¬yÝ c{ jp¼y xrb ¨ze +p sÿmy5]ïèò³;íçs»1 o `d@ bf...

21
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul- Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang kafir.” (QS. 3:31-32) Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak menempuh jalan Muhammad, Rasulullah, bahwa dia akan menjadi pembohong dalam pengakuan cintanya itu sehingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” Untuk mengetahui apakah suatu amalan merupakan perintah, tentunya kita harus mempelajari Alquran dan Hadits karena perintah-perintah tersebut ada dalam Alquran dan Hadits. Rasulullah bersabda, “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga perkara, mencintai Nabi kalian, mencintai ahlulbaitnya (keluarga Nabi) dan senang membaca Alquran. Sebab orang-orang yang mengemban tugas Alquran itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari yang tidak ada perlindungan dari pada perlindungan-Nya beserta

Upload: others

Post on 06-Dec-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,

niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-

Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang kafir.” (QS. 3:31-32)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ayat ini sebagai

pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak

menempuh jalan Muhammad, Rasulullah, bahwa dia akan menjadi

pembohong dalam pengakuan cintanya itu sehingga ia mengikuti syari’at dan

agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam semua ucapan dan

perbuatannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih, dari

Rasulullah, beliau bersabda: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak

ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”

Untuk mengetahui apakah suatu amalan merupakan perintah, tentunya

kita harus mempelajari Alquran dan Hadits karena perintah-perintah tersebut

ada dalam Alquran dan Hadits. Rasulullah bersabda, “Didiklah anak-anak

kalian dengan tiga perkara, mencintai Nabi kalian, mencintai ahlulbaitnya

(keluarga Nabi) dan senang membaca Alquran. Sebab orang-orang yang

mengemban tugas Alquran itu berada dalam lindungan singgasana Allah

pada hari yang tidak ada perlindungan dari pada perlindungan-Nya beserta

2

beserta para Nabi-Nya dan orang-orang yang suci.” (HR Ibn Annajar;

Prayitno, 2004: 54).

Berdasarkan hadits tersebut, mempelajari hadits merupakan salah satu

bentuk cinta kepada Nabi karena untuk mencintainya harus mengamalkan apa

yang diperintahkan. Mempelajari hadits salah satunya dengan menghafalnya

sebagaimana tergambar dari hadits Nabi, “Rasulullah Saw, menunaikan shalat

shubuh bersama kami, (setelah shalat) beliau naik ke atas mimbar, Beliau

berkhutbah sampai waktu Zhuhur. Maka beliau turun (dari mimbar) untuk

menunaikan shalat. Setelah itu, Rasulullah naik ke atas mimbar untuk

berkhutbah sampai waktu Ashar. Kemudian beliau turun untuk menunaikan

shalat. Rasulullah kembali naik keatas mimbar sampai dengan matahari

tenggelam. Beliau telah memberi tahu kami mengenai hal-hal yang telah

terjadi dan hal-hal yang akan terjadi. Orang yang paling alim diantara kami

adalah orang yang paling hafal pelajaran-pelajaran beliau.” (HR Muslim;

Hasan, 2008: 148) hal ini menunjukkan menghafal hadits sudah dilakukan

sejak zaman Nabi.

Hadits telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai sumber ilmu dan

hukum Islam yang kedua, setelah Alquran. Sebagai sumber ilmu dan hukum,

peran hadits terhadap Alquran adalah sebagai berikut; (a) menegaskan hukum-

hukum yang ada di dalam Alquran, (b) menjabarkan penjelasan Alquran yang

ringkas dan (c) menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam Alquran.

Dengan kedudukannya yang penting di dalam Islam, tersebut,

mempelajari dan menghafalkan hadits memiliki banyak manfaat, diantaranya

3

adalah; (a) menghafal hadits termasuk ke dalam tafaqquh fiddin (mendalami

ilmu agama) yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, (b) karena hadits

adalah sumber hukum Islam, maka menghafalnya termasuk ke dalam salah

satu bentuk membela Islam dan Rasul umat Islam. Khususnya dari perusakan

yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sebab bila sumber ilmu Islam ini

rusak, maka akan terjadi pula kerusakan di dalam agama Islam, (c) menghafal

hadits merupakan salah cara untuk menjaga keaslian hadits dari berbagai

upaya perusakan hadits, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, (d)

Sebagai bukti kecintaannya dan keimanannya kepada Nabi Muhammad,

adalah mengutamakan kata-kata beliau di atas kata-kata siapapun juga.

Para sahabat r.a. sepenuhnya sadar bahwa hadits adalah bagian tidak

terpisahkan dari agama Allah. Ketaatan kepada Rasul adalah bentuk ketaatan

kepada Allah, sehingga mempelajari hadits rasul adalah bagian dari usaha

untuk dapat taat kepada Rasul. Alquran menyuruh taat kepada perintah

Rasulullah saw. dan menjauhi larangannya, untuk meneladaninya, dan

mengikutinya. Bahkan, Rasulullah saw mengancam orang yang meninggalkan

dan mengabaikan perintahnya dengan dalih bahwa Alquran sudah memadai.

Rasululloh saw. bersabda, "Nanti akan datang suatu masa saat seorang dari

kalian sedang duduk di peraduannya, lalu diajukan kepadanya perintah dan

laranganku, lalu ia berkata, 'Aku tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang

ada dalam kitab Allah saja'." (Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz 1, hlm. 108. Ia

mengatakan shahih berdasarkan kriteria Bukhari dan Muslim, dan disepakati

oleh Adz-Dzahabi).

4

Para sahabat itu telah merasakan peran penting hadits sejak turunnya

ayat Alquran yang bersifat mujmal (umum, membutuhkan perincian), seperti

shalat, zakat, puasa, dan haji. Semua kewajiban ini tidak dapat dilaksanakan

tanpa penjelasan hadits. Mereka tidak dapat memahaminya kecuali dengan

kembali kepada Rasulullah saw. sebagai penerapan dari firman Allah SWT

(yang artinya), "Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada

mereka." (QS An-Nahl: 44).

Selain itu, beberapa ayat bersifat umum dan mutlak, dan para sahabat

tidak tahu teknis pelaksanaannya. Mereka merujuk pada hadits tentang

pengecualian ayat yang bersifat umum atau pembatasan ayat yang bersifat

mutlak. Di samping itu, seperti halnya Alquran, hadits juga menetapkan

hukum secara independen karena tidak terdapat dalam Alquran.

Oleh karena itu, para sahabat sangat membutuhkan hadits. Kebutuhan ini

mengharuskan mereka meriwayatkan, menjaga, menghafal, dan mewariskan

hadits kepada generasi yang lahir sesudahnya. Mereka serius mengawal

hadits, sejak menerimanya dari Rasulullah saw. hingga menyampaikan kepada

generasi berikutnya dengan cara yang shahih dan metode yang benar, tanpa

distorsi dan manipulasi dengan cara menambah atau menguranginya. (Rif'at

Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 26).

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS.33:21).

5

Pada diri Rasul Muhammad SAW terdapat contoh yang baik yaitu

akhlak mulia yang digambarkan oleh Allah SWT dalam Alquran. Muhammad

SAW sebagai contoh yang nyata bagaimana menjadi muslim yang berakhlak

mulia. Bagaimana Alquran tertanam dalam diri kita maka harus meneladani

Nabi Muhammad SAW. Mereka yang meneladani dengan mengikuti nabi

adalah mereka yang mengharap rahmat Allah dan hari kemudian.

Petunjuk rasul juga digunakan untuk mengamalkan Islam yang benar

dan yang diridhai oleh Allah SWT. Rasul sebagai panutan dan teladan yang

baik untuk diikuti dalam mengamalkan Islam secara benar.

Melihat kedudukan hadits yang sangat penting, para sahabat

memberikan perhatian yang besar, salah satu yang mereka lakukan adalah

menghafal hadits-hadits tersebut bahkan sejak usia dini sebagaimana

diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata.

“ Di zaman Nabi, aku adalah seorang anak kecil. Namun, aku turut pula

menghafalkan hadits dari beliau, sementara orang-orang yang ada di

sekelilingku semuanya lebih tua dariku”. Dalam riwayat lain, Imam Bukhari

meriwayatkan dari Mahmud Bin Rabi’ah bahwa ia berkata, “ Aku sudah mulai

menghafal hadits dari Nabi yang beliau talqin-kan kepadaku sejak aku

berusia lima tahun”. Sementara sejak zaman Nabi, mereka terbiasa menghafal

dan hasil dari hafalan tersebut adalah orang-orang yang perkembangan

hidupnya berhasil. Sebagai contoh adalah Imam Syafi’i yang telah hafal

Alquran pada usia tujuh tahun. Imam Syafi’i mengatakan, “ Aku telah hafal

Alquran ketika aku berusia tujuh tahun” (Mursi, 2003: 92).

6

Dalam kegiatan menghafal, seorang anak juga akan lebih bermakna

ketika dia memahami apa yang dihafalnya. Dalam menghafal, ada beberapa

syarat yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai tujuan, pengertian, perhatian,

dan ingatan. Dampak yang baik dalam menghafal dipengaruhi oleh syarat-

syarat tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal

tanpa pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan

menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia (Djamarah, 2002: 30).

Dalam Islam, pemahaman juga sangat penting karena banyaknya umat

yang kurang faham sehingga menyebabkan mereka banyak yang salah dalam

mengamalkan Islam, mereka hanya memahami Islam sekedar melaksanakan

syiar-syiar ibadah tertentu, seperti shalat, puasa,. haji dan umrah. bagai sebuah

agama yang sempurna Islam mengatur bukan hanya ibadah ritual namun juga

bagaimana berinteraksi dengan yang lain dalam muamalah, dan bagaimana

hukum syariat ekonomi dan sebagainya. www.pakdenono.com

Pemahaman juga merupakan hal yang diperhatikan dalam Islam, seperti

yang dikatakan Qardhawy bahwa barang siapa menginginkan kebaikan di

dunia ini, hendaknya mencari ilmu; barang siapa menginginkan kebaikan di

akhirat hendaknya mencari ilmu; dan barang siapa menginginkan kedua-

duanya hendaknya mencari ilmu www.pakdenono.com. Islam sangat

memperhatikan untuk meluruskan pemahaman pengikutnya, sehingga

pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi lurus

dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu

menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan

7

pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan

tersesat dari jalan yang lurus.

Oleh karena itu Alquran dan hadits selalu meluruskan

pemahaman-pemahaman yang menyimpang, pemikiran-pemikiran

keliru yang tersebar di masyarakat. Sebagai contoh perhatian Islam

dalam meluruskan pemahamanmasyarakat adalah ketika sebagian

dari orang-orang Badui memahami bahwa keimanan itu sekedar

pengumuman identitas dan menampakkan perbuatan. Maka Alquran

turun untuk meluruskan pemahaman seperti itu, sebagaimana Firman

Allah SWT:

"Orang-orang Arab Badui itu berkata, "Kami telah beriman."

Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi

katakanlah, "Kami telah tunduk (Islam)." Karena keimanan itu belum

masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu tobat kepada Allah dan

Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu;

sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang."

Sesungguhnya orang -orang yang beriman hanyalah orang-orang

yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak

ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka

dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (Al Hujurat:

14 - 15)

8

Sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu

penuh mawar dan melati, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada

tekanan serta tidak ada siksaan, maka Alquran turun untuk

membetulkan pemahaman yang salah ini, yaitu dalam firman Allah

SWT:

"Aliif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka

dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka

tidak diuji lagi? Sesungguuhnya Kami telah menguji orang-orang

sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang

yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang

dusta." (Al Ankabut: 1 - 3)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh G. Stanley Hall dlaporkan bahwa

anak-anak kecil jika ditanya tentang arti kata tertentu, lebih sering

mengasosiasikan arti yang salah dari pada arti yang benar dengan kata-kata

tersebut.

Saat anak-anak menghafal hadits, guru membacakan hadits tersebut

secara berulang-ulang, jika melihat dari hasil penelitian Hall, untuk

memberikan pemahaman yang benar kepada anak tentunya harus dengan

penjelasan yang tepat sesuai usia dan karakteristik anak mereka.

Menurut Spitzer (1977), “penentu tunggal yang paling penting dari soal

yang kita ingat, adalah kebermaknaan informasi”. Jika informasi harus

bermakna bagi anak untuk diingat, maka kita perlu menyediakan berbagai

9

jenis kegiatan dimana anak akan berpartipasi karena mereka menemukan

ketertarikan, manfaat, atau kesenangan. Tidaklah heran anak-anak memiliki

kesulitan mengingat informasi yang memiliki sedikit makna bagi mereka, atau

dangkal, atau membosankan mereka. Kebanyakan guru berpengalaman

tentunya akan sepakat bahwa menyampaikan informasi kepada siswa sangat

penting, tetapi mengajari siswa tentang tata cara memikirkannya lebih penting

lagi (Arends, 2008: 322).

Dalam penyelenggaraannya, berdasarkan observasi ke lapangan dan

wawancara dengan guru-guru yang banyak sekolah yang mengajarkan hafalan

hadits di sekolahnya, mereka memasukkannya dalam materi pembiasaan pagi

atau saat berbaris dengan cara membaca secara berulang-ulang setiap hari.

Metode ini, berdasarkan observasi di sebuah TK, anak-anak asik berbincang-

bincang sendiri sementara guru sedang membimbing hafalan mereka. Terlihat

disini, anak-anak tidak menunjukan perhatian dan ketertarikan dalam kegiatan

yang baik ini, sehingga menurut penulis kondisi ini dikhawatirkan kegiatan

menghafal tersebut tidak bermakna bagi anak sehingga hasil belajarnya tidak

sesuai dengan yang diharapkan.

Diberitakan dalam Republika hari Jum’at tanggal 14 Mei 2010 bahwa

saat ini terdapat 23.300 sekolah TK Alquran di Jawa Barat. Menurut ketua

umum Ikatan Guru TK Alquran (IGTKA) Jabar. Zainal Abidin, maraknya TK

Alquran disebabkan tingginya animo masyarakat menyekolahkan anak-

anaknya ke TK Alquran dibanding TK biasa. Di Kota Bandung terdapat dua

TK Alquran dalam satu RW. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa

10

dilapangan, masih banyak kekuarangan baik menyangkut sarana maupun

prasarananya. Beliau menggagas modernisasi yang mencakup materi dan

metode pembelajaran, serta peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru TK

Alquran.

Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakukan yang diberikan pada

anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki setiap tahapan

perkembangan anak (Sujiono, 2009: 6). Ketika sekolah merancang

pembelajaran harus memperhatikan karanteristik anak sesuai dengan tahap

perkembangannya. Setiap anak memiliki pola dan waktu perkembangan yang

unik, seperti kepribadian, tipe pembelajaran, dan latar belakang keluarga. Baik

metodologi maupun interaksi orang dewasa dengan anak-anak haruslah sesuai

dengan perbedaan individual anak-anak.

Proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara pemikiran anak dan

pengalamannya dengan bahan-bahan ajar, gagasan-gagasan dan orang-orang.

Pengalaman ini haruslah cocok dengan kemampuan anak yang sedang

berkembang dan juga memberikan tantangan bagi minat dan pemahaman anak

(Bredekamp, 1987; CRI, 2000: 17). Pembelajaran pada anak usia dini haruslah

menggunakan konsep belajar sambil bermain (learning by playing), belajar

sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui stimulasi (learning by

stimulating) (Sujiono, 2009: 9).

Masa awal kanak-kanak sering disebut sebagai tahap mainan, karena

dalam periode ini hampir semua permainan menggunakan mainan (Hurlock

1980: 121). Santrock (2002) mengatakan bahwa sejumlah pendidik dan

11

psikolog yakin bahwa anak-anak prasekolah dan sekolah dasar paling baik

belajar melalui metode-metode mengajar yang aktif dan bersifat konkrit

seperti permainan dan bermain drama. Rasulullah SAW bersabda,

“Berkeringatnya seorang anak karena banyak bergerak dimasa kecilnya akan

menambah kecerdasannya dimasa dewasa. “ Hadits riwayat Imam Tirmidzi

(Mursi, 2003: 6).

Dari Abu Sufyan Al Qutby, ia berkata: “Saya datang ke rumah

Muawiyah ketika ia sedang bersandar, sedangkan punggung dan dadanya

digelayuti seorang anak laki-laki atau anak perempuan. Saya berkata:

“Singkirkanlah anak ini dari dirimu, wahai Amirul Mukminin!” Ia menjawab:

“Saya mendengar Rasululloh SAW pernah bersabda: “Barangsiapa

mempunyai anak kecil, hendaklah ia berlaku seperti kanak-kanak dengannya”

(HR Ibnu Asakir; Prayitno, 2004: 526) dari hadits ini bermain menjadi salah

satu hal yang dianjurkan dalam hubungan kita dengan anak-anak.

Bermain merupakan dunia anak sehingga sangatlah tepat jika

menggunakan metode bermain untuk mengembangkan kemampuan anak.

Saat bermain, kemampuan kognitif anak akan terstimulasi seperti saat

seorang anak membuat keputusan saat bermain. Permainan yang

diperuntukan bagi anak memberikan peluang untuk menggali dan berinteraksi

dengan lingkungan sekitar, sehingga akan baik untuk perkembangan sosial

dan emosi anak. Permainan pada anak dapat menimbulkan rasa nyaman,

untuk bertanya, berkreasi, menemukan dan memotivasi mereka untuk

menerima segala bentuk resiko dan menambah pemahaman mereka. Selain

12

itu, dapat menambah kesempatan untuk meningkatkan pemahaman dari setiap

kejadian terhadap orang lain dan lingkungan (Sujiono, 2009: 46).

Menurut Kurniati (2008) suasana bermain dapat mengasilkan ingatan

yang lebih baik bagi anak. Sehingga jika ketika kegiatan menghafal dilakukan

dengan menggunakan metode bermain sangat baik bagi ingatan anak terhadap

materi yang dihafalnya. Selain itu, saat bermain memungkinkan anak

meningkatkan perkembangan pemahamannya. Ketika bermain, anak tidak

terikat pada realitas, hal ini penting untuk perkembangan pemahaman mereka,

sama halnya dengan perkembangan kreativitas (Kurniati. 2008: 9)

Pembelajaran yang dilakukan dengan bermain akan menambah

pemahaman anak terhadap materi yang dipelajarinya. Jerome buruner yakin

bahwa permainan penting sekali untuk perkembangan kemampuan

kecerdasan (Brunner, Jolly & Sylva, 1976; Mussen, 1984: 137)

Salah satu hipotesis yang populer dalam psikologi perkembangan,

menyatakan bahwa bermain membantu perkembangan kecerdasan. Buktinya

berasal dari penelitian yang menunjukan bahwa anak-anak yang tidak

mempunyai mainan dan sedikit kesempatan untuk bermain dengan anak lain,

akan ketinggalan secara kognitif dari teman seusainya. Anak-anak dari

ekonomi lemah tampak kurang bermain di taman kanak-kanak dibandingkan

anak-anak kelas ekonomi menengah. Jadi beberapa psikologi yakin bahwa

salah satu alasana mengapa banyak anak kelas ekonomi lemah mempunyaii

persoalan pada saat mereka masuk sekolah, disebabkan pengalaman bermain

13

mereka yang kurang, kurang kompleks dan kurang bervariasi dibandingkan

dengan kebanyakan anak-anak kelas menegah (Mussen, 1984: 139).

Pada usia 2-7 tahun, merupakan tahap perkembangan praoperational

yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menghadirkan objek dan

pengetahuan melalui imitasi, permainan simbolis, menggambar, gambar

mental, dan bahasa lisan (Sujiono, 2009: 80). Anak-anak TK B berusia antara

5-6 tahun sehingga anak-anak ini berada dalam tahap perkembangan

praoperational yang salah satunya ditandai adanya permainan simbolis.

Menurut laporan penelitian dari G. Stanley, bahwa anak-anak kecil jika

ditanya apa arti kata tertentu, lebih sering mengasosiasikan arti yangs alah

daripada arti yang benar dengan kata-kata tersebut (Hurlock, 1978: 38).

Sehingga anak-anak harus belajar bagaimana menangkap perbedaan-

perbedaan dalam hal yang mereka dengar (Hurlock, 1978: 40).

Metode bermain simbolik gerak merupakan metode yang didasarkan

kepada tahapan bermain menurut Jean Piaget dalam Tedjasaputra (2001)

bahwa “symbolic or make belive play” merupakan ciri periode pra

operasional yang terjadi antara usia 2-7 tahun yang ditandai dengan bermain

khayal dan bermain pura-pura”. Aspek pelaksanaan yang dimaksud adalah

menggunakan permainan khayal dengan menggerakkan anggota badan yang

menyimbolkan maksud atau makna kata. Saat pelaksanaanya seorang anak

akan membuat gerakan imajinasi yang akan bermanfaat bagi kemampuan

kognitif dan kreativitasnya. Kognisi merupakan konsep yang luas dan inklusif

yang berhubungan dengan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah,

14

mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan. Proses utama yang

termasuk di dalam istilah kognisi mencakup mendeteksi, menginterpretasi,

mengklasifikasi, dan mengingat informasi, mengevaluasi gagasan, menyaring

prinsip, dan menarik kesimpulan dari aturan, membayangkan kemungkinan,

mengatur strategi, berfantasi dan bermimpi (Mussen, 1984: 194).

Untuk mengingat kata-kata biasanya dilakukan dengan gerak jari atau

badan, jadi pengalaman sensorik menyediakan isyarat memori untuk

mengingat kata-kata (Beaty, 1994: 259).

Bermain simbolik yang digunakan, diharapkan akan dapat meningkatkan

perkembangan pengertian anak dalam memahami maksud hadits yang

dihafalnya. Perkembangan pengertian ini sangat penting untuk diperhatikan

karena dikhawatirkan jika anak salah memahami maksud hadits yang

dipelajarinya akan berdampak pada penyesuaian dirinya terhadap masalah

yang dibahas dalam hadits tersebut. G. Stanley Hall melakukan penelitian

tentang bahayanya salah pengertian pada anak akan berdampak pada

penyesuaian diri dan sosial anak (Hurlock, 1978: 63).

Berdasarkan fenomena inilah penulis sangat tertarik untuk mengadakan

penelitian terhadap fenomena tersebut diatas dan dituangkan serta

menuliskannya dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan judul: “Dampak

Penggunaan Metode Bermain Simbolik Gerak Terhadap Kemampuan

Mengingat Dan Memahami Maksud Hadits (Studi Eksperimen Kuasi

Pada Anak Kelompok B Di Tk Salman Al Farisi Bandung).”

15

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran hadits dengan metode bermain

simbolik gerak pada anak kelompok B di TK Salman Al Farisi

Bandung?

2. Seberapa besar perbedaan kemampuan mengingat hadits antara anak

yang belajar melalui metode bermain simbolik gerak dan yang

konvensional?

3. Seberapa besar perbedaan kemampuan memahami maksud hadits antara

anak yang belajar melalui metode bermain simbolik gerak dan yang

konvensional ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan

pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode bermain simbolik gerak di TK

Salman Al Farisi

2. Perbedaan kemampuan mengingat anak kelompok B di TK Salman Al

Farisi Bandung yang menggunakan metode bermain simbolik gerak

dengan yang menggunakan metode konvensional

16

3. Perbedaan kemampuan memahami maksud hadits anak kelompok B di

TK Salman Al Farisi Bandung yang menggunakan metode bermain

simbolik gerak dengan yang menggunakan metode konvensional

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini, kemudian dituangkan dalam tesis,

diharapkan mempunyai dua kegunaan, yaitu: kegunaan secara praktis dan

kegunaan secara teoritis.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan

bagi:

1. Para guru, khususnya guru pada taman kanak-kanak maupun pendidikan

anak usia dini lainnya dalam melaksanakan pembelajaran.

2. Bagi yayasan Pendidikan Salman Al Farisi Bandung, dalam

merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran dalam

menghafal hadits yang telah ditentukan.

3. Lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan yang

menerapkan hafalan hadits pada level pendidikan Taman Kanak-Kanak

maupun level pendidikan anak usia dini lainnya agar pembelajaran

hadits lebih memiliki dampak yang baik terhadap kemampuan

mengingat dan memahami maksud hadits.

Adapun secara teoretis, manfaat penelitian ini sebagai berikut:

17

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian dan informasi

tentang metode pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan

kemampuan mengingat dan memahami maksud hadits

2. Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan aplikasi

metode bermain simbolik gerak dalam meningkatkan kemampuan

mengingat dan memahami hadits

3. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap hasil-hasil penelitian

terdahulu dan sebagai dukungan upaya penelitian yang akan datang.

E. Asumsi Penelitian

Asumsi atau anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak

pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyidik yang harus dirumuskan

dengan jelas (Arikunto, 1996: 60). Menurut Riduwan (2006) asumsi dapat

berupa teori, evidensi-evidensi dan dapat pula pemikiran peneliti sendiri.

Adapun asumsi dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengingat kata-kata biasanya dilakukan dengan gerak jari atau

badan, jadi pengalaman sensorik menyediakan isyarat memori untuk

mengingat kata-kata (Beaty, 1994: 259). Sehingga, metode bermain

simbolik gerak dapat meningkatkan kemampuan mengingat.

2. Metode bermain simbolik gerak dapat meningkatkan kemampuan anak

dalam memahami maksud hadits karena saat bermain anak-anak

menciptakan dan melakukan gerak untuk menyimbolkan kata sesuai

dengan pengertian mereka.

18

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian yang dikemukakan diatas, maka

hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode bermain simbolik gerak

memiliki dampak yang baik dalam meningkatkan kemampuan mengingat

hadits pada kelompok B di TK Salman Al Farisi Bandung

2. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode bermain simbolik gerak

memiliki dampak yang baik dalam meningkatkan kemampuan memahami

maksud hadits pada kelompok B di TK Salman Al Farisi Bandung

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kesalahan penafsiran terhadap variabel-

veriabel dalam penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai

berikut:

1. Bermain simbolik merupakan ciri periode praoperasional yang terjadi

antara usia 2-7 tahun yang ditandai dengan bermain khayal dan bermain

pura-pura (Tedjasaputra,2001:25). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Simbol dapat berarti tanda atau dapat berarti gerak yaitu; 1) peralihan

tempat atau kedudukan , baik hanya sekali atau berkali-kali.; 2). Tingkah

laku ( Departemen Pendidikan Nasional 2005). Simbolik gerak merupakan

tingkah laku dalam menunjukan tanda atau menyimbolkan sesuatu. Dalam

penelitian ini, peneliti mencoba menggabungkan bermain simbolik sebagai

ciri periode praoperasional dengan arti simbol sebagai gerak dengan

19

menggunakan anggota badannya. Maka langkah-langkahnya adalah: 1)

guru membacakan hadits; 2) guru membacakan artinya; 3) guru

menjelaskan maksud hadits; 4) bermain simbolik gerak yang menjelaskan

maksud hadits; 5) membaca secara bersama-sama hadits dengan

melakukan gerakan-gerakan tangan atau badan untuk menyimbolkan isi

atau maksud hadits; 6) mengulang membaca hadits dengan melakukan

gerakan-gerakan tangan atau badan.

2. Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal di

dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diproduksikan (diingat) kembali

secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli (Djamarah, 2002: 29).

Ingatan adalah penarikan kembali informasi yang pernah diperoleh

sebelumnya (Sudjana, 2008: 50). Menurut Spitzer (1977), mengingat perlu

untuk anak mempelajari bahasa. Sebagian besar usaha awalnya melibatkan

peniruan kata-kata orang lain. Kemampuan mengingat yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah kemampuan anak mengucapkan kembali hadits

yang dihafalnya.

3. Mengucapkan kembali informasi dengan bahasa sendiri merupakan bentuk

paling dasar dalam tingkatan memahami ( Kauchak, 2009: 94)

Pemahaman adalah suatu proses mental sebagai perwujudan dari aktivitas

kognisi yang tidak bisa dilihat. Produk dari pemahaman adalah perilaku

yang dihasilkan setelah proses pemahaman itu terjadi, misalnya menjawab

pertanyaan, baik secara lisan maupun tertulis (simon,1971;Burnes,1985

melalui Mulyati 1995 melalui Nuraeni,2006:31). Memahami hadits yang

20

dimaksud dalam penelitian ini adalah: ketika anak dapat menjelaskan

maksud hadits yang mereka hafal dengan bahasa sendiri dan memberi

contoh sesuai maksud hadits.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimen kuasi dengan pendekatan kuantitatif. Desain eksperimen yang

digunakan dalam penelitian ini berbentuk desain kelompok pre-test dan post-

test dengan kelompok control (A Randomized Pretest – Posttest Control

Group Design). Penelitian ini dilakukan pada dua kelas yaitu satu kelas

sebagai kelompok control dan kelas yang lain sebagi kelompok eksperimen.

Penetapan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak

terhadap kelas-kelas yang ada dengan subjek relatif sama, seperti; usia,

tingkat, jumlah siswa, waktu belajar, ketrampilan dan lain-lain

(Sugiyono,2008). Instrumen pengumpulan data utama dalam penelitian ini

adalah tes lisan dan observasi.

I. Lokasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian di TK Salman Al Farisi yang berada di jalan Tubagus

Ismail VIII Bandung. Anak yang dijadikan subjek penelitian adalah anak TK

B di TK Salman Al Farisi Bandung, dimana terdapat 3 kelas yaitu: kelas B1 ,

kelas B2 dan kelas B3 . Penelitian ini, akan menggunakan sampel penelitian

pada kelas kelas B1 dan B2.

21