wanita aceh dalam pemerintahan

64

Upload: adhi-na

Post on 22-Jun-2015

3.496 views

Category:

Education


18 download

DESCRIPTION

bukan hanya laki2 yang menjabat.... tapi dalam pemerintahan aceh, sultan/sultanah bukan pengambil keputusan mutlak..... beda dengan kawasan lain.

TRANSCRIPT

Page 1: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 2: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 3: Wanita aceh dalam pemerintahan

WANITA ACEH DALAM PEMERINTAHAN

DAN PEPERANGAN disarikan dari buku

Wanita Indonesia sebagaï Negarawan dan Panglima Perang karangan A. Hasjmy

Disadur oleh :

Dra. Hj. Emi Suhaimi Ketua Komisi Pembinaan Wanita ICMI Orwil Daerah Istimewa Aceh ^——~—«

/^^^^?^\

Diterbitkan oleh Dicetak oleh :

YAYASAN PENDIDIKAN A. HASJMY CV. GUA Hl RA' Banda Aceh offset & computer system 1993 Banda Aceh

Page 4: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 5: Wanita aceh dalam pemerintahan

iii

RANUP SIGAPU

Dalam rangka memperingati genap dua tahun usia Perpus-takaan dan Museurn Yayasan Pendidikan A l i Hasmy, yayasan akan mengadakan suatu kegiatan yaitu Pameran Perjuangan dan Kcpah-lawanan Wanita Aceh secara khusus dan Wanita Indonesia pada umumnya, yang diharapkan pameran yang bermakna itu akan dibuka oleh Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Ibu Sulasikin Murpratomo.

D i samping itu, yayasan menerbitkan sebuah risalah kecil berjudul "Peranan Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Pepe-rangan", yang penyusunannya dilakukan oleh Sdri. Dra. Hj. Emi Suhaimi, berdasarkan buku Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang, karangan prof. A . Hasjmy.

Kepada semua pihak yang telah memungkinkan risalah kecil ini terbit, Direktur Perpustakaan dan Museum Yayasan Pen­didikan A l i Hasjmy mengucapkan syukur alhamdulillah dan terima kasih ikhlas.

In Tansurullah, Yansurkum wa Yusabbit Aqdaamakum.

Banda Aceh, Januari 1993

Salam Takzim, Perpustakaan dan Museum

Yayasan Pendidikan A l i Hasjmy

Direktur,

Page 6: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 7: Wanita aceh dalam pemerintahan

V

KATA PENGANTAR

Pada akhir bulan Januari 1993 yang akan datang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Daerah Istimewa Aceh akan men-gadakan suatu Muzakarah dengan mengambil topik mengenai wanita, dan pada waktu yang bersamaan Perpustakaan dan Museum yayasan Pendidikan A l i Hasjmy akan memperingati Ulang Tahun berdirinya yang kedua. Oleh Bapak Prof. A . Hasjmy yang menggagas-kan dan memimpin kedua kegiatan itu bermaksud untuk menerbit-kan sebuah buku kecil mengenai wanita Aceh, yang secara langsung dapat dibaca oleh baik peserta Muzakarah maupun pengunjung Ulang tahun Perpustakaan dan Museum.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada suatu hari beliau mcminta saya untuk mau menyadur kembali sebuah tulisan-nya, berupa makalah setebal 69 halaman yang pernah disampaikan di hadapan sebuah forum yang diadakan oleh Yayasan Pencinta Sejarah di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1988, untuk menjadi sebuah buku kecil yang bcrisi riwayat singkat sejumlah wanita Aceh yang telah berperan dalam pemerintahan dan peperangan di Aceh. Permintaan beliau saya terima dengan senang hati, bukan saja karë-na hal itu merupakan suatu kepercayaan dan penghargaan, dan bukan saja karena kebetulan saya dipercayakan menjabat Ketua Komisi Pembinaan Wanita pada pengurus ICMI Orwil Daerah Istimewa Aceh, tetapi juga karena saya merasa amat tertarik dengan sejarah perjuangan wanita-wanita Aceh yang telah saya baca dari beberapa tulisan tentang itu.

Sebanyak 14 orang wanita Aceh yang riwayat singkatnya tercantum dalam buku kecil ini, adalah hasil saduran atau intisari Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang dari Naskah tulisan Bapak Prof. A . Hasjmy tersebut di atas.

Page 8: Wanita aceh dalam pemerintahan

vi

Saya menyadari bahwa saduran ini masih mengalami banyak kekurangan, terutama dalam upaya membuat sebuah uraian yang panjang menjadi singkat tanpa menghilangkan esensi yang penting dari padanya. Namun, mudah-mudahan buku kecil ini bermanfaat dalam upaya menambah kepustakaan mengenai wanita Aceh.

Pada akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. A . Hasjmy atas kepercayaannya.

Banda Aceh, 20 Januari 1993

Wassalam Penyadur,

Dra. Hj. Emi Suhaimi

Page 9: Wanita aceh dalam pemerintahan

vii

DAFTARISI

Ranup Sigapu iii

Kata Pengantar v

K E D U D U K A N WANITA A C E H DI M A S A L A M P A U 3

WANITA A C E H D A L A M P E M E R I N T A I I A N 6

1. Putri Lindung Bulan 6

2. Puteri Pahang 8 3. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu 11 4. Ratu Safiatuddin 13 5. Ratu Naqiatuddin 16 6. Ratu Zakiatuddin 18 7. Ratu Kamalat Syah 21 WANITA A C E H D A L A M P E P E R A N G A N 24

1. Laksamana Malahayati 24 2. Teungku Fakinah 27 3. CutNyakDhien 30 4. Cut Meutia 32 5. Pocut Meurah Intan 34 6. Pocut Baren 38 7. Teungku Fakinah 41

Page 10: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 11: Wanita aceh dalam pemerintahan

3

K E D U D U K A N WANITA A C E H DI MASA L A M P A U

Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh pada masa lampau (Perlak, Pasai, Lingga, Daya, dan akhirnya Darussalam) semuanya mengambil Al-Qur'an dan Al-Sunnah menjadi sum-ber hukumnya. Sesuai dengan ajaran Islam itu, maka kerajaan-kerajaan tersebut telah memberi kepada kaum wanita kedudukan yang sama dengan kaum pria, sehingga karena itu banyak muncul tokoh wanita Aceh, baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan.

Dalam kerajaan Aceh Darussalam, dimana ditetapkan Islam sebagai dasar kerajaan dan Al-Qur'an serta Al-Hadits sebagai sumber hukum, maka kedudukan wanita disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam sumber hukum itu.

Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diciptakan dari sum­ber yang satu, yaitu Adam, baik pria maupun wanita. Dalam

Page 12: Wanita aceh dalam pemerintahan

4

Al-Qur'anul Karim Surah A n Nisa (sarakata Wanita) banyak tersebut masalah mengenai wanita, seperti mengenai kedudukannya yang sama dengan pria, mengenai hak dan kewajiban wanita, serta mengenai peranan wanita dalam pem-binaan keluarga.

Menurut ajaran Islam, kewajiban pria dan wanita adalah sama, baik dalam hubungan dengan masalah negara maupun masalah perang, artinya sama-sama berkewajiban berperang atau berjihad untuk menegakkan agama Allah, membela tanah air, memimpin dan membangun negara, sebagaimana dapat dipahami dari Hadits-Hadits Nabawi.

Dalam Kerajaan Aceh Darussalam, hak wanita untuk memegang jabatan-jabatan apa saja dalam kerajaan diakuinya. Demikian pula kewajiban mereka terhadap kerajaan, seperti kewajiban untuk membela dan memajukan kerajaan, oleh karena wanita dipandang sama dengan pria dalam hukum kerajaan.

Dalam Kitab SAFINATUL HUKKAM (Bahtera Para Hakim) karangan Ulama Aceh Syekh Jalaluddin Tursani yang dikarang pada tahun 1721 M , jelas difatwakan bahwa pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kerajaan. Wanita boleh menjadi Raja atau Sultan asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Berdasarkan dalil-dalil ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabawi, maka kerajaan-kerajaan Islam Perlak, Pasai dan Aceh Darussalam, telah memberi kepada kaum wanita "hak" dan "kewajiban" yang sama dengan kaum pria. Oleh karena itu adalah logis kalau sejarah mencatat sejumlah nama

Page 13: Wanita aceh dalam pemerintahan

5

wanita yang telah memainkan peranan yang amat penting di tanah Aceh masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak sampai zaman revolusi kemerdekaan.

Berikut ini dikemukakan secara singkat riwayat 7 orang negarawan wanita dan 7 orang pahlawan wanita Aceh yang telah mengisi lembaran sejarah dunia.

Page 14: Wanita aceh dalam pemerintahan

6

WANITA ACEH DALAM PEMERINTAHAN

1. Puteri Lindung Bulan

Puteri Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri Kandee Negeri adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerin-tah Negeri Benua Tamieng (negara bagian dari Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 735 - 800 H (1353 - 1398 M ) .

Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun di belakang layar, Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan, yang pada hakekatnya adalah sebagai Perdana Menteri dalam pekerjaannya.

Ketika angkatan perang Majapahit di bawah pimpinan Patih Nala telah menduduki Pulau Kampey pada tahun 779 H (1377 M) , lalu mengirim utusan kepada Raja Muda Sedia di

Page 15: Wanita aceh dalam pemerintahan

7

kota Masmani untuk meminta agar Negeri Benua Tamieng tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan Puteri Lindung Bulan diserahkan kepada Raja Hayam Wuruk sebagai persembahan.

Sebagai seorang muslim Raja Muda Sedia menolak permintaan itu, dan sebagai seorang muslimat sudah tentu Puteri Lindung Bulan tidak mau diserahkan kepada Raja Majapahit yang "bukan Islam". Akibatnya Patih Nala menyerang Negeri Benua Tamieng dimana terjadi pertem-puran yang hebat di kota Masmani yang dipertahankan oleh tentara Benua di bawah pimpinan Lakseumana Kantom Mano. Kota Masmani direbut, Raja Muda Sedia dan permaisurinya melarikan diri ke kota Peunaron, namun Puteri Lindung Bulan membiarkan diri ditawan oleh Patih Nala dengan tujuan hanya sebagai suatu siasat.

Dengan suatu tipu daya dari Puteri Lindung Bulan, maka beberapa waktu kemudian angkatan perang Negeri Benua dapat merebut kembali kota Masmani yang telah han-cur, dan Puteri Lindung Bulan dibebaskan, setelah serangan tiba-tiba tengah malam yang dilakukan oleh Lakseumana Kan­tom Mano. Karena kecewa tidak dapat menaklukkan Negeri Benua dan menyerahkan Puteri Lindung Bulan sebagai per­sembahan kepada Prabu Hayam Wuruk, maka Patih Nala melanjutkan perang perluasan kerajan Majapahit ke wilayah kerajaan Islam Perlak dan Samudera Pasai. Namun sementara itu terdengar berita bahwa Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia, semangat perang Patih Nala menjadi patah, dan dengan tergesa-gesa ia menarik angkatan perangnya dari Perlak dan Pasai untuk kembali ke Majapahit.

Page 16: Wanita aceh dalam pemerintahan

8

2. Puteri Pahang

Tatkala Sultan Iskandarmuda pada tahun 1615 menyerang kembali Johor untuk kedua kalinya dan kemudian memperluas wilayah perlindungannya sampai ke Pahang pada tahun 1617 karena kedua kerajaan itu telah bersekongkol de­ngan Portugis, maka sejumlah besar rakyat negeri Pahang ditawan dan dibawa ke Aceh, termasuk seorang puteri Raja Pahang bernama Puteri Kamaliah yang kemudian dijadikan permaisuri oleh Sultan Iskandarmuda.

Puteri Pahang itu dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai Permaisuri Raja, tetapi juga menjadi penasihat bagi suaminya. Ia sangat bijaksana dan menjadi sangat ter-mashur dengan nama Putrou Phang.

Salah satu dari nasihat Puteri Pahang yang dilak-sanakan oleh Sultan Iskandarmuda, dan yang mata bersejarah, ialah pembentukan sebuah lembaga yang disebut Balai Majlis

Page 17: Wanita aceh dalam pemerintahan

9

Mahkamah Rakyat (semacam D P R sekarang), yang berang-gotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

Untuk mengabadikan jasa dan karya besar Puteri Pahang itu, maka semua produk Majlis Mahkamah Rakyat disebut sebagai produk Puteri Pahang, sebagaimana tercermin dalam sebuah Hadih Maja (kata berhikmat) yang berbunyi sebagai berikut:

Adat bak Poteu Meureuhoom Hukoom bak Syiah Kuala Kanun bak Putrou Phang Reusam bak Lakseumana Hukom ngon adat Lagee zat ngon sifeut

Hadih Maja tersebut menunjukkan adanya pembagian keku-asaan dalam kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :

1. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan politik/adat) yang berada di tangan Sultan yang disebut Poteu Meureuhoom, yaitu Iskandarmuda yang menciptakan sistim tersebut. (baris 1)

2. Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum yang ber­ada di tangan ulama. Karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala merupakan seorang ahli hukum dan Kadli Malikul Ad i l yang amat menonjol, maka pelaksanaan kekuasaan yudikatif itu dibangsakan kepadanya yang bergelar Syiah Kuala, (baris 2)

Page 18: Wanita aceh dalam pemerintahan

10

3. Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-un-dang). Dan kekuasaan ini berada di tangan Dewan Per-wakilan yang dilambangkan oleh Puteri Pahang, karena ialah yang memberi nasihat kepada Iskandarmuda untuk membentuk Balai Majlis Mahkamah Rakyat. (baris 3)

4. Peraturan keprotokolan atau reusam diserahkan pada Laksamana/Panglima Angkatan Perang Ach. (baris 4)

5. Akhirnya dalam Hadih Maja itu dinyatakan bahwa dalam keadaan bagaimanapun, antara adat, kanun dan reusam tidak boleh dipisahkan dari hukoom (ajaran Islam), sebagaimana tercantum dalam baris 5 dan 6.

Hadih Maja itu tetap menjadi filsafat hidup orang Aceh, dan tiga nama tetap menjadi ingatan, yaitu : Iskandar­muda, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan Puteri Pahang.

Keberadaan Lembaga Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan Raja Iskandar Sani, sebanyak 17 orang dari 73 orang anggota Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu adalah wanita.

Page 19: Wanita aceh dalam pemerintahan

11

3. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu

Ratu Nihrasiyah Khadiyu adalah Sulthanah terakhir dari Kerajaan Islam Samudera Pasai yang memerintah tahun 801 - 831 H (1400 - 1428 M), setelah mangkat ayahnya Sultan Zainal Abidin Malikud Dhahir yang memerintah Kerajaan Pasai tahun 750 - 798 H (1350 - 1359 M) .

Sultan Zainal Abidin, ayah Ratu Nihrasiyah, mangkat dalam suatu pertempuran perebutan kekuasaan oleh panglimanya Lakseumana Nagur Rabath Abdulkadir Syah, yang kemudian ia dibunuh oleh perwira bawahannya yang bernama Arya Bakoy, yang juga menjabat Syahbandar Samudera Pasai. Arya Bakoy kemudian kawin dengan janda Zainal Abidin, yang berarti menjadi ayah tiri dari Ratu Nih­rasiyah.

Sebagai membalas jasa kepada Arya Bakoy yang telah membunuh pembunuh ayahnya, maka Ratu Nihrasiyah meng-angkat ayah tirinya itu menjadi Perdana Menteri Kerajaan

Page 20: Wanita aceh dalam pemerintahan

12

Samudera Pasai dengan gelar Maharaja Bakoy Ahmad Per-mala. Tetapi ternyata kemudian bahwa Arya Bakoy adalah penganut ajarah Wahdatul Wujudyang telah jauh menyimpang dari ajaran aslinya, dan membunuh orang-orang yang menen­tang ajarannya itu. Menurut ajaran Arya Bakoy, seseorang boleh kawin dengan anak kandungnya sendiri, karena ia sendiri ingin kawin dengan putri kandungnya yang cantik bernama Puteri Madoong Peria.

Karena Ratu Nihrasiyah menentang ajaran Arya Bakoy yang akan mengawini puteri kandungnya sendiri itu, maka Perdana Menteri Arya Bakoy berusaha merebut kekuasaan dari Ratu Nihrasiyah. Ratu menyuruh menangkap Arya Bakoy, dan dalam suatu "perang tanding" dengan Malik Mustafa, suami Ratu yang bergelar Pocut Cindai Simpul Alam maka Arya Bakoy tewas.

Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Ratu Nihrasiyah mencapai puncak kemajuan. Kalau kakeknya, Sultan Malikus Saleh yang memerintah tahun 659 - 688 H (1261 - 1289 M), adalah pembangun awal dari tamaddun Islam di Samudera Pasai, maka Ratu Nihrasiyah merupakan penyempurna pembangunan kerajaan itu, malah pada zaman-nya kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak tamaddun, yang menjadi azas kuat bagi tamaddun kerajaan Aceh Darus­salam, setelah pada tahun 1611 M , Kerajaan Islam Samudera Pasai digabungkan ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

Makam Ratu Nihrasiyah yang terletak dalam komplek Makam Raja-Raja Samudera Pasai, merupakan sebuah makam yang terindah, dengan ukiran kaligrafi ayat-ayat A l -Qur'an yang bernilai seni tinggi dan mengagumkan.

Page 21: Wanita aceh dalam pemerintahan

RATU TAJUL ALAMSAFIATUDDIN

Page 22: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 23: Wanita aceh dalam pemerintahan

13

4. Ratu Safiatuddin

Setelah Sultan Iskandar Sani wafat, maka atas ke-putusan pembesar negara dan para ulama, dinobatkanlah Puteri Safinah anak Sultan Iskandarmuda Meukuta Alam dan yang juga pada waktu itu isteri Sultan Iskandar Sani, menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin.

Semenjak berusia 7 tahun, Safiatuddin telah belajar bersama-sama Iskandar Sani (asal dari Negeri Pahang) dan putra putri istana lainnya pada ulama-ulama besar seperti Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Kamaluddin dan lain-lain yang semuanya adalah guru besar pada Jami' Baiturrahman pada waktu itu. Sehingga setelah selesai pendidikannya, Safiatuddin telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia dan Spanyol, di samping alim dalam ilmu fikh

Page 24: Wanita aceh dalam pemerintahan

14

(hukum) termasuk hukum tata negara, ilmu sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, sastra dan lain-lain.

Setelah masa Iskandarmuda, maka masa pemerin-tahan Ratu Safiatuddin adalah zaman emas ilmu pengetahuan dalam kerajaan Aceh Darussalam. Pada masanya banyak mun-cul ulama besar seperti Syekh Nurruddin Ar-Raniry, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Syekh Jalaluddin Tursany, dan lain-lain. Ia mendorong para ulama dan sarjana mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu, dimana dalam mukaddimah buku-buku itu disebutkan bahwa buku itu dikarang atas anjuran Ratu Safiatuddin, seperti misalnya buku Hidayatul Iman Fi Fadhlil Manan karya Nuruddin Ar-Raniry dan buku Miratuth Thullab karya Abdurrauf Syiah Kuala. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Nuruddin Ar-Raniry telah menyelesaikan 30 judul buku, sedangkan Abdurrauf menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu. Karena itu tidak heran apabila pada masa itu ibukota kerajaan Aceh Darussalam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu penge­tahuan di Asia Tenggara.

D i samping perhatiannya kepada kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Ratu Safiatuddin juga menaruh perhatian kepada kedudukan kaum wanita. Banyak peraturan yang dibuatnya untuk melindungi kaum wanita.

Ratu Safiatuddin mempunyai kebijaksanaan dan kemampuan yang luar biasa, seperti dikemukakan oleh Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", antara lain :

" Kelebihan TajulAlam dalam kenegaraan terlihat

Page 25: Wanita aceh dalam pemerintahan

15

pula dari kuatnya dukungan para Menteri, orang besar dan para ulama atasnya. Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua orang cerdikpandai dan berpengaruh dengan kuat men -dukungnya. Mereka adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf sendiri. Tampak dengan dukung­an ini tidak ada kekolotan keagamaan dalam mem-benarkan seorang wanita menjadi raja. Kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang dimiliki raja laki-laki. Tajul Alam bukan saja telah berhasil mengatasi ujian berat untuk membuktïkan kecakapannya memerintah tidak kalah dari seorang laki-laki, tetapijuga berhasil mengadakan pembaharu-an dalampemerintahan, memperluaspengertian demo-krasi yang selama ini kurang disadari oleh kaum laki-laki sendiri "

Kebesaran Ratu Safiatuddin juga digambarkan dalam bermacam-macam hikayat terkenal di Aceh.

Page 26: Wanita aceh dalam pemerintahan

16

5. Ratu Naqiatuddin

Ketika ia masih hidup, Ratu Safiatuddin telah mem-persiapkan tiga orang wanita untuk menjadi penggantinya, salah seorang bernama Puteri Naqiah. Sesuai dengan keten-tuan dalam Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, maka sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, dilantiklah Puteri Naqiah menjadi Raja Aceh pada tanggal 1 Sya'ban 1086 H (23 Oktober 1675 M) , dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, yang memerintah sampai tahun 1678 M .

Sejak awal pemerintahannya Ratu Naqiatuddin telah menghadapi tantangan-tantangan yang besar, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ancaman terhadap kerajaan Aceh bertambah hebat dari Barat (Belanda, Portugis, Inggeris) yang membawa agama Kristen, sementara di dalam negeri "kaum Wujudiyah" yang telah menyimpang dari ajaran Islam, ber-usaha meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin

Page 27: Wanita aceh dalam pemerintahan

17

dengan melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda Aceh. Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sulthan be-serta segala isinya habis musnah dimakan api. Kebakaran di Aceh yang maha dahsyat itu turut menggemparkan Malaka, yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun 1677 M .

Dalam upaya menekan oposisi "kaum wujudiyah" dan kelompok oposisi lain, Ratu Naqiatuddin mengadakan per-obahan-perobahan dalam pemerintahan, antara lain menyem-purnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, dengan petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adi l Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majlis Mahkamah Rakyat. Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan peng-angkatan Sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang telah dibentuk oleh Ratu Safiatuddin. Dalam hubungan itu, maka kedudukan ketiga Panglima Sagi menjadi sangat kuat, dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam peng-angkatan atau pemberhentian seorang Sultan.

Sabotase dari "kaum Wujudiyah" menyebabkan pe­merintahan Seri Ratu Naqiatuddin tidak berjalan lancar dan juga membawa dampak negatif kepada para Ratu yang memerintah setelahnya.

Page 28: Wanita aceh dalam pemerintahan

18

6. Ratu Zakiatuddin

Ratu Zakiatuddin meninggal pada tanggal 1 Zu l -ka'idah 1088 H (23 Januari 1678 M), dan sebelum pemakaman-nya terlebih dahulu dilantik Puteri Zakiyah menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Seri Ratu Zakiatud­din Inayat Syah, yang memerintah sampai tahun 1688 M .

Puteri Zakiah adalah calon pengganti kedua yang di-persiapkan oleh Ratu Safiatuddin untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka yang dipersiapkan itu telah dididik dalam istana Darud Dunia dengan berbagai ilmu pengetahu­an : ilmu hukum termasuk hukum tatanegara, sejarah, filsafat, kesusastraan/adab, pengetahuan agama Islam, bahasa Arab, Bahasa Persia, bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. (Yang me-ngajarkan bahasa Spanyol dan Inggris adalah seorang wanita Belanda yang menjadi sekretaris Ratu Safiatuddin).

Begitu naik tahta, Ratu Zakiatuddin juga menghadapi

Page 29: Wanita aceh dalam pemerintahan

19

tantangan berat, malah lebih berat dari pendahulunya. Hanya karena pengaruh yang besar dari Kadli Malikul Ad i l Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, tantangan-tantangan itu dapat di-atasinya.

Kebijaksanaan para pendahulunya, baik terhadap V O C maupun terhadap rongrongan "kaum wujudiyah" di-teruskannya. D i Sumatera Barat Ratu Zakiatuddin menunjuk-kan kekuasaannya terhadap V O V dengan menarik kembali Bayang ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Sikap tegas demikian itu mendapat sambutan baik dari masyarakat Minangkabau, sehingga menimbulkan kesulitan bagi perwakilan V O C di Padang yang harus menghadapi peperangan yang hebat selama dua tahun dengan rakyat disana.

Ketika pemerintahannya pernah datang ke Aceh utus-an Inggeris dan utusan Syarif Mekkah. Utusan Inggeris memin-ta agar diizinkan mendirikan kantor Dagangnya di Aceh ber-sama loji militer, tetapi permintaan itu ditolak dengan marah oleh Ratu.

Utusan Syarif Mekkah tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681 M) dan tinggal di Aceh selama satu tahun. Mereka kagum akan kemampuan Ratu yang berbicara dalam bahasa Arab tanpa memakai jurubahasa serta kagum akan berbagai bangsa yang tinggal di Banda Aceh, yang kebanyakannya para saudagar. D i antara rombongan Syarif Mekkah itu terdapat dua bersaudara yang bernama Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim. Utusan Syarif Mekkah kembali kenegerinya, kecuali mereka berdua, yang ternyata kemudian ketika pemerintahan Ratu Kamalat Syah keduanya mempelopori perebutan

Page 30: Wanita aceh dalam pemerintahan

20

kekuasaan dalam kerajaan.

Setelah memerintah 10 tahun lamanya, Ratu Zakiatuddin meninggal pada 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober 1688 M).

Page 31: Wanita aceh dalam pemerintahan

21

7. Ratu Kamalat Syah

Puteri Kamalah, orang ketiga yang telah dipersiapkan oleh Ratu Safiatuddin untuk memimpin pemerintahan keraja­an Aceh Darussalam, dinobatkan pada hari meninggalnya Ratu Zakiatuddin, yaitu sebelum upacara pemakamannya. Puteri Kamalah menjadi Sultanah dengan gelar Seri Ratu Kamalatuddin Inayah Syah.

Meninggalnya Ratu Zakiatuddin dipergunakan seba-ik-baiknya oleh kelompok politisi yang memperalat "kaum wujudiyah" untuk merebut kekuasaan. Karena itu penobatan Ratu Kamalat Syah mengalami goncangan. Dalam kelompok orang yang ingin merebut kekuasaan termasuk beberapa orang hulubalang yang merasa telah kehilangan beberapa hak is­timewa mereka sejak pemerintahan Ratu Safiatuddin, yang karena itu tidak puas dengan pemerintahan seorang Ratu. "Kaum Wujudiyah" terus menerus merongrong agar kerajaan

Page 32: Wanita aceh dalam pemerintahan

22

tidak boleh lagi dipegangoleh seorang wanita. D i antara tokoh yang mempelopori perebutan kekuasaan itu ialah Syarif Hasyim, seorang dari Syarif bersaudara yang datang ke Aceh bersama-sama dengan Syarif Mekkah kira-kira tujuh tahun sebelumnya.

Dalam bukunya "Tarich Raja-Raja Kerajaan Aceh". M . Yunus Jamil melukiskan keadaan pada masa itu sbb :

". diangkatnya Ratu ini (Kamalat Syah) menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam menimbulkan kegoncangan politik, terutama dalam golongan pem-besar-pembesar negara. Adagolongan yang mendukung Kamalat Syah dan ada pula yang berupaya supaya Syarif Hasyim Jamalul'lail diangkat menjadi Sultan, dan ada pula yang menghendaki agar Maharaja Lela Abdurrahim, keturunan Maharaja Lela DaengMansur, diangkat menjadi Raja. Dengan kecerdikan dan wewenangnya, Waliyu-Mulki, Mufti Besar Kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, kegoncangan itu dapat ditenteramkan kembali. Seri Ratu Kamaluddin Syah tetap diangkat menjadi Sul­tanah Kerajaan Aceh Darussalam".

Walaupun tantangan cukup berat dari golongan oposisi, namun Ratu Kamalat Syah, masih memikirkan pem-bangunan kerajaan, termasuk pembangunan ekonomi. Kebijakan Ratu sebelumnya dijalankan terus. Sementara hubungan dengan Belanda semakin meruncing, hubungan dengan negara tetangga terus dipelihara. D i samping itu beberapa perjanjian dengan Inggeris yang memberi keuntung-

Page 33: Wanita aceh dalam pemerintahan

23

an kepada kerajaan juga dilakukannya (termasuk hal-hal yang dapat melawan operasi V O C Belanda yang terus mengge-rogoti).

Pada waktu Ratu Kamalat sedang membangun kerajaan dengan rencana-rencana yang telah disahkan oleh Balai Majlis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba tangan kanannya yang kuat, Syekh Abdurauf, meninggal dunia. Penggantinya sebagai Kadli Malikul Adi l yang baru, tidak cukup kuat untuk menghadapi kaum oposisi yang akan menjatuhkan ratu, terutama dengan isyu tidak boleh diperintah oleh raja wanita. Malah menurut sebuah pendapat, Kadli Malikul Ad i l yang baru itupun menggabungkan diri dengankaum oposisi. Akhir-nya, Ratu Kamalat Syah harus turun tahta, yaitu pada tanggal 20 Rabiul'awal 1109 H (1699 M) , dan pada hari itu juga dinobatkan Syarif Hasyim menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluriail. Dan berakhirlah pemerintahan Raja-Raja wanita dalam sejarah kerajaan Aceh.

Tujuh tahun setelah turun tahta, Ratu Kamalat Syah meninggal dunia pada tahun 1116 H (1705 M) dan dimakam-kan bersama tiga orang Ratu sebelumnya dalam "Kandang Dua Belas"yang terletak dalam komplek Darud Dunia di kota Banda Aceh.

Page 34: Wanita aceh dalam pemerintahan

24

W A N I T A A C E H D A L A M P E P E R A N G A N

1. Laksamana Malahayat i

Pada waktu Sultan Alaidin Riayat Syah A l Mukamil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589 - 1604 M) ter-jadilah pertempuran laut di Teluk Aru, antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis. Pertempuran dipimpin oleh Sultan dengan dibantu dua orang Lakseumana. Pertem­puran Teluk Aru berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksa­mana Aceh mati syahid. Isteri dari salah seorang Lakseumana itu ialah Lakseumana Malahayati, yang pada waktu itu men-jabat Komandan Protokol Istana Darud Dunia.

Sekalipun kemenangan suatu pertempuran menim-bulkan kegembiraan, namun bagi Malahayati, di samping ke-gembiraan, kehilangan suaminya adalah pula suatu kesedihan

Page 35: Wanita aceh dalam pemerintahan

Laksamana MALAHAYATI

Page 36: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 37: Wanita aceh dalam pemerintahan

25

bercampur geram dan marah. Karena itu ia meminta kepada Sultan agar membentuk sebuah Armada Aceh yang prajuritnya seluruhnya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid dalam pertempuran Teluk Haru itu.

Permintaannya dikabulkan, dan terbentuklah Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Malahayati seba­gai Panglimanya, dan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalan armada tersebut.

Ketika muda, Malahayati mendapat pendidikan militer pada Pusat Pendidikan tentera Aceh yang bernama Pusat Pendidikan Asykar Baital Makdis, yang dilatih oleh para perwira dari Turki, dalam rangka kerja sama antara Turki dengan kerajaan Aceh Darussalam.

Darah pelaut telah tumbuh dalam dirinya dari ayah dan kakeknya. Dalam pendidikan itulah ia bertemu dengan suaminya, dan menikah. Setelah selesai pendidikan, suaminya terus mengembangkan karir di laut, sementara ia menjadi komandan protokol istana, sampai ia diangkat menjadi panglima armada Inong Balee.

Peristiwa Houtman bersaudara telah mengangkat derajat Laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan. A r ­mada Inong Balee yang diperlengkapi dengan 100 buah kapal perang dan meriam-meriam, pada waktu itu merupakan sebuah armada yang kuat di Samudera AsiaTenggara. Armada kapal perang Belanda yang menyamar sebagai armada dagang yang dipimpin oleh Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederijk), yang memasuki pelabuhan Banda Aceh dan diterima bersahabat, ternyata berkhianat terhadap keperca-

Page 38: Wanita aceh dalam pemerintahan

26

yaan Sultan dengan membuat manipulasi dagang, mengadakan pengacauan, menghasut, dan sebagainya. Sultan memerintah-kan Malahayati menyelesaikan persoalan itu. Dalam pertem­puran dengan kapal perang Belanda, Cornelis de Houtman mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.

Laksamana Malahayati bukan saja seorang panglima armada perang, tetapi juga seorang negarawan. Ketika negeri Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan Aceh, datanglah utusan Belanda dengan membawa surat is­timewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri Belanda pada waktu itu. Untuk melakukan perundingan ditunjuk Malahayati oleh Sultan, dan ternyata memberikan hasil yang gemilang, antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda de­ngan Duta Besar pertama Abdul Hamid.

Demikianlah profil seorang wanita Aceh yang hidup pada abad ke-17, di samping seorang panglima yang gagah berani, juga seorang diplomat yang cakap.

Page 39: Wanita aceh dalam pemerintahan

27

2. Teungku Fakinah

Selama perang Aceh melawan Belanda pada akhir abad ke-19 banyak sekali muncul pahlawan wanita, salah seorang di antaranya ialah Teungku Fakinah. Tetapi ia bukan hanya seorang pehlawan perang yang berani, melainkan juga seorang pendidik dan ulama. Sebelum Perang Teungku Fakinah membuka sebuah dayah (pesantren), ketika zaman perang ia tampil sebagai panglima perang yang disegani musuh, dan setelah kembali dari medan perang beliau kembali muncul sebagai ulama dan pendidik yang bekerja keras mem-bangun kembali pendidikan pada pesantrennya yang porak poranda karena peperangan.

Ayah Teungku Fakinah adalah seorang pejabat tinggi kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar, yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau Teungku Fakinah menjelma menjadi seorang panglima perang dan ulama besar.

Page 40: Wanita aceh dalam pemerintahan

28

Ketika kecil dan remaja, Teungku Fakinah mendapat pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya, serta belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.

Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan seorang per-wira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya sebelum pecah perang mengajar pada Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah.

Teungku Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam perang, dan sejak itu Teungku Fakinah berusaha untuk mem-bentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang di­sebut Sukey). Atas persetujuan Sultan terbentuklah Sukey Fakinah yang terdiri atas 4 batalyon (balang), dimana beliau sendiri menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalyon dalam Sukey Fakinah itu, seluruh prajuritnya terdiri atas kaum wanita, sementara komandan-komandan kompi dan Regu pada batalyon-batalyon lain adalah juga dipimpin oleh wanita. Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Besar, dan setelah lewat 10 tahun perang beliau turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa pemimpin Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan Tuangku Hasyim Banta Muda.

Salah satu peranan Teungku Fakinah yang perlu dicatat ialah, upayanya untuk menyadarkan T. Umar, suami kawan dekatnya Cut Nyak Dhien, untuk kembali ke pihak Aceh.

Kepada teman dekatnya itu beliau mengirim surat, yang antara lain isinya sbb :

Page 41: Wanita aceh dalam pemerintahan

29

"Saya harap kepada Cutnyak agar menyuruh suami Cutnyak, T. Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang sudah siap menanti di Kuala Lamdiran (maksud-nya Resimen Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima yang berani, johan pah-lawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda

Isi surat itu sangat menyegat perasaan Cut Nyak Dhien, dan mendorongnya untuk berusaha menyadarkan kem­bali suaminya. Lewat Do Karim, Cut Nyak Dhien mengirim pesan kepada suaminya, yang antara lain berbunyi:

"Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar, bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi pria lawan wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan : janganlah engkau menyusu pada badak ".

Pesan Cut Nyak Dhien sangat menyentuh hati Teuku Umar, dan tidak berapa lama kemudian maka Teuku Umar kembali kepada bangsanya dengan membawa alat persenja-taan Belanda yang cukup banyak.

Demikianlah, maka kemudian dalam umur yang cu­kup tua, seorang pahlawan dan ulama besar Teungku Fakinah berpulang kerahmatullah pada tanggal 3 Oktober 1933, dan dimakamkan di Lamdiran di tempat kelahirannya.

Page 42: Wanita aceh dalam pemerintahan

30

3. Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita Aceh yang telah menjadi pahlawan Nasional, karena memang dalam tubuhnya bersemi semangat pahlawan yang luar biasa. Ketika masih bayi telah didendangkan ketelinganya dengan lagu-lagu yang dapat menanamkan semangat kepahlawanan. Ayahnya menceritakan kepadanya kehebatan para wanita Aceh di masa lalu, sehingga setelah ia tumbuh menjadi dewasa seperti telah ditakdirkan untuk menjadi srikandi, pahlawan bangsa.

Cut Nyak Dhien adalah puteri seorang uleebalang berdarah pahlawan, bernama Teuku Nanta Setia, penguasa V I Mukim Peukan Bada. Neneknya juga seorang bangsawan, Teuku Nanta Syekh, yang sangat dipercayai oleh Sultan Aceh!

Suami Cut Nyak Dhien yang pertama ialah Teuku Ibrahim dari Lam Nga, Montasik, seorang pahlawan yang sa­ngat ditakuti Belanda, yang syahid pada tahun 1873 setelah

Page 43: Wanita aceh dalam pemerintahan

CUT NYA' DHIEN

Page 44: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 45: Wanita aceh dalam pemerintahan

31

hanya baru lima tahun menikah dengan Cut Nyak Dhien, dan meninggalkan seorang putri bernama Cutnyak Gambang.

Setelah beberapa tahun Cut Nyak Dhien menjanda, maka ia dipinang oleh seorang panglima muda, Teuku Umar, yang kebetulan cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri, Teuku Nanta Syekh.

Pada mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi atas desakan keluarga ia bersedia menjadi isteri Teuku Umar dengan syarat bahwa ia tidak lagi menjadi isteri penjaga rumah, tetapi dibolehkan ikut perang bersama suaminya dan pejuang-pejuang lainnya, yang hal itu disetujui oleh Teuku Umar. DemikianJah, semenjak setelah perkawin-annya, Cut Nyak Dhien terus berada di medan perang, me-lawan musuh untuk mempertahankan tanah airnya.

Setelah Teuku Umar mati syahid di Meulaboh, maka pimpinan perang diambil alih olehnya. Bertahun-tahun ia ber-jihad dalam hutan, berpindah dari satu lembah ke lembah yang lain, sampai kemudian matanya buta.

Akhirnya pada tanggal 4 Nopember 1905, Cut Nyak Dhien, ditawan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Van Vuuren. Dalam keadaan tertawan dan buta Cut Nyak Dhien masih tetap mengomandokan perang dari kamp tawanan di Banda Aceh. Kemudian beliau diasingkan ke tanah Jawa, dan di Sumedang Jawa Barat beliau wafat pada tanggal 6 Nopember 1908.

Perjuangan Cut Nyak Dhien telah diabadikan alam beberapa buku, dan dalam film kolosal berjudul namanya: Cut Nyak Dhien.

Page 46: Wanita aceh dalam pemerintahan

32

4. Cut Meutia

Seperti halnya Cut Nyak Dhien, pejuang wanita Acer Cut Meutia adalah pahlawan nasional, yang telah ditetapkar oleh pemerintah karena perjuangannya yang luar biasa dalarr mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda.

Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga mem-punyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima perang. Bedanya ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belanda dan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati syahid dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880 -1910 M) .

Orang tua Cut Meutia adalah Teuku Ben Daud, dan darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat jihad telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben Daud sendiri yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang ulama, yang erat

Page 47: Wanita aceh dalam pemerintahan

CUT MEUTIA

Page 48: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 49: Wanita aceh dalam pemerintahan

33

hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia di-lahirkan dalam suasana perang (7 tahun setelah pecah perang), dimana ibunya senantiasa mendendangkan lagu-lagu yang menggelorakan semangat.

Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku Syamsyarif yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang pejuang dan panglima perang. Setelah suaminya mati syahid, atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan Pang Nanggrou, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya Teuku Cut Muhammad, dan terus melanjutkan perjuangan suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut Meutia menjadi janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Cut Meutia syahid pula. Cut Meutia meninggalkan seorang putra dari suaminya Teuku Cut Muhammad, yang diberi nama T. Raja Sabi.

Page 50: Wanita aceh dalam pemerintahan

34

5. Pocut Meurah Intan

D i Desa Tegal Sari, Blora, di bawah kesejukan pepo-honan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang pahlawan wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda dalam perang kolonial di Aceh. Bersama puteranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, ber-semedi di Tegal Sari, jauh dari bumi kelahirannya, sejak tanggal 28 September 1937 sebagaimana tertulis pada batu nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada Gubernur Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada tanggal 19 September 1937).

Pocut Meurah Intan adalah puteri seorang bangsawan yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda. Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah

Page 51: Wanita aceh dalam pemerintahan

CUT MEURAH INSEN

Page 52: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 53: Wanita aceh dalam pemerintahan

35

Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari suaminya Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dar kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.

Tentang bagaimana keperkasaan dan semangat juang mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pah­lawan wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah ditulis oleh seorang wartawan dan pengarang Belanda ter-kenal, H .C . Zentgraaff, dalam bukunya A T J E H . Berikut ada­lah beberapa kutipan dari buku tersebut.

"Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuan Pedoman, seorang perwira yang baik had, pernah me­ngenai seorang wanita Aceh turunan bangsawan, namanya Pocut Meurah Intan. Wanita itu disangka menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan kainnya. Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan meneriakkan : "Kalau begitu biarlah kau mati syahid' iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai singa betina, yang menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian wanita itupun jatuh terbaring di tanah "

"Ia mengalami luka-luka parah; ia memperoleh dua buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya,

Page 54: Wanita aceh dalam pemerintahan

36

sedang salah satu urat ketingnya putus. Ia terbaring di tanah, penuh dengan darah dan lumpurlaksanasetum-puk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan yangmelihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan berkata kepada komandannya : Bolehkah saya meiepas­kan tembakan pelepas nyawanya?, yang dibentak Veltman dengan: Apa kau sudah gila? Lalupasukan meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu meninggal di tangan bangsanya sendiri". Beberapa hari telah berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheu (dekat Padangtiji) disana ia mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh penduduk kampung yang telah menyerah kepada Belanda.

Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman memerintahkan untuk menggeledah rumah-rumah di kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam arti kata yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya dibalut dengan bermacam-macam kain dan kelihatan-nya menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disa-pukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah se-bab banyak kehilangand arah dan tubuhnya menggigil; ia mengerang karena kesakitan.

Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter, lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang "khapee". Veltman yang sangatpasih berbahasa Aceh, lama berbicara dengan wanita itu dengan cara yang

Page 55: Wanita aceh dalam pemerintahan

37

amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif; serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu mem-biarkan dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersih-kan luka-lukanya yang berulat, kemudian membalut-nya baik-baik "

Demikianlah sekilas gambaran dari perjuangan dan keberanian pahlawan Pocut Meurah Intan.

Page 56: Wanita aceh dalam pemerintahan

38

6. Pocut Baren

Dalam tahun-tahun Revolusi fisik 1945, di Aceh di-bentuk satu lasykar rakyat yang sangat kuat persenjataannya dan amat tangguh organisasinya, bernama Divisi Rencong, di bawah pimpinan A . Hasjmy dan Nyak Neh Lhoknga. Dalam Divisi Rencong itu terdapat satu resimen Putri yang terdiri dari gadis remaja, bernama Resimen Pocut Baren, yang dibentuk pada tahun 1946, yang merupakan lasykar wanita pertama di Sumatera, dan mungkin di Indonesia. Kepahlawanan Pocut Baren telah diangkat menjadi nama resimen tersebut.

Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut Ahmad, Ulee-balang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880. Darah kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh Pocut Baren. Dalam usia muda (7-14 tahun) ia selalu meng-ikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat, sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing keiewang tidaklah asing bagi remaja puteri itu.

Page 57: Wanita aceh dalam pemerintahan

39

Setelah usia dewasa, Pocut bersuamikan seorang Kej-ruen, yang menjadi Uleebalang Geume, di samping sebagai panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut menggantikan kedudukan suaminya, baik sebagai Uleebalang maupun sebagai panglima perang, dan terus melakukan per-lawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memim-pin pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar 18 tahun, seorang janda yang luar biasa.

Pocut membangun sebuah benteng di "Gua Gunong Macang" yang menjadi markasnya, yang dari tempat itu ia melakukan gerilya dengan menyerang tiba-tiba pasukan patroli Belanda. Setiap kali patroli Belanda melewati wilayah markasnya, selalu Belanda terpaksa kembali dengan raem-bawa mayat serdadunya.

Atas perintah Kapiten Heidens, Letnan Scheuler dari kesatuan Kuala Batee, Meulaboh, berkali-kali menyerang "Gunong Macang", tetapi tidak berhasil, sampai akhirnya ia (setelah mendapat persetujuan dari Kutaraja) membakar Gunong Macang dengan 2000 liter minyak tanah sehingga Kuta Gunong Macang menjadi lautan api. Akibatnya banyak yang mati, baik dari pasukan Pocut Baren maupun juga dari serdadu marsose yang terjebak dalam gua. D i antara mayat-mayat yang ditemukan ialah mayat Teuku Cut Ahmad, ayah Pocut Baren. Adapun Posut Baren sendiri dapat menerobos pasukan marsose yang mengawal di pintu gua melalui suatu pertempuran yang sangat dahsyat. Setelah bebas dari "Neraka Gunong Macang" Pocut membangun kubu pertahanan baru, yang tidak lama kemudian ia telah menyerang pasukan Schleuler di Tanoh Mirah, pos Belanda yang telah diperkuat dengan pasukan dari Meulaboh, Kutaraja dan dari Betawi.

Page 58: Wanita aceh dalam pemerintahan

40

Dalam suatu pertempuran yang berkecamuk sejak pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukan-nya. Beliau dibawa ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja. Kakinya yang telah hancur kena pecahan peluru itu terpaksa dipotong, dan menjadi cacat.

Jenderal van Daalen yang telah menjadi Gubernur Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang Pocul Baren ke tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten Veltman, yang telah mempelajari adat istiadat Aceh memberi advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh, sebab rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka akan bertambah menyala.

Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke tanah Jawa, dan kaki kanannya yang cacat itu, menikah dengan Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop sebagai Ulee­balang Tungkop dan Geume.

Pada tanggal 9 September 1912, Kapten Veltman ber-sama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut Baren yang masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut Baren.

Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerin­tahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh, Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang harum sepanjang masa.

Page 59: Wanita aceh dalam pemerintahan

41

7. Teungku Fatimah

Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjut-kan perang grilya bersama putranya yang masih kecil, Teuku Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid sebulan kemudian, maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahan-nya, salah seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah, yang berjuang bersama suaminya Teungku di Barat.

Teungku Fatimah adalah anak Teungku Khatim se­orang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat (suaminya) adalah sama-sama murid dari Teungku Khatim.

Teungku di Barat dan Teungku Fatimah adalah Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou. Seperti pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan, Teungku Fatimah pun berperang di medan laga dengan gagah

Page 60: Wanita aceh dalam pemerintahan

42

berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang yang lain.

Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai, di mana di tempat itu di dalam suatu pertempuran yang sangat sengit, Teungku Fatimah dan suaminya teungku di Barat mati syahid bertindih mayat dengan disaksikan kayu-kayu perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung rimba. Itu terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1912.

Page 61: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 62: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 63: Wanita aceh dalam pemerintahan
Page 64: Wanita aceh dalam pemerintahan