volume 4, no.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis...

73
Volume 4, No.3, 2002

Upload: hoangdieu

Post on 10-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

Volume 4, No.3, 2002

Page 2: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

ISSN 1410-7821, Volume 4, No. 3, 2002

Pemimpin Redaksi(Editor-in-Chief)

Dietriech G. Bengen

Dewan Redaksi(Editorial Board)Rokhmin DahuriIan M. Dutton

Richardus F. KaswadjiJacub Rais

Chou Loke MingDarmawan

Neviaty P. Zamani

Konsultan Redaksi(Consulting Editors)

Herman Haeruman Js.Anugerah Nontji

Aprilani SoegiartoIrwandi Idris

Sapta Putra GintingTridoyo Kusumastanto

Chairul MulukEffendy A. Sumardja

Iwan GunawanDaniel Mohammad Rosyid

Rilly DjohaniJanny D. Kusen

J. WennoNatsir Nessa

Sekretaris Redaksi( Editorial Secretary)

Achmad Rizal

Desain Grafis(Graphic Designer)

Pasus Legowo

Alamat Redaksi(Editorial Address)

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan(Center for Coastal and Marine Resources Studies)

Gedung Marine Center Lt. 4, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPBKampus IPB Darmaga Bogor 16680 INDONESIA

Tel/Fax. 62-251-621086, Tel. 62-251-626380e-mail: [email protected]; [email protected]

Halaman muka (cover): Pesisir Teluk Jayapura, Papua (Coast of Jayapura Bay, Papua)(Photo: Dietriech G. Bengen)

TERAKREDITASI NO. 22/DIKTI/KEP/2002

Page 3: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

(Mohon diisi dengan huruf cetak)

Nama Lengkap :Profesi :Alamat dikirim : r Rumah r Kantor

Telepon Rumah :Telepon Kantor :Faksimil :E-mail :

Ingin berlangganan Jurnal Pesisir dan Lautanr Selama 1 tahun (3 nomor terbitan) seharga Rp 100.000,-r Selama 2 tahun (6 nomor terbitan) seharga Rp 175.000,-r Pernomor/terbitan, mulai Vol-4, No.3, 2002 seharga Rp 40.000,-

Dengan cara pembayaran: r Tunai/Cash r Transfer Bank: BNI Cabang Darmaga a/n PKSPL-IPB dengan No. Rek.061.000364446.001

........................................2002

Tanda tangan

Formulir Berlangganan Jurnal Pesisir dan Lautan

(Mohon diisi dengan huruf cetak)

Nama Lengkap :Profesi :Alamat dikirim : r Rumah r Kantor

Telepon Rumah :Telepon Kantor :Faksimil :E-mail :

Ingin berlangganan Jurnal Pesisir dan Lautanr Selama 1 tahun (3 nomor terbitan) seharga Rp 100.000,-r Selama 2 tahun (6 nomor terbitan) seharga Rp 175.000,-r Pernomor/terbitan, mulai Vol-4, No.3, 2002 seharga Rp 40.000,-

Dengan cara pembayaran: r Tunai/Cash r Transfer Bank: BNI Cabang Darmaga a/n PKSPL-IPB dengan No. Rek.061.000364446.001

.........................................2002

Tanda tangan

Formulir Berlangganan Jurnal Pesisir dan Lautan

Page 4: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

1

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN KEBIJAKAN PEMANFAATANRUANG KAWASAN PESISIR TELUK BALIKPAPAN

AMIRUDDIN TAHIRPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Institut Pertanian [email protected]

DIETRIECH G. BENGENPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Institut Pertanian [email protected]

SETYO BUDI SUSILOFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Teluk Balikpapan bagi peruntukanbudidaya tambak, pemukiman, industri dan konservasi pantai; (b) mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan budayamasyarakat pesisir; (c) menganalisis keterkaitan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial ekonomi masyarakat; dan (d)

memberikan rekomendasi kebijakan pengelolaan Teluk Balikpapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahmelakukan analisis terhadap kondisi faktual di lokasi penelitian baik secara biofisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret 2002 di wilayah pesisir Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Pengumpulandata dilakukan melalui observasi dan wawancara serta dari data sekunder. Analisis data meliputi analisis kesesuaian lahan, analisiskarakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahandilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis, bertujuan untuk mengetahui apakah kawasan pesisir TelukBalikpapan secara biofisik sesuai untuk kegiatan budidaya tambak, industri, pemukiman dan konservasi. Analisis karakteristiksosial ekonomi dan budaya masyarakat dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA), sedangkan analisiskebijakan pengelolaan wilayah pesisir Teluk Balikpapan dilakukan dengan menggunakan analisis KeKePAn (SWOT). Hasilpenelitian menunjukkan bahwa pengalokasian lahan pesisir Teluk Balikpapan harus memperhatikan tingkat kesesuaiannya.Kata-kata kunci: kawasan pesisir, kesesuian lahan, kebijakan pemanfaatan ruang, Teluk Balikpapan.

ABSTRACT

This research aimed to: (a) analyze land suitability of coastal area of Balikpapan bay for brackishwater fish ponds, settlements,industries and conservation areas; (b) assess community social economic and cultural characteristics; (c) analyze relationshipsbetween biophysical aspects and social economic aspects; and (d) recommend policy to develop Balikpapan Bay managementstrategies.

Geographic Information System (GIS) method was used for evaluating land suitability of Balikpapan Bay coastal area;Principal Components Analysis (PCA) was used for analyzing social economic and cultural characteristics; and SWOT analysisapproach was used to recommend policy. The results showed that coastal landuse allocation of Balikpapan bay must consider landsuitability level.Keywords: coastal area, land suitability, space use policy, Balikpapan bay.

Page 5: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

2

PENDAHULUAN

Latar BelakangTeluk Balikpapan, sebagai salah satu kawasan

pesisir dan laut di Kalimantan Timur, selain memi-liki potensi pembangunan, juga memiliki ancamantekanan eksploitasi yang dapat mengarah kepadakerusakan lingkungan dan sumberdaya alam pesisirbila tidak dikelola dengan baik. Wilayah pesisirTeluk Balikpapan memiliki garis pantai sepanjang79,6 kilometer, terdapat sekitar 31 pulau-pulaukecil yang tidak berpenghuni dengan total luas darat-an pulau-pulau tersebut sekitar 1.018,86 hektar.

Dengan fakta seperti di atas, kawasan pesisirTeluk Balikpapan memiliki daya tarik untukpengembangan berbagai aktivitas. Kawasan pesisirTeluk Balikpapan telah berkembang menjadi pusat-pusat permukiman dan perkotaan yang diikuti olehberbagai kegiatan perdagangan dan jasa. Kegiatanlainnya yang berkembang di wilayah pesisir TelukBalikpapan adalah perikanan budidaya (tambak),pertanian dan industri. Sementara pada bagian huludikembangkan kegiatan perkebunan dan ke-hutanan.

Untuk mencapai pembangunan pesisir TelukBalikpapan secara berkelanjutan, dengan mem-berikan manfaat ekonomi yang optimal bagiPemerintah Daerah dan masyarakat, dan sekaligusmempertahankan kualitas lingkungan dan sumber-daya di dalamnya, maka diperlukan pengelolaanpesisir secara terpadu. Pengembangan programpengelolaan pesisir terpadu Teluk Balikpapandiharapkan dapat menjawab dua hal mendasar, yaitu(1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankansumberdaya pesisir yang terancam overeksploitasi,dan (2) kebutuhan untuk mengelola pemanfaatansumberdaya pesisir secara rasional dan mencapaikeseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariansumberdaya. Analisis kesesuaian lahan dankebijakan pemanfaatan ruang kawasan pesisir TelukBalikpapan merupakan salah satu upaya untukmembantu pengembangan program pengelolaansumberdaya pesisir di Teluk Balikpapan yangberkelanjutan.

Perumusan MasalahKawasan pesisir Teluk Balikpapan merupakan

kawasan yang memiliki dinamika pertumbuhanyang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan berkem-

bangnya pusat-pusat permukiman dan perkotaanserta industri di kawasan pesisir Teluk Balikpapan.Penataan kawasan Teluk Balikpapan saat ini telahdituangkan dalam Rencana Tata Ruang WilayahKota Balikpapan dan Kabupaten Pasir. Namun,rencana tata ruang tersebut masih berorientasikepada pengelolaan daratan, padahal wilayah pesisirmemiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayahdaratan. Besarnya tekanan terhadap wilayah pesisirdiindikasikan oleh laju konversi lahan pesisir bagiberbagai kegiatan pembangunan yang cukup besar.Hal ini berimplikasi terhadap keberlanjutanekosistem pesisir beserta sumberdaya alamnya.Tekanan yang demikian besar memungkinkanterjadinya penyimpangan terhadap kebijakan atauarahan yang telah dihasilkan sebelumnya.Penyimpangan tersebut umumnya menyangkutkecenderungan perkembangan fisik, dan jugakebijakan-kebijakan baru yang berpengaruh terha-dap pembangunan di wilayah pesisir. Berdasarkanhasil revisi RTRW Kota Balikpapan Tahun 1994diidentifikasi adanya penyimpangan baik yangbersifat makro maupun mikro terhadap kebijakanyang telah ditetapkan dalam RTRW 1994.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahanyang terdapat di wilayah penelitian dapatdirumuskan menjadi tiga permasalahan, yakni: (1)apakah pemanfaatan ruang yang ada di wilayahpesisir Teluk Balikpapan sudah dilaksanakanberdasarkan kesesuaian lahannya?, (2) bagaimanakarakteristik sosial ekonomi dan budayamasyarakat?, dan (3) kebijakan apa yang sebaiknyadilakukan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisirdan laut di pesisir Teluk Balikpapan?

Tujuan dan ManfaatPenelitian ini bertujuan untuk:a. Menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir bagi

peruntukan budidaya tambak, pemukiman,industri dan konservasi pantai.

b. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi danbudaya masyarakat pesisir dan keterkaitan ling-kungan biofisik dan lingkungan sosial ekonomidan budaya.

c. Memberikan arahan strategis dalam kebijakanpengelolaan Teluk Balikpapan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikanmasukan dan rekomendasi bagi penyusunan kebi-jakan pengelolaan wilayah pesisir Teluk Balikpapan.

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan ..................................................................(1- 16)

Page 6: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di 27 desa yang berada

dalam wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) TelukBalikpapan. Secara Administratif wilayah penelitianmeliputi dua wilayah Administrasi tingkatKabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Pasir, dan KotaBalikpapan, Propinsi Kalimantan Timur, yangterdiri atas 6 kecamatan, yakni Kecamatan Penajamdan Sepaku (Kabupaten Pasir) dan KecamatanBalikpapan Barat, Balikpapan Utara, BalikpapanSelatan dan Balikpapan Tengah (Kota Balikpapan).Penelitian lapangan dilakukan selama 2 bulan, yaitupada bulan Februari sampai Maret 2002.

Pengumpulan DataDalam penelitian ini digunakan dua jenis data,

yaitu data primer dan sekunder. Data primerdikumpulkan melalui observasi dan wawancaralangsung di lokasi penelitian, sedangkan pengum-pulan data sekunder dilakukan melalui penelusuranberbagai pustaka yang ada di berbagai instansipemerintah dan swasta, seperti kantor BPN, BPS,Dinas Pertanian, Perikanan, Pariwisata, Kehutanan,Perindustrian, Bappeda, dan Bapedalda. Data yangdikumpulkan meliputi : (a) data fisik kawasanpesisir, seperti geologi, fisiografi, hidrologi, dansebagainya; (b) data ekosistem pesisir sepertiekosistem mangrove; (c) data penggunaan lahanseperti pertambakan, pemukiman, pertanian,industri, konservasi, pariwisata dan sebagainya; dan(d) data kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat.

Analisis DataSecara umum analisis yang dilakukan meliputi:

(1) analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir DASTeluk Balikpapan bagi peruntukan tambak,pemukiman, industri, dan konservasi pantai; (2)analisis karakteristik sosial ekonomi dan budayamasyarakat; dan (3) analisis kebijakan pengelolaanwilayah pesisir Teluk Balikpapan.

(a) Analisis Kesesuaian LahanAnalisis kesesuaian lahan mencakup 4 tahapan

analisis, yaitu: (1) penyusunan peta kawasan TelukBalikpapan, (2) penyusunan matriks kesesuaiansetiap kegiatan yang ada di kawasan TelukBalikpapan, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan

(4) analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian darisetiap kegiatan yang ada di kawasan TelukBalikpapan. Penentuan bobot dan skor didasarkanpada tingkat kepentingan parameter terhadap suatuperuntukan. Nilai bobot yang diberikan berkisarantara 0,1 sampai 0,9, sedangkan nilai skor berkisarantara 1 sampai 4. Penentuan kelas kesesuaian lahandibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: (a) Sangat Sesuai(S1 = 3,26 - 4,00); (b) Sesuai (S2 = 2,51 - 3,25);(c) Tidak Sesuai Saat Ini (N1 = 1,76 - 2,50); dan(d) Tidak Sesuai Permanen (N2 = 1,00 - 1,75).

(b) Analisis Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya

Untuk melihat pengaruh dari faktor-faktorsosial masyarakat (umur, pendidikan, pendapatan,pengeluaran, mata pencaharian, lama tinggal, etnis,jumlah anggota keluarga, pemahaman masyarakat)terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir, digunakananalisis statistik multivariabel yang didasarkan padaAnalisis Komponen Utama (Principal ComponentsAnalysis, PCA) (Dillon dan Goldstein, 1994 dalamBengen, 1999). Analisis Komponen utama (PCA)merupakan metode statistik deskriptif yangbertujuan untuk menampilkan data dalam bentukgrafik dan informasi makasimum yang terdapatdalam suatu matriks data. Matriks data yangdimaksud terdiri dari variabel sebagai kolom danobservasi/desa sebagai baris.

(c) Analisis KebijakanAtas dasar hasil analisis sebelumnya (kesesuaian

lahan, karakteristik sosial, ekonomi dan budaya, sertaanalisis keterkaitan biofisik dengan sosekbud),selanjutnya dilakukan pengembangan kebijakanpengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisispengembangan kebijakan dilakukan dengan analisisKeKePAn atau analisis SWOT (Strength, Weakness,Opportunity dan Threat). Tahapan yang dilakukandalam analisis SWOT adalah identifikasi unsur-unsur SWOT, pemberian bobot dan skor sertapenyusunan kebijakan alternatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesesuaian LahanAnalisis kesesuaian lahan pesisir Teluk

Balikpapan difokuskan pada 4 peruntukan, yaitutambak, pemukiman, industri dan konservasi

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Page 7: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

4

pantai, yang didasarkan atas parameter/faktorpembatas biofisik untuk setiap peruntukan. Analisiskesesuaian lahan pesisir Teluk Balikpapan meliputi27 desa dari 42 desa yang berada dalam kawasanpesisir DAS Teluk Balikpapan. Keduapuluh tujuhdesa tersebut adalah desa yang secara administratifmemiliki wilayah laut (perairan Teluk Balikpapan).Secara keseluruhan luas wilayah yang dianalisisadalah 118.880 ha. Hasil analisis spasial denganpendekatan Sistem Informasi Geografis untukmasing-masing peruntukan pada keempat kategorikesesuaian disajikan pada Tabel 1.

Kesesuaian TambakPada Tabel 1 dan Gambar 1 terlihat bahwa,

total luas lahan untuk kategori Sangat Sesuai sebesar13.206, 62 ha, terdistribusi pada 6 desa, yaitu DesaBuluminung, Gersik, Maridan, Mentawir,Pemaluan dan Sepan dengan luas berkisar antara 531- 3.500 ha. Kategori Sesuai seluas total 32.934,51ha terdistribusi terutama di Desa Buluminung,Gersik, Kariangau, Maridan, Mentawir, Nipah-nipah, Pantai Lango, Pemaluan, Penajam, Sepaku,Bumi Harapan, dan Sepan dengan luas berkisarantara 726 - 5.071 ha. Kategori Tidak Sesuai SaatIni seluas total 32.832,33 ha terutama terdapat diDesa Batu Ampar, Gunung Setelang, Kariangau,Maridan, Mentawir, Nenang, Nipah-nipah,Pemaluan, Bumi Harapan dan Sepan dengan luasberkisar antara 842 - 5.500 ha; sedangkan kategoriTidak Sesuai Permanen seluas total 37.904,95 hadan terdistribusi pada 5 desa, yaitu Desa Kariangau,Mentawir, Nenang, Pemaluan dan Bumi Harapandengan luas berkisar antara 1.200 - 9.800 ha.

Kesesuaian IndustriPada Tabel 1 dan Gambar 2 terlihat bahwa

kategori Sangat Sesuai dengan luas berkisar antara

360 - 3.100 ha terdapat di Desa Batu Ampar,Kariangau dan Mentawir (luas total 4.596,12 ha).Kategori Sesuai seluas total 30.603,79 haterdapat di Desa Batu Ampar, Gersik, Kariangau,Maridan, Mentawir, Nipah-nipah, Pemaluan,Sepaku, Bumi Harapan, Sepan dan Sungai Paritdengan luas bekisar antara 780 - 8.100 ha.Kategori Tidak Sesuai Saat Ini (luas berkisar 790- 26.500 ha) terdapat di Desa Buluminung,Gersik, Gunung seteleng, Kariangau, Maridan,Mentawir, Nenang, Nipah-nipah, Pantai Lango,Pemaluan, Sepaku, Bumi Harapan dan Sepandengan luas total 74.773,61 ha. Kategori TidakSesuai Permanen luas total 6.907,09 ha, terdapatdi Desa Kariangau, Mentawir, Nenang, MuaraRapak, Pemaluan dan Bumi Harapan (luasberkisar antara 850-1.600 ha).

Kesesuaian PemukimanTabel 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa

kategori Sangat Sesuai seluas total 826,91 ha,terutama terdapat di Desa Kariangau danMentawir dengan luas antara 240 - 400 ha.Kategori Sesuai seluas total 41.038,28 terutamaterdapat di Desa Batu Ampar, Buluminung,Gersik, Kariangau, Maridan, Mentawir, Nipah-nipah, Pantai Lango, Pemaluan, Penajam, BumiHarapan dan Sepan dengan luas antara 600 -8.100 ha. Kategori Tidak Sesuai Saat Ini seluastotal 69.198,11 ha terdistribusi terutama di DesaBuluminung, Gunung Seteleng, Kariangau,Maridan, Mentawir, Nenang, Nipah-nipah,Pemaluan, Bumi Harapan dan Sepan dengan luasberkisar antara 700 - 11.100 ha; sedangkankategori Tidak Sesuai Permanen meliputi arealseluas total 5.816,35 ha, terdapat di DesaKariangau, Mentawir, Nenang dan Pemaluandengan luas antara 965 - 1.425 ha.

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

No

1.

2.

3.

4.

Peruntukan

Tambak

Industri

Pemukiman

Konservasi

S1

13.206,62

4.596,12

826,91

7.786,08

S2

32.934,33

30.603,79

41.038,28

9.205,74

N1

32.832,51

74.773,61

69.198,11

23.306,20

N2

37.904,95

6.907,09

5.816,35

76.579,49

Tabel 1. Luas lahan (dalam hektar) untuk setiap peruntukan lahan pada masing-masing kategori kesesuaian.

Page 8: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

5

Kesesuaian Konservasi PantaiDari analisis kesesuaian lahan bagi peruntukan

kawasan konservasi (Tabel 1 dan Gambar 4),diperoleh hasil sebagai berikut: Kategori SangatSesuai seluas total 7.786,08 ha, Sesuai seluas total9.205,74 ha, Tidak Sesuai Saat Ini seluas total23.306,20 ha dan Tidak Sesuai Permanen seluastotal 76.579,49 ha. Kategori Sangat Sesuai terdapatdi Desa Buluminung, Gersik, Kariangau, Maridan,Mentawir, Pemaluan dan Sepan dengan luas antara590 - 2.000 ha. Kategori Sesuai (luas antara 600 -1.450 ha) terdapat di Desa Buluminung, Gersik,Kariangau, Maridan, Mentawir, Pemaluan, Sepakudan Desa Sepan. Desa-desa dengan kategori TidakSesuai Saat ini yang cukup luas (675 ha - 2.900 ha)adalah Buluminung, Gersik, Gunung Setelang,Kariangau, Maridan, Mentawir, Nenang, Nipah-nipah, Pantai Lango, Pemaluan, Penajam, Sepandan. Kategori Tidak Sesuai Permanen terdapat didesa Batu Ampar, Gunung Setelang, Kariangau,Maridan , Mentawir, Nenang, Nipah-nipah,Pemaluan, Bumi Harapan, dan Sepan dengan luasantara 925 - 26.600 ha.

Analisis Lahan Sangat Sesuai dan SesuaiTabel 2 menyajikan hasil tumpang susun (over-

lay) kelas Sangat Sesuai dan Sesuai dari keempatperuntukan. Luas lahan bagi peruntukan tambaksaja dengan kategori Sangat Sesuai sebesar 5.892,06ha, sedangkan hasil analisis untuk kesesuaian tambak

sebelumnya, yang tergolong kategori Sangat Sesuaisebesar 13.206,62 ha (Tabel 1). Dengan demikianterdapat luas lahan sekitar 7.314,56 ha dengankategori Sangat Sesuai bagi peruntukan tambak,juga memiliki tingkat kesesuaian yang sama bagiperuntukan pemukiman, industri dan konservasi.Hal yang sama juga terjadi pada luas lahan bagiperuntukan industri, konservasi dan pemukiman.Untuk industri, hasil tumpang susun memper-lihatkan bahwa luas lahan yang memiliki kesesuaianyang sama dengan peruntukan lainnya sebesar1.162,61 ha. Artinya dari hasil analisis kesesuaianindustri untuk kategori Sangat Sesuai dengan luas4.596,12 ha, setelah ditumpangsusun denganperuntukan lainnya, areal yang Sangat Sesuai bagiperuntukan industri saja sebesar 3.433,51 ha.Demikian pula halnya dengan peruntukan lahanuntuk pemukiman, dari 826,91 ha hasil analisiskesesuaian pemukiman sebelumnya menjadi hanya45,53 ha; sedangkan untuk konservasi dari7.786,08 ha sebelumnya menjadi hanya 540,79 ha.

Karakteristik Sosial Ekonomi dan BudayaHasil Analisis Komponen Utama (PCA)

terhadap 88 responden untuk 9 variabel mem-perlihatkan bahwa ragam pada sumbu utamapertama hingga ketiga mencapai 65,9 %. Hal iniberarti 65 % dari data hasil analisis dapat diterang-kan hingga sumbu utama ketiga. Komponen utamapertama hingga ketiga secara berurutan memiliki

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Tabel 2. Luas lahan (dalam hektar) Hasil tumpang susun (overlay) empat peruntukan untuk kategoriSangat Sesuai dan Sesuai

No Tumpang Susun (Overlay) Sangat SesuaiSesuai

TambakIndustriKonservasiPemukimanTambak dan industriTambak dan konservasiTambak dan pemukimanTambak, industri dan konservasiIndustri dan konservasiTambak, pemukiman dan industriTambak, pemukiman dan konservasiPemukiman dan industriPemukiman dan konservasiPemukiman, konservasi dan industriTambak, pemukiman, industri dan konservasi

10.641,383.917,04

176,904.601,23

593,951.090,136.090,20

59,41213,32

9.504,882.329,59

12.006,132.217,13

0,002.524,73

5.892,063.433,51

540,7945,53

298,916.720,44

0,495,600,17

48,5521,87

406,07150,11380,4918,76

123456789

101112131415

Page 9: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

6

Gambar 2. Peta kesesuaian lahan bagi peruntukan industri

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

Gambar 1. Peta kesesuaian lahan bagi peruntukan tambak

Page 10: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

7

Gambar 3. Peta kesesuaian lahan bagi peruntukan pemukiman

Gambar 4. Peta kesesuaian lahan bagi peruntukan konservasi

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Page 11: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

8

akar ciri 2,8686; 1,9624; dan 1,0973yang menjelaskan masing-masing 31,9%; 21,8 % dan 12,2 % keragaman darigugus data. Pada Gambar 5, variabelpenghasilan, pengeluaran dan pekerjaanmemiliki kontribusi terbesar dalampembentukan sumbu utama pertama(nilai korelasi PGR = 0.8343; PNH =0,7949; dan PKR = 0,5525). Variabelumur, jumlah keluarga dan lama tinggalmemiliki kontribusi terbesar terhadappembentukan sumbu utama kedua(nilai korelasi = 0,6082; JKL = 0,6820;dan LTG = 0,4448). Variabel tingkatpendidikan dan pemahaman masyarakatterhadap pengelolaan ekosistem man-grove memberikan kontribusi terhadappembentukan sumbu utama ketiga(nilai korelasi PND = 0,3821 dan PMH= 0,3842), sedangkan variabel asal daerah (etnis)merupakan pembentuk sumbu utama keempat(nilai korelasi ETN = 0,4327).

Peran variabel umur, jumlah anggota keluargadan lama tinggal sebagai pembentuk sumbu utamakedua terhadap individu responden dari masing-masing desa dapat dilihat pada Gambar 6 (individunomor 01-21 = Desa Mentawir; 22-43 = Jenebora;44-65 = Desa Gersik; 66-88 = Desa Kariangau).Sekitar 40% responden daridesa Gersik dan 10 %responden dari DesaKariangau memiliki umuryang tinggi (56-65 tahun),jumlah anggota keluarga yangbesar (8-10 orang), dan waktudomisili yang cukup lama(53 - 65 tahun). Sebaliknyasekitar 50 % responden DesaKariangau, 30 % respondenDesa Mentawir dan 30 %responden Desa Jeneboramemiliki umur yang muda (20-31 tahun), jumlah anggotakeluarga kecil (2-4 orang),dan waktu domisili yangmasih singkat (2-18 tahun).

Peran variabel jenispekerjaan, penghasilan dan

pengeluaran sebagai pembentuk sumbu utamapertama terhadap individu/responden dapat dilihatpada Gambar 6. Sekitar 50 % individu Desa Gersikdan 10% individu Desa Jenebora memilikipekerjaan tertentu (tambak) dengan penghasilanyang besar (Rp 1.987.500 - Rp. 2.600.000) danjuga pengeluaran yang tinggi (Rp. 1.792.500 - Rp.2.340.000). Sebaliknya, sekitar 50 % individu dariDesa Mentawir dan 40 % individu dari Desa

Gambar 6. Distribusi individu pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2)

01

02

03

04

06 06 07

08 09

10

11 12 13

37 15

16 17

18

19 20

21 22

23

24

25

26

27

28

29

30 32

33

34

35

36

37

38

39 40

41 42

43

44

45

46

47

48 49

39

51 52

53

54

55 56

57 57

59

60 61

63

54

65

66

67 68

69

70

71 72

73

74

75

76 77

70 79

80

81

82

83 84

85 87

88

F - 2

F - 1

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

Gambar 5. Korelasi variabel pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2)

F-2

F-1

JKLUMR

LTG

PMH

ETN

PND

PGRPNH

PKR

Page 12: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

9

Kariangau memiliki pekerjaan tertentu (nelayan danpetaani kebun) dengan tingkat penghasilan yangrendah (Rp. 150.000 - Rp. 762.500) danpengeluaran yang rendah pula (Rp. 150.000 - Rp.697.500,-).

Dari Gambar 6 juga terlihat bahwa, sekitar40 % individu Kariangau, 60 % individu DesaGersik, 70 % individu Desa Mentawir dan 70 %individu Desa Jenebora memiliki jumlah keluarga,umur dan lama tinggal yang relatif sama. Dengankata lain sebagian besar dari individu Desa Mentawir,Jenebora dan Gersik memiliki umur yang berkisarantara 32-55 tahun, jumlah keluarga antara 4 - 7orang dan lama tinggal antara 19 - 52 tahun. Halyang sama terlihat bahwa sebagian besar dari individudi desa Jenebora (90 %) dan Desa Kariangau (60%) memiliki pekerjaan selain petambak (nelayan,petani kebun) dengan penghasilan antara Rp.700.000,- - Rp. 1.900.000,-, dan pengeluaranberkisar antara Rp. 700.000,- - Rp. 1.800.000,-.

Variabel tingkat pendidikan dan pemahamanmasyarakat terhadap arti dan nilai penting ekosistemmangrove merupakan pembentuk sumbu utamaketiga. Pada umumnya, prara responden baik yangberprofesi sebagai nelayan maupun petani tambak,memahami akan nilai dan arti penting ekosistem man-grove terhadap kelestarian dan keberlanjutan mata

pencaharian mereka. Beberapa responden mengu-tarakan bahwa telah terjadi penurunan produksiperikanan (hasil tangkapan nelayan) saat inidibandingkan 2-3 tahun yang lalu, akibat adanyapenebangan mangrove. Pada umumnya nelayan yangberada di Teluk Balikpapan adalah nelayan yangmenggunakan alat tangkap sederhana untukmenangkap udang, kepiting dan jenis ikan lainnya yangbiasanya berada di sekitar kawasan mangrove. Denganmengandalkan alat tangkap tersebut, para nelayansangat menyadari bahwa keberadaan mangrove akanmempengaruhi hasil tangkapan mereka.

Arahan Kebijakan Pengelolaan Untuk mengarahkan kebijakan pengelolaan

pesisir Teluk Balikpapan dilakukan analisisKekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman(KeKePAn atau SWOT= Strength, Weakness,Opportunity, Threat), yaitu analisis alternatif yangdigunakan untuk mengindentifikasi berbagai faktorsecara sistematis untuk memformulasikan suatukebijakan. Analisis SWOT merupakan pemilihanhubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal,yaitu kekuatan dan kelemahan terhadap unsur-unsureksternal, yaitu peluang dan ancaman. Kebijakanpengelolaan sumberdaya pesisir yang disusun,hendaknya didasari atau mempertimbangkan empat

Tabel 3. Identifikasi unsur kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman

No Kekuatan Kelemahan

1

2

3

4

Teknisekologis

Sosialekonomi-budaya

Sosial politik

Hukum dankelembagaan

Aspek

Potensi lahan dengantingkat kesesuaian yangtinggi bagi peruntukantambak, pemukiman,industri dan konservasi

Penduduk denganpemahaman yang baikterhadap pengelolaanpesisir

Keterlibatan stakeholdersdalam perencanaan

RTRW Kota Balikpapandan Kab. Pasir dengandukungan peraturanperundangan

Dinamika wilayahpesisir yang tinggi

Keterbatasankemampuan alattangkap ikan

Belum adamekanisme pelibatansemua stakeholders

Implementasi RTRWyang masihmenyimpang

Permintaanterhadappemanfaatanlahan yang tinggi

Dukunganprogrampengelolaanpesisir yangbesar

Adanya UU No.22 Tahun 1999

Adanya UU No.22 Tahun 1999

Peluang

Konflik antarkegiatan danantar daerah

Tekananterhadapeksploitasisumberdaya

Ego sektoraldan daerah

Ego sektoraldan daerah

Ancaman

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Page 13: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

10

dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu aspekteknis-ekologis, sosial-ekonomi-budaya, sosialpolitik, dan hukum dan kelembagaan.

Suatu kebijakan yang baik hendaknyadisusun melalui penelaahan tentang kondisi dankenyataan di lapangan, untuk menggali unsur-unsur kekuatan, kelemahan dan peluang sertaancaman yang ada. Selain itu, perlu pulamencermati unsur-unsur tersebut yang mungkinatau diperkirakan akan muncul di kemudian hari.Dengan demikian, kebijakan yang diformulasikanbersifat antisipatif terhadap perubahan-perubahanyang terjadi seiring dengan berjalannya waktu.Pada Tabel 3 disajikan hasil identifikasi peluang,ancaman, kekuatan dan kelemahan yang dijadikanacuan dalam merumuskan kebijakan pengelolaanpesisir Teluk Balikpapan.

Aspek Teknis EkologisSecara teknis ekologis, unsur yang dapat

menjadi kekuatan adalah ketersediaan lahan diwilayah pesisir Teluk Balikpapan dengan tingkatkesesuaian yang tinggi bagi peruntukan tambak,pemukiman, industri dan konservasi. Ketersediaanlahan ini merupakan suatu kekuatan di dalammengelola wilayah pesisir Teluk Balikpapan.Kesesuaian lahan yang tinggi jika dikelola secarabijaksana, akan memberikan manfaat yang optimalbaik secara sosial ekonomi maupun ekologis.Sebaliknya, karena sifat alamiah dari suatu sistempesisir, maka dinamika pesisir yang begitu cepat danberubah-ubah merupakan suatu kelemahan yangharus diantisipasi manakala ingin mengelola wilayahtersebut secara berkelanjutan. Segenap upaya yangdilakukan harus mempertimbangkan karakteristikdari suatu kawasan pesisir, dimana baik secarabiofisik maupun sosial budaya masyarakat berbedadengan wilayah daratan.

Dilihat dari sisi peluang, petumbuhanperekonomian Propinsi Kalimantan Timur yangbegitu pesat adalah peluang bagi pengembanganwilayah pesisir Teluk Balikpapan. Hal inimenuntut upaya pengelolaan sumberdaya pesisirTeluk Balikpapan secara berkelanjutan gunameraih peluang tersebut secara optimal.Pengembangan beberapa kawasan sebagaikawasan pengembangan ekonomi terpadu(KAPET) seperti Kapet Sasamba dapatmemberikan kontribusi bagi pengelolaan Teluk

Balikpapan secara berkelanjutan. Sementara itu,dilihat dari sisi ancaman, konflik antar kegiatanpembangunan ataupun antar daerah juga perludicermati dari aspek teknis ekologis. Berdasarkanhasil tumpang susun (overlay) antar berbagaiperuntukan, terlihat bahwa sebagian besar lahanmemiliki tingkat kesesuaian yang sama bagibeberapa peruntukan. Hal itu berarti, diperlukanalokasi ruang yang proporsional bagi setiapperuntukan sehingga tidak terjadi tumpang tindihpemanfaatan ruang. Demikian juga halnyadengan kemungkinan munculnya konflik antardaerah, dimana secara ekologis wilayah pesisirTeluk Balikpapan mencakup 3 pemerintahan ad-ministratif. Perbedaan orientasi pengembanganwilayah dapat mengancam upaya pengelolaanpesisir Teluk Balikpapan secara berkelanjutan.

Aspek Sosial, Ekonomi dan BudayaSecara sosial, ekonomi dan budaya yang

menjadi kekuatan adalah masyarakat pesisir yangsecara langsung terkait dengan berbagai aktivitaspemanfaatan sumberdaya pesisir Teluk Balikpapandengan pemahaman yang baik. Berdasarkan hasilanalisis, masyarakat dari empat desa pesisir di TelukBalikpapan umumnya memiliki mata pencahariansebagai nelayan dan petambak, yang menunjukkanadanya keterkaitan yang erat antara masyarakatdengan lingkungannya. Pemahaman yang tinggidari masyarakat terhadap hubungan antara matapencaharian mereka dengan keberadaan mangrovedi pesisir Teluk Balikpapan merupakan suatukekuatan dalam upaya mengelola sumberdaya pesisirsecara berkelanjutan.

Dari aspek sosial ekonomi dan budaya yangperlu pula dicermati adalah keterbatasan masyarakatmemanfaatkan sumberdaya pesisir gunameningkatkan kesejahteraan mereka. Hal initentunya menjadi kelemahan bagi pengelolaansumberdaya pesisir berkelanjutan. Kondisi inidikuatirkan memberikan dampak negatif terhadapupaya-upaya pengelolaan sumberdaya pesisir yangberkelanjutan, yang diakibatkan oleh keterpaksaan.Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristikmasyarakat pesisir, pada umumnya masyarakat diempat desa, yaitu Mentawir, Jenebora, Gersik danKariangau memiliki alat tangkap ikan sederhanayang menurut mereka tidak mampu memberikanhasil yang maksimal. Hal ini dikuatirkan

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

Page 14: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

11

mendorong mereka untuk melakukan konversiekosistem mangrove menjadi tambak gunameningkatkan pendapatan mereka. Upaya yangperlu dilakukan adalah meningkatkan kemampuanalat tangkap dan memberikan pelatihan keteram-pilan kepada nelayan setempat untuk meningkatkanhasil tangkapan mereka.

Berkembangnya program-program pengelo-laan pesisir, baik yang didanai oleh bantuan luarnegeri maupun dana APBN merupakan peluangbagi pengembangan wilayah pesisir TelukBalikpapan. Kehadiran Departemen Kelautandan Perikanan yang menangani program-programpengelolaan kelautan dan perikanan di tingkatnasional merupakan peluang yang dapatdimanfaatkan dalam pengembangan pesisir TelukBalikpapan. Demikian juga dengan kehadiranProyek Pesisir (Coastal Resources ManagementProject) di Balikpapan sejak tahun 1998 hinggatahun 2003 merupakan peluang untuk mengelolaTeluk Balikpapan secara berkelanjutan.Pendekatan yang dikembangkan oleh ProyekPesisir ini melalui pendekatan dua arah, yaitupada tingkat nasional mengembangkan kegiatanuntuk meningkatkan kesadaran nasional tentangpengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, danpada tingkat daerah mengembangkan proyekpercontohan di tiga lokasi, yaitu Lampung,Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Modelpendekatan ini tentunya dapat menjadi acuandalam pengembangan program-programpengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Namunyang perlu dicermati pula dari aspek sosialekonomi dan budaya ini adalah upaya-upayauntuk mengeksploitasi lahan dan sumberdayapesisir tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidahkelestarian lingkungan. Hal ini tentunya menjadiancaman bagi pengelolaan sumberdaya pesisir diTeluk Balikpapan. Jumlah penduduk yang besartentunya membutuhkan lahan dan sumberdayayang lebih besar pula. Hal ini memilikikonsekwensi terhadap upaya-upaya eksploitasiyang lebih tinggi pula.

Aspek Sosial PolitikSecara sosial politik, diberlakukannya Undang-

Undang No. 22 tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah merupakan peluang bagi Pemerintah Daerahuntuk mengembangkan pengelolaan pesisir secara

berkelanjutan. Pelimpahan sebagian besarwewenang pengelolaan terhadap pesisir kepadadaerah otonom merupakan peluang bagi pelaksanaanpengelolaan pesisir secara terpadu. Sebagaimanadisebutkan dalam pasal 10 ayat 2, daerah otonommemiliki kewenangan terhadap laut dalam hal:l Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan

pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut(propinsi) dan 4 mil laut (kabupaten/kota);

l Pengaturan kepentingan administratif;l Pengaturan tata ruang;l Penegakan hukum terhadap peraturan yang

dikeluarkan Pemerintah Daerah atau yangdilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;

l Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatannegara khususnya di laut.

Diberlakukannya Undang-Undang tersebut diatas tentunya memiliki implikasi terhadappengelolaan sumberdaya pesisir di daerah, termasukwilayah pesisir Teluk Balikpapan. Implikasi dariUU No. 22 tahun 1999 terhadap pengelolaansumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapatbersifat sinergis, namun dapat pula bersifatsebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabilasetiap pemerintah dan masyarakat di wilayahotonom menyadari arti penting dari pengelolaansumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehinggapemanfaatan sumberdaya alam pesisir dilakukansecara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidahpembangunan berkelanjutan. Implikasi negatifakan muncul apabila setiap daerah berlomba-lombamengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpamemperhatikan kaidah-kaidah pembangunanberkelanjutan.

Dari sisi lain, secara sosial politik muncul egosektoral dan daerah yang akan menjadi ancaman bagipengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.Kemungkinan munculnya ego sektoral dan daerahuntuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah perludicermati dalam pengelolaan wilayah pesisir di TelukBalikpapan. Berdasarkan identifikasi isu yangdilakukan oleh Proyek Pesisir, salah satu isupengelolaan adalah tumpang tindih perencanaan.Hal ini menandakan kurangnya koordinasi di antarasektor-sektor yang ada. Apabila perencanaandilakukan oleh masing-masing sektor, tanpakoordinasi akan memunculkan ego sektoral yangakan berdampak pada pengelolaan TelukBalikpapan. Untuk mengatasi ego sektoral ini,

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Page 15: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

12

maka diperlukan suatu mekanisme koordinasi diantara sektor-sektor pembangunan di kawasanpesisir Teluk Balikpapan.

Kehadiran berbagai komponen masyarakat didalam proses pengelolaan sumberdaya alam pesisirmerupakan suatu kekuatan guna menunjang upayapengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.Berbagai kelompok swadaya masyarakat yang secarakritis memberikan masukan bagi perencanaanpengelolaan pesisir sangat penting bagi implementasipengelolaan berkelanjutan. Perencanaan dan imple-mentasi yang melibatkan setiap unsur masyarakat(stakeholders ) akan memberikan pengakuan yanglebih luas dan kuat. Wiryawan, dkk., (2001)menyatakan bahwa perencanaan yang melibatkansemua stakeholders memiliki manfaat: (1) mening-katkan rasa kepemilikan stakeholders terhadap pro-gram tersebut; (2) terciptanya kesepakatan-kesepa-katan atau kompromi diantara stakeholders ; (3)meminimalisasi kemungkinan konflik atauhambatan yang dihadapi saat implementasi rencanatersebut; dan (4) merupakan sosialisasi awal darisuatu program. Sistem perencanaan pembangunansaat ini yang belum menyediakan mekanisme bagisetiap komponen masyarakat berpartisipasi secaraaktif merupakan suatu kelemahan di dalampengelolaan wilayah pesisir.

Aspek Hukum dan KelembagaanSecara hukum dan kelembagaan, adanya

berbagai peraturan dan perundangan merupakanpeluang bagi pengelolaan wilayah pesisir secaraberkelanjutan. Beberapa peraturan dan perun-dangan yang ada pada tingkat nasional seperti UUNo. 5 tahun 1990 tentang Konservasi, UU No.24 tentang Tata Ruang, Keppres 32 tentangPengelolaan Kawasan Lindung merupakanpeluang bagi pelaksanaan pengelolaan pesisirsecara berkelanjutan. Disamping itu, jugaterdapat beberapa peraturan daerah yang menjadipeluang bagi implementasi pengelolaan pesisirterpadu di pesisir Teluk Balikpapan. Sementaraitu, ego sektoral dan daerah juga dapat menjadiancaman keberlanjutan sumberdaya pesisir diTeluk Balikpapan. Ego sektoral akan menjadiancaman manakala masing-maising sektormembuat program sendiri-sendiri tanpa adanyakoordinasi dengan sektor lainnya. Artinya,kemungkinan terjadinya tumpang tindih

terhadap pemanfaatan lahan cukup besar. Sepertidiuraikan sebelumnya, bahwa salah satu isupengelolaan Teluk Balikpapan adalah adanyatumpang tindih perencanaan, yang diakibatkanoleh lemahnya koordinasi di antara instansi yangterkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir diTeluk Balikpapan.

Upaya Pemerintah Kota Balikpapan danKabupaten Pasir untuk mengintegrasikan wilayahlaut ke dalam RTRW Kota/Kabupaten merupakansuatu kekuatan bagi pengelolaan sumberdaya pesisir.Pelimpahan kewenangan pengelolaan laut kepadadaerah otonom menjadi langkah awal untukmengintegrasikan wilayah pesisir dan laut ke dalamRTRW kota/kabupaten. Hal ini penting, mengingatwilayah pesisir dan laut merupakan satu kesatuanekologis yang harus dikelola secara terpadu. Upayake arah pengelolaan yang lebih baik dilakukanmelalui revisi Dokumen RTRW kabupaten/kota,dengan mempertimbangkan perkembangan yangada termasuk pemberlakuan UU No. 22 Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kekuatan yangada ini, sering diikuti pula oleh kelemahan-kelemah-an. Menurut hasil analisis Proyek Pesisir (2002),ditemui adanya inkonsistensi di dalam implementa-si tata ruang kawasan Teluk Balikpapan. Penyim-pangan terhadap RTRW yang telah disepakatikadang terjadi pada saat implementasi programpembangunan.

Penyusunan Kebijakan Pengelolaan PesisirUntuk menentukan kebijakan pengelolaan

sumberdaya pesisir di Teluk Balikpapan yangdidasarkan atas kondisi faktual di lapangan,sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3, teknikyang digunakan adalah mencari strategi silang darikeempat faktor tersebut, yaitu:l Kebijakan SO, yakni kebijakan yang disusun

untuk memanfaatkan seluruh kekuatan danmengoptimalkan peluang yang ada.

l Kebijakan ST, yakni kebijakan yang disusununtuk memanfaatkan kekuatan yang dimilikidalam menanggulangi ancaman yang ada.

l Kebijakan WO, yakni kebijakan memanfaatkanpeluang secara optimal untuk mengatasikelemahan yang dimiliki.

l Kebijakan WT, yakni kebijakan yang disusununtuk mengatasi kelemahan dan mengeliminasiancaman yang mungkin timbul.

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

Page 16: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

13

Dengan pendekatan seperti di atas, makakebijakan yang disarankan untuk pengelolaanwilayah pesisir Teluk Balikpapan adalah sepertidisajikan pada Tabel 4.

Untuk menentukan prioritas dari kebijakan diatas, digunakan metode pembobotan danpengharkatan untuk masing-masing unsur SWOTseperti pada Tabel 4. Pemberian nilai bobot untukmasing-masing unsur tersebut didasarkan padaderajat kepentingan dari unsur tersebut. Artinyaunsur yang paling penting (sangat penting) akanmendapatkan nilai paling tinggi, dan sebaliknyaunsur yang tidak penting akan mendapatkan nilaipaling rendah. Kategori sangat penting (nilai 3)apabila unsur tersebut memberikan kontribusi yangsangat besar terhadap keberlanjutan sumberdaya

pesisir di Teluk Balikpapan. Kategori sangat pentingini diberikan apabila keberadaan unsur tersebutsangat mempengaruhi proses pengelolaan sumber-daya pesisir berkelanjutan di Teluk Balikpapan.Kategori tidak penting (nilai 1) diberikan apabilakeberadaan unsur tersebut tidak mempunyaikontribusi yang signifikan terhadap prosespengelolaan sumberdaya pesisir di Teluk Balikpapan.Artinya ada atau tidaknya unsur-unsur tersebut,pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutandapat dilakukan. Unsur-unsur yang dikategorikanpenting (nilai 2) adalah unsur-unsur yang tidakdidefinisikan sebagai unsur sangat penting dan tidakpenting.

Berdasarkan pembobotan yang dilakukanpada Tabel 4, bobot dari ketujuh kebijakan yang

KEKUATAN1) Ketersediaan lahan

dengan tingkat kesesuaianyang tinggi

2) Penduduk denganpemahaman yang baikterhadap pengelolaanpesisir

3) Keterlibatan stakeholdersdalam perencanaan

4) RTRW Kota Balikpapandan Kab. Pasir dengandukungan peraturan-perundangan

KELEMAHAN1) Dinamika wilayah pesisir

yang tinggi2) Keterbatasan kemampuan

alat tangkap (modal)3) Belum ada mekanisme

pelibatan stakeholdersdalam perencanaanpengelolaan pesisir danlaut

4) Penyimpangan terhadapimplementasi RTRW

PELUANG1) Permintaan terhadap

pemanfaatan lahan2) Dukungan program pengelolaan

pesisir3) Adanya UU No. 22 Tahun 1999

Kebijakan SO1. Penentuan alokasi ruang bagi

berbagai peruntukanpembangunan (tambak,konservasi, pemukiman,industri) yang diintegrasikan kedalam RTRW yang diikutidengan pelaksanaan aturansecara ketat untuk menghindarikonflik

2. Implementasi pengelolaanpesisir secara terpadu danpelibatan semua stakeholderssecara aktif

Kebijakan WO1. Pemanfaatan sumberdaya alam

pesisir berdasarkan karakteristikdan daya dukung lingkunganmelalui pelibatan aktif semuastakeholders dan penyediaanmekanisme partisipasi yangtransparan untuk meningkatkankesejateraan masyarakat

2. Penyediaan mekanismepartisipasi bagi semua stake-holders untuk mengawasipemanfaatan lahan pesisir danpelaksanaan RTRW danpelaksnaaan program-programpengelolaan pesisir

ANCAMAN1) Konflik antar kegiatan dan antar

daerah2) Tekanan terhadap eksploitasi

sumberdaya3) Ego sektoral dan daerah

Kebijakan ST1. Penyusunan rencana pengelolaan

berdasarkan potensi dankesesuaian lahan untukmenghindari terjadinya konflik antarkegiatan dan antar daerah, sertatekanan terhadap sumberdayasecara berlebihan denganmelibatkan semua stakeholders

Kebijakan WT1. Penyediaan mekanisme partisipasi

dan pengawasan stakeholderssecara transparan terhadapimplementasi RTRW untukmenghindari terjadinya konflik antarkegiatan dan daerah sertamengurangi ego sektoral dandaerah

2. Meningkatkan kemampuan alattangkap untuk menghindari tekananterhadap sumberdaya (konversimangrove) oleh masyarakat.

Tabel 4. Formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir Teluk Balikpapan

Sumber : Hasil Analisis (2002)

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Page 17: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

14

telah diformulasikan dijumlahkan untukmenentukan urutan prioritas seperti disajikan padaTabel 5 dan Tabel 6.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan

dan kebijakan pemanfaatan ruang kawasan pesisirTeluk Balikpapan, dapat ditarik kesimpulan sebagaiberikut:1. Hasil analisis kesesuaian lahan bagi peruntukan

tambak, industri, pemukiman dan konservasiadalah:a. Kategori Sangat Sesuai bagi peruntukan

tambak seluas 13.206,62 ha yang terletak di

Desa Buluminung, Gersik, Maridan,Mentawir, Pemaluan dan Desa Sepan.

b. Kategori Sangat Sesuai bagi peruntukanindustri seluas 4.596,12 ha yang terdapat diDesa Batu Ampar, Kariangau dan Mentawir.

c. Kategori Sangat Sesuai bagi peruntukanpemukiman terutama terdapat di DesaKariangau dan Mentawir dengan luas 826,91 ha.

d. Kategori Sangat Sesuai untuk konservasiterdapat di Desa Buluminung, Gersik,Kariangau, Maridan, Mentawir, Pemaluan danDesa Sepang dengan luas 7.786,08 ha.

2. Hasil tumpang susun (overlay) kesesuaian lahanuntuk kategori Sangat Sesuai menunjukkanbahwa sekitar 55 % lahan yang Sangat Sesuaiuntuk tambak juga Sangat Sesuai untuk industri,

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

Tabel 5. Pemberian bobot untuk setiap unsur dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

No Unsur SWOT Bobot

A1

A21

2

34

A212

3

4

B

B1123

B2123

Skor Total Skor Kode

Internal

KekuatanKetersediaan lahan dengan tingkat kesesuaian yangtinggiPenduduk dengan tingkat pemahaman yang baik ter-hadap pengelolaan sumberdaya pesisirKeterlibatan stakeholders dalam perencanaanRTRW Kota Balikpapan dan Kab. Pasir dengandukungan peraturan-perundangan

KelemahanDinamika wilayah pesisir yang tinggiKeterbatasan kemampuan masyarakatmemanfaatkan sumberdayaBelum ada mekanisme pelibatan stakeholdersdalam perencanaan pengelolaan pesisir dan lautImplementasi RTRW yang masih menyimpangJumlah

Eksternal

PeluangPermintaan terhadap pemanfaatan lahan yang besarDukungan program-program pengelolaan pesisirAdanya UU No. 22 Tahun 1999

AncamanKonflik antar kegiatan dan antar daerahTekanan terhadap eksploitasi sumberdayaEgo sektoral dan daerahJumlah

0,17

0,17

0,170,11

0,060,11

0,11

0,111,00

0,250,080,17

0,170,170,171,00

3

3

32

12

2

2

312

222

0,51

0,51

0,510,22

0,060,22

0,22

0,222,47

0,750,080,33

0,330,330,332,17

S1

S2

S3S4

W1W2

W3

W4

O1O2O3

T1T2T3

Sumber : Hasil identifikasi dan analisis (2002)

Page 18: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

15

Unsur SWOT Keterkaitan Skor Ranking

pemukiman dan konservasi; 25 % lahan SangatSesuai untuk industri juga Sangat Sesuai untuktambak, pemukiman dan konservasi; 94 % lahanSangat Sesuai untuk pemukiman, juga SangatSesuai untuk tambak, industri, dan konservasi;dan 93 % lahan Sangat Sesuai untuk konservasi,juga Sangat Sesuai bagi tambak, industri danpemukiman. Demikian pula untuk kategoriSesuai sekitar 68 % lahan Sesuai untuk tambak,juga Sesuai untuk industri, pemukiman dankonservasi; 87 % lahan Sesuai untuk industri jugaSesuai dengan tambak, pemukiman dankonservasi; 89 % lahan Sesuai untuk pemukimanjuga Sesuai bagi tambak, industri dan konservasi;

dan 98 % lahan Sesuai bagi konservasi, juga Sesuaibagi peruntukan tambak, industri danpemukiman.

3. Analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakatpesisir menunjukkan bahwa individu yangmemiliki umur yang tinggi, juga memiliki jumlahanggota keluarga yang besar dengan lama tinggalyang lama (memiliki korelasi yang tinggi).Demikian juga individu dengan pekerjaantertentu memiliki penghasilan dan pengeluaranyang besar, sedangkan individu dengan tingkatpendidikan yang tinggi juga memiliki tingkatpemahaman yang tinggi.

Pengalokasian ruang pesisir bagi berbagai peruntukanpembangunan (tambak, pemukiman, industri, konservasi dansebagainya) yang diintegrasikan ke dalam RTRW KotaBalikpapan dan Kabupaten Pasir, dan dilaksanakan secarakonsisten dengan didukung aturan yang jelas untukmenghindari konflik.

Pemanfaatan sumberdaya alam pesisir Teluk Balikpapanberdasarkan karakteristik dan daya dukung lingkunganmelalui pelibatan aktif stakeholders , dan penyediaanmekanisme partisipasi yang transparan untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat.

Penyusunan rencana pengelolaan berdasarkan potensi dankesesuaian lahan untuk menghindari terjadinya konflik antarkegiatan dan antar daerah, serta tekanan terhadap sumberdayasecara berlebihan dengan melibatkan stakeholders.

Penyediaan mekanisme partisipasi dan pengawasan stake-holders secara transparan terhadap pelaksanaan RTRW,untuk menghindari terjadinya konflik antar kegiatan dandaerah serta mengurangi ego sektoral dan daerah.

Pengembangan model pengelolaan pesisir secara terpadudan pelibatan stakeholders secara aktif.

Pelibatan stakeholders dalam pengawasan dan pelaksanaanRTRW melalui mekanisme partisipasi yang transparan, dandukungan peraturan perundangan yang jelas untukmengantipasi penyimpangan pelaksanaan RTRW.

Meningkatkan kemampuan nelayan dalam memanfaatkansumberdaya perikanan (alat tangkap), untuk menghindaritekanan terhadap sumberdaya pesiisr (konversi mangrove)oleh masyarakat.

S1, O1, S4, O2,O3, T1

O1, O2, O3, W1,W2, W3, W4

S1, T1, T2, S3

W3, W4, T1, T3

S3, O2, S2

S4, W4, W3

W2, T2

2,22

1,88

1,68

1,32

1,10

0,66

0,55

1

2

3

4

5

6

7

Tabel 6. Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan wilayah pesisir Teluk Balikpapan

Sumber : Hasil analisis (2002)

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

Page 19: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

16

Saran1. Pengelolaan sumberdaya pesisir Teluk Balikpapan

secara berkelanjutan harus diikuti pengalokasianlahan pesisir untuk berbagai peruntukan secaraproporsional, sesuai dengan tingkat kesesuaiannyayang diintegrasikan ke dalam Rencana Tata RuangWilayah Kota Balikpapan dan Kabupaten Pasir

2. Untuk menghindari konversi ekosistem mangrovemenjadi tambak, maka diperlukan programpeningkatan pendapatan nelayan terutama di desaMentawir dan Kariangau melalui peningkatankemampuan alat tangkap untuk menangkap ikandan udang secara efektif.

3. Untuk melengkapi hasil analisis kesesuaian lahanini, maka disarankan untuk melakukan analisisdaya dukung lingkungan Teluk Balikpapan bagiberbagai kegiatan pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA Kota Balikpapan, 2000. Rencana tata ruangwilayah Kota Balikpapan tahun 2000.

Bengen, D.G., 1999. Sinopsis analisis statistik multi variabel/multidimensi. Program Studi Pengelolaan SumberdayaPesisir dan Lautan, Program Pasca sarjana IPB, Bogor.

Cicin-Sains, B., 1993. Sustainable development and inte-grated coastal management. Ocean and Coastal Manage-ment 21.

Cicin - Sains, B. and R. W. Knecht, 1998. Integrated coastaland ocean management: concepts and practices. IslandsPress. Washington, D.C.

Dahuri, R., 2000. Analisa kebijakan dan program pengelolaanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Makalahdisampaikan pada Pelatihan Manajemen Wilayah Pesisir.Fakultas Perikanan-IPB. Bogor.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu, 1996.Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secaraterpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta

Dharmawan, A. S., A. Setiadi, R. Malik, dan A. J. Siahaineina,2001. Proses penyusunan rencana pengelolaan TelukBalikpapan. Prosiding lokakarya hasil pendokumentasiankegiatan proyek pesisir. Pelajaran dari Pengalaman ProyekPesisir 1997-2001. Bogor.

GESAMP (IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP (Joint Group of Experts on the ScientificAspects of Marine Environmental Protection), 1996. Thecontributions of science to coastal zone management.Rep.Stud. GESAMP, (61).

Hopley, D., 1999. Geological and geomorphological inputinto tropical coastal management with special reference toBalikpapan Bay, East Kalimantan. Proyek Pesisir Publica-tion.

Odum, E.P. 1989. Ecology and our endangered life-supportsystems. Sinauer Associates, Inc., Publ., Sunderland, Mas-sachusetts.

Odum, W.E. 1976. Ecological guidelines for tropical coastaldevelopment. IUCN, Switzerland.

Ortolano, L., 1984. Environmental planning and decisionmaking. John Wiley and Sons. Toronto.

Proyek Pesisir KalTim 2001. Proses penyusunan rencanapengelolaan Teluk Balikpapan. Prosiding lokakarya hasilpendokumentasian kegiatan Proyek Pesisir tahun 1997-2001.

Wiryawan, B., H. A. Susanto, dan A. Tahir, 2001. Prosespenyusunan rencana strategis pengelolaan wilayah pesisirLampung. Prosiding lokakarya hasil pendokumentasiankegiatan Proyek Pesisir. Pelajaran dari pengalaman ProyekPesisir 1997-2001. Bogor.

Zamani, N.P., A. Tahir, M. F. Sondita, B. Haryanto, danBurhanuddin, 2001. Penerapan co-management dalamproses pengelolaan pesisir terpadu. Prosiding lokakaryahasil pendokumentasian kegiatan Proyek Pesisir 1997-2001. Bogor.

Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan .................................................................(1- 16)

Page 20: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

17

Pesisir & Lautan Volume 4, No. 3, 2002

PENDAHULUAN

Sumberdaya kelautan Indonesia merupakansalah satu aset pembangunan yang penting danmemiliki peluang sangat besar untuk dijadikansumber pertumbuhan ekonomi baru bagi negara ini.Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang men-dasari hal tersebut.

Pertama, secara fisik Indonesia adalah negarakepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulaudan 81.000 km garis pantai, dimana sekitar 70%wilayah teritorialnya berupa laut (Simanungkalit,1999). Kedua, di wilayah pesisir dan lautan yangsangat luas itu terdapat potensi pembangunanberupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasalingkungan yang belum dimanfaatkan secara opti-mal (Resosudarmo et.al., 2000). Ketiga, seiringpertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin

ANALISA PENENTUAN SEKTOR PRIORITAS DI KELAUTANDAN PERIKANAN INDONESIA

BUDY P. RESOSUDARMO, DJONI HARTONO, TAUHID AHMAD, NINA I.L. SUBIMAN,OLIVIA, ANANG NOEGROHO

Program Pasca Sarjana FEUI, Gedung B, Lt IIKampus UI - Depok

Email: [email protected]

ABSTRAK

Sebagai salah satu aset yang paling penting, sumberdaya kelautan harus dapat didayagunakan dan dikelola secara seksamaoleh Pemerintah. Departemen Kelautan dan Perikanan harus dapat dengan hati-hati merencanakan dan mendorongpengembangan dari berbagai kegiatan kelautan dan perikanan yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

perekonomian nasional. Artikel ini bertujuan untuk, pertama, mengidentifikasi sektor-sektor diantara sektor-sektor ekonomikelautan dan perikanan, dimana pengembangannya seharusnya menjadi prioritas nasional. Kedua adalah mencari agen-agenekonomi potensial yang diperkirakan bersedia melakukan investasi di sektor-sektor tersebut. Ketiga, memformulasikan insentif-insentif yang dibutuhkan untuk menstimulasi terjadinya investasi di sektor-sektor prioritas ini.Kata-kata kunci: sektor-sektor kelautan, agen-agen ekonomi potensial, insentif, sumberdaya kelautan.

ABSTRACT

As one of the most important assets, marine resources should be utilized and managed carefully by the Indonesian Government.The Indonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries should carefully plan and encourage the development of various marineand fishery activities which potentially provide significant contributions to the national economy. This article is aimed to, first,identify sectors, among the marine and fishery economic sectors, that their developments should be among the top nationalpriorities. Second is to find out potential economic agents who might be willing to invest their funds into these sectors. Third isto formulate incentives needed to stimulate more funds invested in these top national priority sectors.Keywords: marine sectors, economic potential agents, incentive, marine resources.

menipisnya sumberdaya pembangunan di daratan,permintaan terhadap produk dan jasa kelautandiperkirakan akan meningkat (Resosudarmo et.al.,2000).

Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta km2

(berdasarkan Konvensi PBB tahun 1982), Indone-sia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan nonhayati yang melimpah (Simanungkalit, 1999).Namun pemanfaatannya sebagai salah satu sistemsumberdaya hingga saat ini dirasakan belum opti-mal. Sektor perikanan misalnya, dari 6,7 juta tonperkiraan potensi perikanan per tahun, baru sekitar65% yang dieksploitasi, walaupun di beberapatempat kemungkinan besar telah terjadi penang-kapan secara berlebihan (NRM News, 1999).

Apabila dimanfaatkan secara optimal danberkelanjutan, potensi sumberdaya kelautan Indo-nesia dapat menjadi modal utama pembangunan

Page 21: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

18

nasional di masa yang akan datang. Pemerintahmelalui Departemen Kelautan dan Perikanan sudahselayaknya memberikan perhatian khusus terhadappotensi kelautan dan perikanan untuk selanjutnyamenerapkan program-program pengembanganberbagai jenis kegiatan di sektor-sektor kelautan danperikanan di Indonesia. Salah satunya adalahmendorong terjadinya investasi di beberapa sektorkelautan dan perikanan yang dapat memberikanmanfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia secaraumum.

Sebagai langkah pertama, perlu dilakukanidentifikasi terhadap berbagai jenis kegiatan disektor-sektor kelautan dan perikanan yang dapatmemberikan kontribusi besar bagi masyarakat In-donesia. Dari kegiatan tersebut selanjutnyaditentukan sektor-sektor di kelautan dan perikananyang diprioritaskan untuk dikembangkan. Langkahkedua adalah memperkirakan pelaku-pelakuekonomi yang akan melakukan investasi di sektor-sektor prioritas tersebut untuk kemudianmenciptakan sistem insentif yang mendorongmereka agar segera berinvestasi.

Pengembangan program untuk merangsanginvestasi di sektor-sektor kelautan dan perikananpenting dilakukan setidaknya untuk dua alasan.Pertama, sering terjadinya informasi asimetris dipasar membuat para calon pelaku investasi tidakdapat melihat manfaat besar yang akan diterima-nya jika melakukan investasi di suatu sektor.Kedua, kalaupun informasi di pasar sempurna,seringkali pilihan untuk melakukan investasijatuh di sektor-sektor yang sangat menguntung-kan bagi investor, tapi manfaatnya bagikebanyakan orang relatif kecil.

Memperkirakan siapa pelaku investasi perludilakukan sebelum perumusan suatu sistem insentif.Perhatikan, umumnya, setiap pemberian insentifkepada satu pihak akan memberikan konsekuensibeban kepada pihak pemberi insentif, dalam hal inipemerintah Indonesia. Sebagai contoh, insentifberupa penyederhanaan proses perijinan. Baiklangsung maupun tidak langsung, ada biaya yangperlu dikeluarkan oleh lembaga pemberi ijin untukmengubah proses perijinan yang diaturnya menjadilebih sederhana. Pemberian insentif yang tidak tepatsasaran hanya menimbulkan biaya pada pemberiinsentif, sementara itu pihak yang diberi insentifbelum tentu terdorong untuk melakukan investasi.

Tulisan ini terutama bertujuan untuk mencarisektor-sektor di bidang kelautan dan perikanan yangseharusnya merupakan sektor prioritas untukdikembangkan. Dikatakan prioritas karena berkem-bangnya sektor-sektor ini akan menimbulkanmanfaat yang relatif besar untuk masyarakat secaraumum. Tujuan lainnya adalah untuk memper-kirakan pelaku-pelaku investasi di sektor prioritasdan kemudian mengusulkan secara umum insentif-insentif yang perlu dikembangkan.

Dalam menentukan sektor prioritas, tulisanini memilih untuk menggunakan metode analisisInput-Output. Walaupun sederhana, metode inidianggap cukup mampu memperkirakan dampakpengembangan suatu sektor di suatu negara/wilayahterhadap perekonomian negara/wilayah tersebutsecara keseluruhan, termasuk terhadap tingkatpendapatan masyarakat di negara/wilayah tersebut(Miller dan Blair, 1985).

Dalam memperkirakan kemungkinan besarpelaku ekonomi yang akan melakukan investasi disektor prioritas, tulisan ini sebanyak mungkinbersandar kepada pengalaman masa lalu melaluidata statistik yang ada dan pendapat beberapapeneliti di bidang ekonomi lainnya.

Bagian selanjutnya dari tulisan ini adalah penje-lasan singkat mengenai metode analisis Input-Output.Kemudian disambung dengan ulasan mengenaimetode pencarian sektor prioritas dan hasilnya. Caradan hasil perkiraan pelaku ekonomi yang akanmelakukan investasi di sektor prioritas dipaparkansetelah penjelasan mengenai sektor prioritas. Di bagianakhir adalah implikasi kebijakan yang perlu dikem-bangkan dengan diketahuinya sektor prioritas danperkiraan pelaku investasi di sektor tersebut.

METODE ANALISIS INPUT-OUTPUT

Tabel Input-Output, umum disingkat TabelI-O, pertama kali diperkenalkan oleh W. Leontiefpada tahun 1930-an. Tabel I-O adalah suatu tabelyang menyajikan informasi tentang transaksi barangdan jasa yang terjadi antar sektor produksi di dalamsuatu ekonomi (dalam tulisan ini negara) denganbentuk penyajian berupa matriks.

Angka-angka di dalam Tabel I-O menunjuk-kan hubungan dagang antar sektor yang beradadalam perekonomian suatu negara. Setiap barismenunjukkan secara rinci jumlah penjualan dari

Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan ............................................................................( 17-28)

Page 22: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

19

sebuah sektor yang tertera di bawah label penjual,ke berbagai sektor yang tertulis di bawah labelpembeli. Karena sebuah sektor tidak menjualbarangnya kepada semua sektor yang ada, makaumum dijumpai angka nol dalam sebuah baris didalam Tabel I-O. Adapun kolom dalam Tabel I-Omencatat berbagai pembelian yang dilakukansebuah sektor terhadap barang dan jasa yangdihasilkan oleh berbagai sektor yang ada di dalamperekonomian negara tersebut. Jika angka-angkayang berada pada kolom suatu sektor juga banyakdijumpai angka nol, hal ini karena sebuah sektortidak selalu membeli barang dan jasa dari seluruhsektor yang ada di perekonomian negara tersebut.

Selain transaksi antar sektor, terdapat pulabeberapa transaksi yang tercatat di dalam sebuahTabel I-O. Perusahaan-perusahaan di dalam suatusektor menjual hasil produksinya ke konsumen(rumah tangga), pemerintah, dan perusahaan di luarnegeri. Selain itu, sebagian hasil produksinya jugadijadikan bagian dari investasi oleh sektor lainnya.Penjualan-penjualan yang baru saja disebutkan tadidapat dikelompokkan ke dalam satu neraca yangdisebut “konsumsi akhir.”

Dalam hal pembelian, selain barang dan jasadari berbagai sektor, perusahaan juga membutuhkanjasa tenaga kerja dan memberikan kompensasikepada pemilik modal. Pembayaran jasa kepadatenaga kerja dan pemilik modal disebut pembayaranuntuk “nilai tambah.” Selain itu perusahaan jugamembeli barang dan jasa dari luar negeri, atau dengankata lain, perusahaan mengimpor barang dan jasa.Transaksi impor barang dan jasa ini dicatat pada baris“impor.” Dengan demikian, lengkaplah transaksi-transaksi perdagangan dari berbagai sektor yang adadi dalam suatu negara. Secara sederhana simplifikasidari Tabel I-O dapat dilihat pada Gambar 1. DariTabel I-O pada Gambar 1 dapat dibuat duapersamaan neraca yang berimbang:

Baris: x f X i nij i ij

n

+ = ∀ ==

∑1

1 ,..., (1)

Kolom: (2)

di mana xij adalah nilai aliran barang atau jasa

dari sektor i ke sektor j; fi adalah total konsumsi

akhir; vj adalah nilai tambah dan m

j adalah impor.

Definisi neraca yang berimbang adalah jumlahproduksi (keluaran) sama dengan jumlah pembelian(masukan).

Aliran antar industri dapat ditransformasikanmenjadi koefisien-koefisien dengan mengasumsikanbahwa jumlah berbagai pembelian adalah tetapuntuk sebuah tingkat total keluaran (dengan katalain, tidak ada economies of scale). Asumsi lainnya,tidak ada kemungkinan substitusi antara sebuahbahan baku masukan dan bahan baku masukanlainnya (dengan kata lain, bahan baku masukandibeli dalam proporsi yang tetap). Koefisien-koefisien ini adalah:

a x Xij ij j= / (3)

atau x a Xij ij j= (4)

Dengan memasukan persamaan (4) ke dalampersamaan (1) didapat:

a X f X i nij j i ij

n

+ = ∀ ==

∑1

1 ,..., (5)

Dalam notasi matriks, persamaan (5) dapatditulis sebagai berikut:

AX f X+ = (6)

di mana

Dengan memanipulasi persamaan (6) didapathubungan dasar dari Tabel I-O:

(I-A)-1 f= X (7)

12...n

NilaiTambah

Impor

TotalMasukan

1

x11

x21

.

.

.xn1

v1

m1

X1

2

x12

x22

.

.

.xn2

v2

m2

X2

n

x1n

x2n

.

.

.xnn

vn

mn

Xn

f1f2...fn

X1

X2

.

.

.Xn

Sektor PembeliKonsumsi

AkhirTotalProd....

...

...

.

.

.

...

...

...

...

SektorPenjual

Gambar 1. Simplifikasi Tabel I-O

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 23: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

20

Di mana (I - A)-1 dinamakan sebagai matrikskebalikan Leontief (matriks multiplier keluaran).Matriks ini mengandung informasi penting tentangbagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor(industri) akan menyebabkan berkembangnyasektor-sektor lainnya. Karena setiap sektor memilikipola (pembelian dan penjualan dengan sektor lain)yang berbeda-beda, maka dampak dari perubahanproduksi suatu sektor terhadap total produksisektor-sektor lainnya berbeda-beda. Matrikskebalikan Leontief merangkum seluruh dampak dariperubahan produksi suatu sektor terhadap totalproduksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier (

ij ).

Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat didalam matriks (I - A)-1.

Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Sektoral.Analisis ini umumnya bertujuan untuk (1)

mengestimasi pertumbuhan total produksi denganadanya investasi di sektor kelautan dan perikanan ;(2) melihat peranan atau kontribusi kegiatankelautan terhadap perekonomian nasional secarasektoral dibanding dengan kontribusi sektor lainnya;dan (3) melihat karakteristik sektor kelautanberdasarkan kontribusinya dalam meningkatkannilai tambahnya, terutama sekali pada pendapatanmasyarakat.

Analisis ini didasarkan kepada Pengganda out-put dan Pengganda Pendapatan Rumah Tangga yangdapat diperoleh dalam analisis I-O.

1. Pengganda OutputMelalui analisis I-O, dapat dilihat pengaruh

investasi terhadap semua sektor pada Tabel I-O,terutama sekali pada sektor yang berkaitan dengankegiatan kelautan dan perikanan. Untukmengestimasi antara pertumbuhan total produksi(total pengeluaran seluruh sektor produksi) denganinvestasi di sektor kelautan dan perikanan sertamelihat peranan kegiatan kelautan dan perikananterhadap perekonomian nasional, digunakanPengganda output. Pengganda output tersebutadalah kenaikan nilai total produksi semua sektorperekonomian akibat kenaikan satu unit final de-mand suatu sektor, yang didefinisikan sebagai:

(8)

di mana:O

i= Pengganda output sektor i

ij

= unsur matriks kebalikan Leontief.

2. Pengganda Pendapatan Rumah TanggaSelanjutnya untuk melihat karakteristik sektor

kelautan dan perikanan berdasarkan kontribusinyadalam meningkatkan nilai tambahnya, terutamasekali pada pendapatan masyarakat, digunakanpengganda pendapatan rumah tangga. Penggandapendapatan rumah tangga dari Tabel Input-Outputmengindikasikan dampak dari peningkatanpermintaan sebesar satu unit dari sebuah sektortertentu pada total pendapatan rumah tangga,didefinisikan sebagai:

(9)

di mana:H

j= pengganda pendapatan rumah tangga sektor j

vi

= upah/gaji sektor iX

i= output sektor i

ij

= unsur matriks kebalikan Leontief.

Analisis Sektor KunciAnalisis ini dimaksudkan untuk menentukan

sektor kunci dari kegiatan kelautan dan perikanan.Sektor kunci didefinisikan sebagai sektor yangmemegang peranan penting dalam menggerakkanroda perekonomian dan ditentukan berdasarkanIndeks Total Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan.Sektor kunci adalah sektor yang memiliki IndeksTotal Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan lebihbesar dari satu.

1. Indeks Total Keterkaitan ke BelakangSebelumnya dijelaskan terlebih dahulu

mengenai Total Keterkaitan ke Belakang. Totalketerkaitan ke Belakang sektor j adalah jumlah to-tal kenaikan output dari sektor-sektor pemasoksektor j karena kenaikan 1 unit produksi sektor j.Rumus yang digunakan untuk mencari nilai IndeksTotal Keterkaitan ke Belakang adalah:

(10)

Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan ............................................................................( 17-28)

Page 24: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

21

di mana:BL

j= Total Keterkaitan ke Belakang sektor j

ij

= unsur matriks kebalikan Leontief.Selanjutnya Indeks Total Keterkaitan ke

Belakang merupakan perbandingan antara TotalKeterkaitan ke Belakang suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya. Indeks ini dirumuskan sebagaiberikut:

(11)

di mana: IBLj

= Indeks Total Keterkaitan ke Belakang sektor j

Dengan demikian Indeks Total Keterkaitan keBelakang merupakan ukuran untuk mengetahuikemampuan suatu sektor dalam memajukan sektor-sektor hulunya. Jika Indeks Total Keterkaitan keBelakang suatu sektor lebih besar dari satu dikatakanbahwa sektor itu merupakan sektor yang relatifmampu mendorong kemajuan sektor-sektorhulunya.

2. Indeks Total Keterkaitan ke DepanTotal Keterkaitan ke Depan sektor i mengukur

total kenaikan produksi sektor-sektor yang dipasokoleh sektor i, akibat kenaikan 1 unit sektor i.Rumus yang digunakan untuk mencari nilai TotalKeterkaitan ke Depan adalah:

(12)

di mana:FLi = Total Keterkaitan ke Depan sektor i

ij= unsur matriks kebalikan Leontief.

Selanjutnya Indeks Total Keterkaitan ke Depanyang merupakan nilai pembanding antara TotalKeterkaitan ke Depan suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya dirumuskan sebagai berikut:

(13)

Sektor i dikatakan mempunyai kemampuanmendorong pertumbuhan sektor-sektor hilirnya jikaIndeks Total Keterkaitan ke Depan sektor i lebihbesar dari satu.

Sektor kunci adalah sektor yang memilikiIndeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang lebihbesar dari satu. Diantara sektor-sektor kunci ini,sektor-sektor dengan kedua indeks di atas yang tinggimerupakan sektor yang mempunyai potensi terbesaruntuk diinvestasi karena akan memberikan dampakpositif terhadap perekonomian.

PENCARIAN SEKTOR PRIORITAS

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,tulisan ini menggunakan analisis Input-Output (I-O) dalam menentukan sektor prioritas di bidangkelautan dan perikanan. Bagian ini akan menjelaskansecara verbal langkah-langkah yang diambil dalammenentukan sektor prioritas tersebut.

Data dasar yang digunakan ialah Tabel In-put-Output Indonesia 172x172 tahun 1995 yangdikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).Angka 172 menunjukkan jumlah sektor yang adadalam Tabel I-O tersebut. Langkah pertama yangdilakukan adalah mengidentifikasikan, dari 172sektor yang ada, sektor-sektor mana saja yangterkait dengan kegiatan kelautan dan perikanan.Hasil identifikasi bisa dilihat di Tabel 1. Darisektor-sektor tersebut, sebagian sektor memang100 persen aktivitasnya dikategorikan kegiatankelautan dan perikanan, misalnya sektor IkanLaut dan Hasil Laut lainnya, Udang, dan IkanOlahan dan Awetan. Namun, sebagian sektor lainmemang tidak seluruh kegiatannya merupakankegiatan kelautan dan perikanan, contohnyaPertambangan Minyak Bumi, Jasa Restoran, danIndustri Bahan Bangunan dari Logam.

Langkah kedua adalah melakukanmodifikasi terhadap beberapa sektor yang ada didalam Tabel I-O ini. Modifikasi pertama adalahpenggabungan beberapa sektor. Penggabunganini dilakukan karena sektor-sektor tersebut terkaiterat dan untuk memudahkan penerapan dalamkebijakan yang relatif mudah dipahami. Misalnyakegiatan hotel, restoran dan jasa hiburan-rekreasi-kebudayaan yang berkaitan dengan kegiatankelautan dan perikanan dikelompokkan menjadisektor Pariwisata Bahari.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 25: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

22

Tabel 1. Sektor kelautan dan perikanan dalam Tabel I-O Indonesia 172x172

Perikanan

Pertambangan

Industri Maritim

Angkutan Laut

Pariwisata Bahari

Bangunan Kelautan

Jasa Kelautan

Ikan Laut dan Hasil Laut LainnyaIkan Darat dan Hasil Darat LainnyaUdangJasa Pertanian

Minyak BumiGas Bumi dan Panas BumiBijih TimahBarang Tambang Logam LainnyaGaram KasarBarang Galian Segala Jenis

Ikan Kering dan Ikan AsinIkan Olahan dan AwetanBarang-Barang Hasil Kilang MinyakGas Alam CairBahan Bangunan dari LogamKapal dan Jasa Perbaikannya

Jasa Angkutan LautJasa Angkutan Sungai dan Danau

Jasa RestoranJasa Hiburan, Rekreasi dan Kebudayaan SwastaJasa Perhotelan

Jalan, Jembatan dan PelabuhanBangunan & Instalasi Listrik, Gas, Air Minum dan Komunikasi

Jasa Penunjang AngkutanJasa PerdaganganJasa PerusahaanJasa Pemerintahan UmumJasa Pendidikan PemerintahJasa Pendidikan Swasta

1

2

3

4

5

6

7

No Kelompok Sektor

Sumber: BPS diolah, 2000

Modifikasi kedua dilakukan pada kasussektor-sektor yang hanya sebagian kegiatannyamerupakan kegiatan kelautan dan perikanan. Disini,kegiatan kelautan dan perikanan dikeluarkan darisektor-sektor tersebut. Tindakan ini perlu dicermatidengan hati-hati. Opini lapangan dan pertimbangandari para ahli perlu dipertimbangkan dengan baik.Hasil akhir dari modifikasi ini dapat dilihat padaTabel 2 .

Selanjutnya perlu ditentukan kriteria-kriteriaagar sebuah sektor dapat dikatakan sektor prioritas.Tulisan ini menggunakan kriteria sederhana sebagaiberikut:

l Sektor Prioritas Jangka Pendek adalah sektor-sektor yang dampak dari investasi di sektor-sektorterhadap kenaikan total produksi dan pendapatanmasyarakat relatif besar. Dalam hal ini, kenaikantotal produksi dan pendapatan masyarakatdigunakan sebagai kriteria. Pertimbangannya,strategi jangka pendek hendaknya diarahkan padahal-hal yang langsung terasa manfaatnya padamasyarakat dan dapat menunjang kenaikanaktivitas perekonomian sesegera mungkin.

l Sektor Prioritas Jangka Panjang adalah sektor-sektor yang mampu mendorong tumbuhnyakegiatan sektor-sektor lainnya dalam per-ekonomian. Strategi jangka panjang umumnya

Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan ............................................................................( 17-28)

Page 26: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

23

Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya

Ikan Darat dan Hasil Darat Lainnya

Udang

Jasa Pertanian

Minyak BumiGas Bumi dan Panas BumiGas Alam CairBarang-Barang Hasil Kilang Minyak

Bijih TimahBarang Tambang Logam LainnyaGaram KasarBarang Galian Segala Jenis

Ikan Kering dan Ikan AsinIkan Olahan dan Awetan

Bahan Bangunan dari Logam

Kapal dan Jasa Perbaikannya

Jasa Angkutan LautJasa Penunjang Angkutan

Jasa Angkutan Sungai dan Danau

Jasa RestoranJasa Hiburan, Rekreasi dan Kebudayaan SwastaJasa Perhotelan

Jalan, Jembatan dan PelabuhanBangunan & Instalasi Listrik, Gas, Air Minum danKomunikasi

Jasa Perdagangan

Jasa PerusahaanJasa Pemerintahan UmumJasa Pendidikan PemerintahJasa Pendidikan Swasta

Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya

Ikan Darat dan Hasil Darat Lainnya

Udang

Jasa Perikanan

Penambangan Migas Lepas Pantai dan Pengilangannya

Tambang Lepas Pantai Lainnya

Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan

Bahan Bangunan Kelautan dari Logam

Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya

Jasa Angkutan Laut dan Penunjang

Jasa Angkutan Sungai dan Danau

Pariwisata Bahari

Penunjang Kegiatan Kelautan dan Perikanan

Jasa Perdagangan Hasil Perikanan dan Maritim

Jasa Pendidikan dan Penelitian Kelautan dan Perikanan

Kelompok Sektor

Sumber: BPS diolah, 2000

ditujukan untuk menciptakan pertumbuhanekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Salahsatu faktor penting dalam hal ini adalahberkembangnya berbagai sektor secara relatifmerata. Pengertian berbagai bukan berarti semuasektor, tapi relatif cukup beragam dan banyaksektor.

Dari analisis I-O dapat diketahui dampakpengembangan suatu sektor terhadap pertumbuhantotal produksi atau total keluaran kegiatan produksidi suatu perekonomian negara; dan terhadapkenaikan total pendapatan masyarakat. Jika untuksemua sektor kelautan dan perikanan hal inidiketahui, maka dapat dilakukan pengurutan dariyang terbesar hingga yang terkecil dalam dampaknya

Tabel 2. Hasil penggabungan dan modifikasi untuk sektor-sektor kelautan dan perikanan dalam Tabel I-O

terhadap pertumbuhan total produksi danpendapatan masyarakat. Kemudian dipilih limasektor teratas (Tabel 3).

Analisis I-O juga menghasilkan beberapasektor kunci. Sektor kunci di sini adalah sektor-sektor penggerak utama berkembangnya sektor-sektor lain di dalam perekonomian. Dari sektor-sektor kunci ini dipilih lima sektor penggerakutama terbaik yang selanjutnya merupakan sektorprioritas jangka panjang. Sebagai catatan, jikasebuah sektor sudah terpilih sebagai sektorprioritas jangka pendek, maka tidak perlu lagidimasukkan ke sektor prioritas jangka panjang(Tabel 4) dan digantikan dengan sektor padaurutan di bawahnya.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 27: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

24

Nama Sektor OM

Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya

Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan danPerikanan

Pariwisata Bahari

Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan

Jasa Pendidikan dan Penelitian Kelautan danPerikanan

1.82

1.79

1.80

1.88

1.45

IDENTIFIKASI PELAKU INVESTASI

Analisis ini tentunya tidak bermaksud untukmembatasi pelaku investasi di sektor prioritas.Siapapun yang mampu dan berhak untukmelakukan investasi dibukakan pintu seluas-luasnyauntuk melakukan investasi. Hanya saja, jika ternyatalaju investasi di sektor prioritas relatif tersendat-sendat, pintu investasi perlu dibukakan lebar-lebaruntuk mereka yang kemungkinan besarberkeinginan melakukan investasi. Untuk ini perludiidentifikasi pihak-pihak yang kemungkinan besarbersedia menjadi pelaku investasi di sektor prioritas.

Dari hasil pengamatan data statistik industriterbitan BPS tahun 1998 dan diskusi denganbeberapa rekan peneliti bidang industri, diketahuiterdapat suatu pola dari para pelaku investasi dibeberapa sektor. Untuk mudahnya, para pelaku inidikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu:Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, SwastaNasional dan Swasta Asing. Pola yang ditemukansecara singkat dapat dilihat dalam Tabel 5.

0.34

0.35

0.28

0.19

0.61

No

1

2

3

4

5

IM

Tabel 3. Sektor prioritas jangka pendek

Catatan: OM adalah Output Multipler dan IM adalah Income Multiplier.

Tabel 4. Sektor prioritas jangka panjang

Nama Sektor BL

Jasa Perdagangan Hasil Perikanan dan Maritim

Penambangan Migas dan Pengilangannya

Jasa Angkutan Laut dan Penunjangnya

Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya

Udang

1.29

1.25

1.44

1.31

1.50

4.22

2.39

1.72

1.56

1.22

No

1

2

3

4

5

FL

Catatan: BL kemampuan mendorong ke sektor inputnya, FL kemampuan mendorong sektor yang dipasok

Dari pola yang ada diamati beberapakarakteristik dari sektor-sektor tersebut, yaitu:1. Prasarana dasar vs

Non prasarana dasar;2. Local resource intensive vs

Non local resource intensive;3. Daerah lokal vs

Lintas daerah/propinsi;4. High capital/technology vs

Non-high capital/technology;5. ROI (Return on Investment) cepat vs

ROI lama; dan6. Industri strategis vs

Industri non-strategis.Untuk selanjutnya, jika diketahui karakteristik

suatu sektor, dapat diduga siapa pelaku investasi yangada di sektor itu atau siapa yang akan melakukaninvestasi di sektor tersebut secara umum. Misalnyapada Tabel 5 terlihat bahwa untuk sektor prasanadasar seperti jalan, listrik dan pelabuhan, umumnyadilakukan oleh pemerintah. Di era otonomi,prasarana dasar lintas wilayah menjadi tanggung

Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan ............................................................................( 17-28)

Page 28: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

25

jawab pemerintah pusat (tepatnya propinsi). Hal-hal yang sifatnya lokal tentu akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Adapun untuk industripadat modal dan berteknologi tinggi, umumnyamelibatkan swasta asing. Di sini swasta asingseringkali bekerja sama dengan pemerintah pusatuntuk kasus sektor dengan rate of return yang relatiflama, atau dengan swasta nasional untuk kasussektor dengan rate of return cepat. Anomali tentunyadapat terjadi dan tidak menjadi masalah.

Pem. Pusat

Pem. Daerah

SwastaNasional

Swasta Asing

· Prasarana dasar· lintas daerah

· Prasarana dasar· Lintas daerah· Industri strategis/non-

strategis

· industri strategis· ROI lama· medium capital/medium

technology

· industri strategis· ROI lama· high capital/high

technology

· Prasarana dasar· sifatnya lokal· local resource intensive

· industri non-strategis· ROI lama· medium capital/ medium

technology· local resource intensive

· industri non-strategis· ROI lama· local resource intensive· high capital/high technology

· ROI cepat/ highprofit

· low/medium capital· low/medium

technology

· industri non-strategis

· high technology/capital

Pemerintah Pusat

Tabel 5. Pola pelaku investasi di Indonesia

Pemerintah Daerah Swasta Nasional Swasta Asing

Melalui Tabel 5 dapat diperkirakan pelakuinvestasi dari sektor prioritas. Perkiraan ini dapatdilihat di Gambar 2. Tanda lingkaran menunjuk-kan adanya kemungkinan kelompok pelaku inimelakukan investasi sendiri di suatu sektor, tanpabekerjasama dengan kelompok pelaku lainnya.Garis yang menghubungkan dua kelompok pelakuatau lebih, menunjukkan kemungkinan adanyakerjasama antar kelompok pelaku yang dihubung-kan dengan berbagai kombinasi kerjasamanya.

Catatan: PP adalah pemerintah pusat, PD pemerintah daerah, SN swasta nasional dan SA swasta asing.

Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya

Bangunan Penunjang KegiatanKelautan dan Perikanan

Pariwisata Bahari

Industri Pengolahan danPengawetan Ikan

Jasa Pendidikan dan PenelitianKelautan dan Perikanan

Jasa Perdagangan Hasil Perikanandan Maritim

Penambangan Migas danPengilangannya

Jasa Angkutan Laut dan Penunjangnya

Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya

Udang

PP PD SN SA

Gambar 2. Perkiraan pelaku investasi di sektor prioritas

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 29: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

26

Sekali lagi, ini adalah perkiraan kasar. Kemungkinanlain dapat saja terjadi.

ARAH PENGEMBANGAN INSENTIFYANG PERLU DIKEMBANGKAN

Untuk dapat memperkirakan arah sisteminsentif yang perlu dikembangkan, tulisan inibersandar pada wawancara dengan para pakar danstudi literatur. Secara umum arah pengembangansistem insentif yang perlu ada sebagai berikut:

Jangka Pendek

Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya:l Kemudahan dalam memperoleh fasilitas

pendirian pabrik-pabrik pembuatan kapal dankomponennya di dalam negeri;

l Pengurangan bea masuk impor bahan bakukomponen kapal; dan

l Penerapan standardisasi kelaikan kapal berdasar-kan fungsi dan ukurannya.

Bangunan Kelautan Penunjang Kegiatan Kelautandan Perikanan:l Perbaikan dan penambahan infrastruktur pen-

dukung investasi, seperti jalan, listrik, pene-rangan, bangunan penunjang, dan sambungantelepon;

l Penghapusan tarif jasa pelabuhan besertapungutan-pungutannya; dan

l Pemberian kesempatan bagi kalangan usaha,khususnya swasta nasional, untuk dapat ikut seramembangun dan mengelola pelabuhan laut,dermaga, dan terminal peti kemas.

Pariwisata Bahari:l Pemberian jaminan keamanan di sekitar obyek-

obyek pariwisata bahari, misalnya denganmenempatkan satuan dan pos pengamanan siaga24 jam di fasilitas-fasilitas umum;

l Pengembangan pola kepemilikan dan penge-lolaan kawasan pariwisata bahari berdasarkan polaTDC (Tourism Development Center);

l Pelibatan pihak swasta nasional dan asing dalampromosi pariwisata bahari. Kegiatan ini dapatdilaksanakan atas kerjasama lintas sektor, olehperusahaan dan institusi swasta dengan dukungan

penuh dari pemerintah pusat maupun daerah;dan

l Pelibatan masyarakat sekitar untuk menjaga danmengembangkan sebaik mungkin kualitaskelestarian alam bahari Indonesia.

Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan:l Pengembangan agribisnis terpadu, yang dilaku-

kan melalui pengembangan sentra produksiperikanan dalam suatu skala ekonomi yangefisien;

l Pemberian fasilitas kredit, terutama kepada parapengusaha kecil untuk dapat mengembangkanusahanya di bidang pengolahan dan pengawetanikan; dan

l Perluasan saluran-saluran pemasaran produk ikanhasil olahan dan awetan antara lain melaluipemberian layanan informasi pasar secara terpadu.

Jasa Pendidikan dan Penelitian Kelautan danPerikanan:l Penyediaan sumberdaya manusia yang ahli di

bidang kelautan dan perikanan;l Penyediaan pusat-pusat pendidikan yang mampu

menyiapkan sumberdaya manusia yang ungguldi bidang kelautan dan perikanan;

l Alokasi dana pendidikan untuk peningkatankualitas dan kuantitas tenaga kerja di sektorkelautan dan perikanan; dan

l Penyediaan sistem data dan informasi terpaduyang mudah diakses mengenai potensi dankondisi kelautan dan perikanan di seluruh Indo-nesia. Data yang ada harus dapat dipercaya danmencerminkan kondisi yang sesungguhnya.

Jangka Panjang

Jasa Perdagangan Hasil Perikanan dan Maritim:l Penurunan bea ekspor terhadap produk hasil

perikanan;l Pemberian fasilitas jaringan perdagangan, mulai

dari produsen lokal sampai ke mitra asing, misal-nya dengan membuka kantor-kantor perwakilanperdagangan di luar negeri yang khusus menanga-ni perdagangan hasil perikanan dan kelautan; dan

l Penggalakan promosi konsumsi ikan di dalamnegeri secara berkesinambungan untuk pengem-bangan pasar di dalam negeri.

Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan .............................................................................( 17-28)

Page 30: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

27

Penambangan Migas dan Pengilangannya:l Pengaturan share antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah mengenai hasil penambangandan pengilangan migas di lepas pantai, denganharapan pemerintah daerah dapat ikut lebih aktifmengembangkan dan mengawasi kegiatanpenambangan lepas pantai; dan

l Peningkatan efisiensi dari kegiatan-kegiatanekonomi yang telah ada di bidang ini.

Jasa Angkutan Laut dan Penunjangnya:l Standardisasi perhubungan, baik menyangkut

standar teknis maupun operasional, dalam rangkameningkatkan keselamatan, kelaikan dan mutuperhubungan serta mendukung sektor industri;

l Pemantapan sistem navigasi laut besertaperangkat kebijaksanaan dan strateginya;

l Pengadaan armada laut oleh pihak swasta nasionalselain BUMN; dan

l Deregulasi dan debirokratisasi di bidang angkutanlaut untuk meningkatkan arus barang/penum-pang di dalam maupun luar negeri.

Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya:l Fasilitas perpajakan, misalnya penangguhan

pembayaran PPN untuk impor barang modal,kapal, dan peralatan mesin yang akan digunakanuntuk kegiatan menghasilkan barang-barangekspor seperti komoditi perikanan.

l Pemberian tax holiday kepada usaha-usahaperikanan yang umumnya mempunyai jangkawaktu lama dan bersifat slow yielding dan penuhketidakpastian; dan

l Standardisasi produk-produk perikanan yangramah lingkungan. Perlu aturan yang jelas dansanksi yang tegas kepada para pencemar laut danpengguna alat tangkap ilegal, seperti pukatharimau dan racun ikan.

Udang:l Pemberian kompensasi kerugian bagi usaha

perikanan rakyat untuk meningkatkankesejahteraan nelayan;

l Standardisasi kualitas udang yang sesuai denganpermintaan pasar internasional;

l Pembukaan usaha kemitraan antara pemerintah,swasta nasional, dan swasta asing dalam usahabudidaya udang yang berorientasi ekspor; dan

l Jaminan keamanan di sekitar lokasi tambak

udang dengan melibatkan peran serta penduduksetempat.

Diharapkan jika sistem insentif yangdikembangkan mengarah pada hal-hal yangdisebutkan di bagian ini, diharapkan sektor-sektorprioritas bidang kelautan dan perikanan dapatberkembang. Dengan demikian, masyarakat lautIndonesia dapat dinaikkan taraf kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA

Aristiarini, A,1999. “Eksplorasi tanpa tinggalkan konservasi.”Kompas, 4 Desember 1999.

BAPPENAS, 2000. Pengelolaan sistem informasi sumberdayaalam daerah, kebutuhan dan permasalahannya. Kerjasamadengan NRM Program dan LPEM FEUI.

BPS, 1995. Tabel Input Output Indonesia.

BPS, 1998. Statistik Industri Pengolahan.

BPS, 1998. Statistik Indonesia 1998.

Dahuri, R. 1999, Visi dan arah pembangunan kelautan Indo-nesia memasuki abad 21. PKSPL-IPB, Bogor.

________________,1999. Membangun kembaliperekonomian nasional melalui reformasi pengelolaanpembangunan perikanan. Makalah pada Dialog ReformasiMasa Depan Pembangunan Perikanan Dalam MendukungKetahanan Nasional. Jakarta. CIDES dan PKSPL-IPB.

________________, 1999. “Pemberdayaan masyarakatpesisir menyongsong pelaksanaan otonomi daerah. “Makalah dalam MUSGA-KAHMI. Bogor.

Direktorat Jenderal Perikanan, 1999. Potensi dan penyebaransumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. ProyekPengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya PerikananLaut, Departemen Pertanian, Jakarta.

Ginting, S.P., 1998. Konflik pengelolaan sumberdaya kelautandi Sulawesi Utara dapat mengancam kelestarianpemanfaatannya. Jurnal Pesisir & Lautan. Vol. 1 No. 2.

Hewings, G. J.D, 1985. Regional Input Output analysis, SagePublications, California.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993.Pemantapan strategi pengelolaan lingkungan wilayah pesisirdan lautan dalam PJP II. Prosiding Lokakarya, Jakarta, Sep-tember.

Kusumastanto, T, 1999. Pembangunan sektor kelautan dalamrangka pemulihan ekonomi nasional dan pengentasankemiskinan masyarakat pesisir. PKSPL-IPB, Bogor.

Leontief, W., 1986. Input-Output Economics, Oxford Uni-versity Press, New York.

Miller, R.E. dan P.D. Blair, 1985. Input-Output Analysis: Foun-dations and extensions, Prentice-Hall, New Jersey.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 31: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

28

Muhtadi, D. “Banyak potensi laut tidak terjamah.” Kompas, 4Desember 1999.

Natural Resource Management Project, 1993. Environmentand development in Indonesia: An Input Output Analy-sis of natural resources issues, NRMP Report No. 31, 1993.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, 1999.Repelita Sektor Kelautan. Jakarta, 1999.

Republika. “Selamatkan Hutan Mangrove.” 29 Desember1996.

Resosudarmo, B.P., Nina I. L. S., dan Budi Rahayu, 2000. TheIndonesian marine resources: An overview of their prob-lems and challenges. The Indonesian Quarterly. VOL.XXVIII, NO. 3. Third Quarter. Center for Strategic andInternational Studies. Jakarta. 2000.

Simanungkalit, S. “Wilayah Laut yang Terancam” Kompas, 3Desember 1999.

Siregar, R. P., 1999. A report on shrimp export target to copewith economics crisis. Jakarta: WALHI, 1999.

Suara Pembaruan,1998. Terumbu karang: Mutiara dasar lautyang terancam punah, 22 April 1998.

Thoha, D., 1999, “Petani Kok Nglawan Aku.” Kompas, 14Desember 1999.

______________. “ Tambak Berkembang, MangroveHilang.” Kompas, 14 Desember 1999.

Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan ............................................................................( 17-28)

Page 32: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

29

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKATDALAM PENGELOLAAN MANGROVE

(Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu,Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)

M. KHAZALIProyek Pesisir, Kalimantan Timur

DIETRIECH G. BENGENPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Institut Pertanian Bogor, e-mail: [email protected]

VICTOR P. H. NIKIJULUWDirektorat Sistem Permodalan dan Investasi

Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan PemasaranDepartemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2001 di Desa Karangsong, Indramayu. Tujuan penelitian adalahuntuk: (1) mengetahui strategi dan kegiatan-kegiatan yang digunakan didalam pengembangan partisipasi masyarakatdalam pengelolaan mangrove, (2) mengetahui hubungan antara strategi yang dijalankan dan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan mangrove, dan (3) menentukan strategi pengembangan partisipasi masyarakat yang optimal dalam pengelolaanmangrove. Strategi dan kegiatan pengembangan partisipasi masyarakat dianalisis secara kualitatif. Hubungan antara strategi yangdijalankan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove dianalisis dengan Analisis Komponen Utama (Prin-cipal Component Analysis). Strategi pengembangan partisipasi yang optimal dianalisis dengan menggunakan SWOT. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa strategi pengembangan yang digunakan adalah strategi pembinaan, pelatihan dan bantuanusaha. Ketiga strategi ini berkorelasi positif dan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan partisipasi meliputi: persiapan, integrasi ke dalam masyarakat, pendidikanmasyarakat, pembentukan kelompok masyarakat, penguatan kapasitas kelompok, kelompok mandiri, monitoring dan evaluasiserta replikasi dan perluasan. Arahan strategi pengembangan partisipasi masyarakat ke depannya adalah meningkatkan partisipasiseluruh kelompok masyarakat (stakeholders ) di dalam pengelolaan mangrove desa sesuai dengan peran dan fungsinya, mendorongpenetapan status tanah areal penanaman di pinggir pantai menjadi jalur hijau, mendorong pemerintah desa dan badan perwakilandesa (BPD) untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove desa dan mendorong pemerintah daerahuntuk membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir (mangrove) kabupaten.Kata-kata kunci: partisipasi masyarakat, pengelolaan ekosistem mangrove, Desa Karangsong.

ABSTRACT

This research was carried out from July to August 2001 in Karangsong village, Indramayu. The objectives of the research were: (1) toassess the strategy and all activities applied in the development of community participatory in mangrove management, (2) to learn therelationship between the strategy applied with community participatory in mangrove management, and (3) to determine the strategyof community participatory development in optimal way in relation with mangrove management. Strategy and community participa-tory development activity was analyzed qualitatively. The relationship between strategy applied and the level of community participa-tory was analyzed by using Principal Component Analysis (PCA). The optimal strategy of participatory development was analyzed byusing SWOT method. The result of the research indicated that the development strategy applied was strategy on management,training and supporting effort. All those three strategies had a positive correlation and affected to the level of community participatoryin mangrove management. Activities in relation with participatory development including preparation, integration to community,community education, formation of community group, strengthening of group capacity, self sustain group, monitoring and evalua-tion, replication and extension. The strategy guideline of community participatory development in the future is to increase theparticipation of stakeholders in mangrove management in the village level according to their roles and functions, to stimulate indetermining the land status of planting area in near shore to be a green belt, to support the village government and the villagerepresentative board to develop village regulations on mangrove management and to support the local government to develop localregulation in relation with mangrove management at the coastal area at district level.Keywords: community participation, mangrove ecosystem management, Karangsong village.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 33: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

30

PENDAHULUAN

Latar BelakangMangrove merupakan salah satu sumberdaya

pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukuptinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderungtidak memperhatikan aspek kelestariannya. Padatahun 1982, luas hutan mangrove Indonesia menu-rut Departemen Kehutanan sekitar 4,25 juta ha.Hasil Inventarisasi Hutan Nasional yang dilakukanoleh departemen yang sama menyebutkan bahwaluas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1996tinggal sekitar 3,53 juta ha. Dengan demikiandalam kurun waktu 14 tahun Indonesia telahkehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha danterjadi hampir di seluruh kepulauan.

Tingginya tingkat degradasi hutan mangrovedan mengingat potensialnya sumberdaya iniuntuk menunjang kesejahteraan masyarakat danproduktivitas lingkungan sekitarnya, maka upayapengelolaan dan pelestarian mangrove selayaknyadiperhatikan dalam pembangunan wilayah pesisir.Salah satu upaya pengelolaan mangrove yangcukup penting diantaranya melalui rehabilitasimangrove.

Diketahui bahwa sebagian program-programpengelolaan wilayah pesisir selama ini, termasukhutan mangrove, cenderung tidak berkesinam-bungan. Penyebab ketidakberlanjutan ini diantaranya adalah tidak dilibatkannya masyarakatsetempat dalam perencanaan dan pelaksanaankegiatan. Dengan kata lain pendekatan yangdilakukan masih besifat top down. Menyadari haltersebut, maka upaya pelibatan masyarakat setempatdalam pengelolaan mangrove penting untukdikembangkan.

Perumusan MasalahKeberhasilan rehabilitasi mangrove ditentukan

oleh banyak faktor. Salah satu faktor tersebut adalahadanya partisipasi masyarakat setempat. Tanpaadanya upaya pemeliharaan atau perlindungantanaman secara terus menerus, maka upayarehabilitasi mangrove kecil kemungkinannya akanberhasil. Untuk itu hal yang perlu diperhatikanadalah bagaimana mengembangkan partisipasimasyarakat agar terlibat secara aktif dalam kegiatanrehabilitasi mangrove, serta memperoleh manfaatdari keterlibatan tersebut.

Kegiatan rehabilitasi mangrove denganmelibatkan masyarakat setempat umumnyaditangani oleh pemerintah melalui lembaga-lembagayang dibentuknya ataupun melalui (LembagaSwadaya Masyarakat) LSM. LSM dalam pelaksa-naan kegiatan, umumnya dimulai dari suatupersiapan sosial yang terencana dan pembinaankelompok secara intensif. Hal ini dilakukanmengingat cakupan kegiatan LSM umumnyabersifat terbatas, berhubungan langsung denganmasyarakat, sifat organisasinya yang kecil dandinamis serta dibangun atas idealisme tertentu.Kegiatan pelibatan masyarakat dalam rehabilitasimangrove dilakukan Wetlands International - In-donesia Programme (WI-IP) sejak tahun 1998sampai saat ini di Desa Karangsong. Upaya pelibatanmasyarakat yang dilakukan oleh LSM ini dikajisebagai upaya memperoleh pembelajaran.

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusanmasalahnya adalah sebagai berikut:1. Bagaimana strategi yang digunakan di dalam

pengembangan partisipasi masyarakat dalampengelolaan mangrove?

2. Kegiatan-kegiatan apa saja yang dijalankan untukmendukung strategi pengembangan partisipasimasyarakat di atas?

3. Apakah strategi yang dijalankan sudah cukupoptimal di dalam pengembangan partisipasimasyarakat di atas?

Tujuan dan Manfaat PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk:1. Mengetahui strategi dan kegiatan-kegiatan yang

digunakan di dalam pengembangan partisipasimasyarakat dalam pengelolaan mangrove di DesaKarangsong, Indramayu.

2. Mengetahui hubungan antara strategi yangdijalankan dengan partisipasi masyarakat dalampengelolaan mangrove.

3. Menentukan strategi pengembangan partisipasimasyarakat yang optimal dalam pengelolaan man-grove.

Penelitian ini diharapakan dapat memberimanfaat dan sebagai bahan masukan bagi berbagaipihak yang mengembangkan kegiatan pengelolaan(rehabilitasi) mangrove dengan melibatkanmasyarakat setempat.

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove ..................................................(29-42)

Page 34: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

31

Kerangka PendekatanTerdapat 2 jenis tekanan utama yang menjadi

penyebab terjadinya degradasi hutan mangrove,yaitu tekanan eksternal dan tekanan internal (Bengendan Adrianto, 1998). Tekanan eksternal adalahtekanan yang datang dari luar ekosistem mangroveitu sendiri, seperti konversi hutan mangrove menjadipemukiman, tambak udang, industri atau rekreasi.Tekanan internal adalah tekanan mangrove yangbersumber dari masyarakat sekitar hutan mangroveuntuk memanfaatkan ekosistem. Berdasarkanpenyebab degradasi hutan mangrove di atas, makadiperlukan tindakan-tindakan untuk mengurangikedua jenis tekanan tersebut sesuai dengan sumbermasalahnya. Dalam meminimisasi tekanan inter-nal diperlukan pembinaan masyarakat yang bersifatandragogi, yaitu pembinaan yang berorientasi padainisiatif sendiri dalam mendiagnosis kebutuhan,tujuan, strategi dan penilaian belajar.

Untuk mengembangkan partisipasi masya-rakat dalam pengelolaan (rehabilitasi) mangrove

diperlukan suatu strategi dan kegiatan-kegiatan yangdapat merangsang masyarakat agar terlibat dalamkegiatan rehabilitasi mangrove. Bengen (2001)menyatakan bahwa masalah pengelolaan hutanmangrove secara lestari adalah bagaimanamenggabungkan antara kepentingan ekologisdengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat disekitar hutan mangrove. Untuk itu strategi yangditerapkan harus mampu mengatasi masalah sosialekonomi masyarakat selain tujuan konservasi hutanmangrove tercapai. Dengan demikian, strategi dankegiatan-kegiatan pengembangan partisipasimasyarakat dalam pengelolaan mangrove tidakhanya semata-mata meningkatkan pemahaman dankesadaran masyarakat akan pentingnya hutan man-grove serta kemampuan dalam mengelolanya,namun juga memberdayakan kehidupan sosialekonomi mereka. Berdasarkan konsep diatas, makadari kajian yang dilakukan diharapkan dapatmemberikan rekomendasi dan pembelajaran dalampengembangan partisipasi masyarakat (Gambar 1).

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Hutan

Mangrove

Tekanan Eksternal: • konversi • pencemaran

Tekanan Internal: • kesadaran/pengeta-

huan rendah • kondisi sosek rendah

Degradasi Mangrove

Pengelolaan Mangrove

Strategi

Pengembangan

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi Masyarakat Rehabilitasi

Mangrove

Kajian Strategi Pengembangan

Gambar 1. Diagram Kerangka Pendekatan Masalah

Ekosistem

Page 35: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

32

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan di Desa Karangsong,

Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu,Propinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan tempatWI-IP melaksanakan kegiatan pengelolaan(rehabilitasi) mangrove dengan melibatkanmasyarakat setempat sejak Juli 1998 sampai saat ini.Kegiatan penelitian lapangan dilakukan selama 2bulan dari Juli sampai Agustus 2001.

Pengambilan Responden (key person)Pengambilan responden dilakukan dengan

stratifikasi acak (stratified random sampling)(Bengen, 2000). Responden disekat/dilapis kedalam beberapa kelompok berdasarkan jenis matapencaharian, dan dari setiap lapisan diambil sampel/responden dengan pengambilan contoh acaksederhana. Jumlah responden diambil sebesar 10% bila jumlah populasi lebih dari 100 jiwa padasatu kelompok mata pencaharian dan 20 % bilajumlah populasi kurang dari 100 jiwa pada satukelompok mata pencaharian. Keseluruhan jumlahresponden adalah 78 orang.

Pengumpulan Data dan InformasiData yang dikumpulkan adalah data primer

dan data sekunder. Data primer dikumpulkanmelalui pengumpulan jawaban yang diberikan olehresponden melalui kuesioner, wawancara secaramendalam serta observasi langsung di lapangan.Data sekunder dikumpulkan melalui studi berbagaipustaka, baik dari hasil-hasil penelitian terdahulumaupun tulisan-tulisan lain yang relevan denganpermasalahan yang diteliti, dan melalui laporan-laporan instansi terkait.

Analisis DataMetode analisis data yang digunakan dalam

penelitian adalah:1. Untuk melihat strategi pengembangan partisipasi

masyarakat yang digunakan dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dianalisis secarakualitatif.

2. Untuk melihat hubungan antara strategi yangdijalankan dan partisipasi masyarakat dalampengelolaan (rehabilitasi) mangrove digunakanAnalisis Komponen Utama (Principal Compo-

nent Analysis) (Ludwig dan Reynold, 1988;Bengen, 2000).

3. Untuk mengkaji kekuatan dan kelemahan daristrategi yang dijalankan dilakukan denganmenggunakan analisis KeKePAn (SWOT). Darianalisis ini kemudian direkomendasikan arahanstrategi pengembangan partisipasi masyarakatyang optimal (Rangkuti, 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Strategi Pengembangan Partisipasi MasyarakatPengembangan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan mangrove dilakukan melalui strategipersuasif, edukatif dan fasilitatif.

l Strategi PersuasifStrategi persuasif dilakukan dalam bentukpembinaan-pembinaan. Kegiatan pembinaanmerupakan upaya untuk meningkatkanpemahaman dan kesadaran dari kelompok sasaranterhadap pesan yang disampaikan. Materipembinaan meliputi penyuluhan tentangpentingnya hutan mangrove dan pelestariannya,pengelolaan tambak yang ramah lingkungan sertapentingnya organisasi/kelompok masyarakat.

l Strategi EdukatifStrategi edukatif dilakukan dalam bentukpelatihan-pelatihan. Melalui pelatihandiharapkan dapat meningkatkan ketrampilankelompok sasaran terhadap suatu aspek tertentu.Kegiatan pelatihan yang telah dilakukan adalahpeningkatan pemahaman dan ketrampilankelompok sasaran di bidang rehabilitasi mangroveseperti seleksi buah, pembibitan dan penanaman;pelatihan peningkatan pemahaman danketrampilan di bidang perikanan, yaitu budidayaudang tambak ramah lingkungan dan budidayabandeng; pelatihan pengembangan kemampuandalam pengelolaan kelompok, seperti adminis-trasi, pengelolaan keuangan, kepengurusan danaturan main pelaksanaan program.

l Strategi FasilitatifStrategi fasilitatif dilakukan dalam bentukpemberian bantuan usaha yang merupakan salahsatu upaya dalam meningkatkan partisipasimasyarakat dalam rehabilitasi mangrove.Bantuan usaha yang diberikan umumnyaberkaitan dengan program rehabilitasi mangrove,

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove ..................................................(29-42)

Page 36: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

33

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

baik secara langsung maupun tidak langsung.Selain itu bantuan ini juga ditujukan untukmeningkatkan kondisi sosial ekonomi kelompoksasaran. Bantuan usaha tersebut ada yang berasaldari WI-IP sendiri, ada yang berasal darilembaga-lembaga lain yang difasilitasi oleh WI-IP dan ada yang berasal dari program kelompokmasyarakat.

Jumlah responden yang mengikuti kegiatanpembinaan, pelatihan dan mendapatkan bantuanusaha dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3.

Kegiatan Pengembangan PartisipasiKegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam

pengembangan partisipasi masyarakat dimulai dariproses sosialisasi, penyadaran masyarakat danpendampingan kelompok hingga mandiri.

Kegiatan dimulai dari persiapan, integrasi kedalam masyarakat, pendidikan masyarakat,pembentukan kelompok masyarakat, penguatankapasitas kelompok, kelompok mandiri, monitor-ing dan evaluasi serta replikasi dan perluasan pro-gram.

Tahapan persiapan dalam pembentukan timpelaksana kegiatan, dan penyamaan persepsi anggotatim terhadap konsep program secara menyeluruhdan strategi pelaksanaan yang akan digunakanberlangsung selama 3 bulan. Integrasi ke dalammasyarakat merupakan langkah awal memulaikegiatan di lapangan dan sebagai upaya untukmembangun hubungan dan kerjasama ke depandengan masyarakat, sekolah maupun pemerintahdaerah. Pada tahapan ini dilakukan pemahamansecara mendalam terhadap peta sosial masyarakatdan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomidan lingkungan yang terjadi di desa. Pendidikanmasyarakat sebagai upaya untuk meningkatkanpemahaman dan kesadaran masyarakat akanpentingnya hutan mangrove, pelestarian danrehabilitasinya, serta pentingnya masyarakatberkelompok untuk menghadapi permasalahan-permasalahan mereka melalui pertemuan-pertemuan/diskusi-diskusi yang lebih bersifat non-formal. Pada tahapan ini terbentuk kelompokdiskusi, selain itu proses integrasi ke dalammasyarakat terus berlangsung. Melalui pertemuanintensif dengan kelompok diskusi akhirnyakelompok masyarakat berhasil didorong untukdibentuk. Hal ini terjadi setelah 6 bulan sejak

kegiatan di lapangan pertama kali dimulai. Tahapanselanjutnya adalah penguatan kapasitas kelompokmelalui pemberian beberapa program kegiatandengan pendampingan intensif yang dilakukanmelalui pendekatan ‘belajar sambil melaksanakan’(learning by doing). Dengan pengalaman yangdiperoleh dari pengelolaan program, jatuh-bangunnya kelompok serta dana kas yang memadai,akhirnya kelompok masyarakat menjadi mandirisetelah 28 bulan sejak didirikan. Sejak saat tersebutperan tim pendamping bergeser menjadi mitra.Melihat keberhasilan kelompok, hal ini mendorongmasyarakat lain di desa untuk membentukkelompok dan kemudian membentuk forumkelompok masyarakat. Keseluruhan tahapankegiatan dapat dilihat pada Tabel 4.

Kegiatan pengembangan partisipasi masyarakatjuga melibatkan sekolah. Kegiatan pelibatan sekolahdimulai dari berkenalan dengan guru-guru danpelibatan 2 orang guru dalam diskusi-diskusiintensif. Dari tahapan ini selanjutnya berkembangbeberapa kegiatan. Pertama, kegiatan perindangansekolah, perbaikan sarana dan prasarana sekolah danpenanaman mangrove dengan melibatkan anak-anaksekolah. Kedua, pengembangan satuan pelajarandengan materi-materi lingkungan secara terintegrasi.Pada kegiatan ini berbagai konsep dan contohdijelaskan, kemudian guru mencoba mengem-bangkan materi berdasarkan penjelasan tersebut.Selain itu, juga diperkenalkan berbagai variasimetode dan media yang dapat diterapkan baik didalam maupun di luar kelas. Ketiga, masuk kekelas-kelas mengenalkan berbagai tema lingkunganhidup dengan metode ‘belajar sambil bermain’.Salah satu tema yang disampaikan adalah menerang-kan gambar dan poster tentang mangrove dantambak. Keempat, memberikan program rehabi-litasi mangrove untuk dikelola sekolah. Dalamkegiatan ini, sekolah selain melakukan penanamanjuga membuat pembibitan mangrove denganmelibatkan anak-anak sekolah.

Permasalahan yang dihadapi dalam pelibat-an sekolah ini pada awalnya adalah kurangnyadukungan dari kepala sekolah. Permasalahanselanjutnya adalah kurang dikembangkannyamateri pelajaran lingkungan secara terintegrasi,karena terbatasnya referensi dan waktu yangdimiliki guru. Permasalahan pertama diatasidengan melibatkan pengawas sekolah secara aktif,

Page 37: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

34

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove ..................................................(29-42)

UraianResponden (key person)

Seleksi Buah dan PembibitanMangrove· ikut· tidak pernah ikut

Penanaman Mangrove· ikut· tidak pernah ikut

Budidaya Ikan/Udang· ikut· tidak pernah ikut

Manajemen Kelompok· ikut· tidak pernah ikut

Frekuensi Ikut· lebih dari 2 kali· 1 – 2 kali

-27 (100%)

-27 (100%)

-27 (100%)

-27 (100%)

--

6 (33,33%)12 (66,67%)

14 (77,78%)4 (22,22%)

13 (72,22%)5 (27,78%)

7 (38,89%)11(61,11%)

6 (37,50%)10 (62,50%)

Nelayan Petambak PNS/Swasta Buruh Pedagang

-7 (100%)

2 (28,57%)5 (71,43%)

1 (14,29%)6 (85,71%)

-7 (100%)

-3 (100%)

2 (14,29%)12 (85,71%)

3 (21,43%)11(78,57%)

3 (21,43%)11 (78,57%)

2 (14,29%)12 (85,71%)

2 (66,67%)1 (33,33%)

-12 (100%)

4 (33,33%)8 (66,67%)

-12 (100%)

-12 (100%)

-4 (100%)

Tabel 1. Responden yang mengikuti kegiatan pembinaan

UraianResponden (key person)

Pelestarian Mangrove· ikut· tidak pernah ikut

Organisasi/Kelompok· ikut· tidak pernah ikut

Lama Mengikuti· lebih dari 1 tahun· kurang dari 1 tahun

1 (3,70%)26 (96,30%)

22 (81,48%)5 (18,52%)

-22 (100%)

14 (77,78%)4 (22,22%)

15 (83,33%)3 (16,67%)

8 (44,44%)10 (55,56%)

Nelayan Petambak PNS/Swasta Buruh Pedagang

4 (57,14%)3 (42,86%)

1 (14,29%)6 (85,71%)

-5 (100%)

7 (50,00%)7 (50,00%)

3 (21,43%)11 (78,57%)

2 (25,00%)6 (75,00%)

3 (25,00%)9 (75,00%)

-12 (100%)

-3 (100%)

Tabel 2. Responden yang mendapatkan bantuan usaha

UraianResponden (key person)

· lebih dari Rp 500.000

· kurang dari Rp 500.000

· tidak pernah

-

-

27 (100%)

11 (61,11%)--

7 (39,99%)

Nelayan Petambak PNS/Swasta Buruh Pedagang

-

4 (57,14%)

3 (42,86%)

2 (14,29%)

-

12 (85,71%)

-

-

12 (100%)

Tabel 3. Responden yang mengikuti kegiatan pelatihan

Page 38: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

35

sedangkan permasalahan kedua belum teratasisampai saat ini.

Komponen lain yang dilakukan dalampengembangan partisipasi adalah mendorongadanya dukungan dari pemerintah daerah terhadapkegiatan rehabilitasi mangrove. Selain programrehabilitasi mangrove, Pemda juga mengeluarkanInstruksi Bupati Indramayu No. 4 Tahun 1999tentang Pengelolaan Kawasan Pantai. Dalaminstruksi ini diantaranya disebutkan jalur hijau man-grove minimal 100 meter dari titik pasang tertinggike arah darat dan melaksanakan gerakan penanamanmangrove. Sayangnya instruksi ini tidak diketahuioleh seluruh responden (key person). Wawancaradengan dinas-dinas terkait menyebutkan bahwasosialisasi instruksi ini memang belum pernahdilakukan.

Kegiatan Penanaman MangroveSecara umum lokasi penanaman yang

dilakukan masyarakat dibagi menjadi 4 area, yaitu:(1) di pantai sebelah selatan sungai, (2) di pantai

sebelah utara sungai, (3) di saluran-saluran air wilayahpertambakan, dan (4) di dalam tambak. Jumlahtanaman yang ditanam di pantai sebelah selatansungai sebanyak 62.000 buah/bibit (6,2 ha), jaraktanam 1x1 m, persen tumbuh 80 % dan sudahdilakukan penyulaman sebanyak 5 kali denganbantuan berbagai pihak dan swadaya kelompok.Jumlah tanaman yang ditanam di pantai sebelahutara sungai sebanyak 30.000 buah/bibit (2,5 ha),jarak tanam 1 x 1 m, persen tumbuh 70 % dansudah dilakukan penyulaman sebanyak 1 kali secaraswadaya oleh kelompok. Jumlah tanaman yangditanam di saluran-saluran air wilayah pertambakansebanyak 8.000 buah/bibit, jarak tanam 1 x 1 m,persen tumbuh 75 % dan sudah dilakukanpenyulaman sebanyak 4 kali dengan bantuanberbagai pihak dan swadaya kelompok. Jenis yangditanam di ketiga areal menggunakan bakau(Rhizophora apiculata dan R. mucronata). Pada saatini kelompok memiliki bibit sebanyak 3.000batang dan rencananya akan ditingkatkan menjadi20.000 batang untuk penyulaman.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

· Kunjungan keKepala Desa

· Identifikasitokoh-tokohmasyarakat

· Kunjungan ketokoh-tokohmasyarakat

·Memperkenalkanprogram dantujuannya

· Berpartisipasidalamkehidupanmasyarakat

· Pendekatanterhadap SD

· PendekatanterhadapPemda

· Pertemuan dandiskusi formaldenganmasyarakatluas

· Pertemuan/diskusi intensifsecara formaldengan wakilmasyarakat

· Pertemuan/diskusiinformaldengananggotamasyarakat

· Studi banding

· Pertemuankelompokdiskusi denganmasyarakatluas

· Pembentukandanformalisasikelompok

· Penyusunanrencana kerjakelompok

· Pengenalankelompok kedinas-dinaspemerintahdaerah terkait

· Pelatihan teknisrehabilitasimangrove

· Perencanaan danpelaksanaanpenanamanmangrove

· Pengelolaanprogrampenanamanmangrove

· Pengumpulan modal

· Pembenahan aturanmain

· Pelatihanketrampilanbudidaya perikanan

· Pengembanganprogram ekonomi

· Fasilitasi hubungandengan lembagalain

· Fasilitasimendapatkan modal

PersiapanIntegrasi ke

dalammasyarakat

PendidikanMasyarakat

PembentukanKelompok

Masyarakat

PenguatanKapasitasKelompok

KelompokMandiri

Monitoring danEvaluasi

Replikasi danPerluasan

· Penetapankeanggotaandefinitif

· Penyusunan/perencanaanprogram, baikprogramekonomi,sosial danpelestarianlingkungan

· Pelaksanaanprogram

· Membinahubungandenganlembaga lain

Pemantauanhasil-hasil yangdicapai danpermasalahanyang dihadapidari kegiatan

· Evaluasi hasil-hasil yangdicapai daritujuan program

· Evaluasi kegiatansecara umum(kelemahan dankekuatanpelaksanaanprogram)

· Pembentukankelompok-kelompokbaru

· Perluasanprogram

· Pembentukantim lapangan

· Penyamaanpersepsi tim

· Penyusunanrencana umumkegiatan

· Survey danpenetapanlokasi kegiatan

· Penyusunanrencana tekniskegiatan

Tabel 4. Tahapan dan kegiatan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove

Page 39: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

36

Permasalahan yang dihadapi dalampenanaman di pantai sebelah utara sungai adalahadanya gempuran ombak besar yang membawatunggul-tunggul kayu yang menyebabkan 50 %tanaman yang baru ditanam roboh, sedangkan dipantai sebelah selatan sungai relatif aman karenaterlindung gosong pasir kecuali adanya sedikit

pergeseran pasir ke arah tanaman. Adapunpermasalahan yang dihadapi di saluran-saluran airdi wilayah pertambakan adalah adanya kambingyang memakan daun tanaman dan penjala yangmerusak tanaman. Dalam mengatasi ombak,kelompok membuat pagar dari bambu yangmelindungi tanaman dan melakukan penyulaman

Tabel 5. Tingkat pembinaan, pelatihan dan bantuan usaha responden (key person)

UraianResponden (key person)

1 (3,7%)2 (7,41%)

19 (70,37%)5 (18,52%)

---

27 (100%)

---

27 (100%)

9 (50,00%)3 (16,67%)6 (33,33%)

-

7 (38,89%)6 (33,33%)1 (5,56%)4 (22,22%)

5 (27,78%)3 (33,33%)3 (33,33%)7 (38,89%)

Nelayan Petambak PNS/Swasta Buruh Pedagang

-1 (14,29%)4 (57,14%)2 (28,57%)

--

3 (42,86%)4 (57,14%)

--

4 (57,14%)3 (42,86%)

2 (14,29%)1(7,14%)

5 (35,71%)6 (42,86%)

2 (14,29%)1 (7,14%)1 (7,14%)

10 (71,43%)

1(7,14%)-

1(7,14%)12 (85,72%)

--

3 (25,00%)9 (75,00%)

--

4 (33,34%)8 (66,67%)

---

12 (100%)

Skor

Pembinaan· tinggi· sedang· rendah· tidak pernah

Pelatihan· tinggi· sedang· rendah· tidak pernah

Bantuan Usaha· tinggi· sedang· rendah· tidak pernah

4321

4321

4321

1

2

3

No

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove ..................................................(29-42)

Tabel 6. Tingkat partisipasi responden dalam rehabilitasi mangrove

PartisipasiResponden (key person)

--

27 (100%)

--

27 (100%)

--

27 (100%)

1 (3,70%)2 (7,41%)

24 (88,89%)

7 (38,89%)1 (5,56%)

10 (55,55%)

7 (38,89%)6 (33,33%)5 (27,78%)

6 (33,33%)2 (11,11%)

10 (55,56%)

9 (50,00%)5 (27,78%)4 (22,22%)

Nelayan Petambak PNS/Swasta Buruh Pedagang

--

7 (100%)

-2 (28.57%)5 (71,43%)

--

7 (100%)

3 (42,86%)2 (28,57%)2 (28,57%)

2 (14,29%)1 (7,14%)

11 (78,57%)

-2 (14,29%)

12 (85,71%)

--

14 (100%)

4 (28,57%)2 (14,29%)8 (57,14%)

--

12 (100%)

-4 (33,33%)

8 (66,67%)

2 (16,66%)2 (16,67%)

8 (66,67%)

-2 (16,67%)

10 (83,33%)

Skor

Perencanaan· tinggi· sedang· rendah

Penanaman· tinggi· sedang· rendah

Pemeliharaan· tinggi· sedang· rendah

Pemanfaatan· tinggi· sedang· rendah

321

321

321

321

1

2

3

4

No

Page 40: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

37

yang lebih rapat. Dalam mengatasi permasalahankambing dilakukan penyulaman lebih jauh daritanggul saluran sehingga tidak terjangkau kambingdan membuat pagar di sepanjang tanggul saluran,sedangkan untuk mengatasi penjala dilakukandengan tidak menyulam pada lokasi tertentu sebagaitempat menjala.

Hubungan antara Strategi Pengembangan danPartisipasi Masyarakat

Secara umum tingkat pembinaan, pelatihan,bantuan usaha dan partisipasi dalam perencanaan,partisipasi dalam penanaman, partisipasi dalampemeliharaan serta partisipasi dalam pemanfaatanprogram yang tinggi adalah responden yangberasal dari kelompok petambak. Jumlahresponden yang mengikuti pembinaan danpelatihan, mendapatkan bantuan usaha sertatingkat partisipasi dapat dilihat pada Tabel 5 dan6.

Dari hasil Analisis Komponen Utama (PCA)diketahui bahwa variabel pembinaan berkorelasipositif dengan partisipasi responden dalampemanfaatan, perencanaan, penanaman danpemeliharaan, yaitu masing-masing sebesar 0,736;0,714; 0,675 dan 0,510. Variabel pelatihanberkorelasi positif dengan partisipasi responden

dalam penanaman, perencanaan, pemanfaatan danpemeliharaan, yaitu masing-masing sebesar 0,943;0,794; 0,741 dan 0,664.

Variabel bantuan berkorelasi positif denganpartisipasi responden dalam perencanaan,penanaman, pemanfaatan dan pemeliharaan, yaitumasing-masing sebesar 0,890; 0,864; 0,737 dan0,687.

Variabel pembinaan (BINA), pelatihan(LATIH) dan bantuan usaha (BANTU) merupakankomponen utama yang membedakan karakteristikdari tiap responden pada seluruh tahapan partisipasidalam rehabilitasi mangrove (PAR-1, PAR-2, PAR-3 dan PAR-4). Hasil yang diperoleh menunjukkanvariabel partisipasi dalam penanaman, pelatihan,bantuan usaha, partisipasi dalam perencanaan,partisipasi dalam pemanfaatan dan pembinaanmemberikan kontribusi utama dalam pembentukankomponen pertama dengan korelasi antara variabeldan sumbu berturut-turut sebesar 0,8852; 0,8707;0,8703; 0,8277; 0,6819 dan 0,6739.

Interpretasi strategi atau variabel yang berperandalam partisipasi masyarakat dapat diamati padakorelasi variabel pada bidang faktorial 1-2 (sumbu1-2) (Gambar 1); sedangkan kajian individu darisetiap kelompok masyarakat dari keseluruhanvariabel dapat dilihat pada representasi grafik pada

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Gambar 1. Korelasi variabel strategi pengembangan partisipasi pada bidang faktorial 1-2 (F1-F2)

F2

F1

Page 41: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

38

Gambar 2.Pada Gambar 1 terlihat bahwa variabel atau

faktor yang berperan terhadap partisipasi masyarakatdalam pengelolaan (rehabilitasi) mangrove adalahpembinaan, pelatihan, bantuan usaha, partisipasiperencanaan, partisipasi penanaman, partisipasipemeliharaan dan partisipasi pemanfaatan. Darikeseluruhan variabel terlihat bahwa variabelpartisipasi penanaman, pelatihan, bantuan usaha danperencanaan memiliki nilai korelasi yang besardengan sumbu 1 negatif, yaitu -0,9409; -0,9331; -0,9329, dan; -0,9098. Jika dilihat dari titik-titikindividu (Gambar 2), nampak bahwa respondenyang tingkat pelatihan, bantuan usaha, partisipasiperencanaan dan partisipasi penanamannya tinggi

adalah responden dari kelompok petambak yangtelah mendapatkan pembinaan lebih dari 1 tahun,mengikuti pelatihan lebih dari 2 kali danmendapatkan bantuan usaha lebih dari Rp 500.000.

Kecenderungan lebih tingginya tingkatpartisipasi responden dari kelompok petambak padakeseluruhan tahapan partisipasi disebabkan karenalebih diprioritaskannya kelompok tersebut selamaini di dalam kegiatan-kegiatan pembinaan, pelatihandan bantuan usaha yang dijalankan dalammengembangkan partisipasi masyarakat dalamrehabilitasi mangrove. Penekanan ini berdasarkanpertimbangan bahwa kelompok petambaklah yangpaling utama merasakan secara langsung dampakdari rusaknya hutan mangrove di desa, yaitu

Keterangan:- Responden No. 2 menutupi responden No. 20 dan 31- Responden No 3 menutupi Responden No. 5, 12, 19, 21, 22, 24, 25, 27, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36,

37, 39, 40, 41, 42, 44, dan 61- Responden No. 6 menutupi Responden No. 7, 9, 11, dan 14- Responden No. 10 menutupi Responden No. 13- Responden No. 16 menutupi Responden No. 18- Responden No. 26 menutupi Responden No. 28, 38, 43, 45, 48., 49, 53, 54, 55, 57, 59, 60, 67, 68, 69,

70, 72, 75, 77 dan 78- Responden No. 47 menutupi Responden No. 52- Responden No. 51 menutupi Responden No. 62- Responden No. 65 menutupi Responden No. 66- Responden No. 74 menutupi Responden No. 76

Gambar 2. Distribusi individu empat kelompok masyarakat pada bidang faktorial 1-2 (F1-F2)

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove .................................................(29-42)

F1

F2

Page 42: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

39

terjadinya abrasi yang menyebabkan rusaknyatambak mereka.

Secara keseluruhan ketiga strategi pengem-bangan partisipasi masyarakat yang dilakukanberkontribusi atau berpengaruh terhadap partisipasimasyarakat dalam pengelolaan (rehabilitasi) man-grove. Strategi pembinaan yang dilakukan dapatdilihat sebagai upaya untuk menumbuhkan danmeningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dannilai ekosistem mangrove, sehingga perludilestarikan. Strategi pelatihan dapat dilihat sebagaiupaya untuk meningkatkan kemampuanmasyarakat dalam melaksanakan pengelolaan(rehabilitasi) mangrove serta menjaganya. Strategibantuan usaha dapat dilihat sebagai upaya untukmembantu usaha/ekonomi masyarakat.

Hidayati (1999) menyatakan bahwa salah satulangkah yang dapat dilakukan agar masyarakat dapatberpartisipasi dalam pengelolaan berbasiskanmasyarakat adalah melalui pemberdayaanmasyarakat. Disebutkan dalam pemberdayaanmasyarakat perlu memperhatikan lima unsur dalamimplementasinya, yaitu: (1) meningkatkankesejahteraan masyarakat, dengan tujuan utamaadalah memberikan alternatif usaha yang secaraekonomi menguntungkan dan secara ekologi ramahterhadap lingkungan, (2) memberikan akses kepadamasyarakat seperti akses terhadap informasi, aksesterhadap harga dan pasar, akses terhadap pengawasan,penegakan dan perlindungan hukum serta aksesterhadap sarana dan prasarana pendukung lainnya,(3) menumbuhkan dan meningkatkan kesadaranmasyarakat akan arti dan nilai sumberdaya eko-sistem sehingga pelestariannya sangat diperlukan, (4)menumbuhkan dan meningkatkan partisipasimasyarakat dalam menjaga, mengelola danmelestarikan sumberdaya/ekosistem, dan (5)menumbuhkan dan meningkatkan kemampuanmasyarakat dalam mengelola dan melestarikansumberdaya/ekosistem. Sejalan dengan hal tersebut,Bengen (2001) menyebutkan bahwa masalahpengelolaan hutan mangrove secara lestari adalahbagaimana menggabungkan antara kepentinganekologis (konservasi hutan mangrove) dengankepentingan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Dalam pelaksanaan, ketiga strategi dijabarkanmelalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan secarabertahap. Proses ini dilakukan untuk menyesuaikantingkat kecepatan masyarakat dalam menangkap

pesan-pesan yang disampaikan dan merupakanproses pembelajaran. Erftemeijer dan Bualuang(1998) mengatakan bahwa untuk meningkatkanpartisipasi masyarakat yang efektif dalampengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya pesisirmerupakan suatu proses panjang yang hanya dapatdicapai melalui program-program skala besar de-ngan suatu pendekatan peningkatan yang bertahap.Oleh Groot dan Zanen (1989) disebutkan,meningkatkan partisipasi masyarakat membutuh-kan pendekatan pembelajaran dengan memberikanbentuk pada sebuah program yang dirancangfleksibel dan memiliki komitmen jangka panjang.

Menurut Hidayati (1999) dalam pengem-bangan partisipasi masyarakat perlu mengiden-tifikasi dan menginventarisasi serta memahamistakeholders. Identifikasi dan inventarisasi stake-holders untuk mengetahui apa keterlibatan danalasan mengapa stakeholders tersebut terlibatdalam perusakan, pengelolaan dan pelestariansumberdaya. Dari pemahaman ini dapat diketahuipotensi apa yang dapat disumbangkan masing-masing stakeholders untuk menunjang pelak-bsanaan pembangunan berbasiskan masyarakat.

Dilihat dari peran masing-masing stakeholdersdalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrovediketahui bahwa belum seluruh stakeholders yangada di desa berpartisipasi sesuai dengan perannya.Dari Gambar 2 (titik nomor 53 - 56) dan dataterlihat responden dari kelompok PNS/Swasta ataupetambak yang juga menjadi anggota BPD, danresponden dari kelompok pemerintahan desamemiliki tingkat partisipasi dalam perencanaan yangrendah. Partisipasi dalam hal ini bukan hanyadalam arti perencanaan kegiatan penanaman, namunjuga dalam arti perencanaan pengelolaan mangrovedesa dalam jangka panjang.

Partisipasi responden dari kelompok nelayandan buruh umumnya juga rendah pada keseluruhantahapan partisipasi. Kegiatan pembinaan yangdilakukan terhadap kedua kelompok ini belumsampai pada tahap meningkatkan pemahaman dankesadaran mereka terhadap pentingnya mangrove.Sebagai contoh, pembinaan terhadap nelayansampai saat ini baru pada tahap pentingnya merekaberkelompok guna memperkuat posisi mereka.Pembinaan yang berkaitan dengan pentingnya hutanmangrove, terutama yang berkaitan denganhubungan mangrove dengan kelimpahan biota laut

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 43: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

40

di perairan sekitar pantai dan upaya pelestariannyabelum dilakukan.

Selain kegiatan pembinaan, nampak bahwatingkat pelatihan yang diikuti dan bantuan usahayang diterima oleh kedua kelompok responden ini(lihat Tabel 5) sebagian besar adalah tidak pernahdan rendah. Gambar 2 menunjukkan titik-titikresponden (nomor 19 - 45 dan 67 - 78) umumnyaberada di sumbu 1 positif dan sumbu 2 negatif.Hasil analisis diketahui bahwa kedua kegiatan inisangat berperan terhadap partisipasi dalamperencanaan dan penanaman.

Diketahui bahwa kelompok nelayan danburuh berpotensi secara langsung untuk mendukungatau menggagalkan keberhasilan rehabilitasi man-grove, baik dalam jangka pendek maupun jangkapanjang. Hasil studi dari Kantor Menteri NegaraLingkungan Hidup (1996) menyebutkan bahwasalah satu penyebab kegagalan program rehabilitasimangrove di Panarukan, Situbondo, disebabkantidak dilibatkannya kelompok nelayan dalam kegiatantersebut. Nelayan merusak mangrove yang ditanamoleh para petambak dengan mendaratkan perahunyadi areal penanaman pada saat gelombang besar.

Kelompok buruh yang umumnya mempunyaipekerjaan tidak menetap, karena keadaannyaberpotensi untuk merusak hasil rehabilitasi.Pengamatan lapangan di Pemalang menunjukkanbahwa kegagalan program rehabilitasi mangrove disalah satu wilayah binaan Instiper disebabkan olehkonversi areal rehabilitasi yang telah ditumbuhitegakan mangrove berumur 5 tahun oleh pendudukyang mempunyai pekerjaan tidak menetap. Dengandemikian berarti seluruh kelompok masyarakat yangpotensial untuk mendukung keberhasilanpengelolaan mangrove perlu dilibatkan.

Keberadaan kelompok masyarakat sangatpenting dalam menunjang keberhasilan kegiatanpengelolaan mangrove. Kenchington dan Wormdalam Thia-Eng (1996) menyatakan bahwa secaraumum keberhasilan pengelolaan wilayah pesisirdisebabkan kuatnya partisipasi masyarakat danproses pembangunan kapasitas berorientasi padalembaga. Hal sama disampaikan Bengen (2001)bahwa kelompok swadaya masyarakat (KSM) perludibentuk dalam rangka menjalankan programpelestarian mangrove dengan melibatkan partisipasiaktif masyarakat setempat. Melalui KSM dapatdilaksanakan program rehabilitasi hutan mangrove,

penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan, penyebarluasan informasi teknikbudidaya perikanan, serta memudahkan dalammenggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi aktifdalam kegiatan pelestarian mangrove. Dengandemikian upaya penguatan kapasitas kelompokmasyarakat yang sudah terbentuk agar menjadimandiri sangat penting untuk menunjangkeberhasilan pengelolaan mangrove ke depannya.

Arahan Strategi PengembanganPartisipasi Masyarakat

Dari hasil analisis SWOT diperoleh 4 arahanstrategi pengembangan partisipasi masyarakat kedepannya. Berdasarkan urutannya, strategi pertamaadalah meningkatkan partisipasi seluruh kelompokmasyarakat di desa dalam pengelolaan hutan man-grove sesuai dengan peran dan fungsinya. Strategikedua adalah mendorong penetapan status tanah ar-eal penanaman di pinggir pantai menjadi jalur hijau.Strategi ketiga adalah mendorong pemerintah desadan BPD membuat peraturan desa yang berkaitandengan pengelolaan mangrove desa. Strategikeempat adalah mendorong pemerintah daerahuntuk membuat peraturan daerah yang berkaitandengan pengelolaan wilayah pesisir (mangrove)kabupaten.

Dari hasil analisis strategi pengembanganpartisipasi, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan danSWOT menunjukkan bahwa pengembanganpartisipasi masyarakat yang telah dijalankan belumoptimal. Hal ini terlihat dari belum terlibatnyaseluruh kelompok masyarakat (stakeholders ) dalampengelolaan mangrove desa sesuai dengan peran danfungsinya. Partisipasi masyarakat dikatakan opti-mal apabila seluruh kelompok masyarakat (stake-holders ) yang ada, terutama di desa, terlibat dalampengelolaan mangrove desa sesuai dengan peran danfungsinya. Selain itu, terdapat hal-hal lain yang perludilakukan dalam kegiatan pengembangan partisipasimasyarakat ke depannya karena dapat mengancamkeberhasilan pengelolaan (rehabilitasi) mangrovedalam jangka panjang.

Prioritas utama dalam pengembangan partisi-pasi masyarakat ke depannya adalah meningkatkanpartisipasi seluruh kelompok masyarakat (stake-holders) di desa dalam pengelolaan hutan mangrovesesuai dengan peran dan fungsinya. Partisipasi stake-holders dalam pengelolaan hutan mangrove dapat

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove ..................................................(29-42)

Page 44: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

41

dibedakan dalam dua bentuk, yaitu partisipasi aktifdan partisipasi pasif. Partisipasi aktif maksudnyaadalah masyarakat/ kelompok sasaran ikut sertasecara langsung dalam kegiatan-kegiatan rehabilitasimangrove, baik perencanaan, penanaman, peme-liharaan atau pemanfaatan, secara peroranganmaupun kelompok. Masyarakat yang terlibatdalam tipe partisipasi ini adalah kelompokmasyarakat yang hidupnya sangat tergantung darisumberdaya pesisir, yaitu petambak dan nelayan.Selain kedua kelompok ini, kelompok masyarakatbermata pencaharian buruh (pekerjaan tidakmenetap) juga penting untuk berpartisipasi aktifdengan diberdayakan terlebih dahulu. Kelompokini berpotensi merusak hasil rehabilitasi di masamendatang untuk kebutuhan hidupnya. Strategiuntuk pengembangan partisipasi ini terutamamelalui strategi pelatihan dan bantuan usaha. Agarkelompok masyarakat sasaran ini mau berpartisipasi,terlebih dahulu perlu ditingkatkan persepsinyaterhadap arti pentingnya mangrove dan pelestarian-nya melalui strategi pembinaan. Partisipasi pasifmaksudnya adalah masyarakat/kelompok sasaranmendukung kegiatan pengelolaan mangrove.Bentuk partisipasi masyarakat dapat berupapendidikan tentang pentingnya sumberdaya pesisir(hutan mangrove) bagi anak-anak sekolah oleh paraguru atau dorongan dari bakul terhadap pelang-gannya untuk melakukan penanaman danpemeliharaan mangrove. Strategi yang digunakanmelalui strategi pembinaan.

Kegiatan yang perlu dikembangkan ke depanberikutnya adalah mendorong ditetapkannya sta-tus tanah areal rehabilitasi di pinggir pantai menjadijalur hijau dan mendorong pemerintah desa danBPD membuat peraturan yang berkaitan denganpengelolaan mangrove desa. Adanya kewenanganpemerintah desa dan BPD untuk membuatperaturan-peraturan desa sangat mendukungterhadap keberhasilan pengelolaan mangrove desa.Peraturan-peraturan yang didorong untuk dibuatdan ditetapkan terutama adalah jalur hijau pantaidesa. Peraturan lain yang diperlukan adalahpengelolaan mangrove, terutama pengelolaan man-grove di luar jalur hijau, seperti saluran air ke tambakatau pinggir sungai dan pemanfaatan kayu mangroveuntuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Sebelumperaturan-peraturan tersebut ditetapkan, terlebihdahulu disosialisasikan pada masyarakat luas di desa

hingga mereka memahami. Upaya mendorongpemerintah desa dan BPD ini dilakukan melaluistrategi pembinaan, terutama tentang pentingnyapelestarian mangrove untuk pembangunan desa.

Kegiatan terkahir yang perlu dikembangkanke depannya adalah mendorong pemerintah daerahuntuk membuat peraturan daerah (Perda) tentangpengelolaan kawasan pesisir (mangrove) danmensosialisasikannya. Perda ini penting untukmengantisipasi faktor eksternal, yaitu hal-hal di luarmasyarakat desa, yang dapat mempengaruhikeberhasilan kegiatan pengelolaan/rehabilitasi man-grove dalam jangka panjang. Faktor eksternaltersebut diantaranya tumpang tindih pemanfaatanlahan pesisir antara berbagai sektor. KeberadaanPerda tersebut akan menjadi payung terhadapperaturan-peraturan yang dikeluarkan desa dalamkaitannya dengan pengelolaan mangrove desa.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa:1. Strategi yang digunakan dalam pengembangan

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan man-grove terdiri dari strategi pembinaan, pelatihandan bantuan usaha. Ketiga strategi ini berperanterhadap partisipasi masyarakat dalamperencanaan, penanaman, pemeliharaan danpemanfaatan program mangrove.

2. Strategi pelatihan dan bantuan usaha merupakanstrategi yang sangat berperan terhadap partisipasimasyarakat, terutama kelompok petambak yangtelah mendapatkan pembinaan lebih dari 1 tahun,pelatihan lebih dari 2 kali dan bantuan usahalebih dari Rp 500.000, dalam perencanaan danpenanaman mangrove.

3. Strategi Pembinaan, pelatihan dan bantuan usahadijabarkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada dasarnyaadalah upaya melibatkan dan mendorongkelompok sasaran menjadi mandiri yangdilakukan melalui suatu proses panjang. Prosestersebut dimulai dari sosialisasi, penyadaranmasyarakat dan pendampingan kelompok hinggamandiri. Langkah-langkah kegiatan yangdilakukan terdiri dari persiapan, integrasi kedalam masyarakat, pendidikan masyarakat, pem-

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 45: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

42

bentukan kelompok masyarakat, penguatankapasitas kelompok, kelompok mandiri, moni-toring dan evaluasi serta replikasi dan perluasan.

4. Beberapa kegiatan perlu dikembangkan kedepannya agar partisipasi masyarakat dalampengelolaan mangrove lebih optimal. Pertamaadalah meningkatkan partisipasi seluruhkelompok masyarakat (stakeholders ) yang adadi dalam pengelolaan mangrove desa sesuaidengan peran dan fungsinya. Kedua adalahmendorong penetapan status tanah arealpenanaman di pinggir pantai menjadi jalur hijau.Ketiga adalah mendorong pemerintah desa danbadan perwakilan desa (BPD) untuk membuatperaturan yang berkaitan dengan pengelolaanmangrove desa. Keempat adalah mendorongpemerintah daerah untuk membuat peraturandaerah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayahpesisir kabupaten.

Saran1. Perlu ditingkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan mangrove di Desa Karangsong,terutama kelompok nelayan, buruh, pedagang(bakul) ikan dan PNS/Swasta, sesuai denganperan dan fungsinya melalui strategi pembinaan,pelatihan dan bantuan usaha yang intensif.

2. Kegiatan lain yang perlu dikembangkan kedepannya dalam meningkatkan partisipasimasyarakat dalam pengelolaan mangrove di DesaKarangsong adalah mendorong penetapan statustanah areal penanaman mangrove di pinggirpantai menjadi jalur hijau desa, mendorongpemerintah desa dan BPD membuat peraturan

desa yang berkaitan dengan pengelolaan mangrovedesa dan mendorong pemerintah daerah untukmembuat peraturan daerah yang berkaitandengan pengelolaan wilayah pesisir (mangrove)kabupaten.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D. G. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contohdan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. PKSPL-IPB.

Bengen, D. G. 2001. Pedoman teknis pengenalan danpengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL IPB.

Bengen, D. G dan L. Adrianto. 1998. Strategi pemberdayaanmasyarakat dalam pelestarian mangrove. LokakaryaJaringan Kerja Pelestari Mangrove, Pemalang, Jawa Tengah.12-13 Agustus 1998.

Claridge, C and B. O’Callaghan (Editors). 1997. Commu-nity involvement in wetland management: Lesson fromthe field. Wetlands International, Kuala Lumpur.

Erftemeijer, P. L. A and A. Bualung, 1998. Participation oflocal communities in mangrove forest rehabilitation inPattani Bay, Thailand: Learning from successes and fail-ures. Second International Conference on Wetlands andDevelopment, Dakar, Senegal. 8 - 14 November 1998.

Groot, W. T and M. Sj. Zanen. 1989. Enhancing participa-tion of local people: A discussion summarized in the people’srole in wetland management. Proceedings of The Inter-national Conference on Wetlands. 5 - 8 June 1989.

Hidayati, D. (Editor). 1999. Potensi dan kendala dalampengelolaan terumbu karang: Pedoman untuk intervensipengelolaan berbasis masyarakat. Coremap dan PPT-LIPI.

Rangkuti, F. 1998. Analisis SWOT teknik membedah kasusbisnis: reorientasi konsep perencanaan strategis untukmenghadapi abad 21. PT. Gramedia Utama, Jakarta.

Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove .................................................(29-42)

Page 46: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

43

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

EVALUASI STATUS KEBERLANJUTAN PEMBANGUNANPERIKANAN: APLIKASI PENDEKATAN RAPFISH

(Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta)

AKHMAD FAUZIJurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK, IPB dan Staf Pengajar PS SPL IPB

SUZY ANNAUniversitas Pajajaran Bandung, Mahasiswa Program Doktor PS SPL IPB

ABSTRAK

Keberlanjutan (sustainability) merupakan kata kunci bagi pembangunan perikanan di seluruh dunia. Namun demikiankeberlanjutan agak sulit untuk dianalisis, khususnya ketika dihadapkan pada kondisi mengintegrasikan seluruh informasidata baik ekologi, sosial dan ekonomi. Salah satu alternatif analisis sederhana secara kuantitatif yang dapat dilakukan

untuk hal tersebut adalah dengan menggunakan RAPFISH. Paper ini mencoba mengaplikasikan pendekatan RAPFISH untukmengevaluasi status keberlanjutan perikanan di pesisir DKI Jakarta. Studi menunjukkan bahwa pendekatan Rapfish ini mampumenganalisis seluruh aspek keberlanjutan dari perikanan di wilayah pesisir DKI Jakarta secara sederhana dan menyeluruh. Studimemperlihatkan bahwa dari sudut pandang keberlanjutan, secara umum ada perbedaan kondisi berkaitan dengan variasi atributdan jenis armada pada wilayah teluk dan di luar teluk.Kata-kata kunci : keberlanjutan perikanan, rapfish, multidisiplin, skor atribut, ordinasi, MDS, code of conduct of responsiblefisheries.

ABSTRACT

Sustainability is a key word for fisheries development around the world. Nevertheless there are some difficulties in measuringsustainability, especially when we have to take into account all aspects of development such as ecology, economic, social, technol-ogy and ethics. An alternative quantitative way to assess sustainability of fisheries is using Rapfish. This study employs Rapfish,a newly developed technique to assess the status of fisheries in the coastal area of Jakarta. The study shows that Rapfish was ableto capture all sustaibnability aspects of the Jakarta’s fisheries in a simple and comprehensive way. From the sustainability point aview, in general, there are differences condition due to variations in attribute and types of fishing between areas in the bay and outof the bay.Keywords : fisheries sustainability, rapid appraisal; multidiciplinary, attribut scoring; ordination; multi-dimensional scaling,code of conduct for responsible fisheries.

PENDAHULUAN

Perikanan merupakan salah satu aktifitas eko-nomi manusia yang sangat kompleks. Tantanganuntuk memelihara sumberdaya yang “sehat”menjadi issue yang cukup kompleks dalampembangunan perikanan. Meskipun sumberdayaperikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yangdapat pulih, namun pertanyaan yang sering munculadalah seberapa besar ikan dapat dipanen tanpa harusmenimbulkan dampak yang negatif untuk masamendatang. Inilah pertanyaan keberlanjutan yangsering muncul dalam pengelolaan pembangunanperikanan.

Keberlanjutan adalah merupakan kata kuncidalam pembangunan perikanan yang diharapkandapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan

masyarakat perikanan itu sendiri. Walaupun konsepkeberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapatdifahami, namun sampai sekarang kita masih meng-hadapi kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasikeberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri.Khususnya ketika kita dihadapkan pada perma-salahan mengintegrasikan informasi/data darikeseluruhan komponen (secara holistik) baik aspekekologi, sosial, ekonomi maupun ethik. Sejauh iniuntuk mengevaluasi keberlanjutan dalam eksploitasiperikanan, lebih difokuskan kepada penentuan sta-tus stok relatif dari spesies target terhadap referensibiologi atau pada beberapa kasus adalah referensiekologi, seperti tingkat kematian ikan, spawningbiomass atau struktur umur (Smith, 1993).Pengelola sumberdaya alam menggunakan referensidan target points ini sebagai indikator dari status

Page 47: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

44

Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir ......................................................(43- 55)

sumberdaya dan signal early warning bagiterlampauinya level ekstraksi dari yang seharusnya.Pendekatan ini bagaimanapun membutuhkaninformasi yang substansial, survey yang independendan model yang kompleks untuk mengestimasipoint referensi baik untuk masa lalu maupun masasekarang yang merepresentasikan pengelolaan yangobjektif untuk perikanan.

Salah satu alternatif pendekatan sederhanayang dapat digunakan untuk evaluasi status keber-lanjutan dari perikanan tersebut adalah RAPFISH.RAPFISH adalah suatu teknik multi-diciplinaryrapid appraisal terbaru untuk mengevaluasi compara-tive sustainability dari perikanan berdasarkansejumlah besar atribut yang mudah untuk diskoring.Studi ini mencoba mengaplikasikan pendekatanRAPFISH dalam mengevaluasi keberlanjutanpembangunan perikanan dengan mengambil studikasus wilayah pesisir DKI Jakarta.

Dalam RAPFISH, perikanan dapat sajadidefinisikan sebagai suatu entitas dalam lingkupyang luas seperti misalnya perikanan di wilayah DKIJakarta, atau dalam lingkup yang sempit misalnyadalam satu jurisdiksi, target spesies, tipe alat tangkapatau kapal. Sejumlah atribut perikanan dapat di-bandingkan, atau bahkan trajektori waktu dari in-dividual perikanan dapat diplot. Atribut dari setiapdimensi yang akan dievaluasi dapat dipilih untukmerefleksikan keberlanjutan, serta dapat diperbaikiatau diganti ketika informasi terbaru diperoleh.Ordinasi dari set atribut digambarkan denganmenggunakan multi-dimensional scaling (MDS).

Dengan menggunakan RAPFISH ini akandiperoleh gambaran yang jelas dan komprehensifmengenai kondisi sumberdaya perikanan kita,khususnya perikanan di daerah penelitian sehinggaakhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukankebijakan yang tepat untuk mencapai pembangun-an perikanan yang berkelanjutan dan berwawasanlingkungan, sebagaimana yang disyaratkan dalamCode of Conduct for Responsible Fisheries (FAO,1995).

KONSEP KEBERLANJUTANDALAM PERIKANAN

Paradigma pembangunan perikanan padadasarnya mengalami evolusi dari paradigma konser-vasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi)

kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Namunwalaupun demikian menurut Charles (1994) ketigaparadigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitandengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.Dengan demikian menurut Charles (1994) pan-dangan pembangunan perikanan yang berkelanjutanharuslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebutdi atas. Oleh karenanya konsep pembangunanperikanan yang berkelanjutan sendiri mengandungaspek:n Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi).

Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutanstok/biomass sehingga tidak melewati dayadukungya, serta meningkatkan kapasitas dankualitas dari ekosistim menjadi konsern utama.

n Socioeconomic sustainabilty (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung maknabahwa pembangunan perikanan harus memper-hatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelakuperikanan baik pada tingkat individu. Dengankata lain mempertahankan atau mencapai tingkatkesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi meru-pakan konsern dalam kerangka keberlanjutan ini.

n Community sustainability, mengandung maknabahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisikomunitas atau masyarakat haruslah menjadiperhatian membangunan perikanan yangberkelanjutan.

n Institutional sustainability (keberlanjutankelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutankelembagaan yang menyangkut memeliharaaspek finansial dan administrasi yang sehatmerupakan prasyarat dari ketiga pembanguanberkelanjutan di atas.

Dengan demikian jika setiap komponendilihat sebagai komponen yang penting untukmenunjang keseluruhan proses pembangunanberkesinambungan, maka kebijakan pembangunanperikanan yang berkesinambungan haruslah mampumemelihara tingkat yang reasonable dari setiapkomponen sustainable tersebut. Dengan kata lainkeberlanjutan sistim akan menurun melaluikebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapaisatu elemen keberlanjutan saja.

Perhatian pembangunan perikanan yangberkesinambungan (sustainable) sebenarnya dimulaipada awal tahun 1990an yang merupakan prosesdari terjadi beberapa perubahan yang menyangkut:n Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan

Page 48: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

45

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan,over-eksploitasi dan destructive fishing practices. Halini dipicu oleh keinginan untuk memenuhikepentingan sesaat (generasi kini) atau masa kinisehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanandiarahkan sedemikian rupa untuk memperolehmanfaat yang sebesar-besarnya untuk masa kini.Akibatnya, kepentingan lingkungan diabaikan danpenggunaan teknologi yang “quick yielding” yangsering bersifat destructive seperti fish bombing danpoisoning dapat terjadi. Di kawasan Indonesiamisalnya praktek pembangunan perikanan yangunsustainable lewat destructive fishing practicetersebut telah menyebabkan kerugian ekonomi yangcukup significant. Kerugian yang diderita mencapaiUS$ 386000 per tahun akibat rusaknya terumbukarang. Kerugian ini merupakan kerugian yangempat kali lebih besar dari manfaat yang diperolehdari destructive fishing practices (Fauzi dan Buchary,2002).

Degradasi/depresiasi sumberdaya perikananmisalnya terjadi di perairan Barat Daya Atlantik padapertengahan tahun 1990, dimana terjadi penurunanyang drastis dari stok ikan cod, yang mengakibat-kan lebih dari 40.000 nelayan kehilangan peker-jaannya di beberapa propinsi di wilayah AtlantikCanada. Walaupun sudah mulai dikelola, kondisiini masih belum pulih sampai tujuh tahun kemudian(Kurlansky, 1997). Pada skala global, besarnyadampak dari depresiasi sumberdaya perikanan inidiilustrasikan dengan estimasi biaya yangdikeluarkan untuk produksi global perikanan lautsekitar U$ 124 milyar dollar per tahun, namunhanya menghasilkan penerimaan sebesar U$70milyar dollar (Mace, 1997). Sebesar U$ 54 milyardollar ternyata merepresentasikan berbagai subsidipemerintah terhadap industri perikanan yang justrumenambah tingkat tangkap lebih dan inefisiensiekonomi dari industri perikanan (Davis andGarthside, 2001). Kondisi penurunan dansumberdaya perikanan juga terjadi di beberapaperairan Indonesia, seperti di Selat Malaka, TelukJakarta, Pantai Utara Jawa, Makasar dan sebagianBali (Anna,1999., Fauzi dan Anna, 2002).

Kerugian sosial yang diderita akibatpembangunan perikanan yang tidak berkelanjutanjuga bisa terjadi. Hal ini menyangkut hilangnyakesempatan kerja dan timbulnya konflik horizon-tal diantara para pelaku perikanan itu sendiri. Selain

dari para stakeholders sebagai akibat Rio summityang menyerukan diperlukannya perbaikan secaraglobal terhadap pengelolaan sumberdaya alamtermasuk sumberdaya perikanan dan kelautan.

n Terjadinya collapse dari beberapa perikanan duniaseperti anchovy, tuna dan salmon yangmenyadarkan orang tentang konsekwensi yangditimbulkan tidak hanya ekologi, namun jugakonsekwensi sosial dan ekonomi

n Pemberdayaan para stakeholders yang menuntutdiperlukan padangan yang lebih luas (holistik)mengenai pengelolaan perikanan (Alder et.al2000)

Menyadari ketiga hal di atas maka pem-bangunan perikanan selain memperhatikan aspekkeberkelanjutan, juga harus didekati denganpendekatan yang menyeluruh yang menyangkutberbagai dimensi. Alder et.al (2000) misalnyamelihat bahwa pendekatan yang holistik tersebutharus mengakomodasi berbagai komponen yangmenentukan keberlanjutan pembangunanperikanan. Komponen tersebut menyangkut aspekekologi, ekonomi teknologi, sosiologi dan aspeketis. Dari setiap komponen atau dimensi adabeberapa atribut yang harus dipenuhi yangmerupakan indikator keragaan perikanan sekaligusindikator keberlanjutan. Beberapa komponentersebut adalah:n Ekologi: tingkat eksploitasi, keragaman

rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, discarddan by catch serta produktifitas primer.

n Ekonomi: kontribusi perikanan terhadap GDP,penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan,tingkat subsidi dan alternatif income.

n Sosial: pertumbuhan komunitas, status konflik,tingkat pendidikan, dan pengetahuan lingkungan(environmental awareness).

n Teknologi: lama trip, tempat pendaratan,selektifitas alat, FAD, ukuran kapal dan efeksamping dari alat tangkap.

n Etik: kesetaraan, ilegal fishing, mitigasi terhadaphabitat, mitigasi terhadap ekosistim dan sikapterhadap limbah dan by catch.

Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagaiprasaran dari dipenuhinya pembangunan perikananyang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalamFAO code of conduct for responsible fisheries. Apabilakaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan danholistik ini tidak dipenuhi maka pembangunan

Page 49: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

46

itu, manfaat yang seharusnya diperoleh olehpemerintah dari pengelolaan sumberdaya perikananjuga tidak bisa didapat secara maksimum.

TEKNIK RAPFISH

Rapfish (Rapid Appraissal for Fisheries) adalahteknik terbaru yang dikembangkan oleh Universityof British Columbia Canada, yang merupakananalisis untuk mengevaluasi sustainability dariperikanan secara multidisipliner. Rapfish didasarkanpada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu padaurutan atribut yang terukur) dengan menggunakanMulti-Dimensional Scaling (MDS). MDS sendiripada dasarnya adalah teknik statistik yang mencobamelakukan transformasi multi dimensi ke dalamdimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam Rapfishmenyangkut aspek keberlanjutan dari ekologi,ekonomi, teknologi, sosial dan etik. Setiap dimensimemiliki atribut atau indikator yang terkait dengansustainability sebagaimana yang diisyaratkan dalamFAO-Code of Conduct. Atribut tersebut secara rincidapat dilihat dalam lampiran 1. Prosedur dariRapfish mengikuti struktur di bawah ini :

Secara umum analisis Rapfish dimulaidengan me-review atribut dan mendefinisikanperikanan yang akan dianalisis (misalnya vessel-base, area-base, atau berdasarkan periode waktu),kemudian dilanjutkan dengan scoring, yangdidasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkanoleh Rapfish. Setelah itu dilakukan MDS untukmenentukan posisi relatif dari perikanan terhadapordinasi good dan bad. Selanjutnya analisis MonteCarlo dan Leverage dilakukan untuk menentukanaspek ketidak-pastian dan anomali dari atributyang dianalisis.

Pemilihan MDS dalam analisis Rapfish,dilakukan mengingat metode multi-variate analy-sis yang lain seperti factor analysis dan Multi-AttributeUtility Theory (MAUT), terbukti tidakmenghasilkan hasil yang stabil (Pitcher dan Preikshot,2001). Didalam MDS, objek atau titik yangdiamati dipetakan kedalam ruang dua atau tigadimensi, sehingga objek atau titik tersebutdiupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal.Dengan kata lain, dua titik atau objek yang samadipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan

Gambar 1. Elemen proses aplikasi Rapfish untuk data perikanan (Alder, et.al., 2000).

Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir .....................................................(43- 55)

Identifikasi danPendefinisian Perikanan(didasarkan kriteria yang

konsisten)

Review Attribut(meliputi berbagai kategori

dan skoring kriteria)

Start

Skoring Perikanan(mengkonstruksi

reference ponit untukgood dan bad serta

anchor

Multi dimensionalScaling Ordination

(untuk setiap attribut)

Simulasi Monte Carlo(Analisis ketidakpastian)

Analisis Leverage(Analisi Anomali)

Analisis Keberlanjutan(Assess Sustainability)

Page 50: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

47

satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidaksama digambarkan dengan titik titik yang berjauhan.Teknik ordinasi (penentuan jarak) didalam MDSdidasarkan pada Euclidian Distance yang dalamruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagaiberikut :

Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atautitik di dalam MDS kemudian diaproksimasidengan meregresikan jarak Euclidian ( d

ij ) dari titik

i ke titik j dengan titik asal (dij) sebagaimana

persamaan berikut:

Umumnya ada tiga teknik yang digunakanuntuk meregresikan persamaan di atas yakni metodeleast square (KRYST), metoda least squaredbergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidiandistance (squared distance) atau disebut metodaALSCAL, dan metode yang didasarkan MaximumLikelihood. Dari ketiga metode tersebut, AlgoritmaALSCAL merupakan metode yang paling sesuaiuntuk Rapfish dan mudah tersedia pada hampirsetiap software statistika (SPSS dan SAS). (Alderet.al 2000). Metode ALSCAL mengoptimisasijarak kuadrat (squared distance= d

ijk ) terhadap data

kuadrat (titik asal= Oijk

), yang dalam tiga dimensiditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagaiberikut :

Dimana jarak kuadrat merupakan jarakEuclidian yang dibobot, atau ditulis :

Pada setiap pengukuran yang bersifatmengukur (metric) seberapa fit (goodness of fit), jaraktitik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangatpenting. Goodness of fit dalam MDS tidak lainmengukur seberapa tepat (how well) konfigurasi dari

suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Good-ness of fit ini dalam MDS dicerminkan dari besarannilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S diatas. Nilai stress yang rendah menunjukan good fitsementara nilai S yang tinggi sebaliknya. Di dalamRapfish model yang baik ditunjukan dengan nilaistress yang lebih kecil dari 0.25 (S < 0.25).

Didalam penelitian ini prosedur analisisRapfish dilakukan melalui beberapa tahapan yakni;n Analisis terhadap data perikanan DKI Jakarta

melalui data statistik dan studi literature danpengamatan di lapangan.

n Melakukan skoring dengan mengacu padaliteratur (aspek ekologi dari rapfish mengacu padapublikasi FAO dan Longhurst et.al.,1995)dengan menggunakan Excell.

n Melakukan analisis MDS dengan software SPSSuntuk menentukan ordinasi dan nilai stressmelalui ALSCAL Algoritma.

n Melakukan “rotasi” untuk menentukan posisiperikanan pada ordinasi bad dan good denganExcell dan Visual Basic.

n Melakukan sensitivity analysis (leverage analysis)dan Monte Carlo analysis untuk memperhitung-kan aspek ketidak-pastian.

ANALISIS STATUS PERIKANANDI PESISIR DKI JAKARTA

Didalam studi ini, analisis Rapfish dilakukanuntuk perikanan pesisir DKI Jakarta. Identifikasiperikanan didasarkan pada alat tangkap yangberoperasi (vessel-base). Dua belas jenis alat tangkapdianalisis mewakili perikanan sea-going (KepulauanSeribu) dan in-shore (Teluk Jakarta). Data untukanalisis ini diperoleh dari survey, statistik DinasPerikanan DKI dan sumber-sumber lain untuk datascoring.

Hasil analisis ordinasi dari kelima aspek ataudimensi perikanan pesisir DKI disajikan padaGambar 2 sampai 6. Pada Gambar 2 sampai 6, axishorizontal menunjukan perbedaan perikanan dalamordinasi bad (0%) sampai good (100%) untuksetiap dimensi yang dianalisis, sementara axis verikalmenunjukan perbedaan dari campuran skor atributdiantara perikanan yang dievaluasi. Analisis ordinasimenunjukkan bahwa keberlanjutan perikanan

( )2 2 2

1 2 1 2 1 2 ...d x x y y z z= − + − + − +

ij ijd a bd e= + +

( )22 2

41

1,

ijk ijkmi j

k ijki j

d o

Sm o=

=

∑∑∑ ∑∑

( )22

1

r

ijk ka ia jaa

d w x x=

= −∑

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 51: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

48

pesisir DKI Jakarta bervariasi antar alat tangkap.Misalnya alat-alat tangkap pasif seperti bubu danpancing, meskipun secara dimensi keberlanjutanekologi ada diantara good dan bad, namun dari sisidimensi keberlanjutan sosial dan ekonomicenderung ke arah bad score. Sebaliknya alat-alattangkap yang aktif mengalami skor bad dari dimensiteknologi dan ekologi, namun cenderung ke arahgood dari sisi ekonomi dan sosial. Keragaan darikedua tipe pasif dan aktif di atas, dapat dilihat padagambar 7 dan 8. Gambar 7 dan 8 menampilkandiagram layang yang menggambarkan keterkaitan

antar dimensi sekaligus. Bagian luar dari diagrammenunjukan skor baik (100%) sementara bagiandalam menunjukan skor buruk (0%).

Keragaman (variasi) diantara alat tangkapuntuk setiap dimensi dapat juga dilihat dari Gambar2 sampai 6. Dari sisi ekologi, misalnya alat tangkapmuroami yang beroperasi di pesisir Jakarta memilikimenghasilkan skor relatif rendah daripada alattangkap gillnet. Keragaman antar alat juga terlihatdi dimensi lain seperti sosial dan teknologi, kecualipada dimensi ekonomi dan etika dimana variasi alattangkap tidak terlalu berbeda nyata.

Gambar 3. Ordinasi dimensi sosial

Gambar 2. Ordinasi Dimensi Ekologi

Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir ......................................................(43- 55)

Page 52: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

49

Gambar 4. Ordinasi dimensi ekonomi

Gambar 5. Ordinasi dimensi etika

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 53: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

50

Gambar 6. Ordinasi dimensi teknologi

Gambar 7. Diagram layang Sustainability Analysis untuk perikanan di luar teluk

Gambar 8. Diagram layang Sustainability Analysis untuk perikanan di dalam teluk

Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir ......................................................(43- 55)

Page 54: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

51

Gambar layang di atas menunjukan analisiskeberlanjutan jika perikanan di DKI Jakartadipisahkan antara alat yang beroperasi di luar telukdan alat yang beroperasi di dalam teluk. Dari analisisterlihat bahwa dari sisi ekologi, alat yang beroperasidi luar teluk cenderung memiliki skor relative lebihrendah karena alat tangkap yang aktif cenderungmenimbulkan masalah ekologi seperti by catch, non-selective dan catch before maturity (menangkap ikanyang belum sampai umur tangkap). Sebaliknya alattangkap yang beroperasi di dalam teluk cenderungpasif dan lebih bersifat selektif dan tradisionalsehingga lebih kurang destruktif. Namun demikianskor ekonomi antara perikanan di luar teluk dan didalam teluk menunjukan sebaliknya. Perikanan didalam teluk cenderung memiliki skor sustainabilityyang rendah. Hal ini mungkin disebabkan perairanteluk yang sudah tercemar sehingga menghasilkannilai ekonomi yang rendah dan biaya sosial yangcukup tinggi, sehingga mengakibatkan skorekonomi yang rendah. Sebaliknya perikanan yangdi luar teluk (sea going) kebanyakan memperolehproduk yang dihasilkan di luar perairan teluk yangkurang tercemar sehingga memberikan nilaiekonomi yang tinggi.

Sebagaimana diungkapkan di atas, analisisRapfish juga memungkinkan bagi kita untukmenganalisis Leverage (sensitivitas dari penguranganatribut terhadap skor keberlanjutan). Leveragedihitung berdasarkan standard error perbedaanantara skor dengan atribut dan skor yang diperolehtanpa atribut. Dari kelima dimensi, terlihat bahwadari aspek ekologi atribut “range collapse”(penurunan spesies dalam kisaran geografis)memiliki pengaruh (Standard Error sekitar 4,8%),hampir dua kali lipat dibanding atribut lainnya.Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut “rangecollapse” berpengaruh sangat besar terhadapsustainability dari sisi ekologi. Dari sisi dimensilain seperti ekonomi, terlihat bahwa atribut “em-ployment sector”,” marketable right” dan “other in-come” berpengaruh sangat dominan terhadapsustainability dari dimensi ekonomi. Dari sisidimensi sosial, tiga atribut yakni “fishing income,education level dan environmental knowledge”,merupakan faktor yang dominan dalammenentukan sustainability. Yang menarik adalahbahwa dalam dimensi etik, atribut “just manage-ment” (keterlibatan perikanan yang dievaluasi dalam

aspek pengelolaan sumberdaya), merupakan faktoryang sangat dominan dibandingkan dengan seluruhatribut lainnya yang akan mempengaruhi aspekkeberlanjutan. Akhirnya, dalam dimensikeberlanjutan teknologi, atribut selective gear (alatuntuk meningkat selektifitas tangkap) mendominasihampir dua kali lipat dari atribut catching power(perubahan kekuatan armada selama lima tahunterakhir) dan berpengaruh hampir tiga kali lipat dariatribut trip length (lama trip).

Seperti dijelaskan dalam teori Rapfish, dalamanalisis Rapfish yang harus diperhatikan adalah aspekketidak-pastian, dimana hal ini dapat disebabkanoleh :n Dampak dari kesalahan dalam skoring akibat

minimnya informasin Dampak dari keragaman dalam skoring akibat

perbedaan penilaiann Kesalahan dalam data entry.n Tingginya nilai stress yang diperoleh dari

algoritma ALSCAL.Melihat permasalahan di atas, maka dalam

studi ini teknik analisis Monte Carlo yangmerupakan metode simulasi untuk mengevaluasidampak dari kesalahan acak (random error)dilakukan terhadap seluruh dimensi. Sebagaimanadikemukakan oleh Kavanagh (2001), ada tiga tipeuntuk melakukan Monte Carlo algoritma. Dalamstudi ini hanya dilakukan analisis Monte Carlodengan metode “scatter plot” yang menunjukkanordinasi dari setiap dimensi. Hasil analisis MonteCarlo dengan 25 kali ulangan untuk dimensiekonomi terlihat pada gambar 10 berikut ini.Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwaperikanan di pesisir DKI Jakarta telah banyakmengalami gangguan (perturbasi) yang ditunjukkanoleh legenda berwarna hijau yang menyebar.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASIKEBIJAKAN

Analisis keberlanjutan perikanan denganmenggunakan teknik Rapfish memang relatif masihbaru dan non-tradisional. Namun demikian analisisyang relatif lebih mudah ini dapat dijadikan sebagaiacuan untuk mengevaluasi kondisi perikanan suatuwilayah secara cepat. Dengan demikian, mengingatsifat multidimensinya, teknik Rapfish dapat

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 55: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

52

Gambar 9. Analisis leverage atribut

Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir ......................................................(43- 55)

Page 56: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

53

Gambar 10. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi Ekonomi

dijadikan alat untuk menentukan snapshot atauanalisis awal untuk memperoleh gambaranmenyeluruh mengenai status keberlanjutansumberdaya tersebut yang sesuai dengan FAO codeof conduct. Selain itu studi ini menunjukan bahwadengan dilakukannya analisis Monte Carlo, makaaspek ketidak pastian yang biasanya muncul dalamanalisis non parameterik dapat dikurangi. DenganRapfish, penentu kebijakan dapat dengan mudahmengevaluasi kondisi sumberdaya perikanan tanpaharus dengan detail melakukan analisis kuantitatifyang rumit seperti stock assessment dan lainsebagainya.

Selain itu dampak dari pilihan kebijakanterhadap sumberdaya perikanan di negaraberkembang sangat bermanfaat karena dengan datadan penelitian yang terbatas, Rapfish dapatmenjembatani antara keterbatasan tersebut dengantujuan untuk melakukan assessment terhadapperikanan. Rapfish, dalam situasi seperti tersebutdi atas dapat dijadikan suatu “Triage” (pemilah)untuk perikanan (Pauly, 1998) untuk menentukanmana yang menjadi prioritas (focus) dalampembangunan sumberdaya perikanan .

Dari hasil analisis Rapfish mengenai perikanandi wilayah pesisir Jakarta terlihat bahwa dari kelimadimensi keberlanjutan yang di analisis ada beberapaatribut atau indikator yang diperkirakan sensitif

terhadap pembangunan perikanan yang berke-lanjutan. Dari aspek ekonomi misalnya tiga atributyang dominan yang cukup berpengaruh dalampembangunan perikanan yang berkelanjutan dipesisir Jakarta adalah marketable right, sector em-ployment dan other income. Dengan demikiankebijakan yang menyangkut aspek marketable rightini seperti pengaturan hasil tangkap (output), sistimbagi hasil haruslah mendapat perhatian penentukebijakan. Demikian juga kebijakan yang terkaitlangsung dengan employment sector dan other incomeharuslah diarahkan kepada kebijakan yang mampumenciptakan lapangan kerja di luar sektor perikananserta peningkatan pekerjaan di sektor formalperikanan itu sendiri bagi masyarakat pesisir diJakarta.

Dari aspek sosial, tiga atribut yakni tingkatpendidikan, pengetahuan lingkungan dan fishingincome hampir secara bersamaan mempengaruhiaspek keberlanjutan dengan derajat yang sama.Artinya kebijakan perikanan yang menyangkutaspek sosial, dalam kasus ini hendaknya ditekankanpada ketiga aspek di atas dengan tidak mengecilkanaspek lainnya. Khususnya yang menyangkut fishingincome skor rendah memang akan diperoleh jika sharependapatan dari menangkap ikan relatif lebih kecildari total pendapatan keluarga. Dengan demikian,terkait dengan kebijakan aspek ekonomi di atas

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 57: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

54

nampaknya kebijakan yang mengarah kepadapeningkatan taraf hidup akan lebih memberikanbobot kepada keberlanjutan pengelolaansumberdaya perikanan di pesisir Jakarta.

Dari aspek teknologi terlihat bahwa atributselective gear sangat sensitif, bahkan mendominasiseluruh atribut lainnya dalam dimensi keber-lanjutan. Dengan demikian kebijakan yangmenyangkut aspek teknologi hendaknya di arahkanuntuk memperbaiki tingkat selektifitas dari alattangka, sehingga by catch berkurang dan mem-berikan nilai tangkap yang tinggi. Hal ini terkaitpula dengan atribut ekologi dimana, atribut “rangecollapse” (penurunan kisaran spesies yang ditangkapsecara geografis) terlihat mempunyai pengaruhtinggi.

Pengelolaan perikanan pada dasarnya adalahlebih mengenai “human behaviour” daripada ekologidari ikan itu sendiri (Jentoft, 1998). Namundemikian kenyataan menunjukkan bahwakebanyakan analisis dari aspek kemanusiaan dariperikanan (kecuali variabel ekonomi) masih bersifatkualitatif dan kurang memiliki kekuatan diagnosadan prediksi yang tepat (Hart dan Pitcher, 1998).Padahal dimensi kemanusiaan (etika) sangatlahtidak dapat dipisahkan dengan keberlanjutan secarabiologi, ekonomi, maupun pengelolaan itu sendiriyang harus diintegrasikan sebagai multidisiplin yangsesungguhnya. Pendekatan Rapfish, seperti yangdiaplikasikan di perairan pesisir Jakarta inimerupakan suatu cara yang cukup baik untuk dapatmenganalisis dimensi kemanusiaan (etika) inidengan diagnosa dan prediksi yang dapat dijadikanacuan dalam mengarahkan kebijakan yangmenyeluruh. Hasil analisis dari dimensi etika dilokasi penelitian menunjukkan bahwa atribut justmanagement terlihat sangat peka untukkeberlanjutan dimensi etik. Skor just managementyang rendah mencerminkan situasi stakeholders yangmerasa diabaikan ketimbang dilibatkan dalampengelolaan sumberdaya perikanan (Pitcher danPower, 2000). Oleh karenanya perhatian terhadapindikator ini yang menyangkut keterlibatanperikanan yang dievaluasi dalam hal pengelolaansumberdaya perikanan, patut menjadi prioritas.Keterlibatan stakeholders dari yang paling sederhanayakni memberikan ruang untuk konsultasi sampaikepada yang lebih kompleks seperti genuine co-

management yang melibatkan seluruh stake holderdapat dijadikan pertimbangan bagi pengambilkeputusan.

Akhirnya, analisis evaluasi keberlanjutan yangdihasilkan dari studi memperlihatkan bahwa denganteknik yang sederhana namun komprehensif, assess-ment terhadap perikanan dapat dilakukan secarautuh. Hasil dari Rapfish dapat direplikasi danobjektif secara numerik (Pitcher dan Power, 2000),sehingga hasil studi ini dapat dijadikan bahan acuanuntuk melakukan assessment terhadap pengelolaanperikanan di daerah lain. Replikasi dapat dilakukanuntuk assessment status dari perikanan over time,maupun antar perikanan di suatu wilayah ataupunantar wilayah untuk assessment yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Alder, J., T.J. Pitcher., D. Preikshot., K. Kaschner., and B. Feriss.2000. How good is good? A Rapid appraisal technique forevaluation of the sustainability status of fisheries of theNorth Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds) .Methods forevaluationg the impacts of fisheries on the north atlanticecosystem. Fisheries Center Research Reports, 2000 Vol(8) No.2

Anna, S. 1999. Analisis beban pencemaran dan kapasitasasimilasi Teluk Jakarta. Thesis. Program Pasca Sarjana,Institut Pertanian Bogor.

Charles. A.T. 1993. Towards sustainability: The Fishery Expe-rience. Ecological Economics vol.11 pp. 201-211.

Cicin Sain, B., and R.W. Knecht, 1998. Integrated Coastaland Ocean management, Concept and practices. IslandPress. Washington.

Davis, D., and D. F.Gartside. 2001. Challenges for economicpolicy in sustionable management of marine natural re-sources. Ecological Economics 36:223-236.

Dommen, C. 1999. Fish for Thought. ICTSD and IUCN.Geneva.

FAO. 1998. Integrated coastal area management and agricul-ture, forestry and fisheries. FAO Guidelines. Roma.

FAO. 1999. Indicator for sustainable development of marinecapture fisheries. FAO Technical Guidelines for Respon-sible Fisheries No.8. Rome.

FAO. 1995. The code of conduct for responsible fisheries.Rome.

Fauzi, A., and E. Buchary. 2002. A socioeconomic perspectiveof environmental degradation at Kepulauan Seribu Na-tional Park, Indonesia. Journal of Coastal Management 30(2): pp: 167-181.

Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir ......................................................(43- 55)

Page 58: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

55

Fauzi, A. and S. Anna. 2002. Penilaian depresiasi sumberdayaperikanan sebagai bahan pertimbangan penentuankebijakan pembangunan perikanan. Jurnal Pesisir danLautan Vol. 4 (2). pp: 36-49.

Hart, P.J.B., and T.J. Pitcher. 1998. Conflict, cooperation andconsent: The Utility of an Evolutionary Perspective onIndividual Human Behaviour in Fisheries Management.In T.J. Pitcher, P.J.B. Hart, and D. Pauly, eds., ReinventingFisheries management. Chapman and Hall.

Jentoft, S. 1998. Social science in fisheries management: a RiskAssessment. In T.J. Pitcher, P.J.B. Hart, and D. Pauly, eds.,Reinventing Fisheries Management. Chapman and Hall.London.

Kavanagh, P. 2001. Rapid appraisal of fisheries (RAPFISH)project. University of British Columbia, Fisheries Centre.

Kurlansky, M. 1997. Cod. A biography of the fish that changedthe world. Vintage. London.

Longhurst, A.. S. Sathyendranath, T. Platt and C. Caverhill.1995. An estmate of global primary production in theocean from satelite radiometer data. Journal of PlanktonResearch Vo.17(6). pp.1245-1271.

Mace, P.M. 1997. Developing and sustaining world fisheriesresources: The State of the Science and Management, In:D.A. Hancock, D.C. Smith, A. Grant, J.P. Beumer (Eds.),Proceedings of the Second World Fisheries Congress,Brisbane. CSIRO. Australia.

Pauly, D. 1998. When is fisheries management needed? InAdams, T., Dalzell, P and Roberts, P. (eds) SPC/FFA Work-shop on Management of South pacific Inshore Fisheries,Noumea, New Caledonia, Vol 3:97-103.

Pitcher, T.J. and D.B. Preikshot, 2001. Rapfish: A rapid ap-praisal technique to evaluate the sustainability status offisheries. Fisheries Research 49(3):255-270.

Pitcher, T.J., and M.D. Power, 2000. Fish Figures: Quantify-ing the Ethical Status of Canadian Fisheries, East and West.In H. Coward., R. Omer., and T.Pitcher. Just Fish: Ethicsand Canadian Marine Fisheries. ISER. New Foundland.Canada.

Pitcher, T.J. 1999. Rapfish, A rapid appraisal technique forfisheries, And Its Application to the Code of Conduct ForResponsible Fisheries. FAO Fisheries CircularNo.947:47pp.

Smith, S.J. 1993. Risk evaluation and biological reference pointfor fisheries management: A review. In : Kruse, G. Raggers,D.M. Marasco, R.J. Pautzke, C.Quinn, T.J. (eds)Menagement Strategies for Exploited Fish Population.Alaska Sea Grant, Anchorage. Pp. 339-353.

Young, F.W. 1985. Multi dimensional scaling. In Kotz-Johnson(Ed.) Encyclopedia of Statistical Sciences, Volume 5, JohnWiley & Sons.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 59: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

56

CREATING A LEGAL FRAMEWORK FOR INTEGRATED COASTALMANAGEMENT IN INDONESIA

JASON PATLIS, MAURICE KNIGHT, WILSON SIAHAANProyek Pesisir Jakarta

Ratu Plaza 18 Floor, Jln. Jend Sudirman, Jakartae-mail: [email protected]

ABSTRACT

In recent years, there has been a concerted effort among numerous governmental and non-governmental organizations inIndonesia to develop a program for integral coastal management (ICM), through research initiatives, policy documents, andcommunity-based activities. Not until last year, with the publication of a Naskah Akademik by the Ministry of Marine

Affairs and Fisheries, has there been significant interest to develop a legal framework for coastal management, either on the locallevel or the national level. Despite weaknesses in Indonesia’s legal system, law can play a vitally important role in shaping socialbehavior and practices, especially in an area for which there is little prior legal infrastructure, such as ICM. Given this ‘clean slate,’laws at both the local and national level can significantly bolster the individual efforts in ICM that have already begun. Thisarticle discusses the role law can play, how law can be developed, and why it can succeed. Specifically, it discusses both theprinciples and mechanics of developing a legal framework. It then examines two case studies: the development of a district lawon community-based coastal management in Minahasa, Northern Sulawesi, and the development of a national law on coastalmanagement by the Ministry of Marine Affairs and Fisheries.Keywords: legal framework, ICM, Indonesia.

ABSTRAK

Belakang ini ada suatu usaha bersama diantara sejumlah organisasi pemerintah dan non pemerintah di Indonesia untukmengembangkan program pengelolaan pesisir terpadu, melalui inisiatif-inisiatif penelitian dan kegiatan-kegiatan yang berbasismasyarakat. Tidak sampai tahun lalu dengan adanya publikasi dari naskah akademik oleh Departemen Kelautan dan Perikanan,mempunyai keterikatan yang nyata untuk mengembangkan sebuah kerangka kerja legal (legal framework) untuk pengelolaanpesisir, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Disamping kelemahan sistem legal (hukum) di Indonesia, hukum memainkanperan penting dalam pembentukan perilaku dan praktek-praktek sosial, khususnya pada suatu area dimana terdapat sedikitinfrastruktur legal seperti ICM. Pada kondisi seperti ini, hukum baik di tingkat lokal maupun nasional akan secara nyatamendukung usaha-usaha individu dalam ICM yang mungkin sudah dimulai. Artikel ini mendiskusikan aturan bagaimanahukum dapat bermain, bagaimana hukum dapat dikembangkan dan mengapa ia berhasil. Secara spesifik, artikel ini mendiskusikanbaik prinsip-prinsip dan mekanisme pengembangan sebuah kerangka legal (legal framework). Disini juga dikaji dua studi kasus:pengembangan sebuah peraturan tentang daerah pengelolaan pesisir berbasis masyarakat di Minahasa, Sulawesi Utara, danpengembangan hukum nasional mengenai pengelolaan pesisir oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.Kata-kata kunci: kerangka legal, ICM, Indonesia.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

INTRODUCTIONIndonesia is the largest archepelagic country

in the world, with the second longest coastline andthe fourth largest population, of which 60 percentlive along the coast. More than 20 parliamentarylaws govern coastal resources, which can be dividedinto several basic categories: teritorial and marine;spatial and sectoral. Many of these laws conflictand overlap with each other, while at the same time,numerous gaps exit between them. Friction amongthe laws arise through legislative drafting (as a result

of vagueness and overbreadth), statutory interpreta-tion and construction (through unclear hierarchy andthe use of implied repeals), and resolution of statu-tory conflicts (through individualized administrativedecisions rather than judicial precedent).

Many projects and activities by the central andregional governments, non-government organiza-tions, donor agencies and lending institutions haverecently begun to focus on improvement of coastalmanagement. Traditionally, these activities haveentailed guidance and planning; recently, however,

Page 60: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

57

there has been a tentative shift towards law devel-opment and improvement of the legal frameworkgoverning coastal resources. This shift is none toosoon: several rapid trends have occurred since de-centralization took root several years ago: law-mak-ing has shifted from central to local governments,and has also shifted from administrative to legisla-tive branches of government. Guidance and assis-tance in law development is desparaely needed (andoften desired) by these new law-making bodies.

This guidance needs to take place in two are-nas: guidance on the principles that go into law re-form, i.e., those ingredients that constitute ‘goodgovernance,’ such as participation, transparency,certainty, etc.; and guidance on the mechanics ofdeveloping new laws, i.e., those steps that a law-making body should take to ensure that the prin-ciples are implemented and that the laws rationallyaddress the issues at hand. For a government withlimited experience and capacity, a framework lawthat establishes the basic institutional arrangementsfor additional management is likely the optimalapproach. Two examples have demonstrated thesuccess of this approach to law development: one isa recently enacted district law on coastal manage-ment in Minahasa, Northern Sulawesi; and the sec-ond is the development of a new national law(undang-undang) on coastal management by theMinistry of Marine Affairs and Fisheries.

THE NEED FOR A COASTALMANAGEMENT PROGRAM

There is no question that Indonesia needs acomprehensive program to manage its coastal re-sources, a program that extends from the centralgovernment to the villages and communities. In-donesia is the largest archipelago state in the world,with the second longest coastline behind Canada.More than 140 million people - 60 percent of thepopulation - live within 50 kilometers of the coast-line (Idris, 2002). Indonesia’s coastal resources arevital to the country: 24 percent of the Gross Na-tional Product is derived from coastal resources; 60percent of the population’s protein food sourcecomes from fish, and 90 percent of the marine fishharested come from within 12 miles of the shore-line (Idris, 2002). Indonesia’s coastal resources arealso vital to the world: Indonesia is home to 30percent of the world’s mangroves, and about 15

percent of the world’s coral reefs (Hinrichsen,1998). These resources are under great stress, andare being degraded and destroyed at an alarmingrate. For example, 40 percent of Indonesia’s man-groves have already been destroyed; roughly 70pecent of its coral reefs have been partially or to-tally destroyed (Hinrichsen, 1998).

The existing legal regime governing coastalresources in Indonesia is, in a word, sectoral. Thereare approximately 20 parliamentary laws and hun-dreds of regulations and ministerial decrees that re-late to these resources (Putra, 2001). These lawscan be loosely grouped into six categories. Marinespatial laws relate to geographic delimitations of theocean, and jurisdictional control over the maritimezone. Marine sectoral laws relate to uses of oceanresources and activities on the sea. Terrestrial spatiallaws relate to general planning aspects on the land,as well as jurisdictional issues regarding land man-agement, such as the agrarian and spatial planninglaws. Terrestrial sectoral laws constitute the bulkof laws relating to coastal resource management,that relate to land-based impacts to the sea and landwithin the coastal area. In recent years, environ-mental legislation has sprung up relating to envi-ronmental protection and natural resource conser-vation. These laws are not sectoral, because theydo not govern any one sector. Rather, they form asubstantive and procedural overlay for all other sec-tors, and their requirements must be satisfied in theconduct of all activities. Finally, there is the legisla-tion relating to decentralization, which also formsan overlay to all other laws.

Among these six basic categories, there are aprofound number of conflicts, gaps and overlapsin the law. There are several reasons for this. First,Indonesian laws themselves are so vague and broadthat conflicts often arise even within a single law(i.e., one law may offer two or more broad goals orprinciples that may conflict when applied in spe-cific circumstances). For example, in Act No. 9/1985 relating to Fisheries, Article 7(1) prohibitsdamage to the marine habitat, yet the Act also al-lows bottom trawl fishing and other capture fish-ing gear types that in some situations can be verydestructive to surrounding habitat.

Second, the rules of statutory construction forresolving differences among laws are vague andbroad. As in most countries, Indonesia recognizes

Creating a Framework for Integrated Coastal Management in Indonesia ...........................................(56- 65)

Page 61: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

58

the premise that laws enacted later in time take pri-ority over laws enacted earlier in time, and laws thatare more specific take priority over more generallaws. However, these rules of legal interpretationare not codified, so there is no consistent applica-tion (Diantha, 2001). Furthermore, the laws con-tain only implied repeals of previous laws, whichare often very difficult to implement.

Third, where conflicts do arise, they are gen-erally not resolved through the judiciary. Rather,they historically have been resolved with the issu-ance of a Presidential Decree or Ministerial Decree.This approach - where the executive branch of gov-ernment resolves disputes among laws enacted bythe legislature - makes a highly politicized legal sys-tem with little certainty, as opposed to an approachin which the judiciary resolves disputes and adheresto its own precedents. (Heydir, 1984).

Conflicts also exist with respect to enforce-ment. Different laws have different sanctions andliability for similar offenses. Sanctions, such ascriminal versus civil penalties, vary widely. Differ-ent Acts also have different standards of liability,such as negligence, intentional or strict, for almostidentical violations. This complicates enforcementand prosecution efforts.

These conflicts are exacerbated in coastal man-agement issues because coastal management involvesa particular bio-geographic space (i.e., the coastalarea) in which many sectors operate rather than fo-cusing on activities within a particular sector. Forexample, there are conflicts and overlaps in defini-tions of terms among different Acts, particularlyterms that define protected areas. Many of thesedefined areas appear almost identical in purpose,and yet they have different classifications under dif-ferent laws, which give rise to different uses.1 Asone example of a conflict between marine and for-estry sectors, Act No. 41/1999 relating to Forestryallows for harvest of coastal mangrove forests; how-ever, such harvest conflicts with the prohibitionsagainst damaging habitat of fishery resources, con-tained in Article 7(1) of Act No. 9/1985 relatingto Fisheries. As another example of conflict be-tween the fisheries and natural resources sectors, ActNo. 9/1985 has an extremely broad definition of

the term “fish” that can be harvested under that law,including sea turtles, marine mammals such aswhales and manatees, sea cucumber and corals;however, Act 5/1990 relating to Conservation ofNatural Resources protects fish and wildlife thatare threatened with extinction.

CURRENT EFFORTS TO IMPROVECOASTAL MANAGEMENT

Integrated coastal management has only re-cently become a subject receiving any significantattention from the central government (Dahuri andDutton, 2000). The government first addressed itin Repilita IV, in 1984, but it was not until 1994,in Repelita VI, that the national government con-sidered the marine sector independent from otherinstitutional and economic sectors (BAPPENAS,1994). In 1999, the central government created anew Ministry of Marine Affairs and Fisheries (DKP2001a). With this new ministry, there is now anopportunity for the development of a strong na-tionwide program for integrated coastal manage-ment (Kusumaatmadja 2000).

In addition to central government initiatives,there is a growing number of coastal managementprojects underway via donor agencies and lendinginstitutions, with an emphasis on community-basedprojects (Dutton et al. 1998). Projects at the locallevel in the last 10 years have raised awareness, de-veloped capacity for resource management, and es-tablished conservation areas (Sofa, 2000). There isa desire among the government and other groupsto establish a national mechanism to replicate suchprojects and expand capacity (Crawford andTulungen, 1999). The $70 million Marine andCoastal Resources Management Project funded bythe Asian Development Bank is one example.

Despite these efforts, much still needs to bedone, primarily at the local and regional level. In-donesia has engaged in a significant effort to decen-tralize authority of the government to the regionalofficials at the provincial and district levels, withemphasis at the district level. This effort is ridingon legal machinery that is moving at a phenom-enally rapid pace. In 1999, three laws were enactedby the central government to mobilize the process:

1 Specifically, protected areas are established under Act No. 9/1985 relating to Fisheries, under Act No. 5/1990 relating toConservation, under Act No. 41/1999 relating to Forestry, and under Act No. 24/1992, regarding spatial planning.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 62: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

59

Act No. 22/1999 on decentralization; Act No. 25/1999 on regional revenue-sharing; and Act No. 28/1999 on corruption, collusion and nepotism. It isestimated that approximately 1000 legal mandatesfrom the central government, including Acts, regu-lations and ministerial letters need to be modifiedto accommodate the new governance regime (GTZ,2001). Despite little opportunity to review andconform these laws to the new regime, or to de-velop the legal infrastructure for regional implemen-tation, these Acts took effect January 1, 2001 (Bell,2001). Even since then, districts have been attempt-ing to understand and implement those laws. Con-sequently, implementation is taking place at the locallevel haphazardly, inconsistently, and in many cases,irresponsibly.

THE NEXT STEP IN COASTALMANAGEMENT: LAW OR POLICY?

As local parliaments and bupatis are creatingnew laws for coastal management, there is a greatdebate brewing among government agencies, lend-ing institutions, donor agencies, academic institu-tions, stakeholders and non-government organiza-tions. It is a debate that is centered more on pro-cess than substance, more on planning than action.The question comes down to this: in the effort toimprove coastal management practices, whichshould come first: law or policy?

Managers, of course, believe that policyshould come first, law should implement policy,institutions and capacity should then follow.This is an overly formulistic approach and oftencreates policy documents that sit on the shelvesof civil servants. Lawyers, on the other hand,directly go into legislative drafting, which can bea risky venture. A new law can exacerbate a badsituation if a local government has no previousexperience in legal drafting, and writes a law thatis confusing, vague, broad, complicated, andunenforceable. Both managers and lawyers of-ten ignore the complex realities of societies op-erating under a vast, fluid array of laws, tradi-tions, practices, policies, norms and beliefs.

Managers - and everyone else - continue toask: what is the point of law? When one contem-plates the frantic pace of activity on the ground inIndonesia, and the acceleration of this activity un-der decentralization, it is easy to believe that devel-

oping legislation is too little, too late. This mayseem to ring especially true in a country in whichmany good laws at the national level are already onthe books, but poorly implemented, rarely enforcedand often violated. The rule of law barely existsacross many regions and sectors, with rampant cor-ruption, collusion and nepotism (KKN). Mostimportantly, a state-centered, positivist legal systemin Indonesia must be balanced with adat and tradi-tional legal systems across the country. Does it makesense to spend time and effort to develop new laws?The answer is, of course, yes. The sooner the better.

There are many reasons for this answer. Thefirst can be summed up in the need to “fight firewith fire.” At the national level, many problems incoastal management stem from conflicts and defi-ciencies in the legal regime. The only way to ad-dress this is not with policies and guidance, but withnew laws. At the local level, local parliaments andbupatis are already making new laws governingcoastal resources; if management is going to beimproved, one must start with law developmentbecause that is what is already happening.

Second, under regional autonomy, for the firsttime, laws are being developed at the local level.This presents great promise, because many localgovernments are starting with a clean slate. Manyof the failures of the central government can becorrected by the local governments under decen-tralization. There are many studies that discuss thebenefits of decentralization, in terms of efficiency,openness, accountability, responsiveness, etc. Oncelocal governments obtain authority for managementthrough decentralization, they must begin to exer-cise that management, and the primary way to dothat is through legislation.

Third, laws are now being developed by localparliamentary bodies, more than by administrativebodies such as the President or a bupati. One ofthe largest causes of problems and conflicts anduncertainty in Indonesian law was the fact that al-most all laws originated from the executive branch,and could be prepared and changed arbitrarily, with-out any scrutiny. A democratically elected localparliament is likely to be more accountable andconsistent in its activities than an executive branchwith many long-term appointees and civil servantsthat do not answer directly to voters.

Creating a Framework for Integrated Coastal Management in Indonesia ...........................................(56- 65)

Page 63: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

60

Fourth, new laws can be written in a way thatconfronts the practical realities of Indonesian soci-ety, rather than ignores them. Specifcally, past leg-islation ignored the realities of corruption and non-enforcement, and were written as if they would befully implemented. New legislation can be writtento address those realities. For example, if govern-ment agencies are not accountable, new legislationcan create independent agencies, or authorize andempower non-governmental entities, to ensure ac-countability in decision-making. Alternative legalsystems such as traditional and adat practices needto be officially recognized, and can be used to bal-ance government actions; such systems can be sup-ported only through rewriting the current laws.

THE MEANING AND ROLE OF LAWBefore attempting to define the meaning and

role of law in coastal management, it is worth look-ing more at the relationship of law to policy. Man-agers often consider the policy to be the toolboxfor management, with a list of required tools tomake sure each policy is successful. The tools of-ten include scientific assessment and monitoring,public participation, social and economic consider-ations, and codification in law. From this perspec-tive, law is thus just one of the tools in the tool-chest. However, more realistic and more effectiveis to look at law as the tool-chest itself. Scientificassessment and monitoring, participation, social andeconomic considerations, rather than being merepolicy recommendations, become legal require-ments. The process for figuring out what tools areneeded is the same whether it is policy or law. Theonly difference is the end-product: rather than apolicy which only carries a set of ideas and recom-mendations, there is a law that contains require-ments and standards. The drafting of the law isessentially the drafting of the policy. One exampleillustrates this point. A chef who is attempting tomake a new soup does not first develop a policy onsoup-making; he starts mixing the ingredients to-gether and continues to taste the soup as it devel-ops. If the soup is good, he records it in the formof a recipe, which is essentially the rule for makingthe same soup in the future. In the same way, policyand law are extensions of one another.

This relationship serves as our point of depar-ture into the world of law. Law differs from poli-

cies in a fundamental way. It consists of obliga-tions to act or not act in certain ways. Policies donot have the same authority or obligation. Policiescan only “change the climate of discourse. ..amount[ing] to declarations of intent” (Seidman1997). The purpose of law as it relates to policy isto induce people to follow the policy, to get peopleto conduct certain bahavior. Policies may state thedesired processes and outcomes, but it is law thatcan either mandate or encourage them.

Law shapes the basic fabric of interactionamong people and groups in society. It can havetwo purposes: it can either be descriptive, and seekto codify and reinforce behavior already practicedby society; or it can be prescriptive (or normative),and seek to modify behavior and change social prac-tices. In either case, law has a direct relationship tobehavioral patterns of society (Hart, 1961). To besure, behavioral patterns exist independent of a ruleof law - people act the way they do for reasons otherthan the existence of a law (Seidman, 2001). Forexample, people wear seat belts not because it isrequired, but because it can save their lives. How-ever, a law constitutes one reason why people maychange their behavioral patterns. For example,people apply for drivers’ licenses and pay registra-tion fees for their cars not because it will save theirlives, but because there is a law requiring them todo so. Law, therefore, is one tool to shape behav-ioral patterns, even if it is not the only tool.

There are a number of visions to define law.The classic, positivist, rules-oriented definition statesthat law generally consists of rules to which mem-bers of society have an obligation to follow (Hart,1961). Rules, in turn, consist of two types: pri-mary rules that impose duties and obligations onmembers of society, and secondary rules that con-fer power on certain institutions or individuals whocan then shape, interpret and implement primaryrules. The two sets of rules can also be character-ized as substantive rules of conduct and proceduralrules of operation.

There is a also a more modern, fluid notionof law that it is a process for decision-making insociety by those who are politically relevant (Lynch,2002). It does not necessarily entail a rules-basedsystem in which there is a rulemaker, and membersof society who follow the rules; it can entail a sys-tem in which decisions are made and followed in a

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 64: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

61

collective manner, without a hierarchy of rulingauthority. In this sense, lawmaking is a form ofcommunity problem-solving.

Regardless of the definition, the success or fail-ure of law turns on the question of obligation.Obligation can come in the form of formal pun-ishment, such as fines or imprisonment, determinedby a formally recognized figure of authority. It mayalso come in a non-formal setting, such as socialpressure on the part of a community, which canbring shame, guilt, isolation, etc. to the offendingparty. Obligation can also come through an inter-nal sense of moral duty or communal bond felt bythe individual to act in a certain manner recog-nized or expected by others in the community. Inlieu of obligation per se, there may be laws thatseek to promote behavioral changes though incen-tives, encouragement, or some other form of posi-tive reinforcement. In this case, the obligation iscontingent upon some prior condition, such as re-ceipt of aid or assistance. But in the end, there isstill obligation to act in a certain way.

It is the sense of obligation that consitutes thenotion of the ‘rule of law.’ The expression ‘rule oflaw’ commonly describes a society in which thereis a predictive, rational system of laws, rather thanarbitrary or capricious laws (Dicey, 1958). The ruleof law is considered to consist of three elements:supremacy of the law over arbitariness; equality inadministering the law; and constitutionality of lawin assigning rights to individuals. This can be sim-plified and considered in the context of primaryand secondary rules: the ‘rule of law’ consists ofpredictability in the rules governing behavior of themembers of society, and predictability in theinstutitions making and implementing the rules.

This analysis gives some insight into why ‘therule of law’ has so little meaning in Indonesia (Ford,2000). Indonesia is reputed to have good laws thataren’t implemented. This is an oxymoron. A goodlaw, by its definition, is one that is implementedby the governing body and is followed by the soci-ety. A law addresses two groups in society: the busi-nesses and people whose behavior is supposed to beshaped by the law; and the people who are sup-posed to be implementing the law (Seidman, 2001).A good law that is poorly implemented addressesonly the first set, forgetting about the second. Asan example in coastal management in Indonesia,

widespread illegal fishing (failure to follow primaryrules) has grown out of consistent non-enforcementand systematic corruption by public officials (fail-ure to recognize secondary rules).

This analysis also gives some insight into whycommunity-based systems of law, including adat,represent promising models for law development.Even though it is informal and not codified in writ-ing, there is a clear sense of the identity and role ofthe adat leaders who administer the adat norms andrules, and there is a strong sense of obligation thatcomes in the form of the communal bond and so-cial pressure. Thus, both the primary and second-ary rules are clear and understood and respected.

THE PRINCIPLES OF DEVELOPING ALEGAL FRAMEWORK FOR COASTALMANAGEMENT

There are two aspects that need to be consid-ered in developing a legal framework for coastalmanagement in Indonesia. The first addresses thebasic principles that apply to all laws in all situa-tions. They are the principles that are generally as-sociated with ‘good goverance.’ The second addressspecific considerations in developing a law in a coun-try like Indonesia, characterized by a changing gov-ernance system (from centralized to decentralized),and a weak rule of law. These are factors that go tothe heart of making the law successful.

With respect to the first aspect, the literatureis replete with identification and brief descriptionsof the essential principles for law development and‘good governance’ (Botchway, 2001). All theseprinciples apply in three basic arenas: procedural,substantive and equitable. Process deals with themechanics of a law — how a law is made and howit is carried out. These include transparency, par-ticipation, coordination, integration, accountabil-ity, enforceability, clarity and budgetarysustainability. Substance deals with contents of alaw — what the law says and why it is carried out.These include legal certainty, administrative flex-ibility, scientific validity, and socio-economic prac-ticality. Equity deals with application of the law -who is affected and in what manner is it carriedout. These include access to adjudication, due pro-cess, and fair hearings. Some of these principlesoverlap. In addition, principles should be appliedto the two types of rules discussed earlier - primary

Creating a Framework for Integrated Coastal Management in Indonesia ...........................................(56- 65)

Page 65: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

62

and secondary rules. For example, these principlesshould be used in preparing new legislation gov-erning coastal management, and they should be usedin implementing that new legislation, such as inthe issuance of permits and other subsequent gov-ernment activity.

Taking these principles together, two pointscannot be overstated. First, the goal of these prin-ciples is to create a legal system that is connected tothe people it governs - a legal system that is foundedon their needs, desires and capabilities. It cannotbe so normative or aspirational as to be unrealisticand un-implementable. Second, the basis of theseprinciples is the involvement of the community indeveloping, knowing, and understanding the legalsystem to improve implementation, compliance andenforcement. In this sense, law is not merely a re-flection of the state government or institutional lead-ership, but rather a reflection of the society at large.

The second aspect of developing a successfullegal regime is to consider the context, and addressthe practical realities as discussed earlier. In the caseof Indonesia, prescriptive laws have limited success.A prescriptive rule is generally mandatory in nature,and it requires a reasonably strong state apparatusto implement and enforce it. In comparison, a de-scriptive rule reflects the existing behavioral patternsof society, and would not change behavior; there-fore, it would not require a strong state apparatus.

The optimal approach combines both typesof rules: something that is based on descriptive be-havioral patterns, but moves toward desired pre-scriptions. This could be done through a volun-tary, incentive-based law. The incentives wouldcome with strings attached. Local governmentswould be required to develop laws and programsin accordance with certain standards and guidelinesto ensure that they follow good practices. Such alaw avoids the unrealistic expectations that so oftenaccompany a prescriptive, mandatory law based onprohibitions and requirements, with little likeli-hood of enforcement. At the same time, it cannudge behavioral patterns in a particular directionwithout necessarily forcing those behavioral pat-terns. To be sure, there are inherent limitations insuch a voluntary, incentive-based program. Behav-ior may not change since change is not required.However, it holds more promise than a mandatoryregime that is not carried out at all.

THE MECHANICS OF DEVELOPINGA LEGAL FRAMEWORK FOR COASTALMANAGEMENT

So where does one begin in developing alegal framework for coastal management? Onemust combine, to use a popular cliché, ‘bottom-up, top-down’ approaches. One component is todevelop a legal framework at the central level. Thesecond component is to develop laws at the regionaland local levels that will shape coastal managementon the ground.

In each case, the mechanics will be largely thesame. The first step needs to be a scoping analysis ofthe existing legal framework. This would include aninventory of existing laws, and an evaluation of thelegal sophistication of government staff. It would alsoentail an analysis of current implementation and en-forcement of existing laws. Frequently, it may be thatproblems may be addressed not through creation ofnew law, but enforcement of existing law. Under-standing the current ‘legal baseline’ is the first step todeveloping a new legal framework.

The next step would be an assessment of theneed and desire for additional legislation. This as-sessment would seek to define and specify the ap-propriate subject, content and goals of new legisla-tion. This also entails a determination of prioritiesand feasibility, such as the type and scope of legisla-tion that is most urgent, and what can be most ef-ficient. A formal report would be prepared thatsummarizes the scoping analysis and needs assess-ment, and lays the foundation for drafting the newlegislation (Seidman, 2001). It would also includethe process that will be undertaken to develop it.There must be public participation and active in-volvement by communities and the public in thepreparation of this report. It must follow the sameprinciples as the law itself would.

Once the research report is completed, thelegislative drafting process can begin. First, acore working group, or drafting team, would beconvened to oversee the drafting process. Thisgroup would be chosen primarily among theimplementing agency, as well as academics, LSMrepresentatives, and community representatives,but should not be too large. Working in col-laboration with the core team should be a larger,more comprehensive consultative team, whichcan be used for special input and periodic review.

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 66: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

63

Ad-hoc working groups and stakeholder sessionscan also be used.

Public participation can occur at several levelsin the process. First, the consultative meetingsshould be open to the public. In the least, thereneeds to be public dissemination of the draft lawamong villages and communities. A series of meet-ings open to the public should held among variousvillages. Based on the public review, the draft lawshould be revised. As part of the revision process, aseparate report would be prepared that would sum-marize comments and provide responses to thecomments, with reasons for changes from the ini-tial draft. After this the law could be submitted forenactment.

In each instance, it makes sense to start with abasic law that serves as a foundation, or framework,for other laws (Andreen, 2000). A framework lawwill deal with the basic goals, principles, processes,and standards of a particular subject, such as coastalmanagement. It will lay down the basic mecha-nisms for governance - setting an agenda for action,coordination, establishing necessary institutions,ensuring necessary funding, perhaps tackling somebasic substantive elements such as education and

outreach. See Figure 2. What a framework lawdoesn’t deal with is equally important: it doesn’tattempt to manage activities with only limited ex-perience or knowledge. It leaves such managementfor subsequent laws.

In developing a new coastal management pro-gram, national framework legislation would lookto accomplish several things: (1) establish a nationalagenda for coastal management, including the goals,the vision, the priorities for actions to conserve andmanage coastal resources; (2) create a new coordi-nating, inter-agency body to minimize and resolveconflicts, and provide better advice on actions; (3)establish a series of programs and activities to fulfilthe agenda, such as creation of a voluntary, incen-tive-based certification program., ways to recognizeadat and traditional rights, a new outreach and edu-cation program. A related reason is to provide for-mal guidance to regional governments and com-munities that now have authority to manage theircoastal resources, but as of yet do not have the abil-ity or experience to do it themselves. This guid-ance would draw heavily from the community-based models that already exist, and shape newmodels for the future (Crawford, et al. 1998).

Creating a Framework for Integrated Coastal Management in Indonesia ...........................................(56- 65)

Framework Law

Process Institutions Information Financing

Framework for Decision making (coordinated, open process)

Forestry regulations

Mining regulations

Law

Tourism regulations

Fishing regulations

Other regulations

Figure 1. Creating aLegal Framework.

Page 67: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

64

While regional differences must be accommodated,there are still several basic principles that are rel-evant in all regions (Cicin-Sain and Knecht, 1998).There is a great need to convey these principles,methodologies and best practices to the regionsthrough national guidance and direction. In thisway, a national law plays a vital role in the processof scaling up local conservation efforts.

TWO CASE STUDIESAt present, the Ministry of Marine Affairs and

Fisheries is developing a new coastal managementlaw. This law is intended to have three basic goals:(1) to set up a new coordinating mechanism fordeciding coastal management issues across the cen-tral government, primarily through the creation ofa new inter-agency council; (2) to establish a vol-untary, incentive-based program that gives fundingand technical assistance to districts that follow ba-sic principles of ICM; and (3) to provide for basicstandards relating to ICM, such as principles forspatial planning, conservation, distaster mitigation.

The process began almost two years ago. InNovember 2001, the Ministry published a ‘NaskahAkademik’ or Academic Study, a prerequisite forsubmitting a new Act for recommendation by thePresident to the Parliament. The Study was pub-lished after a series of consultations and workshopsthat led to a first draft, and then another round ofconsultations and workshops that led to the sec-ond, final draft. There are several reasons why thisStudy stands alone as a model for law developmentin Indonesia. First is the sheer comprehensivenessof the document: it provides a detailed descriptionof coastal resources in Indonesia, including the sta-tus and threats; it also provides a detailed legal analy-sis of the laws governing these resources. Second,it describes the mechanism for the new law, includ-ing a consideration of management alternatives andreasons why certain alternatives were accepted andothers rejected. Third, it summarizes all the publiccomments received, so that there is a clear, account-able record of the process. Fourth, the Study isbeing widely disseminated through hardcopy, CD-ROM, and online (www.dkp.go.id).

The drafting of the law is equally innovativeand serves as a model for other laws. A draftingteam was convened in February 2001, and virtuallyall of its meetings have been open to the public,

with regular attendance by LSMs. Several stake-holder meetings were held initially to seek input.Pulic consultations began with a very early draft ofthe law, so that stakeholders would believe that thedraft law was flexible. Each public consultationhas been documented and recorded, so that the pro-cess is open and accountable. A three-track publicconsultation strategy has been developed in coop-eration with the LSMs, which entails: (1) a formalprocess in which the Ministry is holding publicconsultations in 12 regions throughout Indonesia,and will develop the law for the President’s officeand the House of Representatives; (2) a consulta-tive process, in which the LSMs will hold their ownmeetings and feed comments back to the Ministryor directly to the House of Representatives; and (3)a mass media campaign, tied to the consultationsand focusing on print, radio and television.

At the local level, Minahasa District in North-ern Sulawesi just enacted a law on community-based ICM. It is unique in its design: it is not in-tended to burden communities with additional re-quirements, but rather to empower them to en-gage in coastal management planning on their own.The law establishes a multi-stakeholder council,that, in conjunction with the Marine and FisheriesDepartment of the district, is responsible for ICM.The council is advisory, making recommendationsto the Department, approved by the district head.The law also authorizes communities to developtheir own plans, enact ordinances, establish marineprotected areas, prepare spatial plans, each with rec-ommended criteria. There are some requirements,such as a public participation process for draftingdecisions. The engine that will drive these volun-tary measures is dedicated funding; the district hasstipulated in the coastal management law that a cer-tain percent of the budget each year must go tosupporting the implementation of the law.

CONCLUSIONAs Indonesia seeks to improve management

of its coastal resources, it faces two significant chal-lenges: the rapid degradation of resources; and thelack of large-scale responses and institutions to com-bat this degradation. However, two significant de-velopments provide great promise for the future:the success of small-scale, individual projects acrossIndonesia; and the creation of the insitutional ma-

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

Page 68: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

65

chinery to work on large-scale efforts. This ma-chinery includes the establishment of the Ministry ofMarine Affairs and Fisheries at the national level, andthe regional autonomy laws. These two developmentscan be used to leverage local, individual conservationefforts into a large-scale, nation-wide level.

The key to the success of scaling-up commu-nity-based efforts is through law. Law provides thefoundation for altering behaviors and encouragingnew courses of action. In order for the law to suc-ceed, it must be shaped by the community it serves,not merely the state that will enforce it. It must bebased on certain principles relating to the processby which it is made, the substance it contains, andthe manner in which it is implemented. Particu-larly with respect to Indonesia, a heavy-handed regu-latory law will not be as effective as a voluntary,incentive-based legal regime.

Indonesia is currently engaged in law reformof coastal management across regional and centrallevels. At the regional level, local laws are beingdeveloped to empower communities to make de-cisions on their own. At the national level, coordi-nating mechanisms are being established to addressthe morass of conflicting mandates and prioritiesthat thwart integrated coastal management. To-gether, these initaitves hold great promise for coastalmanagement in the country.

REFERENCES

Andreen, W. L., 2000. Environmental law and internationalassistance: The Challenge of Strengthening Environmen-tal Law in the Developing World, 25 Columbia Jounnalof Environmental Law, Vol 25, pp. 17, 27.

Bell, G. F. 2001. The new Indonesian laws relating to regionalautonomy: Good Intentions, Confusing Laws, Asian-Pa-cific Law & Policy Journal, Vol. 2, p. 1.

Botchway, F., 2001. Good governance: The Old, the New, thePrinciple, and the Elements, Florida Journal of Interna-tional Law, Vol 13, pp. 159, 161.

Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht, 1998. Integrated coastal andocean management: Concepts and Practices, Washington,D.C.: Island Press.

Crawford, B., I.M. Dutton, C. Rotinsulu, and L.Z. Hale,1998. Community-based coastal resources managementin Indonesia: Examples and Initial Lessons from NorthSulawesi, Proceedings of International Tropical MarineEcosystems Management Symposium, Dight, Ian,Kenchington, R., Baldwin, J. eds., ICRI.

Crawford, B. and J. Tulungen, 1999. Scaling-up models ofcommunity-based marine sanctuaries into a community-based coastal management program as a means of promot-ing marine conservation in Indonesia, Working Paper.Narragansatt, Rhode Island.: Center for Marine Conserva-tion, University of Rhode Island.

Dahuri, R. and I.M.Dutton, 2000. Integrated coastal andmarine management enters a new era in Indonesia, Inte-grated Coastal Zone Management, Issue 1, p. 11-16.

Diantha, P., 2001. Fakultas Hukum Unud, personal commu-nication. July 12.

Dicey, A.V. 1958. Introduction to the study of the law of theconsitution part II.

Dutton, I.M., F. Sofa, and J. Tulungen, 1998. Proyek Pesisir:Towards decentralized and strengthened coastal resourcesmanagement in Indonesia, in Bengen. D. (ed.), Proc. FirstNational Coastal Conference, 19-20 March, InstitutPertainian Bogor, Bogor, A63-A73.

Ford, Maggie, 2000. Only two cheers, Newsweek, SpecialIssue: The New Asia, July-Sept., p. 55.

GTZ (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit),2001. Project Support for Decentralization Measures(SfDM), Decentralization News Issues No. 1-8.

Hart, H.L.A., 1961. The concept of law. Oxford, England:Oxford University Press.

Hinrichsen, D., 1998. Coastal waters of the world: Trends,Threats and Strategies. Washington, D.C.: Island Press.

Idris, I., 2002. Pokok-pokok pikiran naskah akademik danrancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir,Departemen Kelautan dan Perikanan, Presentasi ke padaLembaga Sumberdaya Masyarakat (LSM). HotelMillenium, Jakarta, Indonesia, April 25.

Kusumaatmadja, S., 2000. National marine exploration andfisheries policy, Statement by the Minister, February 14,2000.

Lynch, O., 2002. Senior attorney, Center for International Envi-ronmental Law, personal communication. April 15.

Putra, S., 2001. Head of Sub-Directorate of Integrated CoastalZone Management, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP, personal communication. March 5.

Seidman, A, and R.B., Seidman, 1997. Beyond contestedelections: the Process of Bill Creation and the Fulfillmentof Democracy’s Promises to the Third World, Harvard Jour-nal on Legislation, Vol 34, p. 1.

Seidman, A, Seidman R.B., and N., Abeyesekere, 2001. Legis-lative drafting for democratic social change: A Manual forDrafters. Boston, Mass.: Kluwer Law International.

Sofa, F., 2000. Program pengalolaan pesisir dan kelautan diIndonesia: Sebuah Tinjauan, Technical Report. Jakarta,Indonesia: Coastal Resources Management Project, Jakarta.

Creating a Framework for Integrated Coastal Management in Indonesia ...........................................(56- 65)

Page 69: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

66

Gladwell, M. (2002) The Tipping Point (How Little Things Can Make a BigDifference), Back Bay Books, 301pp+xii, ISBN 0-316-34662-4. RRP $14.95

The Tipping Point

As those who know me well have noted(or heard!), one of my favoritesongwriter’s is Paul Kelly. One of his

best ever compositions tells the story of howan aboriginal tribe won back ownership of theirland by making a small change in the way theyworked with the occupiers and then persistedthrough a long and complex court process toeventually reclaim their land(s). The chorusline from that song* repeats... “from little things,big things grow”.

What has this got to do with coastal andmarine resource management? Tunggusebentar...

When a colleague at TNC asked me a fewmonths back if I believed that little things re-ally can make a difference, whether small stepstaken on a long journey really do make a dif-ference, I thought immediately of the aborigi-nal tribe and their ultimate success. My col-league has asked me because he had just reada book that he said profoundly changed theway he views change and how change occurs.That book is entitled “The Tipping Book” andhe was so enthusiastic about it he took me tothe closest bookstore and bought me a copyso I could read it on the plane back to Indonesiafrom the US.

What has this got to do with coastal andmarine resource management? Tunggusebentar...

The basic thesis of the tipping point is simple.The sometimes mysterious changes that mark ev-eryday life can be thought of as epidemics. Ideasand products and messages and behaviors spread

just like viruses do. The name given to that onedramatic moment in an epidemic when everythingcan change all at once is the Tipping Point.

What has this got to do with coastal andmarine resource management? Everything...

Everything, because management is (as Druckerso eloquently stated) all about getting things donewith and through people. The messages and prod-ucts that we deploy to guide the behavior of resource

How Little Things Can Makea Big Difference

Page 70: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

67

users have a basis in social marketing more than inclassical biology. The behaviors we expect “ourprecious stakeholders” to exhibit require adoptionof the ideas that the resultant behavior is nestedwithin. The expectations that we have that some-how small pilot ICM projects may just end up as“social epidemics of change” are firmly rooted inthe expectation that social contagion is possible.

Gladwell argues that three characteristics enablea successful epidemic - (i) contagiousness, (ii) thefact that little causes can have big effects, and (iii)that change happens at one dramatic moment andnot gradually. He employs a bewildering array ofexamples from shoe fashions to teenage pregnancyrates to sexually transmitted disease patterns to faxmachine sales to Sesame Street and military battlesto argue how these factors shape change. Whilethese are sometimes abstract, they are connectedby clever threads of ideas that provoke the readerto think about more tangible examples within theirown frame of reference.

One such thread is the role of different types ofpeople who influence change. Gladwell defines threekey types: Connectors, Mavens and Salesmen. Theformer are those people who we often describe asgood networkers. They link us to the world andhave a special gift for bringing the world togetherand are important both for the number and for thetypes of people they know. The second group (Ma-vens) are the information specialists. The word mavencomes from Yiddish and refers to people who ac-cumulate knowledge. Not only do they tend toknow (and to want to know) more than most mem-bers of the general population, they also like to pass

information along. So Mavens are like data banks -they provide the message, while connectors are so-cial glue - they spread the message. Both are pow-erful in influencing change in different ways, but it isthe Salesmen who add a new array of tools forchange - they have a unique skill to convince othersand persuade them why they should change.

Do you know people like this and what role theyhave played in the changes you have initiated orcontributed to? Of course your answer is yes... andthat is why Gladwell’s thesis is so intuitively appeal-ing.

As I delved deeper into his book I became alittle tired of some of the examples and was disap-pointed that the book did not deliver a set of con-clusions that I could immediately employ and adapt...but then again, it is not a text book.

For those of you struggling to understand changeand particularly the behavioral implications of coastalresources management, this book should provokeyou to think differently. I encourage you to take thetime to be tempted by the delight(s) of lateral think-ing - after all, who knows what big things might springfrom the small act of reading a book?

Dr. Ian DuttonThe Nature Conservancy, Indonesia ProgramE-mail: [email protected]

* P. Kelly/K. Carmody FROM LITTLETHINGS BIG THINGS GROW; full lyricsavailable @ www.paulkelly.com.au

Page 71: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

Pesisir & Lautan Volume 4, No.3, 2002

68

Committee on the Evaluation, Design, and Monitoring Marine Reserves andProtected Areas in the United States, National Research Council (2001).Marine protected areas: tools for sustaining ocean ecosystems. NationalAcademy Press, Washington, DC. xvi + 272p. ISBN 0-309-07286-7 (hard).

Marine protected areas (MPAs)are now becoming an important part in marine conservation

policy agendas. An increasing number of pub-lications in marine reserves and protected ar-eas have showed promise as components ofan ecosystem-based approach for conserv-ing the ocean’s living assets. This book pub-lished by National Academics of Sciences wasdirected to compare the benefits and costs ofMPAs to more conventional managementtools, explore the feasibility of implementa-tion, and assess the scientific basis and ad-equacy of techniques for designing marine re-serves and protected areas.

The book was structured into nine chap-ters, starting with the importance of MPAs asan integral component of marine and coastalzone management (chapter 1). The differencesbetween marine and terrestrial ecosystems thatinfluence both the goals and the design of pro-tected areas, are described in chapter 2.Chapter 3 explores the strengths and weak-nesses of conventional fisheries managementstrategies. The values, expected costs andbenefits, and need for stakeholder involvementin identifying goals and establishing managementplans for MPAs are covered in chapter 4. Chapter5 describes both the theoretical arguments and em-pirical evidence for marine reserves in the form of aliterature review. Chapter 6 presents planning anddesign as critical steps for successful establishmentof MPAs and reserves. The approaches that can beused to evaluate the effectiveness of the MPAs andreserves are described in chapter 7. The interna-tional history of MPAs and critiques the current sys-tem of MPAs and reserves in the United States arepresented in chapter 8. Finally, chapter 9 presentsthe conclusions and recommendations.

I found the book well constructed and pleasantlyreadable. It provides a rich information that allows thereader to examine the utility of marine protected areasand reserves for conserving marine resources, includ-ing fisheries, habitat, and biological diversity. I thus rec-ommend this book to scientists, researchers, govern-ment officials, and practitioners involved in managingcoastal and marine resources.

Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan LautanInstitut Pertanian Bogore-mail: [email protected]

Marine Protected Areas:

Tools for Sustaining OceanEcosystems

Page 72: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

OBJECTIVESr Increase public’s awareness of the benefits

of integrated coastal and marine resourcesmanagement.

r Stimulate dialogue between practitionersand scientific community.

r Share experience and learn lessons withinthe coastal and marine managementcommunity.

SCOPETechnical, legal, political, social and policy

that related to the management of coastal andmarine resources.

TARGET AUDIENCEGovernment officials at all levels, academ-

ics, researchers and practitioners involved in dis-cipline of coastal and marine resources manage-ment.

FORMATr Research and policy review papers (up to

3,000 words).r Research notes (usually based upon more

limited set of data and not exceeding 1,500words).

r Topic review articles (not more than8,000 words).

r Comments (opinions relating to previouslypublished material and all issues relevant tothe journal’s objectives, not more than 1,000words).

r Book review.

TUJUANr Meningkatkan kepedulian masyarakat luas

terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdayapesisir dan lautan secara terpadu.

r Merangsang dialog di antara para praktisidanpakar pengelolaan sumberdaya pesisir danlautan.

r Membagi pengalaman dan pengetahuandi antara seluruh pemerhati masalah-masalahpengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

RUANG LINGKUPTeknis, hukum, politik, sosial dan kebijakan yang

berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisirdan lautan.

SASARAN PEMBACAPejabat pemerintah dari seluruh tingkatan,

kalangan akademik, para peneliti dan praktisi, sertaberbagai kalangan pemerhati masalah-masalahpengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

FORMATr Makalah penelitian dan kajian kebijakan (tidak

lebih dari 3.000 kata).r Laporan singkat (menggunakan data yang lebih

terbatas dan tidak lebih dari 1.500 kata).r Artikel kajian (tidak lebih dari 8.000 kata).r Komentar (opini tentang naskah yang telah

diterbitkan dan berbagai macam isu lain yangsesuai dengan ruang lingkup jurnal, tidak lebihdari 1.000 kata).

r Resensi Buku.

Page 73: Volume 4, No.3, 2002 - crc.uri.edu · karakteristik sosial ekonomi dan budaya, dan analisis kebijakan pengelolaan pesisir Teluk Balikpapan. Analisis kesesuaian lahan ... bersifat

D a f t a r I s iContents

Makalah Penelitian dan Kajian Kebijakan (Research and Policy Review Paper)

TAHIR, A., D.G. BENGEN, DAN S.B. SUSILO - Analisis Kesesuaian Lahan dan KebijakanPemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan ...................................................................1

RESOSUDARMO, B.P., D. HARTONO, T. AHMAD, NINA I.L. SUBIMAN, OLIVIA, DAN A.NOEGROHO, - Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan dan Perikanan Indonesia..........17

KHAZALI, M., D.G. BENGEN, DAN V. P. H. NIKIJULUW- Kajian Partisipasi Masyarakatdalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu,Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat) ...................................................................................29

FAUZI, A., DAN SUZY ANNA- Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan:Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta) ............................. 43

PATLIS, J., M. KNIGHT AND W. SIAHAAN - Creating a Legal Framework for Integrated Coastal

Management in Indonesia ...........................................................................................................56

RESENSI BUKU (BOOK REVIEW)

DUTTON, I. M.- The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference........... 66

BENGEN, D.G. -Marine Protected Areas: Tools for Sustaining Ocean Ecosystems ..............68

This Journal is produced with the Sponsorship Support of Proyek Pesisir the USAIDCoastal Resources Management Project which is implemented via The CoastalResources Center of the University of Rhode Island