gagahprama.files.wordpress.com · web viewkemudian di observasi dan pendokumentasian kegiatan...
TRANSCRIPT
LAPORAN KEGIATANOBSERVASI DAN PENDOKUMENTASIAN
PERAYAAN MUHARRAM 1437 H
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Kegiatan Observasi Dan Pendokumentasian Perayaan Muharram 1437 H tepat pada waktunya.
Terima kasih kami ucapakan kepada :
1. Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Unesa.2. Dosen Pengampu Mata Kuliah Sejarah Nasiona Indonesia 1500 – 1800 M
( Masa Islam )3. Pengurus Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, DIY4. Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi.5. Camat Rogojampi dan Kepala Desa Aliyan Rogojampi.6. Kepala Desa Mayang, Kecamatan Mayang, Kab. Jember.7. Keluarga saya yang telah memberikan suasana yang kondusif sehingga
pembuatan laporan ini akhirnya terselesaikan dengan baik.8. Teman – teman seperjuangan yang bersama sama telah memberikan
bantuan baik moril maupun material.
Laporan ini bertujuan untuk mengetahui prosesi kegiatan dan tradisi Muharram di daerah – daerah. Kemudian di Observasi dan Pendokumentasian kegiatan muharram tersebut untuk di arsipkan dan di lestarikan.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Surabaya, 24 Oktober 2015
Penyusun
SURAT KEPUTUSAN PIMPINAN ANGKATAN 2014 JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FIS UNESA
Berdasarkan keputusan dari Pimpinan Angkatan 2014 Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Unesa tentang pembentukan Kelompok dan Tim Kegiatan Observasi Dan Pendokumentasian Perayaan Muharram 1437 H di daerah – daerah. Berikut nama mahasiswa yang di tunjuk menjadi tim kegiatan :
Nama NIM Keterangan1 Mas Gagagh Prama W 14040284008 Ketua2 M Haris Nasution 14040284114 Anggota3 Tantri Sukma A 14040284100 Anggota4 Pradita Rahma H 14040284106 Anggota
Tim diatas tersebut di tugaskan untuk melakukan Observasi dan Pendokumentasian kegiatan Muharram pada :
Hari / Tanggal : Selasa – Minggu / 13 – 18 Oktober 2015
Waktu : 07.00 – Selesai
Tempat Observasi :
1. Kegiatan Mubeng Beteng(Topo Bisu) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, DIY
2. Kegiatan Tahlilan Selametan Kampung di Kepala Desa Mayang, Kecamatan Mayang, Kab. Jember.
3. Kegiatan Keboan Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi Kab. Banyuwangi.
Demikian surat tugas ini dibuat, untuk dilaksanakan dengan seksama dan penuh tanggung jawab.
Surabaya, 11 Oktober 2015
Pimpinan Angkatan 2014 JurusanPendidikan Sejarah FIS Unesa
Mas Gagah Prama WibawaNIM. 14040284008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tradisi adalah sebuah kata yang sangat akrab terdengar dan terdapat di
segala bidang. Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacu pada
adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan
masyarakat.1 Secara langsung, bila adat atau tradisi disandingkan dengan
stuktur masyarakat melahirkan makna kata kolot, kuno, murni tanpa
pengaruh, atau sesuatu yang dipenuhi dengan sifat takliq.
Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” yang keduanya merupakan
hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun dengan
budaya. Keduanya saling mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan
personafikasi dari sebuah makna hukum tidak tertulis, dan hukum tak
tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik
dan benar.2
Indonesia merupakan negara yang memiliki keudayaan majemuk terutama di
Pulau Jawa. Namun, tak lantas kemajemukan budaya tersebut menjadi
penghalang untuk melestarikan dan mengajarkan ke-Islam-an di Negara ini
khususnya di Pulau Jawa. Wali Songo merupakan tokoh yang berpengaruh
terhadap penyebaran Islam di Pulau Jawa yang mengajarkan islam tanpa
meninggalkan kebudayaan detempat sehingga munculah kebudayaan daerah nan
islami.
Kita sebagai generasi kontemporer tentu masih mengenal atau bahkan
melestarikan kebudayaan tersebut tanpa meninggalkan unsur ukhrowi.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia: Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa, (Ed-3. Cet-1 Jakarta ; Balai Pustaka 2001) h. 12082 Ibid., h. 1208
Diharapkan agar kita mengerti, mempelajari, mengamalkan dan meneruskannya
selama itu tidak menyalahi aturan agama Islam (Al-Qur’an dan Hadist).
Dalam laporan ini terdiri atas beberapa tradisi kebudayaan islam berkenaan
peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1437 / 1 Suro 1949. Diantaranya
kegiatan Mubeng Beteng di Yogyakarta, Tahlilan Selametan di Jember, dan
Keboan Desa Aliyan Banuwangi.
1.2. Tujuan Kegiatan
Tujuan kegiatan ini adalah
a. Memberikan pemahaman tentang kekayaan budaya Indonesia.
b. Observasi kegiatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1437 / 1 Suro 1949.
c. Pendokumentasian kegiatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1437 / 1 Suro
1949.
d. Melestarikan kebudayaan Indonesia agar tetap terjaga dan lestari.
BAB 2 PEMBAHASAN
1. Kegiatan Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, DIY
a. Aspek-aspek Sosial Budaya, Geografis, Demografis dan Potensi Kraton
Yogyakarta
1. Aspek Sosial Budaya
Kraton Yogyakarta merupakan Istana Kesultanan yang masih
bernuansa Jawa tradisional walaupun ditengah-tengah proses modernisasi kota
Jogja. Dalam hal ini, kraton tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai
wahana pelestarian budaya, tetapi juga melakukan interaksi terhadap
masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi, mengingat bahwa Kraton
Yogyakarta merupakan kediaman gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri
Sultan Hamengkubuwana X. Contoh nyatanya adalah hal- hal yang terjadi
belum lama ini, bahwa 40 ribuan warga melakukan pisowanan ageng ke
Kraton Yogyakarta. Pisowanan ageng tersebut bertujuan untuk meminta
penjelasan atau klarifikasi dari Sri Sultan HB X. Tradisi ini dilakukan ketika
terjadi kebuntuan informasi, sehingga rakyat mendatangi raja. Mereka
memohon penjelasan langsung dari sang raja agar memperoleh kepuasan atas
informasi yang tengah beredar di masyarakat. Menurut Gregorius Sahdan,
pisowanan ageng ini merupakan tradisi baru dalam konteks hubungan kawula
lan gusti di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari semua ini terlihat jelas bahwa
Kraton Yogyakarta melaksanakan peran sosialnya.
Sedangkan nilai-nilai budaya Kraton dapat dilihat dengan melihat
ritual semedi. Dimana Kraton meyakini bahwa siapa yang sedang bersemedi
maka ia selalu berada dalam keagungan Tuhan YME. Di dalam ritual ini,
orang yang bersemedi akan menghadapi berbagai rintangan. Contohnya, saat
berada di Pasar Beringharja, maka gambaran rintangannya adalah wanita-
wanita cantik, makanan lezat, minuman segar, kain bagus berwarna-warni dan
bau-bauan yang wangi dan sedap. Sedangkan dalam Kepatihan akan dijumpai
rintangan yang berupa kekuasaan, derajat, pangkat dan uang.
Kraton Yogyakarta melakukan upacara ritual tiap tahunnya yang dikenal
dengan nama upacara grebeg.
Grebeg adalah upacara keagamaan yang dilakukan 3 kali dalam
setahun. Bertepatan pada lahinya Nabi Muhammad SAW (grebeg Maulud),
hari raya idul fitri (grebeg Syawal) dan pada hari raya idul adha (grebeg
Besar). Pada hari itu, Sri Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan-
gunungan berisikan makanan dan lain- lain kepada rakyat.
Dan tak kalah nilai budayanya adalah pertunjukan seni. Kraton
Yogyakarta sering menggelar seni pertunjukan. Acara ini menjadi ritual
fungsional dari istana. Di antaranya, adalah pertunjukan Tari Bedoyo yang
disucikan, pertunjukan wayang kulit, wayang wong dan lain-lain. Gambaran
dari wayang wong adalah suatu drama tarian berdasarkan cerita Mahabharata
dan Ramayana. Pada zaman dahulu, wayang ini hanya ditarikan di Kraton
atau di tempat tinggal para ningrat. Hanya orang yang khusus yang dapat
membawakan drama tari ini. Drama ini hanya ditarikan pada acara khusus
seperti pada ulang tahun raja atau pangeran, peringatan penobatan raja, atau
pada penyambutan tamu agung.
Dari semua contoh di atas, sudah terlihat jelas bahwa Kraton
Yogyakarta yang memiliki bangunan-bangunan, lapangan-lapangan, halaman
–halaman serta acara-acara seni yang mengandung unsur budaya dapat
melestarikan nilai-nilai sosio kultural bangsa Indonesia secara turun temurun.
2. Aspek Geografi
Daerah Kraton terletak di hutan Garjitawati, dekat Desa Beringin dan
Desa Pacetokan. Kompleks Kratonnya terletak di tengah-tengah, tetapi daerah
Kraton membentang antara sungai Code dan sungai Winanga, dari utara ke
selatan, dari Tugu sampai Krapyak. Karena daerah ini dianggap kurang
memadai untuk membangun sebuah Kraton dengan bentengnya, maka aliran
sungai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran sungai Winanga sedikit ke
barat. Sebuah pantun Mijil menggambarkan letak geografis dari Kraton
Yogyakarta ini secara populer, berikut pantun Mijil tersebut :
Kali Nanga pancingkok ing puri,
Gunung Gamping kulon,
Hardi Mrapi ler wetan prenahe,
Candi Jonggrang mangungkang ing kali,
Palered Magiri, Girilaya Kidul
Artinya:
Sungai Winanga membelok (ke kanan) waktu mendekati Kraton (puri),
Gunung Gamping terletak di sebelah Barat, sedangkan Gunung Merapi
letaknya di sebelah Timur. Candi Jonggrang dibangun terlalu dekat pinggir
kali (Opak), Plered (Ibu Kota Negeri Mataram dahulu), Magiri (tempat
makam Raja-raja Mataram) dan Girilaya (Gunung Kidul) terletak di sebelah
Selatan (Kraton). Kraton Yogyakarta terletak di pusat kota Yogyakarta.
Letaknya sangat strategis, diantara dua lapangan besar yang sering disebut
Alun-Alun Utara (LOR) dan Alun-Alun Selatan (Kidul). Secara geografis
Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Kraton Yogyakarta yang
beralamat di Jalan Ratawijayan I Yogyakarta sangat dekat dengan Malioboro,
dari arah Malioboro lurus ke selatan kita sudah sampai di lokasi wisata
tersebut yang luasnya kurang lebih 3.185,80 km². Kraton Yogyakarta juga
merupakan istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika
pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan
Yogyakarta sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi
hingga saat ini dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Potensi Kraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta merupakan tempat yang mengandung warisan
kebudayan Nasional yang wajib dilestarikan. Kraton Yogyakarta ini
merupakan kerajaan yang masih eksis keberadaannya dalam melaksanakan
aktivitas pemerintahan kepada rakyatnya ditengah era modernisasi dan
globalisasi yang sedang meningkat ini. Kemenarikan bangunan Kraton
Yogyakarta bukan hanya terletak pada sofistikasi arsitektur Jawa, tetapi lebih-
lebih pada kandungan nilai-nilai kultural-edukatif yang visualisasinya nampak
dalam simbol-simbol.
Melalui bangunan kraton nilai-nilai luhur yang telah tersaring dari
berbagai rekaman sejarah dan budaya secara non-verbal divisualisasi dan
disosialisasikan agar menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi
setiap generasi dalam memperjuangkan keluhuran martabat manusia. Nilai
kebudayaan yang dimiliki oleh Kraton Yogjakarta sudah sepatutnya dikenal
oleh orang banyak, baik itu secara Nasional ataupun Internasional, sehingga
akan menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang dan
mengunjungi Kraton Yogyakarta. Hal ini tentunya akan menjadi magnet
untuk bidang pariwisata di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi
Kraton Yogyakarta dalam kepariwisataan tentunya sangat tinggi, bahkan
rencananya Kraton Yogyakarta akan dijadikan BCB (Bangunan Cagar
Budaya) bertaraf Internasional, walaupun hal itu masih dalam tahap
pengajuan.
Kepariwisataan di DIY khususnya untuk wisata ke Kraton Yogyakarta
tentunya akan sangat potensial dan menguntungkan banyak pihak, baik itu
dari golongan atas seperti para pengusaha penginapan dan pengrajin, maupun
dari kalangan bawah yakni para penjual cindramata, oleh-oleh khas jogja dan
lain-lain. Apabila Kraton Yogyakarta ini dimanfaatkan secara maksimal,
misalnya dengan meningkatkan infrastruktur dan prasarana, tentunya akan
lebih banyak membuat wisatawan baik lokal maupun mancanegara tertarik
dan datang mengunjungi Kraton Yogyakarta ini. Dengan begitu, selain dapat
mempertahankan budaya Nasional, dari satu bidang kepariwisataan ini, DIY
bisa mendapatkan pendapatan lebih untuk daerahnya.
b. Profil dan Keunggulan dari Kraton Yogyakarta
1. Profil Kraton Yogyakarta
Luas Kraton Yogyakarta adalah 14.000 m2. Di dalamnya terdapat banyak
bangunan-bangunan, halaman-halaman dan lapangan-lapangan. Selain tanah
untuk bangunan Keraton Yogyakarta, seluruh tanah di Yogyakarta juga
merupakan milik Kraton, tanah yang digunakan oleh rakyat merupakan
pinjaman, tidak disewakan dan tidak boleh dijual.
Didalam Kraton selain terdapat para Abdi Dalem, tentunya juga terdapat
penghuni tetap Kraton, dalam hal ini yaitu Raja atau Sultan, Prameswari dan
juga anak-anak mereka yaitu para pangeran dan putri. Dalam sebuah kerajaan
tentunya akan ada pewarisan tahta dari seorang Raja kepada penerus
selanjutnya.
Di Keraton Yogyakarta dalam menentukan penerus kepemimpinan Raja
dilakukan secara turun-temurun. Anak yang dipilih menjadi Putra Mahkota
calon penerus Raja adalah putra tertua dari Prameswari Raja, namun apabila
Prameswari tidak memiliki putra melainkan hanya putri saja, maka boleh
dipilih putra tertua dari Selir. Tetapi, apabila dari Selir tetap tidak memiliki
putra juga, maka akan dipilih putra tertua dari adik sang Raja. Untuk menantu,
(suami dari putri Raja) walaupun memiliki putra, tetapi tidak diizinkan untuk
menjadi penerus Raja, karena yang diizinkan menjadi penerus hanyalah anak
yang berketurunan asli dari Raja (Ayahnya harus keturunan Raja). Untuk istri
Raja, dahulu calon istri raja dipilih dari golongan bangsawan dengan cara
dijodohkan, namun kini karena sudah zaman modern, Raja bebas untuk
memilih calon istri dari kalangan manapun. Contohnya adalah Sri Sultan
Hamengku Buwono X, beliau memilih istri dari kalangan biasa.
Dahulu, tempat kediaman Raja berbeda dengan keluarganya, sang raja
tinggal bersama Prameswari di Gedung Kuning (dipakai sampai Sri Sultan
HB IX), putra-putranya tinggal di Kesatrian, sedangkan putri-putrinya di
Keputren. Bagi putra mahkota yang nantinya akan menjadi pengganti Raja,
beliau ditempatkan di Gedung Pringgodani. Namun sekarang tempat
kediaman Raja sudah disatukan dengan keluarganya, yakni di Kedhaton.
Lebih jelasnya, kompleks Kraton Yogyakarta dan lingkungan sekitarnya
terdiri atas bangunan berikut :
1. Kedaton/ Gedung Prabayeksa.
Gedung Prabayeksa merupakan tempat peninggalan pusaka-pusaka
Keraton Yogyakarta. Dindingnya gebyog, kayunya berwarna sawo
matang dan lantainya marmer. Condrosengkolo berdirinya gedung ini
berbunyi "Warna sanga rasa tunggal" yang berarti tahun 1694 Jawa. Di
dalamnya terdapat lampu yang tak pernah padam yang bernama Kyai
Wiji. Praba artinya cahaya dan yeksa artinya besar, jadi merupakan
cahaya yang besar atau terang. Semua itu mengandung arti perjalanan
roh di zaman akhirat itu mengikuti jalannya cahaya sampai di sebuah
tempat yang tetap, yang terang dan langgeng. Menurut K.P.H.
Bringtodiningrat, lampu itu adalah simbol dari sinar yang tak pernah
padam. Dan menurut Dr. Th Pigeaud merupakan simbol dari Het Licht
van once geest atau dalam bahasa Indonesia berarti sinar semangat
jiwa kita.
2. Bangsal Kencana.
Bangsal ini berbentuk pendapa dilingkari emper (kaki lima) pada
keempat sisinya. Bentuk semacam ini dinamakan sinom. Lantainya
dari marmer, tiang- tiangnya kayu jati, palfonnya dihiasi ukiran-ukiran
yang sangat indah. Bangsal ini dikelilingi tratag, berlantai marmer,
berlantai besi dan beratap seng tempat ini dipakai untuk gamelan jika
ada tamu-tamu agung. Bangsal kencana adalah gambaran bersatunya
kawula gusti. Maka dari itu cendrosengkolo berdirinya tempat ini
berbunyi "Trus satunggal panditaningrat" atau tahun 1719.
3. Regol Danapratapa.
Di kanan kiri regol ini ditanami pohon dersono. Dersono berarti baik,
utama. Regol Danapratapa memberi nasihat kepada kita bahwa sebaik-
baik manusia ialah ia yang suka memberi dengan ikhlas serta suka
memberantas hawa nafsunya.
4. Regol Sri Manganti
Di halaman ini terdapat 2 bangsal, bangsal Sri Manganti di sebelah
barat dan bangsal Trajumas di sebelah timur.
5. Sri Manganti.
Berasal dari kata “Sri” artinya Raja, dan “Manganti” artinya menanti
(Sri Manganti=menanti Raja), sehingga Sri Manganti dapat
disimpulkan sebagai sebuah bangsal yang difungsikan sebagai ruang
tunggu bagi tamu kerajaan, dan dilengkapi dengan seperangkat
gamelan termasuk musisinya untuk menghibur tamu saat menunggu.
Di dalam bangsal ini juga di simpan pusaka-pusaka Keraton berupa
gamelan seperti kyai Guntur madu dan kyai Nogowilogo. Namun
sekarang Sri Manganti telah beralih fungsi menjadi tempat kesenian
yang dapat di lihat oleh setiap orang.
6. Bangsal Trajumas.
Di dalam bangsal ini disimpan bermacam-macam perlengkapan
upacara Kraton, seperti tandu jempana, plongko, Joli, meja hias dan
lain-lain. Tandu jempana adalah kendaraan massal yang diangkut oleh
20-30 orang, peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwana VII.
7. Bangsal Ponconiti.
Ponco berarti lima, symbol dari panca indera kita. Niti berarti
menyelidiki, memeriksa. Di sinilah Sultan mulai meneliti panca
inderanya, mempersatukan pikirannya untuk sujud kepada-Nya,
menjunjung tinggi perintah-Nya. Karena itulah di kanan kiri pohon ini
ditanami pohon tanjung.
8. Bangsal Brajanala.
Terdapat sebuah tembok dari batu bata disebut "renteng mentog
baturana" Braja berarti senjata, nala berarti hati, renteng berarti susah
atau khawatir dan baturana berarti batu pemisah. Semuanya
mempunyai arti "ta usahlah Tuan khawatir kalau menjadi alat Tuhan
YME untuk menjalankan hukum Negara yang adil"
9. Sitihinggil.
Ada sebuah tratag atau tempat beristirahat dari anyaman bambu.
Kanan kiri ditumbuhi pohon gayam dengan daun-daunnya yang
rindang serta bunga- bunganya yang harum wangi. Menggambarkan
muda-mudi yang sedang dirindu cinta asmara. Di tengah-tengah
dahulu ada selo-gilangnya, tempat singgasana Sri Sultan.
Menggambarkan pemuda-pemudi duduk bersanding di kursi temanten.
10. Tarub Agung.
Bangunan ini terdiri dari 4 tiang tinggi dari besi dan mempunyai
bentuk 4 persegi. Arti bangunan ini ialah "siapa yang sedang atau
gemar bersemesi, sujud kepada Tuhan YME. Selalu berada dalam
keagungan. Tempat ini juga merupakan tempat pembesar-pembesar
menunggu rombongan untuk bersama-sama masuk ke Keraton.
11. Alun-alun Utara.
Merupakan satu bagian dari kompleks Keraton yang sangat penting.
Sebab, di sinilah raja dapat berhubungan langsung dengan rakyat,
seperti dalam latihan watangan (tournoi), rompongan macan, grebeg,
maleman sekaten dan lain- lain.
12. Bangsal Kemagangan.
Di tempat ini ada sebuah jalan ke barat menuju dapur Kraton Gebulen
dan jalan lain menuju ke timur ke dapur Kraton Sekullanggen.
13. Bangsal Kemandungan.
Bangsal ini bekas pesanggrahan Sri Sultan Hamengkubuwana I di desa
Pandak Karangnangka waktu perang Giyanti (1746-1755 ) M. pohon
yang ditanam di sini ialah pohon kepel yang menggambarkan
bersatunya kemauan, bersatuan benih, bersatunya rasa dan cita-cia.
Pohon pelem menggambarkan kemauan bersama. Pohon darsono
menggambarkan cinta kasih satu sama lain.
14. Regol Kemagangan.
Magang berarti calon. Di halaman ini dulu prajurit diuji
ketangkasannya dalam mempergunakan tombak, dihadiri oleh
pangeran-pengeran dan kerabat lainnya. Regol ini dihiasi dengan
cendrosengkolo "dwi naga rasa tunggal yaitu tahun 1682.
15. Krapyak.
Krapyak adalah sebuah podium tinggi dari batu bata untuk Sri Sultan
kalau baginda sedang memperhatikan tentara atau kerabatnya
memperlihatkan ketangkasannya mengepung, memburu dan mengejar
rusa. Krapyak adalah gambaran dari tempat asal roh-roh.
16. Masjid Besar.
Masjid ini berbentuk pendopo tertutup dengan serambi terbuka di
mukanya. Atapnya bertingkat, tiang-tiang masjid terdiri atas batang
kayu jati bulat-bulat, menjulang ke atas menahan kedua atap masjid.
Konstruksi dan arsiteknya orang jawa asli.
17. Bangsal Pangapit atau Bangsal Pasewakan.
Di tempat ini panglima-panglima perang menerima perintah perang
dari Sri Sultan atau menunggu giliran untuk melaporkan sesuatu.
Kemudian dipakai untuk caos (tempat jaga) para bupati Anom Jaba.
Sekarang dipakai untuk keperluan kepariwisataan.
18. Bangsal Pemandengan.
Bangsal ini dapat disamakan dengan pundak yang menyokong badan
Sri Sultan. Atapnya abdi dalem Kori yang bertugas menyampaikan
permintaan rakyat kepada Sri Sultan.
19. Bangsal Pacikeran.
Tempat ini merupakan tempat jaga pegawai-pegawai Keraton yang
tugasnya melaksanakan keputusan-keputusan hakim, yaitu abdi dalem
Singonegoro dan Mertolutut (algojo-algojo Keraton).
20. Bangsal Manguntur Tangkil.
Adalah sebuah bangsal kecil yang terletak di tratag Siti Inggil. Jadi
merupakan bangsal dalam bangsal. Ini berarti dalam badan kita ada
roh atau jiwa. Maguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi untuk
anangkil, yaitu untuk menghadap Tuhan YME dengan cara hening
cipta atau semedi.
21. Bangsal Wilono.
Merupakan tempat pusaka-pusaka Keraton saat upacara grebeg. Di
lantai
tengah bangsal ini bertuliskan cendrosengkolo "Tiranta puratining
madya wilono" yang berarti tahun 1855 dan suryosengkolo"Linungit
kembar gatraning ron" yang berarti tahun 1925.
22. Gedung Kuning.
Gedung ini berwarna kuning. Merupakan gambaran tempat roh-roh
yang telah hening, bening, murni, yaitu surga langgeng. Dipakai untuk
tempat tinggal pribadi Sri Sultan Hamengkubuwana I sampai X.
23. Gedung Purwaretna.
Gedung ini bertingkat tiga, gambaran dari baitul makmur, baitul
muharram, dan baitul muhaddas. Jendela ada 4, menggambarkan 4
kiblat atau 4 angka ketauhidan, yaitu syariat, tarikat, hakikat dan
makrifat. Merupakan kantor sekretaris pribadi Sri Sultan.
24. Gedung Patehan.
Sebuah gedung untuk mempersiapkan teh bagi tamu-tamu.
25. Gedung Baya.
Merupakan tempat untuk menyimpan minuman dan alat makan. Ada 2
buah gedung untuk menyimpan gamelan, gamelan slendro (selatan)
dan gamelan pelog (utara).
26. Gedung Pringgodani.
Dipakai untuk menyimpan lukisan-lukisan Raden Saleh dan beberapa
potret tentang perkawinan putra-putri Sultan. Dulu dijadikan kediaman
Putra Mahkota.
27. Gedung Pemerintah Agung Keraton.
Yang digunakan untuk mengatur administrasi Keraton.
28. Banjar Wilopo.
29. Gedung Siliran.
Merupakan tempat penyimpanan lampu.
30. Gedung Kas Keraton
31. Bangsal Kotak.
Sebagai ruang tunggu Kenari.
32. Pagelaran.
33. Pasar (Beringharja).
Merupakan tempat melakukan transaksi jual beli masyarakat lokal.
34. Kepatihan.
35. Tugu.
Merupakan symbol dari tempat Alif Mutakalliman Wahid, badan Ilafi,
bersatunya kawula dan gusti, bersatunya hamba dengan Tuhannya,
suatu suasana dalam cita rasa yang memberi keyakinan bahwa segala
sesuatu dapat terjadi karena izin dari Yang Kuasa.
36. Regol Gedung Mlati.
37. Regol Kemandungan.
38. Alun-alun Selatan.
39. Bale Bang.
Dahulu digunakan untuk menyimpan Gamelan Sekati.
40. Bangsal Mandalasana.
Merupakan tempat musik.
c. Pengantar Kegiatan Mubeng Beteng
Setiap malam pergantian malam tahun baru Hijriah atau 1 Muharam
atau di wilayah Yogyakarta/Jawa dikenal dengan 1 suro, maka ada sebuah
tradisi yang bisa disebut unik untuk masa sekarang ini, yakni berjalan
dimalam hari mengelilingi wilayah Keraton Yogyakarta. Yang dinamakan
wilayah keraton disini ialah benteng luar, jadi mengeliling dan melintasi
benteng yang ada di empat penjuru, pojok beteng Utara-Barat, Pojok beteng
Kulon/Barat, Pojok beteng Wetan/Timur dan Pojok Beteng Utara-Timur.
maka tersebutlah yang dinamakan “Mubeng Beteng” atau keliling beteng.
Tradisi “Mubeng Beteng” merupakan hal yang telah berlangsung lama, turun-
temurun dari generasi ke generasi, bisa jadi telah berlangsung semenjak
berdirinya Keraton Ngayogyakarta. Dan ini juga bukan jalan biasa, melainkan
sebuah ritual berjalan tanpa berbicara. Maka disebutlah acraa ini dengan
kalimat “Prosesi Lampah Budaya Topo Bisu Mubeng Benteng” dan
dilaksanakan pada malam hari.
Berikut ketua panitia pelaksanaan Mubeng Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, DIY :
1. KRT. Gondo Hadiningrat
2. KRT. Wijoyo Pamungkas
3. KRT. Projo Suwasono
Secara singkat berikut proses tahapan kegiatan Mubeng Beteng,
Prosesi dimulai dengan acara kenduri pada pukul 21.00, kemudian dilanjutkan
dengan pembacaan doa, di Bangsal Pancaniti. Lagu Macapat Dhandanggula,
Kinanthi, dan Sinom selanjutnya disenandungkan. Diakhiri dengan sambutan-
sambutan oleh panitia dan Dinas Kebudayaan DIY. Para peserta topo bisu
mubeng beteng akan berjalan dari alun-alun utara melalui jalan kauman, Jalan
Wahid Hasyim, Pojok Beteng Kulon, Gading, Pojok Beteng Wetan, melalui
Jalan Brigjen Katamso, menyusuri Jalan Ibu Ruswo, Jalan Pekapalan dan
berakhir di Keben.
d. Sejarah Mubeng Beteng(Tapa Bisu)
Pada awalnya tapa bisu Mubeng Beteng adalah tradisi asli Jawa yang
berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi asli Jawa ini
disebut muser atau munjer yang artinya mengelilingi pusat. Semula yang
dimaksud adalah pusat wilayah desa. Ketika pedesaan berkembang menjadi
kerajaan, muser menjadi tradisi mengelilingi pusat kerajaan.
"Sumber sejarah lain menyebutkan Mubeng Beteng merupakan tradisi
Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram membangun benteng
mengelilingi keraton yang selesai pada 1 Suro 1580," kata kerabat Keraton
Ngayogkarta Hadiningrat, KRT Gunokadiningrat
Berbagai sumber sejarah lainnya pun ada pula yang mengatakan
bahwa tradisi ‘mubeng beteng’ merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai
pada era Kerajaan Mataram Islam (Kotagede), dimana pihak kerajaan
membangun benteng yang mengelilingi Keraton dan selesai pada tanggal 1
Suro 1580. Setelah dibangunnya benteng-benteng tersebut, para prajurit
keraton mengelilingi benteng untuk menjaga wilayah keraton dari ancaman
musuh yaitu kerajaan Pajang. Di tengah perseteruan tersebut, pihak keraton
pun membangun parit di sekeliling benteng, dan tugas keliling akhirnya
dialihkan kepada para abdi dalem Keraton. Pada akhirnya, agar tidak terkesan
seperti halnya militer, para abdi dalem itulah yang menjalankan tugasnya
dengan membisu sambil membaca doa-doa dalam hati sebagai keselamatan
seperti halnya topo bisu dalam tradisi ‘mubeng beteng’ saat ini.
e. Prosesi Mubeng Beteng
Prosesi ini dimulai dengan Sekitar pukul 21.00 WIB, masyarakat dari
DIY maupun Jawa Tengah mulai berdatangan ke Bangsal Pancaniti, Keben
Keraton Yogyakarta. Mereka datang dan duduk bersila mendengarkan para
Abdi Dalem melantunkan tembang Macapat yang berisi doa-doa. Kemudian
Pukul 22.00 WIB para adbi dalem memberikan nasi dan teh yang berarti
berkah dan anugrah rejeki yang harus disyukuri, dengan di iringi Macapat
yang berisi doa – doa para peserta menikmati makanan dan minuman yang
telah diberikan oleh para abdi dalem. Kemudian dilanjutkan sambutan –
sambutan dari Kepanitiaan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY.
Pukul 23.00 WIB persiapan mubeng beteng akan dilakukan, Para
Brogodo ( Polisi Keamanan Keraton ) mulai membetuk barisan dan kawalan
kegiatan Mubeng Beteng ini. Para abdi dalem membawa bendera dari masing
– masing paguyubannya dan di pimpin oleh bendera sang Merah Putih sebagai
bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian para abdi dalem
memberikan sebuah bunga yang harum dan padat untuk di genggam dan
dijadikan alat berdzikir saat prosesi mubeng beteng dilakukan. Pukul 23.30
WIB para abdi dalem dan peserta membuat barisan secara berturutan dan
mempersiapan keberangkatan. Tepat pukul 00.00 setelah bunyi lonceng Kyai
Brajanala berdenting sebanyak 12 kali yang terletak di Regol Kaben sebagai
tanda pergantian hari, prosesi mubeng beteng dimulai, para peserta topo bisu
mubeng beteng akan berjalan dari alun-alun utara melalui jalan kauman, Jalan
Wahid Hasyim, Pojok Beteng Kulon, Gading, Pojok Beteng Wetan, melalui
Jalan Brigjen Katamso, menyusuri Jalan Ibu Ruswo, Jalan Pekapalan dan
berakhir di Keben. Kegiatan ini berakhir sekitar pukul 01.30 ketika para
peserta mubeng beteng tiba di finish yaitu Keben.
f. Keunikan Mubeng Beteng pada tahun 1437 H
Ada satu pemandangan menarik yang belum pernah terjadi
sebelumnya di serangkaian prosesi lampah bisu mubeng beteng tahun 1437 H.
GBPH Prabukusumo memanggil dua abdi dalem kaprajan yakni KRT
Gondohadiningrat dan KRT Condropurnomo yang sama-sama mengklaim diri
sebagai panitia ritual tersebut. Usai memberikan prakata sebelum prosesi
pemberangkatan peserta, Prabu berinisiatif memanggil kedua abdi dalem
tersebut untuk duduk saling bertatapan. Tanpa banyak berkata, sembari
tersemyum Prabu yang juga adik Sultan tersebut memerintahkan kedua abdi
dalemnya untuk bersalaman.
"Mriki lenggah wonten ing ngajengan. Sampun sakniki salaman KRT
Gondo lan KRT Condro mangga. (Sekarang mari duduk di depan. Sudah
sekarang bersalaman)," ucap Prabu.
Kedua abdi dalem tersebut langsung bersalaman dihadapan
masyarakat yang memang telah berkerumun di kedua sisi Bangsal Ponconiti.
Sontak, tepukan tangan langsung membahana ditengah suasana yang
sebelumnya terasa begitu khusuk lantaran tembang-tembang Macapat
diperdengarkan. "Jadi abdi dalem itu harus rukun semua, tak boleh ada yang
berselisih. Rukun dan 'nyengkuyung' bukan malah memperlihatkan
ketidakharmonisan," imbuh Prabu.
g. Makna dari Kegiatan Mubeng Beteng
Menurut KRT Gondo Hadiningrat, adalah prosesi yang dimaknai
sebagai bentuk perenungan diri berupa tirakat atau lelaku sekaligus berdoa
untuk Yogyakarta maupun Indonesia ke depan yang lebih baik. "Dimaknai
sebagai instropeksi diri dan berdoa, baik diri sendiri maupun untuk sesama,
Yogyakarta dan Indonesia. Jadi arti luasnya dari Yogyakarta untuk NKRI,"
Sebagai bentuk perenungan dan introspeksi diri, selama tirakat atau lelaku
mengelilingi benteng, masyarakat dilarang berbicara, minum, ataupun
merokok. Perjalanan berlangsung dalam keheningan total sebagai simbol
keprihatinan sekaligus evaluasi terhadap segala perilaku dan perbuatan selama
setahun terakhir.
Makna lain tentang mubeng beteng ini yaitu untuk perenungan diri,
berintropeksi serta refleksi terhadap apa saja yang telah diperbuat selama satu
tahun agar siap menghadapi tahun yang akan datang. Dalam perenungan ini,
masyarakat diharapkan dapat menghilangkan perbuatan serta sikap yang
negatif, sementara sikap dan perbuatan yang positif terus dipertahankan untuk
kehidupan yang lebih baik. Selama menjalani ritual tersebut, masyarakat
mengucap syukur serta memanjatkan doa permohonan untuk perlindungan,
keselamatan (dijauhkan dari hal-hal yang buruk), kesejahteraan dirinya,
keluarga, bangsa dan negara kepada Tuhan. Mubeng benteng ini hanyalah
sarana agar semakin memahami dan menyadari bahawa kehidupan ini sudah
ada yang mengatur, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
2. Tradisi Tahlilan / Selametan Kampung di Kepala Desa Mayang, Kecamatan
Mayang, Kab. Jember.
a. Profil Kabupaten Jember
Kabupaten Jember secara geografis terletak dengan lokasi koordinat
7º59’6” – 8º33’56” Lintang Selatan dan 6º27’9”-7º14’33” Bujur Timur.
Wilayah Kabupaten Jember di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Banyuwangi sedangkan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Lumajang dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.
Luas wilayah Kabupaten Jember 3.293,34 Km2 yang terbagi menjadi tiga
puluh satu kecamatan dan Jember menjadi ibukotanya.
Dataran wilayah Kota Jember banyak dibentuk oleh jenis tanah litosol
dan regosol coklat kekuningan. Kondisi ini sangat menentukan tingkat
kesuburan dan kedalaman efektif tanah, dimana tingkat kesuburan tersebut
adalah berkisar di atas 90 cm. Iklim di Kota Jember adalah iklim tropis.
Angka temperatur berkisar antara 23ºC – 31ºC, dengan musim kemarau
terjadi pada bulan Mei sampai bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada
bulan September sampai bulan Januari. Sedangkan curah hujan cukup banyak,
yakni berkisar antara 1.969 mm sampai 3.394 mm.
Mayoritas penduduk Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan
Suku Madura, dan sebagian besar beragama Islam. Selain itu terdapat warga
Tionghoa dan Suku Osing. Suku Madura dominan di Jember bagian Utara dan
merupakan mayoritas di sejumlah tempat. Bahasa Jawa dan Madura
digunakan di banyak tempat, sehingga umum bagi masyarakat di Jember
menguasai dua bahasa daerah tersebut dan juga saling pengaruh tersebut
memunculkan beberapa ungkapan khas Jember.
Kabupaten Jember mempunyai potensi besar untuk berkembang
menjadi kota raya. Tanahnya yang subur menjadikan kota di belahan timur
Jawa Timur ini dikenal sebagai daerah agraris dan penghasil berbagai
komoditas pertanian (padi, jagung, kedelai), hortikultura dan perkebunan.
Dari segi topografi, sebagian Kabupaten Jember di wilayah selatan merupakan
dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman padi dan
tanaman pangan lainnya. Kabupaten Jember merupakan daerah subur untuk
kegiatan pertanian dan perkebunan. Karena itu wajar, kalau setiap tahun
Kabupaten Jember mengalami surplus beras hingga mencapai 200 ribu ton.
Untuk masa mendatang Jember mencoba untuk mengembangkan tanaman
impor, seperti Buah Naga Merah (Dragon Fruit) dan Cabe Jepang (Bullnose
Pepper).
Produksi unggulan perkebunan andalan Jember yakni komoditi
tembakau. Penggemar cerutu alias aficionado tahu persis bahwa cerutu buatan
Kuba, Amerika, Swiss, dan jerman mahal dan berkelas. Kabupaten Jember
lewat tembakau Besuki merupakan salah satu pemasok cerutu tersebut.
Tembakau Besuki ini dimanfaatkan terutama untuk pembalut cerutu
(deklabad) selain sebagai bahan pengikat (Binder) serta pengisi (filler) aroma
cerutu yang berkualitas tersebut.
b. Pengantar Tradisi Selametan
Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang
Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman wali songo yang sampai
sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan ada
sebagian orang masih mempercayai bahwa tradisi semacam ini dapat
membawa keberuntungan tersendiri bagi yang menyelenggarakannya.
Keberuntungan ini bisa berupa ketenangan hati bagi yang berhajat,
berlimpahnya rezeki serta menambah rasa kebersamaan antar sesama dan
bahkan mampu menambah dekat kepada Sang Pencipta selaku pemberi rezeki.
Namun apabila kita mau jujur, asal usul tradisi ini sebenarnya berasal
dari kebudayaan Hindu-Budha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif pada
wali songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum
ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-
makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu
kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang
dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat
semacam sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap
keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar. Melihat kenyataan tersebut,
selain menyebar dakwah Islam, para wali songo juga bertekad ingin merubah
kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa tahayyul untuk kemudian
diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan realistik.
Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang
cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang
unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam
akan cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-
mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan.
Mengenai keabsahan tahlilan dan sunnah diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Tradisi tahlilan memang belum ada pada masa Rasul, tetapi
bacaan di dalam tahlilan, Rasul dan para sahabat telah mencontohkannya.
Secara dzahir saja isi daripada tahlilan tersebut sangat baik karena berisi
bacaan-bacaan kalimah thayyibah dan surat-surat dari al-Quran yang sudah
terkenal fadhilah dan keutamaannya, misalnya surah al-Fatihah. Diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas dalam kitab Shahih Muslim:
سورة وخواتيم الكتاب فاتحة قبلك نبى يؤتهما لم أوتيتهما بنورين أبشر
) مسلم ) صحيح أعطيته إلا منهما بحرف تقرأ لن البقرة
Artinya:
Bergembiralah engkau (Muhammad Saw) dengan dua cahaya yang diberikan
kepadamu dan belum pernah diterima oleh nabi sebelummu yakni surat al-Fatihah
dan beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf
dari keduanya kecuali engkau akan diberi imbalannya. (H.R. Shahih Muslim)
Selain dari surat Al Fatihah, masih banyak lagi surat-surat dalam
bacaan tahlil yang terkenal akan fadhilah dan keutamaan surat tersebut, seperti
surat al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nass dan juga surat Yasin.
1. Sejarah Tahlilan Hingga Populer di Zaman Sekarang
Sebenarnya tradisi bacaan Tahlil atau tahlilan sebagaimana yang
dilakukan kaum muslimin sekarang ini, tidak di jumpai secara khusus pada
zaman nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai
ada sejak zaman ulama muta’akhirin (khalaf) sekitar abad ke-11 hijriyah yang
mereka lakukan berdasarkan istinbath dari Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW,
lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin
dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.
Pendapat pertama bahwa yang pertama kali menyusun tahlil adalah
Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan
bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi
Al Haddad. Dari kedua pendapat di atas pendapat yang paling Rajih (kuat)
tentang siapa penyusun pertama rangkaian bacaan tahlil adalah Sayyid
Abdullah bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa
Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada
Sayyid Ja’far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H. Statemen tersebut
diperkuat lagi oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah
bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa konon kebiasaan
imam Abdullah Al Haddad stelah membaca Ratib adalah membaca tahlil dan
para jamaah yang hadir dalam majlis Al-Haddad ikut membaca tahlil secara
bersama-sama, tidak ada yang saling mendahului di antara mereka sampai
beratus-ratus kali.
2. Tahlilan Pelaksanaannya
Kata “Tahlilan” berasal dari kata “tahlil” yang dalam bahasa Arab
bermakna mengucapkan kalimat thayyibah “Laa ilaaha illallah”, yang berarti
tiada Tuhan selain Allah swt. Makna tahlil kemudian berkembang menjadi
serangkaian bacaan yang terdiri dari kumpulan dzikir seperti tasbih, tahmid,
shalawat, takbir, tahlil dan beberapa bacaan dzikir yang lain, serta ayat-ayat
Al-Qur’an dan doa. Oleh karena bacaan tahlil lebih dikenal dan lebih dominan
daripada yang lainnya, maka kata tahlil terpilih menjadi nama serangkaian
bacaan tersebut. Dengan demikian, rangkaian bacaan inilah yang
menimbulkan istilah tahlilan, yang berarti kegiatan berkumpulnya orang-
orang di suatu tempat untuk membaca tahlil.
Tradisi tahlilan ini diadakan oleh sebagian besar masyarakat agar
orang yang sudah meninggal diterima amalnya di sisi Allah dan mendapat
ampunan atas dosanya yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Hal ini
berdasarkan firman Allah.
Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka
berkata, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS.
Al-Hasyr: 10)
Tahlilan memiliki beberapa tujuan yang manfaatnya tidak hanya
dirasakan bagi keluarga yang melaksanakan saja, namun juga dapat dirasakan
oleh para undangan yang menghadirinya. Di antara tujuan tahlilan bagi para
undangan yang hadir dalam acara ini adalah:
1. Menghibur keluarga almarhum/almarhumah
2. Mengurangi beban keluarga almarhum/almarhumah
3. Mengajak keluarga almarhum/almarhumah agar senantiasa
bersabar atas musibah yang telah dihadapinya.
Adapun tujuan tahlilan bagi keluarga almarhum/almarhumah adalah:
1. Dapat menyambung dan mempererat tali silaturahmi antara para
undangan dengan keluarga almarhum/almarhumah.
2. Meminta maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat oleh
almarhum / almarhumah semasa hidupnya kepada para undangan.
3. Sebagai sarana penyelesaian terhadap hak-hak dan kewajiban-
kewajiban almarhum / almarhumah terhadap orang-orang yang
masih hidup.
4. Melakukan amal shaleh dan mengajak beramal shaleh dengan
bersilaturahmi, membaca doa dan ayat-ayat al-Qur’an, berdzikir,
dan bersedekah.
5. Berdoa kepada Allah agar segala dosa-dosa
almarhum/almarhumah diampuni, dihindarkan dari siksa neraka
dan diberikan tempat terbaik di sisi Allah.
6. Untuk mengingat akan kematian bagi para undangan dan keluarga
almarhum serta dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Tahlilan sudah merupakan tradisi yang sudah dilakoni oleh sebagian
masyarakat secara turun-temurun semenjak masuknya Islam di Jawa dan
Madura hingga sekarang ini untuk memperingati waktu kematian seseorang.
Tradisi ini diselenggarakan secara berurutan, yaitu mulai malam ketujuh,
keempat puluh, keseratus, pendak pisan (satu tahun), pendak pindho (dua
tahun) hingga keseribu hari dari wafatnya seseorang. Setelah itu, tahlilan
dilaksanakan secara periodik setiap tahun pada tanggal dan bulan kematiannya
yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah kenduri atau slametan
dalam rangka kirim doa, atau juga sering disebut dengan istilah “haul”.
Setelah acara selesai, biasanya yang mempunyai hajat (dalam hal ini
adalah tuan rumah atau ahli warisnya) menghidangkan makanan dan minuman
kepada para undangan tahlil, bahkan sebelum pulang pun juga diberi berkat
(makanan/jajanan yang dibungkus untuk dibawa pulang) dengan maksud
bersedekah. Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan diadakannya
tahlilan ialah mengirim doa dan pahala yang diperuntukkan bagi si mayit
melalui serangkaian bacaan tahlil dan diteruskan dengan doa agar amal
seseorang yang ditahlili (si mayit) diterima dan dosa-dosanya diampuni oleh
Allah swt.
Maksud pahala disini bukan hanya berarti balasan dari Allah terhadap
seseorang atas ketaatannya menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, namun makna pahala dalam acara tahlilan ini ialah
kenyamanan dan kenikmatan atas Rahmat dan Maghfirah Allah swt yang
dirasakan seseorang baik diperoleh dari amal salehnya selama hidup di dunia
maupun atas pemberian hadiah dari orang lain melalui mengirimkan pahala
kepada seseorang yang dituju. Sehingga menghadiahkan pahala dimaksudkan
untuk menjadikan ganjaran dari sebuah amal agar dapat dinikmati oleh orang
lain yang dituju dan juga dapat dinikmati oleh orang yang membaca itu
sendiri.
Dalam pelaksanaannya Tahlilan antar Jawa dan Madura memiliki
perbedaan yang menarik berikut penjelasannya :
1. Tahlil versi Jawa
- Sebelum tahlil dimulai masyarakat / undangan
berkumpul dan berbicara sambil bersalaman kepada
sesama undangan.
- Acara dimulai dengan pembacaan Surat al – Fatiha
dilanjutkan pembacaan Surat Yasin dan Dzikiran
kemudian ditutup dengan Do’a.
- Setelah pembacaan do’a dilanjutkan menikmati
hidangan dari tuan rumah dan mendapat berkatan.
- Setelah acara selesai para undangan pulang sambil
bersalaman pada tuan rumah.
2. Tahlil versi Madura
- Sebelum acara tahlil dimulai Pagi – Sore hataman Al –
Quran, kemudian do’a hataman.
- Malamnya sambil menunggu undangan datang,
seseorang mengaji membacakan surat al – ikhlas
sampai acara mau dimulai.
- Kemudian acara tahlil dimulai dengan pembaan Surat
Al – Fatiha dilanjutkan pembacaan Surat Yasin,
kemudian dilanjutkan pembacaan Tahlil yang
didalamnya diiring Burdah ( Tahlil Kuno), kemudian
ditutup do’a.
- Setelah pembacaan do’a dilanjutkan menikmati
hidangan dari tuan rumah dan mendapat berkatan.
- Setelah acara selesai para undangan pulang sambil
bersalaman pada tuan rumah.
- Untuk dimadura, biasanya para undangan ada yang
menemani tuan rumah untuk tidak tidur sambil
berkumpul dan bercerita agar sang tuan rumah senang.
-
3. Kegiatan Keboan Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi Kab. Banyuwangi.
a. Profil Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi secara geografis terletak antara 113 53 - 114
38 Bujur timur dan 7 43 - 8 46 Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten
Banyuwangi di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo,
sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali sedangkan sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Jember dan sebelah selatan berbatasan dengan
Samudra Hindia. Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi 5.782,50 Km2 yang
terbagi menjadi dua puluh satu kecamatan.
Kabupaten Banyuwangi merupakan sentra penghasil ikan laut.
Produksi perikanan dari perairan umum di kabupaten ini berjumlah 195.699
ton, sekurangnya 22 persen berasal dari Kecamatan Muncar. Laporan statistik
perikanan dan kelautan provinsi Jatim menunjukkan sekitar 150 ton ikan laut
di pasarkan ke ibukota negara, jakarta.
Di sektor pertanian, padi merupakan bahan pangan andalan, tidak kurang dari
682.000 ton padi dihasilkan dari luas panen padi sawah yang mencapai
118.577 hektar. Beras yang dihasilkan adalah jenis IR-64 beraroma wangi
yang merupakan salah satu andalan kegiatan perdagangan Banyuwangi.
Di sektor peternakan, ternak yang menjadi andalan adalah sapi potong.
Banyuwangi rata-rata memberikan kontribusi sebesar 13.000 ekor per tahun
dengan kenaikan sebanyak sepuluh persen. Lahan untuk pangan ternak seperti
rumput raja, rumput gajah, dan rumput sateria seluas 302,45 hektar dinilai
mencukupi untuk mendukung kegiatan beternak sapi.
Sedangkan untuk sektor perkebunan, komoditas unggulannya adalah
kakao, kopi, karet, tebu glondong, gula merah, dan kopra. Sektor perdagangan
tidak hanya mengandalkan penjualan produk pertanian saja. Produk hasil
olahan industri besar, sedang dan kecil serta kerajinan rumah tangga seperti
anyaman bambu dan batik uling, batik khas Banyuwangi.
Penunjang kegiatan perdagangan kabupaten ini antara lain pelabuhan
tanjung wangi dan pelabuhan ketapang. Keberadaan kedua pelabuhan ini
dapat menunjang kegiatan ekonomi di Banyuwangi, terutama untuk
mengembangkan sektor pariwisata.
b. Pengantar KeboanUpacara adat yang berkaitan erat dengan sistem religi merupakan salah
satu wujud kebudayaan yang paling sulit dirubah dan digantikan salah satunya
Adat " Kebo -Keboan".merupakan ragam Seni Budaya Tradisi Banyuwangi
yang masih terjaga dan dilestarikan hingga sekarang. acara Adat yang
dilaksanakan setiap satu tahun sekali tepatnya bulan Muharam atau Suro
(penanggalan Jawa) yang jatuh pada hari minggu,(minggu pertama dan ke
dua) diyakini memiliki kekuatan Magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad
ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa
Aliyan, Kecamatan Rogojampi, dan Desa Alas Malang, Kecamatan
Singojuruh. Ritual Kebo-Keboan dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur
masyarakat Desa setempat atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai
upacara bersih desa, agar seluruh warganya diberi keselamatan.
Yang di Desa Aliyan itu namanya Keboan, bukan Kebo-keboan.
"Masyarakat desa yang menjadi `manusia kerbau` di desa Aliyan tidak
ditentukan oleh pemuka adat desa setempat. Melainkan arwah leluhur yang
memilih siapa saja yang menjadi Keboan. Sedangkan di desa Alasmalang,
pemeran Kebo-keboan dipilih oleh pemuka adat," kata Budiono.
Meski namanya Keboan, ritual ini tidak menggunakan hewan kerbau
sebagai sarana upacara. Kerbau yang digunakan adalah binatang jadi-jadian
berupa manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di
sawah.
Hampir semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur.
Semalam sebelum tampil, orang-orang yang menjadi pemeran kerbau bisa
kesurupan roh leluhur. "Perangai orang yang kesurupan mirip kerbau. Hampir
semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur. Jumlah Keboan
desa Aliyan tidak tentu. "Kadang banyak yang jadi `keboan` tahun ini, tahun
berikutnya bisa jadi jumlahnya menyusut," Menurut Kepala Desa Aliyan
c. Sejarah Keboan di Aliyan Rogojampi
Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-
keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Aliyan, Kecamatan
Rogojampi, dan Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh. Ritual Kebo-
Keboan dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Desa
setempat atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih
desa, agar seluruh warganya diberi keselamatan.
Munculnya ritual Kebo – Keboan di Desa Aliyan berawal terjadinya
musibah wabah penyakit Pagebluk. kala itu, seluruh warga diserang penyakit.
hama juga menyerang tanaman Padi dan Polowijo.karena parahnya Dukuh
Karang Mukti mengalami Paceklik(gagal panen). sehingga bayak orang
terutama Anak-anak terkena penyakit Busung Lapar akhirnya banyak warga
kelaparan dan mati. Ki Buyut Wongso Kenongo sebagai sesepuh Desa kala itu
mengajak kedua anaknya Den Pekik dan Den Priggo, untuk melakukan
sesuatu buat warga yang sangat memprihatinkan.akhirnya keduanya
melakukan Pertapaanya.
Selang beberapa minggu setelah Bertapa ,rumah Ki B/uyut Wongso
Kenongo di datangi orang Gila.yang pada akhirya orang gila tersebut
mengajak dan menunjukan Pertapaanya kedua Anaknya tersebut dengan
tempat yang berbeda Wilayah,wilayah Barat Den Pringgo dan Timur Den
Pekik,.dan pada malam harinya orang gila memerintahkan warga untuk
menghias halaman rumah Ki Buyut Wongso Kenongo dengan Janur
Kuning,empat ikat Padi, anak Pisang,dan bibit kelapa, sedangkan Ki Buyut
membentangkan Kain Sarungnya di halaman rumahnya.malam harinya Ki
Buyut mengajak warganya untuk Tirakatan dan Pagi harinya mengadakan
Selamatan " Tumpeng Songo"(gelar sepapan).
Tidak berapa lama warga di kejutkan adanya dua orang yang tubuhnya
penuh lumpur berlari -lari di tengah perkampungan seperti kesurupan .setelah
mungkin mersa bingung akhirnya kedua orang tersebut menjatuhkan dirinya
di kaki Ki Buyut dan di kaki orang gila.selanjutnya kedua orang tersebut di
pasangi seperti kerbau dan di bawa keliling kampung dan sampai di rumah Ki
Buyut langsung di pakai membajak lalu orang gila mengambil semua padi di
pojok halaman dan di sebarkan seperti orang. Ngurit dan kedua orang tersebut
bergulung di lumpur dan mengambil padinya.dan Ki Buyut membagikan
kepada warganya untuk di pakai Bibit.setelah di sadarkan dan mandikan
kedua orang tersebut tenyata Den Pekik dan Den Pringgo.
Warga beda keturunan itu hingga sekarang tidak bisa akur dalam
segala hal. Oleh karena itu, setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, "keboan"
asal Sukodono bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir
ke makam Den Pringgo.
Sementara "keboan" asal Aliyan bergerak ke Aliyan Krajan, Timurjo,
dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam Den Pekik. Dalam ritual
ini, warga yang kerasukan roh leluhur desa bertindak seperti kerbau.
Menyeruduk warga yang melihat. Kemudian mereka satu per satu
mencemplungkan diri di dua kubangan lumpur dekat balai desa. Tak pelak,
rambut dan celana pendek mereka menjadi basah. Setiap manusia yang
"dipilih" leluhur menjadi "keboan" tidak bisa mengelak. Sekali roh nenek
moyang merasuki tubuh seorang warga desa, maka segala tindak-tanduk orang
tersebut seperti kerbau.
Manusia yang menjadi "keboan" bergerak ke sana ke mari tanpa kenal
lelah. Ada warga yang mengikuti pergerakan "keboan". Bila lelaki dewasa
yang menjadi "keboan" maka pengiringnya adalah lelaki dewasa. Sebaliknya,
bila yang menjadi "keboan" lelaki remaja, pengiringnya berusia sebaya.
Pengiring tidak bisa memaksa "keboan" untuk bergerak ke mana-mana. Hanya
sebatas mengarahkan. Bahkan waktu acara ritual tolak bala kapan dibuka
terserah kemauan leluhur.
Mereka terlihat saling melempar air selokan menggunakan timba.
Tidak boleh marah bila terkena siraman air. Bila terkena, dipersilakan untuk
mengambil air dari selokan, kemudian air itu disiramkan ke arah kerumunan
orang. Begitu juga bila warga ada yang ditarik oleh "keboan" ke dalam
kubangan lumpur, juga tidak boleh marah. Semua warga membaur, saling
siram air selokan, dan ada yang "dibanting" manusia "keboan" ke dalam
kubangan lumpur. Lokasi dan ukuran kubangan lumpur ini ditentukan
’leluhur’.
Warga desa Aliyan menganggap benih padi yang dicuri bila ditanam
di sawah, diyakini dapat membawa panen yang melimpah dan dijauhi hama.
Benih padi itulah yang diarak keliling desa menggunakan becak hias sebagai
bagian dari ritual tolak bala di Desa Aliyan, Banyuwangi.
d. Pelaksanaan Keboan Aliyan
Ritual keboan ini diawali dengan kenduri desa yang digelar sehari
sebelumnya. Warga bergotong royong mendirikan sejumlah gapura dari janur
yang digantungi hasil bumi di sepanjang jalan desa sebagai perlambang
kesuburan dan kesejahteraan. Esok paginya, warga pun menggelar selamatan
di empat penjuru desa, yang dilanjutkan dengan ider bumi. Para petani yang
didandani kerbau lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin.
Saat berkeliling desa inilah, para "kerbau" itu melakukan ritual layaknya
siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi, hingga
menabur benih padi. Para petani itu diyakini kerasukan roh gaib. Mereka
berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga
berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung di sepanjang jalan
yang dilewati. Saat berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan
membajak.
BAB 3 KESIMPULAN
a. Kesimpulan
i. Tradisi Mubeng Beteng
Tradisi yang dimulai denganberjalan dimalam hari mengelilingi
wilayah Keraton Yogyakarta. Yang dimaksud wilayah keraton
disini ialah benteng luar, jadi mengeliling dan melintasi benteng
yang ada di empat penjuru, pojok beteng Utara-Barat, Pojok
beteng Kulon/Barat, Pojok beteng Wetan/Timur dan Pojok Beteng
Utara-Timur. maka tersebutlah yang dinamakan “Mubeng Beteng”
atau keliling beteng. Makna tentang mubeng beteng ini yaitu untuk
perenungan diri, berintropeksi serta refleksi terhadap apa saja yang
telah diperbuat selama satu tahun agar siap menghadapi tahun yang
akan datang. Dalam perenungan ini, masyarakat diharapkan dapat
menghilangkan perbuatan serta sikap yang negatif, sementara
sikap dan perbuatan yang positif terus dipertahankan untuk
kehidupan yang lebih baik.
ii. Tahlilan / Selametan
Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang
Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman wali songo yang
sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat.
Tahlilan ini dimulai dengan pembacaan surat al – fatiha, Surat
Yasin, Tahlil ( Ayat Pendek dan Doa – doa) kemudian di tutup
do’a penutup. Kemudian tuan rumah menyajikan makanan yang
sudah disiapkan sebelumnya, dan sambil dinikmati bersama para
undangan berbincang – bincang. Kemudian setelah usai maka para
undangan meninggalkan tempat untuk pulag menuju rumah
masing – masing. Tujuan tahlilan adalah menghadiahkan pahala
kepada orang yang sudah meninggal dan juga dimaksudkan untuk
menjadikan ganjaran dari sebuah amal agar dapat dinikmati oleh
orang lain membaca tahlilan.
iii. Keboan Aliyan Rogojampi Banyuwangi
Keboan, sebuah ritual yang tidak menggunakan hewan kerbau
sebagai sarana upacara. Kerbau yang digunakan adalah binatang
jadi-jadian berupa manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi
layaknya kerbau di sawah. Manusia yang menjadi "keboan"
bergerak ke sana ke mari tanpa kenal lelah. Ada warga yang
mengikuti pergerakan "keboan". Bila lelaki dewasa yang menjadi
"keboan" maka pengiringnya adalah lelaki dewasa. Sebaliknya,
bila yang menjadi "keboan" lelaki remaja, pengiringnya berusia
sebaya. Pengiring tidak bisa memaksa "keboan" untuk bergerak ke
mana-mana. Hanya sebatas mengarahkan. Bahkan waktu acara
ritual tolak bala kapan dibuka terserah kemauan leluhur. Acara
yang dimulai dengan kenduri dan selametan bumi ini dimaksudkan
sebgai rasa bentuk syukur kepada sang pencipta. Kemudian
manusia secara tersendirinya kemasukan roh leluhur kampong
berup kerbau dan belagak seperti kerbau.
Daftar Pustaka :
http://www.jogjatrip.com/id/259/keraton-kasultanan-yogyakarta ( Diakses 08 November
2015 )
http://eta-midsummer.blogspot.co.id/2010/01/profil-kabupaten-jember.html ( diakses 08 November 2015 )
Sumber Data: Jawa Timur Dalam Angka 2007 (01-9-2007) BPS Propinsi Jawa Timur Jl. Raya
Kendangsari Industri 43-44, Surabaya Telp (031) 8438873 Fax (031) 8494007
http://banyuwangikab.go.id/profil/gambaranumum.html