visualisasi anarkisme suporter sepakbola dalam film...
TRANSCRIPT
ii
Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film
Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Jurnalistik
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh
Alif Risna Fauzi
NIM 6662103153
KONSENTRASI JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, 2015
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Skripsi. Visualisasi Anarkisme Suporter
Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles
Sanders Peirce). Pembimbing I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom dan
Pembimbing II: Yoki Yusanto, S.Sos, M.Ikom
Visualisasi mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kritik yang muncul
terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari
masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, dan menungkannya ke atas layar. Visualisasi
perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual,
visualisasi dimanfaatkan dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan
simbol tersebut. Film Green Street Holigans adalah penggambaran hooliganisme
supporter sepak bola di Inggris. Di Amerika dan di Australia film ini disebut
Green Street Hooligan, di Negara lain disebut football hooligan atau hanya
hooligan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sign, object,
interpretant visualisasi anarkis supporter sepakbola. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif dan model yang digunakan dalam menganalisis
adalah model analisis semiotika, tiga unsur makna Charles Sanders Peirce yaitu
Sign/tanda, object, dan intrepetant. Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi tidak langsung yaitu mengamati Film Green Street Holigans dan
menggunakan triangulasi teori untuk menguatkan hasil intrepetasi data. Hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa sign, objek dan intrepetant saling
berhubungan satu sama lain dalam proses penyampaian pesan ideologi.
Kata Kunci: Visualisasi, Film, Anarkisme.
vi
ABSTRACT
Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Undergraduate Thesis. Visualization
Anarkisme Football Holigans of Green Street Holigans (Semiotics Analysis of
Charles Sanders Peirce) Guide. I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom and Guide II:
Yoki Yusanto, S.Sos, M.IKom
Visualization has the ability to give rise to criticism that appears on this
perspective is based on the argument that the film is a portrait of a society in
which the film was made. Movies always record the reality that grows and
develops in the community, and pour it over the screen. Visualization of the film is
the appearance of complex information into visual form, visualization is used in
which the receiver should attempt to interpret the symbols. The film is a portrayal
of Green Street Holigans football hooliganism in England supporters. In America
and in Australia this movie called Green Street Hooligans, in other countries is
called football hooligans or just hooligans. The aim of this study was to see how
the sign, object, interpretant visualization anarchist football supporters. This
study uses descriptive qualitative approach and the model used in the analysis is
the semiotic analysis model, the three elements of the meaning of Charles Sanders
Peirce, namely Sign, object, and intrepetant. Data collection techniques using
indirect observation of observing film Green Street Holigans and using
triangulation theory to corroborate the results of the data intrepetasi. The results
of this study revealed that the sign, object and intrepetant relate to each other in
the process of delivering a message ideology.
Keywords: Visualization, Film, Anarkisme.
vii
MOTTO & PERSEMBAHAN
“How many roads must a man walk down
Before you call him a man?
How many seas must a white dove sail
Before she sleeps in the sand?
Yes, how many times must the cannon balls fly
The answer my friends is blowin’ in the wind…”
__Bob Dylan - Blowin’ in the wind Song __
Skripsi ini kupersembahkan untuk Mamahku
yang terus berjuang dalam hidupnya agar
anaknya dapat mengangkat harkat, martabat
dan derajat keluarga untuk mendapatkan
hidup yang lebih baik.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini yang berjudul “Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film
Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sander Peirce)” dengan
baik. Adapun penelitian ini dilakukan dan disusun dengan tujuan untuk memenuhi
salah satu syarat menempuh ujian sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis tetap bertumpu pada landasan
akademis dan menggunakan teori komunikasi yang ada untuk mengupas dan
mengemas hasil penelitian ini sehingga menjadi sebuah karya ilmiah yang
diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan
ilmu komunikasi, khususnya yang berhubungan dengan analisis semiotika.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak luput
dari kekurangan-kekurangan yang ada, sebagaimana fitrah manusia yang
diciptakan oleh Tuhan tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan.
Dan selama masa penyusunan skripsi ini penulis banyak sekali mendapat bantuan,
dorongan dan motivasi penting dari semua pihak. Maka dalam kesempatan ini
ix
dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. KH. Soleh Hidayat, M.Pd. Selaku Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
3. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos. M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi dan
dosen pembimbing akademik penulis dari semester awal sampai akhir.
4. Ibu Mia Dwianna S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing pertama yang
telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan
pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini.
5. Bapak Yoki Yusanto S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing kedua yang
telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan
pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini.
6. Ibu Puspita Asri Praceka, S.Sos. M.Ikom, selaku Sekertaris Jurusan Prodi
Ilmu Komunikasi.
7. Para Dosen dan staf TU Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik atas segala sumbangsihnya.
8. Mamah tercinta yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak mu
ini. Skripsi ini adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1.
x
9. Buat abah Slamet yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak
mu ini, ibu Supi Yati yang sekarang sudah bahagia di surga. Skripsi ini
adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1.
10. Rangga Andriana dan Putut Wiroreksono. Terimakasih banyak sudah
membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
11. Sausan Saidah Salam. Terimakasih banyak telah menemani selama 7 bulan
ini, segala baik dan buruk yang kau terima apa adanya. Terimakasih.
12. Imagine family, Erzha, Bofal, Kotay aka Arief, Gugie, Dandy, Joe, Kiki
Discongs. Terimakasih atas kebersamaan, kekeluargaan kalian dan atas
dorongan semangat kalian.
13. Teman-Teman Jurnalistik Komunikasi Kelas J Angkatan 2010, Putut Wiro
Reksono, Rangga Andriana, Sumardi Noviono, M.Vicky(Lacuk), Maulana
Yusuf, Otnay aka Suryanto, Romi Fatullah, Windi Tresnanda. Selalu
semangat dalam menempuh perjanalan kuliah ini.
14. Teman-teman seperjuangan 2010 Teguh Cipta, M. Fandi, Dhamar
Indraloka, Step Ian Akbar, Akmal Alamsyah, Tirta Lestari Coppo,
Natasya, Bunda Shinta, Sari Puji Fitriani dan Puput Jolie, M Nida,
Ichawan (icon), Sausan, Nadia, Indra, Akmal, Stef, Dhamar, Teguh Cipta,
Andi Hidayatullah Ocha, Windi, Nanis, Ncek. Semangat buat kalian
semua.
15. Teman-teman KKM 140 (Gea, Lingga, Dian, Adi, Andika, Tirta, Novi,
Andri, Budi, Intan, Anggit, Maya, Ridwan, dll)
xi
16. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini dan selama perkuliahan di
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini.
Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kalian semua dengan yang
lebih baik, Amin. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, namun untuk seluruh pembaca
pada umumnya.
Serang, April 2015
Penulis
Alif Risna Fauzi
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN................................... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
MOTTO & PERSEMBAHAN .............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR TABLE ............................................................................................... xvii
BAB I ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3 Identifikasi Masalah ................................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
1.5.1 Manfaat Akademis ............................................................................ 6
1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................................. 6
BAB II ..................................................................................................................... 7
2.1 Kajian Teoritis .......................................................................................... 7
2.1.1 Visualisasi ......................................................................................... 7
2.1.2 Definisi Film ................................................................................... 11
2.1.3 Film sebagai Media Massa .............................................................. 12
2.1.4 Film Sebagai Realitas Tanda ........................................................... 16
xiii
2.1.5 Film Sebagai Representasi Realitas ................................................ 19
2.1.6 Holigans .......................................................................................... 20
2.1.7 Anarkisme ....................................................................................... 26
2.1.8 Semiotika Film ................................................................................ 27
2.1.9 Teori Psikologi Massa ..................................................................... 38
2.2 Kerangka Berfikir ................................................................................... 40
2.3 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 42
BAB III ................................................................................................................. 45
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ......................................................... 45
3.2 Fokus Penelitian .................................................................................... 46
3.4 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 47
3.4.1 Dokumentasi ................................................................................... 47
3.4.2 Data Sekunder ................................................................................. 47
3.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 48
3.5.1 Unit Analisis ................................................................................... 48
3.6 Teknik Unit Analisis Data ...................................................................... 53
3.7 Validitas Data ......................................................................................... 54
BAB IV ................................................................................................................. 56
4.1 Gambaran Umum Oddlot ....................................................................... 56
4.1.1 Sejarah Singkat Oddlot Entertainment ............................................ 56
4.2 Gambaran Umum Film Green Street Hooligans .................................... 57
xiv
4.2.1 Sejarah Singkat Film Green Street Hooligans ................................ 57
4.2.2 Penghargaan Film Green Street Hooligans..................................... 58
4.2.3 Sinopsis Film Green Street Hooligans ............................................ 59
4.2.4 Insert Triangle ................................................................................. 63
4.2.5 Pemain & karakter Film Green Street Hooligans ........................... 64
4.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan ........................................................... 68
4.3.1 Analisis Scenes 1 ............................................................................. 69
4.3.2 Analisis Scenes 2 ............................................................................. 80
4.3.3 Analisis Scenes 3 ............................................................................. 87
4.3.4 Analisis Scenes 4 ............................................................................. 93
4.3.5 Analisis Scenes 5 ........................................................................... 101
4.3.6 Analisis Scenes 6 ........................................................................... 107
4.3.7 Analisis Scenes 7 ........................................................................... 112
4.4 Intrepetasi Data ..................................................................................... 116
4.4.1 Sign Dalam Film Green Street Holigans ....................................... 116
4.4.2 Object Dalam Film Green Street Holigans ................................... 118
4.4.3 Intrepetant Dalam Film Green Street Holigans ............................. 119
4.4.4 Visualisasi Anarkisme ................................................................... 120
BAB V ................................................................................................................. 123
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 123
5.2 Saran ..................................................................................................... 125
xv
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 126
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 130
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ 142
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63) ………………… 35
Gambar 2.0.2 Bagan Kerangka Berfikir ……………………………………... 41
Gambar 3.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63) ………………… 53
Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Enterainment …………………………………….. 56
Gambar 4.0.2 Poster Film Green Street Hooligan …………………………… 57
Gambar 4.0.3 Tokoh Matt Buckner ………………………………………….. 64
Gambar 4.0.4 Tokoh Pete Dunham …………………………………………... 65
Gambar 4.0.5 Tokoh Shannon Buckner ……………………………………… 65
Gambar 4.0.6 Tokoh Steve Dunham …………………………………………. 66
Gambar 4.0.7 Tokoh Bovvers ………………………………………………... 66
Gambar 4.0.8 Tokoh Tommy Hatcher ……………………………………….. 67
Gambar 4.0.9 Tokoh Dave …………………………………………………… 67
Gambar 4.0.10 Bagian Scenes 1 ……………………………………………… 69
Gambar 4.0.11 Bagian Scenes 2 ……………………………………………… 80
Gambar 4.0.12 Bagian Scenes 3 ……………………………………………… 87
Gambar 4.0.13 Bagian Scenes 4 ……………………………………………… 93
Gambar 4.0.14 Bagian Scenes 5 ……………………………………………… 101
Gambar 4.0.15 Bagian Scenes 6 ……………………………………………… 107
Gambar 4.0.16 Bagian Scenes 7 ……………………………………………… 112
xvii
DAFTAR TABLE
Tabel 2.0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol ……………………………….. 37
Tabel 2.0.2 Penelitian Terdahulu ……………………………………………. 43
Tabel 3.0.1 Sample Unit Analisis ………………………………………….... 49
Tabel 4.0.1 Pembagian Tanda Scenes 1 …………………………………….. 71
Tabel 4.0.2 Pembagian Tanda Scenes 2 …………………………………….. 82
Tabel 4.0.3 Pembagian Tanda Scenes 3 …………………………………….. 88
Tabel 4.0.4 Pembagian Tanda Scenes 4 …………………………………….. 95
Tabel 4.0.5 Pembagian Tanda Scenes 5 …………………………………….. 102
Tabel 4.0.6 Pembagian Tanda Scenes 6 …………………………………….. 108
Tabel 4.0.7 Pembagian Tanda Scenes 7 …………………………………….. 113
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Visualisasi yang ada pada suatu film dapat menimbulkan kritik yang
muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah
potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikanya
ke atas layar (Sobur 2009: hal 127). Bukti dari realitas tersebut dapat terlihat
pada supporter sepak bola di Indonesia, yang tidak pernah bisa lepas dari
tindak kekerasaan.
Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang
komplek kedalam bentuk visual. Visualisasi dimanfaatkan dalam perfilman
yang akan lebih menarik bila dibuat dimana penerima harus berusaha untuk
mengartikan symbol tersebut. Dengan disajikannya visualisasi dengan
gambar-gambar atau tulisan dan grafik, maka mempermudah penikmat
untuk menimbulkan persepsinya sendiri terhadap apa yang sedang mereka
tonton. Visualisasi dalam film pun selalu menceritakan bagaimana tingkah
dan perilaku yang memiliki maksud tertentu yang ingin disampaikan
kepada masyarakat.
1
2
Dalam sebuah perfilman pun visualisasi gambar merupakan bagian
yang penting. Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan
atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan
angka), peta, atau grafik. Secara umum film menggambarkan kisah real
yang ada dalam kehidupan nyata. Dan bila ditelusuri lebih jauh akan
banyak ditemukan muatan-muatan pesan yang ingin disampaikan oleh sang
sutradara. Muatan-muatan pesan tersebut di visualisasikan yang
mengidentifikasikan adanya pesan ideologi yang terkandung dalam isi
cerita film ini. Pada kesempatan peneliti ingin mengulas tentang film
olahraga yang bertema sepak bola, khususnya kepada supporter sepak bola.
Film yang berjudul Green Street Hooligans, menceritakan tentang
hooliganisme supporter sepak bola di Inggris, film ini di sutradarai oleh
Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di
Amerika dan di Australia film ini disebut Green Street Hooligan, di Negara
lain disebut football hooligan atau hanya hooligan.
Dalam film ini seorang mahasiswa perguruan tinggi yang berkuliah
di Harvard terlibat dengan firma hooligan West Ham United atau biasa
disebut GSE (Green Street Elite) yang dikelola oleh kaka iparnya. Cerita
dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi
penulis yang bernama Dougie. Berbagai kepentingan, baik bisnis maupun
politik sangat mempengaruhi dalam membingkai suatu peristiwa tertentu,
sehingga suatu peristiwa akan dibingkai sedemikian rupa agar menarik
3
perhatian masyarakat. Sebagai contoh ialah pembuatan film mengenai
fanatisme supporter yang di bumbui cinta. Pembanding yang dilakukan
oleh sutradara bisa membuat citra ribuan supporter menjadi harum bahkan
bisa juga menjadi buruk.
Contoh pembingkaian film yang membuat citra supporter menjadi
buruk. Dikutip dari film Romeo Juliet supporter persib vs persija yang
mengangkat tentang fanatisme supporter di Indonesia khususnya persib dan
persija yang dibumbui dengan cinta. Sifat loyalitas itu menunjukkan bahwa
supporter tersebut memang benar-benar setia memberikan motivasi buat
tim maupun fanatisme. Fanatisme supporter sepakbola yang berujung pada
aksi kekerasan dan bentrok antar pendukung pun acapkali di belahan benua
manapun. Andibachtiar Yusuf, penulis naskah dan sutradara film ini,
menyatakan “fanatisme telah hidup dalam diri para supporter berlandaskan
berbagai motif, baik yang rasional maupun yang di luar nalar. Mereka
bahkan rela mati demi klub kesayanganya.” Film yang di mulai dari
seorang Ranggamobe Larico (Edo Borne) sebagai pendukung persija yang
bertemu dengan seorang lady viker yang bernama Dessy Kasih Purnamasari
(Sissy prescilia), dalam bentrok tersebut terjadilah kisah klasik itu, cinta
pada pandangan pertama antara Rangga dan Dessy.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerita fiksi merupakan
cerita rekaan tentang peristiwa-peristiwa yang didasarkan pada angan-
angan atau fantasi, sedangkan cerita non fiksi adalah yaitu karangan yang
4
dibuat berdasarkan fakta, realita, atau hal-hal yang benar dan terjadi pada
kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwasannya pembingkaian
cerita berpengaruh besar kepada para penontonnya. Cerita fiksi yang di
angkat oleh sutradara dapat membingkai sebuat cerita film juga bisa
membuat citra supporter menjadi buruk.
Setelah banyak contoh berita yang dibingkai media diatas, penulis
tertarik untuk meneliti visualisasi anarkisme supporter sepakbola dalam
film green street holigans. Green Street Hooligans ini menjadi menarik
ketika muatan pesan tersebut dapat dilihat dari penggambaran visual yang
dibangun pada film tersebut mengenai fanatisme supporter sepak bola
terhadap klub kesayangannya yaitu West Ham United. Dari fanatisme itu
sendiri yang akhirnya menimbulkan anarkis antar holigans yang
tervisualisasikan pada film tersebut.
Berbicara mengenai simbol dan tanda maka tepat kiranya jika
semiotika dijadikan pisau bedah untuk meneliti lebih jauh tetang film
Green Street Hooligans ini. Peneliti memilih simiotika karena kemampuan
pendekatan ini memilih dan memilah setiap tanda dalam film baik audio
maupun visual, verbal maupun nonverbal. Selain itu semiotika berkaitan
erat dengan ideology. Semiotika sering ditunjuk sebagai model awal dari
analisis yang mempu menampilkan bekerjanya ideology dalam teks. Dalam
film Green Street Hooligans ini diharapkan kecurigaan penulis mengenai
5
pesan-pesan ideology mengenai fanatisme dan anarkisme dapat dikupas
secara detail dengan teori simiotika. Dengan pertimbangan itulah penulis
ingin mengangkat sebuah film sebagai objek penelitian semiotika sebagai
pisau bedahnya. Karena unsur fanatisme dan anarkisme di film ini
sangatlah kuat dan sangat berkarakter sehingga para penonton bisa
menyimpulkan tayangan yang mereka tonton.
Berdasarkan paparan di atas, penulis merasa perlu mengkaji lebih
jauh film ini ke dalam bentuk penelitian yang berjudul “Visualisasi
anarkisme supporter sepak bola pada film Green Street Hooligans”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada pemaparan latar
belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
Bagaimana “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola dalam film
Green Street Hooligans”?
1.3 Identifikasi Masalah
Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana Sign anarkis dalam film Green Street Hooligans?
2. Bagaimana Object symbol anarkis dalam film Green Street Hooligans?
3. Bagaimana Interpretan anarkis dalam film Green Street Hooligans?
6
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini ialah:
1. Mengungkapkan Sign apa yang muncul tentang visualisasi anarkis
yang terjadi dalam film Green Street Hooligans.
2. Mengungkapkan Object symbol-symbol anakis dalam film Green
Street Hooligans.
3. Mengungkapkan Interpretan anarkis dalam film Green Street Hooligan
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi studi komunikasi,
khususnya mengenai media film yang berkaitan dengan studi semiotika
baik dalam pembelajaran teori pada perkuliahan mengenai semiotika
komunikasi maupun sinematografi.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru
kepada khalayak mengenai pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah
film. Juga sebagai masukan untuk para sineas perfileman tanah air baik
untuk produser, pekerja film.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Visualisasi
Visualisasi berasal dari kata, yaitu:
1. Visual berarti berdasarkan penglihatan atau dapat dilihat.
2. Visualization berarti pemberian gambar
3. Visualize berarti memberi gambar tentang sesuatu.
Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau
perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka),
peta, atau grafik. Juga diartikan sebagai proses pengubahan konsep menjadi
gambar untuk disajikan lewat media misalnya televisi oleh produsen.
Edward Tufte (1997: hal 23) mengatakan bahwa “Visualization is
successful if it reveals this structure. A different way to express this it to say
that information design works with information, while information visual
information works with data as it always the case with the actual cultural
practice, it is easy to find example that do not fit such distinction but a
majority do. Therefore, I think that this distinction can be useful in allowing
us to understand the practices of information visualization design as
partially overlapping but ultimately different in terms of their functions”.
Visualisasi (Inggris: visualization) adalah rekayasa dalam pembuatan
7
8
gambar, diagram atau animasi untuk penampilan suatu informasi. Secara
umum, visualisasi dalam bentuk gambar baik yang bersifat abstrak maupun
nyata telah dikenal sejak awal dari peradaban manusia. Contoh dari hal ini
meliputi lukisan di dinding-dinding gua dari manusia purba, bentuk huruf
hiroglip Mesir, sistem geometri Yunani, dan teknik pelukisan dari Leonardo
da Vinci untuk tujuan rekayasa dan ilmiah.
Visualisasi adalah suatu bentuk penyampaian informasi yang
digunakan untuk menjelaskan sesuatu dengan gambar, animasi atau
diagram yang bisa dieksplor, dihitung dan dianalisis datanya. Menurut
McCormick (et al., 1987), visualisasi memberikan cara untuk melihat yang
tidak terlihat. Beberapa hal yang menyusun terbentuknya visualisasi:
1. Penggunaan tanda-tanda (signs)
2. Gambar (drawing)
3. lambang dan symbol
4. Ilmu dalam penulisan huruf (tipografi)
5. Ilustrasi dan warna
Visualisasi merupakan upaya manusia dalam mendeskripsipkan
maksud tertentu menjadi sebuah bentuk informasi yang lebih mudah
dipahami. Biasanya pada jaman sekarang manusia menggunakan komputer.
Visualisasi berkembang dengan perkembangan teknologi, diantaranya
rekayasa, visualisasi disain produk, pendidikan, multimedia interaktif,
kedokteran, dan lain-lain. Pada dasarnya visualisasi digunakan untuk
9
mendiagnosa dan menganalisis data yang ditampilkan agar dapat
memprediksi kesimpulan.
2.1.1.1 Visualisasi Berdasarkan Komunikasi Massa
Elvinaro menyebutkan komunikasi massa dapat dijelaskan melalui
beberapa karakteristik (Elverano 2004: hal 57). Karakteristik tersebut antara
lain: komunikator dalam komunikasi massa terlembagakan, komunikasi
massa menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.
Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak
dalam organisasi yang kompleks (Elvirano 2004: hal 57).
Pesan yang disampaikan komunikasi massa bersifat umum.
Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu
ditunjukan untuk semua orang dan tidak untuk sekelompok orang tertentu
(Cangara Hafied 2004: hal 14). Pesan adalah sesuatu yang disampaikan
oleh komunikator kepada komunikan melalui proses komunikasi. Ada juga
yang mengatakan bahwa pesan adalah serangkaian isyarat atau simbol yang
diciptakan oleh seseorang untuk maksud tertentu dengan harapan bahwa
penyampaian isyarat atau simbol itu akan berhasil dalam menimbulkan
sesuatu. Bahasa verbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh manusia
untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungnnya (Daryanto 2010:
hal 97).
10
Bentuk yang paling umum dari bahasa verbal manusia adalah
bahasa terucapkan. Bahasa tertulis adalah sekedar cara untuk merekam
bahasa terucapkan dengan membuat tanda – tanda pada kertas ataupun pada
lembaran tembaga dan lain-lain. Penulisan ini memungkinkan manusia
untuk merekam dan menyimpan pengetahuan sehingga dapat digunakan
dimasa depan atau di transmisikan pada generasi - generasi berikutnya.
a. Bahasa sebagai lambang
b. Bahasa dan makna
c. Bahasa dan kebudayaan
d. Bahasa dan kenyataan
Komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator
dalam komunikasi massa tidak mengenal komunikan (anonym), karena
komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu,
komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan
berdasarkan factor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar
belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi (Daryanto 2010: hal 97).
Komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan
komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah
sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relative banyak dan
tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut
11
secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama
(Daryanto 2010: hal 97).
Komunikasi massa mengutamakan dimensi isi ketimbang dimensi
hubungan. Sedangkan pada komunikasi antara personal unsur hubungan
sangat penting. Dimensi isi menunjukkan muatan atau isi komunikasi, yaitu
apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana
cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para
peserta komunikasi itu.
2.1.2 Definisi Film
Menurut Undang-Undang Perfilmn No. 8 tahun 1992, Pasal 1 Ayat 1.
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video,
dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis,
dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya,
dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU baru tentang
perfilman) “Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial
dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan”.
12
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk
fantasi dan figure palsu) dengan kamera, dan atau oleh animasi. Kamera film
menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan
teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif
terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos
cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang
atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan
pengembang (developer).
Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian
besar, yaitu kategori film cerita dan film non-cerita. Terkadang suka
digolongkan menjadi film fiksi dan non-fiksi. Film cerita adalah film yang
diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan
aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan
di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan
dukungan iklan tertentu. Film non-cerita merupakan kategori film yang
mengambil kenyataannya sebagai subyeknya. Jadi merekam kenyataan
daripada fiksi tentang kenyataan (Himawan Pratista 2008, 24)
2.1.3 Film sebagai Media Massa
Film adalah gambar yang bergerak yang diproduksi secara khusus
untuk dipertunjukan di gedung-gedung pertunjukan (bioskop), film ini
jenisnya teatrikal. Hal ini diperkuat dengan pendapat atau pandangan
undang-undang nomor 8 tahun 1992, yang mengatakan bahwa film adalah
13
karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dIbuat berdasarkan asas sinematografi dengan
direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan
hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran
melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau
tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dengan
sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan / atau lainnya.
Media massa (film) merupakan perpanjangan tangan dari
masyarakat, sehingga apa yang terkandung dalam media tersebut
merupakan gambaran realitas sosial di masyarakat, yang mempunyai
kekuatan dalam menyampaikan suatu makna, tentunya dengan ide yang
dituangkan oleh komunikator lewat berita dan hIburan yang dikemas dalam
isi pesan media. McQuail (1987) mendefinisikan pandangannya tentang
media sebagai berikut:
1. Media massa sebagai penterjemah yang menolong kita, menjadikan
pengalaman diri menjadi suatu yang masuk akal.
2. Media adalah angkutan yang menyampaikan informasi.
3. Media merupakan sarana komunikasi interaktif yang memberikan
kesempatan kepada khalayak atau masyarakat untuk memberikan
tanggapan atau umpan balik.
4. Media merupakan tanda yang memberikan intruksi dan menunjukkan
arah.
14
5. Media merupakan filter yang memfokuskan kita pada beberapa bagian
dari pengalaman pribadi dan mengalihkannya dari beberapa bagian
yang lain.
6. Media merupakan cermin yang merefleksikan diri kita.
7. Media merupakan pagar pembatas yang memblokir suatu kebenaran.
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan
dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat
komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara
1998). Media massa juga mempunyai kemampuan yang kuat dalam
mengubah perilaku khalayak (komunikan) melalui proses imitasi (belajar
sosial). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya stasiun televisi, radio,
perusahaan media cetak, baik itu surat kabar, majalah, dan media cetak
lainnya, sebab masyarakat selalu haus akan informasi, hIburan dan lain
sebagainya yang disediakan oleh media massa.
Hal ini dipertegas oleh McQuil (1987), yang mengatakan” Media
massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan,
bukan hanya udaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam
pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Sementara menurut Liliweri (2001), jenis media massa berorientasi pada 3
aspek penting. Pertama mengenai penglihatan (visual dan verbal) dalam hal
ini media cetak, kedua mengenai pendengaran (audio) semata-mata (radio,
tape recorder), verbal vokal dan yang ketiga mengenai pendengaran dan
15
penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat verbal visual vokal. Bahkan
menurut Nurudin (2007), media massa mampu menyebarkan pesan hampir
seketika pada waktu yang tak terbatas. Selain itu media massa juga
mempunyai fungsi. Menurut Bungin (Bungin 2007: hal 78-81) fungsi
Komunikasi massa adalah fungsi pengawasan, fungsi sosial learning, fungsi
penyampaian informasi, fungsi tranformasi budaya, dan fungsi hIburan.
1. Fungsi pengawasan, media massa merupakan sebuah medium dimana
dapat digunakan untuk pengawasan aktivitas masyarakat pada
umumnya. Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol
sosial maupun kegiatan persuasif.
2. Fungsi social learning, fungsi utama dari komunikasi media massa
adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh
masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan-
pencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu
berlangsung.
3. Fungsi penyampaian informasi, komunikasi massa mengandalkan
media massa, sebagai alat dalam proses penyampaian informasi kepada
masyarakat luas. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari
institusi publik tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam
waktu yang cepat dan singkat.
4. Fungsi transformasi budaya, merupakan fungsi yang yang bersifat
dinamis. Komunikasi massa sebagaimana sifat-sifat budaya massa,
16
maka yang terpenting adalah komunikasi massa menjadi proses
transformasi budaya yang dilakukan bersama-sama oleh semua
komponen komunikasi massa, terutama yang didukung oleh media
massa.
5. Fungsi hiburan, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium
hIburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media
massa. Jadi fungsi hIburan yang ada pada media massa, juga merupakan
bagian dari fungsi komunikasi massa.
Dengan demikian, maka fungsi hIburan dari komunikasi massa
saling mendukung fungsi-fungsi lainnya dalam proses komunikasi massa.
2.1.4 Film Sebagai Realitas Tanda
Media dalam hal ini film, bisa diartikan sebagai sistem tanda atau
lambang tertentu yang berada ditengah khalayak, yang diekspresikan
sebagai seni dan karya sastra kemudian ditungkan dalam isi pesan pada
sebuah film. Sebagai realitas tanda, isi pesan film banyak dipandang
sebagai gambaran simbolik (symbolic representation), dari suatu budaya
dan latar belakang di masyarakat. Sehingga isi pesan dalam film yang
disampaikan oleh sutradara (komunikator), merupakan cerminan dari
realitas sosial yang berupa nilai-nilai, aturan, dan tatanan normatif, yang
diangkat dari simbol-simbol realitas menjadi tontonan yang dipadukan
antara berita dan hiburan.
17
Tanda dalam realitas tersebut diangkat dari persepsi sutradara
(komunikator) sendiri, yang dimaknai dari pengalaman yang didapat atau
dilihat dari lingkungan sosial budaya. Sehingga film tidak semata
membentuk realitas tapi memberikan penekanan persepsi di depan kamera.
Hal ini diperkuat oleh pandangan Alex Sobur pada tahun 2004, bahwa film
bukan semata-mata memproduksi realitas tetapi juga mendefinisikan
realitas.
Film dibagi kedalam tiga kategori yaitu film fitur, film dokumenter,
dan film animasi yang biasa disebut dengan film kartun.
1. Film fitur, merupakan karya fiksi yang stukturnya berupa narasi yang
dIbuat dengan tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan tahap ketika
skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, cerita
pendek atau karya cetakan lainya. Bisa juga dIbuat secara khusus
untuk dIbuat filmnya. Tahap produksi yaitu masa berlangsunganya
pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakahir, adalah pos-
produksi (editing), ketika semua bagian film dalam pengambilan
gambar tidak sesuai urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang
menyatu.
2. Film dokumenter, merupakan film yang nonfiksi yang
menggambarkan situasi kehidupan nyata, dengan setiap individu
menggambarkan perasaannya dan pengalamanya dalam situasi apa
adanya. Tanpa persiapan, langsung pada kamera dan pewawancara.
18
Film dokumenter sering kali diambil tanpa skrip dan jarang
ditampilkan di gedung bioskop seperti film fitur. Film jenis ini
biasanya ditampilkan di televisi.
3. Film animasi, merupakan film yang menggunakan teknik ilusi gerakan
dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan
tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir
bersamaan dengan peyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa
yang menggambarkan bagian penting cerita. Sketsa tambahan
dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang,
dekorasi serta tampilan dan karakter tokohya.
Selain berbagai jenis film tersebut di atas, Ardianto (2004),
mengelompokkan film menjadi 4 jenis salah satunya adalah film cerita
(story film): Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, dan
biasanya cerita yang diangkat untuk membuat sebuah film jenis ini, bisa
fiksi dan bisa juga berdasarkan kisah nyata yang sudah dimodifikasi oleh
sutradara, supaya lebih terlihat menarik baik dari segi cerita maupun dari
segi gambarnya. Film yang penulis teliti merupakan film yang termasuk ke
dalam jenis film cerita seperti yang telah disebutkan oleh Ardianto, karena
isi pesan dalam film ini merupakan kisah nyata atau realitas sesungguhnya
yang diangkat oleh sutradara menjadi sebuah film cerita.
19
2.1.5 Film Sebagai Representasi Realitas
Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak.
Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia
ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor.
Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra
bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang
merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu,
Lumiere bersaudara memberikan pertunjukkan film sinematik kepada
umum di sebuah kafe di Paris (Danesi 2010: hal 132).
Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat
komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan
dengan lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi: dengan gambar
bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Di sinilah kita lantas
menyebut film sebagai representasi dunia nyata. Eric Sasono menulis,
dibanding media lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan
sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari. Film dIbuat representasinya
oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap
masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan
menyingkirkan yang tidak perlu, dan direkonstruksi yang dimulai saat
menulis skenario hingga film selesai di buat.
20
Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas
sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata (Irwansyah 2009: hal
12), yang merupakan hasil karya seni, di mana di dalamnya di warnai
dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi (Al-
Malaky 2004: hal 139).
Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa
yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri.
Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau
direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarakan, dan
mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil. Pada tingkat penanda,
film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang
mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata.
Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas
bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di
dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang
masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan
wawasan pada tingkat interpretant (Danesi 2010: hal 134).
2.1.6 Holigans
Menurut Chols, kata ‚supporter/hooligans ‚ berasal dari kata kerja
(verb) dalam bahasa Inggris to support dan akhiran (suffict) –er. To support
artinya mendukung, sedangkan akhiran –er menunjukkan pelaku. Suporter
dapat diartikan sebagai orang yang memberikan suporter atau dukungan
21
(Kamus Bahasa Inggris, 1988). Sementara itu, menurut Yasyin (Kamus
Bahasa Indonesia, 1997) istilah‚ penonton berasal dari awalan pe- dan kata
kerja tonton dalam bahasa Indonesia. Awalan pe- dalam hal ini berarti
orang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan kata kerja. Bila kata
kerjanya tonton, maka penonton berarti orang yang menyaksikan suatu
pertunjukan atau tontonan.
Ada perbedaan yang tipis antara „penonton‟ dan „suporter‟, terlebih
lagi apabila kata tersebut digunakan dalam persepakbolaan. Penonton
adalah orang yang melihat atau menyaksikan pertandingan sepakbola,
sehingga bersifat pasif. Sedangkan suporter adalah orang yang memberikan
dukungan, sehinga bersifat aktif. Dalam lingkungan sepakbola, suporter
erat kaitannya dengan dukungan yang dilandasi oleh perasaan cinta dan
fanatisme terhadap tim.
Selain penonton dan suporter, istilah lain juga muncul berkenaan
dengan sebutan terhadap sekelompok orang yang sedang menyaksikan
pertandingan sepakbola. Sindhunata pada tahun 2002 mengatakan
bersumber dari sejumlah terbitan surat kabar di Surabaya maupun tulisan
hasil penelitian sejumlah ahli, peneliti melansir adanya beberapa istilah
untuk penonton sepakbola, seperti istilah tifosi dari Italia, yang berarti
pendukung fanatik dalam sepakbola Italia, begitu pula halnya dengan istilah
torsedor dari Amerika Latin, Hooligans dari Inggris, Istilah The Jak dari
Jakarta, Deltamania dari Sidoarjo, dan yang paling fenomenal di Indonesia
adalah istilah Bonek serta Boling dari Surabaya. Istilah Bonek dan Boling
22
merupakan singkatan atau akronim dari kata ‟bondho nekat‟ dan „bondho
maling‟.
Dapat disimpulkan bahwa Suporter yang fanatis mempunyai
pandangan sempit terhadap tim sepakbola yang dicintai dan berantusias
atau bersemangat yang tinggi untuk mendukung tim sepakbola
kesayangannya serta ditunjukkan dengan berperilaku yang irrasional ketika
kesebelasannya dicemooh atau kalah dalam bertanding. Suporter akan
betindak sangat emosional dan misinya, praktis tak mengenal batas-batas.
Begitu pula sebaliknya ketika kesebelasannya menang dalam pertandingan,
suporter mengalami rasa kegembiraan yang luar biasa dan larut dalam
euforia.
2.1.6.1 Sejarah Hooligans
Harus diakui, Inggris adalah pelopor sepakbola modern karena
Negara inilah yang menyempurnakan peraturan sepak bola menjadi
menarik seperti sekarang ini. Pada tahun 1845 baru dibuat peraturan yang
mengenai permainan sepakbola. Sebelumnya sepakbola masih sama dengan
rugby, pemain masih boleh menggunakan tangan untuk menangkap dan
membawa bola. Baru pada tahun 1949 ada peraturan, pemain sepak bola
tidak boleh menggunakan tangannya dan sepakbola „berpisah‟ dengan
rugby (Arifin 2011: hal 17).
Bagi penggila sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing
lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di
23
setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus,
terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang
maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian
karena tidak menunjukkan perilaku sportif yang berujung anarkistis.
Jika melihat tampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang
lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut
ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing
sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama
terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Polisi pun tidak segan
dilabrak.
Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru
dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga
pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini juga menyulut
banalisme di luar stadion. Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di
Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan
sepak bola dan suporternya? Sejak kapankah hooligan muncul dalam dunia
sepak bola? Buku The Land of Hooligans ini secara lugas mengisahkan
sejarah para perusuh sepak bola di berbagai negara. Penulis juga berusaha
mengurai variabel sosial.
Ini hanya satu di antara puluhan buku, atau bahkan ratusan buku,
yang pernah ditulis mengenai kekerasan suporter sepak bola. Tapi, buku ini
punya keistimewaan sebab mencatat kronik sejarah secara detail, Istilah
hooliganisme muncul sejak akhir abad ke 19, tepatnya pada 1898 di Inggris.
24
Tak heran jika Inggris adalah gudang penghasil hooligan yang paling padat.
Sementara studi mengenai suporter sepak bola dimulai akhir 1960-an. Sejak
itu pula, ada kepedulian politis, sosial, dan media yang besar terhadap.
Puncak aksi hooliganisme terjadi pada 29 Mei 1985 ketika suporter
Liverpool menyerang suporter Juventus dalam final Champions Cup di
Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari pendukung
masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian,
para pendukung Juventus mulai melemparkan kembang api ke arah
pendukung Liverpool. Huru-hara pun meledak. Akibat peristiwa itu, 39
orang tewas mengenaskan. Kisah-kisah kekerasan hooligan terus mewarnai
dunia sepak bola, termasuk dalam pertandingan derby. Di Skotlandia, yang
paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan
Glasgow Rangers. Celtic adalah klub yang dianggap mewakili agama
Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan.
Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers
sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat
Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua
klub ini selalu panas. Pendukung kedua klub pun sering terlibat bentrok
sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan suporter saling
menyerang.
Di Italia, pertandingan derby Inter Milan versus AC Milan disebut-
sebut sebagai perang kaum miskin (Milan) melawan kaum kaya (Inter).
Konteks yang sama terjadi pula di Turki. "Derby Istanbul" yang
25
memertemukan Fenerbahce versus Galatasaray adalah pertandingan yang
dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat
(Galatasaray) bawah.
Secara sosiologis, popularitas sepak bola mempresentasikan
permainan kelas bawah. Maklum, media massa sebelum era 1995-an masih
senang mencemooh sepak bola milik kelas proletar di Eropa, milik
masyarakat Dunia Ketiga di Asia dan Amerika Latin, dan milik penduduk
terbelakang di Benua Afrika. Sebagaimana ditulis Jim White dalam buku
Manchester United; The Biography (edisi 2009), sepakbola memang tidak
bisa dipisahkan dari persoalan sosial. Apayang terjadi di antara suporter itu
adalah fenomena sosial yang kompleks. Menurut survey pada 1960
terhadap 520 perusuh Inggris yang ditahan polisi menunjukkan, buruh kasar
(68, 1%).
Kaum buruh menyukainya karena sepak bola adalah orahraga kasar.
Kenyataan menegaskan, sebagian besar pemain sepak bola, kendati
sekarang sudah menjadi jutawan atau miliarder, berasal dari lingkungan
buruh. Dengan sendirinya sepak bola menemukan akar yang kuat di
komunitas buruh. Sosiolog John William dari Leicester University yang
memimpin penelitian tentang kekerasan dalam sepak bola menemukan
fakta lain. Kini, muncul kesadaran baru di kalangan buruh, yaitu bangga
pada kulturnya yang kasar. Alasannya, tidak berubahnya status mereka
dalam jangka waktu yang panjang membuat kelompok ini patah semangat
26
untuk mengubah keadaanya. Kompetisi dalam sepak bola lalu dianggap
relevan sebagai sikap pelarian.
Frustasi dalam hidup bermasyarakat kerap dijadikan alasan
melancarkan agresi dan tidak banyak sarana untuk menyalurkannya. Dalam
hal ini, pertandingan sepak bola yang dipadati ribuan penonton 'dibajak'
sebagai sarana pelampiasan. Karena itu, sesungguhnya ada mata rantai
antara kekerasan dalam sepak bola dan agresi sosial tersebut.
Salah satu pihak yang turut bertanggungjawab mematahkan mata
rantai itu adalah pemain. Pemain sejatinya menampilkan permainan yang
menarik tanpa kekerasan. Begitu memeragakan kekerasan, dia wajib
dihukum seberat-beratnya sehingga dapat meredam emosi suporter dan
harus sportif. Itulah sepak bola yang memiliki kisahnya sendiri.
2.1.7 Anarkisme
Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus
memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi. Ciri-ciri
yang jelas dari sifat anarkis adalah ketidakmampuan memahami
karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar
atau salah. Ahmad Kursyid (1993: hal 30) fanatisme akan lebih
berkembang bila agama tidak mengambil bagian dalam percarturan politik
atau berperan besar dalam kekuatan politik.
Istilah fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku
kelompok, tidak jarang juga dapat menimbulkan agresi dan tindak
27
kekerasan. Sebagai bentuk kognitif, individu yang fanatik akan cenderung
kurang terkontrol dan tidak rasional. Apabila bentuk kognitif ini mendasari
setiap beperilaku, maka peluang munculnya agresi akan semakin besar.
Berdasarkan beberapa uraian pendapat diatas maka penulis dapat
mendefinisikan bahwa fanatisme merupakan suatu antusiasme pada
sesuatu, sehingga menimbulkan agresi atau yang sering disebut dengan
tindak kekerasan dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang
mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya.
Fanatisme juga merupakan suatu pemikiran akan ketertarikan individu
terhadap objek fanatis (individu atau kelompok ataupun barang) yang
dianggap layak sebagai panutan atau hal-hal yang tertentu yang
menyebabkan individu yang bersangkutan tertarik dan diyakini secara
mendalam, sehingga sulit diluruskan atau diubah. Fanatis dapat berbahaya
jika fanatis tersebut bersifat ekstrim, individu yang fanatis mempunyai
pandangan yang sempit terhadap figur atau kelompok yang dicintai sebagai
yang paling benar dan harus jadi nomor satu. Maka timbulah suatu
anarkisme atau kerap dikatakan dengan kekerasaan.
2.1.8 Semiotika Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis
struktural atau semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh van Zeost, film
dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu trermasuk berbagai
sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
28
diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film
menciptakan imaji dan sistem penandaan. Pada film digunakan tanda-tanda
ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Ciri gambar -
gambar film adalah persamaanya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar
yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya (Sobur 2004: hal 128).
Alex Sobur (2004: hal 128) juga mengatakan bahwa film
menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film
adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukkannya dengan proyektor dan layar. Ada hal-hal yang dapat
dilakukan film yang tidak dapat dilakukan cerita tertulis dan sebaliknya.
Film televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata
bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsure yang
akrab, seperti pemotongan, (cut), pemotretan jarak dekat (close up),
pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran
gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade),
pelarutan (dissolve),gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat
(speeded-up), efek khusus (special effect) (Sobur 2004: hal 128).
Semiotika sebagai suatu cara untuk mengkaji tentang film.
Semiotika beroperasi dalam wilayah tanda. Film dikaji melalui sistem
tanda, yang terdiri dari lambing baik verbal maupun yang berupa ikon-ikon
atau gambar.
29
Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise
en scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan actor pada
set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan
(scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise
en scene berarti menempatkan sesuatu pada satu layar, unsure-unsurnya
antara lain actor’s performance yang terdiri dari script adalah sebuah
naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film, dan
movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh
pemain film (Bordwell dan Thomson 1993: hal 45).
Selain itu menurut Bordwell dan Thomson (1993: hal 45) mise en
scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu latar belakang suara
pemain, lagu sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling pemain film).
Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar.
Adapun kategori suara antara lain: Spoken word berupa perkataan,
komentar, dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural
sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang
berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbilisasi keadaan. Serta, music berupa
instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antar
sequence, membentuk suasana latar tempat, membentuk kesan emosi
pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer, menambah kesan dramatis
ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal (Bordwell dan Thomson
1993: hal 45).
30
Unsur selanjutnya dalam mise en scene yaitu production design.
Production design yang terdiri dari setting berupa lokasi pengambilan
gambar, property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung
pelaksaan produksi film, dan costum berupa segala pakaian yang dipakai
oleh pemain.
Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan
media televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang
menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi
dan ide-ide pada orang. Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang
berfungsi sebagai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda.
Berkesinambungan dengan objek yang peneliti ambil.
2.1.8.1 Semiotika Charles Sander Peirce
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dan dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain (Sobur 2004: hal 95). Secara terminologis,
semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan;
cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya,
dan penerimaan oleh mereka yang mempergunakannya (Sujiman and Zoest
1992: hal 5).
Semiotik ini menekankan pada fungsi tentang yang tanda yang kita
gunakan dalam rangka komunikasi baik itu secara verbal, non verbal dan
31
maupun visual (Senel 2007: hal 118). Analisis semiotik merupakan cara
atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap
lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau
teks (Pawito 2007: hal 155-156). Teks yang dimaksud dalam hubungan ini
adalah segala bentuk sistem lambang (sign) baik yang terdapat pada media
massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis semiotik
adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambang-
lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang
dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik. Di dalam
setiap teks, tanda-tanda di organisasikan ke dalam sistem tanda yang oleh
ilmu semiotika merupakan sebuah kode. Kode mempunyai sejumlah unit
(atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterpretasi pesan-pesan
yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna
akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada
struktur perilaku manusia (Rachmat 2006: hal 269).
Jika dalam teks kita dapat memilih dan menghubungkan tanda-tanda
dalam hubungannya dengan kode-kode yang sudah kita kenali maknanya,
selanjutnya dilanjutkan kepada sasaran informasi atau pembaca yang kita
inginkan. Karena sistem tanda sifatnya konteksual dan bergantung pada
pengguna tanda. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari
berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada. Dalam
membaca sebuah teks, pembaca menginterpretasikan tanda dengan acuan
32
yang telah dipahami dan dimengerti. John Fiske menyebut bahwa semiotika
mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu (Fiske 2006: hal 60):
Jika dalam teks kita dapat memilih dan menghubungkan tanda-tanda
dalam hubungannya dengan kode-kode yang sudah kita kenali maknanya,
selanjutnya dilanjutkan kepada sasaran informasi atau pembaca yang kita
inginkan. Karena sistem tanda sifatnya konteksual dan bergantung pada
pengguna tanda. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari
berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada. Dalam
membaca sebuah teks, pembaca menginterpretasikan tanda dengan acuan
yang telah dipahami dan dimengerti. John Fiske menyebut bahwa semiotika
mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu (Fiske 2006: hal 60):
a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan
makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang
menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa
dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi
yang tersedia untuk mentransmisikasikannya.
33
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
Dalam semiotika komunikasi, tanda atau signal dikaji dalam konteks
komunikasi yang lebih luas yaitu melibatkan berbagai elemen komunikasi.
Charles Sanderss Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas
tanda (interpretant) (Piliang 2003: hal 266). Tampak pada definisi Peirce
tersebut peran subjek (somebody) sebagai bagian tidak terpisahkan dari
pertandaan, yang menjadi landasan semiotika komunikasi.
Penempatan tanda atau signal didalam rantai komunikasi
menyebabkan tanda atau signal mempunyai peran yang penting dalam
penting dalam komunikasi. Jadi, dalam teori komunikasi perhatian lebih
kepada kondisi penyampaian signifikasi, yaitu ada saluran komunikasi.
Berkat saluran komunikasi inilah pesan dapat disampaikan (Sujiman and
Zoest 1992: hal 6).
Peirce juga mengungkapkan bahwasanya makna tanda yang
sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu (Sujiman and Zoest 1992: hal
7). Tanda sebagai produksi pesan, direkonstruksi berdasarkan konteks atau
sistem sosial-budaya. Jadi, tanda bersumber dari referensi sosial-budaya
yang disepakati bersama untuk dijadikan sebagai pedoman dan acuan untuk
berkomunikasi. Menurut Peirce, suatu sistem semiotik terdiri dari tanda,
object dan interpretant, dimana interpretant datang dari interpreter di
34
dalam sistem dan mengambil bagian aktif dalam proses semiosis
(Barbieri 2008: hal 1-3).
Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat
dalam hubungan triadik, yakni representamen (R), objek (O), dan
interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi (secara fisik
atau mental). Pada bagian inilah, seorang manusia mempersepsi dasar
(ground). Selanjutnya, tanda ini merujuk pada sesuatu yang diwakili
olehnya (O). Bagian ini menuntun seseorang mengaitkan dasar (ground)
dengan suatu pengalaman. I merupakan bagian dari proses yang
menafsirkan hubungan R dengan O. Di sini seseorang bisa menafsirkan
persepsi atas dasar yang merujuk pada objek tertentu. Dengan demikian,
Peirce menjadikan tanda tidak hanya sebagai representatif, tetapi juga
interpretatif.
Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari proses signifikasi. Model triadik Peirce
(representamen+objek+interpretan=tanda) memperlihatkan peran besar
subjek dalam proses transformasi bahasa. Tanda dalam pandangan Peirce
selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses
semiosis tidak berbatas (unlimited semiosis), yaitu proses penciptaan
rangkaian interpretan yang tanpa akhir (Piliang 2003: hal 266).
35
Gambar. 2.0.1: Elemen Makna Charles Sander Pierce (Fiske 2006: hal 63)
Model triadik Peirce tersebut memperlihatkan tiga elemen utama
pembentuk tanda, yaitu representamen (sesuatu yang merepresentasikan
sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpresentasikan), dan interpretan
(interpretasi seseorang tentang tanda) (Piliang 2003: hal 267).
Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat
dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu
pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang;
dan ini memiliki efek di benak penggunanya-interpretant (Fiske 2006: hal
63). Prinsipnya, segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesan dapat pula
berfungsi sebagai tanda. Pentingnya hal ini terletak pada perhatian yang
kemudian diarahkan pada keseluruhan sistem tanda, karena dari sini dan
dari pengetahuan kitalah hal itu kita peroleh. Tanda yang terpisah
mendapatkan arti dari pembedaan, pembandingan, dan pemilihan yang
dilakukan secara sistematis, diatur dalam ilmu bahasa atau kaidah sistem
36
tanda dari nilai yang diberikan oleh kaidah budaya dan sistem tanda
(McQuill 1995: hal 182).
Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda.
Tanda yang dikaitkan dengan sifat ground dibaginya menjadi qualisign,
sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda.
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda.
Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda (Sobur, Semiotika
Komunikasi 2004: hal 32).
Berdasarkan sifat hubungan antara ground dan objek-nya, Peirce
membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index).
Peirce berpendapat bahwasanya model tersebut bermanfaat dan fundamenal
mengenai sifat tanda. Ketiganya dapat dijelaskan demikian (Fiske 2006: hal
70-71):
a. Lambang (symbol): suatu tanda dimana hubungan antara tanda dan
acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara
konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya
konsensus dari para pengguna tanda.
b. Ikon (icon): suatu tanda dimana hubungan antara tanda dan acuannya
berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda
yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut.
37
c. Indeks (index): suatu tanda yang hubungan eksistensinya langsung
dengan objeknya. Jadi, indeks adalah suatu tanda yang mempunyai
hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya.
Tabel 2. 0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol
Jenis
Tanda
Hubungan Antara Tanda
dan Sumber Acuannya
Contoh
Ikon
Tanda dirancang untuk
merepresentasikan sumber
acuan melalui sumulasi atau
persamaan (artinya, sumber
acuan dapat dilihat,
didengan, dan seterusnya
dalam ikon).
Segala macam
gambar (bagan,
diagram, dan lain-
lain), photo, kata-
kata onomatopoeia,
dan seterusnya.
Indeks
Tanda dirancang untuk
mengindikasikan sumber
acuan atau saling
menghubungkan sumber
acuan.
Jari yang menunjuk
kata kerengan seperti
disini, disana, kata
ganti seperti aku,
kau, ia dan
seterusnya
Simbol
Tanda dirancang untuk
menyandikan sumber acuan
melalui kesepakatan atau
persetujuan
Simbol social seperti
mawar, simbil
matematika, dan
seterusnya
Lalu berdasarkan Intrepetant, tanda dibagi menjadi atas Rheme,
dicisign dan Argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang
menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya
dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita
penyakit mata. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan.
Misalnya jika pada suatu jalan serng terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan
38
dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi
kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan
tentang sesuatu.
2.1.9 Teori Psikologi Massa
Crowd psikologi adalah cabang dari psikologi social, orang-orang
biasanya dapat memperoleh kekuasaan langsung dengan bertindak secara
historis, karena besar kelompok masyarakat telah mampu membawa
dramatis dan tiba-tiba perubahan social dengan cara yang bypasses
didirikan proses hukum, mereka juga menimbulkan kontroversi. Ilmuwan
social telah mengembangkan teori berbeda untuk menjelaskan psikologi
orang, dan cara dimana psikologi orang banyak berbeda secara signifikan
dari psikologi individu-individu di dalamnya.
Menurut Sigmund Freud kerumunan adalah Teori yang
mengemukakan bahwa orang-oramg yang berada dalam
kerumunan/kelompok, tindakan berbeda terhadap orang dari mereka yang
berfikir secara individu. Pikiran kelompok akan bergabung untuk
membentuk sebuah cara berfikir. Antusiasme setiap anggota akan
meningkat sebagai akibatnya, dan satu menjadi kurang menyadari sifat
sejati dari tindakan seseorang (Suwarno 2005: hal ).
Secara deskriptif Milgram pada tahun 1977 melihat kerumunan sebagai:
1. Sekelompok orang yang membentuk agregasi(kumpulan),
2. Jumlahnya semakin lama semakin meningkat,
39
3. Orang-orang ini mulai membuat suatu bentuk baru,
4. Memiliki distribusi diri yang bergabung pada suatu saat dan tempat
tertentu dengan lingkaran yang semakin jelas, dan
5. Titik pusatnya permeable dan saling mendekat.
Ada beberapa bentuk kerumunan (Crowd) yang ada dalam masyarakat:
1. Temporary Crowd: orang yang berada pada situasi saling berdekatan di
suatu tempat dan pada situasi sesaat
2. Casual Crowd: sekelompok orang yang berada di ujung jalan dan tidak
memiliki maksud apa-apa
3. Conventional Crowd: audience yang sedang mendengarkan ceramah
4. Expressive Crowd: sekumpulan orang yang sedang nonton konser
music menari sambil sesekali ikut melantunkan lagu
5. Acting Crowd atau rioting crowd: sekelompok massa yang melakukan
tindak kekerasan/tindakan anarkis
6. Solidaristic Crowd: kesatuan massa yang munculnya karena didasari
oleh kesamaan ideologi.
MOB Adalah kerumunan (crowds) yang emosional yang cenderung
melakukan kekerasan/penyimpangan (violence) dan tindak destruktif.
Umumnya mereka melakukan tindak melawan tatanan social yang ada
secara langsung. Hal ini terjadi karena adanya rasa ketidakpuasan,
ketidakadilan, frustasi, adanya perasaan dicederai oleh instuti yang lebih
tinggi.
40
2.2 Kerangka Berfikir
Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono tahun 2009 mengemukakan
bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana
teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan
sebagai masalah yang penting.
Dalam kerangka berfikir yang dibuat peneliti, akan menggambarkan
bagaimana visualisasi anarkisme dalam film tersebut akan dikupas dengan
dua teori, yang berdasarkan model dari Charles Sanders Pierce, dan teori
Psikologi massa digunakan sebagai satu teori pendukung. Sebagai contoh
dalam film Greent Street Hooligans yang berdasarkan teori semiotika
Charles Sanders Pierce akan ditemukan sejumlah signifier (penanda) dan
signified (petanda) berupa mise en scene (set, property, actor, kostum) dan
sinematografi visual, serta jumlah tanda lainnya yang hasilnya
merepresentasikan anarkisme dalam film tersebut.
41
Gambar 2.0.2
Bagan Kerangka Berfikir Peneliti
Sumber; Peneliti
Film Sebagai Komunikasi Massa
Film Green Street Hooligans
Visualisasi Anarkisme Supporter
Sepak Bola Film Green Street
Hooligan
Semiotika Charles
Sanders Pierce
Sign
Object
Interpretant
Qualisign
Sinsign
Legisign
Ikon
Indeks
s
Simbol
Teori Psikologi Massa
Sigmund Freud
(Sebagai Teori Pendukung)
Rhame
Dicent
Argument
42
2.3 Penelitian Terdahulu
Terdapat dua penelitian yang dianggap relevan dalam penelitian ini,
diantaranya yaitu Christina Ineke Widhiastuti (2012) dengan judul
“Representasi Nasionalisme Film Merah Putih”. Christina Ineke melihat
Representasi Nasionalisme yang ada dalam film merah putih. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Representasi Nasionalisme
Film Merah Putih.
Selanjutnya yaitu Alfariz (2008), dengan judul “Representasi
Loyalitas Supporter Persib dan Persija dalam film Romeo Juliet (Viking vs
The Jack)”. Rumusan masalah pada penelitian ini Alfariz ingin
Representasi Loyalitas Supporter Persib dan Persija dalam film Romeo
Juliet. Alfariz melihat representasi loyalitas supporter Persib dan Persija
dalam mencintai klub kesayanganya.
43
Tabel 2. 0.1 Peneliti Terdahulu
NO Item
Peneliti A
(Christina Ineke
Widhiastuti)
Peneliti B
(Alfariz)
Peneliti C
(Alif Risna
Fauzi)
1
Judul
Representasi
Nasionalisme Film
Merah Putih
Representasi
Loyalitas
Supporter Persib
dan Persija
dalam film
Romeo Juliet
(Viking vs The
Jack)
Visualisasi
Anarkisme
Supporter Sepak
Bola dalam Film
Green Street
Hooligans
2 Tahun 2012 2008 2014
3
Tujuan
Mengetahui
Representasi
Nasionalisme yang
ada dalam film
Mengetahui
Representasi
yang muncul
dalam film
Mengungkapkan
Sign, Object
keanarkisan
supporter sepak
bola dalam Film
Green Street
Hooligans
4
Teori
Semiotika Roland
Barthes
Semiotika
Charles Sanders
Pierce
Semiotika Charles
Sanders Pierce
5 Metode/para
digma
Kualitatif/kritis Kualitatif Kualitatif/
Paradigma Kritis
6
Hasil/Kesim
pulan
Representasi
nasionalisme dalam
film Merah Putih
masih disimbolkan
dengan hal-hal
yang bersifat fisik.
Nasionalisme hanya
dihubungkan
dengan senjata,
bambu runcing,
bendera, tentara
Representasi
loyalitas
Supporter Persib
dan Persija
dalam film
Romeo Juliet
(Viking vs The
Jack)
Visualisasi
Anarkisme
Holigans dalam
film Green Street
Holigans di tandai
dengan suatu
perilaku yang
menyatakan
kekuatan dan
kekerasan pada
setiap firma
44
ataupun perang
yang mengarah
pada pertempuran
fisik.
sepakbola disetiap
Negara.
7
Persamaan
Sama-sama
Mengungkap
simbol-simbol yang
ada pada Film
Mengungkapkan
tanda-tanda pada
per adegan yang
ada di dalam
film
Mencoba
memaparkan
sign,objek yang
ada pada film
Green Street
Hooligans
8
Perbedaan
Penelitian mencoba
untuk
merepresentasikan
isi dari film Merah
Putih
Peneliti mencoba
untuk
merepresentasika
n isi dari film
Romeo Juliet
Peneliti mencoba
memfokuskan
kepada tanda-
tanda tindakan
anarkisme pada
setiap scene, baik
dari segi gerak
tubuh maupun
teks yang
diucapkan
9
Sumber
Perpustakaan FISIP Perpustakaan
Universitas
Muhammadiyah
Skripsi Peneliti
45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif-deskriptif, dimana penelitian kualitatif terebut
bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi prilaku manusia dan
menganalisa kualitas-kualitasnya. Penelitian yang menggunakan latar
alamiah yang menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan
jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moleong 2006: hal 5).
Sifat yang diambil adalah jenis deskriptif, yaitu peneliti yang
berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data (Narbuko dan Abu Achmadi 2005). Pertimbangan penulis
menggunakan metode deskriptif karena memiliki tujuan yang sama dengan
keinginan penelitian penulis, yaitu hanya untuk melihat kondisi objektif
yang terjadi di lapangan, lalu memaparkan keadaan atau peristiwa tersebut
apa adanya, tidak untuk mencari atau menjelaskan.
Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya prilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
45
46
Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan
sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Di sini
yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalam (kualitas) data bukan
banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono 2008: hal 56-57).
3.2 Fokus Penelitian
Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu
hal. Untuk itu perlu diberikan untuk menghindari penafsiran yang keliru
atas judul peneliti. Untuk menghindari kesalah pahaman dalam
menginterpretasi, sekaligus memudahkan pembaca dalam memahami judul
peneliti ini, maka penulis merasa perlu untuk mencantumkan batasan
masalah dalam penelitian ini, sehingga tidak menimbulkan
kesimpangsiuran dalam pembahasan selanjutnya.
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada tanda-tanda visualisasi yang ada
dalam film.
2. Peneliti mendiskripsikan tanda-tanda kekerasan yang terdapat dalam film.
Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana proses mengolah dan
menganalisa objek film tersebut. Seluruh data nya akan dianalisa menurut
acuan pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa
gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang
mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan.
47
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Dokumentasi
Dalam penelitian “Visualisasi anarkisme suporter sepak bola pada
film Green Street Hooligan” peneliti melakukan dengan mengolah dan
menganalisa objek film tersebut. Data yang dipakai berupa rekaman film
dalam format DVD ini, seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan
pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa
gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang
mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan maupun dari segi
Mise-En-Scene yang terlihat sebagai pelengkap bahan kajian penelitian
yang kesemuanya mengacu pada pendekatan Peirce dengan teori Triangle
Of Meaning dengan katagorisasi pada Ikon,Indeks & Simbol.
Dari data yang didapat berupa gambar dan adegan tersebut, penulis
akan memilih mana saja dari bagian film tersebur yang mengindikasikan
adanya pesan ideologi. Dalam hal ini penulis didukung oleh tabel
visualisasi dari film tersebut yang membedah secara umum bagian-bagian
baik dari shot dan adegan yang memperlihatkan adanya pesan ideologi.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan. Studi
kepustakaan tersebut diperoleh dari artikel, majalah maupun internet yang
48
berhubungan dengan masalah yang diangkat mengenai film tersebut. Data-
data ini selanjunya digunakan untuk melengkapi data yang sudah ada.
3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1 Unit Analisis
Unit Analisis adalah setiap unit yang akan dianalisa, digambarkan
atau dijelaskan dengan pernyataan-pernyataan deskriptif, yang menjadi unit
analisis dalam penelitian ini adalah tanda-tanda anarkis dalam film Green
Street Hooligans yang divisualisasikan melalui simbol-simbol tertentu
dalam Scene. Scenes/adegan adalah gambaran motion visual audio yang
bergerak yang mempunyai makna atau pesan didalamnya.
Peneliti memilih 7 scenes sample yang mewakili objek dari
penelitian. Adapun 7 scenes ini diambil berdasarkan kategori-kategori tanda
yang ditonjolkan dalam film green street holigans yang dimaknai dan
diaplikasikan sebagai. Tindak keanarkisan suporter sepakbola. Peneliti
menggunakan beberapa Scene dalam film dengan pertimbangan adanya
muatan pesan-pesan atau gerakan yang menimbulkan keanarkisan.
49
Table. 3.0.1 Sample Unit Analisis
No Durasi Shot Visualisasi
1
00:01:53
Medium long shot
2
00:01:54
Medium close up
3 00:02:19 Medium close up
50
4
00:02:20
Medium shot
5
00:29:47
Medium close up
6 00:29:40 Medium long shot
7 00:30:50 Medium shot
51
8 00:34:14 High angel
9 00:31:33 Low angle
10 01:11:50 Medium shot
11 01:12:00 High angel
52
12 01:18:13 Two shot
13 00: 28:04 Medium close up
14 00:27:47 Medium shot
53
3.6 Teknik Unit Analisis Data
Unit analisis yang sudah terkumpul dan dikategorikan lalu dianalisis
dengan menggunakan analisis Semiotika Charles Sanders Peirce. Menurut
Peirce semiotika adalah suatu hubungan antara tanda, objek dan makna.
Pemikiran Charles Sanders Peirce bisa dijelaskan melalui bagan segitiga
makna pada gambar dibawah berikut.
Gambar 3. 0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006: hal 63)
Menurut Charles sanders Peirce tanda dibentuk oleh hubungan
segitiga yaitu representemant, yang oleh Peirce juga disebut tanda (sign)
berhubungan dengan object yang dirujuk. Tahapan teknik analisis data yang
peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
a. Inventarisasi data, yaitu dengan cara mengumpulkan data sebanyak-
banyaknya baik melalui observasi maupun dokumentasi.
b. Teknik menonton dua kali atau lebih, yang terfokus pada bagaimana dan
mengapa (hows and whys).
54
c. Kategori model semiotikanya, menemukan model semiotika yang
digunakan, yaitu model semiotika Charles Sanders Peirce.
d. Klasifikasi data, identitas teks (tanda), alasan-alasan tanda tersebut dipilih,
temukan pola semiosis dan tentukan kekhas wacananya dengan
mempertimbangkan elemen semiotika dalam scene yang dianggap
mewakili representasi visualisasi anarkisme supporter sepak bola.
e. Penemuan scene tersebut menentukan tanda (sign), objek (object), dan
makna (interpretant) yang merupakan representasi visualisasi anarkisme.
f. Penarikan kesimpulan dan penilaian terhadap data-data yang dibahas dan
dianalisis selama penelitian.
Seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan pesan ideologi yang
merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa gambar/shot yang terlihat
yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang mencerminkan pesan ideologi
yang hendak disampaikan maupun dari segi Mise-En-Scene yang terlihat
sebagai pelengkap bahan kajian penelitian yang kesemuanya mengacu pada
pendekatan Peirce dengan teori Triangle Of Meaning dengan katagorisasi
pada Ikon,Indeks & Simbol.
3.7 Validitas Data
Validitas data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih
menunjukkan pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara
akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti (Pawito 2007:hal 97). Oleh
karena itu Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji kredibilitas
55
(derajat kepercayaan), salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi,
Triangulasi data adalah membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif (Moleong 2004: hal 178). Jenis triangulasi
yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu Triangulasi Teori.
Triangulasi teori memanfaatkan teori yang diperlukan untuk
rancangan riset, pengumpulan data, dan analisis data yang lengkap supaya
hasilnya komprehensif (Kriyantono 2009: hal 70-71). Dalam penelitian ini
menggunakan data dokumentasi sebagai pengukurnya. Yang dimaksud
dengan data dokumentasi di dalam penelitian ini yaitu: mengetahui
bagaimana tanda-tanda tindak anarkis dalam dunia supporter yang ada
dalam film green street holigans tersebut.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Oddlot
4.1.1 Sejarah Singkat Oddlot Entertainment
Deskripsi Perusahaan: Odd Lot Entertainment Didirikan pada tahun
2001 oleh Gigi Pritzker dan Deborah Del Prete (The Wedding Planner),
adalah produksi film dan perusahaan pembiayaan berbasis di Culver
City,California.
Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Entertainment
(http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578&targetid=profile)
Menurut situs yang di akses pada tanggal 24-06-2010
(http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578&targetid=p
rofile) Produser The Wedding Planner, Green Street Hooligans dan Berarti
56
57
Creek, Odd Lot Entertainment adalah sebuah perusahaan berbasis di Los
Angeles yang berkembang, keuangan, memproduksi, dan mengatur
distribusi untuk properti film komersial $ 5 - kisaran $ 60 juta baik di pasar
domestik dan internasional. Pada batu tulis yang akan datang adalah Marc
Platt Drive, sekarang dalam pra-produksi dan yang mulai syuting pada
bulan September 2010, dibintangi Ryan Gosling dan Carey Mulligan, dan
disutradarai oleh Nicolas Winding Refn, dan Dari Prada untuk Nada, yang
akan dirilis teatrikal oleh Lionsgate pada awal 2011, dibintangi Camilla
Belle, Alexa Vega dan Adriana Barraza.
Menurut novelis Orson Scott Card, Odd Lot akan memproduksi versi
film novel, permainan sci-fi Ender itu nya. Sebuah versi film novel ini telah
di pekerjaan, dalam satu bentuk atau lain, selama lebih dari satu dekade.
4.2 Gambaran Umum Film Green Street Hooligans
4.2.1 Sejarah Singkat Film Green Street Hooligans
Gambar 4.0.2 Poster Film Green Street Hooligans
58
Green Street adalah sebuah film tentang hooliganisme sepak bola di
Inggris. Film ini disutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh
Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di Amerika Serikat dan Australia, film
ini disebut Green Street Hooligans. Di negara lain, dinamakan Football
Hooligans atau hanya Hooligans. Dalam film ini, seorang mahasiswa
perguruan tinggi Amerika terlibat dengan firma hooligan West Ham (Green
Street Elite) yang dikelola oleh kakak iparnya.
Cerita dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan
yang menjadi penulis, Dougie Brimson. Sepanjang film, Green Street Elite
bertarung dengan "firma" lainnya seperti Yid Army, kelompok pendukung
Tottenham Hotspur, Birmingham Zulus, Red Army dan Millwall
Bushwackers.
4.2.2 Penghargaan Film Green Street Hooligans
Green Street memenangkan beberapa penghargaan termasuk
Penampilan Terbaik di Festival Film LA Femme, Film Terbaik di Festival
Film Malibu, dan Penghargaan Khusus Juri di Festival Film SXSW
(Richard 2006).
Film ini dinominasikan untuk Penghargaan Emas William Shatner
untuk Film Underground Terbaik, film nominasi lainnya adalah
MirrorMask garapan Neil Gaiman dan Dave McKean, dokumenter bisbol
59
pemenang penghagaan Up for Grabs dan Opie Gets Laid (Tyler Joshua
2006).
4.2.3 Sinopsis Film Green Street Hooligans
Matt Buckner (Elijah Wood), mahasiswa jurnalisme, dikeluarkan
dari Universitas Harvard setelah kokain ditemukan di kamarnya. Namun,
kokain itu milik Jeremy Van Holden (Terence Jay), teman sekamarnya.
Buckner takut untuk berbicara karena Van Holdens adalah keluarga yang
kuat, dan Jeremy menyogoknya dia $10.000. Matt berkunjung ke Inggris
untuk tinggal bersama adiknya Shannon (Claire Forlani), suaminya Steve
Dunham (Marc Warren) dan anak mereka, Ben (James Allison). Di sana,
Matt bertemu saudara Steve, Pete (Charlie Hunnam), seorang Cockney
yang keras dan preman yang menjalankan sebuah firma hooligan sepak
bola setempat - kelompok pendukung sepak bola yang mengatur
perkelahian setelah pertandingan - dan mengajar di sekolah lokal. Steve
meminta Pete membawa Matt untuk pertandingan sepak bola antara West
Ham dan Birmingham City, meskipun Pete enggan untuk membawa
seorang "Yankee" ke pertandingan sepak bola, karena sifat xenophobia
teman-temannya. Dia diyakinkan karena Steve hanya akan memberikan
uang yang diperlukan Pete jika dia membawa Matt. Setelah mengalahkan
Matt dalam perkelahian, Pete memutuskan untuk membawa Matt ke
pertandingan sepak bola, berpikir dia bisa belajar satu atau dua hal.
60
Matt bertemu teman Pete dan firmanya di Abbey, pub lokal mereka.
Semua hooligan bersikap ramah dengan Matt, dengan pengecualian yang
agak menjengkelkan dengan tangan kanan Pete, Bovver (Leo Gregory).
Setelah menghabiskan beberapa gelas bir, mereka menuju ke Boleyn
Ground untuk pertandingan. Setelah pertandingan, Pete, Bovver, dan
anggota perusahaan lain setuju untuk pergi dan melawan beberapa fan
Birmingham, tapi Matt memutuskan bahwa dia tidak akan ikut campur dan
mengatakan pada Pete bahwa ia akan pulang sendiri. Dalam perjalanan
kembali ke stasiun bawah tanah, Matt diserang oleh tiga penggemar
Birmingham, yang hampir memberinya Chelsea Grin, tapi dia diselamatkan
oleh beberapa anggota GSE, yang sedang dalam perjalanan mereka ke
pertarungan yang lebih besar. Meskipun kalah jumlah, GSE berhasil
mempertahankan posisi mereka sampai bala bantuan dari firma pusat
datang untuk mengejar para penggemar Birmingham. Matt cukup baik
dalam pertarungan pertama yang sebenarnya dan dilantik menjadi anggota
GSE. Setelah bertengkar dengan Steve, Matt berpindah ke rumah Pete, dan
dua orang tersebut bertukar cerita.
GSE kemudian mengatur perjalanan ke pertandingan tandang
melawan Manchester United di Old Trafford. Matt tidak dimaksudkan
untuk datang, tetapi akhirnya menyelinap ke dalam kereta. Sementara di
kereta, mereka memperingatkan bahwa 40 anggota Manchester United
menunggu mereka di stasiun. Bovver menekan tombol perhentian darurat
61
yang memungkinkan GSE untuk turun di stasiun sebelumnya
(Macclesfield). Setelah gagal menemukan taksi, mereka membujuk sopir
van untuk membawa mereka ke Manchester. Matt duduk di depan van
dengan sopir, sisa anggota GSE lain berada di belakang. Ketika van
mendekati tempat firma United, Matt mengatakan kepada mereka bahwa
mereka membawa peralatan untuk film Hugh Grant, sehingga para fan
membiarkan mereka lewat. Ketika melewati mereka, ia menghentikan van,
membuka pintu keluar, dan anggota GSE keluar untuk menyerang para
anggota firma United. Mereka memenangkan pertarungan dan melarikan
diri sambil bernyanyi, "There's your famous GSE!"
Hal ini segera diberitahukan kepada Matt bahwa musuh bebuyutan
GSE adalah firma Millwall (di dunia nyata, Millwall Bushwackers), yang
dipimpin oleh Tommy Hatcher (Geoff Bell), dengan siapa Bovver membuat
negosiasi setelah cemburu dengan Matt. Diliputi kemarahan, Bovver pergi
ke pub lokal Millwall dan meminta Tommy Hatcher untuk menyergap GSE
di Abbey. Awalnya enggan, Tommy Hatcher setuju setelah mengetahui
bahwa Steve Dunham ada di sana. Pete marah pada Matt di kamar mandi
atas karena menutupi identitas aslinya. Firma Millwall kemudian
menyerang Abbey, dan mengebom bar tersebut dengan bom bensin. Setelah
tiba, Tommy Hatcher menghadapi Steve. Upaya Steve meyakinkan Hatcher
Tommy bahwa ia tidak lagi terlibat dalam GSE hanya lebih lanjut
mengingatkan Hatcher tentang anaknya, dan ia menusuk Steve di leher
62
dengan pecahan botol, mengatakan kepadanya bahwa jika ia mati malam
ini, maka Steve juga harus mati. Bovver, yang telah disingkirkan oleh
Tommy Hatcher, datang tepat pada waktunya untuk membantu Steve, yang
terluka parah. Di rumah sakit, Pete memarahi Bovver karena
pengkhianatannya. Shannon memutuskan untuk kembali ke Amerika
Serikat untuk menjamin keamanan keluarganya.
Setelah kejadian itu, dua perusahaan bertemu di dekat Millennium
Dome untuk perkelahian berdarah dan habis-habisan. Matt dan Bovver
muncul untuk memperjuangkan GSE, tapi selama pertarungan, adik Matt,
Shannon, dengan anak mereka, dan diserang oleh hooligan Millwall. Matt
dan Bovver datang untuk menyelamatkan mereka. Pete melihat Tommy
Hatcher mendekati mobil, dan mengalihkan perhatian Tommy dan
mengejek dia untuk "menghabisinya." Ketika Tommy Hatcher menyatakan
dia akan "menghabisinya, Pete membalas bahwa Tommy Hatcher yang
harus disalahkan atas kematian anaknya, setelah gagal untuk melindungi
dia, berteriak "dia anakmu!". Tommy Hatcher, didorong oleh kegilaan,
menyerang dan mengalahkan Pete sampai mati, sambil meneriakkan variasi
dari kata-kata untuk nyanyian 'Hanya seorang Hammer kecil yang malang,'
menggunakannya sebagai analogi untuk kondisi Pete. Pertarungan
sepenuhnya terhanti pada titik ini, dan Hatcher pada akhirnya melepas Pete
pada beberapa teman-temannya saat ia jatuh menangis. Semua orang di
63
kedua belah pihak berkumpul mengelilingi mayat Pete, dengan Bovver
menangis di sisinya.
Matt kembali ke Amerika Serikat dan mengonfrontasi Jeremy Van
Holden di toilet restoran, di mana Jeremy sedang menghisap kokain.
Jeremy dengan angkuh memberitahu Matt untuk pergi selama diskusi
singkat di mana ia mengaku identitasnya sebagai pemilik simpanan kokain
tersebut. Matt kemudian menarik keluar sebuah perekam dan memutar
kembali apa yang baru saja dikatakan Jeremy, mengatakan bahwa itu
adalah "tiket kembali ke Harvard." Jeremy mencoba untuk mendapatkan
rekaman itu, tapi Matt dengan santai membalikkan serangan dan
meningkatkan tinjunya seolah pukulan Jeremy. Dia tidak melakukannya,
dan berjalan keluar dengan senyum ketika Jeremy ambruk ke lantai,
terkalahkan. Film berakhir dengan Matt berjalan menyusuri jalan di luar
restoran sambil bernyanyit "I'm Forever Blowing Bubbles."
4.2.4 Insert Triangle
Pembuatan film Green Street Hooligans ini tidak terlepas dari
peranan ketiga tokoh kunci yang ada dibalik layar yang mengkonsep,
memproduksi. Ketiga tokoh dalam film ini sebagai berikut:
Director : Lexi Alexander
Scriptwriter : Lexi Alexander
Producer : Deborah Del Prete
64
4.2.5 Pemain & karakter Film Green Street Hooligans
Dalam film Green Street Hooligans ini, diisi oleh beberapa artis
yang mempunyai talenta yang luar biasa sebut saja salah satunya Elijah
Wood yang memerankan peran sebagai Matt buckner.
Karakter-karakter difilm Green Street Hooligans ini tergolong baru
bagi penonton di layar lebar. Berikut daftar pemain dan karakternya di film
Green Street Hooligans:
1. Elijah Wood sebagai Matt Buckner
Gambar 4.0.3
Elijah wood ialah seorang jurnalis Harvard yang sudah dikeluarkan
oleh Universitasnya setelah di temukan kokain di kamarnya. Karena
difitnah oleh teman sekamarnya. Elijah memiliki sosok mudah bergaul,
ramah dan ambissius. Hingga ia bisa masuk ke dalam firma GSE.
2. Charlie Matthew Hunnam sebagai Pete Dunham
65
Gambar 4.0.4
Pete Dunham adalah seorang Cockney yang keras dan preman yang
menjalankan sebuah firma hooligan sepak bola setempat - kelompok
pendukung sepak bola yang mengatur perkelahian setelah pertandingan -
dan mengajar di sekolah local.
3. Claire Forlani sebagai Shannon Buckner Dunham
Gambar 4.0.5
Shannon Buckner Dunham adalah sosok ibu yang menyayangi
keluarganya. Dalam film Green Stret Hooligans ini dikisahkan bahwa
Shannon Buckner Dunham adalah adik Matt Buckner.
66
4. Marc Warren sebagai Steve Dunham
Gambar 4.0.6
Steve Dunham adalah pria yang tegas dan berwibawa. Dalam film
ini Steve Dunham adalah mantan ketua firma GSE yang sudah tidak
menjabat lagi sebagai ketua karena sudah menikah dengan Shannon.
5. Leo Gregory sebagai Bovvers
Gambar 4.0.7
Bovvers adalah sosok yang sangat ambisius, memiliki watak yang
keras dan tidak pernah mau kalah. Di film ini ia sebagai anggota firma GSE
dan juga sebagai orang kepercayaan Pete Dunham.
67
6. Geoff Bell sebagai Tommy Hatcher
Gambar 4.0.8
Tommy Hatcher mempunyai sifat yang keras, sombong n arogan.
Daloam film ini Tommy adalah seorang ketua firma Millwall Bushwackers
yang tidak lain adalah musuh bebuyutan dari Pete dan Steve Dunham.
7. Ross McCall sebagai Dave
Gambar 4.0.9
Dave mempunyai sosok yang humoris, intelektual, dan tegas. Dalam
film Green Street Hooligans ini Dave sebagai anggota firma GSE yang
merangkap menjadi pilot, tetapi ia rela melakukan apapun demi GSE.
68
Selain dari karakter-karakter diatas juga terdapat beberapa karakter
pembantu yang melengkapi film Green Street Hooligans ini menjadi
menarik yaitu tim anggota firma lainnya yang mempunyai karakterisitik
masing-masing yang berbeda seperti : Rafe Spall sebagai Swill, Kieran
Bew sebagai Ike, Richard Harden sebagai Bar Tender.
4.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan
Menurut Edward Tufte visualisasi adalah bagian tak terpisahkan
dalam penelitian sebuah film. Visualisasi merupakan alat untuk membantu
memahami dan menterjemahkan apa yang ditangkap oleh indera
penglihatan kita. Begitu juga dengan film Green Street Hooligans ini, hasil
penemuanya akan berbentuk visualisasi-visualisasi yang diwakili oleh suatu
gambar dari adegan tertentu dalam film tersebut dan kemuadian dimuat
dalam suatu tabel dengan keterangan-keterangan penunjang sebagai
penafsiaran dari maksud gambar yang tervisualisasikan tersebut. Hasil
penelitian ini akan dihadapkan pada beberapa temuan terutama dari
kecurigaan akan adanya pesan tertentu yang diwakili oleh suatu simbol
yang tertuang dalam bentuk scene yaitu segala hal yang terletak di depan
kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film. Bagian-
bagian tersebut meliputi banyak hal seperti kostum, atribut, aksesoris yang
dipakai para tokoh, setting, lokasi, latar bahkan properti yang ada disekitar
film tersebut juga dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
69
Selain itu struktur film dalam film ini juga menjadikan temuan-
temuan yang ada lebih mudah dideskripsikan. Struktur film dalam hal ini
meliputi Shot yang dapat diartikan sebagai pengambilan gambar dalam satu
kali take. Kemudian ada Scene yaitu segmen pendek dari keseluruhan cerita
yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang,
waktu, isi cerita, tema, karakter,atau motif dan Sequence yaitu satu segmen
besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Elemen
Scene dan struktur film ini menjadi kesatuan utuh yang saling
mempengaruhi dan dibuktikan dengan bentuk penjabaran dari data-data
yang telah diperoleh.
4.3.1 Analisis Scenes 1
Frame 1-1 - menit 00:01:53 Frame 1-2 – menit 00:01:54
Gambar 4.0.10 Bagian Scenes 1
70
Frame 1-1 : supporter tothenham melontarkan penghinaan
kepada supporter west ham united.
Frame 1-2 : Salah satu anggota West ham united merasa emosi
atas perilaku penghinaan yang dilontarkan
kelompok tothenham.
Penghinaan (Sign)
Meludahi (Object) Tindakan supporter
yang melecehkan dan
menghina kelompok
lain. (Intepretant)
71
Table 4.0.1 Pembagian Tanda Scenes 1
Sign Qualisign Enam orang suporter totthenham berusia sedang bernyanyi
dan bersorak menghina suporter west ham united.
Sinsign Laki-laki dengan tubuh besar dari pihak totthenham yang
meludah ke arah pihak west ham.
Legisign Meludah kearah seseorang didalam kode etik itu tindakan
yang tidak baik.
Object Ikon Dua kelompok suporter sepak bola totthenham united dan
West ham united yang beradu menghina.
Indeks Salah seorang pihak west ham united menunjuk dengan
ekspresi marah
Simbol Kata-kata “kau keparat.kau” yang diucapkandengan penuh
emosi oleh pihak west ham united
Interpr
etan
Rheme Dilihat dari keseluruhan gambar yang menandakan terjadinya
tindak anarkisme
Dicent Keributan antar dua kelompok suporter menjadi
pemandangan yang tidak etis terjadi di stasiun kereta api.
Argument Tindakan dua belah pihak yang memicu kekerasan.
Dari gambar 1, 2 di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan
berupa latar belakang yang cukup sepi di stasiun kereta, dua kelompok
supporter, gesture tangan yang merentang, laki-laki yang berbadan tinggi
besar sedang meludahi ke arah lawan, seorang laki-laki dengan pakaian
berjaket biru dongker berambut pendek menunjuk dan berkata kasar.
Teknis pengambilan gambar yang diambil pada scene pertama ini adalah
72
long shot dan close up. Teknik long shot memberikan gambaran setting
latar berada di tempat stasiun kereta, dan bagaimana keadaan yang terjadi
di sekitar objek utama pada foto. Sedangkan penggunaan close up pada foto
diatas bertujuan untuk menunjukkan bagaimana ekspresi (Wright Terence
1999).
Pada gambar diatas jika dilihat berdasarkan qualisgn. Qualisign
adalah kualitas yang ada pada tanda. Kata keras menunjukkan suatu tanda.
Misalnya, suaranya keras yang menunjukkan orang itu marah atau ada
sesuatu yang diinginkan (Sobur 2003: hal 41). Qualisign yang ada pada
gambar diatas divisualisasikan sekelompok supporter tottenham yang
berada di stasiun kereta api bertemu dengan kelompok west ham united.
Enam orang supporter totthenham yang melontarkan penghinaan kepada
supporter west ham united. Dilihat dari penghinaan yang dilontarkan
menandakan ketua dari supporter totthenham memiliki dendam terhadap
ketua west ham. Dalam pengertiannya suatu kekerasan dapat timbul dan
terjadi dikarenakan berkembangnya kebencian yang meluas terhadap suatu
sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus,
yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan
(Walgito 2006: hal 96). Dendam pribadi yang dimiliki oleh ketua
totthenham ini berimbas kepada semua anggotanya, yang dimana mau tidak
mau para anggota mereka pun harus ikut merasakan dendam yang
dirasakan oleh ketua mereka. Menurut Bimo Walgito (2006: hal 96)
73
berdasarkan psikologi massa, bagaimana kelompok lain dengan sengaja
menghilangkan rasa empati mereka terhadap kelompok lainnya, dengan
tujuan dimana mereka ingin mempertahankan harga diri dari masing-
masing kelompok. Dari perkataan dan yel-yel kasar yang dilontarkan oleh
supporter totthenham kepada supporter west ham united menandakan
bahwa mereka tidak akan memberi pengampunan kepada west ham united.
Walgito Bimo pada tahun 2006 menjelaskan bahwa hambatan yang
termasuk dalam hambatan psikologis adalah kepentingan (interest),
prasangka (prejudice), steorotip (stereotype), dan motivasi (motivasion).
Disebut sebagai hambatan psikologis karena hambatan-hambatan tersebut
merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia.. Selain itu dilatar
belakangi juga dengan adanya konflik atas pertandingan totthenham berlaga
melawan west ham united yang akan mulai. Para masing-masing supporter
kedua belah pihak saling beradu ego yang didasari harga diri firma mereka.
Kurang mampunya mereka untuk mengendalikan ego masing-masing
berimbas kepada keseluruhan anggota dan masyarakat yang merasa resah
dan takut.
Kekurangan empati pada diri masing-masing supporter merupakan
faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan yang terjadi antar dua belah
pihak supporter sepak bola, seperti yang ada pada gambar diatas.
Sedangkan pihak west ham yang menunjuk dengan berkata “kau
keparat.kau” menandakan bahwa dirinya merasa tersinggung dan kesal atas
74
penghinaan yang diucapkan pihak totthenham. Raut wajah yang terlihat
begitu besar amarah yang muncul, menandakan bahwa mereka pihak west
ham tidak akan berdiam diri. Symbol mewakili sumber acuannya dalam
cara yang konvensional. Kata-kata pada umumnya merupakan symbol.
Tetapi penanda manapun sebuah objek, suara, sosok, dan seterunya dapat
bersifat simbolik. Tangan yang menunjuk menandakan keamarahan,
menunjukkan lokasi tempat dan seterusnya (Marcel Danesi 2004: hal 45).
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada
tanda. Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan.
Semua pernyataan individual yang tidak dilambangkan dapat merupakan
setting. Misal jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal
orang dan cara berjalan, ketawanya, nada suara yang semuanya itu
merupakan sinsigns (Sobur 2003: hal 42).
Sinsign yang ada pada gambar peristiwa bentrok tersebut dilihat dari
latar tempatnya, yang menunjukkan setting an, tempat yang terlihat sepi
dan jauh dari pihak keamanan yang ketat, dan seorang peria bertubuh tinggi
besar mengenakan jaket berwarna krem meludahi pihak lawan dengan
sengaja, yang bertujuan menghina kelompok supporter west ham. Dalam
kompleksitas dari penggambaran visual yang harifah hingga simbol-simbol
yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering
menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta
mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Pada keabsahannya
75
petanda meludahi orang dengan secara sengaja itu merupakan tindakan
yang tidak etis, tindakan seperti itu mengakibatkan kekerasan diantara
banyak pihak (Alex Sobur 2003: hal 42). Pada tataran gambar bergerak,
kode-kode gambar dapat diinternalisasikan sebagai bentuk representasi
mental. Jadi, orang (dan sering) berfikir dalam gambar bergerak dengan
kilas balik, gerakan cepat dan lambat, pelaturan ke dalam waktu lain dan
tempat lain.
Kejadian yang ditunjukkan gambar diatas yang berawal dari hinaan
yang akirnya mencapai titik akhir tindak kekerasan pun terjadi. Kita ketahui
banyak kejadian-kejadian, banyak konflik-konflik yang didasari atas tindak
kekerasan yang dilakukan sebuah kerumunan, terutama yang sudah tidak
lazim terjadi adalah tindak kekerasan yang terjadi atas pemberontakan dari
supporter-supporter sepak bola di berbagai belahan dunia. Semua itu terjadi
berdasarkan mereka yang tidak dapat membuat sebuah pertahanan ego.
Sebagai sistem yang bertugas mengelola energi-energi yang datang dari
kedua sistem yang lain, ego seringkali berada dalam keadaan yang tidak
menyenangkan, seperti ketegangan dan kecemasan ( Wirawan S 2008: hal
126).
Peristiwa kekerasan yang terjadi di dalam film green street holigans
ini disebabkan tidak bisa nya mereka dalam membuat pertahanan ego
dalam diri mereka. Hal ini dapat disebabkan karena psikologi mereka yang
mengalami sedikit gangguan. Gangguan psikologi seperti ini dapat
76
dikarenakan terlalu sering dan banyaknya mengkonsumsi alkohol. Pada
dasarnya alkohol dapat merubah sistem emosional dalam tubuh seseorang,
sehingga orang susah dalam mengontrol emosinya sendiri.
Dilihat berdasarkan Legisign. Legisign adalah norma yang dikandung
oleh tanda. Tanda-tanda lalu lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat
dikatakan dari gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk yang berarti
“ya”, mengerutkan alis, cara berjabat tangan (Alex Sobur 2003: hal 42).
Legisign yang ada pada foto tersebut menunjukkan bahwa meludahi orang
dengan secara sengaja itu merupakan tindakan yang tidak etis, tindakan
seperti itu mengakibatkan kekerasan diantara banyak pihak. Sebagai
seorang supporter sepak bola pun etika supporter juga dibutuhkan untuk
menjaga prilaku. Pentingnya bukan hanya untuk menjaga prilaku terhadap
teman sekelompok, melainkan juga untuk melindungi atau menghindarkan
seseorang dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau
perilaku keliru dari supporter yang bersangkutan (Wirawan S 2008: hal
136).
Setiap supporter harus memiliki etika dalam mendukung yang
mengatas namakan pembela team kesayangan mereka. Jika dilihat potongan
scene dalam film green street holigans ini, mereka tidak lagi menjaga nama
baik team kesayangan yang mereka idolakan. Namun sebaliknya, mereka
hanya memegang teguh mempertahankan kehormatan firma (kelompok)
mereka dengan berbagai cara. Agar firma mereka dapat di takuti dan di
77
hargai oleh firma-firma lainnya. Yang dimana permasalahan itu timbul atas
perselisihan antar pribadi. Seperti yang dijelaskan oleh gambar di atas, awal
mula permasalahan terjadi hanya berdasarkan dendam pribadi antara ketua
satu dan ketua pihak lain, yang akhirnya berunjuk kepada permasalahan
antar firma (kelompok).
Hasil analisis berdasarkan objek pada potongan scene diatas dilihat
dari ikon. Menurut Alex Sobur (2003: hal 42) Ikon adalah tanda yang
dicirikan oleh persamaannya dengan objek yang digambarkan. Tanda visual
seperti potongan scene dalam sebuah film adalah ikon, karena tanda yang
ditampilkan mengacu pada persamaanya dengan objek. Potongan gambar
dari scene diatas dapat dilihat dari mulai latar belakang tempatnya, dari dua
kelompok supporter, hingga pada tindakan-tindakan penghinaan dapat
dijadikan suatu ikon karena dilihat dari situasi latar tempatnya menandakan
lokasi itu sepi dari masyarakat yang menyebabkan memberi peluang untuk
kedua kelompok supporter melakukan perkelahian atau keributan (Widodo
2006: hal 81). Visualisasi dua kelompok supporter yang saling menghina
tersebut memperlihatkan berkembangnya prasangka kebencian yang meluas
terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan
faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu
kerusuhan (Widodo 2006: hal 82).
Menurut Alex Sobur (2003: hal 42) Indeks adalah hubungan
langsung antara sebuah tanda dan objek yang kedua-duanya dihubungkan.
78
Indeks, merupakan tanda yang hubungan eksistensinya langsung dengan
objeknya. Sebuah indeks dapat dikenali bukan hanya dengan melihat seperti
halnya dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan hubungan antara dua objek
tersebut. Indeks pada potongan scene tersebut adanya kekesalan yang
diekspresikan oleh salah satu anggota west ham menunjukkan bahwa ada
kekerasan yang timbul disekitar tempat tersebut, karena hinaan dan celaan
terhadap kelompok west ham itulah yang mengakibatkan kemarahan yang
dirasakan oleh salah satu anggota tersebut. Peristiwa penghinaan dengan
perkataan dan tindakan meludahi yang menjadi indeks dalam potongan
scene dua kelompok supporter.
Sedangkan Simbol menurut alex sobur (2003: hal 155) adalah tanda
yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi,
kesepakatan, atau aturan. Ada pula yang menyebut simbol, yang berarti
tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Makna
dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima
oleh umum sebagai suatu kebenaran tanda. Simbol yang didapat pada
gambar tersebut menurut peneliti adalah perkataan “kau keparat. kau” yang
dituturkan oleh salah satu anggota west ham menandakan bahwa konflik
kekerasan itu terjadi. Berdasarkan semiotika yang membahas akan simbol-
simbol, perkataan seperti yang diucapkan diatas yang berarti melemparkan
bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. (Hartoko &
Rahmanto, 1998: hal 133). Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif,
79
terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun
demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk
dan makna.
Peneliti mencoba menganalisis terjadinya simbol kekerasan juga
disebabkan akibat dari masing-masing kelompok yang tidak bisa
memberikan pertahanan ego dalam diri mereka. Tingkat empati yang sudah
tidak digunakan dalam diri mereka terhadap kelompok-kelompok lain.
Masyarakat lain sering menjadi korban atas perilaku dan tidak ke
empatiannya mereka terhadap lingkungan sekitar. Proses yang kacau
seakan-akan membuat supporter sepak bola menjadi suatu kerumunan yang
terpuruk dari segi kemanusiaannya.
Hasil dari analisis berdasarkan klasifikasi interpretan, peneliti dapat
menjabarkan bahwa Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang
menafsirkan berdasarkan pilihan (Sobur 2003: hal 44). Rhame yang ada
pada foto dalam penelitian dilihat dari keseluruhan foto menandakan
terjadinya konflik kekerasan baik kekerasan mental maupun keanarkismean
fisik. Dilihat dari latar belakang permasalahannya yang dimana sorang
holigans akan bertindak kasar apabila dirinya sudah merasakan hal yang
membuat diri dan kelompoknya kesal. Seperti hal nya yang divisualisasikan
pada gambar diatas, tindakan-tindakan yang tidak etis dilakukan seakan itu
adalah tindakan yang wajar untuk seorang musuh. Bagaimana musuh harus
dilihat dengan sebelah mata dan hanya harus mendapatkan hinaan.
80
Jika dilihat dari dicentsign peneliti menjabarkan bahwa dicentsign
adalah tanda sesuai dengan kenyataan yang ada. Dicentsign pada foto diatas
menurut peneliti merupakan suatu pamandangan yang sangat memalukan
kenyataan bahwa nama persepak bolaan dunia hanya dirusak oleh para
kelompok-kelompok holigans yang pada dasarnya holigans ini adalah
supporter dari team yang mereka idolakan. Keanarkismean yang terjadi
ditempat umum membuat dan mencoreng nama baik suporter sepak bola.
Yang pada akhirnya banyak masyarakat yang membenarkan hal itu, bahwa
suporter sepak bola hanya segelincir kerumunan yang bisanya hanya
membuat keanarkismean dan perusakan atas segala hal. Peneliti
mendapatkan argument atas apa yang telah divisualisasikan dari gambar
tersebut. Dua belah pihak yang memicu keanarkismean karena didasari atas
hilangnya rasa empati dari masing-masing kelompok.
4.3.2 Analisis Scenes 2
Frame 2-1 menit 00:02:19 Frame 2-2 menit: 00:02:20
Gambar 4.0.11 Bagian Scenes 2
81
Frame 2-1 : bovver mengayunkan kepala musuhnya kearah tiang pipa air
Frame 2-2 : bovver memukuli dan membuli salah satu anggota tothenham sampai
babak belur
Anarkisme (sign)
Anggota tothenham (Object) Tindak anarkisme ditunjukkan
oleh supporter dengan
perkelahian dan pengerusakan
(Intepretant)
82
Table 4.0.2 Pembagian Tanda Scenes 2
Sign Qualisign Seorang pemuda yang menganiaya lawan yang sudah babak
belur tidak sanggup melawan.
Sinsign Latar yang gelap menandakan hari sudah malam dan lokasi
yang sepi
Legisign Memukuli seseorang hingga babak belur melanggar hak asasi
Object Ikon Dua orang pemuda yang berkelahi
Indeks Tangan yang memegangi kepala bagian belakang
Simbol Raut wajah kedua pemuda
Interpr
etan
Rheme Dilihat dari keseluruhan gambar yang menandakan terjadinya
tindak anarkisme
Dicent Pemuda yang dihajar hingga tidak berdaya
Argument Seorang pemuda yang terus menikam lawan yang sudah tidak
dapat melawan sama dengan penganiayaan.
Dari gambar di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa
warna pada latar, dua supporter, gesture tangan yang meregas kepala bagian
belakang, raut wajah yang penuh dengan amarah, raut wajah korban yang
sudah tidak sanggup memberikan perlawanan. Teknis pengambilan gambar
yang diambil pada scene ini adalah medium close up. Teknik medium shot
untuk menjelaskan hubungan antarpersonal, hubungan antara satu dengan
yang lainnya.
83
Pada gambar diatas jika dilihat berdasarkan klasifikasi sign,
menurut peneliti mendapatkan beberapa tindak keanarkismean yang
dilakukan seorang pemuda west ham terhadap pemuda totthenham. Dilihat
dari warna latar yang terlihat gelap menandakan bahwa hari sudah malam,
menandakan lokasi yang sepi dari masyarakat. Perkelahian yang melibatkan
dua kelompok supporter ini mengakibatkan salah seorang anggota
totthenham terluka parah dan tak sanggup untuk melakukan perlawanan.
Perkembangan pola pikir kepemudaan berkembang melalui
masyarakat disekitarnya. Perilaku yang digambarkan diatas menandakan
bagaimana pola pikir yang sudah keliru. Mereka memukuli orang hingga
babak belur seperti orang yang kesetanan tanpa memikirkan dampak apa
pun, hal ini merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Yang
mereka fikirkan hanyalah martabat dan harga diri firma (kelompok).
Keterlibatan pemuda di dalam kelompok supporter adalah bagian bentuk
dari fanatisme supporter dimana dalam komunitas memiliki sebuah ikatan
dan integritas yang kuat. Pada umumnya mereka melakukan pembelaan
pada klub secara berkelompok dengan mengesampingkan kesalahan atau
kualitas klub yang merupakan wujud adanya collective consciousness
(kesadaran kolektif) pada komunitas supporter. Maka tidak jarang ada hal
yang menyulut amarah dan memancing emosi supporter tidak jarang
melakukan aksi diluar akal sehat. Dapat dikatakan kelompok ini menjadi
84
begitu ekstream tatkala dihadapi pada konflik yang mereka tidak bisa
terima.
Pada umumnya permasalahan anarkisme pemuda dalam konteks
supporter sepakbola sebagian besar didominasi oleh faktor fanatisme. Hal
ini seringkali dimaknai anak muda sebagai cara pandang hidup yang
bersifat sesaat. Parsons (1942, 1943), menyatakan bahwa anak muda
merupakan kategori social yang muncul bersama perubahan peran keluarga
yang tumbuh dari perkembangan kapitalisme. Kemunculan orang dewasa di
dalam struktur kapitalis membuat terjadinya suatu diskontinuitas antara
keluarga dan masyarakat (Wirawan S 2008: hal 8). Masa transisi inilah
yang terkadang sering disalah artikan oleh para kaum muda. Posisi sosial
dimana pada masa ini anak muda berada di antara anak-anak yang masih
bergantung pada orang-orang dewasa.
Dari gambar yang divisualisasikan diatas peneliti mengklasifikasikan
tindakan anarkisme berdasarkan object nya, yang meliputi icon, indeks, dan
symbol yang terdapat pada gambar tersebut. Pada gambar tersebut terdapat
icon yang menandakan dimana terdapat dua orang dewasa yang sedang
berkelahi. Reaksi yang digambarkan pada pria berjaket hitam itu
menjelaskan kebrutalannya terhadap seorang musuh. Bagaimana dia
memukuli musuhnya seperti orang yang benar-benar kehilangan kendalai.
Pada sisi indeks nya pada gambar tersebut bagaimana peria yang
menggunakan jaket hitam itu memegang kepala bagian belakang musuhnya
85
yang menandakan, dalam posisi seperti ini apa pun bisa dia lakukan, bukan
hanya membuat musuhnya terluka dia pun bisa membunuhnya. Dengan
memegang kepala musuhnya pria berjaket hitam itu menghantam kepalanya
ke tiang saluran air. Dengan raut wajah yang begitu penuh dengan amarah
menurut peneliti ini adalah bagian dari symbol yang terdapat pada gambar
tersebut.
Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Jenis
ekspresi sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Pada tahun
1963, ahli psikologi Paul Ekman mendirikan Human Interaction Laboratory
di jurusan Psikiatri, University of California, San Fransisco, yang bertujuan
mempelajari sinyal wajah (Marcel Danesi 2004: hal 69-70). Pada efeknya,
ekspresi wajah adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda
wajah terhibur, marah, terkejut, dan sedih.
Berdasarkan Alex Sobur ( 2003: hal 44) Hasil dari analisis
berdasarkan klasifikasi interpretan, peneliti dapat menjabarkan bahwa
Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan
pilihan. Rhame yang ada pada foto dalam penelitian dilihat dari keseluruhan
foto menandakan terjadinya konflik kekerasan/keanarkismean yang
dilakukan secara berutal. Dilihat dari latar belakang permasalahannya yang
dimana seorang holigans akan bertindak kasar apabila dirinya sudah
merasakan hal yang membuat diri dan kelompoknya kesal. Seperti hal nya
yang divisualisasikan pada gambar diatas, tindakan yang tidak etis
86
dilakukan seakan itu adalah tindakan yang wajar untuk seorang musuh.
Bagaimana musuh harus dilihat dengan sebelah mata dan hanya harus
mendapatkan hinaan.
Jika dilihat dari dicentsign peneliti menjabarkan bahwa dicentsign
adalah tanda sesuai dengan kenyataan yang ada. Dicentsign pada foto diatas
menurut peneliti merupakan suatu pamandangan yang sangat memilukan
melihat seseorang yang sudah tidak bisa melawan tetapi terus menerus
diberi hantaman di wajahnya. Keanarkismean yang terjadi ditempat umum
membuat dan mencoreng nama baik suporter sepak bola. Yang pada
akhirnya banyak masyarakat yang membenarkan hal itu, bahwa suporter
sepak bola hanya segelincir kerumunan yang bisanya hanya membuat
keanarkismean dan perusakan atas segala hal. Peneliti mendapatkan
argument atas apa yang telah divisualisasikan dari gambar tersebut.
Keanarkismean karena didasari atas hilangnya rasa empati dari masing-
masing individu mau pun kelompok. Suporter sepakbola tidak pernah lepas
dari stigma negatif. Dalam hal ini kita bisa melihat suporter sepakbola yang
yang telah mendapat lebel dari masyarakat atas segala perilaku negatif yang
pernah mereka lakukan seperti tindak kekerasan, tindak anarkis
menyanyikan lagu yang bernuansa rasis dan provokatif, dan hal lainnya
dimana pada akhirnya suatu kelompok suporter sepakbola mendapatkan
lebel sebagai kelompok suporter yang anarkis.
87
4.3.3 Analisis Scenes 3
Frame 3-1-menit: 00:29:40 Frame 3-2-menit: 00:29:55
Gambar 4.0.12 Bagian Scenes 3
Frame 3-1 : Tiga orang kelompok chelsea menyerang Matt
seorang touris yang berasal dari Amerika dengan
berkata “Pernah mendengar seringai Chelsea?”
Frame 3-2 : Tiga orang holigans ini menyumpal mulut Matt
dengan menggunakan kartu kredit dengan berkata
“katakan pada GSE agar tidak begitu ceroboh”.
88
Penyerangan (sign)
Touris (Object) Matt sebagai touris diserang
kelompok Chelsea dan mulutnya
disumpal dengan kartu kredit
(Intepretant)
Table 4.0.3 Pembagian Tanda Scenes 3
Sign Qualisign Tiga orang supporter chelsea yang menyerang matt sebagai
touris
Sinsign Latar yang menunjukkan tempat yang berada dibalik
bangunan yang sepi, dan kartu kredit yang digunakan sebagai
penyumpal mulut touris.
Legisign Menarik matt kepojok bangunan.
Object Ikon Tiga orang suporter chelsea dan satu touris dari Amerika.
Indeks Laki-laki yang menggunakan jaket hitam dan tutup kepala
yang memegangi matt.
Simbol Ekspresi wajah matt yang ketakutan dan kesakitan.
Interpr
etan
Rheme Dilihat dari keseluruhan gambar yang menandakan terjadinya
tindak anarkisme.
Dicent Touris yang diserang oleh suporter chelsea.
Argument Perilaku penyumpalan mulut matt dengan kartu kredit
menunjukkan tindakan anarkis.
89
Dari gambar di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa
warna pada latar, tiga supporter, gesture tangan yang memegangi turis, raut
wajah korban yang takut dan kesakitan. Teknis pengambilan gambar yang
diambil pada scene ini adalah medium shot dan close up. Ardiansyah pada
tahun 2005 menjelaskan bahwa teknik medium shot menjelaskan hubungan
antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan teknik
close up menjelaskan bagaimana ekspresi.
Pesan sign dari film ini ditunjukkan dengan beberapa bentuk. Pesan
yang tak berkode yang pertama adalah gambar lelaki yang berjaket biru
dongker sebelah kanan gambar yang sedang menatap turis yang yang
sedang dipegangi oleh temannya. Sikap pergerakan dari ketiga laki-laki ini
seakan saling memberi kode terhadap teman-temannya. Sedangkan ekspresi
wajah laki-laki berjaket hitam yang pas berada ditengah memperlihatkan
senyum lebar ekspresi kebahagiaan kearah turis tersebut. Ketiga lelaki pada
gambar menggunakan pakaian yang casual, meperlihatkan ke
holiganismean mereka. Pada potongan gambar lelaki berjaket hitam terlihat
sedang memegangi turis yang terlihat memberi perlawanan. Laki-laki
berjaket hitam dan coklat tua terlihat mengenakan penutup kepala
sedangkan laki-laki berjaket biru dongker memiliki kepala yang botak.
Background pada scene ini lebih didominasi oleh situasi yang sepi dari
masyarakat.
90
Adegan dimana tiga supporter Chelsea yang menyerang matt, dilihat
dari cara geraknya dapat memahami maksud dan tujuan. Seorang berbadan
tinggi besar menggunakan jaket tebal berwarna gelap dan penutup kepala
dapat menandakan bahwa dia kuat, memiliki keberanian untuk memberi
ancaman kepada orang yang membuat dirinya merasa terusik atau
terganggu. Dan seorang yang berkepala tanpa rambut yang menggunakan
jaket berwarna biru dengan melipat lengan didadanya, menandakan bahwa
ingin melihat sebatas mana perlawanan korban terhadap tindakan yang
diperbuat, memiliki rasa meremehkan kemampuan orang yang mendapat
tekanan. Sedangkan lelaki yang berbadan tinggi, berkulit hitam,
menggunakan jaket coklat, dan penutup kepala di adegan ini menjelaskan,
seorang kulit hitam merupakan orang yang tidak bisa dianggap remeh,
memiliki sifat yang keras dan mudah emosional, dan dapat memberi
ancaman kepada siapa saja yang membuat dirinya merasa kesal (Marcel
Danesi 2004: hal 292-297).
Dilihat dari sisi teori semiotika bahwa tubuh adalah sumber utama
signifikasi, dan sarana untuk memahami hubungan antara alam dan budaya
dalam kehidupan manusia. Ekspresi wajah yang bersifat universal dan
lintas budaya serta diprogram pada diri kita oleh alam senantiasa diubah
menjadi bentuk penandaan dalam cara-cara yang spesifik menurut budaya.
Marcel Danesi (2004: hal 292-297) kita menggunakan tubuh, wajah,
tangan, dan bagian tubuh lainnya untuk merepresentasikan dan
91
mengkomunikasikan maksud, peran, kesan, kebutuhan, dan seterusnya. Jika
dilihat dari sisi keilmuan berdasarkan pandangan psikologi kerumunan,
prilaku seperti ini terjadi karena timbulnya kekesalanan atau tekanan sosial,
yaitu kondisi karena sejumlah besar anggota dan adegan ini pun
menggambarkan, berkembangnya prasangka kebencian yang meluas
terhadap suatu sasaran tertentu. Setiap komunikasi mempunyai efek yang
dirasakan oleh satu orang atau keduanya (Walgito 2006: hal 84-85).
Secara object potongan gambar pada scene ini tiga laki-laki
menggambarkan sebagai pelaku keanarkisan yang dilakukan kepada
seorang turis. Tiga laki-laki ini memiliki badan yang terlihat kuat dan
menyeramkan. Penggunaan tiga laki-laki ini menunjukkan pembuat film
ingin menceritakan bagaimana perilaku holigans di Negara mereka. Secara
pemikiran peneliti melihat bahwa tiga laki-laki sebagai pelaku tindak
kekerasan dalam film tersebut merupakan ikon berkode yang berarti laki-
laki sebagai holigans yang kuat dan terkadang membuat kerusuhan didalam
lingkup masyarakat. Kekuatan dan keanarkisan supporter sepak bola
digambarkan pada film.
Dilihat berdasarkan warna pakaian mereka dapat di jelaskan bahwa
laki-laiki berpakaian jaket berwarna hitam memiliki kepribadian yang
misterius, memiliki pendirian yang teguh, dan tidak suka membuang waktu
dan selalu serius dalam melakukan sesuatu. Warna coklat menandakan
kepribadian seseorang yang mencintai hal klasik, setia, dan dikenal sebagai
92
pribadi yang memegang teguh prinsip yang diyakininya. Warna biru sosok
yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan dikenal sebagai orang
yang serius, memegang teguh aturan, dan bisa diandalkan
(http//www.fitiline.com/perilaku-seseorang-berdasarkan-warna-pakaian.
Diakses pada 2014-18-02). Jika di hubungkan dengan potongan gambar
diatas dari cara memilih warna pakaian yang mereka kenakan merupakan
petanda seperti warna hitam menandakan dirinya berpegang teguh dengan
perilaku hooliganisme yang ada pada dirinya. Warna coklat menandakan
bahwa dirinya setia terhadap team kesayangannya, dia akan memberi
ancaman kepada siapa pun yang mencoba meremehkan kesetiaanya.
Sedangkan, warna biru tua menandakan bahwa dirinya memiliki
kepercayaan diri yang tinggi, dan dikenal sebagai orang yang serius,
memegang teguh aturan yang telah diperintahkan oleh ketuanya.
Pada pengklasifikasian intepretan pada gambar tersebut peneliti
melihat lelaki yang terlihat kuat dan menakutkan dengan memperlihatkan
perilaku kasar terhadap touris tersebut. Menginterpretasikan makna
kekerasan dan kebrutalan para supporter Chelsea terhadap siapa pun dan
dimana pun. Seperti yang ada pada gambar, kelompok supporter Chelsea
yang menyerang touris yang berasal dari Amerika. Repsersentasi
keanarkisan supporter sepakbola pada potongan gambar scene terlihat pada
ketiga supporter Chelsea tersebut. Tiga lelaki dalam adegan ini
digambarkan memiliki kekuatan yang lebih untuk melukai siapa pun.
93
Bentuk tindak anarkisme tergambar pada bagian dimana tiga lelaki tersebut
membentak dan menyumpal mulut touris dengan kartu kredit.
Pembuat film bebas memanfaatkan kepribadian pemain sebagai
daya Tarik untuk mengambil perhatian penonton. Dengan adegan seperti ini
dengan secara tidak langsung menceritakan bagaimana perilaku buruk,
perilaku anarkis sebuah supporter atau holigans kepada masyarakat luas. Ini
lah yang membuat lebel holigans dipandang negatif.
4.3.4 Analisis Scenes 4
Frame 4-1 menit: 00:30:50 Frame 4-2 menit: 00:31:33
Frame 4-3 menit: 00: 34:14
Gambar 4.0.13 Bagian Scenes 4
94
Frame 4-1 : Seorang anggota Chelsea melempar batu dan
mengenai kaca mobil Dave.
Frame 4-2 : Matt tersungkur akibat di pukul oleh salah satu
anggota Chelsea
Frame 4-3 : Kerumunan west ham yang datang membantu teman-
temannya yang diserang oleh supporter Chelsea.
Bentrok (sign)
Suporter (Object) Tempat sepi biasa dijadikan
dua kelompok suporter
sepakbola yang melakukan
perkelahian (Interpretan)
95
Table 4.0.4 Pembagian Tanda Scenes 4
Sign Qualisign Dua kelompok suporter sepak bola chelsea dan West ham
united yang berkelahi.
Sinsign Wajah pria berjaket biru yang memar terluka
Legisign Bentrokan suporter sepakbola yang meresahkan masyarakat
Object Ikon Lima orang suporter yang sedang berkelahi
Indeks Ekspresi wajah pria bertopi dan gestur lengan yang
menggengam.
Simbol Ekspresi wajah pria berkepala botak, dan pria berjaket biru
yang terpental menerima pukulan
Interpr
etan
Rheme Dua kelompok suporter sepakbola yang berada disuatu tempat
yang sepi
Dicent Tempat sepi yang dijadikan lokasi bertemunya dua kelompok
suporter sepakbola
Argument Lokasi yang jauh dari keramaian masyarakat dijadikan tempat
bertemunya dua kelompok suporter sepakbola untuk beradu
kekerasan
Dari gambar di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa
eksprsi wajah pria berkepala botak, ekspresi wajah pria bertopi, gesture
lengan pria bertopi, ekspresi pria berjaket biru, latar lokasi, dan ekspresi
wajah pria yang berada paling belakang pada gambar.Teknis pengambilan
gambar yang diambil pada scene ini adalah medium shot, high angel dan
low close up. Teknik medium shot untuk menjelaskan hubungan
antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya, high angel untuk
menjelaskan tindak keanarkisan yang terjadi di sekitar lokasi, sedangkan
96
low angel untuk menjelaskan tindakan apa yang dilakukan oleh supporter
tersebut (Ardiansyah 2005). Sedangkan teknik close up memberi penjelasan
pada pesan keanarkisan yang sengaja di visualisasikan pada seoarang
anggota baru klub west ham yang sedang dipukul.
Pada potongan gambar diatas jika dilihat berdasarkan qualisgn.
Qualisign yang ada pada gambar diatas divisualisasikan dua kelompok
supporter Chelsea dan west ham united melakukan tindak keanarkisan.
Dalam pengertiannya suatu kekerasan dapat timbul dan terjadi dikarenakan
berkembangnya kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu.
Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa
tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan (Walgito 2006: hal
96). Dendam pribadi dan dendam antar kelompok dapat memicu
perkelahian diantara dua belah kubu. Menurut Bimo Walgito pada tahun
2006 berdasarkan psikologi, dijelaskan bagaimana kelompok lain akan
dengan sengaja menghilangkan rasa empati mereka terhadap kelompok
lainnya, dengan tujuan dimana mereka ingin mempertahankan harga diri
dari masing-masing kelompok.
Hambatan psikologis pada potongan gambar diatas, menurut
peneliti yaitu mengenai kepentingan (interest), prasangka (prejudice), dan
steorotip (stereotype). Disebut sebagai hambatan psikologis karena
hambatan-hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis
manusia (Walgito 2006: hal 97). Selain itu dilatar belakangi juga dengan
97
adanya konflik atas pertandingan Chelsea berlaga melawan west ham
united yang baru saja selesai. Para masing-masing supporter kedua belah
pihak saling beradu ego yang didasari harga diri firma mereka. Kurang
mampunya mereka untuk mengendalikan ego masing-masing berimbas
kepada keseluruhan anggota dan masyarakat yang merasakan keresahan
atas perilaku anarkis yang dilakukan oleh supporter-suporter tersebut.
Alex Sobur (2003: hal 41 ) menjelaskan Sinsign adalah eksistensi
aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Tanda yang merupakan
tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Sinsign yang ada pada gambar
peristiwa bentrok tersebut dilihat dari latar tempatnya, yang menunjukkan
setting an, tempat yang terlihat sepi dan jauh dari pihak keamanan yang
ketat. Dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harifah hingga
simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Menurut
Alex Sobur (2003) Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan
simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan
budaya. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat di
internalisasikan sebagai bentuk representasi mental.
Wajah pria berjaket biru yang memiliki luka memar menandakan
kejadian yang sebenarnya sedang terjadi. Luka memar terjadi akibat
pukulan, maka luka memar tersebut menandakan ada suatu peristiwa
keanarkismean yang sedang terjadi di antara dua kelompok suporter
sepakbola.
98
Dilihat berdasarkan Legisign. Legisign adalah norma yang dikandung
oleh tanda. Tanda-tanda lalu lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat
dikatakan dari gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk yang berarti
“ya”, mengerutkan alis, cara berjabat tangan (Sobur 2003: hal 41). Legisign
yang ada pada foto tersebut menunjukkan bahwa tindak keanarkisan di
lingkup suporter merupakan tindakan yang tidak etis, tindakan seperti itu
mengakibatkan tercorengnya nama suporter sepakbola dipandangan
masyarakat. Sebagai seorang supporter sepak bola pun etika supporter juga
dibutuhkan untuk menjaga prilaku. Pentingnya bukan hanya untuk menjaga
prilaku terhadap teman sekelompok, melainkan juga untuk melindungi atau
menghindarkan seseorang dari kemungkinan dampak yang merugikan dari
tindakan atau perilaku keliru dari supporter yang bersangkutan (Wirawan S
2008: hal 136). Tindakan perovokator dalam suatu kerumunan seperti ini
menjadi masalah besar, tingkat emosional suporter yang mudah berapi-api
disalah gunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu
satu dengan yang lainnya. Pesan adegan disini ialah lebih difokuskan
kepada seseorang anggota baru west ham united yang dipukul oleh pihak
lawan, dan bukti visualisasi kekerasan pada adegan ini terlihat pada
seoarang suporter west ham united yang memakai jaket biru yang telah
babak belur akibat dipukul oleh pihak lawan.
Hasil analisis berdasarkan objek pada potongan scene diatas dilihat
dari ikon. Ikon adalah tanda yang dicirikan oleh persamaannya dengan
99
objek yang digambarkan. Tanda visual seperti potongan scene dalam
sebuah film adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan mengacu pada
persamaanya dengan objek.
Potongan gambar dari scene diatas dapat dilihat dari mulai latar
belakang tempatnya, dari dua kelompok supporter, hingga pada tindakan-
tindakan perkelahian dapat dijadikan suatu ikon karena dilihat dari situasi
latar tempatnya menandakan lokasi itu sepi dari masyarakat yang
menyebabkan memberi peluang untuk kedua kelompok supporter
melakukan perkelahian atau keributan. Visualisasi dua kelompok supporter
yang saling berkelahi tersebut memperlihatkan berkembangnya prasangka
kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian
ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang
mengawali atau memicu suatu kerusuhan (Widodo 2006: hal 82).
Indeks pada potongan scene tersebut adanya kekesalan yang
diekspresikan oleh salah satu anggota west ham yang menggenggam
tangannya untuk memukul menunjukkan bahwa ada kekerasan yang timbul
di tempat tersebut, karena ego dari para supporter yang begitu tinggi yang
mengakibatkan perkelahian itu terjadi. Sedangkan, makna dari suatu simbol
ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum
sebagai suatu kebenaran tanda. Simbol yang didapat pada gambar tersebut
menurut peneliti adalah ekspresi wajah bahagia dan penggambaran seorang
anggota west ham yang tersungkur akibat pukulan yang diberikan oleh
100
lawannya, menandakan bahwa konflik kekerasan itu terjadi. Simbol tidak
dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan
simbol lainnya.
Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki
kesatuan bentuk dan makna. Peneliti pun mendapatkan simbol-simbol yang
menjelaskan bahwa tindak keanarkismean itu terjadi. Dari eksprsi wajah
pria berkepala botak, ekspresi wajah pria bertopi, gesture lengan pria
bertopi, ekspresi pria berjaket biru, latar lokasi, dan ekspresi wajah pria
yang berada paling belakang pada gambar, itu semua dapat menandakan
bagaimana tindak keanarkisan.
Dalam konteks komunikasi non verbal, Argyle menyebutkan, postur,
ekspresi wajah seringkali terkait dengan sikap interpersonal: bersahabat,
bermusuhan, superioritas atau inferiroritas yang semuanya bisa ditunjukan
lewat postur dan ekspresi (John Fiske 2006: hal 70). Pada gambar diatas
terlihat gesture tubuh pada supporter west ham yang akan memukul pria
berbaju hitam, pria tersebut menunjukkan sikap bermusuhan. Meskipun
kedekatannya berada dalam jarak lingkar 3 kaki, dimana dijelaskan oleh
Argyle bahwa kedekatan dalam jarak lingkar 3 kaki merupakan suatu
hubungan relasi intim, namun dalam foto diatas tidak memperlihatkan
sebuah keintiman dalam suatu relasi atau hubungan melainkan
melambangkan sikap bermusuhan. Pada gambar diatas peneliti dapat
101
mengatakan bahwa dari luka yang ada di wajah pria berjaket biru
menandakan tindak kekerasan yang tejadi.
4.3.5 Analisis Scenes 5
Frame 5-1 menit: 01:11:50 Frame 5-2 menit: 01:12:00
Gambar 4.0.14 Bagian scenes 5
Frame 5-1 : Pete dan teman-temannya melakukan pengeroyokan terhadap
Matt. Kakak Pete yang ada disitu melerai perkelahian karena hanya
kesalah pahaman dengan perkataan “Kakak Pete: kau tahu apa
yang kau lakukan? Pete: Dia menyamar!”
Frame 5-2 : Matt yang memiliki luka diwajahnya berkata “itu hanya buku
harian”
102
Kekerasan (Sign)
Bar (object) Tingkat agresif seseorang dapat
terpengaruh atas alkohol yang
dikonsumsi (Interpretant).
Table 4.0.5 Pembagian Tanda Scenes 5
Sign Qualisign Matt yang di pukuli oleh bovver dan pete
Sinsign Ekspresi wajah matt yang jatuh ke lantai
Legisign Pemukulan berdasarkan kesalah pahaman antar anggota
Object Ikon Anggota west ham berdiri yang sedang menghakimi Matt
yang berbaring di lantai
Indeks Ekspresi shock yang diperlihatkan dengan gerak lengan
Simbol Wajah matt yang terluka hingga berdarah
Interpr
etan
Rheme Berdasarkan permasalahan antara matt dan teman
kelompoknya
Dicent Pemukulan yang dilakukan didalam BAR
Argument Perkataan matt yang menjelaskan bahwa itu hanya sebuah
buku harian.
103
Dari gambar di atas divisualisasikan matt yang dipukuli oleh pete
dan bovver dikarenakan kesalah pahaman yang disebabkan tulisan jurnal
yang dibuat oleh matt, hal itu membuat pete dan bovver kecewa dan marah.
Matt dipukuli oleh bovver dan pete dikarenakan bovver dan pete yang
mencurigai matt adalah seorang jurnalis/wartawan media.
Dari gambar di atas terdapat tanda-tanda non verbal yang berupa
eksprsi wajah matt, gesture lengan matt, dan latar lokasi. Teknis
pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah Medium shot dan
High angel. Teknik medium shot untuk menjelaskan hubungan
antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya (Ardiansyah
2005) sedangkan teknik close up menggunakan high angel. Biasanya dalam
penggambilan gambar menggunakan high angel ingin menunjukkan bahwa
objek dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta menurut Selby dan
Cowdery (2007: hal 6) pengambilan gambar menggunakan high angel
menceritakan adanya dominasi dan perbedaan kekuasaan. Hal ini dapat
dilihat dari gambar pria yang tergeletak dilantai.
Alex Sobur (2003: hal 41 ) menjelaskan Sinsign adalah eksistensi
aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Tanda yang merupakan
tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Sinsign yang ada pada gambar
peristiwa pemukulan tersebut dilihat dari latar tempatnya, yang
menunjukkan setting an, latar tempat terjadinya, menjadi petanda bahwa
bar merupakan tempat dimana orang-orang yang mengkonsumsi alkohol.
104
Tindakan agresi seperti diatas merupakan akibat penyalahgunaan zat atau
alkohol dan riwayat prilaku kriminal lebih jauh lebih kuat terkait dengan
kriminalitas yang disertai kekerasan (Walgito 2006: hal 95).
Dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harifah hingga
simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Menurut
Alex Sobur (2003) Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan
simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan
budaya. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat di
internalisasikan sebagai bentuk representasi mental.
Dilihat berdasarkan Legisign. Legisign adalah norma yang
dikandung oleh tanda. Tanda-tanda lalu lintas merupakan legisigns. Hal itu
juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk
yang berarti “ya”, mengerutkan alis, cara berjabat tangan (Sobur 2003: hal
41). Legesign pada gambar diatas adalah bagaimana matt yang di pukuli
hingga mengeluarkan darah tanpa membicarakan atau mencari tahu
kebenaran atas prasangka buruk. Yang sebaliknya pete dan bovver
menghakimi matt dengan berutal. Machieavelli (2006: hal 95) pernah
mengatakan bahwa, kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan
ancaman dan dapat dipraktekkan oleh penguasa. Kecintaan yang lebih
adalah faktor dari semua ini. Kekhasan untuk menggambarkan manusia
dalam persepektif cinta memberikan kesan filosofi yang mendalam bahwa
kehidupan seni mencintai (the art of loving) (Walgito 2006: hal 95). Maka
105
dengan cinta manusia berubah dengan sadis, ambisius, dan bahkan
mematikan.
Ikon yang terdapat pada potongan gambar diatas adalah anggota
west ham berdiri yang sedang menghakimi Matt yang berbaring di lantai
yang berada didalam sebuah bar. Sedangkan indeks yang terdapat pada
gambar diatas adalah ekspresi shock yang di gambarkan oleh wajah matt,
dan ekspresi wajah kesal para anggota lainnya. Gerak tangan matt yang
mengusap/membersihkan luka di wajahnya pun merupakan indeks yang
terdapat didalamnya. Simbol yang didapatkan dari potongan gambar diatas
adalah kata-kata anggota lain yang menuduh matt adalah seorang wartawan
media, dan sedangkan matt mengakuinya bahwa itu semua hanya sebuah
buku harian. Berdasarkan simbol tersebut, peneliti dapat menjabarkan
bahwa tindak salah paham seperti ini didalam suporter sepakbola dapat
mengakibatkan akibat yang amat sangat fatal. Keanarkismean mereka bisa
keluar dimana dan kapan saja.
Perilaku yang digambarkan pada scene diatas menurut faktor
psikologis menurut Sigmund Freud (2006: hal 94) dalam diri manusia ada
naluri kematian yang ia sebut pula thanatos yaitu energy yang bertujua
untuk perusak. Agresi terutama berakar dalam naluri kematian yang
diarahkan bukan ke dalam diri sendiri melainkan diarahkan pada orang lain.
Dan jika dilihat dari faktor situasionalnya termasuk dalam faktor ini antara
lain adalah rasa kecewa, kesal, marah dan ia tidak tahu bagaimana cara
106
semestinya untuk mengungkapkan perasan-perasaan itu, maka ia
melampiaskan dengan perilaku agresif.
Dalam hal ini dapat menimbulkan kategorisasi prasangka ingroup
dan outgroup. Apabila ada kategorisasi kita (us) dan mereka (them), maka
akan menimbulkan ingroup dan outgroup. Seseorang dalam suatu kelompok
merasa dirinya sebagai ingroup dan orang lain dalam kelompok lain
sebagai outgroup. Ada beberapa dampak yang akan timbul dalam kategori
ingoup, yaitu: Anggota ingroup mempersepsi anggota ingroup yang lain
lebih mempunyai kesamaan apabila dibandingkan dengan anggota
outgroup. Hal seperti demikianlah yang sering disebut similarity effect.
Jadi, keadaan ingroup mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan
outgroup. Hal diatas dapat menimbulkan prasangka satu dengan yang lain.
Tidak jarang terjadi prasangka antara satu kelompok dengan kelompok
yang lain (Walgito 2006: hal 96).
107
4.3.6 Analisis Scenes 6
Frame 6-1 menit: 01:18:13
Gambar 4.0.15 Bagian scenes 6
Frame 6-1 : Tommy Hacher yang mendatangi Bar markas West Ham
United untuk menemui Steve Dunham untuk membalas
dendam atas kematian anaknya. Tommy mencekik dan
menusuk leher Steve Dunham dengan pecahan botol
108
Dendam(Sign)
Mencekik dan menusuk (Object) Dendam antar kedua ketua yang
menimbulkan rasa ingin membunuh
(Interpretan)
Table 4.0.6 Pembagian Tanda Scenes 6
Sign
Qualisign Tom yang mencekik steve dunham dengan emosi
Sinsign Adegan tom yang mencekik tom sebagai tanda pembalas
dendam
Legisign Tanda mencekik adalah sebagai representasi bahwa Tom
menginginkan Steve dunham mati
Object Ikon Tom dan steve yang berselisih didalam bar
Indeks Tangan Tom yang mencekik leher steve
Simbol Ekspresi tom yang menginginkan steve dunham mati
Interpr
etan
Rheme Tom dendam atas kematian anaknya
Dicent Mencekik leher seseorang dapat mengakibatkan kematian
Argument Steve dunham seorang ketua lama west ham yang membunuh
anak Tom. Tom yang ingin membunuh steve bahwa Tom
yang menyimpan dendam atas kematian anaknya.
109
Dari gambar di atas terdapat tanda-tanda non verbal yang berupa
eksprsi wajah Tom, gesture lengan Tom, dan latar lokasi. Teknis
pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah medium close up.
Teknik medium shot untuk menjelaskan hubungan antarpersonal, hubungan
antara satu dengan yang lainnya di jelaskan pada Ardiansyah tahun 2005.
Qualisign yang ditandakan pada foto diatas adalah cara tom yang
menginginkan rifalnya untuk mati. “kau harus mati steve dunham, aku akan
membalas kematian anakku”, itu kata-kata yang diucapkan tom saat
mencekik leher steve dunham dengan amar yang meluap. Dengan ekspresi
dan nada bicara yang tinggi sebagai qualisign, maka kualitas pada tanda
(amarah/dendam) dapat termanifestasi secara efektif. Sehingga khalayak
beranggapan bahwa sikap amarah dan tindakkan kekerasan itu didasari atas
dendam yang ada dalam diri.
Signsins eksistensi aktual yang menandakan peristiwa ada pada
tanda yaitu dengan perkataan tom yang akan membalaskan dendam
anaknya. Dendam yang tersimpan setelah bertahun-tahun setelah kematian
anaknya tom adalah representasi peristwa yang berhubungan dengan tanda
(dendam).
Legisign atau norma yang dikandung dalam adegan mencekik
adalah sebagai representasi bahwa Tom menginginkan Steve dunham mati.
Scenes ini menekankan bahwa kejadian masalalu merupakan kejadian yang
harus dibayar sampai kapan pun.
110
Ikon yang terdapat pada adegan ini adalah dua orang ketua firma
yang bertemu di suatu bar, yang menandakan dimana mereka sedang
berkelahi. Reaksi yang digambarkan pada Tom yang mencekik leher steve
dunham menjelaskan kebencian. Koentjoro pada tahun 2009 menjelaskan
bahwa tindakan seperti ini dapat dikatakan dalam kategori perilaku hoestil
aggression yaitu kekerasa yang dipicu akibat dendam dan dilakukan dengan
tujuan akhir memang melukai musuh.
Pada sisi indeks nya pada gambar tersebut bagaimana Tom yang
mencekik steve dunham yang menandakan, dalam posisi seperti ini apa pun
bisa dia lakukan, bukan hanya membuat musuhnya terluka dia pun bisa
membunuhnya. Symbol yang terdapat pada gambar tersebut adalah tangan
Tom yang mencekik dan menginginkan steve dunham mati menandakan
bahwa dendam lah yang menguasai tindak anarkisme seseoarang. Ekspresi
wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Jenis ekspresi sadar
pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Pada tahun 1963, ahli
psikologi Paul Ekman mendirikan Human Interaction Laboratory di jurusan
Psikiatri, University of California, San Fransisco, yang bertujuan
mempelajari sinyal wajah (Marcel Danesi 2004: hal 69-70). Pada efeknya,
ekspresi wajah adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda
wajah terhibur, marah, terkejut, dan sedih.
Rhame yang dijadikan sebagai tanda untuk memperkuat Intrepetant
adalah tanda tersebut dapat ditafsirkan kedalam beberapa hal. Tanda
111
tersebut bisa dilihat dengan perilaku supporter sepakbola saat ini, mereka
seakan menjadi kepribadian yang berbeda saat team kesayangan mereka
memiliki dendam dengan team lawannya. Mereka menjadi buas saat
kerumunan mereka digangu. Tidak hanya pada para supporter sepak bola,
bagi masyarakat pun permasalahan dendam merupakan permasalahan yang
sah untuk dimiliki satu dengan yang lain, yang akhirnya menimbulkan
perselisihan antar individu maupun kelompok.
Dicentsign tanda yang sesuai kenyataan muncul sama seperti
Rheme, perilaku supporter sepakbola saat ini, mereka seakan menjadi
kepribadian yang berbeda. Tidak hanya pada para supporter sepak bola,
bagi masyarakat pun permasalahan dendam merupakan permasalahan yang
akhirnya menimbulkan perselisihan antar individu maupun kelompok.
Dendam sebagai tanda dan perilaku seseorang sebagai kenyataan.
Argument, dendam adalah panutan yang sangat amat keliru dan
yang seharusnya tidak dijadikan suatu patokan untuk memiliki prasangka
buruk terhadap seseorang menjadi alasan sebagai tanda Argument. Alasan
ini pula yang mencerminkan bahwa supporter sepakbola Negara lain yang
melakukan perbuatan anarkis karena mereka semua tidak dapat
menghilangkan rasa dendam pada diri masing-masing.
112
4.3.7 Analisis Scenes 7
Frame 7-1 menit: 00:27:47 Frame 7-2 menit: 00: 28:04
Gambar 4.0.16 Bagian scenes 7
Frame 7-1 : Bovver dengan menggunakan pakai media mendatangi tribun
supporter Brimingham dan melontarkan kata-kata yang tidak etis
dengan maksud menantang untuk berkelahi. “Ayo, kau bajingan”
Frame 7-2 : Bovver yang ditangkap oleh pihak keamanan karena membuat
kerusuhan, mengacungkan jari tengah kepada supporter
Brimingham.
Provokator (Sign)
Jari tengah(object) Mengacungkan jari tengah kepada
seseorang atau kelompok identik
dengan memancing keributan
(Interpretan)
113
Table 4.0.7 Pembagian Tanda Scenes 7
Sign Qualisign Bovver menantang dan menghina suporter brimingham
Sinsign Kata-kata “ ayo, kau bajingan”
Legisign Menghina dan mengejek mengandung perbuatan negatif
Object Ikon Bovver yang menghina lawan
Indeks Pihak lawan yang menunjuk-nunjuk kearah bovver dengan
raut wajah yang marah.
Simbol Mengacungkan jari tengah kepada supporter lawan.
Interpr
etan
Rheme Suporter brimingham yang kesal atas perilaku bovver selaku
suporter west ham
Dicent Mengacungkan jari tengah identik mencari keributan
Argument Menghina dan mengacungkan jari tengah mengakibatkan
kekerasan terjadi
Dari gambar di atas di gambarkan, ada 2 frame yang saling
berhubungan. Pada frame 13 divisualisasikan bovver mengejek dan
menghina supporter Brimingham dari pinggir lapangan dengan
menggunakan seragam media (pers). Selanjutnya pada frame selanjutnya
yaitu frame 14 di visualisasikan bovver yang di tangkap oleh petugas
keamanan mengacungkan jari tengah kepada supporter Brimangham yang
bertujuan supaya menambah tingkat emosi pihak lawan.
114
Pada scene yang dipilih ini, dilihat dalam cara pengambilan gambar
dengan high angle shot memperlihatkan seorang supporter yang sedang
mengacungkan jari tengah yang merupakan pesan tidak kesopanan dan ini
merupakan unsur pemancingan emosi lawan dengan menantang dan
menghinanya. Mengacungkan jari tengah adalah hal yang sangat tidak etis
dan tidak berbudaya, mengacungkan jari tengah biasanya dilakukan untuk
mencari keributan agar musuh marah besar, dan dalam adegan ini sengaja
ditampilkan seorang suporter west ham united yang mengacungkan jari
tengah ke suporter brimingmham. Hal ini dilakukan karena sebatapa besar
kesalnya seorang suporter kepada supporter lawan. Adegan ini dilakukan
karena menggambarkan bagaimana seorang supporter yang sudah
kehilangan rasa empati dan simpati kepada supporter yang menjadi
lawannya (Walgito 2006: hal 85).
Dalam komunikasi verbal mau pun nonverbal, simbol mewakili
sumber acuan dalam cara yang konvensional. Kata-kata pada umumnya
merupakan simbol. Tanda berbentuk jari tengah dapat mewakili
“penghinaan, kasar untuk diungkapkan” (Marcel Danesi 2004: hal 44).
Makna-makna seperti ini dibangun berdasarkan melalui kesepakatan sosial
atau memalui saluran berupa tradisi hostoris.
Jika digabungkan antara visualisasi pada scene diatas dengan tindak
kekerasan, tindakan mengacungkan jari tengah dan melontarkan kata-kata
kasar kepada seseorang dapat di katakana melakukan prilaku kekerasan.
115
Karena berasal dari tindakan-tindakan seperti itulah yang mengacu
terjadinya tindak kekerasan, seperti perkelahian dan kerusuhan massa.
Jika dilihat berdasar indeks nya scene diatas masuk kedalam lingkup
indeks ruang. Yang dimana indeks ruang itu mengacu pada lokasi spsial
(ruang) sebuah benda, makhluk dan peristiwa dalam hubungan dengan
pengguna tanda (Marcel Danesi 2004: hal 43). Indekstial membuktikan
bahwa kesadaran manusia bukan hanya memerhatikan pola warna, bentuk,
dan lain-lain dan menghasilkan tanda ikonis, tetapi juga memperhatikan
pola berulang dalam hubungan serta sebab-sebab yang tidak pasti dalam
waktu dan ruang (Danesi 2004: hal 43). Bahasa tubuh adalah istilah umum
yang digunakan untuk mengindikasikan komunikasi melalui isyarat, postur,
dan sinyal serta tanda tubuh lainnya baik yang sadar maupun tidak (Danesi
2004: hal 74).
Bahasa tubuh yang dilakukan bovver pada adegan ini
mengisyaratkan bahwa dia begitu kesal dan benci akan hal lainnya yang
dianggapnya sebagai musuh. Bahasa tubuh yang banyak dilakukan oleh
bovver seperti menggambarkan, meluapkan kemarahan dan emosinya
terhadap lawannya. Disisi lain bovver pun menginginkan agar lawannya
tersebut masuk kedalam emosi yang telah dia timbulkan. Seperti yang
dikatakan Marcel Danesi (2004: hal 74) bahasa tubuh itu
mengkomunikasikan informasi tak terucapkan mengenai identitas,
hubungan, dan pikiran seseorang, juga susasana hati, dan sikap. Bahasa ini
116
memainkan peran sangat penting dalam hubungan antarpribadi. Agresivitas
yang umumnya dikaitkan dengan adanya perasaan marah perumusan atau
tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan fisik, verbal,
maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerak tubuh. Tindakan agresi
merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan
tertentu (Widodo 2006: hal 82).
Menurut Ardianto, Elvinaro (2004: hal 57-58) media massa secara
pasti mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Media membentuk
opini publik untuk membawanya pada perubahan yang signifikan. Kadang-
kadang kekuatan media massa hanya sampai ranah sikap (Agee 2001: hal
24-25). Dalam bahasa semiotika, sebuah film dapat didefinisikan sebagai
sebuah teks yang, pada tingkat penanda, terdiri atas serangkaian imaji yang
merepresentasikan aktivitas dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda,
film adalah cermin metaforis kehidupan (Danesi 2004: hal 122).
4.4 Intrepetasi Data
4.4.1 Sign Dalam Film Green Street Holigans
Pada bagian analisis data, peneliti menemukan tanda-tanda disetiap 7
scenes yang diteliti. Tanda-tanda yang muncul dalam setiap 7 scenes saling
berhubungan antara scenes satu dengan scenes yang lainnya.
117
Pada scenes pertama sutradara menekankan bahwa penghinaan
(sign) sebagai representasi bahwa perilaku seorang supporter sepak bola
pada saat ini tidak lekang dari suatu tindakan saling menghina.
Pada scene kedua menekankan bahwa anarkisme (sign) sebagai
representasi bahwa tindak anarkisme holigans di Negara mereka masih
ramai terjadi. Perilaku yang sangat meresahkan masyarakat, perilaku yang
selalu merusak fasilitas umum. Pada scene ketiga sutradara menekankan
bahwa penyerangan kepada seorang touris (sign) sebagai representasi
bahwa banyak tindakan yang dilakukan oleh para holigans di Negara
mereka untuk menimbulkan sikap anarkis.
Pada scene keempat sutradara menekankan bahwa bentrokan (sign)
sebagai representasi bahwa konflik tersebut selalu rutin terjadi disetiap
seusai pertandingan. Yang bertujuan untuk kehormatan pada holigans atau
firma (kelompok). Pada scene kelima terdapat kekerasan (sign) sebagai
representasi bahwa holigans itu suatu perkumpulan yang memiliki sifat
yang keras. Bukan hanya melukai mereka pun dapat membunuh.
Pada scene keenam sutradara menekankan bahwa dendam (sign)
sebagai representasi bahwa para holigans melakukan tindak keanarkisan
berdasarkan dendam antar individu mau pun kelompok. Pada scene ketujuh
sutradara menekankan bahwa provokator (sign) sebagai representasi bahwa
118
dari perselisihan antara holigans-holigans ini tidak lepas dari pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Dari ketujuh scenes yang telah diamati, peneliti mendapatkan satu
benang merah yang dimana sign dalam film ini merupakan sign perilaku.
Perilaku para holigans-holigans yang anarkis terhadap siapapun dan dimana
pun.
4.4.2 Object Dalam Film Green Street Holigans
Object-object yang digunakan merupakan tanda terpenting agar
representament dan interpretant saling berhubungan satu sama lain. Tanpa
adanya object sebagai penghubung, pesan, representasi dan interpretasi
yang ingin disampaikan oleh sutradara tidak akan berhasil. Object sebagai
alat penghubung juga dapat digambarkan melalui peristiwa-peristiwa yang
relevan agar representasi dan intrepetant dapat dicerna dan diasosiasi oleh
khalayak. Dalam film ini object cenderung menggunakan perilaku, budaya,
dan peristiwa-peristiwa yang dialami atau terjadi pada kehidupan para
holigans. Sehingga dalam penyampaiannya, objek yang ditampilkan tidak
sulit untuk menghubungkan antara representament/sign dengan intrepetant.
Object-object yang dimunculkan dalam setiap scenes film ini
mempunyai makna-makna yang berbeda namun mempunyai fungsi yang
sama yaitu menghubungkan representament/sign dengan intrepetant. Object
dibuat dengan terstruktur rapih bertahap, sehingga tidak terdapat bias yang
119
membuat khalayak tidak mengerti pesan yang ingin disampaikan oleh
sutradara.
Object yang diperoleh dalam setiap scenes nya dapat berupa
property, perilaku, gerak tubuh, serta ungkapan-ungkapan perkataan yang
menghubungkan dengan tindak anarkis para holigans.
4.4.3 Intrepetant Dalam Film Green Street Holigans
Intrepetant atau makna interpretasi adalah rangkaian gabungan dari
Rheme, Dicent sign dan Argument. Intrepetant muncul sebagai hasil dari
penafsiran tanda object dan representasi yang muncul melalui tanda-tanda.
Intrepetant dapat muncul berupa gagasan-gagasan, argumentasi, dan
kesimpulan penafsiran dari dari setiap tanda object dan representament
disetiap scenes.
Disetiap scenes yang peneliti analisis, intrepetasi yang muncul
berbeda-beda. Pada scenes pertama intrepetant yang muncul adalah
perilaku holigans yang selalu beradu menghina dan melecehkan satu sama
lain, yang selalu menyebabkan tindak anarkisme terjadi antar individu mau
pun kelompok. Pada scenes kedua intrepetant muncul karena tindak
anarkisme ditunjukkan oleh supporter dengan perkelahian dan
pengerusakan, dari cara kekerasan yang terjadi diatara para hooligan-
holigan tersebut.
120
Pada scenes ketiga intrepetant muncul karena tindakan para
holigans yang menyerang seorang touris yang berasal dari amerika, atas
prasangka bahwa touris tersebut merupakan salah satu anggota dari west
ham united. Mereka menyumpal mulut touris itu dengan kartu kredit hingga
terluka. Pada scene keempat interpretan muncul karena situasi dan kondisi
yang memungkinkan untuk para holigans melakukan perkelahian, tempat
yang memungkin mereka untuk melakukan perusakan dan tindak
keanarkisan.
Pada scene kelima interpretan muncul karena dilihat dari
kesimpulan latar tempatnya tindakan agresi seperti itu merupakan akibat
penyalahgunaan zat atau alkohol dan riwayat prilaku kriminal lebih jauh
lebih kuat terkait dengan kriminalitas yang disertai kekerasan. Pada scene
keenam interpretan muncul karena ada nya dendam antar individu. Dendam
antar kedua ketua yang menimbulkan rasa ingin membunuh. Pada scene
ketujuh interpretan muncul karena tindakan mengacungkan jari tengah
kepada seseorang atau kelompok identik dengan memancing suatu
kekerasan. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang tidak etis untuk
dilakukan.
4.4.4 Visualisasi Anarkisme
Penelitian ini memfokuskan pada visualisasi pesan-pesan yang
mengandung anarkisme. Adapun pesan-pesan kekerasan yang dimaksud
dapat dilihat dari visualisasi yang terlihat seperti pada bagian Scene seperti
121
kostum, aksesoris, setting maupun property yang berhubungan dengan
pesan-pesan kekerasan yang hendak disampaikan.
Film sendiri seperti media massa lain tidak beroperasi dalam
kekosongan. Film dapat dilihat sebagai satu medium untuk menstrukturkan
proses pengeluaran makna dalam masyarakat. Anarkisme dalam film
memperlihatkan keadaan social dalam sebuah masyarakat dan bisa
dianggap sebagai suatu kebiasaan yang sering terjadi di berbagai wilayah.
Agar masyarakat dapat meningkatkan kontrol sosial kemampuan
masyarakat untuk mengendalikan situasi. Semakin kuat kontrol sosial,
semakin kecil kemungkinan untuk terjadinya kerusuhan. Contohnya dalam
film yang dikaji mengenai film Green Street Hooligans ini memperlihatkan
perwujudkan pesan-pesan anarkisme dan fanatisme yang ada dalam film
tersebut.
Dalam konteks ini juga film sebagai satu bentuk budaya popular
hanya digunakan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan pihak
tertentu saja. Salah satunya adalah film Green Street Hooligans ini
dijadikan medium dari kepentingan pihak tersebut untuk menyisipkan dan
mendoktrin para penontonya agar terbiasa dengan konsep-konsep yang ada
dalam film tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung hal yang
paling ditakutkan adalah pergeseran dan perubahan seseorang dalam
memahami suatu unsur fanatisme.
122
Setiap film pada prinsipnya mencerminkan ideologi tertentu. Hal
tersebut menunjukan adanya hubungan bagaimana makna yang
diungkapkan dalam film seperti bangsa, pemerintahan atau industri yang
secara langsung atau tidak langsung saling bekerja sama. Bisa dikatakan
film membawa pesan tertentu yang mengandung unsur kepentingan dari
pihak tertentu ataupun oknum tertentu, tak terkecuali Amerika serikat
karena negara ini memiliki industri film massal yang sangat terkenal
didunia dengan karya-karyanya yaitu Holywood yang sekarang mungkin
sudah menjadi kiblat industri film di negara-negara lainya.
Visualisasi anarkisme/kekerasan, mengindikasikan bahwa
permasalahan seperti di awal bab penelitian ini sudah dapat terpecahkan
dimana visualisasi kekerasan/anarkisme pada film Green Street Hooligans
ini terwakili oleh adegan dan simbol yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pesan yang hendak disampaikan kepada para penontonya.
123
BAB V
KESIMPULAN & SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini akhirnya akan kembali pada permasalahan awal yang
telah dirumuskan yaitu bagaimana visualisasi anakisme suporter sepak bola
pada film Green Street Hooligans ini disampaikan kepada penontonya. Dari
hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa visualiasi anarkisme nya
adalah:
1. Sign ditampilkan dalam film Green Street Holigans yang diwakilkan
oleh 7 scenes, adalah untuk menandakan realitas sikap dan perilaku para
holigans. Visualisasi image holigans yang ingin disampaikan oleh
sutradara kepada khalayak bahwa pada kenyataannya holiganisme
memang mempunyai sikap dan perilaku yang keras dan berbahaya. Sign
anarkisme ada pada tindak perilaku-perilaku yang dilakukan.
2. Object visualisasi dalam film Green Street Holigans berupa kerumunan
supporter sepakbola atau yang biasa disebut holigans. Perilaku object-
object yang dimunculkan dalam setiap scenes film ini mempunyai
makna-makna yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama yaitu
menghubungkan representament/sign dengan intrepetant.
123
124
3. Interpretan dalam film Green Steet Holigans menandakan intrepetasi
cenderung mempunyai tujuan untuk menjelaskan latar belakang
kehidupan para kerumunan holigans. Visualisasi yang diterapkan
melalui scene mempermudah sutradara menyampaikan isi pesan
informasi kepada penonton bahwa seperti itu lah keadaan para holigans
di Inggris.
4. Visualisasi anarkisme dalam film memperlihatkan keadaan sosial dalam
sebuah masyarakat dan bisa dianggap sebagai suatu kebiasaan yang
sering terjadi di berbagai wilayah. Agar masyarakat dapat meningkatkan
kontrol sosial kemampuan masyarakat untuk mengendalikan situasi.
Semakin kuat kontrol sosial, semakin kecil kemungkinan untuk
terjadinya kerusuhan. Contohnya dalam film yang dikaji mengenai film
Green Street Hooligans ini memperlihatkan perwujudkan pesan-pesan
fanatisme dan anarkisme yang ada dalam film tersebut. Secara langsung
maupun tidak langsung hal yang paling ditakutkan adalah pergeseran
dan perubahan seseorang dalam memahami suatu unsur fanatisme.
Dari kesimpulan diatas dapat dikatakan bahwa film Green Street
Hooligans ini mengandung visualisasi anarkisme suporter sepak bola, yang
secara sistematis dan terencana didesain ada dalam pesan ceritanya. Dari 7
analisis kesimpulan diatas mengandung unsur semiotika Charles Sanders
Pierce.
125
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti ingin
memberikan saran yang mungkin dapat berguna bagi berbagai pihak
khususnya bagi para akademisi maupun para penikmat film dimanpun
berada.
1. Untuk kalangan akademisi, diharapkan untuk terus membuka dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan paradigma yang seluas-
luasnya dalam mengkaji sebuah film misalnya kajian tentang semiotika,
khususnya tentang bagaimana seorang sutradara dapat menyisipkan unsur-
unsur ideologinya untuk disampaikan kepada para penonton.
2. Untuk penikmat film, hendaknya meningkatkan ketajaman intelektual dan
emosional sehingga bisa menyaring pesan-pesan yang hendak disampaikan
dalam suatu film, khususnya film-film Holywood yang pada prakteknya
selalu menyisipkan agenda setting yang hendak ditanamkan kedalam alam
bawah sadar penontonya.
126
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto dan Lukiati, k. (2007). Komunikasi Massa Suatu Pengantar . Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Ahmadi, abu. (2007). Psikologi Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Arifin, Januar MS. 2011. PSSI JUARA. Jakarta : Kosakatakita.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatf, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus.
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta:
Jalasutra.
. 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Daryanto. 2010. Ilmu Komunikasi. Bandung : Satu Nusa Studio.
Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Elvinaro, Ardianto., Erdinaya., Komala Lukiati. 2004. Komunikasi Massa: Suatu
Pengantar. Bandung: Rosdakarya.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKIS.
Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif,. Yogyakarta: Jalasutra.
Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film. Yogyakarta: Homerian
Pustaka.
J. M dan Hassan, S. Chols. 1988. Kamus Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
127
Kriyantono, Rachmat. 2009. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Kursyid, Ahmad. 1993. Menjawab Tuduhan Barat. Surabaya :Pustaka Progressif.
Marzuki. 2003. Metodelogi Riset. Yogyakarta: PT Prasetya Widya Pratama.
Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan
Aplikasi.Bandung: Widya Padjajaran.
McQuill, Dennis. 1995. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal, Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Rakhmat, Jalalludin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Richard West dan Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis
and Aplication, 3rd
ed. New York: Mc Graw Hill. 2007. Pengantar Teori
. Komunikasi, Edisi 3 Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba
Humanika. 2008.
Sawarno, Sarlito., W. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi kelompok dan Psikologi
Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sindhunata. 2002. Catatan Sepakbola Sindhunata: Bola-bola Nasib. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakayarya.
. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
128
Sujiman, Panuti, and Aart Van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Thompson, David and Kristin Bordwell. 2008. Film Art: An Introduction. New
York: The Mc. Graw Hill Companies, Inc.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Jalan Sutra.
Tufte, Edward. 1997. Visual Explanations: Images and Quantities, Evidence and
Narrative. Cheshire, CT: Graphics Press.
Walgito, bimo. 2006. Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi Offset.
Widodo, Heri. 2006. Psikologi Sosial. Anantasari.
Wirawan, S, S. 2008. Teori-Teori Psikologi Sosial. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
129
Sumber Internet
1. Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA. 2006. Psikologi Fanatik. (Online). http://
Mubarok Institute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html. Diakses
tanggal 4 november 2011.
2. Nasional, Departemen Pendidikan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
3. http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578
&targetid=profile
4. http://www.Rogerebert.com./reviews/green-street-hooligans. Diakses 2012-
11-06.
5. Tyler, Joshua (January 10, 2006). "Shatner Gets His Own Award". Cinema
Blend. Diakses 2009-09-10.
6. Von Busack, Richard (March 8, 2006). "Sunnyvale". Metroactive. Diakses
2009-09-10.
7. http://nikenbicarafilm.blogspot.com/green-street-hooligan.html. Diakses pada
tanggal 16-04-2011
8. https://intanoorahma.wordpress.com. Diakses pada 06-07-2012.
9. http://fitinline.com/article/read/mengenal-kepribadian-dari-warna-pakaian.
Diakses pada 18 februari 2014
130
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Oddlot Entertainment
131
Lampiran 2 Unit Analisis
132
133
134
Lampiran 3 Cover DVD
135
Lampiran 4
136
Lampiran 5 Surat Tugas
137
Lampiran 6
138
Lampiran 7 Bukti Bimbingan
139
140
Lampiran 8 ACC Sidang Skripsi
141
Lampiran 8 ACC Sidang Skripsi
142
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama Lengkap : Alif Risna Fauzi
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tinggal Lahir : Lampung, 14 Mei 1992
Alamat : Perumahan Keroncong Permai Ep 4 no. 24 RT/RW
07/03 Kecamatan Jatiuwung, Kelurahan Keroncong-
Tangerang
Email : [email protected]
Kode post : 15134
Perguruan Tinggi : Universitas Sultan Ageng Titayasa, Serang – Banten
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Jurusan : Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Jurnalistik)
Angkatan : 2010
143
Riwayat Pendidikan dan Pelatihan
Jenjang Pendidikan
Periode Sekolah / Institusi / Universitas Kota
1998 - 2004 SD Negeri 1 Lampung
2004 - 2007 SMP Negeri 1 Lampung
2007 - 2010 SMA 1 YUPPENTEK Tangerang
2010 - 2015 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang
Pengalaman Organisasi
No. Nama Organisasi Jabatan Tahun
1. PASKIBRA di Lampung Tengah Pengibar Bendera 2005-2007
2. UTV (Untirta TV) Anggota 2011 - 2012
3. Komunitas Fotografer Banten Exposure Anggota 2011 - 2013
144
» Pengalaman Bekerja
No. Tahun Jabatan Deskripsi Pekerjaan
1. 2010 Magang sebagai
Operator Data
Upload data, Manage Data
melalui FTP Client.
2. 2014 Team Leaders Pengawas SPG Djarum
3. 2013 –
Sekarang
Phtographer NICANI|
Creative and Photo
Wedding
Sebagai photographer wedding di
daerah kota Serang, Cilegon,
Tangerang