vol. 11 no. 2 desember 2016 issn 1907-0713

50
Majalah SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713 DITERBITKAN OLEH : LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Hlm. 57 98 Jakarta, Desember 2016 ISSN 1907-0713

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah

SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

DITERBITKAN OLEH :

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Hlm. 57 – 98 Jakarta, Desember 2016 ISSN 1907-0713

Page 2: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah

SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING

MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

Penyunting:

Ketua

Anwar Santoso, M.Si

Anggota

Dra. Sri Rubiyanti, M.Si.

Ir. Endang Mugia GS, MT.

Ir. Andi Mukhtar Tahir, MT.

Dr. Teguh Harjana, M.Sc.

Lely Qodrita Avia, S.Si.

Ir. Ediwan, MT.

SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI

MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

Pemimpin Umum:

Ir. Christianus R. Dewanto, M.Eng

Pemimpin Redaksi Pelaksana:

Ir. Jasyanto, MM

Redaksi Pelaksana:

Mega Mardita, M.Si

Suryadi, S.Sos

Aprian Rizki Fauzi, S.IK

Aulia Pradipta, S.S

Tata Letak

M. Luthfi

Gambar cover, (atas) Pesawat terbang nir awak LSU-05 dengan motor bakar piston siap

diuji terbang; (bawah) Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam

VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas perkenan dan karunia-Nya kepada kita, para Penulis, Dewan Penyunting dan Penyelenggara Administrasi, sehingga Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 dapat terbit. Edisi kali ini menyajikan 5 (lima) makalah hasil penelitian para peneliti LAPAN, yaitu: “Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer (Longitudinal Variation of Ionospheric Scintillation Occurrence)” ditulis oleh Sri Ekawati. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. “Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya Dorong Pesawat Nir awak LSU-05 (judul makalah dalam bahasa inggris)” ditulis oleh Atik Bintoro. Melalui metode analitis, dan data spesifikasi teknik Pesawat LSU-05, telah dilakukan karakterisasi mesin propulsi untuk pesawat LSU-05 tersebut. Hal ini sebagai dukungan untuk mendapatkan Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 yang andal dalam mencapai misi sebagai pesawat pembawa muatan. Afni Restasari Menulis “Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan Gugus Fungsi dalam Prepolimer HTPB: Tdi 15:1 Gagal Matang (Influences of Mixing Parameters on Functional Groups Contents in HTPB: Tdi 15:1 Fail Cured Prepolymer)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah. Mamat Ruhimat menulis ”Variasi Hari Tenang Geomagnet Pada Saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 (Variation Quiet Day of Geomagnetic During the Total Solar Eclipse March 9, 2016)” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gerhana matahari total terhadap medan geomagnet. Dengan mengeliminasi gangguan geomagnet dari variasi medan geomagnet harian, akan diperoleh pola hari tenang. Judul makalah selanjutnya adalah “Estimasi Gangguan Fof2 Ionosfer Di Atas Sumedang Menggunakan Model Badai Ionosfer Empiris Dan Numerik (Estimation Of Fof2 Ionosphere Disturbance Over Sumedang Using Empirical And Numerical Ionospheric Storm Model)” ditulis oleh Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi, Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji akurasi kedua model badai ionosfer tersebut terhadap badai geomagnet. Studi kasus dilakukan saat badai geomagnet 20 Januari 2016, 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 serta 11 September 2005. Data indeks Dst dan foF2 dari BPAA Sumedang pada tanggal tersebut diolah dan dianalisis. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Selamat membaca

Penyunting

Penerbit :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802, ext. 142,146 Fax : (021) 47882726

Email : [email protected]

Situs : http://www.lapan.go.id http://www.jurnal.lapan.go.id

Majalah LAPAN terbit sejak 1976, pemberian volume, dan nomor sejak 1999. Sejak 2006 berganti nama menjadi Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara. Majalah LAPAN telah diklasifikasikan sebagai Majalah Ilmiah oleh Panitia Penilai Jabatan Peneliti-LIPI dengan Skep No. 9198/ SK/J.10/84, 30 November 1984.

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara terbit setiap enam bulan, majalah ilmiah bersifat nasional untuk publikasi penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan sumbernya.

MLuthfi
Comment on Text
(Characteristic of Piston Engine As LSU-05 UAV's Thrust Generator)
Page 3: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

Majalah

SAINS DAN TEKNOLOGI

DIRGANTARA

VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER

(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION OCCURRENCE) Sri Ekawati .................................................................................................

57 – 64

KARAKTERISTIK MOTOR BAKAR PISTON PEMBANGKIT GAYA DORONG PESAWAT NIR AWAK LSU-05 Atik Bintoro ................................................................................................

65 – 70

PENGARUH PARAMETER PENGADUKAN TERHADAP KANDUNGAN GUGUS FUNGSI DALAM PREPOLIMER HTPB: TDI 15:1 GAGAL MATANG (INFLUENCES OF MIXING PARAMETERS ON FUNCTIONAL GROUPS CONTENTS IN HTPB: TDI 15:1 FAIL CURED PREPOLYMER) Afni Restasari ............................................................................................

71 – 80

VARIASI HARI TENANG GEOMAGNET PADA SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 9 MARET 2016 (VARIATION QUIET DAY OF GEOMAGNETIC DURING THE TOTAL SOLAR ECLIPSE MARCH 9, 2016) Mamat Ruhimat ..........................................................................................

81 – 88

ESTIMASI GANGGUAN foF2 IONOSFER DI ATAS SUMEDANG MENGGUNAKAN MODEL BADAI IONOSFER EMPIRIS DAN NUMERIK (ESTIMATION OF foF2 IONOSPHERE DISTURBANCE OVER SUMEDANG USING EMPIRICAL AND NUMERICAL IONOSPHERIC STORM MODEL) Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi, Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati .....................................

89 – 98

DITERBITKAN OLEH :

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, indonesia

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Hlm. 57 – 98 Jakarta, Desember 2016 ISSN 1907-0713

MLuthfi
Callout
(CHARACTERISTIC OF PISTON ENGINE AS LSU-05 UAV'S THRUST GENERATOR)
Page 4: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)

57

VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER

(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION

OCCURRENCE)

Sri Ekawati

Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Ionospheric scintillation, which occurred after sunset, could cause satellite signal degradation.

Ionosphere over vast Indonesian territory need to be known its perturbations. This research aimed to

analyze longitudinal occurrence of ionospheric scintillation from three GPS receiver over Indonesian

territory on April 10, 2013. Data was obtained from the GPS receiver at the Kototabang (-0.20⁰S;

100.32⁰E), Pontianak (-0.03⁰S; 109.33⁰E) and Manado station (1.48⁰N; 124.85⁰E) on April 10, 2013.

This paper presents the preliminary result of ionospheric scintillation variation longitudinally over

Indonesia. The results showed that the strong scintillation (S4 > 0.5) first detected in Manado station,

one hour later detected in Pontianak and 30 minute later detected in Kototabang in duration of

approximately 1.5 – 3 hours. The strong scintillation occurred at 20:00 to 21:00 local time. The most

intense of ionospheric scintillation was around at 100⁰ E geographic longitude in duration up to 4

hours.

Keywords: Ionosphere, Scintillation, GPS, Plasma bubble

ABSTRAK

Sintilasi ionosfer, yang muncul setelah matahari terbenam, dapat menyebabkan degradasi

sinyal satelit. Ionosfer di atas wilayah Indonesia yang luas perlu diketahui gangguannya. Penelitian ini

bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di

atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. Data yang digunakan untuk keperluan analisis diperoleh

dari penerima GPS di stasiun Kototabang (0,20⁰LS;100,32⁰BT), Pontianak (0,03⁰LS;109,33⁰BT) dan

Manado (1,48⁰LU; 124,85⁰BT). Makalah ini merupakan hasil awal variasi sintilasi ionosfer secara

longitudinal di atas Indonesia. Analisis terhadap hasil olah data menunjukkan kemunculan sintilasi

kuat (S4 > 0,5) terlebih dahulu terdeteksi di stasiun Manado, satu jam kemudian di Pontianak dan 30

menit kemudian di Kototabang dengan durasi kurang lebih 1,5 – 3 jam. Puncak sintilasi kuat

masing-masing stasiun terjadi pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Intensitas sintilasi ionosfer

sangat besar pada bujur geografis sekitar 100⁰ BT dengan durasi sintilasi mencapai 4 jam.

Kata Kunci: Ionosfer, Sintilasi, GPS, Plasma bubble

1 PENDAHULUAN

Ionosfer di atas wilayah Indonesia

secara longitudinal memiliki cakupan

daerah yang luas yaitu dari 95⁰ BT

hingga 141⁰ BT dan memiliki jarak

busur sebesar 46⁰ (sekitar 5106

kilometer) sehingga terdapat perbedaan

waktu selama 184 menit antara bagian

paling timur dengan bagian paling barat.

Adapun identifikasi masalah pada

makalah ini adalah bagaimana mekanisme

kemunculan sintilasi ionosfer dari tiga

alat penerima GPS yang berbeda posisi

secara longitudinal, bagaimana pergerakan

kemunculan gangguan plasma ionosfer

secara longitudinal terhadap waktu dan

berdasarkan posisi longitudinal, dimana-

kah posisi kemunculan sintilasi yang

paling intensif.

Ionosfer merupakan lapisan plasma

yang melingkupi bumi berisi elektron,

ion dan partikel bermuatan yang berada

Page 5: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64

58

di 50 – 1000 kilometer di atas permukaan

bumi. Gambar 1-1 menunjukkan profil

densitas elektron terhadap ketinggian.

Densitas elektron di ionosfer bervariasi

terhadap ketinggian dan nilai maksimum-

nya yaitu sekitar 106 elektron/cm3

berada di ketinggian sekitar 300 – 400

km di atas permukaan bumi. Densitas

elektron di ionosfer juga berbeda pada

saat siang hari dan malam hari (Kelley,

1989). Gambar 1-2 menunjukkan ilustrasi

pembentukan lapisan-lapisan ionosfer

pada siang hari. Pada siang hari terjadi

proses ionisasi karena memperoleh

radiasi dari matahari sehingga meng-

hasilkan plasma ion-ion, elektron-elektron

dan partikel bermuatan. Sedangkan

pada malam hari, proses ionisasi akan

berhenti dan berubah menjadi proses

rekombinasi, yaitu proses bergabungnya

kembali partikel bermuatan negatif dan

positif sehingga menjadi partikel netral.

Oleh karena itu, pada malam hari,

lapisan D, E dan F akan menghilang dan

menyisakan hanya lapisan F saja (Kelley,

1989).

Gambar 1-1: Profil densitas elektron (Ne) ionosfer terhadap ketinggian pada siang dan malam hari (Kelley,1989)

Page 6: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)

59

Gambar 1-2: Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam

Sintilasi ionosfer merupakan salah

satu fenomena di lapisan ionosfer

berupa turbulensi di ionosfer (Chaterjee

dan Chakraborty, 2013). Fenomena

sintilasi ionosfer di atas Indonesia, yang

berada di daerah lintang rendah

geomagnet, terjadi beberapa saat setelah

transisi siang ke malam (Carrano et al.,

2012; Abadi et al., 2014). Definisi sintilasi

ionosfer secara umum adalah gangguan

sinyal satelit saat melalui medium

plasma ionosfer yang terganggu sehingga

mengakibatkan fluktuasi amplitudo dan

fase yang sangat cepat (Jacowski et al.,

2012).

Kemunculan sintilasi ionosfer

terjadi akibat ketidakstabilan di ionosfer

dan munculnya plasma bubble pada saat

transisi siang ke malam yang dikenal

dengan Reiyleigh-Taylor Instability

(Ossakow, 1981; Mendillo dan

Baumgardner, 1982; Ogawa et al., 2005).

Plasma bubble merupakan gelembung

plasma dengan konsentrasi plasma yang

lebih rendah dibandingkan dengan

sekitarnya. Plasma bubble tersebut

tumbuh, berkembang dan bergerak ke

arah atas kemudian bergerak ke arah

lintang rendah geomagnet (Abdu et al.,

1983).

Pada penelitian sebelumnya

(Ekawati et al., 2014) telah diperoleh

kemunculan gangguan sintilasi tertinggi,

selama periode Maret – Mei 2013, terjadi

pada 10 April 2013 yang diperoleh dari

dua stasiun pengamatan (Pontianak dan

Manado). Pada makalah tersebut juga

tercatat bahwa aktivitas sintilasi ionosfer

kuat di atas Manado terjadi satu jam

lebih dahulu dibanding Pontianak. Namun,

pada kejadian tersebut mekanismenya

belum bisa dijelaskan secara mendalam.

Pada makalah ini dianalisis data indeks

S4 pada 10 April 2013 dan menambahkan

data dari satu stasiun pengamatan lagi

yakni stasiun Kototabang. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui variasi

longitudinal kemunculan sintilasi ionosfer

di atas wilayah Indonesia dari tiga

stasiun GPS receiver yang berbeda posisi

secara longitudinal.

2 DATA DAN METODE

Data yang digunakan pada

makalah ini adalah data indeks S4 yang

diperoleh dari tiga stasiun yaitu

Kototabang, Pontianak, dan Manado.

Indeks S4 merupakan indeks amplitudo

sintilasi ionosfer yang dapat menunjukkan

aktivitas gangguan ketidakstabilan serta

turbulensi di ionosfer. Aktivitas sintilasi

menurut Butcher (2005) mempunyai

kategori lemah (0 < S4 ≤ 0,25), sedang

(0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤ 1).

Secara posisi, ketiga GPS receiver yang

digunakan berbeda posisi secara

longitudinal dengan koodirnat seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 2-1.

Page 7: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64

60

Tabel 2-1: LOKASI DAN TIPE GPS RECEIVER YANG DIGUNAKAN

No. Stasiun Koordinat Geografis Koordinat geomaget Nama GPS

Receiver

1 Kototabang 0,20o LS;100,32o BT 8.97o LS; 171.73o BT ISM

2 Pontianak 0.03o LS; 109.33o BT 8.82o LS; 180.72o BT GISTM

3 Manado 1.48o LU; 124.85o BT 6.87o LS; 196.07o BT GISTM

Data indeks S4 pada 10 April

2013 dari tiga GPS receiver tersebut di-

plot terhadap waktu. Namun, sebelumnya

terlebih dahulu dilakukan filter sudut

elevasi yang lebih besar dari 30⁰

(Otsuka, 2009). Kemudian menandai

kapan terjadi indeks yang lebih besar

dari 0,5. Indeks S4 yang lebih besar dari

0,5 mengindikasikan sintilasi kuat yang

berpotensi mengganggu sinyal satelit

(Banerjee et al., 1992). Hasil identifikasi

(penandaan) waktu terjadinya sintilasi

kuat (0,5 < S4 ≤ 1) di atas Manado,

Pontianak dan Kototabang kemudian

dianalisis. Perhitungan waktu sintilasi

kuat, selain waktu onset-nya juga

durasinya.

Untuk melihat pergerakan atau

variasi longitudinal sintilasi ionosfer

maka di-plot longitude terhadap waktu

yang diperoleh dengan menghitung

posisi Ionospheric Pierce Point (IPP) yang

diperoleh dari nilai sudut elevasi dan

azimut posisi satelit serta nilai ketinggian

h ionosfer pada 350 kilometer di atas

permukaan bumi (Husin A,. et. al., 2015).

Setiap kotak pada plot longitude

terhadap waktu dibuat dengan resolusi

adalah 1,5 derajat setiap 30 menit.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3-1 menunjukkan plot

indeks S4 terhadap waktu yang

menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer

di atas Manado (panel atas), Pontianak

(panel tengah) dan Kototabang (panel

bawah). Sumbu-x menunjukkan waktu

selama 24 jam dan sumbu-y menunjukkan

indeks S4 dari 0 – 1. GPS receiver

mencatat indeks S4 ionosfer di atas

Manado mulai meningkat lebih dari 0,5

pada pukul 11:19 UT (19:19 WITA), di

atas Pontianak mulai meningkat pada

pukul 12:46 UT (19:46 WIB) dan di atas

Kototabang 13:10 UT (20:10 WIB).

Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤1) lebih dahulu

terdeteksi di stasiun Manado. Sekitar

satu jam 27 menit kemudian terdeteksi

di stasiun Pontianak dan 24 menit

kemudian terdeteksi di stasiun

Kototabang.

Secara terperinci waktu dan durasi

kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1)

pada 10 April 2013 dapat dilihat pada

Tabel 3-1. Kolom 2 adalah nama stasiun,

kolom 3 adalah waktu matahari terbenam,

kolom 4 adalah waktu dimulainya sintilasi

kuat (0,5 < S4 ≤ 1), kolom 5 adalah

waktu berakhirnya sintilasi kuat (0,5 <

S4 ≤ 1), kolom 6 adalah durasinya. Di

Manado, Matahari terbenam pada sekitar

pukul 09:50 UT. GPS receiver di Manado

mencatat ada dua kemunculan sintilasi

kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang dimulai pada

pukul 11:19 UT dengan durasi 1 jam 16

menit dan pada pukul 13:15 UT dengan

durasi 29 menit. Di Pontianak, Matahari

terbenam pada sekitar pukul 10:57 UT.

GPS receiver di Pontianak mencatat ada

dua kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4

≤ 1) yang dimulai pada pukul 12:46 UT

dengan durasi 1 jam 3 menit dan pada

pukul 14:19 UT dengan durasi 26 menit.

Di Kototabang, Matahari terbenam

sekitar pukul 11:32 UT. GPS receiver di

Kototabang mencatat ada dua kemunculan

sintilasi pada pukul 13:09 UT dengan

durasi 2 jam 43 menit dan pada pukul

16:07 UT dengan durasi 21 menit.

Durasi total kemunculan sintilasi kuat

(0,5 < S4 ≤ 1) yang paling lama terjadi di

stasiun Kototabang. Dengan kata lain,

gangguan turbulensi ionosfer atau

sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi lebih

intensif di atas daerah kototabang.

Page 8: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)

61

Gambar 3-1: Aktivitas sintilasi ionosfer pada 10 April 2013 di atas Manado (panel atas), di atas

Pontianak (panel tengah) dan di atas Kototabang (panel bawah)

Tabel 3-1: WAKTU DAN DURASI KEMUNCULAN SINTILASI KUAT (0,5 < S4 ≤ 1) 10 APRIL 2013

No. Stasiun Matahari

terbenam

Mulai (UT)

dalam

desimal

Akhir (UT)

dalam

desimal

Durasi

Jam menit Total

1 Manado 17:50

WITA

09:50 UT

11:19 12:36 1 jam 16

menit

1 jam 45

menit

13:15 13:43 29 menit

2 Pontianak 17:57 WIB

10:57 UT

12:46 13:49 1 jam 3

menit

1 jam 29

menit

14:19 14:45 26 menit

3 Kototabang 18:32 WIB

11:32 UT

13:09 15:52 2 jam 43

menit

2 jam 54

menit

16:07 16:28 21 menit

Gambar 3-2 menunjukkan ilustrasi

mekanisme terjadinya ketidakstabilan

plasma ionosfer di atas wilayah Manado,

Pontianak kemudian di Kototabang.

Manado adalah wilayah Indonesia bagian

tengah yang lebih dahulu mengalami

pergantian siang ke malam dan terjadi

ketidakstabilan plasma. Di stasiun

Manado lebih dahulu terjadi pergantian

siang ke malam. Pontianak dan

Kototabang masih di belahan bumi

siang, sehingga densitas plasma ionosfer

masih terbentuk di lapisan D, E, F1 dan

F2 karena proses ionisasi. Sementara

itu, ionosfer di atas Manado sudah

mulai terjadi proses rekombinasi. Laju

rekombinasi lapisan D dan E lebih cepat

dibandingkan dengan lapisan di atasnya

yakni lapisan F. Pergerakan plasma dari

lapisan D ke F dipengaruhi oleh gravitasi

dengan kekuatan = gXB. Kekuatan

tersebut menyebabkan ion-ion bergerak

spiral ke arah timur dengan kecepatan

vE. Elektron-elektron yang massanya

Page 9: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64

62

jauh lebih ringan dibanding ion cenderung

diam karena tidak terpengaruh gravitasi

g. Akibatnya, akan terjadi polarisasi

atau pengkutuban antara ion-ion yang

bermuatan positif dengan elektron-elektron

yang bermuatan negatif. Berdasarkan

hukum gaya Lorentz EXB, dengan B ke

arah utara, E ke arah Timur, maka gaya

Lorentz yang menuju ke arah atas

menjadi inisiasi ketidakstabilan plasma.

Sebaliknya, ketika E ke arah Barat maka

EXB mengarah ke bawah.

Gambar 3-2: Ilustrasi aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak, dan Kototabang yang berbeda posisi secara longitudinal

Page 10: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)

63

Ketidakstabilan akan semakin

tumbuh dan berkembang serta menjalar

dari ekuator ke lintang rendah geomagnet

mengikuti medan magnet B sebagai

guiding center. Ketidakstabilan plasma

yang menyebabkan sintilasi ionosfer

tersebut akhirnya terdeteksi oleh stasiun

Manado. Selain itu, pertumbuhan

Rayleigh-Taylor Instability di ionosfer

semakin lama semakin berkembang dan

bergerak ke arah atas membentuk seperti

gelembung dengan konsentrasi plasma

yang lebih rendah dibanding sekitarnya.

Gambar 3-3 menunjukkan variasi

atau dinamika longitudinal kemunculan

sintilasi ionosfer pada 10 April 2013.

Sumbu-x adalah longitude (bujur) dan

sumbu-y adalah waktu. Warna menunjuk-

kan indeks S4 dari 0 sampai dengan 1.

Cakupan pengamatan dari tiga GPS

receiver adalah dari sekitar 85⁰ – 115⁰ BT.

Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) mulai muncul

di longitude paling timur yaitu di sekitar

longitude 115⁰ BT sekitar pukul 11:30

UT. Seiring dengan berjalannya waktu

sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) bergerak,

bergeser dan semakin kuat ke arah

barat. Bila dilihat dari intensitas indeks

S4-nya, periode waktu gangguan sintilasi

yang mencapai nilai sekitar 0,9 terjadi

pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat.

Dilihat dari durasinya, longitude yang

paling intensif mengalami sintilasi kuat

(0,5 < S4 ≤ 1) adalah di daerah sekitar

longitude 100⁰ BT yang mencapai empat

jam yakni pukul 13:00 – 17:00 UT. Pada

pukul 15:30 UT di longitude 113⁰-115⁰ BT,

gangguan turbulensi ionosfer (sintilasi

kuat) sudah kembali tenang atau normal.

Sedangkan di daerah longitude 95⁰ –

103⁰ BT pada waktu yang bersamaan

justru gangguannya sedang sangat intensif.

Gambar 3-3: Dinamika longitudinal sintilasi ionosfer pada 10 April 2013 di atas wilayah Indonesia

Page 11: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64

64

4 KESIMPULAN

Inisiasi kemunculan sintilasi

ionosfer kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi sekitar

pukul 19:00 waktu setempat atau rata-

rata sekitar satu jam setelah matahari

terbenam kemudian semakin intensif

pada sekitar pukul 20:00 – 21:00 waktu

setempat. Kemunculan sintilasi kuat

(0,5 < S4 ≤ 1) terjadi di longitude paling

Timur terlebih dahulu kemudian bergerak

ke arah Barat. Durasi kemunculan sintilasi

kuat (0,5 < S4 ≤ 1) atau turbulensi

ionosfer setiap longitude bervariasi dari

1,5 jam sampai dengan lebih dari empat

jam. Setelah itu, kondisi kembali tenang

atau normal. Intensitas turbulensi ionosfer

atau sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) lebih

intensif di daerah yang lebih barat.

Posisi geografis yang terintensif terjadi

pada daerah sekitar 100⁰ BT dengan

durasi sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1)

mencapai empat jam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada semua tim bank data (tim scalling)

bidang ionosfer dan telekomunikasi,

staff balai pengamatan Pontianak dan

Manado yang telah membantu menyedia-

kan data GISTM. Penulis juga mengucap-

kan terima kasih kepada P. Abadi dan

Dr. Y. Otsuka, Nagoya University, Jepang

yang telah menyediakan data Kototabang.

DAFTAR RUJUKAN Abadi, P., Saito, S., dan Srigutomo,W., 2014.

Low-latitude Scintillation Occurrences

Around the Equatorial Anomaly Crest

Over Indonesia, Ann. Geophys, 32, 7–

17, doi:10.5194/angeo-32-7-2014.

Abdu, M. A., de Medeiros, R. T., Sobral, J. H. A.,

dan Bittencourt, J. A., 1983. Spread F

Plasma Bubble Vertical Rise Velocities

Determined from Spaced Ionosonde

Observations, J. Geophys. Res., 88,

9197–9204, doi:10.1029/JA088iA11

p09197, 1983.

Husin A., Abadi,P. , Ekawati, S. , dan Marlia,

D., 2015. Analisis Spasial Kemunculan

Sintilasi Ionosfer Kuat Bulan Ekuinoks

Periode 2013 di Indonesia, Jurnal Sains

Dirgantara Vol.12 No.2 Juni 2015:77-

86.

Banerjee, P. K., Dabas, R. S., dan Reddy, B. M. C.,

1992. C and L Band Transionospheric

Scintillation Experiment: Some Results

for Applications to Satellite Radio

Systems, Radio Sci., 27, 955–969, doi:

10.1029/92RS01307.

Butcher, N., 2005. Daily Ionospheric Forecasting

Service (DIFS) III, Annales of Geophysicae,

23:3591-3598, 2005.

Carrano, C.S, Valladares, C.E., dan Groves, K. M.,

2012. Latitudinal and Local Time

Variation of Ionospheric Turbulence

Parameters During the Conjugate Point

Equatorial Experiment in Brazil,

International Journal of Geophysics

Volume 2012, Article ID 103963, 16

pages, doi:10.1155/2012/103963.

Chatterjee, S dan Chakraborty, S. K., 2013.

Variability of Ionospheric Scintillation

Near the Equatorial Anomaly Crest of

the Indian Zone, Ann. Geophys., 31,

697–711.

Ekawati, S., Srigutomo W. dan Jiyo, 2014.

Analisis Kemunculan Sintilasi Ionosfer

di atas Pontianak dan Manado,

Prosiding Seminar Nasional Sains

Atmosfer dan Antariksa 2013, ISBN:

978-979-1458-78-8.

Jacowski, Norbert, Yannick Béniguel, Giorgiana

De Franceschi, Manuel Hernandez

Pajares, Knut Stanley Jacobsen, Iwona

Stanislawska, Lukasz Tomasik, René

Wamant, dan Giller Wautelet, 2012.

Monitoring, Tracking and Forecasting

Ionospheic Pertubations using GNSS

Techniques, Journal of Space Weather

Space Clim. 2 (2012) A22,DOI:10.

1051/swsc/2012022.

Kelley, M.C., 1989.“The Earth’s Ionosfer: Plasma

Physics and Electrodynamics, Acadeic

Press, USA.

Mendillo, M. dan Baumgardner, J., 1982.

Airglow Characteristics of Equatorial

Plasma Depletions, J. Geophys. Res.,

87, 7641–7652, 1982.

Ogawa, T., Sagawa, E., Otsuka, Y., Shiokawa,

K., Immel, T. I., Mende, S. B., dan

Wilkinson, P., 2005. Simultaneous

Ground-and Satellite-based Airglow

Observations of Geomagnetic Conjugate

Plasma Bubbles in the Equatorial

Anomaly, Earth Planet Space, 57, 385–

392, 2005.

Ossakow, S. L., 1981. Spread-F theories: A Review,

J. Atmos. Terr. Phys.,43, 437–452,

doi:10.1016/0021-9169(81)90107-0,

1981.

Otsuka, Y., Ogawa, T., dan Effendy, 2009.VHF

Radar Observations of Nighttime F-

Region Field- Aligned Irregularities over

Kototabang, Indonesia, Earth Planet

Space, 61, 431–437.

Page 12: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya .....(Atik Bintoro)

65

KARAKTERISTIK MOTOR BAKAR PISTON

PEMBANGKIT GAYA DORONG PESAWAT NIR AWAK LSU-05

(CHARACTERISTIC OF PISTON ENGINE AS LSU-05 UAV'S THRUST

GENERATOR) Atik Bintoro

Pusat Teknologi Penerbangan

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Raya LAPAN, Sukamulya, Rumpin Bogor 16350 Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

LSU-05 Unmanned Aerial Vehicle (UAV) was resulted by Aeronautics Technology Center,

Indonesian National Institute of Aeronautics and Space, LAPAN.This unmanned vehiclehas the piston

combustion engine as power sources. Through analytical methods, and data plane LSU-05 technical

specifications, has been carried out characterization propulsion engines for vehicle such LSU-05. It

was a support to get performance of LSU-05 UAV reliable in achieving the mission as an air cargo

carrier like payload. The characteristics of piston combustion engine in question were the output

power of 14 HP/6400RPM or 11 HP/6000 RPM, and subsequently selected as the propulsion engine

LSU-05 UAV.

Keywords: LSU-05, Piston, Combustion engine, Vehicle, Unmanned

ABSTRAK

Pesawat terbang nir awak seri LSU-05 merupakan hasil litbangyasa Pustekbang LAPAN.

Pesawat terbang nir awak ini bermesin motor bakar piston sebagai sumber tenaga. Melalui metode

analitis, dan data spesifikasi teknik Pesawat LSU-05, telah dilakukan karakterisasi mesin propulsi

untuk pesawat LSU-05 tersebut. Hal ini sebagai dukungan untuk mendapatkan Pesawat Terbang Nir

awak LSU-05 yang andal dalam mencapai misi sebagai pesawat pembawa muatan. Adapun

karakteristik motor bakar piston yang dimaksud adalah daya keluaran 14 HP/6400 rpm atau 11

HP/6000 rpm, dan selanjutnya dipilih sebagai mesin propulsi pesawat terbang nir awak LSU-05.

Kata kunci: LSU-05, Piston, Motor bakar, Pesawat, Nir awak

1 PENDAHULUAN

Motor bakar piston merupakan

salah satu mesin pembangkit energi,

termasuk menghasilkan gaya dorong

dan gaya angkat sayap pesawat terbang

nir awak. Dalam operasionalnya, memerlu-

kan bahan bakar untuk menghasilkan

perubahan energi, dari energi kimia

menjadi energi panas dan tekanan di

dalam ruang bakar, yaitu pada saat

bahan bakar bereaksi dengan oksigen

dan panas selama pembakaran ber-

langsung. Pada motor bakar piston yang

digunakan sebagai pembangkit energi

dorong pesawat nir awak LSU-05 adalah

energi yang dihasilkan pembakaran bahan

bakar di dalam silinder ruang bakar.

Pembakarannya berlangsung sangat cepat,

tetapi operasional motor bakar piston

perlu waktu sekitar seratus sampai

dengan seribu detik, atau tergantung

jenis mesinnya. Motor bakar yang meng-

gunakan sistem karburator atau pun

sistem injeksi sebagai sarana untuk

pencampuran bahan bakar dan oksigen

yang berasal dari udara, sebelum masuk

ke dalam silinder ruang bakar, diperlukan

bahan bakar yang mudah menguap pada

temperatur atmosfer dan membentuk

campuran dengan udara menjadi

campuran yang mudah terbakar. Energi

dorong sebagai hasil pembakaran ini,

selanjutnya digunakan untuk menggerak-

kan piston dalam arah translasi bolak

Page 13: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :65-70

66

balik, kemudian diteruskan ke batang

hubung dan poros engkol menjadi

gerakan putar, yang selanjutnya dapat

memutar baling-baling propeler untuk

menghasilkan gaya dorong dan menjadi-

kan sayap pesawat terbang nir awak

menghasilkan gaya angkat. Gaya dorong

dan gaya angkat berfungsi untuk

mewujudkan misi pesawat LSU-05 hasil

rancang bangun Pustekbang LAPAN ini,

agar dapat menjadi pesawat pembawa

muatan. Dari uraian di atas dapat

diketahui bahwa motor bakar piston

memiliki peran penting dalam pencapaian

misi pesawat LSU-05, terutama sebagai

sumber tenaga untuk menghasilkan gaya

dorong dan gaya angkat sayap pesawat.

Oleh karena itu untuk mendapatkan

pesawat LSU-05 yang andal diperlukan

juga motor bakar piston yang andal,

sehingga dirasa perlu dilakukan analisis

karakterisasi motor bakar piston yang

sesuai dengan kebutuhan Pesawat LSU-05.

2 MOTOR BAKAR PISTON SEBAGAI

PEMBANGKIT GAYA DORONG

PESAWAT TERBANG NIR AWAK

Gaya dorong pesawat terbang nir

awak berasal dari daya keluaran motor

bakar piston, yang merupakan hasil

pembakaran bahan bakar. Pembakaran

ini menimbulkan panas dan tekanan di

dalam ruang bakar, sehingga mampu

menghasilkan gerakan bolak balik piston,

batang hubung dan putaran poros

engkol. Adapun alur penggunaan bahan

bakar misalnya bensin di dalam motor

bakar piston, seperti tercantum pada

Gambar 2-1.

Putaran poros engkol seperti pada

Gambar 2-1, nomor 7 akan menghasilkan

Torsi, yang selanjutnya dapat mem-

bangkitkan daya motor. Salah satu

manfaat daya ini, dapat digunakan

sebagai penghasil usaha pemutar propeler

untuk menghasilkan gaya dorong dan

gaya angkat pada sayap pesawat seperti

pada Gambar 2-2. Untuk kecepatan

terbang Co, rapat massa udara ρud, luas

sapuan propeler As, jari-jari propelerRr,

dan koefisien gaya angkat Cl, akan

dihasilkan gaya angkat aerodinamik

pesawat nir awak Fd sebesar (Bintoro,

2014):

sudold ACCF 2

5.0 (2-1)

Jika luas sapuan propeler berbentuk

lingkaran maka jari-jarinya dapat

dinyatakan menjadi:

udol

dr

CC

FR

2

2

(2-2)

Gambar 2-1: Komponen sistem pembakaran

bahan bakar bensin di motor bakar piston

Gambar 2-2: Propeler dan Pesawat Terbang Nir awak, a) Propeler dan b) Pesawat

terbang nir awak lepas landas (Arismunandar, 2002; Bintoro, 2014)

Page 14: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya .....(Atik Bintoro)

67

Daya yang dihasilkan oleh propeler

adalah (Arismunandar, 2002):

odp CFN (2-3)

Torsi yang dihasilkan oleh daya Np pada

putaran propeler n adalah:

n

NT

p (2-4)

2.1 Daya Mesin

Pada mesin propulsi, semisal motor

bakar piston, bahan bakar hidrokarbon

digunakan untuk menghasilkan daya

mesin, melalui reaksi kimia pembakaran

hidrokarbon. Besar daya bisa dihitung

dengan persamaan daya sebagai hasil

pembakaran, dan dapat dinyatakan

dalam bentuk hubungan antara: Daya

yang dihasilkan N (hp), Volume konsumsi

bahan bakar permenit V (kg/menit),

Kebutuhan massa udara permenit ρud

(kg/m3), Rasio berat udara dan bahan

bakar F, Panas pembakaran bahan

bakar Qf (kcal/kg), dan Efisiensi termal ηth.

Persamaan daya (Hp) tersebut seperti di

bawah ini (Goodger, 1975).

4500

427

1thfud Q

F

FVN

(2-5)

2.2 Komposisi Kimia Bahan Bakar

Bahan bakar mesin propulsi baik

bahan bakar cair, maupun gas, pada

umumnya terdiri dari komposisi karbon

dan hidrogen, yang dikenal sebagai

bahan bakar hidrokarbon. Bahan bakar

ini terkadang juga mempunyai tambahan

sedikit unsur belerang dan oksigen.

Beberapa jenis dan rumus kimia bahan

bakar hidrokarbon yang berasal dari

hasil petroleum seperti pada Tabel 2-1

(Goodger, 1975).

Sedangkan massa atom dan

molekul untuk beberapa elemen

hidrokarbon seperti terlihat pada Tabel

2-2 (Harker dan Backhurst, 1981).

Tabel 2-1: BEBERAPA MACAM BAHAN BAKAR HIDROKARBON

Nomor Nama/

Rumus umum

Contoh / Rumus Kimia

1 Parafin

CnH2n+2

Metan

CH4

2 Olefin

CnH2n

Propelina

C3H6

3 Naptena

CnH2n

Ciklopropan

C3H6

4 Alkena

CnH2n-2

Acetilen

C2H2

5 Aromatik

CnH2n-6

Bensena

C6H6

Tabel 2-2: MASSA ATOM DAN MOLEKUL

ELEMEN HIDROKARBON

Nama Rumus

Kimia

Massa

Atom Mol

Karbon C 12 12

Hidrogen H2 1 2

Oksigen O2 16 32

Belerang S 32 32

Nitrogen N2 14 28

Metan CH4 -- 42

Propelina C3H6 -- 42

Bensena C6H6 -- 78

2.3 Persamaan Stoikiometri Pem-

bakaran

Reaksi kimia selama pembakaran

bahan bakar hidrokarbon, baik cair

maupun gas merupakan reaksi kimia

yang kompleks, namun demikian bisa

dinyatakan ke dalam bentuk persamaan

kimia sederhana. Reaksi kimia pembakar-

an tersebut adalah (Sen, 1978; Goodger,

1977):

- Bahan bakar cair

C + O2= CO2 (2-4)

12 kg C + 32 kg O2 = 44 kg O2 (2-5)

12 kg C)1k mol C+1k mol O2=1 k mol CO2 (2-6) 2H2 + O2= 2 H2O (2-7)

4kg H2 + 32 kg O2 = 36 kg H2O (2-8)

(4kg H2) 2k mol H2 + 1 k mol O2 = 2 kmol H2O

(2-9)

Page 15: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :65-70

68

Jika diasumsikan bahwa rumus kimia

bahan bakar adalah CnHm, jumlah

molekul (mol) bahan bakar n, jumlah

mol hidrogen di dalam bahan bakar

m/2, dan jumlah molekul N2 per molekul

O2 di dalam persen udara sebesar 3,76

maka selama pembakaran, reaksi bahan

bakar dengan udara dapat dinyatakan

sebagai persamaan umum Stoikiometri,

yaitu:

(2-10)

atau

222

22

476.3

2

476.3

4

Nm

nOHm

nCO

Nm

nOm

nHC mn

(2-11)

Untuk pembakaran sempurna, secara

teoritis untuk berat mol bahan bakar Mb

kg/kg bahan bakar, dengan konsumsi

udara Gt yang diperlukan sebesar:

4

3232.4 mn

M

xG

b

t (2-12)

- Bahan bakar gas

Di dalam pembakaran sempurna,

reaksi kimia pembakaran bahan bakar

gas, selalu terdapat kandungan oksigen,

karbon dan hidrogen. Dengan asumsi

bahwa n adalah jumlah mol karbon, m/2

mol hidrogen, dan r/2 adalah jumlah

mol oksigen di dalam bahan bakar,

sedangkan rumus umum bahan bakar

adalah CnHmOr, maka persamaan reaksi

dengan udara, seperti di bawah ini.

(2-13)

Pembakaran sempurna secara teoritis

untuk k mol bahan bakar gas, diperlukan

volume udara kmol/kmol bahan bakar,

sebesar:

2476.4

rmnVud (2-14)

2.4 Bahan Bakar Bensin

Bensin merupakan salah satu

jenis bahan bakar yang digunakan pada

motor bakar piston, sebagai pembangkit

tenaga untuk menghasilkan gaya dorong

pesawat nir awak. Bensin mempunyai

kandungan hidrokarbon lebih dari 500

jenis rantai C5-C10, semisal Alkana rantai

lurus yang mudah terbakar, diantaranya

adalah n-heptana, n-oktana dan n-

nonana. Kandungan ini menyebabkan

pembakaran bahan bakar bensin di

dalam motor bakar piston, terjadi terlalu

cepat sebelum piston tiba pada posisi

yang tepat, dan terjadi fenomena ledakan

atau knocking. Sedangkan kandungan

alkana rantai bercabang adalah iso-

oktana, bersifat sulit terbakar, dan tidak

sering menimbulkan fenomena knocking

pada saat pembakaran terjadi. Kemam-

puan bensin dalam menghindari fenomena

knocking selama pembakaran bensin di

dalam motor bakar piston, dijadikan

sebagai acuan menentukan mutu bensin,

dengan satuan bilangan oktan, dari

angka 0 untuk n-heptana yang mudah

terbakar, sampai dengan angka 100

untuk iso-oktana yang sulit terbakar

(Anneahira, 2014). Berarti bensin

dengan nilai oktan tinggi relatif lebih

sedikit menghasilkan knocking jika

dibandingkan dengan nilai oktan yang

lebih rendah.

3 KARAKTERISTIK MESIN PROPULSI

PESAWAT LSU-05

Karakteristik mesin propulsi untuk

pesawat terbang nir awak seri LSU-05,

dapat diketahui melalui analisis terhadap

data konfigurasi, spesifikasi teknik,

bahan bakar yang akan digunakan, misi

LSU-05, serta prosedur analisis.

3.1 Konfigurasi LSU-05

Konfigurasi pesawat terbang nir

awak LSU-05 (Pustekbang, 2013; 2015)

terlihat seperti pada Gambar 3-1, untuk

Page 16: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya .....(Atik Bintoro)

69

spesifikasinya terdapat pada Tabel 3-1,

dan Bahan bakarnya pada Tabel 3-2.

Gambar 3-1: Konfigurasi LSU-05

Tabel 3-1: SPESIFIKASI PESAWAT TERBANG

NIR AWAK LSU-05

Komponen Spek

Rentang sayap 5,50

Panjang pesawat 4,10

Tinggi 1,13 m

MTOW 77,00 kg

Berat kosong 31,00 kg Berat payload 30 kg

Berat bahan bakar 16,00 kg

Kecepatan terbang 100 km/jam

Tabel 3-2: KARAKTERISTIK BAHAN BAKAR MESIN PESAWAT TERBANG NIR AWAK LSU-05

No. Jenis/Sifat bahan bakar

1 Bahan bakar hidrokarbon

2 Menghasilkan energi yang besar

3 Mudah menguap

4 Tidak iritasi di kulit

5 Titik nyala rendah

6 Tidak mudah teroksidasi

3.2 Prosedur Pemilihan Mesin Propulsi

Gambar 3-2: Prosedur pemilihan mesin propulsi

3.3 Hasil Karakterisasi Mesin Propulsi

LSU-05

Karakterisasi mesin propulsi untuk

pesawat terbang nir awak seri LSU-05,

dapat dilakukan melalui analisis

terhadap data konfigurasi, spesifikasi

teknik, bahan bakar yang akan digunakan,

dan misi LSU-05, sehingga ditemukan

bagaimana hubungan antar parameter

tersebut berlangsung, terutama untuk

memenuhi misi pesawat terbang nir

awak tersebut. Dari Tabel 3-1 diketahui

bahwa Spesifikasi Pesawat nir awak

LSU-05 untuk berat pesawat (MTOW)

sebesar 77 kg, berarti mesin propulsi

yang digunakan harus mampu menghasil-

kan gaya dorong dan gaya angkat sayap

melalui putaran propeler serta bentang

sayap yang berukuran 5,50 m, sehingga

mampu terbebani sebesar 77 kg.

Disamping itu, disesuaikan juga dengan

karakteristik bahan bakar hidrokarbon

yang akan digunakan seperti pada Tabel

3-2, serta mampu terbang pada kecepatan

100 km/jam, dapat terpenuhi.

Salah satunya berdasarkan per-

timbangan data di atas dan persamaan

pehitungan yang telah disampaikan di

Bab 2, maka telah dipilih oleh Tim

Propulsi Litbangyasa LSU-05, yakni

mesin propulsi berjenis motor bakar

piston untuk mesin propulsi pesawat

terbang nir awak LSU-05, seperti pada

Gambar 3-3.

Gambar 3-3: Pesawat terbang nir awak LSU-05

dengan motor bakar piston siap diuji terbang

Sedangkan beberapa alternatif

yang bisa digunakan, tercantum seperti

pada Gambar 3-4 (MVVS, 2013) dan

karakteristik mesin propulsinya seperti

Page 17: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :65-70

70

pada Tabel 3-3. (Pustekbang, 2015;

Bintoro dan Rachmat, 2013).

Gambar 3-4: Motor bakar piston sebagai Mesin Propulsi Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 [11]

Tabel 3-3: KARAKTERISTIK TEKNIK MESIN

PROPULSI PESAWAT TERBANG NIR

AWAK LSU-05 (Pustekbang, 2015;

Bintoro dan Rachmat, 2013)

Komponen Spesifikasi

Lubang silinder 42 mm

Ukuran piston 42 mm

Berat motor

utama

3100 gr

Berat unit

pembakaran

270 gr

Tenaga yang

dihasilkan

14 HP/6400 rpm

11 HP/6000 rpm

Torsi maksimum 15 Nm /6100 rpm

12,7 Nm/5600

rpm

Jenis bahan

bakar

95 Oktan

Pelumasan Pelumas : Petrol =

1:40

Putaran mesin 1000 – 7500 rpm

Perbandingan

FAR

1:14,7

Sistem

pengapian

Karburator

4 KESIMPULAN

Dari uraian di atas diketahui

bahwa untuk mendukung keandalan

Pesawat Terbang Nir awak LSU-05, Tim

Propulsi Litbangyasa LSU-05 telah

melakukan karakterisasi mesin propulsi

untuk pesawat LSU, melalui analisis

terhadap data konfigurasi, spesifikasi

teknik, bahan bakar yang akan digunakan

dan misi LSU-05. Sehingga diperoleh

motor bakar piston dengan daya keluaran

14 HP/6400 rpm atau 11 HP/6000 rpm

yang dipilih sebagai mesin propulsi

pesawat terbang nir awak LSU-05.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu

terwujudnya tulisan ini, terutama

kepada: Bapak Gunawan S. Prabowo -

Kepala Pusat Teknologi Penerbangan-

LAPAN, Bapak Agus Bayu Utama–Kepala

Bidang Diseminasi/Kepala Bidang

Teknologi Propulsi Pusat Teknologi

Penerbangan LAPAN, Tim Propulsi Pusat

Teknologi Penerbangan, dan Tim

Litbangyasa LSU-05 Pusat Teknologi

Penerbangan LAPAN.

DAFTAR RUJUKAN Anneahira, 2014. Komponen Sistem Bahan

Bakar Bensin, www.anneahira.com.

Atik Bintoro, 2014. Penentuan Spesifikasi

Propeler Berdasarkan Kinerja Mesin

Propulsi Pesawat Terbang nir awak

LSU-05, Buku Bunga Rampai Hasil

Penelitian dan Pemikiran Ilmiah

tentang Teknologi Pesawat Terbang

Tanpa Awak, Roket, serta Satelit 2014,

Indonesia Book Project, Jakarta.

Atik Bintoro, Dede Rachmat, 2013. Penentuan

Karakteristik EFI untuk Pesawat nir

awak Jenis LSU-05, buku bunga

rampai Penelitian dan Kajian Teknologi

Pesawat Terbang, Indonesia Book

Project, Jakarta.

EM. Goodger, 1975. Hydrocarbon Fuels,

Macmillan, London.

EM. Goodger, 1977. Combustion Calculations,

Macmillan, London.

JH. Harker and JR. Backhurst, 1981. Fuel and

Energy, Academic Press, London.

MVVS, 2013. Operating Instructions MVVS 116

IRS No : 33010, MVVS, Brno, Czech

Republic, www.mvvs.cz.

Pustekbang, 2013. Pesawat nir awak LSU-05,

Stand banner Hasil litbang Pusat

Teknologi Penerbangan, LAPAN, Bogor.

Pustekbang, 2015. Dokumentasi Pustekbang

LAPAN.

SP. Sen, 1978. Internal Combustion Engine, theory

and Practice, Khanna Publishers, Delhi.

Wiranto Arismunandar, 2002. Pengantar Turbin

Gas dan Motor Propulsi, Penerbit ITB,

Bandung, halaman 97-128.

Page 18: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)

71

PENGARUH PARAMETER PENGADUKAN TERHADAP KANDUNGAN

GUGUS FUNGSI DALAM PREPOLIMER HTPB:

TDI 15:1 GAGAL MATANG

(INFLUENCES OF MIXING PARAMETERS ON FUNCTIONAL GROUPS

CONTENTS IN HTPB: TDI 15:1 FAIL CURED PREPOLYMER)

Afni Restasari

Pusat Teknologi Roket

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Raya LAPAN, No. 2 Mekarsari, Rumpin Bogor 16350 Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

In a study of determining the best propellant binder composition that composed by HTPB

2014 and TDI 2013, the composition of HTPB: TDI 15: 1 is failed to be cured. Mixing parameters are

supposed to influence the curing failure of the prepolymer. Identification of the functional groups

contained in the prepolymer can provide a deeper knowledge about that influences. This study aimed

to know the effect of mixing parameters on the functional groups contained in the fail cured

prepolymer HTPB: TDI 15: 1 by using Infrared Spectrophotometer. The research methods include

mixing characterization which are the calculation of Reynolds and Froud Numbers, and analysis of

functional groups contained in the fail cured prepolymer HTPB: TDI 15: 1 by using FT-IR Shimadzu. It

is known from the infrared spectrum that the fail cured prepolymer contains a stretching NH (3375.43

cm-1), OH (3527.8 cm-1), -NCO (2274.07 cm-1), -C = O (1732.08 cm-1), COC (1097.5 cm-1), Amide I

(1699.29 cm-1), Amide II (1537.27 cm-1), Amide III (1220.94 cm-1), 2, 6 - TDI (815.89 cm-1), free OH of

HTPB (3400.5 cm-1) and urea (1681.93 cm-1). It was concluded that the Reynolds number of 0.8698 -

0.8921 with a total stirring time of 20 minutes are able to cause the reaction of the urethane bond

formation with the appearances of peaks of NH, OH, -NCO, -C = O and C-O-C and Amide I, II and III.

However, the reaction is uncomplete with the peaks of 2,6-TDI and free hydroxyl. Meanwhile, Froud

number prepolymer of 0.0142 has been capable of dissolving air that contain water vapor in mixing

process, resulting in the formation of urea.

Keywords: Polyurethane, Mixing, Infrared spectroscopy

ABSTRAK

Dalam penelitian penentuan komposisi binder propelan terbaik dengan bahan HTPB 2014 dan

TDI 2013, komposisi HTPB: TDI 15 : 1 menunjukkan kegagalan matang. Parameter pengadukan

diduga berpengaruh terhadap kegagalan matang prepolimer. Identifikasi gugus–gugus fungsi yang

terkandung dalam prepolimer dapat memberikan pengetahuan lebih dalam mengenai pengaruh

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap

kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang

dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah. Metode penelitian meliputi karakterisasi

pengadukan, yaitu perhitungan Bilangan Reynold dan Froud serta analisa gugus fungsi dengan

menggunakan FT-IR Shimadzu terhadap prepolimer gagal matang berbahan HTPB: TDI 15:1.

Diketahui dari spektrum inframerah bahwa prepolimer gagal matang tersebut mengandung uluran

NH (3375,43 cm-1), OH (3527,8 cm-1), -NCO (2274,07 cm-1), -C=O (1732,08 cm-1), C-O-C (1097,5 cm-1),

Amida I (1699,29 cm-1), Amida II (1537,27 cm-1), Amida III (1220,94 cm-1), 2,6 – TDI (815,89 cm-1), OH

bebas dari HTPB (3400,5 cm-1) dan urea (1681,93 cm-1). Disimpulkan bahwa bilangan Reynold

sebesar 0.8698 - 0.8921 dengan waktu pengadukan total 20 menit telah menyebabkan terjadinya

reaksi pembentukan ikatan uretan dengan munculnya puncak uluran NH, OH, -NCO, -C=O dan C-O-

C serta Amida I, II dan III. Namun, reaksi tersebut tidak sempurna yang ditandai dengan puncak dari

2,6-TDI dan hidroksil bebas. Sementara, bilangan Froud prepolimer yang sebesar 0,0142 telah mampu

Page 19: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80

72

melarutkan udara yang mengandung uap air saat proses pengadukan sehingga mengakibatkan

terbentuknya urea.

Kata Kunci: Poliuretan, Mixing, Spektroskopi inframerah

1 PENDAHULUAN

Propelan padat komposit merupa-

kan salah satu jenis propelan yang

sedang dikembangkan LAPAN sebagai

bahan bakar roket. Berdasarkan bentuk-

nya, komposisi dasar propelan padat

komposit meliputi kandungan cair (liquid

content) dan kandungan padat (solid

content). Kandungan padat terdiri dari

oksidator seperti Ammonium perklorat

dan fuel logam seperti serbuk aluminium.

Sedangkan kandungan cair meliputi

pembentuk binder, yaitu poliol dan

curing agent. Binder ini sering disebut

sebagai fuel binder karena selain ber-

fungsi untuk merekatkan dan mendistri-

busikan seluruh komponen propelan

secara merata, banyaknya kandungan

karbon dalam binder juga turut

menyumbang energi yang dihasilkan

oleh propelan seperti dituangkan pada

persamaan 1-1 (Hagen, 2014; Martin

dan Welch, 2003).

28C73H110O6 + 574NH4ClO4 → 287N2 + 574HCl+ 2044CO + 2401H2 + 0,36 kkal/gr

(1-1)

Dalam pengembangan komposisi

propelan, sifat mekanik dan fisik

merupakan pertimbangan yang paling

penting untuk stabilitas dan kinerja

propelan (Ramnarace, 2015). Hal ini

disebabkan propelan harus dapat

bertahan dalam berbagai jenis tekanan

selama penanganan dan transportasi,

siklus termal, pemantikan (ignition), dan

percepatan saat penerbangan motor roket

(Restasari et al., 2015; Mahanta dan

Pathak, 2012). Propelan tidak boleh retak,

memiliki pori yang besar maupun bagian

yang tidak terikat pada lokasi dimanapun

dan kapanpun. Sifat mekanik dan fisik

yang kurang baik dapat menyebabkan

berbagai masalah diantaranya adalah

retak pada siklus termal, terpisahnya

propelan oleh karena penyusutan dan

kualitas ikatan yang buruk, patah saat

pemberian tekanan pada pemantikan

(ignition), degradasi propelan,

dan perubahan dimensi propelan

(Ramnarace, 2015).

Kualitas sifat mekanik propelan

bergantung pada kualitas ikatan fuel

binder yang mengandung poliuretan.

Poliuretan terbentuk dari reaksi antara

gugus hidroksil (OH) dari Hydroxy

Terminated Polybutadiene (HTPB) dengan

gugus isosianat (NCO) dari Toluene

diisocyanate (TDI) (Rosita, 2014). Reaksi

polimerisasi tersebut dapat berlangsung

dengan empat mekanisme yang dijelaskan

dengan persamaan 1-2, 1-3, 1-4 dan 1-5,

dengan Mn adalah simbol untuk rantai

hidrokarbon dari HTPB dan Ar adalah

hidrokarbon dari TDI. Persamaan 1-2

menjelaskan reaksi awal terbentuknya

kopolimer poliuretan dengan ujung NCO

dan OH. Persamaan 1-3 menunjukkan

mekanisme apabila kopolimer poliuretan

bereaksi dengan gugus OH dari HTPB

sehingga dihasilkan poliuretan dengan

gugus OH di kedua ujungnya. Sementara,

persamaan 1-4 ialah mekanisme yang

terjadi apabila kopolimer poliuretan

bereaksi dengan gugus NCO dari TDI

sehingga terbentuk poliuretan yang

memiliki gugus NCO di kedua ujungnya.

Persamaan 1-5 terjadi apabila gugus

uretan bereaksi dengan NCO dari TDI

membentuk gugus karboizida. Persamaan

ini dikenal dengan bentuk ikatan silang

karena akan menghasilkan struktur ikatan

silang yang memiliki tiga gugus ujung

aktif (Wibowo, 2015a).

(1-2)

Page 20: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)

73

(1-3)

(1-4)

(1-5)

Selain dapat mengandung ikatan

silang yang berjenis ikatan kovalen,

poliuretan juga mengandung ikatan

silang yang berjenis ikatan hidrogen

seperti ditunjukkan pada Gambar 1-1.

Gambar 1-1 menunjukkan bahwa ikatan

hidrogen terbentuk ketika atom hidrogen

(H) diapit oleh nitrogen (N) dan oksigen

(O). Ikatan ini dapat terjadi antar gugus

uretan yang terkandung dalam segmen

keras poliuretan maupun antara gugus

uretan dengan segmen lunak poliuretan

yang mengandung gugus fungsi seperti

eter pembentuk rantai hidrokarbon

HTPB (Hagen, 2014; Ren et al., 2004).

Gambar 1-1: Ikatan hidrogen dalam poliuretan

(Hagen, 2014)

Telah dilakukan berbagai penelitian

untuk mendapatkan sifat mekanik

propelan terbaik. Menurut Wibowo

(2015b), sifat mekanik propelan yang

baik dapat diperoleh dari komposisi

OH/NCO sebesar 1,0 atau 0,9 dengan

OH/NCO merupakan rasio dari bilangan

hidroksil dari HTPB dan bilangan

isosianat TDI. Menurut Rosita (2014),

sifat mekanik tersebut ditentukan oleh

rasio massa HTPB : TDI. Erryani (2014)

menyatakan bahwa rasio massa HTPB:

TDI yang terbaik ialah yang menghasilkan

propelan dengan kuat tarik yang tinggi

dan elongasi di atas 5%. Dengan demikian,

untuk mendapatkan komposisi propelan

terbaik, rasio HTPB: TDI yang menghasil-

kan sifat mekanik prepolimer yang

terbaik perlu ditentukan terlebih dahulu

sebelum penentuan komposisi propelan,

seperti yang telah dilakukan terhadap

HTPB 2014 dan TDI 2013. Namun dalam

penentuan tersebut, rasio massa HTPB:

TDI 15 : 1 yang mengandung NCO/OH

sebesar 1 menunjukkan kegagalan

matang. Hal ini mengindikasikan adanya

faktor lain yang berpengaruh terhadap

sifat mekanik prepolimer yakni parameter

pengadukan.

Parameter pengadukan menjadi

penting untuk diperhatikan ketika dua

bahan yang memiliki perbedaan viskositas,

seperti HTPB dan TDI, dicampur

sekaligus direaksikan. HTPB merupakan

cairan kental yang berviskositas tinggi.

Sementara TDI berviskositas rendah.

Menurut Dickey (2015), mencampurkan

dua bahan yang memiliki perbedaan

viskositas lebih sulit daripada mencampur-

kan dua bahan dengan sifat fisik yang

mirip. Selanjutnya, beliau menyatakan

bahwa menambahkan cairan berviskositas

rendah ke cairan berviskositas tinggi,

seperti pada penambahan TDI ke dalam

HTPB, lebih sulit daripada menambahkan

Page 21: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80

74

cairan berviskositas tinggi ke cairan

berviskositas rendah. Dengan sulitnya

pencampuran, parameter pengadukan

yang kurang tepat dapat menyebabkan

terbentuknya produk samping seperti

urea yang menyebabkan sifat mekanik

prepolimer tidak mewakili komposisi

bahannya. Reaksi pembentukan urea

dari TDI dan air dijelaskan pada

persamaan di Gambar 1-2 (Hagen, 2014;

Equipment Testing Procedures Committee,

2001).

Gambar 1-2: Reaksi Pembentukan Urea (Hagen, 2014)

Beberapa parameter pengadukan

yang berkaitan dengan sifat viskositas

bahan adalah jenis impeller, viskositas

campuran, bilangan Reynold (Re), dan

bilangan Froud (Fr). Jenis impeller yang

khas meliputi impeller aliran radial,

tangensial, aksial, bentuk jangkar, sekrup

dan heliks. Jenis impeller berkontribusi

pada pemerataan panas pencampuran.

Sementara, viskositas campuran menen-

tukan seberapa sulit gerakan atau aliran

suatu cairan. Viskositas campuran yang

kurang dari 100 cP (0,1 Pa.s) berefek

sangat kecil. Sedangkan, efek viskositas

yang lebih dari 10.000 cP (10 Pa.s) dapat

mendominasi masalah pencampuran.

Lebih lanjut, efek dari viskositas

direpresentasikan dengan bilangan

Reynold (Equipment Testing Procedures

Committee, 2001).

Bilangan Reynold (Re) menentukan

aliran pencampuran (mixing) yang terjadi.

Re yang kurang dari 10 menunjukkan

terjadinya pencampuran laminar, 10-

20.000 menunjukkan pencampuran

transisi dari laminar ke turbulen dan Re

lebih dari 20.000 menunjukkan pencam-

puran turbulen (Equipment Testing

Procedures Committee, 2001). Menurut

Williams (2007), mekanisme primer yang

membantu perkembangan pencampuran

dengan bilangan Reynold rendah adalah

difusi yang membutuhkan waktu yang

lama untuk efektif.

Selain bilangan Reynold, bilangan

Froud (Fr) yang merepresentasikan

adanya vortex atau pusaran cairan yang

terjadi di sekitar batang pengaduk juga

perlu diperhatikan karena dapat membawa

bahan secara spiral turun ke pusat

(Dickey, 2015). Bilangan Froud diketahui

secara linier mempengaruhi kedalaman

vortex (Smith dan During, 1991).

Pengaruh parameter pengadukan

terhadap kesempurnaan ikatan prepolimer

dapat diketahui dengan menganalisa

kandungan gugus-gugus fungsi yang

terkandung dalam prepolimer dengan

Spektrofotometri Inframerah yang mana

bilangan-bilangan gelombang yang ditinjau

ialah yang menentukan keberadaan

ikatan uretan, urea sebagai produk

samping dan HTPB serta TDI sebagai

reaktan (Rosita, 2015; Fessenden dan

Fessenden, 1986). Oleh karena itu,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh parameter pengadukan terhadap

kandungan gugus fungsi yang terkandung

dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI

15:1 gagal matang dengan menggunakan

Spektrofotometri Inframerah. Penelitian

ini diharapkan dapat menjadi dasar

untuk menemukan teknik pengadukan

yang tepat sehingga penentuan komposisi

binder propelan dapat berhasil dengan

baik.

2 METODOLOGI PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah prepolimer poliuretan

dengan rasio massa HTPB 2014 : TDI

2013 15 : 1 dan NCO/OH sebesar 1.

Karakterisasi pengadukan yang meliputi

perhitungan bilangan Reynold dan Froud

dihitung berdasarkan data pada Tabel 2-1.

Bilangan Reynold (Re) dihitung

Page 22: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)

75

menggunakan persamaan 2-1 yang

mana µ adalah viskositas cairan (Pa.s).

Perhitungan massa jenis (ρ) atau

densitas campuran dan bilangan Froud

(Fr) masing–masing dilakukan dengan

menggunakan persamaan 2-2 dan 2-3

(Equipment Testing Procedures Committee,

2001).

(2-1)

(2-2)

(2-3)

Analisa gugus-gugus fungsi dilakukan

dengan menggunakan Spektrofotometer

Fourier Transform Infrared (FT-IR)

Shimadzu yang mampu merekam

spektra dengan bilangan gelombang 400 –

4000 cm-1. Analisa ini dilakukan dengan

mengidentifikasi bilangan– bilangan

gelombang yang tertuang pada Tabel 2-2.

Tabel 2-1: DATA PENGADUKAN PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1

Jenis Impeller Impeller Aliran aksial, R 1342

Propeller stirrer, 4 blade Diameter Impeller (D) 0,05 m µ1 prepolimer pada 10 menit pertama pengadukan

39 P = 3,9 Pa.s

µ2 prepolimer pada 10 menit kedua pengadukan

40 P = 4 Pa.s

Total waktu pengadukan (menit) 20 Fraksi massa HTPB (x1) 0,9375 Fraksi massa TDI (x2) 0,0625 ρ HTPB 0,87 g/mL = 870 kg / m3 ρ TDI 1,21 g/mL = 1210 kg / m3 N (kecepatan putaran) 1,67 rev/s g (percepatan gravitasi) 9,8 m.s-2

Tabel 2-2: BILANGAN-BILANGAN GELOMBANG YANG DIANALISA

Gugus Fungsi Bilangan gelombang (cm-1) Sumber Uluran N-H 3360 – 3380; 3300 Malik, 2005; Gogoi et al.,

2013 Tekukan N-H 1516 Gogoi et al., 2013 O-H 3530 – 3550 Malik, 2005 -NCO 2270 – 2280; 2272 - 2274 Malik, 2005; Gogoi et al.,

2013 -C=O uretan 1720 - 1730 Malik, 2005 Uluran C-O-C 1100 Gogoi et al., 2013 Amida I 1700 – 1730 cm-1 Ren et al., 2004

Amida II 1500 – 1540 cm-1; 1530 – 1540

cm-1; 1500 – 1550 cm-1

Ren et al., 2004; Zhang et al., 2008; Nagle et al., 2007

Amida III 1200 – 1300 cm-1; 1220 – 1230 cm-1

Ren et al., 2004; Zhang et al., 2008

Gugus OH bebas dari HTPB 3350 – 3400 cm-1 Villar et al., 2011 Isomer 2,4-TDI 783 cm-1 Rosita, 2015 Isomer 2,6-TDI 815 cm-1 Rosita, 2015 Urea 1680 – 1690 cm-1 Malik, 2005

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakterisasi Pengadukan

Berdasarkan hasil perhitungan,

diketahui bahwa densitas prepolimer

HTPB : TDI 15:1 adalah sebesar 833,33

kg/m3. Data tersebut selanjutnya

digunakan untuk menghitung bilangan

Reynold dan diketahui bahwa prepolimer

tersebut memiliki bilangan Reynold yang

menurun dari 0,8921 pada 10 menit

Page 23: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80

76

pertama pengadukan ke 0,8698 pada 10

menit kedua pengadukan. Penurunan

bilangan Reynold dikarenakan meningkat-

nya viskositas prepolimer dari 3,9 Pa.s

menjadi 4 Pa.s dalam waktu 10 menit.

Peningkatan viskositas ini menunjukkan

peningkatan gugus uretan yang terbentuk

melalui reaksi polimerisasi (Gogoi et al.,

2013). Semakin banyak gugus uretan

yang terbentuk, semakin banyak ikatan

hidrogen yang terbentuk antara gugus

NH dan karbonil pada ikatan uretan

sehingga meningkatkan kekakuan dari

jaringan (Chattopadhyay et al., 2007 ).

Menurut Equipment Testing

Procedures Committee (2001), viskositas

prepolimer HTPB : TDI 15:1 belum

dikatakan mendominasi masalah pen-

campuran. Namun demikian, viskositas

yang lebih dari 0,1 Pa.s tersebut dikategori-

kan sebagai nilai yang memiliki efek

terhadap mudah tidaknya prepolimer

cair mengalir dalam pengadukan.

Sedangkan nilai bilangan Reynold yang

sangat rendah pada prepolimer HTPB:

TDI 15:1 menunjukkan bahwa aliran

laminar mendominasi aliran yang terjadi

selama pengadukan. Aliran laminar ini

menyebabkan butuh waktu yang lama

untuk mencapai pencampuran yang

baik (Williams, 2007).

Di sisi lain, diketahui bilangan

Froud prepolimer HTPB: TDI 15:1 sebesar

0,0142. Bilangan Froud secara linier

mempengaruhi kedalaman vortex (Smith

and During, 1991), sehingga dapat

disimpulkan bahwa dengan rendahnya

bilangan Froud maka kedalaman vortex

saat pengadukan prepolimer cair pun

dangkal.

3.2 Kandungan Gugus Fungsi

Analisa kandungan gugus fungsi

yang terkandung dalam prepolimer

poliuretan HTPB : TDI 15:1 gagal matang

dilakukan dengan menggunakan FT-IR.

Spektrofotometri Inframerah merupakan

cara identifikasi jenis ikatan dalam

molekul dengan menggunakan radiasi

inframerah. Pada spektrofotometri tersebut

radiasi ditembakkan ke sampel uji

dalam bentuk paket-paket energi yang

berbentuk foton. Radiasi yang telah

melewati sampel memiliki intensitas

foton yang lebih rendah daripada

mulanya. Hal ini karena molekul sampel

menyerap energi radiasi sehingga meng-

akibatkan peningkatan amplitudo vibrasi

atom-atom yang berikatan. Banyaknya

energi yang diserap bergantung pada

perubahan dalam momen ikatan.

Perubahan intensitas foton kemudian

diukur. Perubahan yang terekam

tersebut menunjukkan kekhasan jenis

ikatan tertentu (Rosita, 2015; Fessenden

dan Fessenden, 1986).

Jenis vibrasi ada dua, yaitu vibrasi

tekuk dan vibrasi ulur. Daerah di atas

1400 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur

dan digunakan untuk identifikasi gugus-

gugus fungsi. Sementara, daerah di

bawah 1400 cm-1 dapat menunjukkan

vibrasi ulur maupun tekuk. Daerah ini

disebut daerah sidik jari karena setiap

senyawa organik memiliki serapan yang

unik disini (Fessenden dan Fessenden,

1986). Spektra prepolimer poliuretan

dari 400 – 4000 cm-1 dapat dilihat pada

Gambar 3-1 dan hasil analisisnya

disampaikan pada Tabel 3-1.

Page 24: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)

77

Gambar 3-1: Spektra Inframerah Prepolimer Poliuretan HTPB : TDI 15:1 Gagal Matang

Tabel 3-1: KANDUNGAN GUGUS FUNGSI PADA PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1 GAGAL MATANG

Jenis Gugus

Fungsi

Bilangan

gelombang

Rujukan (cm-1)

Sumber

Bilangan gelombang

(cm-1) yang

Terdeteksi

Uretan

Uluran N-H 3360 – 3380 Malik, 2005 3375,43

OH 3530 – 3550 Malik, 2005 3527,8

-NCO 2270 – 2280 Malik, 2005 2274,07

-C=O uretan 1720 – 1730 Malik, 2005 1732,08

Uluran C-O-C 1100 Gogoi et al., 2013 1097,5

Ikatan Hidrogen NH- - - C=O

Amida I 1700 – 1730 Ren et al., 2004 1699,29

Amida II 1530 – 1540 Zhang et al., 2008 1537,27

Amida III 1220 - 1230 Zhang et al., 2008 1220,94

2,6-TDI 815 Rosita, 2015 815,89

Urea 1680 - 1690 Malik, 2005 1681,93

OH bebas 3350 - 3400 Villar et al., 2011 3400,5

Gambar 3-2: Penjelasan asal puncak–puncak uretan pada spektrum inframerah

3.3 Pengaruh Pengadukan terhadap

Kandungan Gugus Fungsi Prepolimer

Gagal Matang

Berdasarkan Tabel 3-1, diketahui

bahwa parameter yang digunakan dalam

proses pengadukan pada pembuatan

prepolimer berbahan HTPB: TDI 15:1

telah berhasil menyebabkan terjadinya

reaksi polimerisasi sehingga terbentuk

ikatan uretan yang ditandai dengan

munculnya spektra uluran NH, OH, -NCO,

-C=O dan C-O-C, seperti dijelaskan pada

Gambar 3-2, dengan Mn adalah simbol

untuk rantai hidrokarbon dari HTPB.

1732,08

cm-1

3527,8 cm-

1

3375,43

cm-1

2274,07 cm-1

1097,5

cm-1

Page 25: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80

78

Selain itu, terbentuknya ikatan

uretan juga ditandai dengan munculnya

puncak–puncak Amida I pada 1699,29

cm-1, Amida II pada 1537,27 cm-1 dan

Amida III pada 1220,94 cm-1. Amida I, II,

III sama–sama menunjukkan adanya

ikatan hidrogen yang mana atom

hidrogen berada dekat diantara atom N

dan O. Amida I termasuk penanda

terbentuknya ikatan uretan. Amida III

menunjukkan keberadaan ikatan hidrogen

antara C=O pada gugus uretan satu dan

N-H pada gugus uretan yang lain dimana

gugus–gugus uretan tersebut menyusun

segmen keras poliuretan. Sedangkan,

Amida II menunjukkan ikatan hidrogen

antara N-H pada gugus uretan di

segmen keras poliuretan dengan gugus

fungsi seperti eter (-O-) yang terkandung

dalam rantai hidrokarbon HTPB pem-

bentuk segmen lunak poliuretan (Ren et

al., 2004).

Namun demikian, pada spektra

inframerah (Gambar 4-1) juga terdeteksi

ketidaksempurnaan reaksi. Hal ini ditun-

jukkan dengan adanya puncak khas dari

2,6 – TDI pada bilangan gelombang

815,89 cm-1 dan gugus hidroksil (OH)

bebas dari HTPB pada 3400,5 cm-1. Isomer

2,6–TDI diketahui kurang reaktif dibanding

2,4 – TDI (Rosita, 2015), sehingga peng-

adukan yang tidak optimal kurang memicu

tumbukan yang dapat menyebabkan

reaksi kimia antara gugus hidroksil (OH)

HTPB dan gugus isosianat (NCO) pada

2,6 – TDI. Penyebab kekurangsempurnaan

reaksi ini ialah bilangan Reynold yang

terlalu kecil (di bawah 1) dan waktu

pengadukan yang kurang lama. Hal ini

karena aliran laminar, seperti yang

ditunjukkan dengan bilangan Reynold

prepolimer, membutuhkan waktu yang

lama untuk mencapai pencampuran

yang baik yaitu lebih dari 20 menit

(Equipment Testing Procedures

Committee, 2001; Williams, 2007).

Terjadinya reaksi samping dalam

prepolimer gagal matang diidentifikasi

dengan adanya puncak urea pada

1681,93 cm-1. Menurut Hagen (2014),

proses terbentuknya urea melalui 2 tahap.

Tahap pertama, gugus isosianat (NCO)

dari TDI bereaksi dengan air membentuk

senyawa amina primer dan karbon

dioksida. Tahap kedua, amina primer

bereaksi dengan gugus isosianat (NCO)

lainnya membentuk urea. Pembentukan

urea ini merugikan karena untuk mem-

bentuk satu senyawa urea membutuhkan

dua gugus isosianat. Sehingga gugus

isosianat yang seharusnya bereaksi

dengan gugus hidroksil (OH) dari HTPB

untuk membentuk uretan berkurang

dan terdapat HTPB yang sisa. Akibatnya,

sifat mekanik dan fisis yang dimiliki

prepolimer tidak lagi mewakili rasio

NCO/OH seperti yang dirancang. Selain

itu, karbondioksida yang dihasilkan dari

reaksi pembentukan urea tampak mem-

bentuk void (ruang kosong/pori) yang

terjebak di dalam prepolimer sehingga

mengakibatkan terbentuknya daerah

rawan pecah (Hagen, 2014).

Molekul air yang menjadi reaktan

terbentuknya urea dapat berupa uap air

yang terkandung dalam kelembapan

udara. Keikutsertaan uap air dalam

reaksi prepolimer disebabkan oleh

terbentuknya vortex selama pengadukan.

Diketahui vortex pada permukaan dapat

membawa bahan secara spiral turun ke

pusat (Dickey, 2015). Dengan kata lain,

adanya vortex, udara yang berada tepat

di permukaan prepolimer dapat turut

bercampur dengan prepolimer. Kedalaman

vortex ini berbanding linier dengan

bilangan Froud (Smith and During,

1991). Dengan demikian, bilangan Froud

prepolimer sebesar 0,0142 telah mampu

mengakibatkan terbentuknya urea.

4 KESIMPULAN

Berdasarkan analisis penelitian

ini, diketahui bahwa bilangan Reynold

sebesar 0,8698 – 0,8921 dengan waktu

pengadukan total 20 menit telah dapat

menyebabkan terjadinya reaksi pem-

bentukan ikatan uretan dengan muncul-

Page 26: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)

79

nya puncak uluran NH, OH, -NCO, -C=O

dan C-O-C serta Amida I, II dan III.

Namun, reaksi tersebut tidak sempurna

yang ditandai dengan puncak dari 2,6-

TDI dan hidroksil bebas. Sementara,

bilangan Froud prepolimer yang sebesar

0,0142 telah mampu melarutkan udara

yang mengandung uap air saat

pengadukan sehingga mengakibatkan

terbentuknya urea.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima

kasih kepada Kepala Pusat Teknologi

Roket, Drs. Sutrisno M.Si, Koordinator

Laboratorium Komposisi Dasar Drs.

Kendra Hartaya, M.Si, serta Dra. Geni

Rosita yang telah memberikan bimbingan

atas tersusunnya karya tulis ilmiah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada seluruh staf Laboratorium

Komposisi Dasar dan Laboratorium

Sintesis HTPB atas kerjasama dan

terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

Chattopadhyay, D. K. dan K.V.S.N Raju, 2007.

Structural Engineering of Polyurethane

Coatings for High Performance

Applications, Progress in Polymer

Science 32 (3), 352 – 418.

Dickey, David S., 2015. Tackling Difficult Mixing

Problems, CEP Magazine: August.

American Institute of Chemical

Engineering (America), 35 – 42.

Equipment Testing Procedures Committee,

2001. Mixing Equipment (Impeller Type)

3rd Edition, American Institute of

Chemical Engineers (New York), 30, 39,

40, 61, 62, 83.

Erryani, Aprilia, 2014. Analisis Nilai Uji

Mekanik Propelan Berdasarkan Ratio

Fuel Binder dan Curing Agent, Hasil

Penelitian dan Pemikiran Ilmiah

Tentang Teknologi Pesawat Terbang

Tanpa Awak, Roket serta Satelit 2014,

Indonesia Book Project (Jakarta), 116 –

128.

Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden, 1986.

Organic Chemistry 3rd Edition, Wadsworth

Inc (California), 311 – 318.

Gogoi, R.; M. S. Alam.; U. K. Niyogi, 2013.

Effect of Soft Segment Chain Length on

Tailoring the Properties of Isocyanate

Terminated Polyurethane Prepolymer,

Base Material for Polyurethane Bandage,

IJRET: International Journal of Research

in Engineering and Technology 2 (10),

395 – 400.

Hagen, Trond Heldal, 2014. Energetic Binders

for Solid Rocket Propellant, Master

Thesis. Norwegian University of Life

Sciences (Norwegia), 15 – 17.

Mahanta, A. K. dan D. D. Pathak, 2012. HTPB-

Polyurethane: A Versatile Fuel Binder for

Composite Solid Propellant, Polyurethane,

Chapter 11, InTech., 229 - 230.

Malik, Abdul bin Mohd Mustafe, 2005. FTIR

Studies on 2K Polyurethane Paint,

Thesis Master of Science. Department

of Physics, National University of

Singapore (Singapore), 78.

Martin, J. A. dan L. H. Welch, 2003. Variable

Burn Rate Propellant, US Patent No.

US20020053377 A1.

Nagle, D. J.; M. Celina.; M. Rintoul.; P. M.

Fredericks, 2007. Infrared Micro-

spectroscopic Study of The Thermo-

Oxidative Degradation of Hydroxy-

Terminated Polybutadiene/Isophorone

Diisocyanate Polyurethane Rubber,

Polymer Degradation and Stability 92

(8), 1446 - 1454.

Ramnarace, Jawarhalal, 2015. Rocket Propellant

Technology, Page Publishing (New York)

Inc.

Ren, Z.; H. Wu.; J. Ma.; D. Ma, 2004. FTIR

Studies on The Model Polyurethane Hard

Segments Based on a New Waterborne

Chain Extender Dimethylol Butanoic

Acid (DMBA), Chinese Journal of

Polymer Science 22 (3), 225 - 230.

Rosita, Geni, 2014. Pengaruh Perbandingan HTPB

Lokal dengan Toluen diisosianat dan

Persentase Fuel Binder Pada Pembuatan

Propelan, Hasil Penelitian dan

Pemikiran Ilmiah Tentang Teknologi

Pesawat Terbang Tanpa Awak, Roket

serta Satelit 2014, Indonesia Book

Project (Jakarta), 171 - 180.

Rosita, Geni, 2015. Analysis of the Fuel Binder

Isomers to Improve the Quality of the

Propellant, Aeronautic And Space

Technology, Research and Engineering

of Unmanned Aerial Vehicle, Rocket

and Satellite, Indonesia Book Project

(Jakarta), 67 – 76.

Smit L. dan During J., 1991. Vortex Geometry in

Stirred Vessel, In: Proceedings of the

7th, European Congress of Mixing, Vol.

2 (Bruges, Belgium), 633 - 639.

Page 27: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80

80

Villar, L. D.; T. Cicaglioni.; M. F. Diniza.; M. F.

K. Takahashi.; L. C. Rezendea, 2011.

Thermal Aging of HTPB/IPDI-based

Polyurethane as a Function of NCO/OH

Ratio, Materials Research 14 (3), 372 – 375.

Wibowo, Heri Budi, 2015. Pengaruh Distribusi

Fungsionalitas Polimer Terhadap Sifat

Mekanik Poliuretan Berbasis HTPB,

Bunga Rampai Hasil Litbangyasa:

Teknologi Pada Pesawat Terbang, Roket

dan Satelit. Indonesia Book Project

(Jakarta), 283 – 290.

Williams, Alicia Marie, 2007. Mixing at Low

Reynolds Numbers by Vibrating

Cantilevered Ionic Polymers, Thesis for

the degree of Master of Science In

Mechanical Engineering, Virginia

Polytechnic Institute and State

University (Virginia), 6.

Zhang, C.; Z. Ren.; Z. Yin.; H. Qian.; D. Ma,

2008. Amide II and Amide III Bands in

Polyurethane Model Soft and Hard

Segments, Polymer Bulletin February

60 (1), 97-101.

Page 28: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)

81

VARIASI HARI TENANG GEOMAGNET PADA SAAT GERHANA

MATAHARI TOTAL 9 MARET 2016

(VARIATION QUIET DAY OF GEOMAGNETIC DURING THE TOTAL

SOLAR ECLIPSE MARCH 9, 2016)

Mamat Ruhimat

Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Variations of geomagnetic quiet days describe the geomagnetic field fluctuations are

influenced by the process of heating and ionisation in the E layer of the ionosphere. At low latitudes,

the dominant current on a quiet day is the Sq current. Closure of solar radiation in the event of a total

solar eclipse will cause a decrease in electron density and will cause changes in geomagnetic

variations. The purpose of this study was to determine the effect of the total solar eclipse to the

geomagnetic field. By eliminating the geomagnetic disturbance of daily geomagnetic field variations,

will be obtained the quiet days. The quiet days patten at a lower total solar eclipse is more lower 17 nT

than from one pattern of the international geomagnetic quiet days.

Keywords: Quiet day, Solar eclipse, Geomagnetic field variation, Ionosphere

ABSTRAK

Variasi hari tenang geomagnet menggambarkan fluktuasi medan geomagnet yang banyak

dipengaruhi oleh proses pemanasan dan ionisasi di lapisan E ionosfer. Di lintang rendah arus yang

dominan pada hari tenang adalah arus Sq. Terjadinya penutupan radiasi matahari dalam peristiwa

gerhana matahari total, akan menyebabkan menurunnya kerapatan elektron dan selanjutnya akan

menyebabkan perubahan variasi geomagnet. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh gerhana matahari total terhadap medan geomagnet. Dengan mengeliminasi gangguan

geomagnet dari variasi medan geomagnet harian, akan diperoleh pola hari tenang. Pola hari tenang

pada gerhana matahari total lebih rendah 17 nT dari salah satu pola hari tenang geomagnet

internasional.

Kata kunci: Hari tenang, Gerhana matahari, Variasi medan geomagnet, Ionosfer

1 PENDAHULUAN

Gerhana matahari total (GMT)

merupakan peristiwa alam yang tidak

hanya dapat dilihat secara langsung oleh

mata, tetapi juga dapat terlihat efeknya

dengan menggunakan peralatan fluxgate

magnetometer. Dalam peristiwa GMT ini

matahari, bulan, dan bumi berada dalam

satu garis edar sehingga radiasi matahari

yang masuk bumi menjadi tertutup oleh

bulan. Gerhana matahari total yang

terjadi pada 9 Maret 2016 melintasi

sebagian besar wilayah Indonesia

dengan jalur seperti dalam Gambar 1-1.

Kondisi ionosfer pada daerah atau zona

totalitas sepanjang lintasan kemungkinan

akan mengalami perubahan akibat

kejadian GMT tersebut. Kejadian ini

merupakan kesempatan yang baik

untuk meneliti lebih dalam efeknya

terhadap medan geomagnet. Mempelajari

geomagnet dengan adanya perubahan

radiasi yang datang dari korona

matahari adalah penting, karena aksi

ionisasi di daerah dinamo ionosfer

berubah (Curto et al., 2006). Efek utama

yang mungkin terjadi dalam medan

geomagnet disebabkan oleh gangguan

Page 29: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88

82

arus listrik di lapisan E ionosfer yang

pada hari-hari tenang didominasi oleh

arus Sq. Penutupan radiasi matahari

oleh bulan menyebabkan pengurangan

kerapatan elektron di ionosfer dan

dengan demikian secara signifikan

menurunkan konduktivitas di wilayah

itu (Korte et al., 2001).

Gambar 1-1: Peta perlintasan GMT 9 Maret

2016 (http://eclipse.gsfc.nasa.gov /

SEplot /SEplot2001/SE2016 Mar

09T.GIF)

Variasi geomagnet, khususnya

pada variasi hari tenang menggambarkan

fluktuasi medan geomagnet yang banyak

dipengaruhi oleh proses pemanasan dan

ionisasi di lapisan ionosfer. Pada saat

berlangsungnya gerhana matahari total,

proses ionisasi akan mengalami gangguan.

Secara umum diketahui bahwa variasi

harian medan geomagnet hari tenang

disebabkan terutama karena arus dinamo

yang mengalir di lapisan E ionosfer.

Gerhana matahari mengubah proses

ionosfer lapisan E dan sebagai hasilnya

mempengaruhi variasi harian geomagnet

yang biasa dikenal sebagai variasi hari

tenang (Sq), yang berasal terutama dari

dalam ionosfer. Akibat tertutupnya sinar

matahari selama gerhana diperkirakan

proses ionisasi di lapisan ionosfer ter-

ganggu. Perubahan paling signifikan

muncul di ionosfer karena sifat ionosfer

terkait erat dengan radiasi matahari.

Perubahan tersebut juga mengakibatkan

perubahan variasi harian geomagnet

sebagaimana dicatat oleh stasiun

pengamat geomagnet. Efek ionosfer selama

gerhana matahari tergantung pada

beberapa faktor seperti tingkat aktivitas

matahari, tingkat gangguan geomagnet

(Onovughe, 2013; Tomas et al., 2009).

Peneliti lain telah mempelajari variasi

medan geomagnet selama gerhana matahari

dengan sebagian besar hasil menunjukkan

anomali positif di komponen Y dan

penurunan komponen X (Malin et al.,

2000; Adam et al., 2005). Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui

efek gerhana matahari total terhadap

variasi hari tenang geomagnet.

2 DATA DAN METODOLOGI

Data geomagnet yang digunakan

dalam riset ini diperoleh dari hasil

pengamatan variasi harian geomagnet di

Stasiun Meteorologi kelas III Babullah

BMKG Ternate (0⁰ 49' 45.20 "LU; 127⁰

22' 54.00" BT, λ 08,01⁰LS; β 156,31⁰ BB).

Peralatan yang digunakan jenis fluxgate

magnetometer merk Magson dengan

resolusi 0,1 nT dan sampling rate 1 Hz.

Pencatatannya dalam waktu universal

time (UT) dan komponen yang diukur

terdiri dari komponen X, Y dan Z. Medan

magnet komponen horizontal (H) adalah

resultan dari medan magnet komponen

X dan medan magnet komponen Y.

Komponen H ini digunakan untuk

mengungkap fenomena yang berasal dari

luar Bumi. Pengamatannya mulai 4

sampai dengan 10 Maret 2016.

Untuk mengetahui adanya

gangguan geomagnet yang datang dari

aktivitas matahari atau arus cincin,

maka digunakan data gangguan

geomagnet menggunakan indeks Dst

dari http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/. Indeks

Page 30: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)

83

Dst juga digunakan untuk mengeliminasi

atau memisahkan gangguan geomagnet

yang disebabkan arus cincin dari variasi

harian geomagnet sehingga diperoleh

variasi hari tenang geomagnet.

Pengamatan variasi harian geomagnet

yang dilakukan pada 5 Maret 2016,

tergolong dalam salah satu kelompok

hari tenang geomagnet Internasional.

Cara untuk mendapatkan pola hari

tenang geomagnet berdasarkan data

hasil pengukuran diperoleh dengan

mengeliminasi variasi harian geomagnet

dengan gangguan geomagnet (indeks

Dst) akibat efek dari arus cincin (Daglis

et al., 1990, Ganushkina et al., 2002).

Untuk memisahkan pola hari tenang

dari variasi harian geomagnet digunakan

persamaan (2-1) dan (2-2) (Korte et al.,

2001) dan difilter menggunakan analisis

Fourier (Ruhimat et al., 2016).

)11( 0 CosCosDstXX D (2-1)

)11( 0 SinCosDstYYD (2-2)

dengan X adalah medan magnet komponen

utara-selatan, Y adalah medan magnet

komponen timur-barat, λ adalah lintang

geomagnet stasiun pengamatan dan

sudut 11⁰ adalah beda sudut antara

kutub geografi dengan kutub geomagnet.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3-1 menunjukkan hasil

pengamatan geomagnet di Ternate pada

5 Maret 2016 yang tergolong dalam

variasi hari tenang geomagnet. Komponen

yang diukur terdiri dari komponen X

(utara-selatan) nilainya berkisar 38840-

38900 nano tesla (nT), komponen Y

(timur-barat) nilainya berkisar -50-0 nT

dan komponen Z (vertikal) nilainya

berkisar -9400 nT. Untuk komponen

horizontal (H) dapat dihitung dengan

resultan dari komponen X dan Y.

Gambar 3-2a menunjukkan tingkat

gangguan geomagnet (indeks Dst) http:

//wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/ pada 5 Maret

2016. Kurva ini menggambarkan bahwa

pada tanggal tersebut gangguan

geomagnetnya lemah sekali hanya

mencapai ± 10 nT. Hal ini menunjukkan

gangguan geomagnet yang ditimbulkan

oleh arus cincin ataupun aktivitas

matahari tidak terjadi. Dengan meng-

gunakan persamaan (2-1) dan (2-2),

kemudian dihitung resultannya maka

variasi hari tenang komponen horizontal

(H) geomagnet dapat diketahui. Pola hari

tenang diperoleh dari variasi hari tenang

yang difilter dengan menggunakan

analisis Fourier. Hasilnya seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 3-2b yakni

kurva dengan garis warna biru dan pola

hari tenangnya dengan kurva garis

warna hitam. Dalam kondisi tenang

kedua kurva hampir berimpit seperti

yang ditunjukkan dalam Gambar 3-2b

yakni pada 5 Maret 2016, dimana

kondisi ini termasuk dalam urutan salah

satu hari tenang internasional geomagnet

(http://wdc. kugi.kyoto-u.ac. jp/).

Gambar 3-1: Variasi harian geomagnet di Ternate pada 5 Maret 2016, terdiri dari komponen X (utara-selatan), Y (timur-barat) dan Z (vertikal)

Page 31: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88

84

Gambar 3-2: Kurva indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/) dan variasi hari tenang di Ternate

Gambar 3-3 menunjukkan kurva

hasil pengamatan variasi harian geomagnet

pada 9 Maret 2016 yakni tanggal saat

terjadinya peristiwa gerhana matahari

total. Pada pukul 00:30 UT hingga pukul

02:00 UT terjadi penurunan dari variasi

harian geomagnet komponen X dan

peningkatan dalam komponen Y.

Pengamatan intensitas medan magnet

selama gerhana matahari total cenderung

menurun. Kejadian ini sesuai dengan

yang pernah dilaporkan oleh peneliti

sebelumnya (Malin et al., 2000; Adam et

al.,2005; Ladynin et al., 2011; Ates et al.,

2011), walaupun dalam peristiwa kali ini

tidak terlalu signifikan perubahannya.

Pada 9 Maret 2016 tersebut, geomagnet

masih dalam kondisi recovery setelah

kejadian badai geomagnet 7 Maret 2016

(http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/). Variasi

gangguan geomagnet yang terjadi 9

Maret 2016 ini ditunjukkan dalam

Gambar 3-4a. Kurva indeks Dst berkisar

dari -15 nT hingga -30 nT. Variasi indeks

Dst ini digunakan untuk memisahkan

variasi hari tenang dari variasi hariannya.

Dengan cara yang sama seperti yang

telah dijelaskan dalam Gambar 3-2,

maka diperoleh variasi hari tenang

geomagnet dan polanya untuk 9 Maret

2016 seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 3-4b. Variasi hari tenang

geomagnet yang diperoleh tidak licin

seperti pola hari tenang, karena diduga

ada sumber lain yaitu efek dari gerhana

matahari total yang berlangsung sekitar

pukul 00:30-02:00 UT yang merupakan

anomali dari variasi hari tenang geomagnet

komponen H. Variasi hari tenang

geomagnet mengalami penurunan dari

pola hari tenang regulernya dalam

rentang waktu tersebut rata-rata sekitar

-5nT, seperti ditunjukan pada Gambar

3-4b. Efek gerhana matahari terhadap

medan geofisikageomagnet ini di

Novosibirsk Russia pada kejadian gerhana

matahari total terdahulu menyebabkan

penurunan variasi harian geomagnet

dengan menurunkan amplitude 5 nT

(Babakhanov et al., 2013).

Page 32: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)

85

Gambar 3-3: Variasi harian geomagnet komponen X,Y, dan Z di Ternate pada 9 Maret 2016

Gambar 3-4: Kurva indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/) dan variasi pola hari tenang di

Ternate pada 9 Maret 2016

Page 33: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88

86

Gambar 3-5: Kurva garis biru adalah ekivalen rapat arus hari tenang (Sq) di Ternate 9 Maret 2016 dan kurva garis hitam adalah geomagnet kondisi tenang 5 Maret 2016

Gambar 3-5 menunjukkan variasi

pola hari tenang geomagnet (Sq) di

Ternate pada 9 Maret 2016 yang

digambarkan dengan kurva garis biru.

Pola hari tenang geomagnet 5 Maret

2016 digambarkan dengan kurva garis

hitam yang menunjukkan variasi

geomagnet kondisi tenang secara

internasional. Kurva pola hari tenang

geomagnet 9 Maret 2016 memiliki variasi

yang lebih rendah rata-rata sebesar 17

nT dibandingkan dengan kurva pola hari

tenang geomagnet 5 Maret 2016. Hal ini

diduga karena adanya proses ionisasi

yang terganggu karena berkurangnya

radiasi matahari akibat peristiwa gerhana

matahari total.

4 KESIMPULAN

Dari hasil perekaman data pada 9

Maret 2016 dalam selang waktu dari

pukul 00:30 – 02:00 UT teramati adanya

penurunan yang signifikan variasi

geomagnet komponen X pada saat

gerhana matahari total terjadi dan

kenaikan pada komponen Y. Dari hasil

pengolahan geomagnet komponen X dan

Y maka diperoleh komponen H (horizontal)

yang mengungkap adanya perubahan

bersumber dari luar bumi. Pola hari

tenang pada saat gerhana matahari total

9 Maret 2016 rata-rata lebih rendah 17

nT dari pola hari tenang 5 Maret 2016.

Hal ini terkait dengan peristiwa gerhana

matahari total yang menurunkan proses

ionisasi di lapisan ionosfer sehingga pola

hari tenangnya menurun.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima

kasih kepada Ibu Dra. Clara Yono Yatini,

M.Sc yang sudah memberi arahan dalam

penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

Adam A., Vero J., Szendroi J., 2005. Solar

Eclipse Effect on Geomagnetic Induction

Parameters, Annales Geophysicae, 23,

3487-3494.

Ates A., A. Buyuksarac, O. Beltas, 2011.

Geophysical Variation During the Total

Solar Eclipse in 2006 in Turkey, Tukish

Journal of Earth Sciences Vol 20, 337-

342.

Babakhanov I.V., A.Y. Belenskaya, M.A. Bizin,

O.M. Grekhov, S.Y. Khomutov, 2013.

The Geophysical Disturbances During

The Total Solar Eclipse of 1 August 2008

in Novosibirsk Russia, Journal of

Atmospheric and Solar Terrestrial

Physics 92, 1-6.

Curto J. J., B. Heilig, and M. Pinol, 2006.

Modeling the Geomagnetic Effects

Page 34: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)

87

Caused by the Solar Eclipse of 11

August 1999, J. Geophys. Res., 111,

A07312, 1-9.

Daglis I.A., R.M. Thome, W. Baumjohann, S.

Orsini, 1999. The Terrestrial Ring

Current: Origin, Formation and Decay,

Rev. of Geophys, 37,4, 407-438.

Ganushkina N.Y., T.I. Pulkkinen, M.V.

Kubyshkina, H.J. Singer, C.T. Russel,

2002. Modeling The Ring Current

Magnetic Field During Storms, Journal of

Geophysics Research, 107, A7, 1092,

SMP 3 1-10.

http://eclipse.gsfc.nasa.gov/SEplot/SEplot200

1/SE2016Mar09T.GIF-http://wdc. kugi.

kyoto-u.ac.jp/ dst_ realtime/ 201603/

index.html diakses 14 Maret 2016.

Korte M., H. Luhr, M. Forster, V. Haak, 2001.

Did the Solar Eclipse of August 11,

1999, Show a Geomagnetic Effect?,

Journal of Geophysical Research, Vol

106, A9, 18563-18575.

Ladynin A.V., N.N. Smakov, S.Y. Khomukov,

2011. Changes in the Daily Geomagnetic

Variation During the Total Solar Eclipse

of 1 August 2008, Russian Geology and

Geophysics, 52, 343-352.

Malin S R C., Ozcan O., Tank S B., Tuncer M

K., Yazici-Cakin O., 2000. Geomagnetic

Signature of the 1999 August 11 Total

Eclipse, Geophys. J. Int., 140, F13-F16.

Onovughe E., 2013. Geomagnetic Diurnal

Variation during the Total Solar Eclipse

of 29 March 2006, International Journal

of Astronomy, 2(4), 51-55.

Ruhimat M, A. Winarko, F. Nuraeni, H. Bangkit,

M. A. Aris, Suwardi, Sulimin, 2016.

Effect of March 9, 2016 Total Solar

Eclipse on Geomagnetic Field Variation,

International Symposium on Sun

Earth and Life (ISSEL), Journal of

Physics: Conference Series 771 (2016)

012036 doi:10.1088/1742-6596/771/1/

012036, http://iopscience. iop.org/

article/ 10.1088/1742-6596/771/1/

012036/pdf.

Tomas A.T., H. Luhr, M. Rotlur, 2009. Mid-

Latitude Solar Eclipse and Their Influence

on Ionospheric Current Systems, J.

Annales Geophysicae, 27, 4449-4461.

Page 35: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88

82

Page 36: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)

89

ESTIMASI GANGGUAN foF2 IONOSFER DI ATAS SUMEDANG

MENGGUNAKAN MODEL BADAI IONOSFER EMPIRIS DAN NUMERIK

(ESTIMATION OF foF2 IONOSPHERE DISTURBANCE OVER

SUMEDANG USING EMPIRICAL AND NUMERICAL IONOSPHERIC

STORM MODEL)

Anwar Santoso1, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi,

Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati

Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173 1e-mail: [email protected]

ABSTRACT

The time delay of ionospheric response to the geomagnetic storms are varies depending on the

geomagnetic storm intensity so they are difficult to estimate. This condition is one of the problems

encountered by researchers at Space Science Center-LAPAN in Swifts activity. To determine its

response then be made to the model. They are empirical model of the ionosphere response by Araujo-

Pradere et al. (2002) and numerical model by Santoso et al. (2016). The purpose of this study was to

test the accuracy of both the models. The case studies done at the geomagnetic storms event on

January 20, 2016; April 14, 2006; August 24 and 31, 2005 and September 11, 2005. Dst index and

foF2 data from BPAA Sumedang BPAA is processed and analyzed. The result showed that both an

empirical model and a numerical models are equally good and proper to use in the estimation of the

ionospheric foF2 storm at BPAA Sumedang. But, in general, numerical models have better accuracy

and more excellent than empirical models. This is indicated by a deviation foF2SMD models and

observations were less than 30% on a geomagnetic storm events on April 14, 2006 (foF2SMD = 27.1%),

24 (foF2SMD = -9.2%) and August 31, 2005 (foF2SMD = 9.4%). Likewise, the value of deviation models,

ΔTpeak foF2SMD, still less than 30% for geomagnetic storm events on January 20, 2016 (Δtpeak foF2SMD

= -2.7%) and August 24, 2005 (Δtpeak foF2SMD = 25 7%) so that the model foF2SMD more proper to use

in modeling activities.

Keywords: foF2 ionospheric response, Geomagnetic storm, Empirical ionospheric storm model, Numerical

ionospheric storm model

ABSTRAK

Waktu tunda respon ionosfer terhadap badai geomagnet berbeda-beda tergantung intensitas

badai geomagnetnya sehingga sulit untuk memperkirakan waktu tunda respon ionosfer. Kondisi

inilah yang menjadi permasalahan bagi peneliti di Pussainsa-LAPAN dalam kegiatan SWIFtS. Untuk

menyelesaikan permasalahan tersebut maka dibuatlah model. Salah satunya yang telah dibuat

adalah model empiris badai ionosfer oleh Araujo-Pradere et al. (2002) dan model numerik badai

ionosfer oleh Santoso et al. (2016). Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji akurasi kedua model

badai ionosfer tersebut terhadap badai geomagnet. Studi kasus dilakukan saat badai geomagnet 20

Januari 2016, 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 serta 11 September 2005. Data indeks Dst dan

foF2 dari BPAA Sumedang pada tanggal tersebut diolah dan dianalisis. Hasilnya diperoleh bahwa baik

model empiris badai ionosfer maupun numerik sama-sama masih layak digunakan untuk kegiatan

estimasi badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, secara umum model numerik memiliki

keakuratan dan kelebihan yang relatif lebih baik dibandingkan model empiris. Hal ini ditunjukkan

dengan nilai deviasi foF2SMD model terhadap pengamatan kurang dari 30%, pada kejadian badai

geomagnet 14 April 2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 Agustus (foF2SMD = -9,2%) dan 31 Agustus 2005

(foF2SMD = 9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi ∆Tpeak foF2SMD model kurang dari 30% untuk

kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak

foF2SMD = 25,7%) sehingga model foF2SMD lebih layak untuk dipergunakan dalam kegiatan permodelan.

Kata Kunci: Respon foF2 ionosfer, Badai geomagnet, Model empiris badai ionosfer, Model numerik

badai ionosfer

Page 37: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98

90

1 PENDAHULUAN

Sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-undang keantariksaan No. 21

tahun 2013 pasal 13 dan 14, LAPAN

sebagai lembaga litbang berkewajiban

untuk memberikan informasi tentang

cuaca antariksa kepada pengguna dan

masyarakat. Informasi yang dimaksud

meliputi prakiraan, peringatan dini,

mitigasi bencana, maupun bantuan

teknis. Pusat Sains Antariksa (Pussainsa),

Kedeputian Bidang Sains Antariksa dan

Atmosfer, LAPAN pada September 2015

lalu, mengembangkan program Space

Weather Information and Forecast Services

(SWIFtS), sebagai penyempurnaan dari

layanan informasi cuaca antariksa

sebelumnya yakni Sistem Pemantauan

dan Informasi Cuaca Antariksa (SPICA).

Salah satu masalah yang ditemui oleh

para peneliti Pussainsa dalam SWIFtS

adalah kesulitan untuk memperkirakan

waktu tunda respon ionosfer di wilayah

Indonesia akibat badai geomagnet.

Seperti diketahui bahwa Matahari

merupakan sumber penggerak cuaca

antariksa. Salah satu fenomena di

matahari yang menjadi sumber penggerak

cuaca antariksa adalah Coronal Mass

Ejection (CME) atau dinamakan juga

peristiwa ledakan matahari. Ketika

terjadi CME, maka akan terjadi injeksi

energi medan listrik ke magnetosfer

melalui mekanisme rekoneksi. Energi

tersebut akan menyebabkan pertumbuhan

arus cincin di sekitar Bumi yang

memicu gangguan medan magnet Bumi

dengan skala global. Peristiwa ini

dinamakan badai geomagnet (magnetic

storm) (Mayaud, 1980; Gonzales et al.,

1994; Gopalswamy, 2009; Boudouridis,

et al., 2004; Khabarova, 2007; Santoso,

2010; O’Brien dan McPherron, 2000;

Russell, 2006). Badai geomagnet

menyebabkan gangguan pada ionosfer.

Selama badai geomagnet, energi

magnetosfer masuk ke dalam atmosfer

atas kutub-kutub bumi. Energi ini dapat

memodifikasi proses-proses kimia dan

elektrodinamika sistem ionosfer-termosfer

(I-T) secara siginifikan. Konsekuensinya,

gangguan densitas elektron ionosfer dan

Total Electron Content (TEC) teramati

sepanjang badai geomagnet (Mannucci et

al., 2005). Sebuah studi oleh Abdu (1997

dan 2001) menunjukkan bahwa selama

kondisi terganggu, modifikasi pada

Equatorial Ionization Anomaly (EIA),

Equatorial Spread-F (ESF) dan Equatorial

Electrojet (EEJ) diproduksi oleh: (1) gang-

guan medan listrik yang dihasilkan dari

penetrasi medan listrik lintang tinggi

menuju ekuator dengan cepat, (2) gang-

guan dinamo yang digerakkan oleh

peningkatan sirkulasi termosfer global

yang dihasilkan dari masuknya energi

pada lintang tinggi, dan (3) gangguan

angin (zonal dan meridional) yang

memodifikasi dinamika termosfer ekuator.

Pengaruh badai geomagnet pada

ionosfer dapat berupa naik atau turunnya

nilai foF2 ionosfer dari mediannya yang

dinamakan badai ionosfer. Naiknya nilai

foF2 ionosfer dari mediannya dinamakan

badai ionosfer positif dan sebaliknya

dinamakan badai ionosfer negatif.

Pembentukan badai ionosfer positif atau

negatif sangat dipengaruhi oleh perubahan

angin dan komposisi udara netral, yang

mengakibatkan perubahan tingkat

rekombinasi dan ionisasi.

Respon ionosfer terhadap badai

geomagnet tidak terjadi secara langsung

melainkan melalui proses kopling

magnetosfer-ionosfer. Rastogi (1999) dalam

Yatini et al. (2009) melaporkan bahwa

selang waktu antara munculnya badai

geomagnet dan gangguan ionosfer

adalah sekitar 20 jam. Lusiani et al.

(2011), menggunakan data indeks Dst

dan foF2 LPD LAPAN Sumedang pada

Oktober-November 2003, juga melaporkan

bahwa semakin kuat badai geomagnet,

semakin cepat respon dari ionosfer untuk

terjadinya badai geomagnet ionosfer.

Badai ionosfer dapat terjadi dalam

selang waktu satu sampai 4 jam setelah

kejadian badai geomagnet kuat. Badai

geomagnet menengah mengakibatkan

badai ionosfer dalam selang waktu satu

Page 38: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)

91

sampai 10 jam setelah badai geomagnet

tersebut. Sedangkan badai geomagnet

lemah mengakibatkan badai ionosfer

yang terjadi dalam selang waktu lebih

dari 10 jam setelah badai geomagnet

menengah tersebut. Penelitian tersebut

menunjukkan bahwa ionosfer merespon

perubahan komposisi termosfer.

Berdasarkan penelitian tersebut

dikembangkan model empiris respon

ionosfer terhadap badai geomagnet dengan

input indeks geomagnet ap (Araujo-Pradere

dan Fuller-Rowell, 2000). Algoritma

model empiris tersebut diberikan oleh

Fuller-Rowell et al. (1998) dalam Araujo-

Pradere et al. (2002) tampak pada

persamaan (1-1) dan (1-2). Dalam

tulisan ini, yang dimaksud model badai

ionosfer empiris adalah model empiris

respon ionosfer yang dikembangkan oleh

Araujo-Pradere et al. (2002) tersebut.

= {ao + a1X(to) + a2X2(to) +

a3X3(to)} {1 + a4 sin (LT + )} (1-1)

X(to) = F() P(to - ) d (1-2)

Dengan adalah foF2 pengamatan

dibagi foF2 median bulanan (foF2

pengamatan/ foF2 median bulanan), F()

adalah fungsi pembobotan filter indeks

ap dan P(to - ) adalah jumlah indeks ap

dalam 33 jam sebelumnya serta LT dan

. Koefisien a0, a1, a2, dan a3 diatur

untuk menyesuaikan hubungan non-

linear antara respon ionosfer dan

integral indeks geomagnet ap.

Dengan masukan indeks Dst

Kyoto dan foF2 BPAA Sumedang saat

kejadian badai geomagnet sepanjang

2005-2012 serta menetapkan koordinat

bujur (LT) dan lintang geomagnet ()

BPAA Sumedang yakni LT = 179,95⁰ BT

dan = 16,55⁰ LS maka diperoleh koefisien

a0, a1, a2, a3, dan a4, dengan a4 di-set

bernilai 1 sampai 50000. Beberapa

contohnya seperti ditampilkan pada

Tabel 1-1.

Dengan demikian, bila konstanta

a0, a1, a2, a3, dan a4 yang telah diperoleh

dalam Tabel 1-1 dimasukkan ke

persamaan (1-1) menjadi,

Model=(0.0015+((7.4654 10-6) Dst_Kyoto)+((9.3702 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((3.3744 10-12) x (Dst_Kyoto)3)) (1+30000 (-0.28402)) =

(1-3)

Model=(0.0014+((6.9987 10-6) Dst_Kyoto)+((8.7845 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((3.1635 10-12) (Dst_Kyoto)3)) x (1+32000 (-0.28402))

(1-4)

Mode=(0.0013+((6.587 10-6) Dst_Kyoto)+((8.2677 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.9774 10-12) ( Dst_Kyoto)3)) x (1+34000 (-0.28402))

(1-5)

Model=(0.0011+((5.989 10-6) Dst_Kyoto)+((7.0274 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.5308 10-12) (Dst+Kyoto)3)) x (1+40000 (-0.28402))

(1-6)

Model=(0.0011+((5.4623 10-6) Dst_Kyoto)+((6.856 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.469 10-12) (Dst_Kyoto)3)) x (1+41000 (-0.28402))

(1-7)

Tabel 1-1: KOEFISIEN MODEL ARAUJO-PRADERE et al. (2002) DENGAN MASUKAN INDEKS Dst_KYOTO

a0 0,0015 0,0014 0,0013 0,0011 0,0011

a1 7,4654×10-

6

6,9987×10-

6

6,587×10-6 5,989×10-6 5,4623×10-6

a2 9,3702×10-

9

8,7845×10-

9

8,2677×10-9 7,0274×10-

9

6,856×10-9

a3 3,3744×10-

12

3,1635×10-

12

2,9774×10-12 2,5308×10-

12

2,469×10-12

a4 30000 32000 34000 40000 41000

Page 39: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98

92

Tabel 1-2: PERSAMAAN DAN NILAI KORELASI ANTARA DST MINIMUM DENGAN PEAK foF2SMD,

∆TOnset foF2SMD DAN ∆Tpeak foF2SMD

No Parameter Persamaan Korelasi Nilai

Korelasi

1 Dst min dan peak foF2SMD peak = 0,2278 x (Dst Min) - 10,731 R = 55,47%

2 Dst min dan ∆TOnset foF2SMD ∆TOnset = 0,0718(Dst min) + 8,8256 R = 80,32%

3 Dst min dan ∆Tpeak foF2SMD ∆T peak = 0,0387(Dst min) + 19,003 R = 37,46%

Santoso et al. (2016) telah mem-

peroleh model numerik respon foF2

ionosfer di BPAA Sumedang (foF2SMD)

saat badai geomagnet (indeks Dst)

menggunakan data 2010-2015. Persamaan

model numeriknya serta nilai korelasinya,

ditampilkan pada Tabel 1-2. Dalam

tulisan ini, yang dimaksud model badai

ionosfer numerik adalah model badai

ionosfer numerik yang dikembangkan

oleh Santoso et al. (2016) tersebut.

peak foF2SMD = 0,2278 x (Dst Min) -

10,731 (1-8)

∆TOnset foF2SMD = 0,0718(Dst min) +

8,8256 (1-9)

∆T peak foF2SMD= 0,0387(Dst min)+

19,003 (1-10)

Model numerik respon foF2 ionosfer

terhadap badai geomagnet di atas

Sumedang telah dibangun dengan

pengembangan dari korelasi antara

respon foF2 ionosfer BPAA Sumedang

terhadap kejadian badai geomagnet kuat

(Dst < -100 nT) yang terjadi sepanjang

2010-2015. Namun, model numerik

tersebut belum dilakukan uji akurasi.

Oleh karena itu, pada penelitian

ini dilakukan uji akurasi modifikasi

model empiris Araujo-Pradere et al.

(2002) yakni Model dan model numerik

respon foF2 ionosfer BPAA Sumedang

((foF2SMD)Model) dengan metode uji akurasi

dalam mengestimasi gangguan ionosfer

terhadap kejadian badai geomagnet kuat

(Dst < -100 nT) yang telah terjadi di

sepanjang 2005-2009 dan 2016. Alasan

pemilihan tahun tersebut sebagai studi

kasus adalah karena periode tahun

tersebut tidak digunakan sebagai

masukan dalam pembangunan model

numerik Model BPAA Sumedang.

Pembangunan model numerik Model

BPAA Sumedang dilakukan dengan data

periode 2010-2015.

2 DATA DAN METODE

2.1 Data

Data yang digunakan adalah

indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-

u.ac.jp/dstdir/) dan foF2 ionosfer dari

Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer

(BPAA) Sumedang dengan koordinat

geografis 6,91⁰ LS; 106,83⁰ BT (16,55⁰

LS; BT 179,95⁰ koordinat magnet).

Periode data yang diolah untuk

studi kasus adalah 2005, 2006, dan

2016. Indeks Dst digunakan untuk

mengidentifikasi kejadian badai geomagnet

minimal kelas sedang (Dst < -79,3 nT)

menurut kriteria yang diberikan oleh

Tim SWIFtS Pussainsa.

Hasil identifikasi badai geomagnet

sedang (Dst < -79,3 nT) menggunakan

indeks Dst diperoleh lima kejadian badai

geomagnet terpilih sebagai studi kasus.

Pertimbangannya karena keberadaan

data foF2 dari BPAA Sumedang dan

indeks Dst pada kelima kejadian badai

geomagnet tersebut lengkap. Kelima

badai geomagnet terpilih tersebut

ditunjukkan pada Tabel 2-2.

Page 40: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)

93

2.2 Metode

Setelah terseleksi lima kejadian

badai geomagnet maka kemudian dilaku-

kan perhitungan variasi foF2 ionosfer

BPAA Sumedang yang diakibatkan oleh

masing-masing kejadian badai geomagnet

tersebut. Klasifikasi tingkat gangguan

terhadap foF2 ionosfer menurut standar

Space Weather Information and Forecast

Service (SWIFtS) di Pusat Sains Antariksa

LAPAN, ditampilkan pada Tabel 2-3.

Tabel 2-1: KLASIFIKASI INTENSITAS BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN INDEKS Dst

No Kondisi Geomagnet Indeks K Geomagnet H(Dst)

1 Tenang (Quiet) 1-3 -25,4

2 Aktif (Active) 4 -25,5 – (-44,5)

3 Badai Lemah (Minor Storm) 5 -45 – (-79,2)

4 Badai Sedang (Moderate Storm) 6 -79,3 – (-139,6)

5 Badai Kuat (Major Storm) 7 -139,7 – (-245.9)

6 Badai Sangat Kuat (Severe

Storm)

8 - 246

Tabel 2-2: DAFTAR KEJADIAN BADAI GEOMAGNET (Dst <-79,3 nT) YANG TERPILIH SEBAGAI STUDI

KASUS

No Tanggal Kejadian Intensitas Badai Waktu Peak

1 20 Januari 2016 -93 nT 17.00 UT

2 14 April 2006 -98 nT 10.00 UT

3 24 Agustus 2005 -184 nT 12.00 UT

4 31 Agustus 2005 -122 nT 20.00 UT

5 11 September 2005 -139 nT 11.00 UT

Tabel 2-3: KLASIFIKASI BADAI IONOSFER BERDASARKAN DEVIASI foF2 IONOSFER ()

No Kondisi Geomagnet Durasi

1 Tenang (Quiet) -30% < < 30%

2 Mulai terganggu(Minor) > 30% < 10 menit

3 Badai Lemah (Moderat Storm) > 30% < 60 menit

4 Badai Kuat (Strong Storm) > 30% < 120 menit

5 Badai Sangat Kuat (Severe Storm) > 30% < 240 menit

6 Badai Super Kuat (Extreme Storm) > 30% > 240 menit

Page 41: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98

94

Variasi foF2 ionosfer BPAA

Sumedang sebagai respon terhadap

badai geomagnet dinotasikan dengan

foF2PTN. Formulasinya seperti ditampilkan

pada pesamaan (2-1):

(2-1)

∆TOnset foF2SMD = TOnset (foF2SMD) -

TDstminimum (2-2)

∆T peak foF2SMD= TPeak (foF2SMD) –

TDst minimum (2-3)

Dengan foF2Obs-PTN adalah foF2 ionosfer

pengamatan di BPAA Pontianak dan

foF2Med-PTN adalah nilai median bulanan

foF2 ionosfer di BPAA Pontianak. Hal

sama juga dilakukan menggunakan data

foF2 dari BPAA Sumedang pada kejadian

badai geomagnet 20 Januari 2016.

Sedangkan nilai pengamatan

ditentukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

= foF2observasi/ foF2Median (2-4)

dan

foF2= ((foF2data - foF2median)/

foF2Median) (2-5)

Selanjutnya dilakukan plot

foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta plot

(foF2SMD dan indeks Dst. Kemudian

menentukan nilai menggunakan

persamaan (1-3) sampai (1-7) dan peak

foF2SMD, ∆TOnset foF2SMD serta ∆T peak

foF2SMD menggunakan persamaan (1-8)

sampai (1-10). Hasilnya kemudian

dianalisis dengan metode analisis

statistik. Hasil analisis kemudian

disimpulkan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3-1 menunjukkan contoh

pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD

serta Dst dan foF2SMD saat kejadian

badai geomagnet 24 Agustus 2005.

Gambar 3-1: (A) Grafik pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta Dst dan (B) foF2SMD saat kejadian

badai geomagnet 24 Agustus 2005

Page 42: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)

95

Badai geomagnet 24 Agustus

2005 dipicu oleh kejadian flare M5,6

pada 22 Agustus 2015 yang berasosiasi

dengan CME. Badai geomagnet tersebut

ditandai dengan depresinya indeks Dst

yang mencapai nilai minimum di -184

nT pukul 12.00 UT 24 Agustus 2005.

Badai geomagnet ini menyebabkan

gangguan pada foF2 ionosfer BPAA

Sumedang. Dari Gambar 3-1 di atas

terlihat bahwa onset gangguan foF2

ionosfer BPAA Sumedang terjadi pada

pukul 11.00 UT 24 Agustus 2005 atau

satu jam sebelum indeks Dst mencapai

nilai minimumnya. Puncak gangguan

foF2 ionosfer BPAA Sumedang terjadi

beberapa saat kemudian atau bersamaan

dengan fase recovery badai geomagnet.

Dari Gambar 3-1 dan persamaan (2-4)

dapat tentukan nilai foF2 BPAA Sumedang

yang terdepresi maksimal yakni 5,46

MHz (pukul 14.00 LT 25 Agustus 2005)

dan nilai median foF2-nya yakni 11,975

sehingga nilai BPAA Sumedang adalah

0,54196242. Nilai model dari

persamaan (1-3) sampai (1-7) dengan

memasukkan total 33 nilai indeks Dst

mundur dimulai dari nilai Dst minimum

(-184 nT) = -424 nT, hasilnya seperti

ditunjukkan pada Tabel 3-1. Terlihat

bahwa nilai model yang terdekat

dengan nilai data (0,542) adalah 1,99

dengan a4 = 40000. Nilai model yang

diperoleh tersebut empat kali dari nilai

data atau kesalahannya sebesar 267,16%.

Dengan demikian, dapat dikatakan

akurasi model untuk kejadian badai

geomagnet 24 Agustus 205 kurang

bagus.

Dari Gambar 3-1 juga diperoleh

nilai pengamatan foF2SMD, ∆tonset foF2SMD

dan ∆tpeak foF2SMD, seperti ditunjukkan

pada Tabel 3-2. Nilai model foF2SMD,

∆tonset foF2SMD dan ∆tpeak foF2SMD yang

dihitung menggunakan persamaan (1-8)

sampai (1-10) dengan memasukkan nilai

indeks Dst minimum = -184 nT, juga

ditampilkan pada Tabel 3-2.

Tabel 3-1: NILAI MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET TANGGAL 24 AGUSTUS

2005 (Dst MINIMUM = -184 nT dan 33Dst = -424 nT)

Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 (Data)

(-424 nT) 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542

Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai model

(1,99) untuk a4 = 41000 yakni nilai model terkecil dan data yakni 0,541962.

Tabel 3-2: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonset foF2SMD; ∆tpeak foF2SMD SAAT BADAI

GEOMAGNET 24 AGUSTUS 2005 (Dst MINIMUM = -184 nT)

Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi

foF2SMD ∆tonset

foF2SMD

∆tpeak

foF2SMD

foF2SMD ∆tonset

foF2SMD

∆tpeak

foF2SMD

foF2SMD ∆tonset

foF2S

MD

∆tpeak

foF2S

MD

-57,98% -1 jam 16 jam -52,65% -4,4 11,9

jam -9,2%

338,6

%

-

25,7

%

Page 43: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98

96

Terlihat bahwa nilai deviasi foF2SMD

sebesar -9,2% menunjukkan bahwa

selisih antara hasil model dengan

pengamatan relatif cukup kecil. Dengan

demikian, model foF2SMD layak untuk

digunakan. Nilai deviasi ∆tpeak foF2SMD

sebesar -25,7% juga bisa dianggap cukup

bagus. Sedangkan nilai deviasi ∆tonset

foF2SMD sebesar 338,6% tidak bagus. Hl

ini menunjukkan bahwa terdapat selisih

yang cukup besar antara hasil model

dengan pengamatan. Hal ini menunjukkan

bahwa model untuk ∆tonset foF2SMD

masih perlu diperbaiki lebih lanjut.

Cara yang sama seperti di atas

juga diterapkan untuk kejadian badai

geomagnet lainnya dalam studi kasus

yakni 20 Januari 2016, 14 April 2006,

31 Agustus 2005, dan 11 September

2005. Hasilnya seperti ditunjukkan pada

Tabel 3-3 dan Tabel 3-4.

Tabel 3-3: NILAI MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET DALAM STUDI KASUS

Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 ( Data) () %

20-01-2016 -93 1,34 1,40 1,57 3,29 1,32 0,549 140,44

14-04-2006 -98 0,804 0,861 1,031 2,61 0,775 0,34 127,94

24-08-2005 -184 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542 267,16

31-08-2005 -122 1,5 1,56 1,73 5,44 1,47 0,63 133,33

11-09-2005 -

139 0,86 0,92 1,09 7,98 0,83 0,708 17,23

Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai model

untuk a4 = 6,304777 (nilai model terkecil) dan data yakni 0,541962.

Tabel 3-4: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonset foF2SMD; ∆tpeak foF2SMD PADA BADAI

GEOMAGNET STUDI KASUS

Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi

(%)

foF2S

MD

∆tonset

foF2S

MD

(Jam)

∆tpeak

foF2S

MD

(Jam)

foF2SM

D

∆tonset

foF2S

MD

(Jam)

∆tpeak

foF2S

MD

(Jam)

foF2S

MD

∆tonset

foF2S

MD

∆tpeak

foF2S

MD

-32% 2.15 15.4 -49% 3 15 53,4 39,5 -2,6

20-01-

2016

-35% 1.3 15 -61 7 18 -43 -82 -17

13-10-

2016

-26% 5 49 -33,1% 1,8 15,2 27,1 -64,2 -69

14-04-

2006

-58% -1 16 -52,6% -4,4 11,9 -9,2 338,6 -25,7

24-08-

2005

-35% -1 28 -38,5% 0,07 14,3 9,4 -106,6 -49

31-08-

2005

-63% 2 28 -42,4% -1,16 13,6 -32,9 -157,7 -51,3

11-09-

2005

Page 44: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)

97

Dari Tabel 3-3, terlihat bahwa

nilai model = 0,83 bisa dianggap logis

terjadi saat badai geomagnet 11 September

2005 dengan nilai a4 = 40000 atau

hanya berbeda 17,23% dari data. Nilai

deviasi model pada kejadian badai

geomagnet 11 September 2006 terhadap

data kurang dari 30% sehingga dapat

dikategorikan model sangat bagus.

Dari Tabel 3-4, terlihat bahwa

nilai foF2SMD model untuk kejadian

badai geomagnet 14 April 2006, 24 dan

31 Agustus 2005 mendekati nilai foF2SMD

pengamatan. Nilai deviasi diantara

mereka berada di bawah 30%. Demikian

juga untuk nilai deviasi ∆tpeak foF2SMD

model dan pengamatan masih ada yang

berada di bawah 30% yakni pada kejadian

badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak

foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005

(∆tpeak foF2SMD = 25,7%). Jadi dari uraian

tersebut dapat dikatakan bahwa baik

model empiris global (Araujo-Pradere et

al., 2002) maupun model numerik lokal

sama-sama layak dipergunakan untuk

kegiatan pemodelan badai ionosfer foF2

di BPAA Sumedang. Namun, memiliki

akurasi dan sedikit kelebihan dibanding-

kan model empiris. Kelebihan tersebut

diantaranya adalah dapat mengestimasi

durasi waktu antara Dst minimum

dengan foF2SMD mencapai minimum

(∆tpeak foF2SMD) dan durasi waktu antara

Dst minimum dengan onset foF2SMD

mulai terganggu (∆tonset foF2SMD). Oleh

karena itu, cukup beralasan untuk lebih

mempertimbangkan model numerik

sebagai model gangguan foF2 ionosfer

BPAA Sumedang (foF2SMD).

4 KESIMPULAN

Dari analisis di atas dapat

disimpulkan bahwa baik model empiris

global (Araujo-Pradere et al., 2002)

maupun model numerik lokal sama-

sama layak dipergunakan untuk kegiatan

pemodelan badai ionosfer foF2 di BPAA

Sumedang. Namun, secara umum model

numerik lokal memiliki keakuratan yang

relatif lebih baik dibandingkan model

empiris global. Hal ini ditunjukkan

dengan nilai deviasi foF2SMD model

terhadap pengamatan kurang dari 30%

pada kejadian badai geomagnet 14 April

2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 (foF2SMD =

-9,2%) dan 31 Agustus 2005 (foF2SMD =

9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi

∆Tpeak foF2SMD model, masih kurang dari

30% untuk kejadian badai geomagnet 20

Januari 2016 (∆tpeak foF2SMD = -2,7%)

dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak foF2SMD =

25,7%) sehingga model ∆Tpeak foF2SMD

juga cukup layak dipergunakan dalam

kegiatan permodelan.

Selain itu, dapat dikatakan bahwa

model numerik memiliki kelebihan

dibandingkan model empiris. Kelebihan

tersebut diantaranya adalah dapat

mengestimasi durasi waktu antara Dst

minimum dengan foF2SMD mencapai

minimum (∆tpeak foF2SMD) dan durasi

waktu antara Dst minimum dengan

onset foF2SMD mulai terganggu (∆tonset

foF2SMD).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan

kepada Kepala Pusat Sains Antariksa

atas perkenannya menggunakan data

ionosfer BPAA Sumedang. Terima kasih

juga disampaikan kepada tim scaling

ionogram yang telah men-scaling data

ionogram untuk mendapatkan nilai foF2

(salah satu parameter ionosfer) BPAA

Sumedang yang digunakan sebagai

analisis dalam penelitian ini

DAFTAR RUJUKAN

Abdu, M. A., 1997. Major phenomena of the

Equatorial Ionosphere Thermosphere

System Under Disturbed Conditions, J.

Atmos. Terr. Phys., 59, 1505–1519.

Abdu, M. A., 2001. Outstanding Problems in the

Equatorial Ionosphere Thermosphere

Electrodynamics Relevant to Spread­F,

J. Atmos.Terr. Phys., 2001,63, 869–884.

Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell, 2000.

T. J. A Model of a Perturbed Ionosphere

using the Auroral Power as the Input,

Geofis. Int., 39(1), 29–36.

Page 45: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98

98

Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell T. J.,

2002. STORM: An Empirical Storm-Time

Ionospheric Correction Model, 2, Validation,

Radio Sci., 37, 10.1029/ 2002 RS00 2620,

in press.

Boudouridis, A., E. Zesta, L.R. Lyons, P.C.

Anderson, and D. Lummerzheim, 2004.

Magnetospheric Reconnection Driven by

Solar Wind Pressure Fronts, Ann.,

Geophys., 22, 1367–1378.

Fuller-Rowell, T. J., M. V. Codrescu, Araujo-

Pradere E. A. and I. Kutiev, 1998.

Progress in Developing a Storm-Time

Ionospheric Correction Model, Adv. Space

Res., 22(6), 821–827.

Gonzalez, W. D., J. A. Joselyn, Y. Kamide, H. W.

Kroehl, G. Rostoker, B. T. Tsurutani,

and V. M. Vasyliunas, 1994. What is a

Geomagnetic Storm?, J. Geophys. Res.,

99, 5771–5792.

Gopalswamy, N., 2009. Halo Coronal Mass

Ejections and Geomagnetic Storm, Earth

Planet Space, 61, 1-3.

Khabarova O. V., 2007. Current Problems of

Magnetic Storm Prediction and Possible

Ways of their Solving, Sun and

Geosphere, 32-37, 2(1).

Lusiani, Mumpuni E. S., dan Utama J. A.,

2011. Analisis Kaitan Badai Geomagnet

Dengan Badai Ionosfer Sebagai Dampak

Kejadian Lontaran Massa Korona Matahari

(Oktober-November 2003), Prosiding

Sem. Himpunan Astronomi Indonesia,

ITB Bandung.

Mannucci, A. J., B. T. Tsurutani, B. A. Iijima, A.

Komjathy, A. Saito, W. D. Gonzalez, F.

L. Guarnieri, J. U. Kozyra, and R. Skoug,

2005. Dayside Global Ionospheric Response

to the Major Interplanetary Events of

October 29–30, 2003 Halloween Storms,

Geophys. Res. Lett., 32, L12S02.

Mayaud, P. N., 1980. Derivation, Meaning and

use of Geomagnetic Indices, Geophysical

monograph 22. America Geophysical

Union, Washington, DC.

O’Brien, T. P. and R. L. McPherron, 2000. An

Empirical Phase Space Analysis of Ring

Current Dynamics: Solar Wind Control of

Injection and Decay, J. Geophys. Res.,

105, 7707-7720.

Rastogi R. G., 1999. Morphological Aspects of a

New Type of Counter Electrojet Event,

Ann. Geophysicae, 17, pp. 210-219 EGS

Springer-Verlag.

Russell C.T., 2006. The Solar Wind Interaction

with the Earth’s Magnetosphere:

Tutorial, Department of Earth and

space sciences and Institute of

Geophysics and Space Physics of

University of California, Los Angeles.

Santoso A., 2010. Identifikasi Kondisi Angin

Surya (Solar Wind) untuk Prediksi Badai

Geomagnet, Prosiding Pertemuan Ilmiah

XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang,

275-283, 10 April 2010.

Santoso A., Juangsih M., Winarko A., Filawati

S., Ekawati S., Nurmali D., dan Rusnadi

I. E., 2016. Analisis Pengaruh Badai

Geomagnet Terhadap Respon foF2

Ionosfer di BPAA Sumedang, Prosiding

Seminar Nasional Sains Antariksa

2016, LAPAN (in progress).

Yatini C. Y., Jiyo, dan Ruhimat M., 2009. Badai

Matahari dan Pengaruhnya pada

Ionosfer dan Geomagnert di Indonesia,

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara,

Vol. 4 No. 1, 17-24.

Page 46: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

(Pedoman Penulisan Majalah Sains Dirgantara) JUDUL MAKALAH DITULIS DENGAN HURUF KAPITAL TEBAL SECARA SINGKAT DAN JELAS, (Studi Kasus : apabila ada)

(16 pt, Britannic Bold ) Judul dibuat dalam 2 bahasa (Indonesia dan Inggris),

apabila tulisan dalam bahasa Indonesia, maka judul dalam bahasa Inggris ditulis dalam tanda kurung

(16 pt, Britannic Bold )

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dstn (Nama Penulis Tanpa gelar) (10,5 pt, Franklin Gothic Medium, bold)

1Instansi Penulis Pertama 2Instansi Penulis Kedua

dstn..... (10,5 pt, Franklin Gothic Medium)

e-mail: e-mail penulis pertama (berwarna hitam) (10,5 pt, Franklin Gothic Medium)

Diterima : ..... (tanggal bulan tahun); Disetujui : ..... (tanggal bulan tahun); Diterbitkan : ..... (tanggal bulan tahun) (9 pt, Franklin Gothic Medium)

ABSTRACT (10,5 pt, Bookman Old Style, bold)

Abstract is a summary of the most important elements of the paper, written in one paragraph in the one column of a maximum of 200 words. Abstract made in two languages written with the Bookman Old Style 9 pt. If the paper written in Indonesian, the English abstract written first then followed by Indonesian abstract and vice versa. The title "ABSTRAK" or "ABSTRACT" made with uppercase letters, and bold.

Keywords: guidence, author, journal (minimal 3 keywords) (9pt, Bookman Old Style, italic)

ABSTRAK (10,5 pt, Bookman Old Style, bold)

Abstrak merupakan ringkasan elemen-elemen terpenting dari naskah, ditulis dalam satu paragraf dalam 1 kolom maksimal 200 kata. Abstrak dibuat dalam 2 bahasa ditulis dengan huruf 9 pt, Bookman Old Style. Apabila naskah dalam Bahasa Indonesia, maka abstrak dengan Bahasa Inggris ditulis terlebih dahulu dilanjutkan abstrak Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Judul “ABSTRAK” atau “ABSTRACT” dibuat dengan huruf besar, bold.

Kata kunci: panduan, penulis, jurnal (minimal 3 kata kunci) (9pt, Bookman Old Style, italic)

Judul Makalah :.................. (Nama Penulis : ...........)

Page 47: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

1. PENDAHULUAN(10,5pt, Bookman Old Style, bold)

Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Naskah diketik dalam Microsoft Word dengan 1 kolom untuk abstrak dan 2 kolom untuk isi. Ukuran kertas A4 dengan ukuran panjang (height) 29,7 cm, lebar (width) 21 cm dengan dimensi Top 3 cm, Bottom 2,5 cm, Inside 2,5 cm, Outside 2 cm, Gutter 1 cm, Header 1 cm dan Footer 1 cm. Jenis Huruf Bookman Old Style 10,5 pt, dan spasi (line spacing) 1. Panjang naskah tidak melebihi 10 halaman termasuk tabel dan gambar.

Kerangka Tulisan disusun dengan urutan : Judul, Identitas Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metode, Hasil Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terimakasih, dan Daftar Rujukan.

2. METODOLOGI(10,5pt, Bookman Old Style, bold)

Menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian termasuk data, peralatan, teori, diagram alir, beserta lokasi penelitian.

2.1.Lokasi dan Data (10,5pt, Bookman Old Style, bold)

2.2.Standarisasi data (10,5pt, Bookman Old Style, bold)

2.3.Metode Penelitian (10,5pt, Bookman Old Style, bold)

Persamaan matematis atau formula diberi nomor secara berurutan yang diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung. Apabila penulisan persamaan lebih dari satu baris maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penggunaan huruf sebagai simbol matematis dalam naskah ditulis dengan huruf miring (Italic) seperti x. Penjelasan persamaan diulas dalam naskah. Penurunan persamaan matematis atau formula tidak perlu dituliskan secara detil, cukup diberikan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasilnya.

= ...............................(1)

Dengan CFLmax = Cmax

hmax : Kedalaman perairan maksimum dt : Langkah waktu perhitungan g : gaya gravitasi (10 m/s) Cmax : kecepatan awal

3. HASIL PEMBAHASAN(10,5pt, Bookman Old Style, bold)

Tabel dibuat ringkas dan diberi judulyang singkat tetapi jelas hanya menyaji-kan data yang esensial dan mudah di- pahami. Tabel diberi catatan secukup-nya, termasuk sumbernya, sehingga tabel mampu menjelaskan informasi yang disajikan secara mandiri. Setiap tabel diberi nomor secara berurutan dan diulas di dalam naskah. Judul tabel diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style 10,5 pt dan pada tulisan “Tabel 1.” “Tabel 2.” dan seterusnya diketik tebal.

Tabel yang ukurannya melebihi satu kolom, maka dapat menempati area dua kolom. Tabel tidak boleh dalam bentuk “picture”, harus dalam bentuk tabel. Judul tabel dituliskan pada bagian atas tabel, rata tengah dan diberi tanda titik (.) pada akhir judul tabel.

Gambar, Grafik dan Foto harus tajam dan jelas agar cetakan berkualitas baik. Semua simbol di dalamnya harus dijelaskan. Seperti halnya tabel, keterangan pada gambar, grafik atau foto harus mencukupi agar tersaji secara mandiri. Gambar, grafik dan foto harus diulas di dalam naskah. Seperti halnya tabel, gambar, grafik dan foto yang ukurannya melebihi satu kolom, maka dapat menempati area dua kolom. Gambar, grafik dan foto memiliki kedalaman minimal 300 dpi.

Gambar 3-1: Peta perlintasan GMT 9 Maret 2016 (http:// eclipse. gsfc. nasa. gov/ SEplot/SEplot2001/ SE2016 Mar 09T.GIF) (9pt, Bookman Old Style)

Page 48: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

Tabel 2-1: DATA PENGADUKAN PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1

Jenis Impeller Impeller Aliran aksial, R 1342

Propeller stirrer, 4 blade Diameter Impeller (D) 0,05 m µ1 prepolimer pada 10 menit pertama pengadukan

39 P = 3,9 Pa.s

µ2 prepolimer pada 10 menit kedua pengadukan

40 P = 4 Pa.s

Total waktu pengadukan (menit) 20 Fraksi massa HTPB (x1) 0,9375 Fraksi massa TDI (x2) 0,0625 ρ HTPB 0,87 g/mL = 870 kg / m3 ρ TDI 1,21 g/mL = 1210 kg / m3 N (kecepatan putaran) 1,67 rev/s g (percepatan gravitasi) 9,8 m.s-2

4. KESIMPULAN

Hal-hal penting dalam naskah yang merupakan kesimpulan dari hasil penelitian atau kajian.

UCAPAN TERIMAKASIH

Wajib dituliskan penulis, ditujukan kepada pihak-pihak yang membantu penulis baik penyediaan data, pengerjaan data, serta Tim Redaksi Jurnal Penginderaan Jauh dan Mitra Bestari.

DAFTAR RUJUKAN

Referensi hendaknya dari sumber yang jelas dan terpercaya. Setiap referensi yang tercantum dalam daftar rujukan harus dikutip (disitir) pada naskah dan sebaliknya setiap kutipan harus tercantum dalam daftar rujukan. Penulisan acuan dalam pembahsan sebaiknya menggunakan “sistem penulis-tahun” yang mengacu pada karya pada daftar rujukan. Kutipan buku dalam bentuk saduran untuk satu sampai dua penulis ditulis nama akhir penulis dan tahun. Contoh: Muhammad Nasir dituliskan (Nasir, 2009).

Referensi primer lebih dari 80 % dan diterbitkan dalam 5 -10 tahun terakhir. Referensi yang dicantumkan dalam naskah mengikuti pola baku dengan disusun menurut abjad berdasarkan nama (keluarga) penulis pertama dan tahun publikasi, dengan sistim sitasi American Physiological Association 6th Edition. Contoh penulisan di dalam Daftar Pustaka adalah sebagai berikut :

Artikel dalam Jurnal (Jurnal Primer)

Othman, A., & Gloaguen, R. (2013). River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment: A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq – W Iran. Remote Sensing, 5(3), 1024–1044.

Buku

Danoedoro, P. (2009). Land-Use Information from the Satellite Imagery: Versatility and Contents for Local Physical Planning. Lambert Academic Publishing AG & Co. KG.

Artikel bagian dari Buku

Berjak, P., J.M. Farrant, D.J. Mycock and N.W. Pammenter. (1989). The basis of recalcitrant seed behavior. 98-112 pp. In Talorson, R.B. (ed.) Recent advances in the development and germination of seeda. Plenum Press, New York.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Aziz, N. (2006). Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 105 hlm.

Naskah Prosiding

Setiawan I.B. (1999). Studies on environmental change and sustainable development of Cidanau Watershed. Proceeding of

Judul Makalah :.................. (Nama Penulis : ...........)

Page 49: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

International Workshop on Sustainable Resources Management of Cidanau Watershed. Vol.1. RUBRD-UT/IPB. Bogor.

Naskah Konferensi

Mabowe, B.R., A. de Gier, Y.A. Hussin, M. Lubczynski and T. Obakeng. (2006). Estimation of Above Ground Biomass of Dry Savannah Trees in Sarowe Savannah Woodland, Bostwana Using Remote Sensing and GIS. An Article in 6th International Conference on Earth Observation and Geoinformation Sciences in Support of Africa’s Development, 30 October – 2 November 2006. Cairo.

Naskah Laporan Hasil Penelitian

Koeshendrajana, S., Priyatna, F N. dan Mulyawan, I. (2008). Riset Identifikasi, Karakterisasi dan Valuasi Sosial Ekonomi Sumberdaya Perairan Umum Daratan. Laporan Teknis Kegiatan Penelitian. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan No. 10: 8-29. BRKP. Jakarta.

Naskah Online

Brown, S. (1997). Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. FAO Forestry Paper 134. FAO, Rome. Cited in http://cdm.unfccc.int/Panels/ar. [17 September 2007]

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

Page 50: VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713

Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …

PEDOMAN BAGI PENULIS

MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara adalah majalah ilmiah bersifat nasional untuk publikasi

penelitian dan pengembangan di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi

kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Majalah ini mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian,

pengembangan, dan atau pemikiran yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun.

Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas)

ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak

menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada

penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang

diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis.

Ketentuan bagi penulis pada majalah ini adalah sebagai berikut.

a. Pengiriman naskah

Naskah yang dikirim untuk dimuat dalam Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara bersifat ilmiah dan

merupakan hasil penelitian, pengembangan dan atau pemikiran di bidang kedirgantaraan.

b. Sistematika penulisan

Naskah terdiri dari halaman judul dan isi makalah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa

singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/ perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman

isi makalah terdiri atas (a) judul, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 200 kata yang

tersusun dalam satu alinea, (c) kata kunci, (d) batang tubuh naskah (Pendahuluan, Data/Metode/Teori, Hasil

dan Pembahasan, Implementasi (jika ada), dan Kesimpulan), (e) Ucapan terima kasih (bila perlu) yang

lazim dan (f) daftar rujukan.

c. Gambar dan Tabel

Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya

diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau

dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara,

gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya

Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang

bersangkutan.

d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik

Persamaan diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuainomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuaninternasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaanBahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.

e. Rujukan

Center for International Forestry Research [CIFOR], 2012. Forests and Climate Change Mitigation : What

Policymakers Should Know, Fact Sheet. No. 5, November 2012, MITIGATION, Key of Research

Findings. CGIAR Research Programme.

Haryani, N. S., Hidayat, Sulma, S., dan Pasaribu, J. M., 2014. Deteksi Limbah Acid Sludge Menggunakan

Metode Red Edge Berbasis Data Penginderaan Jauh, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan

data Citra Digital, Vol 11 No.2 Desember 2014.

http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/data_prod/prog_sect11_3.html

PP No. 74, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang: Pengelolaan

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

The National Geophysical Data Center (NOAA)-NASA. Sumber data VNF, 2014. Sumber: http:// ngdc.

noaa. gov/ eog/ viirs/download_2014_indonesia.html) atau (Sumber LAPAN: http://modis-

catalog. lapan.go.id/ monitoring/ katalognpp#).