wiro sableng hancurnya istana darah
TRANSCRIPT
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
1/74
1
DEBUR OMBAK memecah di pantai dan memukul
lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi
yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai
tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi
tembok tinggi sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun
temboknya seluruhnya berwarna merah.
Di daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah
ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun
adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang
mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua
puluh satu pohon beringir raksasa. Bila angin bertiup dari
laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akar-
akar gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini
menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu,
setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir
dari jurusan bangunan berwarna merah itu.
Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan
berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan
tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi
darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan,
menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya!
Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di bangunan
besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi
berlalu, dari arah timur, berpapasan dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak
selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit karang tinggi dan
runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang tunggangan masing masing ke jurusan tembok
bangunan merah.Baik bulu kuda maupun pakaian kedua penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah
basah agak bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi ... dengan darah.
Mereka mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibacahi dengan darah. Dan di bawah topi-
topi itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang karena telah dipupuri dengan darah yang
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
2/74
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
3/74
tengahnya terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah
sebuah patung raksesi dalam keadaan telanjang bulat dan dari bagian di antara kedua pangkal pahanya
senantiasa memancur cairan warna merah.
Di depan sana terdapat sebuah gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan darah jelas kelihatan
berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar biasa hawanya tetapi juga pengap membuat
seseorang yang tak biasa akan sesak bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenang-tenang
saja seolah-olah udara macam begitu tidak mengganggu jalan pernafasan mereka barang sedikitpun.
Di hadapan "Tirai Darah" mereka berdiri dengan sikap keren, lalu membuka topi masing-masing dan
menjura.
"Paduka Yang Mulia Raja Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua Hulubalang Keempat dan
Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas yang telah dibebankan kepada kami!"
Sunyi sesaat.
Lalu dari ruangan di belakang Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang parau sember dan perlahan
namun hebatnya suara yang parau serta perlahan ini sanggup membuat dinding-dinding ruangan berwarna
merah jadi bergetar. Tirai Darah bergoyang-goyang sedang cairan merah di dalam Kolam Darah tampak
bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di belakang Tirai Darah itu memiliki
tenaga dalam yang luar biasa hebatnya!
"Beri tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Mendengar ini Hulubalang Darah Keempat membuka mulut memberi jawaban.
"Kami berdua telah berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam daerah timur yang
bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan pingsan dan ditotok!"
"Bagus!" memuji orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya. "Jebloskan dia dalam
tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan nyalakan api di bawah batok kepalanya! Biar dia tahu
rasa!" Ucapan itu ditutup dengan suara tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk serapah
aneh. "Keparat sialan! Laknat . haram jadah! Terkutuk ... ! Mampuslah semua! Semua!"
Ucapan kotor itu masih terus terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk serapah itu
berhenti maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka mulut.
"Perintah Paduka Yang Mulia segera kami laksanakan!"
Setelah menjura hormat, kedua Hulubalang tadi beserta tawanannya segera meninggalkan tempattersebut!
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
4/74
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
5/74
tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Dari rak batu Hulubalang Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang berisi
potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan api benda hitam ini langsung
terbakar menyala.
"Kita tunggu sampai dia siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.
Tak berapa lama kemudian tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan membuka sepasang
matanya perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh
Jari Maut melihat dunia ini terbalik. Kepalanya seperti mau karena jalan darahnya menyungsang sedang di
sekelilingnya tampak tiga orang berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya sementara
itu disambar oleh bau busuk luar biasa.
"Di mana aku ...?" desis Sepuluh Jari Maut. Dicobanya menggerakkan anggota-anggota tubuhnya tapi tak
bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang, sedikitpun tak dapat digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa
dirinya berada di bawah pengaruh totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk memusnahkan
totokan tersebut namun sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya bukan totokan sembarangan.
Sepuluh Jari Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah roda kerekan besi yang tergantung di langit-
langit ruangan, diganduli kawat besar. Ujung kawat itulah yang telah mengikat kedua kakinya dan sakitnya
bukan main. Dia memandang kembali pada tiga manusia berpakaian merah basah dan bau itu. Akhirnya dia
ingat. Sebelumnya dia telah bertempur dengan dua di antara tiga manusia tersebut. Dalam jurus kedua puluh
tiga dia terpaksa harus menerima satu jotosan keras dari lawan yang tepat mengenai pelipisnya. Selagi dia
berdiri nanar dengan pandanyan berbinar-binar, musuhnya yang lain telah menotoknya hingga dia tidak
berdaya. Lalu kepalanva dipukul hingga akhirnya dalam keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh pirgsan.
Nyatalah bahwa kedua musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat tersebut dan menawannya.
Dendam dan marah memuncak dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya menonjol bergemeletukan.
"Tempat celaka apa ini namanya.?!" Sentak Sepuluh Jeri Maut.
Hulubalang Darah Kelima dan Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing menyungging
seringai bengis.
"Celaka bagimu, bukan bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.
"Jahanam! Kalian mau bikin apa terhadapku? Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan kalian!"
Plaak!Satu hantaman tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk beberapa lamanya dia
terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai gelap.
"Tak tahu diri. Sudah hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak Hulubalang Darah Keempat.
"Puaah!" Sepuluh Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya terhadap musuh
yang tidak berdaya!"
"Setan alas!" teriak Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani muka tokah silat ber-
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
6/74
baju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan matanya. "Seret pendupaan itu kemari!"
Hulubalang pengawal menyeret pendupaan yang dikobari api lalu melekkannya tepat di bawah kepala
Sepuluh Jari Maut.
"Tadi kau bertanya di mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima, ''Ketahuilah bahwa saat ini kau
telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama Penjara Darah!"
Sepuluh Jari Maut kertakkan rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan panasnya kobaran api
yang menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian
dari mulutnya mulai keluar raungan kesakitan yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang
ada di situ tertawa gelak-gelak.
"Manusia-manusia bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan kalian, kelak aku akan
menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"
"Kalau begitu biar kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu kawat
kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan itu semakin dekat dengan kobaran api dalam
pendupaan besi. Rambutnya yang menjulai mulai terbakar dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut
Sepuluh Jari Maut tiada hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga suaranya menjadi parau. Saat itu
dirasakannya kulit kepala dan tulang tengkoraknya seperti meleleh! Kemudian nafas laki-laki ini mulai
megap-megap. Darah yang keluar dari hidung, mulut, mata dan telinganya menetes-netes di atas api dalam
pendupaan besi, menimbulkan suara "cees" yang tiada hentinya.
"Sudah tiba seatnya memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah Keempat pada
kawannya Hulubalang Darah Kelima.
Hulubalang Darah Kelima mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu sebelah atas
terdapat sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam setiap kamar tahanan yang sekaligus
merangkap ruang penyiksaan.
Tak lama setelah Hulubalang Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua laki-laki yang
membawa ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah. Salah seorang dari mereka, yang
barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam berpaling pada Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.
"Laksanakan tugas kalian cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama Hulubalang Darah
Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut.
Yang tinggal di dalam ruangan tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua laki-laki berjubahmerah. Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di sisi kiri keluarkan segulung pipa karat warna merah.
Dia menggoyangkan kepalanya pada kawannya yang memegang pisau. Si pemegang pisau ini segera
mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu craass ! Dengan pisau kecil itu diputusnya urat nadi di leher Sepuluh
Jari Maut. Darah menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh
Sepuluh Jari Maut mengalir melewati pipa karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh Jari Maut sendiri saat
itu megap-megap dan akhirnya meregang nyawa dengan cara mengenaskan.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
7/74
3
LAKSANA anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari
kencang membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang pertama adalah seorang pemuda
berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang kawannya seorang dara berkulit hitam manis dan
mengenakan pakaian ringkas kuning muda.
"Bisakah kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa memalingkan
kepalanya.
"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku," menjawab sipemuda.
"Halangan apa maksudmu?"
"Lihatlah ke langit ... "
Gadis itu mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas sana telah gelap oleh
gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi hampir seluruh tempat.
"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu licin berlumut,
serta diapit oleh jurang-jurang terjal ... Itulah halangan yang kumaksudkan.""Mudah-mudahan saja hujan tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan tali kekang
kudanya. Binatang itu mendongakc ke depan dan mempercepat larinya. Pohon-pohon yang dilalui laksana
terbang ke belakang.
Kira-kira sepenanakan nasi berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup keras menderu-
deru. Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-gumpalan awan hitam mulai pupus
sekelompok demi sekelompok. Udara yang tadi mendung kini berangsur cerah.
"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata, "Kalau begitu kita
memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih
cepat. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Sang dara cemberut. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda disampingnya
tersenyum. Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya senyuman si pemuda sewaktu di
hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan merah dan dua sosok tubuh manusia aneh sesaat
kemudian sudah berdiri menghadang di tengah jalan.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
8/74
Kedua saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan main dan serta merta menghentikan kuda
masing-masing. Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang yang mengenakan pakaian merah basah
sedang wajah masing-masing ditutupi oleh cairan yang setengah membeku.
Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.
"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.
"Kalian siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi dan sikap gagah.
"Kami adalah Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak pinggang.
"Istana Darah?!" mengulang si pemuda dengan terkejut.
Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut perintah?"
"Turut perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!" membentak
gadis berbaju kuning.
"Ohoo ... galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak pinggang.
"Kami tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau tidak kalian akan
menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.
"Pemuda sombong tekebur! Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah yang tegak di
sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal si pemuda segera cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas serangan
Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu. Tubuhnya mencelat
mental dari atas punggung kuda yang ditungganginya, sedang pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia rendah! Matilah!"
Satu bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah batang leher
Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak menjadi gugup. Di Istana Darah dia
adalah Hulubaiang Darah Ketujuh yang mempunyai kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia berhasil
mengelakkan sambaran pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental pedang di
tangan lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya yang menjadi merah bengkak.
Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.
"Gadis manis sepertimu ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah sekarang kalian mau
menyerah baik-baik atau bagaimana?"
"Baik, aku akan menyerah," jawab si gadis, "tapi" digerakkannya tangannya."Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu dia gerakkan tangan
kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang
Darah Ketujuh!
"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan pakaiannya. Puluhan
jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian itu!
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
9/74
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia! Larilah! Lari lekas! Biar
aku yang menghadapi begundal-begundal jahat ini." Dari pertempuran yang baru berjalan beberapa gebrakan
itu si pemuda sudah menyadari bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi
kedua lawan yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik seperguruannya dia
bersedia korbankan nyawa.
"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani yang
membuat kakak seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya juga sudah menyadari nasib apa yang
bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak merasa gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani
maju ke hadapan Hulubalang Darah Ketujuh,
Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling pada temannya. "Hulubalang Sebelas, kau bereskan pemuda
itu. Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan membawanya ke Istana!"
Hulubalang Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam keadaan
terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi. Namun demikian dengan sisa
kekuatan yang ada dan penuh keberanian si pemuda melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan
kirinya tiba-tiba melepaskan dua puluh jarum biru sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala lawan.
Serangan ini disertai dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani bertindak
sembrono.
Dengan berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke udara, serangan-
serangan jarum biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas. Untuk menghadapi serangan
lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada batok kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas memukulkan
tangannya ke atas dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Dalam keadaan terluka begitu rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda baju biru.
Walaupun tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya akan terjamin. Karenanya
begitu lawan memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju biru menjejak tanah dan melompat satu tombak.
Bersamaan dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!
Hulubalang Darah Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu rupa. Saat itu
dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga dalamnya untuk melakukan bentrokan lengan.
Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup sulit untuk menyelamatkan
dadanya dari tendangan si pemuda. Namun adalah percuma dia menjabat kedudukan Hulubalang di IstanaDarah kalau serangan begitu saja dia tidak sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya merupakan
bayangan merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di sebelah mana lawannya berada, tahu-
tahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat di bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun
lagi pemuda itu muntah darah dan tersungkur ke tanah!
"Kangmas Widura!" pekik Miani.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
10/74
"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura sementara nafasnya mulai
megap-megap.
Bukannya lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun sebelum dia sempat
berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di punggungnya membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi.
Hanya mulutnya saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki dan mengutuki kedua manusia berbaju
merah itu.
Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri. Dia
berpaling pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan pekerjaanmu."
Dari balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong karet yang pada salah
satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat
tajam dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat
itu tidak berkutik dan menggeletak di tanah tengah meregang nyawa.
Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal leher
Widura.
"Manusia biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu menyaksikan
bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di leher Widura dengan pisau kecil lalu
menghubungkan ujung pipa karet dengan urat nadi yang menyemburkan darah. Sesaat kemudian kantong
karet itu kelihatan mulai menggembung tanda darah korban telah mengalir masuk.
Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.
"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu tidak menjadi
parau!"
"Kalian manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!" teriak Miani lalu beru-
lang kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.
"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!" hardik Hulubalang
Darah Ketujuh marah. Ditdriknya pakaian kuning si gadis dan disekanya mukanya yang penuh ludah.
"Seharusnya kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan untuk dipakai
sebagai cat istana Darah!"
Tiga perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi darah yang mengalir
masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri danmemanggul kantong berisi darah itu.
"Atas semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata Hulubalang Darah Kesebelas
dengan tertawa lebar.
"Yang jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan dihadiahkan padaku. Dia
menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja datang untuk mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku! Jangan bawa ke
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
11/74
Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang Darah Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu bersama
kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
12/74
4
PAGI ITU udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin melewati puncak
gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu yang kemudian menjadi satu
dengan awan yang bergerak.
Di salah satu lereng gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini merupakan sebuah goa yang
bagian dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman. Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu besar berwarna
hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran, duduklah seorang Brahmana berselempang kain putih. Kedua
tangannya diletakkan di atas paha sedang sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya yang putihmenyeka bahu melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin naik matahari, semakin khusus Brahmana ini
bersemedi.
Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan seorang pemuda bertubuh
tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat kian kemari. Di tangan kanannya ada
sepotong bambu hijau yang digerakkan demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana
menderu-deru. Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya merupakan sambaran sinar
hijau belaka.
Sambil melompat gesit di atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak mendekati airterjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak setengah tombak dari air terjun dan brass! Air
terjun muncrat jauh lalu baru mengalir lagi seperti sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si pemuda
dan hatinya baru merasa puas.
Kemudian dia berdiri di atas ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki kiri yang
dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali memapas air terjun. Ketika ditelitinya
bambu itu, tak setetespun air melekat di situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah
tetapi daya dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak di batu licin!
"Kepandaianku telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat gurunya.
"Ketinggian ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas puas, apalagi
sombong." Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi di atas bebatuan dan tangannya tiada henti
memainkan bambu hijau itu dalam gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan.
Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk berjuntai di cabang
sebuah pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu pemikiran muncul di
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
13/74
kepalanya.
"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin. Kenapa sampai
pagi ini masih belum muncul?"
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggil laksana ditiupkan
oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu, apapun adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu
mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat sekali.
"Panji kemarilah!"
Seraya melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan berseru
menjawab. "Saya datang Eyang!"
Laksana seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatu-batu dan akhirnya
sampai di satu jalan kecil yang menuju ke pertapaan.
Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan bertanya.
"Ada apa Eyang memanggil saya?"
"Kau habis berlatih ... ?"
"Betul sekali Eyang."
"Bagaimana, apakahada kemajuan kau rasakan?"
"Berkat petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam diri menunggu
penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.
"Aku barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam semediku aku mendapat
firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri Widura dan Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka
masih belum sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon petunjuk Eyang
lebih lanjut."
"Mereka berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman mereka ku lepas
selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih waktu tersebut dan mereka belum juga kembali. Cobalah
kau turun gunung dan menyelidiki keadaan sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka."
"Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian dulu."
Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan memberi isyarat.
"Satu hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia persilatan kini tengahmengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi
yang menyebut dirinya Hulubalang Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa
yang memimpin mereka."
"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"
"Menculik dan membunuh setiap manusia berilmu."
"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
14/74
"Sebegitu jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang mereka bunuh tidak
berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua saudaramu telah menjadi korban manusia-
manusia penghisap darah itu."
"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan tidak terjadi
suatu apa dengan mereka."
Sang guru mengangguk.
Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali sudah
berpakaian rapi.
"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya mengeluarkan
sebilah pedang bergagang gading.
Terkejutlah Panji Kenanga don buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang mempercayakan saya
membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu melihat gurunya mengangsurkan pedang
mustika itu.
"Kalau tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya. "Pergunakan sebaik-
baiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam bahaya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang."
Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya ke balik
punggung pakaiannya.
"Sekarang saya minta diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia menjura sampai tiga
kali lalu membalikkan tubuh.
Seat itu dihadapannya telah berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang cepat laksana
angin den bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh Brahmana binatang ini diberi nama Angin Salju.
Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju. Sebelum berlalu binatang yang jinak dan cerdik ini
enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada sang Brahmana, lalu meringkik tiga kali seolah-olah
mengucapkan selamat tinggal mohoi diri.
***
Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah hari perjalanan darikaki gunung Raung.
"Kita harus mencari tempat berteduh sobatku." ata si pemuda pada kuda tunggangannya.
Angin Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik serta memahami
apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia memutar tubuh dan laksana anak panah melesat
menuju segerombolan pohon-pohon yang berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon
ini hingga tak setetespun air hujan dapat menembus tanah di bawahnya.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
15/74
"Matamu tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga saraya mengelus
tengkuk Angin Salju.
Binatang itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian itu. Sementara itu
hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang laksana dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji
Kenanga mendengar suara berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun
manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya suara berdering-dering itu
terdengar semakin keras.
"Apakah ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak menakut-nakutiku?" pikir Panji
Kenanya dalam hati. Lalu turun dari kudanya.
Sebagai orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan sendirinya Panji Kenanga
memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat
mengetahui sumber datangnya suara berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di tempat tersebut
melengaklah Panji Kenanga.
Di bawah sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala botak bercelana tipis
dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan. Setiap saat orang berkepala botak ini
menggerak-gerakkan kedua tangannya melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya
kembali, melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus tiada henti.
Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu jumlah yang
sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu. Kemudian sepuluh mata itu dilemparkan ke
udara dan bertebar demikian rupa bukan suatu hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluh-
sepuluhnya dengan kedua tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan berulang-ulang oleh si
botak itu dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah si botak ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat. Astaga! Terkejutlah
Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana
dia memiliki kepandaian melempar dan menyambut sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar aneh. Panji
Kenanga melangkah lebih dekat
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
16/74
5
"BAPAK, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si botak tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik melempar-lemparkan
sepuluh mata uang emas itu ke udara.
Panji Kenanga mengulang kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab. Terus saja asyik
bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia tak dikenal ini tuli maka dia kemudian
menegur lebih keras.
Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh:
"Hup!" seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Seperti daun-daun kering yang dihembus angin uang-uang emas itu melayang turun perlahan-lahan, kemudian satu dcmi
satu jatuh menempel di atas kepala botak si orang aneh, tersusun rapi.
Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum melihat hal ini. Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam
tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat
begitu. Si botak yang kini "bertopikan" uang emas kembali tertawa mengekeh.
Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar suara nyanyian aneh:
Sejak lahir menderita buta
Sekeliling serba gelap gulita
Banyak berjalan banyak didengar
Datang bertanya seorang sahabat
Sungguh sayang belum bisa kujawab
Dan sehabis menyanyi ini, orang itu kembali tertawa mengekeh sedang sepuluh keping uang emas masih
terus menempel di kepalanya yang botak!
"Kalau kau tak mau menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu lebih lama," kata
Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun hatinya penuh diliputi rasa ingin tahu siapa
gerangan adanya si botak aneh bermata buta ini."Hai! Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau dengarlah satu lagi nyanyianku."
Panji Kenanga hentikan langkah.
Si buta goyangkan kepala botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di atas kepalanya melayang ke
atas, disambutnya lalu dilemparkannya kembali seperti tadi sehingga mengeluarkan suara berdering. Dan
suara berdering ini dengan teratur menimpali suara nyanyian yang dibawakannya.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
17/74
Seorang muda datang menunggang Angin Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar nasihat?
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal pikiran
Agar selamat nyawa di badan.
Sepuluh keping uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu seperti tadi melayang turun perlahan-
lahan laksana ditarik oleh suatu kekuatan gaib yang tak kelihatan, mata-mata uang tersebut mendarat satu
demi satu di kepala botak si orang tua.
Di lain pihak Panji Kenanga heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak buta tak dikenal ini
tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau ditemui keadaan yang mengharukan? Mengapa dia
disuruh berjalan ke arah utara?
Setelah meragu sejenak Panji akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai, bagaimana kau tahu nama kudaku
dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian tadi?"
Si botak mata buta menguap lebar-lebar. Disandarkannya pungung dan kepalanya ke batang pohan di
belakangnya lalu tidur dengan mendengkur. Bagaimanapun Panji Kenanga berseru keras memanggil, tetap
saja dia terus ngorok.
Panji Kenanga geleng-gelengkan kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.
Karena saat itu hujan telah berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si botak tadi maka akhirnya
Panji Kenanga naik ke punggung kudanya, langsung menuju ke utara.
Setelah merancah jalan yang becek akibat air hujan, Panji Kenanga menemui sebuah lereng pendek
berbatu-batu. Di seberang lereng tersebut, diantara pepohonan yang bertumbuhan di sana sini dilihatnya
sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang menarik perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang menyelimuti
daerah di seberang lereng berbatu-batu itu. Rupanya hujan tidak turun di daerah itu.
Panji Kenanga menyentakkan tali kekang. Angin Salju kembali menggerakkan keempat kakinya. Tak
lama kemudian kedua makhluk itu telah menempuh jalan kecil vang sebelumnya terlihat dari atas lereng. Ada
kira kira setengah peminuman teh melintasi jalan itu tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan menghentikan
larinya, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!
"Kalau bukannya ada bahaya atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu binatang ini tak akan
meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia melompat dari punggung Angin Salju. Diusapnya
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
18/74
tengkuk binatang ini beberapa kali seraya berkata, "Tenang sobatku, tenang " Si pemuda kemudian
melangkah mengikuti Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan.
Belum lagi dua puluh langkah berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas perkelahian di jalan
sempit itu. Semak belukar banyak yang rambas sedang di tanah ada noda-noda hitam membeku. Pemuda ini
melangkah terus. Tepat pada langkah yang keempat puluh, kedua kakinya laksana di pantek ke tanah.
Mukanya berubah. Untuk seketika dia tidak dapat bergerak seperti patung.
"Widura!" serunya sesaat kemudian lalu menghambur ke muka.
Di tepi jalan tergelimpang sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian tubuhnya yang tidak tertutup
pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain kafan. Di sampingnya, diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini
adalah darah yang telah membeku. Dan sosok tubuh itu adalah Widura yang telah jadi mayat.
Panji Kenanga berlutut di samping jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya bergetar. Rahangnya terkatup
rapat-rapat menahan geram. Dia duduk di tanah memangku kepala Widura yang pucat tiada berdarah. Saat
itulah dilihatnya urat nadi yang putus di bagian leher! Ini adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher itu jelas
bukan luka bukan luka akibat perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh yang pucat pasi seperti tidak
berdarah itu, apakah yang menyebabkannya?
Panji Kenanga lantas ingat pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan tengah dilanda
malapetaka yang disebabkan oleh orang dari Istana Darah. Bukan mustahil manusia-manusia terkutuk itulah
yang telah membunuh Widura. Tetapi tubuh yang seolah-olah kempes tanpa berdarah? Apakah mungkin
disedot? Geraham Panji Kenanga bergemeletakan. Dia teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis itu
sekarang?
Panji Kenanya memandang berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika pandangannya
membentur gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang hampir pupus oleh udara. Tulisan itu tidak
begitu jelas namun sedikit demi sedikit, dengan susah payah berhasil juga disambung-sambung oleh si
pemuda dan ternyata berbunyi.
Kalau terjadi apa-apa dengan diriku,
yang menyebabkannya adalah manusia-
manusia terkutuk dari Istana Darah.
Mereka juga bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa dan kehormatan Miani.
Widura
Panji Kenanga kerenyitkan kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa meninggalkan pesan begitu?
Dan kapan dibuatnya? Atau mungkin dia sudah menduga ada bahaya terlebih dahulu hingga siang-siang telah
membuat tulisan begitu rupa? Tentu saja semua pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh Panji Kenanga. Dia
hanya bisa menduga-duga.
Sebenarnya bagaimana dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah yang berupa pesan itu?
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
19/74
Pada waktu dia pertama kali dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga mental dari atas kuda dan
terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik segera memaklumi bahwa lawan-lawannya bukanlah orang
sembarangan. Apalagi sesudah diketahuinya bahwa manusia berpakaian serba merah itu adalah Hulubalang-
hulubalang Istana Darah yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi dan bukan tandingannya. Yakin kalau
dirinya tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk menyerah atau lari dia tak mau melakukannya, di
samping itu menyadari pula bahwa kedua hulubalang Darah itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup,
maka selagi tertelungkup di tanah dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu dengan ujung
jarinya yang dialiri tenaga dalam.
Apa yang dikerjakan oleh Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh karena saat
itu Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi serangan pedang Miani.
"Tepat seperti apa yang diduga oleh guru," kata Panji Kenanga dalam hati. "Walau bagaimanapun aku tak
akan berpangku tangan. Sekalipun menyabung nyawa ke lautan api, hutang nyawa ini harus kubalaskan.
Apalagi Miani pasti berada di tangan keparat-keparat durjana itu!"
Panji Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah adik seperguruannya dan diletakkannya di bawah satu
pohon yang rindang. Di bagian lain dari pohon dengan sebisa-bisanya dia mulai menggali sebuah lobang.
Lalu jenazah Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu. Setelah ditimbun dengan tanah, makam itu
ditutupnya dengan batu-batu agar tidak dikorek oleh binatang buas.
Setelah merenung sejenak di hadapan makam adik seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu melangkah ke
tempat Angin Salju tegak menunggu. Saat itu juga dia memutuskan untuk mencari di mana letak Istana
Darah. Namun mendadak dia ingat kembali pada si botak bermata buta yang sebelumnya telah ditemuinya.
"Manusia itu aneh," kata Panji dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi tahu siapa dirinya.
Bukan mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana Darah. Aku harus meyakinkan dulu siapa dia
sebenarnya." Berpikir sampai di situ Panji lantas memutar kudanya.
Ketika dia kembali ke tempat dimana sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh berkepala botak itu,
didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan tidur mendengkur. Kepingan sepuluh uang emas
masih bertempelan rapi di kepalanya.
"Bapak banguniah!" kata Panji dengan suara keras. Dia berseru sampai beberapa kali tapi orang itu masih
saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran. Tapi apa yang harus dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si
botak ini benar-benar kaki tangan Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai membangunkan segala,langsung menghajarnya. Namun karena dia belum punya bukti-bukti maka dia tak mau kesalahan turun
tangan.
Akhirnya dengan mengkal Panji Kenanga duduk di bawah sebatang pohon yang berhadap-hadapan
dengan si botak.
Ketika matahari sudah jauh condong ke barat si botak masih juga belum bangun. Bahkan ketika matahari
masuk ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari mulai gelap, si botak masih saja terus ngorok.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
20/74
"Tak mungkin kutunggu lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan dengan tangan atau
dengan kaki!"
Si Pemuda melangkah mendekati si botak yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya diulurkan untuk
menepuk bahu orang itu. Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh si botak satu bentakan menggeledek di
seantero tempat itu.
"Ini dia bangsatnya yang kucari-cari!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga kaget bukan
main dan cepat berpaling.
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
21/74
6
DI HADAPAN Panji Kenanga saat itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti bola. Rambut dan
wajahnya dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya sebatas sikut juga berwaena biru. Manusia ini
memandang buas pada si botak yang saat itu masih asyik tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala pada
Panji Kenanga. Dari mulutnya terdengar suara macam harimau menggereng.
"Kau tentu kambratnya Si Botak Mata Buta ini!" damprat orang bermuka biru seraya melangkah
mendekati Panji Kenanga dengan kedua tangan terpentang.
"Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri siapa?" bertanya Panji
Kenanga.Si gendut tidak perdulikan pertanyaan Panji malah menjawa. "Puah, kebenaran ucapanmu akan kuselidiki
kemudian. Jika ternyata kau masih punya hubungan dengan bangsat gundul itu, kelak kau juga bakal
menerima bagian. Sekarang minggirlah!"
Panji Kenanga melihat orang berbadan gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua tangannya setinggi
kepala. Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu tampak mengeluarkan sinar biru gelap
menggidikkan.
"Minggir!" teriak si muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda masih menghalang di
depannya."Eh, kau mau bikin apa?" bertanya Panji.
"Tidak usah tanya! Lihat saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun menerima
bagianmu!"
Panji Kenanga tidak mau bergeser dari tempatnya malah berkacak pinggang. "Menyerang lawan yang
sedang tidur adalah tindakan pengecut!" katanya. "Kalau mau buat perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"
"Anak setan! Kalau begitu biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai berkata begitu si muka biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah kepala si botak yang
masih tidur lelap, satunya lagi ke arah Panji Kenanga.
Dua sinar biru menderu dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun saat itu Panji Kenanga
masih merasa si Botak Mata Buta adalah kaki tangan Istana Darah, namun melihat orang diserang dengan
cara pengecut begitu rupa adalah bertentangan dengan jiwa kesatrianya. Pemuda ini berseru nyaring lalu
berkelebat cepat ke arah pohon di mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak menyelamatkan
orang ini. Namun dia hanya menemui tempat kosong karena lebih cepat dari gerakannya, hampir tidak
kelihatan, si botak itu telah berkelebat lenyap dari pohon dimana dia tidur!
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
22/74
Sinar pukulan melesat di atas punggung Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu bergulingan di
tanah. Di belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar tempat si botak tadi tidur patah dan tumbang
dengan mengeluarkan suara gaduh akibat dihantam pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi baik
batang pohon yang masih menancap di tanah maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini kelihatan
berwarna biru!
Nyatalah manusia bermuka biru itu betul-betul menginginkan kematian Panji Kenanga dan Si Botak
Mata Buta. Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah lancarkan pukulan maut yang mengandung
racun mematikan!
Ketika Panji Kenanga berdiri kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta telah berada di bawah
pohon yang lain, duduk bersandar dan mengorok persis seperti sebelumnya. Bahkan sepuluh uang emaspun
masih tetap ada di kepalanya yang botak!
Di lain pihak si gendut muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua orang itu berhasil
mengelakkan pukulan saktinya yang bernama "kelabang biru". Lebih-lebih Si Botak Mata Buta dianggapnya
sengaja telah mempermainkannya.
"Kupecahkan kepala kalian!" teriak si muka biru garang lalu kembali menyerbu dengan dua kepalan
diayunkan. Yang satu menyerang Si Botak Mats Buta, yang lainnya menghantam ke arah dada Panji
Kenanga.
Murid Brahmana dari gunung Raung itu menggeser kakinya kesamping, menepis lengan lawan dengan
lengan kirinya. Sewaktu masing-masing lengan saling beradu, Panji Kenanga mengigit bibir karena
merasakan lengannya pedas bukan main.
Di lain pihak si muka biru tak kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong lengan lawan sanggup
menepis demikian rupa hingga bukan saja serangannya terhadap si pemuda gagal, tapi serangan yang di-
tujukan pada Si Botak Mats Buta pun meleset akibat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh
dua langkah!
Semua itu membuat amarah si gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga dalamnya kini
disalurkan ke tangan kanan. Lengan kanannya kembali memancarkan sinar biru. Kali ini lebih biru dan gelap
dari yang tadi. Panji Kenanga maklum kalau lawan kini siap-siap akan melancarkan pukulan saktinya disertai
tenaga dalam yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Maka diapun tidak menunggu lebih lama dan segera
menyalurkan tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan. Begitu lawan melancarkan pukulan "kelabangbiru" yang mengandung racun mematikan itu, Panji Kenanga segera menyambut dengan satu pukulan yang
tak kalah hebatnya, yang menebar selarik sinar putih ke abu-abuan.
Dua pukulan sakti saling bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam yang tinggi maka
pertemua dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan. Pohon-pohon bergoyang, tanah bergetar.
Sepasang kaki si muka biru melesak sampai tiga senti ke tanah sedang kedua kaki Panji Kenanga masuk ke
dalam tanah hampir setengah jengkal!
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
23/74
Dari sini nyatalah meski masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam sebanyak tiga
perempat bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang dimiliki si muka biru lebih sempurna
dari yang dikuasai Panji Kenanga. Hai ini adalah wajar karena Panji Kenanga masih terlalu muda, kurang
pengalaman dan masih banyak harus berlatih sementara lawannya sudah belasan tahun malang melintang di
dunia persilatan dan terus menerus melatih diri.
Panji Kenanga yang memaklumi sepenuhnya hal itu bukannya menjadi takut malah sebaliknya sudah
siap-siap untuk maju kembali dengan segala keberanian yang ada meskipun saat itu dadanya terasa
berdeenyut-denyut.
Si gendut muka biru diam-diam dalam hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang tadi dilepaskan
pemuda itu beberapa tahun lewat pernah disaksikannya namun dia tak ingat lagi siapa yang memiliki ilmu
pukulan tersebut. Disamping itu dia jugs tidak menyangka kalau tingkat tenaga dalam lawan akan sanggup
mengimbangi tenaga dalamnya yang sudah tinggi itu.
Manusia ini tak sempat untuk berpikir panjangpanjang karena saat itu si pemuda dilihatnya sudah
menerjang ke hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru. Si muka biru senantiasa
berusaha mengadakan bentrokan lengan. Sebaliknya Panji Kenanga yangg maklum kehebatan sepasang
lengan lawan dengan cerdik selalu menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian kemari
melancarkan serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah sehingga membuat si muka biru
kebingungan.
Memang dalam hal meringankan tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti bola itu agak
sulit menandingi lawannya yang masih muda. Selama bertahun-tahun Panji Kenanga telah dididik dan
melatih diri melompat-lompat di ujung batu-batu sungai yang runcing dan licin berlumut. Dan kini di tanah
datar dengan sendirinya bukan satu hal yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat dan gesit.
Sambil terus bertempur si muka biru senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan ilmu silat lawannya.
Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga. Untuk meyakinkan dugaannya ini maka diapun membentak.
"Anak setan! Ada sangkut paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung Raung?!"
Panji Kenanga kaget. Namun cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran ini, baru nanti
bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"
"Setan alas!" maki si muka biru geram sekali. Dia berteriak nyaring dan tubuhnya berkelebat lebih cepat
tapi jaraknya sengaja diperjauh dari lawan hingga dia dapat melancarkan pukulan-pukulan "kelabang biru"dengan leluasa.
Menghadapi ilmu pukulan lawan yang ampuh ini membuat serangan Panji Kenanga mengendur dan
beberapa jurus kemudian pemuda ini terpaksa berada di bawah angin. Si muka biru melipat gandakan
kecepatan gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya sehingga Panji Kenanga semakin terdesak.
Meskipun Panji telah mengeluarkan pula pukulan-pukulan saktinya seperti yang bernama "mega putih"
namun tidak ada gunanya. Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai berpikir-pikir untuk
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
24/74
mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan gurunya. Tapi karena lawan ma'sih bertempur dengan
tangan kosong, hatinya merasa bimbang untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya
semakin kritis juga.
"Muka biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji Kenanga memancing agar lawan mengeluarkan senjata
dan dengan demikian dia tidak akan merasa sungkan untuk mencabut pedangnya.
Si muka biro tertawa mengejek.
"Untuk melenyapkan bocah setan macammu ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini jurus kematian-
mu!"
Ucapan itu ditutup oleh si muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya. Tubuhnya
lenyap dan tahu-tahu sudah berada di atas lawannya sambil mengayunkan tiriju yung laksana palu godam ke
kepala Panji Kenanga, Pemuda ini menunduk seraya menghantamkan pukulan "mega putih" ke perut lawan.
Tapi dia terpedaya.
Begitu Panji Kenanga bergerak memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan "mega putih"
mengenai tempat kosong. Di kejap yang sama si muka biru menyorongkan satu tendangan kilat ke bawah
ketiak kanan Panji Kenanga.
Dalam keadaan tubuh masih terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul, Panji Kenanga sulit
sekali untuk mengelakkan serangan berbahaya itu. Masih diusahakannya untuk mencegah hantaman kaki
lawan dengan coba menekuk sikut memukul tulang kering si muka biru. Tetapi itupun terlambat karena saat
itu ujung kaki kanan lawan sudah menyelinap di bawah lengannya!
"Celaka!" keluh Panji Kenanga dalam hati.
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
25/74
7
DI SAAT itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat deras menderu, membuat
kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting sejauh setengah tombak!
"Tapak Biru! Kau memang terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"
Panji Kenanga dan si muka biru yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama memalingkan kepala ke
arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah Si Botak Mata Buta yang saat itu telah bangun dari
tidurnya tapi masih duduk di bawah pohon sambil mengucak-ucak sepasang matanya yang tidak melihat.
"Botak buta sialan! Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa hatiku! Ini
mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan tangan kirinya ke arah pohon. Untuk kesekian kalinya pukulankelabang biru berkelebat di situ.
"Mentang-mentang memiliki pukulan baru yang diandalkan sikapmu sombong selangit," ejek Si Botak
Mata Buta. "Cuhh!" dia meludah ke tanah dan mengangkat tangan kirinya. Satu gelombang dingin bersiuran
keluar dari telapak tangan orang ini dan sekaligus memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru!
Tapak Biru sampai menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya dibikin musnah
semudah itu.
"Sialan! Tidak kusangka bangsat buta ini sudah maju kesaktiannya begitu jauh!" maki Tapak Biru dalam
hati. Lalu dia berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita bertempur sampai seribu jurus!""Baik orang gendut," jawab Si Botak Mata Buto seraya berdiri dengan sikap acuh tak acuh dan sambil
tepuk-tepuk pantat celana komprangnya.
Justru di saat itu Tapak Biru sudah menerjang menyerangnya dengan satu tendangan kilat. Si Botak
tertawa. "Kelicikanmu masih seperti dulu saja, gendut!" Lalu dia cepat-cepat menyingkir dan akibatnya
tendangan Tapak Biru mengenai batang pohon di sampingnya hingga patah dan tumbang dan menjadi biru
akibat racun kelabang biru.
Penasaran Tapak Biru membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru ke depan.
Di belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.
"Kau toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"
Secepat kilat Tapak Biru memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan saktinya. Namun lagi-lagi dia
mendengar suara tawa dari arah belakang. Si Botak Mata Buta ternyata telah mempermainkannya.
Sebenarnya si buta ini tidak berada di belakangnya. Namun karena dia memiliki semacam ilmu memindahkan
suara maka suaranya terdengar seperti datang dari belakang, padahal dia berada di tempat lain tak jauh dari
situ!
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
26/74
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
27/74
serta rambutnya melambai-lambai sedang Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling
lenyap baru dia kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri angin punting beliung itu mem-
buatnya terhuyung-huyung.
Pemuda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya sampat goyah.
Cepat-cepat dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di situ.
Putus asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan seruling peraknya.
"Bangsat botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja kelak aku bakal menyelesaikan urusan dengan
dia," gerutu Tapak Biru dalam hati.
"Hai gendut pendek! Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.
"Sayang aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih. "Hari ini masih
kuberi kesempatan padamu untuk bernafas beberapa lama lagi. Kelak walau bagaimana nyawa anjingmu
akan kutagih untuk melunasi hutang jiwa kematian adikku!"
Si botak tertawa gelak-gelak. Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping uang emas masih menempel
di atas batok kepalanya yang plontos.
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu, suling curianmu itu
padaku!"
"Jangan temahak jadi manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan padamu jika kau sudah
kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"
Si botak usap-usap dagunya dan berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih Tapak Biru. Tinggalkan suling itu
atau tinggalkan nyawamu!"
"Botak, jangan melantur! Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk mendengarkan celotehanmu!"
"Selesai berkata begitu Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di belakangnya terdengar
si botak berseru.
"Suling atau nyawamu, gendut!"
Di kejap itu juga si botak sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang larinya. Tapak Biru
berkelebat ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari itu si botak sudah menghadang pula di depannya. Sekali
lagi dia melesat ke samping, sekali lagi pula si botak muncul menghadang di hadapannya.
Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah sekali tapi juga bingung melihat kehebatan lawan. Dia
menerjang dengan menghujamkan suling perak ke arah kening lawan.Yang diserang begitu merasakan datangnya angin serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk lalu
menggerakkan kedua tangannya serentak. Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang yang kanan
menyantakkan seruling perak.
Tapak Biru terpekik kesakitan. Disamping itu dia juas terkejut karena suling perak di tangan kanannya
tiada lagi sedang di depannya Si Botak Mata Buta tertawa gelak-gelak.
"Masih inginkan suling ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan suling perak yang kini
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
28/74
berada dalam genggamannya.
Tapak Biru mendengus dan membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat itu diantar suara
tertawa mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga menyaksikan hal itu dengan menahan tawa tiba-tiba si
botak berkelebat dan tahu-tahu Panji Kenanga merasakan satu pukulan keras menghantam belakang
kepalanya. Tak ampun lagi murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung ini roboh dan pingsan!
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
29/74
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
30/74
Walaupun di bawah tulisan itu tidak tertera tanda atau nama pembuat surat namun Panji Kenanga sudah
bisa menduga bahwa surat itu dibuat oleh orang botak yang lihay itu.
Dua kali orang itu memberi nasihat agar mempergunakan akal pikiran bila dia hendak melakukan
pembalasan. Pertama dalam nyanyian pada pertemuan waktu hujan lebat dan kedua dalam surat tersebut
"Kalau begitu besar kemungkinan dugaanku meleset," kata Panji dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki
tangan atau bergundal Istana Darah." Kembali Panji menimang-nimang suiing perak itu. Siapakah gerangan
pemilik sebenarnya benda itu? Mengapa justru Si Botak Mata Buta menitinpkannya padanya? Akhirnya Panji
menyelipkan suling tersebut di balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan
lagi kemana Angin Salju membawanya.
Tak selang berapa lama di kejauhant kelihatan kelap-kelip nyala api.
"Sobatku, larilah ke arah nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau kampung. Kita bisa istirahat di
sana malam ini," bisik Panji Kenranga.
Angin Salju mengeluarkan suara reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa yang dimaksudkan
tuannya. Dan binatang ini lebih mempercepat larinya.
***
Kampung Warnasari sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai kampung karena jumlah rumah yang ada di
situ banyak sekali. Di samping itu terdapat pula tiga buah jalan besar serta jalan-jalan kecil. Lebih tepat
kiranya bilamana Warnasari dikatakan sebagai sebuah kota kecil.
Malam itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun kesunyian sekali ini jauh berbeda denqan kesunyian
seperti biasanya. Kesunyian kali ini adalah kesunyian yang dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat
oleh sekelompok orang-orang yang saat itu berada di kedai paling besar di Warnasari.
Dalam kedai itu suasana biasanya ramai. Suara orang-orang yang asyik mengobrol sesekali dipecahkan
oleh gelak tawa berderai. Tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam dan bertampang bengis duduk di tengah
kedai. Mereka inilah yang membuat suasana tidak seperti biasanya lagi. Tak ada yang berani bicara keras
apalagi tertawa.
Di atas meja di hadapan mereka terhidang segala macam makanan yang enak-enak serta minuman yang
lezat-lezat. Demikian banyaknya makanan dan minuman itu hingga dua buah meja terpaksa digabungmenjadi satu.
Pemilik kedai seorang laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai dengan muka
seputih kertas, lutut gemetar. Tiga orang pelayan berdiri disampingnya. Seperti pemilik kedai para pelayan
inipun berada dalam ketakutan yang amat sangat. Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin tamu. Namun
begitu tiga manusia ini masuk, para tamu yang ada di situ cepat-cepat membayar makanan dan minuman
masing-masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di antara mereka yang belum sempat mencicipi makanan
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
31/74
ataupun minuman namun karena kawatir cepat-cepat saja berlalu.
Tiga tamu berpakaian serba hitam melahap makanan di atas meja laksana singa-singa buas yang telah
berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang kedai tiga orang berseragam hitam lagi tampak berdiri sedang di
pintu depan lima orang dengan pakaian yang sama tampak berjaga-jaga sambil bertolak pinggang dan
menghisap rokok.
"Hai Bawean!" sentak salah seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam kedai. "Bawa ke sini
satu kendi tuak baru untukku!"
Dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai meninggalkan tempatnya kemudian muncul kembali membawa
sebuah kendi berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan sangat hati-hati di atas meja lalu kembali ke
tempatnya semula di sudut kedai menunggu perintah selanjutnya.
"Lama juga anak-anak pergi memanggil kepala kampung itu," kata salah seorang yang duduk melahap
makanan. Namanya Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari semua orang yang berpakaian serba hitam itu.
Pimpinan gerombolan rampok yang paling ditakuti di daarah sekitar hulu Kali Bedadung. Dua orang yang
ikut makan bersamanya adalah orang-orang kepercayaannya alias tangan kanannya yang masing-masing
bernama Randuwongso dan Taliwongso. Keduanya kakak beradik.
Dulunya Randuwongso dan Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang melintang sepanjang
Kali Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan Ronggokarapan bersama beberapa anak buahnya
melakukan kejahatan yang serupa. Pada suatu kali terjadilah pertemuan yang tidak disangka-sangka antara
duao kelompok penjahat itu. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan Randuwongso berhasil
dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan dari gabungan dua kelompok penjahat itu.
Meskipun dua bersaudara Wongso itu pada dasarnya menanam dendam kesumat terhadap
Ronggokarapan namun mereka menyadari adalah mencari mati jika mereka berani melakukan sesuatu selagi
ilmu kepandaian mereka jauh di bawah Ronggokarapan.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda.
"Itu pasti anak-anak," kata Randuwongso.
Ronggokarapan menyeringai.
"Kali ini kepala kampung itu harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu rasa!" kata pamimpin rampok itu
lalu memandang ke pintu.Saat itu di luar kedai suara rentak kaki kuda terdengar semakin dekat. Lima anak buah rampok yang
tegak di ambang pintu memandang ke ujung jalan.
Tak selang berapa lama dari tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda putih berikut penunggang-
nya. Mendekati kedai itu si penunggang memperlambat lari kudanya. Di depan kedai dilihatnya hampir
seluruh kuda tertambat sedang di ambang pintu lima orang berpakaian serba hitam dan rata-rata bertampang
buas tegak berjejer membuat hatinya kurang enak dan curiga.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
32/74
Si penunggang kuda yang bukan lain adalah Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu menghentikan Angin
Salju di depan kedai dan melompat turun. Perutnya sangat lapar dan memang dia musti berhenti di situ
karena malam buta begini di mana pula akan mencari kedai lain yang masih buka. Dia tengah melangkah ke
pintu kedai ketika salah seorang dari lima manusia yang tegak menghadang di pintu masuk menegurnya.
"Orang muda, putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh masuk ke dalam!"
Panji Kenanga berpaling don memandang muka orang itu.
"Memangnya ads apa?" tanya si pemuda.
"Tak usah banyak bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung kau disuruh pergi baik-
baik. Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat sedang tubuh anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu
rasa!"
"Oh, kalau begitu itu lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya tersenyum. Dia sudah maklum
kini dengan manusia-manusia macam apa sebenarnya dia sedang berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan
langkahnya menuju pintu kedai.
"Kurang ajar! Dikiranya kita ini siapa!"
Rampok yang membentak melompat ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan goloknya ke kepala
pemuda ini. Si pemuda cepat manyingkir. Golok yang menderu menembus udara kosong terus menghantam
dinding kedai!
***
.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
33/74
9
"HAI! Ada apa ribut-ribut di luar sana?!" terdengar bentakan Ronggokarapan dari dalam kedai. Keduapembantunya segera berdiri dan melangkah ke pintu.
"Ada apa disini?!" tanya Randuwongso.
"Pemuda kurang ajar ini hendak memaksa masuk ke dalam kedai!'' jawab salah seorang perampok.
"Bah, kukira ada apa. Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam orang keblinger!" kata
Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam. Sementara itu sambil bertolak pinggang Randuwongso menatap si
pemuda asing dan bertanya dengan kasar.
"Pemuda hina dina, kau siapa?!"
"Namaku Panji Kenanga. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam kedai. Toh kedaiini bukan punya nenek moyangnya!"
"Hem" Randuwdngso tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau kubikin mengerti?"
Dia berpaling pada lima orang anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar monyet alas ini sampai dia
mengerti!"
Serempak dengan itu kelima orang perampok tersebut menerjang menyerang Panji Kenanga. Namun
gerakan mereka terhenti karena saat itu dari dalam kedai terdengar seruan Ronggokarapan.
"Randu! Biarkan monyet alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"
Melihat orang-orang disitu tak jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena ada yang berteriak daridalam. Panji Kenanga segera dapat menduga. Siapapun adanya orang yang barusan berseru dia pastilah
pemimpin dari keseluruhan manusia-manusia jahat yang ada di tempat itu.
Panji Kenanga tersenyum pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berkata, "Nah, apa kataku.
Kedai ini bukan milik nenek moyang kalian, kan? Buktinya pemimpin kalian sendiri yang mengundangku
masuk!" Habis berkata begitu dengan lenggang kangkung Panji Kenanga melangkah masuk ke dalam kedai.
Satu hal yang tak terduga terjadi sewaktu pemuda ini baru saja masuk dua langkah ke dalam kedai.
Sebuah benda melayang pesat ke arah kepalanya!
Saking cepatnya benda itu melesat Panji Kenanga tak sempat mengenali benda apa adanya namun dengan
cekatan dia menundukkan kepala dan berhasil mengelakkan hantaman benda tersebut. Seseat kemudian di
belakangnya terdengar suara benda tadi pecah berantakan. Pemuda ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar
yang telah dilemparkan ke kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk mengangkat kaki di
belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas, bercambang bawuk dan berbibir tebal. Dialah
Ronggokarapan.
"Bagus, sanggup juga kau mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai. "Sekarang coba
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
34/74
elakkan yang ini!" Kedua tangannya yang bertelapak tebal dan berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja.
Hebatnya, lima buah piring berisi makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana anak panah lepas dari
busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga!
Kaget murid Brahmana Lokapala itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin rampok tergebut
memiliki kepandaian begitu hebat. Dengan gesit Panji Kenanga cabut suling perak dari balik pinggangnya.
Lalu terdengar suara trang-trang-trang sampai delapan kali berturut-turut. Lima buah piring dan tiga gelas
berhamburan pecah ke lantai.
Kini Ronggokarapan yang ganti terkejut.
"Sobat mata merah! Ini kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba. Si pemuda hantamkan
kaki kanannya ke lantai kedai. Puluhan pecahan piring dan gelas yang ada di lantai, laksana daun kering
dihembus angin, menderu menyambar ke arah pemimpin rampok Kali Bedadung itu!
Saking kagetnya melihat kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu Ronggokarapan sampai
keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya mengancam. Kedua tangannya turun dengan cepat
ke bawah dan di lain kejap dia telah mengangkat meja makan besar itu ke atas untuk melindungi tubuhnya.
Puluhan beling pecahan gelas dan piring menancap pada papan meja. Belasan lainnya bertebaran lewat di
sampingnya. Dapat dibayangkan bagaimana kalau puluhan pecahan kaca itu menancap di kepala dan tubuh
Ronggokarapan!
"Orang muda, terima kasih atas serangan balasanmu!" kata si kepala rampok keren. "Kau menang. Dan
terimalah hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara Ronggokarapan tertawa dari balik meja. Di lain ketika
tiba-tiba meja yang besar yang terbuat dari kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana dihantam topan.
Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga jengkal lagi meja besar itu akan melabraknya,
pemuda ini angkat kedua tangannya menangkap dua dari empat kaki meja. Lalu dengan gerakan seperti
seorang main akrobat meja yang berat itu diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa menimbulkan suara
sedikitpun!
Semua mata memandang hampir tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi sunyi senyap.
Di ujung kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa yang disaksikannya tadi sungguh
membuatnya kagum luar biasa tetapi sekaligus juga membuatnya ketakutan. Kalau dua orang berilmu tinggi
baku hantam dalam kedainya, pastilah segala perabotan yang ada di situ akan porak poranda. Bahkan bukanmustahil kedainya akan amblas roboh!
Di luar, terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian hitam masuk ke dalam
kedai menggiring seorang lelaki tua berambut putih, berpipi cekung dan melangkah terbungkuk-bungkuk.
Ronggokarapan tidak acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia memandang tak berkedip pada Panji
Kenanga. Otaknya jalan.
"Ilmunya tinggi," membatin Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan, seumur hidup aku
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
35/74
bakal enak ongkang-ongkang kaki ..."
Kepala rampok itu tersenyum. "Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan kiri. "Antara kita tak ada
saling sengketa apa-apa. Lupakan cara berkenalanku yang agak kasar tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik
kedai dan memerintah, "Bawean, siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan hidangkan pada
pemuda ini. Cepat!"
Tanpa banyak bicara, dengan ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang diperintahkan
Rondokarpan.
"Sobatku, kau duduklah tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si kepala rampok.
Sementara itu Randuwongso datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa kepala kampung
kemari."
Ronggokarapan berpaling. Dia memandang pada lelaki tua berambut putih yang berdiri dengan muka
pucat pasi don gemetaran di hadapannya.
"Lawang Kuning!" kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu. "Ingat apa yang
kuperintahkan tempo hari?!"
Kepala kampung itu mengangguk berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik Taliwongso dan
tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga dia merintih kesakitan.
"Ak . . . aku ingat Ronggo," Lawang Kuning akhirnya membuka mulut sambil mengerenyit kesakitan
karena rambutnya masih dijambak keras oleh Taliwongso.
"Bagus. Kalau ingat mengapa tidak kau laksanakan!"
"Sulit Ronggo. Sulit! Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di sini miskin
semua"
"Sulit atau tidak aku tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!" damprat Ronggokarapan.
Randuwongso ikut menghardik. "Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan. Mengumpulkan semua harta
benda perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu tua bangka!"
Penduduk di sini rata-rata punya sawah ladang. Ternak!" yang bicara kini adalah Taliwongso. "Rumah
mereka bagus-bagus. Mustahil tidak punya uang dan perhiasan."
Ronggokarapan geleng-geleng kepala dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning. "Kalau tidak ingat
persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan badanmu, Lawang"
"Justru kalau masih menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat terhadapku? Danterhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apa-apa!" Lawang Kuning memberanikan diri
menyahuti.
Kepala rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan plak! Satu tamparan
mendarat di muka kepala kampung tua itu. Lawang Kuning jatuh terjelapak di lantai. Pemandangannya
berkunang-kunang. Pipinya sakit bukan main. Dia merasakan darah mengalir di sela bibirnya yang pecah.
"Hajar dia sampai konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu dia duduk ke sebuah
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
36/74
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
37/74
membuat Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh terjerembab di lantai kedai!
Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya kelihatan gembung merah. Ketika dia berdiri kembali
tampak miring. Sepasang bola matanya seperti bernyala-nyala. Kedua tinjunya terkepal.
"Bangsat! Kalau aku tidak dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi orang!"
Randuwongso sudah siap untuk menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah pintu terdengar suara
tawa bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang seperti disirap, tertegun di tempat masing-masing.
"Yang sudah mampus kalau bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin berhenti jadi
orang?! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"
***
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
38/74
10
KETIKA semua orang memandang ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut gondrong memasuki
kedai dengan langkah seenaknya dan sambil cengar-cengir. Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia memanggul
sesosok tubuh perempuan muda berpakaian merah yang robek-robek di beberapa tempat hingga
menyembulkan kulitnya yang putih mulus.
Si pemuda melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh perempuan yang
dipanggulnya lalu didudukkannya di atas kursi. Semua orang jadi terkesiap ketika menyaksikan wajah
perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi sepasang matanya terpejam, bibirnya berwarna biru. Sedang tidur,
pingsan atau tertotokkah dia, demikian setiap orang menduga-duga.Pemuda itu memandang berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia mengumbar tawa dan ucapan
lantang namun setelah sampai di dalam dia seperti acuh tak acuh saja dengan segala apa yang terjadi di situ.
Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu menghentikan pandangannya pada orang tua bermuka pucat di
seberang sana.
"Bapak, kau pemilik kedai ini?" tanya si pemuda.
Ki Sepuh Bawean mengangguk. Agak takut-takut.
"Aku perlu kain untuk menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga keroncongan ..."
Ki Sepuh Bawean memandang pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah manusia yang satu iniorang benar atau bangsa sedang brengsek pula yang bakal menambah huru-hara di kedainya. Kemudian dia
memandang pula pada gadis berbaju merah yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Salah
satu robekannya demikian besar hingga pangkal payu daranya yang sebelah kiri kelihatan tarsembul dengan
jelas.
"Pak tua, lekaslah. Aku tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini. Pertolonganmu pasti tak
akan kulupakan."
Ki Sepuh Bawean hendak beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarsrpan memberi isyarat dengan
larnbaian tangan agar pemilik kedai itu tetap di tempat semula.
Sambil rnenimang-nimang sebuah paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang asing, kau
siapa?"
"Maaf aku datang ke mari bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu duduk di samping
gadis baju merah yang pingsan. Tentu taja semua orang jadi terkesiap mendengar jawaban pemuda tak
dikenal itu. Ronggokarapan sendiri kelihatan marah tampangnya dan duduk ternganga.
"Tambah lagi satu orang edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
39/74
Si pemuda tak ambil perduli ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai, dan berkata lagi, "Pak, tolong
berikan apa yang kuminta."
Ki Sepuh Bawean jadi serba salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia memenuhi permintaan
pemuda itu maka dia bakal mendapat hajaran dari Ronggokarapan dan anak anak huahnya. Sebaliknya jika
dia tidak menolong, hati kecilnya merasa kasihan terhadap tamu muda tersebut yang kelihatannya memang
letih, apalagi menyaksikan keadaan garlis yang duduk di kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma bisa angkat
bahu.
Pemuda rambut gondrong itu berdiri.
"Aku tak salahkan engkau kalau takut pada manusia itu," katanya sambil menunding dengan ibu jari
tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan engkau, gorilapun pasti akan kabur melihatnya!"
Selama hidupnya baru kali itu Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi di depan orang
banyak dan di muka hidung anak buahnya rendiri!
Tangan kanannya menggebrak meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan tangan kiri
diletakkan di pinggang.
"Monyet gondrong! Berani menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi kematian!"
Si pemuda menyeringai. "Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau mulutmu membuat
hidungku seperti mau tanggal!"
"Bangsat rendah!" teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokaraprrn menggembor. Tangan
kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ. Tiba-tiba dia menghantam ke depan
kirimkan satu pukulan tangan kosong. Selarik angin keras menyambar ke arah dada si pemuda. Meja dan
kursi berpelantingan saking hebatnya. Bahkan beberarapa orang anak buah Rongglokarapan cepat menying-
kir takut terserempet angin pukulan itu.
Yang diserang rupanya juga bukan manusia sembarangan walau masih muda dan tampangnya kelihatan
tolol. Dengan satu gerakan kilat dia melompat seraya menyambar tubuh gadis yang didudukkannya di kursi.
Baru saja dia berkelebat dari tempat itu, kursi kosong itu hancur berantakan kena hantaman pukulan tangan
kosong Ronggokarapan. Dinding papan di belakangnya ikut pecah-pecah. Dapat dibayangkan bagaimana
kalau pukulan ganas tadi mengenai tubuh si gadis yang berada dalam keadaan tidak sadar diri itu!
Baik Ronggokarapan maupun si pemuda tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda tidak menyangka
kalau kepala rampok itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan benar-benar inginkan nyawanya.Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak mengira kalau si pemuda bakal sanggup
mengelakkan serangannya itu bahkan sekaligus mampu menyelamatkan gadis di atas kursi!
Diam-diam Ronggokarapan menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang pemuda yang
berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi belum selesai. Kini muncul satu lagi.
Apakah kedua orang ini punya hubungan satu sama lain?
Tanpa mengacuhkan kepala rampok itu, sambil memanggul tubuh gadis yang tak sadarkan diri, pemuda
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
40/74
berambut gondrong bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.
"Hai! Kau mau kabur ke mana?!" bentak Ronggokarapan mengejar.
Di bagian belakang kedai si pemuda menemukan sehelai kain panjang tergantung. Benda ini segera
disambarnya dan dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis yang dipanggulnya. Kemudian dengan cepat dia
mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat ditemuinya di tempat itu, membungkusnya dengan daun dan
keluar.
Namun di hadapannya Ronggokarapan dan tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam keadaan seperti
itu si pemuda masih saja bersikap luar biasa.
Tanpa rnengacuhkan orang-orang yang ada di depannya dia berkata pada Ki Sepuh Bawean. "Terserah
kau mau bilang aku pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku tak punya uang untuk membeli nasi serta lauk
yang barusan kubungkus ini. Kain panjang inipun kupinjam dulu. Atas kebaikanmu aku ucapkan terima
kasih. Budi baikmu pasti akan kuingat."
"Bangsat! Lagak bicaramu seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak adalah Rongaokarapan.
Lalu tanpa banyak menunggu lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si pemuda. "Sebelum kubunuh
biar kubikin cacat dulu kau!"
"Terima kasih untuk seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si pemuda. Tahu-tahu kaki
kanannya sudah menderu ke perut lawan.
Bagaimanapun juga serangan kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan. Akibatnya tendangan kaki itu
akan lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan tangan. Hal ini diketahui benar oleh Ronggokarapan.
Dengan gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke samping kiri. Dari sini dia langsung susul serangannya
yang tadi batal dengan satu jotosan ke arah pelipis kanan pemuda berambut gondrong.
Kali ini si pemuda tidak punya kesempatan untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya dia kawatir
pukulan lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh gadis yang berada di panggulannya. Maka terjadilah
satu tontonan yang menarik. Pemuda rambut gondrong lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya ke
udara lalu dengan lengan kanan dia menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok lipat gandakan
tenaga dalamnya. Dia yakin sekali tangannya beradu dengan lengan si pemuda maka pemuda itu akan
terjengkang dengan tangan patah!
Sedetik kemudian dua lengan mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara keras. Disusul oleh
keluhan kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan. Ketika dia meneliti ternyata lengan kanannya berwarnamerah dan bengkak sedang tubuhnya sendiri akibat bentrokan itu terpental sampai empat langkah!
Selagi lawan berdiri terkesima dan kesakitan pemuda rambut gondrong telah menangkap kembali
bungkusan nasi yang tadi dilemparkannya ke udara!
"Keroyok dia! Cincang sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar perintah itu delapan anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso menyerbu. Ada
yang mengandalkan tangan kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman dengan senjata di tangan.
-
8/4/2019 WIRO SABLENG Hancurnya Istana Darah
41/74
"Sialan betul, lama-lama di sini aku bisa berabe! " si pemuda yang menjadi buian-bulanan serangan
mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan tubuhnya mencelat ke atas hampir menyundul langit-
langit kedai. Di lain kejap selagi lawan terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda lancarkan tendangan-
tendangan pada kepala atau dada lawan-lawannya yang berada di bawah.
Randuwongso muntah darah akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung roboh dan
terg