vol. 11 no. 2 desember 2016 issn 1907-0713
TRANSCRIPT
Majalah
SAINS DAN TEKNOLOGI
DIRGANTARA
VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713
DITERBITKAN OLEH :
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Hlm. 57 – 98 Jakarta, Desember 2016 ISSN 1907-0713
Majalah
SAINS DAN TEKNOLOGI
DIRGANTARA
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING
MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI
DIRGANTARA
Penyunting:
Ketua
Anwar Santoso, M.Si
Anggota
Dra. Sri Rubiyanti, M.Si.
Ir. Endang Mugia GS, MT.
Ir. Andi Mukhtar Tahir, MT.
Dr. Teguh Harjana, M.Sc.
Lely Qodrita Avia, S.Si.
Ir. Ediwan, MT.
SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI
MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI
DIRGANTARA
Pemimpin Umum:
Ir. Christianus R. Dewanto, M.Eng
Pemimpin Redaksi Pelaksana:
Ir. Jasyanto, MM
Redaksi Pelaksana:
Mega Mardita, M.Si
Suryadi, S.Sos
Aprian Rizki Fauzi, S.IK
Aulia Pradipta, S.S
Tata Letak
M. Luthfi
Gambar cover, (atas) Pesawat terbang nir awak LSU-05 dengan motor bakar piston siap
diuji terbang; (bawah) Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam
VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713
DARI MEJA PENYUNTING
Sidang pembaca yang terhormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas perkenan dan karunia-Nya kepada kita, para Penulis, Dewan Penyunting dan Penyelenggara Administrasi, sehingga Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 dapat terbit. Edisi kali ini menyajikan 5 (lima) makalah hasil penelitian para peneliti LAPAN, yaitu: “Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer (Longitudinal Variation of Ionospheric Scintillation Occurrence)” ditulis oleh Sri Ekawati. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. “Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya Dorong Pesawat Nir awak LSU-05 (judul makalah dalam bahasa inggris)” ditulis oleh Atik Bintoro. Melalui metode analitis, dan data spesifikasi teknik Pesawat LSU-05, telah dilakukan karakterisasi mesin propulsi untuk pesawat LSU-05 tersebut. Hal ini sebagai dukungan untuk mendapatkan Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 yang andal dalam mencapai misi sebagai pesawat pembawa muatan. Afni Restasari Menulis “Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan Gugus Fungsi dalam Prepolimer HTPB: Tdi 15:1 Gagal Matang (Influences of Mixing Parameters on Functional Groups Contents in HTPB: Tdi 15:1 Fail Cured Prepolymer)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah. Mamat Ruhimat menulis ”Variasi Hari Tenang Geomagnet Pada Saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 (Variation Quiet Day of Geomagnetic During the Total Solar Eclipse March 9, 2016)” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gerhana matahari total terhadap medan geomagnet. Dengan mengeliminasi gangguan geomagnet dari variasi medan geomagnet harian, akan diperoleh pola hari tenang. Judul makalah selanjutnya adalah “Estimasi Gangguan Fof2 Ionosfer Di Atas Sumedang Menggunakan Model Badai Ionosfer Empiris Dan Numerik (Estimation Of Fof2 Ionosphere Disturbance Over Sumedang Using Empirical And Numerical Ionospheric Storm Model)” ditulis oleh Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi, Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji akurasi kedua model badai ionosfer tersebut terhadap badai geomagnet. Studi kasus dilakukan saat badai geomagnet 20 Januari 2016, 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 serta 11 September 2005. Data indeks Dst dan foF2 dari BPAA Sumedang pada tanggal tersebut diolah dan dianalisis. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Selamat membaca
Penyunting
Penerbit :
LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220
Telepon : 4892802, ext. 142,146 Fax : (021) 47882726
Email : [email protected]
Situs : http://www.lapan.go.id http://www.jurnal.lapan.go.id
Majalah LAPAN terbit sejak 1976, pemberian volume, dan nomor sejak 1999. Sejak 2006 berganti nama menjadi Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara. Majalah LAPAN telah diklasifikasikan sebagai Majalah Ilmiah oleh Panitia Penilai Jabatan Peneliti-LIPI dengan Skep No. 9198/ SK/J.10/84, 30 November 1984.
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara terbit setiap enam bulan, majalah ilmiah bersifat nasional untuk publikasi penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan sumbernya.
Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …
Majalah
SAINS DAN TEKNOLOGI
DIRGANTARA
VOL. 11 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1907-0713
VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER
(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION OCCURRENCE) Sri Ekawati .................................................................................................
57 – 64
KARAKTERISTIK MOTOR BAKAR PISTON PEMBANGKIT GAYA DORONG PESAWAT NIR AWAK LSU-05 Atik Bintoro ................................................................................................
65 – 70
PENGARUH PARAMETER PENGADUKAN TERHADAP KANDUNGAN GUGUS FUNGSI DALAM PREPOLIMER HTPB: TDI 15:1 GAGAL MATANG (INFLUENCES OF MIXING PARAMETERS ON FUNCTIONAL GROUPS CONTENTS IN HTPB: TDI 15:1 FAIL CURED PREPOLYMER) Afni Restasari ............................................................................................
71 – 80
VARIASI HARI TENANG GEOMAGNET PADA SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 9 MARET 2016 (VARIATION QUIET DAY OF GEOMAGNETIC DURING THE TOTAL SOLAR ECLIPSE MARCH 9, 2016) Mamat Ruhimat ..........................................................................................
81 – 88
ESTIMASI GANGGUAN foF2 IONOSFER DI ATAS SUMEDANG MENGGUNAKAN MODEL BADAI IONOSFER EMPIRIS DAN NUMERIK (ESTIMATION OF foF2 IONOSPHERE DISTURBANCE OVER SUMEDANG USING EMPIRICAL AND NUMERICAL IONOSPHERIC STORM MODEL) Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi, Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati .....................................
89 – 98
DITERBITKAN OLEH :
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, indonesia
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Hlm. 57 – 98 Jakarta, Desember 2016 ISSN 1907-0713
Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)
57
VARIASI LONGITUDINAL KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER
(LONGITUDINAL VARIATION OF IONOSPHERIC SCINTILLATION
OCCURRENCE)
Sri Ekawati
Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Ionospheric scintillation, which occurred after sunset, could cause satellite signal degradation.
Ionosphere over vast Indonesian territory need to be known its perturbations. This research aimed to
analyze longitudinal occurrence of ionospheric scintillation from three GPS receiver over Indonesian
territory on April 10, 2013. Data was obtained from the GPS receiver at the Kototabang (-0.20⁰S;
100.32⁰E), Pontianak (-0.03⁰S; 109.33⁰E) and Manado station (1.48⁰N; 124.85⁰E) on April 10, 2013.
This paper presents the preliminary result of ionospheric scintillation variation longitudinally over
Indonesia. The results showed that the strong scintillation (S4 > 0.5) first detected in Manado station,
one hour later detected in Pontianak and 30 minute later detected in Kototabang in duration of
approximately 1.5 – 3 hours. The strong scintillation occurred at 20:00 to 21:00 local time. The most
intense of ionospheric scintillation was around at 100⁰ E geographic longitude in duration up to 4
hours.
Keywords: Ionosphere, Scintillation, GPS, Plasma bubble
ABSTRAK
Sintilasi ionosfer, yang muncul setelah matahari terbenam, dapat menyebabkan degradasi
sinyal satelit. Ionosfer di atas wilayah Indonesia yang luas perlu diketahui gangguannya. Penelitian ini
bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer secara longitudinal dari tiga GPS receiver di
atas wilayah Indonesia pada 10 April 2013. Data yang digunakan untuk keperluan analisis diperoleh
dari penerima GPS di stasiun Kototabang (0,20⁰LS;100,32⁰BT), Pontianak (0,03⁰LS;109,33⁰BT) dan
Manado (1,48⁰LU; 124,85⁰BT). Makalah ini merupakan hasil awal variasi sintilasi ionosfer secara
longitudinal di atas Indonesia. Analisis terhadap hasil olah data menunjukkan kemunculan sintilasi
kuat (S4 > 0,5) terlebih dahulu terdeteksi di stasiun Manado, satu jam kemudian di Pontianak dan 30
menit kemudian di Kototabang dengan durasi kurang lebih 1,5 – 3 jam. Puncak sintilasi kuat
masing-masing stasiun terjadi pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat. Intensitas sintilasi ionosfer
sangat besar pada bujur geografis sekitar 100⁰ BT dengan durasi sintilasi mencapai 4 jam.
Kata Kunci: Ionosfer, Sintilasi, GPS, Plasma bubble
1 PENDAHULUAN
Ionosfer di atas wilayah Indonesia
secara longitudinal memiliki cakupan
daerah yang luas yaitu dari 95⁰ BT
hingga 141⁰ BT dan memiliki jarak
busur sebesar 46⁰ (sekitar 5106
kilometer) sehingga terdapat perbedaan
waktu selama 184 menit antara bagian
paling timur dengan bagian paling barat.
Adapun identifikasi masalah pada
makalah ini adalah bagaimana mekanisme
kemunculan sintilasi ionosfer dari tiga
alat penerima GPS yang berbeda posisi
secara longitudinal, bagaimana pergerakan
kemunculan gangguan plasma ionosfer
secara longitudinal terhadap waktu dan
berdasarkan posisi longitudinal, dimana-
kah posisi kemunculan sintilasi yang
paling intensif.
Ionosfer merupakan lapisan plasma
yang melingkupi bumi berisi elektron,
ion dan partikel bermuatan yang berada
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64
58
di 50 – 1000 kilometer di atas permukaan
bumi. Gambar 1-1 menunjukkan profil
densitas elektron terhadap ketinggian.
Densitas elektron di ionosfer bervariasi
terhadap ketinggian dan nilai maksimum-
nya yaitu sekitar 106 elektron/cm3
berada di ketinggian sekitar 300 – 400
km di atas permukaan bumi. Densitas
elektron di ionosfer juga berbeda pada
saat siang hari dan malam hari (Kelley,
1989). Gambar 1-2 menunjukkan ilustrasi
pembentukan lapisan-lapisan ionosfer
pada siang hari. Pada siang hari terjadi
proses ionisasi karena memperoleh
radiasi dari matahari sehingga meng-
hasilkan plasma ion-ion, elektron-elektron
dan partikel bermuatan. Sedangkan
pada malam hari, proses ionisasi akan
berhenti dan berubah menjadi proses
rekombinasi, yaitu proses bergabungnya
kembali partikel bermuatan negatif dan
positif sehingga menjadi partikel netral.
Oleh karena itu, pada malam hari,
lapisan D, E dan F akan menghilang dan
menyisakan hanya lapisan F saja (Kelley,
1989).
Gambar 1-1: Profil densitas elektron (Ne) ionosfer terhadap ketinggian pada siang dan malam hari (Kelley,1989)
Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)
59
Gambar 1-2: Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam
Sintilasi ionosfer merupakan salah
satu fenomena di lapisan ionosfer
berupa turbulensi di ionosfer (Chaterjee
dan Chakraborty, 2013). Fenomena
sintilasi ionosfer di atas Indonesia, yang
berada di daerah lintang rendah
geomagnet, terjadi beberapa saat setelah
transisi siang ke malam (Carrano et al.,
2012; Abadi et al., 2014). Definisi sintilasi
ionosfer secara umum adalah gangguan
sinyal satelit saat melalui medium
plasma ionosfer yang terganggu sehingga
mengakibatkan fluktuasi amplitudo dan
fase yang sangat cepat (Jacowski et al.,
2012).
Kemunculan sintilasi ionosfer
terjadi akibat ketidakstabilan di ionosfer
dan munculnya plasma bubble pada saat
transisi siang ke malam yang dikenal
dengan Reiyleigh-Taylor Instability
(Ossakow, 1981; Mendillo dan
Baumgardner, 1982; Ogawa et al., 2005).
Plasma bubble merupakan gelembung
plasma dengan konsentrasi plasma yang
lebih rendah dibandingkan dengan
sekitarnya. Plasma bubble tersebut
tumbuh, berkembang dan bergerak ke
arah atas kemudian bergerak ke arah
lintang rendah geomagnet (Abdu et al.,
1983).
Pada penelitian sebelumnya
(Ekawati et al., 2014) telah diperoleh
kemunculan gangguan sintilasi tertinggi,
selama periode Maret – Mei 2013, terjadi
pada 10 April 2013 yang diperoleh dari
dua stasiun pengamatan (Pontianak dan
Manado). Pada makalah tersebut juga
tercatat bahwa aktivitas sintilasi ionosfer
kuat di atas Manado terjadi satu jam
lebih dahulu dibanding Pontianak. Namun,
pada kejadian tersebut mekanismenya
belum bisa dijelaskan secara mendalam.
Pada makalah ini dianalisis data indeks
S4 pada 10 April 2013 dan menambahkan
data dari satu stasiun pengamatan lagi
yakni stasiun Kototabang. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui variasi
longitudinal kemunculan sintilasi ionosfer
di atas wilayah Indonesia dari tiga
stasiun GPS receiver yang berbeda posisi
secara longitudinal.
2 DATA DAN METODE
Data yang digunakan pada
makalah ini adalah data indeks S4 yang
diperoleh dari tiga stasiun yaitu
Kototabang, Pontianak, dan Manado.
Indeks S4 merupakan indeks amplitudo
sintilasi ionosfer yang dapat menunjukkan
aktivitas gangguan ketidakstabilan serta
turbulensi di ionosfer. Aktivitas sintilasi
menurut Butcher (2005) mempunyai
kategori lemah (0 < S4 ≤ 0,25), sedang
(0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤ 1).
Secara posisi, ketiga GPS receiver yang
digunakan berbeda posisi secara
longitudinal dengan koodirnat seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 2-1.
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64
60
Tabel 2-1: LOKASI DAN TIPE GPS RECEIVER YANG DIGUNAKAN
No. Stasiun Koordinat Geografis Koordinat geomaget Nama GPS
Receiver
1 Kototabang 0,20o LS;100,32o BT 8.97o LS; 171.73o BT ISM
2 Pontianak 0.03o LS; 109.33o BT 8.82o LS; 180.72o BT GISTM
3 Manado 1.48o LU; 124.85o BT 6.87o LS; 196.07o BT GISTM
Data indeks S4 pada 10 April
2013 dari tiga GPS receiver tersebut di-
plot terhadap waktu. Namun, sebelumnya
terlebih dahulu dilakukan filter sudut
elevasi yang lebih besar dari 30⁰
(Otsuka, 2009). Kemudian menandai
kapan terjadi indeks yang lebih besar
dari 0,5. Indeks S4 yang lebih besar dari
0,5 mengindikasikan sintilasi kuat yang
berpotensi mengganggu sinyal satelit
(Banerjee et al., 1992). Hasil identifikasi
(penandaan) waktu terjadinya sintilasi
kuat (0,5 < S4 ≤ 1) di atas Manado,
Pontianak dan Kototabang kemudian
dianalisis. Perhitungan waktu sintilasi
kuat, selain waktu onset-nya juga
durasinya.
Untuk melihat pergerakan atau
variasi longitudinal sintilasi ionosfer
maka di-plot longitude terhadap waktu
yang diperoleh dengan menghitung
posisi Ionospheric Pierce Point (IPP) yang
diperoleh dari nilai sudut elevasi dan
azimut posisi satelit serta nilai ketinggian
h ionosfer pada 350 kilometer di atas
permukaan bumi (Husin A,. et. al., 2015).
Setiap kotak pada plot longitude
terhadap waktu dibuat dengan resolusi
adalah 1,5 derajat setiap 30 menit.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3-1 menunjukkan plot
indeks S4 terhadap waktu yang
menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer
di atas Manado (panel atas), Pontianak
(panel tengah) dan Kototabang (panel
bawah). Sumbu-x menunjukkan waktu
selama 24 jam dan sumbu-y menunjukkan
indeks S4 dari 0 – 1. GPS receiver
mencatat indeks S4 ionosfer di atas
Manado mulai meningkat lebih dari 0,5
pada pukul 11:19 UT (19:19 WITA), di
atas Pontianak mulai meningkat pada
pukul 12:46 UT (19:46 WIB) dan di atas
Kototabang 13:10 UT (20:10 WIB).
Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤1) lebih dahulu
terdeteksi di stasiun Manado. Sekitar
satu jam 27 menit kemudian terdeteksi
di stasiun Pontianak dan 24 menit
kemudian terdeteksi di stasiun
Kototabang.
Secara terperinci waktu dan durasi
kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1)
pada 10 April 2013 dapat dilihat pada
Tabel 3-1. Kolom 2 adalah nama stasiun,
kolom 3 adalah waktu matahari terbenam,
kolom 4 adalah waktu dimulainya sintilasi
kuat (0,5 < S4 ≤ 1), kolom 5 adalah
waktu berakhirnya sintilasi kuat (0,5 <
S4 ≤ 1), kolom 6 adalah durasinya. Di
Manado, Matahari terbenam pada sekitar
pukul 09:50 UT. GPS receiver di Manado
mencatat ada dua kemunculan sintilasi
kuat (0,5 < S4 ≤ 1) yang dimulai pada
pukul 11:19 UT dengan durasi 1 jam 16
menit dan pada pukul 13:15 UT dengan
durasi 29 menit. Di Pontianak, Matahari
terbenam pada sekitar pukul 10:57 UT.
GPS receiver di Pontianak mencatat ada
dua kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4
≤ 1) yang dimulai pada pukul 12:46 UT
dengan durasi 1 jam 3 menit dan pada
pukul 14:19 UT dengan durasi 26 menit.
Di Kototabang, Matahari terbenam
sekitar pukul 11:32 UT. GPS receiver di
Kototabang mencatat ada dua kemunculan
sintilasi pada pukul 13:09 UT dengan
durasi 2 jam 43 menit dan pada pukul
16:07 UT dengan durasi 21 menit.
Durasi total kemunculan sintilasi kuat
(0,5 < S4 ≤ 1) yang paling lama terjadi di
stasiun Kototabang. Dengan kata lain,
gangguan turbulensi ionosfer atau
sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi lebih
intensif di atas daerah kototabang.
Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)
61
Gambar 3-1: Aktivitas sintilasi ionosfer pada 10 April 2013 di atas Manado (panel atas), di atas
Pontianak (panel tengah) dan di atas Kototabang (panel bawah)
Tabel 3-1: WAKTU DAN DURASI KEMUNCULAN SINTILASI KUAT (0,5 < S4 ≤ 1) 10 APRIL 2013
No. Stasiun Matahari
terbenam
Mulai (UT)
dalam
desimal
Akhir (UT)
dalam
desimal
Durasi
Jam menit Total
1 Manado 17:50
WITA
09:50 UT
11:19 12:36 1 jam 16
menit
1 jam 45
menit
13:15 13:43 29 menit
2 Pontianak 17:57 WIB
10:57 UT
12:46 13:49 1 jam 3
menit
1 jam 29
menit
14:19 14:45 26 menit
3 Kototabang 18:32 WIB
11:32 UT
13:09 15:52 2 jam 43
menit
2 jam 54
menit
16:07 16:28 21 menit
Gambar 3-2 menunjukkan ilustrasi
mekanisme terjadinya ketidakstabilan
plasma ionosfer di atas wilayah Manado,
Pontianak kemudian di Kototabang.
Manado adalah wilayah Indonesia bagian
tengah yang lebih dahulu mengalami
pergantian siang ke malam dan terjadi
ketidakstabilan plasma. Di stasiun
Manado lebih dahulu terjadi pergantian
siang ke malam. Pontianak dan
Kototabang masih di belahan bumi
siang, sehingga densitas plasma ionosfer
masih terbentuk di lapisan D, E, F1 dan
F2 karena proses ionisasi. Sementara
itu, ionosfer di atas Manado sudah
mulai terjadi proses rekombinasi. Laju
rekombinasi lapisan D dan E lebih cepat
dibandingkan dengan lapisan di atasnya
yakni lapisan F. Pergerakan plasma dari
lapisan D ke F dipengaruhi oleh gravitasi
dengan kekuatan = gXB. Kekuatan
tersebut menyebabkan ion-ion bergerak
spiral ke arah timur dengan kecepatan
vE. Elektron-elektron yang massanya
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64
62
jauh lebih ringan dibanding ion cenderung
diam karena tidak terpengaruh gravitasi
g. Akibatnya, akan terjadi polarisasi
atau pengkutuban antara ion-ion yang
bermuatan positif dengan elektron-elektron
yang bermuatan negatif. Berdasarkan
hukum gaya Lorentz EXB, dengan B ke
arah utara, E ke arah Timur, maka gaya
Lorentz yang menuju ke arah atas
menjadi inisiasi ketidakstabilan plasma.
Sebaliknya, ketika E ke arah Barat maka
EXB mengarah ke bawah.
Gambar 3-2: Ilustrasi aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak, dan Kototabang yang berbeda posisi secara longitudinal
Variasi Longitudinal Kemunculan Sintilasi Ionosfer .....(Sri Ekawati)
63
Ketidakstabilan akan semakin
tumbuh dan berkembang serta menjalar
dari ekuator ke lintang rendah geomagnet
mengikuti medan magnet B sebagai
guiding center. Ketidakstabilan plasma
yang menyebabkan sintilasi ionosfer
tersebut akhirnya terdeteksi oleh stasiun
Manado. Selain itu, pertumbuhan
Rayleigh-Taylor Instability di ionosfer
semakin lama semakin berkembang dan
bergerak ke arah atas membentuk seperti
gelembung dengan konsentrasi plasma
yang lebih rendah dibanding sekitarnya.
Gambar 3-3 menunjukkan variasi
atau dinamika longitudinal kemunculan
sintilasi ionosfer pada 10 April 2013.
Sumbu-x adalah longitude (bujur) dan
sumbu-y adalah waktu. Warna menunjuk-
kan indeks S4 dari 0 sampai dengan 1.
Cakupan pengamatan dari tiga GPS
receiver adalah dari sekitar 85⁰ – 115⁰ BT.
Sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) mulai muncul
di longitude paling timur yaitu di sekitar
longitude 115⁰ BT sekitar pukul 11:30
UT. Seiring dengan berjalannya waktu
sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) bergerak,
bergeser dan semakin kuat ke arah
barat. Bila dilihat dari intensitas indeks
S4-nya, periode waktu gangguan sintilasi
yang mencapai nilai sekitar 0,9 terjadi
pada pukul 20:00 – 21:00 waktu setempat.
Dilihat dari durasinya, longitude yang
paling intensif mengalami sintilasi kuat
(0,5 < S4 ≤ 1) adalah di daerah sekitar
longitude 100⁰ BT yang mencapai empat
jam yakni pukul 13:00 – 17:00 UT. Pada
pukul 15:30 UT di longitude 113⁰-115⁰ BT,
gangguan turbulensi ionosfer (sintilasi
kuat) sudah kembali tenang atau normal.
Sedangkan di daerah longitude 95⁰ –
103⁰ BT pada waktu yang bersamaan
justru gangguannya sedang sangat intensif.
Gambar 3-3: Dinamika longitudinal sintilasi ionosfer pada 10 April 2013 di atas wilayah Indonesia
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :57-64
64
4 KESIMPULAN
Inisiasi kemunculan sintilasi
ionosfer kuat (0,5 < S4 ≤ 1) terjadi sekitar
pukul 19:00 waktu setempat atau rata-
rata sekitar satu jam setelah matahari
terbenam kemudian semakin intensif
pada sekitar pukul 20:00 – 21:00 waktu
setempat. Kemunculan sintilasi kuat
(0,5 < S4 ≤ 1) terjadi di longitude paling
Timur terlebih dahulu kemudian bergerak
ke arah Barat. Durasi kemunculan sintilasi
kuat (0,5 < S4 ≤ 1) atau turbulensi
ionosfer setiap longitude bervariasi dari
1,5 jam sampai dengan lebih dari empat
jam. Setelah itu, kondisi kembali tenang
atau normal. Intensitas turbulensi ionosfer
atau sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1) lebih
intensif di daerah yang lebih barat.
Posisi geografis yang terintensif terjadi
pada daerah sekitar 100⁰ BT dengan
durasi sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1)
mencapai empat jam.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua tim bank data (tim scalling)
bidang ionosfer dan telekomunikasi,
staff balai pengamatan Pontianak dan
Manado yang telah membantu menyedia-
kan data GISTM. Penulis juga mengucap-
kan terima kasih kepada P. Abadi dan
Dr. Y. Otsuka, Nagoya University, Jepang
yang telah menyediakan data Kototabang.
DAFTAR RUJUKAN Abadi, P., Saito, S., dan Srigutomo,W., 2014.
Low-latitude Scintillation Occurrences
Around the Equatorial Anomaly Crest
Over Indonesia, Ann. Geophys, 32, 7–
17, doi:10.5194/angeo-32-7-2014.
Abdu, M. A., de Medeiros, R. T., Sobral, J. H. A.,
dan Bittencourt, J. A., 1983. Spread F
Plasma Bubble Vertical Rise Velocities
Determined from Spaced Ionosonde
Observations, J. Geophys. Res., 88,
9197–9204, doi:10.1029/JA088iA11
p09197, 1983.
Husin A., Abadi,P. , Ekawati, S. , dan Marlia,
D., 2015. Analisis Spasial Kemunculan
Sintilasi Ionosfer Kuat Bulan Ekuinoks
Periode 2013 di Indonesia, Jurnal Sains
Dirgantara Vol.12 No.2 Juni 2015:77-
86.
Banerjee, P. K., Dabas, R. S., dan Reddy, B. M. C.,
1992. C and L Band Transionospheric
Scintillation Experiment: Some Results
for Applications to Satellite Radio
Systems, Radio Sci., 27, 955–969, doi:
10.1029/92RS01307.
Butcher, N., 2005. Daily Ionospheric Forecasting
Service (DIFS) III, Annales of Geophysicae,
23:3591-3598, 2005.
Carrano, C.S, Valladares, C.E., dan Groves, K. M.,
2012. Latitudinal and Local Time
Variation of Ionospheric Turbulence
Parameters During the Conjugate Point
Equatorial Experiment in Brazil,
International Journal of Geophysics
Volume 2012, Article ID 103963, 16
pages, doi:10.1155/2012/103963.
Chatterjee, S dan Chakraborty, S. K., 2013.
Variability of Ionospheric Scintillation
Near the Equatorial Anomaly Crest of
the Indian Zone, Ann. Geophys., 31,
697–711.
Ekawati, S., Srigutomo W. dan Jiyo, 2014.
Analisis Kemunculan Sintilasi Ionosfer
di atas Pontianak dan Manado,
Prosiding Seminar Nasional Sains
Atmosfer dan Antariksa 2013, ISBN:
978-979-1458-78-8.
Jacowski, Norbert, Yannick Béniguel, Giorgiana
De Franceschi, Manuel Hernandez
Pajares, Knut Stanley Jacobsen, Iwona
Stanislawska, Lukasz Tomasik, René
Wamant, dan Giller Wautelet, 2012.
Monitoring, Tracking and Forecasting
Ionospheic Pertubations using GNSS
Techniques, Journal of Space Weather
Space Clim. 2 (2012) A22,DOI:10.
1051/swsc/2012022.
Kelley, M.C., 1989.“The Earth’s Ionosfer: Plasma
Physics and Electrodynamics, Acadeic
Press, USA.
Mendillo, M. dan Baumgardner, J., 1982.
Airglow Characteristics of Equatorial
Plasma Depletions, J. Geophys. Res.,
87, 7641–7652, 1982.
Ogawa, T., Sagawa, E., Otsuka, Y., Shiokawa,
K., Immel, T. I., Mende, S. B., dan
Wilkinson, P., 2005. Simultaneous
Ground-and Satellite-based Airglow
Observations of Geomagnetic Conjugate
Plasma Bubbles in the Equatorial
Anomaly, Earth Planet Space, 57, 385–
392, 2005.
Ossakow, S. L., 1981. Spread-F theories: A Review,
J. Atmos. Terr. Phys.,43, 437–452,
doi:10.1016/0021-9169(81)90107-0,
1981.
Otsuka, Y., Ogawa, T., dan Effendy, 2009.VHF
Radar Observations of Nighttime F-
Region Field- Aligned Irregularities over
Kototabang, Indonesia, Earth Planet
Space, 61, 431–437.
Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya .....(Atik Bintoro)
65
KARAKTERISTIK MOTOR BAKAR PISTON
PEMBANGKIT GAYA DORONG PESAWAT NIR AWAK LSU-05
(CHARACTERISTIC OF PISTON ENGINE AS LSU-05 UAV'S THRUST
GENERATOR) Atik Bintoro
Pusat Teknologi Penerbangan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Raya LAPAN, Sukamulya, Rumpin Bogor 16350 Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
LSU-05 Unmanned Aerial Vehicle (UAV) was resulted by Aeronautics Technology Center,
Indonesian National Institute of Aeronautics and Space, LAPAN.This unmanned vehiclehas the piston
combustion engine as power sources. Through analytical methods, and data plane LSU-05 technical
specifications, has been carried out characterization propulsion engines for vehicle such LSU-05. It
was a support to get performance of LSU-05 UAV reliable in achieving the mission as an air cargo
carrier like payload. The characteristics of piston combustion engine in question were the output
power of 14 HP/6400RPM or 11 HP/6000 RPM, and subsequently selected as the propulsion engine
LSU-05 UAV.
Keywords: LSU-05, Piston, Combustion engine, Vehicle, Unmanned
ABSTRAK
Pesawat terbang nir awak seri LSU-05 merupakan hasil litbangyasa Pustekbang LAPAN.
Pesawat terbang nir awak ini bermesin motor bakar piston sebagai sumber tenaga. Melalui metode
analitis, dan data spesifikasi teknik Pesawat LSU-05, telah dilakukan karakterisasi mesin propulsi
untuk pesawat LSU-05 tersebut. Hal ini sebagai dukungan untuk mendapatkan Pesawat Terbang Nir
awak LSU-05 yang andal dalam mencapai misi sebagai pesawat pembawa muatan. Adapun
karakteristik motor bakar piston yang dimaksud adalah daya keluaran 14 HP/6400 rpm atau 11
HP/6000 rpm, dan selanjutnya dipilih sebagai mesin propulsi pesawat terbang nir awak LSU-05.
Kata kunci: LSU-05, Piston, Motor bakar, Pesawat, Nir awak
1 PENDAHULUAN
Motor bakar piston merupakan
salah satu mesin pembangkit energi,
termasuk menghasilkan gaya dorong
dan gaya angkat sayap pesawat terbang
nir awak. Dalam operasionalnya, memerlu-
kan bahan bakar untuk menghasilkan
perubahan energi, dari energi kimia
menjadi energi panas dan tekanan di
dalam ruang bakar, yaitu pada saat
bahan bakar bereaksi dengan oksigen
dan panas selama pembakaran ber-
langsung. Pada motor bakar piston yang
digunakan sebagai pembangkit energi
dorong pesawat nir awak LSU-05 adalah
energi yang dihasilkan pembakaran bahan
bakar di dalam silinder ruang bakar.
Pembakarannya berlangsung sangat cepat,
tetapi operasional motor bakar piston
perlu waktu sekitar seratus sampai
dengan seribu detik, atau tergantung
jenis mesinnya. Motor bakar yang meng-
gunakan sistem karburator atau pun
sistem injeksi sebagai sarana untuk
pencampuran bahan bakar dan oksigen
yang berasal dari udara, sebelum masuk
ke dalam silinder ruang bakar, diperlukan
bahan bakar yang mudah menguap pada
temperatur atmosfer dan membentuk
campuran dengan udara menjadi
campuran yang mudah terbakar. Energi
dorong sebagai hasil pembakaran ini,
selanjutnya digunakan untuk menggerak-
kan piston dalam arah translasi bolak
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :65-70
66
balik, kemudian diteruskan ke batang
hubung dan poros engkol menjadi
gerakan putar, yang selanjutnya dapat
memutar baling-baling propeler untuk
menghasilkan gaya dorong dan menjadi-
kan sayap pesawat terbang nir awak
menghasilkan gaya angkat. Gaya dorong
dan gaya angkat berfungsi untuk
mewujudkan misi pesawat LSU-05 hasil
rancang bangun Pustekbang LAPAN ini,
agar dapat menjadi pesawat pembawa
muatan. Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa motor bakar piston
memiliki peran penting dalam pencapaian
misi pesawat LSU-05, terutama sebagai
sumber tenaga untuk menghasilkan gaya
dorong dan gaya angkat sayap pesawat.
Oleh karena itu untuk mendapatkan
pesawat LSU-05 yang andal diperlukan
juga motor bakar piston yang andal,
sehingga dirasa perlu dilakukan analisis
karakterisasi motor bakar piston yang
sesuai dengan kebutuhan Pesawat LSU-05.
2 MOTOR BAKAR PISTON SEBAGAI
PEMBANGKIT GAYA DORONG
PESAWAT TERBANG NIR AWAK
Gaya dorong pesawat terbang nir
awak berasal dari daya keluaran motor
bakar piston, yang merupakan hasil
pembakaran bahan bakar. Pembakaran
ini menimbulkan panas dan tekanan di
dalam ruang bakar, sehingga mampu
menghasilkan gerakan bolak balik piston,
batang hubung dan putaran poros
engkol. Adapun alur penggunaan bahan
bakar misalnya bensin di dalam motor
bakar piston, seperti tercantum pada
Gambar 2-1.
Putaran poros engkol seperti pada
Gambar 2-1, nomor 7 akan menghasilkan
Torsi, yang selanjutnya dapat mem-
bangkitkan daya motor. Salah satu
manfaat daya ini, dapat digunakan
sebagai penghasil usaha pemutar propeler
untuk menghasilkan gaya dorong dan
gaya angkat pada sayap pesawat seperti
pada Gambar 2-2. Untuk kecepatan
terbang Co, rapat massa udara ρud, luas
sapuan propeler As, jari-jari propelerRr,
dan koefisien gaya angkat Cl, akan
dihasilkan gaya angkat aerodinamik
pesawat nir awak Fd sebesar (Bintoro,
2014):
sudold ACCF 2
5.0 (2-1)
Jika luas sapuan propeler berbentuk
lingkaran maka jari-jarinya dapat
dinyatakan menjadi:
udol
dr
CC
FR
2
2
(2-2)
Gambar 2-1: Komponen sistem pembakaran
bahan bakar bensin di motor bakar piston
Gambar 2-2: Propeler dan Pesawat Terbang Nir awak, a) Propeler dan b) Pesawat
terbang nir awak lepas landas (Arismunandar, 2002; Bintoro, 2014)
Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya .....(Atik Bintoro)
67
Daya yang dihasilkan oleh propeler
adalah (Arismunandar, 2002):
odp CFN (2-3)
Torsi yang dihasilkan oleh daya Np pada
putaran propeler n adalah:
n
NT
p (2-4)
2.1 Daya Mesin
Pada mesin propulsi, semisal motor
bakar piston, bahan bakar hidrokarbon
digunakan untuk menghasilkan daya
mesin, melalui reaksi kimia pembakaran
hidrokarbon. Besar daya bisa dihitung
dengan persamaan daya sebagai hasil
pembakaran, dan dapat dinyatakan
dalam bentuk hubungan antara: Daya
yang dihasilkan N (hp), Volume konsumsi
bahan bakar permenit V (kg/menit),
Kebutuhan massa udara permenit ρud
(kg/m3), Rasio berat udara dan bahan
bakar F, Panas pembakaran bahan
bakar Qf (kcal/kg), dan Efisiensi termal ηth.
Persamaan daya (Hp) tersebut seperti di
bawah ini (Goodger, 1975).
4500
427
1thfud Q
F
FVN
(2-5)
2.2 Komposisi Kimia Bahan Bakar
Bahan bakar mesin propulsi baik
bahan bakar cair, maupun gas, pada
umumnya terdiri dari komposisi karbon
dan hidrogen, yang dikenal sebagai
bahan bakar hidrokarbon. Bahan bakar
ini terkadang juga mempunyai tambahan
sedikit unsur belerang dan oksigen.
Beberapa jenis dan rumus kimia bahan
bakar hidrokarbon yang berasal dari
hasil petroleum seperti pada Tabel 2-1
(Goodger, 1975).
Sedangkan massa atom dan
molekul untuk beberapa elemen
hidrokarbon seperti terlihat pada Tabel
2-2 (Harker dan Backhurst, 1981).
Tabel 2-1: BEBERAPA MACAM BAHAN BAKAR HIDROKARBON
Nomor Nama/
Rumus umum
Contoh / Rumus Kimia
1 Parafin
CnH2n+2
Metan
CH4
2 Olefin
CnH2n
Propelina
C3H6
3 Naptena
CnH2n
Ciklopropan
C3H6
4 Alkena
CnH2n-2
Acetilen
C2H2
5 Aromatik
CnH2n-6
Bensena
C6H6
Tabel 2-2: MASSA ATOM DAN MOLEKUL
ELEMEN HIDROKARBON
Nama Rumus
Kimia
Massa
Atom Mol
Karbon C 12 12
Hidrogen H2 1 2
Oksigen O2 16 32
Belerang S 32 32
Nitrogen N2 14 28
Metan CH4 -- 42
Propelina C3H6 -- 42
Bensena C6H6 -- 78
2.3 Persamaan Stoikiometri Pem-
bakaran
Reaksi kimia selama pembakaran
bahan bakar hidrokarbon, baik cair
maupun gas merupakan reaksi kimia
yang kompleks, namun demikian bisa
dinyatakan ke dalam bentuk persamaan
kimia sederhana. Reaksi kimia pembakar-
an tersebut adalah (Sen, 1978; Goodger,
1977):
- Bahan bakar cair
C + O2= CO2 (2-4)
12 kg C + 32 kg O2 = 44 kg O2 (2-5)
12 kg C)1k mol C+1k mol O2=1 k mol CO2 (2-6) 2H2 + O2= 2 H2O (2-7)
4kg H2 + 32 kg O2 = 36 kg H2O (2-8)
(4kg H2) 2k mol H2 + 1 k mol O2 = 2 kmol H2O
(2-9)
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :65-70
68
Jika diasumsikan bahwa rumus kimia
bahan bakar adalah CnHm, jumlah
molekul (mol) bahan bakar n, jumlah
mol hidrogen di dalam bahan bakar
m/2, dan jumlah molekul N2 per molekul
O2 di dalam persen udara sebesar 3,76
maka selama pembakaran, reaksi bahan
bakar dengan udara dapat dinyatakan
sebagai persamaan umum Stoikiometri,
yaitu:
(2-10)
atau
222
22
476.3
2
476.3
4
Nm
nOHm
nCO
Nm
nOm
nHC mn
(2-11)
Untuk pembakaran sempurna, secara
teoritis untuk berat mol bahan bakar Mb
kg/kg bahan bakar, dengan konsumsi
udara Gt yang diperlukan sebesar:
4
3232.4 mn
M
xG
b
t (2-12)
- Bahan bakar gas
Di dalam pembakaran sempurna,
reaksi kimia pembakaran bahan bakar
gas, selalu terdapat kandungan oksigen,
karbon dan hidrogen. Dengan asumsi
bahwa n adalah jumlah mol karbon, m/2
mol hidrogen, dan r/2 adalah jumlah
mol oksigen di dalam bahan bakar,
sedangkan rumus umum bahan bakar
adalah CnHmOr, maka persamaan reaksi
dengan udara, seperti di bawah ini.
(2-13)
Pembakaran sempurna secara teoritis
untuk k mol bahan bakar gas, diperlukan
volume udara kmol/kmol bahan bakar,
sebesar:
2476.4
rmnVud (2-14)
2.4 Bahan Bakar Bensin
Bensin merupakan salah satu
jenis bahan bakar yang digunakan pada
motor bakar piston, sebagai pembangkit
tenaga untuk menghasilkan gaya dorong
pesawat nir awak. Bensin mempunyai
kandungan hidrokarbon lebih dari 500
jenis rantai C5-C10, semisal Alkana rantai
lurus yang mudah terbakar, diantaranya
adalah n-heptana, n-oktana dan n-
nonana. Kandungan ini menyebabkan
pembakaran bahan bakar bensin di
dalam motor bakar piston, terjadi terlalu
cepat sebelum piston tiba pada posisi
yang tepat, dan terjadi fenomena ledakan
atau knocking. Sedangkan kandungan
alkana rantai bercabang adalah iso-
oktana, bersifat sulit terbakar, dan tidak
sering menimbulkan fenomena knocking
pada saat pembakaran terjadi. Kemam-
puan bensin dalam menghindari fenomena
knocking selama pembakaran bensin di
dalam motor bakar piston, dijadikan
sebagai acuan menentukan mutu bensin,
dengan satuan bilangan oktan, dari
angka 0 untuk n-heptana yang mudah
terbakar, sampai dengan angka 100
untuk iso-oktana yang sulit terbakar
(Anneahira, 2014). Berarti bensin
dengan nilai oktan tinggi relatif lebih
sedikit menghasilkan knocking jika
dibandingkan dengan nilai oktan yang
lebih rendah.
3 KARAKTERISTIK MESIN PROPULSI
PESAWAT LSU-05
Karakteristik mesin propulsi untuk
pesawat terbang nir awak seri LSU-05,
dapat diketahui melalui analisis terhadap
data konfigurasi, spesifikasi teknik,
bahan bakar yang akan digunakan, misi
LSU-05, serta prosedur analisis.
3.1 Konfigurasi LSU-05
Konfigurasi pesawat terbang nir
awak LSU-05 (Pustekbang, 2013; 2015)
terlihat seperti pada Gambar 3-1, untuk
Karakteristik Motor Bakar Piston Pembangkit Gaya .....(Atik Bintoro)
69
spesifikasinya terdapat pada Tabel 3-1,
dan Bahan bakarnya pada Tabel 3-2.
Gambar 3-1: Konfigurasi LSU-05
Tabel 3-1: SPESIFIKASI PESAWAT TERBANG
NIR AWAK LSU-05
Komponen Spek
Rentang sayap 5,50
Panjang pesawat 4,10
Tinggi 1,13 m
MTOW 77,00 kg
Berat kosong 31,00 kg Berat payload 30 kg
Berat bahan bakar 16,00 kg
Kecepatan terbang 100 km/jam
Tabel 3-2: KARAKTERISTIK BAHAN BAKAR MESIN PESAWAT TERBANG NIR AWAK LSU-05
No. Jenis/Sifat bahan bakar
1 Bahan bakar hidrokarbon
2 Menghasilkan energi yang besar
3 Mudah menguap
4 Tidak iritasi di kulit
5 Titik nyala rendah
6 Tidak mudah teroksidasi
3.2 Prosedur Pemilihan Mesin Propulsi
Gambar 3-2: Prosedur pemilihan mesin propulsi
3.3 Hasil Karakterisasi Mesin Propulsi
LSU-05
Karakterisasi mesin propulsi untuk
pesawat terbang nir awak seri LSU-05,
dapat dilakukan melalui analisis
terhadap data konfigurasi, spesifikasi
teknik, bahan bakar yang akan digunakan,
dan misi LSU-05, sehingga ditemukan
bagaimana hubungan antar parameter
tersebut berlangsung, terutama untuk
memenuhi misi pesawat terbang nir
awak tersebut. Dari Tabel 3-1 diketahui
bahwa Spesifikasi Pesawat nir awak
LSU-05 untuk berat pesawat (MTOW)
sebesar 77 kg, berarti mesin propulsi
yang digunakan harus mampu menghasil-
kan gaya dorong dan gaya angkat sayap
melalui putaran propeler serta bentang
sayap yang berukuran 5,50 m, sehingga
mampu terbebani sebesar 77 kg.
Disamping itu, disesuaikan juga dengan
karakteristik bahan bakar hidrokarbon
yang akan digunakan seperti pada Tabel
3-2, serta mampu terbang pada kecepatan
100 km/jam, dapat terpenuhi.
Salah satunya berdasarkan per-
timbangan data di atas dan persamaan
pehitungan yang telah disampaikan di
Bab 2, maka telah dipilih oleh Tim
Propulsi Litbangyasa LSU-05, yakni
mesin propulsi berjenis motor bakar
piston untuk mesin propulsi pesawat
terbang nir awak LSU-05, seperti pada
Gambar 3-3.
Gambar 3-3: Pesawat terbang nir awak LSU-05
dengan motor bakar piston siap diuji terbang
Sedangkan beberapa alternatif
yang bisa digunakan, tercantum seperti
pada Gambar 3-4 (MVVS, 2013) dan
karakteristik mesin propulsinya seperti
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :65-70
70
pada Tabel 3-3. (Pustekbang, 2015;
Bintoro dan Rachmat, 2013).
Gambar 3-4: Motor bakar piston sebagai Mesin Propulsi Pesawat Terbang Nir awak LSU-05 [11]
Tabel 3-3: KARAKTERISTIK TEKNIK MESIN
PROPULSI PESAWAT TERBANG NIR
AWAK LSU-05 (Pustekbang, 2015;
Bintoro dan Rachmat, 2013)
Komponen Spesifikasi
Lubang silinder 42 mm
Ukuran piston 42 mm
Berat motor
utama
3100 gr
Berat unit
pembakaran
270 gr
Tenaga yang
dihasilkan
14 HP/6400 rpm
11 HP/6000 rpm
Torsi maksimum 15 Nm /6100 rpm
12,7 Nm/5600
rpm
Jenis bahan
bakar
95 Oktan
Pelumasan Pelumas : Petrol =
1:40
Putaran mesin 1000 – 7500 rpm
Perbandingan
FAR
1:14,7
Sistem
pengapian
Karburator
4 KESIMPULAN
Dari uraian di atas diketahui
bahwa untuk mendukung keandalan
Pesawat Terbang Nir awak LSU-05, Tim
Propulsi Litbangyasa LSU-05 telah
melakukan karakterisasi mesin propulsi
untuk pesawat LSU, melalui analisis
terhadap data konfigurasi, spesifikasi
teknik, bahan bakar yang akan digunakan
dan misi LSU-05. Sehingga diperoleh
motor bakar piston dengan daya keluaran
14 HP/6400 rpm atau 11 HP/6000 rpm
yang dipilih sebagai mesin propulsi
pesawat terbang nir awak LSU-05.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu
terwujudnya tulisan ini, terutama
kepada: Bapak Gunawan S. Prabowo -
Kepala Pusat Teknologi Penerbangan-
LAPAN, Bapak Agus Bayu Utama–Kepala
Bidang Diseminasi/Kepala Bidang
Teknologi Propulsi Pusat Teknologi
Penerbangan LAPAN, Tim Propulsi Pusat
Teknologi Penerbangan, dan Tim
Litbangyasa LSU-05 Pusat Teknologi
Penerbangan LAPAN.
DAFTAR RUJUKAN Anneahira, 2014. Komponen Sistem Bahan
Bakar Bensin, www.anneahira.com.
Atik Bintoro, 2014. Penentuan Spesifikasi
Propeler Berdasarkan Kinerja Mesin
Propulsi Pesawat Terbang nir awak
LSU-05, Buku Bunga Rampai Hasil
Penelitian dan Pemikiran Ilmiah
tentang Teknologi Pesawat Terbang
Tanpa Awak, Roket, serta Satelit 2014,
Indonesia Book Project, Jakarta.
Atik Bintoro, Dede Rachmat, 2013. Penentuan
Karakteristik EFI untuk Pesawat nir
awak Jenis LSU-05, buku bunga
rampai Penelitian dan Kajian Teknologi
Pesawat Terbang, Indonesia Book
Project, Jakarta.
EM. Goodger, 1975. Hydrocarbon Fuels,
Macmillan, London.
EM. Goodger, 1977. Combustion Calculations,
Macmillan, London.
JH. Harker and JR. Backhurst, 1981. Fuel and
Energy, Academic Press, London.
MVVS, 2013. Operating Instructions MVVS 116
IRS No : 33010, MVVS, Brno, Czech
Republic, www.mvvs.cz.
Pustekbang, 2013. Pesawat nir awak LSU-05,
Stand banner Hasil litbang Pusat
Teknologi Penerbangan, LAPAN, Bogor.
Pustekbang, 2015. Dokumentasi Pustekbang
LAPAN.
SP. Sen, 1978. Internal Combustion Engine, theory
and Practice, Khanna Publishers, Delhi.
Wiranto Arismunandar, 2002. Pengantar Turbin
Gas dan Motor Propulsi, Penerbit ITB,
Bandung, halaman 97-128.
Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)
71
PENGARUH PARAMETER PENGADUKAN TERHADAP KANDUNGAN
GUGUS FUNGSI DALAM PREPOLIMER HTPB:
TDI 15:1 GAGAL MATANG
(INFLUENCES OF MIXING PARAMETERS ON FUNCTIONAL GROUPS
CONTENTS IN HTPB: TDI 15:1 FAIL CURED PREPOLYMER)
Afni Restasari
Pusat Teknologi Roket
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Raya LAPAN, No. 2 Mekarsari, Rumpin Bogor 16350 Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
In a study of determining the best propellant binder composition that composed by HTPB
2014 and TDI 2013, the composition of HTPB: TDI 15: 1 is failed to be cured. Mixing parameters are
supposed to influence the curing failure of the prepolymer. Identification of the functional groups
contained in the prepolymer can provide a deeper knowledge about that influences. This study aimed
to know the effect of mixing parameters on the functional groups contained in the fail cured
prepolymer HTPB: TDI 15: 1 by using Infrared Spectrophotometer. The research methods include
mixing characterization which are the calculation of Reynolds and Froud Numbers, and analysis of
functional groups contained in the fail cured prepolymer HTPB: TDI 15: 1 by using FT-IR Shimadzu. It
is known from the infrared spectrum that the fail cured prepolymer contains a stretching NH (3375.43
cm-1), OH (3527.8 cm-1), -NCO (2274.07 cm-1), -C = O (1732.08 cm-1), COC (1097.5 cm-1), Amide I
(1699.29 cm-1), Amide II (1537.27 cm-1), Amide III (1220.94 cm-1), 2, 6 - TDI (815.89 cm-1), free OH of
HTPB (3400.5 cm-1) and urea (1681.93 cm-1). It was concluded that the Reynolds number of 0.8698 -
0.8921 with a total stirring time of 20 minutes are able to cause the reaction of the urethane bond
formation with the appearances of peaks of NH, OH, -NCO, -C = O and C-O-C and Amide I, II and III.
However, the reaction is uncomplete with the peaks of 2,6-TDI and free hydroxyl. Meanwhile, Froud
number prepolymer of 0.0142 has been capable of dissolving air that contain water vapor in mixing
process, resulting in the formation of urea.
Keywords: Polyurethane, Mixing, Infrared spectroscopy
ABSTRAK
Dalam penelitian penentuan komposisi binder propelan terbaik dengan bahan HTPB 2014 dan
TDI 2013, komposisi HTPB: TDI 15 : 1 menunjukkan kegagalan matang. Parameter pengadukan
diduga berpengaruh terhadap kegagalan matang prepolimer. Identifikasi gugus–gugus fungsi yang
terkandung dalam prepolimer dapat memberikan pengetahuan lebih dalam mengenai pengaruh
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter pengadukan terhadap
kandungan gugus fungsi yang terkandung dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI 15:1 gagal matang
dengan menggunakan Spektrofotometri Inframerah. Metode penelitian meliputi karakterisasi
pengadukan, yaitu perhitungan Bilangan Reynold dan Froud serta analisa gugus fungsi dengan
menggunakan FT-IR Shimadzu terhadap prepolimer gagal matang berbahan HTPB: TDI 15:1.
Diketahui dari spektrum inframerah bahwa prepolimer gagal matang tersebut mengandung uluran
NH (3375,43 cm-1), OH (3527,8 cm-1), -NCO (2274,07 cm-1), -C=O (1732,08 cm-1), C-O-C (1097,5 cm-1),
Amida I (1699,29 cm-1), Amida II (1537,27 cm-1), Amida III (1220,94 cm-1), 2,6 – TDI (815,89 cm-1), OH
bebas dari HTPB (3400,5 cm-1) dan urea (1681,93 cm-1). Disimpulkan bahwa bilangan Reynold
sebesar 0.8698 - 0.8921 dengan waktu pengadukan total 20 menit telah menyebabkan terjadinya
reaksi pembentukan ikatan uretan dengan munculnya puncak uluran NH, OH, -NCO, -C=O dan C-O-
C serta Amida I, II dan III. Namun, reaksi tersebut tidak sempurna yang ditandai dengan puncak dari
2,6-TDI dan hidroksil bebas. Sementara, bilangan Froud prepolimer yang sebesar 0,0142 telah mampu
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80
72
melarutkan udara yang mengandung uap air saat proses pengadukan sehingga mengakibatkan
terbentuknya urea.
Kata Kunci: Poliuretan, Mixing, Spektroskopi inframerah
1 PENDAHULUAN
Propelan padat komposit merupa-
kan salah satu jenis propelan yang
sedang dikembangkan LAPAN sebagai
bahan bakar roket. Berdasarkan bentuk-
nya, komposisi dasar propelan padat
komposit meliputi kandungan cair (liquid
content) dan kandungan padat (solid
content). Kandungan padat terdiri dari
oksidator seperti Ammonium perklorat
dan fuel logam seperti serbuk aluminium.
Sedangkan kandungan cair meliputi
pembentuk binder, yaitu poliol dan
curing agent. Binder ini sering disebut
sebagai fuel binder karena selain ber-
fungsi untuk merekatkan dan mendistri-
busikan seluruh komponen propelan
secara merata, banyaknya kandungan
karbon dalam binder juga turut
menyumbang energi yang dihasilkan
oleh propelan seperti dituangkan pada
persamaan 1-1 (Hagen, 2014; Martin
dan Welch, 2003).
28C73H110O6 + 574NH4ClO4 → 287N2 + 574HCl+ 2044CO + 2401H2 + 0,36 kkal/gr
(1-1)
Dalam pengembangan komposisi
propelan, sifat mekanik dan fisik
merupakan pertimbangan yang paling
penting untuk stabilitas dan kinerja
propelan (Ramnarace, 2015). Hal ini
disebabkan propelan harus dapat
bertahan dalam berbagai jenis tekanan
selama penanganan dan transportasi,
siklus termal, pemantikan (ignition), dan
percepatan saat penerbangan motor roket
(Restasari et al., 2015; Mahanta dan
Pathak, 2012). Propelan tidak boleh retak,
memiliki pori yang besar maupun bagian
yang tidak terikat pada lokasi dimanapun
dan kapanpun. Sifat mekanik dan fisik
yang kurang baik dapat menyebabkan
berbagai masalah diantaranya adalah
retak pada siklus termal, terpisahnya
propelan oleh karena penyusutan dan
kualitas ikatan yang buruk, patah saat
pemberian tekanan pada pemantikan
(ignition), degradasi propelan,
dan perubahan dimensi propelan
(Ramnarace, 2015).
Kualitas sifat mekanik propelan
bergantung pada kualitas ikatan fuel
binder yang mengandung poliuretan.
Poliuretan terbentuk dari reaksi antara
gugus hidroksil (OH) dari Hydroxy
Terminated Polybutadiene (HTPB) dengan
gugus isosianat (NCO) dari Toluene
diisocyanate (TDI) (Rosita, 2014). Reaksi
polimerisasi tersebut dapat berlangsung
dengan empat mekanisme yang dijelaskan
dengan persamaan 1-2, 1-3, 1-4 dan 1-5,
dengan Mn adalah simbol untuk rantai
hidrokarbon dari HTPB dan Ar adalah
hidrokarbon dari TDI. Persamaan 1-2
menjelaskan reaksi awal terbentuknya
kopolimer poliuretan dengan ujung NCO
dan OH. Persamaan 1-3 menunjukkan
mekanisme apabila kopolimer poliuretan
bereaksi dengan gugus OH dari HTPB
sehingga dihasilkan poliuretan dengan
gugus OH di kedua ujungnya. Sementara,
persamaan 1-4 ialah mekanisme yang
terjadi apabila kopolimer poliuretan
bereaksi dengan gugus NCO dari TDI
sehingga terbentuk poliuretan yang
memiliki gugus NCO di kedua ujungnya.
Persamaan 1-5 terjadi apabila gugus
uretan bereaksi dengan NCO dari TDI
membentuk gugus karboizida. Persamaan
ini dikenal dengan bentuk ikatan silang
karena akan menghasilkan struktur ikatan
silang yang memiliki tiga gugus ujung
aktif (Wibowo, 2015a).
(1-2)
Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)
73
(1-3)
(1-4)
(1-5)
Selain dapat mengandung ikatan
silang yang berjenis ikatan kovalen,
poliuretan juga mengandung ikatan
silang yang berjenis ikatan hidrogen
seperti ditunjukkan pada Gambar 1-1.
Gambar 1-1 menunjukkan bahwa ikatan
hidrogen terbentuk ketika atom hidrogen
(H) diapit oleh nitrogen (N) dan oksigen
(O). Ikatan ini dapat terjadi antar gugus
uretan yang terkandung dalam segmen
keras poliuretan maupun antara gugus
uretan dengan segmen lunak poliuretan
yang mengandung gugus fungsi seperti
eter pembentuk rantai hidrokarbon
HTPB (Hagen, 2014; Ren et al., 2004).
Gambar 1-1: Ikatan hidrogen dalam poliuretan
(Hagen, 2014)
Telah dilakukan berbagai penelitian
untuk mendapatkan sifat mekanik
propelan terbaik. Menurut Wibowo
(2015b), sifat mekanik propelan yang
baik dapat diperoleh dari komposisi
OH/NCO sebesar 1,0 atau 0,9 dengan
OH/NCO merupakan rasio dari bilangan
hidroksil dari HTPB dan bilangan
isosianat TDI. Menurut Rosita (2014),
sifat mekanik tersebut ditentukan oleh
rasio massa HTPB : TDI. Erryani (2014)
menyatakan bahwa rasio massa HTPB:
TDI yang terbaik ialah yang menghasilkan
propelan dengan kuat tarik yang tinggi
dan elongasi di atas 5%. Dengan demikian,
untuk mendapatkan komposisi propelan
terbaik, rasio HTPB: TDI yang menghasil-
kan sifat mekanik prepolimer yang
terbaik perlu ditentukan terlebih dahulu
sebelum penentuan komposisi propelan,
seperti yang telah dilakukan terhadap
HTPB 2014 dan TDI 2013. Namun dalam
penentuan tersebut, rasio massa HTPB:
TDI 15 : 1 yang mengandung NCO/OH
sebesar 1 menunjukkan kegagalan
matang. Hal ini mengindikasikan adanya
faktor lain yang berpengaruh terhadap
sifat mekanik prepolimer yakni parameter
pengadukan.
Parameter pengadukan menjadi
penting untuk diperhatikan ketika dua
bahan yang memiliki perbedaan viskositas,
seperti HTPB dan TDI, dicampur
sekaligus direaksikan. HTPB merupakan
cairan kental yang berviskositas tinggi.
Sementara TDI berviskositas rendah.
Menurut Dickey (2015), mencampurkan
dua bahan yang memiliki perbedaan
viskositas lebih sulit daripada mencampur-
kan dua bahan dengan sifat fisik yang
mirip. Selanjutnya, beliau menyatakan
bahwa menambahkan cairan berviskositas
rendah ke cairan berviskositas tinggi,
seperti pada penambahan TDI ke dalam
HTPB, lebih sulit daripada menambahkan
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80
74
cairan berviskositas tinggi ke cairan
berviskositas rendah. Dengan sulitnya
pencampuran, parameter pengadukan
yang kurang tepat dapat menyebabkan
terbentuknya produk samping seperti
urea yang menyebabkan sifat mekanik
prepolimer tidak mewakili komposisi
bahannya. Reaksi pembentukan urea
dari TDI dan air dijelaskan pada
persamaan di Gambar 1-2 (Hagen, 2014;
Equipment Testing Procedures Committee,
2001).
Gambar 1-2: Reaksi Pembentukan Urea (Hagen, 2014)
Beberapa parameter pengadukan
yang berkaitan dengan sifat viskositas
bahan adalah jenis impeller, viskositas
campuran, bilangan Reynold (Re), dan
bilangan Froud (Fr). Jenis impeller yang
khas meliputi impeller aliran radial,
tangensial, aksial, bentuk jangkar, sekrup
dan heliks. Jenis impeller berkontribusi
pada pemerataan panas pencampuran.
Sementara, viskositas campuran menen-
tukan seberapa sulit gerakan atau aliran
suatu cairan. Viskositas campuran yang
kurang dari 100 cP (0,1 Pa.s) berefek
sangat kecil. Sedangkan, efek viskositas
yang lebih dari 10.000 cP (10 Pa.s) dapat
mendominasi masalah pencampuran.
Lebih lanjut, efek dari viskositas
direpresentasikan dengan bilangan
Reynold (Equipment Testing Procedures
Committee, 2001).
Bilangan Reynold (Re) menentukan
aliran pencampuran (mixing) yang terjadi.
Re yang kurang dari 10 menunjukkan
terjadinya pencampuran laminar, 10-
20.000 menunjukkan pencampuran
transisi dari laminar ke turbulen dan Re
lebih dari 20.000 menunjukkan pencam-
puran turbulen (Equipment Testing
Procedures Committee, 2001). Menurut
Williams (2007), mekanisme primer yang
membantu perkembangan pencampuran
dengan bilangan Reynold rendah adalah
difusi yang membutuhkan waktu yang
lama untuk efektif.
Selain bilangan Reynold, bilangan
Froud (Fr) yang merepresentasikan
adanya vortex atau pusaran cairan yang
terjadi di sekitar batang pengaduk juga
perlu diperhatikan karena dapat membawa
bahan secara spiral turun ke pusat
(Dickey, 2015). Bilangan Froud diketahui
secara linier mempengaruhi kedalaman
vortex (Smith dan During, 1991).
Pengaruh parameter pengadukan
terhadap kesempurnaan ikatan prepolimer
dapat diketahui dengan menganalisa
kandungan gugus-gugus fungsi yang
terkandung dalam prepolimer dengan
Spektrofotometri Inframerah yang mana
bilangan-bilangan gelombang yang ditinjau
ialah yang menentukan keberadaan
ikatan uretan, urea sebagai produk
samping dan HTPB serta TDI sebagai
reaktan (Rosita, 2015; Fessenden dan
Fessenden, 1986). Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh parameter pengadukan terhadap
kandungan gugus fungsi yang terkandung
dalam prepolimer berbahan HTPB : TDI
15:1 gagal matang dengan menggunakan
Spektrofotometri Inframerah. Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi dasar
untuk menemukan teknik pengadukan
yang tepat sehingga penentuan komposisi
binder propelan dapat berhasil dengan
baik.
2 METODOLOGI PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah prepolimer poliuretan
dengan rasio massa HTPB 2014 : TDI
2013 15 : 1 dan NCO/OH sebesar 1.
Karakterisasi pengadukan yang meliputi
perhitungan bilangan Reynold dan Froud
dihitung berdasarkan data pada Tabel 2-1.
Bilangan Reynold (Re) dihitung
Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)
75
menggunakan persamaan 2-1 yang
mana µ adalah viskositas cairan (Pa.s).
Perhitungan massa jenis (ρ) atau
densitas campuran dan bilangan Froud
(Fr) masing–masing dilakukan dengan
menggunakan persamaan 2-2 dan 2-3
(Equipment Testing Procedures Committee,
2001).
(2-1)
(2-2)
(2-3)
Analisa gugus-gugus fungsi dilakukan
dengan menggunakan Spektrofotometer
Fourier Transform Infrared (FT-IR)
Shimadzu yang mampu merekam
spektra dengan bilangan gelombang 400 –
4000 cm-1. Analisa ini dilakukan dengan
mengidentifikasi bilangan– bilangan
gelombang yang tertuang pada Tabel 2-2.
Tabel 2-1: DATA PENGADUKAN PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1
Jenis Impeller Impeller Aliran aksial, R 1342
Propeller stirrer, 4 blade Diameter Impeller (D) 0,05 m µ1 prepolimer pada 10 menit pertama pengadukan
39 P = 3,9 Pa.s
µ2 prepolimer pada 10 menit kedua pengadukan
40 P = 4 Pa.s
Total waktu pengadukan (menit) 20 Fraksi massa HTPB (x1) 0,9375 Fraksi massa TDI (x2) 0,0625 ρ HTPB 0,87 g/mL = 870 kg / m3 ρ TDI 1,21 g/mL = 1210 kg / m3 N (kecepatan putaran) 1,67 rev/s g (percepatan gravitasi) 9,8 m.s-2
Tabel 2-2: BILANGAN-BILANGAN GELOMBANG YANG DIANALISA
Gugus Fungsi Bilangan gelombang (cm-1) Sumber Uluran N-H 3360 – 3380; 3300 Malik, 2005; Gogoi et al.,
2013 Tekukan N-H 1516 Gogoi et al., 2013 O-H 3530 – 3550 Malik, 2005 -NCO 2270 – 2280; 2272 - 2274 Malik, 2005; Gogoi et al.,
2013 -C=O uretan 1720 - 1730 Malik, 2005 Uluran C-O-C 1100 Gogoi et al., 2013 Amida I 1700 – 1730 cm-1 Ren et al., 2004
Amida II 1500 – 1540 cm-1; 1530 – 1540
cm-1; 1500 – 1550 cm-1
Ren et al., 2004; Zhang et al., 2008; Nagle et al., 2007
Amida III 1200 – 1300 cm-1; 1220 – 1230 cm-1
Ren et al., 2004; Zhang et al., 2008
Gugus OH bebas dari HTPB 3350 – 3400 cm-1 Villar et al., 2011 Isomer 2,4-TDI 783 cm-1 Rosita, 2015 Isomer 2,6-TDI 815 cm-1 Rosita, 2015 Urea 1680 – 1690 cm-1 Malik, 2005
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakterisasi Pengadukan
Berdasarkan hasil perhitungan,
diketahui bahwa densitas prepolimer
HTPB : TDI 15:1 adalah sebesar 833,33
kg/m3. Data tersebut selanjutnya
digunakan untuk menghitung bilangan
Reynold dan diketahui bahwa prepolimer
tersebut memiliki bilangan Reynold yang
menurun dari 0,8921 pada 10 menit
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80
76
pertama pengadukan ke 0,8698 pada 10
menit kedua pengadukan. Penurunan
bilangan Reynold dikarenakan meningkat-
nya viskositas prepolimer dari 3,9 Pa.s
menjadi 4 Pa.s dalam waktu 10 menit.
Peningkatan viskositas ini menunjukkan
peningkatan gugus uretan yang terbentuk
melalui reaksi polimerisasi (Gogoi et al.,
2013). Semakin banyak gugus uretan
yang terbentuk, semakin banyak ikatan
hidrogen yang terbentuk antara gugus
NH dan karbonil pada ikatan uretan
sehingga meningkatkan kekakuan dari
jaringan (Chattopadhyay et al., 2007 ).
Menurut Equipment Testing
Procedures Committee (2001), viskositas
prepolimer HTPB : TDI 15:1 belum
dikatakan mendominasi masalah pen-
campuran. Namun demikian, viskositas
yang lebih dari 0,1 Pa.s tersebut dikategori-
kan sebagai nilai yang memiliki efek
terhadap mudah tidaknya prepolimer
cair mengalir dalam pengadukan.
Sedangkan nilai bilangan Reynold yang
sangat rendah pada prepolimer HTPB:
TDI 15:1 menunjukkan bahwa aliran
laminar mendominasi aliran yang terjadi
selama pengadukan. Aliran laminar ini
menyebabkan butuh waktu yang lama
untuk mencapai pencampuran yang
baik (Williams, 2007).
Di sisi lain, diketahui bilangan
Froud prepolimer HTPB: TDI 15:1 sebesar
0,0142. Bilangan Froud secara linier
mempengaruhi kedalaman vortex (Smith
and During, 1991), sehingga dapat
disimpulkan bahwa dengan rendahnya
bilangan Froud maka kedalaman vortex
saat pengadukan prepolimer cair pun
dangkal.
3.2 Kandungan Gugus Fungsi
Analisa kandungan gugus fungsi
yang terkandung dalam prepolimer
poliuretan HTPB : TDI 15:1 gagal matang
dilakukan dengan menggunakan FT-IR.
Spektrofotometri Inframerah merupakan
cara identifikasi jenis ikatan dalam
molekul dengan menggunakan radiasi
inframerah. Pada spektrofotometri tersebut
radiasi ditembakkan ke sampel uji
dalam bentuk paket-paket energi yang
berbentuk foton. Radiasi yang telah
melewati sampel memiliki intensitas
foton yang lebih rendah daripada
mulanya. Hal ini karena molekul sampel
menyerap energi radiasi sehingga meng-
akibatkan peningkatan amplitudo vibrasi
atom-atom yang berikatan. Banyaknya
energi yang diserap bergantung pada
perubahan dalam momen ikatan.
Perubahan intensitas foton kemudian
diukur. Perubahan yang terekam
tersebut menunjukkan kekhasan jenis
ikatan tertentu (Rosita, 2015; Fessenden
dan Fessenden, 1986).
Jenis vibrasi ada dua, yaitu vibrasi
tekuk dan vibrasi ulur. Daerah di atas
1400 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur
dan digunakan untuk identifikasi gugus-
gugus fungsi. Sementara, daerah di
bawah 1400 cm-1 dapat menunjukkan
vibrasi ulur maupun tekuk. Daerah ini
disebut daerah sidik jari karena setiap
senyawa organik memiliki serapan yang
unik disini (Fessenden dan Fessenden,
1986). Spektra prepolimer poliuretan
dari 400 – 4000 cm-1 dapat dilihat pada
Gambar 3-1 dan hasil analisisnya
disampaikan pada Tabel 3-1.
Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)
77
Gambar 3-1: Spektra Inframerah Prepolimer Poliuretan HTPB : TDI 15:1 Gagal Matang
Tabel 3-1: KANDUNGAN GUGUS FUNGSI PADA PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1 GAGAL MATANG
Jenis Gugus
Fungsi
Bilangan
gelombang
Rujukan (cm-1)
Sumber
Bilangan gelombang
(cm-1) yang
Terdeteksi
Uretan
Uluran N-H 3360 – 3380 Malik, 2005 3375,43
OH 3530 – 3550 Malik, 2005 3527,8
-NCO 2270 – 2280 Malik, 2005 2274,07
-C=O uretan 1720 – 1730 Malik, 2005 1732,08
Uluran C-O-C 1100 Gogoi et al., 2013 1097,5
Ikatan Hidrogen NH- - - C=O
Amida I 1700 – 1730 Ren et al., 2004 1699,29
Amida II 1530 – 1540 Zhang et al., 2008 1537,27
Amida III 1220 - 1230 Zhang et al., 2008 1220,94
2,6-TDI 815 Rosita, 2015 815,89
Urea 1680 - 1690 Malik, 2005 1681,93
OH bebas 3350 - 3400 Villar et al., 2011 3400,5
Gambar 3-2: Penjelasan asal puncak–puncak uretan pada spektrum inframerah
3.3 Pengaruh Pengadukan terhadap
Kandungan Gugus Fungsi Prepolimer
Gagal Matang
Berdasarkan Tabel 3-1, diketahui
bahwa parameter yang digunakan dalam
proses pengadukan pada pembuatan
prepolimer berbahan HTPB: TDI 15:1
telah berhasil menyebabkan terjadinya
reaksi polimerisasi sehingga terbentuk
ikatan uretan yang ditandai dengan
munculnya spektra uluran NH, OH, -NCO,
-C=O dan C-O-C, seperti dijelaskan pada
Gambar 3-2, dengan Mn adalah simbol
untuk rantai hidrokarbon dari HTPB.
1732,08
cm-1
3527,8 cm-
1
3375,43
cm-1
2274,07 cm-1
1097,5
cm-1
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80
78
Selain itu, terbentuknya ikatan
uretan juga ditandai dengan munculnya
puncak–puncak Amida I pada 1699,29
cm-1, Amida II pada 1537,27 cm-1 dan
Amida III pada 1220,94 cm-1. Amida I, II,
III sama–sama menunjukkan adanya
ikatan hidrogen yang mana atom
hidrogen berada dekat diantara atom N
dan O. Amida I termasuk penanda
terbentuknya ikatan uretan. Amida III
menunjukkan keberadaan ikatan hidrogen
antara C=O pada gugus uretan satu dan
N-H pada gugus uretan yang lain dimana
gugus–gugus uretan tersebut menyusun
segmen keras poliuretan. Sedangkan,
Amida II menunjukkan ikatan hidrogen
antara N-H pada gugus uretan di
segmen keras poliuretan dengan gugus
fungsi seperti eter (-O-) yang terkandung
dalam rantai hidrokarbon HTPB pem-
bentuk segmen lunak poliuretan (Ren et
al., 2004).
Namun demikian, pada spektra
inframerah (Gambar 4-1) juga terdeteksi
ketidaksempurnaan reaksi. Hal ini ditun-
jukkan dengan adanya puncak khas dari
2,6 – TDI pada bilangan gelombang
815,89 cm-1 dan gugus hidroksil (OH)
bebas dari HTPB pada 3400,5 cm-1. Isomer
2,6–TDI diketahui kurang reaktif dibanding
2,4 – TDI (Rosita, 2015), sehingga peng-
adukan yang tidak optimal kurang memicu
tumbukan yang dapat menyebabkan
reaksi kimia antara gugus hidroksil (OH)
HTPB dan gugus isosianat (NCO) pada
2,6 – TDI. Penyebab kekurangsempurnaan
reaksi ini ialah bilangan Reynold yang
terlalu kecil (di bawah 1) dan waktu
pengadukan yang kurang lama. Hal ini
karena aliran laminar, seperti yang
ditunjukkan dengan bilangan Reynold
prepolimer, membutuhkan waktu yang
lama untuk mencapai pencampuran
yang baik yaitu lebih dari 20 menit
(Equipment Testing Procedures
Committee, 2001; Williams, 2007).
Terjadinya reaksi samping dalam
prepolimer gagal matang diidentifikasi
dengan adanya puncak urea pada
1681,93 cm-1. Menurut Hagen (2014),
proses terbentuknya urea melalui 2 tahap.
Tahap pertama, gugus isosianat (NCO)
dari TDI bereaksi dengan air membentuk
senyawa amina primer dan karbon
dioksida. Tahap kedua, amina primer
bereaksi dengan gugus isosianat (NCO)
lainnya membentuk urea. Pembentukan
urea ini merugikan karena untuk mem-
bentuk satu senyawa urea membutuhkan
dua gugus isosianat. Sehingga gugus
isosianat yang seharusnya bereaksi
dengan gugus hidroksil (OH) dari HTPB
untuk membentuk uretan berkurang
dan terdapat HTPB yang sisa. Akibatnya,
sifat mekanik dan fisis yang dimiliki
prepolimer tidak lagi mewakili rasio
NCO/OH seperti yang dirancang. Selain
itu, karbondioksida yang dihasilkan dari
reaksi pembentukan urea tampak mem-
bentuk void (ruang kosong/pori) yang
terjebak di dalam prepolimer sehingga
mengakibatkan terbentuknya daerah
rawan pecah (Hagen, 2014).
Molekul air yang menjadi reaktan
terbentuknya urea dapat berupa uap air
yang terkandung dalam kelembapan
udara. Keikutsertaan uap air dalam
reaksi prepolimer disebabkan oleh
terbentuknya vortex selama pengadukan.
Diketahui vortex pada permukaan dapat
membawa bahan secara spiral turun ke
pusat (Dickey, 2015). Dengan kata lain,
adanya vortex, udara yang berada tepat
di permukaan prepolimer dapat turut
bercampur dengan prepolimer. Kedalaman
vortex ini berbanding linier dengan
bilangan Froud (Smith and During,
1991). Dengan demikian, bilangan Froud
prepolimer sebesar 0,0142 telah mampu
mengakibatkan terbentuknya urea.
4 KESIMPULAN
Berdasarkan analisis penelitian
ini, diketahui bahwa bilangan Reynold
sebesar 0,8698 – 0,8921 dengan waktu
pengadukan total 20 menit telah dapat
menyebabkan terjadinya reaksi pem-
bentukan ikatan uretan dengan muncul-
Pengaruh Parameter Pengadukan Terhadap Kandungan .....(Afni Restasari)
79
nya puncak uluran NH, OH, -NCO, -C=O
dan C-O-C serta Amida I, II dan III.
Namun, reaksi tersebut tidak sempurna
yang ditandai dengan puncak dari 2,6-
TDI dan hidroksil bebas. Sementara,
bilangan Froud prepolimer yang sebesar
0,0142 telah mampu melarutkan udara
yang mengandung uap air saat
pengadukan sehingga mengakibatkan
terbentuknya urea.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Kepala Pusat Teknologi
Roket, Drs. Sutrisno M.Si, Koordinator
Laboratorium Komposisi Dasar Drs.
Kendra Hartaya, M.Si, serta Dra. Geni
Rosita yang telah memberikan bimbingan
atas tersusunnya karya tulis ilmiah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada seluruh staf Laboratorium
Komposisi Dasar dan Laboratorium
Sintesis HTPB atas kerjasama dan
terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Chattopadhyay, D. K. dan K.V.S.N Raju, 2007.
Structural Engineering of Polyurethane
Coatings for High Performance
Applications, Progress in Polymer
Science 32 (3), 352 – 418.
Dickey, David S., 2015. Tackling Difficult Mixing
Problems, CEP Magazine: August.
American Institute of Chemical
Engineering (America), 35 – 42.
Equipment Testing Procedures Committee,
2001. Mixing Equipment (Impeller Type)
3rd Edition, American Institute of
Chemical Engineers (New York), 30, 39,
40, 61, 62, 83.
Erryani, Aprilia, 2014. Analisis Nilai Uji
Mekanik Propelan Berdasarkan Ratio
Fuel Binder dan Curing Agent, Hasil
Penelitian dan Pemikiran Ilmiah
Tentang Teknologi Pesawat Terbang
Tanpa Awak, Roket serta Satelit 2014,
Indonesia Book Project (Jakarta), 116 –
128.
Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden, 1986.
Organic Chemistry 3rd Edition, Wadsworth
Inc (California), 311 – 318.
Gogoi, R.; M. S. Alam.; U. K. Niyogi, 2013.
Effect of Soft Segment Chain Length on
Tailoring the Properties of Isocyanate
Terminated Polyurethane Prepolymer,
Base Material for Polyurethane Bandage,
IJRET: International Journal of Research
in Engineering and Technology 2 (10),
395 – 400.
Hagen, Trond Heldal, 2014. Energetic Binders
for Solid Rocket Propellant, Master
Thesis. Norwegian University of Life
Sciences (Norwegia), 15 – 17.
Mahanta, A. K. dan D. D. Pathak, 2012. HTPB-
Polyurethane: A Versatile Fuel Binder for
Composite Solid Propellant, Polyurethane,
Chapter 11, InTech., 229 - 230.
Malik, Abdul bin Mohd Mustafe, 2005. FTIR
Studies on 2K Polyurethane Paint,
Thesis Master of Science. Department
of Physics, National University of
Singapore (Singapore), 78.
Martin, J. A. dan L. H. Welch, 2003. Variable
Burn Rate Propellant, US Patent No.
US20020053377 A1.
Nagle, D. J.; M. Celina.; M. Rintoul.; P. M.
Fredericks, 2007. Infrared Micro-
spectroscopic Study of The Thermo-
Oxidative Degradation of Hydroxy-
Terminated Polybutadiene/Isophorone
Diisocyanate Polyurethane Rubber,
Polymer Degradation and Stability 92
(8), 1446 - 1454.
Ramnarace, Jawarhalal, 2015. Rocket Propellant
Technology, Page Publishing (New York)
Inc.
Ren, Z.; H. Wu.; J. Ma.; D. Ma, 2004. FTIR
Studies on The Model Polyurethane Hard
Segments Based on a New Waterborne
Chain Extender Dimethylol Butanoic
Acid (DMBA), Chinese Journal of
Polymer Science 22 (3), 225 - 230.
Rosita, Geni, 2014. Pengaruh Perbandingan HTPB
Lokal dengan Toluen diisosianat dan
Persentase Fuel Binder Pada Pembuatan
Propelan, Hasil Penelitian dan
Pemikiran Ilmiah Tentang Teknologi
Pesawat Terbang Tanpa Awak, Roket
serta Satelit 2014, Indonesia Book
Project (Jakarta), 171 - 180.
Rosita, Geni, 2015. Analysis of the Fuel Binder
Isomers to Improve the Quality of the
Propellant, Aeronautic And Space
Technology, Research and Engineering
of Unmanned Aerial Vehicle, Rocket
and Satellite, Indonesia Book Project
(Jakarta), 67 – 76.
Smit L. dan During J., 1991. Vortex Geometry in
Stirred Vessel, In: Proceedings of the
7th, European Congress of Mixing, Vol.
2 (Bruges, Belgium), 633 - 639.
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :71-80
80
Villar, L. D.; T. Cicaglioni.; M. F. Diniza.; M. F.
K. Takahashi.; L. C. Rezendea, 2011.
Thermal Aging of HTPB/IPDI-based
Polyurethane as a Function of NCO/OH
Ratio, Materials Research 14 (3), 372 – 375.
Wibowo, Heri Budi, 2015. Pengaruh Distribusi
Fungsionalitas Polimer Terhadap Sifat
Mekanik Poliuretan Berbasis HTPB,
Bunga Rampai Hasil Litbangyasa:
Teknologi Pada Pesawat Terbang, Roket
dan Satelit. Indonesia Book Project
(Jakarta), 283 – 290.
Williams, Alicia Marie, 2007. Mixing at Low
Reynolds Numbers by Vibrating
Cantilevered Ionic Polymers, Thesis for
the degree of Master of Science In
Mechanical Engineering, Virginia
Polytechnic Institute and State
University (Virginia), 6.
Zhang, C.; Z. Ren.; Z. Yin.; H. Qian.; D. Ma,
2008. Amide II and Amide III Bands in
Polyurethane Model Soft and Hard
Segments, Polymer Bulletin February
60 (1), 97-101.
Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)
81
VARIASI HARI TENANG GEOMAGNET PADA SAAT GERHANA
MATAHARI TOTAL 9 MARET 2016
(VARIATION QUIET DAY OF GEOMAGNETIC DURING THE TOTAL
SOLAR ECLIPSE MARCH 9, 2016)
Mamat Ruhimat
Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Variations of geomagnetic quiet days describe the geomagnetic field fluctuations are
influenced by the process of heating and ionisation in the E layer of the ionosphere. At low latitudes,
the dominant current on a quiet day is the Sq current. Closure of solar radiation in the event of a total
solar eclipse will cause a decrease in electron density and will cause changes in geomagnetic
variations. The purpose of this study was to determine the effect of the total solar eclipse to the
geomagnetic field. By eliminating the geomagnetic disturbance of daily geomagnetic field variations,
will be obtained the quiet days. The quiet days patten at a lower total solar eclipse is more lower 17 nT
than from one pattern of the international geomagnetic quiet days.
Keywords: Quiet day, Solar eclipse, Geomagnetic field variation, Ionosphere
ABSTRAK
Variasi hari tenang geomagnet menggambarkan fluktuasi medan geomagnet yang banyak
dipengaruhi oleh proses pemanasan dan ionisasi di lapisan E ionosfer. Di lintang rendah arus yang
dominan pada hari tenang adalah arus Sq. Terjadinya penutupan radiasi matahari dalam peristiwa
gerhana matahari total, akan menyebabkan menurunnya kerapatan elektron dan selanjutnya akan
menyebabkan perubahan variasi geomagnet. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh gerhana matahari total terhadap medan geomagnet. Dengan mengeliminasi gangguan
geomagnet dari variasi medan geomagnet harian, akan diperoleh pola hari tenang. Pola hari tenang
pada gerhana matahari total lebih rendah 17 nT dari salah satu pola hari tenang geomagnet
internasional.
Kata kunci: Hari tenang, Gerhana matahari, Variasi medan geomagnet, Ionosfer
1 PENDAHULUAN
Gerhana matahari total (GMT)
merupakan peristiwa alam yang tidak
hanya dapat dilihat secara langsung oleh
mata, tetapi juga dapat terlihat efeknya
dengan menggunakan peralatan fluxgate
magnetometer. Dalam peristiwa GMT ini
matahari, bulan, dan bumi berada dalam
satu garis edar sehingga radiasi matahari
yang masuk bumi menjadi tertutup oleh
bulan. Gerhana matahari total yang
terjadi pada 9 Maret 2016 melintasi
sebagian besar wilayah Indonesia
dengan jalur seperti dalam Gambar 1-1.
Kondisi ionosfer pada daerah atau zona
totalitas sepanjang lintasan kemungkinan
akan mengalami perubahan akibat
kejadian GMT tersebut. Kejadian ini
merupakan kesempatan yang baik
untuk meneliti lebih dalam efeknya
terhadap medan geomagnet. Mempelajari
geomagnet dengan adanya perubahan
radiasi yang datang dari korona
matahari adalah penting, karena aksi
ionisasi di daerah dinamo ionosfer
berubah (Curto et al., 2006). Efek utama
yang mungkin terjadi dalam medan
geomagnet disebabkan oleh gangguan
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88
82
arus listrik di lapisan E ionosfer yang
pada hari-hari tenang didominasi oleh
arus Sq. Penutupan radiasi matahari
oleh bulan menyebabkan pengurangan
kerapatan elektron di ionosfer dan
dengan demikian secara signifikan
menurunkan konduktivitas di wilayah
itu (Korte et al., 2001).
Gambar 1-1: Peta perlintasan GMT 9 Maret
2016 (http://eclipse.gsfc.nasa.gov /
SEplot /SEplot2001/SE2016 Mar
09T.GIF)
Variasi geomagnet, khususnya
pada variasi hari tenang menggambarkan
fluktuasi medan geomagnet yang banyak
dipengaruhi oleh proses pemanasan dan
ionisasi di lapisan ionosfer. Pada saat
berlangsungnya gerhana matahari total,
proses ionisasi akan mengalami gangguan.
Secara umum diketahui bahwa variasi
harian medan geomagnet hari tenang
disebabkan terutama karena arus dinamo
yang mengalir di lapisan E ionosfer.
Gerhana matahari mengubah proses
ionosfer lapisan E dan sebagai hasilnya
mempengaruhi variasi harian geomagnet
yang biasa dikenal sebagai variasi hari
tenang (Sq), yang berasal terutama dari
dalam ionosfer. Akibat tertutupnya sinar
matahari selama gerhana diperkirakan
proses ionisasi di lapisan ionosfer ter-
ganggu. Perubahan paling signifikan
muncul di ionosfer karena sifat ionosfer
terkait erat dengan radiasi matahari.
Perubahan tersebut juga mengakibatkan
perubahan variasi harian geomagnet
sebagaimana dicatat oleh stasiun
pengamat geomagnet. Efek ionosfer selama
gerhana matahari tergantung pada
beberapa faktor seperti tingkat aktivitas
matahari, tingkat gangguan geomagnet
(Onovughe, 2013; Tomas et al., 2009).
Peneliti lain telah mempelajari variasi
medan geomagnet selama gerhana matahari
dengan sebagian besar hasil menunjukkan
anomali positif di komponen Y dan
penurunan komponen X (Malin et al.,
2000; Adam et al., 2005). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
efek gerhana matahari total terhadap
variasi hari tenang geomagnet.
2 DATA DAN METODOLOGI
Data geomagnet yang digunakan
dalam riset ini diperoleh dari hasil
pengamatan variasi harian geomagnet di
Stasiun Meteorologi kelas III Babullah
BMKG Ternate (0⁰ 49' 45.20 "LU; 127⁰
22' 54.00" BT, λ 08,01⁰LS; β 156,31⁰ BB).
Peralatan yang digunakan jenis fluxgate
magnetometer merk Magson dengan
resolusi 0,1 nT dan sampling rate 1 Hz.
Pencatatannya dalam waktu universal
time (UT) dan komponen yang diukur
terdiri dari komponen X, Y dan Z. Medan
magnet komponen horizontal (H) adalah
resultan dari medan magnet komponen
X dan medan magnet komponen Y.
Komponen H ini digunakan untuk
mengungkap fenomena yang berasal dari
luar Bumi. Pengamatannya mulai 4
sampai dengan 10 Maret 2016.
Untuk mengetahui adanya
gangguan geomagnet yang datang dari
aktivitas matahari atau arus cincin,
maka digunakan data gangguan
geomagnet menggunakan indeks Dst
dari http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/. Indeks
Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)
83
Dst juga digunakan untuk mengeliminasi
atau memisahkan gangguan geomagnet
yang disebabkan arus cincin dari variasi
harian geomagnet sehingga diperoleh
variasi hari tenang geomagnet.
Pengamatan variasi harian geomagnet
yang dilakukan pada 5 Maret 2016,
tergolong dalam salah satu kelompok
hari tenang geomagnet Internasional.
Cara untuk mendapatkan pola hari
tenang geomagnet berdasarkan data
hasil pengukuran diperoleh dengan
mengeliminasi variasi harian geomagnet
dengan gangguan geomagnet (indeks
Dst) akibat efek dari arus cincin (Daglis
et al., 1990, Ganushkina et al., 2002).
Untuk memisahkan pola hari tenang
dari variasi harian geomagnet digunakan
persamaan (2-1) dan (2-2) (Korte et al.,
2001) dan difilter menggunakan analisis
Fourier (Ruhimat et al., 2016).
)11( 0 CosCosDstXX D (2-1)
)11( 0 SinCosDstYYD (2-2)
dengan X adalah medan magnet komponen
utara-selatan, Y adalah medan magnet
komponen timur-barat, λ adalah lintang
geomagnet stasiun pengamatan dan
sudut 11⁰ adalah beda sudut antara
kutub geografi dengan kutub geomagnet.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3-1 menunjukkan hasil
pengamatan geomagnet di Ternate pada
5 Maret 2016 yang tergolong dalam
variasi hari tenang geomagnet. Komponen
yang diukur terdiri dari komponen X
(utara-selatan) nilainya berkisar 38840-
38900 nano tesla (nT), komponen Y
(timur-barat) nilainya berkisar -50-0 nT
dan komponen Z (vertikal) nilainya
berkisar -9400 nT. Untuk komponen
horizontal (H) dapat dihitung dengan
resultan dari komponen X dan Y.
Gambar 3-2a menunjukkan tingkat
gangguan geomagnet (indeks Dst) http:
//wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/ pada 5 Maret
2016. Kurva ini menggambarkan bahwa
pada tanggal tersebut gangguan
geomagnetnya lemah sekali hanya
mencapai ± 10 nT. Hal ini menunjukkan
gangguan geomagnet yang ditimbulkan
oleh arus cincin ataupun aktivitas
matahari tidak terjadi. Dengan meng-
gunakan persamaan (2-1) dan (2-2),
kemudian dihitung resultannya maka
variasi hari tenang komponen horizontal
(H) geomagnet dapat diketahui. Pola hari
tenang diperoleh dari variasi hari tenang
yang difilter dengan menggunakan
analisis Fourier. Hasilnya seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3-2b yakni
kurva dengan garis warna biru dan pola
hari tenangnya dengan kurva garis
warna hitam. Dalam kondisi tenang
kedua kurva hampir berimpit seperti
yang ditunjukkan dalam Gambar 3-2b
yakni pada 5 Maret 2016, dimana
kondisi ini termasuk dalam urutan salah
satu hari tenang internasional geomagnet
(http://wdc. kugi.kyoto-u.ac. jp/).
Gambar 3-1: Variasi harian geomagnet di Ternate pada 5 Maret 2016, terdiri dari komponen X (utara-selatan), Y (timur-barat) dan Z (vertikal)
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88
84
Gambar 3-2: Kurva indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/) dan variasi hari tenang di Ternate
Gambar 3-3 menunjukkan kurva
hasil pengamatan variasi harian geomagnet
pada 9 Maret 2016 yakni tanggal saat
terjadinya peristiwa gerhana matahari
total. Pada pukul 00:30 UT hingga pukul
02:00 UT terjadi penurunan dari variasi
harian geomagnet komponen X dan
peningkatan dalam komponen Y.
Pengamatan intensitas medan magnet
selama gerhana matahari total cenderung
menurun. Kejadian ini sesuai dengan
yang pernah dilaporkan oleh peneliti
sebelumnya (Malin et al., 2000; Adam et
al.,2005; Ladynin et al., 2011; Ates et al.,
2011), walaupun dalam peristiwa kali ini
tidak terlalu signifikan perubahannya.
Pada 9 Maret 2016 tersebut, geomagnet
masih dalam kondisi recovery setelah
kejadian badai geomagnet 7 Maret 2016
(http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/). Variasi
gangguan geomagnet yang terjadi 9
Maret 2016 ini ditunjukkan dalam
Gambar 3-4a. Kurva indeks Dst berkisar
dari -15 nT hingga -30 nT. Variasi indeks
Dst ini digunakan untuk memisahkan
variasi hari tenang dari variasi hariannya.
Dengan cara yang sama seperti yang
telah dijelaskan dalam Gambar 3-2,
maka diperoleh variasi hari tenang
geomagnet dan polanya untuk 9 Maret
2016 seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3-4b. Variasi hari tenang
geomagnet yang diperoleh tidak licin
seperti pola hari tenang, karena diduga
ada sumber lain yaitu efek dari gerhana
matahari total yang berlangsung sekitar
pukul 00:30-02:00 UT yang merupakan
anomali dari variasi hari tenang geomagnet
komponen H. Variasi hari tenang
geomagnet mengalami penurunan dari
pola hari tenang regulernya dalam
rentang waktu tersebut rata-rata sekitar
-5nT, seperti ditunjukan pada Gambar
3-4b. Efek gerhana matahari terhadap
medan geofisikageomagnet ini di
Novosibirsk Russia pada kejadian gerhana
matahari total terdahulu menyebabkan
penurunan variasi harian geomagnet
dengan menurunkan amplitude 5 nT
(Babakhanov et al., 2013).
Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)
85
Gambar 3-3: Variasi harian geomagnet komponen X,Y, dan Z di Ternate pada 9 Maret 2016
Gambar 3-4: Kurva indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/) dan variasi pola hari tenang di
Ternate pada 9 Maret 2016
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88
86
Gambar 3-5: Kurva garis biru adalah ekivalen rapat arus hari tenang (Sq) di Ternate 9 Maret 2016 dan kurva garis hitam adalah geomagnet kondisi tenang 5 Maret 2016
Gambar 3-5 menunjukkan variasi
pola hari tenang geomagnet (Sq) di
Ternate pada 9 Maret 2016 yang
digambarkan dengan kurva garis biru.
Pola hari tenang geomagnet 5 Maret
2016 digambarkan dengan kurva garis
hitam yang menunjukkan variasi
geomagnet kondisi tenang secara
internasional. Kurva pola hari tenang
geomagnet 9 Maret 2016 memiliki variasi
yang lebih rendah rata-rata sebesar 17
nT dibandingkan dengan kurva pola hari
tenang geomagnet 5 Maret 2016. Hal ini
diduga karena adanya proses ionisasi
yang terganggu karena berkurangnya
radiasi matahari akibat peristiwa gerhana
matahari total.
4 KESIMPULAN
Dari hasil perekaman data pada 9
Maret 2016 dalam selang waktu dari
pukul 00:30 – 02:00 UT teramati adanya
penurunan yang signifikan variasi
geomagnet komponen X pada saat
gerhana matahari total terjadi dan
kenaikan pada komponen Y. Dari hasil
pengolahan geomagnet komponen X dan
Y maka diperoleh komponen H (horizontal)
yang mengungkap adanya perubahan
bersumber dari luar bumi. Pola hari
tenang pada saat gerhana matahari total
9 Maret 2016 rata-rata lebih rendah 17
nT dari pola hari tenang 5 Maret 2016.
Hal ini terkait dengan peristiwa gerhana
matahari total yang menurunkan proses
ionisasi di lapisan ionosfer sehingga pola
hari tenangnya menurun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Dra. Clara Yono Yatini,
M.Sc yang sudah memberi arahan dalam
penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Adam A., Vero J., Szendroi J., 2005. Solar
Eclipse Effect on Geomagnetic Induction
Parameters, Annales Geophysicae, 23,
3487-3494.
Ates A., A. Buyuksarac, O. Beltas, 2011.
Geophysical Variation During the Total
Solar Eclipse in 2006 in Turkey, Tukish
Journal of Earth Sciences Vol 20, 337-
342.
Babakhanov I.V., A.Y. Belenskaya, M.A. Bizin,
O.M. Grekhov, S.Y. Khomutov, 2013.
The Geophysical Disturbances During
The Total Solar Eclipse of 1 August 2008
in Novosibirsk Russia, Journal of
Atmospheric and Solar Terrestrial
Physics 92, 1-6.
Curto J. J., B. Heilig, and M. Pinol, 2006.
Modeling the Geomagnetic Effects
Variasi Hari Tenang Geomagnet pada saat Gerhana .....(Mamat Ruhimat)
87
Caused by the Solar Eclipse of 11
August 1999, J. Geophys. Res., 111,
A07312, 1-9.
Daglis I.A., R.M. Thome, W. Baumjohann, S.
Orsini, 1999. The Terrestrial Ring
Current: Origin, Formation and Decay,
Rev. of Geophys, 37,4, 407-438.
Ganushkina N.Y., T.I. Pulkkinen, M.V.
Kubyshkina, H.J. Singer, C.T. Russel,
2002. Modeling The Ring Current
Magnetic Field During Storms, Journal of
Geophysics Research, 107, A7, 1092,
SMP 3 1-10.
http://eclipse.gsfc.nasa.gov/SEplot/SEplot200
1/SE2016Mar09T.GIF-http://wdc. kugi.
kyoto-u.ac.jp/ dst_ realtime/ 201603/
index.html diakses 14 Maret 2016.
Korte M., H. Luhr, M. Forster, V. Haak, 2001.
Did the Solar Eclipse of August 11,
1999, Show a Geomagnetic Effect?,
Journal of Geophysical Research, Vol
106, A9, 18563-18575.
Ladynin A.V., N.N. Smakov, S.Y. Khomukov,
2011. Changes in the Daily Geomagnetic
Variation During the Total Solar Eclipse
of 1 August 2008, Russian Geology and
Geophysics, 52, 343-352.
Malin S R C., Ozcan O., Tank S B., Tuncer M
K., Yazici-Cakin O., 2000. Geomagnetic
Signature of the 1999 August 11 Total
Eclipse, Geophys. J. Int., 140, F13-F16.
Onovughe E., 2013. Geomagnetic Diurnal
Variation during the Total Solar Eclipse
of 29 March 2006, International Journal
of Astronomy, 2(4), 51-55.
Ruhimat M, A. Winarko, F. Nuraeni, H. Bangkit,
M. A. Aris, Suwardi, Sulimin, 2016.
Effect of March 9, 2016 Total Solar
Eclipse on Geomagnetic Field Variation,
International Symposium on Sun
Earth and Life (ISSEL), Journal of
Physics: Conference Series 771 (2016)
012036 doi:10.1088/1742-6596/771/1/
012036, http://iopscience. iop.org/
article/ 10.1088/1742-6596/771/1/
012036/pdf.
Tomas A.T., H. Luhr, M. Rotlur, 2009. Mid-
Latitude Solar Eclipse and Their Influence
on Ionospheric Current Systems, J.
Annales Geophysicae, 27, 4449-4461.
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :81-88
82
Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)
89
ESTIMASI GANGGUAN foF2 IONOSFER DI ATAS SUMEDANG
MENGGUNAKAN MODEL BADAI IONOSFER EMPIRIS DAN NUMERIK
(ESTIMATION OF foF2 IONOSPHERE DISTURBANCE OVER
SUMEDANG USING EMPIRICAL AND NUMERICAL IONOSPHERIC
STORM MODEL)
Anwar Santoso1, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi,
Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati
Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173 1e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The time delay of ionospheric response to the geomagnetic storms are varies depending on the
geomagnetic storm intensity so they are difficult to estimate. This condition is one of the problems
encountered by researchers at Space Science Center-LAPAN in Swifts activity. To determine its
response then be made to the model. They are empirical model of the ionosphere response by Araujo-
Pradere et al. (2002) and numerical model by Santoso et al. (2016). The purpose of this study was to
test the accuracy of both the models. The case studies done at the geomagnetic storms event on
January 20, 2016; April 14, 2006; August 24 and 31, 2005 and September 11, 2005. Dst index and
foF2 data from BPAA Sumedang BPAA is processed and analyzed. The result showed that both an
empirical model and a numerical models are equally good and proper to use in the estimation of the
ionospheric foF2 storm at BPAA Sumedang. But, in general, numerical models have better accuracy
and more excellent than empirical models. This is indicated by a deviation foF2SMD models and
observations were less than 30% on a geomagnetic storm events on April 14, 2006 (foF2SMD = 27.1%),
24 (foF2SMD = -9.2%) and August 31, 2005 (foF2SMD = 9.4%). Likewise, the value of deviation models,
ΔTpeak foF2SMD, still less than 30% for geomagnetic storm events on January 20, 2016 (Δtpeak foF2SMD
= -2.7%) and August 24, 2005 (Δtpeak foF2SMD = 25 7%) so that the model foF2SMD more proper to use
in modeling activities.
Keywords: foF2 ionospheric response, Geomagnetic storm, Empirical ionospheric storm model, Numerical
ionospheric storm model
ABSTRAK
Waktu tunda respon ionosfer terhadap badai geomagnet berbeda-beda tergantung intensitas
badai geomagnetnya sehingga sulit untuk memperkirakan waktu tunda respon ionosfer. Kondisi
inilah yang menjadi permasalahan bagi peneliti di Pussainsa-LAPAN dalam kegiatan SWIFtS. Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut maka dibuatlah model. Salah satunya yang telah dibuat
adalah model empiris badai ionosfer oleh Araujo-Pradere et al. (2002) dan model numerik badai
ionosfer oleh Santoso et al. (2016). Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji akurasi kedua model
badai ionosfer tersebut terhadap badai geomagnet. Studi kasus dilakukan saat badai geomagnet 20
Januari 2016, 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 serta 11 September 2005. Data indeks Dst dan
foF2 dari BPAA Sumedang pada tanggal tersebut diolah dan dianalisis. Hasilnya diperoleh bahwa baik
model empiris badai ionosfer maupun numerik sama-sama masih layak digunakan untuk kegiatan
estimasi badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, secara umum model numerik memiliki
keakuratan dan kelebihan yang relatif lebih baik dibandingkan model empiris. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai deviasi foF2SMD model terhadap pengamatan kurang dari 30%, pada kejadian badai
geomagnet 14 April 2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 Agustus (foF2SMD = -9,2%) dan 31 Agustus 2005
(foF2SMD = 9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi ∆Tpeak foF2SMD model kurang dari 30% untuk
kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak
foF2SMD = 25,7%) sehingga model foF2SMD lebih layak untuk dipergunakan dalam kegiatan permodelan.
Kata Kunci: Respon foF2 ionosfer, Badai geomagnet, Model empiris badai ionosfer, Model numerik
badai ionosfer
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98
90
1 PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang keantariksaan No. 21
tahun 2013 pasal 13 dan 14, LAPAN
sebagai lembaga litbang berkewajiban
untuk memberikan informasi tentang
cuaca antariksa kepada pengguna dan
masyarakat. Informasi yang dimaksud
meliputi prakiraan, peringatan dini,
mitigasi bencana, maupun bantuan
teknis. Pusat Sains Antariksa (Pussainsa),
Kedeputian Bidang Sains Antariksa dan
Atmosfer, LAPAN pada September 2015
lalu, mengembangkan program Space
Weather Information and Forecast Services
(SWIFtS), sebagai penyempurnaan dari
layanan informasi cuaca antariksa
sebelumnya yakni Sistem Pemantauan
dan Informasi Cuaca Antariksa (SPICA).
Salah satu masalah yang ditemui oleh
para peneliti Pussainsa dalam SWIFtS
adalah kesulitan untuk memperkirakan
waktu tunda respon ionosfer di wilayah
Indonesia akibat badai geomagnet.
Seperti diketahui bahwa Matahari
merupakan sumber penggerak cuaca
antariksa. Salah satu fenomena di
matahari yang menjadi sumber penggerak
cuaca antariksa adalah Coronal Mass
Ejection (CME) atau dinamakan juga
peristiwa ledakan matahari. Ketika
terjadi CME, maka akan terjadi injeksi
energi medan listrik ke magnetosfer
melalui mekanisme rekoneksi. Energi
tersebut akan menyebabkan pertumbuhan
arus cincin di sekitar Bumi yang
memicu gangguan medan magnet Bumi
dengan skala global. Peristiwa ini
dinamakan badai geomagnet (magnetic
storm) (Mayaud, 1980; Gonzales et al.,
1994; Gopalswamy, 2009; Boudouridis,
et al., 2004; Khabarova, 2007; Santoso,
2010; O’Brien dan McPherron, 2000;
Russell, 2006). Badai geomagnet
menyebabkan gangguan pada ionosfer.
Selama badai geomagnet, energi
magnetosfer masuk ke dalam atmosfer
atas kutub-kutub bumi. Energi ini dapat
memodifikasi proses-proses kimia dan
elektrodinamika sistem ionosfer-termosfer
(I-T) secara siginifikan. Konsekuensinya,
gangguan densitas elektron ionosfer dan
Total Electron Content (TEC) teramati
sepanjang badai geomagnet (Mannucci et
al., 2005). Sebuah studi oleh Abdu (1997
dan 2001) menunjukkan bahwa selama
kondisi terganggu, modifikasi pada
Equatorial Ionization Anomaly (EIA),
Equatorial Spread-F (ESF) dan Equatorial
Electrojet (EEJ) diproduksi oleh: (1) gang-
guan medan listrik yang dihasilkan dari
penetrasi medan listrik lintang tinggi
menuju ekuator dengan cepat, (2) gang-
guan dinamo yang digerakkan oleh
peningkatan sirkulasi termosfer global
yang dihasilkan dari masuknya energi
pada lintang tinggi, dan (3) gangguan
angin (zonal dan meridional) yang
memodifikasi dinamika termosfer ekuator.
Pengaruh badai geomagnet pada
ionosfer dapat berupa naik atau turunnya
nilai foF2 ionosfer dari mediannya yang
dinamakan badai ionosfer. Naiknya nilai
foF2 ionosfer dari mediannya dinamakan
badai ionosfer positif dan sebaliknya
dinamakan badai ionosfer negatif.
Pembentukan badai ionosfer positif atau
negatif sangat dipengaruhi oleh perubahan
angin dan komposisi udara netral, yang
mengakibatkan perubahan tingkat
rekombinasi dan ionisasi.
Respon ionosfer terhadap badai
geomagnet tidak terjadi secara langsung
melainkan melalui proses kopling
magnetosfer-ionosfer. Rastogi (1999) dalam
Yatini et al. (2009) melaporkan bahwa
selang waktu antara munculnya badai
geomagnet dan gangguan ionosfer
adalah sekitar 20 jam. Lusiani et al.
(2011), menggunakan data indeks Dst
dan foF2 LPD LAPAN Sumedang pada
Oktober-November 2003, juga melaporkan
bahwa semakin kuat badai geomagnet,
semakin cepat respon dari ionosfer untuk
terjadinya badai geomagnet ionosfer.
Badai ionosfer dapat terjadi dalam
selang waktu satu sampai 4 jam setelah
kejadian badai geomagnet kuat. Badai
geomagnet menengah mengakibatkan
badai ionosfer dalam selang waktu satu
Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)
91
sampai 10 jam setelah badai geomagnet
tersebut. Sedangkan badai geomagnet
lemah mengakibatkan badai ionosfer
yang terjadi dalam selang waktu lebih
dari 10 jam setelah badai geomagnet
menengah tersebut. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ionosfer merespon
perubahan komposisi termosfer.
Berdasarkan penelitian tersebut
dikembangkan model empiris respon
ionosfer terhadap badai geomagnet dengan
input indeks geomagnet ap (Araujo-Pradere
dan Fuller-Rowell, 2000). Algoritma
model empiris tersebut diberikan oleh
Fuller-Rowell et al. (1998) dalam Araujo-
Pradere et al. (2002) tampak pada
persamaan (1-1) dan (1-2). Dalam
tulisan ini, yang dimaksud model badai
ionosfer empiris adalah model empiris
respon ionosfer yang dikembangkan oleh
Araujo-Pradere et al. (2002) tersebut.
= {ao + a1X(to) + a2X2(to) +
a3X3(to)} {1 + a4 sin (LT + )} (1-1)
X(to) = F() P(to - ) d (1-2)
Dengan adalah foF2 pengamatan
dibagi foF2 median bulanan (foF2
pengamatan/ foF2 median bulanan), F()
adalah fungsi pembobotan filter indeks
ap dan P(to - ) adalah jumlah indeks ap
dalam 33 jam sebelumnya serta LT dan
. Koefisien a0, a1, a2, dan a3 diatur
untuk menyesuaikan hubungan non-
linear antara respon ionosfer dan
integral indeks geomagnet ap.
Dengan masukan indeks Dst
Kyoto dan foF2 BPAA Sumedang saat
kejadian badai geomagnet sepanjang
2005-2012 serta menetapkan koordinat
bujur (LT) dan lintang geomagnet ()
BPAA Sumedang yakni LT = 179,95⁰ BT
dan = 16,55⁰ LS maka diperoleh koefisien
a0, a1, a2, a3, dan a4, dengan a4 di-set
bernilai 1 sampai 50000. Beberapa
contohnya seperti ditampilkan pada
Tabel 1-1.
Dengan demikian, bila konstanta
a0, a1, a2, a3, dan a4 yang telah diperoleh
dalam Tabel 1-1 dimasukkan ke
persamaan (1-1) menjadi,
Model=(0.0015+((7.4654 10-6) Dst_Kyoto)+((9.3702 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((3.3744 10-12) x (Dst_Kyoto)3)) (1+30000 (-0.28402)) =
(1-3)
Model=(0.0014+((6.9987 10-6) Dst_Kyoto)+((8.7845 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((3.1635 10-12) (Dst_Kyoto)3)) x (1+32000 (-0.28402))
(1-4)
Mode=(0.0013+((6.587 10-6) Dst_Kyoto)+((8.2677 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.9774 10-12) ( Dst_Kyoto)3)) x (1+34000 (-0.28402))
(1-5)
Model=(0.0011+((5.989 10-6) Dst_Kyoto)+((7.0274 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.5308 10-12) (Dst+Kyoto)3)) x (1+40000 (-0.28402))
(1-6)
Model=(0.0011+((5.4623 10-6) Dst_Kyoto)+((6.856 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.469 10-12) (Dst_Kyoto)3)) x (1+41000 (-0.28402))
(1-7)
Tabel 1-1: KOEFISIEN MODEL ARAUJO-PRADERE et al. (2002) DENGAN MASUKAN INDEKS Dst_KYOTO
a0 0,0015 0,0014 0,0013 0,0011 0,0011
a1 7,4654×10-
6
6,9987×10-
6
6,587×10-6 5,989×10-6 5,4623×10-6
a2 9,3702×10-
9
8,7845×10-
9
8,2677×10-9 7,0274×10-
9
6,856×10-9
a3 3,3744×10-
12
3,1635×10-
12
2,9774×10-12 2,5308×10-
12
2,469×10-12
a4 30000 32000 34000 40000 41000
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98
92
Tabel 1-2: PERSAMAAN DAN NILAI KORELASI ANTARA DST MINIMUM DENGAN PEAK foF2SMD,
∆TOnset foF2SMD DAN ∆Tpeak foF2SMD
No Parameter Persamaan Korelasi Nilai
Korelasi
1 Dst min dan peak foF2SMD peak = 0,2278 x (Dst Min) - 10,731 R = 55,47%
2 Dst min dan ∆TOnset foF2SMD ∆TOnset = 0,0718(Dst min) + 8,8256 R = 80,32%
3 Dst min dan ∆Tpeak foF2SMD ∆T peak = 0,0387(Dst min) + 19,003 R = 37,46%
Santoso et al. (2016) telah mem-
peroleh model numerik respon foF2
ionosfer di BPAA Sumedang (foF2SMD)
saat badai geomagnet (indeks Dst)
menggunakan data 2010-2015. Persamaan
model numeriknya serta nilai korelasinya,
ditampilkan pada Tabel 1-2. Dalam
tulisan ini, yang dimaksud model badai
ionosfer numerik adalah model badai
ionosfer numerik yang dikembangkan
oleh Santoso et al. (2016) tersebut.
peak foF2SMD = 0,2278 x (Dst Min) -
10,731 (1-8)
∆TOnset foF2SMD = 0,0718(Dst min) +
8,8256 (1-9)
∆T peak foF2SMD= 0,0387(Dst min)+
19,003 (1-10)
Model numerik respon foF2 ionosfer
terhadap badai geomagnet di atas
Sumedang telah dibangun dengan
pengembangan dari korelasi antara
respon foF2 ionosfer BPAA Sumedang
terhadap kejadian badai geomagnet kuat
(Dst < -100 nT) yang terjadi sepanjang
2010-2015. Namun, model numerik
tersebut belum dilakukan uji akurasi.
Oleh karena itu, pada penelitian
ini dilakukan uji akurasi modifikasi
model empiris Araujo-Pradere et al.
(2002) yakni Model dan model numerik
respon foF2 ionosfer BPAA Sumedang
((foF2SMD)Model) dengan metode uji akurasi
dalam mengestimasi gangguan ionosfer
terhadap kejadian badai geomagnet kuat
(Dst < -100 nT) yang telah terjadi di
sepanjang 2005-2009 dan 2016. Alasan
pemilihan tahun tersebut sebagai studi
kasus adalah karena periode tahun
tersebut tidak digunakan sebagai
masukan dalam pembangunan model
numerik Model BPAA Sumedang.
Pembangunan model numerik Model
BPAA Sumedang dilakukan dengan data
periode 2010-2015.
2 DATA DAN METODE
2.1 Data
Data yang digunakan adalah
indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-
u.ac.jp/dstdir/) dan foF2 ionosfer dari
Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer
(BPAA) Sumedang dengan koordinat
geografis 6,91⁰ LS; 106,83⁰ BT (16,55⁰
LS; BT 179,95⁰ koordinat magnet).
Periode data yang diolah untuk
studi kasus adalah 2005, 2006, dan
2016. Indeks Dst digunakan untuk
mengidentifikasi kejadian badai geomagnet
minimal kelas sedang (Dst < -79,3 nT)
menurut kriteria yang diberikan oleh
Tim SWIFtS Pussainsa.
Hasil identifikasi badai geomagnet
sedang (Dst < -79,3 nT) menggunakan
indeks Dst diperoleh lima kejadian badai
geomagnet terpilih sebagai studi kasus.
Pertimbangannya karena keberadaan
data foF2 dari BPAA Sumedang dan
indeks Dst pada kelima kejadian badai
geomagnet tersebut lengkap. Kelima
badai geomagnet terpilih tersebut
ditunjukkan pada Tabel 2-2.
Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)
93
2.2 Metode
Setelah terseleksi lima kejadian
badai geomagnet maka kemudian dilaku-
kan perhitungan variasi foF2 ionosfer
BPAA Sumedang yang diakibatkan oleh
masing-masing kejadian badai geomagnet
tersebut. Klasifikasi tingkat gangguan
terhadap foF2 ionosfer menurut standar
Space Weather Information and Forecast
Service (SWIFtS) di Pusat Sains Antariksa
LAPAN, ditampilkan pada Tabel 2-3.
Tabel 2-1: KLASIFIKASI INTENSITAS BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN INDEKS Dst
No Kondisi Geomagnet Indeks K Geomagnet H(Dst)
1 Tenang (Quiet) 1-3 -25,4
2 Aktif (Active) 4 -25,5 – (-44,5)
3 Badai Lemah (Minor Storm) 5 -45 – (-79,2)
4 Badai Sedang (Moderate Storm) 6 -79,3 – (-139,6)
5 Badai Kuat (Major Storm) 7 -139,7 – (-245.9)
6 Badai Sangat Kuat (Severe
Storm)
8 - 246
Tabel 2-2: DAFTAR KEJADIAN BADAI GEOMAGNET (Dst <-79,3 nT) YANG TERPILIH SEBAGAI STUDI
KASUS
No Tanggal Kejadian Intensitas Badai Waktu Peak
1 20 Januari 2016 -93 nT 17.00 UT
2 14 April 2006 -98 nT 10.00 UT
3 24 Agustus 2005 -184 nT 12.00 UT
4 31 Agustus 2005 -122 nT 20.00 UT
5 11 September 2005 -139 nT 11.00 UT
Tabel 2-3: KLASIFIKASI BADAI IONOSFER BERDASARKAN DEVIASI foF2 IONOSFER ()
No Kondisi Geomagnet Durasi
1 Tenang (Quiet) -30% < < 30%
2 Mulai terganggu(Minor) > 30% < 10 menit
3 Badai Lemah (Moderat Storm) > 30% < 60 menit
4 Badai Kuat (Strong Storm) > 30% < 120 menit
5 Badai Sangat Kuat (Severe Storm) > 30% < 240 menit
6 Badai Super Kuat (Extreme Storm) > 30% > 240 menit
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98
94
Variasi foF2 ionosfer BPAA
Sumedang sebagai respon terhadap
badai geomagnet dinotasikan dengan
foF2PTN. Formulasinya seperti ditampilkan
pada pesamaan (2-1):
(2-1)
∆TOnset foF2SMD = TOnset (foF2SMD) -
TDstminimum (2-2)
∆T peak foF2SMD= TPeak (foF2SMD) –
TDst minimum (2-3)
Dengan foF2Obs-PTN adalah foF2 ionosfer
pengamatan di BPAA Pontianak dan
foF2Med-PTN adalah nilai median bulanan
foF2 ionosfer di BPAA Pontianak. Hal
sama juga dilakukan menggunakan data
foF2 dari BPAA Sumedang pada kejadian
badai geomagnet 20 Januari 2016.
Sedangkan nilai pengamatan
ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
= foF2observasi/ foF2Median (2-4)
dan
foF2= ((foF2data - foF2median)/
foF2Median) (2-5)
Selanjutnya dilakukan plot
foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta plot
(foF2SMD dan indeks Dst. Kemudian
menentukan nilai menggunakan
persamaan (1-3) sampai (1-7) dan peak
foF2SMD, ∆TOnset foF2SMD serta ∆T peak
foF2SMD menggunakan persamaan (1-8)
sampai (1-10). Hasilnya kemudian
dianalisis dengan metode analisis
statistik. Hasil analisis kemudian
disimpulkan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3-1 menunjukkan contoh
pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD
serta Dst dan foF2SMD saat kejadian
badai geomagnet 24 Agustus 2005.
Gambar 3-1: (A) Grafik pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta Dst dan (B) foF2SMD saat kejadian
badai geomagnet 24 Agustus 2005
Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)
95
Badai geomagnet 24 Agustus
2005 dipicu oleh kejadian flare M5,6
pada 22 Agustus 2015 yang berasosiasi
dengan CME. Badai geomagnet tersebut
ditandai dengan depresinya indeks Dst
yang mencapai nilai minimum di -184
nT pukul 12.00 UT 24 Agustus 2005.
Badai geomagnet ini menyebabkan
gangguan pada foF2 ionosfer BPAA
Sumedang. Dari Gambar 3-1 di atas
terlihat bahwa onset gangguan foF2
ionosfer BPAA Sumedang terjadi pada
pukul 11.00 UT 24 Agustus 2005 atau
satu jam sebelum indeks Dst mencapai
nilai minimumnya. Puncak gangguan
foF2 ionosfer BPAA Sumedang terjadi
beberapa saat kemudian atau bersamaan
dengan fase recovery badai geomagnet.
Dari Gambar 3-1 dan persamaan (2-4)
dapat tentukan nilai foF2 BPAA Sumedang
yang terdepresi maksimal yakni 5,46
MHz (pukul 14.00 LT 25 Agustus 2005)
dan nilai median foF2-nya yakni 11,975
sehingga nilai BPAA Sumedang adalah
0,54196242. Nilai model dari
persamaan (1-3) sampai (1-7) dengan
memasukkan total 33 nilai indeks Dst
mundur dimulai dari nilai Dst minimum
(-184 nT) = -424 nT, hasilnya seperti
ditunjukkan pada Tabel 3-1. Terlihat
bahwa nilai model yang terdekat
dengan nilai data (0,542) adalah 1,99
dengan a4 = 40000. Nilai model yang
diperoleh tersebut empat kali dari nilai
data atau kesalahannya sebesar 267,16%.
Dengan demikian, dapat dikatakan
akurasi model untuk kejadian badai
geomagnet 24 Agustus 205 kurang
bagus.
Dari Gambar 3-1 juga diperoleh
nilai pengamatan foF2SMD, ∆tonset foF2SMD
dan ∆tpeak foF2SMD, seperti ditunjukkan
pada Tabel 3-2. Nilai model foF2SMD,
∆tonset foF2SMD dan ∆tpeak foF2SMD yang
dihitung menggunakan persamaan (1-8)
sampai (1-10) dengan memasukkan nilai
indeks Dst minimum = -184 nT, juga
ditampilkan pada Tabel 3-2.
Tabel 3-1: NILAI MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET TANGGAL 24 AGUSTUS
2005 (Dst MINIMUM = -184 nT dan 33Dst = -424 nT)
Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 (Data)
(-424 nT) 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542
Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai model
(1,99) untuk a4 = 41000 yakni nilai model terkecil dan data yakni 0,541962.
Tabel 3-2: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonset foF2SMD; ∆tpeak foF2SMD SAAT BADAI
GEOMAGNET 24 AGUSTUS 2005 (Dst MINIMUM = -184 nT)
Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi
foF2SMD ∆tonset
foF2SMD
∆tpeak
foF2SMD
foF2SMD ∆tonset
foF2SMD
∆tpeak
foF2SMD
foF2SMD ∆tonset
foF2S
MD
∆tpeak
foF2S
MD
-57,98% -1 jam 16 jam -52,65% -4,4 11,9
jam -9,2%
338,6
%
-
25,7
%
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98
96
Terlihat bahwa nilai deviasi foF2SMD
sebesar -9,2% menunjukkan bahwa
selisih antara hasil model dengan
pengamatan relatif cukup kecil. Dengan
demikian, model foF2SMD layak untuk
digunakan. Nilai deviasi ∆tpeak foF2SMD
sebesar -25,7% juga bisa dianggap cukup
bagus. Sedangkan nilai deviasi ∆tonset
foF2SMD sebesar 338,6% tidak bagus. Hl
ini menunjukkan bahwa terdapat selisih
yang cukup besar antara hasil model
dengan pengamatan. Hal ini menunjukkan
bahwa model untuk ∆tonset foF2SMD
masih perlu diperbaiki lebih lanjut.
Cara yang sama seperti di atas
juga diterapkan untuk kejadian badai
geomagnet lainnya dalam studi kasus
yakni 20 Januari 2016, 14 April 2006,
31 Agustus 2005, dan 11 September
2005. Hasilnya seperti ditunjukkan pada
Tabel 3-3 dan Tabel 3-4.
Tabel 3-3: NILAI MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET DALAM STUDI KASUS
Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 ( Data) () %
20-01-2016 -93 1,34 1,40 1,57 3,29 1,32 0,549 140,44
14-04-2006 -98 0,804 0,861 1,031 2,61 0,775 0,34 127,94
24-08-2005 -184 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542 267,16
31-08-2005 -122 1,5 1,56 1,73 5,44 1,47 0,63 133,33
11-09-2005 -
139 0,86 0,92 1,09 7,98 0,83 0,708 17,23
Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai model
untuk a4 = 6,304777 (nilai model terkecil) dan data yakni 0,541962.
Tabel 3-4: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonset foF2SMD; ∆tpeak foF2SMD PADA BADAI
GEOMAGNET STUDI KASUS
Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi
(%)
foF2S
MD
∆tonset
foF2S
MD
(Jam)
∆tpeak
foF2S
MD
(Jam)
foF2SM
D
∆tonset
foF2S
MD
(Jam)
∆tpeak
foF2S
MD
(Jam)
foF2S
MD
∆tonset
foF2S
MD
∆tpeak
foF2S
MD
-32% 2.15 15.4 -49% 3 15 53,4 39,5 -2,6
20-01-
2016
-35% 1.3 15 -61 7 18 -43 -82 -17
13-10-
2016
-26% 5 49 -33,1% 1,8 15,2 27,1 -64,2 -69
14-04-
2006
-58% -1 16 -52,6% -4,4 11,9 -9,2 338,6 -25,7
24-08-
2005
-35% -1 28 -38,5% 0,07 14,3 9,4 -106,6 -49
31-08-
2005
-63% 2 28 -42,4% -1,16 13,6 -32,9 -157,7 -51,3
11-09-
2005
Estimasi Gangguan foF2 Ionosfer di atas Sumedang.....(Anwar Santoso et al.)
97
Dari Tabel 3-3, terlihat bahwa
nilai model = 0,83 bisa dianggap logis
terjadi saat badai geomagnet 11 September
2005 dengan nilai a4 = 40000 atau
hanya berbeda 17,23% dari data. Nilai
deviasi model pada kejadian badai
geomagnet 11 September 2006 terhadap
data kurang dari 30% sehingga dapat
dikategorikan model sangat bagus.
Dari Tabel 3-4, terlihat bahwa
nilai foF2SMD model untuk kejadian
badai geomagnet 14 April 2006, 24 dan
31 Agustus 2005 mendekati nilai foF2SMD
pengamatan. Nilai deviasi diantara
mereka berada di bawah 30%. Demikian
juga untuk nilai deviasi ∆tpeak foF2SMD
model dan pengamatan masih ada yang
berada di bawah 30% yakni pada kejadian
badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak
foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005
(∆tpeak foF2SMD = 25,7%). Jadi dari uraian
tersebut dapat dikatakan bahwa baik
model empiris global (Araujo-Pradere et
al., 2002) maupun model numerik lokal
sama-sama layak dipergunakan untuk
kegiatan pemodelan badai ionosfer foF2
di BPAA Sumedang. Namun, memiliki
akurasi dan sedikit kelebihan dibanding-
kan model empiris. Kelebihan tersebut
diantaranya adalah dapat mengestimasi
durasi waktu antara Dst minimum
dengan foF2SMD mencapai minimum
(∆tpeak foF2SMD) dan durasi waktu antara
Dst minimum dengan onset foF2SMD
mulai terganggu (∆tonset foF2SMD). Oleh
karena itu, cukup beralasan untuk lebih
mempertimbangkan model numerik
sebagai model gangguan foF2 ionosfer
BPAA Sumedang (foF2SMD).
4 KESIMPULAN
Dari analisis di atas dapat
disimpulkan bahwa baik model empiris
global (Araujo-Pradere et al., 2002)
maupun model numerik lokal sama-
sama layak dipergunakan untuk kegiatan
pemodelan badai ionosfer foF2 di BPAA
Sumedang. Namun, secara umum model
numerik lokal memiliki keakuratan yang
relatif lebih baik dibandingkan model
empiris global. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai deviasi foF2SMD model
terhadap pengamatan kurang dari 30%
pada kejadian badai geomagnet 14 April
2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 (foF2SMD =
-9,2%) dan 31 Agustus 2005 (foF2SMD =
9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi
∆Tpeak foF2SMD model, masih kurang dari
30% untuk kejadian badai geomagnet 20
Januari 2016 (∆tpeak foF2SMD = -2,7%)
dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak foF2SMD =
25,7%) sehingga model ∆Tpeak foF2SMD
juga cukup layak dipergunakan dalam
kegiatan permodelan.
Selain itu, dapat dikatakan bahwa
model numerik memiliki kelebihan
dibandingkan model empiris. Kelebihan
tersebut diantaranya adalah dapat
mengestimasi durasi waktu antara Dst
minimum dengan foF2SMD mencapai
minimum (∆tpeak foF2SMD) dan durasi
waktu antara Dst minimum dengan
onset foF2SMD mulai terganggu (∆tonset
foF2SMD).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Kepala Pusat Sains Antariksa
atas perkenannya menggunakan data
ionosfer BPAA Sumedang. Terima kasih
juga disampaikan kepada tim scaling
ionogram yang telah men-scaling data
ionogram untuk mendapatkan nilai foF2
(salah satu parameter ionosfer) BPAA
Sumedang yang digunakan sebagai
analisis dalam penelitian ini
DAFTAR RUJUKAN
Abdu, M. A., 1997. Major phenomena of the
Equatorial Ionosphere Thermosphere
System Under Disturbed Conditions, J.
Atmos. Terr. Phys., 59, 1505–1519.
Abdu, M. A., 2001. Outstanding Problems in the
Equatorial Ionosphere Thermosphere
Electrodynamics Relevant to SpreadF,
J. Atmos.Terr. Phys., 2001,63, 869–884.
Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell, 2000.
T. J. A Model of a Perturbed Ionosphere
using the Auroral Power as the Input,
Geofis. Int., 39(1), 29–36.
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 11 No. 2 Desember 2016 :89-98
98
Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell T. J.,
2002. STORM: An Empirical Storm-Time
Ionospheric Correction Model, 2, Validation,
Radio Sci., 37, 10.1029/ 2002 RS00 2620,
in press.
Boudouridis, A., E. Zesta, L.R. Lyons, P.C.
Anderson, and D. Lummerzheim, 2004.
Magnetospheric Reconnection Driven by
Solar Wind Pressure Fronts, Ann.,
Geophys., 22, 1367–1378.
Fuller-Rowell, T. J., M. V. Codrescu, Araujo-
Pradere E. A. and I. Kutiev, 1998.
Progress in Developing a Storm-Time
Ionospheric Correction Model, Adv. Space
Res., 22(6), 821–827.
Gonzalez, W. D., J. A. Joselyn, Y. Kamide, H. W.
Kroehl, G. Rostoker, B. T. Tsurutani,
and V. M. Vasyliunas, 1994. What is a
Geomagnetic Storm?, J. Geophys. Res.,
99, 5771–5792.
Gopalswamy, N., 2009. Halo Coronal Mass
Ejections and Geomagnetic Storm, Earth
Planet Space, 61, 1-3.
Khabarova O. V., 2007. Current Problems of
Magnetic Storm Prediction and Possible
Ways of their Solving, Sun and
Geosphere, 32-37, 2(1).
Lusiani, Mumpuni E. S., dan Utama J. A.,
2011. Analisis Kaitan Badai Geomagnet
Dengan Badai Ionosfer Sebagai Dampak
Kejadian Lontaran Massa Korona Matahari
(Oktober-November 2003), Prosiding
Sem. Himpunan Astronomi Indonesia,
ITB Bandung.
Mannucci, A. J., B. T. Tsurutani, B. A. Iijima, A.
Komjathy, A. Saito, W. D. Gonzalez, F.
L. Guarnieri, J. U. Kozyra, and R. Skoug,
2005. Dayside Global Ionospheric Response
to the Major Interplanetary Events of
October 29–30, 2003 Halloween Storms,
Geophys. Res. Lett., 32, L12S02.
Mayaud, P. N., 1980. Derivation, Meaning and
use of Geomagnetic Indices, Geophysical
monograph 22. America Geophysical
Union, Washington, DC.
O’Brien, T. P. and R. L. McPherron, 2000. An
Empirical Phase Space Analysis of Ring
Current Dynamics: Solar Wind Control of
Injection and Decay, J. Geophys. Res.,
105, 7707-7720.
Rastogi R. G., 1999. Morphological Aspects of a
New Type of Counter Electrojet Event,
Ann. Geophysicae, 17, pp. 210-219 EGS
Springer-Verlag.
Russell C.T., 2006. The Solar Wind Interaction
with the Earth’s Magnetosphere:
Tutorial, Department of Earth and
space sciences and Institute of
Geophysics and Space Physics of
University of California, Los Angeles.
Santoso A., 2010. Identifikasi Kondisi Angin
Surya (Solar Wind) untuk Prediksi Badai
Geomagnet, Prosiding Pertemuan Ilmiah
XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang,
275-283, 10 April 2010.
Santoso A., Juangsih M., Winarko A., Filawati
S., Ekawati S., Nurmali D., dan Rusnadi
I. E., 2016. Analisis Pengaruh Badai
Geomagnet Terhadap Respon foF2
Ionosfer di BPAA Sumedang, Prosiding
Seminar Nasional Sains Antariksa
2016, LAPAN (in progress).
Yatini C. Y., Jiyo, dan Ruhimat M., 2009. Badai
Matahari dan Pengaruhnya pada
Ionosfer dan Geomagnert di Indonesia,
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara,
Vol. 4 No. 1, 17-24.
Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …
(Pedoman Penulisan Majalah Sains Dirgantara) JUDUL MAKALAH DITULIS DENGAN HURUF KAPITAL TEBAL SECARA SINGKAT DAN JELAS, (Studi Kasus : apabila ada)
(16 pt, Britannic Bold ) Judul dibuat dalam 2 bahasa (Indonesia dan Inggris),
apabila tulisan dalam bahasa Indonesia, maka judul dalam bahasa Inggris ditulis dalam tanda kurung
(16 pt, Britannic Bold )
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dstn (Nama Penulis Tanpa gelar) (10,5 pt, Franklin Gothic Medium, bold)
1Instansi Penulis Pertama 2Instansi Penulis Kedua
dstn..... (10,5 pt, Franklin Gothic Medium)
e-mail: e-mail penulis pertama (berwarna hitam) (10,5 pt, Franklin Gothic Medium)
Diterima : ..... (tanggal bulan tahun); Disetujui : ..... (tanggal bulan tahun); Diterbitkan : ..... (tanggal bulan tahun) (9 pt, Franklin Gothic Medium)
ABSTRACT (10,5 pt, Bookman Old Style, bold)
Abstract is a summary of the most important elements of the paper, written in one paragraph in the one column of a maximum of 200 words. Abstract made in two languages written with the Bookman Old Style 9 pt. If the paper written in Indonesian, the English abstract written first then followed by Indonesian abstract and vice versa. The title "ABSTRAK" or "ABSTRACT" made with uppercase letters, and bold.
Keywords: guidence, author, journal (minimal 3 keywords) (9pt, Bookman Old Style, italic)
ABSTRAK (10,5 pt, Bookman Old Style, bold)
Abstrak merupakan ringkasan elemen-elemen terpenting dari naskah, ditulis dalam satu paragraf dalam 1 kolom maksimal 200 kata. Abstrak dibuat dalam 2 bahasa ditulis dengan huruf 9 pt, Bookman Old Style. Apabila naskah dalam Bahasa Indonesia, maka abstrak dengan Bahasa Inggris ditulis terlebih dahulu dilanjutkan abstrak Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Judul “ABSTRAK” atau “ABSTRACT” dibuat dengan huruf besar, bold.
Kata kunci: panduan, penulis, jurnal (minimal 3 kata kunci) (9pt, Bookman Old Style, italic)
Judul Makalah :.................. (Nama Penulis : ...........)
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …
1. PENDAHULUAN(10,5pt, Bookman Old Style, bold)
Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Naskah diketik dalam Microsoft Word dengan 1 kolom untuk abstrak dan 2 kolom untuk isi. Ukuran kertas A4 dengan ukuran panjang (height) 29,7 cm, lebar (width) 21 cm dengan dimensi Top 3 cm, Bottom 2,5 cm, Inside 2,5 cm, Outside 2 cm, Gutter 1 cm, Header 1 cm dan Footer 1 cm. Jenis Huruf Bookman Old Style 10,5 pt, dan spasi (line spacing) 1. Panjang naskah tidak melebihi 10 halaman termasuk tabel dan gambar.
Kerangka Tulisan disusun dengan urutan : Judul, Identitas Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metode, Hasil Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terimakasih, dan Daftar Rujukan.
2. METODOLOGI(10,5pt, Bookman Old Style, bold)
Menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian termasuk data, peralatan, teori, diagram alir, beserta lokasi penelitian.
2.1.Lokasi dan Data (10,5pt, Bookman Old Style, bold)
2.2.Standarisasi data (10,5pt, Bookman Old Style, bold)
2.3.Metode Penelitian (10,5pt, Bookman Old Style, bold)
Persamaan matematis atau formula diberi nomor secara berurutan yang diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung. Apabila penulisan persamaan lebih dari satu baris maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penggunaan huruf sebagai simbol matematis dalam naskah ditulis dengan huruf miring (Italic) seperti x. Penjelasan persamaan diulas dalam naskah. Penurunan persamaan matematis atau formula tidak perlu dituliskan secara detil, cukup diberikan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasilnya.
= ...............................(1)
Dengan CFLmax = Cmax
hmax : Kedalaman perairan maksimum dt : Langkah waktu perhitungan g : gaya gravitasi (10 m/s) Cmax : kecepatan awal
3. HASIL PEMBAHASAN(10,5pt, Bookman Old Style, bold)
Tabel dibuat ringkas dan diberi judulyang singkat tetapi jelas hanya menyaji-kan data yang esensial dan mudah di- pahami. Tabel diberi catatan secukup-nya, termasuk sumbernya, sehingga tabel mampu menjelaskan informasi yang disajikan secara mandiri. Setiap tabel diberi nomor secara berurutan dan diulas di dalam naskah. Judul tabel diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style 10,5 pt dan pada tulisan “Tabel 1.” “Tabel 2.” dan seterusnya diketik tebal.
Tabel yang ukurannya melebihi satu kolom, maka dapat menempati area dua kolom. Tabel tidak boleh dalam bentuk “picture”, harus dalam bentuk tabel. Judul tabel dituliskan pada bagian atas tabel, rata tengah dan diberi tanda titik (.) pada akhir judul tabel.
Gambar, Grafik dan Foto harus tajam dan jelas agar cetakan berkualitas baik. Semua simbol di dalamnya harus dijelaskan. Seperti halnya tabel, keterangan pada gambar, grafik atau foto harus mencukupi agar tersaji secara mandiri. Gambar, grafik dan foto harus diulas di dalam naskah. Seperti halnya tabel, gambar, grafik dan foto yang ukurannya melebihi satu kolom, maka dapat menempati area dua kolom. Gambar, grafik dan foto memiliki kedalaman minimal 300 dpi.
Gambar 3-1: Peta perlintasan GMT 9 Maret 2016 (http:// eclipse. gsfc. nasa. gov/ SEplot/SEplot2001/ SE2016 Mar 09T.GIF) (9pt, Bookman Old Style)
Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …
Tabel 2-1: DATA PENGADUKAN PREPOLIMER HTPB : TDI 15:1
Jenis Impeller Impeller Aliran aksial, R 1342
Propeller stirrer, 4 blade Diameter Impeller (D) 0,05 m µ1 prepolimer pada 10 menit pertama pengadukan
39 P = 3,9 Pa.s
µ2 prepolimer pada 10 menit kedua pengadukan
40 P = 4 Pa.s
Total waktu pengadukan (menit) 20 Fraksi massa HTPB (x1) 0,9375 Fraksi massa TDI (x2) 0,0625 ρ HTPB 0,87 g/mL = 870 kg / m3 ρ TDI 1,21 g/mL = 1210 kg / m3 N (kecepatan putaran) 1,67 rev/s g (percepatan gravitasi) 9,8 m.s-2
4. KESIMPULAN
Hal-hal penting dalam naskah yang merupakan kesimpulan dari hasil penelitian atau kajian.
UCAPAN TERIMAKASIH
Wajib dituliskan penulis, ditujukan kepada pihak-pihak yang membantu penulis baik penyediaan data, pengerjaan data, serta Tim Redaksi Jurnal Penginderaan Jauh dan Mitra Bestari.
DAFTAR RUJUKAN
Referensi hendaknya dari sumber yang jelas dan terpercaya. Setiap referensi yang tercantum dalam daftar rujukan harus dikutip (disitir) pada naskah dan sebaliknya setiap kutipan harus tercantum dalam daftar rujukan. Penulisan acuan dalam pembahsan sebaiknya menggunakan “sistem penulis-tahun” yang mengacu pada karya pada daftar rujukan. Kutipan buku dalam bentuk saduran untuk satu sampai dua penulis ditulis nama akhir penulis dan tahun. Contoh: Muhammad Nasir dituliskan (Nasir, 2009).
Referensi primer lebih dari 80 % dan diterbitkan dalam 5 -10 tahun terakhir. Referensi yang dicantumkan dalam naskah mengikuti pola baku dengan disusun menurut abjad berdasarkan nama (keluarga) penulis pertama dan tahun publikasi, dengan sistim sitasi American Physiological Association 6th Edition. Contoh penulisan di dalam Daftar Pustaka adalah sebagai berikut :
Artikel dalam Jurnal (Jurnal Primer)
Othman, A., & Gloaguen, R. (2013). River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment: A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq – W Iran. Remote Sensing, 5(3), 1024–1044.
Buku
Danoedoro, P. (2009). Land-Use Information from the Satellite Imagery: Versatility and Contents for Local Physical Planning. Lambert Academic Publishing AG & Co. KG.
Artikel bagian dari Buku
Berjak, P., J.M. Farrant, D.J. Mycock and N.W. Pammenter. (1989). The basis of recalcitrant seed behavior. 98-112 pp. In Talorson, R.B. (ed.) Recent advances in the development and germination of seeda. Plenum Press, New York.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Aziz, N. (2006). Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 105 hlm.
Naskah Prosiding
Setiawan I.B. (1999). Studies on environmental change and sustainable development of Cidanau Watershed. Proceeding of
Judul Makalah :.................. (Nama Penulis : ...........)
International Workshop on Sustainable Resources Management of Cidanau Watershed. Vol.1. RUBRD-UT/IPB. Bogor.
Naskah Konferensi
Mabowe, B.R., A. de Gier, Y.A. Hussin, M. Lubczynski and T. Obakeng. (2006). Estimation of Above Ground Biomass of Dry Savannah Trees in Sarowe Savannah Woodland, Bostwana Using Remote Sensing and GIS. An Article in 6th International Conference on Earth Observation and Geoinformation Sciences in Support of Africa’s Development, 30 October – 2 November 2006. Cairo.
Naskah Laporan Hasil Penelitian
Koeshendrajana, S., Priyatna, F N. dan Mulyawan, I. (2008). Riset Identifikasi, Karakterisasi dan Valuasi Sosial Ekonomi Sumberdaya Perairan Umum Daratan. Laporan Teknis Kegiatan Penelitian. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan No. 10: 8-29. BRKP. Jakarta.
Naskah Online
Brown, S. (1997). Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. FAO Forestry Paper 134. FAO, Rome. Cited in http://cdm.unfccc.int/Panels/ar. [17 September 2007]
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …
Berita Dirgantara Vol. ... No. ... Desember 2016 : hal… - …
PEDOMAN BAGI PENULIS
MAJALAH SAINS DAN TEKNOLOGI DIRGANTARA
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara adalah majalah ilmiah bersifat nasional untuk publikasi
penelitian dan pengembangan di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi
kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Majalah ini mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian,
pengembangan, dan atau pemikiran yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun.
Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas)
ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak
menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada
penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang
diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis.
Ketentuan bagi penulis pada majalah ini adalah sebagai berikut.
a. Pengiriman naskah
Naskah yang dikirim untuk dimuat dalam Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara bersifat ilmiah dan
merupakan hasil penelitian, pengembangan dan atau pemikiran di bidang kedirgantaraan.
b. Sistematika penulisan
Naskah terdiri dari halaman judul dan isi makalah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa
singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/ perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman
isi makalah terdiri atas (a) judul, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 200 kata yang
tersusun dalam satu alinea, (c) kata kunci, (d) batang tubuh naskah (Pendahuluan, Data/Metode/Teori, Hasil
dan Pembahasan, Implementasi (jika ada), dan Kesimpulan), (e) Ucapan terima kasih (bila perlu) yang
lazim dan (f) daftar rujukan.
c. Gambar dan Tabel
Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya
diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau
dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara,
gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya
Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang
bersangkutan.
d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik
Persamaan diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuainomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuaninternasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaanBahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.
e. Rujukan
Center for International Forestry Research [CIFOR], 2012. Forests and Climate Change Mitigation : What
Policymakers Should Know, Fact Sheet. No. 5, November 2012, MITIGATION, Key of Research
Findings. CGIAR Research Programme.
Haryani, N. S., Hidayat, Sulma, S., dan Pasaribu, J. M., 2014. Deteksi Limbah Acid Sludge Menggunakan
Metode Red Edge Berbasis Data Penginderaan Jauh, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan
data Citra Digital, Vol 11 No.2 Desember 2014.
http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/data_prod/prog_sect11_3.html
PP No. 74, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang: Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
The National Geophysical Data Center (NOAA)-NASA. Sumber data VNF, 2014. Sumber: http:// ngdc.
noaa. gov/ eog/ viirs/download_2014_indonesia.html) atau (Sumber LAPAN: http://modis-
catalog. lapan.go.id/ monitoring/ katalognpp#).