volume :7, no.2, desember 2018
TRANSCRIPT
VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018
AlamatRedaksi/Penerbit: JurusanAnalisKesehatan - PoltekkesKemenkesSurabaya Jl.
Karangmenjangan No.18a,Surabaya
Telp. (031) 5020718, Fax.(031)5055023 Email : [email protected]
AnalisKesehatan Sains
Volume 7 No.2 Halaman 575 -642 Surabaya
Desember 2018 ISSN
2302-3635
VOL. 7 NO. 2 Desember 2018 ISSN : 2302 -3635
DAFTARISI
1. EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria Macrocarpa (scheff.)Boerl) SEBAGAI ANTI NYAMUK ELEKTRIK CAIR TERHADAP NYAMUK Aedes Aegypti. Ocky Dwi Suprobowati,Retno Sasongkowati, Sri Sulami EA .......... … 575–581
2. PEMBERIAN PISANG (Musa Paradisiaca) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL PADA MENCET (Mus Muscullus). Gita Munasika, Wieke Sri Wulan, Ayu Puspitasari……………………. . .. 582–587
3. PENGARUH PEMBERIAN JUS KURMA AJWA PADA MENCIT (Mus Musculus) TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN DAN RETIKULOSIT. Putri Minarnining Tyas, Evy Diah Woelansari, Wisnu Istanto ........ 588–594
4. EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN UMBI BAWANG MERAH (Allium Ascalonicum) TERHADAP BILANGAN PERIOKSIDA MINYAK JELANTAH BEKAS GORENGAN BERBAGAI JENIS IKAN. Ari Tri Setyawan, Indah Lestari, Christ Kartika R ......................... 595–599
5. PENGARUH PERASAN KUNYIT PUTIH (Curcuma zedoaria)TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PADA MENCIT (Mus Musculus) YANG DIINDUKSI VAKSIN HEPATITIS B. Sunita Fathma Citrawati, Edy Haryanto, Sri Sulami EA ................ 600–608
6. HUBUNGAN NILAI SEL POLIMORFONUKLEAR (NEUTROFIL, EOSINOFIL, DAN BASOFIL) DENGAN KADAR PROCALCITONIN PADA PASIEN SEPSIS BAKTERI. Felya Arumaningsih, Suhariyadi ................................................ 609–617
7. UJI EFEKTIVITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia Calabura L) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Salmonella sp METODE DILUSI CAIR . Miftakhul Hidayah Rizky, Suliati, Dwi Krihariyani ......................... 618–623
8. SINTESIS DAN PENENTUAN KARAKTERISTIK KITOSAN DARI CANGKANG KUPANG PUTIH (Corbula faba Hinds). Lailatul Musyrofah, Pestariati .................................................... 624–631
9. ISOLASI BAKTERI Vibrio Cholerae PADA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TERHADAP ANTIBAKTERI BIJI KETUMBAR (Coriandrum sativum) Rheza Danny Iswara, Diah Titik Mutiarawati, Syamsul Arifin ........ 632–642
ANALIS KESEHATANSAINS
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 575
EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA
(Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) SEBAGAI ANTI
NYAMUK ELEKTRIK CAIR TERHADAP
NYAMUK Aedes aegypti
Rosita Giofanny Triastuti1, Ocky Dwi Suprobowati2, Retno Sasongkowati2, Sri Sulami3
Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Surabaya
ABSTRAK
Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue yang angka
kejadiannya cenderung meningkat setiap tahunnya. Sejauh ini pengendalian dilakukan menggunakan
insektisida sintetik yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan membahayakan manusia
selain itu juga dapat menimbulkan resisten pada nyamuk. Maka diperlukan insektisida alternatif dari
bahan alami seperti ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl). Ekstrak buah
mahkota dewa yang mengandung bahan aktif flavonoid, alkaloid, saponin, tannin, dan minyak atsiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) sebagai anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegypti.
Jenis penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dan dilakukan di Laboratorium
Entomologi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada bulan juli 2018. Sampel yang digunakan yaitu
ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) konsentrasi 25%, 50%, 75%,
100% sebagai anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pemaparan nyamuk Aedes
aegypti dilakukan selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam paper cup dan didiamkan selama 24
jam. Kemudian diamati secara observasi dan dilakukan analisa tabel.
Hasil penelitian menunjukan terdapat rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti pada ekstrak
buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) konsentrasi 25% sebanyak 4,5 ekor
(22,5%), konsentrasi 50% sebanyak 9 ekor (45%), konsentrasi 75% sebanyak 13,5 ekor (67,5%),
konsentrasi 100% sebanyak 17,5 ekor (87,5%). Berdasarkan standar WHO konsentrasi yang efektif
dalam penelitian ini yaitu 100% dengan kematian nyamuk sebanyak 17,5 ekor (87,5%).
Kata kunci : Nyamuk Aedes aegypti; ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )
Boerl)
ABSTRACT
Aedes aegypti is the main vector of the dengue fever disease which tends to increase in number
each year. So far, the disease controlling is only done using synthetic insecticide which may cause
environmental pollution and bring danger to human, besides that, it is also possible to gain mosquito’s
resistance to the insecticide. Therefore, it needs an alternative insecticide made of natural ingredients
such as mahkota dewa fruit extract (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl). Mahkota dewa fruit extract
contains active ingredients of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins and aetheric oil. This research sets
a goal to know the effectivity of mahkota dewa fruit (Phaleria macrocarpa ( Scheff.) Boerl) as liquid of
electric mosquito repellent for the Aedes aegypti mosquito.
This research is an laboratory experimental and done in Health Department of East Java
Entomologi Laboratory in July 2018. The sample used is the exctract of mahkota dewa fruit (Phaleria
macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) with concentration of 25%, 50%, 75% and 100% as liquid of electric
mosquito repellent for the Aedes aegypti mosquito. The Aedes aegypti mosquito is exposed with the
repellent for one hour, the mosquito is then removed into a paper cup and left for about 24 hours which
then observed and table analysed.
The result of the research shows that the average death of the Aedes aegypti on the mahkota
dewa fruit extract (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) is as much as 4,5 individual (22,5%) in the
25% of concentration, 9 individual (45%) in the 50% of concentration, 13,5 indivdual (67,5%) in 75%
of concentration, 17,5 individual (87,5%) in 100% of concentration.
Keywords: Aedes aegypti; mahkota dewa fruit extract (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl)
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 576
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit
demam akut yang disebabkan oleh virus dengue
yang masuk ke peredaran darah manusia
melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes.
Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan
vektor utama penularan penyakit DBD
(KEMENKES, 2014). Menurut ROCHE
(2004), penyakit demam berdarah yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes terbagi menjadi
dua golongan, yaitu demam dengue (Dengue
Fever) atau yang lebih dikenal di Indonesia
sebagai Chikungunya (Break Bone Fever) yang
menyerang persendian tulang, namun tidak
berakibat fatal (kematian), ditularkan oleh
nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun) dan
demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic
Fever) yang ditularkan oleh Aedes aegypti.
Nyamuk yang menghisap darah ialah nyamuk
Aedes aegypti betina. Penghisapan darah
dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua
puncak waktu yaitu setelah matahari terbit
(08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam
(15.00-17.00) (FKUI, 2013).
Sepanjang tahun 2011 dilaporkan terjadi
65.432 kasus DBD di Indonesia dengan Incident
Rate (IR) 27,56/100.000 penduduk dan Case
Fatality Rate (CFR) 0,91%. Angka Bebas Jentik
(ABJ) pada tahun 2008 sebesar 85,7% menurun
pada tahun 2009 menjadi 71,1% kemudian
meningkat lagi pada tahun 2010 menjadi sebesar
81,4% (Kemenkes RI, 2012:109). Penyakit ini
juga menjadi permasalahan serius di Provinsi
Jawa Tengah. Berdasarkan data dari profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2011, IR
mencapai 15,27/100.000 penduduk dan CFR
0,93% dengan ABJ sebesar 77,14%
(Ayuningtyas, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang
didapatkan oleh Indonesia Pharmaceutical
Watch (IPhW) pada tahun 2001 bahwa, semua
obat anti nyamuk yang beredar di pasaran dalam
negeri baik berupa obat semprot, elektrik, bakar
maupun cair mengandung senyawa kimia
berbahaya bagi kesehatan yaitu: diklorvos,
propoxos dan beberapa jenis pyre-throid. Akibat
dari senyawa kimia tersebut akan terbukti ketika
terakumulasi dalam tubuh atau konsentrasi
melebihi ambang batas toleransi tubuh
(Lumowa, 2013). Dampak negatif tersebut perlu
dihindarkan dengan mengganti insektisida kimia
dengan insektisida alami (Naria, 2003).
Insektisida hayati yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan terbukti berpotensi untuk
mengendalikan vektor, baik untuk
pemberantasan larva maupun nyamuk dewasa.
Selain itu jenis insektisida ini bersifat mudah
terurai (bio-degredable) di alam sehingga tidak
mencemari lingkungan dan relatif aman bagi
alam serta bagi manusia dan binatang ternak
karena residu cepat menghilang. Daya bunuh
insektisida hayati berasal dari zat toksin yang
dikandungnya. Zat tersebut dapat bersifat racun
kontak, racun pernafasan serta racun perut pada
hewan yang berbadan lunak (Utomo, 2010).
Diketahui bahwa mahkota dewa
mempunyai kandungan zat aktif yang
banyak dan keadaan itu belum bisa
semuanya terungkap. Literatur yang
membahasnya sangat terbatas, hanya
kegunaan dari biji buah yang bermanfaat
sebagai bahan baku obat luar, misalnya
sebagai obat kudis. Pada daun dan kulit
buahnya terkandung alkaloid, saponin dan
flavonoid, selain itu pada daunnya
terkandung pula polifenol (Indriyanti dkk,.
2016). Pada daging buahnya memiliki
kandungan senyawa flavonoid sebagai zat
antioksidan yang paling tinggi. Selain
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 577
flavonoid, pada daging buah mahkota
dewa juga mengandung fenol, minyak
atsiri, lignin, sterol, alkanoid, dan tannin
(Ni Wayan dkk,. 2016). Kandungan
flavonoid dalam ekstrak buah mahkota
dewa didapatkan 1,7647 mg/L atau 2,2334
mg/kg pada buah yang masak (Rohyami,
2008). Flavonoid adalah suatu senyawa
yang dapat larut dalam air dan mempunyai
aktivitas biologis, antara lain sebagai
antioksidan yang dapat menghambat
berbagai proses oksidasi, serta mampu
bertindak sebagai pereduksi radikal
hidroksil, superoksid, dan radikal peroksil
(Indriyanti dkk,. 2016).
Berdasarkan uraian diatas peneliti
ingin menguji efektivitas ekstrak buah
mahkota dewa ( Phaleria macrocarpa (
Scheff. ) Boerl ) sebagai anti nyamuk
elektrik cair terhadap nyamuk Aedes
aegypti karena mengandung senyawa-
senyawa alami yang dapat dimanfaatkan
sebagai insektisida. Kelebihan dalam
bentuk sediaan elektrik adalah cara
pemakaiannya yang mudah, tidak
menimbulkan asap seperti obat nyamuk
bakar. Pemilihan buah Mahkota Dewa
sebagai obat anti nyamuk karena buah
mahkota dewa memiliki banyak bahan
yang berasal dari bahan alam bukan kimia
sehingga tidak mengganggu pernafasan.
HASIL PENELITIAN
Berikut hasil penelitian efektivitas
ekstrak buah mahkota dewa ( Phaleria
macrocarpa ( Scheff. ) Boerl ) sebagai anti
nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk
Aedes aegypti dengan waktu pemaparan
selama 1 jam.
Perlakuan Konsentrasi Ʃ
Nyamuk Ʃ Nyamuk Aedes aegypti yang mati Rata-rata
Kematian
Presentase
Kematian
Replikasi
1
Replikasi
2
Replikasi
3
Replikasi
4
1 25% 20 6 3 5 4 4,5 22,5 %
2 50% 20 7 9 8 12 9 45 %
3 75% 20 14 13 11 16 13,5 67,5 %
4 100% 20 15 17 19 19 17,5 87,5 %
5 Kontrol
Positif
20 20 20 20 20 20 100 %
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 578
6 Kontrol
Negatif
20 0 0 0 0 0 0%
Keterangan :
Waktu Pengamatan Kematian nyamuk : 24 jam setelah dipaparkan anti nyamuk elektrik cair
selama 1 jam.
Suhu : 23oC
Kelembapan : 51%
Kontrol positif : Larutan anti nyamuk elektrik cair
yang dijual di pasaran merk HIT Kontrol negatif : Larutan pengencer Aquadest
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 579
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
ditunjukkan pada tabel 4.1 bahwa ekstrak buah
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )
Boerl) yang memiliki jumlah kematian dan
presentase kematian nyamuk Aedes aegypti
terendah adalah konsentrasi 25 % dengan jumlah
rata-rata kematian nyamuk sebanyak 4,5 ekor dan
presentase kematian nyamuk sebesar 22,5 % dan
tertinggi pada konsentrasi 100 % dengan jumlah
rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti sebanyak
17,5 ekor dan presentase kematian nyamuk sebesar
87,5 %.
Data diperoleh dengan dilakukan
perhitungan presentase kematian nyamuk pada
pengujian kontrol positif, kontrol negatif dan
ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa
(Scheff.) Boerl) dengan konsentrasi 25%, 50%,
75% dan 100%.
Peningkatan jumlah rata-rata kematian
nyamuk Aedes aegypti dan presentase kematian
nyamuk Aedes aegypti seiring dengan peningkatan
konsentrasi ekstra buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa ( Scheff.) Boerl), karena semakin
tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin
tinggi pula kandungan senyawa aktif yang
terkandung dalam ekstrak buah mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl), yaitu
alkaloid, saponin, flavonoid, tannin, dan minyak
atsiri. Senyawa flavonoid merupakan zat aktif yang
paling banyak terdapat dalam buah mahkota dewa.
Alkaloid pada serangga bertindak sebagai racun
perut. Alkaloid dapat mendegradasi membran sel
untuk masuk ke dalam dan merusak sel. Selain itu,
alkaloid juga bekerja dengan mengganggu sistem
kerja saraf larva dan menghambat kerja enzim
asetilkolinesterase (Cania, 2012). Senyawa saponin
yang terkandung dalam larutan ekstrak buah
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )
Boerl) dapat menghambat kerja enzim proteolitik
yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim
pencernaan, penyerapan makanan serta senyawa saponin
dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah (Ariska,
2016). Menurut Dinata (2011) dalam Lestari (2013)
senyawa flavoniod apabila kontak langsung dengan
serangga dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan
mengganggu sistem pada pernapasan sehingga akan sulit
bernapas dan akhirnya serangga yang kontak langsung
dengan flavonoid tersebut akan mati. Tannin ditemukan
hampir di setiap bagian dari tanaman, yaitu pada bagian
kulit kayu, daun, buah, dan akar. Cara kerja aksi
antimikrobial tannin mungkin berhubungan dengan
kemampuan mereka untuk menginaktivasi adhesin
mikroba, enzim dan protein transport cell envelope.
Tannin juga membentuk kompleks dengan polisakarida
(Naim, 2004).
Minyak atsiri pada tanaman berfungsi memberi
bau, misal pada bunga untuk membantu penyerbukan,
pada buah untuk media distribusi ke biji, sementara pada
daun dan batang minyak atsiri dapat berfungsi sebagai
penolak serangga. Minyak atsiri merupakan bahan aktif
yang mempunyai kemampuan untuk menolak serangga
(nyamuk) mendekati manusia, mencegah terjadinya
kontak langsung antara nyamuk dan manusia, sehingga
manusia terhindar dari penularan penyakit akibat gigitan
nyamuk (Shinta, 2010). Menurut standar WHO residu
insektisida dikatakan masih efektif jika mampu
membunuh ≥ 70% nyamuk uji (Sholichah dkk, 2010).
Dari data hasil penelitian pada tabel 4.1 menunjukkan
bahwa ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) pada konsentrasi tertinggi
yaitu 100 % yang hanya memenuhi standart WHO
dengan hasil jumlah rata-rata kematian nyamuk Aedes
aegypti sebanyak 17, 5 ekor dan presentase kematian
nyamuk sebesar 87,5 %, yaitu mampu membunuh ≥ 70
% nyamuk uji, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak
buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff.)
Boerl) efektif sebagai anti nyamuk elektrik cair terhadap
nyamuk Aedes aegypti.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 580
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, kesimpulannya adalah ekstrak buah
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )
Boerl) efektif sebagai anti nyamuk elektrik cair
terhadap nyamuk Aedes aegypti, Konsentrasi
ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa
( Scheff. ) Boerl) yang efektif sebagai anti nyamuk
elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegytpi adalah
konsentrasi 100% dengan kematian nyamuk
sebanyak 17,5 ekor dan presentase kematian
sebesar 87,5 %.
Saran dalam penelitian ini adalah kepada
masyarakat, diharapkan dapat memanfaatkan
ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa
( Scheff. ) Boerl) atau dengan pengolahan lain yang
lebih sederhana seperti perasan buah mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) sebagai
anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Aedes
aegypti. Serta kepada peneliti selanjutnya,
diharapkan menggunakan bahan buah mahkota
dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff.) Boerl)
dengan pengolahan selain ekstrak seperti perasan
atau infusa buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) atau dapat
menggunakan bagian tumbuhan mahkota Dewa
yang lain sebagai anti nyamuk elektrik cair
terhadap nyamuk Aedes aegypti.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 581
DAFTAR PUSTAKA
Ariska, Herlinda Dwi. 2016. Pengaruh Ekstrak
Temu Kunci (Boesenbergia pandurata
roxb.) Sebagai Anti Nyamuk Elektrik
terhadap Nyamuk Aedes aegypti.
Surabaya: Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes
Surabaya.
Ayuningtyas, Eka Devia. 2013. Perbedaan
Keberadaan Jentik Aedes Aegypti
Berdasarkan Karakteristik Kontainer
Di Daerah Endemis Demam Berdarah
Dengue. Semarang : Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2012. Profil
Kesehatan Kota Semarang Tahun
2011. Semarang : Dinas Kesehatan.
FKUI, Staf Pengajar Departemen Parasitologi.
2013. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Indriyanti A., dkk. 2016. Pengaruh
Ekstrak Etanol Buah
Mahkota Dewa
{Phaleriamacrocarpa(Scheff)
Boerl} per Oral terhadap
Kontraktilitas Uterus Mencit Model
Gravida. Global Medical and
Health Communication, Vol. 4 No.
1
Indriyanti A., dkk. 2016. Pengaruh
Ekstrak Etanol Buah
Mahkota Dewa
{Phaleriamacrocarpa(Scheff)
Boerl} per Oral terhadap
Kontraktilitas Uterus Mencit
Model Gravida. Global Medical
and Health Communication, Vol.
4 No. 1
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil
Kesehatan Indonesia 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan
Lestari, Sri Ajeng. 2013. Pengaruh
Pemberian Rebusan Bunga Tahi
Kotok (Tagetes erecta Linn)
terhadap Kematian Larva Nyamuk
Aedes aegypti. Poltekkes Kemenkes
Surabaya.
Lumowa. 2013. Pengaruh Mat Serbuk
Bunga Sukun (Artocarpus altilis)
sebagai Isi
Ulang Anti Nya-muk Elektrik terhadap
Kematian Nyamuk Aedes aegypti.
Samarinda: Universitas Mula-warman.
Artikel FKIP UNS.
Mirnawaty dkk. 2012. Uji Efektivitas Ekstrak
Kulit Langsat (Lansium domesticum)
Sebagai Anti Nyamuk Elektrik
Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Palu:
Pendidikan Kimia/FKIP University of
Tadulako.
Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba dari
Tanaman. http://www.kompas.com.
Naria, Evi, 2003, Insektisida Nabati untuk
Rumah
Tang
ga.
http://repository.usu.ac.id/.../1/ikm-
jun2005-%20(5).
Ni Wayan D., dkk. 2016. Pengaruh Ekstrak
Etanol Daging Buah Mahkota Dewa
(Phaleria Macrocarpa) Terhadap
Viabilitas Sel Limfosit Pada Kultur
Pbmc Yang Dipapar H2O2 3%. E-
JURNAL MEDIKA, VOL. 5 NO.8
ROCHE, J.P. 2004. Dengue fever and dengue
hemorrhagic fever. Insect Service,
Boston College
Rohyami Y. 2008. Penentuan Kandungan
Flavonoid dari Ekstrak Metanol
Daging Buah Mahkota Dewa
(Phaleria Macrocarpa Scheff
Boerl). Jurnal Logika. 5 (1). 2008.
h 1-8
Shinta. 2010. Potensi Minyak Atsiri Daun
Nilam (Pogostemon cablin B.),
Daun Babadotan (Ageratum
conyzoides L), Bunga Kenanga
(Cananga odorata hook F &
Thoms) dan Daun Rosemarry
(Rosmarinus officinalis L)
sebagai Repelan Terhadap
Nyamuk Aedes aegypti L. Jakarta :
Pusat Teknologi dan Intervensi
Kesehatan.
Utomo M., dkk. 2010. Pengaruh Jumlah
Air yang Di Tambahkan pada
Kemasan Serbuk Bunga Sukun
(Artocarpus communis) sebagai
Peng-ganti Isi Ulang (Refill) Obat
Nyamuk Elektrik Terhadap Lama
Waktu Efektif Daya Bunuh Nyamuk
Anopheles aconitus lapangan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat
Indonesia. 6(1)
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 582
PEMBERIAN PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP KADAR
KOLESTEROL TOTAL PADA MENCIT (Mus muscullus)
Gita Munasika, Wieke Sri Wulan, Ayu Puspitasari
Abstrak
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu buah tropis yang tumbuh di Indonesia. Buah pisang adalah buah yang sering dikonsumsi masyarakat. Pada buah pisang terdapat kandungan gizi berupa inulin (serat), vitamin C dan kalium. Kandungan gizi tersebut diketahui memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar kolesterol total dalam tubuh.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemberian buah pisang terhadap kadar kolesterol total yang diberikan pada mencit (Mus muscullus) dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang dihasilkan dari pemberian 3 jenis buah pisang terhadap kadar kolesterol total pada mencit. Penelitian menggunakan jenis penelitian eksperimental untuk mengetahui pengaruh dari 3 kelompok perlakuan. Sebanyak 0,7 mL jus pisang diberikan kepada mencit sesuai kelompok perlakuan. Perlakuan diberikan kepada mencit menggunakan sonde selama 7 hari setelah mencit diberi perlakuan diet tinggi kolesterol. Setelah diberi perlakuan masing-masing mencit diperiksa kadar kolesterol total menggunakan cholesterolmeter.
Hasil penelitian diketahui bahwa pemberian pisang kepada mencit dapat menurukan kadar kolesterol total pada mencit setelah pemberian terapi jus pisang . Tetapi, dari pemberian 3 jenis pisang berdasarkan uji statistik tidak memiliki perbedaan hasil terhadap kadar kolesterol total pada mencit. Berdasarkan penelitian dan analisis data yang dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa pemberian terapi jus pisang pada mencit dapat mempengaruhi kadar kolesterol total pada mencit dan tidak memiliki perbedaan dari pemberian 3 jenis pisang.
Kata kunci : Pisang (Musa paradisiaca), Kolesterol total
Pendahuluan
Kolesterol diperlukan oleh tubuh
untuk membentuk dinding sel,
empedu, pemberi rasa pada
makanan, pelarut vitamin, sebagai
bantalan organ tubuh dan pembentuk
berbagai hormon seperti hormon
esterogen. Jumlah kolesterol yang
normal tidak berbahaya bagi tubuh,
tetapi kolesterol dalam jumlah berlebih
dapat menyebabkan penyakit seperti
jantung koroner. Keadaan kolesterol
dalam tubuh yang berlebih disebut
hiperkolesterol (Herliana dkk., 2009).
Tingginya kolesterol plasma
menjadi salah satu faktor resiko
terbesar yang berkontribusi pada
prevalensi dan beratnya penyakit
kardiovaskuler. Semakin tinggi serum
kolesterol, semakin besar plak
aterosklerosis yang terbentuk (Berawi
dan Andini, 2013). Hiperkolesterol
dalam tubuh juga dapat menyebabkan
penyakit hipertensi, diabetes, jantung,
stroke, katarak atau kebutaan dan
gagal ginjal. Hampir 80% kolesterol
yang ada di dalam darah diproduksi
oleh tubuh. Faktor genetik
menyebabkan produksi jumlah
kolesterol berbeda- beda pada setiap
manusia. Sebagian orang yang
mengkonsumsi kolesterol tinggi,
dalam jumlah sedikit mengalami
hiperkolesterol
. Sedangkan sebagian orang yang
juga mengkonsumsi kolesterol tinggi,
dalam jumlah sedikit tidak mengalami
hiperkolesterol (Herliana dkk., 2009).
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 583
Faktor risiko utama atau fundamental
yaitu faktor risiko lipida yang meliputi
kadar kolesterol dan trigliserida,
karena pentingnya sifat– sifat
substansi ini dalam mendorong
timbulnya plak di arteri koroner
(Zahrawardani dkk., 2013).
Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2002,
sebanyak 16,7 juta orang meninggal
akibat penyakit kardiovaskuler. Jumlah
ini meningkat menjadi sekitar 17,3 juta
orang pada tahun 2008, dan angka ini
diperkirakan akan terus meningkat
mencapai 23,3 juta orang pada tahun
2030. Di Indonesia, 30% kematian
yang ada disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler (Berawi dan Andini,
2013). Data yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada Profil Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2005
menyatakan bahwa angka statistik
rata-rata harapan hidup wanita empat
tahun lebih lama dibandingkan
dengan pria. Hal ini dapat terjadi
karena seperempat kemampuan
jantung pria menurun sejak usia 18-70
tahun. Sedangkan pada wanita hanya
terjadi sedikit perubahan sejak usia
20-70 tahun. Menurut data statistik
yang dikeluarkan oleh British Heart
Foundation, satu dari enam kematian
pada wanita disebabkan oleh penyakit
jantung koroner. Hal ini menyebabkan
pentingnya diet rendah kolesterol dan
olahraga teratur bagi pria dan wanita
agar terhindar dari resiko penyakit
tersebut (Herliana dkk., 2009).
Pengendalian kadar kolesterol
dapat dilakukan dengan
meningkatkan asupan serat yang
berpotensi menurunkan kadar
kolesterol. Mekanisme penurunan
kolesterol oleh serat pangan yaitu
dengan menghambat absorbsi
kolesterol, mencegah sintesis
kolesterol, menurunkan densitas
energi makanan
sehingga mengurangi
sintesis kolesterol dan meningkatkan
sekresi empedu (Hidayati, 2015).
Salah satu buah yang mengandung
serat yaitu buah pisang. Buah pisang
yang memiliki nama ilmiah musa
paradisiaca diyakini sebagai
tanaman asli Asia. Buah pisang
mudah ditemukan di berbagai tempat
di Indonesia. Terdapat sekitar 75
jenis buah pisang yang tumbuh di
Indonensia. Berdasarkan penelitian,
buah pisang dapat membantu
mengatasi depresi, anemia, tekanan
darah, membantu energi dalam otak,
membantu sembelit, urat syaraf, sakit
jantung dan dapat digunakan untuk
menurunkan berat badan (Suwarto,
2014; Hidayati, 2015).
Berdasarkan latar belakang tersebut
perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh buah pisang terhadap kadar
kolesterol total. Diharapkan dengan
adanya penelitian ini dapat menjadi
pengetahuan bagi masyarakat
mengenai manfaat dari buah pisang.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Fakultas
Kedokteran Hewan (FKH) Universitas
Airlangga pada bulan Maret – Juni
2016. Populasi dari penelitian ini
adalah mencit dengan jenis kelamin
jantan galur balb/c. Sampel yang
digunakan berjumlah 36 ekor mencit.
Sampel akan dibagi ke dalam 3
kelompok perlakuan secara acak.
Mencit yang digunakan merupakan
mencit berjenis kelamin jantan galur
balb/c. Mencit berusia 2-3 bulan, berat
20-30 gram, memenuhi kriteria sehat
dan tidak cacat secara anatomi.
Jenis penelitian ini adalah True
Experimental dengan menggunakan
metode analisis kuantitatif.
Rancangan penelitian ini adalah One
Group Pretest-postest. Teknik
pengambilan sampel menggunakan
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 584
teknik Purposive Sampling.
Mencit diadaptasi selama 10 hari.
Pada hari ke-11 3 ekor mencit
dipuasakan selama 8 jam sebelum
diperiksa kadar kolesterol total.
Menggunakan darah yang diambil
dari jantung mencit. Setelah itu,
semua mencit diberi diet tinggi
kolesterol secara oral menggunakan
sonde ke lambung mencit selama 7
hari 8 kali pemberian (pemberian
dilakukan 1 hari 1 kali) sebanyak 0,5
mL. Pada hari ke- 18 3 ekor mencit
dipuasakan selama 8 jam dan
diperiksa kadar kolesterol total
dengan prosedur yang sama pada
pemeriksaan kadar kolesterol total
setelah mencit diadaptasi. Setelah
diketahui mencit mengalami
kenaikan kolesterol total, mencit
diberi perlakuan pemberian jus
pisang. Kelompok perlakuan pertama
diberi jus pisang, kelompok perlakuan
kedua diberi jus pisang raja dan
kelompok perlakuan ketiga diberi jus
pisang cavendhis. Jus pisang yang
diberikan sejumlah 0,7 mL
perhari/mencit selama 7 hari 8 kali
pemberian. Pada hari ke-26 mencit
dipuasakan selama 8 jam.
Kemudian, mencit dibius dengan
kloroform dan dibedah untuk
diambil darah mencit melalui
jantung. Darah diperiksa
menggunakan alat cholesterol-
meter.
Analisis data pada
penelitian ini untuk
membandingkan perubahan
kadar kolesterol total pada 3
kelompok perlakuan
menggunakan uji Normalitas, uji
Homogenitas dan uji One Way
Anova.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan penelitian
pada mencit dari perhitungan
rata-rata kadar kolesterol total
diketahui memiliki perbedaan
hasil. Penurunan kadar kolesterol
setelah diberi diet tinggi kolesterol
dibandingkan dengan setelah
pemberian pisang dapat dilihat
pada tabel 1. Penurunan kadar
kolesterol total yang paling besar
yaitu sesudah pemberian pisang
raja, kemudian pisang kepok dan
pisang cavendhis.
Tabel 1 Hasil Kadar
Kolesterol Total Pada Mencit
Berdasarkan hasil analisa ststistik uji
Normalitas dengan uji One Sample
Kolmogorov-Smirnov dan uji
homogenitas menggunakan uji statistik
Levene’s Test didapatkan nilai
signifikan > α (0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa data tersebut
berdistribusi normal dan data homogen.
Hasil analisis data untuk mengetahui
adanya perbedaan pengaruh dari
perlakuan menggunakan uji One Way
Anova menggunakan program SPSS
menghasilkan nilai signifikan 0,435 > α
(0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa H0
diterima, artinya tidak ada perbedaan yang
signifikan dari pemberian 3 jenis pisang
terhadap kadar kolesterol total pada mencit.
Pisang raja, pisang kepok dan pisang
cavendhis secara umum memiliki
kandungan gizi berupa serat sebanyak 0,7
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 585
gram dan vitamin C sebanyak 3 mg dalam
dalam satu buah pisang matang (Muaris,
2005). Serat pangan yang diketahui ada
dalam pisang adalah serat larut air. Serat
pangan ini bersifat menyerap air selama
melewati saluran pencernaan dan
terfermentasi oleh bakteri bifidobakteria di
usus besar menghasilkan asam lemak
rantai pendek, seperti asam asetat,
propionat, dan butirat dengan proses yang
dikenal dengan anticonstipating.
Asam lemak ini selanjutnya berperan dalam
memelihara pH usus tetap asam yang
sesuai dengan pH bakteri yang
menguntungkan (Dwiyitno, 2011).
Peningkatan asam asetat, propionat dan
butirat (SCFA) diketahui dapat menurunkan
sintesis kolesterol dalam tubuh. Sedangkan
Peran antioksidan vitamin C pada
penurunan kolesterol yaitu meningkatkan
perubahan kolesterol menjadi garam
empedu dan asam empedu di dalam hati
dan mengekskresikan kedalam usus
kemudian dikeluarkan bersama feses
(Inayah dkk., 2012).
Pisang juga mengandung kalium
sebanyak 594 mg dalam 150 gram pisang
(Kumairoh, 2014). Kalium merupakan
sebuah mineral. Di dalam tubuh kalium
berbentuk elektrolit. Mekanisme kerja kalium
menurunkan kadar kolesterol darah belum
dijelaskan secara pasti. Namun kalium
mampu menurunkan kadar kolesterol darah.
Kemampuan kalium sebagai penurun kadar
kolesterol darah diduga berdasarkan tempat
kalium berada yaitu dengan cara
mengurangi kolesterol yang menempel pada
pembuluh darah dengan mengikat dan
mengeluarkan kolesterol dari pembuluh
darah. Hal ini terjadi karena kalium sebagian
besar terdapat dalam sel termasuk dalam sel
yang membentuk pembuluh darah (Uneputty
dkk., 2013).
Kandungan serat dan vitamin C
pada pisang yang dapat menurunkan
kolesterol paling banyak dimiliki oleh pisang
kepok yaitu serat 5,7 gram dan vitamin C 9
mg dan pisang raja kandungan serat 0,7
gram serta vitamin C 10 mg dalam 100
gram buah yang dapat dimakan (Ramayulis,
2013; Puspaningtyas, 2013). Hasil penelitian
menunjukkan pemberian pisang raja yang
penurunan kolesterolnya paling banyak. Hal
ini dapat terjadi dikarenakan terdapat faktor
lain yang mempengaruhi hasil terapi pada
mencit.
Keberhasilan sebuah terapi
dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tipe
terapi, karakteristik klien, taraf latihan, dan
setting terapi (situasi saat terapi) (Subekti
dan Utami, 2011). Pada saat pemberian
terapi pisang kepok, mencit menunjukkan
perilaku stress. Pada saat pemberian jus
pisang kepok pada mencit, mencit
langsung buang air besar atau air kecil
yang mengindikasikan bahwa mencit
mengalami stres. Stres yang dialami mencit
pada saat penelitian terjadi karena kesulitan
dalam mencerna atau menerima pemberian
jus pisang kepok. Pisang kepok yang
dijadikan jus akan ditambahkan dengan air
dengan volume yang sama untuk setiap
jenis pisang. Tetapi, tekstur pisang kepok
ketika menjadi jus sangat kental sehingga
mencit tidak bisa leluasa menerima
pemberian jus pisang kepok. Berbeda
dengan jus pisang raja dan jus pisang
cavendhis yang teksturnya lebih cair
daripada jus pisang kepok dengan volume
penambahan air yang sama. Tekstur yang
lebih kental daripada jus pisang raja dan
pisang cavendhis membutuhkan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan jus
pisang yang lain.
Stres dapat berdampak buruk pada
kesehatan. Stres dapat mempengaruhi
pikiran, tubuh dan perasaan. Apabila stres
dibiarkan dapat berkontribusi pada masalah
kesehatan seperti tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, obesitas dan diabetes
(Kurniawan, 2014). Stres mental
menimbulkan ketidakseimbangan hormon
yang diproduksi oleh syaraf pusat dan
menurunkan laju metabolisme. Semakin
tinggi laju metabolisme maka semakin baik
status kesehatan individu (Lingga, 2012).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi yaitu lamanya pemberian
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 586
terapi. Lama pemberian terapi perlu
diperhitungakan untuk mendapatkan hasil
terapi yang efektif. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Siti Nur Hidayati pada tahun
2015, memerlukan waktu 21 hari dalam
pemberian terapi jus pisang kepok agar
dapat memberikan hasil yang efektif dalam
penurunan kadar kolesterol total pada
hewan coba tikus (Rat). Pada penelitan ini
lama pemberian terapi pisang pada mencit
dilakukan selama 1 minggu karena populasi
mencit untuk diberi terapi selama 3 minggu
dianggap tidak mencukupi akibat
banyanknya mencit yang mati selama
penelitian. Kadar jus pisang yang diberikan
pada mencit juga mempengaruhi efektifitas
terapi. Pisang raja, kepok dan cavendhis
memiliki jumlah nutrisi yang tidak sama
jumlahnya, walaupun memiliki komponen
nutrisi yang sama. Hal ini menyebabkan
perlunya perhitungan kadar terapi yang tepat
untuk efektifitas pemberian terapi pada
mencit untuk masing-masing jenis pisang.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan didapatkan kesimpulan bahwa
rata-rata kadar kolesterol total sebelum
pemberian 3 jenis pisang adalah 157,7
mg/dL, setelah pemberian buah pisang raja
adalah 131,7 mg/dL, setelah pemberian
buah pisang kepok adalah 143 mg/dL dan
setelah pemberian buah pisang cavendhis
adalah 148 mg/dL. Sehingga diketahui
bahwa kadar kolesterol total pada mencit
mengalami perubahan setelah pemberian 3
jenis pisang.
Daftar Pustaka
Berawi, K.N., Andini, N.A.M. 2013.
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit
pisang Ambon dan Kulit Pisang Kepok
Terhadap Kadar Kolesterol Total Tikus
Putih Jantan Galur Sprague dawley.
Dwiyitno. 2011. Rumput Laut Sebagai
Sumber Serat Pangan Potensial. 6 (1).
Herliana, S., Sitanggang, M. 2009. SolusiSehat Mengatasi Kolesterol Tinggi.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Hidayati, S.N. 2015. Pengaruh pemberian
Pisang Kepok (Musa paradisiaca forma
typical) Terhadap Kadar Kolesterol Total
tikus Spague dawley Pra Sindroma
Metabolik.
Inayah., Marianti, Aditya., Lisdiana. 2012.
Efek Madu Randu dan Kelengkeng Dalam
Menurunkan Kolesterol Pada Tikus Putih
Hiperkolesterolemik. Unnes Journal of Life
Science. 1 (1).
Kaleka, N. 2013. Pisang-pisang Komersial.
Solo: ARCITA.
Kasron. 2012. Kelainan dan Penyakit
Jantung. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kumairoh, Siti. 2014. Pengaruh Pemberian
Pisang (Musa Paradisiaca)Terhadap
Kelelahan Otot Anaerob PAda Atlet
Sepak Takraw.
Kurniaawan, R.F. 2014. Rahasia Terbaru
Kedahsyatan Terapi Enzim. Healthy Book.
Lingga, L. 2012. Gampang &Pasti
Langsing. Jakarta Selatan. AgroMedia
Pustaka.
Puspaningtyas, D. E. 2013. The Miracle of
Fruits. Jakarta Selatan. AgroMedia
Pustaka.
Ramayulis, R. 2013. Jus Super Ajaib.Cibubur. Penebar Plus.
Suwarto, A. 2014. 9 Buah dan Sayur Sakti
Tangkal Penyakit. Yogyakarta: Liberplus.
Uneputty, J.P., Paulina, V.Y., Yamlean.,
Kojong, N.S. 2013. Potensi Infusa Daun
Sirsak Terhadap kadar Kolesterol Darah
Tikus Putih Jantan. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2
(2).
Utami, M.S., Subekti, Tri. 2011. Metode
Relaksasi Untuk Menurunkan Stres dan
Keluhan Tukak Lambung Pada Penderita
Tukak Lambung Kronis. Jurnal Psikologi. 38
(2): 147-163.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 587
Zahrawardani, D., Herlambang, K.S.,
Anggraheny, H.D. 2013. Analisis Faktor
resiko kejadian Penyakit Jantung Koroner di
RSUD Dr Kariadi Semarang.
JurnalKedokteran Muhammadiyah.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 588
Pengaruh Pemberian Jus Kurma Ajwa Pada Mencit (Mus musculus) Terhadap
Kadar Hemoglobin dan Retikulosit
Putriana Minarnining Tyas1, Evy Diah Woelansari2, Wisnu Istanto2
ABSTRAK
Anemia adalah kondisi sel darah merah dalam tubuh terlalu rendah sehingga
mempengaruhi sel lain seperti hemoglobin dan retikulosit. Anemia dapat terjadi karena defisiensi
zat besi. Kurma merupakan makanan yang mengandung zat besi yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus kurma ajwa
pada mencit (Mus musculus) terhadap kadar hemoglobin dan retikulosit.
Penelitian ini adalah True Experimental dengan metode kuantitatif. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Hematologi Analis Kesehatan Poltekkes Surabaya, pemeliharaan
mencit di FKH Universitas Airlangga Surabaya, dan pemeriksaan sampel darah di Rumkital
Dr.Ramelan Surabaya pada bulan Maret - Juli 2018 dengan menggunakan 25 sampel darah mencit
yang dibagi kedalam 5 kelompok meliputi kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif
diberi NaNO2 selama 18 hari dosis 3,125 mg sebanyak 0,25 mL/hari, serta kelompok 3,4,dan 5
setelah pemberian NaNO2 diberi jus kurma ajwa masing-masing 20%, 40%, dan 60% sebanyak
0,25mL selama 14 hari. Setiap sampel dari 5 kelompok diperiksa kadar hemoglobin dan
retikulositnya.
Hasil penelitian memperoleh data rata-rata kadar hemoglobin kontrol negatif sebesar 13,96 g/dL, kontrol positif 9,68 g/dL, perlakuan 1 (20%) 13,82 g/dL, perlakuan 2 (40%) 14,38 g/dL, dan
perlakuan 3 (60%) 15,02 g/dL. Hasil rata-rata retikulosit kontrol negatif 0,95%, kontrol positif
1,38%, perlakuan 1 (20%) 0,636%, perlakuan 2 (40%) 0,69%, dan perlakuan 3 (60%) 0,712%.
Berdasarkan uji One Way Anova didapatkan nilai signifikansi < α (0,05) artinya terdapat pengaruh
pemberian jus kurma ajwa pada mencit (Mus musculus) terhadap kadar hemoglobin dan
retikulosit.
Kata kunci : Kurma ajwa (Phoenix dactylifera), Kadar hemoglobin, Retikulosit, Mencit
PENDAHULUAN
Anemia merupakan salah satu kelainan
darah yang umum terjadi ketika kadar sel
darah merah (eritrosit) dalam tubuh menjadi
terlalu rendah. Hal ini dapat menyebabkan
masalah kesehatan karena sel darah merah
mengandung hemoglobin, yang membawa
oksigen ke jaringan tubuh (Proverawati,
2012). Anemia dapat terjadi karena
defisiensi zat besi (iron deficiency anemia).
Sumsum tulang memerlukan zat besi untuk
memproduksi hemoglobin darah (Briawan, 2014). Anemia merupakan masalah yang
banyak ditemukan di seluruh dunia sebagai
gangguan kesehatan utama masyarakat,
terutama dinegara berkembang yang
mempunyai dampak besar terhadap
kesehatan fisik, kesejahteraan sosial, dan
ekonomi (Susilo dkk, 2015).
Menurut data hasil Riskesdas tahun
2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu
21,7% dengan penderita anemia berumur 5
hingga 14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4%
penderita berumur 15 hingga 24 tahun
(Choiriyah, 2015). Data referensi untuk
remaja putri usia 10 hingga 18 tahun sebesar
57,1% dan usia 19 hingga 45 tahun sebesar
39,5%. Menurut WHO tahun 2004 anemia sudah dikenal sebagai masalah gizi
masyarakat selama bertahun-tahun, namun
kemajuan didalam penurunan prevalensinya
masih dinilai sangat rendah (Indaswari,
2013).
Kekurangan zat besi dianggap sebagai
penyebab paling umum anemia di seluruh
dunia, walaupun kondisi lain seperti
kekurangan folat, vitamin B12 dan vitamin
A, peradangan kronis, infeksi parasit dan
kelainan bawaan semuanya dapat
menyebabkan anemia (Utami & Graharti,
2017). Besi merupakan bagian dari molekul
Hb, dengan berkurangnya besi maka sintesa
Hb akan berkurang dan mengakibatkan
kadar Hb akan turun. Kadar Hb yang rendah
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 589
akan mempengaruhi kemampuan
menghantarkan oksigen yang sangat
dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh
(Sangging&Abdillah, 2017). Zat besi (Fe)
merupakan faktor yang berhubungan dengan
pembentukan sel darah merah dan
hemoglobin dalam darah (Negara dkk,
2017).
Pemeriksaan laboratorium untuk anemia
terdiri dari pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit, jumlah eritrosit, serta ukuran eritrosit dan pada beberapa laboratorium
ditambahkan juga pemeriksaan trombosit
dan retikulosit. Retikulosit adalah sel darah
merah yang masih muda yang tidak berinti
dan berasal dari proses pematangan
normoblas di sumsum tulang. Hitung
retikulosit penting karena dapat digunakan
sebagai indikator produktivitas dan aktivitas
eritropoiesis di sumsum tulang (Susilo dkk,
2015). Sintesis hemoglobin dimulai di dalam
proeritroblas dan dilanjutkan sedikit didalam stadium retikulosit. Saat retikulosit
meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke
aliran darah, retikulosit tetap membentuk
sedikit hemoglobin (Zen dkk, 2013).
Anemia terjadi bila kadar hemoglobinnya
dibawah 12 g/dl pada wanita dan 14 g/dl
pada pria (Aldi dkk, 2014).
Anemia pada tubuh dapat menyebabkan
kelelahan, penurunan energy, sesak napas,
tampak pucat, denyut jantung cepat, tekanan
darah rendah, sakit kepala dan tidak bisa
berkonsentrasi (Proverawati, 2012).
Sehingga dibutuhkan bahan makanan yang
dapat meningkatakan kadar hemoglobin
serta memperbaiki kadar retikulosit. Banyak
bahan makanan mengandung zat besi yang
sudah diteliti. Namun beberapa diantaranya
ada yang belum banyak diteliti yaitu buah kurma. Kelebihan dari buah kurma ini dapat
dikonsumsi secara langsung dan tidak
menimbulkan efek samping. Khasiat
tumbuhan herbal belum mendapatkan
perhatian dan hal ini perlu dikembangkan.
Buah kurma (Phoenix dactylifera)
merupakan makanan yang mengandung
energy tinggi dengan komposisi ideal,
didalamnya memiliki kandungan
karbohidrat, triptofan, omega-3, vitamin C,
vitamin B6, Ca2+, Zn dan Mg. Buah kurma
mengandung serat yang sangat tinggi, selain
itu juga mengandung kalium, mangan,
fosfor, besi, belerang, kalisium juga
magnesium yang sangat baik untuk
dikonsumsi. Kandungan zat besinya bisa
meningkatkan kadar hemoglobin dalam
tubuh (Nugroho dkk, 2017).
Penelitian perihal sari kurma terhadap
kadar hemoglobin yang dilakukan oleh Zen
dkk (2013) menunjukkan bahwa sari kurma
dapat meningkatkan kadar hemoglobin
sebesar 0,15 mg/dL. Namun dalam
penelitian tersebut varietas kurma belum
diketahui secara pasti dan di berikan saran
untuk mengukur kadar retikulosit sebagai
indikator utama pada kasus anemia.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka kurma Ajwa perlu diangkat sebagai
topik penelitian mengenai pengaruh
pemberian jus kurma ajwa pada mencit (Mus musculus) terhadap kadar hemoglobin dan
retikulosit.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah True
Experimental dengan menggunakan metode
analisis kuantitatif. Rancangan penelitian ini
adalah postest control group design.
Perlakuan yang digunakan adalah kontrol
negatif pemberian aquades, kontrol positif
pemberian NaNO2 sebanyak 0,25 mL/25gBB dan kelompok percobaan
pemberian jus kurma Ajwa (Phoenix
dactylifera) dengan konsentrasi yang
berbeda yaitu konsentrasi 20%, konsentrasi
40%, dan konsentrasi 60%.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Hematologi Analis Kesehatan Poltekkes
Kemenkes Surabaya untuk persiapan sampel
bahan uji, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Surabaya untuk pemeliharaan mencit dan Rumkital
Dr.Ramelan Surabaya untuk pemeriksaan
sampel darah mencit pada bulan Maret-Juli
2018.
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah mencit
berjenis kelamin jantan strain Balb/c yang
berada di kadang Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mencit jenis kelamin jantan, strain
Balb/c dengan berat badan ± 20-30 gram,
umur 2-3 bulan, sehat dan tidak cacat.
Berdasarkan rumus Federer penelitian ini
menggunakan 25 ekor mencit yang dibagi
menjadi kedalam 5 kelompok perlakuan.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seperangkat alat pemeliharaan
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 590
mencit, sonde, spuit, pipet, neraca analitik,
alat bedah, batang pengaduk, gelas ukur,
beaker glass, tabung reaksi, spatula, blender,
sarung tangan (latex), alat Hematology
analyzer, tabung darah dengan antikoagulan
EDTA, spuit 1 mL, kamera, tissue, dan alat
tulis serta bahan yang digunakan kurma
ajwa, NaNO2 dan darah dari 25 ekor mencit
jantan galur balb/c.
Tahap Penelitian
A. Penentuan Pemberian Jus Kurma
Ajwa
Menurut Habiba (2017) untuk
pemberian bahan pada mencit melalui
oral/rute oral/oral gavage/gastric
intubation diberikan 1%. Pemberian jus
kurma Ajwa (Phoenix dactylifera) pada
mencit melalui oral sebanyak 0,25 ml
dari setiap konsentrasi jus kurma (Phoenix dactylifera). Pemberian
didapatkan dari perhitungan sebagai
berikut :
Volume pemberian = berat hewan
coba x persen pemberian
= 25 gram x 1%
= 25 gram x (1 mL/100 gram)
= 0,25 mL
Jadi, pemberian jus kurma ajwa pada
mencit dengan konsentrasi 20%,40%
dan 60% masing-masing sebanyak
0,25mL/25gBB mencit.
B. Pembuatan Jus Kurma Ajwa Kurma ajwa yang akan dibuat
menjadi jus ditimbang seberat 20, 40,
60 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam blender. Setelah itu ditambahkan
aquades masing-masing sebanyak 100
mL, kemudian kurma ajwa diblender hingga hancur. Konsentrasi jus kurma
ajwa yang didapat adalah 20%, 40%
dan 60%.
C. Pemberian Dosis NaNO2
Menurut Munawaroh (2009), LD50 rata-
rata dari Natrium nitrit secara oral pada tikus
adalah 250 mg/kg berat badan. Pada
penelitian ini menggunakan mencit (Mus
musculus) dengan berat badan 25 gram, sehingga LD50 untuk tiap ekor adalah:
Kadar NaNO2 mencit = kadar NaNO2 tikus
6,25 mg
Perlakuan patologis anemia yang efektif:
LD50 = x LD50
= x 6,25 mg
= 3,125 mg
Jadi dosis yang digunakan setiap ekor yaitu
3,125 mg yang dilarutkan dalam 1 mL
aquades. Natrium nitrit diberikan sebanyak
0,1 mL/10gBB/hari (Sianturi, 2015).
Natrium nitrit diberikan kepada mencit sebanyak 0,25 mL/25gBB/hari.
D. Pemberian Perlakuan
Mencit dikelompokkan kedalam 5
kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol
negatif, kelompok kontrol positif, kelompok
perlakuan 1, kelompok perlakuan 2, dan
kelompok perlakuan 3. Semua mencit
diadaptasi selama 7 hari. Selama proses adaptasi mencit hanya diberi makan dan
minum. Hal ini bertujuan untuk menjaga
kondisi tubuh mencit agar tidak stress. Alas
kandang mencit diganti setiap 3 hari sekali
untuk menjaga mencit agar tetap sehat.
Setelah adaptasi 7 hari, kontrol negatif
dibedah untuk diambil darahnya dan
diperiksa kadar hemoglobin dan
retikulositnya.
Kontrol positif, perlakuan 1, 2, dan 3
diinduksikan NaNO2 dengan dosis 3, 125
mg sebanyak 0,25mL sekali dalam 1 hari
secara intraperitonial selama 18 hari serta diberi makan dan minum. Setelah 18 hari,
kontrol positif dibedah dan diperiksa kadar
hemoglobin serta retikulositnya.
Setelah penginduksian NaNO2 selama 18
hari, mencit dengan perlakuan 1 diberikan
jus kurma ajwa dengan konsentrasi 20%, mencit perlakuan 2 diberi jus kurma ajwa
konsentrasi 40% dan mencit perlakuan 3
diberi jus kurma ajwa kosentrasi 60%.
Masing-masing mencit diberi jus kurma
ajwa sebanyak 0,25mL selama 14 hari
secara oral. Setelah 14 hari, mencit dibedah
untuk diambil darahnya dan diperiksa kadar
hemoglobin serta retikulositnya.
Prosedur Pemeriksaan Kadar
X mg
Hemoglobin dan Retikulosit
Masing-masing sampel darah mencit
yang akan diperiksa kadar hemoglobin dan
retikulositnya dimasukkan ke dalam tabung
EDTA 1mL. Kemudian sampel diperiksa
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 591
menggunakan alat hematology analyzer
(Mindray BC 6800) sehingga didapatkan
hasil.
HASIL PENELITIAN
Hasil pemeriksaan sampel darah
penelitian ini memperoleh hasil kadar
hemoglobin dari sampel darah pada 25 ekor
mencit dengan perhitungan rata-rata pada
kelompok kontrol negatif 13,96 g/dL. Pada
kelompok kontrol positif adalah 9,68 g/dL
Kadar hemoglobin rata-rata mencit
perlakuan 1 adalah 13,82 g/dL. Pada kelompok perlakuan 2 memiliki kadar
hemoglobin rata-rata 14,38 g/dL. Sedangkan
pada kelompok perlakuan 3 memiliki kadar
hemoglobin rata-rata 15,02 g/dL .
Gambar 4.1 Diagram Perbandingan Kadar
Rata-rata Hemoglobin Mencit
Sedangkan hasil perhitungan retikulosit
dari sampel darah pada 25 ekor mencit
memiliki rata-rata pada kelompok kontrol
negatif 0,95%. Pada kelompok kontrol positif adalah 1,38%. Hitung retikulosit rata-
rata mencit perlakuan 1 adalah 0,636%.
Pada kelompok perlakuan 2 memiliki hitung
retikulosit rata-rata 0,69%. Sedangkan pada
kelompok perlakuan 3 memiliki hitung
retikulosit rata-rata 0,712% .
Gambar 4.2 Diagram Perbandingan Rata-
rata Retikulosit Mencit
Berdasarkan uji normalitas dan uji
homogenitas didapatkan nilai signifikansi > α (0,05) artinya data berdistribusi normal
dan homogen sehingga memenuhi
persyaratan untuk uji One Way Anova .
Berdasarakan uji One Way Anova
didapatkan nilai signifikansi hemoglobin
sebesar 0.00 dan retikulosit 0.022 < α (0,05)
yang menandakan terdapat pengaruh
pemberian jus kurma ajwa pada mencit
terhadap kadar hemoglobin dan retikulosit.
PEMBAHASAN
Penelitian yang telah dilakukan tentang
pengaruh pemberian jus kurma ajwa
(Phoenix dactylifera) terhadap kadar
hemoglobin dan retikulosit ini pada
kelompok kontrol negatif setelah adaptasi
selama 7 hari diperoleh hasil dengan rata-
rata kadar hemoglobin adalah 13,96 g/dL
dan rata-rata kadar retikulosit adalah 0,95%.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa mencit dalam kondisi yang normal karena nilai
normal hemoglobin mencit yaitu 13 – 15
g/dL dan nilai normal retikulositnya adalah
0,5 – 1,5% (Sari, 2017). Kartikawati (2017)
membuktikan bahwa dengan adaptasi
selama 7 hari dapat memberi kepastian
bahwa mencit dalam keadaan sehat dan
tidak mengalami gangguan metabolisme
yang ditunjukkan dengan hasil yang didapat
dalam range normal.
Kelompok kontrol positif dan perlakuan
1,2,3 diinduksi dengan 3,125 mg NaNO2 yang dilarutkan dalam 1 mL aquades dan
diberikan secara intraperitonial pada mencit
sebanyak 0,25 mL/ekor/hari selama 18 hari.
Setelah 18 hari dilakukan pemeriksaan pada
5 ekor mencit kelompok kontrol positif dan
didapatkan hasil hemoglobin dibawah nilai
normal dan retikulosit berada di range
normal. Pada pemeriksaan kontrol positif
menunjukkan adanya penurunan hemoglobin
dan peningkatan jumlah retikulosit yaitu
dengan hasil hemoglobin rata-rata sebesar 9,68 g/dL dan retikulosit rata-rata sebesar
1,38%.
Hasil pemeriksaan hemoglobin dan
retikulosit ini menunjukkan bahwa mencit dalam kondisi anemia dengan ditandai
penurunan jumlah hemoglobin dan
peningkatan retikulosit. Hasil retikulosit
yang masih dalam range normal
menandakan bahwa sumsum tulang tidak
mampu untuk merespon sistem umpan balik
tubuh (Hackley 2014). Nurjanah (2017)
membuktikan bahwa dengan pemberian
patologis (NaNO2) pada mencit selama 14
hari dapat menyebabkan penurunan sel
darah merah hal ini terjadi karena adanya gangguan adsorbsi zat besi sehingga mencit
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 592
mengalami anemia defisiensi zat besi. Hal
tersebut disebabkan karena jika ion nitrit
diserap dalam darah dan bila terjadi kontak
dengan eritrosit, nitrit akan mengoksidasi
Fe2+ dalam hemoglobin menjadi Fe3+
menjadi methaemoglobin.
Berdasarkan hasil uji Statistik One Way
Anova pada data kadar hemoglobin
didapatkan nilai Asymp sig. adalah 0,000. Pada data retikulosit didapatkan nilai Asymp
sig. adalah 0,022. Hal tersebut menunjukkan
bahwa data kadar hemoglobin dan retikulosit
didapatkan nilai Asymp sig. < α (0,05)
menunjukkan bahwa ada pengaruh
pemberian jus kurma ajwa (Phoenix
dactylifera) terhadap kadar hemoglobin dan
retikulosit pada mencit.
Hasil dari perlakuan 1,2 dan 3 setelah
pemberian jus kurma ajwa selama 14 hari
didapatkan rata-rata kadar hemoglobin
mencit untuk konsentrasi 20% adalah 13,82
g/dL, konsentrasi 40% adalah 14,38 g/dL dan konsentrasi 60% adalah 15,02 g/dL.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya
peningkatan kadar hemoglobin setelah
pemberian jus kurma ajwa. Nugroho dkk (2017) menunjukkan bahwa sari kurma
dapat menjadi nutrisi yang dapat
meningkatkan kadar hemoglobin sebesar
3,59 g/dL pada hewan coba tikus putih
betina karena mengandung protein, serat,
glukosa, vitamin, biotin, asam folat, niasin
dan zat besi yang dapat membantu
pembentukan hemoglobin. Ulya (2018)
membuktikan bahwa dengan pemberian
beberapa dosis ekstrak daging buah kurma
Ajwa (Phoenix dactylifera L.) terhadap
kadar hemoglobin pada mencit (Mus musculus) bunting menunjukan
kecenderungan peningkatan rata-rata kadar
hemoglobin seiring dengan besarnya dosis
yang diberikan. Hal ini dikarenakan adanya
zat besi yang terdapat pada buah kurma
dapat mensintesis pembentukan heme yang
dapat memacu kadar hemoglobin.
Persentase retikulosit dari pemberian jus kurma ajwa 20% adalah 0,636%, 40%
adalah 0,69% dan 60% adalah 0,712%. Hasil
tersebut menandakan bahwa terdapat
kenaikan retikulosit seiring dengan
penambahan dosis pemberian jus kurma
ajwa pada mencit (Mus musculus) yang
anemia. Kaihatu dan Mantik (2016)
menunjukkan bahwa dengan pemberian
terapi besi dengan vitamin A beserta seng
mendapatkan hasil yang bermakna
dibandingkan sebelum pemberian terapi.
Retikulosit merupakan parameter yang
digunakan untuk menilai keberhasilan terapi
besi pada anemia defisiensi besi (Kaihatu
dan Mantik, 2016). Sebagai respon terhadap
terapi besi retikulosit akan meningkat dan
kadarnya mencapai maksimal beberapa hari
setelah terapi dan turun kembali kekeadaan
normal (Kaihatu dan Mantik, 2016). Saat
tubuh mendapatkan asupan zat besi yang cukup dalam kondisi anemia maka tubuh
akan menerima sistem umpan balik sehingga
dapat memenuhi kebutuhan eritrosit. Besi
yang segera dibutuhkan oleh tubuh untuk
produksi sel darah merah akan lebih cepat
diserap apabila tubuh mengalami
kekurangan zat besi dan segera disalurkan
ke sumsum tulang untuk digunakan dalam
pembentukan hemoglobin dalam sel darah
merah (Sari, 2017). Zat besi tersebut akan
diserap oleh duodenum yang kemudian akan masuk ke dalam plasma dan disebarkan ke
seluruh jaringan tubuh dengan menggunakan
alat angkut yaitu transferin reseptor, dan
sebagian zat besi lainnya disebarkan ke
dalam sumsum tulang untuk pembentukan
sel darah merah yang baru. Pada tahap ini
terjadi penggabungan antara besi ferro ke
dalam protoporfirin III yang dikatalis oleh
enzim ferroketalase, selanjutnya interaksi
heme dan globin akan membentuk
hemoglobin baru dalam sel darah merah
(Kartikawati, 2017).
Namun untuk waktu pengambilan
sampel darah mencit untuk pemeriksaan
retikulosit ini kurang tepat karena sel
retikulosit sudah berubah menjadi eritrosit.
Diharapkan untuk peneliti lebih lanjut dapat
memonitor pemeriksaan retikulosit secara serial sehingga diketahui secara pasti saat
retikulosit mencapai kadar maksimal dan
hasil pada hari itulah kadar retikulosit
seharusnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kadar hemoglobin pada mencit sebelum
perlakuan sebesar 13,96 g/dL, mencit yang
anemia sebesar 9,68 g/dL dan kadar
hemoglobin terhadap mencit dengan pemberian jus kurma ajwa konsentrasi 20%
menunjukkan hasil 13,82 g/dL, 40%
menunjukkan hasil 14,38 g/dL, dan 60%
menunjukkan hasil 15,05 g/dL.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 593
2. Besar persentase retikulosit sebelum
perlakuan sebesar 0,954%, mencit yang
anemia sebesar 1,384% dan besar persentase
retikulosit terhadap mencit dengan
pemberian jus kurma ajwa konsentrasi 20%
menunjukkan hasil 0,636%, 40%
menunjukkan hasil 0,69%, dan 60%
menunjukkan hasil 0,712%.
3. Pemberian jus kurma ajwa (Phoenix
dactylifera) berpengaruh terhadap peningkatan kadar hemoglobin dan
retikulosit pada mencit (Mus musculus) yang
anemia dengan nilai signifikansi kadar
hemoglobin 0,000 dan 0,022 untuk
retikulosit.
SARAN
1. Sebagai informasi pada masyarakat
bahwa dengan mengkonsumsi jus kurma
ajwa (Phoenix dactylifera) dapat menjadi
alternatif dalam mengatasi masalah anemia.
2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan
untuk menggunakan kurma ajwa atau kurma
varietas lain terhadap kadar retikulosit yang
diperiksa secara serial dengan rentang waktu
masa pembentukan retikulosit yang tepat pada pasien anemia atau pemberian jus
kurma ajwa pada mencit anemia dengan
rentang waktu pemberian perlakuan dan
induksi yang sama.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan
dapat menggunakan jus kurma ajwa dengan
pemberian dosis yang sesuai sebagai terapi
terhadap pasien leukemia dengan
pemeriksaan retikulosit secara serial.
DAFTAR PUSTAKA
Aldi dkk, 2014. Pengaruh Pemberian
Ekstrak Etanol Meniran
(Phyllantus niruri L) Terhadap
Jumlah Eritrosit,Retikulosit,
Kadar Hemoglobin dan Nilai
Hematokrit pada Mencit Putih
Jantan. Jurnal Perkembangan
Terkini Sains Farmasi Klinik IV.
Fakultas Farmasi Universitas
Andalas Padang, Sekolah Tinggi
Farmasi Indonesia Yayasan
Perintis Padang, Padang. Retrieved
fromhttp://www.semnasffua.com/
pub/2014/PROSIDING%202014_
p110-118.pdf Briawan, D, 2014. Anemia Masalah Gizi
Pada Remaja Wanita. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Habiba, T. D, 2017. Pengaruh Air Perasan
Daun Pepaya (Carica Papaya L)
Terhadap Jumlah Trombosit pada
Mencit (Mus Musculus L).
Skripsi. Poltekkes Kemenkes
Surabaya, Jurusan Analis
Kesehatan, Surabaya.
Hackley, B, 2014. Buku Ajar Bidan
Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta. Penerbit Buku
Kedokeran.
Indahswari, Lilis dkk, 2013. Hubungan Pola
Konsumsi Dengan Kejadian
Anemia Pada Wanita Prakonsepsi
Di Kecamatan Ujung Tanah Dan
Kecamatan Biringkanaya Kota
Makasar. Universitas Hasanuddin
Makasar, Jurusan Ilmu
Gizi,Makasar.Retrievedfromhttp:/
/repository.unhas.ac.id
Kaihatu, F & Mantik M, 2016. Efektifitas
Penambahan Seng dan Vitamin A
Pada Pengobatan Anemia
Defisiensi Besi. RSU. Dr.R.
Kondou Manado. Retrieved from
http://fl kaihatu, m mantik - sari
pediatri, 2016 - saripediatri.org
Kartikawati, I, 2017. Efek Pemberian Pisang
Uli (Musa Paradisiaca L. Aab)
Pada Mencit (Mus Musculus)
Terhadap Kandungan Kadar
Hemoglobin. Poltekkes
Kemenkes Surabaya, Jurusan
Analis Kesehatan, Surabaya.
Munawwarah, H, 2015. Hubungan
Pemberian Kurma (Phoenix
dactylifera L) Varietas Ajwa
Terhadap Kolesterol Total Darah.
Skripsi. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Jakarta.Retrieved
from http://repository.uinjkt.ac.id
Negara dkk, 2017. Pengaruh Ekstrak
Kelakai (Stenochlaena polustris) Terhadap Kadar Hemoglobin
Pada Tikus Putih (Rattus
novergicus). Jurnal Borneo
Journal of Pharmascientech.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Cahaya Bangsa Banjarmasin.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 594
Retrieved from
http://www.jurnalstikesborneolest
ari.ac.id
Nugroho dkk, 2017. Sari Kurma Sebagai
Suplemen Nutrisi Untuk Menambah Kadar Hemoglobin
pada Tikus Putih Betina (Ratus
Norvegitus). Jurnal Medika
Respati. Universitas Respati
Yogyakarta. Retrieved from
http://medika.respati.ac.id/index.p
hp/medika/article/view/10
Nurjanah, 2017. Pengaruh Perasan Daun
Pepaya (Carica papaya L.)
Terhadap Kondisi Hematologis
Mencit Jantan (Mus musculus Linn) Anemia Melalui Induksi
Natrium Nitrit. Artikel Ilmiah.
Uniersitas Jambi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Retrieved from http://
repository.unja.ac.id
Proverati, A, 2012. Anemia dan Anemia
Kehamilan. Cetakan 1.
Yogyakarta: Nuha Medika
Sangging, P & Abdillah A, 2017. Efektifitas
Sari Buah Kurma Terhadap
Anemia Defisiensi Besi (ADB)
Pada Balita. Jurnal.Lampung.
Universitas Lampung, Lampung.
Retrieved from http://juke.kedokteran.unila.ac.id
Sari, R, 2017. Efek Spirulina Platensis
Terhadap Kadar Hemoglobin,
Jumlah Eritrosit, dan Nilai
Hematokrit pada Mencit Anemia.
Skripsi. Poltekkes Kemenkes
Surabaya, Jurusan Analis
Kesehatan, Surabaya.
Sianturi, S, 2015. Pengaruh Buah Terong
Belanda (Solanum betaceum
Cav.) Terhadap Jumlah Eritrosit
dan Kadar Hemoglobin Mencit
Jantan (Mus musculus L.) Anemia
Strain DDW Melalui Induksi
Natrium Nitrit (NaNO2). Jurnal.
Universitas Sumatera Utara,
Medan. Retrieved from
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/
sbiologi/article/view/1304
Susilo dkk, 2015. Uji Aktivitas Peningkatan
Jumlah Hemoglobin Dan
Penurunan Jumlah Retikulosit
Infusa Daun Sirsak (Annona
muricata L) Pada Tikus Anemia
Yang Diinduksi Fenilhidrazin
HCl. Jurnal Farmasi dan Obat
Alam. UNW. Universitas Ngundi
Waluyo, Semarang. Retrieved from http://e-
journal.unw.ac.id/index.php/jfoa/a
rticle/view/13
Ulya, S, 2018. Pengaruh Pemberian Ekstrak
Daging Buah Kurma Ajwa (Phoenix dactylifera L.) Terhadap
Kadar Hemoglobin Pada Mencit
(Mus musculus) Bunting. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel. Fakultas Sains dan
Teknologi Surabaya. Retrieved
from http:// digilib.uinsby.ac.id
Utami, N & Graharti, R, 2017. Kurma
(Phoenix dactiyifera) dalam
Terapi Anemia Defisiensi Besi.
Jurnal Kesehatan. Universitas Lampung, Fakultas Kedokteran,
Lampung. Retrieved from
http://juke.kedokteran.unila.ac.id
Zen dkk, 2013. Pengaruh Pemberian Sari
Kurma (Phoenix dactylifera)
terhadap kadar Hemoglobin.
Jurnal Sains Medika, Vol 5, No 1. Universitas Islam Sultan Agung
(UNISSULA), Fakultas
Kedokteran, Lampung. Retrieved
from http://sainsmedika
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 595
EFEKTIVITAS AKTIVITAS ANTIOKSIDAN UMBI BAWANG MERAH (Allium
ascalonicum) TERHADAP BILANGAN PEROKSIDA MINYAK JELANTAH BEKAS
GORENGAN BERBAGAI JENIS IKAN
Ari Tri Setyawati, Indah Lestari, Christ Kartika R
ABSTRAK
Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat terjadinya reaksi oksidasi dan mampu
mencegah peningkatan radikal bebas. Bawang merah memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi, kaya
akan flavonoid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan pada bawang merah (Allium
ascalonicum) serta mengetahui seberapa efektifnya antioksidan yang terkandung pada bawang merah dalam
menghambat laju angka peroksida minyak jelantah bekas gorengan ikan. Penelitian yang dilakukan di Laboratorium Kimia Air Makanan dan Minuman Jurusan Analis
Kesehatan Surabaya dan laboratorium Kimia Laboratorium Terpadu Poltekkes Surabaya pada bulan Januari
hingga Mei 2017 ini bersifat eksperimen dengan analisa kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 517 nm dan metode titrimetri. Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas antioksidan didapatkan nilai IC50 rata-rata 144,63 ppm. Pada
penetapan bilangan peroksida minyak jelantah bekas gorengan ikan kembung sebelum direndam bawang merah 23,65 meq O2/kg dan setelah direndam bawang merah 3,97 meq O2/kg. Pada minyak jelantah bekas gorengan
ikan bandeng sebelum direndam bawang merah 16,11 meq O2/kg dan setelah direndam bawang merah 1,89 meq
O2/kg. Pada minyak jelantah bekas gorengan ikan lele sebelum direndam 15,28 meq O2/kg dan setelah
direndam bawang merah 1,68 meq O2/kg. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bawang merah efektif dalam
menghambat laju angka peroksida minyak jelantah bekas gorengan ikan.
Kata Kunci : Antioksidan, Bawang merah (Allium ascalonicum), Bilangan peroksida, DPPH
ABSTRACT
Antioxidant is a compound that capable to obstruct oxidation reaction and capable to prevent the free
radical increase. Onion has high antioxidants and also rich of flavonoid. This research purposed to know about
the activity in Onion (Allium ascalonicum) and also to know how effective the antioxidant in Onion to prevent
peroxide value in oil waste from fried fish. This research is done at Water Chemical Laboratory of Food and Drink, Health Analyst Surabaya and
Integrated Chemical Laboratory of Health Polytechnic Surabaya on January till May 2017. This research is
experimental with quantity analyst using spectrophotometer UV-Vis in wavelength 517 nm from Titrimetri Method
Based on research’s results, this antioxidant activity test we can obtain IC50 with average 144,63 ppm. In
determining the peroxide value of oil waste from fried mackerel before soaked in 23,65 meq O2 /kg of Onion
and after soaked in Onion is 3,97 meq O2/kg. In oil waste from fried milkfish before soaked in Onion is 16,11
meq O2/kg and after soaked in Onion is 1,89 meq O2/kg. In oil waste from fried catfish before soaked in Onion
is 15,28 meq O2/kg and after soaked in Onion is 1,68 meq O2/kg. Conclusion from this research is Onion is effectively prevent the value of peroxide in oil waste from fried fish.
Keyword : Antioxidant, Onion (Allium ascalonicum), Peroxide value, DPPH
PENDAHULUAN
Salah satu kesalahan penggunaan minyak
goreng yang tanpa disadari dalam dapur keluarga yang sering dilakukan ialah penggunaan secara
berulang dengan alasan penghematan. Pada
dasarnya penggunaan minyak goreng secara
berulang, tingkat suhu serta bahan pangan yang
digoreng menyebabkan kerusakan pada minyak
yang ditandai dengan timbulnya ketengikan.
Penggunaan suhu pada saat penggorengan
mempengaruhi kualitas minyak yang telah
digunakan. Sedangkan komponen yang terdapat
pada bahan pangan akan terurai ke dalam minyak
goreng yang digunakan dan dapat menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada setiap bahan
pangan tergantung dari komponen apa saja yang
terkandung didalamnya (Reskiati, 2012). Pemanasan minyak goreng yang
berulang kali (lebih dari 2 kali) pada suhu tinggi
(160o C sampai dengan 180o C) akan menyebabkan kerusakan pada minyak sehingga minyak menjadi tengik yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan (Suhardjo,
1992). Setiap dipakai, minyak akan mengalami penurunan mutu.
Kadar asam lemak tak jenuh dan vitamin A, D, E,
dan K yang terdapat pada minyak semakin lama
akan semakin berkurang dan yang tersisa tinggal
asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan
penyakit, seperti penyakit jantung koroner dan
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 596
stroke (Reskiati, 2012).
Umbi bawang merah (Allium
ascalonicum) dapat berperan sebagai antioksidan
alam, karena mengandung flavonoid yang bersifat
sebagai antioksidan. Bawang merah (Allium
ascalonicum) ini mengandung senyawa
antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan
antioksidan sintetik yang beredar dipasaran
(Benkeblia, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Korry, dkk (2015) terhadap angka
peroksida pada minyak curah dengan penambahan
bawang merah setelah mengggoreng paha ayam
broiler sebesar 1,151 meq/kg, sedangkan tanpa
penambahan bawang merah setelah penggorengan
terjadi kenaikan angka peroksida sebesar 7,962
meq/kg. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Mulasari dan Utami (2012) terhadap jenis
makanan gorengan (tahu, tempe, telur, terong,
ayam, dan ikan goreng) dengan frekuensi
penggorengan lebih dari empat kali dengan peroksida paling tinggi yaitu 11,25 meq/kg
(Mulasari dan Utami, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut maka akan
dilakukan penelitian tentang pengaruh
penambahan umbi bawang merah (Allium
ascalonicum) yang diharapkan dapat menurunkan
bilangan peroksida minyak jelantah bekas
gorengan ikan lele, ikan bandeng, dan ikan
kembung.
METODE PENELITIAN
Alat
Labu iod, buret, statif, pipet volume, neraca analitik, gelas arloji, maat pipet, corong gelas, pipet
tetes, ball filler, spektrofotometri UV-Vis, kuvet,
aluminium foil, labu ukur, parafilm.
Bahan Ekstrak methanol bawang merah, vitamin C, methanol, DPPH, KIO3 0,1N, Na2S2O3 0,1N, KI
10%, KI jenuh, Indikator amylum 1%, asam asetat glasial, kloroform.
Preparasi Sampel
Pembuatan Ekstrak Bawang Merah
Menimbang umbi bawang merah 25 gram.
Maserasi menggunakan methanol 3x24 jam.
Ekstrak methanol yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh
diuapkan dengan rotary evaporator untuk
mendapatkan ekstrak kental.
Minyak Jelantah Bekas Gorengan Ikan
Ikan kembung, ikan bandeng, dan ikan lele
dengan bobot yang hamper sama digoreng pada masing- masing minyak goreng. Penggorengan
dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing
ikan.
Analisis Bilangan Peroksida
Analisis bilangan peroksida dilakukan dengan metode titrasi Iodometri menurut AOAC 1975.
Sebanyak 5 gram sample ditimbang, menambahkan 30 mL larutan asam asetat glasial-kloroform (3:2), kemudian dihomogenkan.
Menambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh. Mendiamkan selama ± 15 menit pada tempat gelap. Menitrasinya dengan Na2S2O3 0,1 N
hingga warna kuning muda. Menambahkan indikator amilum 1% beberapa tetes. Menitrasinya kembali dengan Na2S2O3 0,1 N
hingga warna biru tepat hilang. Mencatat volume
Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk titrasi. Dihitung
dengan rumus :
(Vs - Vb) x N x 1000
bobot sampel (gram)
Pembuatan Larutan Induk Ekstrak Bawang
Merah
Menimbang 500,0 mg ekstrak kental bawang merah masukkan kedalam labu ukur 100,0 mL.
Menambahkan metanol sampai 100,0 mL.
Mengencerkan sampel dengan konsentrasi 100
ppm, 50 ppm, 25 ppm, 12,5 ppm dan 6,25 ppm.
Pembuatan Larutan DPPH 0,004%
Menimbang 4,0 mg serbuk DPPH, melarutkan
dengan metanol, kemudian memasukkan ke
dalam labu ukur. Menambahkan metanol sampai
100 ml. Mengukur absorban larutan DPPH pada
panjang gelombang 517 nm, absorban yang
terukur harus 0,80-0,82. Bila absorban lebih dari 0,80-0,82 maka diencerkan dengan metanol
dalam skala kuvet terlebih dahulu, setelah itu
dilakukan pengenceran skala besar.
Pembuatan Larutan Vitamin C 200 ppm
sebagai Standart
Menimbang 10,0 mg Vitamin C secara langsung
menggunakan cawan timbang. Melarutkan
dengan sedikit metanol, memasukkan ke dalam
labu ukur 50,0 ml. Membilas cawan timbang
beberapa kali dengan metanol, menambahkan
metanol sampai 50,0 ml. Mengencerkan sampel
dengan konsentrasi 50 ppm, 40 ppm, 30 ppm, 20
ppm, 10 ppm.
Pengukuran anti radikal bebas pada
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 597
panjang gelombang 517 nm untuk
menentukan % inhibisi DPPH pada sampel
dan vitamin C
Masing-masing konsentrasi dipipet
sebanyak 150,0 μL. Ditambahkan 1350,0 μL larutan DPPH sehingga kadarnya menjadi 1/10.
Perhitungan kapasitas anti radikal bebas ekstrak
diukur dari peredaman warna ungu merah DPPH
pada puncak 517 nm. Dihitung dengan rumus :
Nilai IC 50 didapatkan dengan melakukan regresi
linier dengan konsentrasi (ppm) sebagai absis dengan % peredaman sebagai ordinatnya.
HASIL
Setelah dilakukan penelitian aktivitas
antioksidan pada bawang merah, serta analisis
bilangan peroksida pada minyak jelantah bekas
gorengan berbagai jenis ikan, maka di dapatkan
hasil yang ditunjukkan pada tabel 1 dan tabel 2.
Tabel 1 Hasil rata-rata IC50
Sampel IC50 (ppm)
Replikasi 1 Replikasi 2 Rata-Rata
Vitamin C 10,732 10,732
Bawang merah 145,096 144,147 144,621
Tabel 2 Hasil rata-rata penetapan bilangan peroksida minyak goreng jelantah bekas gorengan berbagai jenis ikan.
Sampel Bilangan Peroksida (meq O2/kg)
Replikasi 1 Replikasi 2 Rata-Rata
Ikan kembung sebelum perendaman
24,06
23,24
23,65
Ikan kembung setelah perendaman
3,97
3,96
3,97
Ikan bandeng sebelum perendaman
15,90
16,31
16,11
Ikan bandeng setelah perendaman
1,59
2,18
1,89
Ikan lele sebelum perendaman 16,49 14,07 15,28
Ikan lele setelah perendaman 0,99 2,37 1,68
Dari hasil penelitian diatas didapat hasil rata-rata bilangan peroksida pada minyak jelantah
bekas gorengan ikan kembung sebelum direndam
bawang merah 23,65 meq O2/kg dan setelah
direndam bawang merah 3,97 meq O2/kg, ikan
bandeng sebelum direndam bawang merah 16,11 meq O2/kg dan setelah direndam bawang merah
1,89 meq O2/kg, ikan lele sebelum direndam
bawang merah 15,28 meq O2/kg dan setelah
direndam bawang merah 1,68 meq O2/kg. Hasil
yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk
grafik.
Gambar 1 Grafik penurunan bilangan peroksida minyak
jelantah sebelum dan sesudah perendaman bawang
merah (Allium ascalonicum).
PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan untuk pemeriksaan aktivitas
antioksidan pada umbi bawang merah (Allium
ascalonicum) didapatkan nilai akhir IC50. Nilai
IC50 didapatkan dengan menggunakan rumus
persamaan regresi linier yang kemudian mengganti y dengan 50 dan nilai x yang ada pada
persamaan garis menunjukkan nilai IC50 (Mu’nisa,
2012). Pada pemeriksaan ini menggunakan vitamin C sebagai standart dan sebagai
pembanding hasil sampel bawang merah yang telah didapat. Data hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pada vitamin C didapatkan hasil IC50
sebesar 10,73 ppm. Vitamin C merupakan suatu antioksidan yang larut dalam air dan memiliki aktivitas antiosidan yang besar karena bersifat
sebagai reduktor. Sifat reduktor tersebut disebabkan karena vitamin C memiliki gugus hidroksi bebas yang bertindak sebagai penangkap
radikal bebas dan jika mempunyai gugus polihidroksi akan meningkatkan aktivitas antioksidan (Isnindar dkk., 2011). Vitamin C
merupakan suatu antioksidan yang larut dalam air dan memiliki aktivitas antiosidan yang besar karena bersifat sebagai reduktor. Sifat reduktor
tersebut disebabkan karena vitamin C memiliki gugus hidroksi bebas yang bertindak sebagai penangkap radikal bebas dan jika mempunyai
gugus polihidroksi akan meningkatkan aktivitas antioksidan (Isnindar dkk., 2011). Hasil
pemeriksaan pada bawang merah didapatkan IC50
sebesar 144,62 ppm. Amir Husni dkk (2014) dalam penelitiannya mencantumkan antioksidan bersifat sensitif terhadap cahaya dan panas, oleh
karena itu penanganan bahan baku sumber antioksidan harus baik dan dihindarkan dari faktor yang dapat menurunkan aktivitasnya. Aktivitas
antioksidan menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu penyimpanan. Hal tersebut berarti bahwa aktivitas antioksidan dapat
menurun akibat perlakuan suhu dan lama waktu penyimpanan.
Dalam tabel 2 menunjukkan hasil
bilangan peroksida sebelum perendaman bawang
merah pada ikan kembung yakni 23,65 meq
O2/kg, ikan bandeng 16,11 meq O2/kg dan ikan
lele 15,28 meq O2/kg. Menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI) tahun 2013 menentukan bahwa
salah satu syarat mutu minyak goreng yang baik
untuk digunakan yaitu dengan nilai bilangan
peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan
Standardisasi Nasional, 2013). Pada saat proses
menggoreng makanan dapat terjadi perubahan-
perubahan fisika-kimiawi pada makanan yang
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 598
digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila
suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu
normal (160-180°C) akan menyebabkan
degradasi minyak goreng dengan cepat (antara
lain titik asap menurun) (Devi, 2010). Menurut penelitian Siti Aminah (2010), terjadinya
peningkatan bilangan peroksida pada minyak
goreng curah karena semakin banyaknya
pengulangan penggorengan. Hal ini terbukti pada
penelitian ini penggorengan dilakukan tiga kali
menunjukkan bilangan peroksida tinggi melebihi
batas normal SNI tahun 2013. Menurut penelitian
Gunawan dkk (2003), terjadinya peningkatan
bilangan peroksida disebabkan oleh minyak yang
bereaksi dengan oksigen pada ikatan rangkap dan
terjadi reaksi berantai yang terus menerus
menyediakan radikal bebas yang menghasilkan peroksida lebih lanjut. Selain itu, dengan adanya
pemanasan asam lemak tidak jenuh terurai akibat
permukaan minyak yang panas dan kontak
langsung dengan udara. Rantai karbon dalam
ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak
bebas bertambah. Rantai karbon yang terputus
berikatan dengan oksigen sehingga peroksida
minyak juga bertambah.
Pada umumnya senyawa peroksida
mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga
lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan peroksida dalam jumlah yang kecil.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, peroksida
dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam
vitamin dalam bahan pangan berlemak misalnya
vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin
B. Peroksida juga dapat mempercepat proses
timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak
dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah
peroksida dalam bahan pangan (lebih besar dari
100) akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat
dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren, 2012).
Untuk menghambat terbentuknya
peroksida dan mempertahankan ikatan rangkap
minyak maka perlu dihambat oleh adanya
antioksidan, salah satunya yaitu antioksidan alami
yang dapat dimanfaatkan adalah bawang merah.
Di dalam bawang merah terkandung senyawa
flavonoid sebagai salah satu antioksidan. Fungsi
dari flavonoid sebagai zat yang dapat
mempertahankan ikatan rangkap dari minyak
goreng sehingga mencegah terjadinya oksidasi
yang dapat meningkatkan bilangan peroksida. Dalam tabel 2 menunjukkan hasil bilangan
peroksida sesudah perendaman bawang merah
pada ikan kembung yaitu 3,97 meq O2/kg, ikan
bandeng 1,89 meq O2/kg, dan ikan lele 1,68 meq
O2/kg. Menurut WHO, kriteria daya hambat
bilangan peroksida bersifat efektif apabila dapat
menurunkan lebih dari 70%. Berdasarkan kriteria
tersebut, bawang merah yang direndamkan
kedalam minyak jelantah memiliki efektivitas
daya hambat bilangan peroksida sebesar 86,83%.
Perbedaan penurunan bilangan peroksida
pada penggorengan ikan disebabkan oleh
beberapa faktor. Beberapa penelitian
memperlihatkan kaitan antara habitat ikan (perairan laut dengan kedalaman tertentu), jenis
makanan, dan tingkat aktivitas / mobilitas
terhadap kandungan asam lemak omega 3 dalam
daging ikan. Jenis ikan laut yang hidup di
perairan laut dalam yang memiliki tingkat
aktivitas / mobilitas yang tinggi, mengkonsumsi
plankton laut dalam dan hidup dalam lingkungan
yang jauh dari pencemaran akan menghasilkan
daging dengan asam lemak omega 3 yang relatif
tinggi. Seperti ikan salmon, tuna, kembung,
sardine, dan tenggiri. Asam lemak omega 3
adalah termasuk asam lemak tak jenuh, oleh karena itu asam lemak omega 3 ini sangat peka
terhadap proses oksidasi. Adanya perlakuan
pemasakan dan penyimpanan ikan yang kurang
tepat dapat menyebabkan perubahan-perubahan
fisik maupun komposisi kimia. Dengan adanya
perubahan kimiawi tersebut maka kemungkinan
besar akan terdapat degradasi asam lemak omega
3. Pengaruh luar seperti suhu, radiasi, logam
katalis dapat mempercepat laju oksidasi asam
lemak tersebut, yang akibat lanjutannya,
terjadilah penurunan mutu zat gizi yang terkandung dalam bahan tersebut. Faktor diatas
sering ditemui dalam proses pemasakan ikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan, perendaman bawang merah kedalam minyak
jelantah bekas gorengan ikan kembung, ikan
bandeng, dan ikan lele selama 60 menit efektif
menghambat laju angka peroksida sebesar
86,83%.
Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan
analisa angka peroksida minyak segar terlebih
dulu untuk mengetahui perbedaan angka
peroksida sebelum dan sesudah
penggorengan.
2. Untuk masyarakat penggunaan minyak goreng diharapkan tidak melebihi dua kali penggorengan dengan pemanasan suhu diatas
160o.
Daftar Pustaka
Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak
Goreng Curah dan Sifat
Organoleptik Tempe pada
Pengulangan Penggorengan.
Vol. 01 No. 01. Jurnal Pangan
dan Gizi
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 599
Anwar, Reskiati Wiradhika. 2012. Studi Pengaruh
Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Terhadap Stabilitas Minyak Kelapa
Selama Proses Penggorengan.
Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin.
Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar
Nasional Indonesia-Minyak Goreng. SNI 3741:2013 ICS 67.200.10
Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. PT Kompas Media Nusantara.
Jakarta Gunawan dkk. 2003. Analisis Pangan:
Penentuan Angka Peroksida dan
Asam Lemak Bebas pada Minyak
Kedelai dengan Variasi
Menggoreng. Vol. VI, No. 3.
JSKA
Husni, A., Putra, D.F., Lelana, I. 2014. Aktivitas
Antioksidan Padina sp. Pada Berbagai
Suhu Dan Lama Pengeringan. JPB
Perikanan Vol 9(2): 165–173.
Islamia, Sarah. 2015. Efek Lama Pemanasan
terhadap Perubahan Bilangan
Peroksida Minyak Goreng yang
Berpotensi Karsinogenik pada
Pedagang Gorengan di Kelurahan
Pasar Minggu. Skripsi. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Isnindar., Wahyuono, S., dan Setyowati, E. P.
2011. Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Antioksidan Daun Kesemek (Diospyros kaki Thunb.)
dengan metode DPPH (2,2-difenil-
1-pikrilhidrazil). Majalah Obat
Tradisional. Vol 16 (3) : 157-164.
Ketaren. 2012. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta
Khasanah, Atiqotul. 2016. Uji Aktivitas
Antioksidan pada Kembang Kol
(Brassica oleracea) var. botrytis)
dengan Perbedaan Lama
Perebusan. Karya Tulis Ilmiah.
Jurusan Analis Kesehatan .
Politeknik Kesehatan Kemenkes
Surabaya
Pitojo, Setijo. 2003. Benih Bawang Merah.
Kanisius. Yogyakarta
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 600
PENGARUH PERASAN KUNYIT PUTIH (Curcuma zedoaria) TERHADAP
JUMLAH LIMFOSIT PADA MENCIT (Mus musculus) YANG
DIINDUKSI VAKSIN HEPATITIS B
Sunita Fathma Citrawati(1), Edy Haryanto(2), Sri Sulami Endah Astuti(2)
ABSTRAK
Penyakit hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara
berkembang di dunia, termasuk di Indonesia yang disebabkan oleh Virus
Hepatitis-B dan menimbulkan terjadinya kerusakan pada stem sel sehingga
mempengaruhi produk limfosit. Tanaman kunyit putih (Curcuma zedoaria)
mengandung senyawa aktif kurkumin yang dapat digunakan sebagai
hepatoprotektor serta mampu memperbanyak jumlah limfosit. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perasan kunyit putih (Curcuma
zedoaria) terhadap jumlah limfosit pada mencit (Mus musculus) yang diinduksi
vaksin hepatitis B.
Metode dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan post
test only control group design. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai
Juni 2017 di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan
Laboratorium Hematologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes
Surabaya dengan hewan coba mencit galur Balb/c sebanyak 24 ekor. Variabel
bebas dalam penelitian ini yaitu perasan kunyit putih. Variabel terikatnya adalah
jumlah limfosit. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara statistik
dengan uji parametrik uji One Way Anova.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian perasan
kunyit putih konsentrasi 100% berpengaruh terhadap jumlah limfosit pada mencit
yang diinduksi vaksin hepatitis B. Ditandai dengan adanya peningkatan tertinggi
jumlah limfosit dari pemberian perasan kunyit putih selama 21 hari sebesar 2338
/mm3 darah. Diharapkan masyarakat dapat menggunakan kunyit putih sebagai
obat alami yang dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh.
Kata Kunci : Kunyit putih (Curcuma zedoaria), hepatitis B, limfosit
PENDAHULUAN
Penyakit hepatitis merupakan
masalah kesehatan masyarakat di
Negara berkembang di dunia,
termasuk di Indonesia. Berdasarkan
data KEMENKES RI (2012), virus
hepatitis B telah menginfeksi
sejumlah 2 milyar orang di dunia dan
sekitar 240 juta merupakan pengidap
virus hepatitis B kronis. Prevalensi
penderita hepatitis B terbesar di
Indonesia terdapat di lima provinsi
yakni Bangka Belitung (48,2%),
Maluku (47,6%), Sulawesi Barat
(39,0%), DKI Jakarta (37,7%) dan
Kalimantan Barat (30,7%), untuk
provinsi Jawa Timur sebanyak
(17,4%) (KEMENKES RI, 2013).
Virus hepatitis B dapat ditularkan
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 601
melalui perkutan (misal, tusukan
yang melalui kulit) atau mukosa,
paparan darah infeksius atau cairan
tubuh yang mengandung darah.
HBsAg telah dideteksi pada beberapa
darah dan cairan tubuh, hanya serum,
semen, dan air liur dapat menularkan
(Pambudi et al, 2016).
Virus hepatitis B masuk ke
dalam tubuh dan dikenali oleh
reseptor. Kemudian dipresentasikan
APC (Antigen Presenting Cell) oleh
MHC (Major Histo Compatibility).
Reseptor dari limfosit merespon
terhadap kontak dengan virus dengan
cara membangkitkan respon
kekebalan yang efisien dan selektif
yang bekerja di seluruh tubuh untuk
mengeluarkan suatu benda asing. Sel
limfosit tersebut melawan virus
hepatitis B yang masuk dengan cara
meningkatkan jumlah sel limfosit,
sehingga jika ada virus masuk dalam
tubuh maka sel limfosit akan
memperbanyak diri berubah menjadi
sel plasma dan menghasilkan
antibodi untuk melawan antigen
virus yang masuk tersebut (Setyani,
2012).
Indonesia memiliki banyak
jenis tanaman yang dapat
dibudidayakan karena bermanfaat
dan kegunaannya besar bagi manusia
dalam hal pengobatan. Pada saat ini,
banyak orang yang kembali
menggunakan bahan-bahan alam
untuk menghindari bahan-bahan
kimia sintesis (Koirewoa, 2012).
Christine (2007) mengungkapkan
kunyit putih (Curcuma zedoaria)
merupakan salah satu tanaman herbal
yang digunakan sebagai
hepatoprotektor. Senyawa dalam
tanaman herbal ini mampu
memperbanyak jumlah limfosit,
meningkatkan toksisitas sel
pembunuh kanker (natural killer),
sintesis antibodi spesifik dan
merangsang aktivitas makrofag.
Sifat-sifat tersebut akan menguatkan
mekanisme pertahanan tubuh
terutama pada sel hati. Namun
berdasarkan penelitian dari Nitawati
(2013) mengungkapkan bahwa
kurkumin memiliki efek
antiinflamasi dan juga dapat
menghambat produksi sitokin
proinflamasi seperti IL-2 dan IL-12
yang sangat berpengaruh terhadap
penurunan limfosit T sitotoksik.
Rimpang temu putih mengandung
1,0- 2,50 % minyak atsiri,
kurkuminoid yang berkhasiat sebagai
hepatoprotektor dan zingiberen (Rita,
2010). Kandungan kurkuminoid
pada kunyit putih yakni kurkumin
(77%), demetoksikurkumin (18%),
bisdemetoksikurkumin (5%)
(Basnet&Basnet, 2011). Murwanti
dkk (2006) mengungkapkan bahwa
senyawa kurkuminoid yang terisolasi
dari ekstrak rimpang kunyit putih
pada pemberian dosis 500 mg mencit
memiliki aktivitas penghambat
karsinogenesis terbaik yang berperan
sebagai anti proliferasi.
Berdasarkan data dan referensi
di atas, penelitian ini dilaksanakan
secara in vivo untuk memperoleh
data tentang pengaruh perasan kunyit
putih (Curcuma zedoaria) terhadap
jumlah limfosit pada mencit (Mus
musculus) yang diinduksi vaksin
hepatitis B.
JENIS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode eksperimental yaitu suatu
metode yang mengetahui pengaruh
perasan kunyit putih (Curcuma
zedoaria) terhadap jumlah limfosit
pada mencit (Mus musculus) yang
diinduksi vaksin hepatitis B
dengan rancangan penelitian post
test only group design yaitu
mengukur adanya pengaruh
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 602
perlakuan pada kelompok
eksperimen dengan
membandingkan kelompok
perlakuan dengan kelompok
kontrol.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Mei sampai Juni 2017
di Unit Infeksius Pengembangan
dan Penelitian Hewan Coba
Fakultas Kedokteran Hewan
(FKH) Universitas Airlangga
Surabaya, Jl. Dr. Ir. H. Soekarno,
Mulyorejo untuk perlakuan
terhadap hewan coba, sedangkan
untuk menghitung jumlah limfosit
dilakukan di Laboratorium
Hematologi Jurusan Analis
Kesehatan Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Surabaya,
Jl. Karangmenjangan 18A,
Surabaya.
Alat dan Reagen
Alat yang digunakan yaitu
pisau, saringan, talenan, beaker
glass, parutan, sonde, autoclave,
aluminium foil, spuit 1 cc, object
glass, cover glass, spatula, tissue
kering, jembatan pewarnaan, petri
disc, erlenmeyer, kapas steril,
kamar hitung Neubauer improved,
rak tabung reaksi, tabung EDTA
0,5 mL, botol aquadest, pipet
thoma leukosit, aspirator, cell
counter, pipet tetes, magnetic
heater dan mikroskop binokuler.
Reagen yang dibutuhkan pada
penelitian ini adalah antikoagulan
EDTA, larutan Giemsa siap pakai,
alkohol 96 %, alkohol 70 %, oil
imersi, aquadest steril dan air.
Bahan Uji, Hewan Coba dan
Pemilihan Hewan Coba
Bahan uji yang digunakan
pada penelitian ini yaitu darah
mencit yang berada pada kandang
hewan coba di Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga Surabaya
yang dipilih secara purposive
sampling dengan kriteria galur
Balb/c, berjenis kelamin jantan,
berusia 8 minggu (±2 bulan),
memiliki berat badan 20-30 gram
dan dalam keadaan sehat serta
tidak cacat. Mencit kemudian
dibedakan menjadi kelompok
kontrol yang hanya diberi perasan
kunyit putih (Curcuma zedoaria)
dan kelompok perlakuan yang
diinduksi vaksin Hepatitis B jenis
rekombinan dan diberi perasan
kunyit putih (Curcuma zedoaria).
Hewan coba yang digunakan
sebanyak 24 ekor mencit yang
diperoleh dari Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga Surabaya.
Pemilihan hewan coba dilakukan
secara random. Kemudian akan
diberikan perlakuan hingga
memenuhi kriteria berat badan yaitu
25 gram. Hewan coba yang telah
memenuhi kriteria dipisahkan
menjadi tiga kelompok perlakuan.
Perlakuan pertama sebagai kontrol
negatif, perlakuan kedua dengan
pemberian kunyit putih (Curcuma
zedoaria) secara oral selama 7
hari, perlakuan ketiga dengan
pemberian kunyit putih (Curcuma
zedoaria) secara oral selama 14
hari dan perlakuan keempat dengan
pemberian perasan kunyit putih
(Curcuma zedoaria) secara oral
selama 21 hari,. Penelitian ini
membutuhkan kandang, sekam,
pakan dan tempat minum serta
hewan coba yang dibutuhkan
adalah 24 ekor mencit. Setiap
kelompok perlakuan membutuhkan
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 603
satu kandang yang berisi 6 ekor
mencit. Kelompok kontrol negatif
terdiri dari 6 ekor mencit.
PROSEDUR PENELITIAN
Sterilisasi Alat dan Bahan
Semua alat gelas yang
digunakan dalam penelitian ini harus
steril, dengan terlebih dahulu
disterilkan di autoclave dengan suhu
121˚ C selama 15 menit.
Pembuatan Perasan Kunyit
Putih (Curcuma zedoaria)
Perasan kunyit putih yang
didapat dengan memilih kunyit
yang tidak terlalu tua yaitu kunyit
yang belum bertunas. Kulit kunyit
dikupas kemudian dicuci dengan
aquadest, lalu ditiriskan dan
diangin-anginkan, selanjutnya
diparut sampai halus, diperas dan
dengan saringan. Perasan
dimasukkan ke erlenmeyer steril
tanpa ditambah dengan aquadest
sehingga diperoleh perasan kunyit
putih 100 %. Setelah itu masuk ke
proses Tyndallisasi yaitu dengan
memanaskan perasan kunyit putih
(Curcuma zedoaria) sebanyak 100
mL menggunakan waterbath pada
suhu 65oC selama 30 menit 3 hari
berturut-turut (Sabrina, 2014).
Penentuan Dosis Perasan Kunyit
Putih
Menentukan dosis pemberian
perasan kunyit putih konsentrasi
100% terhadap hewan coba mencit.
Dosis yang diberikan pada hewan
coba mencit secara oral sebesar
0,325 mL.
Penentuan Dosis Pemberian
Vaksin Hepatitis B
Volume vaksin yang
diberikan dihitung berdasarkan
dosis pada manusia yang
dikonversikan untuk dosis mencit
yaitu sebesar 2,6 μL/20 g BB.
Karena volume tersebut terlalu
kecil, maka dilakukan pengenceran
vaksin menggunakan akuabides
hingga volume 125 μL
(Khusnawati, 2015).
Perlakuan Hewan Coba Mencit
(Mus musculus)
Adaptasi hewan coba
dilakukan selama 7 hari mulai
dengan hanya diberi pakan dan
minum seperti biasa. Kandang hewan
coba didesinfektan dengan alkohol
70 % setiap hari sejak dilakukan
adaptasi sampai penelitian selesai.
Pada proses ini menggunakan
24 ekor mencit yang dibagi
menjadi 4 kelompok perlakuan.
Prosedur masing-masing perlakuan
adalah sebagai berikut :
a. Perlakuan pertama sebanyak
enam ekor mencit sebagai
kontrol negatif. Mencit diberi
minum perasan kunyit putih
(Curcuma zedoaria) sebanyak
0,325 mL selama 21 hari.
Setelah itu enam ekor mencit
yang telah diberi perlakuan
selama 21 hari dibiarkan selama
2 hari dengan hanya diberi
pakan dan minum. Pengamatan
jumlah limfosit dilakukan pada
hari ke-23.
b. Perlakuan kedua sebanyak enam
ekor mencit diberi minum
perasan kunyit putih (Curcuma
zedoaria) sebanyak 0,325 mL
dan diinduksi vaksin hepatitis B
sebanyak 125 µL pada hari ke-0
(setelah 7 hari adaptasi). Setelah
itu enam ekor mencit yang telah
diberi perlakuan selama 7 hari
dibiarkan selama 2 hari dengan
hanya diberi pakan dan minum.
Pengamatan jumlah limfosit
dilakukan pada hari ke-9.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 604
c. Perlakuan ketiga sebanyak enam
ekor mencit diberi minum
perasan kunyit putih (Curcuma
zedoaria) sebanyak 0,325 mL
dan diinduksi vaksin hepatitis B
sebanyak 125 µL pada hari ke-0
(setelah 7 hari adaptasi). Setelah
itu enam ekor mencit yang telah
diberi perlakuan selama 14 hari
dibiarkan selama 2 hari dengan
hanya diberi pakan dan minum.
Pengamatan jumlah limfosit
dilakukan pada hari ke-16.
d. Perlakuan keempat sebanyak
enam ekor mencit diberi minum
perasan kunyit putih (Curcuma
zedoaria) sebanyak 0,325 mL
dan diinduksi vaksin hepatitis B
sebanyak 125 µL pada hari ke-0
(setelah 7 hari adaptasi). Setelah
itu enam ekor mencit yang telah
diberi perlakuan selama 21 hari
dibiarkan selama 2 hari dengan
hanya diberi pakan dan minum.
Pengamatan jumlah limfosit
dilakukan pada hari ke-23
(Si’amah, 2016).
Pemeriksaan Jumlah Limfosit
Melakukan pengambilan
sampel darah pada mencit yang
dimasukkan ke dalam tabung EDTA.
Pemeriksaan jumlah limfosit
dilakukan dengan melakukan
Differential Counting dan hitung
sel leukosit untuk mendapatkan
jumlah limfosit.
HASIL PENELITIAN
Data hasil penelitian jumlah limfosit mencit
Kelompok Jumlah Sel Leukosit
/mm3 darah
Rata-rata
Limfosit /mm3 darah
Rata-rata
Kontrol Negatif
4650
4883
2743
3125
6000 3480
4850 3395
4650 3162
5350 3424
3800 2546
Perlakuan 7 hari
1200
2392
696
1279
2600 1456
3400 2040
1850 684
2850 1624
2450 1176
Perlakuan 14 hari
3650
4567
2372
1999
5250 2625
6500 2145
5000 1950
3250 1365
3750 1537
Perlakuan 21 hari
4000
4525
1600
2338
4750 2992
3750 1725
4500 1665
4400 2596
5750 3450
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 605
Keterangan :
Limfosit /mm3 darah : Jumlah limfosit % x Jumlah sel leukosit /mm3 darah
Jumlah Normal Limfosit : 1300 – 3700 /mm3 darah
ANALISA DATA
Hasil yang didapatkan diolah
dengan uji parametrik One Way
Anova didapatkan nilai significant
pada jumlah limfosit sebesar 0,000
(p < α = 0,05) maka menunjukkan
terdapat pengaruh pemberian perasan
kunyit putih terhadap jumlah limfosit
pada mencit yang diinduksi vaksin
hepatitis B.
PEMBAHASAN
Hasil uji one way anova nilai
signifikan p yaitu 0,00 (< α = 0,05)
menyebutkan adanya peningkatan
pada jumlah limfosit dari perlakuan 7
hari ke perlakuan 14 hari dan 21 hari
serta jumlah limfosit pada perlakuan
21 hari yang mendekati jumlah
limfosit pada kelompok kontrol
negatif. Perasan kunyit putih yang
diberikan pada mencit sebagai
imunoterapi diharapkan dapat
meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dari virus yang masuk ke
tubuh mencit. Mencit yang diinduksi
vaksin hepatitis B mengalami
penurunan keaktifan dan urine serta
faeces yang berwarna kekuningan,
dapat diketahui hasil jumlah limfosit
pada mencit dengan perlakuan 7 hari
memiliki jumlah leukosit dan
limfosit yang rendah menandakan
adanya serangan virus yang mulai
masuk dan menyerang sistem
kekebalan tubuh mencit. Kelompok
mencit dengan perlakuan 14 hari dan
21 hari jumlah limfosit terus
mengalami peningkatan yang
mengarah pada terbentuknya
antibodi untuk melawan antigen
virus yang masuk tersebut.
Kelompok mencit kontrol negatif
memiliki jumlah limfosit berada
dalam batas normal. Nurdjanah
(2005) yang membuktikan bahwa
kurkumin berkhasiat terutama
sebagai imunomodulator atau
menjaga sistem imun agar tetap
optimal. Disamping itu kondisi
mencit yang sehat dan tidak
terinfeksi juga merupakan salah satu
faktor jumlah limfosit pada
kelompok kontrol negatif berada
dalam batas normal. Kelompok
perlakuan 7 hari diketahui jumlah
limfosit lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol negatif. Hal ini
menandakan virus hepatitis B
beredar pada peredaran darah mencit
dan mulai bereplikasi pada sel
kemudian segera diserang oleh
sistem imun non spesifik. Kemudian
muncul alfa interferon yang
mengaktifkan peran sel Natural
Killer (NK). Pemberian perasan
kunyit putih yang mengandung
kurkumin dapat membantu α
interferon dalam mengaktivasi sel
Natural Killer untuk merangsang
produksi interferon ɣ. IFN- ɣ yang
diproduksi berbagai sel sistem imun
merupakan sitokin utama MAC
(Macrophage Activating Cytokine)
dan berperan terutama dalam
imunitas non spesifik seluler. IFN- ɣ
adalah sitokin yang dapat
mengaktifkan makrofag, sehingga
makrofag mengalami peningkatan
aktivitas fagositosis secara cepat dan
efisien dalam menyingkirkan
antigen. (Baratawidjaja, 2014).
Kelompok perlakuan 14 hari
memiliki jumlah limfosit meningkat
dibandingkan kelompok perlakuan 7
hari dan lebih rendah dibandingkan
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 606
kelompok kontrol negatif. Mulai
terjadi respon imun spesifik selular
dan limfosit mulai memperbanyak
diri dalam menyerang virus hepatitis
B. Carvalho et al., (2010)
menyatakan bahwa pemberian
ekstrak Curcuma zedoaria secara
oral dapat meningkatkan jumlah total
leukosit pada pertumbuhan sel
tumor. Christine (2007)
mengungkapkan bahwa kunyit putih
(Curcuma zedoaria) merupakan
salah satu tanaman herbal yang
digunakan sebagai hepatoprotektor.
Senyawa aktif kurkumin dalam
tanaman herbal ini mampu
memperbanyak jumlah limfosit,
meningkatkan toksisitas sel
pembunuh kanker (natural killer),
sintesis antibodi spesifik dan
merangsang aktivitas makrofag.
Virus yang masuk ke tubuh mencit
langsung diserang oleh sistem
antibodi non spesifik yaitu makrofag
dan bila sistem imun non spesifik
belum dapat mengatasi invasi virus
hepatitis B maka sistem imun
spesifik terangsang dan limfosit
mulai memperbanyak diri dalam
menyerang virus hepatitis B. Pada
hari ke-14 virus hepatitis B telah
menempel pada jaringan hepatosit
dan berada intraselular kemudian
dikenali oleh sistem imun spesifik
sebagai antigen. Limfosit terutama
limfosit T yang teraktivasi oleh
keberadaan antigen seperti virus
hepatitis B menghasilkan senyawa
interleukin seperti interleukin 2 (IL-
2). IL-2 mampu menstimulasi
limfosit T yang ada di sekitarnya
untuk terus berproliferasi, sehingga
jumlah total leukosit dan limfosit
dari mencit meningkat (Afiah dkk,
2007). Kelompok perlakuan 21 hari
memiliki jumlah limfosit meningkat
dibandingkan kelompok 7 hari dan
kelompok 14 hari dalam batas
normal. Rata-rata jumlah limfosit
pada kelompok kontrol negatif dan
perlakuan 21 hari yang menunjukkan
perbedaan tidak terlalu jauh. Pada
hari ke 21 respon imun mencit
cenderung mendekati kontrol yang
diberikan perasan kunyit putih.
Patogenis virus hepatitis B pada hari
ke-21 telah terbentuk anti-HBs yang
melibatkan sistem imun spesifik
humoral khususnya sel B.
Terbentuknya anti-HBs yaitu setelah
waktu titer HbsAg menurun dan
menghilang melalui tenggang waktu
core window. Core window adalah
waktu dimana pemeriksaan anti core
(anti-HBc) yang bisa membuktikan
yang bersangkutan pernah terinfeksi
virus hepatitis B (Pasaribu, 2014).
Primawati, dkk (2013)
mengungkapkan bahwa pelepasan
IL-2 dari limfosit T mengakibatkan
aktivasi limfosit T lainnya yang
memiliki reseptor IL-2. IL-2 mampu
merangsang limfosit T yang ada di
sekitarnya untuk berproliferasi. Hal
ini menyebabkan proliferasi leukosit
dan limfosit meningkat ketika
diberikan ekstrak metanol kunyit
putih. Pemberian ekstrak metanol
kunyit putih sebagai imunoterapi
dapat meningkatkan sistem imunitas
tubuh mencit dan mengeliminasi
infeksi. Adanya pemberian perasan
kunyit putih dengan konsentrasi
100% terbukti dapat berfungsi
sebagai imunoterapi dalam infeksi
virus hepatitis B yang ditandai
dengan adanya peningkatan jumlah
limfosit. Sebaiknya mengkonsumsi
perasan kunyit putih sesuai dengan
dosis yang dianjurkan agar dapat
meningkatkan sistem imun tubuh
sehingga tubuh lebih sehat dan
mempercepat perlawanan terhadap
infeksi virus hepatitis B.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 607
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pemberian perasan kunyit putih
(Curcuma zedoaria) berpengaruh
terhadap peningkatan jumlah
limfosit pada mencit (Mus
musculus) yang diinduksi vaksin
hepatitis B.
2. Jumlah limfosit pada hari ke-7
setelah pemberian perasan kunyit
putih konsentrasi 100% dan
diinduksi vaksin hepatitis B
adalah sebesar 1279 /mm3 darah.
3. Jumlah limfosit pada hari ke-14
setelah pemberian perasan kunyit
putih konsentrasi 100% dan
diinduksi vaksin hepatitis B
adalah sebesar 1999 /mm3 darah.
4. Jumlah limfosit pada hari ke-21
setelah pemberian perasan kunyit
putih konsentrasi 100% dan
diinduksi vaksin hepatitis B
adalah sebesar 2338 /mm3 darah.
5. Peningkatan tertinggi pada jumlah
limfosit terjadi pada hari ke-21.
SARAN
1. ̀ Bagi masyarakat diharapkan dapat
menggunakan kunyit putih
sebagai obat alami yang dapat
meningkatkan sistem pertahanan
tubuh.
2. Kunyit putih dapat digunakan
sebagai obat terapi pada penderita
hepatitis B akut.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat
menggunakan ekstrak kunyit putih
dan jenis virus lainnya untuk
mengetahui efektivitas kunyit
putih, menggunakan hitung
limfosit secara langsung yakni
metode Imunohistokimia maupun
Imunohistopatologi hepar,
penggunaan kontrol positif dan
kontrol negatif pada setiap
kelompok perlakuan, dan
memperhitungkan faktor sistem
internal pada tubuh hewan coba.
DAFTAR PUSTAKA
Afiah A, Arif M., Hardjoeno. 2007.
Profil Tes Darah Rutin Dan
Jumlah Limfosit Total Pada
Penderita HIV/AIDS.
Indonesian Journal of
Clinical Pathology And
Medical Laboratory Vol. 13.
No. 2.
Baratawidjaja, KG. 2014. Imunologi
Dasar. Edisi XI. Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta
Basnet, Purusotam, Basnet, Natasa
Skalko. 2011. Curcumin :
an anti-inflammatory
molecule from a curry spice
on the path to cancer
treatment. Molecules. Vol.
16. hlm. 4567- 4598
http://www.mdpi.com/1420-
3049/16/6/4567
Carvalho FR, Vassao RC, Nicoletti
MA, Maria DA. 2010.
Effect of Curcuma zedoaria
crude extract against tumor
progression and
immunomodulation. Jurnal
Venom Anim Toxins incl
Tropical Disease. 16(2):
324-41
Christine. 2007. Thesis: Clonal
propagation of C. zedoaria
rosc and Zingiber zerumbet
smith (zingiberaceae).
Universiti Sains Malaysia,
Malaysia.
Khusnawati, N.N. et al. 2015.
Pengaruh Ekstrak Etanolik
50% Herba Pegagan
(Centella asiatica (L.)
Urban) Terhadap
Peningkatan Proliferasi Sel
Limfosit Mencit Jantan
Galur Balb/C Yang
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 608
Diinduksi Vaksin Hepatitis
B. Traditional Medicine ,
vol. 20, hlm. 164-169
Koirewoa, Yohanes Adithya,
Fatimawali, Weny Indayany
Wiyono. 2012. Isolasi dan
Identifikasi Senyawa
Flavonoid Dalam Daun
Beluntas (Pluchea indica
L.). Manado: Universitas
Samratulangi
Murwanti, R., E. Meiyanto, A.
Nurrochmad, dan
Alexxander. 2006.
Pengaruh Ekstrak Rimpang
Temu Putih (Curcuma
zedoaria Rosc.) Terhadap
Karsinogenesis Paru Yang
Diinduksi Oleh
Benzo[A]Piren. Jurnal
Farmasi Indonesia. 3(2): 53-
62.
Nitawati, Ni Putu Meilisa. 2013.
Skripsi: Respon Limfosit T
Sitotoksik pada Gingivitis
Setelah Pemberian
Kurkumin. Universitas
Jember
Nurdjanah N, Winarti C. 2005.
Peluang Tanaman Rempah
dan Obat Sebagai Sumber
Pangan Fungsional. Jurnal
Litbang Pertanian, 24(2)
Pambudi R, Ramadhian R. 2016.
Efektivitas Vaksinasi
Hepatitis B dalam
Menurunkan revalensi
Hepatitis B. Vol.5.
Universitas Lampung
http://jps.ppjpu.unlam.ac.id/
index.php/jps/article/view/2
4
Pasaribu, DMR. 2014. Patogenesis
Virus Hepatitis B. FK
Ukrida: Jakarta
Primawati SN, Soelistya Dwi DJ,
Zulkifli L. 2013. Profil
Kualitatif Komponen
Ekstrak Kunyit Putih
(Curcuma zedoaria) Dan
Pengaruhnya Terhadap
Profil Hematologi Mencit
Yang Diinfeksi Salmonella
typhimurium. Universitas
Mataram. Jurnal Biologi
Tropis Vol.13 No.2.
Sabrina, Tyfany Imanu, dkk. 2014.
Uji Aktivitas Antifungi
Perasan Daun Kemangi
(Ocimum sanctum linn.)
Terhadap Aspergillus
terreus Secara In Vitro.
Universitas Airlangga.
Surabaya. 6(2)
Setyani, Nurdiana. 2012. Skripsi :
Jumlah Limfosit Pada
Mencit Yang Diberi
Konsumsi Ekstrak Alkohol
Daun Mimba (Azadirachta
indica, A. Juzz) Dan Di
Induksi Ovalbumin.
Universitas Jember
Si'amah, Filiyatus. 2016. Karya Tulis
Ilmiah: Efektivitas Rimpang
Temu Hitam (Curcuma
aeruginosa roxb) Terhadap
Jumlah Polimorfonuclear
(PMN) Pada Mencit (Mus
musculus) Yang Diinfeksi
Escherichia coli. Poltekkes
Kemenkes Surabaya
Rita, Wiwik Susanah. 2010. Isolasi,
identifikasi, dan uji aktivitas
antibakteri senyawa
golongan triterpenoid pada
rimpang temu putih
(Curcuma zedoaria (Berg.)
Roscoe). Jurnal Kimia. Vol.
4, hlm. 20-26
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 609
HUBUNGAN NILAI SEL POLIMORFONUKLEAR (NEUTROFIL,
EOSINOFIL, DAN BASOFIL) DENGAN KADAR PROCALCITONIN
PADA PASIEN SEPSIS BAKTERI
Felya Arumaningsih1, Suhariyadi2
Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Kemenkes Surabaya
ABSTRACT
Sepsis occurs because of SIRS (Sistemic Inflammatory Respon Syndrome)
accompanied by infection. The infections cause by bacteria is called bacterial sepsis. Serious infection correlates with increased systemic immune activation, unbalanced,
destructive, and can lead to organ failure until death. Procalcitonin as a biomarker is used
to distinguish both bacterial and non-bacterial sepsis. Polymorphonuclear counting cells (Neutrophils, Eosinophils, and Basophils) can be used as a screening for infection. The
goal of this research is to know the relationship between polymorphonuclear counting cell
(Neutrophils, Eosinophils and Basophils) with procalcitonin levels in bacterial sepsis patients.
This research was conducted in January-June 2018 at Dr. Soetomo Surabaya
with cross sectional method to 68 samples of bacterial sepsis patients. Procalcitonin levels
were calculated with vidas BRHMS PCT Analyzer, and the Polymorphonuclear cell values (Neutrophils, Eosinophils, and Basophils) were calculated with the Sysmex-Xn 1000
Hematoanalyzer tool.
The results showed that the average value of Neutrophil cell was 81,766%, Eosinophil cell was 1,041%, Basophil cell was 0,282%, and the average value of
procalcitonin level was 10,702%. Determination of the relationship between
Polymorphonuclear counting cell value and procalcitonin level was tested using Spearman correlation. The end result showed a relation between Neutrophil cell value and
procalcitonin level was positively associated with (r = 0.350, p = 0.003), Eosinophil with
procalcitonin was negatively associated with (r = -0.275, p = 0.023) and basophils with
procalcitonin were negatively associated with = -0.338, p = 0.005).
Keyword : Bacterial sepsis, procalcitonin, Polymorphonuclear cells
PENDAHULUAN
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi,
dimana lipopolisakarida atau toksin dari
bakteri dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Sepsis ditandai dengan
perubahan suhu tubuh, jumlah leukosit, takikardia dan takipnea. (Octavia, 2015)
Insiden sepsis meningkat dalam
30-40 tahun terakhir di negara maju
maupun berkembang. Studi epidemiologi pada tujuh negara bagian (24 % populasi
total) di Amerika Serikat, menunjukkan
angka kejadian sepsis berat sebanyak 0,56 % kasus per-1000 populasi
pertahun. Insiden tertinggi ditemukan
pada kelompok usia bayi (5,16 % kasus
per-1000 populasi) dan menurun dengan tajam pada kelompok usia 10-14 tahun
(0,2 % kasus per-1000 populasi).
(Saraswati, dkk., 2014).
Tingginya kejadian dan kasus
infeksi yang biasanya dikaitkan dengan
keadaan negara berkembang atau tempat dengan higienitas kurang, ternyata tidak
seluruhnya benar. Data dari Center for
Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa insiden sepsis meningkat ± 8,7 %
setiap tahun, dari 164.000 kasus (83 per
100.000 populasi) pada tahun 1979
menjadi 660.000 kasus (240 kasus per
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 610
populasi) pada tahun 2000.
Tingginya angka kasus dan
kematian yang terjadi akibat sepsis
memerlukan diagnosis secara cepat dan tepat. Petanda diagnosis sepsis
yang ideal adalah sangat
khas, peka, mudah penggunaannya, cepat,
murah, dan berbanding lurus dengan
kegawatan. Saat ini telah ada
petanda sepsis yang mendekati ideal seperti
C-Reactive
Protein (CRP). ( Luhulima dkk., 2013) Namun tes tersebut tidak terlalu
spesifik, karena itu masih sulit sekali
membedakan diagnosa antara Systemic
Inflammatory Respons Syndrome (SIRS)
dan sepsis dalam waktu yang cepat. Pengukuran secara klinis dan
laboratorium unuk sepsis kurang sensitif
dan spesifik, sehingga diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi
karena infeksi dan inflamasi karena non
infeksi. Procalcitonin yang
dikembangkan untuk mendeteksi inflamasi, telah banyak digunakan untuk
membedakan antara Systemic
Inflammatory Respons Syndrome (SIRS) dan sepsis. (Octavia, 2015)
Procalcitonin (PCT) adalah
suatu prohormon kalsitonin yang terdapat dalam tubuh manusia dan diproduksi
oleh sel C kelenjar tiroid. Pada sepsis,
peningkatan kadar procalcitonin dalam
darah diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi
sistemik dan juga dipicu oleh mediator
inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa,
virus dan penyakit autoimun tidak
menginduksi procalcitonin. Peningkatan kadar PCT dalam darah memiliki nilai
yang bermakna yang dapat digunakan
sebagai biomarker sepsis, dibandingkan
dengan biomarker sepsis lainnya, misalnya CRP, procalcitonin lebih
sensitif dan kadarnya paling cepat naik
setelah terjadi paparan infeksi. (Saraswati, 2012).
Penelitian yang dilakukan
Suryanto pada tahun 2012 membuktikan
bahwa pada keadaan normal kadar PCT <
0,05 ng/ml, infeksi lokal 0,05-0,50 ng/ml,
sepsis 0,50-2 ng/ml, dan bila terjadi infeksi
yang berat kadar PCT > 2 ng/ml sedangkan pada kasus akibat infeksi virus
kadar PCT > 0,05 ng/ml tapi tidak lebih
dari 1 ng/ml. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan,
puncaknya setelah 12-48 jam, dan secara
perlahan menurun dalam 48-72 jam.
Konsentrasi procalcitonin dapat menurun menjadi normal bila ada respon
terapi antibiotika lebih cepat dibandingkan
dengan CRP. (Sofwan, 2010)
Disisi lain, Pemeriksaan darah lengkap adalah skrining dasar dan salah
satu pemeriksaan laboratorium yang
sering diminta. Penemuan hasil
pemeriksaan darah lengkap memberikan informasi diagnostik tentang hematologi
dan sistem tubuh lainnya. Pemeriksaan
hitung darah lengkap berisi sejumlah tes yang menentukan angka, varietas,
persentasi, konsentrasi dan kualitas sel
darah.Pada kejadian sepsis terjadi perubahan pada sistem hematologi
meliputi perubahan jumlah eritrosit,
leukosit, trombosit serta morfologi sel
darah. (Pairunan dkk., 2016).
Perubahan leukosit sangat umum terjadi pada sepsis, terjadinya pergeseran
ke kiri dengan > 10 neutrofil imatur telah
menjadi kriteria SIRS (Sistemic
inflammatory respon Syndrome). Sel-sel Polimorfonuklear (PMN) muda pun akan
lebih banyak terbentuk karena banyak sel
PMN yang terdestruksi untuk melawan infeksi yang terjadi sehingga nilai sel
PMN dalam aliran darah mejadi lebih
rendah. (Putri, 2016). Terjadinya destruksi PMN dan agregasi PMN dapat
menyebabkan neutrofil dalam darah
berkurang dimana keadaan ini
dinamakan neutropenia. Dapat pula terjadi peningkatan jumlah neutrofil
muda karena adanya infeksi yang
menghentikan pematangan sel neutrofil oleh mediator TNF. (Pairunan dkk, 2016)
Penelitian Luhulima dkk., pada
tahun 2013 bembuktikan bahwa eosinopenia juga dapat menjadi diagnosis
penunjang sepsis. Eosinopenia dan
neutropenia merupakan hal yang khas
timbul akibat respons terhadap stress atau infeksi akut. Jumlah eosinofil dari
peredaran darah menghilang atau
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 611
menurun akibat terlokalisir di dalam
jaringan tubuh lainnya seperti di lokasi
inflamasi, kelenjar getah bening dan
limpa. Berdasarkan latar belakang
diatas peneliti ingin mengetahui
hubungan nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil, eosinofil dan basofil) yang
berperan sebagai respon imun seluler
terhadap infeksi dengan kadar
procalcitonin pada pasien sepsis bakteri, sehingga dapat digunakan sebagai
prediktor terjadinya sepsis bakteri.
METODE DAN BAHAN
PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian observasional
dengan rancangan cross sectional, serta
pengambilan data dilakukan secara
prospektif, yaitu penelitian yang pengukuran dan pengamatannya
dilakukan secara simultan pada satu saat
(sekali waktu) dengan pengambilan sampel mengikuti riwayat pemeriksaan
pasien.
Penelitian ini dilakukan pada
bulan Januari-Juni 2018 di Laboratorium Patologi Klinik dan Rekam Medis RSUD
Dr. Soetomo Surabaya, dengan kriteria
sampel sebagai berikut : a. Pasien yang telah didiagnosa
positif sepsis bakteri.
b. Pasien sepsis bakteri yang melakukan pemeriksaan
procalcitonin.
c. Pasien sepsis bakteri yang
melakukan pemeriksaan darah lengkap (Diffcount).
Alat yang digunakan pada
penelitian ini yaitu, Holder, jarum holder, vacum tube EDTA (tutup ungu),
vacum tube SST (Tabung tutup kuning),
Torniquet, Centrifuge, dan alat untuk memeriksa kadar procalcitonin yaitu
Vidas BRAHMS PCT Analyzer, serta
alat untuk memeriksa Darah lengkap
yaitu Hematoanalyzer Sysmex Xn-1000. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sampel darah EDTA untuk
pemeriksaan sel polimorfonuklear dan sampel serum untuk pemeriksaan kadar
procalcitonin serum.
PEMERIKSAAN KADAR
PROCALCITONIN
Setelah Sampel darah dari vacum tube SST (bertutup kuning) disentrifuge
dengan alat sentrifuge tipe 5270 dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit,
kemudian menyalakan komputer dan memilih menu ‘Pemeriksaan’ pada
tampilan awal program, kemudian pada
kolom Assay pilih pemeriksaan yang sesuai yaitu ‘Procalcitonin’. Setelah itu
Scan barcode ID pada joblist pasien
kemudian tekan enter dan klik menu ‘create’ selanjutnya masukkan 200 uL
sampel kedalam strip kolom/ lubang
pertama melalui dinding dan masukkan
strip kolom pada alat vidas, pastikan bahwa strip masuk dengan benar dengan
cara menekan dan menggeser strip pada
celah yang ada pada alat vidas. Masukkan reagen yang telah disuhu ruangkan
dahulu ke dalam alat vidas kemudian
tekan ‘Running’ pada komputer dengan
begitu proses pemeriksaan kadar procalcitonin akan berjalan. Mencatat
hasil pemeriksaan procalcitonin. Untuk
interpretasi hasil pemeriksaan kadar procalcitonin nilai rujukan yang
digunakan adalah sebesar < 0,05 ng/mL.
Jika Hasil < 0,5 ng/mL menunjukan risiko rendah sepsis berat dan/ atau syok
septik, tidak menyingkirkan adanya
infeksi. Hasil > 2 ng/mL menunjukkan
risiko tinggi sepsis berat dan/ atau syok septik. Hasil 0,5-2 ng/mL harus
diinterpretasi bersamaan dengan riwayat
pasien.
PEMERIKSAAN NILAI SEL
POLIMORFONUKLEAR
(NEUTROFIL, EOSINOFIL, DAN
BASOFIL)
Setelah didapatkan Sampel darah
dari vacum tube EDTA (bertutup Ungu), kemudian sampel pada tabun
dimasukkan pada alat Hematoanalyzer
Sysmex Xn-1000, kemudian pilih perintah di layar komputer ‘Start Order’
dengan begitu proses pemeriksaan darah
lengkap pada alat otomatis telah berjalan.
Pilih dan klik pada perintah ‘Data’ untuk mengetahui hasil pemeriksaan sampel
yang telah dilakukan, setelah itu cetak
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 612
hasil pemeriksaan yang telah diproses.
Untuk interpretasi hasil hitung jenis
leukosit biasanya dinyatakan dalam
satuan persen (%). Nilai rujukan yang digunakan adalah sebagai berikut Basofil
: 0 – 1 (%), Eosinofil : 1 – 3 (%),
Neutrofil Batang : 2 – 6 (%), dan Neutrofil Segmen : 50 – 70 (%)
HASIL
Berdasarkan sajian Tabel 5.7 menunjukkan bahwa nilai rata-rata untuk
sel neutrofil, eosinofil dan basofil
masing-masing yaitu sebesar 81,766,
1,041, dan 0,368 dengan standart deviasi 11,756 untuk Neutrofil, 1,579 untuk
eosinofil dan basofil sebesar 0,282,
sedangkan untuk rata-rata kadar
procalcionin sendiri sebesar 10,702 dengan standart deviasi 15,698.
Selanjutnya untuk mengetahui
hubungan antara nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil, Eosinofil,
dan basofil) dengan kadar procalcitonin
dapat dilakukan uji statistika korelasi menggunakan program SPSS. Uji
statistika kolerasi ada 2 macam yaitu
korelasi Pearson untuk data yang
berdistribusi normal dan korelasi Spearman untuk data yang berdistribusi
tidak normal. Untuk mengetahui
distribusi data dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov
Smirnov.
Berdasarkan hasil uji statistic
menggunakan korelasi Spearman antara
kadar Procalcitonin dengan nilai sel
neutrophil didapatkan hasil output nilai
signifikansinya (p = 0,003). hasil
tersebut menunjukkan bahwa p < 0,01 maka Ho ditolak ini menunjukkan bahwa
kadar Procalcitonin dengan nilai sel
neutrophil berhubungan.
Uji korelasi antara Eosinofil dengan Procalcitonin didapatkan nilai
signifikansinya adalah (p = 0,023), hasil
tersebut menunjukkan bahwa p < 0,05 maka Ho ditolak, ini menunjukkan
bahwa kadar Procalcitonin dengan nilai
sel eosinofil berhbungan.
Hasil korelasi antara
Procalcitonin dengan basofil didapatkan nilai signifikansinya adalah ( p = 0,005)
yang menunjukkan bahwa p < 0,01 maka
Ho ditolak hal ini menunjukka bahwa kadar Procalcitonin dengan nilai sel
basophil berhubungan.
Dari ketiga uji korelasi tersebut
dapat disimpulkan bahwa nilai sel polomorfonuklear (Neutrofil, Eosinofil,
dan basophil) dengan kadar
Procalcitonin pada pasien sepsis bakteri dengan nilai signifikansi masing-masing
Procalcitonin dengan neutrophil adalah
0,003, kemudian Procalcitonin dengan
Eosinofil adalah 0,023, serta Procalcitonin deangan basophil adalah
0,005 dan masing-masing berhubungan.
Tabel 5.7 Distribusi variabel pada pemeriksaan Nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil,
Eosinofil, dan Basofil) dengan kadar procalcitonin pada pasien sepsis bakteri
Variabel Jumlah (n) Rata-rata (%) Standart deviasi
Nilai sel Neutrofil 68 81,766 11,756
Nilai sel Eosinofil 68 1,041 1,579
Nilai sel Basofil 68 0,368 0,282
Kadar Procalcitonin 68 10,702 15,698
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 613
PEMBAHASAN Distribusi hasil pemeriksaan
neutrofil dari penelitian ini ditemukan
bahwa pada 66 orang (97,1 %) dengan
nilai Neutrofil berada diatas nilai rujukan yaitu > 60 %. Penelitian yang dilakukan
Luhulima (2013) juga membuktikan
bahwa terdapat peningkatan jumlah rerata neutrofil penderita sepsis adalah
87,5% (berentang normal 40–75%).
Terjadinya neutrofilia pada infeksi bakteri disebabkan oleh adanya aktivasi
makrofag yang akan menghasilkan GM-
CSF (Granulocyt macrophage- colony
stimulating factor) sehingga terjadi stimulasi granulopoiesis dan peningkatan
jumlah netrofil ke sirkulasi untuk
melakukan fagositosis. Neutrofilia yang terjadi pada inflamasi sistemik,
khususnya pada infeksi bakteri juga
dapat disebabkan oleh adanya demarginasi neutrofil, penundaan
apoptosis pada neutrofil, dan stimulasi
stem-cell oleh faktor pertumbuhan
(growth factors). Neutrofil merupakan populasi yang dinamis dengan adanya
proses maturasi dan apoptosis. Pada studi
multisenter prospektif yang dilakukan Sardini pada tahun 2014 adanya proses
apoptosis dan maturasi pada sel neutrofil
dapat dijadikan sebagai petanda tingkat
keparahan sepsis. Pada tabel 5.5 ditunjukkan
bahwa pada penelitian ini distribusi nilai
sel Eosinofil sebanyak 56 orang (82,4%)
berada pada rentang nilai eosinofil < 2 %, untuk nilai eosinofil yang berada pada
rentang nilai rujukan (2-5 %) ditemukan
pada 9 orang ( 13,2 %) dan untuk nilai Eosinofil yang berada pada rentang > 5 %
ditemukan hanya pada 3 orang (4,4 %).
Banyak dari penderita sepsis pada penelitian ini mengalami Eosinopenia.
Eosinopenia pada infeksi atau stress akut
dapat terjadi karena jumlah eosinofil dari
peredaran darah menghilang atau menurun akibat terlokalisir di dalam
jaringan tubuh lainnya seperti di lokasi
inflamasi, kelenjar getah bening dan limpa atau karena kerusakan eosinofil
sehingga terjadi supresi pelepasan
eosinofil dewasa dari sumsum tulang dan
terjadi supresi hasilan eosinofil. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Luhulima (2013) yang menyatakan
bahwa hasil uji diagnostik eosinofil pada
penelitiannya memiliki nilai cut off terbaik dalam jumlah eosinofil ≤ 50
sel/μL serta memiliki Kepekaan sebesar
80 % serta Kekhasan sebesar 75 %.
Nilai pemeriksaan sel Basofil pada penelitian ini ditemukan sebanyak
55 orang (80,9 %) dengan nilai basofil
berada pada rentang normal yaitu 0-0,5
%, dan untuk nilai basofil yang berada direntang > 0,5 % ditemukan sebanyak
13 orang (19,1 %). Hasil penelitian ini
tidak banyak menunjukkan adanya peningkatan nilai sel basofil pada
penderita sepsis karena peranan dari
basofil sendiri tidak spesifik dalam
infeksi bakteri. Kemungkinan adanya peningkatan basofil juga dapat terjadi,
meskipun peningkatan yang terjadi tidak
signifikan, hal tersebut disebabkan karena basofil memiliki peran dan fungsi
yang menyerupai sel Mast baik dari segi
struktur, fungsi, fagosit serta
proliferasinya, basofil hanya ditemukan didalam darah sedangkan sel Mast
ditemukan hanya pada jaringan yang
berhubungan dengan pembuluh darah (Baratawidjaja & Rengganis, 2014).
Kadar Procalcitonin pada
penelitian ini, untuk infeksi sistemik ( >
0,5 - < 2 ng/mL) sebanyak 29 orang (42,6
%), severe sepsis ( > 2 - < 10 ng/mL ) terdapat sebanyak 21 orang (30,9 %), dan
shock Sepsis ( > 10 ng/mL ) sebanyak 18
orang (26,5 %). Pada Penelitian yang
dilakukan Pohan (2005), sampel terbanyak terdapat pada kadar PCT diatas
2 ng/ml, hasil yang sama dinyatakan
Meissner M (2004), bahwa sampel terbanyak juga terdapat pada kadar PCT
diatas 3 ng/ml. Adanya ketidak sesuaian
ini dapat disebabkan oleh adanya faktor
komorbiditas dan kesalahan dalam melakukan pemeriksaan laboratorium
pada waktu kadar Procalcitonin dalam
darah belum meningkat. Buchori dan Prahitini (2006) menyatakan pada
keadaan fisiologis, kadar procalcitonin
rendah bahkan tidak ditemui, tetapi akan meningkat bila terjadi bakteremia yang
timbul sesuai dengan berat infeksi.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 614
Hubungan kadar procalcitonin
dengan nilai sel Polimorfonuklear
(Neutrofil, Eosinofil, dan Basofil)
dianalisa dengan menggunakan software SPSS. Data yang diperoleh diolah dan
dilakukan tabulasi serta diuji normalitas.
Penelitian ini memiliki data yang berdistribusi tidak normal, untuk analisa
korelasi data yang berhubungan ini
menggunakan korelasi Spearman. Hasil
analisa data dari korelasi antara procalcitonin dengan neutrofil (p =
0,003) hal tersebut menunjukkan bahwa
p < 0,01 yang berarti terdapat hubungan antara kadar procalcitonin dengan nilai
sel neutrofil sehingga dapat digunakan
sebagai marker/penanda sepsis dan juga sebagai penegak diagnosa sepsis, serta
pemantauan keberhasilan terapi pada
sepsis.
Nilai korelasi antara Eosinofil dengan Procalcitonin didapatkan (p =
0,023) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara kadar procalcitonin,
dengan nilai sel eosinofil mengalami penurunan sehingga terjadi eosinopenia.
Berbagai penelitian menunjukkan
hubungan antara infeksi/inflamasi dengan terjadinya eosinopenia. Zappert
dkk. pada tahun 1893 pertama kali
melaporkan eosinopenia sebagai respons
inflamasi yang sering terjadi pada infeksi akut. Penelitian Lipkin tentang potensi
hitung eosinofil sebagai prediktor
bakteremia juga menunjukkan korelasi positif antara 75 hasil kultur darah pasien
yang positif dengan eosinopenia, pernah
juga dilaporkan temuan hitung eosinofil absolut nol pada infeksi bakterial akut
pada bayi.
Eosinopenia dapat terjadi karena
mekanisme yang mengendalikan
eosinofil pada infeksi/stress akut yang meliputi mediasi oleh
glukokortikosteroid dan epinefrin
adrenal. Selain itu respon eosinopenia awal terhadap infeksi akut
diinterpretasikan akibat sekuestrasi cepat
eosinofil di sirkulasi perifer, supresi
produksi eosinofil dan supresi migrasi eosinofil matur dari sumsum tulang.
Proses sekuestrasi eosinofil berhubungan
dengan migrasi eosinofil ke tempat
inflamasi akibat substansi kemotaktik
yang dilepaskan saat inflamasi akut.
Substansi kemotaktik utama yang
berperan termasuk C5a dan fragmen fibrin yang juga terdeteksi di sirkulasi
saat keadaan inflamasi akut.
Eosinopenia memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah
jika dibandingkan dengan prokalsitonin ataupun kultur darah, akan tetapi
eosinopenia merupakan penanda
diagnosis sepsis yang menarik karena beberapa kelebihan antara lain lebih
murah, lebih mudah, hasil yang dapat
diketahui dalam waktu lebih singkat ( ≤ 1 jam) dan tersedia hampir di seluruh
fasilitas kesehatan. (Luhulima, 2013).
Eosinopenia memiliki reliabilitas cukup
baik sehingga dapat membantu klinisi mendiagnosis sepsis lebih dini,
memberikan pelayanan yang cepat, tepat
dan dapat menurunkan morbiditas serta mortalitas pasien kritis.
Hasil korelasi basofil dengan
Procalcitonin didapatkan (p = 0,005 )
yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara basofil dan kadar
procalcitonin, hasil hitung sel basofil
menunjukkan tidak ada perbedaan nilai
basofil yang signifikan pada penderita sepsis, rerata hasil pemeriksaan nilai sel
basofil masih berada pada rentang
normal. Hal ini bisa terjadi karena terkait fungsi dari basofil sendiri tidak spesifik
pada infeksi bakteri dan lebih spesifik
meningkat nilainya karena terjadi alergi dan inflamasi oleh parasit. Basophil
memegang peranan penting dalam
respons kekebalan tubuh, yang diawali
sejak kontak dengan substansi penyebab infeksi/inflamasi dengan menghasilkan
bahan mediator kimiawi seperti histamin
yang selanjutnya menarik sel-sel imun lainnya. Selain itu menurut Dharmawan
dalam Lokapirnasari (2014), sel basofil
mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, serotonin,
dan beberapa faktor kemotaktik lainnya.
Pada beberapa pasien sepsis yang
mengalami penurunan nilai sel basofil kemungkinan dapat disebabkan karena
inflamasi/stress akut yang terjadi
sehingga jumlah basofil di sirkulasi darah
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 615
menurun bahkan menghilang karena
basofil bermigrasi menuju lokasi
terjadinya infeksi.
KESIMPULAN
1. Terdapat peningkatan nilai sel
Neutrofil pada pasien sepsis bakteri
sehingga banyak pasien mengalami
Neutrofillia, nilai eosinofil pada pasien sepsis bakteri banyak
mengalami penurunan sehingga
terjadi Eosinopenia sedangkan untuk nilai basofil pada pasien
sepsis bakteri tidak mengalami
penurunan maupun peningkatan
yang signifikan.
2. Kadar procalcitonin pada pasien sepsis dalam penelitian ini
bervariasi, pasien yang mengalami
infeksi sistemik dengan kadar procalcitonin ( > 0,5 - < 2 ng/mL)
sebanyak 29 orang (42,6 %), pasien
severe sepsis terdapat sebanyak 21
orang dengan kadar procalcitonin ( 2 - < 10 ng/mL), serta pasien shock
Sepsis sebanyak 18 orang dengan
kadar procalcitonin > 10 ng/mL.
3. Terdapat hubungan nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil,
Eosinofil, dan Basofil) dengan kadar
procalcitonin pada pasien sepsis
bakteri.
SARAN
1. Kepada instansi terkait penelitian ini
dapat digunakan sebagai informasi yang dapat digunakan untuk
memantau perkembangan sepsis
sejak terjadinya sepsis, intervensi pengobatan serta keberhasilan dari
suatu pengobatan sehingga dapat
membantu pengambilan keputusan untuk terapi yang baik dan tepat.
2. Pada penelitian selanjutnya dapat
dilakukan penelitian untuk
mengetahui faktor lain yang
mempengaruhi hubungan nilai sel
polimorfonuklear dengan procalcitonin pada pasien sepsis
dengan jumlah sampel yang lebih
banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Andika Surya, Dkk. 2016.
Pemeriksaan Laboratorium Untuk Membedakan Infeksi
Bakteri Dan Infeksi Virus. 43(6),
457-461.
Baratawidjaja, Karnen Dan Iris
Rengganis. 2014. Imunologi
Dasar Edisi 11 (Cetakan Ke-2). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Biron Et Al. 2015. Biomarkers For Sepsis: What Is And What Might
Be? Biomarker Insights, 10, 7–
17.
Buchori dan Prihartini. 2006.
Diagnosis Sepsis menggunakan Procalcitonin. Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory,
Vol.12, No. 3 : 131-7
Fenty, Dita Maria. 2014. Hubungan
Procalsitonin Dan Gambaran
Morfologi Leukosit Pada Infeksi Bakterial. 11(2), 81-85.
Isnaini, Nurul Ahmad. 2014. Korelasi
Antara Skkor Sofa Dengan Lama
Rawat Inap Pasien Sepsis Di
ICU RSUP DR. Kariadi Semarang. Universitas
Diponegoro.
Koncoro, H. D. 2015. Peranan
Prokalsitonin Dalam Bidang Pulmonologi. J Respir Indo,
35(3), 193-202.
KS, Indranila Dkk. 2013. Procalcitonin
Dan Interleukin-6 Pada Sepsis Dengan Gejala Systemic
Inflammatory Response
Syndrome (Sirs). Indonesian Journal Of Clinical Pathology
And Medical Laboratory, 19(2),
98–104.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 616
Lokapirnasari, Widya dan Andreas
Berny Yulianto. 2014.
Gambaran sel Eosinofil,
Monosit dan, Basofil setelah
pemberian Spirulina pada ayam yang diinfeksi Virus Flu Burung.
Jurnal Veteriner, Vol. 15 No. 4 :
499-505
Luhulima, Danny Dkk. 2013.
Eosinopenia Dan Procalcitonin
Dalam Sepsis. Clinical Pathology And Medical
Laboratory.Vol. 19, No. 2 : 119-
125.
Meisner, M. 2005. Biomarkers f sepsis :
Clinically Usefull ?. Critical Care 11 page 473-480
Octavia, S. 2015. Hubungan Antara Leukosit Dengan Procalcitonin
Sebagai Biomarker Sepsis Di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus -
Oktober 2015. Medan :
Universitas Sumatra Utara.
Oematan, Yosef Dkk. 2009. Peran Inflamasi Dalam Patofisiologi
Sepsis Dan Syok Septik Pada
Anak. Jurnal Biomedik. 1(3),
166-173.
Pairunan, J. N. 2016. Hubungan
Pemeriksaan Hitung Darah
Lengkap Pada Anak Dengan Sepsis. Vol. 4 No. 1 : Hlm. 76-
81.
Pangalila, F. 2014. Procalsitonin Benefit in the Treatment of
Sepsis, Makalah dalam The 6th
Continuing Professional Development on Clinical
Pathology and Laboratory Expo 2014.
Yogyakarta.
Pardede, D. K. 2014. Eosinopenia
Sebagai Penanda Diagnosis Sepsis. 41(10), 741-744.
Pohan, HT. 2005. Pemeriksaan
Procalcitonin untuk Diagnosis
Infeksi Berat. Jakarta : FKUI ;
2004 hal. 32-9
Pomara, C. E. 2016. A Pathophysiological Insight Into
Sepsis And Its Correlation With Postmortem Diagnosis. Hal. 11.
Putra, D. P. 2013. Kadar Glukosa Darah
Pada Pasien Sepsis Yang
Mendapat Insulin Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP
DR. Kariadi. Universitas
Diponegoro.
Putri, N. I. 2016. Nilai Diagnostik
Jumlah Leukosit, Absolute Neutrophil Count (Anc),
Immature Granulocyte Count
(Igc), Dan Immature To Total Neutrophil Ratio (Itr) Pada
Sepsis Neonatorum. Universitas
Brawijaya.
Putri, Y. 2014. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa Di Rsup
Dr.Kariadi. Universitas
Diponegoro.
Rampengan, S. H. 2015. Disfungsi Miokard Pada Sepsis Dan Syok
Septik. Jurnal Biomedik (JBM),
7(1), 8-22.
Saraswati, Dhanariya Dewi. 2014.
Faktor Risiko Yang Berperan
Pada Mortalitas Sepsis . Vol. 15, No. 5.
Saraswati, Putri Frisca. 2012. Faktor
Yang Berhubungan Dengan
Hasil Tes Prokalsitonin Pada Sepsis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Sardini, R. N. 2014. Hubungan Antara
Sepsis Akibat Acinetobacter Baumannii Dan Mortalitas Pada
Pasien Anak Dengan Penyakit
Kritis Di Pediatric Intensive Care Unit (Picu) Rsup Haji
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 617
Adam Malik Medan, 2011 –
2013. Universitas Sumatra
Utara.
Singer, M. E. 2016. The Third
International Consensus Definitions For Sepsis And
Septic Shock (Sepsis-3). JAMA,
315(8), 801-810.
Sipayung, E. 2016. Eosinopenia Sebagai
Penanda Dini Diagnosis Sepsis
Bakterialis. Universitas Sumatra Utara.
Sofwan, Rudiyanto Dkk. 2010.
Prokalsitonin Sebagai Kandidat
Petanda Inflamasi Pada Sepsis Neonatorum. 9(1), 38–44.
Sumantri, S. 2012. Tinjauan
Imunopatogenesis Dan Tatalaksana Sepsis. Universitas
Indonesia.
Suryanto, C. A. 2012. Uji Diagnostik
Prokalsitonin Dibanding Kultur
Darah Sebagai Baku Emas
Untuk Diagnostis Sepsis Bakterial Di Rsup Dr. Kariadi.
Universitas Diponegoro.
Tornado, A. A. 2013. Perbedaan
Mortalitas Antara Pasien Sepsis
Dan Sepsis Dengan Komplikasi Acute Respiratory Distress
Syndrome (Ards). Universitas
Diponegoro.
Zulfiana, R. 2016. Studi Penggunaan
Obat Pada Pasien Sepsis Yang
Berpotensi Menimbulkan Interaksi Obat Di Ruang ICU
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Universitas airlangga.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 618
UJI EFEKTIVITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L.) TERHADAP PERTUMBUHAN
BAKTERI Salmonella sp METODE DILUSI CAIR
Miftakhul Hidayah Rizky Oktavia1, Suliati
2, Dwi Krihariyani
3
Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya
ABSTRAK
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi pada saluran pencernaan yang
masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyebab penyakit ini ditularkan
melalui makanan dan minuman dan sanitasi perorangan maupun lingkungan yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Oleh karena itu perlu bagi kita menjaga
sanitasi dan kesehatan agar terhindar dari suatu penyakit. Pencegahan suatu
penyakit dapat dilakukan yakni dengan menjaga kesehatan tubuh seperti dengan
mengonsumsi minuman sehari-hari untuk stamina tubuh, salah satunya yang
berasal dari tumbuhan. Daun kersen (Muntingia calabura L.) memiliki kandungan
senyawa flavonoid, saponin, tanin dan polifenol yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri
Salmonella sp.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratoris yang
dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes
Surabaya pada bulan Juni 2018, dengan menggunakan metode dilusi cair untuk
menentukan KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh
Minimum). Uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) dengan
lima konsentrasi 100%, 90%, 80%, 70%, dan 60%.
Efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) yang diuji secara
dilusi cair dilakukan dengan empat kali replikasi. Hasil penelitian menunjukkan
KHM dan KBM bernilai negatif ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni pada
media MHA (Mueller Hinton Agar) pada seluruh konsentrasi.
Kata kunci: Daun Kersen (Muntingia calabura L.), Salmonella sp, metode dilusi
cair, KHM, KBM.
PENDAHULUAN
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, diseluruh dunia mencapai 16 - 33 juta dengan 500 - 600 ribu kematian setiap tahunnya (Depkes, 2013; Munawar, 2014). Menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2012 prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6 % yang artinya ada kasus
tifoid 1.600 per 100.000 penduduk Indonesia. Data pada Profil Kesehatan Jawa Timur Tahun 2014, penyakit demam tifoid menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar pada pasien rawat inap di rumah sakit pemerintah di Jawa Timur pada tahun 2013 (Umah, 2015).
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 619
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang di tularkan melalui makanan minuman dan sanitasi perorangan maupun lingkungan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp (Irani, 2012). Salah satu jenis obat yang sering digunakan oleh masyarakat adalah antibiotik. Pada dasarnya, antibiotik adalah obat yang sangat dikenal bukan hanya kalangan medis tetapi juga masyarakat. Namun, sebagian besar dari masyarakat menggunakan antibiotik secara tidak prosedural dan tidak terkontrol sehingga menyebabkan resistensi (Pratiwi, 2008). Akibat dari banyaknya bakteri yang resisten terhadap beberapa antibiotik, maka perlu mencari terapi baru yang berasal dari tumbuhan.
Salah satu tumbuhan berkhasiat adalah kersen (Muntingia calabura L.). Kersen (Muntingia calabura L.) merupakan tanaman yang telah lama digunakan masyarakat untuk berbagai tujuan pengobatan antara lain sebagai obat batuk, sakit kuning, asam urat, dan antibakteri (Puspitasari, 2017). Hasanah (2016) menyebutkan bahwa daun kersen mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol. Dari beberapa kandungan yang terdapat dalam daun kersen, senyawa flavonoid yang paling banyak digunakan sebagai antibakteri.
Penelitian sebelumnya menguji
keefektifan ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.) menggunakan bakteri ATCC (bakteri standar), maka peneliti telah melakukan uji pendahuluan yang hasilnya efektif terhadap konsentrasi 75% menggunakan bakteri strain murni Salmonella sp metode dilusi cair. Selain itu peneliti akan melanjutkan penelitian dengan menggunakan bakteri Salmonella sp yang di isolasi dari penderita demam tifoid. Dari latar belakang diatas, penulis ingin mengetahui efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap bakteri Salmonella sp. Analisa data dilakukan secara deskriptif.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah Eksperimental Laboratoris dengan rancangan Post Test True Experimental untuk mengetahui KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) dari pemberian rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp metode dilusi cair.
BAHAN EKSTRAKSI
Daun kersen segar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari salah satu rumah warga di daerah Darmawangsa, Surabaya pada bulan Juni 2018, kemudian dipotong kecil-kecil lalu dicuci bersih.
Potongan daun kersen ditimbang 100 gram dimasukkan dalam erlenmeyer ditambahkan 200 mL aquades steril kemudian dipanaskan hingga mendidih. Rebusan dianggap selesia bila air rebusan tersisa 100 mL dari volume air semula kemudian didinginkan dan disaring menggunakan kain flanel hingga diperoleh rebusan 100%. Apabila yang diperoleh kurang dari 100 mL, maka dapat ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga volumenya mencapai 100 mL, setelah itu dilakukan pengenceran terhadap rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.). Konsentrasi 100% : Rebusan daun kersen 2 mL. Konsentrasi 90% : Rebusan daun kersen 1,8 mL + 0,2 mL aquades steril. Konsentrasi 80% : Rebusan daun kersen 1,6 mL + 0,4 mL aquades steril. Konsentrasi 70% : Rebusan daun kersen 1,4 mL + 0,6 mL aquades steril. Konsentrasi 60% Rebusan daun kersen 1,2 mL + 0,8 mL aquades steril.
PEMBUATAN SUSPENSI BAKTERI Pembuatan suspensi bakteri
diawali dengan pembuatan standar McFarland 0,5 yang kekeruhannya kurang lebih setara dengan jumlah bakteri sebanyak 1,5×108 CFU/ml. Bakteri Salmonella sp yang telah di remajakan pada media Nutrient Agar Slant (NAS) diambil dengan kawat ose
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 620
steril lalu disuspensikan kedalam larutan NaCl 0,9% steril hingga di peroleh
kekeruhan yang sama dengan standar kekeruhan standar McFarland 0,5.
METODE DILUSI CAIR Rebusan daun kersen dengan
konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diberi label, lalu diinokulasikan bakteri Salmonella sp satu ose ke dalam tabung. Melakukan inkubasi dalam inkubator selama 24 jam
pada suhu 37 dan diamati terdapat
kekeruhan atau tidak Setelah di inkubasi 24 jam 37
, melakukan uji penegasan pada
Suspensi bakteri yang sudah dibuat di inokulasikan pada media Mueller Hinton Agar (MHA) dengan cara menanam satu
ose lalu diinkubasi kembali dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 24
jam. Kontrol positif untuk bakteri
Salmonella sp menggunakan antibiotik kloramfenikol. Kontrol negatif menggunakan aquades steril.
TEKNIK ANALISIS DATA Analisis data dilakukan secara
deskriptif yakni disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan penelitian tentang uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia
calabura L.) terhadap pertumbuhan Salmonella sp metode dilusi cair, maka didapatkan hasil pada tabel sebagai berikut : Tabel 5.1 Hasil uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap
pertumbuhan bakteri Salmonella sp metode dilusi cair dengan replikasi 4 kali
Konsentrasi
Replikasi
Salmonella paratyphi
A
Salmonella paratyphi
B
Salmonella
typhi
Kontrol
Positif
Kontrol
Negatif
K P K P K P K P K P
60% R1 + + + + + + -
-
+
+
R2 + + + + + +
R3 + + + + + +
R4 + + + + + +
70% R1 + + + + + + -
-
+
+
R2 + + + + + +
R3 + + + + + +
R4 + + + + + +
80% R1 + + + + + + -
-
+
+
R2 + + + + + +
R3 + + + + + +
R4 + + + + + +
90% R1 + + + + + + -
-
+
+
R2 + + + + + +
R3 + + + + + +
R4 + + + + + +
100% R1 + + - + - + -
-
+
+
R2 + + - + - +
R3 + + - + - +
R4 + + - + - +
Keterangan : K : Kekeruhan pada tabung
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 621
P : Pertumbuhan pada media MHA
Kontrol Positif : Berisi kloramfenikol
Kontrol Negatif : Berisi aquades steril
ANALISIS DATA
Data menunjukkan rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) dari konsentrasi 60% hingga 100% yang digunakan masih terdapat pertumbuhan koloni bakteri Salmonella sp pada media MHA (Mueller Hinton Agar). Hal ini diperkuat oleh hasil kedua kontrol yang digunakan yaitu kontrol positif yang berisi antibiotik kloramfenikol 2% dimana tidak ada pertumbuhan koloni bakteri yang terlihat di media MHA, sedangkan kontrol negatif yang berisi akuades steril tanpa ada penambahan rebusan daun kersen maupun antibiotik menunjukkan pertumbuhan koloni bakteri pada media MHA.
Pada bakteri Salmonella
paratyphi A dengan seluruh konsentrasi yaitu konsentrasi60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% menunjukkan hasil positif adanya kekeruhan dan pertumbuhan bakteri Salmonella paratyphi A pada keempat replikasi. Tetapi pada bakteri Salmonella paratyphi B dan Salmonella typhi menunjukkan hasil (+) adanya kekeruhan pada konsentrasi 60%, 70%, 80%, dan 90%. Lalu pada konsentrasi 100% menunjukkan hasil negatif tidak adanya kekeruhan, namun ketika dilakukan uji penegasan dengan media MHA menunjukkan hasil positif adanya pertumbuhan bakteri.
Kontrol positif dibuat dalam empat replikasi, lalu diinokulasikan dengan Salmonella sp. setelah dilakukan inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam tidak terbentuk kekeruhan pada keempat replikasi. Kemudian dilakukan uji penegasan pada media Mueller Hinton Agar dan terbukti tidak terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada keempat replikasi.
PEMBAHASAN Uji efektivitas rebusan daun
kersen (Muntingia calabura L.) dilakukan terhadap bakteri Salmonella sp yang diisolasi dari darah penderita demam tifoid, peneliti mengggunakan uji
efektivitas menggunakan metode dilusi cair. Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2018 untuk mengetahui efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp menunjukkan hasil negatif di seluruh konsentrasi yakni 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100%. Tetapi yang dilakukan Gitayani (2017) yang menunjukkan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak etanol daun kersen terhadap bakteri Salmonella typhi adalah pada konsentrasi 75%.
Menurut Putra (2016) perbedaan
metode ekstraksi yang digunakan akan sangat mempengaruhi mutu senyawa aktif dalam herbal yang dihasilkan. Metode yang tidak tepat akan menyebabkan penarikan senyawa metabolit sekunder dari herbal yang tidak maksimal, sehingga akan mempengaruhi kemampuannya sebagai senyawa antibakteri, karena kandungan senyawanya tidak tersarikan dengan baik.
Untuk pengaruh rebusan daun kersen terhadap bakteri Salmonella sp menunjukkan hasil (+) pada seluruh konsentrasi, tetapi dari konsentrasi rendah hingga tinggi terdapat perbedaan, semakin tinggi konsentrasi semakin berkurang pertumbuhan koloni, hal ini menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari rebusan daun kersen tersebut. Adanya aktivitas antibakteri rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) disebabkan karena kandungan-kandungan kimia yang terdapat daun kersen (Muntingia calabura L.), seperti flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol.
Senyawa flavonoid dalam daun kersen melepaskan energi tranduksi terhadap membran sitoplasma bakteri dan menghambat motilitas bakteri. Mekanisme kerjanya dengan cara mempengaruhi fungsi sel yaitu mendenaturasi protein sel yang terdapat pada dinding sel bakteri akan terhambat
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 622
(Nurhasanah, 2012). Senyawa saponin sebagai zat aktif, dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel. Apabila saponin bereaksi dengan sel bakteri maka bakteri tersebut akan pecah atau lisis (Septiana, 2012).
Senyawa tanin berinteraksi dengan membentuk senyawa kompleks polisakarida yang dapat merusak dinding sel bakteri sehingga permeabilitas sel bakteri menjadi terganggu. Terganggunya permeabilitas sel bakteri tersebut menyebabkan sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup, akibatnya pertumbuhan bakteri akan terhambat bahkan mati. Selain dengan merusak dinding sel bakteri, tanin juga dapat mendenaturasi protein dan menghambat sintesis asam nukleat bakteri (Mukhlishoh, 2017).
Polifenol mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri. Gugus basanya bereaksi dengan senyawa asam amino yang menyusun dinding sel dan DNA bakteri. Reaksi ini menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino, sehingga akan terjadi keseimbangan genetik rantai DNA dan akan mengalami kerusakan (Santoso, 2014).
Pengerjaan kontrol sangat diperlukan, karena dengan adanya kontrol (+) dan kontrol (-) dapat diketahui kebenaran hasil penelitian yang dilakukan. Untuk kontrol (+) digunakan antibiotik kloramfenikol 500 mg. Pada tabel 5.1 kontrol (+) terbukti mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella sp. Menurut Putra (2016) antibiotik kloramfenikol masih baik dalam menghambat pertumbuhannya karena menghasilkan rata-rata zona hambat sebesar 32,6 mm yang masuk dalam kategori suspectible (sensitif). Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan menghambat sintesis protein dan berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan negatif, dan akan mempengaruhi pengikatan asam amino yang baru pada rantai peptide karena antibiotik ini menghambat peptidil transferase. Sehingga dapat dikatakan antibiotik kloramfenikol masih
tergolong efektif dalam mengobati demam tifoid.
Untuk kontrol (-) digunakan akuades steril yang telah diinokulasikan bakteri Salmonella sp dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Pada tabel 5.1 terbukti bahwa kontrol (-) tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella sp, hal ini ditandai dengan terjadinya kekeruhan pada uji dilusi dan terbentuknya koloni bakteri pada uji penegasan yaitu media Mueller Hinton Agar.
Tiga bakteri Salmonella sp yang diisolasi dari penderita demam tifoid setelah dilakukan uji antibakteri dengan metode dilusi cair tidak dapat dikatakan tidak efektif, karena dari konsentrasi rendah hingga tinggi terdapat penurunan pertumbuhan koloni pada media MHA. Hal ini ditunjukkan dengan membandingkan kontrol positif yang tidak terdapat pertumbuhan koloni dalam ketiga bakteri Salmonella sp.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp metode dilusi cair maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Didapatkan hasil pengujian rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) dengan konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% adalah negatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni pada media MHA (Mueller Hinton Agar) pada seluruh konsentrasi. Sehingga nilai KBM (Kadar Bunuh Minimum) dan nilai KHM (Kadar Bunuh Minimum) rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp adalah negatif.
SARAN
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.) untuk mengetahui kemampuan antibakteri bakteri Salmonella sp. dengan metode yang berbeda, perlu juga dilakukan penelitian lanjutan terhadap bakteri-bakteri lain yang sering
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 623
kali menyebabkan demam tifoid. Serta dapat menggunakan herbal selain daun kersen karena penggunaan daun kersen pada penilitian ini kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Irani, A & Wira, P. 2016. Pola Resistensi Bakteri Salmonella typhi pada Penderita Demam Tifoid. Bulletin Penelitian RSUD SOETOMO.
Mukhlishoh, F. 2017. Profil Resistensi Bakteri Salmonella sp Pada Darah Penderita Demam Tifoid Terhadap Antibakteri Ekstrak Daun Bidara (Ziziphus mauritiana). Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Surabaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Skripsi.
Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi
Farmasi. Jakarta : Elangga.
Puspitasari, A. D dan Wulandari, R. L. 2017. Aktivitas Antioksidan dan Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etil Asetat Daun Kersen (Muntingia calabura L.). Jurnal Pharmascience. 4:167-175
Putra, E.S. 2016. Uji Efektivitas
Rimpang Jahe Emprit (Zingiber officinale Var. Amarum) Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi Secara In Vitro. Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Surabaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. KTI.
Umah, A.K., R.B. Wirjatmadi.
2015. Asupan Protein, Lemak, Karbohidrat dan Lama Hari Rawat Pasien Demam Tifoid di RSUD. DR. Soewandhi Surabaya. Jurnal Widya Medika Surabaya. 2(2):100
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 624
SINTESIS DAN PENENTUAN KARAKTERISTIK KITOSAN DARI CANGKANG KUPANG PUTIH
(Corbula faba Hinds)
Lailatul Musyrofah1, Pestariati2
Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya
Email : [email protected]
ABSTRACT
White mussel shells (Corbula Foba Hinds) waste in Balongdowo village, Candi
district, Sidoarjo, have not been used well. The white mussel shells contain chitin which
can be synthesized into chitosan. Now days, 90% chitosan market are controlled by
Japan. Indonesia with larger sea potential has good chance to participate in the world
chitosan market. The development of chitin and chitosan industry in Indonesia has been
arranged in presidential decree number 28 in 2008.
This research aims to determine the synthesis process and the characterization
of white mussel shells (Corbula Foba Hinds). Chitosan synthesis is carried out by
chemical methods. The sampling is done by simple random sampling technique. The
independent variable is 45% NaOH with 1:20 volume comparison and 50% NaOH with
1:8 volume comparison. The dependent variable is the chitosan characterization ofwhite
mussel shells (Corbula Foba Hinds), contain of water content, ash, pH, solubility, yield,
and deacetylation degree. This reaserch was conducted in December 2017 - July 2018 in
Analytical Chemistry Laboratory Majoring in Health Analytical Poltekes Kemenkes
Surabaya and Chemical Laboratory of Institut Teknologi Sepuluh November.
The result of sample 1 were synthesized by distillation procedure using 45%
NaOH with 1:20 comparison (weight:volume) produced white characteristics chitosan,
odorless, ≤ 200 mesh particle size, pH 9, 86,31% ash, 0,44% water content, 75,23%
solubility, 14,6% yield, and 95,85% deacetylation degree. Sample 2 were synthesized by
distillation prosedure using 50% NaOH with 1:8 comparison (weight:volume) procedured
white characteristics chitosan, odorless, ≤ 200 mesh particle size, pH 12, 97,02% ash,
0,25% water content, 85,24% solubility, 9,8% yield, and 72,19% deacetylation degree.
Based on the result, it can conclude that sample 1 has better characteristics than sample
2.
Keywords: chitosan synthesis, white mussel shells, characteristics of chitosan
PENDAHULUAN Kupang putih (Corbula faba Hinds)
merupakan salah satu jenis kerang yang termasuk dalam phylum mollusca. Jenis kupang ini berbentuk cembung lateral dan mempunyai cangkang dengan dua belahan serta engsel dorsal yang menutup daerah seluruh tubuh. Produksi kupang Sidoarjo berkisar 8.540.400 Kg hingga 8.675.300 Kg per tahun (1996- 1998) (Prayitno & Tri, 2001).
Produksi kupang yang besar menimbulkan permasalahan baru berupa
limbah cangkang kupang yang menumpuk tanpa adanya proses pengolahan di wilayah ini, terutama di Desa Balongdowo, Kecamatan Candi, Sidoarjo. Masyarakat di daerah tersebut selama ini hanya memanfaatkan limbah cangkang kupang sebagai bahan pakan ternak dan bahan tambahan dalam campuran beton. Serbuk cangkang kupang mengandung 26,82 % kitin (Almufida, 2016). Kitin tersebut dapat disintesis menjadi kitosan.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 625
Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer N-asetilglukosamin dan D-glukosamin. Bentukan derifatif deasetilasi dari polimer ini adalah kitin (Trisnawati dkk., 2013). Kitosan merupakan polimer kationik yang bersifat nontoksik, dapat mengalami biodegradasi dan bersifat biokompatibel. Kitosan juga memiliki kegunaan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari misalnya sebagai adsorben limbah logam berat dan zat warna, pengawet, antijamur, kosmetik, farmasi, flokulan, antikanker, dan antibakteri (Kurniasih & Dwi, 2009). Aplikasi kitosan di berbagai bidang tersebut ditentukan oleh karakteristiknya, sifat intrinsiknya yang meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul. (Kaimudin & Maria, 2016).
Data BPS menyebutkan bahwa pada tahun 2012 hingga 2014, rata-rata kitosan yang diekspor sebesar 341 ton dengan nilai ekspor yang cenderung meningkat. Selain Jepang dan Amerika, kitin dan kitosan juga diproduksi secara komersial di India, Polandia, Norwegia, Australia, dan China yang merupakan produsen kitin terbesar di dunia. Secara global, permintaan kitin dan produk turunannya meningkat cukup signifikan (Sismaraini, 2015).
Tobing dkk., (2011) menyatakan bahwa secara umum kitin banyak terdapat pada eksoskleleton atau kutikula serangga, crustaceae, dan jamur. Lebih dari 80.000 metrik ton kitin diperoleh dari limbah laut dunia per tahun. Di Indonesia limbah kitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton per tahun. Harga kitosan di pasaran dunia adalah sekitar US$ 7.5 / 10 g untuk kitosan dengan standar baik. Saat ini, 90 % pasaran kitosan dunia dikuasai oleh Jepang dengan produksi lebih dari 100 juta ton setiap tahunnya. Indonesia dengan potensi laut lebih luas mempunyai peluang untuk mengambil bagian dari pasaran kitosan dunia.
Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia juga didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional, yang menyatakan bahwa pemanfaatan limbah produk perikanan untuk aplikasi yang memberikan nilai tambah seperti kitin dan kitosan harus ditingkatkan. Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 41 Tahun 2010
mengenai Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon 1 Kementerian Perindustrian, bahwa salah satu target pengembangan klaster industri berbasis agro adalah meningkatkan penggunaan limbah produk laut untuk dijadikan bahan makanan dan famasi/suplemen seperti kitin dan kitosan. Dukungan pemerintah lain juga dapat dilihat berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Non Konsumsi No. 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Registrasi Unit Penanganan, Pengolahan Hasil Perikanan Non Konsumsi bahwa kitin dan kitosan adalah salah satu produk non konsumsi yang menjadi salah satu fokus yang akan dikembangkan (Sismaraini, 2015).
Untuk mendukung peningkatan produksi kitosan di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian mengenai bahan alternatif dan metode yang tepat untuk pembuatan kitosan, misalnya menggunakan bahan baku cangkang kupang putih. Selama ini banyak dilakukan penelitian tentang sintesis dan karakteristik kitosan dari kulit udang dan cangkang kepiting, namun belum ada penelitian mengenai sintesis dan karakterisasi kitosan dari cangkang kupang putih. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang sintesis dan karakterisasi kitosan dari cangkang kupang putih (Corbula faba Hinds).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Pra Eksperimental Laboratoris dengan rancangan Posttest Only Group Design untuk mengetahui proses sintesis dan penentuan karakteristik kitosan dari cangkang kupang putih (Corbula faba Hinds). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Suabaya dan Laboratorium Kimia ITS pada bulan Desember 2017 hingga Juni 2018.
Kitosan disintesis dengan 2 prosedur deasetilasi yaitu menggunakan NaOH 45% 1:20 dan NaOH 50% 1:8.
Penentuan karakteristik kitosan
meliputi kadar air, kadar abu, pH,
kelarutan, rendemen, dan derajat
deasetilasi.
Alat yang digunakan dalam
penelitian meliputi Hot plate, gelas
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 626
beaker, botol semprot, kertas saring,
pipet tetes, gelas ukur, blender,
ayakan 200 mesh, erlenmeyer, tabung
reaksi, bunsen, korek api, oven,
spatula, kaki tiga, kawat kassa, label,
rak tabung, neraca analitik.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian meliputi cangkang kupang
putih (Corbula faba Hinds),
CH3COOH 1 %, NaOH 3 %, HCl 1 N,
NaOH 45 %, NaOH 50 %, AgNO3,
pereaksi biuret, I2-KI 1 %, dan H2SO4
1 M.
Sampel penelitian yang digunakan
adalah cangkang kupang putih
(Corbula faba Hinds) yang didapat
dari tempat pengolahan kupang di
Desa Balongdowo, Kecamatan Candi,
Sidoarjo dengan teknik simple random
sampling.
1. Pembuatan Kitosan A. Preparasi
Sampel dicuci dibawah air mengalir, kemudian dijemur dibawah sinar matahari, ditiriskan, lalu ditumbuk hingga menjadi serbuk (Sartika, 2016). Serbuk diayak menggunakan ayakan 200 mesh.
B. Deproteinasi Sampel ditambahkan NaOH 3
% 1:6 (B/V), diaduk selama 30 menit dan dipanaskan pada suhu 85 ˚C. Selanjutnya suspensi disaring dan dinetralkan dengan akuades hingga pH 7 (Sartika, 2016). Filtrat terakhir yang diperoleh diuji dengan pereaksi biuret, bila filtrat berubah menjadi warna biru berarti protein yang terkandung sudah hilang. Lalu residu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 ˚C selama 24 jam (Yakin, 2015).
C. Demineralisasi Sampel ditambahkan HCl 1 N
dengan perbandingan 1:10 (B/V) sambil diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 75 ˚C. Kemudian suspensi disaring dan dinetralkan hingga pH 7 (Sartika, 2016). Filtrat terakhir yang diperoleh diuji dengan larutan AgNO3, apabila tidak terbentuk endapan putih, maka sisa ion Cl-
yang terkandung sudah hilang. Selanjutnya residu dikeringkan dengan oven pada suhu 70 ˚C selama 24 jam (Yakin, 2015). Pada proses ini dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali untuk menghilangkan mineral yang masih tersisa (Sartika, 2016). Adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Kitin direaksikan dengan larutan I2-KI 1% yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan H2SO4 1 M membentuk warna violet yang menunjukkan reaksi positif adanya kitin (Yakin, 2015).
D. Deasetilasi Sampel 1 : Sampel
ditambahkan NaOH 45 % dengan perbandingan 1:20 (B/V) serta dipanaskan pada suhu 140 ˚C selama 1 jam, lalu dinetralkan dengan aquades dan ditambah dengan HCl encer hingga pH 7. Residu disaring, kemudian dioven pada suhu 80 ˚C selama 24 jam. Hasilnya berupa kitosan (Sartika 2016).
Sampel 2 : Sampel ditambahkan NaOH 50 % (Hargono dkk., 2008) dengan perbandingan 1:8 (B/V) serta dipanaskan pada suhu 140 ˚C selama 1 jam, lalu dinetralkan dengan aquades dan ditambah dengan HCl encer hingga pH 7. Residu disaring, kemudian dioven pada suhu 80 ˚C selama 24 jam. Hasilnya berupa kitosan (Sartika 2016).
2. Uji Karakteristik Kitosan A. Uji kadar air
Kadar air diukur dengan menggunakan metode Gravimetri, yaitu sebanyak 0,3 gram kitosan dikeringkan dalam oven pada suhu 110 ˚C selama 2 jam, kemudian dikeringkan dalam desikator selama 24 jam. Kemudian ditimbang. Perlakuan diulangi sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dari selisih sampel sebelum dikeringkan dan sesudah dikeringkan.
Rumus kadar air = (𝐴−𝐵) × 100 % 𝐴
A : Berat basah B : Berat kering
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 627
4
B. pH 1 gram kitosan dilarutkan
dalam 20 mL akuades, kemudian dihomogenkan dan diukur pHnya menggunakan kertas pH universal (Sartika, 2016).
C. Rendemen Rendemen kitosan dihitung
berdasarkan perbandingan antara berat kitosan yang dihasilkan dengan berat serbuk limbah cangkang sebagai bahan awal, menggunakan rumus :
Rendemen =
Keterangan :
A1655 : Serapan pada 1655 cm-1
A3450 : Serapan pada 3450 cm-1
1,33 : Perbandingan A1655 dengan
A3450 pada derajat
Deasetilasi 100 %.
ANALISIS DATA
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎 ℎ 𝑐𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑔
(Sartika, 2016) D. Uji kelarutan
100 % Analisa data hasil penelitian
dilakukan secara kualitatif deskriptif
disajikan dalam bentuk tabel. Kitosan sebanyak 0,5 % (b/v)
dilarutkan dalam asam asetat 1 % (v/v), lalu difiltrasi. Presentase kelarutan kitosan ditunjukkan dengan kitosan yang tersisa dibandingkan dengan kitosan awal (Sartika, 2016).
E. Uji kadar abu Kurs kosong ditimbang
sebelum dimasukkan ke oven, dipanaskan di dalam oven selama empat jam dengan suhu 105 ˚C selama satu jam. Perlakuan diulang sampai menemukan bobot konstan. Sampel kitosan ± 1 gram dimasukkan dalam kurs yang sudah diketahui beratnya dan di furnace pada suhu 600 ˚C selama satu jam. Kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang kembali. Perlakuan ini dilakukan sampai ditemukan bobot konstan.
F. Derajat deasetilasi Derajat deasetilasi ditentukan
dengan menghitung serapan pada bilangan gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1 dengan metode base line sesuai rumus berikut :
PEMBAHASAN
Isolasi kitosan dari cangkang kupang putih melalui empat tahap yaitu preparasi, deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Preparasi sampel bertujuan untuk memperkecil ukuran sampel, sehingga reaksi berjalan dengan baik dan cepat (Sartika, 2016). Tahap selanjutnya adalah deproteinasi yang bertujuan untuk menghilangkan protein pada sampel yang terikat secara fisik maupun secara kovalen. Larutan hasil deproteinasi agak kental dan berwarna kekuningan. Hal ini disebabkan karena protein dalam sampel terlepas dan berikatan dengan Na+, membentuk natrium proteinat. Tahap selanjunya adalah demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral dalam sampel. Mineral yang dihilangkan adalah CaCO3 dalam jumlah besar dan Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil. Akibat penambahan HCl, gas CO2 dilepaskan dan terbentuk ion Ca+2 dan ion H2PO - yang terlarut (Azhar, dkk., 2010). Reaksi yang terjadi pada saat demineralisasi adalah sebagai berikut :
Ca3(PO4)2 (s) + 4HCl(aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2(aq)
CaCO3(S) + 2HCl(aq) CaCl(aq) + H2CO3(g) %DD = 1-[(A1655)× 1
] × 100%
𝐴3450 1,33 H2CO3(g) CO2(g) + H2O(l)
Tabel 5.2 Rendemen dan tekstur kitin cangkang kupang putih hasil isolasi
Sampel Rendemen Tekstur
Sampel + NaOH 45% 1:20 22,32 % Serbuk putih
Sampel + NaOH 50% 1:8 20,46 % Serbuk putih
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 628
Rendemen kitin sampel 1 dan sampel 2 berturut-turut adalah 22,32 % dan 20,46 %. Terjadi perbedaan rendemen kitin hasil isolasi dengan penelitian Almufidah (2016) yang menyatakan bahwa kadar kitin dalam cangkang kupang putih sebesar 26,82 %. Kemungkinan perbedaan tersebut karena sebagian sampel hilang saat pencucian berulang pada tahap deproteinasi dan
demineralisasi pertama dan kedua. Terakhir adalah tahap deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil pada kitin melalui reaksi hidrolisis dengan basa kuat (Suyanto, 2015), kemudian dilakukan penentuan karakteristik sampel yang meliputi warna, bau, pH, kadar air, kadar abu, kelarutan, rendemen, dan derajat deasetilasi.
Tabel 5.3 Karakteristik kitosan dari cangkang kupang putih (Corbula faba Hinds)
Parameter Sampel + NaOH
45% 1:20 Sampel + NaOH 50%
1:8
Warna Putih Putih
Bau Tidak berbau Tidak berbau
Ukuran partikel ≤ 200 mesh ≤ 200 mesh
pH 9 12
Kadar abu 86,31 % 97,02 %
Kadar air 0,44 % 0,25 %
Kelarutan 75,23 % 85,24 %
Rendemen 14,60 % 9,83 %
Derajat Deasetilasi 95,85 % 72,19 %
Secara makroskopis sampel 1 dan sampel 2 tampak serbuk putih. Pada saat preparasi, serbuk cangkang kupang diayak menggunakan ayakan 200 mesh, sehingga dapat diperkirakan hasil akhir ukuran partikel kedua sampel ≤ 200 mesh. Hasil sintesis sampel 1 dan sampel 2 tidak berbau. Secara makroskopis sampel 1 dan sampel 2 sudah sesuai dengan standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV.
Rendemen kitosan sampel 1 adalah 14,60 % dan sampel 2 adalah 9,83 %. Hal ini hampir sama dengan penemuan peneliti sebelumnya yang didapatkan rendemen kitosan pada kerang darah rerata 15,3039 %, kerang kupang sebesar 12,1009 %, kerang manuk sebesar 13,0109 %, dan Rajungan sebesar 13,2724 % (Sartika, 2016). Hasil penelitian Fadli dkk. (2017) makin bertambah volume NaOH dan waktu reaksi, rendemen yang diperoleh makin kecil. Menurunnya rendemen ini disebabkan oleh lepasnya gugus asetil yang terdapat di dalam kitin. Jumlah pelarut yang lebih banyak menyebabkan luas kontak antara pelarut dengan padatan pada saat proses, sehingga gugus asetil (-COCH3) terlepas dari kitin. Selain itu lama reaksi menyebabkan molekul NaOH yang teradisi ke molekul kitin makin banyak, sehingga menurunkan rendemen produk kitosan.
Rendahnya rendemen kitosan meningkatkan kemurnian kitosan karena gugus asetil yang terlepas dari kitin makin banyak. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengen penelitian yang dilakukan oleh Fadli dkk. (2017), rendemen sampel 1 lebih tinggi daripada sampel 2 karena penambahan HCl pada saat penetralan pH setelah proses deasetilasi menyebabkan sebagian kitosan larut dalam filtrat.
Kadar air sampel 1 adalah 0,44 % dan kadar air sampel 2 adalah 0,25 %. Kadar air kedua sampel tersebut jauh dibawah standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV yaitu sebesar 10 %. Kadar air sampel 1 lebih tinggi dari pada kadar air sampel 2 karena sampel 1 memiliki derajat deasetilasi lebih tinggi daripada derajat deasetilasi sampel 2. Citrowati dkk. (2017) menyatakan bahwa nilai derajat deasetilasi yang semakin tinggi menandakan kitosan akan memiliki ikatan hidrogen yang semakin meningkat sehingga kitosan akan lebih mudah berikatan dengan molekul air yang ada di lingkungan. Kadar air ini berpengaruh pada ketahanan kitosan dalam masa penyimpanan terhadap serangan mikroorganisme (Agustina dkk., 2015).
pH sampel 1 adalah 9. Sampel 1 telah memenuhi standar mutu kitosan menurut
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 629
Daiwoo Korea yang menyatakan bahwa pH kitosan antara 7 – 9, namun tidak memenuhi standar mutu kitosan menurut laboratorium Proton Jepang yang menyatakan bahwa pH kitosan antara 7 – 8. pH sampel 2 adalah 12. Sampel 2 tidak memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang dan Daiwoo Korea. Hal tersebut karena pada tahap deasetilasi sampel 2 tidak dapat dinetralkan meskipun telah ditambahkan HCl encer sehingga pencucian dihentikan dan sampel dikeringkan.
Kadar abu dapat dijadikan parameter mutu kitosan, karena semakin rendah nilai kadar abu, maka tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi, dan sebaliknya (Dompeipen, dkk., 2016). Kadar abu sampel 1 adalah 86,31 % dan kadar abu sampel 2 adalah 97,02 %. Kadar abu kedua sampel tersebut jauh diatas standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang dan Daiwoo Korea yaitu berturut-turut sebesar ≤ 2 % dan ≤ 0,5 %, serta tidak memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi IV yaitu ≤ 2 %. Kadar abu kitosan dari cangkang kupang putih hampir sama dengan hasil penelitian Citrowati dkk., (2017) kadar abu kitosan dari cangkang kerang kampak (Atrina pectinata) berkisar antara 83,49 % - 88,83%. Kadar abu kedua sampel tersebut sangat tinggi karena saat pencucian sampel pada proses deasetilasi dilakukan penambahan HCl encer untuk menetralkan sampel. Kitosan memiliki pKa 6,5 sehingga kitosan dapat larut dalam sebagian besar larutan organik yang bersifat asam dan memiliki pH kurang dari 6,5 (Sartika, 2016). HCl tegolong asam organik kuat yang memiliki pH kurang dari 6,5, sehingga kitosan terlarut dalam filtrat. Seharusnya setelah proses deasetilasi dilakukan pemurnian kitosan dengan cara melarutkan sampel kedalam asam asetat 2 %, endapannya dibuang dan filtrat yang diperoleh ditambah NaOH untuk mengendapkan kembali kitosan (Suyanto, 2015). Selain itu, kadar abu yang tinggi menunjukkan bahwa masih ada mineral yang tersisa dalam sampel.
Derajat deasetilasi adalah salah satu karakteristik kimia yang paling penting dari kitosan karena derajat deasetilasi mempengaruhi kegunaan kitosan pada banyak aplikasinya (Azhar, 2016). Derajat deasetilasi sampel 1 adalah 95,85 %. Menurut Suyanto (2015) kitosan mempunyai derajat deasetilasi 60 – 100 %, sehingga sampel 1 dapat dikategorikan sebagai kitosan. Derajat deasetilasi sampel 1 telah memenuhi standar
mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV yaitu sebesar ≥ 70 %. Derajat deasetilasi sampel 2 adalah 72,19 %. Berdasarkan derajat deasetilasi tersebut sampel 2 dapat dikategorikan sebagai kitosan, serta memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV karena ≥ 70 %. Derajat deasetilasi kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kekuatan basa, konsentrasi basa, waktu reaksi, dan suhu (Azhar dkk., 2010). Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sartika (2016) didapatkan derajat deasetilasi untuk kerang darah rerata sebesar 66,78 %, kerang kupang 65,30 %, kerang manuk 53,43 %, dan rajungan sebesar 70,73 %. Hasil ini sesuai dengan Sartika (2016) yang menyebutkan nilai derajat deasetilasi kitosan dapat berkisar antara 30 – 95 %, perbedaan yang terjadi dipengaruhi oleh sumber bahan yang digunakan dan prosedur preparasiya. Secara teori, semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu proses yang digunakan pada proses deasetilasi, semakin tinggi pula nilai derajat deasetilasi sehingga mutu kitosan juga akan semakin tinggi, Tetapi, konsentrasi alkali dan suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan rendemen kitosan serta menyebabkan depolimerasi dan degradasi polimer (Citrowati dkk., 2017). Selain itu, semakin tinggi konsentrasi NaOH menyebabkan larutan menjadi lebih kental, akibatnya proses pengadukan menjadi tidak sempurna, artinya ada sebagian kitin tidak bereaksi sempurna dengan larutan NaOH sehingga gugus amino yang terbentuk sedikit atau nilai derajat deasetilasi menurun (Hargono dkk., 2008). Hasil penelitian Fadli dkk. (2017) menyatakan bahwa semakin tinggi rasio pereaksi dan waktu reaksi dapat meningkatkan derajat deasetilasi kitosan. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang didapat pada penelitian ini. Sampel 1 memiliki derajat deasetilasi lebih tinggi daripada sampel 2.
KESIMPULAN Sampel 1 disintesis dengan prosedur
desetilasi menggunakan NaOH 45 % 1:20 (berat:volume) menghasilkan kitosan yang memiliki karakteristik berwarna putih, tidak berbau, ukuran partikel ≤ 200 mesh, pH 9, kadar abu 86,31 %, kadar air 0,44 %, kelarutan 75,23 %, rendemen 14,6 %, dan derajat deasetilasi 95,85 %.
Sampel 2 disintesis dengan prosedur desetilasi menggunakan NaOH 50 % 1:8
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 630
(berat:volume) menghasilkan kitosan yang memiliki karakteristik berwarna putih, tidak berbau, ukuran partikel ≤ 200 mesh, pH 12, kadar abu 97,02 %, kadar air 0,25 %, kelarutan 85,24 %, rendemen 9,8 %, dan derajat deasetilasi 72,19 %.
SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian prosedur
yang tepat guna menetralkan pH akhir kitosan.
2. Perlu dilakukan pemurnian kitosan apabila membuat kitosan dari bahan baku cangkang kupang putih agar hasil sintesis memiliki kadar abu rendah dan kelarutan yang tinggi.
3. Perlu dilakukan replikasi penentuan karakteristik kitosan agar didapatkan hasil penelitian yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, S., I Made D.S., & I Nyoman S.
2015. Isolasi kitin, karakterisasi,
dan sintesis kitosan dari kulit
udang. Jurnal kimia. 9: 271-278.
Almufidah, R.D.L. 2016. Pemanfaatan
serbuk kulit kupang sebagai bahan
pengawet alami ikan mujair.
Surabaya: Jurusan Kesehatan
Lingkungan Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Surabaya.
Skripsi.
Azhar, M. 2016. Biomolekul sel,
karbohidrat, protein dan enzim.
Padang: UNP Press.
Azhar, M., Jon E., Erda S., Rahmi M.L., &
Sri Novalina. 2010. Pengaruh
konsentrasi NaOH dan KOH
terhadap derajat deasetilasi kitin
dari limbah kulit udang. Eksakta.
1:1-8.
Citrowati, A.N., Woro, H.S., & Gunanti,
M. 2017. Pengaruh kombinasi
NaOH dan suhu berbeda terhadap
nilai derajat deasetilasi kitosan dari
cangkang kerang kampak (Atrina
pectinata). Journal of Aquaculture
and Fish Health. 6:48-56.
Dompeipen, E.J., Marni, K., & Riardi P.D.
2016. Isolasi kitin dan kitosan dari
limbah kulit udang. Majalah Biam.
12:32-38.
Fadli, A., Drasttinawati, Ongky, A., &
Feblil H. Pengaruh rasio massa
kitin/NaOH dan waktu reaksi
terhadap karakteristik kitosan yang
disintesis dari limbah industri
udang kering. Jurnal sains materi
Indonesia. 18:61-67.
Kaimudin, M. & Maria F.L. 2016.
Karakterisasi kitosan dari limbah
udang dengan proses bleaching dan
deasetilasi yang berbeda. Majalah
biam kementerian perindustrian.
12:1-7.
Kurniasih, M. & D. Kartika. 2009.
Aktivitas antibakteri kitosan
terhadap bakteri S. aureus.
Banyumas: Universitas Jenderal
Soedirman. 4:1-5.
Prayitno, S. & T. Susanto. 2001.
Teknologi tepat guna kupang
dan produk olahannya.
Yogyakarta: Kanusius.
Sartika, I.D. 2016. Isolasi, karakterisasi
dan aplikasi kitosan dari cangkang
kerang darah (Barbatia foliate),
kerang kupang (Modiolus
metcalfie), kerang manuk (Atrina
pectinata) dan rajungan ( Portunus
pelagicus) sebagai adsorben logam
berat Cu2+ Surabaya: Sekolah
Pascasarjana Universitas Airlangga
Surabaya. Tesis.
Sismaraini, D. 2015. Strategi
Pengembangan Industri Kitin dan
Kitosan di Indonesia. Bogor:
Program Studi Teknologi Industri
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Tesis.
Suyanto. 2015. Biopolimer kitosan,
fluidisasi dan aplikasinya.
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 631
Surabaya: Airlangga University
Press.
Tobing, M.T.L., Nor Basid, A.P., &
Khabibi. 2011. Peningkatan derajat
deasetilasi kitosan dari cangkang
rajungan dengan variasi konsentrasi
NaOH dan lama perendaman.
Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi.
14:83-88.
Trisnawati, E., D. Andesti, & A. Saleh.
2013. Pembuatan Kitosan dari
Limbah Cangkang Kepiting
sebagai Pengawet Buah Duku
dengan Variasi Lama Pengawetan.
Jurnal Teknik Kimia. 19:17-26.
Yakin, A.P. 2015. Pengaruh pemberian
sediaan gel penyembuh luka pada
tikus jantangalur wistar dengan
kombinasi zat aktif kitosan dari
limbah kulit udang windu (Peneaus
monodon) dan ekstrak kulit
manggis. Yogyakarta: Fakultas
Farmasi Universita
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 632
ISOLASI BAKTERI Vibrio cholerae PADA UDANG VANAME
(Litopenaeus vannamei) TERHADAP ANTIBAKTERI BIJI KETUMBAR
(Coriandrum sativum)
Rheza Danny Iswara1, Diah Titik Mutiarawati2 , Syamsul Arifin3
Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya
ABSTRAK
Udang merupakan salah satu jenis seafood yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia karena memiliki kandungan protein yang tinggi dan baik
dikonsumsi oleh manusia serta dapat menjadi nutrisi bagi pertumbuhan bakteri.
Pada penelitian ini ditemukan Vibrio cholerae yang paling dominan. Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini obat tradisional terus
dikembangkan sebagai pemeliharaan kesehatan masyarakat. salah satunya larutan
biji ketumbar, karena mengandung antibakteri Linalool, minyak atsiri, saponin,
flavonoid dan tanin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan larutan biji
ketumbar dalam menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae secara in
vitro. Penelitian ini menggunakan metode dilusi cair dengan konsentrasi 30%,
40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100% disertai 3 kali replikasi. Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 04 Juni – 09 Juni 2018 di Laboratorium Bakteriologi
Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa larutan biji ketumbar
(Coriandrum sativum) tidak menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap
pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae dari konsentrasi 30% hingga 100%. Analisis
data dengan metode deskriptif. Maka disimpulkan tidak ada pengaruh larutan biji
ketumbar terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae secara in vitro.
Kata kunci: Udang vaname, Isolasi udang, Escherichia coli, Salmonella, Vibrio
cholerae, Larutan biji ketumbar, Metode dilusi cair
PENDAHULUAN
Indonesia sepanjang 3.977 mil dari
Samudera Indonesia hingga Samudera
Pasifik yang terdiri dari daratan dan
lautan. Indonesia disebut negara
maritim karena merupakan negara
kepulauan yang sebagian besar
wilayahnya terdiri atas laut. Luas
lautan Indonesia adalah 3.273.810 km²,
hampir dua pertiga dari total luasnya
dengan keanekaragaman sumber daya
alam hayati dan non hayati di
dalamnya. Makanan laut merupakan
makanan yang sangat diminati.
Terlebih lagi didaerah pesisir yang
merupakan penghasil seafood paling
tinggi. (Adiyati, 2014).
Udang merupakan salah satu jenis
seafood yang banyak dikonsumsi oleh
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 633
masyarakat Indonesia. Udang memiliki
kandungan protein yang tinggi dan baik
dikonsumsi oleh manusia serta dapat
menjadi nutrisi bagi pertumbuhan
bakteri (Sogara, 2015). Berdasarkan
data Kementerian Kelautan dan
Perikanan pada tahun 2009 tecatat
produksi udang 338.061 ton, 2010
meningkat menjadi 380.971 ton, tahun
2011 volume produksi udang tercatat
400.386 ton (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, 2012) dan tahun 2012
tercatat 415.703 ton (Halim, 2013).
Pada tahun 2014 produksi udang
Indonesia tercatat 623.000 ton dan pada
tahun 2015 ditargetkan produksi udang
sejumlah 785.900 ton (Trobos, 2015).
Ekspor udang ke luar negeri juga
diperkirakan akan terus meningkat
seiring dengan meningkatnya
kebutuhan udang dunia.
Ekspor udang ke luar negeri
menghadapi berbagai hambatan
diantaranya adalah kesadaran akan
pentingnya bahan pangan yang aman
dan bermutu memempatkan keamanan
pangan dan jaminan mutu sebagai
prasyarat (Lambaga, 2009). Masing-
masing negara pengimpor udang
menetapkan standar tersendiri yang
lebih ketat dibandingkan standar yang
ditetapkan oleh Codex Alimentarius
Commision (CAC). Sebagai contoh,
negara Uni Eropa menerapkan Rapid
Alert system for Food and Feed
(RASFF). Selain itu, udang yang
diekspor juga harus memenuhi standar
yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu
Escherichia coli (maksimal < 2 per
APM/g) Salmonella (negatif per
APM/25 g), Vibrio cholera (negatif per
APM/25 g) (Badan Standardisasi
Nasional, 2006).
Untuk mencegah udang dari
kontaminasi bakteri, sering dilakukan
upaya pengawetan dengan pembekuan
atau pemberian Natrium Benzoat
sebesar 0.1%. Pemanfaatan tumbuhan-
tumbuhan sebagai pengawet alami
telah banyak dilakukan. Salah satu
yang sudah dilakukan adalah
Tumbuhan Mahkota dewa karena
memiliki kemampuan antioksidan dan
antimikroba (Tedi dkk, 2013). Pada
penelitian ini menggunakan tumbuhan
lain yang juga memiliki efek
antioksidan atau bisa menghambat
pertumbuhan bakteri yaitu Biji
Ketumbar (Deepa dan Anuradha,
2011).
Ketumbar sebagai bumbu masak
juga bernilai medis. Kandungan
komposisi kimiawi yang terkandung
dalam biji ketumbar berupa air, protein,
lemak, serat, kanji, pentosans, gula, zat
mineral dan minyak atsiri. Salah satu
senyawa aktifnya berasal dari senyawa
monoterpen asiklik yaitu Linalool yang
berjumlah sekitar 60-75%. Komponen
utama yang terkandung dalam minyak
atsiri pada biji ketumbar ini antara lain
adalah seperti Linalool (67.7%), α-
pinene (10,5%), γ-terpinene (9,0%),
geranylacetate (4,0%), camphor
(3,0%), geraniol (1,9%) dan kurang
dari 2% dari komponen minor yaitu β-
pinene, camphene, myrcene, limonene,
ρ-cymol, dipentene, α-terpinene,
ndecylaldehyde, borenol, dan acetic
acid esters (Tahirah, 2015).
Penggunaan biji ketumbar yang
dapat berfungsi sebagai antibakteri
perlu diteliti terhadap beberapa jenis
bakteri dan berhasil diisolasi dari
udang. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengetahui efektifitas antibakteri dari
bumbu dapur tersebut, sehingga
diharapkan terbentuk larutan yang
dapat digunakan sebagai antioksidan
alami untuk menghambat pertumbuhan
bakteri.
METODE PENELITIAN
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 634
Penelitian ini bersifat
eksperimental laboratoris. Untuk
mengetahui pengaruh pemberian
larutan biji ketumbar (Coriandrum
sativum) terhadap pertumbuhan bakteri
Vibrio cholerae yang diisolasi dari
udang vaname (Litopenaeus
vannamei).
LARUTAN BIJI KETUMBAR
Mempersiapkan alat dan bahan,
seperti larutan biji ketumbar
(Coriandrum sativum), buffer phosphat
pH 7,2, batang pengaduk, gelas ukur,
dan waterbath. Larutan biji ketumbar
(Coriandrum sativum) sebelumnya
telah dilakukan sterilitas pada media
MHA (Mueller Hinton Agar) selama
24 jam pada suhu 37°C dan dilihat
apakah ada pertumbuhan bakteri pada
media tersebut. Dan sebaliknya jika
tidak terjadi pertumbuhan pada media
MHA (Mueller Hinton Agar) maka
dapat dikatakan bahwa larutan biji
ketumbar (Coriandrum sativum)
tersebut steril. Cara pembuatan larutan
biji ketumbar dengan berbagai
konsentrasi yaitu sebagai berikut.
1. Larutan biji ketumbar 30% =
larutan biji ketumbar 100% 0,6 mL
+ 1,40 mL buffer phosphat pH 7,2
2. Larutan biji ketumbar 40% =
larutan biji ketumbar 100% 0,8 mL
+ 1,20 mL buffer phosphat pH 7,2
3. Larutan biji ketumbar 50% =
larutan biji ketumbar 100% 1 mL +
1 mL buffer phosphat pH 7,2
4. Larutan biji ketumbar 60% =
larutan biji ketumbar 100% 1,2 mL
+ 0,8 mL buffer phosphat pH 7,2
5. Larutan biji ketumbar 70% =
larutan biji ketumbar 100% 1,4 mL
+ 0,6 mL buffer phosphat pH 7,2
6. Larutan biji ketumbar 80% =
larutan biji ketumbar 100% 1,6 mL
+ 0,40 mL buffer phosphat pH 7,2
7. Larutan biji ketumbar 90% =
larutan biji ketumbar 100% 1,8 mL
+ 0,20 mL buffer phosphat pH 7,2
8. Larutan biji ketumbar 100% =
larutan biji ketumbar 100% 2 mL
PEMBUATAN SUSPENSI BAKTERI
Suspensi bakteri diambil dari
biakan bakteri Vibrio cholerae hasil
isolat dari Udang vaname (Litopenaeus
vannamei) yang ada pada Nutrient
Agar Slant (NAS) dengan
menggunakan ose, kemudian masukkan
ke dalam tabung yang berisi larutan
garam NaCl 0,9%, lalu homogenkan.
Suspensi bakteri ini disamakan
kekeruhannya dengan Mc farland 0,5.
METODE DILUSI CAIR
Larutan biji ketumbar dengan konsentrasi 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100% diambil sebanyak 0,5 ml larutan biji ketumbar pada masing- masing konsentrasi lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diberi label. Suspensi bakteri yang telah dipersiapkan sebelumnya diambil 0,5 ml kemudian dimasukkan ke dalam masing- masing tabung konsentrasi larutan biji ketumbar dan dikocok hingga homogen. Campuran konsentrasi larutan biji ketumbar dan suspensi bakteri diinkubasi
pada suhu 37 selama 18-24 jam.
Kekeruhan larutan hasil inkubasi diamati untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM). Selanjutnya, cairan kultur hasil inkubasi digoreskan pada media agar MHA menggunakan ose lalu diinkubasi
pada suhu 37 selama 18-24 jam.
Pertumbuhan koloni bakteri pada media agar MHA diamati dan dibandingkan dengan kontrol untuk menentukan Kadar Bunuh Minimum (KBM) terendah larutan larutan biji ketumbar.
Kontrol positif metode dilusi cair menggunakan campuran suspensi bakteri dengan larutan antibiotik kloramfenikol 2%. Kontrol negatif menggunakan campuran suspensi bakteri dan buffer phosphat pH 7,2 Data KHM dan KBM pada masing- masing pengenceran hanya menyajikan hasil positif dan negatif.
TEKNIK ANALISIS DATA
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 635
Analisa data dari hasil penelitian
ini dilakuka secara kualitatif-deskriptif
yang disajikan dalam bentuk tabel
dengan cara menentukan Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) dan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)
pada masing-masing pengenceran
sehingga data yang diperoleh hanya
meyajikan hasil positif dan negatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian pada tanggal 04 – 09 Juni 2018 tentang Isolasi
bakteri Vibrio cholerae pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) terhadap
Antibakteri Biji Ketumbar (Coriandrum sativum) maka di dapatkan hasil sebagai
berikut:
Tabel 5.1 Hasil pemeriksaan Larutan biji ketumbar (Coriandrum sativum) dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae metode dilusi pada tanggal 04
– 09 Juni 2018.
No.
Konsentrasi
Larutan Biji
Ketumbar
Pertumbuhan Bakteri Vibrio cholerae
Kadar Hambat
Minimum (KHM)
Kadar Bunuh Minimum
(KBM)
Replikasi Replikasi
1 2 3 1 2 3
1. 30% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
2. 40% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
3. 50% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
4. 60% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
5. 70% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
6. 80% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
7. 90% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
8. 100% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif
9. Kontrol (+) Jernih Negatif
10. Kontrol (-) Keruh Positif
Keterangan:
1. Kolom Kadar Hambat Minimum (KHM)
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 636
Jernih = tidak terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media
Muller Hinton Broth.
Keruh = terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media Muller
Hinton Broth.
2. Kolom Kadar Bunuh Minimum (KBM)
Positif = tidak terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media
Muller Hinton Agar.
Negatif = terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media Muller
Hinton Agar.
3. Kontrol (+) berisi Suspensi bakteri dan Antibiotik kloramfenikol 2%
4. Kontrol (-) berisi Suspensi bakteri dan Buffer phosphat pH 7,2 steril
Berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa konsentrasi larutan ketumbar
30% hingga 100% yang digunakan pada penelitian masih terdapat pertumbuhan
koloni bakteri Vibrio cholerae pada media MHB (Muller Hinton Broth) dan MHA
(Muller Hinton Agar). Pada hasil penelitian juga diperkuat oleh adanya hasil
kontrol (+) dan kontrol (-). Kontrol (+) yang berisi antibiotik kloramfenikol 2%
tidak terdapat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae pada media MHB dan MHA,
sedangkan Kontrol (-) yang berisi Buffer phosphat pH 7,2 steril terdapat
pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae pada media MHB dan MHA.
konsentrasi 30% hingga 100% ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil penelitian
daya hambat biji ketumbar
(Coriandrum sativum) terhadap
pertumbahan bakteri Vibrio cholerae
pada metode dilusi pada media MHB
(Muller Hinton Broth) semua
konsentrasi sampel menunjukkan
adanya kekeruhan tetapi hasil
tersebut tidak dapat dijadikan acuan
karena sampel yang digunakan tidak
jernih sehingga harus dilakukan tes
penegasan. Tes penegasan
mengunakan media MHA (Muller
Hinton Agar), pada tes penegasan
menunjukkan tidak adanya
penghambatan pada konsentrasi 30%
hingga 100%.
Sehingga hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa larutan biji
ketumbar (Coriandrum sativum)
tidak menunjukkan aktivitas
antibakteri terhadap pertumbuhan
bakteri Vibrio cholerae dari
karena masih terdapat pertumbuhan
bakteri Vibrio cholerae pada media
MHA (Muller Hinton Agar). Maka
larutan biji ketumbar (Coriandrum
sativum) tidak dapat dipakai untuk
menggantikan antibiotik
kloramfenikol.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil yang telah
didapat dari uji antibakteri Biji
Ketumbar (Coriandrum sativum)
terhadap pertumbuhan Bakteri Vibrio
cholerae yang diisolasi dari Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei)
memiliki KHM (Konsentrasi Hambat
Minimum) keruh/negatif di seluruh
konsentrasi yang digunakan yaitu
30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%,
90%, 100% dengan metode dilusi.
Pada penelitian Hapsari (2015)
menunjukan bahwa Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) ekstrak
etanol buah ketumbar terhadap
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 637
pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acnes adalah
1,8%. Pemilihan metode pada
penelitian tersebut menggunakan
metode esktraksi, sehingga senyawa
yang ada pada biji ketumbar yaitu
minyak atsiri dengan Linalool
sebagai kandungan utama (Tahirah,
2015).
Pada metode ekstraksi
menyebabkan senyawa pada biji
ketumbar dapat diambil secara
maksimal sehingga mempengaruhi
keaktifannya sebagai antibakteri.
Sedangkan pada proses penelitian ini
menggunakan larutan. Pada proses
pembuatan larutan harus dilakukan
proses tyndalisasi yaitu pemanasan
pada suhu 70˚C-80˚C selama 30
menit dan dilakukan berturut-turut
selama 3 hari. Proses tyndalisasi
bertujuan untuk memastikan bahwa
pada larutan tidak terdapat spora dan
sel vegetatif lainnya, sehingga benar-
benar steril. Dilakukan selama 3 hari
sehingga diduga zat aktif pada
larutan mengalami degradasi dan
mengakibatkan zat tidak mampu
bekerja secara baik dalam menembus
dinding sel bakteri Vibrio cholerae.
Propionibacterium acnes sendiri
merupakan bakteri gram positif,
sedangkan pada penelitian ini
menggunakan bakteri hasil isolasi
dari Udang vaname yaitu Vibrio
cholerae yang merupakan bakteri
gram negatif. Berdasarkan ciri – ciri
susunan dinding sel pada bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif
maka akan tampak perbedaan –
perbedaan relatif antara kedua
bakteri tersebut, selubung pada sel
gram positif relatif sederhana karena
hanya terdiri dari dua sampai tiga
lapisan (membran sitoplasma dan
lapisan peptidoglikan) sedangkan
bakteri gram negatif memiliki
struktur berlapis banyak yang sangat
kompleks dikelilingi oleh lembaran
tunggal peptidogikan bentuk planar
yang dilekati oleh lapisan kompleks
yang disebut membran luar, ruang
diantara membran luar dan membran
dalam disebut ruang periplasma
(Jawetz, 2015).
Dengan adanya perbedaan
susunan dinding sel pada bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif
maka akan berbeda pula respon daya
hambat antara kedua bakteri tersebut.
Dari penelitia Sari (2013)
melaporkan bahwa nilai Kadar
Bunuh Minimum (KBM) ekstrak
jintan hitam (Nigella sativa) terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus (Gram positif) sebesar (17,75
mm) pada konsentrasi 100% jika
dibandingkan dengan Kadar Bunuh
Minimum (KBM) pada bakteri
Salmonella typhi (Gram negatif)
yang tidak didapatkan zona hambat.
Pada penelitian ini dapat
diketahui bahwa larutan biji
ketumbar (Coriandrum sativum)
tidak menunjukan aktivitas
antibakteri terhadap pertumbuhan
bakteri Vibrio cholerae yang
diisolasi dari Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei), sehingga
larutan biji ketumbar tidak dapat
digunakan sebagai antibakteri alami
menggantikan kloramfenikol sebagai
obat penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Vibrio cholerae.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
mengenai daya hambat larutan biji
ketumbar (Coriandrum sativum)
terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio
cholerae yang diisolasi dari udang
vaname (Litopenaeus vannamei),
dapat disimpulkan bahwa:
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 638
1. Didapatkan hasil daya hambat
larutan biji ketumbar
(Coriandrum sativum) terhadap
pertmbuhan bakteri Vibrio
cholerae yang diisolasi dari
udang vaname (Litopenaeus
vannamei) dengan metode dilusi
adalah negatif, sehingga tidak
dapat dijadikan antibakteri
Vibrio cholerae.
2. KHM (Konsentrasi Hambat
Minimum) pada pengujian ini
adalah negatif pada seluruh
konsentrasi yang digunakan
yaitu 30%, 40%, 50%, 60%,
70%, 80%, 90% dan 100% yang
berarti tidak dapat menghambat
pertumbuuhan bakteri.
SARAN
1. Bagi masyarakat dapat meminum
larutan biji ketumbar
(Coriandrum sativum) sebagai
minuman tradisional untuk
meningkatkan daya tahan tubuh,
tetapi kurang efektif membunuh
bakteri.
2. Bagi peneliti selanjutnya
diharapkan dapat menggunakan
metode lain seperti metode
difusi untuk membandingkan
daya hambat larutan biji
ketumbar (Coriandrum sativum)
terhadap pertumbuhan bakteri
Vibrio cholerae yang diisolasi
dari udang vaname. 3. Bagi peneliti selanjutnya juga
diharapkan menggunakan ekstrak
etanol maupun minyak atsiri
murni dari biji ketumbar
(Coriandrum sativum) untuk
mengetahui kemampuan
antibakteri pada bakteri lain.
4. Bagi masyarakat hendaknya
memasak hingga benar – benar
matang untuk memastikan bahwa
udang bersih dari bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyati, Ria Risti. 2014.
Perancangan Media
Kampanye Ikan Hiu Tidak
Aman Dikonsumsi Studi kasus
Kota Batam. Bandung:
Universitas telkom
Afriyansari, Windy Dwi. 2017. Daya
Hambat Ekstrak Biji Pala
(Myristica Fragrans) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri
Escherichia Coli Secara In
Vitro. Surabaya: Polteknik
Kesehatan Kemenkes Surabaya
Akbaidar, G.A. 2013. Penerapan
Manajemen Kesehatan
Budidaya Udang Vannamei di
Sentra Budidaya Udang Desa
Sidodadi dan Desa Gebang
Kabupaten Pesawaran. Bandar
Lampung: Universitas
Lampung.
Badan Standar Nasional. 2006.
Standar Nasional Indonesia,
SNI 01-2332.1-2006. Metode
Pengujian Mikrobiologi
Perikanan. Penentuan Coliform
dan Escherichia coli pada
produk perikanan. Badan
Standardisasi Nasional,
Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2006.
Standar Nasional Indonesia,
SNI 01-2332.2-2006. Metode
Pengujian Mikrobiologi
Perikanan. Penentuan
Salmonella pada produk
perikanan. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2006.
Standar Nasional Indonesia,
SNI 01-2332.3-2006. Metode
Pengujian Mikrobiologi
Perikanan. Penentuan Angka
lempeng Total (ALT) pada
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 639
produk perikanan. Badan
Standardisasi Nasional,
Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2006.
Standar Nasional Indonesia,
SNI 01-2332.4-2006. Metode
Pengujian Mikrobiologi
Perikanan. Penentuan Vibrio
cholerae pada produk
perikanan. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2006.
Standar Nasional Indonesia,
SNI 01-2728.2-2006. Udang
segar. Persyaratan Bahan Baku.
Badan Standardisasi Nasional,
Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2006.
SNI 01-2332.4-2006 Cara Uji
Mikrobiologi: penentuan
Vibrio cholerae pada produk
perikanan. Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 2006.
SNI 01-2728.1-2006 Spesifikasi
Udang Segar. Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 2006.
SNI 01-2728.3-2006
Penanganan dan Pengelolaan
Udang Segar. Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.
Brooks, G.F., Morse, S.A., Butel, J.S., Carroll, K.C., & Mietzner,
T.A. 2013. Mikrobiologi
Kedokteran . Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Fahrizki, Aan. 2015. Toxicity Tests
On Active Material
Niclosamide To Ward
Crustacean As Watertreatment
In Culturing On Vannamei
Shrimp (Litopenaeus
vannamei). Bandar Lampung:
Universitas Lampung
Gemilang, Bayu. 2012. Identifikasi
Bakteri Vibrio
Parahaemolitycus Pada Biota
Laut Padang Sebagai Upaya
Meningkatkan Kualitas
Seafood Di Kota Padang.
Padang: Universitas Andalas
Hadipoentyanti, E. & S. Wayuni.
2004. Pengelompokan Kultivar
Ketumbar Berdasarkan Sifat
Morfologi. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat
Departemen Kesehatan, Bogor.
Hardiyani, Sera. 2014. Uji
Patogenitas Dan Studi In Vivo
Bakteri Biokontrol Bacillus sp.
D2.2 terhadap Vibrio
alginolyticus Pada
pemeliharaan Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei).
Bandar Lampung: Universitas
Lampung.
Harnani. 2010. Perbandingan Kadar
Eugenol Minyak Atsiri Bunga
Cengkeh (Syzygium
aromaticum (l.) Meer. &
Perry) dari Maluku, Sumatera,
Sulawesi, dan Jawa Dengan
Metode GC-MS. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah.
Hidayati, Fania. 2016. Pengaruh
Perendaman Larutan ketumbar
Terhadap Kadar Protein Dan
Karateristik Organoleptik Ikan
Mujair Panggang. Banda
Aceh: Universitas Syiah Kuala
Darussalam
Hikma, Nurul. 2015. Pengaruh
Perasan Daun Sirsak (Annona
muricata L.) Terhadap
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 640
Pertumbuhan Bakteri
Escherichia coli. Gorontalo:
Universitas Gorontalo.
Howard, L., and C. Daghlian. 2012.
Vibrio cholerae Acrylic Print.
Fine Art America
Iman, Erni Rosilawati Sabar. 2011.
Buku Ajar Mikrobiologi
Veteriner I. Surabaya: Pusat
Penerbit dan Percetakan Unair
(AUP).
Jannah,
Lailatul. 2015. Kemelimpahan
jenis udang (crustaceae) di
aliran Sungai Kahayan di Kota
Palangka Raya. Palangka
Raya: IAIN Palangka Raya.
Jawetz., Melnick., & Adelberg. 2015.
Microbiology. Edisi 25.
Jakarta.
Lippi, D. & Gotuzzo, E. 2013. The
Greatest Steps Towards The
Discovery Of Vibrio cholerae.
Experimental and Clinical
Medicine, University Of
Florence. Institute Of Tropical
Medicine, Peruvian University.
Peru
Martina, Adinda. 2015. Pengaruh
Ekstrak Biji Jintan Hitam
(Nigella Sativa L.) Terhadap
Adhesi Streptococcus Mutans
Pada Neutrofil. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas
Jember.
Meidira, Salima. 2017. Identifikasi
Vibrio cholerae pada kerang
hijau (perna viridis) yang
dijual di Tambak Lorok
Semarang. Semarang:
Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Misnadiarly., Djajaningrat, H. 2014.
Mikrobiologi Untuk Klinik Dan
Laboratorium. Jakarta: KDT.
Halaman 46.
Na’imatusya’dyah, Alifianti. 2013.
Perbedaan Jumlah Koloni
Bakteri Pada Ikan Nila
(Orechromis niloticus) Antara
Yang direndam Ketumbar
(coriandrum sativum) Dan
Jahe (Zingiber officinale).
Surabaya: Politeknik
Kesehatan Kemenkes Surabaya
Naisirin, Ahmad. 2016. Analisis
Kelayakan Usaha Budidaya
Udang Vannamei (Litopenaus
vannamei) Di Desa Mororejo
Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Kendal. Semarang:
Universitas Wahid Hasyim
Semarang.
Pramushinta. A. K. 2017. Uji
Aktivitas Sel Kanker dengan
Menggunakan Senyawa
Flavonoid dari Lengkuas
(Alpini galanga). Surabaya:
Universitas PGRI Adi Buana
Surabaya.
Radji, Maksum. 2011. Buku Ajar
Mikrobiologi: Panduan
Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Jakarta: EGC.
Rijayanti. 2014. Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Mangga Bacang
(Mangifera foetida l.)
Terhadap Staphylococcus
aureus Secara In vitro.
Sahputra, Ardin. 2014. Uji
Efektivitas Ekstrak Madu Karet
Dalam Menghambat
Pertumbuhan Staphylococcus
aureus. Jakarta: Universitas
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 641
Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Salim, Habibbur Rochman. 2015.
Pengaruh Pemberian Ekstrak
Etanol Daun Mirabilis jalapa
Terhadap Pertumbuhan Vibrio
cholerae Secara In Vitro.
Jember: Universitas Jember.
Sari, Fenni Ulda. 2012. Penambahan
Biji Ketumbar (Coriandrum
sativum L.) Dalam Ransum
Terhadap Bobot Karkas,
Persentase Potongan
Komersial, Lemak Abdominal,
dan Kolesterol Karkas Broiler.
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Sariadji, Kambang. 2015. Uji
Diagnostik Cepat sebagai
Metode Alternatif Diagnosis
Kholera yang Disebabkan
Oleh Agen Vibrio Cholera.
Pusat Biomedis dan Teknologi
Dasar Kesehatan Balitbangkes,
Kemenkes RI
Sinaga, Novitya Maulita. 2012.
Isolasi Bakteri dari Tanah
Tempat Pembuangan Sampah
untuk Pembuatan Pupuk
Organik Cair. Medan:
Universitas Sumatera Utara
Sogara, Putri Permatasari Umbu.
2015. Pengaruh Ekstrak Etanol
Buah ketumbar (Coriandrum
sativum L.) Tehadap
Penurunan Kadar Gula Darah
Tikus Putih yan DIinduksi
Aloksan. Manado: Universitas
Sam Ratulangi.
Syamsudin. 2013. Nutrasetikal. Edisi
1. Yogyakarta: Graha ilmu.
Tahirah, Intan Mariam. 2015.
Efektifitas Ekstrak Biji
Ketumbar 3% Sebagai Obat
Kumur terhadap Akumulasi
Plak pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Usu Angkatan
2011. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Tantu, Gusti Andi. 2013. Pengantar
Biologi Udang. Makassar:
Universitas 45 Makassar
Umam, Alfian Abdullah Chaerul.
2012. Hematologi,
Malondealdehida Plasma
Darah, dan Bobot Organ
Limfoid Broiler yang Diberi
Ransum Mengandung Biji
Ketumbar. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
Umar. 2012. Pengaruh Pemberian
Ekstrak Daun Binahong
(Andredera cordifolia (TEN)
steenis) Terhadap Kesembuhan
Luka Infeksi Staphylococcus
aureus Pada Mencit. Surabaya:
Politeknik Kesehatan
Kemenkes Surabaya.
Verdianti, Pratikah. 2017. Uji
Resistensi Bakteri Vibrio sp
pada Ikan Bandeng (Chanos
chanos) Di Tambak Jabon
Terhadap Logam Berat dan
Antibiotik. Surabaya:
Politeknik Kesehatan
Kemenkes Surabaya
Wardani, Diah Kusuma. 2014. Daya
Hambat Dekok biji Pinang (
Areca catechu L.) Terhadap
Pertumbuhan bakteri
Escherichia coli secara in
vitro. Surabaya: Polteknik
Kesehatan Kemenkes
Surabaya.
Wardani, Diah Kusuma. 2014. Daya
Hambat Dekok biji Pinang (
VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635
ANALIS KESEHATAN SAINS 642
Areca catechu L.) Terhadap
Pertumbuhan bakteri
Escherichia coli secara in
vitro. Surabaya: Polteknik
Kesehatan Kemenkes
Surabaya.
Widyastana, I Wayan Yogi. 2015.
Keberadaan Bakteri Patogen
Vibrio cholerae pada Beberapa
Hasil Perikanan yang Dijual di
Pasar Tradisional Kota
Denpasar. Denpasar:
Universitas Udayana.
Zaqiyah, Fitrotuz. 2015. Pengamatan
Kelimpahan Plankton Di
Tambak Udang Vannamei
Sistem Intensif PT Surya
Windu Kartika, Desa Bomo,
Kecamatan Rogojampi,
Banyuwangi. Surabaya:
Universitas Airlangga
ISSN 2302 –3635
Jurnal “AnalisKesehatanSains”
Volume :7, No. 2, Desember2018
SUSUNAN DEWAN REDAKSI JURNAL ANALIS KESEHATANSAINS POLTEKKES KEMENKESSURABAYA
TAHUN2018
PemimpinRedaksi : Drh. OckyDwiSuprobowati,M.Kes
PenyuntingAhli : Prof. Dr. dr. H. Koentoro, MPH.PH
Prof. Drh. Sri AgusSudjarwo,Ph.D
PenyuntingPelaksana : Dra. Wieke Sriwulan, ST, M.Kes
Pestariati,SPd,M.Kes
Drh. Diah Titik M, M.Kes
Dra. Sri Sulami E. A, M.Kes
Drs. Edy Haryanto, M.Kes
Nurcholis, SKM, M.Kes
Drs. Syamsul A, ST, M.Kes
Suliati, S.Pd, S.Si,M.Kes
RetnoSasongkowati, S.Pd, S.Si,M.Kes
Evy Diah W, S.Si, M.Kes
DesainGrafis&Fotografer : Suhariyadi, S.Pd, M.Kes
AyuPuspitasari, ST,M.Si
Sekretariat : Indah Lestari, SE, M.Kes
ChristKartikaRahayuningsih,ST,M.SiW
isnu Istanto S.Pd, M.Pd
Noer Amalia, A.MdPT
JurnalANALISKESEHATANSAINSterbitsejak2012denganfrekuensi2kalisetahun.Redaksimenerimanaskahilmiaht
entanghasilpenelitian, survey, dantinjauanpustaka yang
erathubungannyadenganbidangLaboratoriumKesehatan