zakat madu dalam pandangan ulama -...
TRANSCRIPT
(Studi Perbandingan Kitab Badâ’i Al-Sonâ'i dan Kitab Al-Majmû’)
ZAKAT MADU DALAM PANDANGAN ULAMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.H)
Oleh :
AHMAD RIFA’I
NIM: 1112043100031
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
(Studi Perbandingan Kitab Badâ’i al-Sonâ'i dan Kitab al-
Majmû’)
Oleh:
AHMAD RIFA’I
NIM: 1112043100031
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag Ahmad Bisyri Abdul Somad, LC, M.Ag
NIP. 196511191998031002 NIP. 196803202000031001
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H)
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PANITIA UJIAN SKRIPSI
Ketua
: Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
NIP. 197412172003121002
( . . . . . . . . . . .)
Sekretaris
: Hj. Siti Hanna, S.Ag. Lc, M.A
NIP. 197402162008012013
( . . . . . . . . . . .)
Pembimbing I
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag
NIP. 196511191998031002
( . . . . . . . . . . .)
Pembimbing II : Ahmad Bisyri Abdul Somad, LC, M.Ag
NIP. 196803202000031001
( . . . . . . . . . . .)
Penguji I : Prof. Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Lc., M.A
NIP. 19551015979031002
( . . . . . . . . . . .)
Penguji II
: Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.A
NIP. 19680402000022001
( . . . . . . . . . . .)
Jakarta, 12 April 2017
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 196912161996031001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Maret 2017 M
17 Rajab 1438 H
AHMAD RIFA’I
NIM: 1112043100031
iv
ABSTRAK
Ahmad Rifa‟i, NIM: 1112043100031, Zakat Madu Dalam Pandangan Ulama
(Studi Perbandingan Kitab Badâ‟i al-Sonâ'i dan Kitab al-Majmû‟), Program
Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 1437H/2017M. 1-84 halaman.
Skripsi ini membicarakan tentang hukum zakat kekayaan-kekayaan yang
tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an secara qath‟i, di antara kekayan itu adalah
madu, di sini terjadi perbedaan pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat tidak ada
zakat madu sedangkan sebagian ulama berpendapat madu wajib dikeluarkan
zakatnya. Dari permasalahan tersebut penulis akan menganalisa pendapat Imam
al-Kasani dalam kitab Badâ‟i as-Sanâ‟i sebagai ulama yang mewajibkan zakat
atas madu, yang bermazhab Hanafi, dan pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-
Majmû‟ yang tidak mewajibkan zakat madu, yang bermazhab Syafi‟i.
Penelitian ini bersifat penelitian keperpustakaan. Sumber primer dalam
kajian ini adalah kitab Badâ‟i as-Sanâ‟i karya Imam al-Kasani dan kitab Al-
Majmû‟, karya Imam Nawawi, sedangkan sumber skunder dikutip dari berbagai
literatur yang ada hubunganya dengan permasalahan yang dibahas. Dalam
pengumpulan data langkah yang diambil adalah mencari literatur yang ada
hubungannya dengan pokok masalah. Dalam analisa data penulis menggunakan
metode Deskriptif Analitik.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa antara Imam al-Kasani dan
Imam Nawawi terdapat kesamaan dalam menentukan hukum zakat madu.
Berdasarkan nash Al-Qur‟an tidak ada yang secara spesifik menjelaskan zakat
madu, yang ada hanya dalam hadis dan pendapat Sahabat di sini akar
perbedaanya. Adapun perbedaan antara keduanya bahwa menurut Imam al-
Kasani zakat madu hukumnya wajib karena ada beberapa Hadis, pendapat
Sahabat, dan qiyas. Bagi Imam Nawawi Hadis yang dikemukakan serta pendapat
tersebut hukumnya lemah sehingga tidak dapat dijadikan dalil wajibnya zakat
madu.
Kata Kunci : Zakat Madu, Qaul Qadim, Qaul Jadid.
Pembimbing : I. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
II. Ahmad Bisyri Abdul Somad, LC, M.Ag,
Daftar Pustaka : Tahun 1966 s.d 2016
v
الرحيم بسم اهلل الرمحن KATA PENGANTAR
Segala puji dipanjatkan kehadirat Allah Subhânahu Wata‟âla, yang telah
memberikan kenikmatan tiada tara kepada sekalian makhluk-Nya, yang telah
memberikan anugerah akal kepada manusia sehingga dapat merasakan
keagungan-Nya. Sungguh hanya dengan limpahan pertolongan-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam
dicurahkan kepada Baginda Agung Nabî akhir zamân Muhammad Sallâllâhu
„Alaihi Wasallam, beserta para handai tolan, sahabat, dan umatnya, terkhusus
para Ulama yang meneruskan estafet keilmuan sehingga ilmu Islam terus berjaya.
Amin.
Dengan segala kerendahan hati penulis sadar bahwa skripsi yang
dihadirkan ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, penulis meyakini
skripsi ini didalamnya terkandung informasi cukup penting, dan mengingatkan
tentang relevansi kitab kuning dalam menghadapi era global yang penuh
problematika berbeda dengan masa sebelumnya. Penulis bersyukur dengan
mendalami pengetahuan melalui pengkajian kitab kuning banyak hikmah yang
penulis dapatkan.
Penulis membenarkan sepenuhnya bahwa skripsi yang dapat dihadirkan
ini bukan sebatas hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi
tulus tiada henti dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Selaku Dekan Fakultas
Syarî‟ah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarî‟ah dan
Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
vi
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., MA selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab;
3. Ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., MA, selaku Dosen Penasehat Akademik
Penulis;
4. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag dan Bapak Ahmad Bisyri Abdul
Somad, Lc., M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan
arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik;
5. Seluruh dosen Fakultas Syarî‟ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN)
Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan „Ilmu dan
Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Fakultas Syarî‟ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf
Hidâyatullâh Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm Negeri
Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang telah memberikan
do‟a selama penulis menjalani kehidupan ini;
8. Ibu Dra. Hj. Mila Jamila Azhari, MM, Bapak Drs. Hasian Pohan, M.Si,
Bapak Arifendi dan Ibu Hadijah, yang membantu penulis baik moril
maupaun materil.
9. Seluruh keluarga besar Bani Daud yang terus menerus memberikan
semangat yang luar biasa; dan seluruh keluarga besar Yayasan Solawat,
Yayasan Hayatul Islam, Forum Komunikasi Majlis Ta‟lim DKI, dan Partai
Persatuan Pembangunan;
10. Sahabat-sahabat seperjuangan, khususnya teman-teman Mahasiswa/i
vii
Perbandingan Mazhab Fakultas Syarî‟ah dan Hukum UIN Jakarta angkatan
2012, dan Teman-teman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Angkatan 2012 Komisariat Fakultas Syarî‟ah dan Hukum UIN Jakarta;
Berkat rahmat Allah Subhânahu Wata‟âlâ kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Semoga para pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil dalam penulisan skripsi ini
mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT. berlipat ganda. Amin.
Jakarta, 20 Maret 2017 M
17 Rajab 1438 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... iv
ABSTRAK..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI.................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................
A. Latar Belakang Masalah..........................................................
B. Identifikasi Masalah................................................................
C. Batasan dan Rumusan Masalah...............................................
D. Tujuan dan Manfaan Penelitian...............................................
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu.......................................
F. Metode Penelitian....................................................................
G. Sistematika Penulisan..............................................................
1
1
6
7
8
9
10
12
BAB II KONSEP ZAKAT MENURUT MAZHAB HANAFI DAN
SYAFI’I.......................................................................................
A. Konsep Zakat Mazhab Hanafi.................................................
1. Pengertian Zakat.................................................................
2. Hukum Zakat......................................................................
3. Syarat Zakat........................................................................
14
14
14
15
17
ix
4. Harta Zakat.........................................................................
5. Golongan yang Berhak Menerima Zakat............................
B. Konsep Zakat Mazhab Syafi‟i.................................................
1. Pengertian Zakat.................................................................
2. Hukum Zakat......................................................................
3. Syarat Zakat........................................................................
4. Harta Zakat.........................................................................
5. Golongan yang Berhak Menerima Zakat............................
18
23
24
24
26
26
27
30
BAB III
MATERI KITAB BADÂ’I AL-SONÂ'I DAN KITAB AL-
MAJMÛ’......................................................................................
A. Biografi Penulis Kitab Badâ‟i al-Sonâ'i..................................
1. Kehidupan dan Pendidikan ................................................
2. Karya-karyanya..................................................................
3. Metode Istinbat Hukumnya................................................
4. Materi Kitab Badâ‟i al-Sonâ'i.............................................
B. Biografi Penulis Kitab Al-Majmû‟..........................................
1. Kehidupan dan Pendidikan.................................................
2. Karya-karyanya..................................................................
3. Metode Istinbat Hukumnya................................................
4. Materi Kitab al-Majmû‟......................................................
32
32
32
33
33
34
36
36
37
38
39
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ZAKAT MADU MENURUT
KITAB BADÂ’I AL-SONÂ'I DAN KITAB AL-MAJMÛ’....
A. Zakat Madu menurut Imam al-Kasani dalam Kitab Badâ‟i
al-Sonâ'i...................................................................................
46
46
x
B. Zakat Madu menurut Imam an-Nawawi dalam Kitab Al-
Majmû‟....................................................................................
C. Analisis Komparatif Zakat Madu Menurut Kitab Badâ‟i al-
Sonâ'i dan Kitab Al-Majmû‟....................................................
1. Persamaan Pendapat Tentang Zakat Madu.........................
2. Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Madu.........................
56
63
63
65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................
B. Saran-saran..............................................................................
67
67
68
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 70
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI1
1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah
sebagai berikut:
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
Alif Tidak dilambangkan ا
Ba b Be ة
Ta t Te د
Tsa ts Te dan es س
Jim j Je ط
Cha h Ha dengan dengan bawah ػ
Kha kh Ka dan ha ؿ
Dal d De ك
Dzal dz De dan zet م
Ra r Er ه
Zay z Zet ى
Sin s Es
Syin sy Es dan ye
Shad s Es dengan garis bawah
Dhat d De dengan garis bawah
1 Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat:
FSH-UIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.
xii
xiv
Tha t Te dengan garis bawah
Dzha z Zet dengan garis bawah ظ
„ Ain„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Ghain gh Ge dan ha غ
Fa f Ef ؾ
Qaf q ki ق
Kaf k Ka ن
Lam l El ي
Mim m Em
Nun n En
Wawu w We
Ha h Ha ـ
Hamzah ‟ Apostrof ء
Ya y Ye
2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab
yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi
vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
‒ a fathah
‒ i Kasrah
‒ i dammah
Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan
dengan gabungan huruf sebagai berikut:
xv
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
ي ‒ ai A dan I
و ‒ au A dan U
3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat
dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf
dan tanda macron (coretan horisontal):
آ â A dengan topi di atas
î I dengan topi di atas ‒ى
û U dengan topi di atas ‒و
4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (اي),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qomariyyah, Misalnya:
al-ijtihad = اإلعزبك
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = اوفخ
5. T a‟ marb utah mati atau yang dibaca seperti ber-harakat suk un,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,
sedangkan t a‟ marb ûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”,
misalnya ( الي .( ru‟yah al-hilâl atau ru‟yatul hilâl = هؤ٠خ ا
6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
فعخا = al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-Syuf‟ah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang menjadikan madu sebagai salah satu
produk prioritas hasil hutan bukan kayu. Kementerian Kehutanan memasukan
madu sebagai komoditas unggulan untuk dikembangkan. Madu merupakan salah
satu produk hasil hutan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan memiliki
banyak manfaat, diantaranya sebagai suplemen kesehatan, kecantikan, anti
toksin, obat luka, dan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan minuman.
Dengan luas hutan yang mencapai 136,88 juta ha (Kementerian Kehutanan,
2010) potensi pengembangan madu di Indonesia cukup besar. Sumber daya hutan
itu dapat dikembangkan sebagai ekosistem dan peternakan lebah madu.
Diperkirakan rata-rata produksi madu seluruh Indonesia sekitar 4000 ton setiap
tahunnya, dan dari produksi tersebut sekitar 75 % dihasilkan dari perburuan madu
liar di hutan.1
Tidak ada data komprehensif mengenai volume madu di tingkat
internasional. Banyak dari negara-negara produsen madu memanfaatkan
produknya untuk konsumsi dalam negerinya. Madu hutan yang banyak dihasilkan
oleh lebah Apis dorsata ini, merupakan produk hasil hutan non kayu utama di
banyak negara. Madu adalah sumber pendapatan pemerintah, Di beberapa negara
1 Alex Novandra, Peluang Pasar Produk Perlebahan Indonesia, Acara Alih Teknologi,
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, 11 September. (Jakarta: Balitbang
Kementan, 2013), h.2.
1
2
seperti Bangladesh dan Thailand, pengumpulan madu hutan dikendalikan dan
diorganisir melalui izin pemungutan hasil oleh Departemen Kehutanan.
Sedangkan di negara lain, para pemungut hasil hutan dapat mengambilnya cuma-
cuma baik untuk keperluan domestik atau untuk dijual.2
Oleh karena keberadaannya yang memberi banyak manfaat dan memberi
keuntungan kepada pemiliknya, maka pada masa Umar ibnu Khatab mengambil
zakat dari madu. Mengingat pada esensinya zakat, menurut Umar, diambil dari
harta yang orang yang memiliki kelebihan harta untuk didistribusikan kepada
yang kekurangan harta. Dalam hal ini, pemilik madu memperoleh kelebihan harta
dari madunya tersebut.3
Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon akan
dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka membayar „usyr,
maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak mau maka tidak akan
mendapat perlindungan.4 Umar menyatakan bahwa lebah itu serangga hujan yang
Allah Azza Wa Jalla siram sebagai rizqi bagi orang yang dikehendakinya, maka
jika mereka pemilik sarang-sarang tawon membayar (zakat) kepadamu
sebagaimana mereka lakukan kepada Nabi Saw., jagalah sarangnya.”5
2 Alex Novandra, Peluang Pasar Produk Perlebahan Indonesia, Acara Alih Teknologi,
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, 11 September. (Jakarta: Balitbang
Kementan, 2013), h. 10. 3 Ahmad Munif, Zakat Madu Pad Masa Khalifah Umar Ibn Khatab ra, Bimas Islam,
Vol .7 No.3 (Juni 2014), h. 458. 4 Muhammad Rowasy, Mausu‟ah Fiqh Umar ibn al-Khattab, (Beirut: Maktabah al-
Falah, 1981), h. 362. 5 Imam Kamaluddin, Syarah Fathul Qadir, (Beirut: Dar Al Kutub Al Islmaiyah, 2003),
Juz. II, h. 253.
3
Akan tetapi, ulama berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan zakat
madu, sebagian berpendapat bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya dan
sebagian lagi berpendapat bahwa madu tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Di
antara ulama yang berpendapat bahwa madu tidak wajib dikeluarkan zakatnya
adalah Imam Malik dan Imam Syafi‟i dengan alasan karena kewajiban tersebut
tidak terdapat dalam hadits yang pasti maupun ijma dan juga karena madu
merupakan cairan yang keluar dari hewan seperti susu, sedangkan susu menurut
ijma tidaklah wajib zakat.6
Pendapat Imam Malik dapat dilihat dalam al-Masâlik fi Syarh al-
Muwattho‟ Mâlik, sebagaimana berikut :
ق ا خ أ ا ا ن (( ث خ ل ل ١ ق ا ل ع ا ن ف أ ٠ ل :)) ا خ ب
ه ب بي ل ع ا ـ بح و ى ل ل ع بـ ا . بح و اي ١ ـ خ ف ١ ؽ ث أ بي ل .
ع ١ ال ع نا : أ م ب ١ ؽ ط و ق ٠ ب ١ ـ ت غ ر ـ ا
ع ه غ ا ج ب و بح و اي ى غ ر ل ا خ ف ١ ؽ ث أ ي ل ع ا ـ ال ف
.بح و اي ١ ـ 7
Artinya :“Masalah kelima : “Hendaknya tidak mengambil zakat dari madu dan
kuda”. Dengan dalil ini Imam Malik dan Imam Syafi‟i berpendapat
tidak ada kewajiban zakat pada madu. Sementara Abu Hanifah
mewajibkannya. Adapun dalil atas pendapat kami ialah bahwa madu ini
makanan yang keluar dari hewan, maka tidak wajib zakat sebagaimana
air susu. Mayoritas ulama pun tidak sependapat dengan Abu Hanifah
dengan menyatakan bahwa tidak boleh madu ditarik zakatnya.”
6 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakâh, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1969), Juz I, h.
424-425. 7 Abi Bakar Muhammad bin Abdillah, al-Masâlik fi Syarh al-Muwatho‟ Malik,:
(Beirut: Dar Gharb al-Islamiy, 2007), Juz IV h. 114.
4
Adapun Imam Syafi‟i melahirkan dua pendapat yang berbeda yaitu Qaul
Qadim dan Qaul Jadid terkait zakat madu ini. Qaul Qadim terdapat dalam
kitabnya yang bernama al-Hujjah yang dicetuskan di Iraq, sedangkan Qaul Jadid
terdapat dalam kitab al-Umm yang dicetuskan di Mesir. Keadaan di Iraq dan di
Mesir berbeda sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-pendapat dan
ijtihad Imam Syafi‟i.8
Adapun ulama yang mewajibkan zakat madu diantaranya adalah Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad Ibnu Hambal. Menurutnya, madu termasuk harta
yang dikenakan zakat dengan menganalogikan sebagai hasil bumi. Ketentuan
zakatnya adalah sebesar sepersepuluh (10%). Kewajibannya adalah sepersepuluh
ketika panen.9
Sementara itu, terkait hukum zakat madu ini, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai lembaga fatwa di Indonesia tidak menyatakan secara tegas status
hukum zakat madu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa Fatwa MUI yang
membahas permasalahan zakat dari tahun 1982-2011, yaitu sebagai berikut :10
1. Fatwa Tahun 1982 tentang Intensifikasi Pelaksanaan Zakat;
2. Fatwa Tahun 1982 Mentasharufkan Zakat Kegiatan Produktif dan
Kemaslahatan Umum;
3. Fatwa Tahun 1996 tentang Pemberian Zakat Beasiswa;
4. Fatwa No. 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan;
8 Abi Ishaq Ibrahim, al- Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), Juz I, h.154.
9 Ibn Abi al-„Izzi, al-Tanbîh „ala Musykilât al-Hidâyah, (Maktabah Syamela), Juz II, h.
868. 10
M.Ichwan Sam, dkk, Himpunan Fatwa Zakat MUI Kompilasi Fatwa MUI tentang
Masalah Zakat Tahun 1982 – 2011 (Jakarta : BAZNAS, 2011) h. 1 – 91.
5
5. Fatwa No. 4 tahun 2003 tentang Penggunaan Dana Zakat Untuk Istimar
(Investasi);
6. Fatwa No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat;
7. Fatwa No. 13 Tahun 2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram;
8. Fatwa No. 15 Tahun 2011 Penyaluran Harta Zakat Bentuk Aset Kelolaan;
9. Fatwa No. 14 Tahun 2011 tentang Penarikan, Pemeliharaan & Penyaluran
Harta Zakat;
10. Fatwa tahun 2008 tentang Masail Fiqhiyyah Mu'ashirah (Masalah Fikih
Kontemporer) Masalah Yang Terkait Dengan Zakat.
Adapun zakat madu menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
adalah termasuk sebagai harta yang masih dipersoalkan kewajiban zakatnya,
maka keberadaannya dikembalikan kepada orang yang memiliki harta (Sahibu al-
mâl), pendapat mana yang mau dia ambil.11
Dengan demikian, BAZNAS tidak
memberikan pernyataan secara jelas bagaimana keputusan yang diambil
BAZNAS sendiri terhadap hukum zakat madu ini. Tidak hanya itu, dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Zakat, produk madu ini juga
tidak dinyatakan secara jelas, apakah termasuk harta yang wajib ditarik zakatnya
atau tidak. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 4 ayat (2), bahwa zakat mal ialah:
1. Emas, perak, dan logam mulia lainnya;
2. Uang dan surat berharga lainnya;
3. Perniagaan;
4. Pertanian, perkebunan dan kehutanan;
11 Badan Amil Zakat Nasional, data diakses pada 25 Juni 2016 dari
http://pusat.baznas.go.id/zakat-atas-madu/.
6
5. Pertambangan;
6. Perindustrian;
7. Pendapatan dan jasa; dan
8. rikaz
Imam al-Kasani dan Imam Nawawi merupakan ulama fikih yang
pendapatnya banyak menjadi rujukan oleh para ulama ketika menelaah fikih
mazhab Hanafi dan Syafi‟i. Zakat madu merupakan salah satu dari sekian
permasalahan fikih yang dibahas dalam kitabnya Badâ‟i al-Sonâ'i fi Tartib As-
Syara‟i dan Al-Majmu‟. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk
mengadakan pembahasan lebih lanjut tentang zakat madu ini, yang tertuang
dalam karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “ZAKAT MADU DALAM
PANDANGAN ULAMA (STUDI PERBANDINGAN KITAB BADÂ’I AL-
SONÂ'I DAN KITAB AL-MAJMU’).”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
identifikasi masalahnya sebagai berikut :
1. Madu merupakan produk ekspor dan impor yang memiliki nilai jual tinggi
baik di Indonesia maupun di Negara lain.
2. Pada masa sahabat Umar r.a dengan alasan penjagaan keamanan sarang
tawon, diwajibkan zakat madu ketika dipanen;
3. Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab terkait zakat madu;
7
4. Masing-masing ulama memiliki dasar argumentasi yang bersumber dari al-
Hadis dalam mengeluarkan pendapat tentang hukum zakat madu;
5. Mengapa Imam Ibnu Malik tidak mewajibkan zakat madu?
6. Mengapa Imam Syafi‟i dalam qaul qadim mewajibkan zakat madu sementara
dalam qaul jadid tidak mewajibkan zakat madu?
7. Bagaiaman metode istinbath yang dilakukan Imam Ibnu Abu Hanifah dan
Imam Ahmad Bin Hambal sehingga berpendapat madu wajib dikeluarkan
zakatnya?
8. Belum ada fatwa MUI yang secara khusus membahas tentang zakat madu
dan produk hewani;
9. Keberadaan status hukum zakat madu dalam undang-undang nomor 23 tahun
2011 tentang zakat tidak dinyatakan secara jelas. Begitu pula pendapat
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang masih memberikan dua
alternatif hukum.
10. Bagaimana pendapat Imam al-Kasani dalam Kitab Badâ‟i al-Sonâ'i tentang
zakat madu?
11. Bagaimana pendapat Imam Nawawi dalam Kitab al-Majmu‟ tentang zakat
madu?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
8
Berdasarkan Identifikasi Masalah yang penulis kemukakan di atas, agar
permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasinya
hanya sekitar mengenai pandangan Imam al-Kasani tentang hukum zakat madu,
baik dari hasil hutan maupun budidaya serta tentang batasan nisabnya, yang
dijelaskan dalam kitab Badâ‟i al-Sonâ'I, dan pandangan Imam Nawawi terkait
zakat madu ini yang termuat dalam kitabnya al-Majmu‟.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada batasan masalah di atas dan dalam rangka
mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun
suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam al-Kasani tentang zakat madu?
2. Bagaimana pendapat Imam Nawawi tentang zakat madu?
3. Bagaimana perbedaan dan persamaan pendapat Imam al-Kasani dengan Imam
Nawawi terkait zakat madu ini?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:
1. Untuk mengetahui lebih jauh pandangan Imam al-Kasani tentang zakat madu.
2. Untuk mengetahui lebih jauh pandangan Imam Nawawi tentang zakat madu.
3. Untuk dapat membandingkan pendapat imam mazhab terkait zakat madu ini.
Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah:
9
1. Dalam rangka pengembangan dan memperluas wawasan pengetahuan
mengenai metode istinbath hukum Imam al-Kasani dan Imam Nawawi dalam
menguraikan zakat madu;
2. Dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang metode penyimpulan
hukum Imam al-Kasani dan Imam Nawawi dalam menetapkan hukum zakat
madu; dan
3. Menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang hukum fikih.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya,
maka penulis me-review beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir
sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini penulis
menemukan beberapa skripsi, yaitu:
1. Skripsi berjudul Hukum Zakat madu (Studi Analisis Pemikiran Yusuf
Qardhawi) yang ditulis oleh Somat.12
2. Skripsi berjudul Analisis Pendapat Imam Syafi‟i tentang Zakat Madu yang
ditulis oleh Istiqomah.13
3. Skripsi berjudul Zakat Madu dalam Fikih Kotemporer (Studi Istinbath Hukum
Yusuf Qardhawi) yang ditulis Nur Makhfudzoh.14
Pembahasan dalam skripsi pertama yang telah penulis kemukakan di
atas difokuskan pada pendekatan Mazhab Syafi‟i tentang zakat madu. Sedangkan
12 Somat, Hukum Zakat madu (Studi Analisis Pemikiran Yusuf Qardhawi), Skripsi
Fakultas Syar‟ah dan Hukum UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 2010. 13 Istiqomah, Analisis Pendapat Imam Syafi‟i tentang Zakat Madu, Skripsi Fakultas
Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2011. 14 Nur Makhfudzoh, Zakat madu dalam Fikih Kotemporer, Skripsi Fakultas Syari‟ah
dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016.
10
dalam skripsi selanjutnya menggunakan pendekatan fikih kontemporer dari
Yusuf Qardhawi. Sedangkan pembahasan mengenai status hukum zakat madu
tidak begitu banyak disinggung dari sudut pemikiran kitab klasik sebagaimana
kitab Badâ‟i al-Sonâ'i yang bermazhab hanafi dan kitab al-Majmu‟ yang
bermadzhab syafi‟i. Dengan demikian, permasalahan yang penulis angkat dalam
skripsi ini jauh berbeda dengan tiga skripsi tersebut dan belum ada yang
membahasnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research)
dengan menggunakan bahan-bahan tertulis seperti buku, majalah, surat kabar,
dan dokumen lainnya.15
Oleh karena itu, guna mendapatkan data-data yang
dibutuhkan, peneliti menelaah bahan tertulis yang relevan dengan judul skripsi
ini.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer adalah sumber yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (akan
tugas-tugasnya) dari sumber pertamanya.16
Data primer tersebut yaitu Kitab
Badâ‟i al-Sonâ'i fi Tartibis-Syara‟i Juz II karangan Imam al-Kasani, Kitab al-
Majmu‟ Juz VII karangan Imam Nawawi .
15 Abudin Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 125 16 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. II (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), h. 84-85.
11
Sedang sumber data berikutnya adalah data sekunder. Data sekunder
yaitu data yang diperoleh dengan cara mengambil beberapa sumber bacaan yang
berkaitan dengan data primer. Sumber data sekunder berguna sebagai pendukung
yang akan penulis gunakan dalam membandingkan maupun melengkapi sumber
data primer, dalam hal ini mencakup juga buku-buku bacaan dan literatur-litertur
lain yang membahas tentang permasalahan zakat madu menurut Imam al-Kasani
dan Imam Nawawi, yang bisa digunakan penulis untuk membandingkan atau
melengkapi sumber data primer.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah
yang dikemukakan, dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang dilakukan terhadap sumber-sumber tertulis
berupa literatur buku, makalah, artikel dan karangan-karangan lain.17
Dalam
penelitian ini pengambilan data dengan dokumentasi buku-buku yang berkaitan
dengan masalah zakat madu secara umum maupun berkaitan dengan zakat madu
menurut Imam al-Kasani dan Imam Nawawi.
4. Analisis Data
Dalam analisis data penulis akan menggunakan beberapa metode guna
mendapatkan data yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan. Metode-
metode itu di antaranya yaitu:
a. Deskriptif
17 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. VI (Yogyakarta: Gajahmada
University, 1998), h. 133.
12
Metode Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu subyek, kondisi, sistem pemikiran dan suatu relevansi
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode ini adalah untuk membuat
gambaran atau lukisan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta,
dan juga untuk mengetahui sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki.18
Dalam analisis ini memaparkan pemikiran Imam Alauddin al-
Kasani dan Imam Nawawi mengenai zakat madu kemudian berusaha
menganalisa istinbath hukum yang digunakan oleh keduanya.
b. Comparatif
Menurut Aswani Sudjud comparatif adalah suatu metode yang akan dapat
menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang ide-ide
orang dan suatu kelompok. Dalam analisis ini akan memaparkan zakat madu
menurut Imam al-Kasani yang dibandingkan dengan pendapat Imam
Nawawi.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini berjumlah lima bab, masing-masing bab
mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan, Adapun
sistematikanya tersebut sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang menggambarkan sekilas tentang
latar belakang, kemudian dilanjutkan dengan pokok permasalahan dan tujuan
penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan
sistematika penulisan skripsi.
18 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1998), h.
140-141.
13
Bab II merupakan penjelasan konsep zakat dalam mazhab Hanafi dan
mazhab Syafi‟i yang meliputi: pengertian, harta zakat dan persyaratannya, dan
golongan yang berhak menerima zakat.
Bab III merupakan penjelasan materi kitab Badâ‟i al-Sonâ'i dan kitab
al-Majmu‟, yang meliputi: biografi dan latar pendidikan, karya-karyanya, metode
Istinbatnya, dan materi kitab tersebut.
Bab IV memuat pandangan Imam al-Kasani dan Imam Nawawi dalam
kitab Badâ‟i al-Sonâ'i dan kitab al-Majmu‟ tentang zakat madu, dan analisis
komparatif antara keduanya.
Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh pembahasan skripsi.
Adapun dalam bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II
KONSEP ZAKAT DALAM MAZHAB HANAFI DAN SYAFI’I
A. Konsep Zakat Mazhab Hanafi
1. Pengertian Zakat
Pengertian zakat pada beberapa pendapat ulama mazhab hanafi.
dikemukakan secara bahasa dan syara‟. Pengertian zakat menurut bahasa adalah
bahwa zakat merupakan masdar dari kalimat (ىو), artinya tumbuh dan
bertambah, sebab dengan menunaikan zakat dapat membuat harta tumbuh dan
bertambah. Imam al-Barni dalam kitab Tashil ad-Dorûri mengemukakan, zakat
secara bahasa artinya suci dan berkembang.1
Sedangkan pengertian zakat menurut syara‟ adalah sebagai berikut :
a. Menurut Imam Abu Hanifah :
لل ق ق ق بي ق ١ه عيء ر
رعب.2
Artinya: “Zakat adalah memberikan kepemilikan bagian tertentu dari harta
tertentu kepada orang tertentu karena Allah Ta‟ala.”
b. Menurut Imam al-Barni:
ا لل ب ـم١و ب بهع ـ ا بي ع١ بة عيء بؽت ١ه ر
. ع و ه فعخ ع ا ع لطع ا رعب 3
1 Muhammad Asyiq Ilahi al-Barni, Tashil ad-Dorûri, (Saudi Arabia: Maktabah Iman
1411 ), Juz I, h. 114. 2 Al-Syaikh „Abd al-Ghani al-Ghunaimi al-Dimsyaqi al-Maidani al-Hanafi, al-Lubab Fi
Syarhi al-Kitab, (Beirut: al-Maktabah al-„ilmiyah, 1993), Juz I, h. 136.
14
15
Artinya: “Zakat adalah pemilik nisab memberikan kepemilikan bagian harta
yang telah ditentukan oleh Syari‟ (Allah Swt) untuk menyerahkannya
kepada orang muslim faqir karena Allah Ta‟ala. Bersamaan dengan itu,
terputuslah fungsi harta tersebut dalam segala hal.
Dari definisi secara bahasa dapat diambil kesimpulan bahwa mengapa
dinamakan zakat, sebab zakat dapat menyuburkan harta, dapat menyucikan jiwa
dari sifat kikir dan dosa, juga dapat memberikan keberkahan atas harta yang
dimiliki. Sedangkan dari definisi syara‟ dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Zakat adalah pemberian kepemilikan suatu harta;
2. Orang yang menerima adalah orang muslim faqir yang bukan golongan
keluarga nabi maupun hamba sahayanya;
3. Harta zakat telah ditentukan oleh Allah Swt;
4. Setelah dimiliki maka harta tersebut tidak dapat difungsikan lagi untuk hal
apapun oleh pemilik harta.
2. Hukum Zakat
Ulama Hanafiyah sepakat zakat adalah termasuk rukun Islam, maka
hukum kewajibannya ma‟lumun min addin bi dharuri, yaitu suatu kewajiban
yang sudah seharusnya diketahui oleh umat Islam. Adapun dasar hukum zakat
adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an, diantaranya:
وع١ ع ٱو ٱهوعا ح و ءارا ٱي ح ا ٱ أل١ (34/ 1)اجموح : .
3 Muhammad Asyiq Ilahi Al-Barni, Tashil ad-Dorûri, h. 114.
16
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-
orang yang ruku´”.
b. Sunnah, diantaranya:
: ث ي هللا هللا ع١ ب لبي ه هللا ع و ه ع اث ع
الب ي هللا ل ا ه ؾ ا لا ال هللا بكح أ : ع ف ال ال
الح ا زطبع ا١ ا ج١ذ ؽظ ا ب ه وبح ا٠زبء اي
ج١ال . 4
Artinya: “Dari ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW. Bersabda, “Islam itu
didirikan atas lima hal, yaitu: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat,
memberikan zakat, haji dan puasa ramadhan”.
c. Ijma‟
Adapun dalil berupa ijma‟ ialah kesepakatan semua (ulama) umat Islam
di semua negara yang menyatakan bahwa zakat adalah wajib, bahkan, para
sahabat Nabi Saw. sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan
mengeluarkan zakat. Dengan demikian barang siapa mengingkari kefarduan zakat
berarti dia kafir tetapi jika karena tidak tahu baik karena baru memeluk Islam
maupun karena dia hidup di daerah yang jauh dari tempat ulama, hendaknya dia
diberitahu tentang hukumnya. Dia tidak dihukumi sebagai orang kafir sebab dia
memiliki uzur.5
d. al-Ma‟qul (logika)
Ada beberapa alasan logis mengapa zakat wajib hukumnya, yaitu :
4 Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qoswainiah, Shahih Sunan Ibnu Majah
I, (Beirut: Darul Faqir, 1995), cet Ke-1, h. 568. 5 Wahbah Al Zuhayly, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Suriah: Darul Fikri, 1984) h. 734.
17
Pertama, memberi zakat dapat membantu yang lemah, menolong yang
tak berdaya, dan dapat memacu kepada seseorang agar kuat imannya serta teguh
dalam menjalankan perintah Allah Swt. Bukankah ada kaidah fiqh yang
berbunyi:
. فو فو ١خ ا أكاء ا ا
Artinya: “Suatu hal yang dijadikan perantara dalam menjalankan kefarduan
hukumnya fardu juga”
Kedua, zakat bisa mensucikan jiwa seorang pemberinya dari kotornya
dosa, dan bisa menjadikannya memiliki akhlak mulia, dengan zakat orang akan
memiliki sifat kedermawanan dan kemuliaan. Zakat dapat menghilangkan sifat
kekikiran dan sifat dlan (sangat kikir).
Ketiga, sesungguhnya Allah Swt telah memberi nikmat kepada kaum
kaya dan memberi mereka anugerah dan harta kekayaan yang berlebih dari
kebutuhan pokoknya. Allah Swt memilih mereka mendapat segala kenikmatan
kehidupan daripada yang lain. Oleh karena itu, zakat merupakan bentuk rasa
syukur terhadap apa yang mereka dapatkan.6
3. Syarat Zakat
Terkait syarat zakat, dalam kitab Badai‟ al-Shanai‟ membagi syarat
zakat kepada dua hal. Pertama, syarat yang berkaitan dengan muzakki (orang
yang dibebankan kewajiban zakat), Kedua, syarat yang berkaitan dengan harta
6 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, h. 373.
18
yang dizakati.7 Berkaitan dengan syarat muzakki, maka mazhab Hanafi memberi
kriteria muzakki sebagai berikut:
1. Islam;
2. Mengerti kewajiban zakat;
3. Baligh;
4. Berakal;
5. Merdeka.
Adapun syarat yang berkaitan dengan harta yang dizakati adalah sebagai berikut:
1. Kepemilikan Yang Sempurna;
2. Tumbuh dan Berkembang;
3. Kekayaan itu lebih dari kebutuhan biasa;
4. Haul (waktu satu tahun).
5. Nisab
4. Harta Zakat
Adapun harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya dalam Mazhab
Hanafi adalah sebagai berikut :
a. Emas dan Perak
Emas dan perak termasuk harta zakat yang diwajibkan mencapai nisab.
Adapun nisab emas dan perak serta berpa kadar zakat yang harus dikeluarkan
menurut mazhab Hanafi adalah sebagai berikut:
7 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, h. 377.
19
No Bentuk Ketentuan Wajib Zakat
Nisab Kadar Waktu
1 Emas Murni
Senilai
107,76 gr
emas murni
2,5 % Tiap Tahun
2
Perhiasan
perabotan/perlengkapan rumah
tangga dari emas
Senilai
107,76 gr
emas murni
2,5 % Tiap Tahun
3 Perak Senilai 700
gr perak 2,5 % Tiap Tahun
4
Perhiasan
perabotan/perlengkapan rumah
tangga dari perak
Senilai 700
gr perak 2,5 % Tiap Tahun
b. Harta dagang
Ditegaskan dalam kitab Tuhfah al-Fuqaha, bahwa setiap barang yang
diperjualbelikan, wajib dikeluarkan zakatnya apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
1) Mencapai nisab
2) Haul (telah melalui satu tahun)
3) Niat diperdagangkan.8
Nisab zakat harta dagangan adalah senilai 107,76 gram emas murni.
Sedangkan maksud haul bukan hanya dipertengahan saja. Maka barang siapa
yang memiliki harta dagangannya mencapai nishab pada awal tahun, kemudian
pada pertengahan tahun berkurang, tapi pada akhir tahun sempurna atau
mencapai nishab maka ia wajib dizakati, tetapi kalau pada awal ataupun akhir
tahun berkurang maka ia tidak wajib dizakati.9
c. Binatang ternak.
8 „Alauddin As-Samarqandi, Tufhah al-Fuqaha (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1984 )
Juz I, h. 271. 9 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera Basritama,
2204) h.188.
20
Adapun nishab binatang-binatang ternak yang hendak dikeluarkan
zakatnya tersebut adalah sebagai berikut:
1) Unta
Menurut al-Nakha‟I, al-Tsauri, dan abu Hanifah ababila jumlah unta
lebih dari 120 ekor, maka wajib zakatnya berubah kepada semula. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat tabel berikut.
Nishab Zakat Unta.10
No Nishab Unta Zakat Yang Dikeluarkan
1 5 s/d 9 1 ekor kambing
2 10 s/d 14 2 ekor kambing
3 15 s/d 19 3 ekor kambing
4 20 s/d 24 4 ekor kambing
5 25 s/d 35 1 ekor anak unta betina ( umur 1 tahun lebih )
6 36 s/d 45 1 ekor anak unta betina ( umur 2 tahun lebih )
7 46 s/d 60 1 ekor anak unta betina ( umur 3 tahun lebih )
8 61 s/d 75 1 ekor anak unta betina ( umur 4 tahun lebih )
9 76 s/d 90 2 ekor anak unta betina ( umur 2 tahun lebih )
10 91 s/d 120 2 ekor anak unta betina ( umur 3 tahun lebih )
2) Zakat Sapi atau Kerbau
Nishab sapi dan kerbau, menurut pendapat yang masyhur di kalangan
mazhab yang empat, adalah 30 ekor, di bawah itu tidak ada zakatnya. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat tabel berikut ini:
Nishab Zakat Sapi atau Kerbau
No Nisab
Sapi/Kerbau Zakat Yang Dikeluarkan
1 30 s/d 39 1 ekor sapi jantan/betina (umur 1 tahun)
2 40 s/d 59 1 ekor sapi jantan/betina (umur 2 tahun)
3 60 s/d 69 2 ekor anak sapi jantan
4 70 s/d 79 1 ekor anak sapi betina umur 2 tahun & 1 ekor
anak sapi jantan umur 1 tahun
10
Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat, h. 176 .
21
5 80 s/d 89 2 ekor anak sapi betina (umur 2 tahun)
6 90 s/d 99 3 ekor anak sapi jantan (umur 1 tahun)
7 100 s/d 109 1 ekor anak sapi betina umur 1 taahun & 2 ekor
anak sapi jantan umur 1 tahun
8 110 s/d 119 2 ekor anak sapi betina umur 2 tahun & 1 ekor
sapi jantan umur 1 tahun
3) Zakat Kambing atau Domba
Nishab untuk zakat kambing, domba atau hewan sejenisnya ditetapkan
berdasarkan hadits dan ijma‟. Menurut hadits Rasulullah zakat kambing/domba
yang digembalakan adalah 40 ekor, dikeluarkan seekor kambing. Jika kambing
tersebut mencapai 40 sampai 120 ekor maka zakatnya 1 ekor kambing.
Untuk lebih jelasnya tentang zakat kambing atau domba, dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
No Nisab Zakat Yang Dikeluarkan
1 40 s/d 120 1 ekor kambing
2 121 s/d 200 2 ekor kambing
3 201 s/d 300 3 ekor kambing
4 301 s/d 400 4 ekor kambing
5 401 s/d 500 5 ekor kambing
6 501 s/d 600 6 ekor kambing
Catatan : Seterusnya, setiap bertambah 100 ekor kambing, maka zakatnya
seekor kambing
Selain binatang ternak di atas yang wajib zakat adalah kuda, tetapi ini
masih menjadi perdebatan di antara mazhab Hanafi sendiri. Menurut, Muhammad
dan Abu Yusuf, kuda tidak wajib zakat, sebagaimana bagal dan kedal. Nisab
zakat kuda adalah dalam setiap satu ekor membayar satu dinar.11
11
Muhammad Asyiq Ilahi Al-Barni, Tashil ad-Dorûri, h. 124.
22
d. Hasil bumi
Menurut Abu Hanifah, seluruh jenis hasil bumi, baik tanaman maupun
buah-buahan yang menghasilkan nilai ekonomis, wajib zakat 10 % atau 5 %
kecuali kayu api dan bambu karena tidak biasa ditanam orang. Namun demikian,
bila sengaja membudidayakannya, maka wajib dikeluarkan zakatnya, hal itu
sesuai dengan keumuman ayat.12
Untuk melihat lebih jelas, zakat pertanian serta besaran zakat yang akan
dikeluarkan versi mazhab Hanafi, dapat diamati pada tabel di bawah ini:
Nishab Tanaman dan Buah-buahan
No Bentuk Pertanian &
Buah-buahan
Ketentuan Wajib Zakat
Nisab Kadar Waktu
1 Padi, gandum, dsb. - 5 % s/d 10 % Tiap
Panen
2 Biji-bijian: Seperti, Jagung, kacang-
kacangan, dsb - 5 % s/d 10 %
Tiap
Panen
3 Tanaman Hias: anggrek, dan segala
jenis bunga-bungaan - 5 % s/d 10 %
Tiap
Panen
4 Rumput-rumputan: rumput hias,
tebu, bamboo, dsb. - 5 % s/d 10 %
Tiap
Panen
5
Buah-buahan: kurma, mangga, jeruk,
pisang, kelapa, rambutan, durian,
dsb.
- 5 % s/d 10 % Tiap
Panen
6 Sayur-sayuran: bawang, wortel, cabe,
dsb. - 5 % s/d 10 %
Tiap
Panen
7
Segala jenis tumbuh-tumbuhan
lainnya yang bernilai ekonomis
(dibudidayakan)
- 5 % s/d 10 % Tiap
Panen
e. Zakat Barang-barang Tambang dari Perut Bumi
12
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Madzahib Arbaah, Cet. Kedua, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003) Juz I, h. 149.
23
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang termasuk ke dalam barang
tambang adalah segala sesuatu yang diolah dengan mengunakan api atau dengan
kata lain yang diketok dan ditempah, wajib dikeluarkan zakatnya 20 %. Adapun
barang tambang cair atau padat yang tidak diolah dengan mengunakan api. Tidak
termasuk barang tambang yang harus dikeluarkan zakatnya.13
5. Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Zakat diberikan kepada delapan golongan yang telah dijelaskan dalam
al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 60:
ـ إ فخ لث ٱ ع١ب ١ ع ٱ ى١ ٱ فمواء ذ
لل ب ٱ ئ
ٱلل ج١ ـ ١ و ؽ ٱ لبة ٱو ع١ ٱلل ٱلل خ ـو٠ ج١ ٱ ٱث
(00/ 9)ازثخ : .ؽى١
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf yang
dibujuk hatinya, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pengertian delapan golongan di atas secara satu persatu dijelaskan
Muhammad Asyiq Ilahi Albarni, dalam kitab Tashil ad-Dorûri, yaitu:
1. Faqir adalah orang yang memiliki harta kurang dari satu nisab;
2. Miskin adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali;
3. Amil adalah orang yang diberi mandat oleh Imam (pemerintah) untuk
melaksanakan segala kegiatan zakat, seperti mengumpulkan zakat,
menghitung, dan mendistribusikannya;
13
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Madzahib Arbaah, h. 142.
24
4. Muallaf adalah orang yang masih ragu-ragu memeluk Islam sehingga Nabi
Saw memberi zakat kepada mereka.
5. Riqab adalah budak yang dijanjikan oleh tuannya akan merdeka apabila
melunasi harga dirinya yang ditetapkan;
6. Gharim adalah orang yang terlilit hutang yang tidak sanggup membayar
hutangnya;
7. Fi Sabilillah adalah orang yang keluar mengikuti peperangan dalam
menegakkan Islam akan tetapi terputus kontak dengan komando utama;
8. Ibnu Sabil adalah musafir yang kehabisan bekal perjalanan, meskipun
sebenarnya di kampung halamannya dia kaya.14
B. Konsep Zakat Mazhab Syafi’i
1. Pengertian Zakat
Dalam membuka pembahasan zakat kitab-kitab konvensional mazhab
Syafi‟i diawali dengan menjelaskan pengertian zakat baik dari sudut kebahasaan
maupun hukum syara‟.
Demikian pula, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu‟ ketika membuka
pembahasan zakat. Menurutnya, secara bahasa kata “zakat” suci, berkembang,
dan bertambah. Adapun secara syara‟ pengertian zakat adalah sebagai berikut :
بؾ ع أ ق بي ق ء لفن ئ
خ ق خ طب ئفخ ق 15.
14
Muhammad Asyiq Ilahi Albarni, Tashil ad-Dorûri, (Saudi Arabia: Maktabah Iman,
1987 ), Juz I, h. 130.
25
Artinya: “Nama bagi penarikan suatu harta tertentu dengan kriteria tertentu
untuk diserahkan kepada kelompok tertentu.”
Menurut Imam Taqiyuddin :
وائ. خ ث ق بؾ ؾ ل و ٠ ق بي مله ا16
Artinya: “Nama dari sebagian harta tertentu yang diberikan kepada golongan
tertentu dengan beberapa syarat.”
Menurut Al-Syaukani :
اعطبء عيء وع بع ؿ ث ز ؼ١و ؾ بة ا ـم١و ا
ؾ ا١ و از ع ٠. 17
Artinya: “Memberi sebagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang
fakir dan sebagainya. Dimana harta tersebut tidak disifati dengan suatu
halangan syara‟ yang menghalangi kita dari memberikan harta.”
Menurut Imam Zakaria al-Anshari :
خ . ق ثطو٠مخ ثل بي أ ب ٠قوط ع ا18
Artinya: “Zakat adalah nama dari suatu yang dikeluarkan zakatnya dari harta
atau jiwa dengan jalan tertentu.”
Dari bebarapa pengertian zakat di atas dapat disimpulkan bahwa, zakat
adalah merupakan hak Allah Swt yang berupa harta benda yang harus diberikan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dengan beberapa ketentuan yang
harus dipatuhi. Pemberian harta tersebut, diharapkan dapat mensucikan jiwa dari
15
Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 1982),
Juz VI, h. 295. 16 Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar , Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995,
h. 251. 17
Al-Syaukani, Nail al- Authar, (Beirut: Dar al kutub al „arabi, 2000), h. 67. 18
Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Indonesia: Daru
Ahya‟i alkutub al-Arabiyah, t.t), h. 102.
26
sifat kikir, serta menjadikan harta yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia
menjadi ladang dalam menanam pahala untuk bekal di Akhirat.
2. Hukum Zakat
Dasar hukum kewajiban zakat yang dikemukakan oleh Imam Syafi‟i
dalam kitab al-Umm tidak jauh berbeda dengan kitab fikih mazhab lain, yaitu:
1. Al-Qur‟an, diantaranya:
ث ف١وا ۦ ـ ٱلل ب ءارى ث ٠جق ٱ ن٠ ج ل ٠ؾ
ٱله د س ٱ ١و لل خ م١ ٱ ب ثقا ثۦ ٠ ل ١ط و
فج١و ب رع ث ٱلل (4/180. )اي عوا:
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah
buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
2. Al-Hadis, diantaranya:
٠ ض ٠إك ىوبر بي وب ي : ٠م وب و٠وح أ اث ع
ين. ي : اب و ٠م ى ٠طج ؽز ٠ ىث١جزب غبع ألوع خ م١ب ا 19
Artinya: “Barangsiapa yang memiliki harta tapi dia tidak mau menunaikan
zakatnya, pada hari kiamat hartanya itu akan berubah wujud menjadi
seekor ular jantan yang bertanduk dan memiliki dua taring. Ular itu
melilitnya hingga berkata: Akulah harta simpananmu.”
19
Muhammad bin Idris As-Syafi‟i, Al-Umm, (Beirut: Dar Al-Wafa, 2001), Cet.
Pertama, Juz III, h. 5-7.
27
3. Syarat Zakat
Syarat zakat yang berkaitan dengan muzakki, dalam mazhab Syafi‟i
adalah sebagai berikut:
a. Islam;
b. Merdeka.
Adapun syarat yang berkaitan dengan harta yang dizakati dijelaskan
dalam kitab At-Tadzrib fi al-Fiqh ala Imam As-Syafi‟i, adalah sebagai berikut:20
a. Kepemilikan Yang Sempurna;
b. Haul (waktu satu tahun);
c. Nisab;
d. Tidak memiliki tanggungan hutang bertumpuk;
e. Dapat diserahkan kepada mustahik.
4. Harta Zakat
Harta yang wajib dizakati ada lima macam, yaitu:
1. Binatang ternak
Menurut Imam Syafi‟i binatang ternak yang wajib dizakati ada 3 jenis,
yaitu:
a. Onta
Adapun mengenai onta yang jumlahnya kurang dari lima tidak wajib
dizakati. Sedangkan onta yang jumlahnya 24 ekor ke bawah zakatnya adalah
berupa kambing. Sedangkan untuk 25 sampai 35 ekor, 1 onta betina umur 1
20
Sirajuddin Abi Hafs al-Balqilani, At-Tadzrib fi al-Fiqh ala Imam As-Syafi‟i,
(Riyadh: Dar Al-Qiblatain, 2012), Juz I, h. 299-300.
28
tahun, kalau tidak ada boleh diganti dengan unta jantan umur 2 tahun, untuk 36
sampai 45ekor, onta betina umur 2-3 tahun ( bintu labun), untuk 46 sampai 60
ekor, onta betina umur 3- 4 tahun ( hiqqoh ), untuk 61 sampai 75 ekor, onta
betina umur 4 - 5 tahun ( jadz‟ah ), untuk 76 sampai 90 ekor, 2 onta betina umur
2-3 tahun, untuk 91 sampai 120 ekor, 2 onta betina umur 3- 4 tahun.21
b. Sapi
Untuk sapi yang jumlahnya hingga 30 ekor, zakatnnya 1 ekor sapi
berumur 1-2 tahun (tabi‟), Untuk 40 ekor , zakatnya 1 ekor sapi betina berumur
2-3 ( musinna ) tahun. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :
خ . أهثع١ ب رج١ع صالص١ ٠أفن عبما ا و أ 22
Artinya : “ telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW menyuruh Mu‟adz untuk
mengambil (zakat) dari 30 ekor sapi berupa seekor sapi berumur 1
tahun menginjak tahun ke-2 (tabi‟), dan dari 40 ekor sapi diambil
seekor sapi betina berumur 2 tahun menginjak tahun ke-3 (musinna).”
c. Kambing
Kambing –kambing belum wajib dizakati sebelum mencapai 40 ekor.
a. Apabila telah mencapai 40 ekor, maka zakatnya 1 ekor kambing.
b. Apabila telah mencapai 121, maka zakatnya 2 ekor kambing.
c. Apabila telah mencapai 201, maka zakatnya 3 ekor kambing.
d. Apabila telah mencapai 400, maka zakatnya 4 ekor kambing.
2. Mata uang
Mata uang yang wajib dizakati ada dua, yaitu:
21
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Al-Umm, Juz II, h. 5. 22
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, h. 13.
29
a. Emas
b. Perak
Menurut Imam Syafi‟i bahwa emas diambil zakatnya, baik dalam
keadaan bagus atau jelek, masih berupa dinar sebagai mata uang atau batangan.
Dalam hal ini sama seperti perak. Apabila emas berupa dinar berjumlah 20
mitsqal, kemudian berkurang 1 karat atau lebih sedikit dari itu, maka tidak wajib
dizakati. Sedangkan perak yang kurang dari 5 „uqiyah tidak wajib dizakati dan
bila sudah mencapai 5 „uqiyah maka wajib dizakati, 5 „uqiyah senilai dengan 200
dirham.23
3. Hasil bumi
Menurut Imam Syafi‟i bahwa segala sesuatu yang ditanam, buahnya bisa
dikeringkan, disimpan serta dijadikan makanan pokok, roti, tepung yang bisa
dimasak semua itu wajib dizakati. Selain itu beliau juga mengambil zakat dari biji
gandum, tepung gandum, dan jagung. 24
Nishabnya hasil bumi dan buah – buahan ialah 5 ausuq yaitu 1.600 kati
irak, dan selebihnya dizakati menurut perhitungannya. Dalam jumlah tersebut,
kalau disirami dengan air hujan atau air sungai, maka wajib sepersepuluh (10 %).
Apabila disirami dengan alat penyiram maka wajib zakat separohnya
sepersepuluh ( 5 %).25
4. Harta dagang.
23
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Al-Umm, h. 53. 24
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Al-Umm, h. 46. 25
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Al-Umm, h. 49.
30
Harta dagang itu diperhitungkan pada akhir tahunnya dengan harga
berapa barang –barang itu telah dibeli. Kemudian dari harga barang–barang itu
dikeluarkan seperempatnya sepersepuluh (2,5 %) seketika. Dan apa yang didapat
dari harta peninggalan orang –orang jahiliyah ( yang terpendam ), maka zakatnya
ialah seperlima ( 20 % ).26
5. Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Golongan yang berhak menerima zakat (Asnaf az-Zakat) ada delapan,
sebagaimana diterangkan dalam surat at-Taubah ayat 60. Tidak ada perbedaan di
antara mazhab dalam hal ini. Akan tetapi, antara mazhab Hanafi dan Syafi‟i
memiliki beberapa perbedaan dalam hal pengertian delapan golongan tersebut.
Secara satu persatu ke delapan golongan tersebut dijabarkan dalam kitab al-
Anwar li a‟mal al-Abrar, yaitu:
1. Faqir adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak punya pekerjaan
untuk mencukupi kebutuhannya;
2. Miskin adalah orang yang memiliki harta dan pekerjaan namun tidak
mencukupi kebutuhannya;
3. „Amil adalah pelaksana zakat, pencatat, pembagi, pengumpul, penasihat,
penghitung, dan penjaga zakat. Dia bukanlah Imam (Pemimpin Pusat), Hakim,
dan bukan Pemimpin Daerah.
4. Muallaf adalah orang yang baru memeluk Islam sehingga masih lemah
imannya, atau orang yang berpengaruh di antara masyarakat sehingga dengan
diberi zakat diharapkan masyarakatnya tertarik masuk Islam.
26
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Al-Umm, h. 63.
31
5. Riqab adalah budak yang dijanjikan oleh tuannya akan merdeka apabila
melunasi harga dirinya yang ditetapkan.
6. Gharim adalah orang yang terlilit hutang yang tidak sanggup membayar
hutangnya. Kategori gharim sebagai berikut:
a. orang yang berhutang untuk kemasalahatan dirinya. Dia diberi zakat
dengan dua ketentuan: 1) Ada kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi,
2) Hutangnya diperuntukan sebagai nafkah;
b. orang yang berhutang untuk mendamaikan pihak yang sedang bersengketa;
c. orang yang menjamin dirinya menanggung beban hutang orang lain.
7. Fi Sabilillah adalah orang yang keluar mengikuti peperangan secara sukarela,
tidak tercatat sebagai pasukan yang nantinya akan mendapatkan bagian dari
rampasan perang.
8. Ibnu Sabil adalah musafir yang kehabisan bekal perjalanan, dengan syarat
bukan perjalanan ma‟siat.27
27
Yusuf bin Ibrahim al-Ardabili, al-Anwar li a‟mal al-Abrar (Kuwait: Dar Ad-Diya‟,
2006), Juz I, h. 290.
32
BAB III
MATERI KITAB BADÂ’I AL-SONÂ'I DAN KITAB AL-MAJMU’
A. Biografi Penulis Kitab Badâ’i Al-Sonâ'i
1. Kehidupan dan Pendidikan
Penulis kitab Badâ‟i al-Sonâ'i adalah ulama mazhab Hanafi yang
dikenal dengan sebutan Imam al-Kasani. Nama asli Imam al-Kasani adalah
Alauddin Abi Bakar bin Mas'ud al-Kasani. Sebutan Kasani diambil dari istilah
Kasan, sebuah daerah di sekitar Syasy. Dalam kitab Isytabihun Nisbah karya al-
Dzahabi disebutkan bahwa daerah Qasan merupakan daerah yang luas di
Turkistan dan penduduk aslinya sering menyebut daerah tersebut dengan Kasan
yang berarti sebuah daerah yang indah dan memiliki benteng yang kokoh.1
Alauddin al-Kasani merupakan salah satu ulama fiqh angkatan baru
yang memperkuat dan mempertahankan madzhab Imam Hanafi.2 Beliau adalah
salah satu murid dari 'Alauddin al-Samarqandi pengarang kitab Tuhfah yang
kemudian menikah dengan anaknya sang guru yang bernama Fatimah.
Sebelumnya Alauddin al-Kasani sempat menolak pinangan seorang raja
Bizantium. Alauddin al-Kasani memiliki anak sekaligus menjadi muridnya, yaitu
Mahmud Ahmad bin Mahmud al-Ghaznawi yang mengarang kitab al
Muqaddimah al Ghaznawiyah fi al-fiqh al-Hanafi.3
1 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, (Beirut: Dar Al Fikri, 1996) Cet.
pertama, Juz I, h. 3. 2 Sobhi Mahmassani, Filsafatul Tasri' Fil Islami, (Bandung: Al Maarif, 1981), h. 45.
3 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Hukum Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 160.
33
2. Karya-Karya
Di antara karya-karya Alauddin al-Kasani adalah sebagai berikut:
a) Bada‟i al-Sana‟i fi Tartibil asy-Syara‟i.
Kitab Bada‟i as Sana‟i fi Tartibil al-Syara‟i, adalah syarah dari kitab Tuhfatul
Fuqaha karya al-Samarqondi, Alauddin al-Kasani dinikahkan dengan putrinya
yaitu Fatimah.4
b) Al-Shulton al-Mubin fi Ushul ad-Din.
Kecermelangan Alauddin al-Kasani dalam menguraikan pendapatnya
membuat ia dikenal luas di jamannya dan diberi gelar “Sultan al Ulama”
(penguasa ulama).5
3. Metode Istinbath Hukumnya
Imam Al-Kasani adalah di antara ulama fikih mazhab Hanafi, oleh
karena itu dalam memaparkan sebuah hukum ia mengikuti Imam Abu Hanifah.
Maka, dalam mukadimah kitab Bada‟i ash-Shana‟i, ia memaparkan secara
panjang lebar bagaimana metode Istinbath Imam Abu Hanifah, yang dapat
diringkas sebagai berikut6:
a. Al-Quran
b. Al-Sunnah
c. Pendapat Para Sahabat
d. Al-Qiyâs
e. Istihsân
4 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Hukum Islam,
h. 161. 5 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h.346. 6 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, hal. 59-61.
34
f. Ijmâ‟
g. Al-„Urf
4. Materi Kitab Badâ’i al-Sonâ’i
Kitab Badâ‟i al-Sonâ'i merupakan kitab monumental hasil karya syaikh
Abi Bakar Mas'ud bin Ahmad bin Alauddin al Kasani dalam bidan ilmu fiqih.
Kitab Badâ‟i al-Sonâ'i terdiri dari 10 (sepuluh juz) dimana cakupan pembahasan
yang diulas dalam kitab Badâ‟i al-Sonâ'i memuat empat aspek, yakni aspek
peribadatan, aspek muamalat, aspek pidana, serta aspek lembaga peradilan.
Berikut materi yang terdapat dalam kitab Badâ‟i al-Sonâ'i.
Pada juz pertama aspek pembahasan meliputi; kitab tentang bersuci,
tentang berwudu, tentang tayamum, kitab sholat, hingga pasal tentang sujud
tilawah.7
Pada juz kedua, mencakup pembahasan sebagai kelanjutan bab salat,
yaitu pasal tentang sujud Al-Quran, bab jenazah. Pada juz ini pula dijelaskan
mengenai zakat dan berpuasa.8
Pada juz ketiga mencakup pembahasan; kitab i‟tikaf, kitab haji, kitab
pernikahan, pasal rukun nikah, hingga pasal tentang nikah yang batal.9
Pada juz keempat berisikan tentang; kitab sumpah, pasal tentang yang
berkaitan dengan sumpah ketika menjalani rumah tangga, kitab talak, pasal hal-
7 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz I, h. 757. 8 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz II, h. 643. 9 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz III, h. 627.
35
hal yang berkaitan dengan talak, pasal hukum khulu‟, pasal sumpah ila‟, pasal
talak raj‟i, pasal tentang akibat cerai, pasal tentang iddah.10
Pada juz kelima berisikan tentang; kitab zihar, kitab susuan, kitab
tentang mengasuh, pasal tentang tentang hal-hal yang berkaitan dengan status
budak dalam persoalan perkawinan, kitab akad ijarah.11
Pada juz keenam, isi pembahasannya meliputi; kelanjutan pembahasan
akad ijarah, kitab akad istisna‟, kitab akad syuf‟ah, kitab menyembelih, kitab
berburu, kitab kurban, kitab minuman, kitab iskhtihsan, kitab jual beli, hingga
persoalan barang yang dibeli.12
Pada juz ketujuh berisikan pembahasan sebagai berikut; kelanjutan
pembahasan tentang jual beli, kitab akad kafalah, Kitab akad hawalah, kitab
wikalah, kitab akad suluh, dan kitab syirkah.13
Pada juz kedelapan berisikan muatan sebagai berikut; kitab akad
mudlarabah, kitab hibah, kitab akad rahn, kitab muzâra‟ah, kitab muamalat,
kitab pertanahan, kitab barang hilang, kitab tentang pelarian budak, kitab tentang
binatang buruan, kitab tentang masalah wadîah, kitab tentang „âriyah, kitab
tentang wakaf dan sedekah, kitab tentang dakwaan.14
Pada juz kesembilan berisikan muatan sebagai berikut; kitab persaksian,
kitab menarik persaksian, kitab kode etik hakim, kitab qismah (pembagian harta),
kitab hudud (hukuman pidana), pasal sebab wajibnya hudud, pasal hukum bagi
pemabuk, pasal hukum pelaku penganiayaan, pasal persoalan sekitar
10 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz IV, h. 525. 11
Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz V, h. 573. 12 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz VI, h. 621. 13 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz VII, h. 549. 14 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz VIII, h. 517.
36
penganiyaan, pasal argumenatsi hukum pidana, pasal sifat had, pasal persoalan
had, pasal soal ta‟jir, pasal syarat, batasan, dan sifat ta‟jir, kitab pembahasan
pencurian (saraqah), pasal rukun saraqah, pasal syarat saraqah, pasal barang
curian, pasal tempat curian, pasal seputar masalah curian, kitab tentang begal,
hingga pasal hukum anak murtad.15
Pada juz kesepuluh berisikan muatan sebagai berikut; kitab ghasab,
pasal persoalan perusakan barang, kitab tentang al-Hijr (pembatasan melakukan
akad) dan al-Habs (penahanan melakukan akad), kitab al-Ikrah (keadaan
terpaksa), kitab al-Madzun (lepas dari pembatasan akad), kitab al-Iqrar
(pengakuan), kitab tentang jinayat, kitab al-Khunsa (seorang berkelamin dua),
kitab tentang wasiat dan kitab al-Qard (hutang).16
B. Biografi Penulis Kitab Al-Majmu’
1. Kehidupan dan Pendidikan
Kitab al Majmu‟ ditulis oleh ulama besar mazhab Syafi‟i, yang dikenal
dengan panggilan Imam Nawawi. Beliau adalah Imam al-Hafizh Syaikhul Islam
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu
Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam al-Nawawi. Ia dilahirkan di Nawa, sebuah
desa yang terletak antara Hauran dan Syiria yang kemudian berubah menjadi
Damaskus. Nawawi lahir pada bulan Muharram tahun 631 H (1233 M).
Memasuki usia sepuluh tahun, Nawawi mulai belajar menghafal al-
Qur‟an dan belajar ilmu fikih kepada salah seorang guru besar bernama Yasin
15 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz IX, h. 551. 16 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, Juz X, h. 603.
37
ibnu Yusuf al-Marakisyi.17
Kemudian pada tahun 649 H (1251 M) Imam Nawawi
merantau ke kota Damaskus untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan Dârul
Hadîts. Kemudian pada tahun 665 H (1266 M), Imam Nawawi diberi tugas
mengajar di Madrasah tersebut dalam bidang ilmu pendidikan, tepatnya pada usia
memasuki 34 tahun.18
Pada tahun 676 H (1277 M) tepatnya tanggal 24 Rajab beliau dipanggil
oleh Allah untuk selamanya sebelum sempat menyelesaikan penyusunan kitab
Syarah al-Bukhari (Fathul Bari). Seluruh penjuru Timur Tengah saat itu berduka,
bahkan seluruh penduduk kota Damaskus dan kota sekitarnya menangis atas
berita wafatnya. Beliau wafat dalam usia 48 tahun tanpa meninggalkan harta dan
anak, karena selama hidupnya beliau belum sempat menikah demi
pengabdiannya di dunia keilmuan.19
2. Karya-Karya
Di antara karya-karya Imam Nawawi adalah sebagai berikut:
a) Bidang Hadis, antara lain:
1. Kitab Ṣaḥīh Muslim bi Syarh al-Nawawi;
2. Kitab Riyaḍ al-Ṣāliḥīn;
3. Kitab al-„Arba‟īn al-Nawāwiyah;
4. Kitab „Ulum al-Hadīṡ;
5. Kitab al-Isyārah Ilā al-Mubhamad.
b) Bidang Fikih, anatara lain:
17
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Arbarmedia,
2010), h. 16. 18
Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Riyadhus Shalihin, h. 16. 19
Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Riyadhus Shalihin, h. 18.
38
1. Kitab al-Majmu‟.
2. Kitab Rauḍah aṭ-Ṭālibīn;
3. Kitab Minhāj;
4. Kitab al-Fatwa;
5. Kitab al-Īḍāḥ fī al-Manāsik.
c) Bidang Tarikh dan Biografi
1. Kitab Ṭabaqāt al-Fuqahaʹ;
2. Kitab Tahẓīb al-Asmaʹ Wa al-Lugāh.
d) Bidang Bahasa
1. Kitab Taḥrīr al-Faẓ al-Tanbīh;
2. Kitab Tahẓīb al-Asma‟ Wa al-Lughāh bagian kedua.
e) Bidang Pendidikan dan Etika
1. Kitab Adab Ḥamalah al-Qur‟an;
2. Kitab Bustān al-„Ārifīn.20
3. Metode Istinbath Hukum
Imam Nawawi adalah ulama mazhab syafi‟i, dengan demikian Kitab Al-
Majmu‟ yang beliau tulis adalah kitab-kitab bermazhab Syafi‟i. Maka, ketika
berbicara mengenai metode istinbath hukum tidaklah terlepas dari metode
istinbath Imam Syafi‟i. Sebagai gambaran tentang metode istinbath imam Syafi‟i,
dapat dilihat dalam kitab Al-Imâm Al-Syâfi‟i: Nâsir as-Sunah wa Wâdhi‟ al-Usul,
disebutkan demikian:
20
Ahmad Farid, 60 Biografi „Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), Cet.
pertama, h. 775-776.
39
ؽ أ ء ؽ ي ـ ٠م ا أ لؽل أثل ع ١ عخ اع ئل و
. م١ب ا بع ع اإل خ ا قجو ـ اىزبة ا 21
Artinya : “Tidak seorang pun diperbolehkan berbicara tentang suatu hal, halal
atau haramnya, kecuali berdasarkan ilmu, yakni berupa kabar dari Al-
Kitâb, As-Sunnah, Al-Ijmâ, dan Al-Qiyâs.”
Dari penegasan di atas dapat kita simpulkan bahwa hanya ada empat
landasan hukum yang diambil Imam Syafi‟i, yaitu al-Kitâb, as-Sunnah, al-Ijmâ,
dan al-Qiyâs. Akan tetapi, dalam kitab ar-Risalah ditambah dengan Istishab.22
4. Materi Kitab Al-Majmu’
Kitab al-Majmu‟ adalah kitab syarah (penjelasan) dari kitab al-
Muhazzab, yang membahas segala persoalan fikih mazhab Syafi‟i. Kitab hasil
karya Imam an-Nawawi ini terdiri 23 (dua puluh tiga) Jilid dimana cakupan
pembahasan yang diulas dalam kitab al-Majmu memuat empat aspek, yakni
aspek peribadatan, aspek muamalat, aspek pidana, serta aspek lembaga hukum.
Berikut materi kitab al-Majmu‟:
Pada juz pertama aspek pembahasan meliputi; kitab tentang bersuci, bab
tentang air dalam bersuci, bab air yang tidak suci, bab air najis, bab air
musta‟mal, bab keraguan menggunakan air najis, bab tentang wadah, bab siwak,
bab sifat wudlu, dan bab mengusap muzzah (khuf).23
21
Abd al-Halim al-Hindi, Al-Imâm Al-Syâfi‟i: Nâsir as-Sunah wa Wâdhi‟ al-Usul
(Beirut: Dar al-Qolam, 1966), h. 225. 22
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Risalah, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah,
2005), Juz I, h, 360. 23 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 2008)
Juz I, h. 573.
40
Pada juz kedua pembahasan meliputi; bab hadas yang membatalkan
wudlu, bab bedoa ketika wudlu, bab tayamum, bab istinjak.24
Pada juz ketiga pembahasan meliputi; kitab shalat, bab waktu-waktu
shalat, bab adzan, bab kesucian badan dan pakaian dalam shalat, bab menutup
aurat, bab menghadap kiblat, bab sifat shalat, bab shalat sunnah, bab sujud
tilawah, bab sujud syukur.25
Pada juz keempat pembahasan meliputi; bab perkara yang membatallkan
shalat dan yang makruh dalam shalat, bab sujud sahwi, bab waktu yang
diharamkan shalat, bab shalat jamaah, bab kriteria imam, bab posisi berdiri imam,
bab shalat orang sakit, bab shalat musafir, bab etika perjalanan, bab shalat khauf,
pasal berhias dengan emas, bab shalat jumat, bab kesunahan shalat jumat dan
tabakkur, bab berucap salam, pasal menjawab salam, pasal mendoakan orang
bersin, pasal berjabat tangan, merangkul, mencium, dll. dalam shalat, bab
beberapa zikir yang sunnah ketika malam dan siang hari juga ketika pada waktu-
waktu tertentu.26
Pada juz kelima pembahasan meliputi; bab shalat „idz, bab merayakan
takbir, bab shalat kusuf, bab shalat istisqa‟, kitab perihal jenazah, bab
memandikan jenazah, bab mengkafani jenazah, bab shalat jenazah, bab
membawa dan menguburkan jenazah, bab ta‟jiyah dan menangisi mayit, kitab
zakat, bab zakat hewan ternak, bab zakat unta, bab zakat sapi, bab zakat kambing,
24 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz II, h. 556. 25 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz III, h. 573. 26 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz IV, h. 491.
41
bab hewan yang dimiliki dua orang, bab zakat tanaman, bab zakat emas dan
perak.27
Pada juz keenam pembahasan meliputi; bab zakat harta dagang, bab
zakat harta tambang dan harta karun, bab zakat fitrah, bab mempercepat
pembayaran zakat fitrah, bab pembagian zakat, bab sedekah sunnah, kitab puasa,
bab sedekah sunnah dan hari-hari yang dilarang berpuasa, kitab i‟tikaf.28
Pada juz ketujuh pembahasan khusus seputar ibadah haji, yang meliputi
penjelasan terkait rukun haji, tawaf, sa‟i, wukuf, melontar jumroh, mencukur dan
memotong, tentang kesunnahan haji, tentang keharaman sewaktu haji, dan lain
sebagainya.29
Pada juz ketujuh ini terdiri dari pasal dan far‟u. Pembahasan
seputar haji dan umrah dilanjutkan dengan juz kedelapan dengan sedikit
tambahan bab terkait aqiqah.30
Pada juz kesembilan pembahasan meliputi; kitab tentang makanan dan
minuman, bab hewan buruan dan sembelihan, kitab tentang jual beli, bab perkara
yang boleh dijualbeikan dan yang tidak, bab memisah barang jualan yang
tercampur, dan bab riba.31
Pada juz kesepuluh pembahasan meliputi kelanjutan bab jual beli serta
permasalahan yang terkait riba. Dalam juz ini dijelaskan secara panjang lebar hal-
hal yang berkaitan dengan problematika transaksi jual beli. Pada akhir
27 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz V, h. 533. 28
Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz VI, h. 520. 29 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz VII, h. 490. 30 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz VIII, h. 504. 31 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz IX, h. 516.
42
pembahasan dalam juz kesepuluh ini disempurnakan dengan persoalan jual beli
tanaman dan buah-buahan.32
Pada juz kesebelas pembahasan masih terkait jual beli namun lebih
spesifik kepada persoalan produk pertambangan (masail ma‟dan) dan segala
macam jual beli yang sifatnya masih di dalam barang itu sendiri. Bentuk jual beli
ini dijelaskan dalam bab jual beli al-Misrah (hewan perah). Pada akhir
pembahasan disertakan sedikit keterangan mengenai pengembalian barang sebab
ada cacat.33
Pada juz keduabelas meliputi tiga pembahasan, yaitu kelanjutan
persoalan pengembalian barang akibat ada cacat, persoalan transaksi gadai, serta
perselesihan antara penggadai dan penerima gadai, dan bab mengenai orang yang
dinyatakan secara hukum failit.34
Pada juz ketigbelas pembahasan meliputi; bab tentang al-Hijr
(pembatasan melakukan akad), kitab as-Suluh (perdamaian), kitab akad hawâlah
(pemindahan hutang piutang), kitab akad Dhaman (tanggungan), akad kafalah
(jaminan), serta penjelasan mengenai akad at-Ta‟min (asuransi).35
Pada juz keempatbelas secara panjang lebar pembahasannnya meliputi
akad syirkah (kerjasama), dan akad wakalah (perwakilan). Imam an-Nawawi
menaruh perhatian terhadap dua akad ini dalam satu juz sebab permasalahan yang
32
Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz X, h. 411. 33 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XI, h. 632. 34 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XII, h. 434. 35 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XIII, h. 487.
43
berkaitan dengan dua akad ini sangat banyak, terutama yang terkait dengan
syirkah, kerjasama dalam bisnis.36
Pada juz kelimabelas pembahasan meliputi; kitab wadiah (jasa
penitipan), kitab as-Syufah (pemilikan barang yang dikongsikan), kitab al-Qirâdl
(utang piutang), kita al-Ijârah (sewa menyewa dan jasa), bab tentang kewajiban
antara dua orang yang melakukan akad ijarah, bab perkara yang mengharuskan
batalnya akad ijarah, bab jaminan barang, bab perselisihan dalam akad ijarah.37
Pada juz keenambelas pembahasan meliputi; kitab ju‟âlah (janji
upah/hadiah), kitab tentang perlombanan, bab keterangan tentang kesalahan
dalam perlombaan, kitab ihya al-Maut (produktifisasi tanah tak bertuan), bab
penggusuran dan pemagaran tanah tak bertuan, bab hukum air di tanah tak
bertuan, kitab luqatah (barang temuan), kitab penemu barang temuan, kitab
wakaf, kitab hibah, bab al-„Umra dan ar-Ruqba, kitab wasiat, bab batasan
sepertiga, bab wasiat kepada umum, bab menarik kembali wasiat, bab bentuk-
bentuk wasiat, kitab al-„Itqi (memerdekakan budak), bab al-Qur‟ah (budak
qurah), bab budak mudabbar.38
Pada juz ketujuhbelas pembahasan meliputi; kitab budak mukatab, bab
barang yang masih hak milik budak mukatab dan yang tidak, bab al-Ada dan al-
„Ajzi (kelebihan dan kekurangan budak), bab catatan yang salah dalam
memrdekakan budak mukatab, bab perselisihan antara sayid dan budak mukatab,
kitab kemerdekaan ibu budak, bab al-Wala‟ (pesangon budak), kitab bagian
waris, bab pewarisan keluarga waris, bab pewarisan keluarga as-Sobah, bab
36 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XIV, h. 487. 37 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XV, h. 369. 38 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XVI, h. 549.
44
kakek-nenek, kitab nikah, bab perkara yang mensahkan nikah, bab perkara yang
mengharamkan nikah dan yang tidak, bab khiyar dalam nikah dan penolakan
sebab ada cacat, bab nikah orang musyrik.39
Pada juz kedelapanbelas pembahasan meliputi; kitab mas kawin, bab
perselisihan mempelai atas mas kawin, bab nikah mut‟ah, bab resepsi pernikahan,
bab membangun rumah tangga dan penggiliran istri, bab nusyuz (cemburu), kitab
khulu‟ (gugat cerai), kitab talak, bab jumlah talak dan pengecualiannya, bab
syarat dalam talak, bab keraguan talak dan percekcokan suami-istri, bab talak
raj‟i.40
Pada juz kesembilanbelas pembahasan meliputi; kitab al-Îla (sumpah
bersetubuh), kitab zihar (menyamakan istri dengan ibu kandung), bab denda
zihar, kitab li‟an (menuduh serong), bab nasab, bab orang yang sah lian, kitab
sumpah, bab denda sumpah, kitab al-„Adad (beberapa „iddah).41
Pada juz keduapuluh pembahasan meliputi; kelanjutan „iddah, kitab al-
Ahdad (tidak berhias), bab memiliki dua „iddah, kitab susuan, kitab nafkah, bab
nafkah istri-istri, bab kadar nafkah, bab suami miskin nafkah, bab nafkah wanita
„iddah, bab pengasuhan anak, kitab jinayat, bab keharaman membunuh, bab
pengampunan qisas, bab denda jinayat.42
Pada juz keduapuluh satu pembahasan meliputi; bab perselisihan yang
melukai, bab kafarah membunuh, kitab memerangi pemberontak, bab membunuh
murtad, bab kebiri, kitab jihad, bab rampasan perang, pembagian ghanimah, bab
39
Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XVII, h. 549. 40 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XVIII, h. 591. 41 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XIX, h. 581. 42 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XX, h. 581.
45
pembagian seperlima, bab pembagian harta fa‟i, bab pajak, bab hadanah
(perjanjian gencatan senjata), bab pajak tanah perbatasan.43
Pada juz keduapuluh dua pembahasan meliputi; kitab al-Hudûd (sanksi
hukum), bab sanksi hukum zina, bab eksekutor sanksi hukum, bab sanksi pidan
menuduh zina (qadzaf), bab sanksi hukum mencuri, bab sanksi hukum begal, bab
sanski hukum peminum khamar, bab sanski takjir, kitab lembaga hukum, bab
kewenangan lembaga hukum dan prosedur persidangan, bab aturan bagi hakim
dalam menghadapi pihak terkait dalam persidangan, bab sifat putusan hukum,
bab al-Qismah (pembagian rata objek sengketa), bab dakwaan dan alat bukti.44
Pada juz keduapuluh tiga pembahasan diakhiri dengan soal persaksian
dalam pesoalan hukum baik perdata maupun pidana. Pembahasan berikutnya
mengenai al-Iqrar (pengakuan), yang merupakan materi paripurna dari kitab al-
Majmu‟.45
43 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XXI, h. 449. 44 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XXII, h. 631. 45 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, Juz XIII, h. 349.
46
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF ZAKAT MADU MENURUT KITAB BADÂ’I
AL-SONÂ'I DAN KITAB AL-MAJMU’
A. Zakat Madu Menurut Kitab Badâ’i al-Sonâ'i
Menurut Imam al-Kasani Zakat madu hukumnya wajib, sebagaimana ia
jelaskan dalam kitab Badâ‟i al-Sonâ'i, yaitu:
ب ا اث ع ىوف و ا قز وؽ ـ ه مل ـمل موو ا ع ا
و اع ثػ مه ٠غت ـ١ ك ـب خ أ ىخ ف ل١ اعزجو ـ١ ؿ أ ٠
رؾذ ب ل٠لف ك ـ١ خ ال اعزجبه ل١ ال ـال ثبء ع أ
٠عزج أ ع ب ه ، ى١ خ ا للهف ب اهاك ث ك ـا خ أ ف و ـ١
ه ، وح أهبي ه مه ثع لل أ ع ه ل٠ىبي ع ا ك ل أ
ع ب ـ١ى لوثخ ف لوة و اعزجو ف أ بئز١ ز
صالص ز خ ـوق ـوق و خ أ ف ل اعزجو ـ١ ؾ ب، ١ ف
ب ثبء ع أ ع١ ز ر ع ب ـزى و ب١خ ع ص ال ـ١ى ه
اعزجبه خ . ف ء و ه ث ب ٠مل ضبي أع أ 1
Artinya : “Terkait (hukum zakat) madu, telah dijelaskan oleh Imam al-quduri
dalam Kitab Syarah Mukhtashor al-Karkhi, dari Abi Yusuf, bahwa
ketentuan „lima wasaq‟ dikenakan pula untuk madu. Karena itu, jika
melebihi lima wasaq, wajib dikeluarkan zakatnya 1/10, jika tidak, maka
tidak wajib zakatnya. Hal ini mendasarkan pada al-Ashl (sesuatu yang
1 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'I, (Beirut: Dar Al Fikri, 1996) Cet.I,
Juz II, h. 511.
47
dijadikan dasar dalam qiyas) yaitu ketentuan „lima wasaq‟ yang
ditetapkan pula (sebagai nisab) pada jenis barang yang tidak bisa
ditakar. Maka dapat dipahami, maksud hadis yang meriwayatkan
dengan bahasa „lima wasaq‟ ialah ukurannya (bukan jenis barangnya),
mengingat madu itu tidak bisa ditakar. Dengan demikian, jika melihat
ukurannya ada pendapat yang menyatakan, batasan nisabnya sepuluh
liter, ada pula lima qirab (satu qirab = 50 man, berarti 5 X 50 = 500
man). Imam Muhammad menyatakan, batasannya lima afraq (satu afraq
= 36 rithl/18 man, maka 90 man). Imam Muhammad mendasarkan
batasan nisab kepada al-Ashl dengan menyamakan kepada segala
sesuatu yang bisa diukur.”
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, zakat madu itu hukumnya
wajib tanpa ada perbedaan pendapat ulama dalam mazhab Hanafi. Perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan mereka bukan terkait hukumnya tetapi
mengenai batasan nisabnya. Ada tiga pendapat dalam hal ini. Pertama, ukuran
nisab zakat madu adalah 10 liter. Kedua, lima qirab, yakni 500 mann. Ketiga,
ukuran nisabnya adalah lima afraq / 90 man.
Hukum wajibnya zakat madu dapat ditemukan dalam beberapa kitab
mazhab Hanafi lainnya, diantaranya sebagai berikut:
1. al-Mabsût
بي )ل ا و م ا ع ا ـ ء ل ( و ا اط و ق ا ه ا ـ ب ه ا ـ ب
و ؿ ١ و و ع ا ١ ف ـ بي ج غ ا ـ أ و ع ا و و م ج بؽ ب ؽ ه ع بـ ا
ب ذ ج ض ٠ ع ا ـ و ع ا بة غ ٠ ا ـ ه ب ا بث ز و هللا رعب ـ
ن ـ ذ ج ض ٠ ١ ـ ء ل ا ه ـ و ع ل أ ا ح به ئ ا
48
١ ؾ ا ف أ ع ع ا ثو بل و ١ ـ ء ال ـ ا ن ا ٠
.ي م ا ك ى ٠ 2
Artinya : “Tidak ada kewajiban zakat madu yang keberadaan sarangnya berada
di tanah kharaj (pajak non-muslim dzimmi). Sedangkan jika berada di
tanah „usyr, atau berada di pegunungan, maka wajib zakat sepersepuluh
sebagaimana pemiliknya. Imam Syafi‟i r.a mengemukakan dalam
kitabnya, bahwa hadits yang meriwayatkan wajibnya zakat madu tidak
tetap hukumnya juga hadis yang meriwayatkan tidak wajibnya juga
tidak tetap. Ini menunjukan bahwa tidak ada kewajiban sepersepuluh
pada madu. Karena madu terpisah dari hewannya maka tidak
diwajibkan zakatnya sebagaimana kepompong yang terpisah dari
katun.”
2. Syarah Fathul Qadir
Seakan membantah pendapat dari fuqaha mazhab Syafi‟i, yang
menyatakan tidak wajib, menurutnya, Imam Syafi‟i sendiri telah meriwayatkan
suatu hadits yang memberi sinyal wajibnya zakat madu, sebagai berikut :
ه ١ ع ث ب أ و ج ف أ ع بـ ا ث ؽ او ل ج ع ث س و ؾ ا ع ب
ذ ١ ر )) أ بي ل ال بة ث م ث أ ث ل ع ع ١ ث أ ع بة ث م ث أ اج
ا بأ م ع ع ا هللا ي به : ٠ ذ ل ذ أ ـ ١ ع هللا
ع ف ـ ١ ع ، هللا ع١ ج ا ل ع ث هللا ع ه و ى ث أث ع ز ا
ـ و ١ ف ل ا ـ ع ا بح و ا ى ك أ ب ل : ٠ بي ل ل ع ل ب ل ـ
2 Syamsuddin al-Syarkhosi, al-Mabsût (T.th., Dar al-Marifat, Beirut), Juz II, h. 216
49
و اع د ن ف أ ، ـ و ؟ لبي : اع و ر ا: و ب ، ل بر و ى ك إ ر ل بي
ـ ع ع بع ج هللا ع ـ ه و ع ث ذ ١ ر أ ـ . 3(( ١ ا بد ل ل
Artinya : “Imam Syafi‟i meriwayatkan, “Kami mendapat khabar dari Anas bin
„Iyadh dari Harts bin Abdur Rahman bin Abi Dzubab bin Abi Dzubab
ad-Dusi, ia berkata: Saya mendatangi Nabi Saw, lalu menyerahkan
zakat madu. Aku bilang, “Ya Rasulullah, jadikanlah sebagai zakat
kepada kaumku”, lantas beliau melakukannya, begitupula dilakukan
Abu Bakar, r.a setelah Nabi Saw. Maka ketika Abi Dzubab datang
kepada kaumnya ia berkata, “Hai kaumku”, berikanlah zakat madu,
karena tidak ada kebaikan pada harta yang tanpa zakat. Mereka
bertanya, “Berapa?”. Ia jawab, “Sepersepuluh”. Maka aku pungut dari
mereka sepersepuluh dan Aku serahkan kepada Umar dan beliau
menerimanya dan menjadikan hasilnya dalam zakat Islam.”
3. Radd al-Mukhtàr
ه ب ؾ ال ف ئ ح به ئ ع ب ث ػ و ١ ـ ١ بي ل ش ١ ؽ ع بـ ا
١ ؽ ل ز ل ء و ث اإل ج أ ـ ا ٠ ١ ك ، 4.ؼ ز ف ا ـ ج ب
Artinya : “Penulis menjelaskan “العسل” sebagai isyarat tentang perbedaan
pendapat dengan Imam Malik dan Syafi‟i yang menyatakan tidak ada
kewajiban apapun dalam madu, karena madu dikeluarkan dari hewan
sebagaimana soal kepompong. Dalil kami (tentang wajibnya zakat
madu) telah dijelaskan panjang lebar dalam kitab al-Fath (Fathul al-
Qadir).”
4. Muhgnî al-Muhtâj
ع ) ا ( ـ ) خ بؽ ج ا خ ى ال ن ف أ ب أ و ؾ وب اء (
ن ف أ ١ ع هللا ث ع١ت أ عو خ ع بع ث ا ب ه
5.و ع ا
3 Imam Kamaluddin, Syarah Fathul Qadir, (Dar Al Kutub Al Islmaiyah, Beirut, 2003),
Juz II, h. 252. 4 Ibnu Abidin, Raddul al-Mukhtàr, (Dar Alim Al-Kutub, Riyadh, 2003), Juz III, h.264.
50
Artinya: “Madu (juga diwajibkan zakat), baik lebahnya dimiliki atau di dapat
dari sarang-sarang liar (mubah) –karena riwayat Ibnu Mazah, dari
umar ibnu syu‟aib- Bahwa Nabi Saw, menarik zakat sepersepuluh dari
madu.”
Jadi, dari tiga teks kitab yang dituturkan di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Zakat madu hukumnya wajib
b. Zakat madu tidak wajib apabila dihasilkan dari kawasan yang dikenai pajak.
c. Zakat madu tetap harus dipungut meskipun lebahnya milik sendiri ataupun
tidak (madu liar).
Adapun dasar hukum yang dibangun oleh Imam Al-Kasani dan ulama
mazhab Hanafi lainnya adalah menggunakan dua sumber hukum, yaitu al-Hadis,
Qaul Sahaby dan al-Qiyas. Seperti dikemukakan oleh Imam Al-Kasani sebagai
berikut :6
a. Al-Hadis
ع و ـ ا ة اع ع لن ٠ضجذ ع ي : ا م ؾ لب ـمل صجذ ع
هللا ع١ ا ج ١ بهح عبء ا اثب ا ب ه أل رو ئل
وب((. ـمبي : ))اك ع هللا ع١ ؾال ـمبي ا ج ـمبي ا
١بهح: اؽ بب اث ي هللا، ـؾ ٠به .ب
Artinya : “Kami jawab: Jika tidak ada ketetapan hukum menurutmu atas
wajibnya sepersepuluh pada madu, kami nyatakan ada. Lihatlah riwayat
ini! Bahwa Abu Sayyarah pernah mendatangi Nabi Saw, lalu ia berkata,
Kami punya madu, kemudian kata Nabi Saw, Berikanlah
sepersepuluhnya. Lalu Abu Sayyarah berkata: Berilah kami
5 Muhammad Khatib al-Syarbini, al-Muhgnî al-Mukhtâj, (Maktabah Syamîla), Juz IV,
h. 382. 6 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'I, h. 511.
51
perlindungan wahai Rasulullah. Kemudian Nabi Saw memberikan
perlindungan kepadanya.”
ث أ عل ع اث١ ع١ت ع وث ع ه جبثخ – ـ ثط ب
و، اع ؾ ي هللا هللا ع١ ا ه ا ٠إك وب
اك١٠ ٠ؾ وب و لوة لوثخ ع .
Artinya : “Umar Bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, bahwa
bani Syababah –suku pedalaman daerah fihm- menyerahkan
sepersepuluh madu kepada Rasulullah Saw. Setiap sepuluh kantong
dipungut satu kantong. Rasulullah memberi perlindungan kepada
mereka.”
b. Qaul Sahaby (pendapat sahabat)
و ه ع ب وب عجل هللا ـ ث ف١ب ببن ع زع ا هللا ع
ي ا ه ٠ ١ئ ب إك ب وبب ا: ئ لب ١ئ ب ا ئ١ ٠إك ا أ ، ـأث مفاض
و ه ا ع ف١ب هللا ع: هللا هللا ع١ ـىزت مه
ل هللا رعب هىل ب ئ هي هللا هللا مثبة ؼ١ش ٠ با ؾ ئ
ا ا١ ث١ب ـأك ا ب ث١ ئل ـق اك٠ .ع١ ـأؽ
Artinya : “Ketika Khalifah Umar r.a mengambil kebijakan demikian kepada
Sufyan bin Abdillah At-Tsaqofi (Gubernur Thaif), masyarakat Thaif
menolaknya. Sufyan berkata kepada mereka, “Hal ini adalah sesuatu
yang dijalankan masa Rasulullah Saw. Sufyan melaporkan kepada
Umar akan kejadian ini, kemudian umar mengirim surat kepadanya,
menyatakan bahwa „lebah itu serangga hujan yang Allah Azza Wa Jalla
siram sebagai rizqi bagi orang yang dikehendakinya, maka jika mereka
pemilik sarang-sarang tawon membayar (zakat) kepadamu sebagaimana
mereka lakukan kepada Nabi Saw., jagalah sarangnya.”
Gubernur Thaif Sufyan bin Abdillah melaporkan bahwa pemilik sarang-
sarang tawon akan dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka
52
membayar „usyr, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak mau
maka tidak akan mendapat perlindungan.7 Tidak hanya hadis di atas, Imam Al-
Kasani juga mengangkat hadis berikut:8
هللا ع١ وزت ا اج و٠وح ه هللا ع أ أث ع
وب عو ه هللا ع أ ع و ع ا ا ع ٠إفن أ ١ ا ا
ونا ه و لوة لوثخ ع و و ع ا ع ا ٠أفن ع ع اث
وح. ج ا١ ب ثب وب مه ؽ١ ٠فع وب ه هللا عب أ عج ب
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi Saw, mewajibkan kepada
penduduk Yaman untuk mengambil sepersepuluh dari madu, dari Umar
r.a bahwa ia pula mengambil sepersepuluh dari madu, setiap sepuluh
kantong dipungut satu kantongya. Seperti ini juga, riwayat dari Ibnu
Abbas, bahwa ia menjalankan hal demikian ketika menjabat di kota
Basrah.
b. Qiyas
Madu wajib dikeluarkan zakatnya juga berdasarkan qiyas (analogi)
dengan zakat buah-buahan dari sisi sama dalam hal tumbuhnya (an-Nama). Buah
keluar dari tumbuhan, madu keluar dari lebah yang mengkonsumsi sari
tumbuhan. Imam Al-Kasani menyatakan:
بئب لعزجبه ؾك ث ي : ـم بء اله ١ ب ل أ
و وبض غو ـىب اه ا أ ل ٠ز ل ب، اعلاك اله .ا ب
Artinya : “Adapun pendapat yang mengatakan madu bukanlah tumbuh dari
bumi, maka jawaban kami, bahwa madu itu serupa dengan hal yang
tumbuh dari bumi, sebab orang-orang biasa mengelompokkannya
7 Muhammad Rowasy , Mausu‟ah Fiqh Umar ibn al-Khattab, (Beirut: Maktabah al-
Falah, 1981), h. 362. 8 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, h. 512.
53
demikian. Sebab, madu berasal dari sari buah maka madu disamakan
dengan buah (dalam hal zakatnya).”
Ibnu Qudamah pengarang kitab al-mugni „ susu tidak wajib zakat karena
dasarnya (sapi) pemeliharaannya sudah wajib zakat, lain halnya dengan madu.
Oleh karena itu ketentuan yang dapat ditegaskan disini adalah bahwa dasar yang
belum dikeluarkan zakatnya wajib dikeluarkan zakatnya dari produksinya.
Dengan demikian madu, sebagai sesuatu yang dasarnya (lebah) belum
dikeluarkan zakatnya maka ia pun wajib untuk dikeluarkan zakatnya.9
Zakat madu ini wajib dalam pandangan ulama Hanafiyah dengan catatan
ia dihasilkan dari wilayah yang tidak kena pajak, seperti ditegaskan sebagai
berikut:
ـ ب اما وب و. ـب اع اه ـ اما وب ع و ـ ا ع ب ٠غت ا ئ ص
قواط ـال ا أه ى و ـ١ ع ة ا ع ب مووب أ ء ـ١
أىبه ل و ز يخ اض قواط ث ا به أه ء ـ ص ل و اض
ع و ـ ا ع عت ا قواط، ـ ا قواط ٠غت ـ١ ا اه ل
لب ع عب ل٠غز اؽلح قواط ـ أه ا و بع اع 10 .لعز
Artinya : “Zakat madu wajib apabila dihasilkan dari kawasan non pajak. Jika
dari kawasan wajib pajak, maka tidak ada kewajiban zakatnya.
Alasannya, bahwa kewajiban sepersepuluh pada madu itu sebab madu
samahalnya dengan buah, ia dihasilkan dari sari buah. Sedangkan
buah-buahan yang berasal dari kawasan wajib pajak itu tidak ditarik
zakatnya, sebab sudah dibebani dengan bea pajak tanah. Apalagi madu,
maka tidak ditarik zakatnya. Andaikata diwajibkan sepersepuluh pada
madu yang dihasilkan dari kawasan wajib pajak, niscaya kumpul dua
9 Ibnu Qudamah, Al-Mugnî, (Dar Alamul Kutub, Beirut, 1997), Juz III, h. 22. 10 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, (Beirut: Dar Al Fikri, 1996), Juz II,
h. 512.
54
kewajiban, yakni kewajiban pajak dan zakat. Hal ini tidak sesuai
menurut pendapat kami.
Madu hukumnya wajib sebagaimana keterangan di atas. Akan tetapi,
kewajiban zakat madu tersebut bukan tanpa syarat nisab. Berkaitan dengan syarat
nisab ini ulama Hanafiyah tidak mencapai kesepakatan. Hal ini, dapat kita lihat
dalam Tashil ad-Dorûri ,11
disebutkan demikian :
؟ ع و ـ ا ٠غت اع :
ل أث وضو ع ا و ل ع ا و ٠غت ـ١ اع أه ع ط : ئما افن ا
ؽز رجػ ء ـ١ هللا، ل ؿ هؽ ٠ لبي أث هللا، ؽ١فخ هؽ
وح أ خ ع ؽز رجػ ف ١ء ـ١ هللا: ل ل هؽ ؾ لبي ىلبق ،
ـواق . أ
Artinya : “Soal : Apakah wajib zakat sepersepuluh dari madu. Jawab : Apabila
memanen madu dari kawasan non pajak, wajib baginya membayar zakat
sepersepuluh, sedikit atau banyak hasil panennya. Menurut Imam Abu
Hanifah r.a. Sementara menurut Abu Yusuf r.a, tidak wajib zakat madu
sebelum mencapai 10 azqaq. Muhammad berpendapat, 5 afraq. ”
Meskipun terdapat perbedaan di antara ulama Hanafiyah terkait nisab
zakat madu, Imam al-Kasani nampaknya lebih memilih pendapat yang
menyatakan adanya nisab bagi zakat madu, sebagaimana pendapatnya yang
mensyaratkan nisab pada zakat tanaman. Oleh karena itu, madu yang dihasilkan
wajib dikeluarkan zakatnya sepersepuluh, apabila telah mencapai nisabnya.
11 Muhammad Asyiq Ilahi al-Barni, Tashil ad-Dorûri, (Saudi Arabia: Maktabah Iman
1411 ), Juz I, h. 128.
55
بء ؾك ثب ي أث ؽ١فخ ل ـ ل وض١و ل١ و ـ ع ٠غت ا
لن و ب ل ـ مه ع و ث بة ١ ا به غو اض ٠غو
ب ـ مه مووب افزالؾ ا ا٠خ ع 12 .و
Artinya : “Wajib mengeluarkan zakat madu sepersepuluh, sedikit atau banyak
hasil panennya. Menurut Imam Abu Haifah. Hal ini disamakan dengan
soal zakat tanaman yang tidak ada syarat nisab. Perbedaan pendapat
atas hal tersebut telah kami paparkan di atas.”
Tidak hanya itu, perbedaan pendapat juga terkait madu yang dihasilkan
dari budidaya maupun dari hasil hutan/madu liar. Imam al-Kasani memberikan
gambaran tentang perbedaan pendapat ini. Beliau berkata:
عل ـ ب ٠ ؽ١فخ أث ل ع ؾ ـمل ه او اف ع ا غجبي ا
جبػ ؼ١و نا ؿ ا ٠ أث الء ع ؾبة اإل أ ه و ع ا ـ١ أ
١ اؾ ؾطت و وب اع ن ـال٠غت ـ١ . 13
Artinya : “Madu dan buah-buahan yang di dapat dari pegunungan (bukan dari
budidaya), menurut Muhammad dari Abu Hanifah juga wajib zakat
sepersepuluh. Ada satu riwayat dari penulis Kitab Al-Imla‟ dari Abi
Yusuf, bahwa hukumnya tidaklah wajib, sebab tidak dimiliki,
sebagaimana kayu bakar dan rerumputan. ”
Mengenai madu ini dalam pandangan Ulama Hanafiyah dari keterangan
di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Madu hukumnya wajib zakat.
2. Dasar hukum wajibnya zakat madu adalah beberapa hadis Nabi Saw, Qaul
Sahaby, dan Qiyas,
12 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, h. 512. 13 Alauddin Abi Bakar al-Kasani, Badâ‟i al-Sonâ'i, h. 513.
56
3. Madu yang wajib dizakati adalah madu yang tumbuh di tanah non pajak. Jika
berada di tanah yang dibebani pajak, ulama Hanafiyah sepakat tidak wajib.
4. Terdapat perbedaan pendapat tentang nisab bagi zakat madu. Imam Abu
Hanifah menyatakan tidak ada nisab karena disamakan dengan zakat tanaman.
Jadi, apabila madu yang dihasilkan saat panen sedikit atau banyak, maka wajib
zakat sepersepuluhnya. Sebaliknya, ada syarat nisab bagi zakat madu. Imam
Abu Yusuf menyatakan, nisab zakat madu 10 azqaq, sedangkan Imam
Muhammad, 5 afraq.
5. Madu yang dihasilkan dari budidaya maupun dari hutan liar itu sama saja,
keduanya wajib zakat, seperti yang disampaikan oleh Imam Muhammad dari
Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, menurut Imam Abu Yusuf madu dari hutan
liar tidaklah wajib.
B. Zakat Madu Menurut Kitab Al-Majmu’
Dalam kitab al-Muhadzab sebagai kitab induk (matan) dari Kitab al-
Majmu‟ disebutkan, bahwa terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
Syafi‟iyah mengenai hukum zakat madu. Hal ini disebabkan dua pendapat yang
berbeda dari Imam Syafi‟i sendiri, ketika berbicara mengenai hukum zakat madu.
: ع ـ ا افزؿ ل ع ، ٠غت ـ١ أ : ٠ؾز مل٠ ـمبي ـ ا
جبثخ ث : ))أ ب ه – ـ ي هللا ثط ب ا ه ا ٠إك وب
و لوة ع و، : اع ل ع وب ؾ هللا ع١
57
و لوثخ ((. ع ا ح ـال٠غت ـ١ ثم ١ غل٠ل : لرغت ل لبي ـ ا
. ج١ 14 وب
Artinya : “Terjadi perbedaan pendapat perihal zakat madu, Pertama, dalam qaul
qadim, kemungkinan madu wajib zakatnya. Hal ini tergambar dari
riwayat yang diangkat, yaitu bahwa bani Syababah –suku pedalaman
daerah fihm- menyerahkan sepersepuluh madu kepada Rasulullah Saw.
Setiap sepuluh kantong dipungut satu kantong.”Akan tetapi, dalam qaul
zadid, tidak diwajibkan zakat madu. Karena madu bukan makanan
pokok, maka tidak wajib zakat sepersepuluh sebagaimana telor.”
Pendapat Imam Syaf‟i dalam qaul jadid ini dapat ditemukan dalam kitab
al-umm :
ء ب ث ع أ رط ، ـب اق١ ل ـ ع للخ ـ ا ل بـع لبي ا
قط بة ا و ث لل لج ع ، ١ للبد ا ـ عع لج
رط أ ب ا ء أ و للخ ع ونه ا ق١ ا للخ ع ا ثب ع
ب. ع رط رمج 15
Artinya : ”Bahwasanya tidak ada zakat madu dan tidak ada zakat kuda, tetapi
jika pemiliknya dengan suka rela menyerahkan sedekahnya kepada
petugas, maka boleh diterima sebagai harta sedekah kaum muslimin.
Umar bin Khaththab pernah menerima sedekah kuda dari penduduk
Syam yang menyerahkan kepadanya dengan cara suka rela. Begitujuga
dengan segala jenis harta yang diserahkan oleh pemiliknya (kepada
Baitul Mal) secara suka rela, maka hal itu boleh diterima oleh petugas”.
Dua pendapat antara wajib dan tidaknya zakat madu di kalangan ashab
as-Syafi‟iyah dapat dijumpai dalam beberapa kitab mazhab Syafi‟i, antara lain :
a. Pendapat wajib zakat madu, diantaranya:
14 Abi Ishaq As-Syirazi, Al-Muhadzab,(Beirut: Dar As-Syamiyyah, 1996) Juz I, h. 505. 15
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Umm, (Beirut: al-Idarah, 2001), Cet. Pertama, Juz
II, h. 99.
58
Menurut Imam Jalaluddin dalam kitab Kanzu ar-Raghibîn
و ف ع اي ز ٠ اي ـ ت غ : ر ٠ ل م ا ـ ( ، اء او ى ( ث ه ا ا
و ف ع بي ث ١ ج ا ب، بء اط بؾ م ا و ى ( ث و م ا ، )
ع ا ) ه هللا ع و ع ع ي ال ، ه ؾ ا ( ل ع ب ث ،
و ف ع اي ال ف ع ه هللا و ى ث ث أ ع ا ي ل ، ـ خ غ ؽ بث ؾ ا
.16 ٠ ل م ا
Artinya : “Dalam qaul qadim dinyatakan, wajib zakat pada zaitun, zafaron,
waras (sejenis zafaron), qurtum (bisa dibaca kasroh maupun dhomah
pada huruf qaf dan tha, sejenis tumbuhan), dan pada madu dari tawon.
Dasar hukum zaitun, riwayat dari Umar r.a, sedangkan selain zaitun
dan zafaron, hadis dari Abu Bakar. Dalam qaul qadim pendapat
Sahabat Nabi termasuk dasar hukum.
Menurut Imam Syamsuddin Muhammad dalam kitab Mughnî al-
Mukhtâj
ع )ا ( ـ ) ب . خ بؽ ج ا خ ى ال ن ف أ ب أ و ؾ وب اء (
ن ف أ ١ ع هللا أ ت ١ ع ث و ع ع بع ث ا ه
17.و ع ا
Artinya : “Wajib zakat madu, baik sarang tawonnya milik sendiri maupun di
dapat dari perburuan. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Majah dari Umar
bin Syuaib, bahwasanya Nabi Saw menarik zakat madu sepersepuluh.
16 Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, Kanju al-Raghibin, (Lebanon: Dar al-Minhâj,
2013), Juz I, h. 407. 17 Syamsuddin Muhammad al-Syarbini, Mugni Al-Mukhtaj, (Beirut: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, 2000), Juz II, h. 82.
59
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian Ulama
Syafiiyah mengikuti pendapat dalam qaul qadim yang menyatakan bahwa madu
wajib zakatnya sebagaimana za‟faron, zaitun, waras, dan qurthum.
Madu yang diwajibkan tersebut di dasarkan dari hadis yang
diriwayatkan oleh Umar bin Syuaib, serta Qaul Sahaby, yaitu kebijakan Umar bin
Khattab dan Abu Bakar ketika menjabat sebagai khalifah.
b. Pendapat tidak wajib zakat madu, diantaranya:
Menurut Imam Yusuf bin Ibrahim dalam kitab al-Anwar
خ ط ؾ ب ، و به ١ ز ف ل ب ثب ر ل ى ٠ : ا ي ال ف ال ى ه ال و ١ ع ا
خ ج اؾ ـ ح وب ى ال اـ................ ـ ح ه ان اـ.......... ا
ه ن ث ي م ج ا ج ؽ و ف اع ق ا ث ال ع ا ه ن ث ب
18 . ١ ـ بح و اي ت غ ر بل
Artinya : “Pertama, Termasuk jenis makanan pokok dalam kondisi stabil, seperti
gandum khintah, gandum syair, beras, jewawut, biji-bijian dst...... Oleh
karena itu tidak wajib zakat hulbah, simsim (jenis biji-bijian), dst. dan
madu, dabsu (sejenis madu), cuka, usfur (jenis tumbuhan) serta bijinya,
tanaman sayuran serta biji-bijiannya, dan biji-bijian dari jenis yang
tidak diwajibkan zakat.
Menurut Imam Abu Mahasin dalam kitab Bahrûl Al-Madzhâb
ن ا ذ ث صب و ١ ؼ و ع ا ١ ـ ن ا ش ٠ ل ؾ : ا ٠ ل م ا ـ بي م ـ ع ب ا ا
ي م ا ع ى ؾ ث ع ط م ٠ أ ى ـ ذ ث صب و ١ ؼ ١ ـ و ع ل أ ١ ـ ه
18 Yusuf bin Ibrahim al-Ardabîli, Al-Anwar li „Amâl al-Abrâr, (Kuwait: Dar Adhiya,
2006), Juz I, h. 274.
60
ث أ ١ ـ و ا و ١ ق ا ١ ـ هللا ي ه ا ك إ ا ٠ ب و خ بث ج
و ع : ا ل ع وب ؾ هللا ع١ . خ ث و ل ة و ل و ع و ،
ه م ع ل ٠ ل غ ا ـ ؼ ع ه ع ا ـ اع ى ال بق ؾ ا ل ؽ ا بي ل .
و ع ا ت غ ٠ اط و ق ا ه أ و ١ ؼ ـ ل ع : ا خ ف ١ ؽ ث أ بي ل و ع ا
19 . ١ ج ب و و ع ا ١ ـ ت غ ٠ ال ـ د م ث ١ ل ا ؼ ن
Artinya : “Soal madu yang menurut qaul qadim, maka penulis
berpendapat:‟Hadis yang diwajibkan sepersepuluh itu tidak tetap begitu
pula hadis yang menyatakan tidak wajib. Maka dari itu, hukumnya
tidaklah putus. Pendapat yang memilih hadis yang diriwayatkan bahwa
„bani Syababah menyerahkan sepersepuluh madu kepada Rasulullah
Saw. setiap sepuluh kantong dipungut satu kantong‟. Qaul zadid pun
diklaim telah mengunggulkannya. Di tambah, pendapat Imam Ahmad,
Imam Ishaq, Imam Awza‟i yang menyatakan madu wajib seperesepuluh.
Bahkan Imam Abu Hanifah menyatakan, jika madu tersebut di dapat
dari kawasan non pajak, wajib sepersepuluh. Ini adalah kesalahan,
sebab madu bukanlah makanan pokok sebagaimana telur.
Menyikapi dua versi ini, Imam Nawawi menegaskan pendapatnya,
bahwa zakat madu tidak wajib, sebagaimana dalam qaul jadid. Ia menyatakan
kesetujuannya dengan pendapat mayoritas mazhab Syafi‟i. Hal ini dapat dilihat
dari penjelasannya sebagai berikut:
ب و : ا و٠مب ـف١ بع ا – الوضو ؿ لبي ا ث - :
اط و٠ك اض ب : عب امل٠ غل٠ل : لىوبح ؾ١ؼ ا : ا ل ام ـ١
لىوبح ـ ثأ ١ لطع ا ث ل ـ١ ج ا ل ؽب أث أفو ١غ
19 Abu Mahasin al-Royani, Bahru al-Madzhab, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah,
2009), Juz III, h. 115.
61
نت : ا . ل ل مل٠ ـ ا غل٠ل، لبي : لرغت ـ ا ؾبة ال
ة. ع ع ا ١ ال لرغت عل 20
Artinya : “Tentang hukum zakat madu terdapat dua ketentuan, dan mayoritas –
termasuk pengarang, dan ulama-ulama lain- menyatakan, hukum zakat
madu terdapat dua qaul, pendapat sahihnya adalah qaul jadid, yakni
tidak wajib. Sementara qaul qadim, dua ketentuan, dimana ketentuan
yang kedua adalah tidak wajib zakat pula (sebagaimana qaul jadid).
Ketentuan yang kedua ini yang akhirnya dipastikan oleh Syaikh Abu
Hamid, Imam Bandinaizi, dan ulama lain. Sebagian ulama Syafi‟iyah
menyatakan pula: “Tidak wajib zakat madu, qaul qadim memberi dua
pendapat, tetapi menurut pendapat mazhab: hukumnya tidak wajib
karena tidak ada dalil yang mewajibkannya.”
Lebih lanjut, Imam Nawawi menjelaskan terkait hadis yang dijadikan
dasar hukum mazhab Hanafi di atas, menurutnya itu semua hadis dhaif, maka
tidak bisa dijadikan landasan hukum. Bahkan Imam al-Bukhârî menyatakan:
“Tidak ada landasan hukum yang sah terhadap wajibnya zakat madu”. Berikut
penuturannya dalam kitab al-Majmu‟:
ب ؼ١و ك اج١م كا ا أث : ـو ع جبثخ ـ ا ب ؽل٠ش ث ا
١ن ع١ؿ لبي از و بك ثا عل ع أث١ ع١ت ع و ث ا٠خ ع ه
ـ ا ج ؼ ع : ل٠ ع : لبي ـ عب ج١م ء لبي ا نا وج١و
ع ـ ىوبح ا جقبه : ))١ (( لبي ا ع ١ن ـ وزبة ))ا از و
20 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 2008)
Juz V, h. 435.
62
)) ؼ ١ء ٠ الؽبك٠ش ا ز ـ . ١ع الصبه ع أ ؾب ـب
ع١فخ . نااف 21
Artinya : “Adapun hadis Bani Syababah tentang madu, itu juga diriwayatkan
oleh Abu Daud, Al-Baihaqi, dll. dari „Amar Bin Syaib dari bapaknya
dari kakeknya, dengan isnad da‟if. Tirmidzi menyatakan dalam kitab
jami‟nya, tidaklah sah dalam hal ini sangat signifikan. Al-baihaqi
berkata : “Turmudzi dalam kitab Al-„Ilal mengatakan, “Imam Bukhari
pernah berkata, Tidak ada hadis sahih dalam zakat madu”. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan, bahwa semua atsar (pendapat sahabat) dan
hadis yang diangkat dalam pasal zakat madu adalah da‟if.
Mendukung pendapat Imam Nawawi di atas, yang menyatakan bahwa
qaul jadid yang sahih, Imam Najmuddin Ahmad dalam kitab kifayah an-Nabîh
memberikan argumentasi sempurna yaitu bukti sejarah. Saat Nabi Saw sendiri
mengutus mua‟adz ke Yaman, Nabi Saw hanya memerintahkan untuk mengambil
empat jenis tumbuhan sebagai zakat, yaitu: gandum khintah, gandum syair,
kurma, dan anggur”.22
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Zakat madu hukumnya dalam qaul qadim wajib, sementara dalam qaul zadid
tidak wajib.
b. Hadis yang digunakan sebagai landasan hukum wajibnya zakat madu adalah
lemah (dhaif).
c. Pendapat mayoritas mazhab Syafi‟i menyatakan zakat madu hukumnya tidak
wajib. Termasuk di dalamnya pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-
Majmu‟.
21 Abi Zakaria Muhyiddin al-Nawawi, Al-Majmu‟, h. 436. 22 Najmuddin Ahmad, Kifâyah al-Nabîh, (Dar al-Kutub, Beirut, 2009), Juz V, h. 366.
63
C. Analisis Komparatif Zakat Madu Menurut Kitab Badâ’i al-Sonâ'i dan Kitab
Al-Majmu’
1. Persamaan Pendapat Tentang Zakat Madu
Persamaan pendapat tentang zakat madu antara kitab Badâ‟i as-Shonâ‟i
yang mewakili mazhab Hanafi dengan kitab Al-Majmu‟ yang mewakili mazhab
Syafi‟i adalah penggunaan dalil yang dikemukakan, yaitu:
a. Hadis Ibnu Majah dan Sulaiman bin Musa
ؾال ـمبي ١بهح عبء ا ا ج هللا ع١ ـمبي ا اثب ا
و هللا ع١ ا ج : ))اك ع ب ١بهح: اؽ ب((. ـمبي اث
بب ي هللا، ـؾ .٠به
Artinya : “Bahwa Abu Sayyarah pernah mendatangi Nabi Saw, lalu ia berkata,
Kami punya madu, kemudian kata Nabi Saw, Berikanlah
sepersepuluhnya. Lalu Abu Sayyarah berkata: Berilah kami
perlindungan wahai Rasulullah. Kemudian Nabi Saw memberikan
perlindungan kepadanya.”
b. Hadis ‟Abdullah bin ‟Amr
جبثخ ث ي هللا هللا ع١ –أ ا ه ا ٠إك وب ـ ثط ب
و، اع ؾ و لوة لوثخ . ع
Artinya : “Bahwa bani Syababah menyerahkan sepersepuluh madu kepada
Rasulullah Saw. setiap sepuluh kantong dipungut satu kantong‟.
c. Hadis Abu Hurairah
ا ج ٠ هللا ع١ أ أ ١ ا وزت ا ا اع إفل
و ع .ا
64
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi Saw, mewajibkan kepada
penduduk Yaman untuk mengambil sepersepuluh dari madu.
d. Pendapat Sahabat Umar bin Khatab
ببن ع زع و ه هللا ع ا ع ب وب ث عجل هللا ـ ف١ب
ي ا ه ٠ ١ئ ب إك ب وبب ا: ئ لب ١ئ ب ا ئ١ ٠إك ا أ اض مف، ـأث
هللا ع: و ه ا ع ف١ب هللا هللا ع١ ـىزت مه
مثبة ؼ١ش ٠ با ؾ ل هللا رعب هىل ب ئ هي هللا هللا ئ
ا ا١ ث١ب ـأك ا ب ث١ ئل ـق اك٠ .ع١ ـأؽ
Artinya : “Ketika Khalifah Umar r.a mengambil kebijakan demikian kepada
Sufyan bin Abdillah At-Tsaqofi (Gubernur Thaif), masyarakat Thaif
menolaknya. Sufyan berkata kepada mereka, “Hal ini adalah sesuatu
yang dijalankan masa Rasulullah Saw. Sufyan melaporkan kepada
Umar akan kejadian ini, kemudian umar mengirim surat kepadanya,
menyatakan bahwa „lebah itu serangga hujan yang Allah Azza Wa Jalla
siram sebagai rizqi bagi orang yang dikehendakinya, maka jika mereka
pemilik sarang-sarang tawon membayar (zakat) kepadamu sebagaimana
mereka lakukan kepada Nabi Saw., jagalah sarangnya.”
c. Pendapat Ibnu Abbas
ونا وب مه ؽ١ ٠فع وب ه هللا عب أ عج ب اث ع ه
وح. ج ا١ ب ثب
Artinya : “Seperti ini juga, riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ia menjalankan hal
demikian ketika menjabat di kota Basrah.
Dalam hal ini Imam Al-Kasani dalam kitab Badâi as-Sanâ‟i
menyatakan, bahwa dalil-dalil tersebut adalah bisa dijadikan landasan hukum
sebab terdapat beberapa riwayat sebagaimana disebutkan. Imam al-Kasani
mengikuti mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa hadis yang menerangkan
tentang zakat madu dapat dijadikan dalil tentang wajibnya memungut zakat
65
madu. Akan tetapi, Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu‟ secara tegas
menyatakan bahwa dalil-dalil tersebut dianggap lemah dan tidak bisa dijadikan
landasan hukum tentang wajibnya zakat madu.
Sebenarnya, dalam kitab al-Umm, hadis tersebut juga dituturkan oleh
Imam Syafi‟i, sehingga menurut beberapa Ulama Syafi‟iyah Imam Syafi‟i
bependapat mewajibkan zakat madu. Pendapat ini dikategorikan sebagai qaul
qadim. Dengan demikian, terdapat persamaan pemahaman antara Imam Al-
Kasani dan beberap ulama mazhab Syaf‟i terkait hukum zakat madu. Meskipun
dalam qaul jadid Imam Syafi‟i tidak mewajibkan zakat madu, bukan berarti
membatalkan qaul qadim. Karena terdapat kaidah fikih :
ثبإل م عزبك ل٠ 23عزبك.اإل
Artinya : “Ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad sejenisnya.”
2. Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Madu
a. Penilaian terhadap hadis yang dikemukakan di atas
Imam al-Kasani menilai bahwa hadis yang menyatakan tentang zakat
madu bukan hadis dha‟îf karena diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi Saw.
Disamping itu, penggunaan pendapat sahabat adalah boleh untuk dijadikan
sumber hukum. Seperti, pendapat Sahabat Umar bin Khatab dan Abu Bakar
ketika keduanya menjadi khalifah, serta pendapat Ibnu Abbas ketika menjadi
pemimpin di kota Basrah. Mereka menyamakan zakat madu sebagai harta
23 Abdurrahman Al-Sayuti, al-Ashbah wa al-Naz‟air, (Dar al-Kutub, Beirut, tt.). h. 101.
66
pertanian („urudu at-tijarâh). Sehingga, pada setiap dipanen dipungut 10 % jika
tidak menggunakan ongkos, dan 5 % jika menggunakan ongkos.
Sementara Imam Nawawi menilai bahwa semua hadis dan pendapat
sahabat dinyatakan lemah sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum. Bahkan,
menurut Imam al-Bukhari tidak sah menggunakan hadis-hadis tersebut untuk
menjadikan wajibnya zakat madu. Begitu pula pendapat Imam at-Tarmidzi yang
menyatakan bahwa zakat madu menggunakan hadis tersebut adalah tidak sah.
b. Penggunaan Qiyas yang berbeda
Menurut Imam al-Kasani bahwa madu sama halnya dengan biji-bijian
dan kurma yang terbentuk dari intisari tanaman dan bunga-bungaan yang terus –
menerus tersimpan. Sedangkan menurut Imam Nawawi bahwa madu adalah
cairan yang keluar dari hewan seperti susu, sedangkan susu menurut ijma‟ tidak
wajib zakat.
c. Penggunaan Qaul Sohabiy (Pendapat Sahabat).
Dalam mazhab Hanafi pendapat sahabat dapat dijadikan dasar hukum.
Pendapat sahabat dijadikan dasar hukum karena mereka adalah penyambung
risalat Nabi Saw. Mereka adalah orang-orang yang terlibat langsung ketika
wahyu turun, yang mengerti konteks wahyu dengan hadis, yang membawa estafet
ajaran Nabi Saw. Sedangkan dalam mazhab Syafi‟i, pendapat sahabat tidak dapat
dijadikan dasar hukum. Hal inilah yang menjadikan perbedaan antara Imam Al-
Kasani yang bermazhab Hanafi dengan Imam Nawawi yang bermazhab Syafi‟i.
67
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis pembahasan skripsi mulai bab pertama sampai
dengan bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum zakat madu menurut Imam al-Kasani dalam kitab Badâ‟i as-Sanâ‟i
wajib dikeluarkan. Kewajiban tersebut berdasarkan hadist-hadist berikut:
a. Hadits dari Ibnu Majah, Sulaiman bin Musa, ‟Abdullah bin ‟Amr, dan
dari Abu Hurairah.
b. Pendapat Sahabat dari Umar Ibnu Khatab, Abdullah Ibnu Abbas, dan Abu
Bakar, Sufyan bin Abdillah al-Tsaqafi.
c. Qiyas, bahwa madu sama halnya dengan biji-bijian dan kurma yang
terbentuk dari intisari tanaman dan bunga-bungaan yang terus– menerus
ditimbun.
2. Hukum zakat madu menurut Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu‟
adalah tidak wajib. Menurutnya, semua hadis dan pendapat sahabat yang
dikemukakan oleh Imam al-Kasani adalah lemah untuk dijadikan landasan
hukum. Di samping itu, qiyas zakat madu adalah disamakan dengan susu
yang tidak wajib zakat bukan dengan tumbuh-tumbuhan. Meskipun, dalam
qaul qadim zakat madu disinyalir oleh sebagian ulama Syafi‟iyyah wajib,
tetapi menurutnya tetap tidak wajib baik dalam qaul qadim maupun dalam
qaul jadid.
68
3. Memahami dari dua pendapat di atas terkait hukum zakat madu, penulis
lebih memilih pendapat dari Imam Al-Kasani yang menyatakan zakat
madu hukumnya wajib dipungut sepersepuluh ketika panen. Argumentasi
yang dibangun oleh Imam Al-Kasani dengan tiga dasar hukum (Hadis,
Qaul Sohabiy, dan al-Qiyas) adalah sesuai dengan metodelogi penggalian
hukum mazhab Hanafi. Meskipun Imam Nawawi tidak menerima tiga
dasar hukum ini sebagai dasar wajibnya zakat madu, tetapi sebagian
ulama dari mazhab syafi‟iy menerimanya.
4. Bila madu itu merupakan komoditas yang diperdagangkan, maka
dikategorikan sebagai harta perdagangan („urud al-Tijârah). Oleh karena
itu, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen setiap setahun jika nilai
perdagangannya telah mencapai nisab, yaitu senilai 85 gr emas.
5. Bila madu itu dikeluarkan zakatnya setiap panen, maka dikategorikan
sebagai harta pertanian („urud al-Zirâah). Zakatnya adalah 10 persen jika
tidak menggunkan biaya, namun jika menggunakan biaya zakatnya
sebesar 5 persen. Pemungutan zakat ini bila madu yang dipanen telah
mencapai nisabnya, yaitu 653 kg.
6. Bila usaha untuk mendapatkan madu hanya untuk dikonsumsi, itu tidak
diwajibkan zakat.
B. SARAN-SARAN
a. Dalam rangka mendorong pengentasan umat dari kemiskinan hendaknya
pemerintah melalui BAZNAS menerbitkan peraturan yang memasukan
madu sebagai komoditas yang diwajibkan zakatnya sesuai dengan
69
pendapat Imam al-Kasani yang mengacu kepada pendapat dari mazhab
Hanafi. Indonesia merupakan negara yang sangat berpotensi dalam hal
produk madu sebagaiamana data pada bab terdahulu. Maka, dengan
mewajibkan madu sebagai harta zakat, penerimaan zakat oleh Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas) bisa bertambah.
b. Penelitian ini hanyalah kelanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu
yang telah dilakukan oleh para pencinta ilmu di bidang kajian terhadap
kitab kuning klasik untuk diaplikasikan dalam era kekinian. Maka dari itu,
penelitian ini tidaklah lepas dari tergelincirnya tulisan yang kadang
berakibat fatal sehingga diperlukan penelitian lanjutan.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka
Al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahannya.
Abdul Aziz, Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.
Ahmad, Najmuddin. Kifâyah al-Nabîh, Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, 2009.
An-Nawawi, Abi Zakaria Muhyiddin. Al-Majmu‟, Juz V Jeddah: Maktabah al-
Irsyad, 2008.
_______ Al-Majmu‟, Juz VI, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 1982.
An-Nasa‟i, Suanan al-Nasa‟i bi Syarh jalaluddin al-Suyuti, Juz V, Beirut: Dar
al-Ma‟arif, 1991
An-Naysabury. Abu Abdillah, Muslim. Shahih Muslim, kitab Zakat, Riyadh:
Dar Thaibah, 2006.
Al-Ardabîli, Yusuf bin Ibrahim. Al-Anwar li „Amâl al-Abrâr, Juz I, Kuwait:
Dar Adhiya, 2006.
Al-Anshari, Abu Yahya Zakaria. Fath al-Wahhab, Indonesia: Daru Ahya‟i
alkutub al-Arabiyah, T.th.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Syarah Arbain Nawawiyah, Jakarta:
Akbarmedia, 2010.
Al-Balqilani, Sirajuddin Abi Hafs. At-Tadzrib fi al-Fiqh ala Imam As-Syafi‟i,
Juz I, Riyadh: Dar Al-Qiblatain, 2012.
Al-Barni, Muhammad Asyiq Ilahi. Tashil ad-Dorûri, Juz I, Saudi Arabia:
Maktabah Iman, 1987.
Al-Dimsyaqi, „Abd al-Ghani al-Ghunaimi. al-Maidani al-Hanafi, al-Lubab Fi
Syarhi al-Kitab, Juz I, Beirut: al-Maktabah al-„ilmiyah, 1993.
Al-Hindi, Abd al-Halim. Al-Imâm Al-Syâfi‟i: Nâsir as-Sunah wa Wâdhi‟ al-
Usul, Beirut: Dar al-Qolam, 1966.
Al-„Izzi, Ibn Abi. al-Tanbîh „ala Musykilât al-Hidâyah, Juz II, Maktabah
Syamela
71
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala Madzahib Arbaah, Juz I, Cet. II, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Al-Kasani, Imam Alauddin. Badâ‟i al-Sonâ'I, Juz II, Cet.I, Beirut: Dar Al
Fikri, 1996.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad. Kanju Ar-Raghibin, Juz I, Lebanon: Dar
al-Minhâj, 2013.
Al-Syaukani, Nail al- Authar, Beirut: Dar al kutub al „Arabi, 2000.
Al-Syirazi, Abi Ishaq. Al-Muhadzab, Juz I, Beirut: Dar As-Syamiyyah, 1996.
Al-Utsaimin, Muhammad Shaleh Riyadhus Shalihin, Jakarta: Arbarmedia,
2010.
Al-Qardhawi, Yusuf Fiqh al-Zakâh, Juz I, Beirut: Muassasah ar-Risalah,
1969.
Al-Zuhayly, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz II, Cet. II, Suriah: Darul
Fikri, 1984.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Edisi
Revisi IV, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Ar-Royani, Abu Mahasin. Bahru al-Madzhab, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2009.
As-Syarbini, Syamsuddin Muhammad. Mugni Al-Mukhtaj, Juz II, Beirut: Dar
al-Kitab al-Ilmiyah, 2000.
As-Siddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
As-Syarkhosi, Syamsuddin. al- Mabsut, Juz III, Beirut: Dar al-Marifat, T.th.
As-Samarqandi, „Alauddin. Tufhah al-Fuqaha, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 1984.
As-Sayrazi, Abi Ishaq. al-Muhadzab, Juz I, Beirut: Dar As-Syamiyah, 1992.
As-Syafi‟i, Muhammad bin Idris. Al-Umm, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2009.
_______ ar-Risalah, Juz I, Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2005.
Asy-Syarbini, Muhammad Khatib. al-Muhgnî al-Mukhtâj, Juz IV, Maktabah
Syamîla.
72
Farid, Ahmad. 60 Biografi „Ulama Salaf, Cet. I, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005.
Hasan, M Ali. Masâil Fiqhiyah, Cet. IV, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Ibrahim, Abi Ishaq. al- Muhadzdzab, Juz I, Beirut: Dar Al-Fikr, 1988.
_______ as-Sunan al Kubra, Juz IV, Beirut: Dar al-fikr, 1996.
Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtâr, Juz III, Riyad: Dar Ulum al-Kutub, 2003.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz II, Cet I, Kairo: Dar as-Salam, 1995.
Ibnu Qudamah, Al-Mugnî, Juz III, Dar Alamul Kutub, Beirut, 1997.
Istiqomah, Analisis Pendapat Imam Syafi‟i tentang Zakat Madu, Skripsi
Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang,
2011.
Kamaluddin, Syarah Fathul Qadir, Beirut: Dar Al Kutub Al Islmaiyah, 2003.
Munif, Ahmad. Zakat Madu Pad Masa Khalifah Umar Ibn Khatab RA, Bimas
Islam, Vol .7 No.3, Juni, 2014.
Muhammad, Abi Bakar. al-Masâlik fi Syarh al-Muwatho‟ Malik,: Juz IV,
Beirut: Dar Gharb al-Islamiy, 2007.
Muhammad, Abi Abdillah. Shahih Sunan Ibnu Majah I, cet II, Beirut: Darul
Faqir, 1995.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera
Basritama, 2004.
Makhfudzoh, Nur. Zakat madu dalam Fikih Kotemporer, Skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016.
Muhammad, Syamsuddin. Mughni al-Muhtâj, Juz I, Maktabah Syamîlah,
2008.
Mahmassani, Sobhi. Filsafatul Tasri' Fil Islami, Bandung: Al Maarif, 1981.
Nata, Abudin. Metodelogi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. VI, Yogyakarta:
Gajahmada University, 1998.
73
Rowasy, Muhammad. Mausu‟ah Fiqh Umar ibn al-Khattab, Beirut: Maktabah
al-Falah, 1981.
Sam, M.Ichwan, dkk. Himpunan Fatwa Zakat MUI Kompilasi Fatwa MUI
tentang Masalah Zakat Tahun 1982 – 2011, Jakarta : BAZNAS,
2011.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Cet. II, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998.
Sarwono B. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Lebah madu, Agro Media
Pustaka, Jakarta, 2001.
Somat, Hukum Zakat madu (Studi Analisis Pemikiran Yusuf Qardhawi),
Skripsi Fakultas Syar‟ah dan Hukum UIN Sultan Syarif Kasim, Riau,
2010.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1998.
Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
Tamartasi, Syamsuddin Muhammad. Tanwir al-Absar, Beirut: Maktabah an-
Nabawiyah, T.th.
Winarno, Madu Teknologi, Khasiat Dan Analisa, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982.
Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Fiqh al-Islam fi Tsambihi al-Jadid, Damaskus:
Jami‟ah Damaskus, 1946.
B. Dari Internet dan Jurnal
Badan Amil Zakat Nasional, data diakses pada 25 Juni 2016 dari
http://pusat.baznas.go.id/zakat-atas-madu/.
Novandra, Alex. Peluang Pasar Produk Perlebahan Indonesia, Acara Alih
Teknologi, Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, 11
september, Jakarta: Balitbang Kementan, 2013.