vol ii. no 1. maret 2014 issn : 2337-5310eprints.unlam.ac.id/262/1/jurnal full.pdf · sukmana...
TRANSCRIPT
Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Terbit setiap Maret dan September
PENGELOLA JURNAL DENTINO
Pelindung :
Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)
(Dekan Fakultas Kedokteran Unlam)
Pembina :
Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS
(Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam)
dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd
(Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam)
dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes
(Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam)
Penasehat :
Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS
(Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Ketua :
drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Sekretaris :
drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Penyunting :
drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit
Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral -
Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas
Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg.
M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra
Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas
Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam);
Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ;
drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam)
Administratif :
Hastin Atas Asih, AMKg
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
DAFTAR ISI
1. Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda Citrifolia Liin)
100% Dan Povidone Iodine 1% Terhadap Streptococcus Mutans In Vitro
Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly ……………………. 1-6
2. Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia Di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru
Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah ……………………………….. 7-12
3. Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat Pada Remaja Di
Ponpes Darul Hijrah Martapura
Rizal Hendra Kusuma, Rosihan Adhani, Widodo, Sapta Rianta ……………… 13-17
4. Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat
di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar
Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri ………………………….…………….….. 18-23
5. Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir dan Bengkuang Terhadap
Penurunan Indeks Plak Tinjauan Pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar
Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto ………………………………… 24-28
6. Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih (Camellia Sinensis l.)
Seduh Konsentrasi 100 % Dengan 50 % Dalam Meningkatkan Ph Saliva
Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo …………………………………………..….. 29-33
7. Peranan Penyuluhan Demonstrasi Terhadap Rasa Takut Dan Cemas Anak Selama
Perawatan Gigi Di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin
Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil ………………….………………..…… 34-38
8. Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah Mengkonsumsi
Makanan Manis Dan Lengket
Shandy Hidayat, Rosihan Adhani, I Wayan Arya ……………………..……….. 39-45
9. Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan Oleh Induk Tikus Pengidap
Diabetes Mellitus Gestasional
Nurdiana Dewi ………………………………….………………………………… 46-50
10. Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Terhadap
Peningkatan Ph Saliva
Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana ………….………… 51-55
11. Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss Terhadap Penurunan Indeks Plak
Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi ………………………….……. 56-59
12. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa l.)
Terhadap Pertumbuhan Streptococcusmutansin Vitro
Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti ..……………………. 60-64
13. Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80% Terhadap Stabilitas
Dimensi Cetakan Alginat
Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi ……….……….. 65-69
14. Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien Di Rsud Ulin
Banjarmasin Bulan Juni– Agustus 2013
Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana ……………………………………. 70-73
15. Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat Setelah Dilakukan
Penyemprotan Infusa Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) 50%
Sebagai Desinfektan
Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya………………... 74-78
16. Indeks Kebersihan Rongga Mulut Pada Anak Retardasi Mental
Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto ………………………. 79-82
17. Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer Setelah Disemprot
Menggunakan Sodium Hipoklorit
Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya ………………... 83-88
18. Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin Dengan Sistem Adhesif
Self Etch 1 Tahap (One Step) Dan 2 Tahap (Two Step)
Dewi Puspitasari ………………………………………………..………………… 89-94
19. Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal Pada Wanita Hamil Trimester 3 di
RSUD Ulin Banjarmasin
Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri …... 95-101
20. Hubungan Pelaksanaan Ukgs Dengan Status Kesehatan Gigi Dan Mulut Murid
Sekolah Dasar Dan Sederajat Di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin
Ringga Setiawan, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana,
Teguh Hadianto ………………………………………………………………….. 102-109
1
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERBANDINGAN EFEK BAKTERISIDAL EKSTRAK MENGKUDU (Morinda
citrifolia Liin) 100% DAN Povidone Iodine 1% TERHADAP Streptococcus mutans IN
VITRO
Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Researches had shown that noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v had antibacterial
effect against Streptococcus mutans because it contains flavonoid. These day, the therapies that have been given
to reduce the colonies of Streptococcus mutans in oral cavity, one of that is Povidone iodine 1%. Purpose: The
aim of this research was to prove the bactericidal effect of noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v equal
to Povidone iodine 1% against Streptococcus mutans in vitro. Methods: This research was an experimental
method laboratory (true experimental), with a post-test only design, using a completely randomized design,
consisting of four treatments: noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, positive
control (ethanol) and negative control (aquadest). Each treatment be repeated 7 times. The rated bactericidal
effect of the inhibition zone formed on Muller Hinton media with diffusion method. Results: One Way ANOVA
test showed that inhibition zone had a significant difference, noni extract (Morinda cirifolia Liin) 100% with a
mean inhibition zone of 13,71 mm and Povidone iodine 1% with a mean inhibition zone of 9,71 mm.
Conclusion: Noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% had bactericidal effect higher than Povidone iodine
1% against Streptococcus mutans in vitro.
Keywords: Bacterisidal effect, noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%, Streptococcus
mutans.
ABSTRAK
Latar Belakang: Penelitian telah membuktikan bahwa ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%
berat/volume (b/v) memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans karena mengandung flavonoid.
Terapi yang selama ini diberikan untuk mengurangi koloni Streptococcus mutans dalam rongga mulut, salah
satunya adalah Povidone iodine 1%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efek bakterisidal
ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam membunuh
pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
laboratorik murni (true experimental), dengan post-test only design, menggunakan rancangan acak lengkap
terdiri dari 4 perlakuan, antara lain: ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%,
kontrol positif (etanol) dan kontrol negatif (akuades). Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan
sebanyak 7 kali. Efek bakterisidal dinilai dari zona hambat yang terbentuk pada media Muller Hinton dengan
metode difusi. Hasil: Uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa zona hambat memiliki perbedaan yang
bermakna, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus
mutans dengan rata-rata zona hambat sebesar 13,71 mm dan Povidone iodine 1% dengan rata-rata zona
hambat sebesar 9,71 mm. Kesimpulan: Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek
bakterisidal lebih tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro.
Kata kunci: efek bakterisidal, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%,
Streptococcus mutans.
Korespondensi: Nur Rifdayani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]
Laporan Penelitian
2
PENDAHULUAN
Karies gigi merupakan salah satu masalah
kesehatan rongga mulut yang dapat menimbulkan
rasa sakit dan mengganggu aktivitas serta
mengurangi kualitas hidup penderita. Berdasarkan
Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun
2007, menunjukkan prevalensi karies aktif sebesar
50,7% dan yang mempunyai pengalaman karies
sebesar 83,4%.1 Salah satu bakteri utama penyebab
karies gigi adalah Streptococcus mutans yang
memproduksi enzim glucosyltransferase (GTF),
sehingga bakteri ini dapat membentuk koloni yang
melekat dengan erat pada permukaan gigi.
Streptococcus mutans menghasilkan polisakarida
ekstraseluler lengket dari karbohidrat makanan dan
mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam.
Jika kadar keasaman pada suatu gigi berada di
bawah pH 5,5 dapat menimbulkan proses
demineralisasi yaitu hilangnya sebagian atau
seluruh mineral dari jaringan keras gigi yang diikuti
oleh kerusakan bahan organik gigi karena terlarut
dalam asam sehingga terjadi karies gigi.2,3
Ada banyak cara untuk mencegah karies gigi,
salah satunya penggunaan obat kumur antiseptik.
Tujuan berkumur dengan antiseptik yaitu
menurunkan jumlah koloni bakteri patogen dalam
rongga mulut, mengurangi terjadinya plak, dan
karies gigi.4 Berbagai jenis obat kumur telah
beredar di masyarakat, salah satu yang banyak
digunakan yaitu obat kumur dengan kandungan
Povidone iodine 1%.5 Hasil penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa Povidone iodine memiliki
kemampuan dalam membunuh mikroorganisme in
vitro.6 Dilaporkan bahwa tingkat absorpsi yodium
dari Povidone iodine 1% tidak baik untuk
penggunaan jangka panjang dalam rongga mulut,
karena dapat menyebabkan masalah sensitivitas
yodium.7 Adapun efek samping yang dapat timbul
setelah pemberian Povidone iodine antara lain
berupa sensitivitas, eritema lokal, nyeri, erosi
mukosa, dan risiko utama yang terkait dengan
fungsi tiroid.8
Berbagai efek samping yang ditimbulkan dari
pemakaian bahan kimia dalam obat kumur cukup
banyak dan signifikan, sehingga diperlukan
alternatif lain sebagai bahan baku pembuatan obat
kumur dengan efek samping seminimal mungkin,
ekonomis, dan berkhasiat. Alternatif yang
memenuhi syarat tersebut adalah bahan dari herbal.9
Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa
penggunaan tanaman obat herbal relatif lebih aman
dibandingkan obat sintesis. Pakar dari Universitas
Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sudarsono Apt,
menyatakan bahwa obat-obatan dari herbal terbukti
berkhasiat. Kecenderungan peningkatan
penggunaan herbal untuk pengobatan tidak lagi
didasarkan atas pengalaman turun menurun tetapi
dengan dukungan dasar ilmiah.10 Salah satu
tanaman obat yang banyak dimanfaatkan sebagai
obat herbal adalah mengkudu.11
Berdasarkan hasil penelitian Sibi (2012),
dilaporkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak
mengkudu, mendukung penggunaan obat
tradisional yang dihubungkan dengan kondisi
mikroorganisme pada manusia dan sebagai
dampaknya dapat melawan mikroba multi
resisten.12 Menurut Rajarajan et al. (2009), ekstrak
buah mengkudu matang memiliki aktivitas Minimal
Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum
Bactericidal Concentration (MBC) yaitu sebesar
0,375 µg/ml hingga 24 µg/ml.13 Demikian pula,
dari hasil penelitian Dharmawati (2011) diketahui
efek ekstrak mengkudu terhadap pertumbuhan
Streptococcus mutans in vitro, ektrak mengkudu
konsentrasi 100% b/v (berat/volume) mempunyai
daya hambat lebih baik dari 50% b/v.14 Namun,
belum diketahui apakah ekstrak mengkudu 100%
b/v mempunyai efek bakterisidal setara dengan obat
kumur Povidone iodine 1% dalam membunuh
pertumbuhan Streptococcus mutans, sehingga perlu
dilakukan penelitian mengenai perbandingan efek
bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia
Liin) 100% b/v dan Povidone iodine 1% terhadap
Streptococcus mutans in vitro.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat
diambil suatu permasalahan yaitu apakah ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v
mempunyai efek bakterisidal setara dengan
Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans
in vitro. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk
membuktikan efek bakterisidal ekstrak mengkudu
(Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan
Povidone iodine 1% dalam membunuh
pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
mengukur zona hambat ekstrak mengkudu
(Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dan zona
hambat Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus
mutans. Hasil penelitian ini diharapkan
memberikan bukti ilmiah tentang efek bakterisidal
ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%
b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam
membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans in
vitro, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai
salah satu dasar penelitian lebih lanjut untuk
menghasilkan antiseptik oral dengan bahan herbal
mengkudu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental
laboratorik murni (true experimental), dengan
rancangan post-test only design berupa rancangan
acak lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan, meliputi
ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%
b/v, Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol)
dan kontrol negatif (akuades).
Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu
3
Masing-masing perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak 7 kali pengulangan. Jumlah
pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan,
didapat dari hasil perhitungan rumus Federer.
Alat penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah neraca analitik, meja Laminary
flow, pisau (stainless), blender, cawan petri, lampu
bunsen, ose steril, kapas lidi steril, kertas saring,
corong, gelas beker, gelas Erlenmeyer, tabung
reaksi kecil, rak tabung reaksi, pipet, pinset, rotary
evaporator, autoclave, inkubator anaerob, batang
pengaduk kaca dan calliper. Bahan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak
mengkudu 100% b/v, Povidone iodine 1%,
akuades steril, etanol 96%, aluminium foil, kapas,
isolat Streptococcus mutans, media agar Muller
Hinton (MHA), media Brain Heart Infusion (BHI),
media agar darah, paper disk kosong, larutan
standar Mc Farland I sebesar 3.108 cfu/ml.
Cara pembuatan ekstrak mengkudu 100%
adalah menyiapkan buah mengkudu yang matang,
putih, transparan, dan ukuran buahnya relatif besar.
Ekstrak mengkudu dibuat dengan metode maserasi.
Buah mengkudu sebanyak ± 5 kg dicuci bersih
kemudian ditiriskan dan dipotong-potong tipis.
Potongan buah selanjutnya dijemur di bawah sinar
matahari, dengan naungan kain hitam. Penjemuran
dilakukan beberapa hari, sampai potongan buah
benar–benar kering, mudah dipatahkan dengan
tangan. Potongan buah yang sudah kering,
berbentuk kepingan, dipisahkan antara daging buah
dengan bijinya. Daging buah yang sudah kering
selanjutnya dibuat serbuk (simplisia) dengan cara
dihancurkan dengan blender, simplisia yang
dihasilkan ± 325 gram. Simplisia siap dimaserasi
dengan merendam ke dalam pelarut etanol 96%
sampai terendam seluruhnya selama ± 24 jam,
kemudian disaring dengan kertas penyaring. Residu
kembali dimaserasi lagi dengan cara yang sama,
sampai tiga kali. Ekstrak atau filtrat hasil maserasi
ditampung menjadi satu dan diuapkan untuk
memisahkan pelarutnya. Penguapan dilakukan
dengan menggunakan alat rotary evaporator pada
suhu 45-50oC, sampai pelarut habis menguap,
sehingga didapatkan ekstrak kental buah
mengkudu. Ekstrak kental buah mengkudu dibuat
konsentrasi 100% b/v dengan menggunakan etanol.
Konsentrasi 100% b/v dibuat dengan memasukkan
100 gram ekstrak mengkudu dalam tabung
ditambahkan etanol sampai volume 100 ml.
Tahapan prosedur selanjutnya adalah
sterilisasi alat. Alat-alat yang diperlukan dicuci
bersih kemudian dikeringkan dan disterilisasikan
dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.
Melakukan persiapan bakteri dengan menggoreskan
Streptococcus mutans pada media agar darah
kemudian didiamkan dalam inkubator 37oC selama
24 jam.
Setelah diinkubasi, dideteksi Streptococcus
mutans akan berupa koloni bulat kecil dan
berdiameter 1-2 µm. Koloni bakteri hasil
pertumbuhan selama 24 jam disuspensikan ke
dalam 0,5 ml BHI cair dan dilakukan inkubasi
selama 5-8 jam pada suhu 37oC. Dilakukan
penambahan akuades steril pada suspensi bakteri
pada BHI, sehingga kekeruhan sesuai standar
konsentrasi bakteri Mc Farland I sebesar 3x108
cfu/ml. Setelah itu dilakukan Persiapan larutan
Povidone iodine. Larutan Povidone iodine 1% yang
digunakan adalah obat kumur merek Betadine
konsentrasi 1% dan diambil dengan menggunakan
pipet sebanyak 1cc.
Uji efek bakterisidal ekstrak mengkudu
(Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dilakukan
dengan mengambil suspensi bakteri yang telah
distandarkan dengan Mc Farland I sebesar 3x108
cfu/ml dengan kapas lidi steril dan dioleskan pada
media agar Muller Hinton. Kemudian meletakkan
paper disk (kertas samir) yang telah direndam
ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%
b/v selama 3 jam sebagai perlakuan 1, meletakkan
paper disk yang telah direndam Povidone iodine
1% selama 3 jam sebagai perlakuan 2, meletakkan
paper disk yang telah direndam etanol selama 3 jam
sebagai perlakuan 3 (kontrol positif) dan
meletakkan paper disk yang telah direndam
akuades selama 3 jam sebagai perlakuan 4 (kontrol
negatif).
Proses selanjutnya, diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Pengujian efek bakterisidal
dilakukan dengan pengamatan yang dilakukan
setelah pengeraman 24 jam. Pengamatan efek
bakterisidal dilakukan dengan mengukur diameter
zona hambat di sekitar paper disk. Zona hambat
yang terbentuk diukur dengan calliper (mm).
HASIL PENELITIAN
Penelitian dengan judul “Perbandingan Efek
Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia
Liin) 100% dan Povidone iodine 1% terhadap
Streptococcus mutans in vitro” telah dilakukan
dengan menggunakan 4 perlakuan, yaitu ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v,
Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol), dan
kontrol negatif (akuades).
Masing-masing perlakuan diuji secara difusi,
menggunakan paper disk dan dilakukan dalam 7
kali pengulangan. Hasil pengukuran zona hambat
dari masing-masing perlakuan terhadap
Streptococcus mutans dapat dilihat pada Gambar 1.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6
4
Gambar 1. Zona Hambat (mm) dari
Setiap Perlakuan
Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat
variasi zona hambat yang terbentuk dari masing-
masing kelompok perlakuan. Perlakuan ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v
memperlihatkan rata-rata zona hambat sebesar
13,71 mm dan Povidone iodine 1% sebesar 9,71
mm. Kontrol positif (etanol) memiliki rata-rata
zona hambat sebesar 4,85 mm dan kontrol negatif
(akuades) sebesar 0 mm.
Masing-masing perlakuan dilakukan uji
normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah data kurang
dari 50 buah, untuk mengetahui sebaran data
penelitian pada tingkat kepercayaan 95% (p >
0,05). Hasil uji normalitas memperlihatkan sebaran
data yang normal, yaitu nilai signifikasi (p) pada
kelompok perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda
citrifolia Liin) 100% b/v adalah 0,064 dan Povidone
iodine 1% adalah 0,099. Sedangkan nilai signifikasi
(p) kontrol positif (etanol) adalah 0,099 dan kontrol
negatif (akuades) adalah konstan. Data penelitian
selanjutnya diuji homogenitas data menggunakan
uji varians Levene’s test (α = 0,05). Hasil uji
homogenitas menunjukkan varians data yang tidak
homogen dengan nilai signifikasi sebesar 0,003
(Sig. < 0,05), sehingga perlu dilakukan transformasi
data. Hasil transformasi data menunjukkan varians
data homogen dengan nilai signifikasi sebesar
0,249 (Sig. > 0,05).
Masing-masing perlakuan dilakukan uji One
Way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (α =
0,05) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
penyebaran data. Syarat digunakannya uji One Way
ANOVA adalah data yang terdistribusi normal dan
homogen.30 Hasil uji One Way ANOVA didapatkan
nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti terdapat
perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan.
PEMBAHASAN
Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin)
100% b/v memiliki efek bakterisidal terhadap
Streptococcus mutans dengan rata-rata zona hambat
sebesar 13,71 mm, sedangkan Povidone iodine 1%
sebesar 9,71 mm. Zona hambat pada ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih
tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% secara
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih
baik dibandingkan Povidone iodine 1% dalam
membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans.
Perlakuan Povidone iodine 1% memberikan
efek rata-rata zona hambat sebesar 9,71 mm
terhadap Streptococcus mutans. Hal ini dapat
membuktikan bahwa Povidone iodine 1% sebagai
obat kumur mempunyai sifat bakterisidal terhadap
Streptococcus mutans sebagai salah satu bakteri
utama penyebab karies gigi. Povidone iodine dalam
kedokteran gigi biasanya digunakan sebagai obat
kumur yang mampu mengurangi jumlah
mikroorganisme di dalam rongga mulut. Cara kerja
Povidone iodine terkait dengan kandungan iodine
yang mampu dengan cepat berkontak langsung
terhadap permukaan sel bakteri yang
mengakibatkan hilangnya materi sitoplasmik dan
deaktivasi enzim sehingga terjadi kerusakan
struktur dan fungsi sel bakteri.27 Povidone iodine
bereaksi kuat dengan ikatan rangkap dari asam
lemak tak jenuh dalam dinding sel bakteri dan
membran organel bakteri yang menyebabkan
pembentukan pori permanen dan lisisnya sel
bakteri.24
Perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda
citrifolia Liin) 100% b/v dalam penelitian ini
menunjukkan efek bakterisidal terhadap
Streptococcus mutans dengan menghasilkan rata-
rata zona hambat sebesar 13,71 mm. Hasil
penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Dharmawati (2011),
yaitu ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin)
100% memiliki daya hambat kuat terhadap
pertumbuhan Streptococcus mutans.14
Mengkudu dikenal sebagai anti bakteri, anti
virus, anti jamur, anti tumor, anti inflamasi,
anthelmintic, memiliki efek anti TBC, analgesik,
hipotensif, dan aktivitas imunologinya dapat
meningkatkan kekebalan tubuh.16 Beberapa jenis
senyawa fitokimia dalam buah mengkudu adalah
acubin, alizarin, antraquinon. xeronine,
proxeronine, saponin, minyak atsiri, dan alkaloid.
Acubin, alizarin, dan antrakuinon terbukti
mempunyai aktivitas anti bakteri terhadap P.
aeruginosa, Proteus morgaii, Straphylococcus
aerus, Bacillus subtilis, E. Coli, Salmonella, dan
Shigela.15 Mengkudu terdiri dari berbagai zat
nutrisi seperti protein, vitamin, dan mineral penting.
Salah satunya adalah selenium yang memiliki efek
anti oksidan. Kandungan lainnya, terpenoid
13,71
9,71
4,85 0
Zona Hambat (mm) dari Setiap
Perlakuan
Ekstrak
Mengkudu 100%
Povidone iodine
1%
Kontrol (+)
Kontrol (-)
Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu
5
berguna untuk membantu proses sintesis organik
dan pemulihan sel-sel tubuh. Asam Karbonat
merupakan sumber vitamin C dan anti oksidan, juga
berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap
mikroorganisme. Mengkudu juga mengandung
scolopetin yang efektif sebagai unsur anti
peradangan dan anti alergi.14,15,31
Mengkudu mengandung senyawa fenolik,
yaitu tannin dan flavonoid yang merupakan anti
oksidan primer. Mekanisme tannin sebagai anti
bakteri belum diketahui secara pasti, tapi
diperkirakan berkaitan dengan kemampuannya
menghentikan sintesis glukan oleh Streptococcus
mutans.32 Ferrazano et al (2011), melaporkan
bahwa anti bakteri tannin berinteraksi secara
langsung dengan membran protein bakteri sehingga
menghambat perlekatan sel bakteri pada permukaan
gigi dan menghambat kerja enzim
glukosiltranferase dan amilase yang dihasilkan oleh
Streptococcus mutans.33 Berdasarkan penelitian
Dewi (2010), dilaporkan bahwa aktivitas antibakteri
flavonoid pada buah mengkudu cenderung lebih
aktif membunuh bakteri Gram positif, seperti
Streptococcus mutans. Kandungan senyawa aktif
flavonoid pada ekstrak mengkudu bersifat polar
sehingga lebih mudah menembus lapisan
peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri
Gram positif.18 Dinding sel bakteri Gram positif
mengandung polisakarida (asam terikoat)
merupakan polimer yang larut dalam air berfungsi
sebagai transfor ion positif. Sifat larut inilah yang
menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram
positif bersifat lebih polar. Mekanisme kerja
flavonoid sebagai bakterisidal terhadap
pertumbuhan Streptococcus mutans yaitu
mengganggu fungsi dinding sel sebagai pelindung
dari lisis osmotik sehingga berakibat pada kematian
sel bakteri.18
Adapun keterbatasan penelitian ini, yaitu
peneliti hanya menggunakan ekstrak mengkudu
(Morinda citrifolia Liin) 100% dan belum
mengetahui konsentrasi optimum ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) yang paling
efektif membunuh Streptococcus mutans
dibandingkan dengan Povidone iodine 1%. Peneliti
menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan
pelarut etanol untuk menyaring zat aktif dari buah
mengkudu dan belum mengetahui metode ektraksi
lain yang dapat digunakan. Penelitian ini dilakukan
secara in vitro, sehingga peneliti belum mengetahui
efek samping dari penggunaan antiseptik oral
dengan bahan herbal ekstrak mengkudu (Morinda
citrifolia Liin) 100% terhadap rongga mulut.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak mengkudu
(Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek
bakterisidal yang lebih tinggi dibandingkan
Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans
secara in vitro.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui efek bakterisidal ekstrak mengkudu
(Morinda citrifolia Liin) pada konsentrasi lain
terhadap Streptococcus mutans dibandingkan
dengan Povidone iodine 1%. Penelitian selanjutnya
juga dapat diarahkan untuk mengetahui metode
ekstraksi lain yang lebih sederhana dan dapat
menyaring lebih banyak komponen zat aktif dari
buah mengkudu untuk membunuh pertumbuhan
Streptococcus mutans. Perlu dilakukan penelitian
mengenai efek samping dari penggunaan ekstrak
mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% terhadap
rongga mulut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Republik Indonesia. Riset
kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Republik Indonesia; 2008. p. 142.
2. Imaculata R, Tedjosasongko U, Cornelia S.
Pemberian minyak wijen (Sesamum
indicum, L) terhadap Streptococcus mutans
(in vitro). Indonesian Pediatric Dental
Journal 2010; 2(3): 2.
3. Dharsono VA, Mooduto L, Prasetyo EP.
Perbedaan jumlah koloni Streptococcus
mutans pada saliva penderita pria dan wanita
dengan karies tinggi. Conservative Dentistry
Journal 2013; 3(1): 2.
4. Sumono A, Wulan A. Kemampuan air
rebusan daun salam (Eugenia polyantha W)
dalam menurunkan jumlah koloni bakteri
Streptococcus sp. Majalah Farmasi
Indonesia 2009; 20(3): 112-113.
5. Primalia DR, Yuliati A, Soebagio.
Perlekatan Streptococcus mutans pada
semen hibrid ionomer setelah direndam
dalam larutan antiseptik. Material Dental
Journal 2009; 1(1): 1.
6. Apriasari ML. Uji bakteriosid ekstrak daun
sirih 35% terhadap Streptococcus viridans
pada stomatitis aftosa rekuren dan patch test
dengan ekstrak daun sirih 35%. Karya Tulis
Akhir. Surabaya: Program Pendidikan
Dokter Gigi Spesialis Bidang Studi Ilmu
Penyakit Mulut Universitas Airlangga; 2010.
p. 15.
7. Kumar S, Babu R, Reddy J, Uttam.
Povidone iodine–revisited. Indian Journal of
Dental Advancements 2011; 3(3): 617-619.
8. Andini AR. Pengaruh pemberian Povidone
iodine 1% sebagai oral hygiene terhadap
jumlah bakteri orofaring pada penderita
dengan ventilator mekanik. Jurnal Media
Medika Muda 2012; 1(1): 13-14.
9. Victor BC, Indrawati R, Sidarningsih.
Perbedaan daya hambat obat kumur ekstrak
teh hijau (Camellia sinensis) dan metil
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6
6
salisilat terhadap pertumbuhan bakteri
rongga mulut. Oral Biology Dental Journal
2011; 3(2): 1.
10. Harsini W. Penggunaan herbal di bidang
kedokteran gigi. Majalah Kedokteran Gigi
2008; 15(1): 61.
11. Purbaya RJ. Mengenal dan memanfaatkan
khasiat buah mengkudu. Bandung: Penerbit
Pionir Jaya; 2002. p. 19-22, 40.
12. Sibi G, Chatly P, Adhikari S, Ravikumar
KR. Phytoconstituents and their influence on
antimicrobial properties of Morinda
citrifolia L. Research Journal of Medicinal
Plant 2012; 6(6): 445.
13. Rajarajan S, John NK, Shanthi S. In vitro
bacterisidal activities of extracts from ripe
and unripe fruit of noni. P.G & Research
Department of Microbiology &
Biotechnology 2009; 1(1): 4.
14. Dharmawati IGA. Efek ekstrak mengkudu
menghambat pertumbuhan Sreptococcus
mutans penyebab dental plak secara in vitro.
Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu
Biomedik Universitas UDAYANA; 2011. p.
12-16, 23-27, 38, 42-47.
15. Singh DR. Morinda citrifolia L. (Noni) a
review of the scientific validation for its
nutritional and therapeutic properties.
Journal of Diabetes and Endocrinology
2012; 3(6): 77-79.
16. Nagalingam S, Sasikumar CS, Cherian KM.
Extraction and preliminary phytochemical
screening of active compounds in Morinda
citrifolia fruit. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research 2012;
5(2): 179.
17. Soenanto H. 100 resep sembuhkan
hipertensi, asam urat, dan obesitas. Jakarta:
Penerbit PT. Alex Media Komputindo
Kelompok Gramedia; 2009. p. 82.
18. Dewi FK. Aktivitas antibakteri ekstrak
etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia,
L) terhadap bakteri pembusuk daging segar.
Skripsi. Surakarta: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas
Maret; 2010. p. 26.
19. Harvey RA, Champe PC, Fisher BD.
Microbiology. 2nd Ed. Philadelphia:
Lippincott's Illustrated Reviews; 2007. p. 79.
20. Deng DM, Urch JE, ten Cate JM, Rao VA,
van Aalten DM, Crielaard W. Streptococcus
mutans SMU.623c codes for a functional,
metal-dependent polysaccharide deacetylase
that modulates interactions with salivary
agglutinin. American Society for
Microbiology 2009; 191(1): 394.
21. Lueckel HM, Paris S, Ekstrand KR. Caries
management science and clinical practice.
New York: Thieme Medical Publishers;
2013. p. 32.
22. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC;
2010. p. 74.
23. Farah CS, Mclntosh L, McCullough MJ.
Mouthwash. Australian Prescriber 2009;
32(6): 163.
24. Bathla S. Periodontics revisited. Jaypee
Brothers. New Delhi: Medical Publishers;
2011. p. 284.
25. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan
anak. Edisi 15. Jakarta: EGC; 1996. p. 859.
26. Pratiwi, ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2008. p. 188.
27. Sibbald RG, Leaoer DJ, Queen D. Iodine
made easy. Wounds International 2011;
2(2): 1-6.
28. Astawan M, Kasih AL. Khasiat warna-warni
makanan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama; 2008. p. 31.
29. Yunianita D, Carabelly AN, Apriasari ML.
Perbandingan efek bakterisidal jus stroberi
(Fragaria x ananassa) 50% dan Povidone
iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in
vitro. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi 2013;
I(1): 40.
30. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan
kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika; 2012. p. 89.
31. Sholehah DN. Pengukuran kandungan
skopoletin pada beberapa tingkat
kematangan buah mengkudu (Morinda
citrifolia Liin) dengan metode KLT
densitometri. Agrovigor 2010; 3(1): 4.
32. Goyal D, Sharma S, Mahmood A. Inhibition
of dextransucrase activity in Streptococcus
mutans by plant phenolics. Indian Journal of
Biochemistry and Biophysics 2013; 50(1):
53.
33. Ferrazano GF, Amato I, Ingenito A, Zarrelli
A, Pinto G, and Pollio A. Plant polyphenols
and their anti cariogenic properties : A
Review. Multidisciplinary Digital Publishing
Institude 2011; 16: 1486.
Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu
8
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
GAMBARAN KLINIS KELAINAN MUKOSA RONGGA MULUT PADA LANSIA DI
PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU
Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia
ABSTRACT
Background: The aging process decreased function of organs and other physical changes. One of the
changes that occur in the elderly as a result of the decline in organ function and decreased cell function is a
change in the oral mucosa such as the mucosa looks slick shiny (no stipling on the gingiva), pale, dry, easily
irritated, bleeding and swelling. Purpose: The purpose of this study was to determine the clinical features of
oral mucosal abnormalities in the elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru.
Methods: This study was descriptive observational with descriptive analysis. Samples were taken by using
purposive sampling technique as many as 56 elderly. The data were obtained by direct interview and clinical
examination using a dental mirror. Results: The results showed that the clinical features of oral mucosal
abnormalities were found fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual
varikositis, angular chelitis, and denture hyperplasia. The most commonly clinical features of oral mucosal
abnormalities were fissured tongue (51.78%) and coated tongue (48.21%). Conclusion: Based on the research
conducted, it was concluded that the clinical features of oral mucosal abnormalities most commonly found in the
elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru was fissured tongue.
Key words: clinical features of mucosal abnormalities, elderly, Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home
Banjarbaru
ABSTRAK
Latar belakang : Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan
fisik lainnya. Salah satu perubahan yang terjadi pada lansia akibat dari penurunan fungsi organ tubuh dan
penurunan fungsi sel adalah perubahan pada rongga mulut seperti mukosa tampak licin mengkilap (tidak ada
stipling pada gingiva), pucat, kering, mudah mengalami iritasi, perdarahan dan pembengkakan. Tujuan:
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 56 lansia. Data
diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan kaca
mulut. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran
klinis kelainan mukosa rongga mulut yang ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru adalah fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual
varikositis, angular chelitis, and denture hiperplasia. Gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang
paling banyak ditemukan adalah fissured tongue (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Kesimpulan:
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis kelainan mukosa
rongga mulut yang paling banyak ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera
Banjarbaru adalah fissured tongue.
Kata kunci: gambaran klinis kelainan mukosa, lansia, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru
Korespondensi : Ayu Asih P., Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasinn 128 B Kalsel, [email protected]
Laporan Penelitian
7
8
PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan di bidang
kesehatan telah meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat dan usia harapan hidup. Kondisi
demikian memungkinkan penduduk untuk
menikmati usia lebih panjang.1 Indonesia adalah
salah satu negara berkembang yang berhasil dalam
pembangunan khususnya pembangunan bidang
kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan.
Salah satu yang menonjol adalah semakin
meningkatnya usia harapan hidup penduduk
Indonesia.2
Jumlah lansia pada tahun 1970 diperkirakan
hanya sekitar 2 juta, sedangkan pada tahun 1990
telah mengalami peningkatan hampir 6 kali lipat
atau berkisar 11,3 juta dari jumlah penduduk yang
ada. Tahun 2000 jumlah lansia mengalami
peningkat lagi menjadi 15,3 juta, dan pada tahun
2010 yang lalu jumlah lansia diperkirakan telah
sama dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 24
juta atau hampir 10 persen dari seluruh jumlah
penduduk Indonesia. Menurut perkiraan badan
kesehatan dunia WHO, tahun 2020 jumlah
penduduk lansia di Indonesia akan mengalami
kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun
tersebut jumlah lansia di Indonesia diperkirakan
mencapai 11,34 persen dari jumlah pendudukan
yang ada, atau sekitar 28,8 juta (2). Populasi lansia
di Provinsi Kalimantan Selatan seluruhnya
mencapai 53.880 orang tersebar di 13
kabupaten/kota.3
Bersamaan dengan bertambahnya usia terjadi
pula penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai
perubahan fisik. Penurunan ini terjadi pada semua
tingkat seluler, organ, dan sistem. Hal ini
mengakibatkan terjadinya peningkatan kejadian
penyakit pada lansia, baik akut maupun kronik.
Meningkatnya gangguan penyakit pada lansia dapat
menyebabkan perubahan pada kualitas hidup.4
Penelitian yang dilakukan oleh Mozafari, dkk
terhadap 237 lansia di Mashhad Iran menemukan
bahwa pada 98% lansia memiliki satu lesi mukosa,
yang paling umum terjadi adalah fissured tongue
66,5%, atrophic glossitis 48,8%, sublingual
varicosity 42% dan xerostomia 38%. Xerostomia
lebih banyak mengenai usia 70-79 tahun di
bandingkan usia 60-69 tahun.5 Penelitian Mayvira S
terhadap 100 lansia di Medan menunjukan seluruh
lansia mengalami lesi-lesi mukosa mulut. Lesi
mukosa mulut yang terbanyak ditemukan pada
lansia adalah pigmentasi sebesar 77%, sublingual
varikositis 76%, coated tongue 69%, fissured
tongue 55%, keratosis 17%, granula fordyce 14%,
atropi papila lidah 10 %, traumatic ulcer 7 %,
angular cheilitis 4 %, stomatitis 4 %, median
rhomboid glossitis 1 %, black hairy tongue 1 % dan
fibroma 1 %.6
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera
adalah panti sosial untuk lansia yang berada di
bawah naungan pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan. Sampai saat ini belum ada penelitian
tentang kelainan mukosa rongga mulut pada lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera
Banjarbaru. Berdasarkan survei lapangan, seminggu
sekali para lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Sejahtera Banjarbaru hanya diperiksa
kesehatannya saja bukan kesehatan mulut, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui
kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa
rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
observasional yang diperoleh dari anamnesa dan
pemeriksaan klinis pada rongga mulut lansia.
Populasi pada penelitian ini adalah semua lansia
yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru. Sampel pada penelitian ini
diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah
populasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi : Usia ( ≥ 60
tahun), bersedia menandatangani informed consent,
sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria eksklusi :
Lansia yang tidak kooperatif, mengalami kesulitan
dalam membuka mulut, hanya bisa berbaring
ditempat tidur.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.
Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Peneliti datang
ke Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera
Banjarbaru dan memberikan penjelasan tentang
manfaat dan prosedur penelitian yang akan
dilakukan. Peneliti memberikan lembar persetujuan
(informed consent) sebagai tanda persetujuan
menjadi subyek penelitian. Kemudian dilakukan
anamnesa dan pemeriksaan klinis pada rongga
mulut lansia dengan menggunakan kaca mulut.
Kelainan mukosa rongga yang ditemukan di catat di
formulir penilaian. Data yang sudah terkumpul
kemudian ditabulasi dan analisis data dilakukan
dengan cara perhitungan persentase setiap lesi-lesi
mukosa mulut yang terlihat pada lansia.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian gambaran klinis kelainan
mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru, pada
bulan Juni dan Juli 2013. Diperoleh subjek
penelitian sebanyak 56 orang lansia, berdasarkan
jenis kelamin, subjek penelitian yang berjenis
Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia
9
kelamin laki-laki berjumlah 24 orang dan
perempuan berjumlah 32 orang.
Kelompok usia berdasarkan WHO adalah
lansia (elderly) berjumlah 38 orang yaitu 20 orang
laki-laki dan 18 orang perempuan, kelompok usia
tua (old) 15 orang, 4 orang laki-laki dan 11 orang
perempuan, sedangkan untuk kelompok usia sangat
tua (very old) berjumlah 3 orang semuanya
perempuan.
Pada penelitian ini, didapatkan dari 56 orang
lansia yang diperiksa 47 orang diantaranya
(83,92%) memiliki kelainan mukosa rongga mulut.
Kelainan mukosa rongga mulut pada lansia yang
terbanyak terjadi pada lidah, yaitu fissured tongue
dialami 29 orang (51,78%), diikuti coated tongue
dialami 27 orang (48,21%) dan yang paling sedikit
ditemukan kelainan mukosa rongga mulut pada
lansia adalah denture hyperplasia dialami 1 orang
(1,78%).
Gambar 1. Gambaran klinis fissured tongue
Gambar 2. Gambaran klinis coated tongue
Gambar 3. Diagram gambaran klinis kelainan
mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werda Budi Sejahtera Banjarbaru
PEMBAHASAN
Seiring dengan menurunnya fungsi sistem
imun terjadi peningkatan respon autoimun tubuh.7
Berat dan ukuran kelenjar timus mengalami
penurunan dengan bertambahnya usia, seperti
halnya kemampuan diferensiasi sel T. Hilangnya
proses diferensiasi sel T menyebabkan tubuh salah
mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai
benda asing sehingga tubuh menyerang sel tersebut.
Penuaan menyebabkan sel limfosit T kurang
merespon terhadap adanya antigen sehingga jumlah
sel limfosit sitotoksik yang melawan suatu infeksi
lebih sedikit.8,9
Pertahanan tubuh pada lansia terhadap
organisme asing akan mengalami penurunan,
seiring dengan bertambahnya usia baik dari fungsi
organ tubuh maupun dari perubahan fisik. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan
kejadian penyakit yang dapat menyertai lansia.
Penyakit sistemik ini dapat menjadi salah satu
faktor predisposisi timbulnya kelainan mukosa
rongga mulut. 4,7
Mukosa mulut manusia dilapisi oleh sel epitel
yang memiliki fungsi utama sebagai barier terhadap
pengaruh-pengaruh lingkungan baik dalam maupun
luar mulut. Saliva pada orang tua mengandung total
protein dalam jumlah lebih sedikit dan protein
kualitatif serta elektrolit yang berbeda, dengan pH
dan kemampuan serta bufer yang lebih kecil
dibandingkan orang yang lebih muda. Pertambahan
usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut
mulai mengalami penipisan, berkurangnya
keratinasi, berkurangnya kapiler dan suplai darah
serta penebalan serabut kolagen pada lamina
propia. Hal ini dapat menyebabkan perubahan
secara klinis pada mukosa dan dapat menyebabkan
29 27
63 3 3 1
05
101520253035
Ju
mla
h
Kelainan Mukosa Rongga Mulut
Dentino (Jur.Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12
10
penurunan senstivitas mukosa rongga mulut
terhadap iritasi.10
Menurut Cebeci, dkk prevalensi kelainan
mukosa rongga mulut lebih banyak ditemukan pada
lansia dibandingkan dengan orang yang lebih muda,
meskipun usia bukan merupakan faktor utama
penyebab terjadinya kelainan mukosa rongga
mulut.12 Adanya kebiasan seperti merokok, dan
menyirih juga dapat berpengaruh dalam timbulnya
kelainan mukosa rongga mulut. Kebiasaan merokok
yang sering dilakukan lansia dimasa lalunya dapat
mempengaruhi fungsi aliran saliva sehingga
menyebabkan xerostomia, hal ini terjadi karena
interaksi antara asap rokok dan aliran saliva
sehingga aliran saliva menjadi berkurang.13
Kelainan mukosa rongga mulut yang
terbanyak ditemukan adalah fissured tongue
(51,78%) dan coated tongue (48,21%). Jumlah
kelainan mukosa rongga mulut yang banyak
ditemukan pada lansia berjumlah 1 kelainan
mukosa rongga mulut, ditemukan pada 27 orang
lansia atau (48,21%). Hasil penelitian ini berbeda
bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Mayvira S di Medan yang
menemukan bahwa dari 100 orang lansia yang
diperiksa seluruhnya menunjukan adanya kelainan
mukosa rongga mulut, dan kelainan mukosa
rongga mulut yang paling banyak dijumpai pada
lansia adalah pigmentasi sebesar 77% dan
sublingual varikositis sebesar 76%.6 Diduga
perbedaan ini karena kebiasaan dari lansia di panti
jompo tersebut yang memiliki kebiasaan merokok
cukup tinggi yang dapat menyebabkan persentase
pigmentasi jauh lebih tinggi.
Penyebab banyaknya fissured tongue yang di
alami oleh lansia selain di duga dikarenakan
pertambahnya usia, termasuk juga adanya faktor
hiposalivasi, diabetes melitus, kandidiasis dan
kekurangan vitamin B, yang dapat berkontribusi
dalam perkembangan fissured tongue. Fissured
tongue umumnya terjadi pada penderita sindrom
down, acromegaly, psoriasis, sindrom sjögren dan
sindrom Melkersson - Rosenthal yang ditandai oleh
fissuring parah, edema orofacial dan kelumpuhan
saraf wajah. Sebagian besar penderita fissured
tongue tidak mengalami gejala, namun gejala
seperti nyeri saat makan asam dan minum dapat
terjadi jika celah fissured dalam. Celah tersebut
dapat berperan sebagai tempat penumpukan partikel
makanan dan bakteri yang dapat menyebabkan
peradangan di lidah.15,16
Lokasi kelainan mukosa rongga mulut yang
terbanyak dijumpai adanya kelainan pada penelitian
ini adalah di lidah sebesar 78,57%. Hasil ini sama
seperti penelitian yang dilakukan oleh Mayvira S di
Medan yang menemukan bahwa lokasi terbanyak
dari kelainan mukosa rongga mulut adalah pada
lidah.6 Pada dasarnya lidah adalah organ kompleks,
otot yang ditutupi oleh epitel dan melakukan
banyak fungsi seperti berbicara, menelan,
menyusui, persepsi sensasi rasa, termasuk
perubahan termal, rangsangan rasa sakit, serta
membantu dalam perkembangan rahang.16
Kelainan pada lidah memiliki proporsi yang
cukup besar dari kelainan mukosa yang lain.
Penelitian epidemiologi telah menunjukkan tingkat
prevalensi yang bervariasi di berbagai belahan
dunia. Diduga perbedaan dalam tingkat prevalensi
berhubungan dengan etnis atau faktor ras,
kebiasaan merokok dan perbedaan gender antara
populasi yang diteliti, di samping status kesehatan
umum dan kriteria diagnostik yang digunakan di
setiap penelitian. Lesi pada lidah dilaporkkan lebih
umum terjadi pada orang yang memiliki penyakit
hematologis, diabetes mellitus, dermatologis dan
beberapa penyakit gastrointestinal.16,17
Berdasarkan penelitian ini didapat bahwa
perempuan lebih banyak memiliki jumlah kelainan
mukosa rongga mulut dibandingkan dengan laki-
laki, dan jenis kelainan mukosa rongga mulut yang
banyak dialami oleh perempuan adalah fissured
tongue. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil
yang diperoleh Cebeci et al yang menyatakan
bahwa fissured tongue lebih banyak dialami oleh
perempuan dibandingkan laki-laki.12 Dari berbagai
penelitian ada yang menyebutkan bahwa fissured
tongue banyak di alami oleh laki-laki dan ada juga
yang menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak
mengalami kelainan tersebut. Contohnya penelitian
yang dilakukan oleh Jainkittivong tentang lesi pada
lidah yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih
banyak mengalami fissured tongue dan kelainan
lidah lain nya di bandingkan perempuan, sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Al Mobeeriek dan
Aldosari menemukan bahwa fissured tongue lebih
banyak pada wanita. Sebenarnya untuk kasus
fissured tongue tidak ada perbedaan jenis kelamin
yang signifikan, untuk kemungkinan terjadi
kelainan tersebut.18,19,20
Kasus keganasan tidak dijumpai dalam
penelitian ini, karena penelitian ini hanya dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan klinis saja.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Cebeci dan Mujica yang menemukan lesi-lesi
keganasan seperti squamous sel karsinoma,
adenokarsinoma dan leukoplakia dengan prevalensi
yang cukup rendah.12,14 Hasil penelitian ini juga
menemukan bahwa pada 9 orang lansia atau
(16,07%) tidak ditemukan adanya kelainan mukosa
rongga mulut. Hal ini disebabkan karena penuaan
bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab
terjadinya kelainan mukosa rongga mulut, tetapi
ada faktor lain yang dapat mempengaruhi
timbulnya kelainan mukosa rongga mulut seperti
trauma, efek obat, kebersihan rongga mulut,
budaya, sosial ekonomi, dan tingkat pengetahuan.14
Fissured tongue adalah suatu keadaan variasi
dari anatomi lidah normal yang terdiri atas fisura
garis tengah, fisura ganda atau multiple pada
permukaan lidah yang membujur dari depan ke
Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia
11
belakang dan memiliki berbagai pola. Adanya celah
fisur tersebut dapat menyebabkan peradangan
sekunder dan halitosis sebagai akibat dari
penumpukan makanan, sehingga dianjurkan untuk
selalu menjaga kebersihan lidah.11
Coated tongue adalah suatu keadaan dimana
permukaan lidah terlihat berwarna putih atau
berwarna lain yang merupakan tumpukan dari
debris, sisa-sisa makanan dan mikroorganisme yang
terdapat pada permukaan dorsal lidah.12
Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa
kelainan rongga mulut yang persentasenya lebih
tinggi dibandingkan dengan penelitian Cebeci di
Turki terutama untuk kelainan pada lidah yaitu
coated tongue sebesar 2,1%, fissured tongue 1%,
geographic tongue 0,3%.12 Dari perbandingan ini
dapat terlihat bahwa angka kejadian kelainan
mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru cukup
tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya
menjaga kebersihan rongga mulut dan kurangnya
pengetahuan mengenai cara menjaga kesehatan
rongga mulut.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa gambaran klinis kelainan
mukosa rongga mulut yang didapat di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah
fissured tongue, coated tongue, xerostomia,
geographic tongue, sublingual varikositis, angular
chelitis, dan denture hiperplasia. Kelainan mukosa
rongga mulut yang paling banyak ditemukan adalah
fissured tongue (51,78%) dan coated tongue
(48,21%).
Data penelitian ini hendaknya memotivasi
pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru agar dapat menghimbau para
penghuni panti untuk lebih menjaga dan
memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, serta
diharapkan dapat bekerjasama dengan dokter gigi
atau tenaga medis daerah setempat dalam rangka
meningkatkan kesehatan rongga mulut lansia. Hal
ini diharapkan dapat menurunkan terjadinya
kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendrizal. Lansia dan agenda ke depan.
Harian umum pelita [internet]. 2008 [akses
2013 Mar 8]; Available from:
http://www.pelita.or.id/baca.php/id=45106
2. Prawirno MD. Usia harapan hidup
bertambah panjang. Ed 137. Jakarta:
Gemari; 2012. p. 56.
3. Sumarno S, Naenggolan T, Gunawan, Mumi
R. Evaluasi program jaminan sosial lanjut
usia (JSLU). Jakarta: P3KS Press (Anggota
IKAPI); 2011. p. 16 – 27.
4. Wangsarahardja K, Olly VD, Eddy K.
Hubungan status kesehatan mulut dan
kualitas hidup pada lanjut usia. Jakarta: FK
Universitas Trisakti; 2007;26(4): 188.
5. Mozafari PM, Dalirsani Z, Delavarian Z,
Amirchaghmaghi M, Shakeri, Esfandyari A,
et al. Prevalence of oral mucosal lesion in
institutionalized elderly people in Mashhad
Northeast Iran. Gerodontology. 2011;1-3.
6. Mayvira S. Prevalensi dan distribusi lesi-lesi
mukosa mulut pada manusia lanjut usia di
Panti Jompo Abdi Darma Asih Binjai
Sumatera Utara [skripsi]. Medan: FKG
Universitas Sumatera Utara; 2009.
7. Stanley M, Beare P G. Buku ajar
keperawatan gerontik. 2th ed. Jakarta: EGC;
2006. p. 11-17.
8. Sue E M. Gerontologic nursing founth
edition. 4th ed. America: Elseviar Mosby;
2011. p.19.
9. Arina YMD. Pengaruh aging terhadap
sistem imun. JKM. 2003;3(1): 54-56.
10. Barnes IE, Angus W. Perawatan gigi terpadu
untuk lansia. Jakarta: EGC; 2006. p. 43-53.
11. Pindborg J.J. Atlas penyakit mukosa mulut.
Jakarta: Binarupa Aksara; 2009. p. 58 – 222.
12. Cebeci ARI, Gulsahi A, Kamburoglu K,
Orhan BK, Oztas B. Prevalence and
distribution of oral mucosal lesions in an
adult Turkish population. Med Oral Pato.
2009;1;14 (6):E272-7.
13. Thomson WM, Lawrence HP, Broadbent
JM, Poulton R. The impact of xerostomia on
oral health–related quality of life among
younger adults. Health Qual Life Outcomes.
2006;4:86.
14. Mujica V, Rivera H, Carrero M. Prevalence
of oral soft tissue lesion in an elderly
Venezuelan population. Med Oral Pato.
2008;1;3(5):E270-4.
15. Patil S, Kaswan S, Rahman F, Doni B.
Prevalence of tongue lesions in the Indian
population. J Clin Exp Dent. 2013;5(3):E
128-32.
16. Byahati SM, Ingafou MS. The prevalence of
tongue lesions in Libyan adult patients. J
Clin Exp Dent. 2010;2(4):E 163-8.
17. Darwazeh AM, Almelaih AA. Tongue lesion
in a Jordanian population. Prevalence,
symptoms, subject’s knowledge and
tretment provided. Med Oral Pato.
2011;16(6):E 745-9.
18. Gaphor SM, Abdullah MJ. Prevalence sex
distribution of oral lesions in patients
attending an oral diagnosis clinic in
Sulaimani University. J Bagh College Den.
2011;23(3):67-69.
19. Jainkittivong A, Aneksuk V, Langlais RP.
Tongue lesions: prevalence and association
with gender, age and health-affected
behaviors. Cu Dent J. 2007;30:269-78.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12
12
20. Al-Mobeeriek A, Aldosari AM. Prevalence
of oral lesions among Saudi dental patients.
Ann Saudi Med [internet]. 2009 [cited 2014
Feb 5]; 29(5);365-8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P
MC3290046/
Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia
13
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERBEDAAN INDEKS KARIES ANTARA MALOKLUSI RINGAN DAN BERAT
PADA REMAJA DI PONPES DARUL HIJRAH MARTAPURA
Rosihan Adhani, Rizal Hendra Kusuma, Widodo, Sapta Rianta
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACK
Background: Malocclusion is a big problem in oral health and taking of third position after dental
caries and periodontal disease. Malocclusion is deviation in dento-facial growth that may interfere chewing
process, swallowing, speech, and facial harmony. The data shows malocclusion prevalence at adolescences was
still high, which is in the age group 10-14 years by 29,9 % and the age group 15-24 years by 30,6 %. According
to some studies there is a relationship between dental caries and malocclusion especially in teeth crowding.
Purpose: The purpose of this study was to determine differences in caries index between mild malocclusion and
severe malocclusion. Methods: This research was descriptive study with cross sectional analytic. Samples were
adolescents (13-17 years old) in Ponpes Darul Hijrah Martapura and randomly selected. The sample were 100
students consisting of 50 adolescents with mild malocclusion and 50 adolescents with heavy malocclusion.
Results: The results showed that adolescents with mild malocclusionin in very low category of caries index had
the largest score 1,7 whereas adolescents with severe malocclusions in very high category of caries index had
the largest score 36. Conclusion: The conclusion, there was difference of caries index between mild
malocclusion and severe malocclusion in adolescents at Darul Hijrah Boarding School Martapura.
Keywords: malocclusion, dental caries, DMF-T index
ABSTRAK
Latar Belakang: Maloklusi merupakan masalah yang cukup besar dalam kesehatan gigi dan mulut,
maloklusi berada pada urutan ketiga setelah karies gigi, serta penyakit periodontal. Maloklusi adalah suatu
penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan,
bicara, dan keserasian wajah. Data menunjukan angka remaja yang bermasalah dengan gigi dan mulut masih
tinggi, yaitu pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9% dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%. Menurut
beberapa penelitian terdapat hubungan antara karies gigi dengan maloklusi khususnya pada gigi berjejal.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan
maloklusi berat. Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel
adalah remaja dengan usia 13-17 tahun dari Ponpes Darul Hijrah Martapura yang diambil secara acak.
Sampel penelitian ini berjumlah 100 orang siswa-siswi yang terdiri dari 50 remaja dengan maloklusi ringan dan
50 remaja dengan maloklusi berat. Hasil: Hasil penelitian indeks karies terbanyak pada remaja dengan
maloklusi ringan adalah kategori sangat rendah 17 orang, sedangkan indeks karies terbanyak pada remaja
dengan maloklusi berat adalah kategori sangat tinggi 36 orang. Kesimpulan: Terdapat perbedaan indeks karies
gigi antara maloklusi ringan dan maloklusi berat pada remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura.
Kata-kata kunci: maloklusi, karies gigi, indeks DMF-T
Korespondensi: Rizal Hendra Kusuma, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
Laporan Penelitian
14
PENDAHULUAN
Ortodontik merupakan salah satu cabang ilmu
kedokteran gigi yang mempelajari pertumbuhan
wajah, perkembangan gigi, dan oklusi, serta
mempelajari diagnosis, pencegahan, dan perawatan
anomali oklusi1. Oklusi merupakan hubungan
antara permukaan oklusal gigi-geligi atas dan
bawah. Penyimpangan terhadap oklusi normal
disebut maloklusi2. Maloklusi merupakan suatu
penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial
yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan,
penelanan, bicara, dan keserasian wajah3. Maloklusi
merupakan masalah yang cukup besar dalam
kesehatan gigi dan mulut, maloklusi berada pada
urutan ke tiga setelah karies gigi, serta penyakit
periodontal. Beberapa peneliti di bidang ortodonti
mengatakan bahwa maloklusi pada remaja
Indonesia usia sekolah menunjukkan angka yang
tinggi3. Prevalensi maloklusi remaja Indonesia
mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006
sebesar 89%4.
Persentase penduduk bermasalah gigi dan
mulut di Kalimantan Selatan adalah sebesar 29,2%.
Kabupaten Banjar merupakan daerah yang
memiliki persentase cukup besar dalam kasus
kesehatan gigi dan mulut (31,6%). Data
menunjukan angka remaja bermasalah gigi-mulut
pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9%
dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%, dengan penduduk
umur 12 tahun ke atas yang memiliki fungsi gigi
tidak normal sebanyak 16,6%. Karies atau gigi
berlubang merupakan salah satu masalah kesehatan
gigi dan mulut yang cukup tinggi di Kalimantan
Selatan, hal ini dapat dilihat dengan tingginya
angka karies aktif remaja di Kalimantan Selatan
pada umur 12 tahun (39,6%), 15 tahun (52,3%), dan
18 tahun (62,9%). Salah satu cara menentukan
angka pengalaman karies gigi seseorang adalah
dengan indeks Decayed Missing Filled-Tooth
(DMF-T). Angka indeks DMF-T Kabupaten Banjar
cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya di
Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 7,85.
Prevalensi maloklusi pada anak-anak pedesaan
menurut penelitian Agusni (2007) sedikit lebih
tinggi dibandingkan anak-anak di kota. Tingginya
prevalensi maloklusi tersebut dikarenakan sulitnya
mendapatkan informasi mengenai kesehatan dan
kurangnya pengawasan dari orang tua atau
pengasuh terhadap kesehatan anak asuhnya3.
Menurut Margherita (2009), karies gigi dapat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Maloklusi merupakan salah satu faktor internal
yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi,
seperti pada hasil penelitian Gabris (2006),
beberapa anomali gigi seperti gigi berjejal
menyebabkan retensi plak dan memicu terjadinya
karies6.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional. Bahan yang digunakan adalah air
mineral, pasta gigi, alginat dan gips stone/ gypsum
tipe III. Alat yang digunakan dalam penelitian ini,
antara lain indeks HMAR, indeks DMF-T, kaca
mulut, sonde, masker, sarung tangan, alat tulis,
formulir, sliding caliver, sikat gigi, sendok cetak,
spatula, dan bowl.
Populasi penelitian ini adalah semua remaja
yang berstatus pelajar di Ponpes Darul Hijrah
Martapura dengan rentang usia 13 – 17 tahun.
Teknik pengambilan sampel adalah purposive
sampling. Jumlah sampel yang diambil pada
penelitian ini adalah 100 dengan rincian 50 sampel
pada kategori maloklusi ringan dan 50 sampel pada
kategori maloklusi berat dengan kriteria inklusi:
menyetujui informed consent, sehat, tidak terdapat
kelainan sistemik saat anamnesa, dan terdapat
maloklusi ringan atau berat. Kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah remaja yang masih terdapat
gigi desidui atau gigi susu, remaja dengan oklusi
normal, dan sedang menggunakan peranti ortodonti.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah indeks karies antara maloklusi ringan dan
berat remaja Ponpes Darul Hijrah Martapura.
Pengambilan sampel dari populasi dengan cara
acak. Sampel diperiksa maloklusinya secara
observasi, kemudian dilakukan pencetakan rahang
atas dan bawah.
Selanjutnya dilakukan pengisian cetakan
dengan gips stone/stone tipe III dengan segera,
untuk menentukan maloklusi ringan atau berat
model gigi-geligi sampel di hitung menggunakan
indeks HMAR. Berikutnya dilakukan pemeriksaan
DMF-T untuk menentukan indeks karies. Hasil
pemeriksaan dicatat dalam lembar perhitungan dan
dilanjutkan pengumpulan data. Analisis data yang
digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan
analisis deskriptif.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian perbedaan indeks karies
antara maloklusi ringan dan berat pada remaja di
Ponpes Darul Hijrah Martapura dapat dilihat pada
Gambar 1., Gambar 2., dan Gambar 3.
Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat
15
Gambar 1. Data Insidensi Maloklusi Ringan dan Berat
pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah
Martapura Berdasarkan Usia
Gambar 2. Data Insidensi Maloklusi berdasarkan Jenis
Kelamin pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah
Martapura
Gambar 3. Hubungan Karies Gigi pada Remaja yang
Mengalami Maloklusi di Ponpes Darul Hijrah
Martapura
Gambar 1 diketahui bahwa usia 13 tahun
merupakan usia dengan jumlah sampel paling
banyak pada kelompok maloklusi ringan sebanyak
21 orang (42 %). Usia 14 tahun merupakan usia
dengan jumlah sampel paling banyak pada
kelompok maloklusi berat sebanyak 24 orang (48
%). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
maloklusi lebih banyak terjadi pada remaja dengan
usia 13-14 tahun.
Data pada Gambar 2 menunjukkan remaja
laki-laki lebih sering mengalami maloklusi berat
(72%), sedangkan remaja perempuan sebagian
besar mengalami maloklusi ringan (56%). Hasil
penelitian menunjukkan dari 100 sampel, remaja
laki-laki lebih sering mengalami maloklusi. Remaja
laki-laki yang mengalami maloklusi sebanyak 58
orang dan remaja perempuan sebanyak 42 orang.
Gambar 3 menunjukkan dari 100 sampel yang
diperiksa. Frekuensi untuk kelompok maloklusi
ringan dengan kategori indeks karies sangat rendah
sebanyak 17 orang, kategori rendah sebanyak 13
orang, kategori sedang sebanyak 11 orang, kategori
tinggi sebanyak 7 orang, dan kategori sangat tinggi
sebanyak 2 orang. Frekuensi untuk kelompok
maloklusi berat dengan kategori indeks karies
sangat rendah sebanyak 2 orang, kategori rendah
sebanyak 2 orang, kategori sedang sebanyak 2
orang, kategori tinggi sebanyaak 10 orang, dan
kategori sangat tinggi sebanyak 34.
Gambar 4. Salah satu pemeriksaan maloklusi pada
sampel penelitian
Gambar 5. Pemeriksaan indeks karies pada sampel
penelitian
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
laki-laki sedikit lebih banyak mengalami maloklusi.
Salah satu penyebabnya adalah remaja perempuan
lebih memperhatikan penampilan mereka
dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan pentingnya penampilan mereka
saat bersosialisasi dengan teman sebaya. Selain itu,
anak laki-laki juga acuh atau kurang
memperhatikan penampilan mereka7.
0
20
40
60
Mal Ringan Mal Berat
13 Tahun
14 Tahun
15 Tahun
16 Tahun
17 Tahun
0
20
40
60
80
Mal Ringan Mal Berat
Laki-laki
Perempuan
0
10
20
30
40
Mal Ringan Mal Berat
Sangat Rendah
Rendah
Moderat
Tinggi
Sangat Tinggi
Maloklusi
Ringan Maloklusi
Berat
Per
sen
tase
(%
) P
erse
nta
se (
%)
Maloklusi
Ringan
Maloklusi
Berat
Jum
ah (
ora
ng
)
Maloklusi
Ringan Maloklusi
Berat
Indeks DMF-T
Usia
Jenis Kelamin
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17
16
Seperti penelitian Ahangar (2007) yang
meneliti prevalensi maloklusi pada anak umur 6-18
tahun, prevalensi maloklusi pada usia 12-14 tahun
cukup tinggi yaitu 83,4 %. Remaja adalah usia yang
dalam tahapan perkembangan baik fisik maupun
psikologinya. Semakin dewasa seseorang,
kesadarannya terhadap kesehatan dan penampilan
saat bersosialisasi akan bertambah8. Menurut
Rochadi (2001), ada dua konsep yang mendasar
dalam hal ini yaitu konsep kebutuhan yang
dirasakan. Konsep ini menjelaskan bahwa
seseorang melakukan perawatan karena adanya
kesadaran dan perubahan psikososial pada diri
remaja yang menginginkan penampilan yang lebih
menarik. Konsep yang kedua adalah konsep
komparatif. Konsep ini menjelaskan perilaku
kesehatan seseorang berdasarkan pernah tidaknya
mendapatkan promosi atau pengetahuan yang
mendalam tentang kesehatan gigi secara umum9.
Berdasarkan hasil penelitian Oktavia Dewi
(2007), diketahui terdapat hubungan antara jenis
kelamin dan kualitas hidup. Perbedaan ini
disebabkan remaja perempuan lebih sensitif
terhadap perubahan hidupnya, mereka akan lebih
mudah mengeluh dibandingkan remaja laki-laki.
Remaja perempuan lebih memperhatikan masalah
yang menyangkut estetis termasuk kesehatan gigi,
ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang
melakukan perawatan keadaan maloklusinya,
dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman
dengan bentuk wajahnya7. Salah satu faktor yang
menyebabkan remaja perempuan lebih sedikit
mengalami maloklusi adalah orang tua. Orang tua
cenderung lebih memperhatikan kesehatan gigi dan
mulut anak perempuan mereka dibandingkan
dengan laki-laki. Menurut Yaghma (2013),
disebutkan bahwa orangtua lebih banyak mencari
perawatan ortodontik untuk anak perempuan
mereka dibandingkan dengan anak laki-laki9.
Beberapa karakteristik maloklusi khususnya
gigi berjejal berpengaruh dalam terjadinya karies
gigi permanen. Kondisi gigi-geligi yang berjejal
mengakibatkan makanan terselip disela-sela gigi
dan menyebabkan kesulitan dalam pembersihan
gigi, hal ini terus berlanjut hingga sisa makan
tersebut diakumulasikan oleh bakteri menjadi plak
yang lebih sulit dibersihkan. Plak yang tidak
dibersihkan pada permukaan gigi akan
menyebabkan terbentuknya karies atau gigi
berlubang10.
Beberapa kasus anterior open bite juga dapat
menyebabkan karies gigi. Remaja dengan kondisi
ini cenderung bernafas lewat mulut dan
menyebabkan penurunan aliran saliva. Keadaan
mulut yang kering akibat penurunan aliran jumlah
saliva memudahkan mikroorganisme kariogenik
penyebab karies gigi berkembang biak9.
Beberapa sampel juga mengeluhkan gangguan
sendi rahang. Gangguan sendi rahang dapat
menyebabkan kelainan mengunyah pada satu sisi
rahang yang memicu terjadinya karies gigi di sisi
yang tidak melakukan pengunyahan. Gigi geligi
pada sisi rahang yang tidak melakukan aktivitas
pengunyahan makanan terjadi penurunan aliran
jumlah saliva yang akan menyebabkan gigi-geligi
rentan terjadi karies11. Maloklusi juga berkaitan erat
dengan penyakit periodontal. Kelainan hubungan
vertikal dan horizontal gigi-geligi anterior rahang
atas dan bawah, pergeseran gigi, serta kelainan
oklusi gigi-geligi posterior dapat menyebabkan
kerusakan jaringan periodontal, sehingga dapat
menyebabkan karies gigi pada daerah servikal gigi-
geligi12.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan terdapat perbedaan indeks karies
antara maloklusi ringan dan berat. Indeks karies
terbanyak pada maloklusi ringan termasuk dalam
kategori sangat rendah. Indeks karies terbanyak
pada maloklusi berat termasuk dalam kategori
sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dolce, C. Orthodontics: a review. Florida:
American Dental Association Chemistry
Education Research and Practice. 2012. p. 2-3.
2. Koesoemahardja H, Indrawati A, Jenie I.
Tumbuh Kembang Kraniodentofasial. Jakarta:
Fakutas Kedokteran Gigi Trisakti. 2009. p. 29-
39.
3. Adzimah FS. Gambaran Derajat Keparahan
Maloklusi Menggunakan Handicapping
Malocclusion Assessment Record pada Siswa
SMPN 1 Paciran Kabupaten Lamongan.
Orthodontic Dental Journal. 2011; 2(2): 19-24.
4. Dinatal G, Djajasaputra W, Koesoemahardja H.
Studi Epidemiologis Tingkat Keparahan
Maloklusi pada Anak-Anak Sekolah Usia 12-15
Tahun di DKI Jakarta. Majalah Kedokteran
Gigi. 2002; 39: 381-387.
5. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan
Selatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. p
119-133.
6. Stahl F, Grabowski R. Malocclusion and caries
prevalence: is there a connection in the primary
and mixed dentitions? Clinical Oral Investig.
2004; 8(2): 86–90.
7. Dewi O. Analisis Hubungan Maloklusi dengan
Kualitas Hidup pada Remaja SMU Kota Medan
Tahun 2007. Skripsi. Medan. Indonesia.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara. 2007. p.73.
8. Ahangar A. Prevalence of Malocclusion in 13-
15 Year-old Adolescents in Tabriz. Iran: Journal
of Dental Research. 2007. p. 14.
9. Sandhi A. Multidisciplinary Approach in
Treating Undiagnosed Severe Temporo
Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat
17
Mandibular Joint Ankylosis : A Case Report.
Jakarta. Jurnal Plastik Rekonstruksi. 2012.
p.315.
10. Alexander, KN. Genetic and Phenotypic
Evaluation of The Class III Dentofacial
Deformity: Comparisons of Three Populations.
Thesis. Carolina. Georgia. University of North
Carolina. 2007; 14.
11. Marquezan M, Feldens CA. Association
Between Occlusal Anomalies and Dental Caries
In 3-5 Years Old Brazilian Children. Journal of
Orthodontics 2011; 38(1): 8-14.
12. Mtaya M, Prongsi B. Prevalence of
Malocclusion and Its Relationship With
Sociodemographic Factors, Dental Caries, and
Oral Hygiene In 12-14 Years Old Tanzanian
Schoolchildren. European Journal of
Orthodontics. 2009; 31(5): 474-475.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17
18
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
GAMBARAN INDEKS KEBERSIHAN MULUT
BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT
DI DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR
Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Education is the socio-economic factors that influence health status. The level of
education is very influential on the knowledge, attitudes and healthy behavior. A person with a higher education
degree would have good knowledge and attitudes about health that would affect behavior for a healthy life.
Purpose: This research aimed to determine the relationship of education level on oral hygiene index of
community at Guntung Ujung village in Banjar District. Methods: This study used a descriptive survey research
methods. To determine the level of education used interview method and oral hygene index performed by
measuring the level of oral hygiene and scoring. Results: Respondents who had good oral hygiene index
criterian were 30 peoples (33.3%). Respondents who had medium oral hygiene index criterian were 54 peoples
(60.0%). While respondents who had poor oral hygiene index criterian were only 6 peoples (6.7%). Conclusion:
Senior high school was level of education that had best criterian of oral hygiene index, while no school
education was level of education that had worst criterian of oral hygiene index, and medium criterian was the
most criterian of oral hygiene index in Guntung Ujung village in Banjar District.
Key words: Level of education, oral hygiene index, oral health
ABSTRAK
Latar belakang: Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan.
Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat.
Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan
yang akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan
tingkat pendidikan terhadap indeks kebersihan mulut masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei deskriptif. Untuk mengetahui tingkat pendidikan
menggunakan metode wawancara dan untuk indeks kebersihan mulut dilakukan dengan mengukur tingkat
kebersihan mulut dan dilakukan penilaian (scoring). Hasil: Responden yang memiliki kriteria indeks kebersihan
mulut yang baik yaitu sebanyak 30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang
sedang yaitu sebanyak 54 orang (60,0%), sedangkan responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang
buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%). Kesimpulan: Tingkat pendidikan lulus SMA adalah tingkat pendidikan
yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat pendidikan tidak sekolah adalah
tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling buruk, dan indeks kebersihan mulut
dengan kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut yang paling banyak di Desa Guntung Ujung Kabupaten
Banjar.
Kata-kata kunci : Tingkat pendidikan, indeks kebersihan mulut, kesehatan rongga mulut
Korespondensi : Basuni, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected].
Laporan Penelitian
19
PENDAHULUAN
Pengetahuan, kesadaran, dan perilaku
masyarakat terhadap pemeliharaan kesehatan gigi
masih kurang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor-
faktor sosial demografi, antara lain faktor
pendidikan, lingkungan, tingkat pendidikan,
ekonomi, tradisi, dan kehadiran sarana pelayanan
kesehatan gigi.1 Pendidikan seseorang dapat
mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan
mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah
mempunyai pengetahuan yang kurang dalam
memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Orang
yang memiliki pendidikan tinggi akan mampu
menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi
karena mereka lebih memperhatikan kondisi
mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang
utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi
dan mulut seseorang.1 Kebersihan mulut adalah
salah satu masalah penting yang perlu mendapat
perhatian dalam rongga mulut selain masalah
karies. Kebersihan mulut yang baik
menggambarkan keadaan kesehatan umum yang
baik, sebaliknya Kebersihan mulut yang buruk
menggambarkan kondisi kesehatan yang buruk
pula.2
Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi
kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan
gizi, pemilihan macam makanan tambahan,
kebiasaan hidup sehat, dan kualitas sanitasi
lingkungan, oleh karena itu gizi buruk merupakan
masalah yang mengancam masyarakat berstatus
ekonomi rendah.2 Pendidikan merupakan faktor ke
dua terbesar dari faktor sosial ekonomi yang
mempengaruhi status kesehatan seseorang.3 Tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap
pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat.
Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan
memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik
tentang kesehatan yang akan mempengaruhi
perilakunya untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat
pendidikan berpengaruh terhadap kecenderungan
orang menggunakan pelayanan kesehatan
sehubungan dengan variasi mereka dalam
pengetahuan mengenai kesehatan gigi. Kurangnya
pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan
ketidaktahuan akan bahaya penyakit gigi karena
rendahnya tingkat pendidikan akan
menyebabkan masyarakat tidak memanfaatkan
pelayanan kesehatan gigi yang ada. Rendahnya
tingkat pemanfaatan terhadap pelayanan
kesehatan gigi ini akan memberikan kontribusi
terhadap buruknya status kesehatan gigi
masyarakat.3
Hasil Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS
tahun 2007, ada lima provinsi dengan prevalensi
masalah gigi-mulut tertinggi, yaitu Gorontalo
(33,1%), Sulawesi Tengah (31,2%), Aceh (30,5%),
Sulawesi Utara (29,8%) dan Kalimantan Selatan
(29,2%).4 Riskesdas 2007 juga melaporkan indeks
DMF-T provinsi Kalimantan Selatan sebesar 6,83
meliputi komponen D-T 1,31, komponen M-T 5,52
dan komponen F-T 0,12. Hal ini berarti rerata
jumlah kerusakan gigi per orang (tingkat keparahan
gigi per orang) adalah 6,83 gigi meliputi 1,31 gigi
yang berlubang, 5,52 gigi yang dicabut dan 0,12
gigi yang ditumpat. Ada lima kabupaten di
Kalimantan Selatan dengan tingkat keparahan gigi
(indeks DMF-T) di atas rerata adalah Hulu Sungai
Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Banjar, dan
Hulu Sungai Selatan. Kabupaten Banjar adalah
kabupaten yang termasuk memiliki tingkat
keparahan gigi yang tinggi sebesar 7,80 meliputi
5,88 gigi yang dicabut/indikasi pencabutan, 1,62
gigi karies/berlubang, dan 0,34 gigi ditumpat.5
Kebersihan mulut yang tidak dipelihara
dengan baik akan menimbulkan penyakit di rongga
mulut. Penyakit periodontal (seperti gingivitis dan
periodontitis) dan karies gigi merupakan akibat
kebersihan mulut yang buruk. Penyakit periodontal
dan karies gigi merupakan penyakit di rongga
mulut yang dapat menyebabkan hilangnya gigi
secara patologis.10 Kebersihan mulut mempunyai
peran penting di bidang kesehatan gigi, karena
kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan
timbulnya berbagai penyakit baik lokal maupun
sistemik.6 Pengukuran kebersihan gigi dan mulut
merupakan upaya untuk menentukan keadaan
kebersihan gigi dan mulut seseorang. Umumnya
untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut
digunakan suatu indeks. Indeks adalah suatu angka
yang menunjukan keadaan klinis yang didapat pada
waktu dilakukan pemeriksaan, dengan cara
mengukur luas dari permukaan gigi yang ditutupi
oleh plak maupun kalkulus.12 Secara klinis tingkat
kebersihan mulut dinilai dengan kriteria Oral
Hygiene Index Simplified (OHI-S). Kriteria ini
dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau
debris dan karang gigi atau kalkulus.6
Kebanyakan debris makanan akan segera
mengalami liquifikasi oleh enzim bakteri dan bersih
5-30 menit setelah makan, tetapi ada kemungkinan
sebagian masih tertinggal pada permukaan gigi dan
membran mukosa. Aliran saliva, aksi mekanisme
lidah, pipi, dan bibir serta bentuk dan susunan gigi
dan rahang akan mempengaruhi kecepatan
pembersihan sisa makanan. Pembersihan ini
dipercepat oleh proses pengunyahan dan viskositas
ludah yang rendah.13
Kalkulus merupakan suatu masa yang
mengalami kalsifikasi yang terbentuk dan melekat
erat pada permukaan gigi, misalnya restorasi dan
gigi-geligi tiruan. Berdasarkan hubungannya
terhadap margin gingiva, kalkulus dikelompokkan
menjadi supragingiva dan subgingiva.13 Kalkulus
supragingiva adalah kalkulus yang melekat pada
permukaan mahkota gigi mulai puncak margin
gingiva dan dapat dilihat. Kalkulus ini berwarna
putih kekuning-kuningan, konsentasinya keras
seperti batu tanah liat dan mudah dilepaskan dari
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23
20
permukaan gigi dengan skeler. Warna kalkulus
dapat dipengaruhi oleh pigmen sisa makanan atau
dari merokok. Kalkulus subgingiva adalah kalkulus
yang berada dibawah batas margin gingiva,
biasanya pada daerah saku gusi dan tidak dapat
terlihat pada waktu pemeriksaan. Untuk
menentukan lokasi dan perluasan yang harus
dilakukan probing dengan eksplorer. Biasanya
padat dan keras, warnanya coklat tua atau hijau
kehitam-hitaman, konsistensinya seperti kepala
korek api, dan melekat erat ke permukaan gigi.13
Penyakit jaringan pendukung gigi diawali dari
rendahnya kualitas kebersihan gigi dan mulut yang
dapat menyebabkan radang gusi pada bagian
margin gingiva. Proses ini berlanjut ke dalam
jaringan penyangga gigi di bawahnya menjadi
periodontitis marginalis.9
Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar
mempunyai fasilitas pendidikan yang kurang
memadai sehingga berdampak pada sosial ekonomi
masyarakat termasuk tingkat pendidikan
masyarakat di desa tersebut. Desa Guntung Ujung
dengan luas 1.231,130 Ha/m2 hanya mempunyai 2
buah fasilitas pendidikan SD dan 1 buah fasilitas
pendidikan SMP. Pekerjaan yang paling dominan di
desa ini adalah petani dan buruh. Angkatan kerja
usia 18-56 tahun pada tahun 2011 di Desa Guntung
Ujung Kabupaten Banjar adalah buta aksara 75
orang, tidak tamat SD 158 orang, tamat SD 162
orang, tamat SLTP 142 orang, tamat SLTA 61
orang, tamat Perguruan tinggi 20 orang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu
dilakukan penelitian tentang gambaran indeks
kebersihan mulut berdasarkan tingkat pendidikan
masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten
Banjar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimanakah gambaran indeks kebersihan mulut
berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat di Desa
Guntung Ujung Kabupaten Banjar.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
survei deskriptif dengan pendekatan Cross
Sectional yaitu suatu penelitian dengan cara
pengamatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat atau point time approach.
Proses pengambilan sampel dilakukan dengan
teknik simple random sampling. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Guntung Ujung Kabupaten
Banjar pada bulan Juli 2013. Alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kaca mulut, sonde,
pinset, ekskavator, probe periodontal, nierbeken,
informed consent, tisu, kalkulator, alat tulis, lap
putih, handuk kecil, alkohol 70%, kapas, aqua
gelas, cholorine, dan detergen.
Penelitian dilakukan dari rumah ke rumah.
Peneliti membagikan surat persetujuan menjadi
subjek penelitian (informed consent) yang akan
ditanda tangani subjek penelitian didampingi
peneliti. Tingkat pendidikan diketahui melalui
wawancara. Index kebersihan mulut diketahui
dengan mengukur tingkat kebersihan mulut dan
dilakukan penilaian (scoring). Hasil penelitian
dicatat pada lembar pemeriksaan OHI-S. Tingkat
kebersihan rongga mulut dinilai dalam suatu
kriteria penilaian khusus yaitu Oral Hygiene
Indeks Simplified (OHI-S). Kriteria ini dinilai
berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris
dan karang gigi kalkulus (11). Pemeriksaan pada
6 gigi yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46. Pada
gigi 16, 11, 26, 31 yang dilihat permukaan
bukalnya sedangkan gigi 36 dan 46 permukaan
lingualnya. Indeks debris yang dipakai adalah
Debris Indeks (D.I) Greene dan Vermillion (1964)
dengan kriteria
0 = tidak ada debris lunak
1 = terdapat selapis debris lunak menutupi
tidak lebih dari1/3 permukaan gigi
2 = terdapat selapis debris lunak menutupi
lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi tidak
lebih dari 2/3 permukaan gigi
3 = terdapat selapis debris lunak menutupi
lebih dari 2/3 permukaan gigi
Kriteria penilaian debris mengikuti ketentuan
sebagai berikut.
Penilaian debris indeks adalah sebagai berikut:
Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-0,6;
Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 0,7-1,8;
Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 1,9-3,0.
Sedangkan indeks kalkulus yang digunakan
adalah Calculus Indeks (C.I) Greene dan Vermillion
(1964) yaitu:
0 = tidak ada kalkulus
1 = kalkulus supragingiva menutupi tidak
lebih dari ⅓ permukaan gigi
2 = kalkulus supragingiva menutupi lebih
dari ⅓ permukaan gigi tetapi tidak lebih
dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus
subgingival berupa bercak hitam di
sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
3 = kalkulus supragingiva menutupi lebih
dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus
subgingiva berupa cincin hitam di
sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
Basuni : Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat
21
Kriteria penilaian kalkulus mengikuti
ketentuan sebagai berikut.
Penilaian kalkulus indeks adalah sebagai
berikut: Baik (good), apabila nilai berada diantara
0-0,6; Sedang (fair), apabila nilai berada diantara
0,7-1,8; Buruk (poor), apabila nilai berada diantara
1,9-3,0.
Kriteria penilaian OHI-S mengikuti ketentuan
sebagai berikut.
Kriteria skor OHI-S adalah sebagai berikut:
Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-1,2;
Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 1,3-3,0;
Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 3,1–6,0.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 Distribusi Frekuensi Menurut Tingkat
Pendidikan.
Berdasarkan Gambar 1.1 didapatkan
responden yang tidak sekolah yaitu sebanyak 6
orang (6,7%). Responden yang tidak lulus SD
sebanyak 16 orang (17,8%). Responden yang lulus
SD sebanyak 31 orang (34,4%) dan responden yang
lulus SMP sebanyak 26 orang (28,9%), serta
responden yang lulus SMA sebanyak 11 orang
(12,2%).
Gambar 1.2 Distribusi Frekuensi Menurut Kriteria
Indeks Kebersihan Mulut (OHI-S)
Berdasarkan Gambar 1.2 didapatkan data
bahwa sebagian besar responden memiliki kriteria
indeks kebersihan mulut yang baik yaitu sebanyak
30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria
indeks kebersihan mulut yang sedang yaitu
sebanyak 54 orang (60,0%). Sedangkan responden
memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang
buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%).
Gambar 1.3 Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan
Tingkat Pendidikan.
0
5
10
15
20
25
30
35
Tidak
Sekolah
Tidak
Lulus
SD
SD SMP SMA
Ju
mla
h R
esp
on
den
Tingkat Pendidikan
0
10
20
30
40
50
60
Baik Sedang Buruk
Ju
mla
h R
esp
on
en
Indeks Kebersihan Mulut (OHI-S)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
baik
sedang
buruk
Ind
eks
Keb
ersi
han
Mu
lut
Tingkat Pendidikan
OHI-S = Nilai D.I + Nilai C.I
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23
22
Berdasarkan Gambar 1.3 didapatkan data
bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendidikan
tidak sekolah ada 6 orang (6,7%) yang terdiri dari 5
orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang dan
1 orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak lulus
SD ada 16 orang (17,8%) yang terdiri dari 4 orang
memiliki indeks kebersihan mulut baik, 11 orang
memiliki indeks kebersihan mulut sedang, dan 1
orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SD ada
31 orang (34,4%) yang terdiri dari 9 orang memiliki
indeks kebersihan mulut baik, 19 orang memiliki
indeks kebersihan mulut sedang, dan 3 orang
memiliki indeks kebersihan mulut buruk.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SMP
ada 26 orang (28,9%) yang terdiri dari 10 orang
memiliki indeks kebersihan mulut baik dan 16
orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang.
Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus
SMA ada 11 orang (12,2%) yang terdiri dari 7
orang memiliki indeks kebersihan mulut baik, 3
orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang,
dan 1 orang memiliki indeks kebersihan mulut
buruk.
PEMBAHASAN
Pada hasil penelitian didapatkan tingkat
pendidikan memiliki pengaruh terhadap indeks
kebersihan mulut, karena pada penelitian ini
diketahui indeks kebersihan mulut paling baik
terdapat pada tingkat pendidikan SMA dan indeks
kebersihan mulut paling buruk terdapat pada tingkat
pendidikan tidak sekolah. Hal ini sesuai dengan
Penelitian Pintauli, yaitu seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan rendah kemungkinan akan
memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan sebagai
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan
sikap dikarenakan keduanya meletakan dasar
pengertian dan konsep moral dalam diri
individu, pemahaman yang baik dan buruk, boleh
atau tidak boleh dilakukan. Semakin tinggi
pendidikan seseorang, maka orang tersebut akan
memiliki pemahaman yang lebih baik sehingga
akan berpengaruh terhadap sikap.3
Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi
yang mempengaruhi status kesehatan. Tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap
pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat.
Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan
memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang
kesehatan yang akan mempengaruhi perilakunya
untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap kecenderungan orang
menggunakan pelayanan kesehatan sehubungan
dengan variasi mereka dalam pengetahuan
mengenai kesehatan gigi. Kurangnya pengetahuan
mengenai kesehatan gigi dan ketidaktahuan akan
bahaya penyakit gigi karena rendahnya tingkat
pendidikan akan menyebabkan masyarakat tidak
memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi yang
ada.3 Menurut Sariningrum (2009) tingkat
pendidikan merepresentasikan tingkat kemampuan
seseorang dalam memperoleh dan memahami
informasi kesehatan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang diasumsikan semakin baik
tingkat pemahamannya terhadap informasi
kesehatan yang diperolehnya.8
Menurut Said (2011), pendidikan seseorang
dapat mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan
mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah
mempunyai pengetahuan yang kurang dalam
memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Berbeda
dengan orang yang lebih tinggi kemampuan dalam
menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi
karena mereka lebih memperhatikan kondisi
mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang
utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi
dan mulut seseorang.1 Menurut Sayuti (2010)
kebersihan mulut sangat ditentukan oleh perilaku.
Pemeliharaan kebersihan mulut yang tidak benar
akan menyebabkan mudahnya penumpukan plak,
material alba, dan kalkulus yang pada akhirnya
akan merugikan kesehatan periodontal.7 Kebersihan
mulut yang jelek dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi seperti tonsilitis, gingivitis, halitosis,
xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara infeksi pada rongga
toraks dengan kebersihan mulut yang jelek.11
Kesehatan rongga mulut memegang peranan
yang penting untuk masalah satu komponen hidup
sehat yang penting. Kebersihan mulut yang tidak
dipelihara dengan baik akan menimbulkan penyakit
di rongga mulut. Penyakit periodontal (seperti
gingivitis dan periodontitis) dan karies gigi
merupakan akibat dari kebersihan mulut yang
buruk. Penyakit periodontal dan karies gigi
merupakan penyakit di rongga mulut yang dapat
menyebabkan hilangnya gigi secara patologis.10
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa tingkat pendidikan
memiliki pengaruh terhadap indeks kebersihan
mulut. Tingkat pendidikan lulus SMA adalah
tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks
kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat
pendidikan tidak sekolah adalah tingkat pendidikan
yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut
paling buruk, dan indeks kebersihan mulut dengan
kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut
yang paling banyak di Desa Guntung Ujung
Kabupaten Banjar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Said F, Ida R, Sri H, Rina H. Hubungan
perilaku memelihara gigi dengan penyakit
pulpa pada pasien di poliklinik gigi puskesmas
Basuni : Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat
23
Sungkai Kalimantan Selatan. Banjarmasin:
Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes
Banjarmasin. 2011; 4(1): 5-7.
2. Nurlindah H dan Mughny R. Perbandingan
status gizi dan karies pada murid SD Islam
Athirah dan SD Bangkala III Makassar.
Skripsi. Makassar: Fakultas Kedokteran gigi.
Universitas Hasanuddin. 2009; 8(1): 27-34.
3. Pintauli S, Melur T. Hubungan tingkat
pendidikan dan skor DMF-T pada ibu-ibu
rumah tangga berusia 20-45 tahun di
Kecamatan Medan Tuntungan. Dentika dent J.
2004; 9(2): 78-83.
4. Soendoro T. Riset kesehatan dasar 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan. 2009: 131-
132.
5. Soendoro T. Riset kesehatan dasar 2007.
Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan. 2009:116-118.
6. Santoso O, Wildam ASR, Dwi R. Hubungan
kebersihan mulut dan gingivitis ibu hamil
terhadap kejadian bayi berat badan lahir rendah
kurang bulan di RSUP Dr. Kariadi Semarang
dan Jejaringnya. Semarang: Media Medika
Indosiana. 2009; 43(6): 288-290.
7. Sayuti M. Hubungan faktor sosial ekonomi
perilaku, dan oral hygiene terhadap karies gigi
pada anak usia remaja umur 15-16 tahun di
SMA Negeri 1 Galesong Utara. Jurnal ilmiah
media kesehatan gigi. Makassar: Politeknik
Kesehatan Makassar Jurusan Kesehatan Gigi.
2010; 1(1): 32-42.
8. Sariningrum E, dan Irdawati. Hubungan tingkat
pendidikan, sikap dan pengetahuan orang tua
tentang kebersihan gigi dan mulut pada anak
balita 3–5 tahun dengan tingkat kejadian karies
di Paud Jatipurno.Surakarta: Berita Ilmu
Keperawatan. 2009; 2(3): 119-124.
9. Mumpuni WP. Kebersihan rongga mulut dan
gigi pasien stroke. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia.
2011;182: 37-40.
10. Mitra M. Hubungan status karies dan gingivitis
dengan oral hygiene pada anak usia 6-12 tahun
di Desa Ujung Rambung Kecamatan Pantai
Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi.
Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. 2010: 7-15.
11. Satku K. Nursing Management of Oral
Hygiene : Guidelines and Recommendations.
MOH Nursing Clinical Practice Guidelines
1/2004. Singapura: Ministry of Health. 2004:
14 – 24.
12. Paavola M, Vartiainen, Erkki, and Haukkala,
Ari. Smoking From Adolescence to Adulthood,
the Effects of Parental and Own
Socioeconomic Status. Finland: European
Journal of Public Health. 2004; 14(4): 417-420.
13. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjanah N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010:
85-87.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23
24
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS MENGUNYAH BUAH PIR DAN BENGKUANG
TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK
Tinjauan pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar
Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Oral health has been improved in the 21st century, but the prevalence of dental caries in
children remains as significant clinical problem. Oral health goal is to remove plaque regularly. One of method
to clean plaque is chewing the fruits such as pear and jicama. Pear and jicama have a pulp which are rough,
dense, and hard, as well as fiber and high enough of water. Chewing these fruit will mechanically stimulate the
teeth to erode and destroy it, so it can clean the dental plaque naturally. Purpose: To find out the comparison of
chewing effectiveness of pear fruit and jicama to reduced dental plaque index at student of SDN Gambut 9 in
Banjar District. Methods: It was a quasi experimental study with pre and post-test group design and used
purposive sampling with 80 peoples sample and consisted of two treatment groups. Group 1 was given the
treatment to chewed pear and group 2 to chewed jicama. Each fruit weigths were 100 grams and it were chewed
with both sides of the jaw about 32 times. Results: An average of plaque index before and after chewing a pear
reduced by 1.3831 and chewing a jicama reduced by 1.1076. Paired T test analysis results showed the value of p
= 0.000 (p < 0.05) between before and after treatment in each treatment groups. Unpaired T test analysis results
showed the value of p = 0.104 (p > 0.05) between the treatment groups. Conclusion: Pear and jicama could
significantly reduce dental plaque index score, but there was no significant differences in effectiveness between
the two.
Keywords: pear, jicama, reduce of dental plaque index
ABSTRAK
Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut telah mengalami peningkatan pada abad ke-21, tetapi
prevalensi karies gigi pada anak tetap merupakan masalah klinis yang signifikan. Tujuan kesehatan gigi dan
mulut adalah menghilangkan plak secara teratur. Salah satu cara membersihkan plak adalah mengunyah buah
seperti pir dan bengkuang. Buah pir dan bengkuang memiliki daging buah yang kasar, padat, keras, serat dan
kadar air yang cukup tinggi. Mengunyah kedua buah ini secara mekanis akan merangsang geligi untuk
menggerus dan menghancurkannya, sehingga dapat membersihkan gigi dari plak secara alami. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas mengunyah buah pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak gigi
pada siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experiment dengan pre
and post-test group design yang menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel 80 orang dan terdiri
dari 2 kelompok perlakuan. Kelompok 1 diberikan perlakuan mengunyah buah pir dan kelompok 2 mengunyah
buah bengkuang. Masing-masing buah memiliki berat 100 gram dan dikunyah dengan kedua sisi rahang
sebanyak 32 kali. Hasil: Rata-rata indeks plak sebelum dan sesudah mengunyah buah pir mengalami penurunan
sebesar 1,3831 dan mengunyah buah bengkuang mengalami penurunan sebesar 1,1076. Hasil analisis uji T
berpasangan menunjukkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-
masing kelompok perlakuan. Pada uji T tidak berpasangan menunjukkan nilai p = 0,104 (p > 0,05) antar
kelompok perlakuan. Kesimpulan: Buah pir dan bengkuang dapat menurunkan nilai indeks plak gigi secara
bermakna, tetapi tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara keduanya.
Kata-kata kunci: pir, bengkuang, penurunan indeks plak gigi
Korespondensi: Kasma Ernida Haida, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, email: [email protected]
Laporan Penelitian
25
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi
perhatian yang sangat penting dalam pembangunan
kesehatan, dan salah satunya disebabkan oleh
rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap
gangguan kesehatan gigi. Usia sekolah merupakan
masa untuk meletakkan landasan kokoh bagi
terwujudnya manusia yang berkualitas. Faktor
penting yang menentukan kualitas sumber daya
manusia adalah kesehatan.1
Kesehatan gigi dan mulut telah mengalami
peningkatan pada abad ke-21, tetapi prevalensi
terjadinya karies gigi pada anak tetap merupakan
masalah klinis yang signifikan.1 World Health
Organization (WHO) melaporkan prevalensi karies
gigi pada anak usia sekolah sebesar 60% sampai
90%.2 Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS)
2007 melaporkan bahwa di Indonesia prevalensi
karies gigi pada murid sekolah dasar sebesar
72,1%.3 Masalah gigi dan mulut di wilayah
Kalimantan Selatan pada anak berusia 5-9 tahun
sebesar 28,6% dan 10-14 tahun sebesar 29,9%.
Kabupaten Banjar menduduki peringkat ke empat
indeks DMF-T (Decay, Missing, Filling) di
Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 7,8. Fakta ini
menunjukkan untuk menurunkan angka tersebut
diperlukan juga upaya promotif dan preventif, tanpa
mengabaikan kuratif dan rehabilitatif yang sesuai
dengan paradigma kesehatan.4
Plak gigi merupakan salah satu faktor yang
dominan dalam perkembangan suatu karies. Plak
adalah deposit lunak, tidak berwarna, mengandung
bakteri, dan melekat pada permukaan gigi.
Pembersihan gigi yang kurang baik dapat
menyebabkan plak semakin melekat. Akumulasi
plak yang terjadi ini dapat diukur dengan
menggunakan suatu metode, yaitu indeks plak.5
Tujuan kesehatan gigi dan mulut adalah
menghilangkan plak secara teratur untuk mencegah
agar plak tidak tertimbun. Upaya pencegahan ini
disebut kontrol plak. Kontrol plak dapat dilakukan
secara mekanik, kimia dan biologik. Kontrol plak
juga dapat dilakukan dengan mengombinasikan
metode mekanik dan kimia, yaitu dengan
mengunyah buah yang segar dan berserat. Buah
merupakan makanan yang baik untuk kesehatan
gigi dan bisa digunakan untuk penyikatan gigi
secara alami.6,7
Penduduk Kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan, yang berusia 10 tahun ke atas yang kurang
mengonsumsi buah dan sayur sebesar 94,2%.
Sebagian besar angka persentase tersebut
dipengaruhi oleh besarnya prevalensi mengenai hal
serupa pada daerah pedesaan, yaitu 96,1%.4 Hal ini
sangat disayangkan mengingat bahwa
memperbanyak konsumsi sayuran dan buah-buahan
yang berserat dan berair dapat membantu
membersihkan rongga mulut dan merangsang
sekresi saliva yang berguna untuk melindungi gigi.8
Pir dan bengkuang merupakan buah yang
termasuk pembersih alami rongga mulut (self
cleansing), namun belum banyak orang yang
mengetahui hal tersebut. Sebagian besar
masyarakat hanya mengetahui bahwa kedua buah
tersebut dapat bermanfaat untuk kesehatan tubuh
secara umum, tetapi tidak untuk kesehatan rongga
mulut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Ramdhani pada tahun 2007 dan Budiati pada tahun
2008 diketahui bahwa ternyata buah pir maupun
bengkuang memiliki efek mekanis yang dapat
menurunkan indeks plak gigi.9,10
Prevalensi masalah gigi dan mulut di pedesaan
pada wilayah Kalimantan Selatan sebesar 28,9%
dengan pengalaman karies di Kabupaten Banjar
sebesar 86% pada usia 12 tahun ke atas.4 SDN
Gambut 9 Kabupaten Banjar merupakan sekolah
dasar yang terletak di Jalan Selokan Raya, Irigasi,
Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar. Sekolah ini
dipilih menjadi lokasi penelitian karena
berdasarkan studi pendahuluan, hampir semua
siswa-siswi sekolah ini memiliki pengalaman
karies. Siswa-siswi di sekolah ini juga belum
mengetahui bahwa buah pir dan bengkuang
memiliki manfaat terhadap kesehatan rongga mulut,
meskipun pernah mengonsumsi kedua buah
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan efektivitas mengunyah buah pir dan
bengkuang terhadap penurunan indeks plak pada
siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
quasi experiment dan rancangan pre and post-test
group design. Perlakuan yang diberikan pada
penelitian ini adalah sampel diminta mengunyah
buah pir atau bengkuang. Pengukuran indeks plak
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
perlakuan. Populasi pada penelitian ini adalah siswa
SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik purposive
sampling dengan kriteria inklusi. Adapun kriteria
inklusi tersebut adalah siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN
Gambut 9 Kabupaten Banjar, bersedia untuk
dijadikan sampel, kooperatif, memiliki gigi insisif,
premolar, dan molar yang tumbuh sempurna, tidak
memiliki kalkulus yang menutupi lebih dari 2/3
mahkota gigi, dan tidak menggunakan alat
orthodonti baik cekat atau lepasan. Jumlah sampel
pada penelitian ini adalah 80 orang dengan tiap-tiap
kelompok masing-masing berjumlah 40 orang. Alat
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat
diagnostik, dappen glass, masker, sarung tangan,
gelas kumur, nierbeken, tempat buah, timbangan
digital, formulir penilaian indeks TQHPI, dan
informed consent. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu buah pir, buah bengkuang,
disclosing agent, cotton bud, alkohol 70%, tisu, dan
air mineral.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 24 - 28
26
Sampel diidentifikasi sesuai dengan kriteria
inklusi yang telah ditentukan,. Sampel penelitian
yang telah memenuhi kriteria kemudian dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah
kelompok yang mengunyah buah pir, sedangkan
kelompok ke dua adalah kelompok yang
mengunyah buah bengkuang. Semua sampel
penelitian dilakukan pemeriksaan awal yaitu
pemeriksaan akumulasi plak menggunakan
disclosing agent dengan indeks plak dari Quigley
dan Hein yang dimodifikasi oleh Turesky, Gilmore,
dan Glickman (indeks plak TQHPI). Gigi yang
lebih bersih memiliki skor plak yang lebih banyak
mendapat skor 1 atau 2 daripada gigi yang memiliki
skor plak yang lebih banyak mendapat skor 4 atau 5
pada saat pemeriksaan dilakukan. Sampel
kemudian diinstruksikan agar mengunyah buah pir
atau bengkuang yang memiliki berat masing-
masing 100 gram dengan kedua sisi rahang
sebanyak 32 kali. Pemeriksaan akhir dilakukan
setelah perlakuan, yaitu pemeriksaan indeks plak
seperti pada pemeriksaan awal. Hasil pemeriksaan
baik sebelum dan sesudah perlakuan dicatat dan
dihitung dalam formulir penilaian indeks TQHPI.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis
menggunakan uji T dengan derajat kepercayaan
sebesar 95% untuk mengetahui perbandingan
efektivitas antara kelompok yang mengunyah buah
pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini adalah karakteristik sampel
penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia.
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar sampel
adalah laki-laki sebanyak 44 orang (55%) dan
perempuan sebanyak 36 orang (45%). Berdasarkan
usia, sampel yang berusia 9 tahun sebanyak 11
orang (13,75%), usia 10 tahun sebanyak 28 orang
(35%), usia 11 tahun sebanyak 30 orang (37,5%),
dan usia 12 tahun sebanyak 9 orang (11,25%),
sedangkan sampel yang berusia 13 dan 14 tahun
masing-masing sebanyak 1 orang (1,25%).
Hasil perbandingan efektivitas dari penelitian
yang telah dilakukan terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil Rata-Rata Nilai Penurunan Indeks Plak
Sebelum dan Sesudah Mengunyah Buah Pir
dan Bengkuang Pada Siswa SDN Gambut 9
Kabupaten Banjar
Kelom-
pok
Rata-Rata
Indeks Plak Rata-
Rata
Penu-
runan
Selisih
Rata-
Rata
Penu-
runan
Sebe-
lum
Sesu-
dah
1 2,756 1,373 1,383 0,275
2 2,415 1,307 1,108
Tabel 1 menunjukkan rata-rata penurunan
nilai indeks plak pada kedua kelompok perlakuan,
yaitu kelompok pertama memiliki nilai rata-rata
penurunan indeks plak sebesar 1,383 dan kelompok
ke dua sebesar 1,108. Berdasarkan data tersebut
dapat dilihat bahwa kelompok pertama memiliki
nilai rata-rata penurunan indeks plak yang lebih
besar daripada kelompok ke dua. Besar selisih
antara kelompok pertama dan ke dua yang terjadi
yaitu 0,275. Hasil yang diperoleh tersebut
selanjutnya dianalisis menggunakan uji T. Pada uji
T berpasangan didapatkan hasil p = 0,000 (p <
0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang
bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan
pada masing-masing kelompok perlakuan, baik
pada kelompok yang mengunyah buah pir ataupun
bengkuang. Pada uji T tidak berpasangan
didapatkan hasil p = 0,104 (p > 0,05) yang
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna
antar kelompok perlakuan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat
adanya variasi penurunan indeks plak antara
sebelum dan sesudah mengunyah buah pada kedua
kelompok perlakuan. Variasi pada penelitian ini
dapat terjadi karena kondisi gigi yang berbeda-beda
pada setiap subyek penelitian. Siswa dengan
kondisi gigi yang lebih bersih akan mengalami
penurunan nilai indeks plak yang lebih sedikit
daripada kondisi gigi yang tidak bersih. Besar
tekanan pengunyahan setiap subyek penelitian juga
dapat memengaruhi penurunan nilai indeks plak.
Menurut Van der Bilt A et al (2006) dalam Lemos
et al (2006) dan Koc et al (2010), tekanan kunyah
dapat dipengaruhi oleh kekuatan otot pengunyahan,
geligi, dan tekanan gigit yang bergantung faktor,
antara lain morfologi cranio-facial, umur, jenis
kelamin, jaringan periodontal yang mendukung
gigi, temporomandibular disorder, dan status gigi
seperti jumlah dan posisi gigi, serta ada tidaknya
tambalan dan gigi tiruan.11,12 Cara mengunyah buah
(menggunakan kedua sisi rahang secara bersamaan)
dan jumlah kunyah yang dikendalikan (sebanyak 32
kali) seperti pada penelitian yang dilakukan juga
dapat mempengaruhi penurunan indeks plak gigi
yang terjadi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan Ramdhani (2007)
dan Budiati (2008) yang membuktikan bahwa
mengunyah buah pir dan bengkuang memberikan
efek mekanis dalam menurunkan indeks plak
gigi.9,10 Menurut Meishi (2011), pir dan bengkuang
adalah buah yang mempunyai sifat sebagai
pembersih alami. Kedua buah ini dapat membantu
terjadinya self cleansing dalam rongga mulut,
sehingga dapat meningkatkan kebersihan gigi dan
mulut setiap individu.13
Haida : Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir Dan Bengkuang
27
Menurut Firdaus et al (2008) dan Ehizele et al
(2009), penurunan indeks plak dapat terjadi karena
mengonsumsi makanan berserat dan padat
mengakibatkan meningkatnya intensitas dan lama
pengunyahan yang dilakukan. Gerakan mengunyah
akan merangsang sekresi saliva yang mengandung
agen antibakteri. Saliva juga dapat menghilangkan
sisa-sisa makanan atau membilas gigi, menetralisasi
zat-zat asam yang ada, dan melarutkan komponen
gula dari sisa makanan yang terperangkap dalam
sela-sela pit dan fisur permukaan gigi, namun saliva
saja belum mampu menghilangkan plak pada gigi.
König et al (1995) dan Lingstrom et al (2003)
dalam Schwartz et al (2012), menyatakan bahwa
sifat mekanis dari mengunyah makanan berserat
membantu menimbulkan efek seperti sikat
(menggerus) yang dapat menghilangkan plak
(terutama plak supragingiva) dari permukaan gigi
sebelum mengeras menjadi kalkulus. 7,14,15
Salah satu cara pengontrolan plak adalah
dengan mengunyah buah yang segar dan berserat.
Menurut Vaswani (2005) dalam Eka et al (2007),
mengonsumsi makanan berserat tidak akan bersifat
merangsang pembentukan plak, melainkan berperan
sebagai pengendali plak alamiah atau pembersih
alamiah pada permukaan gigi. Pembersihan
alamiah ini seperti membantu menyingkirkan
partikel-partikel makanan dan gula selama proses
pengunyahan terjadi.16
Hasil uji statistik yang telah dilakukan
menunjukkan terjadinya penurunan indeks plak
yang bermakna pada masing-masing kelompok
perlakuan. Hal ini juga terbukti secara klinis pada
saat penelitian, bahwa mengunyah buah pir dan
bengkuang memiliki efek mekanis dalam
menurunkan indeks plak gigi. Penurunan ini terlihat
dari kondisi gigi siswa yang diperiksa sebelum dan
sesudah perlakuan mengalami perubahan dari
kondisi gigi yang tidak bersih (plak yang menempel
lebih banyak mendapat skor 4 atau 5) menjadi
kondisi yang lebih bersih (plak yang menempel
lebih banyak mendapat skor 1 atau 2).
Kelompok yang mengunyah buah pir dan
yang mengunyah buah bengkuang secara statistik
terbukti memiliki keefektivitasan yang sama dalam
menurunkan indeks plak. Hal ini disebabkan kedua
buah ini memiliki beberapa persamaan yang dapat
membantu menghilangkan plak yang melekat pada
permukaan gigi. Persamaan tersebut adalah sama-
sama memiliki kandungan serat dan air yang tinggi,
serta tekstur daging buah yang kasar, padat, dan
keras.13 Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah bahwa mengunyah buah pir
dan bengkuang dapat menurunkan angka indeks
plak gigi, tetapi tidak terdapat perbedaan efektivitas
jika dibandingkan antara mengunyah buah pir dan
bengkuang.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu upaya preventif dalam menurunkan
prevalensi karies gigi, terutama di Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan dengan cara agar
kegiatan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah),
UKGMD (Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat
Desa), dan posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) baik
posyandu balita maupun posyandu lansia,
menyampaikan penyuluhan tentang manfaat
mengonsumsi buah-buahan untuk kesehatan rongga
mulut, terutama buah-buahan yang berserat dan
berair sesudah makan, misalnya pir, bengkuang,
apel, dan jambu. Orang tua siswa dan ibu-ibu
termasuk ibu hamil juga diharapkan mengenalkan
anaknya pada buah dan sayur sejak kecil, sehingga
anak terbiasa mengonsumsi jenis makanan ini.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
manfaat lain dari buah pir dan bengkuang terhadap
kebersihan rongga mulut selain ditinjau dari efek
mekanis dan kimia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas V
dan VI pada kesehatan gigi dan mulut terhadap
status karies gigi di wilayah Kecamatan Deli
Tua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009.
Tesis. Medan: Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat FKM USU; 2009. p. 1,
3.
2. Gathecha G, Anselimo M, Peter W, Jared O,
Perry S. Dental caries and oral health practices
among 12 year old children in Nairobi West
and Mathira West Districts, Kenya. Pan Afr
Med J. 2012; 12; 42.
3. Darwita RR, Herry N, Budiharto, Puspa DP,
Rizky A, Sandy RA. Efektivitas program sikat
gigi bersama terhadap risiko karies gigi pada
murid sekolah dasar. J Indon Med Assoc.
2011; 61 (5); 204-209.
4. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan
Selatan. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas)
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007;
118-169.
5. Putri MH, Eliza H, Neneng N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2011. p. 56-60.
6. Sugano N. Biological plaque control: novel
therapeutic approach to periodontal disease. J
Oral Sci. 2012; 54 (1); 1-5.
7. Firdaus T, Eriska R, Dede H. Index plaque
differences between before and after chewing
apples. Proceeding Asian Oral Health Care and
2nd ASEAN Meeting on Dental Public Health.
2008; 13-9.
8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang
beresiko karies tinggi. Majalah Kedokteran
Gigi. Dent J. 2005; 38 (3); 130-134.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 24 - 28
28
9. Ramdhani AR. Efektivitas pengunyahan buah
apel (Pyrus malus) dan buah pir (Pyrus
communis L.) terhadap penurunan plak. KTI.
Yogyakarta: FK UMY; 2007.
10. Budiati RE. Pengaruh konsumsi bengkoang
terhadap penurunan debris serta plak indeks,
perubahan pH saliva, pH plak dan penurunan
skor plak lama serta plak baru. Skripsi.
Semarang: FKM UNDIP; 2008.
11. Lemos AD, Flávia RG, Marcia DS, Rafael de
LP, Maria BDG. Chewing performance and
bite force in children. Braz J Oral Sci. 2006; 5
(18); 1101-1108.
12. Koc D, Arife D, Bulent B. Bite force and
influential factors on bite force measurements:
a literature review. Eur J Dent. 2010; 4; 223-
232.
13. Meishi PRL. Hubungan tingkat konsumsi
makanan kariogenik dengan karies gigi pada
anak sekolah dasar swasta Muhammadiyah 08
Medan tahun 2011. Skripsi. Medan: FKM
USU; 2011. p. 6.
14. Ehizele AO, Ojehanon PI, Akhionbare O.
Nutrition and oral health. J Postgrad Med.
2009; 11 (1); 76-82.
15. Schwartz N, Elizabeth KK, Martha EN, Avron
S, Raul IG. High-fiber foods reduce
periodontal disease progression in men aged 65
and older the veterans affairs normative aging
study/ dental longitudinal study. J Am Geriatr
Soc. 2012; 60 (4); 676-683.
16. Eka C, Eriska R, Feny F. Perbedaan tingkat
kebersihan gigi dan mulut antara anak
vegetarian dan non vegetarian di Vihara
Maitreya Pusat Jakarta. Jurnal Kedokteran
Gigi Indonesia Edisi Khusus PIN IKGA II.
2007; 79-84.
Haida : Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir Dan Bengkuang
29
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BERKUMUR LARUTAN
TEH PUTIH (Camellia sinensis L.) SEDUH KONSENTRASI 100 %
DENGAN 50 % DALAM MENINGKATKAN pH SALIVA
Tinjauan pada Mahasiswa PGPAUD FKIP Angkatan 2010
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Synthetic mouthwash has many side effects, therefore, some research developed
mouthwash with natural ingredient, such as tea. Some research proved that cathechinand flavonoid ,the
contents of tea has antibacterial effects to some cariogenic bacteria. Cariogenic bacteria can ferment
carbohydrate that causes the decrease in salivary pH which leads to quicken demineralitation process of the
teeth . White tea has higher cathechin and flavonoid than green tea, black tea, and oolong tea. Purpose: This
study aimedto explore theeffectiveness comparison between gargling with 100% white tea solution and 50%
white tea solution to increase pH of saliva. Methods: This study was a quasi experimental with pretest –postest
group design. Sixty six subjects of this study were divided into two groups, one group were gargling with 100%
white tea and another group were gargling with 50% white tea. The salivarypH of both groups were measured
before and after treatment. Result: The statistical analysis showed a significant increase in salivary pH of both
groups, but there was no significant difference between the 100% white tea group and the 50% white tea group.
Conclusion: Based on the study results, it can be concluded that both 100% and 50% white tea increased
salivary pH, but there was no significant difference in the effectiveness of them.
Keywords: white tea, salivary pH, mouthwash
ABSTRAK
Latar Belakang: Penggunaan obat kumur sintesis yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping
sehingga beberapa penelitian telah mengembangkan obat kumur bahan alami seperti teh. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa kandungan teh berupa cathechin dan flavonoid memiliki efek antibakteri terhadap
beberapa bakteri kariogenik yang dapat memfermentasi karbohidrat sehingga menurunkan pH saliva yang
mempercepat proses demineralisasi gigi. Teh putih memiliki kandungan cathehin dan flavonoid tertinggi
dibandingkan teh hijau, teh hitam dan teh oolong. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan efektivitas teh putih seduh konsentrasi 100% dengan 50% sebagai obat kumur terhadap
peningkatan pH saliva. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental dengan pretest-postest
group design. Subjek penelitian 66 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang berkumur teh
putih seduh konsentrasi 100% dan konsentrasi 50%. Dua kelompok tersebut diperiksa pH sebelum dan sesudah
diberi perlakuan.Hasil: Berdasarkan hasil uji T-berpasangan untuk teh putih 100% dan uji Wilcoxon pada teh
putih 50% sama-sama efektif dalam meningkatkan pH saliva. Hasil uji T-tidak berpasangan menunjukkan tidak
ada perbedaan bermakna antara kelompok yang berkumur teh putih seduh konsentrasi 100% dengan kelompok
teh putih seduh konsentrasi 50%.Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa teh putih seduh konsentrasi 100% maupun 50% dapat meningkatkan pH saliva, tetapi
tidakterdapat perbedaan efektivitas antarakeduanya.
Kata kunci: teh putih, pH saliva, obat kumur
Laporan Penelitian
30
Korespondensi: Nida Amalia, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) Depkes tahun 2007 menunjukkan bahwa
secara umum prevalensi penyakit gigi dan mulut
tertinggi meliputi 72,1% penduduk, dan 46,6%
diantaranya merupakan karies aktif.1 Prevalensi
karies yang tinggi ini menjadi bukti kurangnya
kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulutnya.2Terdapat empat
faktor utama yang berperan dalam proses
terjadinya karies, yaitu host, mikroorganisme,
substrat, dan waktu. Faktor-faktor tersebut bekerja
bersama dan saling mendukung satu sama lain.3
Saliva sebagai salah satu faktor primer risiko
karies memiliki peranan penting dalam kesehatan
rongga mulut. Saliva sebagai sistem penyangga
untuk menjaga pH optimal mulut, yaitu pH yang
cenderung basa. Jika tanpa saliva, maka setiap kita
makan akan terbentuk lingkungan yang asam yang
akan mendukung pertumbuhan bakteri kariogenik.
Makanan yang kita konsumsi sehari-hari terutama
makanan yang bersifat asam dapat mempengaruhi
pH saliva di dalam rongga mulut, pH saliva
menjadi turun dan bersifat asam. Selain itu, hasil
metabolisme karbohidrat oleh mikroorganisme
dalam rongga mulut juga menghasilkan asam yang
akan memicu proses demineralisasi email dan
dentin, sehingga terjadi karies.4,5
Penggunaan larutan kumur adalah salah satu
cara yang cukup berhasil dalam menjaga
kebersihan mulut.6 Obat kumur yang sering
digunakan adalah obat kumur antiseptik, akan
tetapi penggunaan antiseptik dalam obat kumur
dewasa ini diduga dapat berefek karsinogenik
terhadap penggunanya. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian McCullough dan Farah yang menyatakan
bahwa pemakaian mouthwash dengan kandungan
antiseptik berupa alkohol dapat memicu terjadinya
kanker mulut.7,8 Dewasa ini telah berkembang
penggunaan obat tradisional sebagai alternatif yang
lebih aman dibandingkan zat kimia.9
Teh merupakan minuman paling popular di
antara berbagai minuman.Selain nikmat, minum teh
dalam bentuk seduhan juga mempunyai banyak
manfaat yang baik untuk kesehatan termasuk
kesehatan rongga mulut.Minuman dari pucuk daun
teh(Camellia sinensis) ini dapat memperkuat gigi,
melawan bakteri dalam mulut, dan mencegah
terbentuknya plak gigi.10Teh memiliki kandungan
kaya sumber polifenol (katekin) yang merupakan
bagian dari flavonoid. Empat katekin utama adalah
epigalocathechin-3-gallate (EGCG) yang kira-kira
59% dari total katekin, epigalocathecin (EGC)
19%, epicatechin-3-gallate (ECG) 13,6%,
epicatechin (EC), dan 6,4% kafein.11
Katekin terutama EGCG dapat menghambat
bakteri (bakteriostatis) dan sebagai bakterisid
terhadap Streptococcus mutans, Streptococcus
sobrinus dan laktobasillus, yang merupakan bakteri
penyebab utama terjadinya karies.2,11,12 Hasil
penelitian Adrianto tentang antibakteri biji kakao
yang mengandung polifenol dan didominasi oleh
katekin dan epigalokatekin, menunjukkan
kandungan polifenol dengan kadar 100% mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus
mutans lebih baik dibandingkan polifenol
konsentrasi 50%.11 Melalui peranannya ini, katekin
dapat menghambat proses fermentasi gula oleh
enzim glukosiltransferase yang dapat memproduksi
asam.12
Teh putih memiliki jumlah flavonoid
terbanyak, disusul teh hijau, teh oolong, dan teh
hitam.13 Teh putih adalah tipe teh yang paling
sedikit diproses dan memiliki kandungan katekin
yang paling tinggi, dibuat dari daun teh muda
(pucuk) yang diuapkan segera setelah dipanen
untuk menonaktifkan oksidasi polifenol, yaitu
enzim yang menghancur katekin. Proses ini
menghasilkan teh putih yang lebih kaya
akankatekin dibanding teh hijau.14
Penelitian ini peneliti bertujuan
membandingkan efektifitas larutan teh putih seduh
konsentrasi 100% dan 50% terhadap peningkatan
pH saliva sebagai obat kumur dalam usaha menjaga
kebersihan rongga mulut dan mencegah karies.
BAHAN DAN METODE
Rancangan penelitian yang digunakan adalah
studi QuasiExperimental dengan Pretest-Posttest
Group Design. Penelitian dilakukan pada
mahasiswa Pendidikan Guru Pendidik Anak Usia
Dini angkatan 2010 FKIP UNLAM Banjarmasin.
Sebanyak 66 subjek dibagi menjadi 2
kelompok.Kelompok pertama berkumur dengan teh
putih seduh konsentrasi 100% dan kelompok kedua
berkumur dengan teh putih seduh konsentrasi 50%.
Bahan yang digunakan adalah larutan teh
putih seduh konsentrasi 100%, larutan teh putih
seduh konsentrasi 50%, air/akuades, dan kertas
label. Alat yang digunakan adalah, gelas kecil
untuk menampung saliva, gelas kumur, gelas ukur,
pH meter, termometer, heater, sarung tangan dan
masker.Cara pembuatan teh putih seduh
konsentrasi 100% dalam penelitian ini yaitu 100
gram teh putih yang diseduh dengan 100 ml air.
Sebelumnya air dididihkan, kemudian didiamkan
sebentar, agar suhunya turun ke temperatur
optimum.Temperatur optimum dalam penyeduhan
teh adalah 70-80oC. Penggunaan temperatur
optimum bertujuan untuk menjaga agar kadar
Amalia : Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih
31
polifenol dalam teh tidak berkurang. Pembuatan teh
putih seduh konsentrasi 50% dibuat dengan
caralarutan teh putih seduh konsentrasi 100%
dicampurkan dengan air pada temperatur optimum
sebanyak 100 ml.
Tahapan prosedur kerja selanjutnya adalah
subjek diinstruksikan agar tidak menyikat gigi,
makan dan minum minimal 1 jam sebelum
penelitian.Subjek masing-masing kelompok
dipersilahkan mengeluarkan saliva ke dalam
sebuah gelas kecil penampung saliva yang sudah
diberi label, ± 2 ml per sampel.pH saliva diukur
dengan menggunakan pH meter. Setelah
pengambilan data awal, subjek diinstruksikan
tentang perlakuan yang akan diberikan sesuai
kelompok. Kelompok pertama berkumur dengan
larutan teh putih seduh konsentrasi 100%, selama
30 detik dan kelompok kedua berkumur dengan
larutan teh putih seduh konsentrasi 50% selama 30
detik.
Subjek masing-masing kelompok kemudian
dipersilahkan mengeluarkan saliva ke dalam
sebuah gelas ukur yang sudah diberi label, ± 5 ml
per sampel.pH saliva masing-masing kelompok
diukur dengan pH meter. Data dikumpulkan dan
dilakukan analisis data serta penyimpulan hasil
analisis data.
Data yang didapat dari tiap kelompok
dilakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro
Wilk.Data yang terdistribusi normal dilanjutkan
dengan t-Test berpasangan untuk mengetahui
perbandingan pH saliva sebelum dan sesudah
perlakuan tiap kelompok.Data yang tidak
terdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon. Lalu
dilanjutkan t-Test tidak berpasangan untuk
membandingkan antara kedua kelompok perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05).
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata pH Saliva Sebelum dan Sesudah
Berkumur Teh Putih Seduh Konsentrasi 100
% dan Teh Putih Seduh Konsentrasi 50%.
pH Saliva Rata-rata
Teh putih
konsentrasi
100%
Teh putih
konsentrasi
50%
Sebelum
berkumur
6,922 6,991
Sesudah
berkumur
7,053 7,082
Selisih 0,131 0,091
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa
pada kelompok berkumur dengan teh putih
konsentrasi 100%, rata-rata pH saliva sebelum dan
sesudah berkumur adalah 6,922 dan 7,053.Terdapat
peningkatan rata-rata pH sebesar 0,131.Pada
kelompok yang berkumur dengan teh putih seduh
50% rata-rata pH saliva sebelum dan sesudah
berkumur adalah 6,991 dan 7,082.Terdapat
peningkatan pH saliva sebesar 0,091.
Hasil uji Shapiro Wilkmenunjukkan data
pada kelompok yang berkumur teh putih dengan
konsentrasi 100% terdistribusi normal. Analisis
data dilanjutkan dengan t - Test berpasangan.Pada t
-Test berpasangan didapatkan hasil p = 0,043
(p>0,05) yang menunjukkan peningkatan pH saliva
yang signifikan sebelum dan sesudah berkumur teh
putih seduh konsentrasi 100%.
Analisis dilanjutkan pada data pH saliva
kelompok berkumur teh putih konsentrasi 50%.
Pada uji normalitas, sebaran data kelompok
berkumur teh putih konsentrasi 50% tidak normal,
sehingga digunakan uji alternatifWilcoxon. Pada uji
Wilcoxon didapatkan hasil p = 0,037 yang berarti
terdapat peningkatan pH saliva yang signifikan.
Analisis dilanjutkan dengan Uji T tidak
berpasangan berdasarkan selisih pengukuran pH
sebelum dan sesudah berkumur setiap kelompok
untuk mengetahui apakah ada perbedaan perubahan
pH saliva antar kelompok yang berkumur teh putih
konsentrasi 100% dengan 50%. Pada setiap
kelompok didapatkan sebaran data terdistribusi
normal. Pada uji T tidak berpasangan didapatkan
hasil p = 0,661 (p>0,05) yang menunjukkan tidak
terdapat perbedaan signifikan antara kelompok
perlakuan.
PEMBAHASAN
Hasil analisis dalam penelitian ini
menunjukkan terjadinya peningkatan pH saliva
yang signifikan setelah berkumur dengan teh putih
seduh konsentrasi 100% maupun teh putih seduh
konsentrasi 50%. Peningkatan pH saliva setelah
berkumur dengan teh putih kemungkinan terjadi
karena kandungan katekin dan polifenol yang
terdapat pada teh putih. Teh putih mengandung
katekin terutama EGCG yang berfungsi sebagai
bakteriostatis dan bakterisid terhadap bakteri
kariogenik salah satunya Streptococcus mutans.15
Katekin bekerja dengan cara mencegah terjadinya
adhesi Streptococus mutans menyebabkan
penghambatan aktivitas enzim glukosiltransferase
sehingga pembentukan asam dihambat.16Katekin
juga dapat merusak dinding sel bakteri dan
membran sitoplasma serta menyebabkan denaturasi
protein.17
Aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap
bakteri dilakukan dengan merusak sel bakteri. Sel
bakteri yang terdiri atas lipid dan asam amino akan
bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa
flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan
senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel
bakteri. Senyawa ini juga akan kontak dengan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 29 - 33
32
DNA pada inti sel bakteri. Adanya perbedaan
kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan
gugus alkohol pada senyawa flavonoid
menyebabkan terjadinya reaksi sehingga akan
merusak struktur lipid DNA bakteri serta inti sel
bakteri akan lisis dan mati. Selain itu tannin yang
terkandung dalam teh putih dapat mengkerutkan
dinding sel atau membran sel sehingga
mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Sel tidak
dapat melakukan aktivitas hidup sehingga
pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati.18
Peningkatan pH saliva terjadi akibat adanya
peningkatan sekresi saliva. Adanya peningkatan
sekresi saliva menyebabkan peningkatan ion-ion
bikarbonat sehingga pH saliva akan meningkat.
Peningkatan sekresi saliva dapat terjadi karena
adanya rangsangan mekanis dan kimiawi terhadap
kelenjar saliva.Peningkatan pH pada penelitian ini
kemungkinan terjadi akibat peningkatan sekresi
saliva yang berasal dari rangsangan kandungan
seduhan teh putih yaitu tannin yang terasa
pahit.Hal ini sesuai dengan penelitian Permatasari
(2011), yang menunjukkan adanya peningkatan
sekresi saliva pada kelompok kontrol karena
rangsangan mekanis terhadap kelenjar saliva
(berkumur).Sekresi saliva yang dihasilkan pada
kelompok perlakuan lebih banyak karena terjadi
dua rangsangan pada kelenjar saliva, yaitu
rangsangan mekanik (berkumur) dan rangsangan
kimiawi (rasa pahit dari tannin) sehingga ion-ion
bikarbonat yang dihasilkan lebih
banyak.Akibatnya, pH saliva pada kelompok
perlakuan meningkat secara signifikan
dibandingkan kelompok kontrol.20Pada penelitian
ini tidak dilakukan pengukuran volume saliva
sehingga peningkatan sekresi saliva tidak bisa
dinilai.
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan, dapat dilihat bahwa tidak terdapat
perbedaan peningkatan pH saliva yang signifikan
antara kelompok yang berkumur teh putih seduh
konsentrasi 100% dengan 50%. Penelitian
Sakanaka yang dikutip dari Wiria menyatakan
bahwa konsentrasi hambat minimum katekin yang
diperlukan untuk menghambat pembentukan
glukan dengan bantuan enzim glukosiltransferase
adalah 0,025 – 0.030 mg/ml. Pada penelitian Wiria
(2008) yang membandingkan efektivitas berkumur
larutan teh hijau seduh konsentrasi 100% dengan
50% terhadap pembentukan plak gigi menunjukkan
nilai KHM pada teh hijau konsentrasi seduh 100%
kira-kira 1,3 – 2,533 mg/ml dan pada konsentrasi
50% yaitu 0,65-1,265 mg/ml. Konsentrasi tersebut
menunjukkan nilai yang lebih besar dari pada
KHM katekin. Hasil penelitian Wiria menunjukkan
tidak adanya perbedaan bermakna. Hal tersebut
dimungkinkan karena kadar atau konsentrasi
katekin dalam kedua larutan teh seduh ini jauh
lebih besar dari KHM (konsentrasi hambat
minimum) katekin, sehingga perbedaan
efektivitasnya tidak terlalu terlihat.19 Hal seperti ini
kemungkinan juga terjadi pada teh
putih.Konsentrasi maksimum katekin yang
dibutuhkan untuk memicu peningkatan pH saliva
mungkin sudah dicapai atau dilampaui pada teh
seduh konsentrasi 50%, sehingga tidak ada
perbedaan bermakna antara teh putih seduh
konsentrasi 100% dan konsentrasi 50% terhadap
peningkatan pH saliva.
Hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh
campuran madu dan teh hijau dalam perubahan
derajat keasaman (pH) saliva anak terlihat bahwa
kenaikan pH saliva terjadi pada menit pertama
sampai pada menit ke -15 dan turun pada menit ke-
30 pada semua kelompok.19 Penelitian Afifah
(2010) tentang uji beda dalam pemberian teh hijau
dan teh hitam terhadap pH saliva secara in vivo
menunjukkan terjadi perbedaan waktu kenaikan pH
saliva.pH saliva turun pada menit ke-2 kemudian
naik pada menit ke-6 dan kembali turun pada menit
ke-10. Adapula yang mengalami perlambatan,
menurun sampai menit ke- 6 kemudian baru
meningkat pada menit ke-10.10 Pada penelitian ini
hanya dilakukan pengukuran saliva langsung
setelah berkumur dan tidak dilakukan perentang
waktu, sehingga efek teh putih seduh konsentrasi
100% dengan 50% tidak diketahui sampai kapan
efektifnya dalam merubah atau meningkatkan pH
saliva.
Tidak adanya perbedaan peningkatan pH
saliva antar kelompok kemungkinan disebabkan
oleh beberapa faktor yang tidak dapat peneliti
kendalikan, seperti kepatuhan diet atau pola makan
seseorang dan karies.Menurut Toda M yang dikutip
dari Nur Afifah orang yang memiliki kebiasaan
mengunyah makanan yang banyak mengandung
serat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
mempengaruhi pH saliva dengan secara tidak
langsung melalui peningkatan sekresi saliva.pH
dan kapasitas buffer saliva juga akan berpengaruh
setelah makan. pH saliva menjadi asam 10 menit
setelah makan karbohidrat dan proses untuk
menormalkan pH saliva setelah makan memerlukan
waktu 30-60 menit.10 Pada penelitian ini responden
diminta agar tidak mengkonsumsi makanan
minimal 1 jam sebelum penelitian. Kemungkinan
masih terdapat responden yang tidak mematuhi
instruksi untuk tidak makan sebelum perlakuan
sehingga berpengaruh terhadap pH saliva setelah
pemberian seduhan teh putih untuk berkumur.
Faktor lainyang dapat berpengaruh terhadap
penelitian adalah karies. Pada hasil kuesioner
didapatkan faktor perancu yang bisa mempengaruhi
hasil seperti gigi berlubang. Gigi berlubang akan
mempermudah makanan/minuman menempel
sehingga terdapat banyak bakteri yang dapat hidup
dan dapat menghasilkan asam.Hal ini
menyebabkan potensi pembentukan asam lebih
tinggi.10 Pada penelitian ini faktor karies tidak
dikendalikan, sehingga adanya gigi karies pada
Amalia : Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih
33
responden dapat mempengaruhi pH
saliva.Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan
efektifitas antara teh putih (Camellia sinensis. L)
seduh konsentrasi 100% dan 50% sebagai obat
kumur terhadap peningkatan pH saliva.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2007.
Hal: 141-142.
2. Simanjuntak CMK. Hubungan Keadaan Saliva
dengan Risiko Karies pada Siswa X SMK
Negeri 9 Medan. Repository USU 2011. Hal:
1, 16, 54-55.
3. Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan
Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan
pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.
Majalah Kedokteran Gigi (Dental Journal)
2005; 38: 25-28.
4. Mgowan K. The Biology of Saliva
2005;(online),(http://discovermagazine.com/20
05/oct/ the - biology - of - saliva), diakses 24
Januari 2013).
5. Stookey GK. The Effect of Saliva on Dental
Caries. JADA. 2008; 139(S):11-17.
6. Endarti, Fauzia, Eeli Z. Manfaat Berkumur
dengan Larutan Ekstrak Siwak (Savadora
Persica). Majalah Kedokteran Nusantara 2007;
40(1): 29-37.
7. McCullough MJ, Farah CS. The Role of
Alcohol in Oral Carsinogenesis with Particular
Reference to Alcohol-containing
mouthwashes. AustDent J 2008; 53:302-305.
8. Rahmah N, Aditya RKN. Uji Fungistatik
Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap
Candida albicans. BIOSCIENTIAE 2010;
7:17-24.
9. Sundari D, Budi N, M. Wien W. Toksisitas
Akut (LD50) dan Uji Gelegat Ekstrak Daun
Teh Hijau (Camellia sinensis (Linn.) Kunze)
pada Mencit. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2009; XIX: 198-
203.
10. Afifah N. Uji Beda Pemberian Teh Hijau dan
Teh hitam terhadap Perubahan pH Saliva
Secara In Vivo. Skripsi. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2010.
Hal: 12-42.
11. Adrianto, Kiki. Efek Antibakteri Polifenol Biji
Kakao pada Streptococcus mutans. Skripsi.
Jamber: Fakultas Kedokteran Gigi. 2012.
12. Ukra M. The Miracle of Tea. Bandung: Qanita,
2011. Hal:53.
13. Jighisa A, Rai N, Kumar N, Gautam P. Green
Tea : A Magical Herb with Miraculous
Outcomes. International Research Journal of
Pharmacy 2012; 3(5): 139-148.
14. Bestbook.1001 Teh – Dari Asal Usul, Tradisi,
Khasiat Hingga Racikan Teh. Yogyakarta:
Andi Publisher, 2010. Hal: 50-74.
15. Wiria F. Perbandingan Efektvitas Berkumur
dengan Larutan Teh Hijau Seduh Konsentrasi
100% dan 50% dalam Menghambat
Pembentukan Plak Gigi Secara Klinis pada
Enam Permukaan Gigi. Skripsi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia, 2008. Hal: 43.
16. Suprastiwi E. Efek Antimikroba Polifenol dari
Teh Hijau Jepang terhadap Streptococcus
mutans. Skripsi. Dep.I Konservasi Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia, 2007. Hal: 7.
17. Amelia R, Sudomo P, Widasari L.
Perlindungan Uji Efektivitas Ekstrak Teh
Hijau (Camellia Sinensis) sebagai Alat Anti
Bakteri terhadap Bakteri Staphylococcus
Aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro.
Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta. Bina Widya: Majalah Ilmiah
2013; 23(4); 177-182.
18. Noorhamdani, Yully E, Hendra PS. Ekstrak
Daun Teh Putih (Camellia sinensis) sebagai
Antibakteri Terhadap Streptococcus mutans
Secara In Vitro.Skripsi. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, 2013. Hal: 9.
19. Putri DKT. Pengaruh Campuran Madu dan
Teh Hijau Terhadap Perubahan Derajat
Keasaman (pH) Saliva Anak (Kajian Secara In
vitro). Laporan Penelitian. Banjarmasin:
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,
2011. Hal: 35-36.
20. Permatasari N, Miftakhul C, Felix A.
Efektivitas Berkumur Infusum Teh Hijau Pada
Perubahan pH Saliva pada Anak SD Berusia 9-
11 Tahun di SDN Dinoyo II Malang. Skripsi.
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, 2011. Hal:
4.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 29 - 33
34
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERANAN PENYULUHAN DEMONSTRASI TERHADAP RASA TAKUT DAN
CEMAS ANAK SELAMA PERAWATAN GIGI DI PUSKESMAS CEMPAKA PUTIH
BANJARMASIN
Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background : The fear and anxiety toward dental treatment was a barrier for dentists in improving
dental health, especially in children. It was important to treat children who feel scared and anxious toward
dental treatment, because the fear and anxiety were the cause of 15 % of dental treatment failure. One of the
efforts to prevent the fear and anxiety of children to dental treatment by given demonstration counseling.
Purpose : The purpose of this study was to determine the role of demonstrations counseling toward children
fear and anxiety during dental treatment at cempaka putih public health center in Banjarmasin. Methods : This
research was a quasi experimental with posttest-only with control group design, with one group given no
treatment as controls. Children fear and anxiety was measured with CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-
Dental subscale). Results : Chi-square test results showed that the children who were not given demonstrations
counseling had fear higher sense of fear and anxiety, while children who were given demonstrations counseling
had a lower sense of fear and anxiety (P<0,05). Conclusion : Based on the research can be concluded that
there was significant differences between children who were given demonstrations counseling and were not
given demonstrations counseling.
Keywords: fear, anxiety, demonstrations counseling
ABSTRAK
Latar Belakang : Rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi merupakan hambatan bagi dokter
gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi, terutama pada anak-anak. Penting untuk merawat anak yang
merasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi, karena takut dan cemas merupakan penyebab dari 15%
kegagalan perawatan gigi. Salah satu upaya untuk mencegah rasa takut dan cemas anak terhadap perawatan
gigi yaitu dengan memberikan penyuluhan demonstrasi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peranan penyuluhan demonstrasi terhadap rasa takut dan cemas anak selama perawatan gigi di
Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental
dengan posttest-only with control group design, dengan satu kelompok yang tidak diberikan perlakuan sebagai
kontrol. Rasa takut dan cemas diukur dengan CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-Dental Subscale).
Hasil : Hasil uji chi-squere menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi memiliki
rasa takut dan cemas yang tinggi, sedangkan anak yang diberi penyuluhan memiliki rasa takut dan cemas
rendah (P<0,05). Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna antara anak yang diberikan penyuluhan demonstrasi dan tidak diberikan
penyuluhan demonstrasi.
Kata kunci: takut, cemas, penyuluhan demonstrasi
Korespondensi : Noor Hamidah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]
Laporan Penelitian
35
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia
masih sangat memprihatinkan. Laporan hasil riset
kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007
menunjukkan bahwa prevalensi penduduk
Kalimantan Selatan usia 5-14 tahun yang memiliki
masalah gigi dan mulut sebanyak 58,5%.
Banjarmasin sendiri angka kerusakan gigi sebanyak
1,11 gigi perorang yang mengalami karies.1 Hal ini
disebabkan masih banyak orang tua yang
berpendapat bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat,
karena mereka tidak tahu akibat yang akan terjadi
bila gigi sulung tidak dirawat dengan baik. Upaya
yang dapat dilakukan untuk mempertahankan gigi
sulung adalah melakukan perawatan rutin ke dokter
gigi.2,3
Kebanyakan anak memiliki rasa takut dan
cemas terhadap perawatan gigi, sehingga hal
tersebut menjadi hambatan bagi dokter gigi dalam
usaha meningkatkan kesehatan gigi masyarakat
khususnya anak-anak, karena kecemasan pasien
memberikan efek negatif terhadap prosedur
perawatan yang akan dilakukan.3,4 Belladom (2009)
menyatakan pasien anak yang memiliki rasa takut
dan cemas sulit untuk diatur dan diberi perlakuan
sehingga penting merawat anak yang merasa takut
dan cemas. Rasa takut dan cemas merupakan
penyebab dari 15% kegagalan perawatan gigi.
Beberapa ahli juga melaporkan bahwa pada
umumnya rasa takut dan cemas timbul akibat
perawatan gigi semasa kanak-kanak. Oleh karena
itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan terhadap
timbulnya rasa takut dan cemas anak harus dimulai
pada usia dini, sehingga membuat seorang anak
menjadi lebih berani dan memperkuat kebiasaan
perawatan gigi yang baik untuk selanjutnya.5,6,7
Salah satu upaya untuk mencegah rasa takut
dan cemas anak terhadap perawatan gigi yaitu
dengan penyuluhan.6 Penyuluhan kesehatan
diartikan sebagai kegiatan pendidikan kesehatan
yang dilakukan dengan cara menyebarluaskan
pesan dan menanamkan keyakinan. Dengan
demikian masyarakat tidak hanya sadar, tahu, dan
mengerti, tetapi juga dapat melakukan anjuran yang
berhubungan dengan kesehatan.8
Media penyuluhan yang digunakan untuk
mencegah rasa takut dan cemas anak selama
perawatan gigi dalam penelitian ini adalah dengan
metode demonstrasi. Metode demonstrasi
merupakan suatu penyajian pengertian atau ide
yang dipersiapkan dengan teliti untuk
memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan
suatu tindakan, adegan, atau menggunakan suatu
prosedur dengan alat bantu yang digunakan dalam
menyampaikan bahan pendidikan.9 Metode
demonstrasi juga merupakan cara mengajar dimana
seorang struktur atau tim menunjukkan,
memperlihatkan, suatu proses sehingga audience
dapat melihat, mengamati, mendengar, dan
memahami proses yang ditunjukkan.10 Manusia
hanya memahami 20% dari apa yang mereka lihat,
dan 30% dari apa yang mereka dengar. Mereka
mampu mengingat informasi sebanyak 50% dari
apa yang mereka lihat dan dengar, dan sebanyak
80% informasi yang mereka peroleh jika mereka
melihat, mendengar, dan melakukan informasi
tersebut secara bersama-sama.10
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli
2013 di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin.
Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi
experimental, dengan rancangan penelitian
posttest-only with control group design, dengan
satu kelompok yang tidak diberikan perlakuan
sebagai kontrol. Instrumen pada penelitian ini
menggunakan kuesioner yang di ukur dengan
CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-Dental
Subscale) yang terdiri dari 15 pertanyaan masing-
masing mencakup aspek yang berbeda pada
perawatan gigi.
Tingkat kecemasan dan rasa takut pada anak
dibagi menjadi skala 5 poin yaitu, tidak takut sama
sekali dengan skor = 1, agak takut = 2, cukup takut
= 3, takut skor = 4 dan sangat takut skor = 5. Nilai
total CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-
Dental Subscale) memiliki rentang skor antara 15-
75, tingkat kecemasan dan rasa takut yang rendah
mempunyai nilai 15-37, sedangkan tingkat
kecemasan dan rasa takut yang tinggi mempunyai
nilai 38-75.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu, alat diagnosa, model pantom, lembar
penilaian rasa takut dan cemas, formulir informed
consent, dan alat tulis. Pertama yang dilakukan
adalah penetapan sampel yang diambil secara
accidental sampling. Sampel harus memenuhi
kriteria inklusi yang telah ditetapkan.
Sebelum dilakukan penyuluhan demonstrasi,
responden meminta izin pada orang tua untuk
pengisian data diri anak, kemudian dilakukan
wawancara kepada anak tentang pengalaman ke
dokter gigi sebelumnya. Penyuluhan demonstrasi
diberikan dengan cara, pengenalan alat diagnostik
(kaca mulut, sonde, eskavator, pinset),
memperlihatkan atau menunjukkan fungsi dan cara
menggunakan alat diagnostik dengan menggunakan
model pantom, memberikan kesempatan pada anak
untuk bertanya jika anak tersebut tidak mengerti
dengan apa yang kita jelaskan, langkah selanjutnya
adalah melakukan pemeriksaan dan perawatan gigi
pada anak. Observasi selama pemeriksaan dan
perawatan gigi oleh dokter gigi. Setelah selesai
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 34 - 38
36
dilakukan pemeriksaan dan perawatan gigi,
dilakukan wawancara terpimpin pada anak dengan
panduan kuesioner yang telah dibuat. Analisis data
dilakukan dengan pengujian statistik menggunakan
uji chi-square, dengan tingkat kepercayaan 95%
(α= 0,05).
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tentang peranan penyuluhan
demonstrasi terhadap rasa takut dan cemas anak
selama perawatan gigi di puskesmas cempaka putih
Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 perbedaan rasa takut dan cemas pada anak yang
diberikan penyuluhan demonstrasi dan tidak diberikan
penyuluhan demonstrasi.
PD
Rasa Takut dan Cemas Total
Tinggi Rendah
f % F % f %
TP 11 73,3 4 26,7 15 100
DP 1 6,7 14 93,3 15 100
Keterangan
PD : Penyuluhan Demonstrasi
TP : Tanpa Penyuluhan Demonstrasi
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa anak
yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi
memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 11
orang (77,3%) dan rendah 4 orang (26,7%). Anak
yang diberi penyuluhan memiliki rasa takut dan
cemas tinggi sebanyak 1 orang (6,7%) dan yang
memiliki rasa takut dan cemas rendah 14 orang
(93,3%).
Perbedaan rasa takut dan cemas anak pada uji
chi-square diperoleh nilai signifikansi 0,01 (P <
0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna antara anak yang diberikan penyuluhan
demonstrasi dan tanpa penyuluhan demonstrasi.
Tabel 2 Perbedaan rasa takut dan cemas anak
berdasarkan usia.
Usia
Rasa takut dan cemas Total
Tinggi Rendah
f % f % f %
6 5 62,5 3 37,5 8 100
7 6 60,0 4 40,0 10 100
8 1 20,0 4 80,0 5 100
9 0 0,0 7 100,0 7 100
Berdasarkan Tabel 2 responden usia 6 tahun
dengan kategori tinggi sebanyak 5 orang (62,5%)
dan kategori rendah 3 orang (37,5%). Usia 7 tahun
dengan kategori tinggi sebanyak 6 orang (60%) dan
kategori rendah 4 orang (40%). Usia 8 tahun
dengan kategori tinggi sebanyak 1 orang (20%) dan
kategori rendah 4 orang (80%). Usia 9 tahun
dengan kategori tinggi tidak ada dan kategori
rendah sebanyak 7 orang (100%).
Tabel 3 Perbedaan rasa takut dan cemas berdasarkan
jenis kelamin.
Jenis
kelamin
Rasa takut dan cemas Total
Tinggi Rendah
f % f % f %
laki-laki 5 35,7 9 64,3 14 100
perempuan 7 43,8 9 56,3 16 100
Berdasarkan Tabel 3 anak laki-laki yang
memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 5
orang (35,7%), rasa takut dan cemas rendah 9
orang (64%). Anak perempuan yang memiliki rasa
takut dan cemas tinggi sebanyak 7 orang (43,8%),
rasa takut dan cemas rendah 9 orang (56,3%). Dari
data tersebut diketahui anak laki-laki memiliki
tingkat rasa takut yang rendah dibandingkan anak
perempuan.
PEMBAHASAN
Rasa takut adalah emosi pertama yang
diperoleh bayi setelah lahir. Rasa takut merupakan
suatu mekanisme protektif untuk melindungi
seseorang dari bahaya dan pengrusakan diri.
Definisi lain menyebutkan takut (fear) merupakan
suatu luapan emosi individu terhadap adanya
perasaan bahaya atau ancaman yang merupakan
gabungan dari beberapa faktor antara lain, perilaku
yang tidak menyenangkan seperti ancaman yang
menakutkan yang akan terjadi.12
Rasa takut pada anak yang hendak melakukan
perawatan ke dokter gigi merupakan suatu
kecemasan yang dapat juga diartikan suatu
kekhawatiran atau ketegangan yang berasal dari
sumber yang tidak diketahui.6 Rasa takut pada
anak seringkali diikuti dengan adanya perubahan
fisiologis, kognitif, dan tingkah laku. Bentuk
ekspresi ketakutan itu sendiri bisa bermacam-
macam, biasanya lewat tangisan, jeritan,
bersembunyi atau tidak mau berpisah dari orang
tuanya.13
Rasa takut dalam bidang perawatan gigi anak
merupakan salah satu sikap emosional yang paling
sering ditemukan dan merupakan salah satu
Hamidah : Peranan Penyuluhan Demonstrasi
37
komponen dari tidak kooperatifnya anak terhadap
perawatan gigi, sehingga dapat menghalangi
keberhasilan perawatan gigi anak. Ketakutan
terhadap perawatan gigi dinyatakan dengan adanya
penolakan terhadap perawatan gigi. Baik penolakan
secara total terhadap dokter gigi yang bersangkutan
ataupun menolak beberapa jenis prosedur
perawatan gigi yang dilakukan.5,1 Rasa cemas
artinya khawatir, gelisah, dan takut. Rasa cemas
merupakan salah satu tipe gangguan emosi yang
berhubungan dengan situasi tak terduka atau
dianggap berbahaya. Kecemasan juga dapat
didefinisikan sebagai suatu kekhawatiran atau
ketegangan yang berasal dari sumber yang tidak
diketahui. Kecemasan pada anak dapat
dimaksudkan sebagai rasa takut terhadap perawatan
gigi.2,13
Rasa cemas banyak ditemukan pada anak
yang baru pertama kali ke dokter gigi, beberapa
diantaranya mengatakan cemas terhadap
pencabutan dan penambalan walaupun mereka
tidak pernah mempunyai riwayat pencabutan dan
penambalan sebelumnya.7 Kecemasan merupakan
kondisi emosional yang tidak menyenangkan,
ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti
ketakutan, ketegangan serta kekhawatiran terhadap
situasi yang dianggap berbahaya. Karena
kecemasan sering memicu anak menjadi tidak
kooperatif terhadap perawatan gigi sehingga waktu
perawatannya lebih lama dan tidak memberikan
hasil yang memuaskan.14
Rasa takut dan cemas menghadapi perawatan
gigi merupakan reaksi yang pada umumnya
dirasakan pasien baik anak maupun dewasa. Rasa
takut pada pasien anak muncul akibat adanya
perasaan cemas dan khawatir melihat peralatan dan
obat-obatan yang digunakan dalam perawatan gigi,
seperti takut dan cemas melihat bor, jarum suntik
dan tang gigi.3,16 Kecemasan dan rasa takut
terhadap perawatan gigi menyebabkan penderita
merasa enggan untuk berobat ke unit pelayanan
kesehatan gigi.15
Rasa takut dan cemas sering berhubungan
erat, saat orang merasa takut akan sesuatu, orang
tersebut akan merasa cemas. Walaupun perasaan
cemas dan takut keduanya berhubungan erat, tetapi
keduanya berbeda. Rasa cemas merupakan suatu
perasaan gelisah terhadap suatu yang diharapkan.
Perasaan cemas berhubungan dengan harapan
seseorang dalam menghadapi sesuatu yang
mengerikan atau menakutkan. Rasa cemas sering
berhubungan erat dengan masa depan dan sering
dapat diantisipasi. Sebaliknya rasa takut merupakan
respon terhadap sesuatu bahaya yang timbul pada
saat ini atau masa kini.4
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa anak yang diberikan
penyuluhan demonstrasi memiliki tingkat rasa takut
dan cemas yang lebih rendah dibandingkan anak
yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi.
Anak usia 6-7 tahun memiliki tingkat rasa takut
dan cemas yang tinggi, karena masih memerlukan
orang tua dan pada usia tersebut merupakan
periode tidak kooperatifnya anak serta emosi yang
belum terkontrol dengan baik, sedangkan anak usia
8-9 tahun memiliki tigkat rasa takut dan cemas
rendah, karena sudah bisa menerima berbagai
situasi yang tidak menyenangkan dan
perkembangan emosinya sudah semakin baik.
Umumnya anak usia 8-9 tahun bersifat toleran, bisa
diajak kerja sama dan senang memperagakan
sesuatu.16 Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Amrullah (2012) yang menyebutkan bahwa anak
usia 9 tahun memiliki tingkat rasa takut yang lebih
rendah, karena anak usia 9 tahun lebih bertanggung
jawab, mandiri, patuh, dan mudah bergaul dengan
orang lain.7
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depertemen Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan
Selatan Tahun 2007. Jakarta: Depkes RI. 2009.
Hal: 119-120.
2. Soeparmin S, Suarjaya, dan Melati PT.
Peranan Musik dalam Mengurangi Kecemasan
Anak Selama Perawatan Gigi. Interdental
Jurnal Kedokteran Gigi 2008; 1: 1-5.
3. Mappijah N. Rasa Takut dan Cemas Anak
Terhadap Perawatan Gigi di SDN 20 Panyula
Kab. Bone tahun 2010. Media Kesehatan Gigi
2010; 2: 28-36.
4. Pasetyo EP. Peran Musik Sebagai Fasilitas
dalam Praktek Dokter Gigi untuk Mengurangi
Kecemasan Pasien. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. 2005.
Hal: 41-42.
5. Soeparmin S. Distraksi Sebagai Salah Satu
Pendekatan yang Dilakukan dalam Mencapai
Keberhasilan Perawatan Gigi Anak. Journal
Dentika Dental 2010; 15(1): 91-95.
6. Hariyani N, Setyo L, dan Soedjoko. Mengatasi
Kegagalan Penyuluhan Kesehatan Gigi pada
Anak dengan Pendekatan Psikologi. Journal
Dentika Dental 2008; 1(3):80-84
7. Amrullah AA. Tingkat Kecemasan Anak
Sekolah Dasar Usia 6, 9, dan 12 Tahun
Terhadap Perawatan Gigi. Fakultas
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 34 - 38
38
Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin
2012. Hal: 1-10.
8. Maulana dan Heri. Promosi Kesehatan.
Jakarta: EGC. 2009. Hal: 12-13.
9. Hastuti S dan Annisa A. Perbedaan Pengaruh
Pendidikan Kesehatan Gigi dalam
Meningkatkan Pengetahuan Tentang
Kesehatan Gigi pada Anak di SD Negeri 2
Sambi Kesamba Kabupaten Boyolali. Gaster,
Agustus 2010; 7(2): 624-632.
10. Kumboyono. Perbedaan Efek Penyuluhan
Kesehatan Menggunakan Media Cetak dengan
Media Audio Visual Terhadap Peningkatan
Pengetahuan Pasien Tuberculosis. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan 2011; 7(1): 10.
11. Wibawa C. Perbedaan Efektifitas Metode
Demonstrasi dengan Pemutaran Video Tentang
Pemberantasan DBD Terhadap Peningkatan
Pengetahuan dan Sikap Anak SD di
Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati.
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia 2007;
2(2): 117.
12. Nugraha PY, I ketut S, dan Aya SA. Aplikasi
Komunikasi Terapeutik dalam Mengatasi Rasa
Takut Anak Terhadap Perawatan Gigi.
Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 6(1):
1-7.
13. Soeparmin S, Suarjaya K, dan Antara W. Rasa
Takut Anak dalam Perawatan Gigi. Jurnal
Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2004; 2(1):
30-34.
14. Belladonna NM, Supartinah A, dan Emut L.
Pengelolaan Rasa Cemas dengan Metode
Modeling pada Pencabutan Gigi Anak
Perempuan Menggunakan Anatesi topical.
Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 1: Hal: 80-88.
15. Soeparmin S, I Ketut S, Putri MS. Midazolam
Sebagai Sedasi Secara Oral dalam Mengurangi
Kecemasan pada Perawatan Gigi Anak.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati 2011. Hal: 4-5
16. Swastini IGAAP, Regina T, dan Maria MN.
Gambaran Rasa Takut Terhadap Perawatan
Gigi Pada Anak Usia Sekolah yang Berobat ke
Puskesmas IV Denpasar Barat. Interdental
Jurnal Kedokteran Gigi 2007; 5(1): 54-57.
Hamidah : Peranan Penyuluhan Demonstrasi
39
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERBEDAAN pH SALIVA MENGGOSOK GIGI SEBELUM DAN SESUDAH
MENGKONSUMSI MAKANAN MANIS DAN LENGKET
Pengukuran Menggunakan pH Meter pada Anak Usia 10-12 Tahun
di SDN Melayu 2 Banjarmasin
Rosihan Adhani, Shandy Hidayat,, I Wayan Arya
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Brushing teeth was the cheapest and the easiest preventive action to do. However, the
maximal result was difficult to obtain. The sweet and sticky food was cariogenic and the characteristic of South
Borneo’s food. Purpose: This research aims to determine the difference of salivary pH from brushing teeth
before and after eating the sweet and sticky food measured by pH meter at 10-12 years old children in SDN
Melayu 2 Banjarmasin. Methods: This study used a quasi experimental with pretest-posttest two group design.
The test of hypothesis was done by using a wilcoxon test. The sample was 60 children with purposive sampling
technique. Results: This study showed that the salivary pH average of group who brushed teeth before eating the
sweet and sticky food at 5th, 15th and 30th minute was 7,3. And the salivary pH average of group who brushed
teeth after eating the sweet and sticky food was 7,1. Conclusion: There was a significant difference of salivary
pH from brushing teeth before and after eating the sweet and sticky food measured by pH meter at 10-12 years
old children in SDN Melayu 2 Banjarmasin at 5th minute with p= 0,007, at 15th minute with p= 0,008 and at 30th
minute with p= 0,002 that used wilcoxon test.
Keywords: salivary pH, brushing teeth, sweet and sticky food, caries, cariogenic.
ABSTRAK
Latar belakang: Menggosok gigi adalah tindakan preventif yang paling mudah dan murah dilakukan.
Namun selama ini hasil yang maksimal sukar didapat. Makanan manis dan lengket merupakan makanan
kariogenik dan ciri khas makanan di Kalimantan Selatan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket yang
diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Metode: Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental semu (quasi experimental) dengan pretest-posttest two
group design. Uji hipotesa menggunakan wilcoxon test. Sampel berjumlah 60 anak diambil dengan tekhnik
purposive sampling. Hasil: Hasil penelitian ini adalah rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi
sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,3. Dan Rata-rata pH
saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15
dan 30 adalah 7,1. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket
yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin pada menit ke-
5 dengan nilai p= 0,007, pada menit ke-15 dengan nilai p=0,008, dan pada menit ke-30 dengan nilai p= 0,002
menggunakan wilcoxon test.
Kata-kata kunci: pH saliva, menggosok gigi, makanan manis dan lengket, karies, kariogenik.
Korespondensi: Shandy Hidayat, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected].
Laporan Penelitian
40
PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut masih merupakan
hal yang perlu diperhatikan, hal ini terlihat bahwa
90% penduduk Indonesia menderita penyakit gigi
dan mulut, adapun karies gigi merupakan masalah
utamanya. Menurut hasil pemeriksaan RIKESDAS
tahun 2007, prevalensi DMF-T berdasarkan
provinsi, yang memiliki nilai tertinggi adalah
provinsi Kalimantan Selatan sebesar 96,1%,
dengan indeks DMF-T di provinsi Kalimantan
Selatan sebesar 6,83 meliputi komponen D-T 1,31,
komponen M-T 5,52 dan komponen F-T 0,12. Hal
ini berarti rerata jumlah kerusakan gigi per orang
(tingkat keparahan gigi per orang) adalah 6,83 gigi,
meliputi 1,31 gigi yang berlubang, 5,52 gigi yang
dicabut dan 0,12 gigi yang ditumpat. Hal tersebut
masih sangat tinggi menurut WHO1,2,3.
Makanan khas di Kalimantan Selatan
khususnya kue dominan dengan rasa manis dan
mengandung santan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian RISKESDAS tahun 2007, prevalensi
penduduk dengan umur 10 tahun ke atas di
Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsumsi
makanan beresiko, tertinggi dalam mengkonsumsi
makanan yang manis 83,5% (rentang: 70,8-95,9%)
dan penyedap (84,7%). Selain itu dilaporkan bahwa
prevalensi penduduk yang berperilaku benar
menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan
10,3% (3,7-18,9%)1,2,3.
Menyikat gigi adalah tindakan preventif yang
paling mudah dan murah dilakukan. Walaupun
kegiatan pembersihan gigi secara mekanik ini
dipandang mudah tetapi selama ini hasil yang
maksimal sukar didapat, baik dari aspek kebersihan
gigi dan faktor kerusakan lainnya. Berdasarkan
penelitian Riyanti (2005), kemampuan menyikat
gigi secara baik dan benar merupakan faktor yang
cukup penting untuk pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut. Keberhasilan pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut juga dipengaruhi oleh faktor
penggunaan alat, metode penyikatan gigi, serta
frekuensi dan waktu penyikatan yang tepat4,5,6.
Waktu kegiatan menyikat gigi yang selama ini
sering dilakukan adalah setelah makan dan
sebelum tidur. Setelah dilakukan penelitian,
terdapat kerugian dari waktu tersebut karena
ditemukan banyak keluhan nyeri secara primer
diawali dengan adanya nyeri karena abrasi atau
erosi gigi. Hal ini tidak dapat diabaikan karena
banyak pasien yang mengeluhkan keluhan tersebut
sampai pada tahap perawatan jaringan pulpa5.
Berdasarkan hasil penelitian Thomas Attin,
menyikat gigi setelah mengkonsumsi minuman
bersoda (minuman ringan) tidak boleh, karena
dapat mengerosi gigi. Menyikat gigi sebaiknya
menunggu 30 menit setelah mengkonsumsi
minuman bersoda ataupun sebelum mengkonsumsi.
Hal ini dikarenakan, minuman bersoda
mengandung zat asam dan memiliki pH 3,0 atau
lebih rendah sehingga dapat menyebabkan
demineralisasi pada jaringan keras gigi7,8.
Setelah makan khususnya makanan karbo-
hidrat, akan terjadi fermentasi terhadap glukosa
makanan. Hasilnya berupa senyawa bersifat asam
dan membuat lingkungan sekitar gigi bersuasana
asam. Dalam beberapa menit derajat keasaman tadi
akan meningkat atau pH-nya turun. Bila berlanjut,
penurunan nilai pH akan sampai ke nilai pH kritis,
yaitu nilai pH yang dapat memicu dekalsifikasi
(hilangnya garam kalsium) pada email gigi.
Keberadaan perubahan suasana pH setelah makan
ini akan kembali normal setelah 20-30 menit
kemudian. Selama 5-10 menit pertama setelah
makan adalah saat-saat kritis pH (sekitar 5,2-5,5)5.
Sayuti (2010) menyatakan bahwa adanya
pengaruh makanan manis dan lengket terhadap
terjadinya karies pada gigi anak-anak. Makanan
manis dan lengket yang digunakan pada penelitian
ini adalah coklat, karena termasuk jenis makanan
manis dan lengket serta lebih lunak dibandingkan
dengan permen, biskuit, roti, dan wafer. Menurut
penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan
mastikasi maka semakin besar saliva yang
dihasilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi
gerakan mastikasi yaitu konsistensi makanan. Saat
mengkonsumsi makanan dengan konsistensi cair
(lunak) organ mastikasi kurang menjalankan fungsi
pengunyahan. Namun sebaliknya, saat
mengkonsumsi makanan dengan konsistensi padat
(keras) organ mastikasi bekerja sangat keras1,9.
Penelitian mengenai makanan manis dan
lengket sebagai makanan kariogenik telah diketa-
hui. Namun penelitian mengenai pH saliva jika
menggosok gigi sebelum atau sesudah mengkon-
sumsi makanan manis dan lengket belum diketahui
maka peneliti ingin mengetahui perbedaan pH
saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket yang
diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-
12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui perbedaan pH
saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah
mengonsumsi makanan manis dan lengket yang
diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-
12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
eksperimental semu (quasi experimental).
Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah
Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah
41
pretest-posttest two group design. Populasi
penelitian ini adalah semua siswa SD yang berusia
10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.
Sampel pada penelitian ini diambil dengan
purposive sampling. Sampel adalah semua siswa
SD yang berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2
Banjarmasin dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria inklusi: bersedia menjadi
responden, siswa yang berhadir di sekolah pada
saat pemeriksaan, siswa SD berusia 10-12 tahun di
SDN Melayu 2 Banjarmasin yang memiliki pH
saliva asam (pH 5-6 dengan skala pH indikator),
dan responden belum mengkonsumsi makanan dan
minuman perasa 1 jam sebelum pemeriksaan.
Kriteria eksklusi: responden tidak bersedia (sakit),
responden alergi coklat, siswa mempunyai penyakit
sistemik seperti diabetes, responden tidak sedang
berpuasa.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pH indikator, pH meter, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
coklat, sikat gigi, pasta gigi, dan air mineral.
Variable bebas dalam penelitian ini adalah
makanan manis dan lengket, dan menggosok gigi.
Variabel terikatnya adalah pH saliva. Dan variable
penganggunya adalah perilaku dan usia. Penelitian
ini dilakukan di kelas IV-VI. SDN Melayu 2
Banjarmasin. Setelah itu dicatat nama, umur, jenis
kelamin, dan alamat. Subjek diperiksa satu persatu
pH salivanya menggunakan kertas lakmus.
Kemudian subjek yang diperiksa harus memenuhi
syarat yaitu satu jam sebelum pemeriksaan tidak
boleh mengkonsumsi makanan dan minuman
perasa. Subjek yang pH salivanya asam
dikumpulkan kemudian diambil menjadi 60 orang
menjadi sampel penelitian. Sampel penelitian harus
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. pH saliva
subjek diukur sebelum diberikan perlakuan
menggunakan pH meter. Kemudian subjek dipisah
menjadi 2 kelompok yang terdiri dari 30 orang
perkelompok. Kelompok pertama diberikan
perlakuan menggosok gigi sebelum mengkonsumsi
coklat kemudian diukur pH salivanya
menggunakan pH meter pada menit ke 5, 15 dan
30. Kelompok kedua diberikan perlakuan
menggosok gigi setelah mengkonsumsi coklat
kemudian diukur pH salivanya menggunakan pH
meter pada menit ke 5, 15 dan 30.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian perbedaan pH saliva
menggosok gigi sebelum dan sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket yang
diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-
12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin dapat
dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Tabel 1 Rata-Rata pH Saliva Berdasarkan Umur pada
Anak Usia 10-12 Tahun di SDN Melayu 2
Banjarmasin
No. Umur Jumlah
Individu pH Rata-rata
1 10 Tahun 17 6.9
2 11 tahun 23 6.9
3 12 Tahun 20 6.8
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pH
saliva rata-rata pada umur 10 tahun adalah 6.9 dari
17 orang anak. pH saliva rata-rata pada umur 11
tahun adalah 6.9 dari 23 orang anak. pH saliva rata-
rata pada umur 12 tahun adalah 6.8 dari 20 orang
anak.
Grafik 1 Rata-rata pH Saliva pada Kelompok
Menggosok Gigi Sebelum Mengkonsumsi
Makanan Manis dan Lengket.
Berdasarkan data pada Grafik 1 diketahui
bahwa rata-rata pH saliva pada kelompok
menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan
manis dan lengket pada menit ke-5, 15, dan 30
adalah 7,3. pH saliva tertinggi pada menit ke-5
adalah 8,2 sedangkan pH saliva terendah pada
menit ke-5 adalah 6,5. pH saliva tertinggi pada
0 2 4 6 8 10
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
pH Saliva
S
i
s
w
a
pH SesudahPerlakuan 30menit
pH SesudahPerlakuan 15menit
pH SesudahPerlakuan 5menit
pH SebelumPerlakuan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45
42
menit ke-15 adalah 8,2 sedangkan pH saliva
terendah pada menit ke-15 adalah 6,8. pH saliva
tertinggi pada menit ke-30 adalah 7,9 sedangkan
pH saliva terendah pada menit ke-30 adalah 6,5.
Berdasarkan data Grafik 2 diketahui bahwa
rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi
sesudah mengkonsumsi makanan manis dan
lengket pada menit ke-5, 15, dan 30 adalah 7,1. pH
saliva tertingi pada menit ke-5 adalah 7,8
sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-5
adalah 6,2. pH saliva tertinggi pada menit ke-15
adalah 7,6 sedangkan pH saliva terendah pada
menit ke-15 adalah 6,5. pH saliva tertinggi pada
menit ke-30 adalah 7,7 sedangkan pH saliva
terendah pada menit ke-30 adalah 6,5. Grafik 2 Rata-rata pH Saliva pada Kelompok
Menggosok Gigi Setelah Mengkonsumsi
Makanan Manis dan Lengket
Mengetahui ada tidaknya perbedaan pH
saliva antara menggosok gigi sebelum dan sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada
menit ke-5, 15 dan 30, maka dilakukan uji statistik
dengan SPSS 20 for Windows. Sebelum
menganalisis perbedaan statistik dari data yang
diperoleh, terlebih dahulu dilakukan pengujian
normalitas dan homogenitas. Uji normalitas data
dilakukan dengan uji Saphiro-Wilk karena jumlah
sampel kecil (n < 50). Hasil uji normalitas
didapatkan sebaran data yang tidak normal pada
data perlakuan menggosok gigi sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada
menit ke-5, 15 dan 30, karena nilai signifikansi (p)
pada data tersebut adalah 0,005, 0,005 dan 0,038.
Nilai p pada perlakuan menggosok gigi sesudah
mengkonsumsi makanan manis pada menit ke-5, 15
dan 30 kurang dari 0,05 yang artinya data tidak
terdistribusi normal. Kemudian dilakukan
transformasi data dengan Log dan Sqrt, tetapi
hasilnya tetap menunjukkan data yang tidak
terdistribusi normal. Karena data berasal dari
kelompok yang berpasangan, maka tidak dilakukan
uji homogenitas data. Syarat digunakannya uji T
berpasangan adalah data yang digunakan harus
terdistribusi normal dan homogen. Sedangkan dari
hasil perhitungan, didapatkan data tidak normal
sehingga uji T berpasangan tidak dapat digunakan
sehingga dilakukan uji alternatif yaitu uji
nonparametrik Wilcoxon dengan kepercayaan 95%.
Tabel 2 Hasil Uji Perbedaan dengan Uji Wilcoxon pada
Perbedaan pH Saliva antara Menggosok Gigi
Sebelum dan Sesudah Mengkonsumsi
Makanan Manis dan Lengket pada Menit ke-5,
15 dan 30.
No. Kategori Nilai
Signifikansi
1
Perbandingan
pH saliva
menggosok gigi
sebelum dan
sesudah
mengkonsumsi
makanan manis
dan lengket pada
menit ke-5
0,007
2
Perbandingan
pH saliva
menggosok gigi
sebelum dan
sesudah
mengkonsumsi
makanan manis
dan lengket pada
menit ke-15
0,008
3
Perbandingan
pH saliva
menggosok gigi
sebelum dan
sesudah
mengkonsumsi
makanan manis
dan lengket pada
menit ke-30
0,002
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa hasil
uji statistic Wilcoxon pada perbandingan pH saliva
menggosok gigi sebelum dan sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada
menit ke-5 menunjukkan nilai p = 0,007,
0 2 4 6 8 10
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
pH saliva
S
i
s
w
a
pH SesudahPerlakuan 30menit
pH SesudahPerlakuan 15menit
pH SesudahPerlakuan 5menit
pH SebelumPerlakuan
Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah
43
perbandingan pada menit ke-15 menunjukkan nilai
p = 0,008 dan perbandingan pada menit ke-30
menunjukkan nilai p = 0,002, karena nilai p < 0.05
maka H0 ditolak dan Ha diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara pH saliva menggosok gigi
sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan
manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 yang
diukur menggunkan pH meter pada anak usia 10-12
tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji Wilcoxon dan rata-rata
pH saliva setelah perlakuan pada kedua kelompok
maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian ini
sesuai dengan hipotesis peneliti yang menunjukkan
adanya perbedaan bermakna antara kedua
kelompok yaitu kelompok menggosok gigi sebelum
mengkonsumsi makanan manis dan lengket dan
kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi
makanan manis dan lengket. Rata-rata pH saliva
menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan
manis dan lengket lebih tinggi (basa) daripada rata-
rata pH saliva menggosok gigi sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini
sesuai dengan saran dari hasil penelitian
Praptiningsih dan Ningtyas yang menganjurkan
agar menggosok gigi pada suasana rongga mulut
tidak dalam keadaan asam. Berdasarkan hasil
penelitian Thomas Attin tentang perbedaan pH
saliva menyikat gigi sebelum dan sesudah
mengkonsumsi minuman bersoda menyatakan
menyikat gigi setelah mengkonsumsi minuman
bersoda (minuman ringan) tidak boleh, karena
dapat mengerosi gigi. Menyikat gigi sebaiknya
menunggu 30 menit setelah mengkonsumsi
minuman besoda ataupun sebelum mengkonsumsi.
Hal ini dikarenakan, minuman bersoda
mengandung zat asam dan memiliki pH 3,0 atau
lebih rendah sehingga dapat menyebabkan
demineralisasi pada jaringan keras gigi 4,7,8.
Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer
saliva ditentukan oleh susunan kuantitatif dan
kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama
ditentukan oleh susunan bikarbonat, karena
susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva
dan berasal dari kelenjar saliva. Derajat keasaman
saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan
rata-rata pH 6,7. Derajat keasaman (pH) saliva
optimum untuk pertumbuhan bakteri 6,5–7,5 dan
apabila rongga mulut pH-nya rendah antara 4,5–5,5
akan memudahkan pertumbuhan kuman asidogenik
seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus
4,12.Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata
kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga
mulut, dan kapasitas buffer saliva. Selain itu ada
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
asam, antara lain: jenis karbohidrat yang terdapat
dalam diet, konsentrasi karbohidrat dalam diet,
jenis dan jumlah bakteri di dalam plak, keadaan
fisiologis bakteri tersebut dan pH di dalam plak12.
Makanan manis dan lengket mengandung
karbohidrat yang merupakan sumber energi utama
bagi bakteri mulut dan secara langsung terlibat
dalam penurunan pH. Jenis karbohidrat yang paling
cocok bagi produksi asam oleh bakteri di dalam
plak adalah gula-gula sederhana, seperti sukrosa,
glukosa, fruktosa, maltosa, dan lain-lain. Gula-gula
ini mempunyai molekul yang kecil sehingga mudah
berdifusi ke dalam plak dan dengan cepat akan
dipecah oleh bakteri menjadi asam. Karbohidrat
jenis polisakarida (pati) mempunyai molekul lebih
besar akan sulit masuk ke dalam plak sehingga
lebih sulit dipecah oleh bakteri (13,14).
Makanan manis dan lengket yang digunakan
pada penelitian ini adalah coklat karena termasuk
jenis makanan manis dan lengket serta lebih lunak
dibandingkan dengan permen biskuit, roti, dan
wafer. Menurut penelitian Diana (2004), semakin
besar kekuatan mastikasi maka semakin besar
saliva yang dihasilkan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi gerakan mastikasi yaitu konsistensi
makanan. Saat mengkonsumsi makanan dengan
konsistensi cair (lunak) organ mastikasi kurang
menjalankan fungsi pengunyahan. Sebaliknya, saat
mengkonsumsi makanan dengan konsistensi padat
(keras) organ mastikasi bekerja sangat keras1,9.
Kegiatan menggosok gigi adalah tindakan
preventif yang paling mudah dan murah dilakukan.
Menggosok gigi bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit pada jaringan keras maupun
jaringan lunak dengan menghilangkan plak dan
membersihkan gigi dan mulut dari sisa makanan
dan debris. Hal ini dikarenakan dalam pasta gigi
terkandung bahan-bahan abrasif, pembersih, bahan
penambah rasa dan warna, serta pemanis. Dapat
juga ditambahkan bahan pengikat, pelembab,
pengawet, fluor, dan air. Bahan abrasif dapat
membantu melepaskan plak dan pelikel tanpa
menghilangkan lapisan email12.
Pada kelompok menggosok gigi sebelum
mengkonsumsi makanan manis dan lengket
memiliki rata-rata pH saliva lebih tinggi (basa)
daripada kelompok menggosok gigi sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini
dikarenakan, pada kelompok menggosok gigi
sebelum mengkonsumsi makanan manis dan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45
44
lengket lingkungan rongga mulut telah dibasakan
dan akumulasi plak dan bakteri juga mengalami
penurunan akibat menggosok gigi. Sehingga
kemampuan bakteri untuk metabolisme karbohidrat
menjadi asam menurun. Di rongga mulut terdapat
terdapat bakteri Veillonella yang menggunakan
asam laktat sebagai bahan awal metabolisme yang
menghasilkan energi untuknya. Asam laktat ini
akan diubah oleh bakteri tersebut menjadi CO2
sehingga dalam hal ini Veillonella dapat dianggap
sebagai organisme penghalang karies12.
Sedangkan pada kelompok menggosok gigi
sesudah makan, rata-rata pH saliva lebih asam. Hal
ini dikarenakan kondisi mulut saat makan lebih
asam dibandingkan dengan kelompok menggosok
gigi sebelum makan dan jumlah akumulasi plak
dan bakteri di rongga mulut lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok menggosok gigi
sebelum makan. Kemampuan bakteri
memetabolisme makanan menjadi asam lebih besar
dibanding kelompok yang menggosok gigi sebelum
makan karena kondisi lingkungan yang mendukung
dan total bakteri di rongga mulut jauh lebih
banyak12.
Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil
penelitian yang telah dilakukan bahwa pH saliva
kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi
makanan manis dan lengket dan kelompok
menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan
manis dan lengket menunjukan pH netral atau
sama-sama bagus yaitu rata-rata di atas 7.
Dianjurkan untuk menggosok gigi sebelum dan
sesudah mengkonsumsi makanan manis dan
lengket. Hal ini dikarenakan menggosok gigi
sebelum mengkonsumsi makanan manis dan
lengket dapat mempertahankan pH saliva dalam
keadaan normal (tidak dalam pH kritis) saat kita
makan sampai 30 menit sesudah makan sehingga
gigi tidak mengalami demineralisasi. Perlu
menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan
manis dan lengket agar dapat mencegah akumulasi
plak sesudah makan, yang merupakan sumber
bahan makanan bagi bakteri kariogenik.
Berdasarkan data dari Tabel 5.3 tentang rata-
rata pH saliva berdasarkan umur menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan. Hal ini dikarenakan
anak usia 10-12 tahun tidak teralu memiliki
perbedaan yang jauh, baik dari fisik maupun
tingkah laku. Secara anatomi, muskuluskeletal
cranium anak usia 10-12 tahun tidak terdapat
perbedaan yang signifikan. Sistem mastikasi sangat
berpengaruh dengan produksi saliva. Menurut
penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan
mastikasi maka semakin besar saliva yang
dihasilkan9.
Berdasarkan teknik pengambilan sampel, pada
penelitian ini tekhnik yang digunakan dalam
pengambilan sampel adalah purposive sampling.
Purposive sampling adalah pengambilan sampel
secara purposive didasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti,
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya. Pada penelitian ini
mempunyai kreteria inklusi dan ekslusi yang
mempengaruhi besar atau kecilnya pH saliva
sampel. Adapun kreteria inklusi yang
mengakibatkan tidak ada perbedaan yang bermakna
pada rata-rata pH saliva berdasarkan umur adalah
siswa SD berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2
Banjarmasin yang memiliki pH saliva asam (pH 5-
6 dengan skala pH indikator).
Faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata
kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga
mulut, dan kapasitas buffer saliva. Selain itu ada
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
asam, antara lain: jenis karbohidrat yang terdapat
dalam diet, konsentrasi karbohidrat dalam diet,
jenis dan jumlah bakteri di dalam plak, keadaan
fisiologis bakteri tersebut dan pH di dalam plak9.
Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil
penelitian yang dilakukan bahwa umur dan jenis
kelamin tidak berpengaruh terhadap besar atau
kecilnya pH saliva. Hal ini sesuai penelitian yang
telah dilakukan oleh Motoc dkk(2003) bahwa tidak
ada perbedaan rata-rata pH saliva berdasarkan
umur dan jenis kelamin. pH saliva dapat
dipengaruhi oleh aliran saliva dan diet17.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa rata-rata pH saliva pada
kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi
makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15
dan 30 adalah 7,3 (netral), sedangkan rata-rata pH
saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah
mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada
menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,1 (netral). Selain itu
tidak terdapat perbedaan rata-rata pH saliva
berdasarkan umur 10-12 tahun. Serta terdapat
perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan
sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket
yang diukur menggunakan pH meter pada anak
usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.
Melalui Dinas Kesehatan dan lembaga
pendidikan khususnya Fakultas Kedokteran
Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah
45
Program Studi Kedokteran Gigi Universitas
Lambung Mangkurat disarankan untuk merubaha
pola waktu menggosok gigi, yaitu menggosok gigi
sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan
khususnya makanan manis dan lengket melalui
pelaksanaan UKGS dan pelaksanaan bakti sosial.
Selain itu disarankan juga untuk menambahan label
menjaga kesehatan gigi dan mulut pada produk
makanan khususnya yang mengandung gula yang
tinggi, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), agar meminta produsen makan dan
minuman khususnya makanan yang berkadar gula
tinggi (manis) dan lengket seperti coklat
mencantumkan peringatan untuk “menggosok gigi
sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan
manis dan lengket” karena dapat menyebabkan
karies serta pemerintah untuk menganjurkan juga
agar semua restoran dan rumah makan agar
menyediakan tempat dan poster untuk menggosok
gigi sebelum dan sesudah makan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyuti M. Pengaruh makanan serba manis dan
lengket terhadap terjadinya karies gigi pada
anak usia 9-10 tahun di SD Negeri
Monginsidi II Makassar. Media Kesehatan
Gigi. 2010;2:14.
2. Jovina TA. Pengaruh kebiasaan menyikat gigi
terhadap status pengalaman karies Riskesdas
2007. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010.
p1-2.
3. Anonimous. Laporan hasil riset kesehatan
dasar RIKESDAS provinsi Kalimantan
Selatan tahun 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2009. p116-(7).
4. Praptiningsih RS, Ningtyas EAE. Pengaruh
metode menggosok gigi sebelum makan
terhadap kuantitas bakteri dan pH saliva.
Jurnal Ilmiah Sultan Agung. 2010;48:123:55-
62.
5. Oktarianda B. Hubungan waktu, tekhnik
menggosok gigi dan jenis makanan yang
dikonsumsi dengan kejadian karies gigi pada
murid SDN 66 Payakumbuh di wilayah kerja
PUSKESMAS Lampasi Payakumbuh tahun
2011. Padang: FK Universitas Andalas; 2011.
p4.
6. Lund AE. Wait to brush your teeth after
drinking soda. JADA. 2003;134:1176-8.
7. Alamsyah RM. Efek perbedaan cara
meminum softdrink (minuman ringan)
terhadap penurunan pH saliva pada siswa
SMP Raksana Medan. Medan: FKG
Universitas Sumatera Utara; 2010. p1-2;9.
8. Ningsih DS. Pengaruh mastikasi terhadap
kecepatan aliran saliva. Medan: FKG
Universitas Sumatera Utara; 2004. p12;29.
9. Rahmawati I. Perilaku kesehatan gigi dan
mulut pada anak sekolah dasar di kabupaten
Banjar. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada;
2012. p1.
10. Riyanti E, Chemiawan E, Rizalda RA.
Hubungan pendidikan penyikatan gigi dengan
tingkat kebersihan gigi dan mulut siswa dan
siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT)
Imam Bukhari Desa Sayang Kecamatan
Jatinangor Kabupaten Sumedang. Bandung:
FKG Universitas Padjadjaran; 2005. p4.
11. Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. Peranan
sorbitol dalam mempertahankan kestabilan
pH saliva pada proses pencegahan karies.
Majalah Kedokteran Gigi. Dent. J.
2005;38:1:25–8.
12. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2010.
p64;168.
13. Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas
V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut
terhadap status karies gigi di wilayah
Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang
tahun 2009. Medan: FKM Universitas
Sumatera Utara; 2009. p29.
14. Bajeng NRKR. Studi pengaruh penambahan
semi refined carageenan (Eucheuma cottonii)
dan bubuk bungkil kacang tanah terhadap
mutu permen cokelat (chocolate). Makassar:
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin;
2012. p9.
15. Putri IN. Efek penyuluhan kesehatan gigi dan
mulut dengan demonstrasi cara menyikat gigi
terhadap penurunan indeks plak pada murid
kelas VI Sekolah Dasar (penelitian dilakukan
di Desa Padang Loang Kecamatan
Patampanua Kabupaten Pinrang). Makassar:
FKG Universitas Hasanuddin; 2012. p33-44.
16. Kasjono HS, Yasril. Teknik sampling untuk
penelitian kesehatan. Ed 1. Yogyakarta; 2009.
p129-130.
17. Motoc M, Samoila C, Sfrijan F, Ardelean L,
Verdes D, Andrei M, Anghel M, Popescu A.
The variation of some salivary components in
corelation wth sex and age at puberty. TMJ.
2003;53:3(4):255.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45
46
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
LEBAR BENIH GIGI ANAK TIKUS YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK TIKUS
PENGIDAP DIABETES MELLITUS GESTASIONAL
Nurdiana Dewi
Bagian Biologi Oral, Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin-Indonesia
ABSTRACT
Background : Gestational Diabetes mellitus ( DM ) is glucose intolerance that begins or first detected
during pregnancy. Gestational diabetes mellitus can cause complications to mother and offspring . The janin
are at risk for nutritional deficiency. Nutritional deficiencies can cause decrease in the size of the tooth tissue.
Purpose : This study aimed to determine the width of the first molar tooth germ in rat pups born to female rat
with DM. Methods : This study used a true experimental method with post -test only design and completely
randomized design. Sixteen female rats aged 2.5-3 months, body weight 150-200 g were mated and treated on
day 0 of pregnancy. Group A was the control group, injected intraperitoneally with citrate buffer. Group B was
DM group, injected intraperitoneally with streptozotocin (STZ) 40 mg / kg BW. Two rat pups born from each
female rat were decapitated on day 5 after birth and taken first mandibular molar tooth germ. Histopathology
procedure were performed with HE staining and tooth germ width were measured. Results: The average and
standard deviation of of width tooth germ in the control group was ( 921.97 ± 85.16 ) µm , while the average
and standard deviation of width of tooth germ in the DM group was ( 886.54 ± 92.76 ) µm. Student T - test
results showed p = 0.41 ( p < 0.05 ), which means there was no significant difference in the size of the
mandibular molar tooth germ offspring. Conclusion : There was no difference in the width of rat pups tooth
germ which born to diabetic and control female rat.
Keywords : Gestational diabetes mellitus , width of tooth germ , rat
ABSTRAK
Latar belakang: Diabetes mellitus (DM) gestasional merupakan intoleransi glukosa yang terjadi atau
baru terdeteksi selama kehamilan. Diabetes mellitus gestasional dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada
ibu maupun janin. Janin yang dikandung oleh ibu pengidap diabetes mellitus beresiko mengalami kekurangan
nutrisi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan penurunan ketebalan jaringan gigi. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui lebar gigi pada anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus pengidap diabetes DM.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode true experimental dengan post test only design dan rancangan
acak lengkap. Enam belas ekor tikus betina usia 2,5-3 bulan, berat badan 150-200 g dikawinkan dan diberi
perlakuan pada hari ke-0 kehamilan. Kelompok A merupakan kelompok kontrol, diinjeksi buffer sitrat
intraperitoneal . Kelompok B merupakan kelompok DM diinjeksi streptozotocin 40 mg/kg BB intraperitoneal.
Tikus yang lahir diambil secara acak 2 ekor dari masing-masing induk tikus dan didekapitasi pada hari ke-5
setelah dilahirkan kemudian diambil benih gigi molar 1 rahang bawah. Dilakukan pembuatan sediaan
histopatologi, pewarnaan HE dan pengukuran lebar benih gigi. Hasil: Nilai rata-rata dan standar deviasi lebar
benih gigi pada kelompok kontrol adalah (921,97 ± 85,16) µm, sedangkan rata-rata dan standar deviasi lebar
gigi pada kelompok DM adalah (886,54 ± 92,76) µm. Hasil Student T-test menunjukkan p=0,41 (p <0,05), yang
berarti tidak terdapat perbedaan bermakna pada ukuran benih gigi molar rahang bawah anak tikus.
Kesimpulan :Tidak terdapat perbedaan pada lebar benih gigi anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus DM
dan kontrol.
Keyword: Diabetes mellitus gestasional, lebar benih gigi, tikus
Laporan Penelitian
47
Korespondensi: Nurdiana Dewi, Bagian Biologi Oral, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran No. 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected] PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit
metabolik ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang disebabkan gangguan sekresi
insulin, kerja insulin, maupun keduanya.
Peningkatan kadar glukosa darah kronis dapat
menyebabkan berbagai kerusakan maupun
disfungsi organ. Diabetes mellitus gestasional
merupakan intoleransi glukosa yang terjadi atau
baru terdeteksi selama kehamilan.1 Diabetes
mellitus gestasional dapat menyebabkan berbagi
komplikasi pada ibu maupun janin yang
dikandungnya.2 Janin yang dikandung oleh ibu
pengidap diabetes mellitus beresiko untuk
kekurangan nutrisi. Janin akan beradaptasi terhadap
kekurangan nutrisi dengan cara merubah
metabolisme tubuh, sehingga mempengaruhi
produksi hormon dan sesitivitas jaringan,
meredistribusi aliran darah, serta memperlambat
pertumbuhannya. Adaptasi terhadap kekurangan
nutrisi yang terjadi pada saat perkembangan akan
mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh secara
permanen.3
Perkembangan gigi merupakan proses
kompleks yang melibatkan berbagai mekanisme
antara lain induksi, morfodiferensiasi dan
histodiferensiasi. Proliferasi, diferensiasi,
apoptosis, dan interaksi sel berhubungan dengan
mekanisme-mekanisme tersebut.4 Pembentukan
dan mineralisasi gigi dimulai pada saat
perkembangan janin. Kondisi intrauterin termasuk
status nutrisi berperan penting dalam pembentukan,
perkembangan gigi, dan mineralisasi. Penelitian
sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara
malnutrisi dengan perkembangan dan erupsi gigi
serta perkembangan karies selanjutnya.5,6
Kekurangan nutrisi juga dapat menyebabkan
penurunan ketebalan jaringan gigi. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena adanya perubahan
komposisi email dan dentin.7 Diabetes gestasional
dapat menyebabkan terjadinya hipoplasia email,
keterlambatan erupsi gigi serta penurunan panjang
tulang alveolar.8,9
Jumlah pengidap diabetes mellitus di Indo-
nesia tergolong tinggi. Berdasarkan RISKESDAS
2013, jumlah penduduk Indonesia umur ≥ 15 tahun
yang mengidap diabetes mellitus adalah sebesar
6,9%. Berdasarkan RISKESDAS 2007, penduduk
Kalimantan Selatan yang memiliki kadar glukosa
140-200 mg/dL adalah sebesar 14,7% dan memi-
liki kadar glukosa >200 mg/dL adalah sebesar
5%.10,11 Belum terdapat penelitian terhadap jumlah
pengidap diabetes mellitus gestasional di Indonesia
dan Kalimantan Selatan. Penelitian yang dilakukan
di Kalifornia Selatan pada tahun 1995-2005
menunjukkan bahwa 1,3% wanita hamil mengidap
diabetes mellitus sejak sebelum hamil, dan 7,6%
wanita hamil mengidap diabetes mellitus
gestasional.12 Penelitian ini bertujuan untuk menge-
tahui lebar gigi pada anak tikus yang dilahirkan
oleh induk tikus pengidap diabetes mellitus.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian ekspe-
rimental murni dengan post test only design dan
rancangan acak lengkap. Perlakuan terhadap hewan
dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pegujian
Terpadu Unit IV Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dilanjutkan dengan pemeriksaan
histologis di Laboratorium Histologi dan Biologi
Sel Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, serta
dinyatakan laik etik oleh Unit Etika dan Advokasi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah
Mada melalui surat keterangan No. 415/KKEP/
FKG-UGM/EC/2013. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain benih gigi molar
satu rahang bawah anak tikus, streptozotocin
(Sigma, USA), buffer sitrat (0,05 M, pH 4,5), eter,
ketamin (Ketamil Injection, Australia), Povidone
iodine (One Med, Indonesia), NaCl 0,09%,
Phosphat Buffer Saline (PBS), Paraformaldehid
4%, EDTA 10%, Harrys haematoxylin, eosin dan
pakan tikus standar. Alat yang digunakan adalah
kandang tikus, spuit injeksi, gunting bedah, alat
monitor gula darah (ACCU-CHECK, Germany),
strip tes gula darah (ACCU-CHECK, Germany),
pinset anatomis, pinset chirurgis, nierbekken,
microwave (Sharp, UK), micropippete (Eppendorf,
UK), tip micropippete (Eppendorf, UK), mikrotom,
mukroskop cahaya (Olympus, America), dan
kamera yang dihubungkan dengan komputer
(Optilab, Indonesia). Enam belas Tikus Wistar betina berumur 2,5-
3 bulan dengan berat badan 150-200 g dipelihara
dalam kandang besi selama 1 minggu, dan
mendapat makanan serta minuman standar ad
libitum. Cahaya diatur supaya tikus berada dalam
kondisi 12 jam terang dan 12 jam gelap, dengan
suhu 22-24°C. Tikus kemudian dikandangkan
dengan tikus betina dengan perbandingan tikus
jantan : tikus betina yaitu 1:4. Pada hari saat
ditemukan sperma pada vaginal smear (kehamilan
hari 0), 8 tikus diinjeksi secara intraperitoneal 40
mg streptozotocin (Sigma, USA) / kg BB yang
dilarutkan dalam 50 mM buffer sitrat pH 4,5.
Delapan ekor tikus kontrol diberi perlakuan yang
sama dengan injeksi medium (buffer sitrat). Tikus
ditimbang dan diukur kadar gukosa darahnya pada
kehamilan hari ke 0, 7, 14, dan 19 serta dipuasakan
minimal selama 8 jam sebelum diukur kadar
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 46 - 50
48
glukosanya. Tikus dinyatakan diabetes bila kadar
glukosa darah lebih dari 120 mg/dL dan
menunjukkan tanda-tanda polidipsi, poliuri,
polifagi, serta astenia. Dua ekor anak tikus diambil
dari masing-masing induk tikus secara acak dan
didekapitasi pada hari ke-5 setelah dilahirkan.
Benih gigi molar diambil dan difiksasi dengan
PBS formalin 4 % (4% paraformaldehid yang
dilarutkan dalam phosphate-buffer saline) selama
24 jam, didekalsifikasi dengan EDTA 10% pada
suhu 4°C selama 14 hari dan ditanam dalam
parafin. Blok parafin kemudian dipotong melintang
dengan ketebalan 6µm dan diletakkan dalam gelas
obyek. Potongan jaringan dalam gelas obyek
dideparafinisasi dengan xylol dan didehidrasi
dengan serial alkohol, dilanjutkan dengan
pewarnaan menggunakan hematoksilin eosin (HE).
Gelas obyek yang berisi potongan jaringan
dimasukkan dalam larutan hematoksilin, dicuci
dengan akuades, diberi acid alcohol, dicuci dengan
air mengalir dan akuades, diwarnai dengan eosin
1%, dan dicuci kembali dengan akuades. Dehidrasi
dilakukan sampai jaringan terlihat jelas di bawah
mikroskop, kemudian gelas obyek ditutup.
Jaringan dilihat dengan mikroskop perbesaran
40x, kemudian benih gigi difoto menggunakan
kamera yang dihubungkan dengan mikroskop
(Optilab, Indonesia). Pengukuran lebar benih gigi
dilakukan dari batas benih gigi sebelah bukal
sampai mesial menggunakan ImageJ software.
Data yang didapat diuji normalitasnya
menggunakan Shapiro Wilk dan dianalisa dengan
Student T-test.
HASIL PENELITIAN
Rata-rata kadar glukosa darah puasa induk
tikus dapat dilihat pada Gambar 1. Kadar glukosa
darah puasa pada kelompok diabetes meningkat di
atas 120 mg/kg BB setelah injeksi streptozotocin
(STZ). Terjadi penurunan rata-rata kadar glukosa
darah pada hari ke 19, namun masih tetap di atas
120 mg/kg BB. Tidak terdapat peningkatan kadar
glukosa darah pada kelompok kontrol.
Gambar 1. Rata-rata kadar glukosa darah puasa
induk tikus (mg/dL)
Rata-rata berat badan induk tikus dapat dilihat
pada Gambar 2. Berat badan badan induk tikus
meningkat baik pada kelompok kontrol maupun
pada kelompok diabetes. Peningkatan berat badan
pada kelompok kontrol lebih besar dibandingkan
kelompok diabetes.
Gambar 2. Rata-rata berat badan induk tikus (g)
Hasil palpasi positif pada perut induk tikus
pada hari ke-13 kehamilan menunjukkan adanya
pembesaran pada daerah rahim yang menandakan
tikus telah hamil. Induk tikus juga menunjukkan
tanda klinis DM. Induk tikus mengalami polifagia,
polidipsia, poliuria, dan astenia.
Gambar 3 menunjukkan rata-rata lebar benih
gigi anak tikus. Berdasarkan hasil pengukuran
didapatkan rata-rata dan standar deviasi lebar benih
gigi anak tikus kelompok kontrol adalah (921,97 ±
85,16) µm, sedangkan rata-rata lebar benih gigi
anat tikus kelompok diabetes adalah (886,54 ±
92,76) µm. Rata-rata lebar benih gigi anak tikus
kelompok DM lebih kecil dibandingkan kelompok
kontrol. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa
kedua kelompok memiliki distribusi data yang
normal (p>0,05). Hasil Student T-test menunjukkan
p=0,41 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat
perbedaan bermakna antara lebar benih gigi
kelompok kontrol dan kelompok DM.
Gambar 3. Rata-rata lebar benih gigi tikus (µm)
,000
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
0 7 14 19Kad
ar G
luko
sa D
arah
(m
g/d
L)
Hari
Kontrol
DM
0
100
200
300
0 7 14 19Be
rat
bad
an in
du
k ti
kus
(g)
Hari
Kontrol
DM
0
200
400
600
800
1000
1200
Kontrol DM
Leb
ar b
en
ih g
igi (
µm
)
Perlakuan
Dewi : Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan
49
PEMBAHASAN
Terdapat peningkatan kadar glukosa darah
pada kelompok DM menjadi di atas 120 mg/dL
pada pengamatan hari ke 7, 14, dan 19. Kadar
glukosa darah pada kelompok kontrol tidak
mengalami peningkatan. Peningkatan kadar
glukosa darah kemungkinan disebabkan kematian
sel beta pankreas. Streptozotocin (STZ)
menyebabkan kematian sel beta pankreas secara
selektif dengan metilasi DNA. Nitrosuria pada STZ
menyebabkan toksisitas sel dengan menurunkan
jumlah. NAD+ dan produksi radikal bebas. Radikal
bebas yang dilepaskan oleh STZ menyebabkan
kerusakan DNA. Streptozotocin juga dapat
memproduksi Reactive Oxygen Species dan
menyumbangkan Nitric Oxide (NO). Kematian sel
beta pankreas menyebabkan menurunnya
kemampuin pankreas untuk memproduksi insulin,
sehingga terjadi penumpukan glukosa dalam darah
yang terdeteksi dengan peningkatan kadar glukosa
darah.13
Pengamatan visual yang dilakukan pada
tikus menunjukkan tikus mengalami tanda-tanda
DM seperti penelitian Carvalho et al., yaitu
polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak
kencing), polifagia (banyak makan) dan astenia
(lemas).14 Jumlah makanan dan minuman tidak
dikur secara khusus dengan timbangan, namun
dapat dilihat dari jumlah dan frekuensi makan pada
kelompok DM lebih banyak dibandingkan
kelompok kontrol. Volume urin juga tidak diukur
dengan alat ukur, namun dapat dilihat dari tempat
kotoran tikus kelompok DM yang lebih banyak dan
lebih basah dibandingkan kelompok kontrol.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan berat badan induk tikus baik
pada kelompok DM maupun pada kelompok
kontrol. Peningkatan berat badan tikus pada
kelompok kontrol lebih besar dibandingkan
kelompok DM. Hal ini kemungkinan disebabkan
kondisi DM yang dialami tikus. Frekuensi dan
jumlah konsumsi makan tikus DM lebih banyak
dibandingkan kelompok kotrol, namun adanya
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein menyebabkan tubuh tikus tidak dapat
menggunakan makanan yang dikonsumsi menjadi
sumber nutrisi.15,16 Peningkatan berat badan pada
DM yang lebih rendah dibandingkan kontrol dapat
juga disebabkan karena jumlah janin yang lebih
sedikit dibandingkan kontrol.13 Pada penelitian ini
jumlah tikus yang dilahirkan oleh induk tikus
kelompok DM lebih sedikit dibandingkan yang
dilahirkan oleh induk tikus kelompok kontrol.
Kehamilan pada induk tikus diketahui dengan
adanya peningkatan berat badan pada tiap
pengamatan dan palpasi positif pada bagian perut
tikus pada kehamilan hari ke-13. Pembesaran pada
bagian perut tikus menandakan bahwa terdapat
sejumlah janin pada rahim tikus.17
Hasil pengukuran lebar benih gigi tikus
menunjukkan bahwa lebar benih gigi tikus pada
kelompok DM lebih kecil dibandingkan kelompok
kontrol, namun hasil statistik dengan Student T test
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok
DM tidak terlalu tinggi, sehingga tidak terlalu
berpengaruh terhadap proses pembentukan ukuran
benih gigi tikus. Malnutrisi yang dialami tikus pada
penelitian ini tidak parah sehingga tidak
mempengaruhi ukuran benih gigi. Anak tikus yang
dilahirkan oleh induk tikus DM pada penelitian ini
mengalami malnutrisi terlihat dengan ukuran dan
berat badan yang lebih kecil, namun anak tikus
yang mengalami malnutrisi parah sebagian besar
mati setelah dilahirkan. Anak tikus yang hidup
mengalami malnutrisi yang tidak parah.
Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah
akan menyebabkan malnutrisi yang semakin parah,
karena peningkatan kadar glukosa darah
menandakan kemampuan tubuh dalam
memetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
sebagai sumber energi semakin rendah. Gangguan
metabolisme yang dialami induk tikus dapat
menyebabkan malnutrisi energi protein pada anak
tikus. Malnutrisi dapat mempengaruhi proses
pembentukan gigi. Nutrisi diperlukan pada masa
pre erupsi dalam maturasi gigi, penentuan
komposisi gigi, serta penentuan bentuk dan ukuran
gigi.18 Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Garn
et al. yang menunjukkan adanya peningkatan
ukuran gigi pada tikus yang dilahirkan oleh induk
tikus DM. Pada penelitian Garn et al., anak tikus
yang dilahirkan memiliki berat dan ukuran badan
yang lebih besar, disebabkan karena banyaknya
glukosa yang ditransfer ke janin pada saat hamil.19
Terjadi peningkatan GLUT-1 dalam plasenta pada
kasus diabetes mellitus gestasional. GLUT-1 juga
berperan dalam pembentukan benih gigi, sehingga
peningkatan GLUT-1 dapat meningkatkan ukuran
benih gigi.20,21
Tidak adanya perbedaan bermakna pada
ukuran benih gigi kemungkinan disebabkan
pengukuran dilakukan pada benih gigi pada tahap
bell akhir. Pada tahap ini bentuk dan ukuran gigi
belum sempurna. Pada tahap bell akhir terjadi
pembentukan email dan dentin. Pembentukan benih
gigi masih akan berlanjut sampai tahap aposisi
selesai dan gigi mulai erupsi.22,23 Kesimpulan yang
dapat diambil dari penelitian ini yaitu tidak terdapat
perbedaan pada lebar benih gigi anak tikus yang
dilahirkan oleh induk tikus DM. Perlu dilakukan
penlitian lebih lanjut dengan kadar glukosa induk
tikus yang lebih tinggi dan pengukuran langsung
pada gigi anak tikus yang telah erupsi.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 49 - 50
50
DAFTAR PUSTAKA
1. ADA. Diagnosis and classification of diabetes
mellitus. Diabetes Care 2008 ; 21(1): s55-60
2. Vedavathi KJ, Swamy RM, Kanavi RS,
Venkatesh G, Veeranna HB. Influence of
gestational diabetes mellitus on fetal growth
parameter. Int J Biol Med Res 2011; 2(3): 832-
834
3. Barker DJP. The malnourished baby and
infant. British Medical Buletin 2001; 60: 69-88
4. Grisaru D, Sternfeld M, Eldor A, Glick D,
Soreq H. Structural roles of
acaetylcholinesterase variants in biology and
pathology. Eur J Biochem 1999; 264: 672-686
5. Tanaka K, Miyake Y, sasaki S, Hirota Y.
Dairy products and calcium intake during
pregnancy and dental caries in children.
Nutrition Journal 2012; 11: 33-40
6. Alvarez JO. Nutrition, tooth development, and
dental caries. Am J Clin Nutr 1995; 61(suppl):
410s-6s
7. Rocha JS, Baldani MH, Lopes CMDL. Impact
of prenatal ptotein-calorie malnutrition on the
odontogenesis of wistar rats. Braz Dent Sci
2013; 16(3): 63-9
8. Dewi N. Pengaruh diabetes mellitus
gestasional terhadap ekspresi amelogenin dan
histomorfologi benih gigi anak tikus. Tesis.
2013
9. Villarino ME, Goya JA, De Lucca RC, Ubios
AM. Alterations of tooth eruption and growth
in pup suckling from diabetic dams. Pediatr
Res 2005; 58(4): 695-9
10. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Kesehatan
RI. Riset kesehatan dasar 2013
11. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset kesehatan dasar
(RISKESDAS) 2007. 2008
12. Lawrence JM, Contreras R, Chen W, Sacks
DA. Trends in the prevalence of preexisting
diabetes and gestasional diabetes mellitus
among a racially/ethnically diverse population
of pregnant women, 1999-2005. Diabetes Care
2008; 31:899-904
13. Lenzen S. The mechanisms of alloxan- and
streptozotocin-induced diabetes. Diabetolgia
2008; 51:216-226
14. Carvalho EN, Carvalho NAS, Ferreira LM.
Experimental model of induction of diabetes
mellitus in rats. Acta Cir Braz 2003; 18:60-64
15. Kiss ACI, Lima PHO, Sinzato YK, Takaku M,
Takeno MA, Rudge MVC, Damasceno DC.
Animal Models for Clinical and Gestational
Diabetes : Maternal and Fetal Outcomes.
Diabetol Metab Syndr 2009; 1:21
16. Hall JE. Insulin, Glucagon, and Diabetes
Mellitus. In: Guyton and Hall Text Book of
Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia :
Elseviers Saunders; 2011. p.939-954
17. Ypsilantis P, Deftereos S, Prassopoulos P,
Simopoulos C. Ultrasonographic Diagnosis of
Pregnancy in Rats. J Am Assoc Lab Anim Sci
2009; 48(6):734-739
18. Goncalves LA, Boldrini SC, Capote TSO,
Binotti CB, Azeredo RA, Martini DT, et al.,
Structural and ultra-structural features of the
first mandibular molar of young rats submitted
to pre and postnatal protein deficiencies. The
Open Dentistry Journal 2009; 3:125-131
19. Garn SM, Osborne RH, Alvesalo L, Horowitz
SL. Maternal and gestational influences on
deciduous and permanent tooth. J Dent Res
1980; 59(2): 142-143
20. Ida-Yonemochi H, Nakatomi M, Harada H,
Takana H. Glucose uptake mediated by
glucose transporter 1 is essential for early
tooth morphogenesis and size determination of
murine molars. Developmental Biology 2012;
363: 52-61
21. Desoye G and Haugel-de Mouzon S. The
human placenta in gestational diabetes
mellitus. Diabetes Care 2007; 30(2): 120-6
22. Bath-Balogh M and Fehrenbach MJ. Dental
Embriology, Histology, and Anatomy. 2nd ed.
St Louis: Elseviers Saunders. 2006. p.61-91
23. Nanci A. Ten Cate’s Oral histology. 7th ed. St
Louis: Elseviers Saunders. 2008
Dewi : Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan
51
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
EFEK PENGUNYAHAN PERMEN KARET YANG MENGANDUNG
XYLITOL TERHADAP PENINGKATAN pH SALIVA
Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin Angkatan 2010-2012
Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT
Backgroud: Xylitol is a simple alcohol sugar (polyols) which is non-asidogenik and non-cariogenic
that is added in the chewing gum as a sugar substitute. Previous study have shown that chewed the xylitol
chewing gum 3 to 5 times a day for 5 minutes after meals inhibited plaque accumulation and enamel
demineralization. Purpose: The purpose of this study was to evaluate the effect of chewing the xylitol chewing
gum on the increase of salivary pH. Methods: This study designed in a pre-experimental with one group pretest-
posttest used purposive sampling technique. Thirty-five subjects were given 3 x 2 pieces of chewing gum (3 x 2 x
1242mg) per day which were chewed after breakfast (at 08.00 am), at lunch (01.00 pm) and at dinner (07.00
pm) for 2 weeks. Each subject chewed the xylitol chewing gum with two chewing sides for a maximum of 5
minutes or until the taste of the gum lost. Result: The mean salivary pH before chewed the xylitol chewing gum
was 6.9086 and after chewed xylitol chewing for 2 weeks was 7.6571. Statistical analysis showed an increase
in salivary pH after chewed the gum which containing 7452 mg xylitol per day for two weeks (p = 0.000).
Conclutions: Chewed the xylitol chewing gum increased the salivary pH.
Keyword: xylitol, chewing gum, salivary pH
ABSTRAK
Latar Belakang: Xylitol adalah gula alkohol sederhana (polyol) yang bersifat non-asidogenik dan
non-kariogenik sebagai bahan pengganti gula yang disertakan dalam kandungan permen karet. Penelitian
terdahulu membuktikan bahwa pemberian permen karet xylitol 3 sampai 5 kali sehari selama 5 menit setelah
makan dapat menghambat akumulasi plak dan demineralisasi enamel. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva sebelum
dan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian
pre eksperimental dengan one group pretest-posttest design, menggunakan teknik purposive sampling.
Perlakuan yang diberikan adalah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dua sisi maksimal 5 menit
atau sampai rasanya hilang dengan cara pemberian 3 x 2 butir (3 x 2 x 1242mg) perhari setelah makan pagi
(jam 08.00), makan siang (13.00) dan makan malam (19.00) selama dua minggu. Hasil: Rerata pH saliva
sebelum perlakuan mengunyah permen karet yang mengandung xylitol adalah 6,9086 dan sesudah mengunyah
permen karet yang mengandung xylitol selama 2 minggu adalah 7,6571. Uji T berpasangan diperoleh hasil p =
0,000 (p<0,05) menunjukkan terjadi peningkatan pH saliva setelah mengunyah permen karet yang mengandung
7452 mg xylitol perhari selama dua minggu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat
diambil kesimpulan bahwa mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dapat meningkatkan pH saliva.
Kata-kata kunci: xylitol, permen karet, pH saliva
Korespondensi: Nina Annisa Hidayati, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]
Laporan Penelitian
52
PENDAHULUAN
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun
2007 yang dilakukan Depkes menunjukkan bahwa
secara umum prevalensi penyakit gigi dan mulut
tertinggi meliputi 72,1% penduduk, 46,6%
merupakan karies aktif.1 Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan
tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi karies
aktif di provinsi Kalimantan Selatan adalah 50,7%.2
Etiologi karies gigi adalah multifaktor, terdiri dari
akumulasi dan retensi plak, frekuensi konsumsi
karbohidrat, frekuensi terhadap diet asam, faktor
pelindung dari pelikel, saliva, dan fluoride serta
elemen-elemen lain yang mengontrol
perkembangan karies. Saliva berperan penting pada
proses pertahanan terhadap serangan karies.
Mekanisme fungsi perlindungan saliva meliputi: (1)
aksi pembersihan bakteri, (2) aksi buffer, (3) aksi
antibakteri dan (4) remineralisasi. Saliva juga
mengandung urea dan buffer lain yang membantu
melarutkan asam dalam plak.3,4
Derajat keasaman (pH) saliva sangat
dipengaruhi oleh irama sirkadian, diet dan stimulasi
sekresi saliva. Diet yang mengandung karbohidrat
akan menyebabkan turunnya pH saliva yang dapat
mempercepat terjadinya demineralisasi email gigi.
Sepuluh menit setelah makan karbohidrat akan
menghasilkan asam melalui proses glikolisis dan
pH saliva akan menurun sampai mencapai pH kritis
(5,5-5,2) dan untuk kembali normal dibutuhkan
waktu 30-60 menit.5
Pencegahan penurunan pH saliva dapat
dilakukan dengan cara menggunakan bahan
pengganti gula yang dapat meningkatkan pH saliva
antara lain sorbitol, mannitol dan xylitol. Xylitol
paling popular digunakan karena efeknya terhadap
kesehatan gigi dan rasanya yang manis hampir
sama dengan sukrosa, namun memiliki kalori yang
lebih kecil (40% dari sukrosa). Xylitol merupakan
sejenis pemanis polyols yang bersifat non-
asidogenik dan non-kariogenik.4,6,7 Xylitol dewasa
ini sudah disertakan dalam kandungan permen
karet. Permen karet bermanfaat untuk merangsang
sekresi saliva, meningkatkan pH plak dan saliva,
sehingga sangat baik digunakan sebagai pembersih
rongga mulut.8
Menurut Penelitian Burt (2006) pemberian
permen karet xylitol 3 sampai 5 kali sehari
dikunyah minimal selama 5 menit setelah makan
dapat menghambat akumulasi plak dan
demineralisasi enamel, meningkatkan
remineralisasi pada karies awal dan mengurangi
jumlah Streptococcus mutan.9 Streptococcus
mutans menghasilkan asam yang dapat merusak
email gigi. Bakteri ini berkembang pada pH asam.
Xylitol menghambat pertumbuhan Streptococcus
mutans dengan meningkatkan pH mulut, membuat
keadaan rongga mulut kurang menguntungkan
untuk pertumbuhan Streptococcus mutan.10
Studi lain oleh Makinen et al dalam Adopted
(2006) menunjukkan bahwa asupan xylitol yang
konsisten menghasilkan hasil yang positif dengan
kisaran konsumsi 4-10 g perhari di bagi 3-7
periode. Jumlah yang lebih besar tidak
menghasilkan reduksi yang lebih besar pada insiden
karies dan dapat membawa ke berkurangnya hasil
antikariogenik.11 Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek pengunyahan permen karet yang
mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva
sebelum dan sesudah mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol pada Mahasiswa Program
Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung
Mengkurat Angkatan 2010-2012
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode pre-
experimental design. Rancangan penelitian ini
menggunakan one group pretest-posttest design.
Kontrol dalam penelitian ini adalah pH sebelum
mengunyah permen karet xylitol. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian antara lain masker dan
sarung tangan, nierbekken, diagnostic set, pH
meter, gelas penampung saliva, alat tulis, form
penelitian, informed consent dan stopwatch. Bahan
dalam penelitian ini yang digunakan adalah permen
karet yang mengandung xylitol, tisu dan kapas.
Pengambilan data awal dimulai dengan
pemberian informed consent kepada responden.
Responden kemudian diinstruksikan untuk
mengumpulkan saliva selama 30 detik pada dasar
mulut, lalu ditampung dalam gelas penampung
saliva. pH saliva diukur menggunakan pH meter
dan dicatat pada form penelitian. Selanjutnya
responden diinstruksikan untuk mengunyah permen
karet dua sisi yang mengandung xylitol dengan cara
pemberian 3 x 2 butir perhari setelah makan pagi
(Jam 08.00), makan siang (jam 13.00) dan makan
malam (jam 19.00) selama 2 minggu. Permen karet
xylitol dikunyah maksimal selama 5 menit atau
sampai rasa dari permen karet sudah tidak ada lagi.
Responden juga diinstruksikan untuk menjaga
kebersihan mulut. Pengambilan data akhir
dilakukan setelah 2 minggu, dengan cara
pemeriksaan pH saliva seperti pada pengambilan
data awal.
HASIL PENELITIAN
Perbedaan rerata pH Saliva sebelum dan
sesudah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
Hidayati : Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol
53
Gambar 1 Rerata±SD pH Saliva Sebelum dan
Sesudah Mengunyah Permen Karet
yang Mengandung Xylitol.
Gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan
pH saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen
karet yang mengandung xylitol. Pada penelitian ini
didapatkan rata-rata pH saliva sebelum mengunyah
permen karet yang mengandung xylitol sebesar
6,9086±0,22928, sedangkan rata-rata pH saliva
sesudah mengunyah permen karet yang
mengandung xylitol sebesar 7,6571±0,22789. Hasil
normalitas data dengan Shapiro-Wilk menunjukkan
data pH sebelum mengunyah permen karet xylitol
(p = 0,185) dan pH setelah mengunyah permen
karet xylitol (p = 0,130) berdistribusi normal (p >
0,05).
Hasil uji T berpasangan diperoleh hasil p =
0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan terdapatnya
peningkatan bermakna pH saliva setelah
mengunyah permen karet yang mengandung 7452
mg xylitol per hari selama dua minggu pada
mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Angkatan 2010-2012.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
permen karet yang mengandung xylitol dapat
meningkatkan pH saliva. Hal tersebut disebabkan
sifat dan cara kerja xylitol yang tidak dapat di
fermentasi oleh Streptococcus oral dan
mikroorganisme lainnya sehingga tidak dihasilkan
asam yang dapat menurunkan pH saliva.12 Xylitol
dapat menetralkan pH saliva yang rendah dengan
efek menguntungkan untuk kesehatan rongga
mulut. Konsumi xylitol secara teratur, pada dosis
cukup dapat mengurangi tingkat Streptococcus
mutans pada plak dan saliva. Streptococcus mutans
mengambil xylitol ke dalam sel melalui sistem
fruktosa phosphotransferase (PTS) dan xylitol
dimetabolisme menjadi xylitol-5-fosfat, yang tidak
dapat dimanfaatkan lebih lanjut dan bahkan dapat
menjadi racun bagi bakteri.13
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-
penelitian lain sebelumnya. Penelitian yang
dilakukan Soderling et al (1989) dalam Milgrom et
al (2006) menyebutkan bahwa konsumsi 10,9 g
xylitol/hari selama 14 hari pada pasien usia 19-35
tahun menghasilkan reduksi Streptococcus mutans
pada plak dan saliva, juga penurunan jumlah plak
hingga 29,4% dan meningkatkan resistensi terhadap
penurunan pH yang diinduksi oleh asupan sukrosa
(14). Penelitian lain oleh Kumar (2010)
menunjukkan terjadi peningkatan pH Saliva yang
signifikan pada anak usia 10-12 tahun setelah
mengkonsumsi permen karet xylitol.15
Tindakan pencegahan resiko karies lebih
menekankan pada pengurangan konsumsi dan
pengendalian frekuensi asupan gula yang tinggi.
Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara nasehat diet
dan bahan pengganti gula. Nasehat diet yang
dianjurkan adalah memakan makanan yang cukup
jumlah protein dan fosfat yang dapat menambah
sifat basa dari saliva, memperbanyak makan
sayuran dan buah-buahan yang berserat dan berair
yang akan bersifat membersihkan dan merangsang
sekresi saliva, menghindari makanan yang manis
dan lengket. Xylitol merupakan bahan pengganti
gula yang sering digunakan, berasal dari bahan
alami serta mempunyai kalori yang sama dengan
glukosa dan sukrosa. Xylitol dapat dijumpai dalam
bentuk tablet, permen karet, pasta gigi, dan
mouthwash.16, 17
Pemberian permen karet yang mengandung
xylitol mempunyai efek menstimulasi produksi
saliva, komposisi saliva berubah dan meningkatkan
konsentrasi bikarbonat, fosfat dan kalsium.
Perubahan komposisi ini menstimulasi peningkatan
kemampuan saliva untuk mencegah penurunan pH
saliva. 8,18 Pengaruh pengganti gula pada perubahan
angka terjadinya karies telah dievaluasi dalam
beberapa studi observasional serta uji klinis dengan
hasil konsisten menunjukkan adanya efek
perlindungan dari xylitol pada insiden karies.19
Kandungan karbohidrat 75% dan kalori 40%
dalam xylitol lebih rendah dibandingkan gula pasir.
Xylitol dapat diaplikasikan dalam bentuk permen
karet mengandung furonan dan kalsium phosphate
yang akan memberikan efek positif apabila
dikonsumsi setelah makan, sikat gigi, dan sebelum
tidur. Ketika dikonsumsi dalam bentuk solid
(seperti permen karet) xylitol memberikan sensasi
segar dan dingin karena high endhotermic heat
solution yang dimilikinya.20,17 Sifat lain dari xylitol
yang menguntungkan adalah fermentasinya oleh
mikroba plak gigi yang berlangsung lebih lambat
dari fermentasi sukrosa, sehingga menghasilkan
produksi asam yang sangat sedikit atau tidak sama
sekali. Hal ini dapat mendukung pengembalian
asam basa dalam mulut sehingga proses
demineralisasi gigi dapat dicegah.21
0123456789
10
Sebelum Sesudah
pH
sa
liv
a
Waktu Pengukuran
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 51 - 55
54
Xylitol terbukti dapat meningkatkan pH saliva,
dengan demikian dapat membantu proses
remineralisasi. Remineralisasi dapat terjadi apabila
kondisi rongga mulut mendukung, yaitu tingkat
kalsium dan fosfat cukup, pH yang tinggi, matriks
organik dan inorganik yang tepat untuk
pembentukan kristal, faktor-faktor yang pendukung
dalam saliva, serta adanya kontrol terhadap faktor-
faktor penghambat pembentukan kristal.9,22 Salah
satu faktor dalam xylitol yang mendukung
remineralisasi adalah strukturnya yang dapat
membentuk ikatan kompleks dengan kalsium, yaitu
C5H12O5Ca(OH)2.4H2O. Proses peningkatan
terbawanya kalsium ke gigi dan membantu proses
remineralisasi. Kalsium dikelilingi oleh molekul air
di dalam saliva. Ketika xylitol dikonsumsi, maka
akan terjadi kompetisi antara xylitol dan molekul air
sehingga terbentuk lapisan hidrasi yang baru. Hal
ini dapat menyebabkan kalsium dapat bertahan
lebih lama dalam mulut sehingga dapat digunakan
kemudian.9,22
Xylitol juga dapat menstabilkan kadar
kalsium dan fosfat dalam saliva, yang penting
dalam menciptakan kondisi ideal untuk
remineralisasi.9,22 Konsumsi permen karet yang
mengandung xylitol 4-10 g perhari dengan
frekuensi minimal 3 kali sehari selama 14 hari
menghasilkan penurunan Streptococcus mutans
pada plak dan saliva, juga penurunan jumlah plak
hingga 29,4 % dan meningkatkan resistensi
terhadap penurunan pH saliva yang diinduksi oleh
asupan sukrosa.11,23,24 iHasil penelitian ini telah
membuktikan bahwa mengunyah permen karet
yang mengandung 7452 mg xylitol dengan cara
pemberian 3 x 2 butir (3 x 2 x1242 mg) perhari
selama 2 minggu menunjukkan adanya peningkatan
pH saliva.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2007.
2. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan
Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI, 2009.
3. Mcintyre JM. Dental Caries – The Major
Cause of Tooth Damages. In Graham J. Mount
& W. R. Mount (ed). Preservation and
Restoration of Tooth Structure 2nd ed.
Queensland: Knowledge Book and Software,
2005:21-33.
4. Putri H, Eliza H, Neneng N. Ilmu Pencegahan
Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan
Pendukung Gigi. Jakarta: EGC, 2008:56-77.
5. Hartini E. Serba Serbi Ilmu Konservasi Gigi.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2005:69-59.
6. Amelda PD, Ana MT, Maria AN, Antonio AS,
Luciana RA. Saliva Composition and Function:
A Comprehensive Review. Journal
Contemporary Dental Practice 2008; 9(3) :5-2.
7. Sulistiyani, Pradopo S. The Average Saliva pH
Level After Comsuming Fresh Cow Milk,
Sweetened Condensed Milk, and Soyabean
Milk. Dental Journal 2003; 36(1-37) :6-4.
8. Resti, Auerkari EI, Sarwono AT. Pengaruh
Pasta Gigi yang Mengandung Xylitol terhadap
Pertumbuhan Streptococcus Mutans Serotif E
(In Vitro). Indonesian Journal of Dentistry
2008; 15(1) :22-15.
9. Burt BA. The Use of Sorbitol and Xylitol-
Sweetened Chewing Gum in Caries Control.
American Dental Assosiation. JADA 2006;
137 :190-196.
10. Sari NN. Permen Karet Xylitol yang Dikunyah
Selama 5 Menit Meningkatkan dan
Mempertahankan pH Saliva Perokok Selama 3
Jam. Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu
Biomedik Program Pascasarjana Universitas
Udayana, 2011. Hal 22-23.
11. Adopted. Policy on the Use of Xylitol in
Caries Prevention. Oral Health Policies.
Council on Clinical Affairs 2006 ;31-32.
12. Moynihan P, Lingstrom P, Rung-Gunn AJ,
Birkhed D. The Role of Dietary Control. In:
Fejerskov Ole, A.M Kidd Edwina (ed). Dental
Caries The Disease and Its Clinical
Management. Blackwell Munksgaard 2003;
235-7.
13. Bahador, Lesan, Kashi. Effect of Xylitol on
Cariogenic and Beneficial Oral Streptococci: a
randomized, double-blind crossover trial. IJM
Iranian Journal of Microbiology 2012; 4:75-81.
14. Milgron P, Ly KA, Roberts MC, Rothen M,
Mueller G, Yamaguchi DK. Mutans
Streptococci Dose Response to Xylitol
Chewing Gum. J Dent Res 2006 February;
85(2): 177-181.
15. Kumar S. Estimation of Salivary pH and
Dental Plaque pH In Children Before and after
consumtion of Sugared and Sugar-Free
(Xylitol) Chewing Gum An In Vivo Study.
Nehru Nagar. Belgaum: Dissertation Submitted
to The KLE University, 2010. p. 53.
16. Angela A. Pencegahan Primer pada Anak yang
Berisiko Karies Tinggi (Primary Prevention in
Children With High Caries Risk). Maj. Ked.
Gigi. (Dent. J.) 2005; 38(3) :130–134.
17. Soderling EM. Xylitol, Mutans Streptococci,
and Dental Plaque. Adv Dent Res 2009; 21
:74-78
18. Holgeston PL. Xylitol And It’s Effect on Oral
Ecology. Umea: Dentistry Faculty of Medicine
2007; 16-20.
Hidayati : Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol
55
19. Hayes C. The Effect of Non-Cariogenic
Sweeteners on the Prevention Of Dental
Caries: A Review Of The Evidence. Boston:
Department of Oral Health Policy and
Epidemiology, 2003. p. 9.
20. Lukitaningsih A. Perbedaan Jumlah Bakteri
Streptococcus Viridians Sebelum dan Sesudah
Mengunyah Permen Karet yang Mengandung
Xylitol pada Penghuni Wisma Melati no. 101
Pedalangan Banyumanik Semarang Tahun
2009. Skripsi. Semarang: Politeknik Kesehatan
Depkes Semarang, 2009; 4.
21. Kidd, Edwina AM. Essential of Dental Caries
The Disease and Its Management. New York:
Oxford, 2005.
22. Tapiainen T, Tero K, Laura S, Irma I, Markku
K, Matti U. Effect of Xylitol on Growth of
Streptococcus Pneumoniae in the Presence of
Fructose and Sorbitol. Antimicrobial Agents
and Chemotherapy 2001; 166-169.
23. Milgrom P, Ly KA, Rothen M. Xylitol and Its
Vehicles for Public Health Needs. Adv Dent
Res 2009; 21: 44-47.
24. Milgron P, Ly KA, Roberts MC, Rothen M,
Mueller G, Yamaguchi DK. Mutans
Streptococci Dose Response to Xylitol
Chewing Gum. J Dent Res 2006; 85(2): 177-
181.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 51 - 55
56
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
EFEKTIVITAS MENYIKAT GIGI DISERTAI DENTAL FLOSS
TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK
Tinjauan pada Siswa SMAN 1 Sungai Pandan Kecamatan Sungai Pandan
Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background : Toothbrushing is a common method used to removing plaque on the whole surface of the
tooth, but it is not completely clean the interproksimal sect. The removal of interproximal plaque is considered to
be important for the maintence of gingival health, caries prevention and periodontal disease. Dental floss is
made of nylon filaments yarn or plastic monofilament, waxed or unwaxed that used to remove debris and plaque
at the interproximal. Purpose: The purpose of this study uses to determine the effectiveness of toothbrushing
with dental floss to decrease plaque index. Methods: This study was a pre-experimental with one group pretest-
posttest design, used purposive sampling technique. The treatments were toothbrusing twice a day in the
morning and evening using toothbrush and toothpaste, and using dental floss once a day at night for two weeks.
Plaque index that used in this study was the Quigley and Hein plaque index modified by Tureskey, Gilmore, and
Glickman. Results:The mean of plaque index before treatment was 1.97 and after treatment of toothbrushing
with dental floss was 0.45. Paired t-test results obtained p = 0.000 (p <0.05) demonstrated a significant
reduction of plaque index after tootbrushing with dental floss for two weeks. Conclusion: It can be concluded
that toothbrushing followed by the use of dental floss effective to decrease plaque index.
Keywords: toothbrushing, dental floss, plaque index
ABSTRAK
Latar belakang: Menyikat gigi merupakan metode yang umum digunakan dalam membersihkan plak
pada seluruh permukaan gigi, tetapi tidak dapat sepenuhnya membersihkan bagian interproksimal. Pembersihan
plak pada bagian interproksimal dianggap penting untuk memelihara kesehatan gingiva, pencegahan karies dan
penyakit periodontal. Dental floss atau benang gigi adalah benang yang terbuat dari nilon filamin atau plastik
monofilament tipis, berlilin maupun tidak berlilin yang digunakan untuk menghilangkan sisa makanan dan plak
di bagian interproksimal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi disertai
dental floss terhadap penurunaan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimental
dengan one group pretest-posttest design, menggunakan teknik purposive sampling. Perlakuan yang diberikan
adalah menyikat gigi dua kali sehari pada pagi dan malam hari menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, serta
menggunakan dental floss satu kali sehari sebelum menyikat gigi pada malam hari selama dua minggu. Indeks
plak yang dipakai adalah indeks plak Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Tureskey, Gilmore, dan
Glickman. Hasil: Rerata indeks plak sebelum dilakukan perlakuan adalah 1,97 dan sesudah perlakuan menyikat
gigi disertai dental floss adalah 0,45. Uji t-berpasangan diperoleh hasil p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan
terjadinya penurunan indeks plak yang signifikan sesudah menyikat gigi disertai dental floss selama dua
minggu. Kesimpulan: Menyikat gigi disertai dental floss efektif terhadap penuruan indeks plak.
Kata kunci: menyikat gigi, dental floss, indeks plak
Korespondensi: Azizah Magfirah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, e-mail: [email protected]
Laporan Penelitian
57
PENDAHULUAN
Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia
masih sangat memprihatinkan, 90% penduduk
Indonesia masih menderita penyakit gigi dan
mulut.1,2 Karies gigi dan penyakit periodontal
merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai
di rongga mulut sehingga penyakit ini merupakan
masalah utama kesehatan gigi dan mulut.2
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007, diperoleh
data proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut
sebesar 29,2%, prevalensi karies aktif sebesar
50,7%, dan indeks DMF-T sebesar 6,83. Hulu
Sungai Utara merupakan salah satu dari lima
kabupaten yang memiliki prevalensi karies aktif
diatas angka provinsi untuk penduduk umur 12
tahun ke atas yaitu sebesar 52,8%, dan indeks
DMF-T tertinggi yaitu sebesar 8,97.3
Faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya penyakit karies dan periodontal
adalah plak (5). Plak merupakan suatu deposit
lunak berwarna keabu-abuan atau kuning yang
melekat erat pada permukaan gigi. Jika jumlah plak
sedikit maka plak tidak dapat terlihat, kecuali
diwarnai dengan larutan disclosing.4,5
Data Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan
menunjukkan bahwa hanya sekitar 8,5%
masyarakat berumur 10 tahun ke atas yang
berperilaku benar dalam menyikat gigi di
Kabupaten Hulu Sungai Utara. Data tersebut
menunjukkan bahwa masih sedikit masyarakat
yang berperilaku benar dalam menyikat gigi
termasuk masyarakat di Kecamatan Sungai Pandan,
Hulu Sungai Utara. Hal ini akan menyebabkan
pembersihan plak yang tidak efektif pada
permukaan gigi, sehingga akan mempengaruhi
status oral hygiene yang dapat menyebabkan karies
dan penyakit mulut lainnya. Plak gigi harus
dibersihkan secara menyeluruh dan teratur untuk
mencegah terjadinya karies dan penyakit mulut
lainnya.3
Metode yang umum digunakan dalam
membersihkan plak adalah menyikat gigi. Sikat
gigi dapat membersihkan plak pada permukaan
bukal, lingual, dan oklusal, tetapi tidak dapat
sepenuhnya membersihkan bagian interproksimal.6
Pembersihan plak pada bagian interproksimal
dianggap penting untuk memelihara kesehatan
gingiva, pencegahan karies dan penyakit
periodontal.7
Salah satu cara untuk membersihkan bagian
interproksimal gigi adalah dengan menggunakan
alat yang dapat menembus sela-sela gigi yang
berdekatan. Banyak produk yang dirancang untuk
membantu dalam membersihkan bagian
interproksimal gigi, salah satunya adalah dental
floss.6 Dental floss atau benang gigi adalah benang
yang terbuat dari nilon filamin atau plastik
monofilamen tipis, berlilin maupun tidak berlilin
yang digunakan untuk menghilangkan sisa
makanan dan plak di bagian interproksimal.8
Dental floss mulai direkomendasikan untuk
pembersihan bagian interproksimal pada akhir
tahun 1960.9
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
efektivitas menyikat gigi diserta dental floss
terhadap penurunan indeks plak pada siswa SMAN
1 Sungai Pandan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode pre-
eksperimental dengan rancangan one group pretest-
postest design. Penelitian ini dilakukan di SMAN 1
Sungai Pandan pada bulan Juni – Juli 2013. Alat
yang digunakan antara lain diagnostic set,
nierbekken, sikat gigi, dental floss, kain putih,
formulir penilaian indeks plak. Bahan dalam
penelitian ini yang digunakan adalah pasta gigi,
disclosing agent, alkohol 70%, kapas, tisu, dan air
mineral.
Pertama yang dilakukan adalah penetapan
sampel penelitian yang diambil dari semua
populasi. Semua sampel harus memenuhi kriteria-
kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Setiap sampel
yang memenuhi kriteria dikumpulkan di ruang
pemeriksaan, setelah itu dilakukan pemeriksaan
dan perhitungan indeks plak pada sampel penelitian
menyikat gigi tanpa disertai dental floss.
Pemeriksaan indeks plak dilakukan pada gigi
16, 21, 24, 36, 41, dan 44 dengan menggunakan
indeks plak Quigley dan Hein yang dimodifikasi
oleh Turesky, Gilmore, dan Glickman. Sampel
diinstruksikan untuk menyikat gigi dengan
menggunakan sikat gigi dan pasta gigi sebanyak 2
kali sehari yaitu sesudah makan pada pagi hari dan
sebelum tidur pada malam hari, dan memakai
dental floss sekali sehari sebelum menyikat gigi
pada malam hari selama 2 minggu, kemudian
dilakukan pemeriksaan dan perhitungan indeks
plak pada sampel penelitian menyikat gigi disertai
dental floss.
Hasil pemeriksaan dicatat pada formulir yang
sudah tersedia. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji normalitas dan uji T
berpasangan dengan bantuan software komputer.
Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95%
dengan tingkat kesalahan 5%.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian efektivitas menyikat gigi
disertai dental floss terhadap penurunan indeks
plak pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan adalah
sebagai berikut.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 56 - 59
58
Perlakuan Jumlah
(orang)
Rata-rata
indeks plak
Menyikat gigi tanpa
disertai dental floss 44 1,97
Menyikat gigi diserta
dental floss 44 0,45
Penurunan Indeks Plak
1,52
Tabel 1. Rata-rata indeks plak dan penurunan indeks
plak
Berdasarkan Tabel 1, diketahui rata-rata
indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental
floss sebesar 1,97, rata-rata indeks plak menyikat
gigi disertai dental floss sebesar 0,45. Penurunan
indeks plak antara menyikat gigi tanpa disertai
dental floss dengan menyikat gigi disertai dental
floss sebesar 1,52 (77,2%). Data hasil penelitian
yang diperoleh kemudian diolah menggunakan
analisis statistik. Data diuji normalitasnya terlebih
dahulu, kemudian dilakukan uji t berpasangan. Uji t
berpasangan dilakukakan untuk mengetahui
penurunan indeks plak antara menyikat gigi tanpa
disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai
dental floss.
Diperoleh hasil penurunan indeks plak antara
menyikat gigi tanpa disertai dental floss dan
menyikat gigi disertai dental floss yaitu p = 0,000
(p < 0,05). Secara statistik terjadi penurunan indeks
plak yang signifikan antara menyikat gigi tanpa
disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai
dental floss. Hal ini berarti menyikat gigi disertai
dental floss efektif terhadap penurunan indeks plak
pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata indeks
plak menyikat gigi disertai dental floss lebih rendah
dari indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental
floss. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Ramona dan Mindra (2006), dimana
sampel penelitian yang menyikat gigi disertai
dental floss, indeks plaknya lebih rendah
dibandingkan menyikat gigi tanpa disertai dental
floss terutama indeks plak pada bagian
interproksimalnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan menyikat gigi saja pembersihan plak pada
permukaan gigi masih kurang efektif termasuk
pembersihan plak pada bagian interproksimal.7
Menurut beberapa penelitian, penurunan plak
pada permukaan gigi bagian interproksimal dengan
menyikat gigi lebih sedikit dibandingkan dengan
menyikat gigi disertai alat bantu pembersih bagian
interproksimal seperti dental floss.7,12 Dental floss
dapat membersihkan bagian yang sulit dijangkau
oleh sikat gigi, seperti daerah interproksimal.8
Dental floss dapat membersihkan daerah yang sulit
dicapai oleh sikat gigi karena dental floss berupa
benang yang dapat disisipkan diantara gigi-gigi
yang berdekatan. Gerakan gergaji naik turun
sepanjang sisi gigi menyebabkan plak yang
menempel pada bagian tersebut dapat dibersihkan
terutama bagian interproksimal.8,13
Efektivitas dental floss dalam menghilangkan
plak dipengaruhi oleh waktu dan teknik
penggunaan.9 Beberapa penelitian menunjukkan
penurunan plak yang signifikan terjadi pada
pengguna dental floss secara teratur.14,15 Waktu
penggunaan dental floss yang dianjurkan adalah
sebelum menyikat gigi, karena daerah interdental
yang tidak bisa dicapai oleh sikat gigi akan dapat
dibersihkan dan fluor yang terkandung dalam pasta
gigi yang digunakan pada saat menyikat gigi lebih
mudah mencapai bagian interproksimal sehingga
dapat membantu melindungi permukaan gigi dari
terbentuknya plak.7,8 Dental floss digunakan satu
kali sehari sesuai dengan rekomendasi American
Dental Association (ADA). Penggunaan dental
floss tidak direkomendasikan lebih dari sekali
sehari karena dapat menghilangkan efektivitas dan
dapat menyimpan bakteri didalam mulut.8
Teknik penggunaan merupakan salah satu hal
yang mempengaruhi efektivitas dental floss dalam
mereduksi plak. Terdapat dua teknik penggunaan
dental floss yaitu teknik manual (manual finger
flossing) dengan menggunakan dental floss tanpa
pegangan dan teknik penggunaan dental floss
dengan pegangan. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa penggunaan dental floss dengan teknik
manual maupun dental floss dengan menggunakan
pegangan dapat menurunkan skor indeks plak.
Walaupun demikian, teknik penggunaan dental
floss dengan pegangan lebih disukai daripada
teknik manual.16 Dental floss dengan pegangan
khusus dianggap lebih praktis untuk digunakan
karena dapat langsung dimasukkan ke dalam
daerah interproksimal melalui titik kontak.6
Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat
bahwa penurunan indeks plak sebesar 1,52 atau
sebesar 77,2%. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Ramona dan Mindra (2006) yang
meneliti 58 orang, terjadi penurunan plak sekitar
58,1% pada sampel yang menyikat gigi disertai
dental floss. Perbedaan hasil yang didapatkan
disebabkan pada penelitian ini responden yang
diteliti merupakan orang-orang yang tidak memiliki
keluhan pada gigi dan mulut (normal). Penurunan
indeks plak yang terjadi pada orang-orang yang
tidak memiliki keluhan (normal) lebih besar, hal ini
disebabkan pada orang-orang yang tidak memiliki
keluhan (normal), penggunaan dental floss sebelum
menyikat gigi mampu mencapai interdental
sulcular area. Hal ini sesuai dengan laporan ADA
yang menyatakan bahwa dengan menggunakan
dental floss dapat membersihkan plak pada bagian
interproksimal hingga lebih dari 50%.7,17
Magfirah : Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss
59
Mekanisme penurunan indeks plak yang
terjadi pada penelitian ini merupakan kombinasi
dari hasil tindakan menyikat gigi dan penggunaan
dental floss sebelum menyikat gigi. Menyikat gigi
dapat membersihkan bagian labial, bukal, lingual,
palatal, dan oklusal. Dental floss mampu
membantu membersihkan bagian interproksimal.8,13
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil uji
statistik, menyikat gigi disertai dental floss efektif
dalam menurunkan indeks plak karena penurunan
indeks plak lebih dari 50%. Selain itu, berdasarkan
kriteria Greenee dan Vermillion yang terdiri dari
kriteria baik dengan indeks plak 0-0,6, sedang
dengan indeks plak 0,7-1,8, dan buruk dengan
indeks plak 1,9-3,0, indeks plak menyikat gigi
disertai dental floss termasuk dalam kriteria baik,
sedangkan indeks plak menyikat gigi tanpa disertai
dental floss termasuk dalam kriteria buruk. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan menyikat gigi disertai
dental floss terjadi perubahan status kebersihan
mulut dari buruk menjadi baik.5,18 Tindakan
menyikat gigi disertai dental floss merupakan salah
satu pilihan untuk dapat membersihkan plak pada
permukaan gigi secara lebih menyeluruh, sehingga
dapat dijadikan salah satu cara untuk mencegah
terjadinya karies dan penyakit periodontal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anitasari S dan Liliwati. Pengaruh frekuensi
menyikat gigi terhadap tingkat kebersihan
gigi dan mulut siswa-siswi sekolah dasar
negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya
Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
Majalah Kedokteran Gigi. Dentika Dent J
2005; 38(2):88.
2. Rifki A. Perbedaan efektivitas menyikat gigi
dengan metode roll dan horizontal pada anak
usia 8 dan 10 tahun di Medan. Skripsi.
Medan: Universitas Sumatera Utara. 2010.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan hasil riset kesehatan dasar
provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.
Jakarta: Balitbang Kesehatan Depkes RI.
2009. Hal: 116-125.
4. Carranza FA, MG Newman and HH Takei.
Clinical periodontology. 9th Ed.
Philadelphia:WB Saunders Company.
2002.p.110-112.
5. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjanah N.
Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2008.
Hal: 56-77.
6. Slot DE, Dorfer CE and Van der W. The
efficacy of interdental brushes on plaque and
parameters of periodontal inflammation: a
systematic review. Int J Hygiene 6, 2008;
254.
7. Avram R and Badea ME. Efficacy of using
dental floss to improve oral hygiene and
gingival status. OHDMBSC 2006; 5(4): 3-6.
8. American Dental Association. Floss & other
interdental cleaners. Available from URL;
http://www.ada.org/1318.aspx Accessed on
Februari 2013.
9. Sarner B. On approximal caries prevention
using fluoridated toothpicks, dental floss and
interdental brushes. Thesis. Sweden:
Department of Cariology Institute of
Odontology at Sahlgrenska Academy
University of Gothenburg. 2008.
10. Darwita RR, Novrinda H, Budiharto, Pratiwi
PD, Amalia R dan Asri SR. Efektivitas
program sikat gigi bersama terhadap risiko
karies pada murid sekolah dasar. J Indon Med
Assoc 2011; 61(5): 204-209.
11. Eley BM and JD Manson. Periodontics. 5th
Ed. UK : Elsevier. Ltd. 2004.p.138.
12. Sambunjak D, Nickerson JW, Poklepovic T,
Johnson TM, Imai P, Tugwell P and
Worthington HV. Weak, unreliabl evidence
suggests flossing floss toothbrushing may be
associated with a small reduction in plaque.
Evidence-Based Dentistry 2012; (13): 5-6.
13. American Dental Association. How to Floss.
Available from URL;
http://www.ada.org/sections/publicResources/
pdfs/watch_materials_floss.pdf Accessed on
Februari 2013.
14. Mohammed AH and Al-Bahadli BDS. Effect
of super dental floss on oral hygiene in
patient with fixed orthodontic appliances. J
Bagh College Dentistry 2011; 23(3).
15. Genovesi A, Antonio B, Chiara L and Ugo C.
Experimentation in plaque control in the
interproximal space using dental floss. Trial
Report. Genoa: Genoa University.2004.p.1-5.
16. Hiremath. Textbook of preventive and
community dentistry. India: Elsavier.
2007.p.128.
17. Asadoorian J. Flossing. Canadian Journal of
Dental Hygiene 2006; 40(3): 2.
18. Asadoorian J. CDHA position paper on tooth
brushing. Canadian Journal Of Dental
Hygiene 2006; 40(5): 232-248.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 56 - 59
60
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA ROSELLA
(Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN
Streptococcusmutans IN VITRO
Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Dental caries is an infectious disease that localized attack the hard tissues of the oral
cavity that are dental, and involving Gram-positive bacteria, namely Streptococcus mutans. Water extract of
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals has antibacterial power against gram-positive bacteria, namely
Staphylococcus aureus and Streptococcus pyogenes. Purpose:This study aims to determine whether there was
antibacterial activity of water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals against Streptococcus
mutans bacteria. Methods:This study was an experimental study with 11 treatment groups of water extract of
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals (concentration with 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%,
40%, 45% and 50%); negative control; and positive control (Tetracycline hydrochloride 25 mg/ml). Each
treatment was done with 5 times repetition. Testing of antibacterial activity used the diffusion method by
measuring the inhibition zone around the growth of Streptococcus mutans on Muller Hinton media. Data were
analysed using One-Way ANOVA 95% (α = 0.05)continued with LSD.Result: LSD test results showed that the
water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals had antibacterial activity to Streptococcus
mutans. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) on 1% concentration and hadeffective inhibitory
concentration on 15 % concentration. Conclusion: There was an antibacterial activity of the water extract of
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals against Streptococcus mutans bacteria that caused caries in vitro.
Keywords: Antibacterial, Tetracycline Hydrochloride, water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower
petals, diffusion method,Streptococcus mutans
ABSTRAK
Latar belakang: Karies gigi merupakan penyakit infeksi terlokalisir yang menyerang jaringan keras
rongga mulut yaitu gigi, dan melibatkan bakteri Gram Positif yaitu Streptococcus mutans. Ekstrak air kelopak
bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri gram positif
yaituStaphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap bakteri Streptococcus
mutans.Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental terdiri dari 11 kelompok perlakuan yaitu kelompok ekstrak
air kelopak bunga Rosella (konsentrasi 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50%);
kontrol negatif; dan kontrol positif (Tetrasiklin hidroklorida25 µg/ml). Masing-masingperlakuan dilakukan 5
kali pengulangan. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi dengan mengukur zona hambat
disekitar pertumbuhan Streptococcus mutans pada media Muller Hinton. Data dianalisis menggunakan One-Way
Anova 95% (α = 0,05) dilanjutkan dengan LSD. Hasil: Berdasarkan uji LSD didapatkan bahwa ekstrak
airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus mutans.
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) sebesar 1% dan konsentrasi efektifnya terdapat pada konsentrasi ekstrak
airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) 15%.Kesimpulan: Ekstrak airkelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab karies Streptococcus mutans in
vitro.
Laporan Penelitian
61
Kata-kata kunci: Antibakteri, tetrasiklin hidroklorida, ekstrak airkelopak bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa L.),
metode difusi,Streptococcus mutans
Korespondensi: Achmad Riwandy, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas KedokteranUniversitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di
Indonesia adalah karies gigi. Berdasarkan hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Departemen Kesehatan RI tahun 2004, prevalensi
karies gigi mencapai 90,05%.Indeks karies
Kalimantan Selatan mencapai 6,83%.1Karies gigi
merupakan penyakit gigi terlokalisir yang merusak
jaringan keras gigi, terbentuk dari akumulasi plak
pada permukaan gigi dan aktifitas biomekanis
kumpulan mikro kompleks. Streptococcus mutans
(S. mutans) merupakan salah satu bakterigram
positif patogen penyebab karies yang menyebabkan
korosi pada email gigi.2Penelitian Keyes dan
Fitzsgerald tahun 1960 pada binatang bebas kuman
memperlihatkan bahwa plak yang didominasi oleh
kuman S.mutans dan Lactobacillus menyebabkan
terbentuknya karies.Streptococcus mutans akan
mengubah karbohidrat yang dikonsumsi dan terurai
menjadi sukrosa yang merupakan media terbaik
bagi tumbuh kembang bakteri tersebut.
Streptococcus mutans mempunyai kemampuan
memetabolisme sukrosa menjadi asam, yang dapat
mengakibatkan demineralisasi email sehingga dapat
menyebabkan awal terjadinya karies gigi.3
Pertumbuhan Streptococcus mutans harus
dihambat agar tidak menjadi patogen dan
menyebabkan karies dengan pemberian bahan
antibakteri.4 Pencegahan karies sangat penting
dilakukan sejak masa anak-anak.5Salah satu cara
pencegahan karies adalah mengusahakan agar
pembentukan plak pada permukaan gigi dapat
dibatasibaik dengan cara mencegah
pembentukannya atau dengan pembersihan plak
secara teratur. Pengendalian plak dapat dilakukan
dengan cara pembersihan plak secara mekanis dan
kimia yang mengandung bahan anti kuman dan
dapat menekan pertumbuhan S. mutans.3
Telah banyak dilakukan penelitian dengan
memanfaatkan bahan alam yang bertujuan untuk
menghasilkan obat-obatan dalam upaya mendukung
program pelayanan kesehatan gigi, khususnya
untuk mencegah dan mengatasi penyakit karies
gigi. Kembalinya perhatian ke bahan alam (back to
nature), dianggap sebagai hal yang sangat
bermanfaat karena selain sejak dahulu masyarakat
telah percaya bahwa bahan alam mampu mengobati
berbagai macam penyakit, pemanfaatan bahan alam
yang digunakan sebagai obat juga jarang
menimbulkan efek samping yang merugikan
dibandingkan obat yang terbuat dari bahan sintetis.6
Salah satu bahan alam yang banyak
dikonsumsi masyarakat adalah kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa L.). Penggunaan
kelopak bunga rosella di masyarakat yaitu sebagai
sediaan teh dengan cara diseduh dengan air
panas.Manfaat air seduhan kelopak Bunga Rosella
antara lain sebagai diuretik (melancarkan air seni),
memperlancar buang air besar (menstimulasi gerak
peristaltik), juga dapatmenurunkan panas dan
sebagai antibakteri.7
Bunga rossela memiliki beberapa kandungan
antibakteri terhadap bakteri penyebab plak.7
Kandungan kimia kelopak bunga rosella terdiri dari
asam organik, senyawa fenol, flavonoid dan
antosianin.1Zat-zat tersebut mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif.8Hasil penelitian Limyati dan Soegianto
(2008) menyebutkan bahwa sediaan ekstrak air
kelopak bunga rosella pada konsentrasi 10%
dengan metode difusimampu menghambat bakteri
gram positif Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes.9
Belum ada informasi mengenai khasiat
tanaman obat ini sebagai antibakteri terhadap
Streptoccocus mutans. Pada penelitian ini akan
diteliti aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak
bunga rosella secara invitro sebagai antibakteri
terhadap Streptococcus mutans. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas
antibakteri ekstrakair kelopak bunga rosella
terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus
mutans.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap yang terdiri dari 13 perlakuan (11
konsentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella yaitu
1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%,
45%, 50%; Tetrasiklin hidroklorida (25µg/ml)
sebagai kontrol (+); dan air suling steril (akuades)
sebagai kontrol (-). Masing-masing perlakuan
dilakukan 5 kali pengulangan.Alat-alat penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan
pentri, tabung reaksi (Pyrex, Jerman), ose bulat,
autoclave (All American, America), inkubator
anaerob (Carbolite, United Kingdom), gelas erlen-
meyer (Iwaki, Jerman), pipet tetes, caliper, kapas
lidi steril, neraca analitik, kertas saring, rak tabung
reaksi, cotton bud steril, rotary evaporator,
waterbath, aluminium foil 1 gulungan, tisu, alat
pengaduk, dan meja laminary flow. Alat-alat yang
diperlukan dicuci bersih kemudian disterilisasi
dengan autoclave yang dipanaskan sampai suhu
121oC selama 15 menit.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 60 - 64
62
Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ekstrak air kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa. L) 1%, 5%, 10%, 15%,
20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%, Tetrasiklin
hidroklorida (25 µg/ml), isolat Streptococcus
mutans, media nutrienagar, media agar Muller
Hinton (MH), akuades steril, media Brain Heart
Infusion (BHI), paper disc kosong, dan larutan
standar Mc Farland I sebesar 3.108 CFU/ml.
Kelopak bunga rosella kering dibuat serbuk,
ditimbang ± 100 gram, ditambah 300 ml air 75oC
dan dikocok selama 1 jam, kemudian disaring
dengan kertas saring dan filtrat diambil. Residu
ditambah lagi 300 ml air 75oC dan dikocok selama
1 jam, kemudian filtratnya diambil. Filtrat pertama
dan kedua dicampur, dipekatkan dengan rotary
evaporationdengan suhu 100oC sampai
memperoleh ekstrak yang kental.Suspensi bakteri
yang telah distandarkan dengan Mc Farland I
sebesar 3x108 CFU/ml diambil dengan kapas lidi
steril dioleskan pada media agar Muller Hinton,
kemudian diletakan paper disc(kertas samir) yang
telah direndam ke dalam perlakuan. Selanjutnya
media pengujian diinkubasi pada suhu 37oC selama
24 jam. Pembacaan hasil dilakukan dengan
mengukur zona radikal pertumbuhan bakteri
dengan caliper.
Data yang didapat dari penelitian ini
dikumpulkan berdasarkan pengamatan mengenai
hasil pengukuran zona hambat pertumbuhan bakteri
setelah pemberian ekstrak air kelopak bunga
Rosella berbagai. Data kemudian dievaluasi secara
statistik dengan melakukanuji normalitas
Kolmogorov-Smirnovdan homogenitas varians
dengan Levene’s test. Selanjutnya, dilakukan
analisis parametrik dengan One-Way Anova 95% (α
= 0,05) dan dilanjutkan dengan uji LSD.
HASIL PENELITIAN
Hasil pengukuran zona hambat dari masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram Hasil Pengukuran Zona Hambat
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air
Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus
Sabdariffa L.) terhadap Pertumbuhan
Streptococcus mutansIn Vitro
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%,
40%, 45%, dan 50% ekstrak air kelopak bunga
Rosella memiliki aktivitas antibakteri terhadap
pertumbuhan Streptococcus mutans. Aktivitas
penghambatan ini ditunjukkan dengan adanya zona
hambat di sekitar cakram kertas. Gambar 1
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi
perlakuan dapat meningkatkan sensitivitas
Streptococcus mutans, yang ditunjukkan dengan
bertambahnya diameter zona hambat. Menurut
Pratama, zona bening di sekitar paper disc
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Luas
zona bening sangat dipengaruhi oleh daya
antibakteri fraksi tersebut.Hasil uji homogenitas
didapatkan nilai p=0,187 (p>0,05), yang
menyatakan bahwa sebaran datapenelitian
homogen. Hasil uji normalitas diperoleh nilai
p>0,05, yang menunjukan bahwa distribusi data
normal.
Hasil analisis statistik dengan uji One-Way
Anova dari 13 perlakuan didapatkan nilai p=0,000
(p<0,05), berarti terdapat perbedaan bermakna pada
masing-masingkelompok perlakuan. Hal ini
memperlihatkan bahwa ekstrak air kelopak bunga
Rosella dapat menghambat pertumbuhan
Streptococcus mutans secara in vitro.Berdasarkan
hasil uji LSD dapat diketahui bahwa zona hambat
Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (EAKBR) pada
konsentrasi 1%, 5% dan 10% tidak berbeda
bermakna secara statistik, konsentrasi 20% dengan
25% tidak berbeda bermakna secara statistik,
konsentrasi 25% dengan konsentrasi 20% dan 30%
tidak berbeda bermakna secara statistik, dan juga
konsentrasi 30% terhadap konsentrasi 20% dan
35% tidak berbeda bermakna secara statistik.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
ekstrak air kelopak bunga Rosella dapat
menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans
secara in vitro. Zat aktif yang terkandung dalam
ekstrak air bunga Rosella pada berbagai konsentrasi
dapat menghasilkan efek antibakteri. Hal ini
disebabkan pelarut air dalam penelitian ini
berfungsi melarutkan zat aktif dalam kelopak bunga
Rosella yang berupa flavonoid dan antosianin. Zat
aktif antosianin yang menyebabkan warna merah
pada tanaman ini mengandung delfinidin-3-
siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-
siloglukosida, sedangkan flavonoidnya
mengandung gosipetin dan mucilago
(rhamnogalakturonan, arabinogalaktan,
arabinan).11
Menurut Somaatmadja (1963), antosianin
dapat menginhibisi oksidasi glukosa dan mengikat
zat besi yang dibutuhkan oleh bakteri sehingga
menghambat metabolisme bakteri.4 Mekanisme
antibakteri bekerja dengan mengganggu proses
0 1 25 7 8 9 11 13 15
18
6
005
101520
1%
5%
10
%
15
%
20
%
25
%
30
%
35
%
40
%
45
%
50
%
TCX
(+)
Aq
(-)
Rer
ata
Zon
a H
amb
at
Perlakuan
Riwandy : Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella
63
respirasi sel, menghambat aktivitas enzim bakteri,
menekan terjemahan dari regulasi produk gen
tertentu, dan menghalangi sintesis normal dinding
sel bakteri. Sintesis yang tidak normal
menyebabkan tekanan osmotik dalam sel bakteri
lebih tinggi daripada di luar sel, maka terjadi
kerusakan dinding sel bakteri yang akan
menyebabkan kebocoran sel bakteri.12Flavonoid
dalam tumbuhan Rosella memiliki gugus hidroksil
yang dapat menyebabkan perubahan komponen
organik dan transpor nutrisi yang akan
mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap
bakteri.6Tetrasiklin hidrokloridayang digunakan
sebagai kontrol positif dalam penelitian ini
memiliki diameter rerata zona hambat 6 mm (< 14
mm). Hal ini menunjukan bahwa aktivitas
antibakteri Tetrasiklin hidroklorida terhadap bakteri
Streptococcus mutans dalam penelitian ini bersifat
resisten.10
PenelitianLimyati dan Soegianto (2008),
menyebutkan bahwa sediaan ekstrak air kelopak
bunga Rosella dengan metode difusi terhadap
bakteri gram positif Staphylococcus aureus pada
konsentrasi 30% lebih besar dari zona hambat
Ampisilin (20 µg/ml),pada konsentrasi yang sama
terhadap bakteri Streptococcus pyogenes
memperlihatkan zona hambat lebih
kecildibandingkan dengan Ampisilin (20
µg/ml).13Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa
aktivitas antibakteri terendah dihasilkan oleh
perlakuan ekstrak air 10% terhadap Streptococcus
pyogenes dengan zona hambat sebesar 7,79 mm.14
Zona hambat dari masing-masing perlakuan
pada penelitian Limyati dan Soegianto (2008)
relatif berbeda dengan hasil penelitian ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air
kelopak bunga Rosella sebagai antibakteri terhadap
Streptococcus mutans memiliki Kadar Hambat
Minimum (KHM) sebesar 5%. Hal ini ditunjukan
dengan zona hambat rata-rata berdiameter 1 mm
dan tidak ada lagi konsentrasi dibawah kadar
hambat minimum yang menunjukkan daya hambat
terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans.
Konsentrasi efektif terdapat pada konsentrasi
ekstrak air Rosella 45% dan 50% yang memiliki
diameter sama dengan daya hambat Tetrasiklin
hidroklorida yang berukuran antara 15-18 mm
sesuai standar CLSI 2011.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak air
kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
mempunyai efek antibakteri terhadap bakteri
penyebab karies (Streptococcus mutans) in
vitro.Ekstrak inimemiliki Konsentrasi Hambat
Minimum (KHM) sebesar 5% dan konsentrasi
efektifnya terdapat pada konsentrasi ekstrak air
Rosella 45% dan 50%. Diharapkan dilakukan
penelitian lanjut mengenai efektivitas antibakteri
ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) terhadap Streptococcus mutans in
vivo.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendrickson DA. Wound Care Management
for The Equine Practitioner. New York:
Teton New Media 2005; 34.
2. Agustina A, Tjahajani A, Auerkari E.
Pengaruh Pasta Gigi Mengandung Xylitol
terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans
Serotip C In Vitro. J Dent 2007; 14 (3): 204-
205.
3. Pratiwi R. Perbedaan Daya Hambat
Terhadap Streptococcus mutans dari
Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung
Herbal. (online),
(http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrack/
MKG%2038%202%202005%20;%20Rini%
20;%20Perbedaan%202.pdf), diakses
28Februari 2013.
4. RhodesPL. Antimicrobial Factor from
Grapes. University of Auckland 2004;
(online),
(http://researchspace.auckland.ac.nz/bitstrea
m/2292/335/8/01front.pdf), diakses 21
Oktober 13.
5. Dewo AT, Sutadi H, Suharsini M. Koloni
Streptococcus mutansdalam Saliva Anak
yang Menggunakan Pasta Gigi Daun Sirih
dan Pasta Gigi Siwak. J PDGI 2007; 182.
6. Sabir A. Aktifitas Antibakteri Flavanoid
Propolis Trigona sp terhadap Bakteri
Streptococcus mutans (In Vitro). Dent J
2005; 38 (3): 135.
7. Maryani H. Khasiat dan Manfaat Rosella.
Jakarta: Agromedia Pustaka 2005; 3-33.
8. Sasmita IS, Pertiwi ASP, Halim M.
Gambaran Efek Pasta Gigi yang
Mengandung Herbal terhadap Penurunan
Indeks Plak. J PDGI 2007; 37.
9. Limyati D, Soegianto L. Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Kelopak Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap
Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes. Jurnal Obat Bahan Alam 2008;
7(1): 47-53.
10. Rosyidah K, Nurmuhaimina SA, Komari N,
dan Astuti MD. Aktivitas Antibakteri Fraksi
Saponin dari Kulit Batang Tumbuhan
Kasturi (Mangifera casturi). Banjarbaru:
FMIPA UNLAM 2010; 4-6.
11. Larasati L. Pengaruh Pemberian Seduhan
Kelopak Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.)
Dosis Bertingkat Selama 30 Hari Terhadap
Gambaran Histologik Gaster Tikus Wistar.
Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2010.
12. Rostinawati T. Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa
L.) terhadap Escherichia coli, Salmonella
typhi dan Staphylococcus aureus dengan
Metode Difusi Agar. Skripsi. Jatinangor:
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 60 - 64
64
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
2009.
13. Cawson EW, Odell. “Dental Caries” in
Cawson’s Essential of Oral Pathology and
Oral Medicine. 8th Ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone Elsevier 2008; 40-59.
14. Fani MM, Kohanteb J, Dayaghhi M.
Inhibitory Activity of Garlic (Allium
sativum) Extract On Multidrug-Resistant
Streptococcus mutans. J Indian soc Pedod
Prevent Dent 2007; 164.
Riwandy : Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella
65
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
EFEK PENYEMPROTAN DESINFEKTAN LARUTAN DAUN SIRIH 80%
TERHADAP STABILITAS DIMENSI CETAKAN ALGINAT
Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background : Alginate is often use as an impression material and could be a transmission’s agent of
infection to dentist and dental technicians. Prevention of infection’s transmission to dental impressions,
disinfected by spray techniques Of Piper betle L. 80% solution for alginate impression. Purpose : This research
was to determine effects of spraying disinfectant Piper betle L. 80% solution of the change in the dimensional
stability of alginate impression on model. Methods : The experimental research study with a pretest-posttest
only with control design. Samples were 60 divided into 6 groups, 3 group without spraying and 3 treatment
groups spraying disinfectant Piper betle L. 80% solution for 5,10 and 15 minutes, each group of 10 impression.
Mould and disinfected with Piper betle L. 80% solution using spray techniques Impressions were cast in dental
stone and the cylinders’ diameters were measured with a caliper. The results were normality tested by Shapiro-
wilk and then homogeneity tested with the Levene’s test.The data were analyzed using Independent Sample T-
Test. Result : There was not statistic significant change in dimensions between 2 treatments, the mould without
spray and with Piper betle L. 80% solution using spray techniques for 5,10 and 15 minutes. Conclusion : The
conclusion of this research was disinfectant Piper betle L. 80% solution spray technique did notcause
dimensional stability changes in alginate impression.
Keywords : Disinfection, alginate impression, Piper betle L. solution, spraying techniques, dimensional stability
ABSTRAK
Latar Belakang : Alginat sering digunakan sebagai bahan cetak. Hasil cetakan gigi dari mulut pasien
dapat menjadi media penularan infeksi terhadap dokter gigi maupun teknisi laboratorium.Pencegahan penularan
infeksi dilakukan dengan pemberian disinfektan dengan cara disemprot. Larutan daun sirih 80% dapat digunakan
sebagai disinfektan pada cetakan alginat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyemprotan
desinfektan dari larutan daun sirih 80% terhadap perubahan stabilitas dimensi cetakan alginat pada model.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pretest-posstest only with control design.
Terdiri dari 60 sampel yang dibagi menjadi 6 kelompok yaitu 3 kelompok kontrol positif (tanpa dilakukan
penyemprotan) dan 3 kelompok perlakuan (dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% selama 5, 10 dan 15
menit. ), masing-masing kelompok terdiri dari 10 cetakan. Cetakan alginat dicetakkan pada masterdie. Hasil
cetakan didesinfeksi dengan larutan daun sirih 80%, dengan cara disemprot. Cetakan alginat diisi gipsum,
kemudian dilakukan pengukuran diameter silinder menggunakan kaliper, data diuji normalitas dengan Shapiro-
wilk kemudian diuji homogenitas dengan levene’s test. Data penelitian dianalisis menggunakan T-Test tidak
berpasangan. Hasil : Tidak ada perubahan dimensi yang bermakna antara 2 perlakuan, yaitu pada bahan cetak
alginat tanpa penyemprotan dan yang dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% dengan waktu
penyimpanan masing-masing 5, 10 dan 15 menit. Kesimpulan : Kesimpulan penelitian ini adalah desinfektan
larutan daun sirih 80% dengan teknik penyemprotan tidak menyebabkan perubahan stabilitas dimensi cetakan
alginat.
Kata kunci: Desinfeksi, cetakan alginat, larutan daun sirih, teknik penyemprotan, stabilitas dimensi
Korespondensi: Nisa Yanuarti Hasanah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]
Laporan Penelitian
66
PENDAHULUAN
Lingkungan kerja dokter gigi terdapat banyak
bakteri pathogen yang dapat menimbulkan
kontaminasi silang terhadap pasien, dokter gigi dan
laboran. Tindakan untuk mencegah terjadinya
hepatitis B, AIDS, dan juga herpes simplex dapat
dimulai di praktek dokter gigi. Salah satu pekerjaan
dibidang kedokteran gigi yang dapat menyebabkan
kontaminasi silang bakteri adalah pengambilan
cetakan rahang. Perlu dilakukannya desinfeksi
segera setelah cetakan dikeluarkan dari mulut .1
Pencetakan rahang sangat menentukan hasil
tahap-tahap pekerjaan pada kedokteran gigi
berikutnya. Pemilihan bahan cetak harus benar
karena mempengaruhi keakuratan dari hasil yang
didapat. Penggunaan bahan hidro koloidireversi
belalginat telah dianjurkan berdasarkan beberapa
faktor seperti bahan digunakan secara luas dalam
praktek kedokteran gigi, kemudahan penanganan
dan manipulasi oleh dukungan personal, dan relatif
murah serta tidak memerlukan peralatan khusus.2,3
Penelitian terdahulu juga memberikan hasil
bahwa penggunaan disinfeksi metode perendaman
oleh natrium hipoklorit 5,25% dan deconex serta
glutaraldehyde 2% tidak disarankan karena
menyebabkan perubahan dimensi pada bahan cetak
alginat. Metode semprot tidak menunjukkan variasi
yang signifikan, sehingga lebih disarankan untuk
mendisinfeksi cetakan alginat.4,5 Penelitian
mengenai teknik penyemprotan pada bahan
disinfektan, menunjukkan aktivitas antimikroba
yang sama dengan teknik perendaman, meskipun
tidak terlalu mempengaruhi stabilitas dimensi dari
cetakan alginat.6
Menurut Intan (2008), infusum sirih dapat
menghambat pertumbuhan E. Coli, Staphylococus
koagulase positif, Salmonela typhosa, bahkan
pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap
antibiotik.8 Penelitian uji fungistatik ekstrak daun
sirih menunjukkan bahwa konsentrasi 20%, 40%,
dan 60% belum dapat mempengaruhi atau
menghambat pertumbuhan massa sel. Sebaliknya
pada konsentrasi 80% dan 100%, ekstrak daun sirih
sudah dapat menghambat pertambahan masa sel
Candida albicans.9
Penelitian Siswomiharjo W (1994) telah
dilakukan perbandingan perubahan dimensi alginat
yang direndam dalam larutan disinfektan air sirih
25%, glutaraldehyde 2%, dan sodium hypochlorite
1%. Perubahan dimensi bahan cetak alginat setelah
direndam 10 menit dalam larutan disinfektan, yaitu
sebesar 0,02 % dengan glutaraldehyde 2%; 0,06%
dengan hypochlorite 1%; dan 0,01% dengan air
sirih 25%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
didapatkan bahwa hasil perendaman dengan air
sirih 25% terdapat perubahan dimensi terkecil.15
Perubahan dimensi dianalisis sesuai dengan
American National Standards Institute/American
Dental Association (ANSI/ADA) Spesifikasino. 18
bahan cetak tidak boleh menunjukkan perubahan
dimensi lebih dari 0,5 % .10 Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui efek penyemprotan desinfektan
dari larutan daun sirih 80% terhadap stabilitas
dimensi cetakan alginat pada model dan menilai
stabilitas dimensi hasil cetakan pada model cetakan
alginat dengan waktu penyimpanan 5, 10, dan 15
menit.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat eksperimental
laboratorik (experimental designs) dengan
rancangan pretest-posttest with control group
design. Sampel berupa model hasil cetakan dari
bahan cetak alginat yang tanpa dilakukan
penyemprotan diisi bahan gips stone dan model
hasil cetakan dari bahan cetak alginat yang
disemprot dengan larutan daun sirih 80% dengan
variasi waktu penyemprotan berbeda, kemudian
diisi dengan gips stone. Jumlah 10 sampel hasil
cetakan alginat tiap kelompok dalam 6 kelompok
perlakuan, yaitu 3 kelompok kontrol (+) dan 3
kelompok perlakuan. Perhitungan besar sampel
untuk setiap perlakuan.Alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi vibrator, rubber bowl,
spatula, masterdie, kaliper, dan peralatan
pembuatan ekstrak. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah larutan daun sirih 80%, bahan
cetak alginat, gips stone, dan akuades.
Pembuatan larutan daun sirih 80% yaitu
sampel daun sirih berwarna hijau. Daun sirih segar
800 gram dipotong-potong kemudian direbus ke
dalam 1 Liter air hingga mendidih dan air yang
tersisa 800 ml. Setelah dingin, air yang tersaring
akan menghasilkan air sirih 80%.
Pembuatan cetakan alginat sebagai kontrol
yaitu masing-masing 10 buah sampel sebagai
kontrol sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Bahan cetak alginat dan air dicampur dengan rasio
sesuai petunjuk pabrik di aduk dengan bowl dan
spatula secara ditekan ke tepi bowl dan membentuk
angka 8. Setelah bahan cetak tercampur homogen,
letakkan pada cetak khusus untuk master die,
kemudian dilakukan pencetakan pada master die
sebagai model. Setelah bahan cetak mengeras,
cetakan dilepaskan dari model dan ditunggu dulu
selama 5, 10, dan 15 menit. Masing-masing sampel
dibungkus dengan menggunakan tisu basah sampai
waktu yang ditentukan. Pembuatan cetakan alginat
pada kelompok perlakuan sama seperti kelompok
kontrol, tetapi hasil cetakan di lakukan desinfeksi
dulu, dengan cara tehnik penyemprotan merata
pada seluruh permukaan. Cetakan dibungkus
dengan handuk kertas atau tisu yang telah
dicelupkan dalam larutan desinfektan, dan
dimasukkan segera ke dalam kantung plastik
tertutup selama 5, 10, dan 15 menit.
Setelah proses desinfeksi dengan tehnik
penyemprotan selesai sesuai dengan waktu yang
Hasanah : Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80%
67
telah ditentukan, hasil cetakan diisi dengan gips
stone. Pengisian gips stone dengan rasio P/W 1:1
ditunggu sampai setting. Dilakukan pengukuran
dengan menggunakan kaliper pada model stone
yang telah diperoleh dari hasil pengisian hasil
cetakan.
HASIL PENELITIAN
Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang
dilakukan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 1.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari
Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang
Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan
Waktu Penyimpanan 5menit.
Grafik 2.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari
Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang
Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan
Waktu Penyimpanan 10 menit.
Grafik 3.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari
Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang
Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan
Waktu Penyimpanan 15 menit.
Berdasarkan Grafik 1, 2 dan 3 dapat diketahui
bahwa diameter model gypsum hasil cetakan
alginat bervariasi. Rata-rata diameter model
gypsum hasil cetakan alginat air biasa dengan
waktu penyimpanan 5 menit adalah 45,30 mm dan
dengan larutan daun sirih 80% adalah 45,35
mm.Untuk air biasa dengan waktu penyimpanan 10
menit memiliki rata-rata diameter 45,40 mm dan
dengan larutan daun sirih 80% 45,40 mm, untuk
waktu penyimpanan 15 menit air biasa rara-rata
diameter 45,38 mm dan dengan larutan daun sirih
80% sebesar 45,39 mm.
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk pada
kelompok tanpa penyemprotan dengan waktu
penyimpanan 5 menit adalah 0,30, kelompok yang
dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80%
adalah 0,48. Pada kelompok tanpa penyemprotan
dengan waktu 10 menit adalah 0,65 dan yang
dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80%
adalah 0,06. Kelompok tanpa penyemprotan
dengan waktu penyimpanan selama 15 menit
adalah 0,52 Kelompok yang dilakukan
peyemprotan dengan larutan daun sirih 80%
adalah 0,63 Hasil uji normalitas tersebut
menunjukkan nilai p > 0,05 pada semua kelompok,
artinya data terdistribusi normal. Hasil uji
homogenitas Levene’s Test pada waktu
penyimpanan 5 menit adalah 0,355 dan pada waktu
penyimpanan 10 menit adalah 0,256. Penyimpanan
15 menit menunjukkan nilai sebesar 0,619, hasil
tersebut menunjukkan bahwa varians data yang
homogen karena menunjukkan nilai p> 0,05.
Berdasarkan hasil analisis T-Test tidak
berpasangan pada kelompok penyimpanan 5 menit
diperoleh nilai p = 0,077. Pada kelompok
penyimpanan 10 menit diperoleh nilai p = 0,845.
Pada kelompok penyimpanan 15 menit diperoleh
nilai p = 0,478. Nilai p > 0,05 menunjukkan
stabilitas dimensi bahan cetak alginat antara yang
45,050
45,100
45,150
45,200
45,250
45,300
45,350
45,400
45,450
45,500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dia
met
er
Sampel ke-
5 Menit Air Biasa 5 Menit Larutan Sirih 80 %
45,250
45,300
45,350
45,400
45,450
45,500
45,550
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dia
met
er
Sampel ke-
10 Menit Air Biasa
10 Menit Larutan Sirih 80%
45,200
45,250
45,300
45,350
45,400
45,450
45,500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dia
met
er
Sampel ke-
15 Menit Air Biasa
15 Menit Larutan Sirih 80%
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 65 - 69
68
dilakukan penyemprotan dan tanpa dilakukan
penyemprotan dengan waktu penyimpanan 5,10
dan 15 menit, yang berarti tidak ada perubahan
yang bermakna.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data tersebut larutan daun sirih
80% dapat digunakan sebagai bahan desinfektan
untuk bahan cetak alginat dengan metode
penyemprotan, karena perubahan stabilitas
dimensinya hanya sedikit sehingga perubahannya
tidak bermakna, tetapi pada masing-masing
perlakuan dengan penyimpanan 5, 10 dan 15 menit
tetap terjadi sedikit perubahan dimensi karena
struktur alginat yang terbentuk serat dengan air
yang mengisi ruangan kaliper tersebut.11 Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu
karena menggunakan metode penyemprotan tidak
dengan perendaman. Pada penelitian terdahulu
memberikan hasil bahwa penggunaan disinfeksi
metode perendaman oleh natrium hipoklorit 5,25%
dan deconex serta glutaraldehyde 2% tidak
disarankan karena menyebabkan perubahan
dimensi pada bahan cetak alginat.3,12
Desinfeksi cetakan dengan tehnik perendaman
dapat menimbulkan beberapa kerugian, antara lain
dapat menghilangkan beberapa sifat dari cetakan
alginat tersebut seperti keakuratan dimensi,
stabilitas dan wettability.10,6 Tehnik perendaman
cetakan alginat pada larutan desinfektan akan
menyebabkan terjadinya imbibisi karena cetakan
alginat berkontak lebih banyak dengan larutan
desinfektan .6Tehnik penyemprotan lebih
menguntungkan untuk dilakukan, karena tehnik ini
dapat mengurangi terpaparnya cetakan alginat
terhadap larutan desinfektan.10,6 Hal tersebut
merupakan alasan mengapa tidak terjadinya
perubahan stabilitas dimensi alginat setelah
dilakukan desinfeksi dengan larutan daun sirih
80%. Kandungan kavikol dalam larutan daun sirih
tidak berpengaruh terhadap ikatan kalsium alginat,
sehingga kavikol tidak mempengaruhi terhadap
dimensi alginat.6 Kekurangan tehnik penyemprotan
pada penelitian ini adalah kecepatan dan
banyaknya larutan desinfektan yang di semprotkan
ke cetakan tidak sama karena alat semprot yang
digunakan tidak dapat dikendalikan.
Bahan cetak alginat adalah garam dari asam
alginat yang dapat larut seperti Na, K, atau
ammonium alginat. Garam alginat bereaksi dengan
ion Ca dari CaSo4 , sehingga terbentuk Ca alginat
yang tidak larut. Pada pencampuran bubuk dan air
terbentuklah sol, dan alginat, garam kalsium serta
fosfat mulai larut. Hal tersebut sebenarnya tidak
dikehendaki karena bahan seharusnya berubah
menjadi plastis dan bukan elastis. Pembentukan gel
ini dihalangi oleh trisodium sulfat yang bereaksi
dengan kalsium sulfat menghasilkan endapan
kalsium fosfat. Trisodium sulfat habis, maka ion
kalsium akan bereaksi dengan potassium alginat
menghasilkan potassium sulfat dan kalsium alginat
yang bersifat elastis.13
Bahan cetak alginat terdapat kalsium sulfat
dihidrat,ion kalsium, soluble alginat, dan sodium
fosfat terdapat dalam bubuk alginat. Saat air
ditambahkan pada bubuk alginat, ion kalsium dari
kalsium sulfat bereaksi dengan ion fosfat dari
sodium fosfat dan pirofosfat dari kalsium fosfat
yang tidak larut, selanjutnya kalsium fosfat akan
terbentuk lebih dahulu dibandingkan kalsium
alginat, disebabkan karena tingkat kelarutan
kalsium fosfat yang lebih rendah dibandingkan
kalsium alginat. Setelah ion fosfat habis, ion
kalsium akan bereaksi dengan soluble alginate
untuk membentuk kalsium alginat yang tidak larut,
yang selanjutnya akan bersama-sama dengan air
membentuk kalsium alginat gel yang irreversible,
dan kalsium algint tidak dapat berubah menjadi
bentuk sol setelah terjadi pembentukkan gel.13
Menurut Phillips (2003) perubahan stabilitas
dimensi dari bahan cetak hidrokoloid dipengaruhi
oleh proses sinersis dan imbibisi yang diperoleh
dari pemeliharaan dan penanganan bahan cetak,
termasuk juga tehnik desinfektan dari bahan cetak.
Tekanan yang diterima oleh gel pada sendok cetak
saat proses gelasi juga menyebabkan terjadinya
perubahan stabilitas dimensi. Perubahan panas juga
menyebabkan perubahan dimensi, untuk bahan
cetak alginat, cetakan akan mengerut sedikit karena
perbedaan panas antara temperature rongga mulut
(35o C) dan temperature ruangan (23oC), perubahan
yang kecil ini dapat menyebabkan cetakan
mengalami ekspansi dan distorsi.10Adanya
perbedaan dimensi pada tiap sampel disebabkan
berbagai faktor diantaranya adalah adanya
compressed stress yang tidak diimbangi oleh strain
saat melepas sendok cetak yang kurang cepat,
maka stress yang diterima akan lebih besar dari
strain-nya. Hal tersebut dapat mengakibatkan
permanent deformation.14
DAFTAR PUSTAKA
1. American Dental Association. Infection
Control Routine for Dental Office.
URL:http://www.healthmantra.com/hctrust/art
4.shtml. Akses pada 20 Januari 2013
2. John D.J dan Lily T.G. Removable Partial
Dentures, A Clinician’s Guide.
USA:Blackwell Publishing;2009.p.79-94
3. Syafiar, L. Dimensional Stability of Alginate’s
Impression Material After Immersion In
Mixed Disinfectan Solutions. Skripsi. Medan:
Department of Dental Material and
Technology, Faculty of Dentistry University of
Sumatera Utara;2009.p.270-274
4. Rad FH, Ghaffari T and Safavi SH. In vitro
Evaluation of Dimensional Stability of
Alginate Impression After Disinfectan by
Hasanah : Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80%
69
Spray and Immersion Methods. J Dent Res
Dent Clin Dent Prospect 2010;4(4):130-135
5. Saber FS, Ablfazli N and Kosoltani M. The
Effect of Disinfection by Spray Atomization
on Dimensional Accuracy of Condensation
Silicone Impression. Journal of Dental
research, adental Clinics, Dental Prospects
2010; 4(4):124-129
6. Novitasari RD, Meiarini A and Soekartono
RH. Teknik Desinfeksi Cetakan Alginat
Dengan Infusa Daun Sirih 25% terhadap
Perubahan Dimensi. Material Dental Journal
2013; 4(1):33-38
7. Affandi A. Penulisan Laporan Penelitian untuk
jurnal,Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan dari
Bahan Cetak Elastomer setelah Direndam
kedalam Larutan Daun Sirih 25%. Medan:
Fakultas Kedokteran Gigi USU; 2009.p.1-30.
8. Intan N. Dekok (Air Rebusan) Daun Sirih
(Piper Bitle Linn) Mampu Menghambat
Pertumbuhan Candida albicans. Jurnal sains
UMN 2008;6(5):1-2.
9. Rahmah N dan Rahman A. Uji Fungistatik
Ekstrak Daun Sirih( piper betleL.) Terhadap
Candida albicans. Banjarbaru. Bioscientia
2010;7(4):17-24
10. Anusavice KJ. Buku Ajar Ilmu Bahan
Kedokteran Gigi(Phillips Sciens of Dental
Material). 10th ed. Alih bahasa. Budiman J.A
dan Purwoko S. Jakarta: EGC; 2004.p.93-148
11. Imbery TA, Nehring J, Janus C and Moon PC.
Accuracy and Dimensional Stability of
Extended-pour and Conventional Alginate
Impression Materials. J Am Dent Assoc 2010;
141(1):32-9
12. Hermawan A, Eliyani H dan Tyasningsih W.
Pengaruh Ekstrak Daun Sirih Terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan Metode Difusi
Disk.Journal Of Aquaculture And Health
2007;7(2)1-7.
13. Febriana M. Bahan Cetak Alginat dan Bahan
Cetak Alginat Plus Pati Ubi Kayu (Analisis
Gambaran Mikroskopik). The International
Symposium on Oral and Dental Sciences :
Proceeding Book. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada;
2013.p.43-50
14. McCabe JF and Walls AWG. Applied Dental
Materials. 1st ed.Oxford. Blackwell Publishing;
2008.p.140-5
15. Siswomiharjo W. Perendaman Dimensi
Cetakan Alginat Setetlah Direndam Dalam Air
Sirih 25%. Jurnal Kedoktran Gigi Indonesia
1994; 43(1):69-71
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 65 - 69
70
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
DESKRIPSI KASUS TEMPOROMANDIBULAR DISORDER PADA PASIEN
DI RSUD ULIN BANJARMASIN BULAN JUNI – AGUSTUS 2013
Tinjauan Berdasarkan Jenis Kelamin, Etiologi, dan Klasifikasi
Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background : Temporomandibular disorder (TMD) is a disorder or dysfunction of the temporo-
mandibula joints with different signs and symptoms. Cause of temporomandibular disorder in general because
of functional disorders and structural variants. These disorders may included pain or clicking, and cause jaw
dislocation or locked. Purpose : This research aims to determine the description of temporomandibular disorder
based on gender, etiology, and patients classification who come to the dental poly in RSUD Ulin Banjarmasin.
Methods: This research was a descriptive study with cross sectional approach. Samples has been taken as many
as 100 people with the purposive sampling technique. The data was obtained by clinical examination based
Dysfunction index, each sample was being examined measured Range of motion (ROM) with a ruler, the sound
of the joints was examined using fingers, palpation of the masticatory muscles, palpation of the lateral and
posterior parts of the joints, and jaw was opening movement toward left and right. Results: Data was obtained
that the percentage incidence of TMD based on sex in male by 41% and female patients by 59%, the percentage
was based on the etiology of TMD incidence because of 100% functional impairment and structural
abnormalities at 0%, the percentage incidence suffering from TMD classification by 53% mild, 38% moderated
and weight by 9%. Conclusion : Based on the research has been conducted could be concluded that TMD was
been experiencing more women than in men, which was caused by a functional disorder, and more likely to had
mild TMD.
Keywords: Temporomandibular disorder, Range of motion, Dysfunction index
ABSTRAK
Latar belakang: Temporomandibular disorder (TMD) adalah suatu gangguan atau ketidakberfungsian
sendi temporomandibular dengan tanda dan gejala yang berbeda. Penyebab dari temporomandibular disorder
secara umum karena gangguan fungsional dan kelainan struktural. Gangguan ini dapat berupa rasa nyeri atau
clicking, dan dapat menyebabkan dislokasi atau rahang terkunci. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui deskripsi dari temporomandibular disorder berdasarkan jenis kelamin, etiologi, dan klasifikasi pada
pasien yang datang ke poli gigi di RSUD Ulin Banjarmasin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil sebanyak 100 orang dengan tehnik purposive
sampling. Data yang diperoleh dengan pemeriksaan klinis berdasarkan Dysfunction index, setiap sampel yang
diperiksa diukur Range of motion (ROM) dengan penggaris, bunyi pada sendi diperiksa menggunakan jari,
palpasi pada otot pengunyahan, palpasi pada bagian lateral dan posterior sendi, dan pergerakan pembukaan
rahang ke arah kiri dan kanan. Hasil : Data yang didapat bahwa persentase insidensi TMD berdasarkan jenis
kelamin pada laki-laki sebesar 41% dan pasien perempuan sebesar 59%, persentase indensi TMD berdasarkan
etiologi karena gangguan fungsional sebesar 100% dan kelainan struktural sebesar 0%, persentase indensi
TMD berdasarkan klasifikasi yang menderita TMD ringan sebesar 53%, TMD sedang 38%, dan TMD berat
sebesar 9%. Kesimpulan : Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa yang
mengalami TMD lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, yang disebabkan karena gangguan fungsional,
dan lebih banyak mengalami TMD ringan.
Kata-kata kunci : Temporomandibular disorder, Range of motion, Dysfunction index
Laporan Penelitian
71
Korespondensi: Najma Shofi, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl.
Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]
PENDAHULUAN
Temporomandibular disorder (TMD) adalah
suatu gangguan sendi rahang yang sering
ditemukan dalam praktek dokter gigi sehari-hari.1
Penyebab gangguan TMD masih belum jelas
diketahui kemungkinannya multifaktoral, karena
gangguan fungsional dan kelainan struktural.
Penyebab terbanyak seperti kehilangan gigi,
kebiasaan buruk (bruxism, mengunyah satu sisi,
bertopang dagu sebelah sisi)2
Sepertiga orang dewasa melaporkan adanya
satu atau lebih tanda-tanda gangguan
temporomandibular joint (TMJ).3 Penderita dengan
gangguan ini akan merasa tidak nyaman walaupun
gangguan ini jarang disertai dengan rasa sakit yang
hebat. Gejalanya dapat berupa rasa nyeri, bunyi
clicking pada sendi mandibula. Beberapa orang
yang memiliki tanda-tanda tersebut banyak yang
tidak menghiraukan. Komplikasi yang dapat terjadi
yaitu dislokasi atau rahang terkunci. Dislokasi
dapat terjadi satu sisi atau dua sisi, dan dapat
bersifat akut, kronis, dan rekuren sehingga
penderita akan mengalami kelemahan yang sifatnya
abnormal dari kapsula pendukung dan ligamen.
Prevalensi secara keseluruhan berkisar 1%-75%.
Prevalensi untuk laki-laki sekitar 3%-10% ,
perempuan 8%-15%. Prevalensi lanjut usia yang
kehilangan banyak gigi 68%.4,5,6
Etiologi gangguan sendi temporomandibula
multifaktoral. Secara umum dibagi menjadi
kelainan struktural dan gangguan fungsional.
Kelainan struktural adalah kelainan yang
disebabkan perubahan struktur persendian akibat
gangguan pertumbuhan, trauma eksternal, dan
infeksi. Gangguan fungsional adalah masalah TMJ
yang timbul akibat fungsi yang menyimpang karena
adanya kelainan pada posisi atau fungsi gigi geligi
dan otot kunyah. Makro trauma adalah tekanan
yang terjadi secara langsung, dapat menyebabkan
perubahan pada bagian discus articularis dan
processus condylaris. Hal ini mengakibatkan
penurunan fungsi pada saat pergerakan, dan pada
gangguan fungsional posisi discus articularis dan
processus condylaris dapat berubah secara
perlahan–lahan yang dapat menimbulkan gejala
clicking.7,8 Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui deskripsi TMD berdasarkan jenis
kelamin, etiologi, dan klasifikasi pada pasien yang
datang ke poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin
periode Juni – Agustus 2013.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Alat
yang digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken,
sarung tangan, masker, penggaris, alat tulis, dan
formulir informed consent. Pengambilan sampel
dilakukan secara purposive sampling 100 orang.
Sampel adalah pasien yang datang ke poli gigi
RSUD Ulin Banjarmasin yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusinya adalah
pasien yang mengalami satu atau lebih dari gejala
TMD sesuai anamnesa dan pasien bersedia
dijadikan sampel. Kriteria ekslusinya adalah pasien
yang mengalami satu atau lebih dari gejala TMD
sesuai anamnesa yang tidak bersedia dijadikan
sampel.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah pasien yang mengalami satu atau lebih
gejala TMD sesuai anamnesa. Penelitian dilakukan
pada pasien yang datang ke RSUD Ulin
banjarmasin. Subjek penelitian dijelaskan tentang
manfaat dan prosedur penelitian yang akan
dilakukan peneliti dan diberikan lembar informed
consent sebagai tanda persetujuan menjadi subyek
penelitian, kemudian dilakukan penilaian tanda
gangguan sendi temporomandibula yang didapat
dari pemeriksaan klinis berdasarkan Dysfunction
index. Pemeriksaan klinis meliputi Range of
motion (ROM) dari sendi temporomandibula
diukur pada pembukaan maksimal rahang, dengan
penggaris, dari tepi bawah gigi insisif yang terletak
tepat di tengah maksila (rahang atas) sampai tepi
atas gigi insisif yang terletak tepat di tengah
mandibula (rahang bawah) pada gigi asli atau pada
gigi tiruan. Bunyi pada sendi temporomandibula
diperiksa dengan jari untuk mendeteksi adanya
bunyi klik atau krepitasi. Bunyi tersebut diperiksa
saat pembukaan rahang dan penutupan rahang, serta
dicatat apakah terdapat satu kali bunyi atau bunyi
yang berulang.
Deviasi didefinisikan sebagai displacement
mandibula dari garis vertikal imajiner saat
mandibula membuka kurang lebih setengah dari
pembukaan maksimal. Garis vertikal imajiner ini
teletak pada garis tengah rahang saat mulut
tertutup. Otot yang dipalpasi adalah musculus
masseter, tendon musculus temporalis, musculus
pterigoideus lateralis, musculus pterigoideus
medialis, dan musculus digastricus pars anterior
dengan menggunakan satu jari. Bagian lateral
sendi temporomandibula dipalpasi extra oral 5
mm dari meatus acusticus externus. Bagian
posterior sendi temporamandibula dipalpasi
dengan jari kelingking di ductus akustikus.
Pergerakan mandibula dilakukan dengan
pembukaan rahang maksimal, pergerakan
rahang ke samping kanan dan kiri dan
pergerakan rahang ke depan. Nyeri yang ada
dicatat. Seluruh poin pada hasil pemeriksaan fisik
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 70 - 73
72
berdasarkan Dysfunction index (Di) dijumlah dan
diklasifikasikan.
Analisis data yang digunakan pada penelitian
ini menggunakan analisis deskriptif. Dihitung
persentase TMD berdasarkan jenis kelamin,
etiologi, dan klasifikasi
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Data Prosentase TMD Berdasarkan Jenis
Kelamin pada Pasien di Poli Gigi RSUD
Ulin Banjarmasin.
Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui
prosentase TMD berdasarkan jenis kelamin pada
pasien yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin pada
laki-laki sebesar 41 orang atau 41% dan pasien
perempuan sebesar 59 orang atau 59%. Hal ini
menunjukan bahwa insidensi TMD lebih banyak
terjadi pada perempuan dari pada laki-laki.
Gambar 2 Data Prosentase TMD Berdasarkan
Etiologi pada Pasien di Poli Gigi RSUD
Ulin Banjarmasin.
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui
prosentase TMD berdasarkan etiologi pada pasien
yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin karena
gangguan fungsional sebesar 100% dan kelainan
struktural sebesar 0%.
Gambar 3 Data Prosentase TMD Berdasarkan
Klasifikasi pada Pasien di Poli Gigi
RSUD Ulin Banjarmasin.
Berdasarkan Gambar 3 diketahui prosentase
TMD berdasarkan klasifikasi pada pasien yang
datang ke Poli Gigi RSUD Ulin yang menderita
TMD ringan sebesar 53 orang atau 53%, TMD
sedang 38 orang atau 38%, dan TMD berat sebesar
9 orang atau 9%.
PEMBAHASAN
TMD adalah suatu gangguan atau
ketidakberfungsian sendi temporomandibula
dengan tanda dan gejala berbeda. Gejalanya berupa
gangguan fungsi seperti bunyi pada sendi,
kelelahan atau kekakuan pada rahang, nyeri serta
rahang terkunci. Etiologi gangguan sendi
temporomandibula secara umum dibagi menjadi
kelainan struktural dan gangguan fungsional.2,8
Gambar 1 menunjukan sampel yang
mengalami TMD lebih banyak perempuan sebesar
59% dari pada laki-laki sebesar 41%. Hal ini
kemungkinan disebabkan perempuan lebih mudah
mengalami stres karena keadaan hormonal seperti
estrogen yang dapat meningkatkan stimulasi nyeri.
Menurut Rugh 1976, pasien dengan TMD
memberi respon terhadap tekanan emosi berupa
kenaikan aktivitas m. masseter dan temporalis.
Stres emosional dapat menyebabkan peningkatan
aktifitas otot pada posisi istirahat yang dapat
menimbulkan kelelahan yang berakibat pada
spasme otot. Spasme otot yang terjadi nantinya
akan meningkatkan respon saraf simpatis yang
menyebabkan nyeri pada otot mastikasi. Menurut
Moore 1997, umumnya pada perempuan sekitar
usia 35 tahun dan laki-laki 45 tahun masa tulang
mencapai maksimum. Setelah titik itu, tulang lebih
banyak yang hilang daripada dibentuk, sehingga
perempuan cenderung mengalami osteoporosis.9
Seluruh TMD terjadi karena gangguan
fungsional dan tidak ada TMD yang disebabkan
kelainan struktural. Gangguan fungsional pada
penelitian ini terjadi karena maloklusi gigi (77
orang), karena kelainan otot kunyah / memiliki
kebiasaan mengunyah satu sisi (59 orang), dan
karena kelainan gigi disertai kelainan otot kunyah
41%59%
Laki laki 41%
Perempuan 59%
100%
Gangguan
Fungsional 100%
Kelainan
Struktural 0%
53%38%
9% DiI 53%
(Ringan)
DiII 38%
(Sedang)
DiIII 9%
(Berat)
Shofi : Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien
73
(39 orang). Maloklusi dapat mengakibatkan kontak
gigi yang tidak harmonis dan tidak seimbang yang
dapat menyebabkan tekanan tambahan untuk otot
pengunyahan dan kelainan posisi kondilus pada
saat rahang tertutup, akibatnya rahang menjadi
terasa kaku. Pasien yang mengunyah dengan satu
sisi menyebabkan tekanan tambahan untuk otot
pengunyahan dan menyebabkan spasme pada otot
sehingga menyebabkan rasa nyeri dan gangguan
pada sendi. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Riana pada tahun 2009, etiologi TMD
paling banyak disebabkan gangguan fungsional dan
70% karena kebiasaan buruk, dari 136 anak yang
diperiksa didapatkan 49 anak TMD dan 36 anak
memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi.10
Gambar 5.3 didapatkan hasil Dysfunction
index (Di) yang menderita TMD ringan sebesar
53%, TMD sedang 38%, dan TMD berat sebesar
9%. Sebagian besar penderita TMD ringan
disebabkan banyak yang kehilangan 1 gigi di
posterior sehingga dimensi vertikal tidak hilang
tetapi tetap terjadi penambahan beban yang terus
berlangsung, hal ini mengakibatkan posisi discus
articularis dan processus condylaris berubah secara
perlahan. TMD sedang berkaitan juga dengan
rentan waktu atau lamanya faktor penyebab yang
telah berlangsung, diawali dengan TMD ringan
dengan gejala yang masih ringan jika gejalanya
terus dibiarkan dan faktor penyebabnya tidak
dihilangkan akan terus berlanjut menjadi TMD
sedang bahkan sampai berat. TMD berat paling
sedikit diderita karena faktor usia. Proses penuaan
dapat mengakibatkan kemunduran fungsi tubuh
seperti fungsi TMJ dan karena kehilangan banyak
gigi yang mengakibatkan hilangnya dimensi
vertikal dan terjadi penambahan beban sendi saat
beroklusi.
Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh
penelitian dari Ani tahun 2012, dari 150 sampel
yang diteliti dengan menggunakan Dysfunction
index (Di) menunjukan hasil yang bebas TMD
sebesar 10%, TMD ringan sebesar 36,7%, TMD
sedang sebesar 27,3%, TMD berat sebesar
26%.8,11,12
DAFTAR PUSTAKA
1. Gazali M, Alwin K. Dislokasi Mandibula Ke
arah Anterior. Jurnal kedokteran gigi edisi
khusus KOMIT KG. 2004; 120-123.
2. Abubaker O, Kenneth JB. Oral and
Maxillofacial Surgery Secrets. Michigan:
Hanley and Belfus. 2008. Hal.232-245.
3. Buescher JJ. Temporomandibular Joint
Disorder. American family physician. 2007;
76 (10): 1477-1482.
4. Himawan LS, Kusdhany LS, Ariani N.
Tempromandibular Disorders in Elderly
Patients. Med J Indoness. 2007; 16(4): 237-
9.
5. Febby R. Perawatan Hipomobiliti Sendi
Temporomandibula. Skripsi. Medan: FKG
USU. 2010; 35.
6. Nilsson H. Resilient Appliance Therapy of
Temporomandibular Disorders
Subdiagnoses. Swedish Dental Journal.
2010; 28-32.
7. Aryanti S. Penanggulangan Gangguan Sendi
Temporomandibula Akibat Kelainan Oklusi
Secara Konservatif. Skripsi. Medan: FKG
USU. 2009; 15-19
8. Hiltunen K. Temporomandibular Disorders
in The Elderly: A 5 Year Follow-Up of Sign
and Symptoms of TMD. University of
Helsinki. 2004; p.11-32.
9. Asma. Human Bone Tissue Engineering
Using Coral and Differentiated Osteoblasts
From Derived-Mesenchymal Stem Cells.
Skripsi. Penang: Universiti Sains Malaysia.
2008; 31.
10. Laksitowati RH. Frequency of
Temporomandibular Joint Dysfunction With
Clicking Symptom Due To Primary Molar
Premature Loss in Children Aged 6-12 Years
Old. Padjadjaran Journal of Dentistry.
2009;21(1): 51-56.
11. Khasanah A. Pengaruh Gangguan Sendi
Temporomandibula Terhadap Kualitas
Hidup (Terkait Kesehatan Gigi Dan Mulut)
Pada Lansia. Skripsi. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012;
11-14.
12. Wright EF. Manual of Temporomandibular
Disorder. Lowa: Wiley-Blackwell. 2010.
Hal.54-73.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 70 - 73
74
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
STABILITAS DIMENSI HASIL CETAKAN ALGINAT SETELAH DILAKUKAN
PENYEMPROTAN INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%
SEBAGAI DESINFEKTAN
Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia
ABSTRACT
Background: The risk of cross infection between patients, dentists and technicians is caused when
saliva and blood during process of molding, it can be overcome with disinfection on material impression. Red
Betel Leaves Infuse 50% has the affective disinfectant for the impression material. Some disinfection process
expected can change dimension stability of that material. Purpose: The purpose of study was to determine the
dimention change on the alginate impression result after being sprayed with red betel leaves infuse (Piper
crocatum Ruiz & Pav) 50% for storage period of 5 and 10 minutes. Methods: This laboratory experimental
research method from 6 groups of experimental sample, 2 groups were sprayed with red betel leaves infuse 50%,
2 groups with sodium hypochlorite 0,5% and 2 groups without sprayed. The storage time were 5 and 10 minutes.
Each group were repeated 8 times. Alginate mold was filled with plaster and measured with calipers. Data was
analyzed with One Way Anova. Result: The result showed that the dimension stability of alginate impression
sprayed with red betel leaves infuse 50% had no significant changes. Conclusion: The conclusion there were no
significant changes on the dimension stability of alginate impression after spraying of red betel leaves infuse
(Piper crocatum Ruiz & Pav)50%. Thus, red betel leaves was recommended as one of alternative disinfectants
for alginate impression material.
Keywords: The dimension stability, red betel leaves infuse, alginate, disinfectant.
ABSTRAK
Latar belakang: Risiko infeksi silang antara pasien, dokter gigi, dan teknisi dapat terjadi yang
disebabkan saliva dan darah ketika proses pencetakan rahang, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan
desinfeksi pada bahan cetak. Pemanfaatan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% yang
mempunyai efektivitas sebagai desinfektan dapat digunakan untuk desinfeksi bahan cetak. Beberapa proses
desinfeksi diduga dapat mengubah stabilitas dimensi bahan cetak. Tujuan: Untuk mengetahui adanya
perubahan stabilitas dimensi pada hasil cetakan dengan bahan alginat setelah dilakukan penyemprotan dengan
menggunakan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% dengan variasi waktu penyimpanan 5
dan 10 menit. Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental dengan 6 kelompok perlakuan yaitu 2 kelompok
yang dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%, 2 kelompok
disemprot sodium hipoklorit 0,5% dan 2 kelompok yang tidak dilakukan penyemprotan. Waktu penyimpanan 5
dan 10 menit. Masing-masing dilakukan pengulang 8 kali. Cetakan diisi gips dan diukur menggunakan kaliper.
Data dianalisis menggunakan uji One Way Anova. Hasil: Stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang disemprot
infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% tidak terdapat perubahan bermakna. Kesimpulan:
Stabilitas dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper
crocatum Ruiz & Pav) 50% tidak mengalami perubahan bermakna sehingga dapat dijadikan alternatif
desinfektan pada bahan cetak alginat.
Kata-kata kunci: Stabilitas dimensi, infusa daun sirih merah, alginat, desinfektan.
Korespondensi : Valdina Najifa Parimata, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasin 128 B Kalsel, [email protected]
Laporan Penelitian
75
PENDAHULUAN
Bahan cetak digunakan untuk membuat
replika atau cetakan dari jaringan keras maupun
jaringan lunak rongga mulut.1 Alginat merupakan
salah satu bahan cetak yang paling sering
digunakan untuk mencetak rongga mulut pasien.
Secara umum alginat digunakan untuk pembuatan
studi model rencana perawatan, monitor perubahan,
serta restorasi gigi tiruan sebagian lepasan.2 Alginat
dipilih sebagai bahan cetak karena harganya murah,
penggunaannya lebih mudah dan hasilnya cukup
detail.3
Terdapat risiko penularan infeksi ke dokter
gigi maupun petugas laboratorium ketika
pencetakan rahang pasien, melalui saliva dan darah
pasien. Beberapa penyebab infeksi penularan yaitu:
Streptococcus dan Staphylococcus species, Bacillus
species, Enterobacter species, virus Hepatitis, virus
Herpes simpleks, dan Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Salah satu studi menemukan bahwa
67% dari bahan-bahan yang di kirim dokter gigi ke
laboratorium kedokteran gigi terkontaminasi oleh
bakteri pathogen.4
Kontaminasi bakteri dapat dihindari dengan
desinfeksi pada bahan cetak yang digunakan.4 The
American Dental Association (ADA)
merekomendasikan selama 10 menit perendaman
larutan sodium hipoklorit dengan konsentrasi
0,525% sebagai desinfektan pada bahan cetak
irreversible hydrocolloid atau alginat.5 Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Rad dkk (2010) alginat
yang direndam menggunakan sodium hipoklorit
mengalami perubahan stabilitas dimensi yang
besar, berbeda dengan alginat yang disemprot
sodium hipoklorit yang mengalami perubahan yang
kecil.6 Proses desinfeksi dengan cara penyemprotan
lebih dianjurkan.7
Sodium hipoklorit bersifat bakterisid, tetapi
senyawanya bersifat korosif, mempunyai bau yang
kurang nyaman, dan terasa panas jika terkena
kulit.8 Saat ini banyak bahan herbal yang mulai
digunakan, salah satu tumbuhan yang bersifat
bakterisid dan dapat menjadi desinfektan adalah
daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav).
Bahan alami tersebut tidak bersifat korosif dan
tidak mengakibatkan rasa panas pada kulit. Air
rebusan daun sirih merah mengandung antiseptik
atau karvakrol yang bersifat desinfektan dan
antijamur.9 Daun sirih juga terkenal khasiatnya
sebagai disinfektan karena memiliki kandungan
kavikol. Kavikol mempunyai khasiat bakterisid
lima kali lebih kuat dari pada fenol.10 Daun sirih
merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa
polifenolat, saponin, tannin, dan minyak atsiri.
Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki sifat
antibakteri.9,11 Penelitian yang dilakukan Saraswati
(2012) infusa daun sirih merah mempunyai daya
antibakteri terhadap bakteri Enterococcus faecalis,
konsentrasi bunuh minimum yang didapat adalah
25%.12 Penelitian yang dilakukan Paramita (2010)
efek air rebusan daun sirih merah memiliki efek
antijamur pada konsentrasi 50% terhadap Candida
albicans.13
Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh
Affandi (2009) menggunakan hasil cetakan dari
bahan cetak elastomer yang direndam kedalam
larutan daun sirih 25% yang sebelumnya direbus
diketahui bahwa rata-rata perubahan dimensi
terbesar adalah hasil cetakan yang direndam selama
50 menit dan yang terkecil pada hasil cetakan yang
direndam selama 10 dan 30 menit, daun sirih yang
digunakan adalah daun sirih hijau.14 Penelitian ini
secara umum bertujuan untuk mengetahui adanya
perubahan stabilitas dimensi pada hasil cetakan
dengan bahan alginat setelah dilakukan
penyemprotan menggunakan infusa daun sirih
merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%. Tujuan
khusus dari penelitian ini untuk mengukur stabilitas
dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan
penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper
crocatum Ruiz & Pav) yang disimpan dalam waktu
5 dan 10 menit.
BAHAN DAN METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode true experimental dengan rancangan
penelitian Post Test-Only with Control Design
menggunakan Simple Random Sampling dengan 6
perlakuan. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bahan cetak alginat, infusa daun sirih
merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%, sodium
hipoklorit 0,5%, gips tipe III, dan air. Alat yang
digunakan adalah bowl, spatula, master die sesuai
spesifikasi ADA no.18, kaliper, tisu dan plastik.
Penelitian ini dimulai dengan penentuan kelompok
eksperimen, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian intervensi terhadap kelompok yang telah
ditentukan. Jumlah minimal pengulangan untuk
setiap kelompok perlakuan adalah 8 kali.
Pengulangan ditentukan dengan menggunakan
rumus Federer.
Daun sirih merah dipilih yang besar dan
segar. Permukaan daun berwarna hijau tua dan
bagian belakangnya berwarna merah tua. Daun
sirih tersebut kemudian dibersihkan, dicuci
dibawah air mengalir dan dikeringkan. Daun sirih
merah kemudian diiris kecil-kecil dan ditimbang.
Infusa konsentrasi 50% dibuat dengan cara
sebanyak 100g daun sirih merah direbus ke dalam
200ml air, waktu dihitung 15 menit ketika suhu
90°C, sambil sesekali diaduk. Setelah dingin,
lakukan penyaringan. Jika volume berkurang,
ditambahkan air secukupnya melalui ampas hingga
volume menjadi 200ml. Langkah selanjutnya
adalah pembuatan sodium hipoklorit 0,5% dengan
cara mengencerkan sodium hipoklorit 5,25% 10ml
ditambahkan air 90ml.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 74 - 78
76
Pembuatan 16 cetakan alginat sebagai sampel
kontrol negatif (8 cetakan disimpan selama 5 menit
dan 8 cetakan disimpan selama 10 menit). Bahan
cetak alginat dengan P/W rasio yang sesuai dengan
petunjuk pabrik, diaduk pada rubber bowl sampai
homogen, kemudian dituangkan ke dalam master
die. Setelah bahan cetakan setting sampel
dikeluarkan dari master die, dibilas dengan air dan
dikeringkan. Simpan dalam lingkungan basah
(dibungkus dengan tisu dan dimasukkan ke dalam
kantung plastik) selama 5 dan 10 menit. Dilakukan
pengisian dengan gips tipe III, setelah setting
diukur stabilitas dimensi menggunakan kaliper.
Pembuatan 16 sampel seperti cara di atas
untuk setiap perlakuan hasil cetakan dari bahan
cetak alginat yang disemprot dengan sodium
hipoklorit 0,5% sebagai kontrol positif. Setelah
bahan cetakan setting, sampel dibilas dengan air,
dilakukan penyemprotan selama kurang lebih 15
detik dengan sodium hipoklorit 0,5% secara merata
keseluruh permukaan alginat. Dibungkus dengan
tisu dan diletakkan di dalam kantung plastik selama
5 dan 10 menit, sebelumnya tisu tersebut
dicelupkan dalam sodium hipoklorit 0,5%.
Pembuatan 16 sampel seperti cara sebelumnya
untuk setiap perlakuan hasil cetakan dari bahan
cetak alginat yang disemprot dengan infusa daun
sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%.
Sampel dibilas dengan air dan dikeringkan.
Dilakukan penyemprotan dengan infusa daun sirih
merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% selama
kurang lebih 15 detik secara merata keseluruh
permukaan alginat. Dibungkus dengan tisu dan
diletakkan di dalam kantung plastik selama 5 dan
10 menit, sebelumnya tisu tersebut dicelupkan
dalam infusa daun sirih merah (Piper crocatum
Ruiz & Pav).
Setelah proses desinfeksi dengan teknik
penyemprotan selesai dengan masing-masing
waktu tertentu, hasil cetakan diisi dengan gips tipe
III. Dilakukan pengukuran dengan menggunakan
kaliper (milimeter) pada model stone yang telah
diperoleh dari hasil pengisian hasil cetakan.
Perubahan dimensi dianalisis sesuai dengan
American National Standards Institute/ American
Dental Association (ANSI/ ADA) spesifikasi no. 18
bahan cetak tidak boleh menunjukkan perubahan
lebih 0,5% dari master die diukur menggunakan
kaliper. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan uji One-way Anova. Uji ini termasuk
uji statistik parametrik dengan tingkat kepercayaan
95% (α = 0,05).
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tentang stabilitas dimensi
hasil cetakan alginat setelah dilakukan
penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper
Crocatum Ruiz & Pav) 50% sebagai desinfektan
seperti terlihat pada Gambar 1 :
Gambar 1. Diameter gips dari alginat dengan waktu
penyimpanan 5 menit.
Gambar 2. Diameter gips dari alginat dengan waktu
penyimpanan 10 menit.
Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat
variasi besar diameter model die pada masing-
masing perlakuan pada waktu penyimpanan 5
menit. Hasil pengukuran model die dengan waktu
penyimpanan 5 menit dari kelompok yang tanpa
penyemprotan memiliki rata-rata diameter 45,88 ±
0,03 mm. Kelompok yang disemprotkan sodium
hipoklorit 0,5% memiliki rata-rata 45,88 ± 0,05
mm. Kelompok yang disemprotkan infusa daun
sirih merah 50% memiliki rata-rata 45,89 ± 0,04
mm.
Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat
variasi besar diameter model die pada masing-
masing perlakuan pada waktu penyimpanan 10
menit. Hasil pengukuran model die dengan waktu
penyimpanan 10 menit dari kelompok yang tanpa
penyemprotan memiliki rata-rata diameter 45,87 ±
0,02 mm. Kelompok yang disemprotkan sodium
hipoklorit 0,5% memiliki rata-rata 45,86 ± 0,05
mm. Kelompok yang disemprotkan infusa daun
sirih merah 50% memiliki rata-rata 45,87 ± 0,03
45
45,2
45,4
45,6
45,8
46
1 2 3 4 5 6 7 8
Dia
met
er (
mm
)
Sampel Ke-
tanpa penyemprotan
sodium hipoklorit 0,5%
infusa daun sirih merah 50%
45
45,2
45,4
45,6
45,8
46
1 2 3 4 5 6 7 8
Dia
met
er (
mm
)
Sampel Ke-
tanpa penyemprotan
sodium hipoklorit 0,5%
infusa daun sirih merah 50%
Parimata : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat
77
mm. Hasil uji One-way Anova pada kelompok
dengan waktu penyimpanan 5 menit p = 0,816,
kelompok dengan waktu penyimpanan 10 menit p
= 0,860 (p > 0,05). Hal ini berarti stabilitas dimensi
bahan cetak alginat yang disemprot infusa daun
sirih merah tidak mengalami perubahan yang
berarti ketiga jenis perlakuan baik selama waktu
penyimpanan 5 menit dan 10 menit, air biasa (tanpa
penyemprotan), sodium hipoklorit 0,5%, dan sirih
merah 50% relatif sama.
PEMBAHASAN
Bahan cetak alginat adalah bahan cetak
hidrokoloid yang pengerasannya terjadi secara
kimia. Bahan dasarnya adalah asam alginat yang
diperoleh dari ganggang laut. Asam alginat tidak
larut dalam air tetapi beberapa garamnya larut dan
asam alginat ini mudah membentuk garam karena
adanya gugus karboksil yang bebas. Bahan cetak
alginat mengandung garam laut dalam air yaitu
sodium alginate, potassium alginate dan triethano-
lamine alginate. Asam alginat adalah polimer linier
dari garam sodium dari anhydro-β-d-mannuronic
acid yang mempunyai berat molekul yang tinggi.
Bahan cetak alginat mengandung banyak cairan,
hal ini sangat mempengaruhi sifat sineresis dan
imbibisi bahan. Apabila hasil cetakan direndam
dalam air, akan terjadi penyerapan air dan cetakan
jadi mengembang, peristiwa ini disebut dengan
imbibisi. Sebaliknya bila hasil cetakan dibiarkan di
udara terbuka, maka cairan dalam alginat akan
menguap sehingga hasil cetakan mengerut yang
disebut sebagai peristiwa sineresis.7 Imbery dkk
(2010) mengatakan bahwa sineresis adalah hasil
dari penyusunan kembali rantai silang polimer
alginat untuk konfigurasi yang lebih stabil,
sehingga terjadi pengeluaran air.15
Bahan cetak alginat mengandung natrium atau
kalium alginat. Pada natrium atau kalium alginat,
kation terikat pada kelompok karboksil untuk
membentuk garam. Bila garam tidak larut dibentuk
melalui reaksi natrium alginat dalam larutan
dengan garam kalsium, ion kalsium akan meng-
gantikan ion natrium dalam 2 molekul berdekatan
untuk membentuk ikatan silang antara 2 molekul.
Dengan berkembangnya reaksi, ikatan silang
kompleks molekuler atau network polimer akan
terbentuk.16
Muzaffar dkk (2011) mengemukakan bahwa
perubahan bahan cetak alginat terjadi setelah bahan
cetak direndam desinfektan. Mereka menyim-
pulkan bahwa adanya penyerapan pada bahan cetak
alginat sehingga menyebabkan terjadinya ekspansi,
dimana pada alginat terdapat ion-ion seperti Na,
SO42-, PO4
3- sebagai potensial osmotik.17 Saito dkk
(1998) juga mengatakan bahwa tekanan osmotik
antara gel alginat dan larutan perendaman menye-
babkan alginat mengalami ekspansi (mengembang)
ketika direndam dengan larutan desinfektan.18
Infusa daun sirih merah 50% yang
mempunyai efek antibakteri digunakan sebagai
desinfektan. Penggunaan sodium hipoklorit dan
infusa daun sirih merah sebagai desinfektan pada
cetakan alginat akan menyebabkan hasil cetakan
berkontak dengan cairan sehingga dapat ber-
pengaruh pada stabilitas dimensi hasil cetakan
alginat. Desinfektan infusa daun sirih merah 50%
dapat diberikan pada hasil cetakan alginat dengan
cara direndam maupun disemprot. Pada teknik
perendaman, cetakan alginat terendam semua
dalam cairan desinfektan, sehingga cairan desin-
fektan banyak yang diabsorbsi. Adanya anyaman-
anyaman pada alginat akan menahan cairan yang
terabsorbsi, sehingga terjadi imbibisi dan
menyebabkan perubahan dimensi.19 Sedangkan,
pada teknik penyemprotan, cairan yang diabsrobsi
lebih sedikit. Imbibisi yang terjadi juga lebih
sedikit sehingga perubahan dimensi cetakan alginat
lebih kecil.16 Penelitian mengenai teknik penyem-
protan pada bahan disinfektan, menunjukkan
aktivitas antimikroba yang sama dengan teknik
perendaman, namun tidak terlalu mempengaruhi
stabilitas dimensi dari cetakan alginat.20
Novitasari dkk (2013) penggunaan kavikol
sebagai desinfektan dalam infusa daun sirih 25%
tidak berpengaruh terhadap ikatan kalsium alginat,
sehingga kavikol tidak mempengaruhi dimensi
alginat. Pengaruh cairan disinfektan terhadap
dimensi cetakan alginat dapat dilihat dengan jelas,
karena alginat memiliki sifat imbibisi. Sifat
imbibisi tersebut erat kaitannya dengan lama waktu
perendaman cetakan alginat saat proses desinfeksi.
Kavikol mempunyai khasiat bakterisid lima kali
lebih kuat dari pada fenol biasa.20 Dalam hal
komposisi larutan desinfektan kandungan fenol
dalam larutan desinfektan tersebut dapat menguap
sehingga berpengaruh terhadap zat antiseptik ini.
Ketika dilakukan desinfeksi cairan desinfektan
tersebut menguap sehingga tidak mempengaruhi
ikatan kalsium alginat dan tidak terjadi absorbsi
cairan oleh alginat. Temperatur ruangan tempat
penelitian yang tidak mampu dikendalikan ketika
melakukan pencetakan dan desinfeksi juga
mungkin menyebabkan perubahan larutan
desinfektan yang digunakan.14
Sodium hipoklorit dapat mengurangi waktu
gelasi yang dapat bereaksi dengan sodium fosfat
dan meminimalkan ketersediaannya untuk
melawan ion kalsium. Sediaan sodium fosfat untuk
bereaksi dengan ion kalsium berkurang sehingga
tidak dapat melakukan ikatan silang alginat dan
kemampuan alginat menyerap air berkurang. Hal
ini mungkin yang mengakibatkan kurang terjadinya
perubahan stabilitas dimensi pada cetakan.
Pengaruh desinfektan terhadap bahan cetak pada
dasarnya tergantung dari jenis dan konsentrasi
desinfektan tersebut.21
Perubahan dimensi terjadi disebabkan struktur
alginat yang berbentuk serat dengan air yang
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 74 - 78
78
mengisi ruangan kapiler tersebut. Jika terjadi hanya
sedikit perubahan dimensi tampaknya berkaitan
dengan lamanya waktu penyimpanan dan
penyemprotan yang relatif singkat. Kesalahan yang
bersifat random juga dapat menjadi penyebabnya
perubahan stabilitas dimensi, misalnya rasio bubuk
dan air tidak tepat, alginat yang tidak terdukung
alat cetak, besarnya tekanan selama pencetakan,
arah tekanan selama pencetakan atau gerakan
melepas alginat dari cetakannya yang tidak tepat.
Selain itu metode desinfeksi dan kelembaban bahan
cetak juga ikut berpengaruh.15
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna pada cetakan alginat yang dilakukan
penyemprotan infusa daun sirih merah 50%,
penyemprotan sodium hipoklorit 0,5% & tanpa
penyemprotan desinfeksi yang masing-masing
disimpan selama 5 dan 10 menit. Dapat
disimpulkan bahwa pemakaian desinfektan yang
disemprot pada bahan cetak alginat selain mampu
mencegah terjadinya infeksi silang. Bahan ini juga
stabil terhadap bahan cetak sehingga dapat menjadi
salah satu alternatif pilihan untuk desinfeksi bahan
cetak yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunadi HA, Margo A, Burhan LK,
Suryatenggara F, Setiabudi I. Buku ajar ilmu
geligi tiruan sebagian lepasan. Jilid I. Jakarta:
Hipokrates; 1995. p. 52-77.
2. Powers JM, Sakaguchi RL. Restorative dental
materials. 12th Ed. London: Elsevier; 2007. p.
271-275.
3. Nallaswamy D. Textbook of prosthodontics.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2003. p. 293-420.
4. Bhat VS, Shetty MS, Shenoy KK. Infection
control in the prosthodontic laboratory. The
Journal of Indian Prosthodontic Society. 2007;
7(2); 62-5.
5. Qamruddin I, Siddiqui AZ, Butt S.
Disinfection of dental impressions: a survey of
private practices and dental universities in
Karachi. Journal of The Pakistan Dental
Association. 2011; 20(1):19-22.
6. Rad FH, Ghaffari T, Safavi SH. In vitro
evaluation of dimensional stability of alginate
impressions after disinfection by spray and
immersion methods. Journal of Dental
Research, Dental Clinics, Dental Prospects.
2010; 4(4): 130-5.
7. Noort VR. Introduction to dental material. 3rd
ed. London: Elsevier; 2007. p.186-207.
8. Mehdipour O, Kleir DJ, Averbach RE.
Anatomy of sodium hypochlorite accidents.
Compendium of Continuing Education in
Dentistry. 2007; 28(10): 1-9.
9. Werdhany IW, Marton A, Setyorini W. Sirih
merah. Yogyakarta: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian; 2008. p. 2.
10. Parwata OA, Rita WS, Yoga R. Isolasi dan uji
antiradikal bebas minyak atsiri pada daun sirih
(Piper betle Linn) secara spektroskopi ultra
violet-tampak. Jurnal Kimia. 2009; 3(1): 7-13.
11. Juliantina F, Citra MDA, Nirwani B,
Nurmasitoh T, Bowo ET. Manfaat sirih merah
(Piper crocatum) sebagai agen anti bakterial
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.
2009; 1(1): 532-543.
12. Saraswati RS. Daya antibakteri infusa daun
sirih merah (Piper crocatum) terhadap bakteri
Enterococcus faecalis (penelitian
eksperimental laboratoris). Skripsi. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga; 2012.
13. Paramita AL. Efek air rebusan (dekok) daun
sirih (Piper crocatum Ruiz & Pav) terhadap
pertumbuhan Candida albicans. Tesis.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang;
2010.
14. Affandi A. Stabilitas dimensi hasil cetakan
dari bahan cetak elastomer setelah direndam
kedalam larutan daun sirih 25%. Skripsi.
Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara; 2009. p. 24.
15. Imbery TA, Nehring J, Janus C, Moon PC.
Accuracy and dimensional stability of
extended-pour and conventional alginate
impression material. Journal of the American
Dental Association. 2010; 141(1): 32-9.
16. Anusavice KJ. Phillip’s buku ajar ilmu bahan
kedokteran gigi. Edisi Ke-10. Jakarta: EGC;
2004. p. 94-118.
17. Muzaffar D, Ahsan SH, Afaq A. Dimensional
changes in alginate impression during
immersion in a disinfectant solution. Journal of
the Pakistan Medical Association. 2011; 61:
756-59.
18. Saito S, Ichimaru T, Araki Y. Factors affecting
dimensional instability of alginate impression
during immersion in the fixing and disinfectant
solutions. J Dent Material. 1998; 4: 294-300.
19. Craig RG and Power JM. Restorative Dental
Material. 11th ed. St. Louis: CV Mosby Co;
2002. p. 281.
20. Novitasari RDA, Meizarini A, Soekartono RH.
Teknik disinfeksi cetakan alginat dengan
infusa daun sirih 25% terhadap perubahan
dimensi. Material Dental Journal. 2013; 4(1):
33-38.
21. Amalan A, Ginjupalli K, Upadhya PN.
Evaluation Of properties of irreversible
hydrocolloid impression materials mixed with
disinfectant liquids. Dental Research Journal.
2013; 10(1): 65-73.
Parimata : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat
79
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
INDEKS KEBERSIHAN RONGGA MULUT PADA ANAK RETARDASI MENTAL
Tinjauan pada Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin
Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Mental retardation is a term commonly used when the intellectual development of
individuals who are significantly lower than average and resulted in limited adaptability to the environment
which causes health problems. Children with mental retardation because of limitations can not maintain good
oral hygiene. Mentally retarded population has a higher prevalence in terms of poor oral hygiene. Purpose:
This study aims to determine the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma
Wanita Persatuan South Kalimantan in general, by gender, and by age level. Methods: This study used
descriptive observational cross-sectional approach. Research data collection techniques used OHI-S index.
Examination of debris and calculus were performed on certain teeth and on certain surfaces of the teeth which
include dental examinations at the upper and lower jaw. After that, debris scores and calculus scores were
summed to obtain a score of OHIS. Results: The results showed that the index of oral hygiene in children with
mental retardation in SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan in general was
moderate (66.7%). By sex: men were good (57%) and women were moderate (76%). Based on the age level: 8-
11 years age group were moderate (85.7%) and 12-15 years age group were good (50%). Conclusion: It was
concluded that the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma Wanita
Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan in general was moderate.
Keywords: children with mental retardation, oral hygiene index
ABSTRAK
Latar belakang: Retardasi mental adalah istilah umum yang digunakan ketika perkembangan intelektual
individu yang secara signifikan lebih rendah dari rata-rata dan mengakibatkan terbatasnya kemampuan adaptasi
dengan lingkungan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan. Anak retardasi mental karena keterbatasannya
tidak dapat mempertahankan kebersihan mulutnya dengan baik. Populasi retardasi mental memiliki prevalensi
yang lebih tinggi dalam hal oral hygiene yang buruk. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks
kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan
Selatan secara umum, berdasarkan jenis kelamin, dan berdasarkan tingkat usia. Metode: Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan data
penelitian menggunakan indeks OHI-S. Pemeriksaan debris dan kalkulus dilakukan pada gigi tertentu dan pada
permukaan tertentu dari gigi yang meliputi pemeriksaan gigi pada rahang atas dan bawah. Setelah itu skor debris
dan skor kalkulus dijumlahkan untuk mendapatkan skor OHIS. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa
indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi
Kalimantan Selatan secara umum adalah sedang (66,7%). Berdasarkan jenis kelamin : laki-laki adalah baik
(57%) dan perempuan adalah sedang (76%). Berdasarkan tingkat usia : kelompok usia 8-11 tahun adalah sedang
(85,7%) dan kelompok usia 12-15 tahun adalah baik (50%). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa indeks
kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan
Selatan secara umum adalah sedang.
Kata Kunci: anak retardasi mental, indeks kebersihan rongga mulut
Laporan Penelitian
80
Korespondensi: Nadya Nuryati Azzahra, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B Banjarmasin, Kalimantan Selatan, email:
PENDAHULUAN
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
beresiko tinggi atau mempunyai kondisi kronis
secara fisik, perkembangan, perilaku, atau emosi.
Data dari Bank Dunia menunjukkan populasi anak
berkebutuhan khusus di seluruh dunia mencapai
10%. Diperkirakan 85% anak berkebutuhan khusus
di seluruh dunia yang berusia di bawah 15 tahun
terdapat di negara berkembang. Lebih dari dua
pertiga populasi tersebut terdapat di Asia. 1,2
Salah satu contoh kategori anak berkebutuhan
khusus adalah anak tunagrahita atau anak yang
mengalami retardasi mental yang memiliki
intelegensi signifikan berada di bawah rata-rata dan
disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi
perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Retardasi mental adalah istilah umum yang
digunakan ketika perkembangan intelektual
individu yang secara signifikan lebih rendah dari
rata-rata dan mengakibatkan terbatasnya
kemampuan adaptasi dengan lingkungan. Populasi
retardasi mental memiliki prevalensi yang lebih
tinggi dalam hal oral hygiene yang buruk. 2,3,4
Anak retardasi mental karena keterbatasannya
tidak dapat mempertahankan kebersihan mulutnya
dengan baik. Buruknya kebersihan mulut dan
tingginya prevalensi penyakit periodontal dan
karies gigi merupakan ciri-ciri umum yang dapat
ditemukan pada penderita retardasi mental.
Kesehatan gigi anak retardasi mental sangat
penting karena anak retardasi mental biasanya
memiliki keterkaitan dengan masalah medis selain
dari kondisi utama mereka, dan masalah gigi atau
rongga mulut yang dapat membahayakan kesehatan
umum mereka. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui indeks kebersihan rongga mulut pada
anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa
C Dharma Wanita Persatuan Provinsii Kalimantan
Selatan Banjarmasin secara umum, berdasarkan
tingkat usia, dan berdasarkan jenis kelamin. 4,5
BAHAN DAN METODE
Metode penelitian ini adalah metode
deskriptif observasional dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian ini dilakukan di SDLB C
Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan
Selatan Banjarmasin pada bulan April – Oktober
2013. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.
Alat yang digunakan adalah lembar pemeriksaan
OHIS, kaca mulut, sonde halfmoon, nier bekken,
kapas, handscoon, dan masker.
Setelah tindakan informed consent, dilakukan
pengukuran indeks OHIS pada anak retardasi
mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin,
sehingga diperoleh data primer dari hasil
pemeriksaan. Teknik pengukuran OHIS (Simplified
Oral Hygiene Index) yang digunakan adalah OHIS
menurut Greene and Vermillion. Data yang
didapatkan kemudian dideskripsikan menggunakan
tabel dan diagram.
HASIL PENELITIAN
Gambar 1. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan
Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental
di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Secara Umum
Berdasarkan Gambar 1 indeks kebersihan
rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB
C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan
Selatan secara umum adalah baik (29,1%), sedang
(66,7%), dan buruk (4,2%).
Gambar 2. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan
Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental
di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan
Jenis Kelamin (Laki-laki)
29,100%
66,700%
4,200%
Baik
Sedang
Buruk
57%
43%
0%
Baik
Sedang
Buruk
Azzahra : Indeks Kebersihan Rongga Mulut
81
Gambar 3. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan
Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental
di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan
Jenis Kelamin (Perempuan)
Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 indeks
kebersihan rongga mulut pada anak retardasi
mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan jenis
kelamin : laki-laki adalah baik (57%), sedang
(43%), dan buruk (0%) serta anak perempuan
adalah baik (6%), sedang (76%), dan buruk (18%).
Gambar 4. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan
Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental
di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan
Tingkat Usia (8-11 Tahun)
Gambar 5. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan
Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental
di SDLB C Dharma Wanita Persatuan
Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan
Tingkat Usia (12-15 Tahun)
Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5
diketahui bahwa indeks kebersihan rongga mulut
pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma
Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan
berdasarkan tingkat usia : kelompok usia 8-11
tahun adalah baik (14,3%), sedang (85,7%), dan
buruk (0%) serta kelompok usia 12-15 tahun adalah
baik (50%), sedang (40%), dan buruk (10%).
PEMBAHASAN
Rata-rata indeks debris anak retardasi mental
di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi
Kalimantan Selatan termasuk dalam kategori
sedang. Indeks debris yang cukup tinggi ini
disebabkan oleh kurang aktifnya otot mulut pada
anak retardasi mental untuk mendapatkan
pembersihan secara alamiah pada gigi. Kecepatan
pembersihan sisa makanan atau debris akan
dipengaruhi oleh aksi mekanis dari otot lidah, pipi,
dan bibir. Indeks debris pada anak retardasi mental
cukup tinggi. Indeks kalkulus pada anak retardasi
mental cenderung lebih rendah daripada indeks
debris, yaitu rata-rata termasuk dalam kategori
baik-sedang. Hal ini disebabkan kalkulus jarang
ditemukan pada gigi susu dan tidak sering
ditemukan pada gigi permanen anak usia muda,
karena itu akumulasi kalkulus hampir jarang
ditemukan pada anak retardasi mental. 6,7
Indeks kebersihan rongga mulut pada anak
retardasi mental berdasarkan jenis kelamin diduga
berkaitan dengan faktor hormonal. Anak perem-
puan lebih cepat mengalami pendewasaan dan
sering mengalami gangguan kesetimbangan
hormonal sehingga mudah mengalami gangguan
emosional, stress, dan sering mengonsumsi
makanan dan minuman yang mengandung gula di
antara jam makan. Makanan dan minuman
mengandung gula yang lengket akan memper-
mudah perlekatan debris atau sisa makanan. 8,9
Indeks kebersihan rongga mulut pada anak
retardasi mental berdasarkan tingkat usia diduga
berhubungan dengan teori kognitif menurut Piaget.
Menurut teori Piaget (1952) perkembangan kognitif
anak terjadi dalam empat tahapan. Masing-masing
tahap berhubungan dengan usia dan tersusun dari
jalan pikiran yang berbeda-beda. Tahapan Piaget
itu adalah fase sensorimotor, pra-operasional,
operasional konkret, dan operasional formal.
Kelompok anak usia 8-11 tahun termasuk dalam
tahapan operasional konkret. Pada tahapan
operasional konkret, anak sudah mulai bisa menalar
secara logis tentang kejadian-kejadian nyata dan
mampu mengklasifikasikan suatu objek ke dalam
kelompok yang berbeda-beda. Kemampuan
menggolong-golongkan sudah ada, tetapi si anak
belum bisa memecahkan problem-problem secara
abstrak. Kelompok anak usia 12-15 tahun termasuk
dalam tahapan operasional formal. Pada tahapan
operasional formal, anak remaja berpikir secara
lebih abstrak, idealistis, dan logis. Jadi dari segi
kognitif, anak usia 8-15 tahun sebenarnya sudah
mampu memahami dan bernalar tentang kebersihan
rongga mulut, misalnya seperti menggolongkan
menyikat gigi dua kali dalam sehari tetapi masih
18%
76%
6%
Baik
Sedang
Buruk
14,300%
85,700%
0%
Baik
Sedang
Buruk
50%40%
10%
Baik
Sedang
Buruk
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 79 - 82
82
tidak bisa memecahkannya atau melakukannya
secara ideal. Pedoman level kebersihan rongga
mulut dengan faktor usia yang biasa digunakan
pada anak normal tidak dapat disamakan dengan
anak retardasi mental. Pada anak normal usia
mentalnya sama atau lebih tinggi dari usia
kronologisnya. Pada anak retardasi mental, usia
mentalnya akan lebih rendah dari usia kronologis-
nya dan ini akan mempengaruhi perkembangan
kemampuan kognitif dan psikomotorik terutama
dalam hal menjaga kebersihan rongga mulut. 9,10
Berdasarkan teori Blum, status kebersihan
rongga mulut seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh empat faktor penting yaitu
keturunan, lingkungan (fisik maupun sosial
budaya), perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari
keempat faktor tersebut, perilaku memegang
peranan yang penting dalam mempengaruhi status
kebersihan rongga mulut secara langsung.
Berkaitan dengan teori di atas, maka frekuensi
menyikat gigi sebagai bentuk perilaku akan
mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan
rongga mulut. 11
Cara terbaik untuk mengeliminasi debris dan
dental plak adalah dengan menyikat gigi dengan
sikat gigi manual ataupun sikat gigi elektrik.
Frekuensi menyikat gigi yang kurang akan
menyebabkan tingginya kemungkinan oral
hyigiene yang buruk. Dari hasil formulir penelitian
diketahui bahwa rata-rata anak retardasi mental di
SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi
Kalimantan Selatan menyikat gigi sebanyak 2 kali
dalam sehari sehingga indeks kebersihan rongga
mulutnya tidak buruk. Hal ini sudah sesuai dengan
rekomendasi penyikatan gigi yang optimal yaitu 2
kali dalam sehari. 12,13
Peranan orang tua juga sangat mempengaruhi
dan diperlukan dalam menjaga kebersihan rongga
mulut pada anak retardasi mental. Dari hasil
formulir penelitian diketahui bahwa rata-rata orang
tua anak retardasi mental di SDLB C Dharma
Wanita mengajarkan dan mendampingi saat anak
menyikat gigi. Orang tua harus menanamkan
kedisiplinan dalam menjaga dan membersihkan
rongga mulut mengingat adanya keterbatasan dari
segi kognitif maupun psikomotorik pada anak
retardasi mental. 8,14
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa indeks kebersihan rongga
mulut pada anak retardasi mental di SDLB C
Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan
Selatan secara umum adalah sedang. Berdasarkan
jenis kelamin, indeks kebersihan rongga mulut
pada anak retardasi mental adalah baik untuk jenis
kelamin laki-laki dan sedang untuk jenis kelamin
perempuan. Berdasarkan tingkat usia, indeks
kebersihan rongga mulut pada anak retardasi
mental adalah sedang untuk tingkat usia 8-11 tahun
dan baik untuk kelompok usia 12-15 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chamidah AN. Pendidikan inklusif untuk anak
dengan kebutuhan khusus. Jurnal Pendidikan
Khusus 2010; 7 (2): 1-5.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman untuk tenaga kesehatan : Usaha
kesehatan sekolah di tingkat sekolah lanjutan.
Jakarta, 2001.
3. McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry
for the child and adolescent. 8th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier, 2004. hal. 540.
4. Salim SA. Retardasi mental, hubungannya
dengan praktek kedokteran gigi anak. Skripsi.
Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara. 2006.
5. Al-Qahtani Z, Wyne AH. Caries experience and
oral hygiene status of blind, deaf, and mentally
retarded female children in Riyadh, Saudi
Arabia. Odonto-Stomatologie Tropicale. Saudi
Med Journal 2004; 23 (3): 77-81.
6. Maulani C, Enterprise J. Kiat merawat gigi
anak : Panduan orang tua dalam merawat dan
menjaga kesehatan gigi bagi anak-anaknya.
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005. hal.
59-60.
7. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2010. hal. 91-97.
8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang
berisiko karies tinggi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.)
2005; 38 (3): 130-134.
9. Dewi SRP. Keadaan oral hygiene pada anak
cacat mental berdasarkan tingkat IQ. Skripsi.
Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara. 2003
10. Santrock JW. Psikologi pendidikan. Edisi 2.
Jakarta: Kencana, 2007. hal: 46-56.
11. Anitasari S, Rahayu NE. Hubungan frekuensi
menyikat gigi dengan tingkat kebersihan gigi
dan mulut siswa sekolah dasar negeri di
kecamatan Palaran kotamdya Samarinda
provinsi Kalimantan Timur. Maj. Ked. Gigi.
(Dent. J.) 2005; 38 (2): 88-90.
12. Jain M, Mathur A, Sawla L, et al. Oral health
status of mentally disabled subjects in India.
Journal of Oral Sciences 2009; 51 (3): 333-340.
13. Rodelo JJV, Solis CEM, Maupome G, Sanchez
AAV, Rojo LL, Viedas MVPL. Socioeconomic
and sociodemographic variables associated with
oral hygiene status in mexican schoolchildren
aged 6 to 12 years. J Periodontal 2007; 78 (5):
819.
14. Anggraeni A, Soelarso H, Martina L. Research
Report : Peran orang tua/pengasuh terhadap
prevalensi karies molar pertama rahang bawah
permanen pada anak-anak retardasi mental.
Dental Public Health Journal 2010; 2 (2):
Azzahra : Indeks Kebersihan Rongga Mulut
83
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
STABILITAS DIMENSI HASIL CETAKAN BAHAN CETAK ELASTOMER SETELAH
DISEMPROT MENGGUNAKAN SODIUM HIPOKLORIT
Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Elastomers often used to make impression. Impression procedures, making blood and
salivary attached to the impression, and could occur cross infection. Disinfect by spraying sodium hypochlorite
0,5% effectively killed microorganisms. Purpose: The purpose of this research was to determine dimension
stability changes that occur on a mold impression elastomer materials after sprayed using sodium hypochlorite
0,5% and mold impression elastomer without sprayed Methods: The method was an pure experimental study
with post test only with control group design, with simple random sampling consisted of 6 groups of treatment, 3
groups impression group elastomer were not sprayed for 5, 10, and 15 minutes as a positive control and
impression sprayed with sodium hypochlorite 0,5% after it left for 5, 10, and 15 minutes before cast filled with
gips stone. The obtain data were analyzed with one way anova test. Results: The results showed that
dimensional stability of each sample measured using digital caliper. Averaged diameter not sprayed 5 minute
45,93 mm, 10 minute 45,92 mm and 15 minute 45,92 mm while diameter sprayed sodium hypochlirte 0,5% 5
minute 46,18 mm, 10 minute 46,31 mm and 15 minutes 46,12 mm Conclusion: The conclusion from this
research showed significantly differences between dimension stability of the mold not sprayed and sprayed
sodium hypochlorite 0,5%.
Keywords: Dimension stability, elastomer, sodium hypoclorite, spray disinfect
ABSTRAK
Latar belakang: Elastomer merupakan bahan yang sering digunakan untuk pencetakan. prosedur
pencetakan ketika dilakukan, darah dan saliva menempel pada hasil cetakan. Melalui bahan cetak tersebut
dapat terjadi infeksi silang. Desinfeksi dengan penyemprotan sodium hypochlorite 0,5% efektif membunuh
bakteri Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui mengetahui perubahan stabilitas dimensi yang terjadi
pada hasil cetakan bahan cetak elastomer setelah disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5% dan hasil
cetakan elastomer tanpa penyemprotan. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni
dengan rancangan penelitian post test only with control group design, menggunakan rancangan acak
sederhana, terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok hasil cetakan elastomer tidak disemprot dengan
waktu 5, 10, dan 15 menit sebagai kontrol positif dan hasil cetakan yang disemprot sodium hypochlorite 0,5%
setelah itu dibiarkan selama 5, 10, dan 15 menit sebelum diisi gips stone. Data hasil penelitian dianalisis
menggunakan uji one way anova. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ukuran diameter tidak
disemprot 5 menit 45,93 mm, 10 menit 45,92 mm dan 15 menit 45,92 sedangkan yang di semprot sodium
hypochlorite 0,5% 5 menit 46,15 mm, 10 menit 46,31 mm dan 15 menit 46,12 mm. Kesimpulan: Berdasarkan
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara stabilitas dimensi cetakan
tidak disemprot dan disemprot sodium hypochlorite 0,5%.
Kata kunci: Stabilitas dimensi, elastomer, sodium hypoclorite, desinfeksi semprot
Korespondensi: Tommy Agustinus Ongo, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]
Laporan Penelitian
84
PENDAHULUAN
Bahan cetak elastomer merupakan bahan yang
sering digunakan di kedokteran gigi untuk
membuat cetakan yang akurat dan mampu
menghasilkan cetakan gigi, jaringan mulut serta
anatomi mulut yang diinginkan serta memiliki
dimensi yang stabil. 1 Elastomer adalah bahan cetak
yang bersifat elastis yang apabila digunakan dan
dikeluarkan dari rongga mulut, akan tetap bersifat
elastis dan fleksibel. Bahan ini diklasifikasikan
sebagai nonaqueous elastomeric impression
material oleh ANSI/ADA spesifikasi No. 19.
Biasanya digunakan untuk mencetak pembuatan
gigi tiruan sebagian lepasan, immediet denture, dan
crown, serta full denture yang diperlukan cetakan
yang akurat dan detail.8
Pada saat prosedur pengambilan cetakan
dilakukan, darah dan saliva akan menempel pada
hasil cetakan hal ini memungkinkan terdapat
berbagai mikroorganisme patogen dari rongga
mulut. Dokter gigi, asisten, dan laboran beresiko
untuk mengalami transmisi mikroorganisme
patogen tersebut yang dapat mengakibatkan
berbagai penyakit infeksi. Berdasarkan anjuran
ADA (American Dental Association),
membersihkan darah dan saliva dari hasil cetakan
menggunakan larutan desinfektan sebelum
dilakukan pengisian gips di laboratorium sangatlah
penting. Infeksi penyakit seperti herpes, hepatitis,
Tuberculosis (TBC), Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) dan lain-lain dapat menular
melalui bahan cetak. Cetakan harus dicuci dengan
air untuk menghapus debris, darah, dan saliva
karena berpotensi untuk infeksi dan penularan
mikroorganisme dari cetakan, sehingga harus
dilakukan desinfektan dengan cara yang sesuai. 1, 2
Desinfeksi dapat dilakukan dengan tindakan
fisik atau kimia. Tindakan fisik seperti dry heat
pada suhu 160° sampai 180°C selama 2 jam dan
wet steam pada suhu 121°C selama 15 menit
(autoclaving) dapat mengakibatkan kenaikan suhu
yang dapat menyebabkan kerusakan dalam cetakan.
Bahan cetak didesinfeksi menggunakan bahan
kimiawi sangat dianjurkan. Bahan kimiawi yang
paling sering digunakan adalah glutaraldehyde,
alkohol, solusi yodium, fenol sintetis, dan sodium
hypochlorite. Proses desinfeksi harus tepat, tetapi
tidak memilik efek yang merugikan untuk
kestabilan dimensi atau detail permukaan dari hasil
cetakan.3,4
Desinfeksi cetakan efektif dalam mengurangi
kemungkinan kontaminasi silang, pelaksanaan
desinfeksi cetakan di klinik gigi saat ini tidaklah
selalu dilakukan. Beberapa alasan jarangnya
dilakukan penyemprotan dan perendaman bahan
cetak dengan desinfektan karena dapat
menyebabkan hilangnya permukaan detail dan
akurasi dimensi cetakan, sebagian besar desinfektan
dapat menyebabkan iritasi pada kulit, Racun dari
desinfektan juga dapat mengakibatkan korosi dari
sendok cetak logam. 5
Pertimbangan yang harus tetap diperhatikan
dalam memilih teknik desinfeksi bahan cetak yang
akan dilakukan adalah pengaruh larutan desinfektan
terhadap stabilitas dimensi dan detail permukaan
bahan cetak, serta efek mematikan bakteri dan
mengurangi jumlah pertumbuhan bakteri. Lamanya
desinfeksi pada bahan cetak juga hal yang
berpengaruh pada saat dilakukan desinfeksi. Hal ini
menjadi pertimbangan para dokter gigi dalam
melakukan desinfeksi agar hasil cetakan yang
dihasilkan dapat memiliki tingkat keakuratan yang
tinggi.13
Cara efektif untuk mendesinfeksi bahan
cetakan tersebut adalah menggunakan larutan
desinfeksi selama 10-15 menit. Desinfeksi hasil
cetakan dapat dilakukan dengan menggunakan
penyemprotan atau perendaman. Teknik penyem-
protan dianggap sebagai metode yang efektif untuk
mengurangi terjadinya resiko imbibisi pada cetakan
dibandingkan dengan metode perendaman. Menurut
penelitian Cintia Iara (2011) terdapat perubahan
dimensi signifkan ketika menggunakan metode
perendaman dalam melakukan desinfeksi bahan
cetak elastomer. Berdasarkan aplikasi praktisnya,
desinfeksi dengan teknik penyemprotan dengan
menggunakan sprayer merupakan metode yang
paling efektif dan praktis. 4, 6, 8
Penyemprotan menggunakan sodium
hypochlorite 0,5% terbukti efektif untuk mencegah
infeksi silang yang disebabkan bakteri gram positif
dan negatif. Berdasarkan penelitian dari Santosh
(2011) dalam waktu 1 menit penyemprotan sodium
hypochlorite terjadi penurunan jumlah bakteri
100% pada bakteri jenis S. aureus and S. viridans
yang terdapat pada cetakan yang dihitung dengan
colony counter desinfeksi menggunakan
glutaraldehyde 2% juga menunjukan penurunan
jumlah bakteri 100% tetapi glutaraldehyde
mempunyai bau yang tidak enak dan dapat
mengakibatkan iritasi terhadap kulit, sodium
hypoclorite mudah didapat dibandingkan larutan
desinfektan yang lain serta memiliki efek
desinfektan bakterisidal, virusidal dan fungisdal.3
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
besarnya perubahan stabilitas dimensi yang terjadi
pada hasil cetakan bahan cetak elastomer jenis
silicon setelah disemprot larutan sodium
hypochlorite 0,5% dengan hasil cetakan elastomer
jenis silicon yang segera diisi dengan gips stone.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
penelitian eksperimental murni dengan post test
only design dengan rancangan acak lengkap
menggunakan 6 perlakuan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bahan cetak elastomer (exaflex-hidrophilic
Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer
85
vinyl polysiloxane), air, gips stone, dan larutan
sodium hypochlorite 0,5%. Alat penelitian yang
digunakan adalah master die (sesuai spesifikasi
ADA no. 19), rubber bowl dan spatula, glass plate,
spatula semen, kaliper digital, alat penyemprot,
sarung tangan, dan alat tulis.
Pertama yang dilakukan adalah menyediakan
die sebagai model untuk dicetak, bahan cetak
elastomer, larutan desinfektan sodium hypochlorite
0,5%. Bahan cetak diletakan pada glass plate
dengan rasio 1:1 base dan katalisnya. Pengadukan
dilakukan dengan gerakan memutar terlebih dahulu
menggunakan spatula semen. lanjutkan pengadukan
dilakukan dengan gerakan melipat sampai
warnanya menjadi homogen. bahan cetak diletakan
pada ring tube kemudian dilakukan pencetakan
pada master die sebagai model. Setelah bahan cetak
setting di bagi menjadi 2 kelompok, disemprot dan
tidak disemprot. Kelompok yang tidak di semprot
langsung dilakukan pengisian gips stone sedangkan
yang disemprot dlakukan penyemprotan sodium
hypochlorite 0,5% terlebih dahulu kemudian
dibiarkan selama 5, 10 dan 15 menit sebelum diisi
gips stone. Pengukuran dialakukan pada model die
hasil pencetakan.
Analisis data dilakukan secara statistik dengan
uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji homogenitas
varians Levene. dilanjutkan analisis parametrik
secara uji statistik ANOVA satu arah dengan
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian stabilitas dimensi hasil
cetakan bahan cetak elastomer jenis silicon
disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5%
dengan hasil cetakan elastomer jenis silicon tidak
disemprot terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Hasil Pengukuran Kelompok 5 Menit
Gambar 2. Hasil Pengukuran Kelompok 10 Menit
Gambar 3. Hasil Pengukuran Kelompok 15 Menit
Gambar 4. Hasil Selisih Pengukuran Antara
Cetakan yang Tidak Disemprot dan
Cetakan yang Disemprot Mengunakan
Sodium Hypochlorite 0,5%
Keempat diagram menunjukan adanya variasi
diameter pada die pada perlakuan yang ada. Rata–
rata perubahan diameter die pada cetakan yang
tidak disemprot waktu 5 menit 45,93 mm, diameter
rata-rata ± SD (45,93 ± 0,03464), perubahan
diameter die pada cetakan yang tidak disemprot
waktu 10 menit 45,92 mm diameter rata-rata ± SD
(45,92 ± 0, 02683), perubahan diameter die pada
cetakan yang tidak disemprot waktu 15 menit 45,92
mm diameter rata-rata ± SD (45,92 ± 0, 02345).
Perubahan diameter die yang terjadi pada 5 menit
penyemprotan 46,15 mm diameter rata-rata ± SD
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 83 - 88
86
(46,18 ± 0,08295), perubahan diameter die pada 10
menit penyemprotan 46,31 mm diameter rata-rata ±
SD (46,32 ± 0, 11675) dan penyemprotan diameter
die pada 15 menit penyemprotan 46,12 mm
diameter rata-rata ± SD (46,32 ± 0, 04278). Hasil
selisih antara cetakan yang disemprot dan tidak
disemprot menunjukan nilai rata-rata untuk
kelompok 5 menit 0,2686 mm diameter rata-rata ±
SD (0,2680 ± 0,09910) ,kelompok 10 menit 0,3860
mm diameter rata-rata ± SD (0,3860 ± 0,11238) dan
kelompok 15 menit 0,2020 mm diameter rata-rata ±
SD (0,2020 ± 0,5805).
Pengujian normalitas Shapiro-wilk dan
homogenitas varians Levene’s test. Hasil uji
normalitas Shapiro-wilk (n < 50) diperoleh nilai p
untuk ke 3 varian waktu 5 menit 0,542, 10 menit
0,069 dan 15 menit 0,256 menunjukan bahwa data
terdistribusi normal karena nilai p > 0,05. Hasil uji
homogenitas varians Levene menunjukkan varians
data yang homogen dengan nilai p = 0,613 (p >
0,05) menunjukan data homogen.
Hasil uji One way anova diperoleh nilai p =
0,026 (p < 0,05) yang berarti H1 diterima sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna pada cetakan yang tidak disemprot dan
disemprot menggunakan sodium hypochlorite
dengan waktu 5, 10 dan 15 menit. Hal ini artinya
bahwa penyemprotan sodium hypochlorite terhadap
hasil cetakan elastomer menyebabkan terjadinya
perubahan stabilitas dimensi hasil cetakan.
PEMBAHASAN
Pertimbangan yang harus tetap diperhatikan
dalam memilih teknik desinfeksi bahan cetak yang
akan dilakukan adalah pengaruh larutan desinfektan
terhadap stabilitas dimensi dan detail permukaan
bahan cetak, serta efek mematikan bakteri.
Lamanya desinfeksi pada bahan cetak juga hal yang
berpengaruh pada saat dilakukan desinfeksi. Hal ini
menjadi pertimbangan para dokter gigi dalam
melakukan desinfeksi agar hasil cetakan yang
dihasilkan dapat memiliki tingkat keakuratan yang
tinggi.14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat
dibuktikan bahwa terdapat perubahan dimensi yang
cukup besar pada penyemprotan bahan cetak
elastomer menggunakan larutan desinfektan pada
varian waktu 5 dan 10 menit dengan rata–rata
diameter die 46,18 mm dan 46,31 mm..10
Berdasarkan penelitian dari Santosh (2011)
dalam waktu 1 menit penyemprotan sodium
hypochlorite 0,5% terjadi penurunan jumlah bakteri
100% pada bakteri jenis S. aureus dan S. viridans
yang terdapat pada cetakan yang dihitung dengan
colony counter.3
Sodium Hypoclorite, merupakan salah satu
desinfektan yang tidak terlalu mahal dan selama ini
dikenal sebagai pemutih. Menurut The American
Dental Association (ADA) penggunaan sodium
hypoclorite lebih baik dibandingkan iodophor dan
phenols karena tidak merusak permukaan bahan
cetak serta lebih efektif untuk menghilangkan
bakteri. Sodium hypoclorite mempunyai efek
bakterisidal yang efektif terhadap bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif. Kelemahan sodium
hypoclorite tidak mampu berkontak dengan baik
pada permukaan kulit.13,14
Sodium hypoclorite termasuk golongan
halogenated yang oxygenating. Sodium hypoclorite
dalam larutan membentuk hypochlorus acid
(HOCl) dan oxychloride (OCl). Desinfektan ini
adalah larutan yang berbahan dasar klorin (Cl2).
Larutan ini merupakan desinfektan derajat tinggi
(high level desinfectants) karena sangat aktif pada
semua bakteri, virus, jamur, parasit, dan beberapa
spora. Bahan ini bekerja cepat atau fast acting,
sangat efektif melawan virus Hepatitis B (HBV)
dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (20).
Sodium hypoclorite mempunyai efek bakterisidal
yang efektif terhadap bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif. Kelemahan sodium
hypoclorite tidak mampu berkontak dengan baik
pada permukaan kulit.14
Sodium hypoclorite juga digunakan untuk
bahan irigasi saluran akar. Pemakaian sodium
hypoclorite juga efektif sebagai desinfektan dengan
konsentrasi 0,5% untuk merendam gigi tiruan
dianjurkan 10 menit setiap hari, walaupun pendapat
lainnya menyatakan larutan menyebabkan korosi
pada metal. Selain itu menyebabkan perubahan
dalam matriks interstitial pada struktur permukaan
sehingga terjadi efek pemutihan dan perubahan
warna lempeng akrilik.15
Sebuah survei yang dilakukan di Hong Kong
menunjukkan bahwa sodium hypoclorite
merupakan larutan desinfeksi bahan cetak yang
paling banyak digunakan dokter gigi swasta (73%),
diikuti oleh Glutaraldehyde (15%), alkohol (8%),
hydrogen peroxide (4%), dan selebihnya
menggunakan produk bermerk (8%).16 Teknik
penyemprotan dianggap sebagai metode yang
efektif untuk mengurangi terjadinya resiko imbibisi
pada cetakan. Berdasarkan aplikasi praktisnya,
desinfeksi dengan teknik penyemprotan dengan
menggunakan sprayer merupakan metode yang
paling efektif dan praktis bila jarak klinik dokter
gigi dengan laboratorium dental cukup jauh.13
Stabilitas dimensi bahan cetak elastomer juga
dipengaruhi oleh polimerisasi bahan cetak, reaksi
kimia yang terjadi pada bahan cetak, perubahan
suhu yang terjadi pada bahan cetak dan elastic
recovery yang tidak sempurna dari deformasi,
sementara faktor-faktor seperti desinfeksi bahan
cetak, waktu pengecoran dan teknik pencetakan
mempengaruhi keakuratan cetakan. Menurut
penelitian Farida dan Abolfazil salah satu alasan
terjadinya perubahan dimensi pada hasil cetakan
pada cetakan yang dilakukan desinfeksi terjadi
kontraksi ringan pada saat polimerisasi sehingga
Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer
87
terjadi perubahan volume pada hasil cetakan yang
didesinfeksi.1, 9
Semua hal yang mempengaruhi stabilitas
diemensi bahan cetak elastomer di atas saling
berhubungan satu sama lain, tetapi hal ini hanya
terjadi pada condensastion silicone dimana terjadi
penguapan alkohol pada hasil cetakan elastomer
yang mana etil alkohol merupakan reaksi
sampingan dari pengerasan condensation silicone
dan berat molekul alkohol lebih tinggi daripada air.
Selain itu, alkohol memiliki tekanan uap tinggi
sehingga membuat alkohol mudah menguap
mempengaruhi konsentrasi campuran pada bahan
cetak yang mempengaruhi stabilitas dimensi hasil
cetakan.1
Pengecoran dengan stone gips harus segera
dilakukan untuk memastikan keakuratan hasil
cetakan yang lebih tinggi. Elastic recovery pada
bahan cetak elastomer yang tidak sempurna juga
mempengaruhi perubahan dimensi sehingga
berbeda dengan yang tidak dilakukan desinfeksi.1, 11
Gambar 5.5 Reaksi Kimia Selama Pengerasan
Condensation Silicone
Bahan cetak yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis vinyl hydrophilic silicone yang
mempunyai sifat wettability yang lebih tinggi dari
bahan cetak silikon jenis hidrofobik. Ini
menjadikannya lebih mudah untuk berubah dimensi
apabila disemprot dengan larutan disinfektan hal
ini membuat bahan cetak tersebut menyerap larutan
desinfektan karena sifat wettability yang tinggi.
Wettability adalah satu sifat pergerakan air didalam
bahan silikon itu sendiri yang berguna jika bahan
cetak ini digunakan untuk mencetak daerah yang
basah dan lembut di dalam rongga mulut.12
Penguapan alkohol dari proses reaksi
sampingan dari elastomer jenis condesation silicone
ini mempengaruhi konsentrasi campuran bahan
cetak. Selain itu dengan adanya proses
penyemprotan desinfektan pada bahan cetak vinyl
hydrophilic silicone dengan sifat wettability yang
tinggi, membuat bahan cetak tersebut menyerap
larutan desinfektan sehingga terjadi perubahan
stabilitas dimensi pada bahan cetak. Disimpulkan
bahwa penyemprotan pada bahan cetak elastomer
dengan desinfektan sodium hipoklorit 0,5%
berpengaruh terhadap hasil cetakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cintia I, Oda C and Jose AN. Dimensional
Change of Elastomeric Materials after
Immersion in Disinfectant Solutions for
Different Times. Journal Contemp Dent Pract.
2011;12(4): 252-258.
2. Vidya BS, Mallika SS and Kamalakanth SK.
Infection Control in the Prosthodontic
Laboratory. Journal Indian Prosthodontic. 2001
; 7(2): 62-5.
3. Rahma PA. Menyelenggarakan Prosedur
Kontrol Infeksi Secara Sederhana. Dental &
Dental Jurnal. 2010; 2:17
4. Richard VN. Introduction to Dental Material.
3rd edition. Mosby Elsevier. London. United
Kingdom. 2007. p. 196-207.
5. Santosh D, Raghunath AP and Gangadhar SA.
Efficacy of Various Spray Disinfectants on
Irreversible Hydrocolloid Impression
Materials: An in vitro study. Indian Journal
Dentistry Res. 2011; 22 : 764-9
6. Abolfazli N and Kohsoltani M. The Effect Of
Disinfection by Spray Atomization on
Dimensional Accuray of Consideration
Silicone Impressions. Journal Dentiry Res
Clinnic Dentistry Prospect. 2010; 4(4): 124-
129.
7. Jian W, Qianbing W, Yonglie C and Yifan C.
A Self-Disinfecting Irreversible Hydrocolloid
Impression Material Mixed with Chlorhexidine
Solution. Angle Orthodontist. 2007;77;5: 894-
899.
8. Anusavice KJ. Philip’s Science of Dental
Materials. 11th Edition. New York : Elsevier
Science. 2003. p. 210-229.
9. Johnson GH, Lloyd AM, Ricardo S, Douglas
RV and Xavier Lepe. Clinical Trial
Investigating Success Rates for Polyether and
Vinyl Polysiloxane Impressions Made with
Full-arch and Dual-arch Plastic Trays. Journal
of Prosthetic Dentistry. 2010; 103(1): 15-24.
10. Jagger DC, Al Jabra O, Harrison A, Vowles
RW, Davis F and O’Sullivan DJ. The Effect of
A Range of Disinfectants on the Dimensional
Accuracy of Some Impression Materials.
Europe Journal Prosthodontic Restoration
Dentistry. 2004; 12 (4) :154-60.
11. Farida SS and Nader A. The Effect of
Disinfection by Spray Atomization on
Dimensional Accuracy of Condensation
Silicone Impressions. African Journal of
Biotechnology. 2011;10(71): 16078-16083.
12. Powers JM and Wataha JC. Dental Materials
Properties and Manipulation. 9th Ed. St Louis.
Mosby Elsevier. 2008. p. 186-195.
13. Febriani M dan Herda E. Pemakaian
Desinfektan pada Bahan Cetak Elastomer,
JITEKGI. 2009; 6(2): 41-4.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 83 - 88
88
14. Rhodes JS. Advanced Endodontics Clinical
Retreatment and Surgery. London. Taylor &
Francis Group. 2006; p. 130.
15. David ME. Perubahan Warna Lempeng Resin
Akrilik yang Direndam dalam Larutan
Disinfektan Sodium Hipoklorit dan
Klorhexidin. Dentistry Journal. 2005; 38(1):
36-40.
16. Siu KP and Millar BJ. Cross Infection Control
of Impressions: A Questionnaire Survey of
Practice Among Private Dentists in Hong
Kong. Hong Kong Dentistry Journal. 2006;
3(2): 89-93.
Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer
89
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
PERBANDINGAN KUAT REKAT RESIN KOMPOSIT PADA DENTIN DENGAN
SISTEM ADHESIF SELF ETCH
1 TAHAP (ONE STEP) DAN 2 TAHAP (TWO STEP)
Dewi Puspitasari
Bagian Dental Material, Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin-
Indonesia
ABSTRACT
Background : Composite resin could bonded well with dental structure because of adhesive system.
The development of adhesive systems are increased and focused on a simpler application procedures, shorter
work time and does not cause dentin sensitivity during restorative treatment. Last adhesive systems that have
come to the sixth and seventh generation known as the self-etch adhesive systems. Self-etch adhesive system is
divided into two step and one step. Both are different in the application procedure. Purpose :The purpose of this
study was to compare the bond strength between1 step and 2 step self etch adhesive systems. Methods : 16
specimens of dentin premolars, divided into 2 groups. Group I : application of Clearfil SE Bond primer for 20
seconds then application of Clearfil SE Bond bonding for 10 seconds, and polymerization with light for 10
seconds. Composite resin was applied incrementally and polymerization for 20 seconds . Group II : application
of Clearfil S3 Bond ( primer and bonding in 1 bottle) for 20 seconds and then polymerization with light for 10
seconds. The bond strength was tested with Testing Machine and analyzed using the unpaired t test. Results:The
bond strength mean value of composite resin using 2 step self etch adhesive system is 10.93 MPa and 1 step self
etch adhesive system is 10.12 MPa. There is no significant difference between the bond strength of composite
resins using 2 step and 1 step self etch adhesive system. Conclusion : Self- etch adhesive systems can provide
good bond strength between composite resin to denti . There is no significant difference between the bond
strength of composite resins using 2 step and 1 step self etch adhesive system
Keyword : shear bond strength, self etch adhesive system, dentin
ABSTRAK
Latar belakang : Resin komposit dapat berikatan dengan struktur gigi melalui sistem adhesif.
Perkembangan sistem adhesif semakin pesat dan tertuju pada prosedur aplikasi yang lebih sederhana, waktu
kerja yang semakin singkat dan tidak menyebabkan sensitifitas dentin selama perawatan restorasi. Sistem adhesif
yang terakhir telah sampai pada generasi keenam dan ketujuh yang dikenal sebagai sistem adhesif self etch.
Sistem adhesif self etch terbagi menjadi dua tahap dan satu tahap, keduanya berbeda pada prosedur aplikasi.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kuat rekat antara sistem adhesif self ech 1 tahap
dengan 2 tahap. Metode: 16 spesimen dentin dari mahkota gigi premolar, dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok I: aplikasi primer Clearfil SE Bond selama 20 detik kemudian aplikasi bonding Clearfil SE Bond
selama 10 detik dan polimerisasi dengan sinar selama 10 detik. Resin komposit diaplikasikan secara inkremental
dan polimerisasi selama 20 detik. Kelompok II: aplikasi Clearfil S3 Bond (primer dan bonding bergabung dalam
1 botol) selama 20 detik kemudian polimerisasi dengan sinar selama 10 detik. Kuat rekat diuji menggunakan
Testing Machine dan dianalisa dengan uji T tidak berpasangan. Hasil : Nilai rerata kuat rekat komposit resin
yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap adalah 10,12 MPa dan sistem adhesif self etch 2 tahap adalah
10,93 MPa .Tidak ada perbedaan bermakna antara kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif
self etch 1 tahap dengan 2 tahap. Kesimpulan : Sistem adhesif self etch dapat menghasilkan kekuatan ikatan
antara resin komposit dengan dentin yang dapat diterima secara klinis. Tidak ada perbedaan bermakna antara
kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap.
Kata kunci : kuat rekat geser, sistem adhesif self etch, dentin.
Laporan Penelitian
90
Korespondensi :
Dewi Puspitasari. Bagian Dental Material, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran No. 128 B, Banjarmasin KalSel. Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Penggunaan restorasi komposit resin secara
klinis semakin meningkat dan menjadi restorasi
estetik yang paling banyak digunakan saat ini. 1
Resin komposit tidak dapat berikatan secara alami
dengan struktur gigi sehingga diperlukan suatu
bahan adhesif agar resin komposit dapat berikatan
baik dengan struktur gigi, ikatan ini diperoleh
melalui ikatan secara mikromekanik dengan
menggunakan sistem adhesif atau bonding system.2
Pemakaian bahan adhesif di bidang
kedokteran gigi dimulai pada tahun 1955 oleh
Buonocore yang melaporkan penggunaan asam
fosfor 85% untuk meningkatkan retensi resin
akrilik pada enamel.3, 4 Pada dasarnya prinsip
adhesi resin komposit adalah keterpautan secara
mikromekanik (mechanical interlocking), yaitu dari
resin tags yang dihasilkan oleh infiltrasi monomer
resin pada mikroporositas dari permukaan email
yang telah dietsa. Selanjutnya sistem adhesif
dikembangkan lebih jauh yaitu ke dentin yang
didalamnya terdapat serat-serat kolagen. Perbedaan
struktur pada email dan dentin berpengaruh
terhadap efektivitas sistem adhesif.5, 6 Keberhasilan
adhesi pada enamel dengan nilai kuat rekat yang
tinggi tidak dapat dicapai setara pada dentin. Dentin
memiliki kandungan air dan organik lebih tinggi
dibandingkan email, hal inilah yang membuat
dentin lebih sulit berikatan dengan sistem adhesif
dibandingkan enamel.7 Berdasarkan prosentase
berat, enamel mempunyai komposisi mineral yaitu
96% berupa hidroksi apatit dan sisanya adalah
bahan organik dan air. Dentin mempunyai
komposisi 70 % mineral (kristal apatit), 18%
berupa komponen organik yaitu kolagen tipe 1 dan
protein non kolagen sedangkan 12% merupakan
air.6, 8 komposisi ini menyebabkan email
mempunyai sifat umum yang kering, sedangkan
dentin bersifat lembab, sehingga material adhesif
harus bersifat hidrofilik untuk dapat berikatan baik
dengan dentin. Resin komposit mempunyai sifat
menonjol yaitu hidrofobik, sehingga komposisi
sistem adhesif harus terdiri dari monomer resin
hidrofobik dengan hidrofilik.5, 6.
Awalnya perkembangan sistem adhesif
mengarah pada tindakan pengangkatan smear layer
saat mengetsa dentin dan kemudian dilakukan
pembilasan, sistem ini disebut sebagai sistem
adhesif total etch. Kemudian berkembang lagi
dengan cara mempertahankan atau memodifikasi
smear layer dan tanpa pembilasan, sistem ini
disebut sebagai sistem adhesif self etch. Sistem
adhesif self etch pada generasi keenam disebut juga
sistem adhesif two step self etch (2 tahap),
selanjutnya tahapan aplikasi lebih disederhanakan
menjadi sistem 1 tahap (satu botol) yang disebut
sebagai one step self etch, namun tetap
menggunakan kombinasi monomer resin hidrofobik
dan hidrofilik dan nilai kekuatan ikatan pada dentin
dalam kisaran yang dapat diterima secara klinis.6, 9-
11 Sistem adhesif self etch makin diminati karena
lebih banyak memberikan keuntungan
dibandingkan total etch yaitu dapat mengurangi
sensitifitas gigi paska operatif, jumlah aplikasi yang
lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat. 12
Sistem adhesif one step self etch merupakan
penemuan terakhir teknik aplikasi sistem adhesif
pada penumpatan gigi menggunakan resin
komposit. Sistem ini menggabungkan teknik etsa,
pemberian monomer hidrofilik atau primer dan
adhesif pada struktur gigi dalam 1 tahap prosedur
aplikasi sehingga tahapannya makin singkat.11
Adanya penggabungan komponen-komponen
adhesif apakah akan mempengaruhi kekuatan
ikatan resin komposit pada dentin. Penelitian ini
bertujuan untuk membandingkan kekuatan ikatan
(kuat rekat) resin komposit yang menggunakan
sistem adhesif self etch 1 tahap (one step) dan 2
tahap (two step).
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah eksperimental
laboratoris. Subyek penelitian adalah gigi premolar
yang berasal dari pasien berusia 20-30 tahun dan
telah dicabut karena indikasi perawatan ortodonti,
tidak terdapat karies, retak dan fraktur pada
mahkota. Jumlah spesimen yang digunakan adalah
16 gigi yang dibagi menjadi 2 kelompok. Material
adhesif dan komposit resin yang digunakan,
komposisi dan prosedur aplikasinya tertera pada
tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan Prosedur Aplikasi dari
Material adhesif dan Komposit Resin
Bahan Pabrik Komposisi Prosedur
aplikasi
Clearfil
SE
Bond
Kuraray Primer+ Etsa :
10-MDP,
HEMA,
hydrophilic
dimethacrylate,
photoinitiator,
air (01225A)
Bonding: 10-
MDP, HEMA,
Bis-GMA,
hydrophobic
dimethacrylate,
-Aplikasi
primer (20
detik)
-Semprot
udara
ringan (5
detik)
-Aplikasi
bonding
(10 detik)
-Semprot
udara
Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit
91
photoinitiator,
silanated
colloidal silica
ringan
selama 5
detik
-
Polimerisa
si dengan
sinar
selama 10
detik
Clearfil
S3
Bond
Kuraray Primer +Etsa +
Bonding :
10-MDP, Bis-
GMA, HEMA,
hydrophobic
dimetacrylate,
champorquinon
e, etil ethanol,
air, silanated
colloidal silica
-Aplikasi
selama 20
detik
-Semprot
udara
ringan
selama 5
detik
-
Polimerisa
si dengan
sinar
selama 10
detik
-Aplikasi
komposit
resin
Filtek
Z-350
3M
ESPE
Bis-GMA,
UDMA, BIS-
EMA,
nanosilica filler,
zirconia/silica
nanocluster
Aplikasi
dan
polimerisa
si selama
20 detik
Spesimen gigi premolar yang sesuai dengan
kriteria dan telah disetujui oleh komisi etik
direndam dalam larutan salin hingga saat digunakan
untuk pengujian. Akar gigi dipotong kemudian
mahkota gigi ditanam dalam resin dekoratif dengan
bagian bukal menghadap ke dasar mould,
permukaan bukal diasah hingga didapatkan
permukaan dentin dengan luas area diameter 3 mm
dengan menggunakan kertas silika karbida nomor
600 untuk menghasilkan ketebalan smear layer
yang seragam.13 Daerah yang akan diperiksa
ditandai dengan menggunakan matriks plastik yang
memiliki diameter sama dengan cetakan resin
akrilik self cured berbentuk silinder berukuran 3
mm dan tinggi 3 mm sebagai mould komposit resin,
matriks plastik diletakkan pada daerah dentin
kemudian di sekelilingnya diulas dengan cat kuku
berwarna merah untuk menandai daerah aplikasi
adhesif.
Kelompok I berjumlah 8 gigi merupakan
kelompok sistem adhesif self etch dua tahap
Clearfil SE Bond Kelompok II: berjumlah 8 gigi
merupakan kelompok sistem adhesif self etch satu
tahap Clearfil S3 Bond. Tahapannya adalah aplikasi
sistem adhesif sesuai petunjuk pabrik (tabel 1)
menggunakan microbrush dengan tekanan yang
dikendalikan sebesar 3 gram. Tekanan 3 gram
sebanding dengan tekanan kuas aplikator dengan
posisi kuas mendatar atau membentuk sudut 0º
pada permukaan dentin untuk menghasilkan kuat
rekat maksimal.14 Komposit resin nanofiller Filtek
Z-350 warna A3 diaplikasikan secara inkremental,
ditutup dengan mylar strip dan polimerisasi
menggunakan light curing LED MAX Hilux 450
(Benlioglu) dengan intensitas 600 mW cm-2 selama
20 detik. Selanjutnya spesimen direndam dalam
larutan saline dan disimpan dalam inkubator
dengan temperatur 37⁰C selama 24 jam. Seluruh
spesimen kemudian diuji kuat rekat geser
menggunakan Universal Testing Machine (UTM)
dengan beban maksimal 50 KgF dan kecepatan 0,5
mm/menit. Hasil yang diperoleh dihitung
menggunakan rumus SBS = F/ πr2 untuk
mendapatkan nilai kuat rekat geser (Shear Bond
Strength). Data selanjutnya dilakukan uji
normalitas data, bila data normal maka dapat
dilanjutkan dengan analisa statistik menggunakan
uji T tidak berpasangan.
Gambar 1. Bentuk spesimen dan pengujian
spesimen dengan uji kuat rekat geser.
HASIL
Pada uji normalitas data menggunakan
Saphiro Wilk didapatkan bahwa p > 0,05 maka
distribusi data adalah normal. Nilai kuat rekat
komposit resin pada dentin yang menggunakan
sistem adhesif self etch 1 tahap dan 2 tahap dapat
dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai rerata kuat rekat geser sistem adhesif
self etch dua tahap tidak berbeda bermakna dengan
self etch satu tahap.
Tabel 2. Rerata kuat rekat geser (MPa) komposit
resin dengan sistem adhesif self etch 2 tahap dan 1
tahap
n Rerata ±SD
(MPa)
Perbedaan
rerata
(95%CI)
p
Sistem
adhesif self
etch 2
tahap
8 10,93±1,31 0.81(0,88-
2,50)
0,32
Sistem
adhesif self
etch 1
tahap
8 10,12±1,81
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 89 - 94
92
Keterangan: Uji t tidak berpasangan;
p<0,05=bermakna
PEMBAHASAN
Sistem adhesif self-etch merupakan sistem
adhesif generasi keenam (terdiri dari dua tahap
aplikasi yang disebut two-step self-etching
adhesive) dan ketujuh (terdiri dari satu tahap
aplikasi yang disebut one-step self-etching
adhesive).15 Perkembangan sistem adhesif yang
terakhir lebih tertuju kepada aplikasi yang lebih
sederhana sehingga kemudian diperkenalkan sistem
adhesif self etch. Jumlah tahapan atau langkah
aplikasi yang berkurang dapat mengurangi periode
waktu manipulasi, kesalahan dalam aplikasi yaitu
tidak sesuai dengan standar prosedur (contohnya
seberapa basahkah dentin atau terlalu basah) dan
mengurangi terjadinya sensitifitas dentin setelah
perawatan karena etsa dari primer asam
menghasilkan demineralisasi yang dangkal dan
tanpa pembilasan.16 Sistem adhesif yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Clearfil SE Bond
merupakan sistem adhesif generasi keenam yang
terdiri dari dua tahap aplikasi sehingga disebut
sistem adhesif two-step self-etch, sedangkan
Clearfil S3 bond merupakan sistem adhesif generasi
ketujuh yang hanya memerlukan cukup sekali
aplikasi.7 Sistem adhesif self etch memiliki tahapan
aplikasi yang lebih sederhana dengan
menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu
kemasan sehingga dapat mengurangi periode waktu
manipulasi. Bahan etsa pada sistem adhesif self
etch menghasilkan demineralisasi yang superfisial
dan tidak perlu dibilas, hal ini menyebabkan smear
layer tetap dipertahankan dan menjadi bagian dari
lapisan hibrida sehingga meminimalkan sensitifitas
post operatif .16 Oleh karena tahap pembilasan tidak
dilakukan, proses etsa dapat berhenti karena proses
gugus asam berikatan dengan kalsium gigi sehingga
asam tersebut menjadi netral bersamaan dengan
infiltrasi monomer resin pada primer.17 Smear layer
terdiri dari bakteri, hidroksiapatit dan kolagen yang
terdenaturasi yang dihasilkan selama prosedur
preparasi. Smear layer yang dihilangkan oleh
bahan etsa dapat menyebabkan aliran cairan tubuli
dentin meningkat sehingga menyebabkan nyeri.18
Monomer asam yang bergabung dengan primer
dapat menembus smear layer dan mencapai dentin
yang kaya kalsium kemudian membentuk lapisan
hibrida yang terdiri dari fibril kolagen, smear layer
dan monomer resin adhesif. Clearfil SE Bond dan
Clearfil S3 Bond berbahan dasar monomer 10-MDP
(10-methacryloyloxy decyl dihydrogen phosphate).3
Monomer ini dianggap sebagai monomer standar
baku emas untuk bahan bonding self etch sehingga
menghasilkan interaksi kimia yang baik dengan
dentin.7, 19 Monomer MDP yang diaplikasikan pada
dentin akan membentuk garam MDP-kalsium.19
Interaksi inilah yang membuat kuat rekat komposit
resin ke dentin dianggap cukup tinggi mengingat
ikatan sistem adhesif dengan dentin lebih sulit
didapatkan bila dibandingkan dengan enamel. Oleh
karena itu sistem adhesif pada permukaan dentin
membutuhkan monomer hidrofilik untuk
menghasilkan kuat rekat yang tinggi.12
Pada penelitan ini kuat rekat resin komposit
pada kelompok sistem adhesif self etch 2 tahap
sebesar 10,93 MPa. Nilai rerata ini tidak berbeda
jauh dengan nilai rerata sistem adhesif self etch
Clearfil SE Bond pada penelitian Herenio dkk
(2011) sebesar 12,6 MPa.20 Nilai rerata kuat rekat
pada penelitian ini jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan penelitian Castro dkk (2003)
dengan sistem adhesif yang sama yang diuji dengan
kuat rekat tarik mikro (39 MPa). Hal ini disebabkan
oleh karena berbagai macam faktor salah satunya
luas area spesimen. Area permukaan
mempengaruhi secara signifikan kuat rekat pada
sistem adhesif self etch. Kuat rekat dihitung
berdasarkan beban hingga patah dibagi dengan area
dari permukaan bonding. Terdapat hubungan yang
berbanding terbalik antara kuat rekat dan area
permukaan. Kuat rekat spesimen dapat menjadi
lebih rendah dengan area yang semakin besar oleh
karena jumlah defek yang dihasilkan lebih besar.21
Castro menggunakan spesimen dentin dengan luas
area permukaan 1 mm dan rerata kuat rekat yang
dihasilkan (39 MPa) lebih besar dari hasil
penelitian ini. Nilai kuat rekat pada penelitian ini
sebanding dengan penelitian Braga dkk (2010)
yang menunjukkan bahwa nilai rerata kuat rekat
geser sistem adhesif self etch adalah sekitar 5-12
MPa, sedangkan kuat rekat tarik mikro bisa
mencapai 60 MPa. Meskipun uji kuat rekat mikro
dengan ukuran spesimen kurang dari 1 mm semakin
banyak diteliti tetapi uji kuat rekat makro masih
banyak digunakan dengan alasan mudah
dilaksanakan, membutuhkan peralatan yang
minimal dan persiapan spesimen minimal. 22
Kuat rekat resin komposit dengan
menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap
Clearfil S3 Bond adalah sebesar 10,12 MPa, nilai
ini tidak berbeda bermakna secara statistik dengan
nilai kuat rekat Clearfil SE Bond sebesar 10,93
MPa. Meskipun penelitian Knobloch dkk (2007)
melaporkan bahwa nilai kuat rekat sistem adhesif
Clearfil S3 Bond (16,5 MPa) lebih rendah daripada
Clearfil SE Bond (20,4 MPa) namun penelitian
yang lain juga menyatakan bahwa nilai kuat rekat
keduanya tidak jauh berbeda seperti halnya
penelitian Chaharom dkk (2011) yaitu 22,86 MPa
untuk Clearfil SE dan 22,13 MPa untuk Clearfil S3
Bond. 12, 23 Menurut Chaharom dkk (2011) hal ini
bisa dikaitkan dengan komposisi monomer yang
sama yaitu 10-methacryloyloxydecyl dihydrogen
phosphate (MDP).12 Secara klinis sistem 1 tahap
merupakan teknik yang lebih sederhana daripada
Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit
93
sistem adhesif self etch 2 tahap, sistem adhesif self
etch 1 tahap cenderung lebih hidrofilik, oleh karena
sifat hidrofiliknya adhesif ini dapat berperan
sebagai membran permeabel, menyerap sejumlah
air saat dipolimerisasi sehingga dapat menciptakan
saluran-saluran berisi air pada lapisan hibrida pada
jangka panjang, sehingga ketahanan jangka panjang
sistem adhesif ini perlu untuk diteliti lebih lanjut. 23
Nilai rerata kuat rekat yang bervariasi antara
peneliti menujukkan bahwa tidak hanya prosedur
uji yang kompleks tetapi juga sensitifitas dalam
pengerjaan dan manipulasi sistem adhesif dan resin
komposit, karena prosedur pengerjaan yang manual
maka harus lebih hati-hati dan dikendalikan. Begitu
pula juga spesimen gigi yang digunakan, faktor
usia, media dan waktu penyimpanan, kedalaman
dentin, variasi morfologi, derajad mineralisasi,
kekerasan mikro, ketebalan smear layer yang
dihasilkan dan modulus elastisitas dentin dapat
mempengaruhi kuat rekat adhesif dentin.24 Media
penyimpanan gigi dalam penelitian ini
menggunakan larutan saline, Jaffer dkk (2009) dan
Scherrer dkk(2010) menyatakan bahwa larutan
saline termasuk media yang efektif digunakan
sebagai media penyimpanan gigi karena tidak
mempengaruhi kuat rekat komposit resin.25, 26 Kuat
rekat dentin menurun dengan kedalaman dentin
yang semakin meningkat oleh karena kepadatan
tubuli dentin yang makin rendah, perbedaan
diameter tubuli disebutkan juga dapat
mempengaruhi kuat rekat.24
Kesuksesan secara klinis restorasi resin
komposit juga bergantung pada polimerisasi yang
sempurna. Polimerisasi yang tidak sempurna dapat
menurunkan sifat fisik dan mekanik restorasi resin
komposit dan sistem adhesif. Polimerisasi yang
optimal merupakan salah satu faktor penting untuk
memperoleh sifat fisik, sifat mekanis dan performa
klinis yang baik dari restorasi resin komposit.
polimerisasi paling efektif pad sistem adhesif dan
resin komposit paling efektif jika panjang
gelombang berada pada 460-480 nm, hal ini sama
dengan serapan cahaya yang diharapkan pada
fotoinisiator yaitu champorquinone.27 Penelitian ini
menggunakan light curing tipe LED dengan
panjang gelombang 440-490 nm dan intensitas
sinar 600 mW cm-2 yang telah dikaliberasi.
Meskipun nilai kuat rekat sistem adhesif self etch
tidak setinggi seperti pada sistem adhesif total etch,
sistem adhesif self etch menawarkan teknik aplikasi
yang lebih sederhana dan mempunyai tujuan utama
untuk mengurangi sensitifitas paska operatif serta
mengurangi waktu kerja prosedur aplikasi.28 Nilai
kuat rekat sistem adhesif self etch pada dentin
dalam kisaran yang dapat diterima secara klinis.6, 10
Sistem adhesif self etch memiliki tahapan
aplikasi yang lebih sederhana dengan
menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu
kemasan. Nilai kuat rekat sistem adhesif self etch
pada dentin dalam kisaran yang dapat diterima
secara klinis. Tidak ada perbedaan bermakna antara
kuat rekat komposit resin yang menggunakan
sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap
DAFTAR PUSTAKA
1. Karaarslan ES, Bulbul M, Yildiz E, Secilmis
A, Sari F, Usumez A. Effects of Different
Polishing Methods on Color Stability of Resin
Composites After Accelerated Aging. Dental
Materials Journal 2013;32(1):58-67.
2. Saraswathi MV, Jacob G, Ballal NV.
Evaluation of The Influence of Flowable Liner
and Two Different Adhesive Systems on The
Microleakage of Packable Composite Resin.
Journal of Interdisciplinary Dentistry
2012;2(2):98-104.
3. Perdigão J, Reis A, Loguercio AD. Dentin
Adhesion and MMPs: A Comprehensive
Review. Journal of Esthetic and Restorative
Dentistry 2013;25(4):219-41.
4. Perdigão J, Swift JR. Fundamental Concept of
Enamel and Dentin Adhesion. In: Roberson
TM, Heymann HO, Swift JR, editors.
Sturdevant’s Art and Science of Operatif
Dentistry. 4 ed. St Louis: Mosby Inc; 2002. p.
237 – 54.
5. Hashimoto M, de Gee AJ, Felizer AJ.
Polymerization contraction stress in dentin
adhesives bonded to dentin and enamel.
Dental Materials 2008;24:1304-10.
6. Perdigão J, Swift JR. Fundamental Concept of
Enamel and Dentin Adhesion. In: Roberson
TM, Heymann HO, Swift JR, editors.
Sturdevant’s Art and Science of Operatif
Dentistry. 4 ed. St Louis: Mosby Inc; 2002. p.
245 – 58.
7. Perdigão J. New Developments in Dental
Adhesion. Dent Clin N Am 2007;51:333-57.
8. Summit JB, Robins JW, Hilton TJ, Schwartz
RS. Fundamentals of Operative Dentistry: A
Contemporary Approach. 3 ed. Chicago,
USA: Quintessence Publishing; 2006. p. 183-
93.
9. Kugel G, Ferrari M. The Science of Bonding:
From First to Sixth Generation. J Am Dent
Assoc 2000;131(20S-25S).
10. Dunn JR. iBond™: The seventh generation,
one-bottle dental bonding agent. Compendium
2003;24(2):14-18.
11. Roberson TM, Heyman HO, Swift EJ. art and
science of Operative Dentistry. 5 ed: Mosby
Elsevier; 2006. p. 245-71.
12. Chaharom MEE, Ajami AA, Kimyai S,
Abbasi A. Effect of Chlorhexidine on the
Shear Bond Strength of Self-Etch Adhesives
To Dentin. African Journal of Biotechnology
2011;10(49):10054-57.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 89 - 94
94
13. Hiraishi N, Yiu CKY, King NM, Tay FR.
Effect of 2% Chlorhexidine on Dentin
Microtensile Bond Strengths and Nanoleakage
of Luting Cements. Journal of Dentistry
2009;37:440–48.
14. Jaya F, Triaminingsih S, Soufyan A, Eriwati
YK. Shear bond strength of self-adhering
flowable composite on dentin surface as
aresult of scrubbing pressure and duration.
Media Dental Journal 2012;45(3):167-71.
15. Christensen GJ. Has the ‘Total Etch’ Concept
Disappeared? J Am Dent Assoc 2006;137:817-
20
16. Albaladejo A, Osorio R, Toledano M, Ferrari
M. Hybrid Layers of Etch and Rinse versus
Self-Etching Adhesive Systems. Med Oral
Patol Oral Ci Bucal 2010;15(1):112-18.
17. Prasad M, Mohamed S, Nayak K, Shetty SK,
Talapaneni AK. Effect of moisture, saliva, and
blood contamination on the shear bond
strength of brackets bonded with a
conventional bonding system and self-etched
bonding system J Nat Sc Biol Med
2014;5:123-9.
18. Perdigão J. Dentin bonding-Variables related
to the clinical situation and the substrate
treatment. Dental Materials 2010;26:e24–e37.
19. Feitosa VP, Pomacóndor-Hernández C,
Ogliari FA, Leal F, Correr AB, Sauro S.
Chemical interaction of 10-
MDP(methacryloyloxi-decyl-dihydrogen-
phosphate) in zinc-doped self-etch adhesives.
Journal of Dentistry 2014;42:1-7.
20. Herênio SS, Carvalho NMP, Lima DM.
Influence of chlorhexidine digluconate on
bond strength durability of a self-etching
adhesive system. RSBO 2011;8(4):417-24.
21. Vanajasan P P, Dhakshinamoorthy M, V.
SRC. Factors affecting the bond strength of
self-etch adhesives: A meta-analysis of
literature. J Conserv Dent 2011;14:62-7.
22. Braga RR, Meira JBC, Boaro LCC, Xavier
TA. Adhesion to tooth structure: A critical
review of “macro” test methods. dental
materials 2010;26:e38-e49.
23. Knobloch LA, Gailey D, Azer S, Johnston
WM, Clelland N, Kerby RE. Bond strengths
of one- and two-step self-etch adhesive
systems. J Prosthet dent 2007;97:216-22.
24. Tulunoglu O, Tulunoglu I. Resin-dentin
interfacial morphology and shear bond
strengths to primary dentin after long-term
water storage: An in vitro study. Quintessence
International 2008;39(5):427-37.
25. Jaffer S, Oesterle LJ, Newman SM. Storage
media effect on bond strength of orthodontic
brackets. Am J Orthod Dentofacial Orthop
2009;136(1):83-6.
26. Scherrer SS, Cesar PF, Swain MV. Direct
comparison of the bond strength results of the
different test methods: A critical literature
review. Dental Materials 2010;26:e78–e93.
27. Malhotra N, Mala K. Light-curing
considerations for resin-based composite
materials: a review. Part I. Compend Contin
Dent Educ 2010;31(7):498-505.
28. Kerby RE, Knobloch LA, N C. Microtensile
bond strength of one step and self etching
adhesive sistem. Operative Dentistry
2005;30(2):195-200.
Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit
95
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
STUDI DESKRIPSI KELAINAN JARINGAN PERIODONTAL
PADA WANITA HAMIL TRIMESTER 3
DI RSUD ULIN BANJARMASIN
Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Women often experience hormon instability, one of the main causes of pregnancy. In the
period of pregnancy, the hormonal increasing of estrogen and progesterone occurs. Both of hormones are
reacting to periodontal system such as gingivitis or inflammatory gingival. Gingivitis of pregnancy usually
occurs in the second or third months of pregnancy. Purpose: This research aimed to know the clinical features
of pregnancy periodontal system disorder in third trimester. Methods: This research was using some descriptive
observations. The data had been taken by using purposive sampling from a whole of pregnancy third trimester
women in obstetric poly RSUD ULIN Banjarmasin who qualified the criteria of inclusion and exclusion. Patients
had been done anamnesis, clinical examination, and then clinically diagnosed by seeing periodontal system
disorder such as form of gingivitis pregnancy and epulis gravidarum. Result: All of 61 sample patients had been
found gingivitis, pregnancy system disorder as much as 10 patients or 16,4% as a housewife, 8 patients or
13,1% with as student of high school, 8 patients or 13,1% who had once partus, 11 patients or 18,9% with
history of never had miscarriage before, 15 patients or 24,6% with history of never had preterm birth, and 13
patients or 19,7% with most amount average income are 1,5 - 5 million. Conclusion: The result of descriptive
study of women's pregnancy in third trimester periodontal system disorder at RSUD ULIN Banjarmasin showed
16 patients or 26% experience periodontal system disorder such as gingivitis pregnancy.
Keywords: Gingivitis, pregnancy, periodontal, third trimester
ABSTRAK
Latar Belakang : Wanita sering mengalami ketidakstabilan hormon, salah satu pencatus kehamilan.
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut
berpengaruh terhadap jaringan periodontal seperti gingivitis atau inflamasi gingival. Gingivitis kehamilan atau
gingivitis gravidarum biasanya terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 kehamilan. Tujuan : tujuan penelitian ini
adalah mengertahui gambaran klinis kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3 di RSUD
Ulin Banjarmasin. Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode deskriftif observasi. Data diambil
secara purposive sampling dari seluruh wanita hamil trimester 3 di poli kandungan RSUD Ulin Banjarmasin
yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pasien dilakukan anamnesa, pemeriksaan secara klinis, kemudian
didiagnosa klinis dengan melihat kelainan jaringan periodontal berupa gingivitis kehamilan dan epulis
gravidarum. Hasil Penelitian : Dari 61 pasien sampel penelitian maka hanya diperoleh kelainan gingivitis
kehamilan, yaitu 10 orang pasien (16,4%) dengan riwayat pekerjaan terbanyak adalah Ibu Rumah Tangga
(IRT). 8 orang pasien (13,1%) dengan riwayat pendidikan terbanyak adalah SMA, 8 orang pasien (13,1%)
dengan riwayat melahirkan terbanyak sebanyak 1 kali melahirkan. 11 orang pasien (18,9%) dengan riwayat
belum pernah mengalami keguguran sebelumnya, 15 orang pasien (24,6%) dengan riwayat belum pernah
melahirkan premature sebelumnya, dan 13 orang pasien (19,7%) dengan jumlah rata-rata penghasilan
terbanyak adalah 1,5-5juta rupiah. Kesimpulan : Hasil penelitian studi deskripsi kelainan jaringan periodontal
pada wanita hamil trimester 3 di RSUD Ulin Banjarmasin sebesar 16 orang pasien atau 26,2% yang mengalami
kelainan jaringan periodontal berupa gingivitis kehamilan.
Kata Kunci : Gingivitis, Ibu Hamil, Periodontal, Trimester 3.
Laporan Penelitian
96
Korespondensi: Putri Dwi Andriyani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Dewasa ini perhatian masyarakat terhadap
kesehatan wanita selama masa kehamilan semakin
meningkat, tetapi kesehatan gigi dan mulut
seringkali terlewat dari perhatian. Kurangnya
perhatian terhadap kesehatan rongga mulut pada
saat kehamilan terkait adanya anggapan bahwa
kehamilan tidak ada hubungannya dengan keadaan
rongga mulut.1 Wanita sering sekali mengalami
ketidakstabilan hormon. Salah satu faktor penyebab
ketidakstabilan hormon adalah kehamilan.
Kehamilan menyebabkan peningkatan hormon
estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut
dapat berpengaruh terhadap jaringan periodontal
seperti gingivitis atau inflamasi gingiva.2,3,4
Gingivitis merupakan salah satu kelainan
periodontal yang sering ditemui. Gambaran klinis
gingivitis yang disebabkan oleh plak yaitu tepi
gingiva yang berwarna kemerahan sampai merah
kebiruan, pembesaran kontur gingival\ karena
adema dan mudah berdarah saat ada stimulasi
seperti saat makan serta menyikat gigi.5 Gingivitis
juga dapat disebabkan karena faktor sistemik seprti
adanya ketidakstabilan hormon yang dialami wanita
pada masa pubertas, menstruasi, dan kehamilan.6
Gingivitis pada wanita hamil disebut gingivitis
gravidarum atau gingivitis kehamilan.4,6 Respon
inflamasi gingivitis kehamilan menjadi berlebihan
terhadap faktor iritasi lokal yang relativ sedikit.2,7
Kehamilan bukan merupakan etiologi utama
gingivitis, tetapi gingivitis akan terjadi jika terdapat
faktor iritasi lokal seperti bakteri plak dan faktor
lainya seperti peningkatan hormon estrogen dan
progesteron. Gingivitis tergantung pada tingkat
kebersihan mulut pasien serta peran hormon
estrogen dan progesteron pada jaringan
periodontal.2,6
Gingivitis kehamilan atau gingivitis
gravidarum biasanya terjadi pada bulan ke-2 dan
ke-3 masa kehamilan, biasanya pada minggu 8.
Puncak keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa
kehamilan atau kehamilan pada minggu 32,
kemudian menurun pada bulan ke-9 masa
kehamilan seiring dengan menurunnya kadar
hormon dalam tubuh.2,6,8 Beberapa studi
menyatakan bahwa efek perubahan hormonal akan
mempengaruhi kesehatan gigi wanita hamil sebesar
60% dengan 10-27% mengalami pembengkakan
gusi.9 Persatuan Dokter Gigi Indonesia mencatat
radang gusi merupakan masalah mulut dan gigi
yang sering menimpa ibu hamil dimana 5-10% nya
mengalami pembengkakan gusi.1 Penelitian
Apriasari dan Irnamanda dilakukan selama bulan
Januari – Juni 2012 di RSUD Banjarbaru
didapatkan hasil total sampel 53 orang dengan
jumlah pasien tanpa penyakit periodontal 33 orang,
pasien dengan gingivitis gravidarum 16 orang dan
pasien dengan epulis gravidarum 4 orang.1
Data penyakit periodontal khususnya wanita
hamil di kota Banjarmasin belum ada. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
angka kelainan jaringan periodontal khususnya
gingivitis gravidarum dan epulis gravidarum pada
wantita hamil trimester ke-3 di RSUD ULIN
Banjarmasin.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
observasional. Data diambil dari anamnesa dan
pemeriksaan klinis yang dilakukan terhadap pasien
poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin yang
datang untuk kontrol kehamilan rutin. Subjek pada
penelitian ini adalah para wanita hamil trimester ke-
3 di poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin
yang datang untuk kontrol kehamilan rutin pada
Mei – Agustus 2013 dan bersedia menjadi subjek
penelitian. Kriteria inklusi yaitu wanita hamil
trimester ketiga di poli kandungan RSUD ULIN
Banjarmasin dan kooperatif. Kriteria ekslusi antara
lain memiliki penyakit sistemik, memiliki kondisi
malnutrisi, dan mengkonsumsi obat tertentu.
Populasi yang digunakan dalam penelitian
adalah pasien wanita hamil trimester ke-3 yang
melakukan kontrol di poli kandungan RSUD ULIN
Banjarmasin. Subjek penelitian adalah seluruh
wanita hamil trimester ke-3 di poli kandungan
RSUD ULIN Banjarmasin dating dengan keluhan
pada gingival pada Mei- Agustus 2013. Variabel
penelitian adalah kelainan jaringan periodontal
pada wanita hamil trimester ketiga. Pengumpulan
data diawali dengan pengisian informed consent,
kemudian anamnesa dan pemeriksaan klinis intra
oral. Data kemudian dicatat dan dianalisa.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang diperoleh didapat pasien
yang normal sebesar 73.8% atau 45 orang,
menderita gingivitis kehamilan (gingivitis
gravidarum) sebesar 26,2% atau 16 orang, dan
pasien yang menderita tumor kehamilan (epulis
gravidarum) sebesar 0% atau tidak ada. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 5.1. Hal ini
menunjukkan bahwa angka kejadian gingivitis
kehamilan (gingivitis gravidarum) di RSUD Ulin
Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal
97
Banjarmasin masih cukup rendah yaitu tidak
dengan mencapai setengah dari total pasien
meskipun prosentase pasien yang normal masih
lebih tinggi.
. Gambar 5.1. Kelainan jaringan periodontal pada wanita
hamil trimester 3 di RSUD Ulin
Banjarmasin bulan Juni-Agustus 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5
pasien PNS diperoleh 2 orang (40%) yang
menderita gingivitis kehamilan (gingivitios
gravidarum) dan 3 orang (60%) lainnya normal.
Pasien yang bekerja dibidang swasta dari jumlah 15
orang diperoleh 4 orang (6.6%) yang menderita
gingivitis kehamilan (gingivitis gravidarum) dan 11
orang (18%) lainnya normal. Pasien yang menjadi
ibu rumah tangga dari jumlah 41 orang diperoleh 10
orang (16,4%) yang menderita gingivitis kehamilan
(gingivitis gravidarum) dan 31 orang (50,8%)
lainnya normal.
Gambar 5.2. Pekerjaan ibu hamil trimester 3 dengan
resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal.
Hasil penelitian menujukkan pasien dengan
ststus pendidikan SMP dari jumlah 11 orang
diperoleh 5 orang (45,5%) yang menderita
gingivitios kehamilan dan 6 orang (54,5%) lainnya
normal. Pasien dengan ststus pendidikan SMA dari
jumlah 38 orang diperoleh 8 orang (21,1%) yang
menderita gingivitis kehamilan dan 30 orang
(78,9%) lainnya normal. Pasien dengan status
pendidikan D3 dari jumlah 2 orang diperoleh (0%)
atau tidak ada yang menderita gingivitis kehamilan
atau normal. Pasien dengan ststu pendidikan S1 dari
jumlah 10 orang diperoleh 3 orang (30%) yang
menderita gingivitis kehamilan dan 7 orang (70%)
lainnya normal dan tidak ada yang menderita
epulis gravidarum dari tiap-tiap penghasilan ibu
hamil trimester 3.
Gambar 5.3. Pendidikan ibu hamil trimester 3 dengan
resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan jumlah penghasilan keluarga 0-1,5 juta dari
jumlah 7 orang diperoleh 3 orang (42,9%) yang
menderita gingivitis kehamilan dan 4 orang
(57.1%) lainnya normal. Pasien dengan jumlah
penghasilan keluarga 1,5-5 juta dari jumlah 49
orang diperoleh 12 orang (24,5%) yang menderita
gingivitis kehamilan dan 37 orang (75,5%) lainnya
normal. Pasien dengan jumlah penghasilan keluarga
5-10 juta dari jumlah 5 orang diperoleh 1 orang
(20%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 4
orang (80%) lainnya normal dan tidak ada yang
menderita epulis gravidarum dari tiap-tiap
penghasilan ibu hamil trimester 3.
Gambar 5.4. Rata-rata jumlah penghasilan dengan resiko
terjadinya kelainan jaringan periodontal pada
wanita hamil trimester 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
yang belum pernah melahirkan dari jumlah 26
orang diperoleh 2 orang (7,7%) yang menderita
gingivitis kehamilan dan 24 orang (92,3%) lainnya
normal. Pada pasien yang pernah melahirkan satu
kali dari jumlah 24 orang diperoleh 8 orang
0
20
40
60
Normal Gingivitis EpulisGravidarum
Jum
lah
Ora
ng
Keadaan Jaringan Periodotal
02468
1012
PNS Swasta Ibu RumahTangga
Jum
lah
Ora
ng
Pekerjaan
0
2
4
6
8
10
SMP SMA D3 S1
Jum
lah
Ora
ng
Pendidikan
0
5
10
15
Rp. 0-1.5juta
Rp. 1.5-5juta
Rp. 5-10juta
Jum
lah
Ora
ng
Penghasilan Rata-rata
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 95 - 101
98
(33,3%) yang menderita gingivitis kehamilan dan
16 orang (66,7%) lainnya normal. Pada pasien yang
pernah melahirkan dua kali dari jumlah 9 orang
diperoleh (44,4%) atau 4 orang yang menderita
gingivitis kehamilan dan 5 orang (25,6%) lainnya
normal. Pada pasien yang pernah melahirkan tiga
kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%)
yang menderita gingivitis kehamilan dan lainnya
normal. Pada pasien yang pernah melahirkan empat
kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%)
yang menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada
yang mengalami epulis gravidarum dari tiap-tiap
wanita hamil trimester 3 yang pernah melahirkan
dan maupun yang belum pernah melahirkan.
Gambar 5.5. Riwayat melahirkan dengan resiko
terjadinya kelainan jaringan periodontal pada
wanita hamil trimester 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
pasien yang belum pernah keguguran dari jumlah
55 orang diperoleh 11 orang (20%) yang menderita
gingivitis kehamilan dan 44 orang (80%) lainnya
normal. Pasien yang pernah mengalami keguguran
satu kali dari jumlah 5 orang diperoleh 4 orang
(80%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 1
orang (20%) lainnya normal. Pasien yang pernah
mengalami keguguran dua kali atau lebih dari
jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%) yang
menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada yang
mengalami epulis gravidarum dari tiap-tiap jumlah
keguguran pada wanita hamil trimester 3.
Gambar 5.6. Riwayat keguguran dengan resiko terjadinya
kelainan jaringan periodontal pada wanita
hamil trimester 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
pasien yang tidak pernah melahirkan bayi prematur
dari jumlah 60 orang diperoleh 15 orang (25%)
yang menderita gingivitis kehamilan dan 45 orang
(75%) lainnya normal. Pada pasien yang pernah
melahirkan bayi prematur satu kali dari jumlah 1
orang diperoleh 1 orang (100%) yang menderita
gingivitis kehamilan dan tidak ada yang mengalami
epulis gravidarum berdasarkan tiap-tiap riwayat
pasien yang belum maupun pernah melahirkan
premature pada wanita hamil trimester 3.
Gambar 5.7. Riwayat melahirkan prematur dengan resiko
terjadinya kelainan jaringan periodontal
pada wanita hamil trimester 3
PEMBAHASAN
Gingivitis kehamilan merupakan suatu
keadaan klinis berupa pembengkakan gingiva yang
diakibatkan karena faktor hormonal yaitu
peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang
terjadi pada wanita yang berada pada masa
kehamilan.3,7 Adanya peningkatan hormon tersebut
menyebabkan gingiva menjadi lebih rentan
terhadap serangan bakteri yang terdapat dalam
akumulasi plak.1,6,8 Terdapat dua teori yang
mengemukakan tentang pengaruh hormon terhadap
sel pada jaringan periodontal yaitu terjadinya
perubahan efektifitas ketahanan epitel terhadap
serangan bakteri dan terganggunya pembentukan
kolagen yang baru.1,3 Efek peningkatan hormon
estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan
proliferasi selular dalam pembuluh darah,
menurunkan proses keratinisasi dan meningkatkan
epitelial glikogen. Hormon progesteron
menyebabkan peningkatan vasodilatasi, dan
permeabilitas pembuluh darah, peningkatkan
proliferasi pembuluh darah kapiler baru pada
gingiva, menghambat pembentukan kolagen dan
menurunkan plasminogen aktivator inhibitor tipe 2
sehingga terjadi peningkatan proteolitik jaringan.
Efek kombinasi kedua hormon tersebut dapat
0
2
4
6
8
10
BelumPernah
1 Kali 2 Kali 3 Kali 4 Kali
Jum
lah
Ora
ng
Riwayat Melahirkan
0
5
10
15
BelumPernah
1 Kali 2 Kali
Jum
lah
Ora
ng
Riwayat Keguguran
0
5
10
15
20
Belum Pernah 1 Kali
Jum
lah
Ora
ng
Riwayat Melahirkan Prematur
Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal
99
mempengaruhi substansi dasar jaringan ikat karena
adanya peningkatan cairan serta meningkatnya
konsentrasi saliva dengan adanya peningkatan
konsentrasi serum.1 Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan di Amerika prevalensi terjadinya
gingivitis kehamilan bervariasi antara 67-100%.4
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mencatat
gingivitis (radang gusi) merupakan masalah gigi
dan mulut yang sering menimpa ibu hamil dengan
5-10%-nya mengalami pembengkakan gingiva.5
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan angka
kejadian gingivitis di RSUD Ulin Banjarmasin
bulan Juni-Agustus sebanyak 16 pasien atau sebesar
26,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian
gingivitis kehamilan di RSUD Ulin Banjarmasin
adalah ‘sedang’ atau ‘rendah’ karena tidak melebihi
setengah dari total sampel.
Pekerjaan tidak mempengaruhi terjadinya
kelainan jaringan gingiva karena faktor utama
terjadinya gingivitis kehamilan bukan hanya karena
kehamilan. Hal ini didukung dengan faktor lainnya
seperti kesehatan ibu hamil itu sendiri dan keadaan
rongga mulutnya. Pada wanita hamil trimester ke-3
biasanya mereka sudah mengistirahatkan diri
mereka di rumah dan mempersiapkan diri untuk
melakukan persalinan. Wanita hamil tetap dapat
bekerja namun aktivitas yang dijalaninya tidak
boleh terlalu berat. Istirahat untuk wanita hamil
dianjurkan sesering mungkin. Seorang wanita hamil
disarankan untuk menghentikan aktivitasnya
apabila mereka merasakan gangguan dalam
kehamilan seperti perdarahan dari kemaluan atau
keram hebat di perut. Pekerjaan yang membutuhkan
aktivitas fisik berat, berdiri dalam jangka waktu
lama, pekerjaan dalam industri mesin, atau
pekerjaan yang memiliki efek samping lingkungan
(misalkan limbah) harus dimodifikasi. Pada
minggu-minggu akhir kehamilan, tanda-tanda
permulaan persalinan harus diketahui oleh wanita
hamil tersebut sehingga akan lebih waspada apabila
muncul tanda-tanda persalinan.15,16,17
Pendidikan tidak ada hubungannya dengan
kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil.
Hal ini berdasarkan pengetahuan ibu hamil tentang
bagaimana cara menjaga rongga mulutnya pada saat
mengandung, semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin banyak pengetahuan yang
mereka dapat sehingga, mereka bisa lebih waspada
dan lebih bisa menjaga keadaan rongga mulut dan
kandungannya. Ibu yang mempunyai tingkat
pendidikan yang tinggi tidak menjamin tidak
menderita gingivitis kehamilan.16,17
Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil di
Iran (2008) didapatkan hanya 5,6% sampel yang
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, 30%
sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan dan
34,4% sampel yang memiliki tindakan kesehatan
yang baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan
wanita hamil terhadap pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut akan menyebabkan terjadinya penyakit
gigi dan mulut.17,18
Rata-rata jumlah penghasilan bukan
merupakan faktor penyebab terjadinya kelainan
jaringan periodontal, apabila ibu hamil dalam
keadaan sosial yang tinggi bukan berarti tidak
beresiko terkena gingivitis. Ibu hamil dengan
keadaan sosial ekonomi yang rendah bukan berarti
beresiko terkena gingivitis lebih besar. Hal ini
disebabkan ada beberapa faktor lain yang
berpengaruh, tergantung pola hidup, asupan gizi
yang diperlukan saat hamil.16,17,18
Ibu hamil yang pernah melahirkan cenderung
memiliki resiko terjadinya kelainan periodontal
seperti gingivitis gravidarum pada kehamilan
berikutnya dibandingkan dengan ibu hamil yang
belum pernah melahirkan apabila kesehatan rongga
mulutnya tidak ditingkatkan. Hal ini karena ada
beberapa faktor yang mendukung terjadinya
inflamasi di gingiva, pengaruh hormon, pola hidup,
dan usia yang semakin bertambah, wanita yang
hamil di atas usia 28 tahun resiko terjadinya
gingivitis kehamilan itu lebih besar, karena itu salah
satu faktor pendukung terjadinya gingivitis
kehamilan di kehamilan berikutnya.16,18
Penelitian Offenbacher dkk menemukan
bahwa kadar PGE2 (prostaglandin E2) lebih tinggi
pada wanita yang melahirkan bayi dengan
keguguran. Patogen periodontal yang ditemukan
pada wanita hamil, yaitu B. forsythus, P. Gingivalis,
T. denticola dan A. Actinomyecetemcomitans. Hal
ini menunjukkan adanya hubungan antara penyakit
periodontal dengan keguguran. Penyakit
periodontal disebabkan oleh bakteri anaerob gram
negatif. Toksin dari bakteri ini berupa endotoksin /
lipopolisakarida (LPS), yang akan mencapai uterus
melalui aliran darah dan merangsang respon
inflamasi jaringan periodontal. Proses ini akan
menimbulkan bakterimia. LPS akan memicu
mediator inflamatori pada organ sistemik dan
jaringan periodontal, terutama sitokini, tumor
nekrosis faktor (TNF-α), interleukin (IL-1ß), dan
prostaglandin (PGE2) yang dapat mempengaruhi
kehamilan. Mediator ini dapat membahayakan unit
fetoplasenta dengan menimbulkan kontraksi otot
rahim dan dilatasi leher rahim. Keadaan ini
meningkatkan resiko keguguran.3,8,10,17
Menurut penelitian yang dilakukan di Padang
tahun 2011 hubungan antara kehamilan dan
penyakit di rongga mulut dapat terlihat dari
insidensi penyakit periodontal selain karena angka
insiden yang cukup tinggi juga berkaitan dengan
hasil beberapa penelitian mengenai efek penyakit
periodontal pada kehamilan. Wanita yang memiliki
bayi prematur dan berat badan yang relatif rendah
biasanya memiliki kondisi kesehatan periodontal
yang lebih buruk dibandingkan dengan bayi berat
badan normal.9,14,17 Efek hormon pada masa
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No1. Maret 2014 : 95 - 101
100
kehamilan hanya bersifat sementara, karena
gingivitis kehamilan ini dapat mereda pada akhir
masa kehamilan.9 Gingivitis gravidarum sering
terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan,
dengan manifestasi awal terlihat pada minggu ke-8.
Puncak keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa
kehamilan atau kehamilan pada minggu ke-32,
kemudian menurun pada bulan ke-9 masa
kehamilan seiring dengan menurunnya kadar
hormon dalam tubuh.1,6,8,10 Hal tersebut yang
menyebabkan gejala klinis gingivitis gravidarum
lebih sering ditemukan pada pasien trimester ke-3
masa kehamilan daripada pasien trimester pertama.2
Radang pada jaringan periodontal jarang
mendapat perhatian dari penderita karena gejalanya
yang tidak terlalu mengganggu.1,15 Pada saat hamil,
terjadi peningkatan jumlah hormon estrogen dan
progesteron, dan peningkatan vaskularisasi
menyebabkan pembuluh darah gingiva lebih
permeabel dan sensitif dalam menerima respon
terhadap iritan lokal seperti plak, kalkulus, dan
karies.14 Jika ini terjadi, bakteri pada plak dapat
menembus aliran darah secara hematogen,
menyerang plasenta, sehingga plasenta memberi
mekanisme perlawanan dengan meningkatkan
kadar hormon prostaglandin yang mengakibatkan
kontraksi uterus meningkat dan menginduksi
kelahiran kurang bulan (prematur).13
Penelitian yang dilakukan oleh Jeffcoat di
America (2001) menunjukkan bahwa ibu dengan
periodontitis kehamilan memiliki risiko kelahiran
bayi prematur dengan berat badan lahir rendah
sebesar 4,45-7,07 kali lebih tinggi dari ibu dengan
periodontal sehat.17 Ibu hamil dengan gingivitis
memiliki faktor resiko terjadinya bayi lahir dengan
berat badan rendah. Hal ini seperti penelitian yang
dilakukan Retnoningrum pada tahun 2006 di rumah
sakit Dr. Kariadi Semarang, yang melaporkan
bahwa gingivitis pada ibu hamil mempunyai faktor
resiko bayi lahir dengan berat badan lahir rendah
sebesar 8,75 kali dibanding ibu yang tidak
mengalami gingivitis. Catatan PDGI yang
diterbitkan tahun 1996 menunjukkan 7 dari 10
perempuan hamil yang menderita radang gusi
berpotensi besar memiliki anak yang lahir
premature dengan berat badan lahir rendah. Data
tersebut diperkuat Survei Kesehatan Nasional tahun
2002 yang menyebutkan bahwa 77% ibu hamil
yang menderita radang gusi melahirkan bayi secara
prematur.8,9
Infeksi bakteri pada jaringan periodontal
dengan kondisi rongga mulut yang buruk pada ibu
hamil dapat mempermudah proses patogenik dari
bakteri dan produknya. Proses ini terjadi melalui
jalur hematogen yang selanjutnya akan
mempengaruhi janin. Pada masa kehamilan akan
terjadi perubahan keseimbangan flora normal
rongga mulut dan perubahan hormonal yang dapat
mempengaruhi kondisi rongga mulut.10 Selama
kehamilan, terjadi perubahan pH saliva, pH cairan
gingiva dan aktivitas hormon perempuan hamil
dalam cairan gingiva yang akan mempengaruhi
perkembangan plak dengan dominasi bakteri
anaerob.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Apriasari MA. dan Hasbullah DP. Prevalensi
Gingivitis dan Epulis Gravidarum pada Wanita
Hamil Trimester ke-tiga di RSUD Banjarbaru
(Januari-Juni 2012). Departemen Penyakit
Mulut. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi.
2012;1(1):129-135
2. Caranza FA. Newman MG. and Takei HA.
Clinical Periodontology. St. Louis Missouri :
Sauders. 10th ed. 2002. p16-67, 212-520
3. Pirie M. Linden G. and Irwin C. Dental
Manifestation of pregnancy. The obstetrician
and gynecologist. 2007;(9):21-26
4. Kanotra SS. Pai KM. Dental Consideration in
Pregnancy : review. Rev. clin. Pesq. Odontal.
2010;6(2):161-162
5. Lafaurie G.I. Gingival Tiddue dan Pregnancy.
Directur Oral Basic Research Unit. University
El-Basque. 2009;(10):101-112
6. Mercuschamer E, Hawley CE. and Speckman
Israel. A lifetime of normal hormonal event
and their impact on periodontal health.
Perinatol Repord Hum. 2009;23(2):53-64
7. Jared H. and Boggess KA. Periodontal Disease
and Adverse pregnancy Outcomes: a review of
the Evidence and implication for clinical
practice. The journal of dental hygiene.
2008;1(1):3-8
8. Diana D. Pengetahuan, sikap, dan perilaku
wanita hamil pengunjung poliklinik obstetry
dan ginekalogi RSU dr. pringadi medan
terhadap kesehatan gigi dan mulut selama masa
kehamilan. Skripsi kedokteran gigi. Medan :
Universitas Sumatera Utara. 2009. Hal6-15
9. Santoso P. Mekanisme hubungan periodontitis
dan bayi premature berat lahir rendah. Jurnal
Kedokteran Gigi Indonesia. 2006:1(2):23-28
10. Hartati N, Suratiah, Mayunilga O. Ibu Hamil
dan HIV AIDS. Jurnal Ilmiah Keperawatan.
Jakarta. 2009;1(2):39-44
11. Suresh L. and Radfar L. Pregnancy and
lactation. Oral Surg Oral Med Oral Patho
Radio Endod. 2004;97(6):672-680.
12. Langlais RP. and Miller CS. Atlas Berwarna
kelainan rongga mulut yang lazim. Jakarta :
Hipokrates. 2000. Hal26-27
13. Agueda, A., Echeverria, A. and Manau, C.
Association between periodontitis in pregnancy
and preterm or low birth weight. Journal Of
Clinical Periodontology, 2008;35(10);16-22.
14. Hasibuan, S. Perawatan dan pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut pada masa
Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal
101
kehamilan. Skripsi Kedokteran Gigi. Medan :
Universitas Sumatera Utara. 2004 hal10-14
15. Affandi, R. Perawatan gigi dan mulut pada
keadaaan kehamilan. Bagian Gigi Mulut.
Jurnal Kedokteran Gigi. 2006;11(2);9-15.
16. Manter M. 2005. Pregnancy and oral health
modules. Mid-Iowa Foundation: Delta Dental
of Iowa. Pp.3-11Moeis,FE. PDGI Online :
Meneropong Penyakit melalui Gigi, (Online),
http://www.pdgionline.com/v2/index.php?optio
n=com_content&task=view&id=800&
Itemid=1 (diakses 26 Desember 2011)
17. Offenbacher S. Jared HL. O’Reilly PG. Wells
SR. Salvi GE. Lawrence HP. Potential
pathogenic mechanism of periodontitis
associated pregnancy complication. Ann
Periodontol. 1998;l3(2):233-47.
18. Hajikazemi ES, Oskouie F, Mohseny S,
Nikpour S, Haghany H. The relationship
between knowledge, attitude, and practice of
pregnant women about oral and dental care.
European Journal of Scientific Research. 2008;
24(4): 556-62.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 95 - 101
102
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
HUBUNGAN PELAKSANAAN UKGS DENGAN STATUS KESEHATAN GIGI DAN
MULUT MURID SEKOLAH DASAR DAN SEDERAJAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CEMPAKA PUTIH KOTA BANJARMASIN
Rosihan Adhani, Ringga Setiawan, Bayu Indra Sukmana, Teguh Hadianto
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACK
Background: UKGS is a program of oral health services that provide promotive, preventive, curative,
and rehabilitative for school-age children in the target schools in order to get a healthy generation. UKGS
program running since 1951, but the dental health status at age 12 is still not satisfactory. Results of
RISKESDAS in 2007, the prevalence of caries in Indonesia is 67.2 %, the prevalence of active caries at age 12 is
29.8 %, 36.1 % caries experience, RTI is 62.3 %, and only 0.7% of PTI. Purpose: The purpose of this study was
to determine the relationship of implementation UKGS and the oral health status of pupils in Cempaka Putih
Local Health Clinic. Methods: This type of research was an analytic survey with cross sectional approach.
Samples totaling 121 students were taken by using purposive sampling, 10 teachers of UKGS Supervisors, and 1
dentist. Data obtained from interviews and analysis of index examination of DMF-T PUFA, OHIS, and CPITN.
Results: The results of this study for tooth defect was relatively at low levels, caries-free rate was low, the level
of oral hygiene is classified as good and the level of periodontal health is good.Conclusion: The results of the
analysis with the Fisher exact test with aconfidence level of 95% indicated there was no significant relationship
between UKGS program implementation and the oral health status of pupils (p >0.05).
Keywords: UKGS, DMF-T PUFA, OHIS, and CPITN.
ABSTRAK
Latar Belakang: UKGS adalah program pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang memberikan
pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi anak usia sekolah di lingkungan sekolah binaan
agar mendapatkan generasi yang sehat. Program UKGS berjalan sejak 1951, tetapi status kesehatan gigi pada
usia 12 tahun masih belum memuaskan. Hasil RISKESDAS tahun 2007, prevalensi karies di Indonesia adalah
67,2%, prevalensi karies aktif umur 12 tahun 29,8%, pengalaman karies 36,1%, RTI 62,3%, dan PTI hanya
0,7%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pelaksanaan program UKGS dengan
status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin.Metode:Jenis
penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 121
murid diambil dengan teknik purposive sampling, 10 guru Pembina UKGS, dan 1 dokter gigi. Data yang
diperoleh dari hasil wawancara dan analisis pemeriksaan indeks DMF-T PUFA, OHIS, CPITN.Hasil: Hasil
penelitian untuk tingkat kerusakan gigi tergolong rendah, angka bebas karies masih rendah, tingkat kebersihan
mulut tergolong baik dan sedang dan tingkat kesehatan jaringan periodontal tergolong baik.Kesimpulan: Hasil
analisis dengan uji Fisher exact dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukan tidak terdapat hubungan antara
pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas
Cempaka Putih Banjarmasin (p > 0,05).
Kata-kata kunci: UKGS, DMF-T PUFA, OHIS, dan CPITN.
Laporan Penelitian
103
Korespondensi: Ringga Setiawan, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]
PENDAHULUAN
Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia
saat ini masih sangat memprihatinkan, perlu
perhatian serius dari tenaga kesehatan. Hasil studi
morbiditas Studi Kesehatan Rumah Tangga -
Survei Kesehatan Nasional 2001, dari prevalensi
sepuluh kelompok penyakit yang dikeluhkan
masyarakat, penyakit gigi dan mulut di urutan
pertama dengan prevalensi 61%, diderita oleh 90%
penduduk Indonesia dan 89% anak di bawah umur
12 tahun.1,2Sebesar 62,4% penduduk terganggu
sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86
hari per tahun.3Karies gigi dan penyakit periodontal
dapat dicegah melalui kebiasaan memelihara
kesehatan gigi dan mulut sejak dini dan secara
kontiniu.4Hasil National Oral Health Survey
(NOHS) tahun 2006 di Filipina, 97,1% anak
sekolah dasar umur 6 tahun dan 78,4% anak umur
12 tahun mengalami karies, dan hampir 50%
menderita infeksi odontogenic dengan karies yang
mencapai pulpa, ulserasi, fistula dan abses
(PUFA).5
Status kesehatan gigi dan mulut usia 12 tahun
merupakan indikator utama pengukuran
pengalaman karies gigi yang dinyatakan dengan
indeks Decay Missing Filling Tooth(DMF-T).
World Health Organization dalam
HealthforAllbytheYear2000 menargetkan pada
tahun 2000 sebanyak 50% anak usia 5 - 6 tahun
bebas karies, hingga saat ini target tersebut belum
tercapai.6World Health Organization tahun 2001
menetapkan Oral Health Global Indicator for year
2015, skor Decay Missing Filling Tooth (DMF-T)
pada usia 12 tahun<3. Target nasional indeks
Decay Missing Filling Tooth (DMF-T)rata-rata ≤ 2,
target Oral Higiene Index Simplify(OHI-S)rata-rata
adalah ≤ 1,2 dan indeks Community Periodontal
Index of Treatment Needs(CPITN) ≥ 3
sekstan.7Oleh karena itu, dibutuhkan upaya
pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada
jenjang yang lebih awal.7
Agar target pencapaian gigi sehat WHO
tercapai, dibutuhkan perhatian dan penanganan
serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi
maupun perawat gigi serta suatu tindakan
pencegahan.8Pencegahan ditujukan kepada murid
sekolah melalui suatu program kesehatan yang
terencana dan terpadu di sekolah dasar.9,12Langkah-
langkah tindakan pencegahan menurut Leavel dan
Clark terdiri atas lima tingkat pencegahan (five
level of preventive) dalam melakukan pendidikan
kesehatan yaitu health promotion, specific
protection, early diagnosis and promp treatment,
disability limitation, and rehabilitation.10
Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan
gigi pada anak adalah program Usaha Kesehatan
Gigi Sekolah (UKGS), yaitu salah satu program
pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas
dan dibawahi oleh program Usaha Kesehatan
Sekolah. UKGS memberikan pelayanan dalam
bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
yang ditujukan bagi anak usia sekolah di
lingkungan sekolah binaan agar mendapatkan
generasi yang sehat.9Program UKGS berjalan sejak
tahun 1951, tetapi status kesehatan gigi pada usia
12 tahun masih belum memuaskan.11Hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007
(DepKes), prevalensi karies di Indonesia adalah
67,2%. Prevalensi karies aktif umur 12 tahun
sebesar 29,8%, pengalaman karies sebesar 36,1%,
Required Treatment Index(RTI) 62,3%, dan
Performed Treatment Index(PTI) hanya sebesar
0,7%. Standar Pelayanan Minimal bidang
Kesehatan Kabupaten/Kota Permenkes RI No.
741/Menkes/Per/VII/2008 menunjukkan bahwa
cakupan penjaringan kesehatan murid SD dan
sederajat sebesar 100% pada tahun 2010. Indeks
Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) di
Kalimantan Selatan umur 12 tahun sebesar 1,17.
Prevalensi karies aktif sebesar 39, 6% dan
pengalaman karies sebesar 49,2% dengan Required
Treatment Index(RTI) sebesar 61,17% dan
Performed Treatment Index(PTI) sebesar 1,66%.
Banjarmasin merupakan kota yang menerima
perawatan atau pengobatan dari tenaga medis yang
tinggi tetapi masalah gigi dan mulutnya juga masih
cukup tinggi.12,13Tujuandari penelitian ini adalah
untuk menganalisa hubungan antara pelaksanaan
program UKGS dengan status kesehatan gigi dan
mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka
Putih Kota Banjarmasin tahun 2013.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
Survey Analitik dengan pendekatan Cross
Sectional.Bahan yang digunakan adalah alkohol
70%.Alat yang digunakan adalah kapas, tisu, alat
diagnostik,sarung tangan, masker, senter kecil,
probe WHO, formulir informed concent, lembar
penilaian indeks (DMF-T PUFA, OHIS, dan
CPITN), alat tulis, lembar kuisioner. Populasi pada
penelitian ini adalah semua murid di sepuluh
sekolah dasar negeri dan sederajat dalam wilayah
kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin
tahun ajaran 2013/2014. Pengambilan sampel
dilakukan secara purposive sampling, total sample
sebanyak 121 murid dengan kriteria inklusinya
adalahbersedia dijadikan sampel dalam penelitian,
murid kelas VI berusia 12 tahun, gigi permanen
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
104
lengkap (kecuali gigi molar ketiga),dan kriteria
eksklusinya adalahmemiliki riwayat penyakit
sistemik, mamakai peranti orthodontik.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah pelaksanaan program Usaha Kesehatan Gigi
Sekolahdan status kesehatan gigi dan mulut yaitu
karies gigi, oral hygiene dan kesehatan periodontal
murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun
ajaran 2013 - 2014. Pengumpulan data kegiatan
UKGS dilakukan di Puskesmas yang diperoleh
dengan melakukan wawancara terhadap dokter gigi
dan di sekolah dengan melakukan wawancara
terhadap kepala sekolah, wali kelas, atau guru
olahraga.Data status kesehatan gigi dan mulut
diperoleh dengan memeriksa rongga mulut semua
sampel untuk melihat status kerusakan gigi, status
kebersihan mulut, status kesehatan jaringan
periodontal.Dalam hal ini, indeks kerusakan gigi
yang dipakai adalah indeks yang diperkenalkan
oleh Wim Van Palenstein yaitu indeks DMF-T
PUFA.Rumus menghitung DMF-T PUFA= jumlah
gigi decay + missing + filling + pulp involvmet +
ulcerative + abscess.
Kategori DMF-T menurut WHO yaitu sangat
rendah = 0,0 – 1,1, rendah = 1,2 – 2,6 , sedang =
2,7 – 4,4 , tinggi = 4,5 – 6,5, sangat tinggi = > 6,6.
Indeks kebersihan mulut yang digunakan adalah
menurut Green dan Vermillion, yaitu indeks Oral
Hygiene Simplified (OHI-S) yang merupakan
penjumlahan dari indeks debris dan indeks
kalkulus. Baik apabila skor = 0-1,2, sedang = skor
1,3-3 , dan buruk = skor 3,1-6.Index resmi untuk
mengukur kondisi jaringan periodontal serta
perkiraan kebutuhan perawatan adalah Community
Periodontal Index Treatment of Needs (CPITN)
dari WHO.Baik apabila sekstan gusi sehat >3,
sedang 2,1-2,9, buruk < 2.Analisis data yang
digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan
analisis bivariate dengan uji fisher exact.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada sekolah dasar
dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka
Putih Kota Banjarmasin pada bulan Agustus
2013.Hasil penelitianhubungan pelaksanaan
program UKGS dengan status kesehatan gigi dan
mulut murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah
kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin
tahun ajaran 2013 - 2014.Berikut ini merupakan
hasil penelitian hubungan pelaksanaan UKGS
dengan status kesehatan gigi dan mulut murid
sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun
2013-2014.
Usaha Kesehatan Gigi Sekolah
Kategori UKGS dikelompokkan menjadi
UKGS sangat aktif, UKGS aktif, UKGS kurang
aktif dan UKGS tidak aktif. Berdasarkan kategori
tersebut, maka data hasil penelitian dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Gambar 1 Kategori pengelompokkan sekolah
dalam pelaksanaan UKGS di wilayah
kerja Puskesmas Cempaka Putih
Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Tabel 1 Gambaran sekolah dalam
pelaksanaan UKGS di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin tahun 2013-2014.
Prosentase berdasarkan distribusi data pada
Tabel1 untuk kelompok dengan kategori UKGS
sangat aktif ada 8 sekolah (80%), kategori UKGS
aktif ada 2 sekolah (20%), dan tidak ada yang
masuk dalam kategori UKGS kurang aktif dan
UKGS tidak aktif (0%)
Hasil wawancara dengan dokter gigi
Puskesmas diperoleh cakupan sekolah yang
mendapat pelayanan UKGS tahap III memiliki
cakupan 100%.Wawancara dengan guru Pembina
UKGS di sepuluh sekolah dasar dan sederajat di
wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih mengenai
kegiatan UKGS yang dilaksanakan adalah
kunjungan petugas kesehatan ke sekolah (minimal
2 kali dalam satu tahun), pembinaan oleh lintas
sektor melalui tim pembina UKS Kecamatan, guru
yang mengikuti pelatihan UKGS/UKS, murid yang
0%
20%
40%
60%
80%
100%
UKGS
Sangat Aktif
UKGS Aktif UKGS
Kurang
Aktif
UKGS
Tidak Aktif
Perse
nta
se
UKGS
Kategori
UKGS
Cakupan Frekuensi (Sekolah)
Persen
Sangat Aktif
UKGS tahap III
- SDN Kebun Bunga 1 - SDN Kebun Bunga 3
- SDN Kebun Bunga 4
- SDN Kebun Bunga 5 - SDN Kebun Bunga 6
- SDN Kuripan 1
- SDN Kuripan 2 - SD Muhammadiyah 9
Aktif - SDN Kebun Bunga 9
- MI Sullamut Taufiq
Kurang
Aktif
- -
Tidak
Aktif
- -
Jumlah
Sekolah
10
DMF-T rata-rata = ∑D + ∑M + ∑F +∑P + ∑U + ∑F + ∑A
∑ orang yang diperiksa
Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS
105
mengikuti pelatihan dokter kecil, penyuluhan, sikat
gigi masal, pelayanan medik gigi dasar atas dasar
permintaan pada murid kelas I-VI (care on
demand), pelayanan medik gigi dasar kelas terpilih
sesuai kebutuhan untuk kelas I, III,dan IV, dan
rujukan bagi siswa yang membutuhkan perawatan.
Frekuensi kegiatan UKGSdilakukan 1 kali dalam
sebulan untuk kegiatan pelayanan medik gigi dasar
dan minimal 2x setahun untuk kegiatan lain.
Status Kesehatan Gigi dan Mulut
Status kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat
dari angka bebas karies, tingkat kerusakan gigi
(DMF-T PUFA), tingkat kebersihan mulut (OHIS)
dan tingkat kesehatan jaringan periodontal
(CPITN).
Gambar 2 Angka karies dan bebas karies murid
sekolah dasar dan sederajat di
wilayah kerja Puskesmas Cempaka
Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-
2014.
Angka bebas karies anak usia 12 tahun
berdasarkan distribusi data pada gambar 2 untuk
kategori UKGS sangat aktif ada 23 orang (23%)
dan yang mengalami karies ada 75 orang (77%).
Anak laki laki yang mengalami karies ada 38 orang
(39%) dan yang bebas karies ada 15 orang
(15%).Anak perempuan yang mengalami karies ada
37 orang (38%) dan yang bebas karies ada 8 orang
(8%). Angka bebas karies anak 12 tahun untuk
kategori UKGS aktif ada 4 orang (17%) dan yang
mengalami karies ada 19 orang (83%). Anak laki
laki yang mengalami karies ada 10 orang (43%)
dan yang bebas karies ada 2 orang (9%).Anak
perempuan yang mengalami karies ada 9 orang
(39%) dan yang bebas karies ada 2 orang (9%).
Tabel 2 Angka kerusakan gigi murid sekolah
dasar dan sederajat di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada Tabel
2diketahui bahwa rata-rata indeks kerusakan gigi
(DMF-T PUFA) murid sekolah dasar untuk
kelompok UKGS sangat aktif adalah 2,44 termasuk
dalam kategori WHO rendah dengan jumlah decay
sebanyak 169 (70%), missing 8 (3,5%), filling 13
(5,5%), pulp involvment 32 (13,5%), fistula 18
(7,5%), tidak tedapat ulcerative dan abscess.Untuk
kelompok UKGS aktif rata rata indeks DMF-T
PUFA adalah 2,17 termasuk dalam kategori WHO
rendah dengan jumlah decay sebanyak 31 (62%),
missing 1 (2%), filling 1 (2%), pulp involvment 12
(24%), fistula 5 (10%), tidak tedapat ulcerative dan
abscess.
Gambar 3 Tingkat kerusakan gigi murid sekolah
dasar dan sederajat di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada gambar 3
tingkat kerusakan gigi untuk kelompok UKGS
sangat aktif dengan kategori sangat rendah ada 39
orang (40%), kategori rendah ada 16 orang (16%),
kategori sedang ada 24 orang (25%), kategori tinggi
ada 14 orang (14%) dan kategori sangat tinggi ada
5 orang (5%). Untuk kelompok UKGS aktif tingkat
kerusakan gigi dengan kategori sangat rendah ada 9
orang (40%), kategori rendah ada 6 orang (26%),
kategori sedang ada 6 orang (26%), kategori tinggi
ada 1 orang (4%) dan kategori sangat tinggi ada 1
orang (4%).
Berdasarkan rata-rata indeks karies gigi
(DMF-T PUFA) sepuluh sekolah dan hasiluji fisher
(p = 0,359) maka dapat diketahuibahwatidak ada
hubungan antara pelaksanaan program UKGS
dengan status kerusakan gigi murid sekolah dasar. Kategori
OHI-S
UKGS Sangat
Aktif
UKGS Aktif
N Mean N Mean
DI- S 98 0.87 23 1.17
CI- S 98 0.31 23 0.28
OHI- S 98 1.17 23 1.45
Tabel 3 Gambaran oral higiene murid sekolah
dasar dan sederajat di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin tahun 2013-2014.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Karies Bebas KariesPer
sen
tase
(%
)
Gigi
UKGS
Sangat
AktifUKGS
Aktif
UKGS
Kurang
AktifUKGS
Tidak Aktif0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sangat
Rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat
tinggi
Per
sen
tase
(%)
DMF-T PUFA
UKGS
Sangat
AktifUKGS
Aktif
UKGS
Kurang
AktifUKGS
Tidak
Aktif
Kategori
DMF-T
PUFA
UKGS Sangat
Aktif
UKGS Aktif
Jumlah
(Gigi)
Mean Jumlah
(Gigi)
Mean
D 169 1.72 31 1.34
M 8 0.08 1 0.04
F 13 0.13 1 0.04
P 32 0.32 12 0.52
U - - - -
F 18 0.18 5 0.22
A - - - -
Total 240 2.44 50 2.17
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
106
Gambar 4 Tingkat oral higiene murid sekolah
dasar dan sederajat di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada Tabel 3
diketahuibahwa rata-rata indeks kebersihan mulut
(OHI-S) pada murid sekolah kelompok UKGS
sangat aktif adalah 1,17 termasuk dalam kategori
baik. Rata rata debris indeks adalah 0,87 dan rata
rata calculus indeks adalah 0,31. Rata-rata indeks
kebersihan mulut (OHI-S) pada murid sekolah
kelompok UKGS aktif adalah 1,45 termasuk dalam
kategori sedang. Rata rata indeksdebris adalah 1,17
dan rata rata indekskalkulus adalah 0,28.
Tingkat OHI-S murid sekolah berdasarkan
distribusi data pada Gambar 4 untuk kelompok
UKGS sangat aktif dengan kategori baik ada 61
orang (62%), kategori sedang ada 34 orang (35%),
kategori buruk ada 3 orang (3%). Tingkat OHI-S
murid sekolah untukkelompok UKGS aktif dengan
kategori baik ada 8 orang (35%), kategori sedang
ada 15 orang (65%), dan tidak ada yang masuk
dalam kategori buruk.
Berdasarkan rata-rata indeks kebersihan mulut
(OHIS) sepuluh sekolah dan hasiluji fisher (p = 1)
maka dapat diketahuibahwa tidak ada hubungan
antara pelaksanaan program UKGS dengan status
kebersihan mulut murid sekolah dasar.
Kategori
CPITN UKGS Sangat Aktif UKGS Aktif
N Mean N Mean
CPITN 98 5.9 sekstan 23 6 sekstan
Tabel 4 Gambaran kesehatan jaringan
periodontal murid sekolah dasar dan
sederajat di wilayah kerja Puskesmas
Cempaka Putih Kota Banjarmasin
tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada Tabel 4
diketahui bahwa rata-rata indeks kesehatan jaringan
periodontal (CPITN) pada murid sekolah untuk
kelompok UKGS sangat aktif adalah 5,9 sekstan
termasuk dalam kategori WHO baik.Rata-rata
indeks kesehatan jaringan periodontal (CPITN)
pada murid sekolah untuk kelompok UKGS aktif
adalah 6 sekstan termasuk dalam kategori WHO
baik.
Gambar 5 Tingkat kesehatan jaringan
periodontal murid sekolah dasar dan
sederajat di wilayah kerja Puskesmas
Cempaka Putih Kota Banjarmasin
tahun 2013-2014.
Tingkat kesehatan jaringan periodontal
berdasarkan distribusi data pada Gambar 5 untuk
kelompok UKGS sangat aktif dengan kategori baik
ada 97 orang (99%), kategori sedang ada 1 orang
(1%).Tingkat kesehatan jaringan periodontal untuk
kelompok UKGS aktif dengan kategori baik ada 23
orang (100%), tidak ada yang masuk dalam
kategori sedang dan buruk (0%).
Berdasarkan rata-rata indeks kesehatan
jaringan periodontal (CPITN) sepuluh sekolahdan
hasil uji fisher (p = 1) maka dapat diketahuibahwa
tidak ada hubungan antara pelaksanaan program
UKGS dengan status kesehatan jaringan
periodontal.
PEMBAHASAN
Rendahnya angka bebas karies di sepuluh
sekolah dasar mengindikasikan bahwa kegiatan
UKGS yang dilakukan di sepuluh sekolah ini belum
optimal dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi
dan mulut murid melalui UKGS, terlihat dari angka
bebas karies murid di sepuluh sekolah dasar adalah
23% untuk kategori UKGS sangat aktif dan 17%
untuk UKGS kategori aktif, masih jauh dari target
tahun 2020 sebesar 70% dan DMF-T di sepuluh
sekolah dasar <1.35Beberapa hal yang
mempengaruhi status kerusakan gigi dalam
pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas
Cempaka Putih adalah pengetahuan murid,
motivasi dan kesadaran dalam memelihara
kesehatan gigi dan mulut yang kurang, pelayanan
medik gigi dasar yang diberikan oleh fasilitas
pelayanan yang belum optimal, kerusakan gigi yang
cenderung tidak mau dirawat.
Menurut Schuurz (1992) menyebutkan bahwa
perawatan gigi sangat penting dilakukan agar anak
terhindar dari kerusakan gigi dan penyakit gusi.14
Rosdawati (2004) menjelaskan bahwa pengetahuan
yang cenderung baik, kurang memotivasi untuk
bersikap dan melalukan tindakan pemeliharaan
gigi.15 Hockenberry dan Wilson (2007) mengatakan
anak usia sekolah memiliki motivasi yang kurang
dalam melakukan perawatan gigi.16 Kawuryan
(2008) mengatakan bahwa 8 dari 10 anak Indonesia
pada kelompok usia 12 tahun mengalami gigi
0%
20%
40%
60%
80%
Baik Sedang Buruk
Per
sen
tase
(%
)
OHI-S
UKGS
Sangat
AktifUKGS
Aktif
UKGS
Kurang
AktifUKGS
Tidak Aktif
0%
50%
100%
150%
Baik Sedang BurukPer
sen
tase
(%
)
CPITN
UKGS
Sangat
AktifUKGS
Aktif
UKGS
Kurang
AktifUKGS
Tidak
Aktif
Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS
107
berlubang.17 Sutarmi (2009) menyebutkan bahwa
tingkat pengetahuan perawatan gigi berhubungan
dengan kejadian karies gigi dan angka kejadian
karies gigi didominasi oleh siswa yang tidak
melakukan perawatan terhadap kerusakan gigi.18
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nur
Amaniah (2009) pada murid sekolah dasar di
Kabupaten Aceh Tamiang yang menyebutkan
bahwa tidak ada pengaruh antara UKGS dengan
status DMFT.19 Didukung dengan hasil penelitian
Pratiwi (2008)yang memperoleh rata-rata
pengalaman karies gigi (DMF-T) sebesar 2,77 pada
siswa SD di wilayah kerja Puskesmas Kota Binjai
Medan masih jauh dari target kesehatan gigi
Indonesia tahun 2020, yaitu skor DMF-T anak usia
12 tahun adalah <1.20 Hal ini disebabkan pelayanan
medik gigi dasar atas permintaan dan pelayanan
medik gigi dasar sesuai kebutuhan pada kelas
selektif (kelas VI) belum optimal dilaksanakan oleh
petugas UKGS untuk usia 12 tahun di kesepuluh
sekolah tersebut dikarenakan program ART baru
berjalan beberapa bulan. Decay (D) rata-rata, Pulp
Involvment (P) rata rata dan Fistula (F) rata rata
masih lebih tinggi dibandingkan dengan filling (F).
Hal ini mengindikasikan bahwa petugas UKGS
perlu meningkatkan pelayanan medik gigi dasar
berupa penambalan gigi kepada siswa yang
mengalami gigi berlubang agar tidak
mengakibatkan kerusakan yang lebih lanjut ataupun
dicabut.Menurut laporan, kesepuluh sekolah ini
telah memperoleh pelayanan UKGS tahap III,
seharusnya tidak ditemukan lagi adanya kerusakan
gigi pada siswa kelas selektif (kelas VI).
Meskipun target indeks kebersihan mulut
tahun 2020 sudah tercapai dengan OHI-S kategori
baik, kegiatan penyuluhan dan pelaksanaan sikat
gigi masal oleh petugas UKGS belum optimal
dengan frekuensi pelaksanaan penyuluhan dan sikat
gigi massal tidak sesuai dengan standar frekuensi
pelaksanaan menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2000 yaitu <8 kali dalam
setahun .12Beberapa hal yang mempengaruhi status
kebersihan mulut dalam pelaksanaan UKGS di
wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah
kurangnya penyuluhan dan sikat gigi massal,
pengetahuan, sikap dan perilaku memelihara
kesehatan gigi dan mulut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Silvia Anitasari dan
Liliwati (2005) tentang kesehatan gigi dan mulut
pada murid-murid kelas I–VI SDN Kecamatan
Palaran Kotamadya Samarinda Propinsi
Kalimantan Timur yang menunjukkan bahwa
murid-murid yang mendapat penyuluhan dan
pelatihan cara menyikat gigi yang baik dan benar,
berpengaruh terhadap tingkat kebersihan gigi dan
mulut mereka. Hal ini berarti proses belajar yang
mereka dapat melalui program penyuluhan dan
pelatihan yang diberikan dapat dimengerti dan
dipraktekkan dalam keseharian murid-murid ini.21
Potter dan Perry (2005) mengatakan bahwa
menggosok gigi merupakan dasar untuk program
oral hygiene yang efektif.22 Hal ini sesuai dengan
teori Notoadmodjo (2007) menyatakan bahwa
pengetahuan mengenai kesehatan akan berpengaruh
terhadap perilaku sebagai hasil jangka panjang dari
pendidikan kesehatan23.Hal ini didukung oleh
penelitian Widyawati (2009) yang menyebutkan
bahwa penyuluhan kesehatan gigi dan mulut
berpengaruh pada sikap untuk memelihara
kebersihan mulut.24Pernyataan tersebut diatas
mendukung hasil penelitian yang dilakukan Dara
(2011) pada anak usia 9 – 12 tahun di SDN Maccini
I,II,III,IV dan SD Inpres Maccini I/I Makassar,
dimana didapatkan hasil adanya hubungan yang
bermakna antara pengetahuan tentang kesehatan
gigi dan mulut, sikap, dan tindakan pemeliharan
kesehatan gigi dan mulut dengan status kebersihan
mulut. Pengetahuan, sikap, dan tindakan
merupakan bagian dari perilaku yang merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kebersihan mulut.25
Beberapa hal yang mempengaruhi status
kesehatan gigi dan mulut dalam pelaksanaan UKGS
di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah
kesadaran dan perilaku memelihara kesehatan gigi
dan mulut, kerusakan gigi yang cenderung tidak
dirawat, oral hygiene, pelayanan medik gigi dasar
yang belum optimal.Menurut Schuurz (1992)
menyebutkan bahwa perawatan gigi sangat penting
dilakukan agar anak terhindar dari kerusakan gigi
dan penyakit gusi.14E.R Widi (2003) mengatakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
tingkat kesehatan jaringan periodontal adalahfaktor
kesadaran dan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut.26Hasil Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Ramola (2006) pada siswa kelas 6 SD di
wilayah kerja puskesmas kota Matsum yang mana
rerata sekstan gusi sehat >3 sekstan.27 Levinus
(2013) mengatakan bahwa sehat atau tidaknya
jaringan periodontal seseorang lebih dipengaruhi
oleh keadaan oral hygiene atau kebersihan rongga
mulut dan cara memeliharanya, dikarenakan belum
optimalnya pelayanan medik gigi menyebabkan
tingkat kerusakan gigi sangat beresiko untuk
bermanifestasi pada kerusakan jaringan
periodontal.28
Temuan pada penelitian ini adalah dari
sepuluh sekolah dasar dan sederajat di wilayah
kerja Puskesmas Cempaka Putih, delapan sekolah
(80%) termasuk dalam kategori UKGS Sangat
Aktif, dan dua sekolah (20 %) sekolah termasuk
kategori UKGS Aktif.Angka bebeas karies murid di
wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih tergolong
masih rendah dilihat dari angka bebas karies murid
pada kelompok UKGS Sangat Aktif sebesar 23%
dan angka bebas karies murid pada kelompok
UKGS Aktif sebesar 17%.Tingkat kerusakan gigi
dan mulut (DMFT PUFA) murid di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih belum mencapai target
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
108
nasional yaitu skor DMFT PUFA>1, meski
termasuk dalam kategori rendah oleh WHO
(rentang skor 1,2-2,6), dilihat dari DMFT PUFA
kelompok UKGS Sangat Aktif dengan skor sebesar
2,44 dan DMFT PUFA kelompok UKGS Aktif
dengan skor sebesar 2,17. Tingkat kebersihan mulut
(OHIS) murid di wilayah kerja Puskesmas
Cempaka Putih telah mencapai target nasional yaitu
skor OHIS termasuk dalam kategori baik dilihat
dari skor OHIS kelompok UKGS Sangat Aktif
sebesar 1,17 dan skor OHIS kelompok UKGS Aktif
sebesar 1,45.Tingkat kesehatan jaringan periodontal
(CPITN) murid di wilayah kerja Puskesmas
Cempaka Putih telah mencapai target nasional yaitu
skor CPITN termasuk dalam kategori baik (>3
sekstan) dilihat dari skor CPITN kelompok UKGS
Sangat Aktif sebesar 5,9 sekstan dan skor CPITN
kelompok UKGS Aktif sebesar 6
sekstan.Performed Treatment Index (PTI) murid di
wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih belum
mencapai target nasional yaitu > 50%.Required
Treatment Index (RTI) murid di wilayah kerja
Puskesmas Cempaka Putih tergolong sangat rendah
dilihat dari RTI<50%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidayat AF, Kasim F, Suwendere W.
Perbedaan Indeks Oral Higiene pada anak usia
sekolah dasar dengan dan tanpa program Usaha
Kesehatan Gigi Sekolah wilayah Puskesmas
Babakansari Kota Bandung tahun 2011.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Maranatha. 2011. p. 1-4.
2. Hamrun N, Rathi M. Perbandingan status gizi
dan karies gigi pada murid SD Islam Athirah
dan SD Bangkala III Makassar. Dentofasial
2009; 8 (1): 27-31.
3. Sriyono NW. Pencegahan Penyakit Gigi dan
Mulut Guna Meningkatkan Kualitas Hidup.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gajah Mada. 2009: p. 3-4.
4. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan
kesehatan gigi anak sejak dini. Jakarta: EGC.
2005: p. 3-5.
5. Anonymous. Promoting oral health in public
elementary schools.Department Education
Order Republic of the Philippines. 2007; 73
(19): p. 11-15.
6. Petersen PE, Bourgeois D, Brathall D, Ogawa
H. Oral health information systems-towards
measuring progress in oral health promotion
and disease prevention. Bulletin of the World
Health Organization. 2005; 83 (50) : 690.
7. Anonymous. Pedoman Pelaksanaan Kesehatan
Gigi Sekolah. Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
1999. p. 5-10.
8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang
beresiko karies tinggi. Dentika Dent J. 2005;
38: (3): 130.
9. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S.
Pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC.
2002. p. 119-132.
10. Megananda HP, Eliza H, Neneng N. Ilmu
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC; 2012.
p. 6-7. 11. Zulkarnain RAA, Riyanti E, Sasmita IS. The
differences of caries prevalence and caries
index of children in primary school with and
without Dental Health Care Programme
(UKGS) in Kota Batam. Padjajaran.Padjajaran
Journal of Dentistry. 2009; 21(1): 36-40
12. Anonymous. Pedoman Usaha Kesehatan Gigi
Sekolah (UKGS). Jakarta: Direktorat Bina
Upaya kesehatan Dasar Direktorat Jenderal
Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan;
2012. p. 1-5; 7-12.
13. Anonymous. The National Institute of Health
Research and Development Ministry of Health
Republic of Indonesia. Jakarta: National Basic
Health Research R.I; 2008. p. 128-146.
14. Shuurz AHB. Patologi gigi geligi: kelainan
kelainan jaringan keras gigi. Yogyakarta:
Gajah Mada University press; 1992. p. 135.
15. Rosdawati L. Hubungan perilaku
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
dengan status kesehatan gigi dan mulut murid
di Kabupaten Langkat tahun 2004. Ussu press.
2005; 121(11) :11-15.
16. Hockenberry MJ. Wilson D. Wong’s nursing
care infant and children. St. Louis: Masby
Elsevier; 2007. p.1-5.
17. Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang
kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian
karies gigi anak SDN Kleco II kelas V dan VI
Laweyan Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2008. p. 1-5.
18. Sutarmi. Hubungan tingkat pengetahuan
tentang perawatan gigi dengan kejadian karies
gigi pada siswa kelas V dan VI SD
Kedungbulus Kecamatan Prembun Kabupaten
Kebumen.Jurnal keperawatan Indonesia.
2008: 5(1): 5-10.
19. Nur Amaniah. Hubungan faktor manjemen
dan tenaga pelaksana UKGS dengan cakupan
pelayanan UKGS serta status kesehatan gigi
dan mulut murid sekolah dasar di Kabupaten
Aceh Tamiang. Medan: Fakultas Kedoteran
Gigi Sumatera Utara; 2010. p. 78.
20. Pratiwi, Netty. Hubungan karakteristik
organisasi dengan kinerja program UKGS
kota Binjai. Medan: Fakultas Kedoteran Gigi
Sumatera Utara; 2008.p. 15.
21. Anitasari S, Liliwati. Pengaruh Frekuensi
Menyikat Gigi Terhadap Tingkat Kebersihan
Gigi dan Mulut Siswa-Siswi Sekolah Dasar
Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS
109
Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya
Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
Dentika Dent J. 2005; 10(1): 22.
22. Potter PA, Perry AG. Fundamental Nursing:
concept, process, and practice Ed 6. St. Louis:
Mosby year book; 2005. p. 151.
23. Notoadmojo S. Pendidikan dan perilaku
kesehatan. Jakarta: Rineka cipta; 2007. p. 15.
24. Widyawati YR. Pengaruh penyuluhan
kesehatan gigi dan mulut terhadap sikap anak
dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut
pada siswa kelas IV dan V SDK Santa Maria
Ponorogo. Jurnal keperawatan Indonesia.
2009; 5(1): 1-5.
25. Dara. Hubungan pengetahuan tentang
kesehatan gigi dan mulut, sikap dan tindakan
pemeliharaan kesehatan gigi dengan status
kebersihan gigi dan mulut pada anak usia 9-
12 tahun di SDN Maccini I,II,III,IV dan SD
Inpres Maccini I/I Makassar. Makassar: FKG
Unhas; 2011. p. 5.
26. E.R Widi. Hubungan perilaku membersihkan
gigi terhadap tingkat kebersihan mulut siswa
sekolah dasar negeri wilayah kerja puskesmas
gladak pakem kabupaten jember. JKGI 2003;
10 (3): 10;13.
27. Ramola E. Faktor faktor yang berhubungan
dengan Need dan Demand kesehatan gigi
siswa kelas VI SD dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan gigi di wilayah kerja
Puskesmas Kota Matsum tahun 2005. Medan:
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
2006. p. 5-10.
28. Levinus PS, Zuliari K, Eunike MS. Gambaran
status jaringan periodontal pada pelajar di
SMA 1 Manado. Manado: Fakultas kedokteran
Universitas Sam Ratulangi; 2013. p. 5.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109