digilib.uns.ac.id · 1 pengaruh akupunktur titik feishu (bl-13) dan zusanli (st-36) pada inflamasi...
TRANSCRIPT
1
PENGARUH AKUPUNKTUR TITIK FEISHU (BL-13)
DAN ZUSANLI (ST-36) PADA INFLAMASI DAN
AIRWAY REMODELING MENCIT
MODEL ASMA KRONIK
(KAJIAN IMUNOPATOBIOLOGI MOLEKULER)
DISERTASI
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor
Program Studi Ilmu Kedokteran
Minat Utama Patobiologi dan Patomekanisme
Oleh
IDA NURWATI
NIM : T 501108006
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN (S-3)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
PENGARUH AKUPUNKTUR TITIK FEISHU (BL-13)
DAN ZUSANLI (ST-36) PADA INFLAMASI DAN
AIRWAY REMODELING MENCIT
MODEL ASMA KRONIK
(KAJIAN IMUNOPATOBIOLOGI MOLEKULER)
DISERTASI
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor
Program Studi Ilmu Kedokteran
Minat Utama Patobiologi dan Patomekanisme
Oleh
IDA NURWATI
NIM : T 501108006
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN (S-3)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Halaman Pengesahan Disertasi
PENGARUH AKUPUNKTUR TITIK FEISHU (BL-13)
DAN ZUSANLI (ST -36) PADA INFLAMASI DAN
AIRWAY REMODELING MENCIT
MODEL ASMA KRONIK
(KAJIAN IMUNOPATOBIOLOGI MOLEKULER)
DISERTASI
Oleh
IDA NURWATI
NIM. T501108006
Komisi
Promotor
Nama Tanda Tangan Tanggal
Promotor Prof. Dr. Bambang Purwanto, dr, Sp.PD-KGH,
FINASIM
NIP. 19480719 197609 1 001
Ko-
Promotor I
Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr.,Sp.PA (K)
NIP. 19490317 197609 1 001
Ko-
Promotor II
Prof. Dr. Koosnadi Saputra, dr, Sp.Rad
NIP. 19511226 198102 1 001
Telah dinyatakan memenuhi syarat,
Pada Tanggal ….. 2015
Kepala Program Studi Ilmu Kedokteran S3
Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Suradi, dr, Sp.P (K) MARS
NIP. 19470521 197609 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
]
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN
PUBLIKASI
Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa :
1. Disertasi yang berjudul :” Pengaruh Akupunktur Titik Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36) pada Inflamasi dan Airway Remodeling Mencit Model Asma
Kronik” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya
ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis dengan acuan yang disebutkan
sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata
di dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur- unsur plagiasi,
maka saya bersedia menerima sangsi, baik disertasi beserta gelar doktor saya
dibatalkan serta diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi disertasi pada jurnal atau forum ilmiah
harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai
institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi
ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, 21 Agustus 2015
Mahasiswa,
Ida Nurwati
T 501108006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirobbil‟alaamiin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat
ALLAH Subhanahu Wa Ta„ala atas segala rahmat, hidayah dan inayahNYA yang
dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga
hasil disertasi ini dapat menjadi amal jariyah penulis dan menjadi ilmu yang
bermanfaat di jalan Allah SWT. Oleh karena itu, perkenankan penulis
menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan izin dan fasilitas selama pendidikan di
Program Studi Ilmu Kedokteran (S-3) di Universitas Sebelas Maret, hingga
penyusunan disertasi ini.
2. Prof. Dr. Mohammad Furqon Hidayatullah M.Pd., selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
izin dan fasilitas selama pendidikan di Program Studi Ilmu Kedokteran (S-3)
di Universitas Sebelas Maret, hingga penyusunan disertasi ini.
3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr. SpPD-KR, FINASIM selaku mantan
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan
Prof. Dr. Hartono., dr., M.Si., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas izin belajar serta support yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Doktor.
4. Prof. Dr. Suradi, dr, Sp.P (K) MARS selaku Kepala Program Studi Ilmu
Kedokteran (S-3), yang banyak memberikan pengarahan, bimbingan, support
yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Doktor.
5. Prof. Dr. A. Guntur Hermawan, dr, SpPD-KPTI, FINASIM (almarhum)
selaku mantan Kepala Program Studi Ilmu Kedokteran (S-3), Pembimbing
Akademik dan Promotor, yang banyak memberikan pengarahan, bimbingan,
support dan tambahan wawasan keilmuan sampai akhir hayat beliau. Semoga
Ilmu nya bermanfaat serta Allah SWT melipat gandakan pahalanya dan
menjadikan penghuni surga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
6. Prof. Dr. Bambang Purwanto, dr, Sp.PD-KGH, FINASIM, Promotor yang
telah banyak memberikan pengarahan dan tambahan wawasan keilmuan.
Beliau selaku Promotor yang sangat penuh dengan kesibukan dan berbagai
tugas, namun masih selalu meluangkan waktu untuk membimbing,
mengoreksi dan memberikan saran perbaikan disertasi ini.
7. Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp.PA (K), selaku Ko-Promotor senantiasa
menyediakan waktu dan membimbing untuk menyempurnakan disertasi
penulis. Beliau telah membimbing penulis secara baik. Beliau senantiasa
berpandangan kedepan dan menekankan untuk selalu mengikuti
perkembangan ilmu.
8. Prof. Dr. Koosnadi Saputra, dr., Sp.Rad, selaku Ko-Promotor membimbing
penulis sampai selesai disertasi penulis. Beliau selalu memberikan masukan
hal-hal yang baru dan ilmunya yang luas tentang akupunktur, beliau
senantiasa memberikan wawasan perkembangan keilmuan untuk
menyempurnakan disertasi penulis. Beliau memberi dorongan penulis untuk
tampil berbicara di konggres Internasional akupunktur, sehingga bisa
mendapat as the First Winner of Young Scientist Symposium. Beliau yang
membantu penulis sehingga penelitian ini bisa diterima dan diterbitkan di
jurnal International terindex scopus Medical Acupuncture Vol 27 (4), 2015.
9. Prof. dr. Edi Dharmana. PhD. Sp ParK, narasumber dan penguji yang banyak
memberi saran dan masukan demi perbaikan penulisan disertasi ini. Semoga
ALLAH SWT memberikan balasan pahala yang berlipat ganda.
10. Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, Ph.D, yang banyak membantu dalam
memberikan konsultasi metodologi dan analisis penelitian sehingga penelitian
ini dapat diselesaikan, penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga
semoga ALLAH SWT berkenan memberikan pahala yang berlipat ganda.
11. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D ; Prof. Dr. Agr. Sc.Ir. Vita Ratri Cahyani MP;
Prof. Dr. Hartono., dr., M.Si.; Prof. Dr. Suradi, dr, Sp.P (K) MARS; Prof. Dr.
Bambang Purwanto, dr, Sp.PD-KGH, FINASIM; Prof. Dr. Ambar Mudigdo,
dr., Sp.PA (K); Prof. Dr. Koosnadi Saputra, dr., Sp.Rad; Prof. Edi
Dharmana., dr., PhD. Sp ParK; Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, Ph.D;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Prof. Dr. Suroto, dr.,Sp.S (K); Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo, dr., PAK,
MM, M.Kes dan Dr. Risya Cilmiaty, drg, Msi, SpKG., yang telah
memberikan banyak pertanyaan, kritik, masukan dan saran guna menuju
perbaikan dalam penulisan disertasi ini.
11. Diding HP., dr., M.Si, Sp PD, M.Kes; Muthmainah, dr., M.Kes.; Muthmainah
dr.,MneuroSc., penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga karena
selama ini sangat membantu dalam proses pendidikan Doktor. Semoga
ALLAH SWT memberikan balasan pahala yang berlipat ganda.
12. Seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Kedokteran (S-3) Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, selaku narasumber dan
penguji yang telah memberikan ilmu dan wawasan yang sangat bermanfaat
bagi pendidikan penulis di progam pendidikan Doktor (S-3) ini.
13. Segenap staf sekretariat Program Studi Ilmu Kedokteran (S-3) Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang banyak membantu
dalam proses belajar, mulai dari awal masuk sampai penulis dapat
menyelesaikan pendidikan Doktor.
14. Sugiono drh., M.Sc dan Sitarina Widyarini., drh. M.P., Ph.D. Penulis
sampaikan terima kasih yang tak terhingga, karena membantu dalam teknis
pelaksanaan proses realisasi dan pembacaan preparat penelitian.
15. Pimpinan dan seluruh staf Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu
(LPPT) unit IV Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atas
kesediaannya merawat hewan percobaan.
17. Suswanto, dr., M.Sc, SpPK; Umi S Intansari, Sp.PK-K, M.Kes dan Farid
Abdullah atas kesediaan membantu pemeriksaan sampel darah.
18. Guru-guru penulis pada masa pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas di Kudus, juga para dosen penulis di
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, dan para dosen
Program Pascasarjana (S2) Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran
Universitas Gadja Mada Yogjakarta, penulis sampaikan penghargaan yang
setinggi tingginya atas didikan dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
19. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Kedokteran (S-3)
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan I /2011. Semoga
semua dapat menyelesaikan pendidikan program pendidikan Doktor (S3)
nya.
20. Semua teman sejawat di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas semua bantuan,
dorongan dan kerja samanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan Doktor.
21. Semua teman sejawat di tim akupunktur, terima kasih atas semua bantuan,
dorongan dan kerja samanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan Doktor.
22. Ayah penulis almarhum Muzamil dan ibu penulis almarhumah Hindun atas
perjuangannya dalam membesarkan, mensupport, mendoakan dan
membentuk kepribadian penulis. Ayah mertua almarhum Chalimi dan ibu
almarhum Suti‟ah, serta keluarga besar Muzamil dan keluarga besar Chalimi
yang senantiasa menasehati dan mendoakan penulis sekeluarga untuk
mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
23. Suami tercinta penulis Syaiful Huda, dr., yang telah merelakan, mendorong,
mensupport penulis dalam mengikuti pendidikan Doktor, yang senantiasa
mendoakan penulis, tidak ada kata yang dapat penulis sampaikan selain
syukur kehadirat-NYA. Semua ini telah menjadi kekuatan bagi penulis untuk
menyelesaikan pendidikan Doktor.
24. Anak penulis yaitu Hasna Hadaina Sabila, S.KG; Khairunnisa Nurul Huda,
dan Luthfan Hassan Salim, kalian adalah amanah karunia ALLAH SWT,
sikap, dorongan dan doa kalian selama ini telah menjadikan semangat,
kekuatan untuk menyelesaikan pendidikan Doktor.
25. Semua pihak dan handai taulan serta para sejawat dokter dan dosen yang
tidak dapat penulis sebut satu persatu, yang secara langsung maupun tidak
langsung telah ikut membantu dalam menyelesaikan disertasi penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Penulis sebagai manusia biasa tidak mungkin lepas dari khilaf dan kesalahan
baik dalam ucapan maupun tindakan, terutama selama penulis menjalani
pendidikan Doktor (S-3) ini. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Semoga ALLAH SWT senantiasa melimpahkan
rahmat dan karuniaNYA. Amiin Ya Robbal‟alamin.
Surakarta, Nopember 2015
Penulis
Ida Nurwati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
RINGKASAN DISERTASI
PENGARUH AKUPUNKTUR TITIK FEISHU (BL-13)
DAN ZUSANLI (ST-36) PADA INFLAMASI DAN
AIRWAY REMODELING MENCIT
MODEL ASMA KRONIK
(KAJIAN IMUNOPATOBIOLOGI MOLEKULER)
A. Latar Belakang
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju
maupun di negara-negara sedang berkembang. Word Health Organization (WHO)
memperkirakan, 255.000 orang meninggal karena asma pada tahun 2005 (WHO,
2010) dan 235 juta orang saat ini menderita asma (WHO, 2015).
Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronik, yang ditandai dengan
peningkatan jumlah eosinofil, sel mast, produksi Ig E, hipersekresi lendir, fibrosis
sub epitel, dan airway hyperresponsiveness (AHR) (Broide, 2008). Terjadi
peningkatan neutrofil di saluran napas asma kronik eksaserbasi akut (Fahy, 2009),
yang akan menyebabkan berbagai tingkat perubahan struktur saluran napas yang
menunjukkan airway remodeling (Broide, 2008; Al-Muhsen and Hamid, 2010).
Tingkat keparahan dan kekronikan asma berkorelasi dengan kadar IL-17. Fungsi
sitokin IL-17 selama reaksi asma adalah mengatur mobilisasi neutrofil (Wang et
al., 2010). Asma neutrofilik sebagian besar resisten steroid, maka subtipe ini
sering menyebabkan asma berat (kronik) dan melibatkan TNF-α, IFN-, IL-17
dan IL-27 (Hansbro et al., 2011). Sindroma asma timbul karena gangguan sistem
imun dan gangguan saraf otonom. Gangguan saraf otonom berupa hiperaktivitas
saraf parasimpatis dan blockade terhadap reseptor β adrenergik (sistem saraf
simpatis) (Barnes, 2011a).
Akupunktur melalui : Local Reaction Inflamasi, Meridian Intercellular
Transduction, Cutaneo / somato Visceral Reflex dan Neural Transmission Neuro
Acupuncture (Saputra, 2003), menurunkan produksi sitokin Th-2, merangsang
peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan keseimbangan antara sitokin Th-1 dan
Th-2. Akupunktur memodulasi keseimbangan Th-1/Th-2 (Kim and Bae, 2010)
dan menurunkan jumlah eosinofil dan sel inflamasi di tikus diimunisasi
ovalbumin. Akupunktur membuat keseimbangan imunologis untuk
mempertahankan homeostasis (Kwon et al., 2012).
Akupuntur titik Feishu (BL-13) setinggi vertebra Thorax- 3 (Carneiro et. al.,
2010) akan merangsang serabut saraf simpatis. Akupunktur titik Zusanli (ST-36)
memiliki efek imunomodulator ganda baik dalam Th-1 atau Th-2 pada kondisi
patologis yang dominan, menuju keseimbangan imunologis untuk menjaga
homeostasis (Park et al., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
B. Tujuan Penelitian
Membuktikan dan menganalisis pengaruh akupunktur pada jumlah eosinofil,
neutrofil, kadar Interleukin-17 dan airway remodeling (ketebalan epitel
bronkiolus, ketebalan otot polos bronkiolus dan jumlah sel goblet bronkiolus)
mencit model asma kronik.
C. Metode Penelitian
Penelitian kuantitatif eksperimen laboratoris dengan rancangan post-test only
group designs. Mencit BALB/c, betina, 7 minggu, 20 - 30 gram, 32 ekor dibagi
dalam 4 kelompok, masing masing 8 ekor. Kelompok kontrol (K I), Kelompok
asma (K II), Kelompok terapi Akupunktur Feishu (K III) dan Kelompok terapi
akupunktur Feishu dan Zusanli (K IV). Mencit model asma alergi kronik yaitu
mencit disensitisasi pada hari ke-0 dan 14 dengan 10 µg ovalbumin (OVA) /
mencit dan 1 mg Alumunium hidroksida dalam 0,5 cc NaCl 0,9 % permencit,
intraperitoneal. Hari ke-21 sampai hari ke-63, mencit dipapar 1% OVA aerosol
dalam NaCl 0,9 % selama 30 menit setiap 3 kali / minggu selama 6 minggu.
Akupunktur dimulai hari-21, selama 15 menit, 3 kali / minggu selama 6 minggu.
Sampel diambil 24 jam setelah selesainya penelitian (hari ke-64). Program SPSS
for Windows Release 22.0 dan p<0,05 dipilih sebagai tingkat minimal
signifikansinya.
D. Hasil
Jumlah eosinofil antara kelompok kontrol (214 ± 61,7 / mm3 ) dan asma
kronik (307,5 ± 130,55 / mm3), mencit asma kronik jumlah eosinofil meningkat
secara bermakna pada p = 0,039. Setelah dilakukan akupunktur Feishu maka
jumlah eosinofil Asma + Feishu (180,5 ± 64,3 / mm3) terjadi penurunan yang
berbeda secara bermakna dengan p = 0,007. Kelompok asma yang dilakukan
akupunktur titik Feishu+Zusanli maka jumlah eosinofil (178,4 ± 70,6 / mm3) jika
dibanding mencit asma yang berbeda secata bermakna dengan p = 0,006 .
Jumlah neutrofil antara kelompok kontrol (19,75 ± 6.04 / mm3) dibanding asma
kronik (38,00 ± 14,00) terjadi peningkatan bermakna dengan p = 0,009. Setelah
diterapi akupunktur Feishu maka jumlah neutrofil (32,75 ± 10, 87/ mm3)
dibanding kelompok asma kronik mengalami penurunan tetapi tidak berbeda
secara bermakna dengan p = 0,674. Namun, setelah dilakukan akupunktur titik
Feishu+Zusanli maka jumlah neutrofil (21,00 ± 6,30 mm3) mengalami penurunan
jika dibanding mencit asma yang berbeda secara bermakna dengan p = 0,005.
Kadar IL-17 pada mencit kontrol adalah 136,13 ± 45,45 pg / mL. Paparan
OVA selama 6 minggu mampu meningkatkan kadar IL-17 sampai 206,63 ± 60,80
pg / mL, peningkatan bermakna (p = 0,003). Akupunktur Feishu (BL-13) pada
mencit asma bisa mengurangi kadar IL-17 sampai dengan 165,38 ± 20,84 pg /
mL, meskipun bila dibandingkan dengan kelompok asma penurunan secara
statistik tidak bermakna dengan p = 0,071. Kombinasi akupunktur Zusanli dan
Feishu pada mencit asma dapat menurunkan kadar IL-17 sampai 126,00 ± 39,35
pg / mL, penurunan bermakna (p = 0,001) bila dibandingkan dengan kelompok
asma.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Ketebalan epitel bronkiolus kelompok kontrol adalah 14,51 ± 1,20 µm.
Paparan OVA (asma) mampu meningkatkan ketebalan epitel sampai 36,64 ±
10,12 µm, peningkatan bermakna p = 0,001. Setelah terapi akupunktur Feishu
(19,64 ± 1,93 µm) maupun akupunktur Feishu+Zusanli 17,88 ± 3,20 µm maka
ketebalan epitel bronkiolus dibanding dengan kelompok asma mengalami
penurunan bermakna dengan p = 0,001.
Ketebalan otot polos bronkiolus kelompok kontrol adalah 6,34 ± 1,29 µm.
Paparan OVA (asma) meningkatkan ketebalan otot polos sampai 11,70 ± 3,16
µm, peningkatan bermakna p < 0,001. Kelompok terapi akupunktur Feishu (7,84
± 1,06 µm) maupun akupunktur Feishu+Zusanli (7,89 ± 2,49 µm) maka ketebalan
otot polos bronkiolus dibanding dengan kelompok asma mengalami penurunan
bermakna dengan p = 0,001 dan p=0,002.
Jumlah sel Goblet pada mencit kontrol adalah 5,63 ±8,11. Paparan OVA
selama 6 minggu meningkatkan jumlah sel Goblet sampai 48,50±15,01,
peningkatan bermakna (p = 0,001). Jumlah sel Goblet pada terapi Feishu menjadi
16,63± 13,97 dan terapi Feishu + Zusanli menjadi 15,00 ± 18,00. Akupunktur
Feishu dan kombinasi akupunktur Feishu + Zusanli dibandingkan dengan
kelompok asma terjadi penurunan yang bermakna dengan p= 0,002 dan 0=0,001.
E. Pembahasan
Penelitian ini menggunakan OVA selama 63 hari, 3 kali seminggu untuk
menginduksi asma alergi kronis pada mencit, mengakibatkan peningkatan jumlah
eosinofil, neutrofil, kadar IL-17 dan perubahan airway remodeling. Penelitian ini
sesuai dengan Locke et al., 2007; Barlianto, 2009 dan Faturrachman et al., 2012.
Hadiono (2013) yang melaporkan bahwa pemberian OVA selama 6 minggu pada
tikus Balb C meningkatkan kadar IL-17 darah.
Akupunktur Feishu (BL-13) pada Vertebra Thorakalis ke-3 (Yin, 2008), pada
daerah yang dipersarafi oleh serabut saraf sensoris medula spinalis segmen toraks,
sehingga jika titik-titik ini dirangsang maka secara segmental dapat memacu
sistem saraf simpatis. Serabut saraf simpatis yang keluar dari medula spinalis
segmen toraks 1-4 menginervasi bronkus dan percabangannya (Guyton, 2008).
Stimulasi sistem simpatis dapat menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang
merangsang reseptor β2 adrenergik (simpatik) pada otot polos yang
mengakibatkan bronkodilatasi (Price dan Wilson, 2006). Akupunktur Feishu pada
asma kronik dapat menurunkan jumlah eosinofil dan mengendalikan airway
remodeling, tetapi penurunan jumlah neutrofil dan kadar IL-17 tidak bermakna.
Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah titik akupunktur yang digunakan dalam
kelompok ini kurang. Carneiro et al., (2010) mengungkapkan bahwa akupunktur
menggunakan Feishu (BL - 13), Dazhui (VG - 14), MDC - 1 (Ding chuan), LU - 1
(Zhongfu), VC - 17 (Danzhong), ST - 36 (Zusanli) dan SP-6 (Sanyinjiao) untuk
menurunkan respon inflamasi pada tikus model asma. Yang et al. (2012)
menggunakan GV-14 (Dazhui), BL-12 (Fengmen), dan BL-13 (Feishu) sebagai
terapi tambahan bagi penderita asma alergi. Muthmainah (2011) menggunakan
Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST - 36) untuk mengurangi jumlah eosinofil
bronkiolus tikus model asma akut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) pada mencit asma kronis (K
IV), menurunkan jumlah eosinofil, neutrofil, kadar IL-17 darah, dan
mengendalikan airway remodeling mencit model asma kronik secara bermakna.
Hal ini sesuai dengan penelitian dari Kwon et al., (2012) yang melaporkan bahwa
elektroakupunktur ST-36 menurunkan asma alergi yang diinduksi ovalbumin
melalui modulasi sel T regulator CD4 + CD25
+.
Akupunktur, melalui aktivasi sistem saraf pusat, mengurangi produksi sitokin
Th-2, menginduksi peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan keseimbangan
antara sitokin Th-1 dan Th-2. Akupunktur memodulasi keseimbangan Th-1 / Th-2
(Kim and Bae, 2010). Asma (ovalbumin) meningkatkan produksi Th-2 sitokin
(Carneiro et al., 2010) Akupunktur dapat menyebabkan cedera jaringan yang
merangsang peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan keseimbangan antara
sitokin Th-1 dan Th-2. Akupunktur memodulasi keseimbangan Th-1 / Th-2 (Park,
et al., 2004). Akupunktur mengaktifkan Treg (Kwon, et al., 2012), yang menekan
Th-2 dan Th-17 (Akdis 2012). Akupunktur menurunkan jumlah eosinofil,
neutrofil, kadar IL-17 dan mengendalikan airway remodeling pada mencit model
asma kronis.
F. Simpulan
Akupunktur Feishu (BL-13) menurunkan jumlah eosinofil dan
mengendalikan airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan
jumlah sel Goblet) bronkiolus. Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
menurunkan jumlah eosinofil, neutrofil dan kadar IL-17 darah serta
mengendalikan airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos dan
jumlah sel Goblet) bronkiolus mencit model asma kronik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
SUMMARY
EFFECTS OF ACUPUNCTURE AT FEISHU (Bl-13) AND ZUSANLI (ST-36)
ON INFLAMATION AND AIRWAY REMODELLING IN MICE
MODEL OF CHRONIC ASTHMA
(MOLECULAR AND IMMUNOPATHOBIOLOGY STUDY)
A. Background
Asthma is a worldwide health problem both in developed and developing
country. World Health Organization (WHO) estimates that 255.000 people died
due to asthma in 2005 (WHO, 2010) while nowadays as much as 235 million
people suffer from asthma (WHO, 2015).
Bronchial asthma is a chronic inflammatory disease characterized by an
increase in the number of eosinophil, mast cell, Ig E production, mucous
hypersecretion, sub-epithelial fibrosis, and airway hyperresponsiveness (AHR)
(Broide, 2008). In chronic asthma with acute exacerbation, the number of
neutrophil in the airway is elevated (Fahy, 2009). This elevation causes some
degree of structural change in the airway leading to the airway remodeling
(Broide, 2008; Al-Muhsen and Hamid, 2010). The severity and chronicity of
asthma correlates with IL-17 level. The role of cytokine IL-17 in asthma is to
regulate neutrophil mobilization (Wang et al., 2010). Most of neutrophilic asthma
is resistant to steroid. Thus, this subtype frequently results in severe chronic
asthma and involves TNF-α, IFN-, IL-17 and IL-27 (Hansbro et al., 2011).
Asthma syndromes arise due to immune system and autonomic nerve dysfunction.
Autonomic nerve dysfunction appears as the hyperactivity of parasympathetic
nerve and blockade of β adrenergic receptor of the sympathetic nerve system
(Barnes, 2011a).
Acupuncture, through Local Inflammation Reaction , Meridian Intercellular
Transduction, Cutaneo/somato Visceral Reflex and Neural Transmission Neuro
Acupuncture (Saputra, 2003), decreases the production of cytokine Th-2,
stimulates cytokine Th-1, and restores the balance of cytokine Th-1 and Th-2.
Acupuncture modulates the equilibrium of Th-1/Th-2 (Kim and Bae, 2010) and
reduces the number of both eosinophil and inflammatory cells in mice immunized
with ovalbumin. Acupuncture creates a balance in the immune system to maintain
homeostasis (Kwon et al., 2012).
Acupuncture at Feishu (BL-13) at the level of vertebra Thorax- 3 (Carneiro et.
al., 2010) can stimulate sympathetic nerve. Acupuncture at Zusanli (ST-36) seems
to have immunomodulatory effects both on Th-1 and Th-2 in dominant pathologic
conditions leading to the equilibrium of the immune system to maintain
homeostasis (Park et al., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
B. Research Aim
To prove and analyze effects of acupuncture on the number of eosinophil,
neutrophil, interleukin-17 level and airway remodeling (epithelial thickness of
the bronchioles, smooth muscle thickness of the bronchioles and the number of
goblet cell of the bronchioles) in chronic asthma mice model.
C. Research Methods
This study was a quantitative laboratory experimental study with post-test
only group designs. Thirty two female BALB/c mice aged 7 weeks, weighed
20-30 grams were divided into four groups randomly and equally in number (8
mice per group) including: control group (KI), asthma group (K II) which
received ovalbumin (OVA), asthma group which received acupuncture at
Feishu (BL-13) (K III), and asthma group which received acupuncture at
Feishu (BL-13) and Zusanli (ST-36) (K IV).
Chronic allergic asthma model was made by sensitizing each mice with 10
µg of ovalbumin (OVA) and 1 mg of Aluminum hydroxide in 0,5 cc of NaCl
0,9 % intraperitoneally on day 0 and day 14 followed by aerosol exposure of
1% OVA in NaCl 0,9% starting from day 21 to 63. The aerosol exposure was
given for 30 minutes 3 times per week for 6 weeks. Acupuncture was given for
6 weeks from day 21 to 64 and was performed for 15 minutes 3 times /week.
Samples were collected 24 hours after the last day of the treatment (day 64).
Data were then analyzed with SPSS for Windows Release 22.0 program and
p<0,05 was chosen to be the minimal level of significance.
D. Results
The number of eosinophil in control group was 214 ± 61,7 / mm3
while in
chronic asthma group was 307,5 ± 130,55 / mm3. Elevation of eosinophil in
chronic asthma group was statistically significant (p=0,039). After acupuncture
at Feishu was performed, the number of eosinophil decreased significantly at
180,5 ± 64,3 / mm3
in asthma + Feishu group. Similarly, acupuncture at Feishu
and Zusanli decreased the number of eosinophil up to 178,4 ± 70,6 / mm3 ,
even with stronger level of significance at p=0,006.
The number of neutrophil in control group was 19,75 ± 6.04 / mm3
while
in chronic asthma group was 38,00 ± 14,00 / mm3. Elevation of neutrophil in
chronic asthma group was statistically significant (p=0,009). After acupuncture
at Feishu was performed, the number of neutrophil decreased to a level of
32,75 ± 10, 87/ mm3
but this reduction is not statistically significant (p=0,674).
However, acupuncture at Feishu and Zusanli could significantly decrease the
number of neutrophil up to 21,00 ± 6,30 mm3 (p=0,005).
The level of IL-17 in control group was 136,13 ± 45,45 pg / mL. OVA
exposure for 6 weeks was able to increase IL-17 level significantly up to
206,63 ± 60,80 pg / mL (p= 0,003). Acupuncture at Feishu could decrease IL-
17 level at 165,38 ± 20,84 pg / mL but this decrease was not statistically
significant when compared to asthma group (p=0,071). However, combination
of acupuncture at Feishu and Zusanli strengthened the reduction to a level of
126,00 ± 39,35 pg / mL which is significant statistically (p=0,001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Epithelial thickness of the bronchioles was 14,51 ± 1,20 µm. OVA
exposure significantly increased the thickness up to 36,64 ± 10,12 µm
(p=0,001). Significant reduction of epithelial thickness (p=0,001) were found
both after acupuncture at Feishu alone (19,64 ± 1,93 µm) and Feishu in
combination with Zusanli (17,88 ± 3,20 µm).
Smooth muscle thickness of the bronchioles was 6,34 ± 1,29 µm. OVA
exposure significantly increased the thickness up to 11,70 ± 3,16 µm
(p<0,001). Significant reduction of epithelial thickness were found both after
acupuncture at Feishu alone (7,84 ± 1,06 µm; p=0,001) and Feishu in
combination with Zusanli (7,89 ± 2,49 µm; p=0,002).
The number of Goblet cell in control group was 5,63 ±8,11. OVA exposure
significantly increased the quantis up to 11,70 ± 3,16 µm (p<0,001).
Significant reduction of epithelial thickness were found both after acupuncture
at Feishu alone (7,84 ± 1,06 µm; p=0,001) and Feishu in combination with
Zusanli (7,89 ± 2,49 µm; p=0,002).
E. Discussion
This study used OVA, given 3 times per week for 63 days, to induce
chronic allergic asthma in mice. The OVA sensitization was able to increase
the number of eosinophil, neutrophil, IL-17 level and airway remodeling. This
result is consistent with the findings from Locke et al., 2007; Barlianto, 2009
and Faturrachman et al.,2012. Hadinoto (2013) also reported that OVA
exposure for 6 weeks in Balb C mice elevated plasma IL-17.
Acupuncture at Feishu was performed at the 3rd
Thoracic vertebra, in areas
innervated by the thoracic segment of sensory nerves of the spinal cord. Thus,
stimulation of these acupoints can segmentally stimulates the sympathetic
nerve system. The sympathetic nerve fibers originating from thoracic segment
1-4 of the spinal cord innervate the bronchus and their branch (Guyton,2004).
Sympathetic nerve stimulation results in neurotransmitter secretion which
activates the β2 adrenergic receptor of the smooth muscles leading to
bronchodilatation (Price dan Wilson, 2006). Acupuncture at Feishu in chronic
asthma could significantly reduce the number of neutrophil and control airway
remodeling but the reduction of neutrophil and IL-17 was not statistically
significant. This may be due to the fact that the number of acupoint used in this
group was not sufficient. Carneiro et al., (2010) revealed that they used
acupuncture at Feishu (BL - 13), Dazhui (VG - 14), MDC - 1 (Ding chuan), LU
- 1 (Zhongfu), VC - 17 (Danzhong), ST - 36 (Zusanli) and SP-6 (Sanyinjiao) to
reduce the inflammatory response in asthma mouse model. On the other hand,
Yang et al. (2012) used GV-14 (Dazhui), BL-12 (Fengmen), and BL-13
(Feishu) as an adjuvant therapy for allergic asthma patients. Muthmainah
(2011) used Feishu (BL-13) and Zusanli (ST -36) to lower the number of
eosinophil in the bronchioles of the asthma model mice.
Acupuncture at Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) in chronic asthma
mice (KIV) significantly decreased the number of eosinophil, neutrophil, IL-17
level and controlled airway remodeling. This result is in accordance with the
study of Kwon et al., (2012) who reported that electroacupuncture at ST-36
attenuates ovalbumin-induced allergic asthma via modulating CD4+ and
CD25+.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Acupuncture, through the activation of the central nervous system,
decreases the production of Th-2 cytokines, induces an increase in Th-1
cytokines, and restores the equilibrium between cytokines Th-1 and Th-2.
Acupuncture modulates the balance state of Th-1/ Th-2 (Kim and Bae, 2010).
Asthma (ovalbumin) increases the production of cytokine Th-2 (Carneiro et al.,
2010). Acupuncture can cause tissue injury that stimulates the elevation of Th-
1 and restore the balance state of Th-1 and Th-2. Acupuncture modulates the
equilibrium of Th-1/Th-2 (Park, et al., 2004). Acupuncture activates Treg
(Kwon, et al., 2012), which suppresses Th-2 and Th-17 (Akdis, 2012).
Acupuncture decreases the number of eosinophil, neutrophil, IL-17 level and
control airway remodeling in chronic asthma mice model.
F. Conclusion
Acupuncture at Feishu (BL-13) decreased the number of eosinophil and
controlled airway remodelling (indicated by epithelial thickness of the
bronchioles, smooth muscle thickness of the bronchioles and the number of
goblet cell of the bronchioles). Acupuncture at Feishu (BL-13) Zusanli (ST-
36) decreased the number of eosinophil, a neutrophil, IL-17 level, and
controlled airway remodeling of the bronchioles in chronic asthma mice model.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ABSTRAK
PENGARUH AKUPUNKTUR TITIK FEISHU (BL-13)
DAN ZUSANLI (ST-36) PADA INFLAMASI DAN
AIRWAY REMODELING MENCIT
MODEL ASMA KRONIK
(KAJIAN IMUNOPATOBIOLOGI MOLEKULER
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik. Akupunktur telah banyak
digunakan sebagai terapi komplementer asma. Akupunktur titik Feishu (BL-13)
pada vertebra thorax ke-3 akan merangsang serabut saraf simpatis sebagai
bronkodilator. Akupunktur titik Zusanli (ST-36) memodulasi keseimbangan Th-
1 / Th-2.
Tujuan penelitian ini membuktikan dan menganalisis pengaruh akupunktur
pada jumlah eosinofil, neutrofil, kadar Interleukin- 17 dan airway remodeling
(ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan jumlah sel goblet) bronkiolus mencit
model asma kronik.
Penelitian post-test only group designs. Mencit BALB/c, betina, 7 minggu, 20
- 30 gram, 32 ekor dibagi dalam 4 kelompok. Kontrol (K I), Asma (K II), Asma +
Feishu (K III) dan Asma + Feishu dan Zusanli (K IV). Mencit model asma alergi
kronik yaitu mencit disensitisasi pada hari ke-0 dan 14 dengan 10 µg ovalbumin
(OVA) / mencit dan 1 mg Alumunium hidroksida dalam 0,5 cc NaCl 0,9 %
permencit, intraperitoneal. Hari ke-21 sampai hari ke-63, mencit dipapar 1%
OVA aerosol dalam NaCl 0,9 % selama 30 menit setiap 3 kali / minggu selama 6
minggu. Akupunktur dimulai hari-21, selama 15 menit, 3 kali / minggu selama 6
minggu. Sampel diambil 24 jam setelah selesainya penelitian (hari ke-64).
Program SPSS for Windows Release 22.0 dan p<0,05 dipilih sebagai tingkat
minimal signifikansinya.
Akupunktur Feishu (BL-13) menurunkan jumlah eosinofil dan
mengendalikan airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan
jumlah sel Goblet) bronkiolus. Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
menurunkan jumlah eosinofil, neutrofil dan kadar IL-17 serta mengendalikan
airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos dan jumlah sel Goblet)
bronkiolus mencit model asma kronik. Penelitian ini menunjukkan akupunktur
bisa mengendalikan inflamasi kronik dan airway remodeling, sehingga
akupunktur bisa menjadi terapi komplementer untuk pengobatan asma kronik.
Kata kunci : Asma, Akupunktur, BL-13, ST-36, mencit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
ABSTRACT
EFFECTS OF ACUPUNCTURE AT FEISHU (Bl-13) AND ZUSANLI (ST-36)
ON INFLAMATION AND AIRWAY REMODELLING IN MICE
MODEL OF CHRONIC ASTHMA
Asthma is a chronic inflammatory disease. Acupuncture has been used as a
complementary therapy for asthma. Acupuncture at Feishu (BL-13) at the 3rd
thoracic vertebrae will stimulate the sympathetic nerve fibers acting as
bronchodilator. Acupuncture at Zusanli (ST-36) modulates the equilibrium of
Th-1/Th-2.
The aim of this study is to prove and analyze effects of acupuncture on the
number of eosinophil, neutrophil, interleukin-17 level and airway remodeling
(epithelial thickness of the bronchioles, smooth muscle thickness of the
bronchioles and the number of goblet cell of the bronchioles) in chronic asthma
mice model.
This study was an experimental study with post-test only group designs.
Thirty two female BALB/c mice aged 7 weeks, weighed 20-30 grams were
divided into four groups randomly and equally in number (8 mice per group)
including: control group (KI), asthma group (K II) which received ovalbumin
(OVA), asthma group which received acupuncture at Feishu (BL-13) (K III),
and asthma group which received acupuncture at Feishu (BL-13) and Zusanli
(ST-36) (K IV). Chronic allergic asthma model was made by sensitizing each
mice with 10 µg of ovalbumin (OVA) and 1 mg of Aluminum hydroxide in 0,5
cc of NaCl 0,9 % intraperitoneally on day 0 and day 14 followed by aerosol
exposure of 1% OVA in NaCl 0,9% starting from day 21 to 63. The aerosol
exposure was given for 30 minutes 3 times per week for 6 weeks. Acupuncture
was given for 6 weeks from day 21 to 64 and was performed for 15 minutes 3
times /week. Samples were collected 24 hours after the last day of the
treatment (day 64). Data were then analyzed with SPSS for Windows Release
22.0 program and p<0,05 was chosen to be the minimal level of significance.
Acupuncture at Feishu (BL-13) decreased the number of eosinophil and
controlled airway remodeling (indicated by epithelial thickness of the
bronchioles, smooth muscle thickness of the bronchioles and the number of
goblet cell of the bronchioles). Acupuncture at Feishu (BL-13) Zusanli (ST-
36) decreased the number of eosinophil, a neutrophil, IL-17 level, and
controlled airway remodeling of the bronchioles in chronic asthma mice model.
This study shows that acupuncture can control chronic inflammation and
airway remodeling. Thus, acupuncture can be a complementary therapy for
chronic asthma.
Keywords: asthma, acupuncture, Bl-13, ST-36, mice
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
DAFTAR ISI
HALAMAN
Judul Luar ...................................................................................................... i
Judul Dalam ................................................................................................... ii
Pengesahan ..................................................................................................... iii
Persetujuan Ujian Disertasi ............................................................................ iv
Pernyataan Keaslian Disertasi dan Publikasinya ........................................... v
Ucapan Terima Kasih ..................................................................................... vi
Ringkasan Disertasi ........................................................................................ ix
Abstrak ........................................................................................................... xix
Daftar Isi......................................................................................................... xxi
Daftar Gambar ................................................................................................ xxi
Daftar Tabel ................................................................................................... xxii
Daftar Singkatan............................................................................................. xxiv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................... 5
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 5
1. Asma ............................................................................................. 5
a. Definisi Asma .......................................................................... 5
b. Patofisiologi Asma .................................................................. 6
c. Imunologi Asma ..................................................................... 6
1). Sel Limfosit Th-1 ............................................................ 7
2). Sel Limfosit Th-2 ............................................................... 7
3). Sel Limfosit T reg, Th-17 dan IL-17 ................................. 8
d. Fenotip Asma menurut GINA (2015) .................................... 11
e. Tikus Model Asma ................................................................. 12
f. Penatalaksanaan Asma ........................................................... 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
2. Eosinofil ......................................................................................... 17
3. Neutrofil ......................................................................................... 18
4. Brounkiolus Paru ............................................................................ 19
5. Airway Remodeling ...................................................................... 20
6. Akupunktur .................................................................................. 21
a. Akupunktur pada asma .......................................................... 22
b. Pengaruh akupunktur pada Interleukin-17 ............................. 26
c. Penelitian akupunktur pada asma ........................................... 27
B. Kerangka Teori ................................................................................ 28
C. Kerangka Konseptual ...................................................................... 31
D. Hipotesis Penelitian ......................................................................... 32
BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................. 33
A. Jenis Penelitian .............................................................................. 33
B. Lokasi Penelitian ............................................................................ 33
C. Subyek Penelitian........................................................................... 33
D. Besar sampel .................................................................................. 33
E. Teknik Sampling ............................................................................ 34
F. Rancangan Penelitian .................................................................... 34
G. Identifikasi Variabel Penelitian ..................................................... 35
H. Definisi Operasional Variabel ....................................................... 36
1. Variabel bebas ........................................................................... 36
2. Variabel terikat .......................................................................... 37
I. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 38
1. Alat ............................................................................................. 38
2. Bahan Penelitian ........................................................................ 38
J. Cara Kerja ....................................................................................... 39
K. Analisis Data ................................................................................... 43
L. Alur Penelitian ................................................................................ 44
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 45
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 45
1. Diskripsi variabel penelitian ..................................................... 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2. Proses analisis penelitian .......................................................... 45
3. Uji Normalitas Data ................................................................... 46
4. Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil,
Neutrofil, Kadar IL-17, dan Airway Remodeling Bronkiolus
Mencit Model Asma Kronik ..................................................... 49
a. Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Jumlah
Eosinofil ............................................................................. 49
b. Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Jumlah
Neutrofil .............................................................................. 51
c. Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Jumlah
Kadar IL-17 ......................................................................... 54
d. Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap
Airway Remodeling ............................................................. 56
1). Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Ketebalan
Epitel Bronkiolus .......................................................... 56
2). Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Ketebalan
Otot Polos Bronkiolus .................................................. 59
3). Analisis Perlakuan Akupunktur terhadap Jumlah
Sel Goblet ..................................................................... 62
B. Pembahasan .................................................................................... 66
1. Eosinofil.................................................................................... 66
2. Kadar Interleukin-17 ................................................................. 69
3. Neutrofil.................................................................................... 71
4. Airway Remodeling................................................................... 72
5. Prinsip Axiology ....................................................................... 75
6. Nilai Kebaruan dari Penelitian .................................................. 75
7. Keterbatasan Penelitian ............................................................. 76
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 77
A. Simpulan .................................................................................... 77
B. Saran ........................................................................................... 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 79
LAMPIRAN ................................................................................................... 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peranan Interleukin-17 (IL-17) pada berbagai sel........................ 10
Gambar 2. Subtipe asma ................................................................................ 12
Gambar 3. Pengaruh eosinofil terhadap airway remodeling ......................... 17
Gambar 4. Cara kerja akupunktur .................................................................. 22
Gambar 5. Peranan akupunktur pada jumlah eosinofil, kadar IL-17
dan jumlah neutrofil serta airway remodeling mencit
model asma kronik ...................................................................... 28
Gambar 6. Kerangka konseptual ................................................................... 31
Gambar 7 . Skema Alur Penelitian ................................................................. 44
Gambar 8. Jumlah Eosinofil masing-masing kelompok penelitian ............... 49
Gambar 9. Jumlah Neutrofil masing-masing kelompok penelitian ............... 51
Gambar 10. Kadar IL-17 masing-masing kelompok penelitian ....................... 53
Gambar 11. Ketebalan epitel bronkiolus masing-masing kelompok
Penelitian ..................................................................................... 56
Gambar 12. Perbandingan gambaran ketebalan epitel bronkiolus mencit ...... 57
Gambar 13. Ketebalan otot polos bronkiolus masing-masing kelompok
Penelitian ..................................................................................... 59
Gambar 14. Perbandingan gambaran otot polos bronkiolus mencit ............... 60
Gambar 15. Jumlah sel Goblet masing-masing kelompok penelitian ............. 62
Gambar 16. Perbandingan gambaran jumlah sel Goblet pada lapisan epitel
bronkiolus mencit ....................................................................... 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Mencit model asma kronik .......................................................... 14
Tabel 2. Diskripsi dan Uji Normalitas Data Shapiro Wilk, Variabel
Jumlah Eosinofil, Neutrofil, dan Kadar IL-17
Berdasarkan Kelompok Sampel .................................................. 47
Tabel 3. Deskripsi dan Uji Normalitas Data Variabel
Pengendalian Airway Remodeling Bronkiolus
Berdasarkan Kelompok Sampel .................................................. 48
Tabel 4. Hasil Uji One Way Anova tentang Mean Jumlah
Eosinofil/mm3 ............................................................................ 49
Tabel 5. Hasil Uji Post Hoc Test tentang Jumlah Eosinofil .................... 51
Tabel 6. Hasil Uji Kruskal-Wallis tentang Jumlah Neutrofil/mm3 ........... 52
Tabel 7. Hasil Uji Mann-Whitney Jumlah Neutrofil /mm3 ....................... 53
Tabel 8. Hasil Uji One Way Anova tentang Mean menurut Kadar
IL-17 (pg/ml) .............................................................................. 54
Tabel 9. Hasil Uji Post Hoc Test Beda Dua Mean Kadar IL-17 ............... 55
Tabel 10. Hasil Uji Kruskal-Wallis tentang ketebalan epitel bronkiolus ... 56
Tabel 11. Hasil Uji Mann-Whitney tentang Ketebalan Epitel Bronkiolus 59
Tabel 12. Hasil Uji One Way Anova tentang Mean ketebalan otot
polos bronkiolus (m) ................................................................. 59
Tabel 13. Hasil Uji Post Hoc Test tentang Ketebalan Otot Polos
Bronkiolus ................................................................................... 61
Tabel 14. Hasil Uji Kruskal-Wallis tentang jumlah sel Goblet bronkiolus .62
Tabel 15. Hasil Uji Mann-Whitney tentang Jumlah Sel Goblet
Bronkiolus .................................................................................. 64
Tabel 16. Korelasi antara sel inflamasi (eosinofil dan neutrofil),
mediator inflamasi (IL-17) terhadap Airway remodeling
(epitel, otot polos dan sel Goblet) bronkiolus ............................. 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
DAFTAR SINGKATAN
ACTH : Adrenocorticotropic hormone
AHR : Airway hyperresponsiveness
AMP : Adenin Mono Phosphat
ANOVA : Analysis of variance
APC : Antigen Presenting Cell
ASM : Airway Smooth Muscle
ATP : Adenosintrifosfat
BAL : Bronchoalveolar lavage
BL : Bladder
cAMP : Cyclic-adenosine-monophosphat
CCL : CC- Chemokine ligand
CD : Cluster of Differentiation
CGRP : Calcitonin Gene-Related Peptide
CRH : Corticotrophin Releasing Hormone
CRTH2 : Chemoattractant homologous receptor expressed on Th2 cells
DC : Dendritik
DNP-KLH : 2,4-dinitrophenylated keyhole limpet protein
EA : Elektroakupunktur
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
ECF : Eosinophile Chemotactic Factor
ECM : Extracelluler Matrix
ECP : Eosinophil Cationic Protein
EDN : Eosinophil-Derived Neurotoxin
EPO : Eosinophil Peroxidase
FGF : Fibroblast Growth Factor
G-CSF : Granulocyte Colony-Stimulating Factor
GINA : Global Initiative for Asthma
Gro-α : Growth Regulated Oncogene-Alpha
GV : Governing Vessel
HPA : Hipothalamus - Pituitari - Adrenal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
ICS : Inhalasi Cortikosteroid
IFN-γ : Interferon -
Ig : Imunoglobulin
IL : Interleukin
i.p : Intraperitoneal
LSD : Least Significant Difference
LT : lymphotoxin
LU : Lung
MBP : Major Basic Protein
MUC : Mucin glycoprotein
NFATc : Nuclear Factor of Activated T cells-c
NGF : Nerve Growth Factor
OVA : Ovalbumin
PAF : Platelet Activating Factor
PBS : Phosphate Buffer Saline
PDGF : Pletelet-Derived Growth Factor
PF-HA : Perillae Fructus Herbal Akupunktur
RBM : Reticular Basement Membrane
RORT : Retinoic-acid-receptor-related orphan receptor-t
SPSS : Statistical Product and Service Solutions
ST : Stomach
STAT : Signal Transducer and Activator of Transcription
TGF : Transforming Growth Factor
Th : T helper
T reg : T regulator
TNF- : Tumor Necrosis Factor-
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
WHO : Word Health Organization
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik, yang ditandai dengan
peningkatan jumlah eosinofil, sel mast, produksi Ig E, hipersekresi lendir,
fibrosis subepitel, dan airway hyperresponsiveness (AHR) (Broide, 2008).
Asma kronik eksaserbasi akut terjadi peningkatan neutrofil di saluran napas
(Fahy, 2009), yang akan menyebabkan berbagai tingkat perubahan struktur
saluran napas yang menunjukkan airway remodeling (Broide, 2008; Al-
Muhsen et al., 2011). Airway remodeling meliputi : hiperplasi dan metaplasi
epitel, fibrosis subepitel, hiperplasi dan hipertrofi otot polos, serta
peningkatan jumlah pembuluh darah (angiogenesis). Penebalan dinding
saluran napas ini diduga berhubungan dengan airway hyperresponsiveness
(AHR) dan resistensi terapi serta keparahan asma (Barlianto et al., 2009;
Halwani et al., 2010).
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju
maupun di negara-negara sedang berkembang. Word Health Organization
(WHO) memperkirakan, 255.000 orang meninggal karena asma pada tahun
2005 (WHO, 2010) dan 235 juta orang saat ini menderita asma. Lebih dari
80 % kematian asma terjadi di Negara yang mempunyai penghasilan rendah
dan menengah ke bawah (WHO, 2015). Prevalensi asma di Indonesia belum
diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14
tahun menggunakan kuesioner ISAAC (International Study an Asthma and
Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma 2,1 %, sedang pada tahun
2003 meningkat menjadi 5,2% (KMKRI No 1023, 2008).
Sindroma asma timbul karena gangguan sistem imun dan gangguan saraf
otonom. Gangguan saraf otonom berupa hiperaktivitas saraf parasimpatis dan
blockade terhadap reseptor β adrenergik (sistem saraf simpatis) (Barnes,
2011a). Penyebab utama asma alergi pada manusia dan tikus yaitu sitokin Th
(T helper) -2 (IL-4, IL-13, dan IL-5). Paradigma yang berkembang, sel
efektor yang bertanggung jawab untuk peradangan asma tidak hanya sel Th-2,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
tetapi oleh T helper yang lain termasuk Th-1, Th-17 yang memproduksi IL-17
dan T reg (Moore and Pascual, 2010). Sel T reg terlibat dalam penekanan
Th-1, Th-9, Th-17 dan Th-2 (Akdis, 2012). Tingkat kronisitas dan keparahan
asma berkorelasi dengan kadar IL-17 yang ditemukan di dahak, paru,
Bronchoalveolar-lavage (BAL), atau darah pasien. Fungsi sitokin IL-17
selama reaksi asma adalah mengatur mobilisasi neutrofil (Wang et al., 2010;
Pelaia et al., 2015).
Strategi pengobatan asma alergi dengan penghambatan selektif sel Th-2
dengan tujuan mengurangi respons imun spesifik alergen Th-2 (Bosnjak et
al., 2011). Peradangan eosinofilik berhubungan dengan seluruh spektrum
keparahan asma, mulai dari yang asma ringan, sedang sampai yang tidak
terkontrol (parah), sedangkan peradangan neutrofilik terjadi sebagian besar
pada asma lebih parah. Asma eosinofilik meliputi baik fenotipe alergi atau
non alergi yang dimediasi oleh Th- 2, sementara asma neutrofilik sebagian
besar tergantung mekanisme sel yang dipengaruhiTh-17 (Pelaia et al., 2015).
Asma neutrofilik sebagian besar resisten steroid, maka subtipe ini sering
menyebabkan asma berat dan melibatkan TNF-α, IFN-, IL-17 dan IL-27
(Hansbro et al., 2011). Asma berat merupakan kegagalan mencapai keadaan
asma terkontrol, yang tidak teratasi dengan terapi inhalasi dosis maksimum.
Masalah utama penderita asma berat adalah resisten kortikosteroid (Barnes,
2012).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, usaha untuk mengatasi
penyakit asma makin berkembang. Berbagai obat baru ditemukan dan
digunakan untuk mengatasi penyakit ini. Keterbatasan keberhasilan obat anti-
asma konvensional dan bahaya kortikoterapi telah menyebabkan banyak
pasien mencari pengobatan alternatif atau komplementer untuk pengobatan
asma (Carneiro et al., 2010). Akupunktur melalui aktivasi sistem saraf pusat,
menurunkan produksi sitokin Th-2, merangsang peningkatan sitokin Th-1,
mengembalikan keseimbangan antara sitokin Th-1 dan Th-2. Akupunktur
memodulasi keseimbangan Th-1/Th-2 (Kim and Bae, 2010) dan menurunkan
jumlah eosinofil dan sel inflamasi di tikus diimunisasi ovalbumin (OVA)
melalui modulasi CD4 + CD25
+ Foxp3 dan Sel T reg (Kwon, et al., 2012). Sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
T reg menekan Th-17 yang mensekresi IL-17 (Barnes, 2008a; Dong, 2009).
Akupunktur membuat keseimbangan imunologis untuk mempertahankan
homeostasis (Kwon et al., 2012).
Trauma jaringan akibat akupunktur menyebabkan inflamasi lokal
(Saputra, 2003). Inflamasi akut akibat trauma jaringan ini berhubungan
dengan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α
(Baratawidjaja, 2010). Akupunktur titik Feishu (BL-13) setinggi vertebra
Thorax- 3 (Carneiro et. al., 2010) akan merangsang serabut saraf simpatis.
Akupunktur titik Zusanli (ST-36) memiliki efek imunomodulator ganda baik
dalam Th-1 atau Th-2 pada kondisi patologis yang dominan, menuju
keseimbangan imunologis untuk menjaga homeostasis (Park et al., 2004).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik membuktikan sejauh
mana akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) dapat
menurunkan jumlah eosinofil, neutrofil, dan kadar IL-17, serta
mengendalikan airway remodeling bronkiolus mencit model asma kronik.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana reaksi imunopatobiologi molekuler pengaruh perlakuan
akupunktur pada mencit model asma kronik?
1. Adakah pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
terhadap jumlah eosinofil darah mencit model asma kronik?
2. Adakah pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
terhadap jumlah neutrofil darah mencit model asma kronik?
3. Adakah pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
terhadap kadar Interleukin-17 (IL-17) darah mencit model asma kronik?
4. Adakah pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
terhadap airway remodeling bronkiolus mencit model asma kronik?
C. Tujuan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
1. Tujuan umum
Menganalisis pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli
(ST-36) terhadap jumlah eosinofil, neutrofil, kadar Interleukin -17, dan
airway remodeling bronkiolus mencit model asma kronik berdasarkan
pendekatan imunopatobiologi molekuler.
2. Tujuan khusus
a. Membuktikan dan menganalisis pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-
13) dan Zusanli (ST-36) terhadap jumlah eosinofil darah mencit
model asma kronik.
b. Membuktikan dan menganalisis pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-
13) dan Zusanli (ST-36) terhadap jumlah neutrofil darah mencit model
asma kronik.
c. Membuktikan dan menganalisis pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-
13) dan Zusanli (ST-36) terhadap kadar Interleukin-17 (IL-17) darah
mencit model asma kronik.
d. Membuktikan dan menganalisis pengaruh akupunktur titik Feishu (BL-
13) dan Zusanli (ST-36) terhadap airway remodeling (ketebalan epitel
bronkiolus, ketebalan otot polos bronkiolus dan jumlah sel Goblet)
bronkiolus mencit model asma kronik.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat memberi landasan ilmiah untuk
melengkapi, mengembangkan dan memperdalam imunopatobiologi
molekuler akupunktur, sehingga dapat menjelaskan mekanisme kerja
akupunktur dalam pengobatan asma.
2. Manfaat praktis
Sebagai dasar pengelolaan, pengembangan dan pemanfaatan akupunktur
dalam penatalaksanaan asma, sehingga bisa mengurangi eksaserbasi
(serangan) asma.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1. Asma
a. Definisi Asma
Definisi Asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma) adalah
Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan
saluran napas kronis. Gejala pernapasan seperti mengi (wheezing), sesak
napas, sesak dada dan intensitas batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu
bersama-sama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi (GINA, 2015)
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas, banyak sel
dan elemen seluler berperan. Peradangan kronik terkait dengan airway
hyperresponsiveness (AHR) yang menuju ke asma episode sesak napas
berulang, dada sesak, dan batuk, terutama pada malam hari atau pada awal
pagi. Serangan sesak napas berulang, wheezing, keparahan dan frekuensi
bervariasi pada setiap orang. Gejala dapat terjadi beberapa kali dalam satu
hari atau satu minggu pada individu yang terkena, dan bagi beberapa orang
menjadi lebih parah selama aktivitas fisik atau pada malam hari. Episode ini
biasanya berhubungan dengan luas obstruksi saluran napas dan paru-paru
yang sering reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
(Bateman and Jitho, 2007).
Penyakit asma telah meningkat secara dramatis dalam dekade terakhir
ini. Alasan peningkatan prevalensi masih kontroversial. Selain predisposisi
genetik sejumlah penyebab yang berbeda diduga mempengaruhi
peningkatan alergi. Ini termasuk "hygiene hypothesis" serta perubahan
mikrobiota usus (Martin and Taube, 2012). Word Health Organization
(WHO) memperkirakan, 255.000 orang meninggal karena asma pada tahun
2005 (WHO, 2010), dan 235 juta orang saat ini menderita asma. Lebih dari
80% kematian asma terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah ke bawah (WHO, 2015).
b. Patofisiologi asma
Serangan asma dapat dicetuskan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom
(Barnes, 2011a). Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intra lumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
epitel saluran napas. Rangsangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag
akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa
keadaan reaksi asma, dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reaksi asma
terjadi melalui refleks saraf, ujung saraf eferen vagal yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptida sensorik senyawa P (SP), neurokinin
A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi aktivasi sel-sel inflamasi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi
(Rengganis, 2008). Alergi inflamasi merupakan interaksi yang kompleks
antara inflamasi beberapa sel, termasuk sel mast, basofil, limfosit, sel
dendritik, eosinofil, dan kadang neutrofil. Saraf sensorik yang sensitif dan
aktif selama peradangan dan menghasilkan gejala alergi (Barnes, 2011a).
c. Imunologi asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas, yang
merupakan interaksi faktor imunitas selular maupun humoral. Komponen
selular utama pada reaksi alergi adalah sel mast, basofil, eosinofil, sel
dendritik, sel Th (Barnes, 2011a), dan neutrofil (Fahy, 2009). Komponen
humoral utamanya adalah Imunoglobulin E (Ig E). Interaksi antara kedua
faktor imunitas tersebut akan menyebabkan AHR, bronkokonstriksi, sekresi
mukus, dan remodeling (Barnes, 2008a). Antigen masuk epitel endobronkial
ditangkap dan disajikan Antigen Presenting Cell (APC) antara lain sel
dendritik ke sel Th-0 yang berdiferensiasi menjadi sel Th-1, Th-2, Th-17
dan T reg (Deenick and Tangye 2007; Mai et al., 2011).
1). Sel Limfosit Th-1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Perubahan sel Th-0 menjadi Th-1 terjadi melalui Signal Transducer and
Activator of Transcription-1 (STAT-1) danT-bet di bawah pengaruh sel
dendritik CD8+ dan makrofag yang menghasilkan sitokin yaitu IFN-γ, IL-
12 dan IL-18. Sel Th-1, memproduksi IFN-γ, IL-2, dan lymphotoxin (LT)
(Barnes, 2008b). Interferon (IFN-γ) merupakan sitokin yang diproduksi
oleh sel Th-1 dan bertanggung jawab untuk imunitas terhadap patogen
intraseluler (Dong, 2009).
2). Sel Limfosit Th-2
Sel Th-2 memainkan peran penting dalam menimbulkan reaksi alergi
melalui pelepasan sitokin yang meliputi IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 (Barnes,
2008 b, 2011a), dan IL-10 (Elias et al., 2003). Pendapat sekarang ternyata
IL-10 dihasilkan Th regulator (T reg) dan menekan Th-2 (Barnes, 2008b,
2011a). Diferensiasi sel Th-0 menjadi sel Th-2 terjadi melalui Signal
Tranducer and Activator of Transcription- 6 ( STAT-6), Gata-Binding
Protein 3 (GATA-3), Nuclear Factor of Activated T cells-c (NFATc), dan
IL-4, yang berasal dari sel mast (Elias et al., 2003).
Interleukin-4 dan IL-13 memacu sel B untuk membentuk Ig E.
Peradangan alergi ditandai dengan peningkatan IgE yang mengaktivasi
mukosa sel mast. Imunoglobulin E (Ig E) merangsang sel mast
menghasilkan IL-4. Interleukin - 4 juga bersifat autokrin terhadap sel Th-2
sendiri sehinggga Th-2 yang terbentuk lebih banyak dan fungsinya lebih
aktif (Nakajima and Takatsu, 2007). Interleukin-4 merupakan faktor penting
untuk diferensiasi sel Th 0 menjadi sel Th-2, yang dimediasi oleh aktivasi
faktor transkripsi sinyal transduser dan aktivator transkripsi 6 (STAT-6) dan
(GATA 3) (Holgate, 2012).
Sitokin IL-13 yang berlebihan menimbulkan tanda-tanda asma alergi,
yaitu hyper-responsiveness saluran napas, peningkatan jumlah eosinofil dan
sel mast, produksi IgE, hipersekresi lendir, fibrosis subepitel, yang akan
menyebabkan berbagai tingkat perubahan struktural saluran napas (Broide,
2008). Interleukin-13 bekerja secara langsung pada sel-sel epitel
menyebabkan metaplasia sel mast, diferensiasi myofibroblast, produksi Ig
E oleh sel B dan pengembangan AHR (Holgate and Polosa, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Interleukin-5 memiliki peranan penting dalam mengatur masuknya
eosinofil ke dalam saluran napas, renovasi saluran napas dan AHR (Hansbro
et al., 2011). Akumulasi eosinofil peribronkial adalah ciri utama inflamasi
saluran napas pada asma. Interleukin -5 berperan dalam diferensiasi
eosinofil dari prekursor dalam sumsum tulang dan berpartisipasi pada
kelangsungan hidup dan daya tarik eosinofil ke dalam saluran napas
(Barnes, 2008a; Holgate and Polosa, 2008). Anti IL-5 mungkin bermanfaat
pada terapi asma (Hansbro et al., 2011).
Penyebab utama asma alergi pada manusia dan tikus yaitu sitokin Th-2
(IL -4, IL-13, dan IL-5). Kronisitas respons inflamasi asma alergi saluran
pernapasan terutama merupakan kerjasama sel Th-2 dengan disregulasi
sitokin Th-1 yaitu interferon (IFN ) (Ngoc et al., 2005; Thorburn and
Hansbro, 2010) atau sel T regulator (Thorburn and Hansbro, 2010).
Jenis Inflamasi menentukan sel yang terlibat dalam patogenesis asma
termasuk sel mast, sel dendritik (DC), limfosit B, eosinofilik dan neutrofilik
granulosit. Peradangan asma alergi (eosinofilik) saluran napas merupakan
hasil dari induksi peradangan Th-2. Sitokin Th-2 yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13
secara langsung mempengaruhi penyakit alergi saluran napas (Holgate,
2012). Interleukin-4, IL-5 dan IL-13 yang disekresikan oleh sel Th-2, yang
memberikan kekebalan terhadap patogen ekstra seluler dan memainkan
peran penting dalam respons alergi (Dong, 2009).
3). Sel Limfosit T reg, Th-17 dan IL- 17
Paradigma yang berkembang sekarang bahwa sel efektor yang
bertanggung jawab untuk peradangan asma tidak hanya oleh sel Th-2 asma,
tetapi oleh sel T helper yang lain termasuk Th-1, T regulator (T reg) dan
Th-17 yang memproduksi IL- 17 (Moore and Pascual, 2010). Penekanan
oleh sel T regulator yang mendasari mekanisme imun yang terlibat dalam
asma alergi (Ngoc et al., 2005). Sel T reg terlibat dalam penekanan Th-1,
Th-9, Th-17 dan Th-2 (Akdis, 2012).
Sel Th-0 yang diaktivasi oleh TGF-β dan sitokin pro inflamasi yaitu IL-
6 dan IL-23 berdiferensiasi menjadi Th-17 (Traves and Donnelly, 2008).
Limfosit Th-17 melalui faktor transkripsi RORC memproduksi IL-17A, IL-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
17F, dan IL-22. Populasi ini melindungi tubuh dari infeksi jamur dan
bakteri ekstraseluler, tetapi juga terlibat dalam patogenesis inflamasi kronik
dan gangguan autoimun (Cosmi et al., 2011). Interleukin-17 (IL-17)
merupakan keluarga sitokin, yang meliputi IL-17A (disebut IL-17), IL-17B,
IL-17C, IL-17D, IL-17E (disebut IL-25), dan IL-17F. Interleukin-17
tersebut diproduksi oleh Th-17 kecuali IL-17E (atau IL-25) yang
diproduksi oleh sel Th-2 (Korn et al., 2009).
Sel Th-2 memori / sel efektor memiliki potensi untuk menghasilkan
IL-17 setelah distimulasi oleh sitokin pro inflamasi IL-1 , IL-6, dan IL-21.
Interleukin-17 yang berasal dari sel Th-2 secara signifikan meningkat dalam
darah pasien dengan asma alergi. Tikus model penyakit alergi paru-paru, IL-
17 diproduksi sel CD4+ Th-2 diinduksi radang paru-paru dan bertahan
sebagai IL-17 dominan selama asma kronik. Sel Th-17 klasik dibandingkan
dengan sel Th-2, antigen-spesifik IL-17 yang diproduksi sel Th-2 memicu
masuknya inflamasi leukosit heterogen dan memperburuk asma. Interleukin
-17 yang diproduksi sel Th-2 dapat menunjukkan kunci sel patogen Th-2
asma eksaserbasi alergi (Wang et al., 2010).
Interleukin-17 endogen dikendalikan oleh IL-4 dan memiliki peran
ganda. Meskipun selama sensitisasi antigen untuk tikus asma alergi, IL-17
melemahkan respons alergi DC untuk menghambat sintesis kemokin
(Schnyder-Candrian et al., 2006). Interaksi sel Th-17 dengan makrofag
menyebabkan penarikan neutrofil yang efektif, menghubungkan respons
imun bawaan dan adaptif di saluran napas (Traves and Donnelly, 2008).
Interleukin-17 disekresi oleh sel Th-17 yang berperan penting pada regulasi
imunitas dan inflamasi pada penyakit inflamasi kronik (Dong, 2009).
Interleukin -17 diakui berperan penting dalam respons imun dan inflamasi
dengan mengatur ekspresi berbagai mediator inflamasi, yang meliputi
sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Ada bukti yang berkembang bahwa
IL-17 terlibat dalam patogenesis asma. Interleukin-17 mengatur masuknya
neutrofil ke dalam saluran napas (Liang et al., 2007) dan juga meningkatkan
T-helper 2 (Th-2) yang diperantarai sel eosinofil radang saluran napas pada
asma (Park and Chul, 2010). Tingkat kronisitas dan keparahan asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
berkorelasi dengan tingkat sitokin IL-17, yang ditemukan di dahak, paru-
paru, BAL, atau darah pasien. Fungsi sitokin IL-17 selama reaksi asma
adalah untuk mengatur mobilisasi neutrofil (Wang et al., 2010). Sel T reg
mengendalikan perjalanan asma dan penyakit alergi lainnya pada berbagai
tahapan, yaitu sensitisasi alergi, perjalanan penyakit asma alergi serta
keparahan penyakit (Buc et al., 2009).
Interleukin-17 merangsang aktivasi fibroblas bronkiolus, sel epitel dan
sel otot polos bronkiolus. Interleukin -17 merangsang fibroblast bronkiolus
manusia memproduksi IL-6, IL-8, IL-11 dan CXCL1 / Gro-α (Growth
regulated oncogene-alpha), IL-17 merangsang epitel bronkiolus manusia
memproduksi β-defensin-2, ICAM-1 ( Intercellular Cell Adhesion
Molecule-1), IL- 8, CXCL1, CCL20 (CC- Chemokine ligand 20), G-
CSF (Granulocyte Colony-Stimulating Factor), MUC5B (Mucin 5 subtype
B) dan MUC5AC. Interleukin-17 merangsang sel otot polos saluran
pernapasan manusia memproduksi IL-6 dan IL-8 (Oboki et al., 2008).
Gambar 1. Peranan IL-17 pada berbagai sel (dikutip dari Oboki et al., 2008).
d. Fenotip asma menurut GINA (2015)
1). Allergic asthma : Fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang sering
dimulai pada masa kanak-kanak dan terkait dengan riwayat penyakit
dahulu dan / atau keluarga alergi seperti dermatitis, rhinitis alergi,
makanan atau obat alergi. Pemeriksaan dahak pasien sebelum diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
pengobatan sering menunjukkan peradangan saluran napas eosinofilik.
Pasien fenotipe asma ini biasanya berespon baik dengan terapi
kortikosteroid inhalasi (ICS).
2). Non-allergic asthma : beberapa orang dewasa memiliki asma yang tidak
terkait dengan alergi. Profil seluler dari sputum pasien ini mungkin
neutrofilik, eosinofilik atau hanya berisi sel-sel inflamasi
(Paucigranulocytic). Pasien asma non-alergi sering kurang respons
terhadap ICS.
3). Late – onset asthma : beberapa orang dewasa, terutama perempuan, yang
menderita asma untuk pertama kalinya dalam kehidupan dewasa. Pasien
ini cenderung non-alergi, dan sering memerlukan dosis yang lebih tinggi
dari ICS atau relatif resisten terhadap terapi kortikosteroid
4). Asthma with fixed airflow limitation : beberapa pasien asma dengan
keterbatasan pengembangan aliran udara tetap yang diduga disebabkan
oleh airway remodeling.
5). Asthma with obesitas: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki
gejala pernafasan menonjol dan sedikit peradangan saluran napas
eosinofilik.
Gambar 2. Subtipe asma ( dikutip dari Hansbro et al., 2011).
e. Tikus model asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Selama beberapa tahun terakhir airway remodeling menjadi bahan penelitian
asma karena sebagian besar resisten terhadap obat. Model asma telah ditemukan
untuk mengatasi keterbatasan ini (Wegmann, 2008). Tikus model asma meniru
banyak fitur asma manusia, termasuk hiperreaktivitas dan peradangan saluran
napas. Oleh karena itu, penelitian mekanisme penyakit pada tikus telah digunakan
untuk menjelaskan patologi dan diagnosis asma serta menguji terapi zat baru
(Shin et al., 2009).
Mencit adalah spesies yang paling banyak digunakan, terutama karena
ketersediaan hewan transgenik dan karena beragam reagen spesifik yang tersedia
untuk analisis dari respons seluler dan mediator. Mencit model asma ada 3 yaitu
akut, sub akut dan kronik. Sensitisasi OVA pada hari 0 (model akut dan subakut)
atau pada hari 0 dan 14 (model kronik). Mencit kemudian dipapar 1% OVA
dalam Na CL selama 30 menit pada empat berturut-turut hari (akut), tujuh hari
berturut-turut (subakut) mulai pada hari ke -14, Mencit model kronik paparan
OVA, 3x/minggu mulai hari ke -21 selama 6 minggu (Locke et al., 2007). Mencit
model asma akut, menunjukkan gambaran asma klinis, misalnya peningkatan
kadar Ig E, peradangan saluran napas, hiperplasia sel Goblet, hipertrofi epitel,
AHR terhadap rangsangan tertentu dan bronkokonstriksi pada fase awal dan akhir
dalam menanggapi paparan alergen. Sebagai contoh, bronchoalveolar lavage dan
histologi menunjukkan bahwa masuknya sel-sel inflamasi didominasi oleh
eosinofil (Nials and Uddin, 2008). Mencit model akut mungkin lebih
menunjukkan awal kejadian asma pada manusia, sedangkan model kronik
dianggap lebih mewakili asma manusia sehubungan dengan perubahan seluler dan
struktural dinding jalan napas yang disebut airway remodeling, serta gangguan
fungsi saluran napas (Locke et al., 2007).
Sebagian besar model asma menggunakan sensitisasi sistemik dengan
ovalbumin (OVA) ditambah Aluminium hidroksida (alum) diikuti oleh paparan
berulang untuk OVA aerosol (konsentrasi 0,1- 2,5%.). Ovalbumin terbuat dari
putih telur ayam. Ovalbumin merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat
molekul 43 - 45 kD. Ovalbumin telah terbukti dapat menimbulkan asma pada
hewan coba (Shin et al., 2009). Frekuensi paparan alergen (2-7 kali perminggu)
selama 4-8 minggu. Analisis patologis pada spesimen bronkial pasien asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menunjukkan hiperplasia sel Goblet kelenjar submukosa, hiperplasia epitel
saluran napas, penebalan epitel membran basement, deposisi matriks ekstraselular
dalam subepitel layer dan hipertrofi hiperplasia dari sel otot polos bronkial.
Keunggulan renovasi jalan napas, mencit BALB / c diinjeksi OVA dengan alum
secara intra-peritoneal (ip). Peradangan alergi kronik pada mencit berbeda dengan
model lain karena mempengaruhi seluruh peribronkial dan bahkan bertahan
setelah enam minggu induksi OVA. Percobaan ini dilakukan pada mencit, karena
spesies ini dari sudut pandang anatomi lebih cocok untuk meniru perubahan
lapisan otot polos jalan napas manusia (Wegmann, 2008).
Model kronik telah terbukti mempunyai beberapa keunggulan gejala asma
seperti metaplasia sel Goblet, hipertrofi epitel, fibrosis subepitel dan hiperplasia
otot polos (Shin et al., 2009). Model paparan alergen kronik pada mencit lebih
dekat meniru penyakit asma manusia (Patel and Chorawala, 2011). Protokol
model asma dibagi fase sensitisasi dan fase paparan. Sensitisasi pada tikus
biasanya melalui injeksi alergen, yang memerlukan Aluminium hidroksida sebagai
ajuvant yang dikenal dapat meningkatkan pengembangan respons Th-2. Respons
terhadap paparan alergen, termasuk AHR, peradangan eosinofilik, dan metaplasia
sel Goblet dapat diinduksi oleh paparan alergen pertama yang peka pada tikus
(Shin et al, 2009; Patel and Chorawala, 2011).
Tabel 1. Mencit model asma kronik (dikutip dari Nials and Uddin, 2008)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
f. Penatalaksanaan asma
Penatalaksanaan asma meliputi penatalaksanaan medikamentosa dan non
medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa menggunaan obat-obatan
seperti β-2 agonis, teofilin dan kortikosteroid. Obat yang tergolong β-2 agonis
misalnya salbutamol dan efedrin. Salbutamol untuk orang dewasa dosisnya 2 - 4
mg, tiga kali perhari per oral. Efek samping salbutamol yaitu : tremor, takiaritmia,
dilatasi pembuluh darah yang menyebabkan tekanan diastolik turun, hipokalemia
dan hipoksemia. Efedrin dosis untuk orang dewasa 25-30 mg tiap 4 jam per oral.
Efek samping efedrin yaitu aktivasi sistem saraf pusat (gugup, mudah terangsang,
insomnia, gelisah, sakit kepala dan tremor), hipertensi, palpitasi, mual muntah,
berkeringat, haus, susah berkemih, dan rasa lemah. Teofilin pada orang dewasa
dosis 200 mg 2 kali sehari peroral. Efek samping teofilin yaitu aritmia, takikardi,
agitasi, konvulsi, iritasi saluran cerna (mual, muntah dan sakit perut), pusing,
gugup, aritmia dan hipotensi. Teofilin dan β-2 agonis mempunyai efek
bronkodilatasi. Obat asma kortikosteroid seperti deksametason pada orang dewasa
dosis 0,5 - 9 mg, tunggal atau dibagi dalam 2-4 kali pemberian perhari.
Kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi, tetapi kortikosteroid mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
efek samping yang tidak diinginkan misalnya osteoporosis, tukak lambung, efek
katabolik, efek diabetogenik, peningkatan tekanan darah, sindrom Cushing dan
supresi pertumbuhan pada anak (Sundaru and Sukamto, 2014).
Penatalaksanaan asma non medikamentosa dapat dilakukan melalui
pendidikan pada penderita asma dan keluarganya, mengindari faktor pencetus /
alergen, perbaikan mental / psikis, latihan napas dan latihan jasmani /olah raga
serta akupunktur. Tujuan penatalaksanaan asma dengan akupunktur adalah untuk
memperingan serangan dan memperpanjang jarak waktu antara dua serangan.
Selain itu juga untuk mengurangi pemakaian obat – obatan, sehingga efek
samping dari obat – obatan dapat dihindari (Siboe and Sudiro, 1993).
Asma merupakan sindroma yang heterogen, dengan fenotipe dan patogen
berbeda melalui mekanisme berbeda, sebagian dependen dan independen sel Th-
2 dan memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Identifikasi fenotipe inflamasi
yang berbeda pada asma, memungkinkan kita tidak hanya untuk lebih
mengklasifikasikan penyakit, tetapi juga untuk mengembangkan terapi baru yang
efektif secara individual dan personal, dengan mempertimbangkan mekanisme
patogenik yang berbeda yang terjadi pada masing-masing pasien (Cosmi et al.,
2011).
Asma sekarang diakui sebagai gangguan heterogen, peran Th-1, Th-2, dan
baru-baru ini telah diidentifikasi sel Th-17 dan T regulator (Thorburn and
Hansbro, 2010). Respon sel Th-1 dan Th-17 di paru-paru menyebabkan asma
yang didominasi neutrofil atau campuran (neutrofil dan eosinofil yang proporsi
yang lebih rendah), peradangan granulositik dan asma granulositik neutrofilik.
Sebaliknya, respons sel Th-2 menyebabkan asma yang didominasi eosinofil,
basofil dan infiltrasi sel mast dari saluran napas dan mempromosikan Ig E-
mediated dan asma alergi atau subtipe eosinofilik. Asma memiliki ciri klinis
gambaran penyakit termasuk peradangan saluran napas, hipersekresi lendir dan
bronkokonstriksi, meskipun asma diinduksi melalui mekanisme yang berbeda.
Asma neutrofilik sebagian besar resisten terhadap steroid, maka subtipe ini sering
menyebabkan asma yang parah dan melibatkan TNF-α, IFN-, IL-17 dan IL-27.
Asma eosinofilik sensitif terhadap steroid, secara efektif dikendalikan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
pengobatan kortikosteroid dan merupakan penyakit asma paling ringan sampai
sedang (Hansbro et al.,2011).
Resistensi kortikosteroid merupakan masalah utama pada pasien dengan asma
berat. Asma berat didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai asma
terkontrol dengan terapi inhalasi dosis maksimum. Anti-IgE (Omalizumab) adalah
terapi baru yang telah disetujui untuk pengobatan asma berat (Barner, 2012).
Peningkatan sel anti-Th-2 terapi inhalasi dan oral kortikosteroid, Leukotriene
modifiers, teofiline, pengobatan anti-IgE dan imunoterapi alergen (AI) untuk
asma (Bateman et al., 2008).
Anti-IL-5 menghambat peradangan dan renovasi tetapi tidak berpengaruh
pada respons saluran napas terhadap metakolin. Anti-IL-13 efektif merekrut dan
menekan eosinofil dan akumulasi sel-sel inflamasi kronik pada saluran napas,
perubahan renovasi dinding saluran napas, termasuk hyperplasia / metaplasia sel
mast dan fibrosis subepitel, tetapi kemampuannya terbatas untuk menghambat
hipereaktivitas saluran napas (AHR). Sebaliknya, pengobatan dengan anti-IFN-
nyata menekan AHR. Antibodi menghambat akumulasi sel inflamasi kronik tetapi
tidak mempengaruhi perekrutan eosinofil atau perubahan renovasi. Jadi anti IL-5
dan anti IL-13 memiliki potensi besar sebagai strategi terapi dalam asma kronik,
dan IFN- memainkan peran penting dalam patogenesis AHR (Kumar et al.,
2004). Blokade gabungan baik IL-5 dan IL-12 atau IFN- dapat menyebabkan
kontrol yang lebih baik dari radang saluran napas eosinofilik dan gejala AHR
(Meyts et al., 2006).
Strategi untuk pengobatan asma alergi termasuk penghambatan selektif sel
Th-2 dengan tujuan utama menghilangkan respons imun spesifik Th-2 alergen
(Bosnjak et al., 2011). Asma berat merupakan kegagalan untuk mencapai keadaan
asma terkontrol, tidak teratasi dengan terapi inhalasi dosis maksimum. Masalah
utama penderita asma berat adalah resisten kortikosteroid (Barnes, 2012).
2. Eosinofil
Eosinofil merupakan leukosit granulosit dan polimorfonuklear. Diameter sel
ini 12 -15 µm. Inti sel bilobus dengan kromatin dalam inti padat. Sitoplasma
mengandung granula spesifik yang ukurannya lebih besar daripada granula
spesifik neutrofil, yaitu ukuran 0,5 - 1,5 µm (Baratawidjaja, 2010). Eosinofil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu
menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel.
Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan
jaringan saluran napas yaitu Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil Cationic
Protein (ECP) yang merusak sel epitel dan saraf, Eosinophil-Derived Neurotoxin
(EDN), eosinophil peroxidase dan mediator lipid. Eosinofil menghasilkan protein
yang menyebabkan fibrogenesis dan angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel
mesenkim dan merangsang sintesis protein extracellular matrix (ECM) (Kay et
al., 2004).
Granul Eosinofil mengandung Eosinophil Peroxidase (EPO), Major Basic
Protein (MBP), Eosinophil Cationic Protein (ECP), dan Eosinophil-Derived
Neurotoxin (EDN). Keempat protein kationik ini bersifat sitotoksik. Eosinofil
yang terangsang oleh trauma jaringan nonspesifik, infeksi, allografts, alergen, dan
tumor akan melepas protein kationik tersebut, sitokin, kemokin, mediator lipid,
dan neuromodulator. Eosinofil sebagai APC mengaktifkan sel-sel T, dan eosinofil
dengan MBP mengaktivasi sel mast (Rothenberg and Hogan, 2006).
Gambar 3. Pengaruh eosinofil terhadap airway remodeling
(dikutip dari Kay et al., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3. Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit polimorfonuklear yang berjumlah sekitar 70
% dari jumlah leukosit yang beredar dari sirkulasi. Neutrofil disebut “Soldiers of
the Body” karena merupakan sel pertama yang dikerahkan ke tempat bakteri
masuk dan berkembang dalam tubuh. Neutrofil gambaran nukleusnya irreguler.
Neutrofil ditandai oleh sejumlah molekul adhesi, FcR dan reseptor untuk
komplemen. Granul primer atau azurofilik mengandung hidrolase,
mieloperoksidase, elastase, katepsin dan lisozim. Granul sekunder atau spesifik
mengandung lisozim, kolagenase dan laktoferin (Baratawidjaya, 2010). Mobilisasi
dan peningkatan jumlah neutrofil merupakan ciri gangguan paru-paru inflamasi
kronik, termasuk asma. Perekrutan neutrofil kedalam saluran napas diinduksi oleh
IL-17, interleukin ini penting dalam patogenesis asma dan penentuan keparahan
penyakit (Linde´n et al., 2005).
Neutrofil dapat menyebabkan kerusakan epitel akibat melepaskan bahan –
bahan metabolik oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil menghasilkan
sitokin antara lain IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α dan kemokin (Rahmawati et al.,
2003). Neutrofil menghancurkan mikroba melalui jalur oksigen independen
(lisozim, laktoferin, Reaktive Oxygen intermediate, enzim proteolitik, katepsin G
dan protein kationik) dan oksigen dependen (Baratawidjaya, 2010). Neutrofil
mempunyai serin protease neutrophil elastase yang akan merusak elastin jalan
napas dan komponen paru (Linde´n et al., 2006). Asma neutrofilik merupakan
asma parah dan relatif tahan kortikosteroid. Neutrofil terdapat di saluran napas
pada penderita asma menyebabkan obstruksi saluran napas yang lebih parah,
selain itu juga terdapat eosinofil. Selain itu, neutrofil banyak di saluran napas pada
asma kronik eksaserbasi akut (Fahy, 2009).
4. Bronkiolus paru
Trakea membelah menjadi 2 bronkus utama (primer) yang masuk pada hilus
paru – paru. Bronkus utama setelah masuk paru, bercabang menjadi 3 bronkus
lobaris (sekunder) pada paru kanan dan 2 bronkus lobaris kiri. Bronkus lobaris
bercabang – cabang membentuk saluran yang diameternya lebih kecil yang
disebut bronkiolus. Cabang terminal dari bronkiolus merupakan bagian konduksi
dari saluran napas dinamakan bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
manusia berdiameter sekitar 0,5 mm. Bronkiolus terminalis melanjutkan diri
berupa bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan terakhir
sebagai alveoli (Junqueira and Carneiro, 2003).
Dinding bronkiolus terminalis secara histologis terdiri dari beberapa lapisan.
Epitel selapis kolumner rendah atau kuboid bersilia merupakan lapisan yang
berhubungan dengan lapisan yang berhubungan dengan lumen dinding bronkiolus
terminalis. Sel Goblet dalam jumlah sedikit atau bahkan tidak dijumpai diantara
sel epitel kolumner ini. Lapisan muskularis mukosa terlihat lebih dominan
daripada di segmen-segmen lain dari percabangan bronkus. Lapisan otot ini
membentuk anyaman spiral yang mendominasi lamina propia. Lamina adventisia
masih ada, tetapi tidak lagi diperkuat tulang rawan sehingga dindingnya sering
melipat secara longitudinal (Junqueira and Carneiro, 2003).
Bronkus dan percabangannya dipersarafi oleh serabut saraf otonom. Serabut
saraf simpatis di bronkus dan percabangannya (termasuk bronkiolus terminalis)
keluar dari medula spinalis segmen toraks I sampai toraks 4, sedang komponen
parasimpatis yang menginervasi bronkus keluar dari batang otak melalui nervus
vagus. Sistem simpatis apabila dirangsang maka akan menyebabkan terjadinya
relaksasi otot polos bronkus dan percabangannya (termasuk otot polos pada
bronkiolus) sehingga menyebabkan bronkodilatasi, penurunan sekresi mukus oleh
kelenjar bronkus dan penghambatan pelepasan mediator radang oleh sel mast
Sistem parasimpatis dirangsang maka terjadi bronkokonstriksi, peningkatan
sekresi mukus oleh kelenjar bronkus dan memacu degranulasi pada sel mast
(Gayton, 2008).
5. Airway Remodeling
Gambaran histologi asma tidak hanya menunjukan proses inflamasi tetapi juga
perubahan struktur saluran napas yang dikenal dengan airway remodeling.
Perubahan struktur yang terjadi pada airway remodeling meliputi: hiperplasi dan
metaplasi epitel, fibrosis subepitel, hiperplasi, dan hipertrofi otot polos, serta
peningkatan jumlah pembuluh darah (angiogenesis). Penebalan dinding saluran
napas ini diduga berhubungan dengan airway hyperresponsiveness (AHR) dan
resistensi terapi serta keparahan asma (Barlianto et al., 2009; Halwani et al.,
2010). Penebalan subepitel dan otot polos saluran napas di manusia merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
suatu hal yang sulit ditunjukan. Bahan pemeriksaan dari manusia untuk
mempelajari asma sebagian besar menggunakan hasil biopsi yang terbatas pada
lapisan mukosa sehingga tidak dapat melihat perubahan pada struktur yang lebih
dalam. Pemeriksaan lebih lengkap baru dapat dilakukan pada pemeriksaan post
mortem penderita asma, oleh karena itu penggunaan model binatang yang cocok
sangat dibutuhkan dalam mempelajari asma (Barlianto et al, 2009).
Metode paparan ovalbumin secara akut (4 hari berturut- turut), sub akut (7
hari berturut – turut) dan kronik (3 kali seminggu selama 6 minggu) menunjukan
terjadinya inflamasi kronik, tetapi fibrosis jalan napas hanya terjadi pada paparan
kronik. Model paparan berulang dan jangka panjang (kronik) menunjukkan
replikasi perubahan jangka panjang saluran napas remodeling dan saluran napas
hyperresponsiveness (AHR). Model kronik dianggap lebih mewakili gambaran
asma manusia sehubungan dengan perubahan seluler dan struktural dinding
saluran napas, serta gangguan fungsi saluran napas. Faktor-faktor dan mekanisme
mengatur renovasi tidak digambarkan dengan jelas serta urutan peristiwa itu
terjadi juga tidak diketahui (Locke et al., 2007). Remodeling saluran napas
sebagian reversibel pada asma ringan tapi kebanyakan irreversibel pada asma
parah dan kronik (Halwani et al., 2010).
Airway remodeling disebabkan proses inflamasi dan sel imun (Broide, 2008).
Interleukin-17 pada asma berfungsi menarik dan mengaktivasi neutrofil di saluran
napas. Neutrofil mempunyai serin protease neutrophil elastase yang akan
merusak elastin jalan napas dan komponen paru (Linde´n et al., 2006).
Interleukin-17 merangsang aktivasi fibroblas bronkiolus, sel epitel dan sel otot
polos bronkiolus (Oboki et al., 2008). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-
6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β (Transforming Growth Factor-β), NGF (Nerve
Growth Factor) dan PDGF (Pletelet-Derived Growth Factor). Sitokin tersebut
akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblas. Sel endotel diaktifkan oleh
Fibroblast Growth Factor-2 (FGF-2) dan TNF-α. Aktivasi sel epitel, sintesis
Extra Celluler Matrix (ECM) dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofil yaitu TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-α. Eosinofil teraktivasi
melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas
yaitu Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil Cationic Protein (ECP) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
merusak sel epitel dan saraf, Eosinophil-Derived Neurotoxin (EDN), eosinophil
peroxidase dan mediator lipid (Kay et al., 2004).
6. Akupunktur
Akupunktur berasal dari kata latin acus yang berarti jarum dan puncture yang
berarti menusuk, sehingga secara harfiah acupuncture berarti menusuk dengan
jarum. Tusuk jarum merupakan sebuah cara pengobatan penyakit menggunakan
jarum untuk menusuk titik akupunktur pada badan, dalam atau dangkal (Saputra
and Idayanti, 2005). Akupunktur pada tikus secara manual, tidak menggunakan
stimulator listrik (elektroakupunktur) karena tikus terlalu kecil untuk dialiri listrik.
Dikuatirkan induksi listrik menjalar keseluruh tubuh menyebabkan syok listrik
dan membahayakan keselamatan hewan coba. Rangsangan frekuensi 2 - 4 Hz
masih sangat mudah dilakukan secara manual (Sudirman, 2006).
Akupunktur titik Feishu (BL-13) merupakan titik Shu paru paru (associated
point for lung) terletak antara Thorax III- IV, 2 jari ke lateral garis tengah.
Akupunktur titik Feishu digunakan pada penyakit Asma, batuk, hemoptisis,
demam sore hari, keringat malam, serta nyeri dan rasa dingin di punggung
((Saputra and Idayanti, 2005). Titik Feishu pada mencit terletak pada bagian
punggung mencit pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah prosesus
spinosus Thorax-III (Yin et al., 2008).
Akupunktur titik Zusanli (ST-36) artinya tiga mil di tungkai (The Three miles
in the leg). Titik Zusanli pada manusia satu jari ke fibula dari krista tibialis
(Saputra and Idayanti, 2005). Zusanli mencit terletak 5 mm di bawah lateral
tuberkulum anterior tibia mencit. Penusukan dilakukan secara tegak lurus dengan
kedalaman 5 mm, bilateral (Moon et al., 2007). Akupunktur titik Zusanli (ST-36)
memiliki efek imunomodulator ganda baik dalam Th-1 atau Th-2 pada kondisi
patologis yang dominan, menuju keseimbangan imunologis untuk menjaga
homeostasis (Park et al., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
a. Akupunktur pada asma
Akupunktur efektif untuk pengelolaan dan pengobatan penyakit imun,
termasuk gangguan alergi, infeksi, penyakit autoimun dan sindroma imuno
defisiensi (Kim and Bae, 2010). Akupunktur pengobatan pada pasien asma alergi
dan bronkitis kronik telah digunakan secara tradisional di China lebih dari seribu
tahun. Penyakit asma terdaftar sebagai penyakit yang diobati dengan akupunktur
oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 1979 dan kemudian diklasifikasikan
lagi sebagai penyakit yang dapat diobati dengan akupunktur di tahun 2002.
National Institutes of Health telah menerima validitas pengobatan akupunktur dan
merekomendasikan akupunktur sebagai pengobatan tambahan pada indikasi
manajemen program komprehensif untuk asma. Akupunktur memiliki efek
regulasi pada imunitas mukosa dan seluler pada pasien asma alergi dan mungkin
menjadi terapi tambahan untuk asma alergi (Yang et al., 2012). Cara kerja
akupunktur yaitu : 1). local reaction inflamation 2). meridian intercellular
transduction 3). cutaneo / somato visceral reflex, 4). neural transmission neuro
acupuncture (Saputra, 2003).
Gambar 4 . Cara kerja akupunktur ( diambil dari Saputra, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
1). Local Reaction Inflamation
Trauma mikro jaringan akibat akupunktur menyebabkan inflamasi lokal yang
mensekresi histamin, bradikinin, substansi P, serotonin dan protease. Sekresi
faktor Hageman (Faktor-XII) dengan sistem koagulasi, plasminogen, kinins dan
pelengkap sistem aktivasi prostaglandins. Stimulasi lapisan Lewis sel mast dan
sel-sel di sekitar jarum mensekresi bradikinin, histamin, heparin, hormon
adrenokortikotropik (ACTH), serotonin, dan protease. Sekresi zat itu
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas dan reaksi lokal (Saputra,
2003; Cabioglu and Cetin, 2008). Inflamasi akut akibat trauma jaringan ini
berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan
TNF-α (Baratawidjaja, 2010).
2). Meridian Intercellular Transduction
Titik akupunktur mempunyai tegangan listrik tinggi dan resistensi rendah.
Rangsangan titik akupunktur melalui ”jalur meridian” akan terjadi transmisi
elektron, komunikasi interselluler dan transportasi molekul metabolik sampai ke
organ target (Saputra, 2003). Migrasi, vasodilatasi, edema lokal, leukosit dan sel
mast mensekresi sitokinin antara lain Tumor Necrosis Factor- (TNF-), IL-6,
IL-1 merangsang hipotalamus untuk mengeluarkan CRH (Corticotrophin
Releasing Hormone). Sekresi CRH dari hipotalamus menyebabkan pelepasan
ACTH dari kelenjar pituitari. Hormon adrenokortikotropik (ACTH) menyebabkan
kelenjar adrenal sekresi glukokortikoids untuk mengatur peradangan dan
penyembuhan. Pengaruh CRH, limfosit mensekresi kortikosteroid dan anti-
inflamasi sitokin, yaitu IL-2, IL-4, IL-10, TGF β (Cho et al., 2006; Cabioglu and
Cetin, 2008).
3). Cutaneo / somato Visceral Reflex
Serabut saraf simpatis keluar dari medula spinalis segmen torakolumbal,
sedangkan serabut saraf parasimpatis keluar dari cranial melalui saraf kranial II,
VII, IX dan X serta keluar dari medulla spinalis segmen sakral. Saluran
pernapasan mendapat inervasi dari serabut simpatis yang berasal dari medula
spinalis segmen thorakal-2 sampai 4 (Guyton, 2008), oleh karenanya penjaruman
akupuntur titik Feishu (BL-13) setinggi vertebra Thorax-III (Carneiro et al.,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2010) akan merangsang serabut saraf simpatis pada daerah ini. Perangsangan
sistem simpatis dapat meyebabkan dilepaskannya neurotransmitter yang
merangsang reseptor β2 adrenergik (simpatis) yang antara lain terdapat pada otot
polos bronkus dan percabangannya sehingga terjadi bronkodilatasi, pada sel
kelenjar mukus bronkus menyebabkan hambatan sekresi mukus, serta pada sel
mast terjadi hambatan degranulasi sel mast. Perangsangan sistem simpatis juga
menyebabkan medula adrenal terstimulasi sehingga menghasilkan katekolamin.
Katekolamin bersifat merangsang aktivitas enzim adenilsiklase. Enzim
adenilsiklase mengubah ATP (Adenosintrifosfat) menjadi cAMP (cyclic-
adenosine-monophosphat). Meningkatnya kadar cAMP dalam sel menyebabkan
relaksasi otot polos bronkus, penghambatan aktivitas kelenjar bronkus dalam
menggasilkan mukus dan inhibisi sekresi sel mast (Price dan Wilson, 2006).
Inhibisi sekresi sel mast dapat menormalkan pembentukan limfosit Th-2 (Barnes,
2008 b).
4). Neural Transmission Neuro Acupuncture
Perangsangan titik akupunktur akan merangsang reseptor nyeri diperifer,
rangsangan ini akan diteruskan ke kornu posterior medula spinalis dan sinyal
nyeri ini dibawa oleh tractus spinothalamicus ke thalamus dan diproyeksikan ke
area sensoris kortek serebri (Saputra, 2003). Aktivasi jalur nyeri ini akan
merangsang aktivitas hipothalamus untuk mensekresikan corticotropin -
releasing hormon (CRH) kedalam sistem portal hipofise. Corticotropin releasing
hormon ini akan merangsang pituitari atau hipofise anterior untuk melepaskan
hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang akan merangsang kelenjar kortek
adrenal untuk mensekresi hormon glukokortikoid (kortisol). Kortisol memberikan
memberikan umpan balik negatif terhadap terhadap aksis hipotalamus – hipofisis,
dan menghambat produksi CRH – ACTH ( Price and Wilson, 2006).
Hormon glukokortikoid mempunyai reseptor pada limfosit T sehingga hormon
ini mempunyai kemampuan untuk mengatur respons imun dengan cara
menghambat aktivitas sel dan ekspresi gen. Kortikosteroid (glukokortikoid)
menghambat pematangan sel Dendritik dan kortikosteroid memblokir diferensiasi
sel Dendritik ke Th-1 dan Dendritik ke Th-2. Kortikosteroid juga menghambat
sel efektor Th-2 mengekspresikan CCR4. Sel ini direkrut oleh macrophage-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
derived chemokine (MDC atau CCL22) dan thymus and activation-regulated
chemokine (TARC atau CCL17) yang diekspresikan oleh sel struktural paru-paru.
kortikosteroid juga memblokir transkripsi gen sitokin dalam sel T, termasuk gen
Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-1 (Georas. 2004).
Akupunktur, melalui aktivasi sistem saraf pusat, menurunkan produksi sitokin
Th-2 merangsang peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan keseimbangan antara
sitokin Th-1 dan Th-2. Akupunktur dapat menyebabkan modulasi keseimbangan
Th-1/Th-2 (Kim and Bae, 2010). Akupunktur dapat memperbaiki ketidak
seimbangan dalam energi kehidupan yang vital (meredian paru-paru, limpa, ginjal
atau meridian sistem) yang dapat memicu masalah pernapasan (Haq and Banday,
2012). Titik akupunktur Zusanli (ST-36) memiliki efek imunomodulator ganda
baik dalam Th-1 atau Th-2 pada kondisi patologis yang dominan, menuju
keseimbangan imunologis untuk menjaga homeostasis (Park et al., 2004).
Akupunktur mampu menghilangkan nyeri melalui pengaturan aktivitas sistem
saraf otonom. Rangsangan akupunktur akan mengaktifkan poros hipothalamus -
hipofise - kelenjar adrenal sehingga menyebabkan pelepasan glukokortikoid yang
merupakan suatu hormon yang memiliki efek antiinflamasi yang sangat kuat.
Akupunktur juga mampu mempengaruhi aktivitas sistem saraf simpatis melalui
pelepasan katekolamin dari medula adrenal, katekolamin ini juga mempunyai efek
anti inflamasi (Lee et al., 2007). Akupunktur titik Zusanli pada Th-1/ Th-2 dapat
menyebabkan efek anti alergi dan anti-inflamasi dengan cara:
a) Mengurangi sekresi IL- 4 untuk mengurangi pengaktifan Th-2.
Mengurangi IgE dari sel B dan untuk mengurangi infiltrasi eosinofil ke
paru-paru dengan menghambat adhesi eosinofil pada sel endotel.
b) Mengurangi IL-5 untuk mengurangi aktivasi pengambilan eosinofil (Yim
et al., 2010).
Elektroakupunktur (EA) dengan frekuensi yang berbeda akan menghasilkan
berbagai jenis neuropeptida. Elektroakupunktur dengan frekuensi 2 Hz
mempercepat pelepasan enkephalin, β-endofin dan endomorfin, sedangkan 100
Hz meningkatkan dinorfin. β-endofin menekan Th-2 (Han, 2003). β-endorfin dan
encefalin meningkatkan aktivitas sel Natural killer, limfosit T sitotoksik,
kemotaksis monosit dan produksi dari IFN-, IL-1, IL-2, IL-4 dan IL-6.
Interleukin-2 (IL-2), IL-4 dan IL-6 berfungsi merangsang proliferasi limfosit B
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
(Cabioglu and Cetin, 2008). Neurotransmiter ini memiliki efek imunomodulator
pada sistem imun. Akupunktur dapat digunakan pada penyakit sistem imun,
mengurangi risiko infeksi dan memperbaiki jaringan (Han, 2003). Terapi
akupunktur dapat memperbaiki imunologis gangguan dominan Th-1 atau Th-2.
Patogenesis asma dan penyakit autoimun berkorelasi erat dengan kompartemen
sel T, Th-17 dan sel T regulator. Sel Th-17 diyakini berperan utama dalam
perkembangan alergi dan penyakit autoimun, sedangkan sel T regulator
memainkan peran penting dalam menekan kelebihan aktivasi, baik sel Th-1 dan
Th-2 sehingga mengurangi respons alergi atau autoimun (Kim and Bae, 2010).
b. Pengaruh akupunktur pada IL-17
Akupunktur meningkatkan CD3+,
CD4+, CD8
+ limfosit T secara signifikan
dan menurunkan IL-2R +dan CD4 / CD 8 darah parifer pasien asma alergi dan
bronkitis kronik (Yang et al., 2012). Elektroakupunktur (EA) titik ST-36
(Zusanli), dapat mempengaruhi CD4 + CD25
+ Foxp3 + Treg, dan dapat
meningkatkan fungsi Treg dengan menekan sel T lain dan membatasi respons
imun. Stimulasi EA titik ST-36 menekan peningkatan antigen-Ig E, IL-4, IL-5,
dan IL-13 (Kwon et al., 2012). Interleukin-4, IL-5 dan IL-13 dihasilkan oleh Th-2
(Barnes, 2008b). Elektroakupunktur rmenurunkan jumlah eosinofil dan sel
inflamasi di tikus yang diimunisasi OVA melalui modulasi CD4 + CD25
+ Foxp3
dan Sel Treg menuju suatu keseimbangan imunologis untuk mempertahankan
homeostasis (Kwon et al., 2012). Sel T reg menekan Th-17 yang mensekresi IL-
17 (Barnes, 2008a; Dong, 2009).
c. Penelitian akupunktur pada asma
1). Elektroakupunktur (EA) titik Zusanli(ST-36) pada tikus yang diimunisasi
DNP-KLH dan diulang setiap hari untuk jangka waktu 7, 14, dan 21 hari.
Tingkat serum antigen-IgE spesifik dan total IgE menurun secara bermakna.
Produksi sitokin Th2 spesifik IL-4, IL-5 dan IL-13 pada anti-CD3 mAb-
diaktifkan splenocytes, menurun secara bermakna tetapi IFN tidak
berubah secara signifikan (Park et al., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
2). Elektroakupunktur frekuensi rendah titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-
36) selama 10 hari berturut – turut dapat menurunkan jumlah eosinofil pada
tikus putih model asma (Muthmainah, 2011).
3). Akupunktur pada titik GV14 (Dazhui), BL-12 (Fengmen), dan BL-13
(Feishu) pada penderita asma alergi, dapat menurunkan secara bermakna
sIgA dan total IgA dalam saliva dan sekresi nasal. Tingkat total IgE dalam
serum, kadar IL-2R + Limfosit T, dan jumlah total dan diferensiasi eosinofil
darah perifer juga menurun secara signifikan. Jumlah CD3+, CD4
+, dan
CD8 + limfosit T dalam darah perifer secara signifikan meningkat pada
penderita asma alergi (Yang et al, 2012).
4). Elektroakupunktur (EA) titik ST-36 (Zusanli) , 10 V, stimulasi selama 10
hari berturut – turut, dapat mempengaruhi CD4 + CD25 + Foxp3 + T reg,
dan dapat meningkatkan fungsi T reg dengan menekan sel T lain dan
membatasi respons imun. Stimulasi EA Zusanli (ST-36) menekan
peningkatan antigen-IgE, IL-4, IL-5, dan IL-13 (Kwon et al., 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
B. Kerangka Teori
Gambar 5. Peranan akupunktur pada jumlah eosinofil, kadar IL-17 dan
jumlah neutrofil serta airway remodeling mencit model asma kronik.
Keterangan gambar :
: Merangsang : Meningkat ( pengaruh ovalbumin)
: Menghambat : Meningkat ( pengaruh akupunktur)
: Mengendalikan : Menurun (pengaruh akupunktur)
: Diperiksa (variabel terikat)
Alergen
(ovalbumin)
T
h
1
↑
T
h
2
↑
IL-6
IL-23
I
L
-
2
3
I
F
N
-
Th
17
↑
↓
T
h
r
e
g
T
G
F
-
β
I
L
-
4
I
L
-
2
1
I
L
-
2
2
I
L
-
1
0
T
G
F
-
β
I
F
N
-
I
L
-
1
2
I
L
-
4
T
h
0
I
L
-
5
IL-
17↑
↓
↓↓
↓↑
↑↑
↑↑
↓HF
FFFF
FFFF
FF↑
↑↑
↑↑
↑↓
↓
Air
wa
y
rem
ode
ling
↑↓
n
e
u
t
r
o
fi
l
↑
↓
E
o
s
i
n
o
f
i
l
↑
↓
B
Y
Y
Y
Y Y Y Y I
g
-
E
I
g
-
E
S
e
l
m
a
s
t
Y
ZUSANLI
(ST-36)
Tr
au
m
a
jar
ing
an
I
L
-
3
5
T
G
F
-
β
I
L
-
4
I
L
-
1
3
Gangguan Sistem Saraf Otonom
Parasimpatis
T
G
F
β
,
I
L
-
4
I
L
-
1
3
T
G
F
-
α
s
e
r
i
n
p
r
o
t
e
a
s
e
n
e
u
t
r
o
f
i
l
e
M
S
T
x
I
-
I
V
T
x
T
T
-
Medula
adrenal
r β
adrene
rgik
adrener
gik
si
m
p
a
ti
s
katek
olami
n
c
A
M
P
T
T
-
A
T
P
T
T
-
r
e
l
a
k
s
a
s
i
Degranulasi
Sel Mast
C
R
H
A
C
T
H
Korte
ks
Adre
nal
FEISHU (BL-13)
Adeni l siklase
Medula adrenal
hipotala
mus
p
it
u
it
a
ri
Oto
t
polo
s
k
el
e
nj
ar
Kortiko
steroi
d
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Alergen ovalbumin (OVA) mengaktivasi Th-0 berdiferensiasi menjadi Th-1,
Th-2, Treg dan Th-17 (Deenick and Tangye 2007; Mai et al., 2011). Asma terjadi
ketidak seimbangan Th1/Th2 yang didominasi Th2. Sel Th2 menghasilkan IL-5
yang akan meningkatkan eosinofil (Barnes, 2008 b, 2011a). Eosinofil akan
melepas TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-α yang akan mengaktivasi sel epitel,
sintesis Extracelluler matrix (ECM) dan hipersekresi mukus. Eosinofil teraktivasi
melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas
yaitu Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil Cationic Protein (ECP) yang
merusak sel epitel dan saraf (Kay et al., 2004; Rothenberg and Hogan, 2006).
Sel Th-0 diinduksi oleh IL-6, IL-23 dan TGF β menjadi Th-17 (Traves and
Donnelly, 2008). Sel Th-17 akan memproduksi IL-21, IL-22 dan IL-17. Interleukin IL-
17 merangsang epitel bronkiolus memproduksi β-defensin-2, ICAM-1 (Intercellular Cell
Adhesion Molecule-1), IL- 8, CXCL1, CCL20 (CC- Chemokine ligand 20), G-
CSF (Granulocyte Colony-Stimulating Factor), MUC5B (Mucin 5 subtype B) dan
MUC5AC. Interleukin- 17 (IL-17) merangsang sel otot polos saluran pernapasan
manusia memproduksi IL-6 dan IL-8 (Oboki et al., 2008). Interleukin-17 juga
akan diproduksi oleh Th2 (Wang et al., 2010). Interleukin-17 akan menarik
neutrofil ((Liang et al., 2007; Wang et al., 2010). Neutrofil mempunyai serin
protease neutrophil elastase yang akan merusak elastin jalan napas dan komponen
paru (Linde´n et al., 2006).
Eosinofil, IL-17 dan neutrofil akan menyebabkan peradangan saluran napas,
hipersekresi mukus dan bronkokonstriksi serta airway remodeling. Perubahan
struktur yang terjadi pada airway remodeling meliputi: hiperplasi dan metaplasi
epitel, fibrosis subepitel, hiperplasi, dan hipertrofi otot polos, serta peningkatan
jumlah pembuluh darah (angiogenesis), dan peningkatan jumlah sel Goblet
(Barlianto et al., 2009; Halwani et al., 2010).
Rangsangan alergen (OVA) dapat menyebabkan gangguan sistem saraf
otonom berupa perangsangan saraf parasimpatis dan penurunan saraf simpatis
saluran napas. Perangsangan saraf parasimpatis pada bronkus dan percabangannya
dapat terjadi bronkokontriksi, peningkatan sekresi mukus dan degranulasi sel mast
(Gayton, 2008).
Trauma dinding sel akibat rangsangan titik akupunktur membebaskan
mediator kimiawi yang memicu inflamasi berhubungan dengan produksi sitokin
proinflamasi (Th 1) yaitu IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 dan TNF-α (Saputra, 2003) .
Akupunktur, melalui aktivasi sistem saraf pusat, menurunkan produksi sitokin Th-
2 merangsang peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan keseimbangan antara
sitokin Th-1 dan Th-2 (Kim and Bae, 2010).
Titik Feishu (BL13) terletak setinggi vertebra Thorax-III (Yin et al., 2008;
Carneiro et al., 2010), pada daerah yang dipersarafi oleh serabut saraf sensoris
medula spinalis segmen toraks, sehingga jika titik-titik ini dirangsang maka secara
segmental dapat memacu sistem saraf simpatis. Serabut saraf simpatis yang keluar
dari medula spinalis segmen toraks 1-4 menginervasi bronkus dan
percabangannya. Perangsangan sistem simpatis dapat meyebabkan dilepaskannya
neurotransmitter yang merangsang reseptor β2 adrenergik (simpatis) yang antara
lain terdapat pada otot polos bronkus dan percabangannya sehingga terjadi
bronkodilatasi, pada sel kelenjar mukus bronkus menyebabkan hambatan sekresi
mukus, serta pada sel mast terjadi hambatan degranulasi sel mast (Gayton, 2008).
Perangsangan sistem simpatis juga menyebabkan medula adrenal terstimulasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
sehingga menghasilkan katekolamin. Katekolamin bersifat merangsang aktivitas
enzim adenilsiklase. Enzim adenilsiklase mengubah ATP (Adenosintrifosfat)
menjadi cAMP (cyclic- Adenosine - Monophosphat). Meningkatnya kadar cAMP
dalam sel menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, penghambatan aktivitas
kelenjar bronkus dalam menghasilkan mukus dan penghambatan degranulasi sel
mast (Price dan Wilson, 2006). Inhibisi sekresi sel mast dapat menormalkan
pembentukan limfosit Th-2 (Barnes, 2008 b).
Perangsangan titik Akupunktur secara teoritis dapat menimbulkan reaksi
melalui jalur Hypothalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) (Saputra, 2003). Jadi bila
titik-titik ini dirangsang maka melalui jalur tersebut rangsangan akupunktur dapat
memacu keluarnya hormon CRF yang selanjutnya dapat memacu ACTH dan
akhirnya meningkatkan pengeluaran kortikosteroid oleh korteks adrenal. Kortisol
memberikan memberikan umpan balik negatif terhadap terhadap aksis
hipotalamus – hipofisis, dan menghambat produksi CRH – ACTH ( Price and
Wilson, 2006).
Kortikosteroid (glukokortikoid) menghambat pematangan sel Dendritik dan
kortikosteroid memblokir diferensiasi sel Dendritik ke Th-2, kortikosteroid juga
memblokir transkripsi gen sitokin dalam sel T, termasuk gen Th2 yang
menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-1 (Georas. 2004). Steroid mempunyai sifat dapat
menurunkan ambang rangsang reseptor beta adrenergik (meningkatkan
sensitivitas reseptor beta adrenergik), sehingga meningkatkan kadar AMP siklik
dapat menyebabkan bronkodilatasi, penghambatan aktivitas kelenjar bronkus
dalam menghasilkan mukus dan penghambatan pelepasan mediator peradangan
dari sel mast (Price dan Wilson, 2006). Penghambatan pelepasan mediator
peradangan dapat menyebabkan penurunan jumlah eosinofil, IL-17, neutrofil dan
airway remodeling.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
B. Kerangka Konseptual
Gambar 2. Kerangka konseptual peranan akupunktur BL-13 dan ST-36 pada
jumlah eosinofil, kadar IL-17 dan jumlah neutrofil serta airway remodeling
(ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan jumlah sel Goblet) bronkiolus mencit
model asma kronik
Keterangan Gambar :
: variabel bebas
: variabel terikat
: variabel luar
C. Hipotesis Penelitian
1. Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) berpengaruh menurunkan
jumlah eosinofil darah mencit model asma kronik.
2. Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) berpengaruh menurunkan
kadar Interleukin-17 (IL-17) darah mencit model asma kronik.
3. Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) berpengaruh menurunkan
jumlah neutrofil darah mencit model asma kronik.
4. Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) berpengaruh
mengendalikan airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos
dan jumlah sel Goblet) bronkiolus mencit model asma kronik.
Sel
Inflamasi
Sel
Strukt
ural
Mediat
or
Inflam
asi
Airway
remodeli
ng
IL-
17
Jumlah
Eosinofil
Jumlah
Neutrofil
Ketebalan epitel
brokiolus
Ketebalan otot polos
bronkiolus
Jumlah sel Goblet
bronkiolus
Akupun
ktur
BL-13
ST-36
Alergen, Genetika
Aktivitas Fisik >>
Lingkungan
Obat, Emosi, Umur
Ovalbu
min
OVA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif eksperimen laboratoris
dengan rancangan post-test only group designs.
B. Lokasi penelitian di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT)
unit IV Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
C. Subyek Penelitian :
Populasi penelitian berupa mencit BALB/c. Kriteria retriksi pada
penelitian ini adalah :
1. Kriteria inklusi : mencit BALB/c. jenis kelamin betina, umur 6-8 minggu
dan berat badan 20 - 30 gram, sehat dan bebas penyakit (makan banyak,
aktivitas baik, bulu tidak rontok), diet standar (bebas ovalbumin).
2. Kriteria eksklusi : Mencit dengan kelainan atau cacat fisik.
Hewan coba yang digunakan adalah mencit BALB/c, betina, sebanyak 32
ekor, berumur antara 6-8 minggu dengan berat badan sekitar 20 - 30 gram yang
diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) unit IV
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
D. Besar sampel
Banyaknya jumlah sampel ditentukan dengan rumus Federer :
(k-1) (n-1) > 15
k : jumlah kelompok
n : jumlah sampel dalam tiap kelompok
Besar sampel yang diperlukan dihitung dengan rumus:
(k-1) (n-1) > 15 ; k = 4
(4-1) (n-1) > 15
3n-3 > 15
3n > 18
n > 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel minimal yang diperlukan
adalah 7 ekor mencit BALB/c. Percobaan ini menggunakan 8 ekor mencit untuk
mengantisipasi adanya drop out. Jadi sampel total adalah 32 ekor.
E. Teknik sampling
Sampel diambil secara nonrandom dengan teknik purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel dengan cara mengambil anggota populasi yang ada atau
tersedia. Pada penelitian ini sampel diperoleh dengan cara memesan / membeli
sejumlah mencit dari populasi yang kriterianya telah ditentukan sesuai dengan
kriteria inklusi.
Sampel penelitian dibagi secara random dalam 4 kelompok dengan masing-
masing kelompok terdiri dari 8 mencit, yaitu :
1. Kelompok kontrol (K I) adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan.
2. Kelompok asma kronik (K II) adalah kelompok mencit yang diberi
perlakuan dengan ovalbumin (OVA) sehingga mengalami asma kronik.
3. Kelompok akupunktur Feishu (K I1I) adalah kelompok mencit yang
diberi perlakuan dengan ovalbumin (OVA) sehingga mengalami asma dan
juga mendapat perlakuan akupunktur titik Feishu (BL-13).
4. Kelompok akupunktur Feishu + Zusanli (K IV) adalah kelompok mencit
yang diberi perlakuan dengan ovalbumin (OVA) sehingga mengalami
asma dan juga mendapat perlakuan akupunktur titik Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36).
F. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian berupa the post test only control group design.
KI : (Xo) → O0
K II : (X1) → O1
K III : (X2) → O2
K IV : (X3) → O3
Keterangan :
K I : Kelompok kontrol (tanpa diberi perlakuan )
K II : Kelompok Asma kronik
K III : Kelompok akupunktur BL-13
K IV : Kelompok akupunktur BL-13 + ST-36
X0 : Tanpa perlakuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
X1 : Perlakuan dengan OVA (mencit model asma)
X2 : Mencit model asma + akupunktur titik BL-13
X3 : Mencit model asma + akupunktur titi BL-13 dan ST-36
O0 : Pengamatan hasil pada kelompok kontrol
O1 : Pengamatan hasil pada kelompok asma
O2 : Pengamatan hasil pada kelompok asma + Akupunktur BL-13
O3 : Pengamatan hasil pada kelompok asma + akupunktur BL-13 dan
ST-36
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian akupunktur dan
pemberian ovalbumin (asma).
2. Variabel terikat :
Variabel terikat pada penelitian ini adalah jumlah eosinofil, neutrofil dan
kadar IL-17 darah, serta airway remodeling.
3. Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan.
1) Variasi genetik : Penelitian ini menggunakan mencit BALB/c
2) Jenis kelamin: Mencit yang digunakan adalah mencit BALB/c,
betina. Mencit betina dipilih karena memiliki respons yang lebih
baik terhadap alergen (ovalbumin) dibanding mencit jantan
(Blacquière et al., 2010).
3) Umur : Umur mencit yang digunakan adalah 6-8 minggu.
4) Berat badan : Berat badan mencit yang digunakan adalah 20 gram.
5) Diet : Mencit mendapat diet berupa makanan standar dan minuman
berupa air RO (reverse osmosis) ad libitum.
6) Suhu kamar : mencit ditempatkan pada ruangan ber AC (Air
Conditioning) dengan suhu kamar yang sama berkisar antara 25 -
28oC.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
1) Kondisi psikologis mencit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti adanya perlakuan yang berulang kali.
2) Kondisi awal bronkiolus mencit merupakan variabel luar yang tidak
dapat dikendalikan. Peneliti tidak mungkin untuk melakukan
pemeriksaan keadaan histologis bronkiolus mencit sebelum
perlakuan.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
a. Mencit model asma kronik
Mencit model asma alergi kronik yaitu mencit disensitisasi pada
hari ke-0 dan 14 dengan 10 µg ovalbumin (OVA) / mencit dan 1 mg
Alumunium hidroksida dalam 0,5 cc NaCl 0,9 % permencit, secara
intraperitoneal. Hari ke-21 sampai hari ke-63, mencit dipapar 1% OVA
aerosol dalam NaCl 0,9 % selama 30 menit setiap 3 kali / minggu
selama 6 minggu (Locke et al., 2007; Barlianto et al., 2009 dan
Faturrachman et al., 2012). Aerosol melalui nebulizer merk
“CompMisk” (model 40-105-000, USA) ke ruang paparan (27 cm x 20
cm x 9 cm), tiap kelompok mencit ditempatkan.
b. Akupunktur
Akupunktur merupakan penusukan titik akupunktur. Penelitian ini,
penusukan titik akupunktur dengan menggunakan jarum baja tahan
karat steril Merk Huan Qiu ukuran 0,18 x 7 mm buatan Cina pada titik
Feishu (BL-13) yang terletak pada bagian punggung mencit pada kedua
sisi ruang interkostal setinggi batas bawah prosesus spinosus Thorax-III
(Yin et al., 2008), dan titik Zusanli (ST-36) terletak 5 mm di bawah
lateral tuberkulum anterior tibia. Penusukan dilakukan secara tegak
lurus dengan kedalaman 5 mm, bilateral (Moon et al., 2007) selama 15
menit, tanpa manipulasi. Akupunktur dilakukan pada kelompok
akupunktur Feishu (K III) dan akupunktur Feishu + Zusanli (K IV)
dengan frekuensi 3 kali perminggu, sekali sehari selama 15 menit, tanpa
manipulasi, selama 6 minggu.
2. Variabel terikat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
a. Pemeriksaan kadar IL-17
Pemeriksaan IL-17 menggunakan mouse IL-17 ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay) kit sesuai dengan protokol yang sudah
dianjurkan pabriknya (Koma Biotech, Seoul, Korea)
Skala ukuran variabel ini adalah rasio
b. Pemeriksaan jumlah sel eosinofil
Pemeriksaan jumlah sel eosinofil darah, adalah jumlah sel eosinofil
per mm3 plasma darah, dihitung dengan alat automated hematology
analizer ((Sysmex-XS-800i, Jepang) di laboratorium Patologi Klinik
di RS Ibu Anak Aisyiyah Klaten.
Skala ukuran variabel ini adalah rasio.
c. Pemeriksaan jumlah sel neutrofil
Pemeriksaan jumlah sel neurofil darah, adalah jumlah neutrofil per
mm3 yang dihitung dengan alat hemato analizer (Sysmex-XS-800i,
Jepang) di laboratorium Patologi Klinik di RS Ibu Anak Aisyiyah
(RSIA) Klaten.
Skala ukuran variabel ini adalah rasio.
d. Airway Remodeling
Airway remodeling yang diperiksa akibat peradangan kronik pada
penelitian ini yaitu :
1) Ketebalan epitel adalah ketebalan epitel bronkiolus pengecatan
dengan hematosilin eosin (HE) dalam micrometer (μm) yang
diukur dengan Image Optilab Pro6.1 software.
2) Ketebalan otot polos adalah ketebalan otot polos bronkiolus
pengecatan dengan hematosilin eosin (HE) dalam micrometer
(μm) yang diukur dengan Image Optilab Pro6.1 software.
3) Jumlah sel Goblet adalah jumlah sel Goblet bronkiolus pada
lumen bronkiolus dengan perbesaran 400 X perlapang pandang,
dengan Image Optilab Pro software 6.1 dan Image J .
Skala ukuran variabel ini adalah ratio
I. Alat dan bahan penelitian
1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
a. Jarum akupunktur yang digunakan adalah produk Huanqiu, China.
Kemasan steril, sekali pakai, dibuat dari baja tahan karat, jarum tajam,
tak berongga, dan pegangan berupa uliran perak, dengan
Lot / batch : 130516
Ukuran : 0.18 x 7 mm (penampang 0.18 mm dan panjang 7 mm).
Tanggal produksi : 130505 (05 Mei 2013)
Tanggal kadaluarsa : 05 / 2018.
b. Alat compressor nebulizer merk “CompMisk” (model 40-105-000,
USA).
c. Alat suntik
Alat suntik yang digunakan merk Terumo, kemasan steril untuk sekali
pakai, ukuran 1 ml dengan panjang jarum ½ inci dan kaliber 27 G yang
digunakan untuk injeksi intra peritoneal.
d. Alat bedah hewan (scalpel, pinset, gunting)
e. Alat pembuatan preparat bronkiolus
f. Mikroskop cahaya OLYMPUS CX21
2. Bahan Penelitian
a. Mencit BALB/c
Mencit yang digunakan berasal dari induk yang inbread yang dirawat
sejak dilahirkan sampai digunakan sebagai sampel dengan kondisi
bebas penyakit dan diet bebas ovalbumin. Mencit berasal dari
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) unit IV
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dengan persyaratan
seperti yang tertulis di variabel terkendali. Mencit dipelihara di
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) unit IV
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta oleh tenaga yang sudah
berpengalaman. Mencit dipelihara di dalam kandang ukuran 30 x 30 x
20 cm dan dan 10 ekor mencit pada setiap kandang, pada ruangan ber
AC dengan suhu antara 25-28 oC.
b. OVA (Ovalbumin) ( Nacalai, Catalog 01205-42, Jepang)
c. Al (OH)3 (Alumunium Hidroksida) Merck
d. Ketamin 100 mg
e. NaCl 0,9 %
f . Bahan pembuatan preparat paru paru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
g. Pengecatan hematoxylin eosin (HE)
h. Pengecatan Periodic Acid Schiff (PAS)
i. Mouse IL-17 ELISA kit (Koma Biotech, Seoul, Korea)
j. Buffer Formalin 10 %
J. Cara Kerja
Mencit diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu di laboratorium.
Tiap kelompok mencit ditempatkan dalam satu kandang. Sehari sesudah
adaptasi selesai, mencit dibagi dalam empat kelompok secara random yaitu
kelompok kontrol (K I) yang nantinya tidak mendapat perlakuan, kelompok
asma (K II) yang mendapat paparan ovalbumin (OVA) dan kelompok
akupunktur Feishu (K III) segera setelah mendapat paparan OVA selesai, juga
mendapatkan akupunktur pada titik Feishu (BL-13) bilateral, serta kelompok
akupunktur Feishu + Zusanli (K IV) segera setelah mendapat paparan OVA
selesai, juga mendapatkan akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-
36) bilateral.
Mencit betina yang berumur 6-8 minggu pada umumnya berat badan
sudah diketahui berkisar 20-30 gram, namun penimbangan berat badan mencit
tetap dilakukan. Hal ini bertujuan untuk lebih memastikan bahwa mencit yang
digunakan pada penelitian ini memang mempunyai berat badan berkisar 20-30
gram atau mempunyai berat badan yang seragam. Penimbangan berat badan
ini juga bertujuan agar dosis pemberian OVA lebih tepat. Setelah dilakukan
penimbangan berat badan, mencit mulai diberi perlakuan. Untuk membuat
mencit asma maka mencit disensitisasi dengan larutan OVA secara
intraperitoneal (i.p) pada hari ke-0 dan diulang lagi dengan cara yang sama
pada hari ke-14. Pemaparan dengan OVA aerosol (secara inhalasi
menggunakan nebulizer) dilakukan pada hari ke-21 sampai hari ke -63 hewan
disensitisasi inhalasi 1 % OVA dalam normal salin (NaCl 0,9 %), eorosol
selama 30 menit setiap 3 kali / minggu selama 6 minggu. Perlakuan untuk
membuat mencit model asma dilakukan pada kelompok K II, K III dan K IV.
Kelompok K III selain diberi inhalasi OVA juga diberi perlakuan
akupunktur. Akupunktur dilakukan segera setelah proses paparan OVA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
selesai, setiap 3 x / minggu, setiap hari satu kali selama 15 menit. Akupunktur
dilakukan pada titik Feishu (BL-13) bilateral yang terletak pada bagian
punggung mencit pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah
prosesus spinosus Thorax-3 (Yin, 2008). Kelompok K IV selain diberi
inhalasi OVA juga diberi perlakuan akupunktur. Akupunktur dilakukan
segera setelah proses paparan selesai, setiap 3 x / minggu, setiap hari satu kali
selama 15 menit, tanpa manipulasi. Akupunktur dilakukan pada dua titik
yaitu titik Feishu (BL-13) bilateral yang terletak pada bagian punggung
mencit pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah prosesus
spinosus Thorax-III (Yin, 2008), dan titik Zusanli (ST-36) terletak 5 mm di
bawah lateral tuberkulum anterior tibia, bilateral. Penusukan dilakukan secara
tegak lurus dengan kedalaman 5 mm, tanpa manipulasi. (Moon et al., 2007).
Dua puluh empat jam setelah itu mencit dinabulezer dan akupunktur (hari
ke- 64) dilakukan pengambilan darah periorbital, kemudian mencit
dikorbankan dengan injeksi intraperitoneal Ketamine 200 µg/g (Locke et al.,
2007). Darah digunakan untuk pemeriksaan kadar IL-17, jumlah sel neutrofil,
dan eosinofil. Pemeriksaan jumlah sel eosinofil dan neutrofil dengan mesin
hematoanalizer dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RS Islam Klaten.
Pemeriksaan IL-17 dengan Mouse IL-17 ELISA kit, dilakukan di
Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta. Gambaran airway remodeling dengan cara organ
paru beserta trakheanya dibuat preparat histologis dengan pengecatan
hematoxylin dan eosin (HE) dan PAS (Periodic Acid Schiff).
1.Teknik pembuatan preparat histopatologis bronkiolus (Carson, 1994)
a. Paru kanan – kiri diambil.
b. Difiksasi / direndam jaringan paru dalam larutan buffer formalin 10 %
selama 24 jam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
c. Trimming : pemotongan tipis setebal kurang lebih 4 mm (penelitian ini
paru diambil 3 bagian terdiri 1 bagian dari lobus kanan dan 2 bagian dari
lobus kiri).
d. Dehidrasi
Dehidrasi jaringan menggunakan tissue processor untuk mengeluarkan
air dalam jaringan dengan menggunakan cairan dehidran seperti ethanol
atau iso propyl alkohol. Cairan dehidran kemudian dibersihkan dari
dalam jaringan dengan reagen pembersih (clearing agent) seperti xylane
atau tolune. Impregnasi yaitu penggantian reagen pembersih diganti
paraffin dengan cara penetrasi ke dalam jaringan. Parafin yang digunakan
adalah yang mempunyai titik cair 56- 58 0C.
Pengaturan waktu dehidrasi ( Alhohol 80 % dua jam, 95 % dua jam dan 1
jam, alkohol absolute 3 kali masing masih 1 jam, dilanjutkan dengan
clearing dengan xylol 3 kali masing masing 1 jam dan impregnasi
dengan paraffin masing masing 2 jam
e. Embedding.
Jaringan yang berada dalam embedding cassette dipindahkan ke dalam
base mold, kemudian diisi dengan paraffin cair, kemudian dilekatkan
pada blok kayu ukuran 3 x 3 cm atau embedding cassette dilekatkan pada
blok kayu atau cassette disebut blok. Blok kayu atau cassette fungsinya
adalah untuk memegang pada saat blok dipotong pada mikrotom.
f. Cutting.
Cutting adalah pemotongan jaringan yang sudah didehidrasi dengan
menggunakan mikrotom.
g. Staining / pewarnaan
h. Mounting
Setelah jaringan pada slide diwarnai, dilakukan mounting dengan cara
meneteskan bahan mounting (DPX, Entelan, Canada balsam) sesuai
kebutuhan dan ditutup dengan coverglass, cegah jangan sampai terbentuk
gelembung udara.
i. Slide dilihat dengan mikroskop cahaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Pada penelitian ini setiap slide terdiri dari 3 jaringan yaitu 1 bagian dari lobus
kanan dan 2 bagian dari lobus kiri).
2. Teknik pembacaan slide
Slide atau preparat dilihat dengan mikroskop cahaya (Olympus CX-21
dengan kamera scope Image dan dianalisis dengan image raster dan image j ).
Seluruh bagian preparat dilihat dengan pembesaran 100 x (lensa objective 10x,
lensa ocular 10x) untuk menentukan letak bronkiolus terminal yang nantinya
akan dibaca. Bronkiolus terminal dipilih pada penelitian ini karena bronkiolus
terminal juga menunjukkan adanya kelainan pada peristiwa asma seperti
bronkus maupun bagian lain dari saluran napas, sehingga mewakili gambaran
kelainan jaringan pada saluran napas pada asma. Penampang lintang
bronkiolus terminalis yang utuh lebih mudah didapat pada irisan jaringan paru
dibanding bronkus. Bronkiolus terminal yang dipilih adalah yang mempunyai
diameter hampir sama. Diameter bronkiolus ini bisa dilihat dengan
membandingkan diameter bronkiolus dengan diameter lapang pandang
mikroskop cahaya dengan pembesaran tertentu. Setelah bronkiolus
ditemukan, dipilih 3 buah bronkiolus yang diameternya hampir sama untuk
tiap irisan jaringan paru. Pengamatan dengan mikroskop dengan pembesaran
400 x (lensa objective 40x, lensa ocular 10x). Ketebalan epitel bronkiolus, dan
ketebalan otot polos bronkiolus dalam micrometer (μm) yang diukur dengan
Image Optilab Pro 6.1 software (Media Cybermetics, Silver Spring, MD)
dikalibrasi dengan referensi slide micrometer. Pengukuran ketebalan dari satu
bronkiolus berasal dari rata rata ukuran terbesar, terkecil dan terbanyak.
Jumlah sel Goblet bronkiolus pada lumen membran basalis per 100 μm
dengan dengan Image Optilab Pro 6.1 software (Media Cybermetics, Silver
Spring, MD) dikalibrasi dengan referensi slide micrometer serta dihitung
dengan Image J .
K. Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Data jumlah eosinofil, neutrofil, kadar IL-17 darah, dan airway remodeling
(ketebalan epitel, ketebalan otot polos serta jumlah sel Goblet) bronkiolus
dianalisa. Apabila data berdistribusi normal maka data dianalisis menggunakan uji
ANOVA (Analysis of variance) dilanjutkan dengan LSD (Least Significant
Difference) Post Hoc Test. Apabila uji normalitas data berdistribusi tidak normal
maka uji variasi atau beda beberapa mean dapat menggunakan uji statistik non
parametrik Kruskal Wallis dilanjutkan menggunakan analisis statistik non
parametrik Mann-Whitney. Program SPSS for Windows Release 22.0 dan p<0,05
dipilih sebagai tingkat minimal signifikansinya.
L. Alur Penelitian
Mencit
BALB/c
32 ekor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Gambar 7. Skema Alur Penelitian
BAB IV
K
I
K
o
n
t
r
o
l
(
8
e
k
o
r
)
Randomisa
si
Sensitisasi OVA
10 µg + 1 mg alum,
ip, hari 0 & 14
Darah : kadar IL-17, eosinofil, neutrofil
Paru : Airway remodeling (ketebalan epitel, dan ketebalan otot polos
serta sel Goblet ) bronkiolus.
Analisis
Statistik
K II
OVA
inhal
asi,
1%
hr-21
- 63,
3x/
ming
gu,
6
ming
gu
( 8
ekor)
K III
OV
A
inhal
asi,
1%
hr-
21 -
63,
3x/
ming
gu,
6
ming
gu
Aku
punk
tur
BL-
13
( 8
ekor)
K IV
OV
A
inhal
asi, 1
% hr
21-
63,
3x/
ming
gu,
6
ming
gu
Aku
punk
tur
BL-
13 &
ST-
36
( 8
ekor)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi variabel penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 32 ekor mencit, yang dibagi dalam 4 kelompok,
yaitu 8 ekor mencit sebagai kelompok kontrol (K I), 8 ekor mencit sebagai
kelompok II (K II) yang mendapat perlakuan berupa paparan dengan OVA
sehingga mengalami asma kronik dan 8 ekor mencit yang mendapat perlakuan
berupa paparan dengan OVA, sehingga mengalami asma kronik dan dilakukan
terapi akupunktur titik Feishu (BL-13) sebagai kelompok III (K III), serta 8 ekor
mencit yang mendapat perlakuan berupa paparan dengan OVA sehingga
mengalami asma konik dan dilakukan akupunktur titik Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36) sebagai kelompok IV (K IV).
Jumlah variabel penelitian dalam kajian ini terdiri dari delapan variabel yang
terdiri dari enam variabel bersifat kuantitatif yaitu jumlah eosinofil, neutrofil,
kadar IL-17 dan pengendalian airway remodeling (ketebalan epitel bronkiolus,
ketebalan otot polos bronkiolus dan jumlah sel Goblet bronkiolus dan dua variabel
bersifat kualitatif (akupunktur titik Feishu dan kombinasi akupunktur titik Feishu
+ Zusanli). Deskripsi variabel penelitian yang bersifat kuantitatif dibatasi pada
pengungkapan nilai statistik mean dan standar deviasi.
2. Proses analisis penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan pengaruh terapi
akupunktur menurunkan jumlah eosinofil, neutrofil, kadar IL-17 dan
pengendalian airway remodeling (ketebalan epitel bronkiolus, ketebalan otot
polos bronkiolus dan jumlah sel Goblet) bronkiolus mencit model asma kronik.
Sampel penelitian untuk masing-masing kelompok setelah dijelaskan secara
deskriptif yaitu nilai parameter mean dan standar deviasinya, selanjutnya
dilakukan pengujian normalitas atas data-data variabel penelitian itu untuk
masing-masing kelompok sampel. Pengujian normalitas data variabel ini penting
untuk menentukan analisis lanjutan atas variabel-variabel penelitian yaitu jumlah
eosinofil, neutrofil, kadar IL-17 dan pengendalian airway remodeling bronkiolus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Uji Normalitas data masing-masing variabel dilakukan menggunakan uji Shapiro-
Wilk.
Analisis penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi terjadinya variasi
atau perbedaan enam mean masing-masing variabel yaitu jumlah eosinofil,
neutrofil, kadar IL-17 dan pengendalian airway remodeling bronkiolus pada
semua kelompok penelitian, dengan demikian penelitian ini menggunakan analisis
beda k mean (dalam hal ini enam mean) untuk sampel yang independen.
Apabila hasil uji normalitas data variabel didapatkan bahwa distribusi data
variabel untuk masing-masing kelompok sampel adalah berdistribusi normal,
maka uji variasi atau perbedaan beberapa mean dapat menggunakan alat uji
statistik Analysis of Variance (ANOVA) atau disebut juga Uji F. Apabila terdapat
variasi mean untuk ke enam kelompok sampel itu, analisis akan diteruskan dengan
mencari perbedaan dua mean masing-masing kelompok menggunakan uji lanjutan
ANOVA yaitu Post Hoc Test. Namun, apabila hasil uji normalitas data variabel
menunjukkan bahwa distribusi data untuk masing-masing kelompok sampel
adalah berdistribusi tidak normal maka uji variasi atau beda beberapa mean dapat
menggunakan uji statistik non parametrik Kruskal Wallis atau disebut juga Uji K.
Penelusuran lebih lanjut untuk menguji beda mean masing-masing sampel
kelompok dapat menggunakan analisis statistik non parametrik Mann-Whitney.
3. Uji Normalitas Data
Uji Normalitas data, untuk mengetahui apakah data variabel penelitian
masing-masing kelompok sampel berdistribusi normal atau tidak normal.
Pengujian normalitas data mengajukan hipotesis nihil bahwa distribusi data
variabel itu normal dengan hipotesis alternatif bahwa distribusi data variabel itu
tidak normal. Hasil pengujian normalitas terhadap variabel jumlah eosinofil dan
kadar IL-17 untuk masing-masing kelompok sampel menunjukkan bahwa
pengujian hipotesis untuk normalitas data diterima yang berarti semua distribusi
data kedua variabel penelitian dan pada masing-masing kelompok sampel adalah
normal. Sebaliknya, hasil pengujian normalitas terhadap variabel jumlah neutrofil
untuk masing-masing kelompok sampel menunjukkan bahwa pengujian hipotesis
untuk normalitas data ditolak yang berarti distribusi data variabel pada masing-
masing kelompok sampel adalah tidak normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Hasil pengujian normalitas terhadap pengendalian airway remodeling
bronkiolus variabel ketebalan otot polos bronkiolus untuk masing-masing
kelompok sampel menunjukkan bahwa pengujian hipotesis untuk normalitas data
diterima yang berarti semua distribusi data kedua variabel penelitian dan pada
masing-masing kelompok sampel adalah normal. Sebaliknya, hasil pengujian
normalitas terhadap variabel ketebalan epitel bronkiolus dan jumlah sel Goblet
untuk masing-masing kelompok sampel menunjukkan bahwa pengujian hipotesis
untuk normalitas data ditolak yang berarti distribusi data variabel pada masing-
masing kelompok sampel adalah tidak normal.
Tabel 2. Diskripsi dan Uji Normalitas Data Shapiro Wilk, Variabel Jumlah
Eosinofil, Neutrofil, dan Kadar IL-17 Berdasarkan Kelompok Sampel.
Variabel Kelompok Sampel
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
1 Jumlah
Eosinofil
/mm3
214,0 ± 61,7 307,50 ±
130,55
180,5 ± 64,3 178,4 ± 70,6
SW =
0,91
P =
0,34
SW =
0,87
P =
0,14
SW =
0,95
P =
0,75
SW =
0,93
P =
0,54
2 Jumlah
Neutrofil
/mm3
19,8 ± 6,0 38,0 ± 14,0 32,8 ± 10,9 21,0 ± 6,3
SW =
0,96
P =
0,79
SW =
0,88
P =
0,19
SW =
0,93
P =
0,56
SW =
0,68
P =
<0,01
3 IL-17
(pg/ml)
136,13 ± 45,45 206,63 ± 60,80 165,38 ± 20,84 126,00 ± 39,35
SW =
0,91
P =
0,37
SW =
0,87
P =
0,15
SW =
0,89
P =
0,24
SW =
0,95
P =
0,74
Sumber: Data Primer 2015, diolah
Distribusi data variabel-variabel jumlah eosinofil, kadar IL-17, dan ketebalan
otot polos bronkiolus sudah dideskripsikan secara ringkas dan sudah dilakukan
pengujian normalitas data dan hasilnya semua distribusi data ketiga variabel
tersebut dan pada masing-masing kelompok sampel adalah normal. Distribusi
data variabel-variabel jumlah neutrofil, ketebalan epitel bronkiolus dan jumlah sel
Goblet sudah dideskripsikan secara ringkas dan sudah dilakukan pengujian
normalitas data dan hasilnya semua distribusi data ketiga variabel tersebut dan
pada masing-masing kelompok sampel adalah tidak normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Tabel 3. Deskripsi dan Uji Normalitas Data Variabel Pengendalian Airway
Remodeling (ketebalan epitel bronkiolus, ketebalan otot polos bronkiolus
dan jumlah sel Goblet) Bronkiolus Berdasarkan Kelompok Sampel.
Variabel Kelompok Sampel
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
1 Ketebalan
Epitel
Bronkiolus
(m)
14.51± 1,19 36,64 ± 10,12 19,64 ± 1,94 17,87 ± 3,19
SW =
0,86
P =
0,11
SW =
0,90
P =
0,26
SW =
0,81
P =
0,04
SW =
0,98
P =
0,95
2 Ketebalan
Otot Polos
Bronkiolus
(m)
6,34 ± 1,29 11,70 ± 3,16 7,84 ± 1,06 7,89 ± 2,49
SW =
0,95
P =
0,68
SW =
0,86
P =
0,13
SW =
0,95
P =
0,72
SW =
0,91
P =
0,38
3 Jumlah Sel
Goblet
5,63 ± 8,11 48,50 ± 15,01 16,63 ± 13,97 15,00 ± 9,06
SW =
0,77
P =
<0,01
SW =
0,92
P =
0,46
SW =
0,85
P =
0,09
SW =
0,87
P =
0,16
Sumber: Data Primer 2015, diolah
4. Analisis perlakuan akupunktur terhadap jumlah eosinofil, neutrofil, kadar
IL-17, dan airway remodeling bronkiolus mencit model asma kronik
Variabel independen yang diteliti meliputi variabel jumlah eosinofil,
neutrofil, sel Goblet, ketebalan epitel brokiolus, ketebalan otot bronkiolus, dan
kadar IL-17 semua bersifat kuantitatif, dimana variabel tersebut diukur pada
empat kelompok, yaitu kelompok kontrol, asma kronik, terapi akupunktur Feishu
dan akupunktur Feishu dan Zusanli. Langkah pertama pengujian variabel utama
adalah menguji beda k mean variabel jumlah eosinofil, neutrofil, sel Goblet,
ketebalan epitel brokiolus, ketebalan otot bronkiolus, dan kadar IL-17 pada
kelompok I, II, III dan IV.
Distribusi data keenam variabel penelitian pada masing-masing kelompok di
atas sudah diuji. Data yang berdistribusi normal, maka pengujian variasi atau beda
enam mean menggunakan ANOVA atau uji F. Data yang berdistribusi tidak
normal, maka pengujian variasi atau beda enam mean menggunakan uji Kruskal-
Wallis atau uji K.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
a. Analisis perlakuan akupunktur terhadap jumlah eosinofil darah mencit
model asma kronik
Hasil pengujian ANOVA untuk variabel jumlah eosinofil menunjukkan
bahwa ada perbedaan empat mean eosinofil di kelompok I, II, III dan IV atau ada
variasi keempat mean eosinofil itu secara bermakna p = 0,019 (p <0,05). Hasil
pengujian ANOVA atas variabel eosinofil pada kelompok I, II, III dan IV dapat
dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 4. Hasil Uji One Way Anova tentang Mean Jumlah Eosinofil/mm3
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD F P
214,0 61,7 307,50 130,55 180,5 64,3 178,4 70,6 3,91 0,019
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda empat mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan empat
mean tersebut menghasilkan nilai F hitung = 3,91 dengan p = 0,019 (p <0,05). Hal
itu berarti beda mean eosinofil pada kelompok I, II, III dan IV benar-benar
berbeda secara bermakna. Jika dibandingkan dengan mean eosinofil kelompok
kontrol, kelompok asma kronik memiliki kecenderungan mean eosinofil
meningkat, kemudian dapat diturunkan dengan akupunktur titik Feishu dan
kombinasi titik Feishu+Zusanli. Terapi akupunktur Feishu dibandingkan dengan
kombinasi titik Feishu+Zusanli tidak memberikan perbedaan hasil penurunan
eosinofil. Hasil mean jumlah eosinofil darah, masing-masing kelompok penelitian
disajikan pada Gambar 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Gambar 8. Jumlah Eosinofil masing-masing kelompok penelitian
Hasil analisis beda dua mean sampel tergantung menggunakan penelusuran
Post Hoc Test di atas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel jumlah eosinofil
antara kelompok kontrol (214 ± 61,7 / mm3 ) dan asma kronik (307,5 ± 130,55
/mm3) adalah bermakna pada p = 0,039 (p <0,05). Hal itu dapat dikatakatan
bahwa mencit asma kronik jumlah eosinofil meningkat secara bermakna. Setelah
dilakukan akupunktur titik Feishu maka jumlah eosinofil mengalami penurunan,
sehingga beda dua mean kelompok asma kronik (307,5 ± 130,55 / mm3) dan
Asma + Feishu (180,5 ± 64,3 / mm3) berbeda secara bermakna dengan p = 0,007
(p <0,01). Demikian pula, pada kelompok asma yang dilakukan akupunktur titik
Feishu+Zusanli maka jumlah eosinofil mengalami penurunan, sehingga beda 2
mean kelompok asma (307,5 ± 130,55 / mm3) dan asma + Feishu dan Zusanli
(178,4 ± 70,6 / mm3) berbeda bermakna dengan p = 0,006 (p <0,01). Namun,
tidak ada perbedaan penurunan antara jumlah eosinofil akupunktur Feishu (180,5
± 64,3 / mm3) dibandingkan akupunktur Feishu+Zusanli (178,4 ± 70,6 / mm
3)
dengan p = 0,961 (p >0,05).
214
307,5
180,5 178,4
0
50
100
150
200
250
300
350
Kontrol Asma kronik Asma kronik +akupunktur Feishu
Asma kronik +akupunktur Feishu
& Zusanli
Jum
lah
Eo
sin
ofi
l dar
ah/m
m3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tabel 5. Hasil Uji Post Hoc Test tentang Jumlah Eosinofil
Penelusuran Beda dua Mean Beda Mean p
Kontrol - Asma kronik -93,50 0,039
Asma kronik - BL-13 127,00 0,007
Asma kronik - BL-13 + ST-36 129,13 0,006
BL-13 - BL-13 + ST-36 2,13 0,961
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa: “Akupunktur menurunkan jumlah
eosinofil darah pada mencit model asma kronik” benar-benar dapat terbukti
secara statistik bermakna.
b. Analisis perlakuan akupunktur terhadap jumlah neutrofil darah mencit
model asma kronik
Hasil pengujian Kruskal-Wallis untuk variabel jumlah neutrofil menunjukkan
bahwa ada perbedaan empat mean neutrofil di kelompok I, II, III dan IV atau ada
variasi keempat mean neutrofil itu secara bermakna dengan derajat signifikansi
sebesar 0,005 (p <0,01). Hasil pengujian Kruskal-Wallis atas variabel neutrofil
pada kelompok I, II, III dan IV dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 6. Hasil Uji Kruskal-Wallis tentang Jumlah Neutrofil/mm3
K I K II K III K IV χ2 p
Mean 19,75 38,00 32,75 21,00
12,97 0,005
Median 19,00 34,50 34,00 19,00
Std. Deviation 6,04 14,00 10,87 6,30
Minimum 12,00 20,00 11,00 16,00
Maksimum 31,00 55,00 48,00 36,00
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda empat mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan empat
mean tersebut menghasilkan nilai χ 2 hitung = 12,97 dengan p = 0,005 yang berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
beda empat mean itu signifikan atau bermakna pada p = 0.005 (p <0,01). Hal itu
berarti beda mean neutrofil pada kelompok I, II, III dan IV berbeda secara
bermakna. Jika dibandingkan dengan mean neutrofil kelompok kontrol, kelompok
asma kronik (K II) memiliki kecenderungan mean neutrofil meningkat, kemudian
dapat diturunkan dengan pemberian akupunktur kombinasi titik Feishu+Zusanli,
sedangkan pemberian akupunktur titik Feishu tidak menurunkan neutrofil secara
bermakna. Terdapat perbedaan secara bermakna antara akupunktur titik Feishu
dibandingkan dengan kombinasi Feishu+Zusanli dalam menurunkan neutrofil.
Hasil mean jumlah neutrofil darah, masing-masing kelompok penelitian disajikan
pada Gambar 9.
Gambar 9. Jumlah Neutrofil masing-masing kelompok penelitian
Hasil analisis beda dua mean sampel independen menggunakan penelusuran
uji Mann-Whitney diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel jumlah
neutrofil antara kelompok kontrol dan asma kronik bermakna dengan p = 0,009 (p
<0,01). Hal itu dapat dikatakatan bahwa pada mencit asma kronik jumlah neutrofil
meningkat secara bermakna. Setelah diberikan akupunktur titik Feishu maka
jumlah neutrofil tidak mengalami penurunan, sehingga beda dua mean kelompok
asma kronik dan akupunktur Feishu (K III) tidak berbeda secara bermakna dengan
p = 0,674 (p >0,05). Namun, setelah diberikan akupunktur titik Feishu+Zusanli
maka jumlah neutrofil mengalami penurunan bermakna, sehingga beda dua mean
19,75
38
32,8
21
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Kontrol asma kronik asma kronik +Feishu
asma kronik +Feishu & Zusanli
Jum
lah
Ne
tro
fil d
arah
/mm
3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
kelompok asma kronik dan terapi BL-13 + ST-36 berbeda secara bermakna
dengan p = 0,005 (p <0,01). Terdapat perbedaan penurunan jumlah neutrofil
antara akupunktur titik Feishu dibandingkan pemberian akupunktur titik
Feishu+Zusanli dengan p = 0,035 (p <0,05).
Tabel 7. Hasil Uji Mann-Whitney Jumlah Neutrofil /mm3
Penelusuran Beda dua Mean Nilai Z p
Kontrol – Asma kronik -2,63 0,009
Asma kronik - BL-13 -0,42 0,674
Asma kronik - BL-13 + ST-36 -2,79 0,005
BL-13 - BL-13 + ST-36 -2,10 0,035
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis kedua yang menyatakan bahwa: “akupunktur menurunkan jumlah
neutrofil darah pada mencit model asma kronik” dapat terbukti secara bermakna
secara statistik, hanya untuk kombinasi akupunktur Feishu+Zusanli.
c. Analisis perlakuan akupunktur terhadap kadar IL-17 mencit model
asma kronik
Hasil pengujian ANOVA untuk variabel kadar IL-17 menunjukkan bahwa
ada perbedaan empat mean IL-17 di kelompok I, II, III dan IV atau ada variasi
keempat mean IL-17 itu secara bermakna dengan p = 0,004 (p <0,01). Hasil
pengujian ANOVA atas variabel IL-17 pada kelompok I, II, III dan IV dapat
dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 8. Hasil Uji One Way Anova tentang Mean menurut Kadar IL-17
(pg/ml)
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV F p
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD
136,13 45,45 206,63 60,80 165,38 20,84 126,00 39,35 5,47 0,004
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Hasil analisis beda empat mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan empat
mean tersebut menghasilkan nilai F hitung = 5,47 dengan p = 0,004 yang berarti
beda empat mean itu secara statistik signifikan atau bermakna dengan p= 0.004 (p
<0,01). Hal itu berarti beda mean IL-17 pada kelompok I, II, III dan IV benar-
benar berbeda secara statistik bermakna. Jika dibandingkan dengan mean IL-17
kelompok kontrol, kelompok asma kronik memiliki kecenderungan mean IL-17
meningkat, kemudian dapat diturunkan dengan akupunktur titik Feishu dan
kombinasi titik Feishu+Zusanli. Terapi akupunktur titik Feishu dibandingkan
dengan kombinasi titik Feishu+Zusanli memberikan perbedaan hasil penurunan
IL-17 secara bermakna dengan p = 0,035. Hasil mean kadar IL-17, masing-masing
kelompok penelitian disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Kadar IL-17 masing-masing kelompok penelitian
Hasil analisis beda dua mean menggunakan penelusuran Post Hoc Test diatas
menunjukkan bahwa uji variabel kadar IL-17 antara kelompok kontrol dan asma
kronik berbeda bermakna dengan p = 0,004 (p <0,01). Hal itu dapat dikatakatan
bahwa pada mencit asma kronik kadar IL-17 meningkat secara bermakna. Setelah
diberikan akupunktur titik Feishu maka kadar IL-17 tidak mengalami penurunan
bermakna, sehingga beda dua mean kelompok asma kronik dan terapi Feishu
berbeda secara tidak bermakna dengan p = 0,171 (p >0,05). Namun, setelah
diberikan akupuktur kombinasi Feishu+Zusanli maka kadar IL-17 mengalami
136,13
206,63
165,38
126
0
50
100
150
200
250
Kontrol Asma kronik asma kronik +Feishu
Asma kronik +Feishu & Zusanli
Kad
ar IL
-17
(p
g/m
l)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
penurunan secara bermakna, sehingga beda dua mean kelompok asma kronik dan
kelompok IV berbeda secara bermakna dengan p = 0,001 (p <0,01). Terdapat
perbedaan penurunan kadar IL-17 antara akupunktur titik Feishu dibandingkan
akupunktur titik Feishu+Zusanli dengan p = 0,035 (p <0,05).
Tabel 9. Hasil Uji Post Hoc Test Beda Dua Mean Kadar IL-17
Penelusuran Beda dua Mean Beda Mean p
Kontrol – Asma kronik -70,50 0,004
Asma kronik – BL-13 41,25 0,171
Asma kronik – BL-13 + ST-36 80,63 0,001
BL-13 – BL-13 + ST-36 39,38 0,035
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa: “Akupunktur menurunkan kadar IL-17
pada mencit model asma kronik” dapat terbukti secara statistik bermakna, hanya
untuk akupunktur kombinasi titik Feishu+Zusanli.
d. Analisis perlakuan akupunktur terhadap airway remodeling bronkiolus
mencit model asma kronik
Penilaian perngendalian airway remodeling bronkiolus, dalam penelitian ini
menggunakan tiga parameter yaitu ketebalan epitel bronkiolus, ketebalan otot
polos bronkiolus dan jumlah sel Goblet bronkiolus.
Hasil pengujian ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk variabel airway
remodeling (ketebalan epitel bronkiolus, ketebalan otot polos bronkiolus
dan jumlah sel Goblet) bronkiolus menunjukkan bahwa ada perbedaan empat
mean variabel airway remodeling bronkiolus di kelompok I, II, III dan IV atau
ada variasi keempat mean airway remodeling.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
1). Analisis perlakuan akupunktur terhadap ketebalan epitel bronkiolus
mencit model asma kronik
Hasil pengujian Kruskal-Wallis atas variabel ketebalan epitel bronkiolus pada
kelompok I, II, III dan IV dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 10. Hasil Uji Kruskal-Wallis tentang ketebalan epitel bronkiolus
K I K II K III
(BL-13)
K II
(BL-13 &
ST-36)
χ2 p
Mean 14,51 36,64 19,64 17,88
24,52 <0,001
Median 14,80 34,15 19,20 17,65
Std. Deviation 1,20 10,12 1,93 3,20
Minimum 12,60 24,50 17,80 12,90
Maksimum 15.80 57,80 23,90 23,10
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda empat mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan empat
mean ketebalan epitel bronkiolus menghasilkan nilai χ2 hitung = 24,52 dengan
p<0,001 yang berarti beda empat mean itu signifikan atau bermakna pada derajat
signifikansi 1 persen (p <0,01). Hal itu berarti beda mean ketebalan epitel
bronkiolus pada kelompok I, II, III dan IV benar-benar berbeda secara bermakna.
Jika dibandingkan dengan mean ketebalan epitel bronkiolus kelompok kontrol,
kelompok asma kronik memiliki kecenderungan mean ketebalan epitel bronkiolus
meningkat, kemudian dapat diturunkan dengan akupunktur titik Feishu dan
kombinasi titik Feishu+Zusanli. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
akupunktur titik Feishu dibandingkan dengan kombinasi titik Feishu+Zusanli
dalam menurunkan ketebalan epitel bronkiolus. Hasil mean ketebalan epitel
bronkiolus, masing-masing kelompok penelitian disajikan pada Gambar 11.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Gambar 11. Ketebalan epitel bronkiolus masing-masing kelompok penelitian
Hasil analisis beda dua mean sampel menggunakan penelusuran uji Mann-
Whitney diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel ketebalan epitel
bronkiolus antara kelompok kontrol dan asma kronik berbeda bermakna dengan p
= 0,001 (p <0,01). Hal itu dapat dikatakatan bahwa pada mencit asma kronik
ketebalan epitel bronkiolus meningkat secara bermakna. Setelah akupunktur titik
Feishu maupun akupunktur titik Feishu+Zusanli maka ketebalan epitel bronkiolus
mengalami penurunan, sehingga beda dua mean kelompok asma kronik dan terapi
BL-13 maupun beda dua mean kelompok asma kronik dan kombinasi BL-13 &
ST-36 berbeda secara bermakna dengan p = 0,001 (p <0,01). Namun, tidak
terdapat perbedaan yang bermakan antara akupunktur titik Feishu maupun
akupunktur titik Feishu+Zusanli dalam menurunkan ketebalan epitel bronkiolus,
sehingga beda dua mean kelompok BL-13 dan BL-13 + ST-36 tidak berbeda
secara bermakna p = 0,172 (p >0,05).
14,51
36,64
19,64 17,88
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Kontrol Asma kronik(OVA)
OVA + Feishu OVA +Feishu+Zusanli
Ke
teb
alan
ep
ite
l bro
nki
olu
s (
m)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Gambar 12. Perbandingan gambaran ketebalan epitel bronkiolus mencit.
A. Ketebalan epitel bronkiolus pada mencit balb C normal (kontrol). B.Ketebalan
epitel bronkiolus asma kronik (mendapat paparan OVA selama 6 minggu, 3 kali/
minggu), tampak gambaran epitel yang menebal. C. Ketebalan epitel bronkiolus
asma kronik yang mendapat akupunktur Feishu (BL-13) bilateral, 15 menit selama
6 minggu, 3 kali/ minggu, pada kelompok III. D. Ketebalan epitel bronkiolus
asma kronik yang mendapat akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
bilateral, 15 menit, 3 kali/ minggu, selama 6 minggu, pada kelompok (K IV).
Pewarnaan hematoxylin dan eosin (H & E), pembesaran 400 X, Mikroskop cahaya
OLYMPUS CX21.
Tabel 11. Hasil Uji Mann-Whitney tentang Ketebalan Epitel Bronkiolus
Penelusuran Beda dua Mean Nilai Z p
Kontrol – Asma kronik -3.36 0,001
Asma kronik – BL-13 -3.36 0,001
Asma kronik – BL-13 + ST-36 -3.36 0,001
BL-13 – BL-13 + ST-36 -1.37 0,172
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis keempat yang menyatakan bahwa: “akupunktur mengendalikan airway
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
remodeling (ketebalan epitel) bronkiolus mencit model asma kronik” benar-benar
dapat terbukti secara statistik bermakna.
2). Analisis perlakuan akupunktur terhadap ketebalan otot polos bronkiolus
mencit model asma kronik
Hasil pengujian ANOVA atas variabel ketebalan otot polos bronkiolus pada
kelompok kontrol (K I), OVA ( KII), OVA & BL-13 (K III) dan OVA & BL-13 +
ST-36 (K IV) dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 12. Hasil Uji One Way Anova tentang Mean ketebalan otot polos
bronkiolus (m)
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV F p
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD
6,34 1,29 11,70 3,16 7,84 1,06 7,89 2,49 8,84 <0,001
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Hasil analisis beda empat mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan empat
mean ketebalan otot polos bronkiolus menghasilkan nilai F hitung = 8,84 dengan
p< 0,001 (p <0,01). Hal itu berarti beda mean ketebalan otot polos bronkiolus
pada kelompok I, II, III dan IV benar-benar berbeda secara bermakna. Jika
dibandingkan dengan mean ketebalan otot polos bronkiolus kelompok kontrol,
kelompok asma kronik memiliki kecenderungan mean ketebalan otot polos
bronkiolus meningkat, kemudian dapat diturunkan dengan akupunktur titik Feishu
dan kombinasi titik Feishu+Zusanli. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara akupunktur titik Feishu dibandingkan dengan kombinasi titik
Feishu+Zusanli dalam menurunkan ketebalan otot polos bronkiolus. Hasil mean
ketebalan otot polos bronkiolus, masing-masing kelompok penelitian disajikan
pada Gambar 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Gambar 13. Ketebalan otot polos bronkiolus masing-masing
kelompok penelitian
Hasil analisis beda dua mean menggunakan penelusuran Post Hoc Test diatas
menunjukkan bahwa uji terhadap variabel ketebalan otot polos bronkiolus antara
kelompok kontrol dan asma kronik berbeda bermakna dengan p< 0,001 (p <0,01).
Hal itu dapat dikatakatan bahwa pada mencit asma kronik ketebalan otot polos
bronkiolus meningkat secara bermakna. Setelah akupunktur titik Feishu, maka
ketebalan otot polos bronkiolus mengalami penurunan, sehingga beda dua mean
kelompok asma kronik dan akupunktur BL-13 berbeda secara bermakna dengan p
= 0,001 (p <0,01). Demikian pula, setelah akupunktur titik Feishu+Zusanli maka
ketebalan otot polos bronkiolus mengalami penurunan, sehingga beda dua mean
kelompok asma kronik dan kombinasi akupunktur Bl-13 dan ST-36 berbeda
secara bermakna dengan p = 0,002 (p <0,01). Namun, tidak terdapat perbedaan
yang bermakan antara akupunktur BL-13 maupun kombinasi akupunktur BL-13
dan ST-36 dalam menurunkan ketebalan otot polos bronkiolus, sehingga beda
dua mean kelompok akupunktur BL-13 dan akupunktur BL-13 + ST-36 tidak
berbeda secara bermakna dengan p = 0,964 (p >0,05).
6,34
11,7
7,84 7,89
0
2
4
6
8
10
12
14
Kontrol Asma kronik Asma kronik +Feishu
Asma Kronik +Feishu & zusanli
Ke
teb
alan
oto
t p
olo
s b
ron
kio
lus
(m
)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Tabel 13. Hasil Uji Post Hoc Test tentang Ketebalan Otot Polos Bronkiolus
Penelusuran Beda dua Mean Beda Mean p
Kontrol – Asma kronik -5,36 < 0,001
Asma kronik – BL-13 3,86 0,001
Asma kronik – BL-13 + ST-36 3,81 0,002
BL-13 – BL-13 + ST-36 -0,05 0,964
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
Gambar 14. Perbandingan gambaran otot polos bronkiolus mencit.
A.Otot polos bronkiolus mencit normal (kontrol = KI). B. Otot polos kelompok
asma yang mendapat paparan OVA selama 6 minggu, 3 kali/ minggu (K II)
tampak gambaran otot polos yang menebal. C. Otot polos kelompok yang selain
mendapat paparan OVA selama 6 minggu (asma kronik) juga mendapat
akupunktur Feishu (BL-13) bilateral, 15 menit selama 6 minggu, 3 kali/ minggu,
pada kelompok III. D. Otot polos mencit asma kronik yang mendapat
akupunktur Feishu dan Zusanli bilateral, 15 menit selama 6 minggu, 3 kali/
minggu (K IV). Pewarnaan hematoxylin dan eosin (H & E), pembesaran 400 X,
mikroskop cahaya OLYMPUS CX21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis keempat yang menyatakan bahwa: “akupunktur mengendalikan airway
remodeling (ketebalan otot polos) bronkiolus mencit model asma kronik” benar-
benar dapat terbukti secara statistik bermakna.
3). Analisis perlakuan akupunktur terhadap jumlah sel Goblet mencit
model asma kronik
Hasil pengujian Kruskal-Wallis atas variabel jumlah sel Goblet pada
kelompok I, II, III dan IV dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 14. Hasil Uji Kruskal-Wallis tentang jumlah sel Goblet bronkiolus
K I K II K III K IV χ
2 p
Mean 5,63 48,50 16,63 15,00
19,44 <0,001
Median 1,00 51,50 14,50 18,00
Std. Deviation 8,11 15,01 13,97 9,06
Minimum 0,00 23,00 1,00 0,00
Maksimum 22,00 65,00 47,00 24,00
Sumber: Data Primer 2015, diolah
Hasil analisis beda empat mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan empat
mean jumlah sel Goblet menghasilkan nilai χ2 hitung = 19,44 dengan p< 0,001
(p<0,01). Hal itu berarti beda mean jumlah sel Goblet pada kelompok I, II, III dan
IV benar-benar berbeda secara bermakna. Jika dibandingkan dengan mean jumlah
sel Goblet kelompok kontrol, kelompok asma kronik memiliki kecenderungan
mean jumlah sel Goblet meningkat, kemudian dapat diturunkan dengan
akupunktur titik Feishu dan kombinasi titik Feishu dan Zusanli. Tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara akupunktur titik Feishu dibandingkan dengan
kombinasi titik Feishu+Zusanli dalam menurunkan jumlah sel Goblet. Hasil mean
jumlah sel Goblet, masing-masing kelompok penelitian disajikan pada Gambar
15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Gambar 15. Jumlah sel Goblet masing-masing kelompok penelitian
Hasil analisis beda dua mean menggunakan penelusuran uji Mann-Whitney
diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel jumlah sel Goblet antara
kelompok kontrol dan asma kronik, berbeda bermakna p = 0,001 (p <0,01). Hal
itu dapat dikatakatan bahwa jumlah sel Goblet mencit asma kronik meningkat
secara bermakna. Setelah akupunktur titik Feishu, maka jumlah sel Goblet
mengalami penurunan, sehingga beda dua mean kelompok asma kronik dan
akupunktur BL-13 berbeda secara bermakna dengan p = 0,002 (p <0,01).
Demikian pula, setelah akupunktur kombinasi Feishu dan Zusanli maka jumlah
sel Goblet mengalami penurunan, sehingga beda dua mean kelompok asma kronik
dan akupunktur BL-13 + ST-36 berbeda secara bermakna dengan p = 0,001 (p
<0,01). Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakan antara akupunktur titik
Feishu maupun kombinasi titik Feishu dan Zusanli dalam menurunkan jumlah sel
Goblet, sehingga beda dua mean kelompok BL-13 dan kombinasi BL-13 + ST-36
tidak berbeda secara bermakna dengan p = 0,752 (p >0,05).
5,63
48,5
16,63 15
0
10
20
30
40
50
60
Kontrol Asma kronik Asma kronik +Feishu
Asma Kronik +Feishu &Zusanli
Jum
lah
se
l Go
ble
t
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Gambar 16. Perbandingan gambaran jumlah sel Goblet pada lapisan epitel
bronkiolus mencit. Sel Goblet dengan pewarnaan PAS (Periodic Acid Schiff),
berwarna pink (tanda panah). A. Mencit normal (kontrol) tidak tampak adanya sel
Goblet. B. Asma kronik yang mendapat paparan OVA 15 menit, 3 kali/ minggu,
6 minggu (K II) tampak jumlah sel Goblet dengan produk mukusnya yang sangat
banyak. C. Asma kronik yang mendapat akupunktur Feishu (BL-13), bilateral, 15
menit, 3 kali/ minggu, selama 6 minggu, pada kelompok III. D. Asma kronik
yang mendapat akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36), bilateral, 15
menit, 3 kali/ minggu, selama 6 minggu, pada kelompok IV. pembesaran 400 X,
Mikroskop cahaya OLYMPUS CX21.
Tabel 15. Hasil Uji Mann-Whitney tentang Jumlah Sel Goblet Bronkiolus
Penelusuran Beda dua Mean Nilai Z p
Kontrol – Asma kronik -3,39 0,001
Asma kronik – BL-13 -3,05 0,002
Asma kronik – BL-13 + ST-36 -3,21 0,001
BL-13 – BL-13 + ST-36 -0,32 0,752
Sumber: Data Primer 2015, diolah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis keempat yang menyatakan bahwa akupunktur mengendalikan airway
remodeling (jumlah sel Goblet) brounkiolus mencit model asma kronik” benar-
benar dapat terbukti secara statistik bermakna.
d. Analisa korelasi antar variabel
Terdapat korelasi positip meskipun secara statistik tidak bermakna antara
eosinofil dan ketebalan epitel bronkiolus (r=0,22; p =115), ketebalan otot polos
bronkiolus (r=0,28; p=0,115) dan jumlah sel Goblet bronkiolus (r=0,27; p=0,139).
Terdapat korelasi positip dan secara statistik bermakna antara kadar IL-17 dan
ketebalan epitel bronkiolus (r= 0,56; p =0,001), ketebalan otot bronkiolus (r=
0,35; p=0,049) dan jumlah sel Goblet bronkiolus (r= 0,48; p=0,005). Terdapat
korelasi positip dan secara statistik bermakna antara jumlah neutrofil dan
ketebalan epitel bronkiolus (r= 0,52; p=0,002), ketebalan otot bronkiolus (r= 0,37;
p =0,040) dan jumlah sel Goblet bronkiolus (r= 0,33; p=0,069).
Tabel 16. Korelasi antara sel inflamasi (eosinofil dan neutrofil), mediator
inflamasi (IL-17) dan Airway remodeling (epitel, otot polos dan sel Goblet)
bronkiolus.
Sel inflamasi Airway remodeling r p
Eosinofil Ketebalan epitel bronkiolus 0,22 0,234
Ketebalan otot bronkiolus 0,28 0,115
Jumlah sel Goblet bronkiolus 0,27 0,139
IL-17 Ketebalan epitel bronkiolus 0,56 0,001
Ketebalan otot bronkiolus 0,35 0,049
Jumlah sel Goblet bronkiolus 0,48 0,005
Neutrofil Ketebalan epitel bronkiolus 0,52 0,002
Ketebalan otot bronkiolus 0,37 0,040
Jumlah sel Goblet bronkiolus 0,33 0,069
Penelitian ini juga menunjukkan korelasi positip dan secara statistik bermakna
antara kadar IL-17 dan jumlah neutrofil ( r= 0,53; p = 0,002).
B. Pembahasan
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas, yang merupakan
hasil interaksi beberapa faktor imunitas humoral dan seluler. Interaksi antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
faktor – faktor tersebut pada asma alergi akan menimbulkan terjadinya AHR,
bronkokonstriksi, sekresi mukus dan airway remodeling. Asma diperantarai oleh
eosinofil, sel mast dan sel Th2, selain itu pada asma yang kronik dan parah (tidak
terkontrol) terjadi juga peningkatan neutrofil. Tingkat keparahan dan kronisitas
asma berkorelasi dengan kadar IL-17 yang ditemukan di dahak, paru-paru,
Bronchoalveolar-lavage (BAL), atau darah pasien. Fungsi sitokin IL-17 selama
reaksi asma adalah mengatur mobilisasi neutrofil (Wang et al., 2010).
Akupunktur, melalui aktivasi sistem saraf pusat, menurunkan produksi sitokin
Th-2, merangsang peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan keseimbangan
antara sitokin Th-1 dan Th-2. Akupunktur memodulasi keseimbangan Th-1/Th-2
(Kim and Bae, 2010) dan menurunkan jumlah eosinofil dan sel inflamasi di tikus
diimunisasi ovalbumin (OVA) melalui modulasi CD4+ CD25
+ Foxp3 dan Sel T
reg (Kwon et al., 2012).
Penelitian pengaruh perlakuan akupunktur titik Feishu dan Zusanli pada
mencit model asma kronik ini, meneliti tentang komponen seluler (sel eosinofil
dan neutrofil), mediator inflamasi (IL-17), dan sel struktural tentang airway
remodeling (sel epitel brounkiolus, sel otot polos brounkiolus dan jumlah sel
Goblet) bronkiolus.
1. Eosinofil
Pada penelitian ini tampak mencit gatal – gatal dan sesak nafas, serta
wheezing, setelah mendapat paparan OVA berulang dan peningkatan jumlah
eosinofil darah mencit yang mendapat paparan berulang OVA, membuktikan
bahwa pemberian OVA dapat menginduksi terjadinya asma. Hasil uji Statistik
didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok K I (kontrol) dan K II
(Asma) dimana jumlah eosinofil pada kelompok asma (K II) lebih banyak
daripada kelompok kontrol (K I). Hal ini berarti paparan OVA menyebabkan
peningkatan jumlah eosinofil. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Locke et al.
(2007) dan Patel and Chorawala (2011) yang menggunakan OVA untuk
menginduksi terjadinya asma pada mencit Balb/c. Penelitian ini memperlihatkan
adanya peningkatan jumlah eosinofil pada darah tepi mencit yang dipapar dengan
OVA secara bermakna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Pada penelitian ini pemberian OVA dilakukan secara berulang-ulang.
Pemberian OVA yang pertama kali secara teori dapat merangsang sel B
menghasilkan Ig E dengan bantuan sel T helper (Th). Imunoglobulin E ini
selanjutnya akan menempel pada permukaan sel mast. Pemberian OVA yang
kedua dan seterusnya secara berulang- ulang akan menyebabkan terjadinya ikatan
antara OVA (sebagai antigen) dengan Ig E (sebagai antibodi) yang ada
dipermukaan sel mast. Ikatan ini dapat merangsang terjadinya degranulasi sel
mast sehingga terlepaslah mediator – mediator yang terkandung dalam sel mast
yaitu histamine leukotrin, Eosinophile Chemotactic Factor-A (ECF-A) dan
Sitokin ( TNF- α, IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13) serta enzim (chymase dan
tryptase). Mediator – mediator tersebut dapat menimbulkan gejala – gejala seperti
peradangan, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Eosinofil merupakan sel
radang yang jumlah sangat dominan pada peradangan yang berkaitan dengan
alergi (Baratawidjaya, 2010).
Uji statistik menunjukkkan bahwa kelompok mencit yang mendapat paparan
OVA yang dilakukan akupunktur titik Feishu (BL-13) jumlah eosinofil lebih
sedikit dari pada kelompok mencit yang mendapat paparan OVA tanpa dilakukan
akupunktur. Jadi akupunktur titik Feishu (BL-13) pada penelitian ini dapat
menurunkan jumlah eosinofil mencit Balb C model asma kronik secara statistik
bermakna. Akupunktur dilakukan pada dua titik Feishu ( BL-13) yang terletak
pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah prosesus spinosus Th-3
pada punggung mencit. Titik Feishu (BL-13) terletak pada daerah yang yang
disyarafi oleh serabut saraf sensoris medulla spinalis segmen thoraks, sehingga
apabila titik ini dirangsang maka secara sekmental dapat memacu sistem saraf
simpatis. Serabut saraf simpatis yang menginervasi bronkus dan percabangannya
keluar dari medulla spinalis segmen toraks 1 sampai toraks 4. Perangsangan pada
sistem simpatis dapat menyebabkan medulla adrenal terstimulasi sehingga
menghasilkan katekolamin. Katekolamin bersifat merangsang aktivitas enzim
adenilsiklase sehigga menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP. Peningkatan
kadar siklik AMP dapat menyebabkan bronkodilatasi, penghambatan aktivitas
kelenjar bronkus dalam menghasilkan mukus dan penghambatan degranulasi sel
mast. Penghambatan degranulasi sel mast berarti penghambatan pelepasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
mediator inflamasi dari sel mast. Jika mediator inflamasi pelepasannya dihambat
maka peristiwa peradangan dapat dihambat, sel radang termasuk sel eosinofil juga
dihambat, sehingga jumlah eosinofil menurun. Mencit asma kronik yang
dilakukan akupunktur pada titik Feishu saja (K III) dibanding yang dilakukan
kombinasi akupunktur Feishu dan Zusanli pada kelompaok IV, terjadi penurunan
jumlah eosinofil walaupun perbedaan secara statistik tidak bermakna. Penelitian
ini sesuai dengan penelitian Yang (2012) dimana akupunktur pada titik GV14
(Dazhui), BL-12 (Fengmen), dan BL-13 (Feishu) menurunkan jumlah eosinofil
darah perifer penderita asma secara bermakna.
Uji statistik menunjukkkan bahwa jumlah eosinofil kelompok mencit yang
mendapat paparan OVA dan dilakukan akupunktur titik Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36) lebih sedikit dari pada kelompok mencit yang mendapat paparan
OVA tanpa mendapat akupunktur. Jadi Akupuktur titik Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36) pada penelitian ini dapat menurunkan jumlah eosinofil mencit
Balb C model asma kronik secara statistik bermakna. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Muthmainah (2011) dimana akupunktur titik Feishu dan Zusanli 10 hari
berturut turut dapat menurunkan eosinofil brounkiolus tikus model asma.
Perangsangan titik Feishu (BL-13) dan titik Zusanli (ST-36) secara teoritis
dapat menimbulkan reaksi melalui jalur talamo-hipofisio-adrenal. Jadi bila titik –
titik ini dirangsang maka melalui jalur tersebut rangsangan akupunktur dapat
memacu keluarnya hormon CRF kemudian memacu ACTH selanjutnya
meningkatkan pengeluaran steroid oleh korteks adrenal. Steroid dapat
menurunkan ambang rangsang reseptor beta adrenergik (meningkatkan sensifitas
reseptor beta adrenergik), sehingga ikatan reseptor ini dengan katekolamin dapat
mengaktivasi enzim adenilsiklase, kemudian meningkatkan AMP siklik. Kadar
AMP siklik yang meningkat dapat menyebabkan bronkodilatasi, penghambatan
aktivitas kelenjar bronkus menghasilkan mukus dan penghambatan pelepasan
mediator peradangan dari sel mast. Penghambatan pelepasan mediator peradangan
dapat menyebabkan penurunan jumlah eosinofil (Siboe and Sudiro, 1993).
Hasil analisis beda mean antar dua kelompok dapat disimpulkan bahwa
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa akupunktur menurunkan jumlah
eosinofil darah pada mencit model asma kronik terbukti secara statistik bermakna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
2. Kadar Interleukin -17 (IL-17)
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas. Tingkat keparahan
dan kekronikan asma berkorelasi dengan kadar IL-17 yang ditemukan di dahak,
paru, Bronchoalveolar-lavage (BALF), atau darah pasien. Fungsi sitokin IL-17
selama reaksi asma adalah mengatur mobilisasi neutrofil (Wang et al., 2010).
Kadar IL-17 berkorelasi derajat keparahan hipersensitivitas saluran napas pasien
asma, hal ini menunjukkan bahwa IL-17 berkonstribusi pada pathogenesis asma
(Oboki, 2008). Sel Th-0 yang diaktivasi oleh TGF-β dan proinflamasi seperti IL-6
dan IL-23 berdiferensiasi menjadi Th-17 (Traves and Donnelly, 2008). Sel Th-17
mensekresi IL-17 yang berperan penting pada regulasi imunitas dan inflamasi
pada penyakit inflamasi kronik (Dong, 2009).
Penelitian ini menggunakan OVA selama 63 hari, 3 kali perminggu untuk
menginduksi mencit model asma alergi kronik, sehingga terjadi peningkatan kadar
IL-17 darah. Pada penelitian ini kelompok asma model kronik (K II) terjadi
peningkatan IL-17 plasma darah nya secara bermakna (p=0.004) dibanding
kontrol. Peningkatan IL-17 ini menunjukkan bahwa kelompok II sudah
menunjukkan asma kronik seperti penelitian Hadinoto et al., (2013) pemberian
OVA selama 6 minggu pada mencit Balb C terjadi peningkatan IL-17 darah.
Akupunktur titik Feishu (BL-13) pada mencit asma kronik (K III) terjadi
penurunan IL-17, tetapi tidak bermakna (p = 0.171) dibanding kelompok II (asma
kronik), jika dibanding dengan kelompok kontrol kadar IL-17 lebih tinggi tetapi
tidak berbeda bermakna (p = 0.194). Akupuntur titik Feishu (BL-13) setinggi
vertebra Thorax-III (Yin et al., 2008) akan merangsang serabut saraf simpatis
pada daerah ini. Perangsangan sistem simpatis dapat meyebabkan dilepaskannya
neurotransmitter yang merangsang reseptor β2 adrenergik (simpatis) yang antara
lain terdapat pada otot polos bronkus dan percabangannya sehingga terjadi
bronkodilatasi (Price and Wilson, 2006). Akupunktur Feishu pada asma bisa
menurunkan kadar IL-17 darah dibanding dengan kelompok model asma kronik,
walau penurunannya tidak signifikan (p=0.171), tetapi jika dibandingkan
kelompok kontrol juga sudah tidak berbeda secara signifikan (p=0.004).
Hal ini kemungkinan karena jumlah titik yang digunakan pada kelompok ini
kurang banyak sehingga penurunan kadar IL-17 belum optimal. Carneiro et al.,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
(2010) menggunakan Feishu (BL - 13), Dazhui (VG - 14), MDC - 1 (Ding
chuan), LU - 1 (Zhongfu), VC - 17 (Danzhong) , ST - 36 (Zusanli) dan SP-6
(Sanyinjiao) menunjukkan penurunan respon inflamasi yang terkait dengan
sitokin Th1 / Th2, nitrat oksida dan leukotrien B4 modulasi pada asma
eksperimental. Yang et al. (2012) menggunakan GV-14 ( Dazhui ) , BL-12
(Fengmen ), dan BL-13 ( Feishu ) sebagai tambahan terapi untuk penderita alergi
asma.
Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) pada mencit asma kronik (K
IV), terjadi penurunan kadar IL-17 secara bermakna (p = 0,035) jika dibanding
mencit model asma kronik (K II), jika dibandingkan dengan kontrol lebih tinggi
tetapi sudah tidak berbeda bermakna (p = 0,721). Penambahan akupunktur Zusanli
selain titik Feishu ternyata dapat menurun kadar IL-17 pada mencit asma kronik
yang lebih bermakna dan mendekati normal. Hal ini sesuai dengan penelitian
Kwon et al., (2012) elektroakupunktur ST-36 melemahkan induksi ovalbumin
yang menyebabkan asma alergi melalui modulasi sel T reg CD4+CD25
+. Yim et
al., (2010) membuktikan bahwa injeksi subkutan ekstrak fructus perillae di ST-36
mempunyai efek anti inflamasi dan mengatur sistem imun asma pada tikus yang
diinduksi OVA. Akupunktur, melalui aktivasi sistem saraf pusat, menurunkan
produksi sitokin Th-2, merangsang peningkatan sitokin Th-1, mengembalikan
keseimbangan antara sitokin Th-1 dan Th-2. Akupunktur memodulasi
keseimbangan Th-1/Th-2 (Kim and Bae, 2010) dan menurunkan jumlah eosinofil
dan sel inflamasi di tikus diimunisasi ovalbumin (OVA) melalui modulasi CD4 +
CD25+ Foxp3 dan Sel T reg (Kwon et al., 2012).
Asma (ovalbumin) meningkatkan produksi sitokin Th-2 (Carneiro et al.,
2010). Akupunktur dapat menyebabkan trauma (cedera) jaringan yang mendorong
peningkatan sitokin Th-1, memulihkan keseimbangan antara sitokin Th-1 dan
Th2. Akupunktur memodulasi keseimbangan Th-1 / Th-2 (Park et al., 2004).
Akupunktur mengaktifkan Treg (Kwon et al., 2012), Treg ini akan menghambat
peningkatan Th-2 dan Th-17 (Akdis, 2012). Sel T reg menekan Th-17 yang
mengsekresi IL-17 (Barnes, 2008a; Dong, 2009). Akupunktur membuat
keseimbangan imunologis untuk mempertahankan homeostasis (Kwon et al.,
2012). Akupunktur menurunkan kadar IL-17 pada mencit model asma kronik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
terbukti secara statistik bermakna, hanya untuk akupunktur kombinasi titik Feishu
dan Zusanli.
3. Neutrofil
Pemaparan OVA selama 6 minggu pada kelompok II, terjadi peningkatan
jumlah neutrofil secara secara bermakna dibanding kontrol, hal ini menunjukkan
bahwa kelompok II termasuk asma neutrofilik. Pada kelompok asma kronik (K II)
juga terjadi peningkatan IL-17, dimana IL-17 ini berperan menarik neutrofil
sehingga terjadi peningkatan neutrofil. Tingkat kronisitas dan keparahan asma
berkorelasi dengan tingkat sitokin IL-17, yang ditemukan di dahak, paru, BAL,
atau darah pasien. Fungsi sitokin IL-17 selama reaksi asma adalah untuk mengatur
mobilisasi neutrofil (Wang et al., 2010).
Akupunktur titik Feishu yang dilakukan pada asma kronik ( K III) jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol jumlah neutrofil lebih banyak dan jika
dibandingkan dengan kelompok asma kronik (K II) jumlah neutrofil lebih sedikit
tetapi perbedaan tidak bermakna. Hal ini kemungkinan kurangnya jumlah titik
akupunktur, sehingga kerjanya belum optimal dalam menurunkan jumlah
neutrofil. Kelompok Feishu (K III) ini, IL-17 yang bertugas menarik neutrofil
penurunan IL-17 dibanding kelompok asma ( K II) juga tidak bermakna.
Penelitian ini juga menunjukkan korelasi positip dan secara statistik bermakna
antara kadar IL-17 dan jumlah neutrofil ( r= 0,53; p = 0,002).
Akupunktur titik Feishu dan Zusanli pada mencit asma kronik (K IV) terjadi
penurunan jumlah neutrofil secara bermakna jika dibanding dengan kelompok
asma kronik (K II). Kelompok IV ini, IL-17 yang menarik neutrofil juga terjadi
penurunan yang bermakna. Kelompok IV jika dibanding dengan kelompok Feishu
(K III) tejadi penurunan tidak bermakna, Jika dibanding dengan kelompok kontrol
jumlah neutrofil lebih banyak tapi tidak berbeda secara bermakna. Akupunktur
menurunkan jumlah neutrofil darah pada mencit model asma kronik terbukti
secara statistik bermakna, hanya untuk kombinasi akupunktur Feishu+Zusanli.
4. Airway Remodeling
Penelitian ini menggunakan paparan kronik 63 hari ovalbumin (OVA) pada
mencit Balb /C untuk mendapatkan gambaran inflamasi alergi kronik dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
perubahan struktur saluran napas (airway remodeling) seperti halnya pada
manusia (Locke et al., 2007 dan Barlianto et al., 2009). Perubahan struktur yang
terjadi pada airway remodeling meliputi: hiperplasi dan metaplasi epitel, fibrosis
subepitel, hiperplasi sel Goblet, hiperplasi dan hipertrofi otot polos, serta
peningkatan jumlah pembuluh darah (angiogenesis). Penebalan dinding saluran
napas ini diduga berkaitan dengan airway hyperresponsiveness (AHR) dan
resistensi terapi serta perburukan asma (Barlianto et al., 2009; Halwani et al.,
2010).
Kelompok asma (K II) dibanding kontrol (K I) terjadi perubahan airway
remodeling (ketebalan epitel bronkiolus, ketebalan otot polos, dan jumlah sel
Goblet) bronkiolus secara statistik bermakna. Peningkatan ketebalan epitel,
peningkatan jumlah sel Goblet dan peningkatan ketebalan otot polos sesuai
dengan penelitian dari Locke et al. (2007); Barlianto et al. (2009) dan
Faturrachman et al. (2012), tetapi penelitian Locke et al. (2007) tidak terjadi
perbedaan ketebalan otot polos antara paparan OVA baik secara akut, sub akut,
kronik maupun yang tanpa paparan OVA. Gambaran bronkiolus pada kelompok
asma (KII) dengan pewarnaan HE tampak penebalan epitel dan penebalan otot
polos dan dengan pewarnaan PAS tampak peningkatan jumlah sel Goblet dengan
produk mukus yang hampir menutupi lumen bronkiolus.
Penelitian ini menggunakan OVA selama 63 hari, 3 kali perminggu untuk
menginduksi mencit model asma alergi kronik. Paparan yang berulang ulang
mengakibatkan jejas epitel telah terbukti menyebabkan hiperplasi dan metaplasi
epitel (Barlianto et al., 2009) dan hipertrofi epitel dan hiperplasia otot polos,
metaplasia sel Goblet (Shin et al., 2009). Rangsangan alergen (OVA) dapat
menyebabkan gangguan sistem saraf otonom berupa perangsangan saraf
parasimpatis dan penurunan saraf simpatis saluran napas sehingga menyebabkan
bronkokonstriksi. Bronkokonstriksi karena kontraksi otot polos bronkiolus bisa
menyebabkan hipertropi dan hiperplasi otot polos bronkiolus (Sherwood, 2001).
Airway remodeling disebabkan proses inflamasi dan sel imun (Broide, 2008).
Pada kelompok asma (K II) juga terjadi peningkatan eosinfil. Eosinofil
menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu
menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan
jaringan saluran napas yaitu Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil Cationic
Protein (ECP) yang merusak sel epitel dan saraf, Eosinophil-Derived Neurotoxin
(EDN), eosinophil peroxidase dan mediator lipid. Aktivasi sel epitel, sintesis
Extracelluler matrix (ECM) dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofil yaitu TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-α (Kay et al., 2004).
Penelitian ini kelompok asma (K II ) terjadi peningkatan kadar IL-17.
Interleukin-17 merangsang aktivasi fibroblas bronkiolus, sel epitel dan sel otot
polos bronkiolus. Interleukin -17 merangsang epitel bronkiolus manusia
memproduksi β-defensin-2, ICAM-1 (Intercellular Cell Adhesion Molecule-1),
IL- 8, CXCL1, CCL20 (CC- Chemokine ligand 20), G-CSF (Granulocyte Colony-
Stimulating Factor), MUC5B (Mucin 5 subtype B) dan MUC5AC. Interleukin- 17
merangsang sel otot polos saluran pernapasan manusia memproduksi IL-6 dan
IL-8 (Oboki et al., 2008). Kelompok asma (K II) juga terjadi peningkatan
neutrofil. Neutrofil ini direkrut dan diaktifasi oleh IL-17. Neutrofil menghasilkan
serin protease neutrophil elastase yang akan merusak elastin jalan napas dan
komponen paru (Linde´n, laan and Anderson, 2006). Neutrofil dapat
menyebabkan kerusakan epitel akibat melepaskan bahan – bahan metabolik
oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil menghasilkan kemokin dan
sitokin seperti IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α (Rahmawati et al., 2003).
Akupunktur Feishu (BL-13) tiga kali perminggu selama 6 minggu (18 kali)
pada mencit Balb/c pada kelompok III dapat mengendalikan airway
remodeling (mengurangi ketebalan epitel, mengurangi ketebalan otot polos, dan
mengurangi jumlah sel Goblet) bronkiolus mencit model asma kronik terbukti
secara statistik bermakna. Akupuntur titik Feishu (BL-13) setinggi vertebra
Thorax-III (Yin et al., 2008) akan merangsang serabut saraf simpatis pada daerah
ini. Perangsangan sistem simpatis dapat meyebabkan dilepaskannya
neurotransmiter yang merangsang reseptor β2 adrenergik (simpatis) yang antara
lain terdapat pada otot polos bronkus dan percabangannya sehingga terjadi
bronkodilatasi (Price and Wilson, 2006). Ketebalan otot polosnya kelompok
akupunktur Feishu ini berkurang jika dibanding dengan kelompok asma karena
bronkodilatasi. Pada kelompok asma yang dilakukan akupunktur Feishu (K III) ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
juga terjadi penurunan eosinofil dibanding kelompok asma (K II) sehingga
penurunan ketebalan epitel, penurunan ketebalan otot polos dan penurunan jumlah
sel Goblet dengan produk mukusnya karena penurunan jumlah eosinofil.
Akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) tiga kali perminggu
selama 6 minggu (18 kali) pada mencit Balb/C pada kelompok IV dapat
mengendalikan airway remodeling (mengurangi ketebalan epitel bronkiolus,
mengurangi ketebalan otot polos bronkiolus, dan mengurangi jumlah sel Goblet)
mencit model asma kronik terbukti secara statistik bermakna. Pada kelompok IV
ini juga terjadi penurunan jumlah eosinofil, IL-17 dan neutrofil sehingga
penurunan ketebalan epitel bronkiolus, penurunan ketebalan otot polos bronkiolus
dan pengurangan jumlah sel Goblet karena penurunan jumlah eosinofil, kadar IL-
17 dan neutrofil.
Penelitian ini menunjukkan korelasi positip meskipun secara statistik tidak
bermakna antara eosinofil dan ketebalan epitel bronkiolus (r=0,22; p =115),
ketebalan otot polos bronkiolus (r=0,28; p=0,115) dan jumlah sel Goblet
bronkiolus (r=0,27; p=0,139). Terdapat korelasi positip dan secara statistik
bermakna antara kadar IL-17 dan ketebalan epitel bronkiolus (r= 0,56; p =0,001),
ketebalan otot bronkiolus (r= 0,35; p=0,049) dan jumlah sel Goblet bronkiolus (r=
0,48; p=0,005). Terdapat korelasi positip dan secara statistik bermakna antara
jumlah neutrofil dan ketebalan epitel bronkiolus (r= 0,52; p=0,002), ketebalan otot
bronkiolus (r= 0,37; p =0,040) dan jumlah sel Goblet bronkiolus (r= 0,33;
p=0,069).
Akupunktur Feishu (BL-13) maupun kombinasi Feishu dan Zusanli (ST-36)
3 kali / minggu, selama 6 minggu dapat mengendalikan airway
remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan jumlah sel Goblet )
bronkiolus mencit model asma kronik terbukti secara statistik bermakna.
5. Prinsip Axiology
Manfaat penelitian ini secara keseluruan menurut prinsip axiology adalah
akupunktur Feishu (Bl-13) dan Zusanli (ST-36) dapat sebagai terapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
komplementer untuk mencegah progresifitas asma (asma tidak terkontrol, asma
neutrofilik). Akupunktur Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) dapat
memperbaiki asma yang meliputi komponen seluler (sel eosinofil dan neutrofil),
mediator inflamasi (IL-17), dan sel struktural tentang pengendalian airway
remodeling (sel epitel brounkiolus, sel otot polos bronkiolus dan jumlah sel
Goblet bronkiolus).
6. Nilai-nilai kebaruan dari penelitian ini adalah:
a. Solusi baru. Kerangka teori (mekanisme kerja akupunktur) dan hasil
penelitian ini merupakan solusi baru penatalaksanaan asma kronik dengan
akupunktur sebagai terapi komplementer. Akupunktur titik Feishu (BL-13)
dan Zusanli (ST-36) ternyata dapat mengurangi jumlah eosinofil, neutrofil,
kadar IL-17, bahkan dapat mengendalikan airway remodeling (ketebalan
epitel, ketebalan sel otot polos dan jumlah sel Goblet) bronkiolus, sehingga
akupunktur dapat mencegah asma menjadi kronik (asma tidak terkontrol).
b. Strategi baru. Hasil penelitian ini memberi informasi, bahwa akupunktur
dapat sebagai terapi komplementer dalam penatalaksanaan asma kronik
(asma tidak terkontrol) untuk mencegah atau mengurangi progresifitas
asma, sehingga asma menjadi terkontrol, dan mencegah kekambuhan asma.
c. Perspektif baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan, dikembangkan
lebih lanjut dalam usaha mencegah, mengurangi ataupun mengontrol
progresifitas asma berdasarkan patogenesis imunologi dan biomolekuler.
Penelitian lanjutan dengan akupunktur pada manusia dengan menilai
kualitas hidup, fungsi paru, dan didukung dengan pemeriksaan
laboratorium, selain itu juga mempergunakan titik akupunktur yang lain
antara lain Hegu (LI-4) dan Dazhui (DU-14).
d. Kondisi baru. Hasil penelitian ini menginformasikan kondisi penderita
menjadi lebih baik, bila dalam penatalaksanan asma kronik
dikombinasikan dengan terapi akupunktur, sehingga progresifitas dan
kualitas hidup penderita menjadi lebih baik.
e. Pertanyaan baru. Penelitian ini dapat memberi pertanyaan baru untuk
penelitian yang akan datang, pada manusia dengan menggunakan teknik
rangsang akupunktur yang lain pada titik yang sama atau menggunakan
titik akupunktur yang lain.
6. Keterbatasan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
a. Pada penelitian ini hewan coba yang digunakan mencit Balb/c, akan lebih
baik jika dibandingkan dengan manusia.
b. Pada penelitian ini titik akupunktur yang digunakan yaitu Feishu (BL-13)
dan Zusanli (ST-36), maka perlu dilakukan akupunktur dengan titik
akupunktur yang lain.
c. Pada penelitian ini parameter yang diperiksa yaitu kadar IL-17, jumlah
eosinifil dan neutrofil serta airway remodeling, maka perlu diperiksa
parameter yang lain.
d. Pada penelitian ini akupunktur dengan cara rangsang manual, akan lebih
baik jika dibandingkan dengan cara rangsang yang lain.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Akupunktur titik Feishu (BL-13) maupun kombinasi Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36) dapat menurunkan jumlah eosinofil dan mengendalikan
airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan jumlah sel
Goblet) bronkiolus mencit model asma kronik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
2. Akupunktur titik Feishu (BL-13) belum dapat menurunkan kadar IL-17
secara bermakna. Akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
dapat menurunkan kadar IL-17 yang berpengaruh mengendalikan airway
remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan jumlah sel Goblet)
bronkiolus mencit model asma kronik.
3. Akupunktur titik Feishu (BL-13) belum dapat menurunkan jumlah
neutrofil. Akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) dapat
menurunkan jumlah neutrofil dan berpengaruh pada pengendalian airway
remodeling (ketebalan epitel, ketebalan otot polos, dan jumlah sel Goblet)
bronkiolus mencit model asma kronik.
4. Akupunktur Feishu (BL-13) dapat menurunkan jumlah eosinofil, dan
mengendalikan airway remodeling (ketebalan epitel, ketebalan sel otot
polos dan jumlah sel Goblet) bronkiolus. Akupunktur Feishu (BL-13) dan
Zusanli (ST-36) dapat mengurangi jumlah eosinofil, neutrofil, kadar IL-
17, yang berpengaruh mengendalikan airway remodeling (ketebalan
epitel, ketebalan sel otot polos dan jumlah sel Goblet) bronkiolus,
sehingga akupunktur dapat mencegah asma menjadi kronik (asma tidak
terkontrol).
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan penelitian pada manusia dengan menilai kualitas hidup,
fungsi paru, dan didukung dengan pemeriksaan laboratorium, untuk
meningkatkan hierarki nilai bukti tentang efektifitas intervensi akupunktur
titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) pada manusia.
Akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36) dapat ditambahkan
disamping terapi standar pada penderita asma kronik.
2. Perlu dilakukan akupunktur pada manusia dengan menggunakan titik
akupunktur yang lain.
3. Perlu dilakukan akupunktur pada manusia dengan memeriksa parameter
yang lain.
4. Perlu dilakukan akupunktur pada manusia dengan cara rangsang manual,
elektroakupunktur, sonopunktur dan laserpunktur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
DAFTAR PUSTAKA
Akdis CA. 2012. Therapies for allergic inflammation: refining strategies to induce
tolerance. Nat Med ; 18: 736-749
Al-Muhsen S, Johnson JR, and Hamid Q. 2011. Remodeling in asthma, J Allergy
Clin Immunol 2011;128:451-62
Baratawidjaja KG. 2010. Imunologi Dasar. Edisi kesembilan. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Barlianto W, Kusuma MSC, Setyawati K, dan Karyonon M. 2009. Pengembangan
Model Mencit Alergi dengan Paparan Kronik Ovalbumin, Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 25(1): 1-5.
Barnes PJ. 2008 a. Immunology of asthma and chronic obstructive pulmonary
disease. Nat. Rev.Immunol. 8:183–192.
Barnes PJ. 2008 b. The cytokine network in asthma and chronic obstructive
pulmonary disease, The Journal of Clinical Investigation, 118 (11):3546-56
Barnes PJ. 2011 a. Pathophysiology of allergic inflammation, Immunological
Reviews, 242: 31–50
Barnes PJ. 2011 b. Similarities and differences in inflammatory mechanisms of
asthma and COPD, Breathe , 7 (3): 229-238
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Barnes PJ. 2012. Severe asthma: Advances in current management and future
therapy, J Allergy Clin Immunol, 129 : 48-59
Bateman ED and Jithoo A. 2007. Asthma and allergy - a global perspective in
Allergy. European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 62 (3) : 213
-5.
Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, FitzGeralde M,
Gibson P, Ohta K, Byrne PO, Pedersen SE, Pizzichini E, Sullivanee SD,
Wenzel SE and Zar HJ. 2008. Global strategy for asthma management and
prevention: GINA executive summary. Eur Respir J, 31: 143–178.
Blacquière M.J., Hylkema MN, Postma DS, Geerlings M, W. Timens W,
Melgert BN. 2010. Airway Inflammation and Remodelingin Two Mouse
Models of Asthma : Comparison of Males and Females, Int Arch Allergy
Immunol;153:173–181.
Bosnjak B, Stelzmueller B, Erb KJ and Epstein MM. 2011. Treatment of allergic
asthma: Modulation of Th2 cells and their responses. Respiratory Research,
12:114.
Broide DH. 2008. Immunologic and inflammatory mechanisms that drive asthma
progression to remodeling, J Allergy Clin Immunol. 121(3): 560–572
Buc M, Dzurilla M, Vrlik M and Bucova M. 2009. Immunopathogenesis of
bronchial asthma. Arch. Immunol. Ther. Exp, 57: 331-344
Cabioğlu MT and Cetin BE. 2008. Acupuncture and Immunomodulation. Am J
Chin Med., 36 (1) :25-36.
Carneiro ER, Carneiro CRW, De Castro MAP, Yamamura Y, Silveira VLF. 2005.
Effect of electroacupuncture on bronchial asthma induced by ovalbumin in
rats. J Altern Complement Med, 1:127–34
Carneiro ER, Xavier RAN, Castro MAPD, Nascimento MOD, and Silveira VLF.
2010. Electroacupuncture promotes a decrease in inflammatory response
associated with Th1/Th2 cytokines, nitric oxide and leukotriene B4
modulation in experimental asthma, Cytokine, 50 (3), pp: 335–340
Carson FL. 1994. Histotechnology Aself-intructional Text. ASCP Press. American
Society Clinical Pathologists, Chicago.
Cho, Z.H., S.C. Hwang, E.K. Wong, Y.D. Son, C.K. Kang, T.S. Park, S.J. Bai,
Y.B. Kim, Y.B. Lee, K.K. Sung, B.H. Lee, L.A. Shepp and K.T. Min. 2006.
Neural substrates, experimental evidences and functional hypothesis of
acupuncture mechanisms. Acta Neurol. Scand, 113 (6) : 370–377.
Cosmi L, Liotta F, Maggi E, Romagnani S & Annunziato F. 2011. Th17 cells:
new players in asthma pathogenesis. Allergy; 66: 989–998.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Deenick EK and Tangye SG. 2007. IL-21: a new player in Th17-cell
differentiation, Immunology and Cell Biology, 85, 503–505
Dong C. 2009. Differentiation and function of pro-inflammatory Th17 cell.
Microbes Infect; 11(5): 584–588
Elias JA, Lee CG, Zheng T, Ma B, Homer RJ, Zhu Z. 2003. New insights into the
pathogenesis of asthma. J Clin Invest ;111:291–7.
Fahy JV. 2009. Eosinophilic and Neutrophilic Inflammation in Asthma. Proc Am
Thorac Soc, 6, pp : 256–259.
Faturrachman D, Barlianto W, Mintaroe K. 2012. Pengaruh Sel Limfosit T
Regulator CD4 CD25 Foxp3 dan Transforming Growth Factor (TGF) β
terhadap Airway Remodelling Bronkiolus Paru pada Model Mencit Asma,
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27, No. 2 : 71-6
Feng J, Hu C, Li X. 2007. Dorsal root ganglion: the target of acupuncture in the
treatment of asthma. Adv Ther; 24 : 598–602.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2015. Global strategy for asthma
management and prevention. Updated 2015. Available at:
http://www.ginasthma.com. Accessed 27 Mei, 2015.
Georas SN. 2004. Inhaled glucocorticoids, lymphocytes, and dendritic cells in
asthma and obstructive lung diseases. Proc Am Thorac Soc.1(3):215-21
Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan: Dharma A.
Edisi 11. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG
Halwani, Al-Muhsen and Hamid, 2010. Airway remodeling in asthma. Current
Opinion in Pharmacology, 10 : 236–245
Han JS, 2003. Acupuncture: neuropeptide release produced by electrical
stimulation of different frequencies. Trends Neurosci, 26 : 17–22.
Hansbro PM, Kaiko GE and Foster PS. 2011. Cytokine/anti-cytokine therapy –
novel treatments for asthma? British Journal of Pharmacology, 163 : 81–95.
Hadinoto SH, Sarsono, Aisyah, Diding. 2013. Ekstrak Etanol Propolis
Menurunkan Kadar IL-17 Serum pada Mencit Balb/C Model Asma Kronik.
MKB ; 45 (4) :213–7.
Haq E and Banday MZ. 2012. Controlling asthma and related allergies -
alternative options. Journal of Research in Biology 1: 042-049.
Holgate ST and Polosa R. 2008. Treatment strategies for allergy and asthma. Nat
Rev Immunol, 8: 218-230.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Holgate ST. 2012. Innate and adaptive immune responses in asthma. Nat Med ;
18: 673- 683.
Junqueira LC and Carneiro J. 2003. Basic Histology Text and atlas. Tenth edition.
Megraw-Hill Companies. New York. Pp :253-76
Kay AB, Phipps S, and Robinson DS. 2004. A role for eosinophils in airway
remodelling in asthma. Trends in Immunology. Vol.25 No.9, 477-482.
KMKRI (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) nomor 1023. 2008.
Pedoman pengendalian Penyakit Asma.
Kim SK and Bae H. 2010. Acupuncture and immune modulation. Auton
Neurosci: Basic and Clinical 157: 38–41
Korn T, Bettelli E, Mohamed Oukka M, dan Kuchroo VK. 2009. IL-17 and Th17
Cells. Annu. Rev Immunol. 27:485-517.
Kwon Y, Sung-Hwa, Lee G, Kim Y, Lee H, Shin M, and Bae H. 2012.
Electroacupucture Attenuates Ovalbumin Induced Allergic Asthma via
Modulating CD4+CD25
+ Regulatory T Cells, Journal of Alternative and
Complementary Medicine, 10 pages
Lee Y, Kim SK, Kim Y. 2007 a. The α-adrenoceptormediation of the
immunomodulatory effects of electroacupuncture in DNP-KLH immunized
mice, Neuroscience Letters, 423 ( 2), pp : 149–152.
Liang SC, Long AJ, Bennett F, Whitters MJ, Karim R, Collins M, Goldman SJ,
Dunussi-Joannopoulos K, Williams CMM, Wright JF, and Fouser LA. 2007.
An IL-17F/A heterodimerprotein is produced by mouse Th17 cells and
induces airway neutrophil recruitment.J Immunol, 179:7791–7799.
Linde´n A, Laan M and Anderson GP. 2005. Neutrophils, interleukin-17A and
lung disease. Eur Respir J; 25: 159–172.
Locke NR, Royce SG, Wainewright JS, Samuel CS, Tang ML. 2007. Comparison
of airway remodeling in acute, subacute, and chronic models of allergic
airways disease. Am J Respir Cell Mol Biol; 36:625-32
Mai J, Wang H, Yang XF. 2011. T Helper 17 Cells Interplay with CD4 + CD25
high Foxp3+ Tregs inRegulation of Inflammations and Autoimmune
Diseases, Front Biosci. ; 15: 986–1006.
Martin H and Taube C. 2012. Regulatory T cells and regulation of allergic airway
disease, Am J Clin Exp Immunol, 1 (2):166-178.
Meyts I, Hellings PW, Hens G, Vanaudenaerde BM, Verbinnen B, Heremans H,
Matthys P, Bullens DM, Overbergh L, Mathieu C, Boeck KD, and Ceuppens
J. 2006. IL-12 Contributes to Allergen-Induced Airway Inflammation in
Experimental Asthma, The Journal of Immunology, 177: 6460–6470.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Moon PD, Jeong HJ, Kim SJ, An HJ, Lee HJ, Yang WM, Park SK, Hong SH,
Kim HM and Um JY. 2007. Use of electroacupuncture at ST36 to inhibit
anaphylactic and inflammatory reaction in mice. Neuroimmunomodulation,
14 (1) : 24–31.
Moore CW and Pascual RM. 2010. Pulmonary, Sleep, and Critical Care Updates,
Am J Respir Crit Care Med , 181 : 1181–1187.
Muthmainah. 2011. Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinophil
Bronkiolus Tikus Putih Model Asma, Maj Kedokteran Indon, 61 ( 3) :119-
125.
Nakajima H and Takatsu K. 2007. Role of Cytokines in Allergic Airway
Inflammation, Int Arch Allergy Immunol, 142:265–273.
Nials AT and Uddin S, 2008. Mouse models of allergic asthma: acute and
chronic allergen challenge, Disease Models & Mechanisme 1, 213-222.
Ngoc LP, Diane R. Golda, Arthur O, Tzianabosa, Weissa ST and dan Juan C.
Celedo'na. 2005. Cytokines, allergy, and asthma, Current Opinion in Allergy
and Clinical Immunology, 5:161–166.
Oboki K, Ohno T, Saito H, dan Nakae S. 2008. Th17 and Allergy. Allergology
International, 57:121-134.
Park MB, Ko E, Ahn C, Choi H, Rho S, Shin MK, Hong MC, Min BI, Bae H.
2004. Suppression of IgE production and modulation of Th1/Th2 cell
response by electroacupuncture in DNP-KLH immunized mice. J
Neuroimmunol ;151:40–4.
Park SJ and Chul Y. 2010. Interleukin-17 regulation: an attractive therapeutic
approach for asthma. Respiratory Research, 11:78.
Patel K. N and Chorawala M. R. 2011. Animal models of asthma. JPRO, 1: 5 139
– 147.
Pelaia G, Vatrella A, Teresa BM, Gallelli L, Calabrese C, Terracciano R, and
Maselli R. 2015. Cellular Mechanisms Underlying Eosinophilic and
Neutrophilic Airway Inflammation in Asthma. Mediators of Inflammation,
Vol 2015, 8 halaman
Price SA and Wilson LM. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses – Proses
Penyakit. Vol 1. Terjemahan : Brahm U. Penerbit buku Kedokteran EGC.
Jakarta. Pp : 177-197.
Rahmawati I, Yunus F, Wiyono HW. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma.
Cermin Dunia Kedokteran, 141 : 5-10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Rengganis I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial, Maj Kedokt Indon,
58 (11): 444-51.
Rothenberg EM and Hogan SP. 2006. The Eosinophil, Annu. Rev. Immunol.
24:147–74
Saputra K. 2003. Acupuncture Homeostasis and Bioenergetic Networks.
Acupuncture Research Laboratoryin Health Service. ISBN 979.8497.65.1
Saputra K and Idayanti A. 2005. Akupunktur Dasar, Cetakan pertama, Surabaya,
Airlangga University Press.
Schnyder-Candrian S, Togbe D, Couillin I, Mercier I, Brombacher F, Quesniaux
V, Fossiez F, Ryff el B, and Schnyder B. 2006. Interleukin-17 is a negative
regulator of established allergic asthma. JEM, 203 (12): 2715-2725.
Shin YS, Takeda K, and Gelfand EW. 2009. Understanding asthma using animal
models, Allergy Asthma Immunol Res, 1(1): 10-18.
Sherwood L. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2 halm 399, 423
424.
Siboe LY dan Sudiro AU. 1993. Pengobatan asma bronkial pada anak dengan
akupunktur. Maj Kedok Indon. No. 69. Pp: 40-4
Sudirman S. 2006. Pengaruh Calcium Channel Blocker L dan N pada Analgesia
Akupunktur ( Studi Eksperimental pada Rattus norvegicus). Disertasi.
Universitas Airlangga Surabaya.
Sundaru H dan Sukamto. 2014. Asma Bronkial. dalam : Setiati S, Alwi I., Sudoyo
A.W., Simadibrata K M., Setiyohadi B., dan Syam AF . (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. Pp: 478 - 503.
Thorburn A and Hansbro P. 2010. Harnessing regulatory T cells to suppress
asthma: from potential to therapy. Am J Respir Cell Mol Biol 43: 511–519.
Traves SL and Donnelly LE. 2008. Th17 Cells in Airway Diseases, Current
Molecular Medicine, 8, 416-426.
Wang YH, Voo KS, Liu B, Chen CY, Uygungil B, Spoede W, Bernstein JA,
Huston DP and Liu YJ. 2010. A novel subset of CD4+
TH2 memory/
effector cells that produce inflammatory IL-17 cytokine and promote the
exacerbation of chronic allergic asthma, JEM , 207, (11): 2479-2491
Wegmann M. 2008. Animal models of chronic experimental asthma . strategies
for the identification of new therapeutic targets, Journal of Occupational
Medicine and Toxicology, 3(Suppl 1): S4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
World Health Organization. 2010. Chronic respiratory diseases: asthma facts.
Available at http://www.who.int/respiratory/asthma/scope/en/index.html (last
accessed 03 March 2010).
World Health Organization. 2015. Asthma. Di akses dari http: www.who, int/
respiratory/asthma ( 27 Mei 2015)
Yang YQ, Chen HP, Wang Y, Yin LM, Xu, Ran J. 2012. Considerations for Use
of Acupuncture as Supplemental Therapy for Patients with Allergic Asthma,
Clinic Rev Allerg Im.
Yim YK, Lee H, Hong KE, Kim TI, Ko SK, Kim JE, Lee SY and Park KS. 2010.
Anti-inflammatory and Immune-regulatory Effects of Subcutaneous Perillae
Fructus Extract Injections on OVA-induced Asthma in Mice. eCAM, 7(1) :
79–86.
Yin CS, Jeong HS, Park HJ, Baik Y, Yoon MH, Choi CB, Koh HG. 2008. A
proposed transpositional acupoint system in a mouse and rat model. Research
in Veterinary Science 84 : 159–165.
Lampiran 1. Ethical Clearance
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Lampiran 2. Hasil Lab Interleukin 17 (IL-17)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Lampiran 3 : Jumlah eosinofil dan neutrofil pada plasma darah mencit
Kelompok Jumlah
Eosinofil/ mm3
Jumlah
Neutrofil / mm3
K1.1 170 17,952
K1.2 140 12,064
K1.3 240 25,380
K1.4 542 54,202
K1.5 270 20,910
K1.6 230 14,700
K1.7 120 31,000
K1.8 250 15,750
K1.9 285 19,764
K2.1 200 37,526
K2.2 580 53,167
K2.3 350 54,750
K2.4 40 16,021
K2.5 160 20,256
K2.6 340 53,286
K2.7 110 15,949
K2.8 330 30,731
K2.9 200 29,986
K2.10 170 23,641
K3.1 310 47,718
K3.2 90 8,904
K3.3 180 37,454
K3.4 240 33,369
K3.5 170 31,960
K3.6 210 35,100
K3.7 180 25,944
K3.8 490 49,036
K3.9 280 11,140
K3.10 100 39,530
K4.1 280 35,796
K4.2 130 15,972
K4.3 40 4,048
K4.4 260 46,041
K4.5 200 18,126
K4.6 180 19,140
K4.7 250 19,845
K4.8 160 18,260
K4.9 390 18,877
K4.10 210 21,942
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Ketebalan epitel, ketebalan otot polos dan jumlah
sel Goblet bronkiolus mencit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Lampiran 5. Protokol mouse IL-17 Elisa kit
1. Katalog No. K0331268 (Koma Biotech Inc)
2. Jumlah 96 tes
3. Penyimpanan 4 ° C
4. Deskripsi Mouse IL-17 ELISA kit berisi semua reagen yang
diperlukan untuk melakukan pengukuran kuantitatif kadar IL-17 tikus dari
sampel termasuk serum, plasma, medium kultur atau cairan biologis dalam
format sandwich ELISA.
5. Standar kisaran 1000-1016 pg / ml
6. Protokol pemeriksaan IL-17 mouse Elisa Kit
a. Tambahkan 200 ul washing solution ke tiap well (sumuran). Aspirasi wells
untuk menghilangkan cairan dan mencuci plate sebanyak 3 kali
menggunakan 300 ul washing solution di setiap sumur. Setelah pencucian
terakhir, balikkan plate untuk menghilangkan sisa solution dan kotoran
pada paper towel.
b. Tambahkan 100 ul sampel untuk tiap well duplikasi. Tutup bersegel sudah
disediakan. Inkubasi di suhu ruangan selama 2 jam.
c. Aspirasi wells untuk menghilangkan cairan dan cuci plate sebanyak 4 kali
seperti pada langkah 1.
d. Tambahkan 100 ul deteksi antibodi sebanyak (0.25 ug/ml) per well . Tutup
dengan segel yang telah disediakan dan inkubasi di suhu ruangan selama 2
jam.
e. Aspirasi dan cuci plate sebanyak 4 kali seperti pada langkah 1.
f. Tambahkan 100 ul Pembentuk warna enzim yang sudah diencerkan (1:20).
Tutup dengan segel yang telah disediakan. Inkubasi selama 30 menit di
suhu ruangan (37°C selama 30 menit).
g. Aspirasi dan cuci plate sebanyak 4 kali seperti pada langkah 1.
h. Tambahkan 100 ul cairan pewarna untuk setiap sumur. Inkubasi di suhu
ruang untuk pengembangan warna (selama 21-31 menit). Untuk
menghentikan reaksi warna tambahkan 100 ul stop solution di setiap well.
i. Dengan pembaca plate microtiter, baca plate pada gelombang 450 nm.
Lampiran 6. Akupunktur titik Zusanli (ST-36) dan Feishu (BL-13)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Gambar 1: Akupunktur titik Zusanli (ST-36) dan Feishu (BL-13)
(diambil dari Jung DL, 2014)
Lampiran 7. Foto - Foto Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Mencit disensitisasi dengan ovalbumin
Mencit di nebulizer dengan ovalbumin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Mencit dilakukan akupunktur titik Feishu (BL-13)
Mencit dilakukan akupunktur titik Zusanli (ST-36)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Mencit dilakukan akupunktur titik Feishu (BL-13) dan Zusanli (ST-36)
Mencit yang dilakukan akupunktur ditempatkan di box masing masing selama 15
menit
Microplate reader untuk memeriksa IL-17
S = 2.49608956
r = 0.99996802
X Axis (units)
Y A
xis
(u
nit
s)
0.1 0.3 0.6 0.8 1.1 1.3 1.60.00
91.67
183.33
275.00
366.67
458.33
550.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Lampiran 8. Hasil Statistik
Lampiran A. Analisis data
a) Diskriptif data
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence
Interval for Mean Minimum Maximum
Lower
Bound
Upper
Bound
jumlah
eosinofil/mm3
kontrol 8 214.0000 61.66268 21.80105 162.4487 265.5513 120.00 285.00
asma 8 307.5000 130.54829 46.15579 198.3589 416.6411 171.00 579.00
asma+akupunktur titik
Feishu 8 180.5000 64.28730 22.72899 126.7545 234.2455 89.00 279.00
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli 8 178.3750 70.63778 24.97423 119.3203 237.4297 40.00 259.00
Total 32 220.0938 97.98860 17.32210 184.7651 255.4224 40.00 579.00
jumlah
neutrofil/mm3
kontrol 8 19.7500 6.04152 2.13600 14.6992 24.8008 12.00 31.00
asma 8 38.0000 14.00000 4.94975 26.2957 49.7043 20.00 55.00
asma+akupunktur titik
Feishu 8 32.7500 10.87264 3.84406 23.6602 41.8398 11.00 48.00
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli 8 21.0000 6.30193 2.22807 15.7315 26.2685 16.00 36.00
Total 32 27.8750 12.24679 2.16495 23.4596 32.2904 11.00 55.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Kadar IL-17 kontrol 8 136.1250 45.44836 16.06842 98.1292 174.1208 68.00 228.00
asma 8 206.6250 60.80399 21.49746 155.7916 257.4584 152.00 328.00
asma+akupunktur titik
Feishu 8 165.3750 20.83909 7.36773 147.9531 182.7969 134.00 188.00
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli 8 126.0000 39.35189 13.91299 93.1010 158.8990 73.00 186.00
Total 32 158.5313 52.54183 9.28817 139.5879 177.4746 68.00 328.00
Ketebalan
epitel
bronkiolus
kontrol 8 14.5125 1.19933 .42403 13.5098 15.5152 12.60 15.80
asma 8 36.6375 10.11504 3.57621 28.1811 45.0939 24.50 57.80
asma+akupunktur titik
Feishu 8 19.6375 1.93312 .68346 18.0214 21.2536 17.80 23.90
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli 8 17.8750 3.19453 1.12944 15.2043 20.5457 12.90 23.10
Total 32 22.1656 10.10639 1.78657 18.5219 25.8094 12.60 57.80
Ketebalan otot
polos
bronkiolus
kontrol 8 6.3375 1.28501 .45432 5.2632 7.4118 4.60 8.30
asma 8 11.7000 3.15866 1.11676 9.0593 14.3407 8.60 18.30
asma+akupunktur titik
Feishu 8 7.8375 1.06360 .37604 6.9483 8.7267 6.00 9.30
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli 8 7.8875 2.49138 .88084 5.8047 9.9703 5.10 12.60
Total 32 8.4406 2.88767 .51047 7.3995 9.4817 4.60 18.30
jumlah sel
goblet kontrol 8 5.6250 8.10533 2.86567 -1.1512 12.4012 .00 22.00
asma 8 48.5000 15.00476 5.30498 35.9557 61.0443 23.00 65.00
asma+akupunktur titik
Feishu 8 16.6250 13.96872 4.93869 4.9469 28.3031 1.00 47.00
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli 8 15.0000 9.05539 3.20156 7.4295 22.5705 .00 24.00
Total 32 21.4375 19.96115 3.52867 14.2407 28.6343 .00 65.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
b) Uji normalitas data
Variabel Kelompok Kolmogorov-Smirnov
a Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
jumlah
eosinofil/mm3
kontrol .221 8 .200* .908 8 .339
asma .247 8 .162 .866 8 .137
asma+akupunktur titik
Feishu .179 8 .200
* .953 8 .746
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli .142 8 .200
* .932 8 .539
jumlah
neutrofil/mm3
kontrol .168 8 .200* .958 8 .794
asma .233 8 .200* .881 8 .194
asma+akupunktur titik
Feishu .223 8 .200
* .934 8 .555
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli .313 8 .020 .677 8 0.001
IL-17 kontrol .255 8 .134 .912 8 .367
asma .189 8 .200* .870 8 .151
asma+akupunktur titik
Feishu .212 8 .200
* .891 8 .240
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli .194 8 .200
* .953 8 .740
ketebalan epitel
bronkiolus
kontrol .246 8 .169 .858 8 .114
asma .224 8 .200* .895 8 .261
asma+akupunktur titik
Feishu .280 8 .064 .812 8 0.038
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli .191 8 .200
* .977 8 .945
Ketebalan otot
polos bronkiolus
kontrol .198 8 .200* .947 8 .681
asma .205 8 .200* .864 8 .132
asma+akupunktur titik
Feishu .222 8 .200
* .950 8 .716
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli .216 8 .200
* .913 8 .379
jumlah sel
Goblet
kontrol .298 8 .036 .768 8 0.013
asma .191 8 .200* .923 8 .456
asma+akupunktur titik
Feishu .280 8 .066 .846 8 .088
asma+akupunktur titik
Feishu dan Zusanli .212 8 .200
* .871 8 .155
*.This is a lower bound of the true significance.
a.Lilliefors Significance Correction
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Hasil uji normalitas data, menunjukkan semua variabel sebaran data normal
(p >0,05), kecuali ketebalan epitel bronkiolus, jumlah sel Goblet dan neutrofil
sebaran data tidak normal (p <0,05), sehingga tidak memenuhi asumsi uji
parametrik. Selanjutnya ketiga variabel tersebut dilakukan uji alternatifnya
menggunakan uji non-parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis dilanjutkan uji Mann-
Whitney.
c) Hasil uji homogenitas data
Levene Statistic df1 df2 Sig.
jumlah eosinofil/mm3 1.241 3 28 0,313
IL-17 1.508 3 28 0,234
Ketebalan otot bronkiolus 2.479 3 28 0,082
Hasil uji homogenitas data, menunjukkan semua variabel sebaran data homogen (p >0,05).
d) Hasil uji ANOVA
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
jumlah
eosinofil/mm3
Between Groups 87880.844 3 29293.615 3.910 0,019
Within Groups 209773.875 28 7491.924
Total 297654.719 31
IL-17 Between Groups 31361.344 3 10453.781 5.469 0,004
Within Groups 54218.625 28 1936.379
Total 85579.969 31
Ketebalan otot
polos bronkiolus
Between Groups 125.731 3 41.910 8.839 0,000
Within Groups 132.766 28 4.742
Total 258.497 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
e) Hasil uji LSD post Hoc multiple comparisons
Dependent Variable (I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
jumlah eosinofil/mm3 kontrol asma
-93.50000* 43.27795 0,039 -182.1509 -4.8491
asma+akupunktur titik Feishu 33.50000 43.27795 .445 -55.1509 122.1509
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli 35.62500 43.27795 .417 -53.0259 124.2759
asma kontrol 93.50000
* 43.27795 .039 4.8491 182.1509
asma+akupunktur titik Feishu 127.00000
* 43.27795 0,007 38.3491 215.6509
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli 129.12500
* 43.27795 0,006 40.4741 217.7759
asma+akupunktur titik Feishu
kontrol -33.50000 43.27795 .445 -122.1509 55.1509
asma -127.00000
* 43.27795 .007 -215.6509 -38.3491
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli 2.12500 43.27795 0,961 -86.5259 90.7759
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli
kontrol -35.62500 43.27795 .417 -124.2759 53.0259
asma -129.12500
* 43.27795 .006 -217.7759 -40.4741
asma+akupunktur titik Feishu -2.12500 43.27795 .961 -90.7759 86.5259
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Dependent Variable (I) Kelompok (J) Kelompok
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kadar IL-17 kontrol asma -70.50000* 22.00216 0,004 -115.5694 -25.4306
asma+akupunktur titik Feishu -29.25000 22.00216 .194 -74.3194 15.8194
asma+akupunktur titik Feishu
dan Zusanli 10.12500 22.00216 .649 -34.9444 55.1944
asma kontrol 70.50000* 22.00216 .004 25.4306 115.5694
asma+akupunktur titik Feishu 41.25000 22.00216 0,171 -3.8194 86.3194
asma+akupunktur titik Feishu
dan Zusanli 80.62500
* 22.00216 0,001 35.5556 125.6944
asma+akupunktur
titik Feishu
kontrol 29.25000 22.00216 .194 -15.8194 74.3194
asma -41.25000 22.00216 .171 -86.3194 3.8194
asma+akupunktur titik Feishu
dan Zusanli 39.37500 22.00216 0,035 -5.6944 84.4444
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Dependent Variable (I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Ketebalan otot polos bronkiolus
kontrol asma -5.36250* 1.08877 0,000 -7.5927 -3.1323
asma+akupunktur titik Feishu -1.50000 1.08877 .179 -3.7302 .7302
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli
-1.55000 1.08877 .166 -3.7802 .6802
asma kontrol 5.36250* 1.08877 .000 3.1323 7.5927
asma+akupunktur titik Feishu 3.86250* 1.08877 0,001 1.6323 6.0927
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli
3.81250* 1.08877 0,002 1.5823 6.0427
asma+akupunktur titik Feishu
kontrol 1.50000 1.08877 .179 -.7302 3.7302
asma -3.86250* 1.08877 .001 -6.0927 -1.6323
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli
-.05000 1.08877 0,964 -2.2802 2.1802
asma+akupunktur titik Feishu dan Zusanli
kontrol 1.55000 1.08877 .166 -.6802 3.7802
asma -3.81250* 1.08877 .002 -6.0427 -1.5823
asma+akupunktur titik Feishu .05000 1.08877 .964 -2.1802 2.2802
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
f) Hasil uji non-parametrik
Hasil uji Kruskal-Wallis Kelompok N Mean Rank
jumlah neutrofil/mm3 kontrol 8 10.00
asma 8 23.44
asma+akupunktur titik Feishu 8 21.38
asma+akupunktur titik Feishu dan
Zusanli 8 11.19
Total
32
ketebalan epitel
bronkhiolus (m)
kontrol 8 5.81
asma 8 28.50
asma+akupunktur titik Feishu 8 18.13
asma+akupunktur titik Feishu dan
Zusanli 8 13.56
Total
32
jumlah sel Goblet kontrol 8 7.63
asma 8 27.94
asma+akupunktur titik Feishu 8 15.00
asma+akupunktur titik Feishu dan
Zusanli 8 15.44
Total 32
Test Statisticsa,b
jumlah neutrofil/mm3
ketebalan epitel
bronkhiolus (m) jumlah sel Goblet
Chi-Square 12.971 24.517 19.442
df 3 3 3
Asymp. Sig. 0,005 <0,001 <0,001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Hasil uji Mann-Whitney
Test Statisticsa
jumlah sel neutrofil/mm3
Kontrol vs Asma
Asma
vs
asma+akupunktur titik Feishu
Asma
vs
asma+akupunktur titik Feishu
dan Zusanli
asma+akupunktur titik Feishu
vs
asma+akupunktur titik Feishu dan
Zusanli
Mann-Whitney U 7.000 28.000 5.500 12.000
Wilcoxon W 43.000 64.000 41.500 48.000
Z -2.631 -.420 -2.791 -2.104
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.009 0.674 0.005 0.035
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007b .721b .003b .038b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Test Statisticsa
Ketebalan epitel bronkiolus (m)
Kontrol vs Asma
Asma
vs
asma+akupunktur titik Feishu
Asma
vs
asma+akupunktur titik Feishu
dan Zusanli
asma+akupunktur titik Feishu
vs
asma+akupunktur titik Feishu dan
Zusanli
Mann-Whitney U 0.000 0.000 0.000 19.000
Wilcoxon W 36.000 36.000 36.000 55.000
Z -3.363 -3.363 -3.363 -1.367
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001 0,001 0,001 0,172
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0.000b 0.000
b 0.000
b 0.195
b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Test Statisticsa
Jumlah sel Goblet
Kontrol vs Asma
Asma
vs
asma+akupunktur titik Feishu
Asma
vs
asma+akupunktur titik Feishu
dan Zusanli
asma+akupunktur titik Feishu
vs
asma+akupunktur titik Feishu dan
Zusanli
Mann-Whitney U 0.000 3.000 1.500 29.000
Wilcoxon W 36.000 39.000 37.500 65.000
Z -3.386 -3.046 -3.205 -0.316
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001 0,002 0,001 0,752
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0.000b 0.001
b 0.000
b 0.798
b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
i
Diskriptif data jumlah neutrofil/mm3
kontrol asma
Asma +
Feishu
Asma+
Feishu +
Zusanli
N Valid 8 8 8 8
Missing 0 0 0 0
Mean 19.7500 38.0000 32.7500 21.0000
Median 19.0000 34.5000 34.0000 19.0000
Std. Deviation 6.04152 14.00000 10.87264 6.30193
Minimum 12.00 20.00 11.00 16.00
Maximum 31.00 55.00 48.00 36.00
Diskriptif data ketebalan epitel bronkiolus (m)
kontrol asma
Asma +
Feishu
Asma +
Feishu
+Zusanli
N Valid 8 8 8 8
Missing 0 0 0 0
Mean 14.5125 36.6375 19.6375 17.8750
Median 14.8000 34.1500 19.2000 17.6500
Std. Deviation 1.19933 10.11504 1.93312 3.19453
Minimum 12.60 24.50 17.80 12.90
Maximum 15.80 57.80 23.90 23.10
Diskriptif data jumlah sel Goblet
kontrol asma
Asma +
Feishu
Asma +
Feishu +
Zusanli
N Valid 8 8 8 8
Missing 0 0 0 0
Mean 5.6250 48.5000 16.6250 15.0000
Median 1.0000 51.5000 14.5000 18.0000
Std. Deviation 8.10533 15.00476 13.96872 9.05539
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
ii
Minimum .00 23.00 1.00 .00
Maximum 22.00 65.00 47.00 24.00
Hasil Korelasi antara variabel penelitian
Korelasi terapi akupunktur terhadap jumlah eosinofil, netrofil, kadar IL-17
dan perbaikan airway remodeling bronkiolus serta korelasi kadar IL-17 dengan
jumlah netrofil pada mencit model asma kronik.
Korelasi Eosinofil- Airway remodeling
Syarat uji parametrik adalah distribusi data harus normal, bila distribusi data
tidak normal maka diupayakan untuk melakukan transformasi data supaya
distribusi menjadi normal. Bila distribusi data normal, maka dipilih uji korelasi
Pearson. Jika distribusi data tidak normal, maka dipilih uji alternatifnya yaitu uji
korelasi Spearman.
Hasil uji normalitas data menunjukkan distribusi data tidak normal.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
jumlah eosinofil/mm3 .110 32 .200* .903 32 .008
Ketebalan otot bronkiolus .165 32 .026 .886 32 .003
ketebalan epitel bronkiolus .261 32 .000 .789 32 .000
jumlah sel goblet .199 32 .002 .874 32 .001
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
iii
jumlah
eosinofil/mm3
Ketebalan otot
bronkiolus
ketebalan epitel
bronkiolus
jumlah sel
goblet
Spearman's
rho
jumlah
eosinofil/mm3
Correlation
Coefficient 1.000 .284 .217 .268
Sig. (2-tailed) . 0,115 0,234 0,139
N 32 32 32 32
Ketebalan otot
bronkiolus
Correlation
Coefficient .284 1.000 .741** .563**
Sig. (2-tailed) .115 . .000 .001
N 32 32 32 32
ketebalan epitel
bronkiolus
Correlation
Coefficient .217 .741** 1.000 .757**
Sig. (2-tailed) .234 .000 . .000
N 32 32 32 32
jumlah sel
goblet
Correlation
Coefficient .268 .563** .757** 1.000
Sig. (2-tailed) .139 .001 .000 .
N 32 32 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi Spearman di atas menunjukkan bahwa korelasi antara jumlah
eosinofil dan perbaikan Airway remodeling tidak bermakna. Masing-masing
korelasi antara jumlah eosinofil dengan Ketebalan otot bronkiolus (p =0,115; r=
0,284), ketebalan epitel bronkiolus (p =0,234; r= 0,217) dan jumlah sel goblet (p
=0,139; r= 0,268) menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang
lemah.
Korelasi IL-17 - Airway remodeling
Hasil uji normalitas data menunjukkan distribusi data tidak normal.
Tests of Normality
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
iv
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Ketebalan otot bronkiolus .165 32 .026 .886 32 .003
ketebalan epitel bronkiolus .261 32 .000 .789 32 .000
jumlah sel goblet .199 32 .002 .874 32 .001
IL-17 .131 32 .174 .939 32 .069
a. Lilliefors Significance Correction
Correlations
Ketebalan otot
bronkiolus
ketebalan epitel
bronkiolus
jumlah sel
goblet IL-17
Spearman's
rho
Ketebalan
otot
bronkiolus
Correlation
Coefficient 1.000 .741** .563** .350*
Sig. (2-tailed) . .000 .001 .049
N 32 32 32 32
ketebalan
epitel
bronkiolus
Correlation
Coefficient .741** 1.000 .757** .561**
Sig. (2-tailed) .000 . .000 .001
N 32 32 32 32
jumlah sel
goblet
Correlation
Coefficient .563** .757** 1.000 .480**
Sig. (2-tailed) .001 .000 . .005
N 32 32 32 32
IL-17 Correlation
Coefficient .350* .561** .480** 1.000
Sig. (2-tailed) .049 .001 .005 .
N 32 32 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi Spearman di atas menunjukkan bahwa korelasi antara Kadar
IL-17 dan perbaikan Airway remodeling adalah bermakna. Masing-masing
korelasi antara Kadar IL-17 dengan ketebalan otot bronkiolus (p =0,049; r=
0,350), ketebalan epitel bronkiolus (p =0,001; r= 0,561) dan jumlah sel Goblet (p
=0,005; r= 0,480) menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
v
terhadap ketebalan otot bronkiolus adalah lemah, sedangkan kekuatan korelasi
terhadap ketebalan epitel bronkiolus dan jumlah sel Goblet adalah sedang.
Korelasi Netrofil - Airway remodeling
Hasil uji normalitas data menunjukkan distribusi data tidak normal.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Ketebalan otot bronkiolus .165 32 .026 .886 32 .003
ketebalan epitel bronkiolus .261 32 .000 .789 32 .000
jumlah sel goblet .199 32 .002 .874 32 .001
jumlah netrofil/mm3 .153 32 .055 .912 32 .013
a. Lilliefors Significance Correction
Hasil uji korelasi Spearman di bawah menunjukkan bahwa korelasi antara
jumlah netrofil dan perbaikan Airway remodeling adalah bermakna. Masing-
masing korelasi antara jumlah netrofil dengan ketebalan otot bronkiolus (p
=0,040; r= 0,365), ketebalan epitel bronkiolus (p =0,002; r= 0,523) dan jumlah sel
goblet (p =0,069; r= 0,326) menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan
korelasi terhadap ketebalan otot bronkiolus dan jumlah sel goblet adalah lemah,
sedangkan kekuatan korelasi terhadap ketebalan epitel bronkiolus adalah sedang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
vi
Correlations
Ketebalan otot
bronkiolus
ketebalan epitel
bronkiolus
jumlah sel
goblet
jumlah
netrofil/mm3
Spearman's
rho
Ketebalan otot
bronkiolus
Correlation
Coefficient 1.000 .741** .563** .365*
Sig. (2-tailed) . .000 .001 .040
N 32 32 32 32
ketebalan epitel
bronkiolus
Correlation
Coefficient .741** 1.000 .757** .523**
Sig. (2-tailed) .000 . .000 .002
N 32 32 32 32
jumlah sel goblet Correlation
Coefficient .563** .757** 1.000 .326
Sig. (2-tailed) .001 .000 . .069
N 32 32 32 32
jumlah
netrofil/mm3
Correlation
Coefficient .365* .523** .326 1.000
Sig. (2-tailed) .040 .002 .069 .
N 32 32 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi Netrofil - IL-17
Hasil uji normalitas data menunjukkan distribusi data tidak normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
vii
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
jumlah netrofil/mm3 .153 32 .055 .912 32 .013
IL-17 .131 32 .174 .939 32 .069
a. Lilliefors Significance Correction
Hasil uji normalitas data setelah transformasi data menunjukkan distribusi
data normal.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
IL-17 .131 32 .174 .939 32 .069
trans_netrofil .119 32 .200* .968 32 .439
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Selanjutnya data dilakukan uji korelasi Pearson, dengan hasil sebagai berikut:
Correlations
IL-17 trans_netrofil
IL-17 Pearson Correlation 1 .530**
Sig. (2-tailed) .002
N 32 32
trans_netrofil Pearson Correlation .530** 1
Sig. (2-tailed) .002
N 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi Pearson di atas menunjukkan bahwa korelasi antara jumlah
neutrofil dan kadar IL-17 adalah bermakna dengan tingkat kemaknaan 0,002.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
viii
Nilai korelasi Pearson sebesar 0,530 menunjukkan bahwa arah korelasi positif
dengan kekuatan korelasi yang sedang.
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi (r) 0,00 – 0,199 Sangat lemah
0,20 – 0,399 Lemah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user