maksimum = 85 tahun.

2. Dimensi Pendidikan

Menghitung Indeks Pendidikan berbeda dengan menghitung Indeks Kesehatan, karena di

dalam Indeks Pendidikan mengakomodir dua indikator komponen prestasi, yakni Indeks Harapan

Lama Sekolah (HLS) dan Indeks Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Indeks Harapan Lama Sekolah

(HLS) dihitung berdasarkan perubahan angka harapan lama sekolah (HLS) yang diperoleh dari

variabel lama sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur ter-

tentu di masa mendatang yang dikoreksi dengan jumlah siswa yang bersekolah di pesantren.

Sedangkan Indeks Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dihitung berdasarkan angka rata-rata lama

sekolah (RLS) yang dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan, yaitu tingkat /

kelas yang sedang atau pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Selan-

jutnya kedua indeks ini dijumlahkan dan dihitung nilai rata-ratanya.

Baik angka harapan lama sekolah (HLS) maupun angka rata-rata lama sekolah (RLS),

keduanya dihitung menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) KOR. Dalam

penghitungan nilai angka harapan lama sekolah (HLS), digunakan variabel penduduk berusia 7

tahun ke atas. Sedangkan dalam penghitungan nilai angka rata-rata lama sekolah (RLS),

digunakan variabel penduduk berusia 25 tahun ke atas.

Kedua indikator Indeks Pendidikan ini dimunculkan dengan harapan dapat menc-

erminkan tingkat pendidikan / pengetahuan, dimana angka harapan lama sekolah (HLS) meng-

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 28: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 17

gambarkan kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam

bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak. Se-

dangkan cerminan angka rata-rata lama sekolah (RLS) merupakan gambaran terhadap ket-

erampilan yang dimiliki penduduk.

Berikut langkah-langkah penghitungan angka harapan lama sekolah (HLS):

1. Menghitung jumlah penduduk berusia 7 tahun ke atas menurut umur.

2. Menghitung jumlah penduduk berusia 7 tahun ke atas yang masih sekolah menurut umur.

3. Menghitung rasio penduduk berusia 7 tahun ke atas yang masih sekolah terhadap jumlah

penduduk berusia 7 tahun ke atas menurut umur. Langkah ini menghasilkan partisipasi

sekolah penduduk berusia 7 tahun ke atas menurut umur.

4. Menghitung harapan lama sekolah (HLS), yaitu dengan menjumlahkan semua partisipasi

sekolah penduduk berusia 7 tahun ke atas menurut umur sebagai berikut :

dimana,

HLS(a) : Harapan Lama Sekolaah pada umur a di tahun t.

E(i) : jumlah penduduk usia i yang bersekolah pada tahun t.

P(i) : jumlah penduduk usia i pada tahun t.

i : usia (a, a+1, ..., n).

Namun, untuk mengakomodir penduduk berusia 7 tahun ke atas yang tidak tercakup dalam

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), angka harapan lama sekolah (HLS) dikoreksi dengan

siswa yang bersekolah di pesantren (sumber data dari Direktorat Pendidikan Islam),

menggunakan rumus berikut:

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 29: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 18

dimana,

HLS(a) : Harapan Lama Sekolah pada umur a di tahun t.

E(i) : jumlah penduduk usia i yang bersekolah pada tahun t.

P(i) : jumlah penduduk usia i pada tahun t.

i : usia (a, a+1, ..., n).

F : faktor koreksi pesantren.

Setelah mendapatkan angka harapan lama sekolah (HLS), maka langkah selanjutnya ada-

lah menghitung Indeks Harapan Lama Sekolah menggunakan rumus berikut:

dimana,

HLS : harapan lama sekolah pada tahun 2016.

HLS(min) : harapan lama sekolah minimum = 0 tahun.

HLS(maks) : harapan lama sekolah maksimum = 18 tahun.

Sedangkan angka rata-rata lama sekolah (RLS) dihitung dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Menghitung jumlah penduduk berusia 25 tahun ke atas.

2. Melakukan konversi variabel partisipasi sekolah ke variabel lama sekolah sebagai berikut:

a. Jika partisipasi sekolahnya adalah tidak atau belum pernah bersekolah, maka lama

sekolah = 0.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 30: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 19

b. Jika partisipasi sekolahnya adalah masih bersekolah atau tidak bersekolah lagi, maka

lama sekolah mengikuti konversi gambar 2.4 dengan aturan sebagai berikut:

Gambar 2.4 Skor Lama Sekolah Berdasarkan Ijazah Terakhir

3. Menghitung rata-rata lama sekolah (RLS) menggunakan rumus sebagai berikut :

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 31: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 20

dimana,

RLS : Rata-rata Lama Sekolah di suatu wilayah.

Lama sekolah penduduk : lama sekolah penduduk ke-i di suatu wilayah.

n : jumlah penduduk (i=1, 2, 3, ..., n).

Setelah mendapatkan angka rata-rata lama sekolah (RLS), maka langkah selanjutnya ada-

lah menghitung Indeks Rata-Rata Lama Sekolah menggunakan rumus berikut:

dimana,

RLS : rata-rata lama sekolah pada tahun 2016.

RLS(min) : rata-rata lama sekolah minimum = 0 tahun.

RLS(maks) : rata-rata lama sekolah maksimum = 15 tahun.

Langkah terakhir setelah mendapatkan nilai Indeks Harapan Lama Sekolah dan Indeks Rata

-Rata Lama Sekolah, adalah menghitung Indeks Pendidikan menggunakan rumus berikut:

3. Dimensi Pengeluaran

Berbeda halnya dengan Indeks Kesehatan dan Indeks Pendidikan yang merupakan indi-

kator dampak, maka Indeks Pengeluaran diakui sebagai indikator input, yang sebenarnya kurang

sesuai sebagai indeks komponen IPM. Walaupun demikian, UNDP tetap mempertahankannya

karena indikator lain yang sesuai tidak tersedia secara global.

Selain itu, dipertahankannya indikator input juga merupakan argumen bahwa selain indikator

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 32: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 21

kesehatan, indikator pendidikan, dan indikator pengeluaran, masih banyak indikator lainnya yang

pantas diperhitungkan dalam perhitungan IPM. Dilemanya adalah bahwa memasukkan banyak

variabel atau indikator akan lebih mencerminkan luas dan kompleksitas pembangunan manusia

namun menyebabkan indikator komposit menjadi tidak sederhana atau tidak fokus. Dengan

alasan itulah, maka pendapatan nasional bruto (PNB) perkapita yang telah disesuaikan dianggap

mewakili indikator input IPM lainnya.

Namun sayangnya, untuk keperluan perhitungan IPM, data dasar pendapatan nasional bru-

to (PNB) perkapita tidak dapat digunakan untuk mengukur Indeks Pengeluaran karena bukan

ukuran yang peka untuk mengukur daya beli penduduk yang merupakan fokus IPM. Sebagai

penggantinya, maka digunakanlah indikator pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan untuk

keperluan yang sama.

Pengeluaran perkapita yang disesuaikan ini ditentukan dari nilai pengeluaran perkapita dan

paritas daya beli (Purchasing Power Parity - PPP). Rata-rata pengeluaran perkapita setahun

diperoleh dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi Pengeluaran yang dihi-

tung dari level propinsi hingga level kabupaten/kota atas dasar harga konstan tahun 2012=100.

Sementara penghitungan paritas daya beli pada metode baru penghitungan IPM, menggunakan

96 komoditas terpilih terdiri dari 66 komoditas makanan dan 30 komoditas non makanan, dimana

metode penghitungannya menggunakan Metode Rao.

Penghitungan indikator pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui

tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Menghitung rata-rata pengeluaran perkapita dari Susenas KOR dengan langkah-langkah

berikut:

a. Hitung pengeluaran perkapita untuk setiap rumah tangga;

b. Hitung rata-rata pengeluaran perkapita untuk setiap provinsi atau kabupaten/kota;

c. Hitung rata-rata pengeluaran perkapita per tahun dalam ribuan Y(t)=rata-rata penge-

luaran perkapita dikali 12 dibagi 1000.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 33: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 22

2. Menghitung nilai riil rata-rata pengeluaran perkapita perkapita per tahun (atas dasar harga

konstan tahun 2012) dengan rumus:

dimana,

Y*(t) : rata-rata pengeluaran perkapita per tahun atas dasar harga konstan tahun 2012.

Y’(t) : rata-rata pengeluaran perkapita per tahun pada tahun t.

IHK(t,2012): IHK tahun t dengan tahun dasar 2012

3. Menghitung paritas daya beli per unit (Purchasing Power Parity - PPP), dengan langkah-

langkah berikut:

a. Menghitung harga rata-rata komoditas terpilih.

b. Mempelajari pola konsumsi Susenas Modul Konsumsi dengan membandingkannya

dengan pola konsumsi dari Survei Biaya Hidup (SBH). Tujuan dari perbandingan ini

adalah untuk mencari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang sesuai untuk komoditas

terpilih yang harganya tidak terdapat pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Modul Konsumsi.

c. Menghitung paritas daya beli dengan rumus berikut:

Dimana: p(ij) : harga komoditas i di Jakarta Selatan.

p(ik) : harga komoditas i di kab/kota j.

m : jumlah komoditas.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 34: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 23

4. Menghitung pengeluaran perkapita disesuaikan dengan rumus berikut:

dimana,

Y**(t) : rata-rata pengeluaran perkapita disesuaikan.

Y*(t) : rata-rata pengeluaran perkapita per tahun atas dasar harga konstan tahun 2016.

Gambar 2.5 96 Komoditas Terpilih dalam Penghitungan Pengeluaran Perkapita Disesuaikan

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 35: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 24

Langkah terakhir setelah mendapatkan nilai pengeluaran perkapita disesuaikan, adalah

menghitung Indeks Pengeluaran menggunakan rumus berikut:

dimana,

In(pengeluaran) : anti log dari pengeluaran perkapita disesuaikan tahun 2016.

In(pengeluaran min) : anti log dari pengeluaran perkapita disesuaikan

(minimum = Rp.1.007.436,-)

In(pengeluaran maks) : anti log dari pengeluaran perkapita disesuaikan.

(maksimum = Rp.26.572.352,- )

Tahap kedua penghitungan IPM setelah menghitung masing-masing indeks komponen

adalah menghitung rata-rata geometrik dari masing-masing indeks komponen IPM tersebut

dengan rumus sebagai berikut:

2.8 Ilustrasi Penghitungan IPM Metode Baru

Sebagai ilustrasi perhitungan IPM, maka digunakan data IPM Provinsi Papua Barat tahun

2016 yang memiliki data sebagai berikut :

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 36: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 25

Berdasarkan data di atas, maka dapat dihitung masing-masing indeks komponen IPM Ka-

bupaten Manokwari sebagai berikut :

Indeks Kesehatan:

= (65,30 - 20) / (85 - 20) x 100 = 69,69 %

Indeks Harapan Lama Sekolah:

= (12,26 - 0)/(18 - 0) x 100 = 68,11 %

Indeks Rata-Rata Lama Sekolah:

= (7,06 - 0)/(15 - 0) x 100 = 47,07 %

Indeks Pendidikan:

= (68,11 % + 47,07 %) / 2 = 57,59 %

Indeks Pengeluaran:

= (ln 7.175.000 – ln 1.007.436) / (ln 26.572.352 – ln 1.007.436) x 100 = 59,99 %

Contoh Perhitungan IPM Metode Baru Provinsi Papua Barat

Tahun 2016

Tabel

2.1

No Indikator Satuan Nilai

1. Angka Harapan Hidup (AHH) Tahun 65,30

2. Harapan Lama Sekolah (HLS) Tahun 12,26

3. Rata-Rata Lama Sekolah

(RLS)

Tahun 7,06

4. Pengeluaran per kapita yang

telah disesuaikan (PPP)

Ribu

Rupiah

7.175

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 37: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 26

IPM Provinsi Papua Barat Tahun 2016:

= 3√ (69,69 % x 57,59 % x 59,99 %)

= 62,21 %.

2.9 Klasifikasi / Pemeringkatan IPM Metode Baru

Untuk mengukur kecepatan pencapaian IPM dalam suatu kurun waktu sebagai ukuran

kemajuan pembangunan manusia di suatu daerah, maka dilakukanlah klasifikasi atau pemering-

katan IPM. Cara ini dilakukan untuk melakukan keterbandingan posisi relatif capaian IPM dari

satu wilayah terhadap wilayah yang lain berdasarkan peringkatnya dalam suatu kawasan terten-

tu.

Berdasarkan kajian aspek status capaian pembangunan manusia, UNDP (1990) melakukan

klasifikasi atau pemeringkatan tinggi rendahnya capaian IPM menjadi:

a. IPM Rendah (Low Human Development), jika nilai IPM kurang dari 50.0.

b. IPM Menengah (Medium Human Development), jika nilai IPM berada antara 50.0 – 79.9.

c. IPM Tinggi (High Human Development), jika nilai IPM sama dengan atau lebih dari 80.0.

Kemudian mulai tahun 2010, ketika UNDP merubah metodologi IPM dari metode lama men-

jadi metode baru, klasifikasi atau pemeringkatan tinggi rendahnya capaian IPM pun berubah

menjadi:

a. IPM Rendah (Low Human Development), jika nilai IPM kurang dari 60.0.

b. IPM Menengah (Medium Human Development), jika nilai IPM berada antara 60.0 – 79.9.

c. IPM Tinggi (High Human Development), jika nilai IPM sama dengan atau lebih dari 80.0.

Namun, untuk tujuan keterbandingan antar wilayah di Indonesia, yaitu untuk melakukan

keterbandingan antar kabupaten/kota, maka klasifikasi “IPM Menengah” (Medium Human Devel-

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 38: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 27

opment) dimodifikasi oleh UNDP (2010) menjadi dua klasifikasi baru sehingga klasifikasi atau

pemeringkatan status capaian pembangunan manusia berubah menjadi :

a. IPM Rendah (Low Human Development), jika nilai IPM kurang dari 60.0.

b. IPM Sedang (Medium Human Development), jika nilai IPM berada antara 60.0 – 69.9.

c. IPM Tinggi (High Human Development), jika nilai IPM berada antara 70.0 – 79.9.

d. IPM Sangat Tinggi (Very High Human Development), jika nilai IPM sama dengan atau lebih

dari 80.0.

Klasifikasi atau pemeringkatan status capaian IPM dapat digunakan secara efektif dalam

rangka advokasi untuk menunjukkan apakah upaya pembangunan yang telah dilakukan dapat

meningkatkan “klasifikasi” atau “peringkat” capaian IPM suatu wilayah.

Gambar 2.6 Klasifikasi / Pemeringkatan IPM Metode Baru

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 39: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 40: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 29

BAB III

KONDISI UMUM PEMBANGUNAN MANUSIA

PROVINSI PAPUA BARAT

Bab ini membahas status pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat dan menyajikan

secara ringkas capaian-capaian pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan serta ekonomi.

Indikator capaian pembangunan manusia, sebagaimana diukur menggunakan indeks pem-

bangunan manusia (IPM), akan dibahas dalam konteks komparatif secara regional dalam lingkup

wilayah Provinsi Papua Barat dengan harapan dapat memberikan pemaknaan yang multidimensi

terhadap angka-angka dan capaian pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat.

Lebih lanjut, dalam upaya lebih memahami letak permasalahan yang dihadapi oleh Kabupat-

en Manokwari Selatan serta memberikan informasi bagi langkah maju yang lebih akurat di masa

depan, maka dilakukan pula pembahasan dan analisis komparatif dengan kabupaten/kota

lainnya di wilayah Provinsi Papua Barat.

3.1 Sekilas Provinsi Papua Barat

Provinsi Papua Barat merupakan provinsi ke-33 dari 34 provinsi di Indonesia yang terletak di

wilayah timur Indonesia, yakni tepatnya di daerah kepala burung Pulau Papua. Provinsi yang

biasa disingkat sebagai “Pabar” ini merupakan provinsi kepulauan yang memiliki 1.945 pulau.

Letaknya berbatasan langsung dengan Provinsi Samudera Pasifik dan diapit oleh dua pulau be-

sar, yaitu Papua dan Maluku, dan terletak antara 0 0 - 40 Lintang Selatan dan 1240 - 1320 Bujur

Timur.

Secara administratif, Provinsi Papua Barat saat ini memiliki luas wilayah secara keseluruhan

mencapai 99.671,63 km2, dan sampai dengan tahun 2016 membawahi wilayah administratif

yang terdiri dari 12 kabupaten,1 kotamadya, 218 kecamatan, 95 kelurahan dan 1.744 desa.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 41: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 30

Pemerintahan Provinsi Papua Barat dipimpin oleh Gubernur Brigjen Marinir Purn. Abraham

O. Atururi dan Wakil Gubernur Irene Manibuy yang menggantikan wakil gubernur sebelumnya

Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang meninggal karena sakit.Komposisi keanggotaan DPRD Provin-

si Papua Barat pada tahun 2016 didominasi oleh Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya,

dengan jumlah keanggotaan di DPRD masing-masing sebanyak 9 orang.

Indikator capaian di bidang demografi, menunjukkan bahwa Provinsi Papua Barat meru-

pakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang cukup kecil, bahkan terkecil

kedua setelah Provinsi Kalimantan Utara. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010,

jumlah penduduk Provinsi Papua Barat hanya mencapai 765,3 ribu jiwa, dengan kepadatan

penduduk rata-rata hanya sebesar 8 jiwa per km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,71

persen sepanjang periode tahun 2000-2010. Namun berdasarkan hasil proyeksi penduduk Ba-

dan Pusat Statistik, jumlah penduduk Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan hingga

mencapai 893,4 ribu jiwa pada tahun 2016, dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 9 jiwa

per km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,61 persen sepanjang periode tahun 2015-

2016.

Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 2,61 persen, Provinsi Papua Barat menjadi salah

satu provinsi dengan pertumbuhan penduduk tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Kepu-

lauan Riau sepanjang periode tahun 2015-2016.

Gambar 3.1 Perkembangan Penduduk Provinsi Papua Barat

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 42: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 31

Kepadatan penduduk kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat berkisar antara 1 sampai 354 jiwa per

km2. Kabupaten Tambrauw adalah salah satu kabupaten yang kepadatan penduduknya hanya sebesar 1

jiwa per km2, sedangkan Kota Sorong sebagai satu-satunya kotamadya di Provinsi Papua Barat adalah

kabupaten yang paling padat penduduknya, yakni sebesar 354 jiwa per km2.

Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik, Provinsi Papua Barat memiliki jumlah rumah tang-

ga sebanyak 197,3 ruta dengan rata-rata rumah tangga beranggotakan sebanyak 4-5 anggota rumah

tangga.

Gambar 3.2 Piramida Penduduk Provinsi Papua Barat Tahun 2016

Stuktur penduduk Provinsi Papua Barat dapat diketahui dari komposisi penduduk menurut kelompok

umur. Piramida penduduk pada gambar 3.2 memperlihatkan struktur penduduk yang dibagi menurut

kelompok umur dan jenis kelamin. Dari komposisi struktur penduduk menurut kelompok umur pada

piramida tersebut, terlihat bahwa bentuk piramida berbentuk piramida ekspansive atau piramida muda.

Hal ini tampak dari bentuk piramida penduduk yang lebih terdistribusi ke dalam kelompok umur usia mu-

da atau piramida yang memiliki alas yang lebar, dicirikan dengan tingkat kelahiran yang masih tinggi.

Selain itu dilihat dari besarnya median umur, penduduk Provinsi Papua Barat tahun 2016 tergolong ke

dalam penduduk usia intermediate atau menengah karena memiliki median umur 20,88 tahun. Sesuai

dengan kriteria bahwa jika suatu penduduk memiliki median umur yang berada pada rentang 20-30 tahun

dikategorikan sebagai penduduk usia menengah (intermediate).

Implikasi dari struktur penduduk muda adalah besarnya persentase penduduk yang bersiap me-

masuki batas penduduk usia kerja (economically active population) dan besarnya rasio ketergantungan

(dependency ratio). Batas bawah usia kerja di Indonesia adalah umur 15 tahun. Setelah memasuki usia

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 43: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 32

tersebut, maka mereka disebut sebagai penduduk usia kerja. Penduduk usia kerja dibagi menjadi

angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Bila penduduk usia kerja tidak melakukan salah satu aktivitas

dalam kelompok bukan angkatan kerja maka termasuk ke dalam kriteria angkatan kerja. Dan bila dalam

angkatan kerja tidak melakukan aktivitas kerja maka kelompok ini termasuk ke dalam kriteria penganggu-

ran (unemployment). Dengan jumlah penduduk muda yang besar tentu potensi jumlah penduduk yang

akan terjun ke dalam angkatan kerja juga menjadi besar, untuk itu pemerintah harus bersiap menye-

diakan lapangan pekerjaan untuk menampung jumlah angkatan kerja yang besar ini. Bila permintaan

akan tenaga kerja lebih kecil dari jumlah pencari kerja, maka yang akan terjadi adalah terciptanya

pengangguran.

Salah satu implikasi lain dari struktur penduduk muda adalah tingkat beban ketergantungan yang

tinggi. Rasio ketergantungan (dependency ratio) digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat

menunjukkan keadaan ekonomi suatu daerah apakah tergolong daerah maju atau daerah yang sedang

berkembang. Semakin tinggi persentase beban ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban

yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk menanggung hidup penduduk yang belum

produktif dan tidak produktif lagi. Demikian pula sebaliknya.

Gambar 3.3 Rasio Ketergantungan Penduduk Provinsi Papua Barat Tahun 2016

Gambar 3.3 memberikan informasi bahwa persentase rasio ketergantungan di Provinsi Papua Barat

masih cukup tinggi, dimana dari 100 orang yang produktif harus menanggung beban hidup sekitar 49

hingga 51 orang yang belum produktif dan tidak produktif. Dilihat dari kacamata capaian pembangunan

manusia, ketertinggalan capaian Provinsi Papua Barat dibanding capaian nasional dapat dilihat pada

seluruh dimensi pembangunan manusia, namun meskipun begitu terlihat dari tabel 3.1 bahwa capaian

Provinsi Papua Barat masih jauh lebih baik dibanding provinsi induknya yakni Provinsi Papua.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 44: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 33

Gambar 3.4 Perbandingan IPM Provinsi Papua Barat dengan Provinsi Papua

dan Nasional Tahun 2016

Indikator capaian di bidang pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan rata-rata penduduk Provinsi

Papua Barat secara umum masih rendah. Rata-rata lama sekolah tahun 2016 hanya sebesar 7,06 tahun.

Artinya rata-rata penduduk Provinsi Papua Barat baru mampu menempuh pendidikan sampai kelas 1

SMP atau putus sekolah di kelas 2 SMP. Sementara itu, angka harapan lama sekolah tahun 2016 adalah

sebesar 12,26 tahun yang artinya lamanya sekolah yang akan dicapai oleh anak umur tertentu di masa

datang adalah 12,26 tahun atau telah menyelesaikan pendidikan dari jenjang pendidikan sekolah menen-

gah atas. Padahal idealnya, harapan lama sekolah tidak berselisih jauh dengan rata-rata lama sekolah

namun kondisi tersebut nampaknya belum tercapai di Provinsi Papua Barat.

Indikator capaian di bidang kesehatan juga menunjukkan bahwa Provinsi Papua Barat juga masih

tertinggal jika dibandingkan dengan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Pada tahun 2016, angka

harapan hidup Provinsi Papua Barat mencapai 65,30 tahun, artinya rata-rata penduduk Provinsi Papua

Barat dapat menjalani hidup selama 65 tahun. Perkembangan angka harapan hidup per tahun di Provinsi

Papua Barat tercatat tidak melebihi dari satu tahun dalam satu periode jangka waktu satu tahun, yakni

hanya mengalami peningkatan 0,11 tahun dibanding tahun 2015. Hal ini berarti bahwa kondisi angka

kematian bayi (infant mortality rate) di Provinsi Papua Barat termasuk dalam kategori hardrock, artinya

dalam waktu satu tahun penurunan angka kematian bayi yang tajam sulit terjadi, sehingga implikasinya

adalah angka harapan hidup yang dihitung berdasarkan harapan hidup waktu lahir menjadi lambat untuk

mengalami kemajuan.

Indikator

Provinsi

Papua

Barat

Provinsi

Papua Nasional

Angka Harapan Hidup

(tahun)

65,30 65,12 70,90

Harapan Lama Sekolah

(tahun)

12,26 10,23 12,72

Rata-Rata Lama Sekolah

(tahun)

7,06 6,15 7,95

Pengeluaran riil perkapita

/ PPP (ribu rupiah)

7.175 6.637 10.420

Indeks Pembangunan

Manusia

62,21 58,05 70,18

Peringkat se-Indonesia 33 34 -

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 45: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 34

3.2 Status Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat

Perhatian pemerintah dalam membangun indeks pembangunan manusia di bidang kesehatan, di-

wujudkan melalui penyedian fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai. Oleh karena itu, penyediaan

fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menjadi sebuah indikator yang layak untuk diperhatikan.

Disamping itu, indikator lainnya yang dapat digunakan sebagai tolok ukur pembangunan manusia dalam

bidang kesehatan adalah manusia sebagai objek pembangunan itu sendiri. Tingkat kesehatan seseorang

dapat dilihat dari sejarah kesehatan yang diruntut dari kondisi kesehatannya sejak lahir, balita, anak-anak

hingga dewasa. Sedangkan tingkat kesehatan pada masyarakat secara umum dapat dilihat dari tingkat

pesakitan atau jumlah keluhan kesehatan, tingkat kematian bayi, penolong kelahiran bayi, dan lain-lain.

Status pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat tahun 2016 secara umum masih dapat

dikatakan dalam kategori sedang (medium human development), meskipun berada pada urutan dua

terbawah dari semua provinsi di Indonesia. IPM Provinsi Papua Barat tahun 2016 mencapai angka 62,21

berada di atas capaian IPM Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencapai angka 63,13 dan di bawah

capaian IPM Provinsi Papua yang mencapai angka 58,05 pada tahun yang sama.

Dalam peringkat regional di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampua), Provinsi Papua

Barat menempati posisi ke-9 dari 10 provinsi, berada langsung di bawah IPM Provinsi Maluku Utara dan

di atas IPM Provinsi Papua. Berdasarkan capaian itu, Provinsi Papua Barat berada pada tingkatan

“sedang” (Medium Human Development) berdasarkan pemeringkatan UNDP tahun 2010.

Gambar 3.5. IPM Provinsi Di Indonesia Tahun 2016

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 46: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 35

Gambar 3.5 menunjukkan tingkat pencapaian pembangunan manusia di setiap provinsi di Indonesia

pada tahun 2016. IPM tertinggi dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta (yakni sebesar 79,60) dan terendah di

Provinsi Papua (yakni hanya sebesar 58,05). Dengan besaran IPM tersebut maka status pembangunan

manusia di seluruh provinsi di Indonesia (dengan menggunakan klasifikasi UNDP tahun 2010) terbagi

menjadi: satu provinsi masuk dalam klasifikasi IPM rendah (low human development), dua puluh satu

provinsi masuk dalam klasifikasi IPM sedang (medium human development) dan dua belas provinsi ma-

suk dalam klasifikasi IPM tinggi (high human development).

Dibandingkan dengan IPM seluruh provinsi di Indonesia, maka IPM Provinsi Papua Barat berada

pada posisi ke-33 dari 34 provinsi, berada langsung di bawah IPM Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan

jika dibandingkan dengan IPM seluruh provinsi di wilayah Sulampua, maka IPM Provinsi Papua Barat

berada pada posisi ke-9 dari 10 provinsi, berada langsung di bawah IPM Provinsi Maluku Utara. Selain

itu, jika dilihat trend pencapaian pembangunan manusia Provinsi Papua Barat, terlihat bahwa IPM Provin-

si Papua Barat tumbuh di atas 0,6 persen setiap tahunnya.

Gambar 3.6. Trend IPM Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2016

Selain itu disparitas atau keesenjangan tingkat pencapaian IPM antar provinsi di Indonesia masih

sangat besar (yakni mencapai 21,55 poin), bila dibanding dengan disparitas atau kesenjangan tingkat

pencapaian IPM seluruh provinsi terhadap tingkat pencapaian IPM nasional (berkisar antara 9,42 poin

hingga 12,13 poin). Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup besar antar berbagai provinsi

di Indonesia. Ketimpangan ini bisa terjadi antara lain disebabkan oleh ketidakmerataannya akses pada

layanan pendidikan dan juga pada layanan kesehatan.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 47: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 36

3.3 Pembangunan Manusia Bidang Kesehatan

Kesehatan, pendidikan dan ekonomi (dengan indikator income) sebagaimana dikatakan oleh

Moeloek merupakan tiga pilar yang saling berinteraksi dan berinter-relasi satu dengan yang lainnya da-

lam membentuk kualitas sumber daya manusia (Moeloek, 2005). Peningkatan status kesehatan

mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk meningkatkan tingkat pendidikan, dan pada gilirannya

mempengaruhi produktivitas masyarakat. Tanpa kesehatan yang baik, pendidikan sulit untuk dapat ber-

jalan dengan baik, dan bila kesehatan dan pendidikan tidak baik mustahil ekonomi keluarga/masyarakat

dapat membaik. Status kesehatan masyarakat juga sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Kemiski-

nan menyebabkan masyarakat kesulitan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang layak, obat-

obatan yang memadai dan bahkan memelihara lingkungan yang sehat.

Upaya peningkatan status kesehatan penduduk sangat penting karena jika status kesehatan

penduduk meningkat, berarti morbiditas atau angka kesakitan penduduk berkurang. Status kesehatan

yang lebih baik akan meningkatkan kemampuan belajar, menurunkan tingkat pembolosan kerja dan juga

meningkatkan produktivitas kerja.

Gambar 3.7 Visi Indonesia 2030

Dokumen Visi Indonesia 2030 tentang kesehatan seperti pada gambar 3.7 di atas juga memperlihat-

kan betapa kesehatan sangat erat hubungannya dengan kehidupan berkualitas dan produktif.

Gambar di atas menggambarkan pola kebijakan pembangunan kesehatan yang diadopsi oleh

Pemerintah Indonesia yang komprehensif (dana, fasilitas dan perilaku) dan terukur (pemetaan akses,

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 48: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 37

indikator yang akan dicapai dan prestasi yang diharapkan). Status kesehatan penduduk diukur dengan

berbagai cara, baik langsung maupun tidak langsung. Umumnya indikator untuk mencerminkan status

kesehatan diperoleh secara tidak langsung menggunakan estimasi tertentu, mengingat data kematian

sulit diperoleh.

Indikator yang sering digunakan untuk mencerminkan status kesehatan adalah angka mortalitas

(angka kematian), status gizi dan angka morbiditas (angka kesakitan). Sampai saat ini data untuk men-

gukur status kesehatan tersebut sangat sulit diperoleh, karena sifat kejadian insidentil dan tersebar di

masyarakat, sistem registrasi yang belum berjalan dengan baik, dan kesadaran masyarakat akan pent-

ingnya pelaporan setiap kejadian tersebut juga masih rendah.

Oleh karena itu, indikator yang digunakan untuk mencerminkan status kesehatan dalam pencapaian

IPM adalah “Angka Harapan Hidup” (AHH). Angka ini mencerminkan rata-rata tahun hidup yang masih

akan dijalani oleh seseorang sejak lahir. Angka harapan hidup tinggi akan dicapai jika penduduk mempu-

nyai status kesehatan yang baik.

Di tahun 2016, angka harapan hidup di Provinsi Papua Barat mencapai 65,30 tahun yang artinya

rata-rata penduduk Provinsi Papua Barat dapat menjalani hidup selama 65 tahun. Seperti terlihat pada

gambar 3.8, angka harapan hidup tertinggi berada di Kota Sorong yakni mencapai 69,36 tahun dan ang-

ka harapan hidup terendah berada di Kabupaten Teluk Wondama yakni hanya mencapai 58,96 tahun.

Perkembangan angka harapan hidup Provinsi Papua Barat tahun 2015-2016 tercatat mengalami pening-

katan 0,11 tahun selama satu tahun.

Gambar 3.8. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 49: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 38

Angka harapan hidup Provinsi Papua Barat perlu juga dilihat posisinya dan dilakukan

keterbandingan dengan provinsi lainnya di Indonesia, dan juga terhadap target nasional. Angka harapan

hidup di Provinsi Papua Barat tergolong cukup rendah (yakni mencapai 65,30 tahun) jika dibandingkan

dengan angka nasional (yakni mencapai 70,90 tahun) maupun dengan provinsi lain di Indonesia dimana

Angka Harapan Hidup Provinsi Papua Barat merupakan yang terendah ketiga setelah Provinsi Sulawesi

Barat dan Provinsi Papua.

Kemudian jika dilakukan keterbandingan terhadap target nasional yang ditetapkan Pemerintah Re-

publik Indonesia dalam “Visi Indonesia 2030” melalui Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 yang

menargetkan angka harapan hidup menjadi 72 tahun pada akhir tahun 2014, maka masih terdapat jarak

sejauh sekitar 6 sampai 7 tahun antara capaian angka harapan hidup Provinsi Papua Barat dan pen-

capaian target angka harapan hidup Indonesia tahun 2014.

Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa status kesehatan penduduk di Provinsi Papua Barat

masih memberikan sumbangan yang relatif rendah terhadap pencapaian Indeks Pembangunan Manusia.

Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Daerah mengingat Provinsi Papua Barat terhitung

sudah dua belas tahun lebih menjadi provinsi ke-33 di Indonesia.

Gambar 3.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indikator Indeks Harapan Hidup

Untuk menemukan penjelasan yang mendasar, perlu menggali lebih lanjut permasalahan lainnya

termasuk kesadaran penduduk akan hidup sehat di Provinsi Papua Barat. Berbagai kejanggalan juga

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 50: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 39

perlu diteliti lebih lanjut terutama terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perhitungan Angka

Harapan Hidup sebagaimana terlihat pada gambar 3.9.

Berdasarkan gambar 3.9, terlihat bahwa indeks harapan hidup sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

penyebab langsung seperti angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan dan juga angka

kesakitan. Angka Harapan Hidup merupakan fungsi matematis dari Angka Kematian. Panjangnya usia

hidup secara negatif berhubungan dengan rendahnya Angka Kematian (bayi lahir mati, kematian bayi

bawah 1 tahun, kematian anak balita di bawah lima tahun dan kematian ibu) dan tingginya Angka

Kesehatan. Makin tinggi angka kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian sehingga

memperbesar harapan untuk hidup.

Informasi terkait Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Papua Barat sangat sulit diperoleh. Satu-

satunya data tentang angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat diperoleh dari estimasi angka ke-

matian bayi hasil proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 yang ada dalam buku publikasi Indikator Pem-

bangunan Berkelanjutan 2016. Menurut publikasi tersebut, estimasi angka kematian bayi (AKB) di

Provinsi Papua Barat pada tahun 2016 adalah sebesar 44,95 per 1000 kelahiran hidup. Suatu tantangan

yang masih cukup besar jika ingin mencapai target MDGs Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 23 per

1000 kelahiran hidup tahun 2015 yang lalu.

Gambar 3.10. Estimasi Angka Kematian Bayi (AKB) Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2016

Sumber: Publikasi Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2016, BPS

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 51: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 40

Selain permasalahan kematian bayi, faktor penyebab langsung lainnya yang berhubungan dengan

Angka Harapan Hidup (AHH) adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Informasi terkait Angka Kematian Ibu di

Provinsi Papua Barat sangat sulit diperoleh. Data yang tersedia hanyalah data estimasi dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Manokwari.

Sebagai gambaran, Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat menyebutkan bahwa Angka Kematian

Ibu (AKI) di Provinsi Papua Barat pada bulan Oktober 2014 sebesar 43 kasus. Sementara data tahun

2016 belum tersedia. Sehingga jika perkiraan Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2014 ini digunakan, maka

dapat dikatakan bahwa Provinsi Papua Barat telah mencapai target MDGs yang menargetkan Angka

Kematian Ibu (AKI) sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Selain melalui Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI), status kesehatan

penduduk yang diinterpretasikan melalui Indeks Harapan Hidup juga berhubungan dengan Angka Mor-

biditas (angka kesakitan) yang menunjukkan banyaknya penduduk yang mengalami keluhan kesehatan,

sehingga mengakibatkan gangguan terhadap aktivitas sehari-hari. Informasi terkait Angka Morbiditas

(angka kesakitan) di Provinsi Papua Barat belum bisa diperoleh datanya. Satu-satunya sumber data

tentang Angka Morbiditas (angka kesakitan) yang tersedia berasal dari data hasil olah Survei Sosial

Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua Barat Tahun 2016. Menurut data Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) tahun 2016, Angka Morbiditas (angka kesakitan) Provinsi Papua Barat mencapai

11,17 persen.

Gambar 3.11. Angka Kesakitan (Morbiditas) Kab/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2016

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 52: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 41

3.4 Pembangunan Manusia Bidang Pendidikan

Taraf pendidikan penduduk diukur dengan berbagai pendekatan. Cara yang paling sederhana ada-

lah dengan mengukur rata-rata lama tahun bersekolah penduduk - RLS (mean years of schooling) dan

harapan lama sekolah - HLS (expected years of schooling). Angka rata-rata lama sekolah (RLS) mem-

berikan gambaran umum secara agregat tingkat pendidikan yang diselesaikan dan tingkat keterampilan

penduduk secara umum. Sedangkan angka harapan lama sekolah (HLS) dapat memberikan gambaran

lamanya sekolah yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang.

Untuk menemukan penjelasan yang mendasar mengenai tingkat capaian pembangunan manusia di

bidang pendidikan, maka perlu diteliti lebih lanjut terutama terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh

dalam perhitungan Indeks Pendidikan sebagaimana terlihat pada gambar 3.11.

Gambar 3.12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indikator Indeks Pendidikan

Indeks Pendidikan yang dihasilkan dari indeks komponen rata-rata lama sekolah (RLS) dan harapan

lama sekolah (HLS), dipengaruhi secara langsung oleh tingkat partisipasi sekolah, terutama oleh angka

partisipasi murni (APM) pada masing-masing jenjang pendidikan formal. Sedangkan secara tidak lang-

sung, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jumlah tenaga pengajar/guru, kualitas tenaga pengajar dan

mutu kurikulum pengajaran.

Satu hal penting lainnya yang seringkali diabaikan adalah bahwa angka partisipasi sekolah (APS)

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 53: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 42

tidak serta merta mencerminkan kualitas pendidikan. Angka ini hanya mencerminkan seberapa banyak

anak di usia tertentu terdaftar dan tercatat sebagai siswa pada sekolah dan menunjukan tingkat pemer-

ataan dan perluasan akses pendidikan bagi semua warga. Tidak lebih dari itu. Karena pada kenyataann-

ya, tercatatnya seorang anak sebagai siswa tidak serta merta menunjukan tingkat kehadiran di sekolah

dan dengan hadir di sekolah pun tidak berarti bisa mengikuti dan memahami pelajaran yang diberikan

dengan baik.

Rata-Rata Lama Sekolah (RLS)

Indikator ini (yakni rata-rata lama sekolah) meskipun menyembunyikan variasi, rentang dan distri-

busi pendidikan dalam populasi tetapi dianggap cukup baik dalam memberikan gambaran tentang kema-

juan dalam pembangunan manusia khususnya bidang pendidikan.

Secara umum, tingkat pendidikan di Provinsi Papua Barat masih sangat rendah. Secara kategorikal,

taraf pendidikan penduduk rata-rata masih rendah. Rata-rata lama sekolah penduduk umur 25 tahun ke

atas sejak tahun 2015 sampai tahun 2016 tidak mengalami perubahan yang berarti dan baru mencapai

7,06 tahun yang berarti berada tidak jauh dari lulusan sekolah dasar. Rata-rata tersebut masih berada di

bawah rata-rata nasional yang mencapai 7,95 tahun dan berada sedikit di bawah rata-rata lama sekolah

Provinsi Gorontalo yang mencapai 7,12 tahun.

Gambar 3.13. Rata-Rata Lama Sekolah (MYS) Kab/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016 https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 54: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 43

Angka rata-rata lama sekolah (RLS) di Provinsi Papua Barat bergerak sangat lamban. Pada tahun

2016, rata-rata lama sekolah (RLS) Provinsi Papua Barat mencapai 7,06 tahun atau berarti rata-rata

penduduk Provinsi Papua Barat baru mampu menyelesaikan pendidikan sampai dengan kelas 1 SMP

atau putus sekolah di kelas 2 SMP.

Berdasarkan gambar 3.13, di tahun 2016 Kota Sorong mempunyai rata-rata lama sekolah (RLS)

tertinggi dibanding dengan kabupaten/kota lainnya. Rata-rata lama sekolah (RLS) di Kota Sorong selalu

meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 10,91 tahun di tahun 2016, sehingga dapat dikatakan

bahwa rata-rata penduduk Kota Sorong baru mampu menyelesaikan pendidikan sampai dengan kelas 1

SMA. Sementara rata-rata lama sekolah (RLS) terendah selama enam tahun terakhir terjadi di Kabupat-

en Tambrauw (4,70 tahun di tahun 2016). Di kabupaten ini, rata-rata penduduk hanya bersekolah sampai

dengan kelas 4 SD atau putus sekolah di kelas 5 SD.

Masih rendahnya rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Papua Barat erat kaitannya dengan

masih rendahnya tingkat keberlanjutan siswa ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau rendahnya

angka partisipasi murni (APM) pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai berikut: dengan tidak melanjutkan pendidikan lebih tinggi, seorang siswa tidak akan memperoleh

rata-rata lama sekolah (RLS) yang lebih panjang. Jika ini terjadi pada banyak siswa yang dicerminkan

oleh semakin rendahnya angka partisipasi murni (APM) pendidikan yang lebih tinggi maka rata-rata lama

sekolah di Provinsi Papua Barat tentu akan lebih rendah.

Maka kemudian menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih

besar untuk meningkatkan tingkat keberlanjutan siswa ke pendidikan yang lebih tinggi. Setidaknya ada

beberapa penyebab rendahnya tingkat keberlanjutan, antara lain rendahnya tingkat ketersediaan sekolah

(selain sekolah dasar) di daerah-daerah, mahalnya proses memasuki sekolah baru yang lebih tinggi,

serta tuntutan sebagian orang tua agar anaknya membantu bekerja sebelum menyelesaikan pendidikan

dasar wajib 9 tahun.

Harapan Lama Sekolah (HLS)

Angka harapan lama sekolah (HLS) Provinsi Papua Barat tahun 2016 mencapai 12,26 tahun atau

mengalami peningkatan 0,20 tahun dibanding dengan kondisi tahun 2015 yang hanya mencapai 12,06

tahun. Idealnya harapan lama sekolah (HLS) tidak berbeda jauh dengan rata-rata lama sekolah (RLS).

Namun kenyataannya, sebagian besar provinsi memiliki gap yang cukup tinggi antara kedua indikator

tersebut. Dari gambar 3.14 terlihat bahwa Provinsi Papua Barat memiliki gap antara harapan lama

sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS) sebesar 5,20 tahun.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 55: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 44

Gambar 3.14. Gap antara Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS)

Kab/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016

3.5 Pembangunan Manusia Bidang Ekonomi

Dalam paradigma pembangunan manusia, pendapatan adalah alat untuk menguasai sumber daya

agar dapat hidup dengan layak. Semakin besar pendapatan, maka semakin besar pula jumlah barang

dan jasa yang tersedia untuk mendukung standar hidup yang layak. Sumber daya atau barang dan jasa

itu sendiri harus pula dilihat sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan individu dari segi pendidi-

kan, keterampilan, kesehatan, kemampuan dalam pergaulan di masyarakat, dan lain sebagainya bukan

barangnya itu sendiri. Dalam konteks inilah pendapatan sebagai proksi dari dimensi standar hidup yang

layak, dipilih sebagai salah satu indikator pembangunan manusia, yakni Indeks Pengeluaran.

Keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan pembangunan manusia dapat dijelaskan sebagai

berikut: semakin tinggi pendapatan perkapita suatu daerah, maka semakin tinggi pula tingkat pem-

bangunan manusia. Sebaliknya semakin tinggi tingkat pembangunan manusia maka semakin tinggi pula

pendapatan perkapitanya. Namun hubungan tersebut tidak bersifat otomatis. Ada daerah dengan penda-

patan perkapita yang rendah tapi memiliki tingkat capaian pembangunan manusia (IPM) yang cukup

tinggi. Sebaliknya ada juga daerah dengan pendapatan perkapita yang relatif tinggi tetapi capaian pem-

bangunan manusianya tidak seimbang.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 56: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 45

Pendapatan perkapita diproksi dengan pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan. Tahun 2016,

pengeluaran perkapita riil Provinsi Papua Barat adalah yang terendah ketiga setelah Provinsi Papua dan

Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni sebesar Rp. 7.175.000,-. Dalam lingkup wilayah Sulawesi, Maluku,

Papua (Sulampua), tingkat pengeluaran perkapita riil Provinsi Papua Barat menempati posisi teremdah

kedua setelah Provinsi Papua, mengalami peningkatan sebesar 111 ribu rupiah dari tahun 2015 yang

hanya sebesar Rp.7.064.000,- Kenaikan nilai ini diperkirakan dipengaruhi oleh semakin membaiknya

kondisi perekonomian Provinsi Papua Barat yang juga berdampak kepada semakin membaiknya kondisi

ekonomi penduduk dengan adanya kenaikan pendapatan. Hal ini mengakibatkan kemampuan masyara-

kat untuk mengakses pendidikan untuk melanjutkan sekolah dan mengakses fasilitas kesehatan menjadi

semakin baik.

Gambar 3.15. Pengeluaran Perkapita Disesuaikan Provinsi Papua Barat dan

Nasional Tahun 2010 - 2016

Berbeda halnya dengan tingkat pengeluaran perkapita yang trendnya terlihat terus mengalami pen-

ingkatan, namun untuk laju pertumbuhan ekonomi tanpa migas justru memperlihatkan trend yang se-

baliknya. Laju pertumbuhan ekonomi tanpa migas atas dasar harga konstan Provinsi Papua Barat sepan-

jang periode tahun 2012 - 2016 relatif mengalami perlambatan, dari sebesar 13,79 persen pada tahun

2015, kemudian melambat menjadi 10,99 persen pada tahun 2016. Sedangkan untuk laju pertumbuhan

ekonomi dengan migas atas dasar harga konstan Provinsi Papua Barat justru perlambatan terjadi sejak

tahun 2013 hingga tahun 2016. Berfluktuatifnya laju pertumbuhan ekonomi dengan migas ataupun tanpa

migas ini lebih disebabkan oleh meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sebagai akibat dari masih

tingginya tingkat kelahiran di Provinsi Papua Barat.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 57: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 46

Gambar 3.16. Laju Pertumbuhan Ekonomi Dengan Migas dan Non Migas

Provinsi Papua Barat Tahun 2012 - 2016

Upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari aspek laju pertum-

buhan ekonomi semata tetapi yang lebih penting pada seberapa jauh geliat perekonomian dapat dini-

kmati oleh masyarakat sehingga aspek pemerataan dan pola konsumsi masyarakat merupakan hal yang

selalu terkait untuk dicermati. Asumsi bahwa laju pertumbuhan ekonomi akan mampu meningkatkan

pendapatan rata-rata masyarakat terkadang masih memiliki suatu peluang untuk memunculkan suatu

masalah ketimpangan pendapatan.

Dari pengukuran disparitas (ketimpangan) pendapatan penduduk dengan menerapkan indeks Gini

Ratio pada masyarakat Provinsi Papua Barat sepanjang tahun 2016, terbukti bahwa pertumbuhan

ekonomi di atas ternyata tidak diimbangi dengan pemerataan pembagian pendapatan dalam masyarakat.

Dan hal ini justru akan membuat kesenjangan semakin melebar antar kelompok pendapatan.

Gambar 3.17 Trend Gini Ratio Provinsi Papua Barat Tahun 2011 - 2016

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 58: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 47

3.6 IPM Dan Kemiskinan

Ukuran kemiskinan yang umum digunakan untuk melihat fenomena kemiskinan di suatu daerah

adalah persentase penduduk miskin. Persentase penduduk sendiri adalah persentase penduduk yang

memiliki pendapatan (atau proksi pendapatan) kurang dari jumlah yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan dasar hidup.

Walaupun demikian, kemiskinan sesungguhnya memiliki banyak dimensi selain dimensi pendapa-

tan. Dimensi lain kemiskinan, dapat dilihat dari peluang untukcmemperoleh kesehatan dan umur yang

panjang, peluang memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan lain-lain. Intinya adalah kemiskinan san-

gat terkait dengan sempitnya kesempatan seseorang dalam menentukan pilihan-pilihan hidup.

Bila kemiskinan berkaitan erat dengan semakin sempitnya kesempatan yang dimiliki, pembangunan

manusia adalah sebaliknya. Konsep pembangunan manusia adalah memperluas pilihan manusia, teruta-

ma untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan kemampuan daya beli. Dengan

hubungan yang berkebalikan tersebut, suatu daerah dengan kualitas pembangunan manusia yang baik,

idealnya memiliki persentase penduduk miskin yang rendah.

Selanjutnya, dengan menggunakan angka kemiskinan Provinsi Papua Barat sebagai cut of point,

maka seluruh kabupaten/kota dapat dibagi kedalam empat kategori. Dalam hal ini, persentase penduduk

miskin suatu kabupaten/kota dikatakan tinggi, bila lebih besar dari persentase penduduk miskin Provinsi

Papua Barat (25,43 persen) dan dikatakan rendah bila lebih kecil dari nilai tersebut. Begitu juga IPM,

dikatakan tinggi bila lebih besar dari IPM Provinsi Papua Barat (62,21) dan dikatakan rendah bila lebih

kecil dari nilai tersebut. Keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut :

IPM Tinggi - P0 Tinggi. Kabupaten/kota dalam kategori ini memiliki kapabilitas manusia yang relatif

baik, meskipun dengan penduduk miskin yang relatif banyak. Konsentrasi lebih besar perlu diberikan

untuk menekan angka kemiskinan. Hal yang mungkin dilakukan yaitu dengan menerapkan kebijkan yang

berorientasi pada pemerataan pendapatan dan peningkatan daya beli masyarakat. Kabupaten/kota yang

termasuk dalam kelompok ini hanyalah Kabupaten Fakfak.

IPM Rendah - P0 Rendah. Kabupaten/Kota dalam kategori ini telah cukup berhasil dalam menekan

angka kemiskinannya, namun belum cukup berhasil dalam pencapaian kapabilitas penduduk. Upaya

lebih besar perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan capaian pembangunan manusia yaitu dengan

perhatian yang lebih besar pada peningkatan kapabilitas dasar penduduk. Kabupaten/kota yang terma-

suk ke dalam kelompok ini adalah Kabupaten Kaimana, Sorong Selatan dan Raja Ampat.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 59: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 48

IPM Tinggi - P0 Rendah. Kondisi kabupaten/kota dalam kategori ini adalah kondisi yang paling ku-

rang. Diperlukan usaha yang lebih untuk dapat mengejar ketertinggalannya dalam menekan angka kem-

iskinan dan mempercepat capaian pembangunan manusia. Kabupaten/kota yang termasuk kedalam

kelompok ini adalah Kabupaten Sorong, Teluk Bintuni, Manokwari Selatan, Maybrat, Teluk Wondama,

Tambrauw dan Pegunungan Arfak.

IPM Rendah - P0 Tinggi. Kondisi kabupaten/kota dalam kategori ini adalah kondisi yang ideal. Kate-

gori ini mampu menekan angka kemiskinan dan pada saat yang sama mampu meraih capaian pem-

bangunan manusia yang tinggi. Kabupaten/kota yang termasuk kedalam kelompok ini adalah Kota So-

rong dan Kabupaten Manokwari sebagai ibukota Provinsi Papua Barat.

Gambar 3.18 Kategorisasi Hubungan antara IPM dan Persentase Penduduk Miskin (P0)

Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2016

3.7 Perkembangan IPM

Di tahun 2016, IPM dihitung menggunakan metode baru. Hal ini disebabkan oleh beberapa indikator

sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan

dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain

itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat membedakan

tingkat pendidikan antar daerah dengan baik. Demikian pula halnya dengan PDRB perkapita tidak dapat

menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Alasan kedua, penggunaan rumus rata-

rata aritmatik sudah tidak sesuai dalam penghitungan IPM karena capaian yang rendah di suatu dimensi

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 60: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 49

dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain.

Keuntungannya adalah terdapat indikator yang lebih tepat dan dapat membedakan dengan baik.

Dengan memasukkan rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah, bisa didapatkan gambaran

yang lebih relevan dalam pendidikan dan perubahan yang terjadi. Kemudian PNB dipilih untuk menggan-

tikan PDB karena dapat lebih menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Dengan

menggunakan rata-rata geometrik dalam menyusun IPM, dapat diartikan bahwa capaian satu dimensi

tidak dapat ditutupi oleh capaian di dimensi lain.Artinya, untuk mewujudkan pembangunan manusia yang

baik, maka ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama besar karena sama pentingnya.

Secara umum, besarnya capaian IPM Provinsi Papua Barat selalu mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Hal ini menandakan bahwa usaha-usaha pembangunan manusia telah berjalan dengan

baik, meskipun ada yang mengalami kemajuan yang pesat dan ada juga yang lambat berkembang.

Gambar 3.19. Indeks Komponen Penyusun IPM Provinsi Papua Barat Tahun 2016

Pada gambar 3.19 terlihat bahwa indeks kesehatan memberikan kontribusi terbesar dari IPM

Provinsi Papua Barat, dibandingkan dengan indeks pengeluaran dan indeks pendidikan. Sedangkan

indeks pendidikan merupakan indeks dengan kontribusi terkecil dalam penghitungan IPM Provinsi Papua

Barat.

Indeks Kesehatan dibentuk oleh satu indikator komponen yakni Indikator Harapan Hidup. Indikator

ini memberikan kontribusi paling terbesar (yakni sebesar 69,69), namun pertumbuhannya sepanjang

tahun 2015 ke tahun 2016 justru adalah yang paling terkecil (yakni sebesar 0,25 persen).

Pencapaian angka harapan hidup Provinsi Papua Barat dewasa ini bisa dikatakan menggembirakan

dan terdapat peningkatan yang cukup signifikan, tetapi belum mampu mencerminkan bahwa kualitas

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 61: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 50

kesehatan masyarakat Provinsi Papua Barat dapat dikatakan cukup baik. Tahun 2016 ini, capaian angka

harapan hidup (AHH) Provinsi Papua Barat baru mencapai 65,30 tahun, sedikit lebih baik dibandingkan

dengan angka harapan hidup (AHH) Provinsi Papua yang baru mencapai angka 65,12 tahun.

Tampaknya diperlukan upaya yang bersifat komprehensif dan lintas sektor, agar perbaikan derajat

kesehatan yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka harapan hidup (AHH) dan terus menurunnya

angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI) dan angka kesakitan (morbiditas) secara konsisten

dapat terwujud di masa mendatang. Atau dalam perspektif peningkatan derajat kesehatan, upaya

menurunkan tingkat kematian bayi dan ibu secara bertahap harus terus menjadi prioritas, begitu pula

halnya dengan penanganan status gizi pada balita dari waktu ke waktu agar terus ditingkatkan, dengan

tidak mengabaikan program-program lain yang bersentuhan langsung dengan perbaikan derajat

kesehatan masyarakat Provinsi Papua Barat guna memperkecil angka kesakitan (morbiditas).

Sedangkan untuk indeks pendidikan dibentuk oleh dua indikator komponen, yakni indikator harapan

lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Indeks pendidikan adalah indeks yang mem-

berikan kontribusi paling terkecil dalam penghitungan IPM Provinsi Papua Barat, namun salah satu indi-

kator komponennya yakni indikator harapan lama sekolah (HLS) adalah indikator komponen yang mem-

berikan kontribusi terbesar kedua terhadap penghitungan IPM Provinsi Papua Barat.

Hal ini mengindikasikan bahwa upaya pembangunan di bidang pendidikan masih memerlukan inter-

vensi dan upaya yang cukup serius agar dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap capaian

pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan salah satunya

adalah penurunan angka putus sekolah dari tahun ke tahun dan peningkatan angka melanjutkan ke pen-

didikan yang lebih tinggi tampaknya harus terus digalakkan dan lebih diprioritaskan dari sekedar upaya

penuntasan buta aksara guna menunjang pencapaian rata-rata lama tahun bersekolah yang cukup mem-

banggakan, dan pada akhirnya akan memberikan angka pencapaian Indeks Pendidikan yang terus mem-

baik, karena faktanya adalah bahwa masih rendahnya pencapaian rata-rata lama sekolah (RLS)

penduduk Provinsi Papua Barat itu erat kaitannya dengan masih rendahnya tingkat keberlanjutan siswa

ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan juga masih tingginya angka putus sekolah pada jenjang pen-

didikan tertentu.

Sedangkan untuk Indeks Pengeluaran adalah indeks komponen yang memberikan kontribusi

terbesar kedua setelah indeks kesehatan (yakni sebesar 59,99). Hal ini jelas mengindikasikan mulai

membaiknya perekonomian masyarakat yang kemudian berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan

daya beli masyarakat Provinsi Papua Barat meskipun masih relatif lambat.

Relatif lambatnya peningkatan kemampuan daya beli masyarakat ini, kemungkinan lebih disebab-

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 62: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 51

kan oleh faktor-faktor eksternal dari luar Provinsi Papua Barat, seperti belum mantapnya kebijakan makro

ekonomi nasional. Padahal dalam situasi perekonomian Provinsi Papua Barat yang mulai membaik

dibandingkan tahun lalu, meskipun masih memperlihatkan laju pertumbuhan yang melambat, ekspetasi

pencapaian indikator kemampuan daya beli masyarakat sebenarnya diharapkan lebih dari kisaran

Rp.7.175.000,- setahun di tahun 2016.

Untuk itu tampaknya Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat harus menyiapkan strategi dan ke-

bijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat terutama masyarakat miskin, seperti menyiapkan pro-

gram ketahanan pangan yang berkelanjutan, mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat

miskin, mengaktifkan kembali program subsidi bantuan langsung tunai (BLT) atau terakhir popular

dengan nama bantuan langsung masyarakat (BLSM) yang terbukti efektif meningkatkan kemampuan

daya beli masyarakat.

3.8 Pertumbuhan IPM

Pertumbuhan IPM ditujukan untuk melihat kemajuan atau kemunduran dari pencapaian sasaran

pembangunan manusia di suatu daerah selama kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui angka

pertumbuhan ini dapat dilihat kecepatan perkembangan IPM suatu daerah.

Terdapat sebuah kecenderungan dalam sebuah pencapaian IPM, jika nilai IPM semakin mendekati

nilai maksimumnya (100 persen), maka pertumbuhannya akan semakin lambat. Sebaliknya, jika angka

capaian IPM masih berada pada level yang rendah maka kemampuan untuk memacu pertumbuhan yang

tinggi dalam capaian IPM akan lebih mudah.

Tabel 4 menunjukkan tingkat pertumbuhan IPM seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.

Pada periode tahun 2013-2014 pertumbuhan IPM Kabupaten Manokwari mencapai 0,79 persen. Semen-

tara Kabupaten Tambrauw memiliki pertumbuhan IPM yang paling tinggi untuk periode ini, yakni men-

capai 1,47 persen. Sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Sorong dengan capaian pertum-

buhan sebesar 0,60 persen.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 63: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 52

Gambar 3.20. Pertumbuhan IPM Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Kabupaten / Kota 2013-

2014 2014-

2015

2015-

2016

Fakfak 0,67 0,30 0,97

Kaimana 1,19 0,42 1,34

Teluk Wondama 1,12 0,67 0,91

Teluk Bintuni 1,12 1,13 1,19

Manokwari 0,79 0,80 0,62

Sorong Selatan 0,88 0,63 1,02

Sorong 0,60 1,02 0,91

Raja Ampat 0,82 0,62 1,17

Tambrauw 1,47 0,75 1,16

Maybrat 0,78 0,77 1,02

Manokwari Selatan 0,68 2,30 0,94

Pegunungan Arfak 0,62 0,07 0,30

Kota Sorong 1,08 0,17 0,56

Provinsi Papua Barat 0,61 0,74 0,78

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 64: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 53

BAB IV

PENUTUP

IPM merupakan indikator penting yang dapat digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program

pembangunan secara menyeluruh di suatu wilayah. Dalam hal ini IPM dianggap sebagai gambaran dari

hasil program pembangunan yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Demikian juga kemajuan

program pembangunan dalam suatu periode dapat diukur dan ditunjukkan oleh besaran IPM pada awal

dan akhir periode tersebut. IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah

yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah

dalam hal harapan hidup, intelektualitas dan standar hidup layak.

Dalam perencanaan pembangunan, IPM juga berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam menen-

tukan prioritas dalam merumuskan kebijakan dan menentukan program. Hal ini juga merupakan tuntunan

dalam mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan kebijakan umum yang telah ditentukan oleh pem-

buat kebijakan dan pengambil keputusan.

Indikator IPM merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pem-

bangunan manusia, baik dari sisi dampaknya terhadap kondisi fisik manusia (kesehatan dan kesejahter-

aan) maupun yang bersifat non-fisik (intelektualitas). Pembangunan yang berdampak pada kondisi fisik

masyarakat diharapkan tercermin dalam angka harapan hidup dan kemampuan daya beli, sedangkan

untuk dampak non-fisiknya (intelektualitas) bisa dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh

masyarakat.

Namun perlu diingat bahwa IPM bukanlah satu-satunya alat ukur untuk menilai keberhasilan dalam

pembangunan manusia. Karena dimensi pembangunan manusia yang diukur oleh IPM hanya meliputi

tiga indikator saja, yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Aspek-aspek lain seperti kesetaran jender,

tingkat partisipasi masyarakat, kesehatan mental dan lainnya. Sehingga evaluasi dalam pembangunan

manusia perlu juga melihat indikator-indikator lain.

Penyusunan publikasi ini merupakan salah satu langkah awal sebuah proses jangka panjang

menuju masyarakat Provinsi Papua Barat yang lebih sejahtera. Langkah ini perlu diteruskan dan diikuti

dengan langkah-langkah lanjutannya. Melalui publikasi ini diharapkan Pemerintah Daerah Provinsi Papua

Barat dapat dengan lebih mudah menemukenali permasalahan dan tantangan yang dihadapi, serta

kelemahan dan kekuatan yang dimiliki. Hanya pemerintah yang sadar akan keadaan dirinya sendiri yang

mampu merumuskan program kerja yang relevan dan efektif. Sebagai langkah awal, tinjauan keadaan

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 65: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 54

pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat ini memang belum sempurna, tetapi langkah awal ini

sudah berada pada track yang benar.

4.1 Prioritas Pertama : Sektor Pendidikan

Berdasarkan pembahasan pada Bab 3, terlihat bahwa dari data pencapaian Indeks Pembangunan

Manusia Provinsi Papua Barat pada tahun 2016 bisa disimpulkan bahwa pencapaian Indeks Pendidikan

belum menggembirakan dan memberikan kontribusi yang paling kecil dibandingkan dengan Indeks

Pengeluaran maupun Indeks Kesehatan, sehingga dalam upaya meningkatkan capaian pembangunan

manusia di Provinsi Papua Barat, maka Indeks pendidikan menjadi kunci penting untuk meningkatkan

pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), karena melihat capaian indeks pengeluaran dan in-

deks kesehatan yang sudah cukup tinggi.

Di sektor pendidikan, penurunan angka putus sekolah dan peningkatan angka keberlanjutan ke

jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus tetap menjadi prioritas yang utama, mengingat hal ini akan

berdampak pada meningkatnya pencapaian angka rata-rata lama bersekolah penduduk usia sekolah di

Provinsi Papua Barat, disamping terus melakukan upaya penuntasan buta huruf, dan juga upaya-upaya

lainnya seperti pembangunan dan revitalisasi gedung-gedung sekolah sebagai upaya meningkatkan

partisipasi murid sekolah secara berkelanjutan.

Memperbaiki akses dan pemerataan pendidikan di daerah dengan penduduk yang tinggal terpencar

-pencar seperti Provinsi Papua Barat bukanlah masalah yang sederhana, dan akan memerlukan upaya

yang berbeda dari upaya-upaya perluasan akses dan pemerataan di wilayah yang padat dan merata

penduduknya. Dalam pembahasan bab sebelumnya, jarak tempuh menuju sekolah SD, SMP dan SMA

terdekat masih merupakan salah satu alasan meningkatnya angka putus sekolah bagi masyarakat yang

tinggal di daerah-daerah terpencil. Untuk mengatasi persoalan ini perlu dipikirkan pendekatan-

pendekatan yang tidak konvensional demi mendekatkan sekolah kepada tempat tinggal para siswa. Pen-

dekatan melalui pembentukan sekolah terpadu yang mencakup SD dan SMP sebagaimana telah dikem-

bangkan di banyak daerah terpencil merupakan satu alternatif kebijakan yang perlu dipertimbangkan

secara serius di Provinsi Papua Barat.

Lebih dari itu, bahkan untuk daerah yang benar-benar terpencil dapat dipertimbangkan sekolah-

sekolah dengan ruang yang berisi multi kelas. Literatur internasional menunjukkan bahwa pendekatan

ruang dengan multi kelas secara empiris dapat memfasilitasi proses pembelajaran dengan kualitas yang

tidak kalah dari kelas konvensional. Pendekatan ini dapat mulai dicoba untuk diterapkan di daerah-

daerah terpencil yang ada di Provinsi Papua Barat. Upaya-upaya lainnya yang terbilang standar seperti

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 66: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 55

perbaikan sekolah dan ruang kelas untuk menjaga kelayakan fisik tetap harus dilakukan untuk memper-

tahankan daya tampung dan mendukung proses pembelajaran yang lebih baik.

Upaya peningkatan mutu dan efisiensi internal perlu dilakukan dan diarahkan pertama-tama untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran, dan menurunkan angka putus sekolah. Sulit dipungkiri bahwa

upaya ini akan memerlukan upaya multidimensi yang meliputi ketersediaan dan perbaikan persebaran

serta kualitas guru, penyediaan sarana penunjang dan media pembelajaran dan lain-lainnya.

Dalam kaitan ini, dan dengan latar belakang kondisi guru utamanya dalam hal kualifikasinya, maka

perbaikan mutu guru perlu ditempatkan pada prioritas tertinggi. Dalam konteks wilayah Provinsi Papua

Barat, dengan disparitas antar wilayah di dalamnya, prioritas pelatihan guru perlu diberikan kepada mere-

ka yang bertugas di sekolah-sekolah pelosok yang umumnya kualifikasi rata-ratanya lebih rendah dan

bahkan seringkali gurunya tidak lengkap jumlahnya. Di tempat-tempat seperti ini kapasitas guru dituntut

untuk lebih tinggi karena peran yang dimainkannya seringkali lebih banyak dibanding guru-guru di

sekolah perkotaan yang relatif serba lebih lengkap.

Dalam bab sebelumnya juga dikemukakan bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan di

masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan masih sangat kecil. Mereka lebih cenderung menyuruh

anak-anak mereka untuk bekerja atau membantu mencari nafkah keluarga dibanding untuk menyuruh

anak-anak mereka sekolah, bahkan terhadap anak-anak perempuan mereka, orangtua lebih cenderung

menikahkan anak-anak perempuan mereka pada usia muda. Upaya meningkatkan kesadaran akan pent-

ingnya pendidikan bagi masyarakat pedesaan ini, tidak bisa dilepaskan dari upaya memperbaiki kualitas

pendidikan itu sendiri. Secara singkat, perbaiki kualitas pendidikan kemudian tunjukkan kepada masyara-

kat bahwa bersekolah dan tidak akan memiliki perbedaan yang signifikan, maka masyarakat dengan

sendirinya akan percaya pada pendidikan.

Gambar 3.21. Meningkatkan IPM Dari Perspektif Sektor Pendidikan

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 67: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 56

4.2 Prioritas Kedua : Sektor Perekonomian

Meskipun Indeks Pengeluaran merupakan indeks penyusun IPM nomor dua paling kecil kontri-

businya terhadap capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat pada tahun 2016,

namun prioritas terhadap bidang ekonomi juga perlu dilakukan, mengingat indikator komponen penyusun

Indeks Pengeluaran, yakni pengeluaran yang disesuaikan (indeks daya beli)merupakan indikator kompo-

nen yang pertumbuhannya cukup lambat dibandingkan dengan Indeks pendidikan dan memberikan

kontribusi terkecil kedua setelah Indeks Pendidikan, bahkan lebih lambat dan lebih kecil bila dibanding-

kan dengan Indeks Pendidikan dengan indikator harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah

(RLS)..

Begitu pula halnya dalam menyusun program-program kerja ke depan, Pemerintah Daerah Provinsi

Papua Barat juga perlu memberikan prioritas utama dalam upaya meningkatkan kemampuan daya beli

masyarakat guna meningkatkan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat.

Satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat adalah pendapatan.

Karena pendapatan menjadi ukuran untuk melihat sejauhmana daya beli masyarakat meningkat atau

tidak. Sedangkan tingkat pendapatan masyarakat itu sendiri diukur dari seberapa besar pendapatan

tersebut bisa memenuhi kebutuhan terhadap 96 komoditas. Maksudnya, apakah pendapatan yang di-

peroleh bisa memenuhi kebutuhan seperti membeli beras lokal, daging sapi, daging ayam, membayar

listrik, membayar sewa rumah, membeli air minum, membeli ikan atau komoditas lainnya. Manakala

masyarakat bisa memenuhi kebutuhan 96 komoditas tersebut, maka bisa dikatakan indeks daya beli

masyarakat bagus atau membaik.

Namun daya beli tidaklah berdiri sendiri, karena ia merupakan tujuan akhir. Sedangkan proses un-

tuk mencapai daya beli itu sendiri ada pada pengembangan perekonomian. Peningkatan indeks

perekonomian (indeks daya beli) merupakan akibat dari pengembangan perekonomian. Sementara ber-

bicara persoalan perekonomian, ia pun tidak berdiri sendiri karena saling terkait dengan kondisi ekonomi

makro nasional. Bila terjadi guncangan ekonomi makro nasional, maka dengan sendirinya memberikan

pengaruh kepada perekonomian Provinsi Papua Barat. Hal serupa juga menyangkut kebijakan investasi,

masalah kepastian hukum, dan sebagainya. Singkat kata, kebijakan ekonomi tidaklah berdiri tunggal,

karena sangat bergantung kepada ekonomi makro nasional dan kebijakan pemerintah pusat.

Atas dasar hal tersebut di atas, maka penting adanya untuk menyadarkan Pemerintah Daerah

Provinsi Papua Barat terhadap rendahnya pencapaian Indeks Pengeluaran di masyarakat. Atau jika

dipandang perlu, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat dapat melakukan berbagai terobosan dan

kebijakan. Misalnya, alokasi anggaran APBD bisa lebih difokuskan kepada peningkatan daya beli dengan

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 68: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 57

merumuskan tujuan bersama dengan menempatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti

organisasi kemasyarakatan (ormas), perguruan tinggi (akademisi) dan lembaga swadaya masyarakat

(LSM) sebagai leading sector dalam peningkatan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Provinsi Papua Barat. Upaya ini akan menjadikan para pemangku kepentingan sebagai ujung tombak

dalam peningkatan daya beli masyarakat yang kemudian juga akan memunculkan kreativitas secara

bersama-sama untuk membuat masyarakat lebih sejahtera.

Atau juga misalnya dengan menciptakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya, karena faktor yang

mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat adalah lapangan pekerjaan yang pada akhirnya akan

mendatangkan penghasilan atau upah bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya employment gen-

erating growth strategy yang meliputi (a) komitmen politik untuk mencapai kesempatan kerja penuh; (b)

pembangunan sumber daya manusia, termasuk pelatihan kembali tenaga kerja untuk mengantisipasi

tantangan dan perubahan global; (c) pemberdayaan usaha kecil dan sektor informal; dan (d) meningkat-

kan akses pada tanah sebagai salah satu faktor produksi utama sektor pertanian.

Untuk mewujudkan komitmen politik untuk mencapai kesempatan kerja penuh, perlu untuk secara

sadar mengarahkan keputusan investasi publik dan instrumen kebijakan untuk mengarahkan dinamika

sektor swasta pada penciptaan kesempatan kerja baru. APBD sebagai salah satu instrumen fiskal ter-

penting perlu difokuskan pada kegiatan-kegiatan prioritas yang berorientasi pada penciptaan lapangan

kerja dan dapat menjadi media untuk membangun komitmen bersama antar para pemaku kepentingan

(stakeholder).

Di bidang sumber daya manusia, pelatihan kembali tenaga kerja professional dan teknisi seyog-

yanya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan kemudian mengikuti standar kebutuhan teknis.

Sementara untuk memperkuat sektor pertanian yang menjadi andalan Provinsi Papua Barat sebagai

lapangan usaha yang paling besar menyerap tenaga kerja, pelatihan perlu diberikan kepada para petani

melalui perbaikan lembaga penyuluhan kembali agar intensitas bimbingan dan penyuluhan dapat berke-

lanjutan.

Upaya memperkuat usaha kecil dan sektor informal sebaiknya difokuskan pada perluasan akses

terhadap kredit usaha kecil yang disertai dengan bimbingan. Langkah ini perlu difasilitasi pemerintah

daerah terkait dengan penyelesaian kredit macet yang terjadi maupun pengembangan skim-skim lain

yang dapat membuat kelompok usaha kecil memiliki kemampuan dalam mengelola kredit, termasuk di

dalamnya pembinaan usaha kecil agar lebih memahami persyaratan administrasi dan keuangan. Pem-

binaan yang lain adalah pembinaan usaha bisnis terkait dengan pemasaran dan perbaikan mutu produk

yang selama ini menjadi kendala utama usaha kecil.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 69: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 58

Akses pada tanah perlu diperluas dan diarahkan pada upaya untuk menjadikannya sebagai asset

dalam pengertian yang luas yang bisa mendukung akses pada fasilitas kredit modal kerja. Sertifikasi

tanah yang dimiliki para petani perlu diintensifkan dalam rangka membantu petani memperoleh kredit

maupun bantuan lainnya. Akses terhadap tanah juga dapat dilakukan bagi buruh tani ataupun petani

penggarap untuk dapat memiliki hak pakai dari lahan-lahan produktif yang tidak diusahakan.

Dan terakhir, fokus juga perlu ditujukan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang rentan ter-

hadap gejolak, khususnya kenaikan harga kebutuhan pokok. Kelompok ini termasuk ke dalam kelompok

paling miskin sepanjang hidupnya yakni kelompok yang tidak pernah keluar dari garis kemiskinan. Ke-

lompok ini perlu dibantu dengan subsidi pemerintah, baik melalui beras miskin (RASKIN), bantuan lang-

sung tunai (BLT), pelayanan gratis kesehatan (JAMKESMAS), maupun jangkauan gratis akses pendidi-

kan (BSM). Kelompok-kelompok ini umumnya terdapat di daerah-daerah tertinggal seperti di desa-desa

dan distrik-distrik pedalaman.

Gambar 3.22. Meningkatkan IPM Dari Perspektif Sektor Ekonomi

4.3 Prioritas Ketiga : Sektor Kesehatan

Sektor kesehatan adalah prioritas ketiga dalam pembangunan manusia setelah sektor perekonomi-

an dan sektor pendidikan. Banyak dan kompleksnya permasalahan kesehatan yang dihadapi Pemerintah

Provinsi Papua Barat akan membutuhkan penanganan bertahap dengan langkah-langkah yang strategis

demi memaksimalkan kapasitas fiskal, sumber daya manusia dan kelembagaan yang tersedia. Dengan

latar belakang untuk memperbaiki capaian pembangunan manusia dan menyiapkan sumber daya manu-

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 70: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 59

sia bagi pembangunan yang lebih bermakna maka langkah-langkah strategis tersebut perlu dilaksanakan

secara fokus.

Di sektor kesehatan, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat mesti lebih intensif dalam hal perbai-

kan angka harapan hidup dan penurunan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI),

yang banyak dipengaruhi oleh faktor pelayanan kesehatan, lingkungan dan perilaku masyarakat.

Intervensi pelayanan diarahkan dalam rangka memperbaiki faktor lingkungan dan perilaku masyara-

kat. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas,

puskesmas pembantu, tempat praktek serta tersedianya tenaga-tenaga dokter, bidan dan tenaga para-

medis lain hingga ke pelosok-pelosok daerah terpencil yang terletak di daerah pedalaman perlu ditingkat-

kan untuk menunjang kualitas kesehatan penduduk.

Di bidang pelayanan kesehatan dasar, upaya-upaya pembangunan seyogyanya difokuskan pada

peningkatan keselamatan ibu hamil dan ibu melahirkan guna menurunkan angka kematian ibu, pela-

yanan imunisasi ibu, bayi dan balita, pelayanan kesehatan di daerah terpencil dan akses pada fasilitas

dan sanitasi lingkungan.

Terkait upaya peningkatan status gizi masyarakat, agenda mendesak yang perlu dilakukan adalah

dengan cara pemantauan tumbuh kembang balita dan pemberian suplemen gizi.

Di bidang sumber daya manusia, prioritas perlu diberikan pada pengembangan tenaga paramedis

yang handal. Hambatan yang dihadapi selama ini untuk merekrut tenaga medis dokter seyogyanya tidak

dijadikan hambatan yang terlalu mengganggu dalam upaya memperbaiki sumber daya manusia

kesehatan dan pelayanan kesehatan secara umum.

Gambar 3.23 Meningkatkan IPM Dari Perspektif Sektor Kesehatan

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 71: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 60

4.4 Kesimpulan

Sebagai langkah akhir dari penyusunan publikasi ini, dapat kami berikan beberapa kesimpulan dan

saran sebagai berikut,

Pertama, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat perlu menetapkan tujuan dan sasaran rinci

pembangunan manusia. Berbagai rumusan yang terasa terlalu umum seperti meningkatkan pendidikan,

kesehatan dan standar hidup yang layak, tidak banyak membantu. Tujuan dan sasaran yang lebih rinci

tersebut bermanfaat dalam memproses penyusunan program / kegiatan pembangunan, perkembangann-

ya dapat dimonitor dan hasilnya dapat dievaluasi secara terukur.

Kedua, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat perlu menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi,

semacam social summit dalam rangka menggalang kesepakatan sosial pembangunan manusia di

Provinsi Papua Barat. Melalui pertemuan yang inklusif dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder),

tujuan dan sasaran pembangunan manusia dapat diangkat menjadi komitmen politik semua pihak.

Ketiga, pembagian kerja antara pemerintah daerah dan masyarakat di antara berbagai tingkatan

pemerintahan perlu segera ditetapkan. Hal ini penting untuk menghindari duplikasi dan atau kekosongan

dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam pembagian kerja ini, perlu dipertimbangkan dua hal, yaitu

keunggulan relatif masing-masing serta sinergi antar komponen tersebut. Sementara itu pembagian kerja

antara pemerintah dengan swasta adalah dalam kaitannya dengan penyediaan barang dan jasa kepent-

ingan bersama atau perseorangan. Sinergi juga diperlukan antara kegiatan swasta, pemerintah pusat

dan pemerintah daerah agar daya guna dan hasil guna pengeluaran swasta dan pemerintah meningkat.

Keempat, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat perlu menyusun rencana dan biaya-biaya pro-

gram pembangunan manusia serta strategi pembiayaannya. Taksiran kebutuhan dana pembangunan

dan sumber dana pembangunan ini merupakan langkah awal menuju ke allocative efficiency and opera-

tional efficiency. Langkah ini juga akan menyadarkan kepada kita semua bahwa tidak ada daerah yang

terlalu miskin untuk segera memulai pembangunan manusia.

Kelima, program pembangunan manusia yang sekarang sedang dilaksanakan perlu dievaluasi

efektivitas dan efisiensinya. Disamping itu, evaluasi juga perlu untuk pertanggung gugatan program-

program pembangunan. Tidak pada tempatnya kalau kita dari tahun ke tahun selalu meningkatkan alo-

kasi dana untuk program-program pembangunan yang ternyata tidak membantu memecahkan permasa-

lahan riil yang dihadapi masyarakat. Hasil evaluasi juga dapat dimanfaatkan untuk menyusun pem-

biayaan program-program pembangunan ke depan. Semua itu penting untuk meningkatkan hasil guna

dan daya guna dari dana pembangunan yang masih terbatas.

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 72: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 61

LAMPIRAN TABEL-TABEL

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 73: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 74: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 63

Tabel 5.1

Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 67,35 67,40 67,62 67,72 67,84

Kaimana 62,89 63,21 63,57 63,59 63,79

Teluk Wondama 57,81 58,04 58,36 58,66 58,96

Teluk Bintuni 57,94 58,13 58,42 59,12 59,48

Manokwari 67,22 67,34 67,60 67,69 67,84

Sorong Selatan 64,97 65,08 65,34 65,35 65,49

Sorong 64,90 64,99 65,23 65,25 65,39

Raja Ampat 63,81 63,84 64,05 64,06 64,16

Tambrauw 58,39 58,48 58,72 59,02 59,16

Maybrat 64,39 64,43 64,65 64,65 64,73

Manokwari Selatan 66,25 66,40 66,67 66,68 66,82

Pegunungan Arfak 66,17 66,25 66,49 66,49 66,61

Kota Sorong 67,84 67,96 69,02 69,04 69,36

PAPUA BARAT 64,88 65,05 65,14 65,19 65,30

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 75: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 64

Tabel 5.2

Harapan Lama Sekolah (HLS) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 13,08 13,17 13,25 13,26 13,51

Kaimana 10,56 11,02 11,19 11,23 11,46

Teluk Wondama 9,61 9,97 10,26 10,33 10,48

Teluk Bintuni 10,87 10,94 11,21 11,30 11,62

Manokwari 12,57 12,96 13,15 13,38 13,51

Sorong Selatan 11,14 11,33 11,52 11,71 11,93

Sorong 12,24 12,35 12,38 12,60 12,81

Raja Ampat 11,07 11,20 11,34 11,44 11,65

Tambrauw 10,02 10,46 10,73 10,80 10,89

Maybrat 11,74 11,92 12,11 12,21 12,31

Manokwari Selatan - 12,13 12,18 12,19 12,20

Pegunungan Arfak - 11,00 11,05 11,06 11,07

Kota Sorong 13,55 13,76 13,95 13,99 14,00

PAPUA BARAT 11,45 11,67 11,87 12,06 12,26

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 76: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 65

Tabel 5.3

Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 7,96 7,97 8,09 8,12 8,22

Kaimana 7,13 7,36 7,61 7,65 7,83

Teluk Wondama 6,36 6,43 6,50 6,52 6,57

Teluk Bintuni 6,98 7,28 7,44 7,45 7,57

Manokwari 7,47 7,58 7,70 7,75 7,85

Sorong Selatan 6,50 6,64 6,75 6,84 6,95

Sorong 6,79 7,06 7,14 7,46 7,57

Raja Ampat 6,58 7,16 7,32 7,39 7,53

Tambrauw 4,27 4,40 4,53 4,61 4,70

Maybrat 5,91 5,92 5,96 6,22 6,33

Manokwari Selatan - 6,12 6,20 6,21 6,32

Pegunungan Arfak - 4,79 4,85 4,86 4,90

Kota Sorong 10,59 10,82 10,86 10,87 10,91

PAPUA BARAT 6,87 6,91 6,96 7,01 7,06

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 77: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 66

Tabel 5.4

Pengeluaran Disesuaikan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2012 - 2016

(Dalam Ribu Rupiah)

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 5.793 6.662 6.731 6.796 6935

Kaimana 6.850 7.167 7.224 7.341 7538

Teluk Wondama 6.884 7.162 7.222 7.317 7434

Teluk Bintuni 8.537 8.862 8.929 9.129 9208

Manokwari 10.584 10.987 11.069 11.328 11440

Sorong Selatan 5.267 5.483 5.520 5.550 5644

Sorong 5.706 6.365 6.436 6.457 6563

Raja Ampat 6.729 7.020 7.061 7.191 7393

Tambrauw 4.020 4.339 4.405 4.431 4561

Maybrat 4.309 4.519 4.562 4.576 4692

Manokwari Selatan - 4.109 4.149 4.578 4702

Pegunungan Arfak - 4.522 4.563 4.570 4594

Kota Sorong 11.786 12.455 12.515 12.590 12858

PAPUA BARAT 6.732 6.896 6.944 7.064 7175

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 78: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 67

Tabel 5.5

Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 72,85 72,92 73,27 73,42 73,60

Kaimana 65,99 66,48 67,04 67,06 67,37

Teluk Wondama 58,18 58,53 59,01 59,48 59,94

Teluk Bintuni 58,37 58,66 59,11 60,19 60,74

Manokwari 72,65 72,84 73,24 73,37 73,60

Sorong Selatan 69,19 69,36 69,75 69,77 69,98

Sorong 69,07 69,21 69,59 69,62 69,83

Raja Ampat 67,40 67,44 67,77 67,78 67,94

Tambrauw 59,06 59,20 59,57 60,04 60,25

Maybrat 68,29 68,36 68,69 68,70 68,82

Manokwari Selatan 71,15 71,38 71,81 71,81 72,03

Pegunungan Arfak 71,03 71,16 71,53 71,53 71,71

Kota Sorong 73,60 73,78 75,42 75,45 75,94

PAPUA BARAT 69,05 69,31 69,44 69,52 69,69

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 79: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 68

Tabel 5.6

Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 62,87 63,14 63,77 63,89 64,93

Kaimana 53,11 55,16 56,44 56,68 57,93

Teluk Wondama 47,89 49,12 50,16 50,43 51,01

Teluk Bintuni 53,45 54,68 55,92 56,23 57,51

Manokwari 59,84 61,27 62,19 62,97 63,69

Sorong Selatan 52,61 53,58 54,49 55,33 56,31

Sorong 56,62 57,83 58,21 59,88 60,82

Raja Ampat 52,67 54,97 55,89 56,41 57,46

Tambrauw 42,06 43,70 44,90 45,37 45,92

Maybrat 52,29 52,86 53,50 54,64 55,29

Manokwari Selatan - 54,09 54,51 54,55 54,96

Pegunungan Arfak - 46,53 46,88 46,93 47,08

Kota Sorong 72,93 74,30 74,94 75,11 75,26

PAPUA BARAT 54,70 55,46 56,17 56,86 57,59

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 80: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 69

Tabel 5.7

Indeks Pengeluaran Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 53,45 57,72 58,04 58,33 58,95

Kaimana 58,57 59,96 60,20 60,69 61,50

Teluk Wondama 58,73 59,94 60,19 60,59 61,07

Teluk Bintuni 65,30 66,44 66,67 67,35 67,61

Manokwari 71,87 73,01 73,24 73,95 74,25

Sorong Selatan 50,55 51,77 51,98 52,14 52,66

Sorong 52,99 56,33 56,67 56,77 57,27

Raja Ampat 58,03 59,32 59,50 60,06 60,91

Tambrauw 42,29 44,62 45,08 45,27 46,15

Maybrat 44,41 45,86 46,15 46,24 47,01

Manokwari Selatan - 42,96 43,25 46,26 47,08

Pegunungan Arfak - 45,89 46,16 46,21 46,37

Kota Sorong 75,16 76,84 76,99 77,17 77,82

PAPUA BARAT 58,04 58,78 58,99 59,51 59,99

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 81: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 70

Tabel 5.8

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2012 - 2016

Kabupaten / Kota 2012 2013 2014 2015 2016

Fakfak 62,56 64,29 64,73 64,92 65,55

Kaimana 58,99 60,36 61,07 61,33 62,15

Teluk Wondama 54,69 55,65 56,27 56,64 57,16

Teluk Bintuni 58,84 59,73 60,40 61,09 61,81

Manokwari 67,86 68,81 69,35 69,91 70,34

Sorong Selatan 56,87 57,73 58,24 58,60 59,20

Sorong 59,18 60,86 61,23 61,86 62,42

Raja Ampat 59,06 60,36 60,86 61,23 61,95

Tambrauw 47,18 48,69 49,40 49,77 50,35

Maybrat 54,13 54,93 55,36 55,78 56,35

Manokwari Selatan - 54,95 55,32 56,59 57,12

Pegunungan Arfak - 53,36 53,69 53,73 53,89

Kota Sorong 73,89 74,96 75,78 75,91 76,33

PAPUA BARAT 60,30 60,91 61,28 61,73 62,21

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 82: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016 71

Tabel 5.9

Laju Pertumbuhan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

Tahun 2011 - 2016

Kabupaten / Kota 2011-

2012

2012-

2013

2013-

2014

2014-

2015

2015-

2016

Fakfak 0,99 2,78 0,67 0,30 0,97

Kaimana 1,93 2,31 1,19 0,42 1,34

Teluk Wondama 1,78 1,74 1,12 0,67 0,91

Teluk Bintuni 1,68 1,51 1,12 1,13 1,19

Manokwari 0,86 1,41 0,79 0,80 0,62

Sorong Selatan 1,55 1,51 0,88 0,63 1,02

Sorong 1,05 2,85 0,60 1,02 0,91

Raja Ampat 1,18 2,20 0,82 0,62 1,17

Tambrauw 2,63 3,19 1,47 0,75 1,16

Maybrat 1,58 1,47 0,78 0,77 1,02

Manokwari Selatan - - 0,68 2,30 0,94

Pegunungan Arfak - - 0,62 0,07 0,30

Kota Sorong 1,51 1,45 1,08 0,17 0,56

PAPUA BARAT 0,67 1,01 0,61 0,74 0,78

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id

Page 83: papuabarat.bps.go · II. Metodologi 7 2.1 Sejarah Penghitungan IPM 7 2.2 Pengukuran Pembangunan Manusia 7 2.3 Perubahan Metodologi IPM 9 2.4 Cakupan Perubahan Metodologi 11 2.5 Dampak

https:

//pap

uabar

at.b

ps.go.id