varicella dan herpes zoster
TRANSCRIPT
A. Histologi kulit
Kulit manusia tersusun atas tiga lapisan, yaitu epidermis ,dermis, dan subkutis. Epidermis
dan dermis dapat terikat satu sama lain akibat adanya papilare dermis.
1. Epidermis merupakan lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki tebal yang
berbeda-beda: 400-600 μm untuk kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan
75-150 μm untuk kulit tipis (kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut).
Selain sel-sel epitel, epidermis juga tersusun atas lapisan:
a. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses melanogenesis.
b. Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang,
yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan
antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan
penting dalam imunologi kulit.
c. Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
d. Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam
sebagai berikut:
1) Stratum Korneum, terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng, tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin.
2) Stratum Lucidum, terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik yang sangat
gepeng, dan sitoplasma terdri atas keratin padat. Antar sel terdapat desmosom.
3) Stratum Granulosum, terdiri atas 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang
sitoplasmanya berisikan granul keratohialin. Pada membran sel terdapat granula
lamela yang mengeluarkan materi perekat antar sel, yang bekerja sebagai
penyaring selektif terhadap masuknya materi asing, serta menyediakan efek
pelindung pada kulit.
4) Stratum Spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid. Sel-sel spinosum saling terikat
dengan filamen; filamen ini memiliki fungsi untuk mempertahankan kohesivitas
(kerekatan) antar sel dan melawan efek abrasi. Dengan demikian, sel-sel
spinosum ini banyak terdapat di daerah yang berpotensi mengalami gesekan
seperti telapak kaki.
5) Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada epidermis,
terdiri atas selapis sel kuboid. Pada stratum basal terjadi aktivitas mitosis,
sehingga stratum ini bertanggung jawab dalam proses pembaharuan sel-sel
epidermis secara berkesinambungan.
2. Dermis, yaitu lapisan kulit di bawah epidermis, memiliki ketebalan yang bervariasi
bergantung pada daerah tubuh dan mencapai maksimum 4 mm di daerah punggung.
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum papilare
dan stratum reticular.
Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag, dan
leukosit yang keluar dari pembuluh (ekstravasasi).
Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan tersusun atas jaringan
ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I)
3. Subkutis
Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu jaringan ikat longgar yang disebut jaringan
subkutan dan mengandung sel lemak yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia
superficial, atau panikulus adiposus. Jaringan ini mengandung jalinan yang kaya akan
pembuluh darah dan pembuluh limfe. Arteri yang terdapat membentuk dua plexus,
satu di antara stratum papilare dan retikulare, satu lagi di antara dermis dan jaringan
subkutis. Cabang-cabang plexus tersebut mendarahi papila dermis. Sedangkan vena
membentuk tiga plexus, dua berlokasi seperti arteri, satu lagi di pertengahan dermis.
Adapun pembuluh limfe memiliki lokasi sama dengan pembuluh arteri.
B. Fisiologi Kulit
1. Fungsi kulit
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-
fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi,
pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan vitamin D.
1. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai yaitu berikut:
- Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia.
Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan erat seperti batu
bata di permukaan kulit.
- Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan dehidrasi;
selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh melalui kulit.
- Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut dari
kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di
permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan ekskresi keringat, akan
menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba.
- Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada stratum
basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya. Pigmen
ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi genetik
dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan pada proteksi oleh melanin,
maka dapat timbul keganasan.
- Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang pertama
adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap mikroba. Kemudian
ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang masuk melewati keratin
dan sel Langerhans.
2. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti vitamin
A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida. Permeabilitas kulit
terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian
pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4,
dan merkuri. Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat peradangan.
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban,
metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antarsel atau
melalui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada
yang melalui muara kelenjar.
3. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar eksokrinnya, yaitu
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
- Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut dan
melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen. Sebum dikeluarkan
ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan kelenjar sebasea sehingga sebum
dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit. Sebum tersebut merupakan
campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan elektrolig. Sebum berfungsi
menghambat pertumbuhan bakteri, melumasi dan memproteksi keratin.
- Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat keluar
dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari. Seorang yang bekerja
dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat tambahan, dan bagi orang yang
aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga
merupakan sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul
organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea.
Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan kelenjar
keringat merokrin.
- Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan pubis, serta aktif
pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang kental dan bau yang khas. Kelenjar
keringat apokrin bekerja ketika ada sinyal dari sistem saraf dan hormon sehingga sel-
sel mioepitel yang ada di sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan kelenjar
keringat apokrin. Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan sekretnya ke
folikel rambut lalu ke permukaan luar.
- Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak tangan dan kaki.
Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrien organik, dan sampah metabolisme.
Kadar pH-nya berkisar 4.0 – 6.8. Fungsi dari kelenjar keringat merokrin adalah
mengatur temperatur permukaan, mengekskresikan air dan elektrolit serta
melindungi dari agen asing dengan cara mempersulit perlekatan agen asing dan
menghasilkan dermicidin, sebuah peptida kecil dengan sifat antibiotik.
4. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan
panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin
diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak
di papila dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang
terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua cara:
pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu
tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh
darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat
suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh
darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.
6. Fungsi pembentukan vitamin D
Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi kolesterol dengan
bantuan sinar ultraviolet. Enzim di hati dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan
menghasilkan calcitriol, bentuk vitamin D yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan
dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah.
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum memenuhi
kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap
diperlukan.
Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah,
kelenjar keringat, dan otot-otot di bawah kulit.
VARICELLA DAN HERPES ZOSTER
Varicella zoster virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus
terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan
dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella
(chickenpox) dan herpes zoster (shingles). Varicella terutama mengenai anak-anak yang
berusia dibawah 20 tahun terutama usia 3 - 6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang
dewasa. Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan
biasanya jarang mengenai anak-anak.
PATOGENESIS
Masa inkubasi varicella 10 - 21 hari pada anak imunokompeten (rata- rata 14 - 17 hari) dan
pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14 hari. VZV
masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet
infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari.
Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2 - 4 yang berlokasi pada lymph nodes
regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar
limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4 - 6
setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus
tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan
berlanjut dengan siklus replikasi virus ke dua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke
seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya
lesi kulit yang khas. Seorang anak yang menderita varicella akan dapat menularkan kepada
yang lain yaitu 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit. IgG, IgM, IgA
terhadap virus sudah dapat dideteksi pada hari ke 2-5 setelah masa awitan dan mencapai
puncaknya pada minggu II/III, kemudian IgG akan turun perlahan dan menetap seumur
hidup. IgM dan IGA akan turun lebih cepat dan menghilang dalam waktu satu tahun.
Selama terjadinya varicella, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan
mukosa ke ujung syaraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal melalui serabut
syaraf sensoris Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut
tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk
berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat
diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita
karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan immunosuppressive termasuk kortikosteroid
dan pada orang penerima organ transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali
bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian
virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui syaraf sensoris akan
sampai kulit dan kemudian akan timbul gejala klinis.
Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya dengan
gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual dan anoreksia, yang terjadi 1 - 2
hari sebelum timbulnya lesi dikulit sedangkan pada anak kecil (usia lebih muda) yang
imunokompeten, gejala prodormal jarang dijumpai hanya demam dan malaise ringan dan
timbul bersamaan dengan munculnya lesi dikulit. Lesi pada varicella, diawali pada daerah
wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada (penyebarannya secara centripetal) dan kemudian
dapat meluas ke ekstremitas. Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa pada
daerah wajah dan dada, dan kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12 – 14 jam
menjadi papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang
jernih dengan dasar eritematosa. Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan masuknya
sel radang sehingga pada hari ke 2 akan berubah menjadi pustula. Lesi kemudian akan
mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk umbilikasi (delle) dan
akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu yang bervariasi antara 2-12 hari, kemudian krusta
ini akan lepas dalam waktu 1 - 3 minggu. Pada fase penyembuhan varicella jarang terbentuk
parut (scar), apabila tidak disertai dengan infeksi sekunder bakterial.
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodormal. Gejala prodormal
yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malese, nyeri kepala dan demam,
biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam dikulit. Lesi kulit yang khas dari herpes
zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral dan jarang melewatii garis tengah tubuh. Lokasi
yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus ke V dan VII. Lesi awal
berupa makula dan papula yang eritematous, kemudian dalam waktu 12 - 24 jam akan
berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari ke 3 - 4 dan
akhirnya pada hari ke 7 – 10 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali
terjadi infeksi sekunder bakterial.
KOMPLIKASI
Varicella
1. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan oleh bakteri
2. Scar
3. Pneumonia
4. Acute postinfeksius cerebellar ataxia
5. Encephalitis
6. Herpes zoster
Herpes zoster
1. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan bakteri.
2. Posherpetic neuralgia (PHN)
Insidennya meningkat dengan bertambahnya umur dimana lebih kurang 50 penderita
PHN berusia lebih dari 60 tahun dan PHN biasanya jarang terjadi pada anak-anak.
3. Pada daerah ophthalmic dapat terjadi keratitis, episcleritis, iritis, papillitis dan
kerusakan syaraf.
4. Herpes zoster yang desiminata yang dapat mengenai organ tubuh seperti otak, paru
dan organ lain dan dapat berakibat fatal.
5. Meningoencephalitis.
6. Motor paresis.
7.Terbentuk scar
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Polymerase chain reaction (PCR)
- Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.
- Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.
- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.
2. Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal
dengan degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis
bagian atas dijumpai adanya lymphocytic infiltrate
PENATALAKSANAAN
1. Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah
pecah.
2. Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat
diberikan salap antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
3. Obat antivirus
- Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu
penyembuhan akan lebih singkat.
- Golongan antivirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir dan
- famasiklovir.
- Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48 – 72 jam setelah
erupsi dikulit muncul.
Kekebalan Tubuh Manusia
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan
terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein
tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang
teraberasi menjadi tumor.
INFEKSI VIRUS
1. Mengganggu sel khusus tanpa merusak. Virus yang tidak menyebabkan kerusakan sel
disebut virus non sitopatik (non cytopathic virus). Bila terjadi kerusakan sel, maka hal
ini akibat reaksi antigen antibodi. Virus ini dapat menjadi persisten dan akhirnya
menjadi kronik, sebagai contoh adalah virus hepatitis B
2. Virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari
tubuh, dan virus seperti ini disebut virus sitopatik (cytopathic virus), sebagai contoh
infeksi virus HIV, infeksi hepatitis virus lain, dan sebagainya.
3. Dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan respons inflamasi
4. Dapat berkembang biak dalam sel pejamu tanpa merusak
Mekanisme pertahanan tubuh
Respons imun nonspesifik terhadap infeksi virus
Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan
sel natural killler (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut. Pengenalan
dan pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat
bagi pejamu. Permukaan sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama
dalam struktur karbohidrat, menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK
mempunyai dua jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killer
activating receptors, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang
diekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory receptors,
yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi.
Oleh karena itu sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel yang
sensitif atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak
terinfeksi dengan molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK.
Produksi IFN-α selama infeksi virus akan mengaktivasi sel NK dan meregulasi
ekspresi MHC pada sel terdekat sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel
NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibodi terhadap protein virus terikat pada
sel yang terinfeksi.
Beberapa mekanisme utama respons nonspesifik terhadap virus, yaitu :
1. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel-sel
terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus
2. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun virus
menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC klas I. IFN tipe I akan
meningkatkan kemampuan sel NK untuk memusnahkan virus yang berada di dalam
sel. Selain itu, aktivasi komplemen dan fagositosis akan menghilangkan virus yang
datang dari ekstraseluler dan sirkulasi.
Respons imun spesifik terhadap infeksi virus
Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi dapat
menghambat kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi
dan multiplikasi intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibodi juga dapat
menghancurkan partikel virus bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen atau
produksi agregasi , meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler.
Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting terutama pada infeksi
virus nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang bersifat protektif, sel
NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel
jaringan. Dalam respons infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-
b) yang akan membantu terjadinya respons imun yang bawaan dan didapat.
Imunomodulator
Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem
imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan
Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui5:
- Imunorestorasi
- Imunostimulasi
- Imunosupresi
A. Imunorestorasi5
Ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan
memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti immunoglobulin dalam bentuk Immune
Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis,
leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus.
B. Imunostimulasi5
Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem
imun dengan
menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM)
adalah bahan-bahan yang dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan.
C. Imunosupresi5
Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama
pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi
yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi
Lichenstein R. Pediatrics, Chicken Pox or Varicella , October 21, 2002.
www.emedicine .com
Harper J. Varicella (chicken pox). In : Textbook of Pediatric Dermatology, volume 1
Blackwell Science, 2000 : 336 - 39.
Mehta P N. Varicella, July 1, 2003. www.emedicine. com.\
Mc Cary M L. Varicella zoster virus. American Academy of Dermatology, Inc. 1999.
Driano A N. Zoster - pediatric, October 11, 2002. www.emedicine. com.
Sugito T L. Infeksi Virus Varicella - Zoster pada bayi dan anak. Dalam : Boediardja S
A editor. Infeksi Kulit Pada Bayi & Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2003 : 17 - 33.
Hurwitz S. Herpes zoster. In : Clinical Pediatric Dermatology Texbook of skin
Disease of Childhood and Adolescence, 2nd edition, Philadelphia ; W.B. Saunders Company,
1993 : 324 - 27.
Frieden I J, Penney N S. Varicella - Zoster Infection. In : Schchner L A, Hansen R C
editor. Pediatric Dermatology, second edition, vol 2, Churchill Livingstone, Ney York ,
1995 : 1272-75.