v. hasil dan pembahasan 5.1 keadaan umum lokasi … · bahwa komposisi penduduk menggambarkan...
TRANSCRIPT
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Muara Angke dengan dengan luas ± 67 Ha, terletak di delta Muara Angke
Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan secara
astronomis terletak pada 1060 52’ Bujur Timur dan 60 Lintang Selatan. Kawasan
Muara Angke secara secara geografis berbatasan dengan:
- sebelah barat : Kali Angke
- sebelah selatan : Kali Angke
- sebelah timur : Jalan Pluit
- sebelah barat : Laut Jawa
Kawasan Muara Angke mempunyai kontur permukaan tanah datar dengan
ketinggian dari permukaan laut antara 0 – 1 meter. Pasang surut kawasan ini
mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah
adalah 1,2 meter dan gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada
kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada kawasan ini berkecepatan 1,5 knot
dengan ketinggian gelombang antara 0 – 1 meter , jika terjadi angin kuat
gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter.
Kawasan Muara Angke terletak didaerah yang strategis karena letaknya
yang berada di tengah-tengah kawasan bisnis dan pemukiman elite daerah Jakarta
Utara. Akses menuju kawasan Muara Angke sangat baik dan mudah. Jalan yang
beraspal, tersedianya terminal yang memadai, dan sarana transportasi yang ada
memudahkan masyarakat untuk datang ke Muara Angke. Sarana transportasi yang
ada adalah angkutan kota, metromini maupun bus antar kota antar propinsi.
5.1.1 Penduduk
Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu
wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu
fertilitas, mortalitas, dan migrasi (Rusli, 1995). Selain itu Rusli juga menjelaskan
bahwa komposisi penduduk menggambarkan susunan penduduk yang dibuat
berdasarkan pengelompokan penduduk menurut karakteristik-karakteristik yang
51
sama seperti etnis, agama, kewarganegaraan, bahasa, pendidikan, jenis kelamin,
dan golongan pendapatan.
Jumlah penduduk Muara Angke berdasarkan rekapitulasi bulan Juli 2008
berjumlah 43927 jiwa yang terdiri dari 22861 laki-laki dan 21066 perempuan
(Tabel 1). Komposisi jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin
menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin sebesar 108, hal ini menunjukkan bahwa
dari 100 penduduk wanita terdapat 108 jiwa penduduk laki-laki.
Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di Muara Angke Bulan Juli Tahun 2008
Jenis Kelamin Jumlah Umur (Tahun) Laki-Laki Perempuan n (jiwa) Rasio Jenis kelamin
0 - 4 1889 1497 3386 126 5-9 1735 1585 3320 109
10-14 1680 1602 3282 105 15 - 19 1654 1570 3224 105 20 - 24 1707 1582 3289 108 25 - 29 1630 1500 3130 109 30 - 34 1678 1532 3210 110 35 - 39 1603 1436 3039 112 40 - 44 1687 1424 3111 118 45 - 49 1648 1306 2954 126 50 - 54 1516 1374 2890 110 55 - 59 1492 1327 2819 112 60 - 64 1164 1243 2407 94 65 - 69 898 1042 1940 86 70 - 74 541 622 1163 87
> 75 339 424 763 80 Jumlah 22861 21066 43927 108
Sumber: Rekapitulasi Jumlah Penduduk Muara Angke Tahun 2008
Kelompok usia 0 – 4 tahun merupakan kelompok usia dengan jumlah
penduduk paling banyak yaitu dengan jumlah penduduk sebanyak 3386 jiwa.
Kelompok usia > 75 tahun merupakan kelompok usia dengan jumlah penduduk
paling sedikit yaitu dengan jumlah penduduk sebanyak 763 jiwa.
52
Jumlah penduduk Muara Angke yang berada dalam kelompok usia
produktif (usia 15 – 39 tahun) sebanyak 15892 orang memiliki peluang tinggi
akan banyaknya usia anak-anak, hal ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk
yang berada dalam kelompok usia 0 – 4 tahun yaitu sebanyak 3386 jiwa dan
penduduk yang berada dalam kelompok usia 5 – 9 tahun yaitu sebanyak 3320
jiwa. Tingginya jumlah penduduk pada kelompok usia anak (0 – 9 tahun) dapat
memberikan sedikit gambaran tentang rendahnya keberhasilan program Keluarga
Berencana di wilayah tersebut dan rendahnya pengetahuan masyarakat sekitar
mengenai Program Keluarga Berencana.
Rasio jenis kelamin untuk jumlah total penduduk sebesar 108 memberikan
informasi bahwa untuk dalam setiap jumlah penduduk perempuan sebanyak 100
orang akan terdapat penduduk laki-laki sebanyak 108 orang. Untuk usia 0-59
tahun dapat terlihat bahwa pada rentang usia tersebut lebih banyak penduduk laki-
laki dibandingkan penduduk wanita, hal ini ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin
yang nilainya lebih besar dari 100. Sedangkan untuk usia 60 tahun ke atas,
jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk
laku-laki.
Mayoritas nelayan yang menangkap ikan di Muara Angke umumnya
merupakan nelayan andun, yaitu nelayan yang menangkap ikan di daerah tujuan
selama musim panen ikan dan akan kembali ke daerah asal bila musim panen
telah berakhir. Kebanyakan nelayan andun yang tinggal di Muara Angke
merupakan nelayan yang berasal dari sekitar daerah pesisir Pulau Jawa seperti
Cirebon, Indramayu, Tegal, Brebes, Serang, dan beberapa ada yang berasal dari
Sukabumi dan Karawang bahkan ada juga sebagian kecil nelayan yang berasal
dari Sulawesi.
Nelayan-nelayan ini umumnya hidup mengelompok dan berkumpul pada
suatu tempat sehingga membentuk suatu komunitas berdasarkan daerah asal.
Biasanya mereka berasal dari kampung yang sama atau tetangga kampung
sehingga mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebelumnya, bahkan ada
beebrapa nelayan yang merupakan teman sepermainan sejak kecil.
53
5.1.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di Muara Angke secara umum masih
rendah (Tabel 2), hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penduduk yang memiliki
pendidikan rendah yaitu 1.702 orang (4,32%) tidak bersekolah, 7.827 orang
(19,82%) tidak tamat sekolah dasar, dan 8.623 orang (21,86% ) yang
menyelesaikan pendidikan hingga tamat sekolah dasar. Hal ini menunjukkan
bahwa sebanyak 18.152 orang (46,02%) tidak menyelesaikan pendidikan dasar.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Muara Angke Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Jumlah
Pendidikan Laki-Laki Perempuan n jiwa Persentase (%) Tidak Sekolah 778 924 1702 4,32 Tidak Tamat SD 4244 3583 7827 19,84 Tamat SD 3951 4672 8623 21,86 Tamat SLTP 4254 4489 8743 22,17 Tamat SLTA 4968 3642 8610 21,83 Tamat Akademi/ PT 2277 1659 3936 9,98 Jumlah 20472 18969 39441 100,00
Sumber: Rekapitulasi Jumlah Penduduk Muara Angke Tahun 2008
Sarana pendidikan yang tersedia di kawasan Muara Angke antara lain
enam buah taman kanak-kanak, delapan buah sekolah dasar, enam buah sekolah
menengah pertama, lima buah sekolah menengah atas yang letaknya tersebar di
seluruh wilayah Muara Angke. Saat ini, sedang dirintis sebuah lembaga
pendidikan non formal yang digagas oleh masyarakat sekitar tanpa bantuan pihak
luar baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Lembaga pendidikan non
formal tersebut dinamakan Yayasan Lentera Bangsa.
5.1.3 Sarana dan Prasarana
Pada tahun 1977 kawasan Muara Angke diresmikan sebagai sentral
pemukiman nelayan untuk merelokasi perkampungan nelayan yang semula
tersebar di berbagai lokasi Pantai Utara Jakarta dan menjadi pusat kegiatan
perikanan tradisional di Daerah Khusus Ibukota. Muara Angke dengan luas
semula 59 Ha, kemudian berkembang menjadi 67 Ha, diantaranya dimanfaatkan
54
untuk perumahan nelayan (21,26 Ha) yang hingga saat ini telah dibangun rumah
sebanyak 1.728 unit di atas tanah tersebut, pembibitan dan penelitian ikan (9,21
Ha), bangunan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) serta fasilitas penunjang lainnya (5
Ha), hutan bakau (8 Ha), kompleks pengolahan ikan (5 Ha), docking kapal (1,35
Ha), lahan kosong (6,7 Ha), pasar, bank, dan bioskop (1 Ha) serta terminal (2,57
Ha). Muara Angke memiliki tiga rukun warga (RW) yiatu RW 01, RW 011, dan
RW 20 serta terdapat tiga perkampungan nelayan tradisional di Muara Angke
yaitu, Kampung Nias, Kampung Baru, dan Empang.
Berbagai fasilitas didirikan di kawasan Muara Angke untuk menunjang
kegiatan kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Fasilitas
yang ada diklasifikasikan menjadi fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan
fasilitas penunjang. Fasilitas pokok terdiri dari lahan, dermaga, tanggul pemecah
gelombang, kolam pelabuhan, tiang pengikat kapal/bholar, dan fender kayu.
Fasilitas fungsional, yaitu TPI dan kantor lama, TPI dan kantor baru, tempat
pengepakan, cold storage, kios, gudang, kantor, pasar grosir, pasar pengecer. Kios
ikan bakar Pujaseri Masmurni, bangsal pengolahan hasil perikanan, mirasih,
gudang alat-alat perikanan, kolam penampungan, bengkel alat-alat kapal, dan
SPBU dwi fungsi.
Fasilitas penunjang terdiri atas Unit Pelaksana Teknis (UPT), Dinas
perhubungan, Syahbandar, KPLP dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia
(HNSI) yang masing-masing terdiri dari satu unit dan didirikan untuk membantu
keperluan nelayan. Koperasi yang terdiri dari dua unit, yang salah satu fungsinya
adalah menyelenggarakan lelang. Pos polisi KP3 yang terdiri atas satu unit yang
berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban di Muara Angke. Bank DKI terdiri
dari satu unit yang ikut membantu dalam kegiatan perikanan di Muara Angke.
Tersedia satu buah terminal bis yabg didirikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda)
DKI Jakarta. Keberadaan terminal bis di Muara Angke sangat membantu nelayan
yang ingin pulang ke daerahnya masing-masing. Kawasan Muara Angke juga
memiliki pasar inpres sebanyak satu unit untuk memenuhi kebutuhan nelayan.
Kawasan Muara Angke merupakan salah satu wilayah yang memiliki
prasarana penangkapan ikan terbesar di wilayah Indonesia bagian barat. Dalam
perkembangannya secara fungsional Muara Angke menjadi pelabuhan perikanan
55
yang sejajar dengan pelabuhan perikanan atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
lain yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Terdapat juga Pengolahan Hasil
Perikanan Tradisional yang cukup besar di Muara Angke yang digunakan untuk
pengolahan ikan asin, pengolahan ikan pindang, pengolahan terasi, pengolahan
kerupuk kulit pari, penyamakan kulit pari, dan pengolahan lembah ikan. Selain
itu juga terdapat tambak uji coba air payau, yang terdiri dari 26 unit tambak.
Pembuatan tambak ini ditujukan sebagai alternatif bagi para pengusaha untuk
mempelajari teknik budidaya ikan payau sehingga mereka dapat menjadikan
usaha tambak air payau sebagai alternatif mata pencaharian mereka.
Pemda DKI Jakarta membangun PPI Muara Angke dan fasilitasnya untuk
memberikan sarana dan prasarana bagi para investor dan pengusaha serta
menciptakan suasana yang kondusif bagi usaha perikanan. PPI Muara Angke
diresmikan penggunaannya pada tahun 1977. Pemda DKI Jakarta menjadikan PPI
Muara Angke sebagai salah satu sentra perikanan DKI Jakarta dan sekitarnya
(UPT PPI, 2006),
5.1.4 Keadaan Umum Perikanan
a. Produksi Perikanan Muara Angke
PPI Muara Angke memiliki potensi yang sangat besar dan perlu
dikembangkan untuk memajukan perikanan di wilayah DKI Jakarta. Ikan yang
didaratkan di PPI memenuhi syarat konsumsi ikan segar dan ikan olahan di DKI
Jakarta dan daerah sekitarnya. Selain itu ikan dari Muara Angke diperuntukkan
untuk kebutuhan eksport ke beberapa negara. Ikan yang didaratkan di Muara
Angke diantaranya adalah Bawal Hitam. Bawal Putih, Bloso, Bentrong, Cakalang,
Cucut, cumi-cumi, kakap merah, tembang, tenggiri, tongkol dan masih banyak
lagi.
Berdasarkan daerah produksinya, produksi perikanan di Muara Angke
meliputi dua daerah produksi. Pertama adalah daerah produksi ikan lokal, yaitu
produksi ikan yang dihasilkan dari hasil tangkapan oleh perorangan atau badan
usaha yang memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta dan
melakukan pelelangan ikan di TPI yang telah ditetapkan. Daerah produksi yang
kedua adalah daerah produksi ikan asal luar daerah yang merupakan produksi ikan
56
yang dihasilkan dari penangkapan atau budidaya perorangan atau badan usaha
yang pendistribusian produksi perikanannya memanfaatkan fasilitas yang dikelola
oleh Pemda DKI Jakarta. Tempat pelelangan ikan dalam satu hari melayani
sekitar 15 kapal dan ± 45 perahu yang mebongkar hasil tangkapannya. Produksi
hasil tangkapan nelayan tergantung pada faktor cuaca, musim dan jumlah kapal
yang membongkar hasil tangkapannya di TPI. Sebagai gambaran produksi ikan
yang masuk ke Muara Angke dalam satu hari rata-rata mencapai 100-125 ton
dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3. Jumlah Produksi, Nilai dan Retribusi TPI Muara Angke Tahun 2007
Bulan Produksi (kg) Nilai (Rp) Retribusi (Rp) Januari 1.170.380 3.429.286.850 171.464.343 Februari 647.924 2.653.119.710 132.655.986 Maret 760.773 2.797.538.425 139.876.921 April 940.965 3.106.228.760 155.311.438 Mei 879.984 3.032.077.645 151.603.882 Juni 641.562 2.600.956.145 130.047.807 Juli 580.151 2.562.577.510 128.128.876 Agustus 771.439 2.754.775.015 137.738.751 September 867.509 2.934.451.015 146.722.551 Oktober 631.039 2.468.718.500 123.435.925 November 755.567 2.935.084.165 146.754.208 Desember 660.652 3.066.775.665 153.338.783 Jumlah 9.307.945 34.341.589.405 1.717.079.471
Sumber: UPT Pengelola PPI Muara Angke
Nilai produksi perikanan di Muara Angke bila dilihat berdasarkan jumlah
tangkapan yang diperoleh disajikan pada tabel 3 yang menginformasikan bahwa
jumlah produksi yang paling sedikit terjadi pada bulan Juli dengan jumlah hasil
tangkap sebanyak 580151 kilogram ikan, namun nilai tangkapan yang paling
sedikit terjadi pada bulan Oktober dengan nilai tangkapan sebesar Rp
2.468.718.500,00. Dari hasil tersebut terlihat bahwa terjadi perbedaan waktu
antara jumlah produksi terendah dan nilai terendah, hal ini terjadi dikarenakan
adanya perbedaan nilai antara jenis ikan satu dengan jenis ikan yang lainnya
sehingga dapat dikatakan bahwa ikan-ikan yang tertangkap pada bulan Oktober
memiliki nilai yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan-ikan yang
57
tertangkap pada bulan Juli. Sedangkan jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi
pada bulan Januari dengan jumlah produksi sebanyak 1170380 kilogram ikan,
nilai tangkapan tertinggi juga terjadi pada bulan Januari dengan nilai tangkapan
sebesar Rp 3.429.286.850,00. Pada Bulan Januari didapatkan nilai produksi yang
sanagt tinggi, jauh diatas nilai produksi pada bulan-bulan yang lain. Sehingga
walaupun ikan-ikan yang didapat pada Bulan Januari memiliki nilai jual yang
relatif rendah dibandingkan dengan nilai jual ikan-ikan yang ditangkap pada
bulan-bulan yang lain, tetapi dengan nilai produksi yang jauh lebih besar
dibandingkan bulan-bulan yang lain maka Bulan Januari akan tetap menjadi
periode produksi dengan nilai produksi tertinggi.
Ikan-ikan yang masuk ke TPI Muara Angke tidak hanya ikan yang berasal
dari daerah penangkapan di sekitar Muara Angke saja, namun terdapat pula ikan-
ikan yang dihasilkan di daerah penangkapan di luar Provinsi DKI Jakarta dan
didaratkan di TPI Muara Angke. Selain ikan-ikan yang didaratkan di Muara
Angke, ikan-ikan yang masuk ke TPI Muara Angke adalah ikan-ikan yang
ditangkap dan didaratkan di daerah lain dan dikirim melalui jalur darat ke TPI
Muara Angke. Persentase banyaknya ikan yang didaratkan di Muara Angke dan
banyaknya ikan yang ditangkap dan didaratkan di daerah lain lalu dikirim ke TPI
Muara Angke dapat dilihat pada tabel 4.
Daerah penangkapan yang menghasilkan pasokan paling besar bagi TPI
Muara Angke adalah daerah Selat Karimata dengan persentase 13,41 %.
Meskipun Teluk Jakarta dan Karawang adalah daerah penangkapan yang paling
dekat dari TPI Muara Angke, namun daerah penangkapan ini merupakan daerah
penangkapan dengan hasil pasokan yang paling sedikit jika dibandingkan dengan
daerah penangkapan lainnya yaitu dengan hanya menyumbang jumlah pasokan
sebesar 0,75%. Daerah mengirim yang mengirimkan pasokan paling besar ke TPI
Muara Angke adalah daerah Surabaya dengan persentase pengiriman pasokan
sebesar 9,01% dan daerah pengirim yang mengirimkan pasokan ikan paling
sedikit ke Muara Angke adalah daerah Rengas Dengklok yang hanya
mengirimkan pasokan sebesar 0,11%.
58
Tabel 4. Gambaran Produksi Ikan yang Masuk Ke TPI Muara Angke Tahun 2007
No Daerah Penangkapan / Asal Ikan Persentase Hasil Tangkapan / Pasokan (%)
I DAERAH PENANGKAPAN 54,10 a. Perairan Bangka Belitung 8,65 b. Perairan Sumatra 10,35 c. Selat Karimata 13,41 d. Laut Jawa 11,60 e. Perairan Kalimantan Barat 5,65 f. Kepulauan Natuna 2,82 g. Teluk Jakarta dan Karawang 0,75 h. Karimun Jawa 1,41 II DAERAH PENGIRIM Atau PEMASOK 45,90 a. Tuban 1,71 b. Pekalongan 4,77 c. Tegal 3,67 d. Cilacap 0,59 e. Labuan 1,18 f. Bandung 6,73 g. Bogor 0,59 h. Lampung 2,08 i. Indramayu 8,79 j. Rengas Dengklok 0,11 k. Serang 0,14 l. Ciasem 0,48 m. Pemalang 0,42 n. Surabaya 9,01 o. Rembang 1,24 p. Juwana 0,25 q. Binuangan 2,26 r. Eretan 1,47 s. Losari 0,35
Sumber: UPT Pengelola PPI Muara Angke
Selain perdagangan ikan segar, di Muara Angke juga terkenal dengan
pengolahan ikan asinnya. Terdapat satu kawasan pemukiman di kawasan Muara
Angke yang memproduksi ikan asin. Kawasan ini dikenal dengan nama daerah
pengasinan atau PHPT. Muara Angke juga merupakan salah satu daerah
penghasil dan pengupas kerang hijau. Hasil perikanan yang juga banyak terdapat
59
di Muara Angke adalah otak-otak ikan. Penjual otak-otak ikan banyak ditemukan
sepanjang jalan di depan kios ikan bakar Pujaseri Masmurni.
b. Musim dan Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan bagi nelayan-nelayan yang beroperasi di kawasan
Muara Angke adalah Teluk Jakarta, Kepulauan Seribu, daerah Karawang,
Tangerang, dan Perairan Banten. Bagi kapal-kapal besar diatas 10 GT operasi
penangkapan sampai ke wilayah Sumatera Selatan, Bangka, Belitung,
Kalimantan, Massalembo (Sulawesi Selatan), Lampung, Perairang Karimun Jawa
dan sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa.
Kegiatan melaut di Muara Angke juga dipengaruhi oleh musim barat dan
musim timur. Pada musim barat, nelayan biasanya hanya mendapatkan hasil
tangkapan yang sedikit, sedangkan pada musim timur nelayan biasanya
mendapatkan hasil tangkapan yang relatif banyak. Di kawasan Muara Angke,
musim timur terjadi antara bulan Oktober sampai bulan April, sedangkan musim
barat terjadi antara bulan Mei sampai September.
c. Jenis Alat Tangkap dan Kapal
Alat tangkap yang digunakan di Muara Angke cukup bervariasi. Alt-alat
tangkap yang digunakan nelayan di PPI diantaranya adalah purse seine, gillnet,
jaring cumi, dan bubu. Alat tangkap bubu merupakan alat tangkap yang
penggunaannya pada tahun 2007 cukup dominan dibandingkan dengan alat
tangkap lainnya, yaitu berjumlah 127 unit. Alat tangkap yang menghasilkan
produksi terbesar pada tahun 2007 adalah Gillnet, dan alat tangkap yang
menghasilkan jumlah produksi ikan terbesar ke dua adalah purse seine.
Total jumlah kapal yang tambat labuh di Muara Angke pada tahun 2007
adalah 4.467 kapal yang terdiri dari 3.386 kapal yang memiliki berat kurang dari
30 GT dan 1.081 kapal lebih dari 30 GT. Selainkapal penangkap ikan, terdapat
pula beberapa kapal angkutan penumpang yang tambat labuh di PPI Muara Angke
pada tahun 2007 yaitu sebanyak 1.572 kapal.
60
5.2 Karakteristik Keluarga Nelayan
5.2.1 Umur Kepala Keluarga
Umur merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas
seseorang. Semakin tinggi umur seseorang maka produktivitasnya semakin
menurun dan akan menyebabkan menurunnya penghasilan yang diperoleh. Umur
masyarakat nelayan akan mempengaruhi kemampuan fisik untuk bekerja dalam
mengelola sumberdaya perikanan.
Dari 40 kepala keluarga yang menjadi responden, umur kepala keluarga
berkisar antara 30 – 51 tahun dengan rata-rata 40,5 tahun (Tabel 5). Keseluruhan
kepala keluarga responden termasuk kedalam usia produktif. Usia produktif yaitu
masa dimana seseorang aktif bekerja sebelum masa pensiun dan termasuk usia
yang mempunyai produktivitas tinggi dalam menghasilkan pendapatan keluarga.
Umur ibu yang menjadi responden dalam penelitian ini berkisar antara 24 – 47
tahun dengan rata-rata adalah 34,5 tahun (Tabel 5). Adanya perbedaan jarak yang
jauh antara umur ayah dan ibu terlihat jelas dari 40 responden. Partisipasi yang
rendah dalam pendidikan formal di jenjang yang lebih tinggi diduga menjadi
penyebab tingginya persentase penduduk wanita yang melakukan perkawinan
pertama di bawah usia 25 tahun (BPS, 2007).
Tabel 5. Gambaran Umum Umur Ayah dan Ibu
Keterangan Umur Ayah Umur Ibu Usia Maksimal 51 47Usia Minimal 30 24Usia Rata-Rata 40,5 34,6
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Pada umumnya masyarakat nelayan yang berumur muda dan sehat
memiliki kemampuan fisik yang lebih besar, cepat menerima hal-hal baru yang
dianjurlan dan berjiwa dinamis. Ini disebabkan karena nelayan muda lebih berani
mengambil resiko, dan biasanya kurang berpengalaman. Di lain pihak, nelayan
yang berumur tua mempunyai kapasitas pengelolaan cabang perikanan yang lebih
baik dan matang serta memiliki banyak pengalaman.
61
Tabel 6. Sebaran Contoh Menurut Umur Kepala Keluarga dan Ibu Ayah Ibu Umur Ayah
(Tahun) n (Jiwa)
Persentase (%) n (Jiwa)
Persentase (%)
24 - 27 0 0,00 2 5,00 28 - 31 2 5,00 7 17,50 32 - 35 4 10,00 17 42,50 36 - 39 10 25,00 7 17,50 40 - 43 12 30,00 5 12,50 44 - 47 8 20,00 2 5,00 48 - 51 4 10,00 0 0,00
Total 40 100,00 40 100,00 Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Kekhawatiran bahwa wanita akan mengalami kesulitan dalam memperoleh
jodoh dan mengalami kesulitan saat melahirkan mendorong wanita untuk kawin
lebih dini ketimbang pria (BPS, 2007). Faktor ekonomi dan sosial budaya juga
diduga menjadi penyebab wanita melakukan perkawinan di bawah usia 25 tahun.
Kesulitan ekonomi juga cenderung mendorong orang tua mendesak anak
wanitanya agar lebih cepat menikah sehingga mengurangi beban ekonomi
keluarga. Berkeluarga berarti tanggung jawab terhadap kehidupan anak wanita
tersebut beralih kepada suaminya.
5.2.2 Pendidikan Orang Tua (Nelayan)
Pada penelitian ini tingkat pendidikan orang tua responden tergolong
masih rendah karena banyaknya orang tua responden yang hanya tamat sekolah
dasar (SD) sejumlah 41 orang yaitu 20 orang kepala keluarga (50,00%) dan 21
orang ibu (52,50%), bahkan terdapat beberapa responden yang tidak pernah
mengecap pendidikan formal sejumlah 5 orang yaitu dua orang kepala keluarga
(5,00%) dan 3 orang ibu (7,50%). Responden yang menamatkan pendidikan
hingga jenjang sekolah menengah pertama sebanyak 8 orang yaitu sejumlah 5
orang kepala keluarga (12,50%) dan 3 orang ibu (7,50%). Responden yang
menamatkan pendidikan hingga tingkat sekolah menengah atas sebanyak 12 orang
yaitu sebanyak 7 orang kepala keluarga (17,50%) dan 5 orang ibu (12,50%).
Responden yang melanjutkan pendidikan hingga tingkat akademi adalah sebanyak
62
2 orang yaitu sejumlah 1 orang untuk kepala keluarga (2,50%) dan 1 orang ibu
(2,50%).
Tabel 7. Sebaran Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Ibu yang Menjadi Responden
Kepala Keluarga Ibu Jumlah Jenjang Pendidikan
Formal Orangtua
n (jiwa)
Persentase (%)
n (jiwa)
Persentase (%)
n (jiwa)
Persentase (%)
Tidak Sekolah 2 5,00 3 7,50 5 6,25Tidak Tamat SD 5 12,50 5 12,50 10 12,50Tamat SD 20 50,00 21 52,50 41 51,25Tidak Tamat SMP 0 0,00 2 5,00 2 2,50Tamat SMP 5 12,50 3 7,50 8 10,00Tidak Tamat SMA 0 0,00 0 0,00 0 0,00Tamat SMA 7 17,50 5 12,50 12 15,00Akademi 1 2,50 1 2,50 2 2,50Total 40 100,00 40 100,00 80 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Adanya anggapan yang berkembang di kalangan nelayan bahwa anak laki-
laki setelah tamat sekolah dasar harus melaut dan anak perempuan tidak perlu
sekolah karena anak perempuan hanya perlu mengurus pekerjaan rumah tangga
saja, seperti yang dinyatakan oleh Kusnadi (2001) bahwa ada tiga peranan utama
sekaligus yang dilakukan oleh perempuan, yaitu sebagai pengasuh anak,
seseorang yang menyediakan makanan, dan jika wanita ikut bekerja maka
peranannya bertambah sebagai sumber ekonomi. Hal ini ditegaskan oleh data
pada tabel 8 dimana 75% ibu, tidak menyelesaikan pendidikannya di jenjang
pendidikan dasar.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas
manusia. Tingginya tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada jenis
pekerjaannya yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga.
Pada akhirnya hal ini juga akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan
dalam keluarga. Pendidikan orang tua yang rendah akan menyebabkan aspirasi
terhadap masa depan anak-anaknya kurang berkembang. Semakin tinggi
63
pengetahuan orang tua maka akan semakin banyak pula pengetahuan orang tua
yang akan ditularkan kepada anaknya. Tingkat pendidikan orang tua dapat
mempengaruhi usaha meningkatkan prestasi belajar anak.
5.2.3 Status Pekerjaan Orang Tua
Responden nelayan yang merupakan nelayan juragan adalah tujuh kepala
keluarga dan nelayan buruh adalah sebanyak 33 kepala keluarga. Sedikitnya
jumlah nelayan juragan atau pemilik yang menjadi responden dikarenakan
sebagian besar nelayan yang tinggal di Kampung Baru Muara Angke adalah
nelayan buruh. Responden yang menjadi nelayan juragan atau nelayan pemilik
pun hanya merupakan nelayan juragan atau pemilik yang memiliki kapal kecil
atau kapal dengan kekuatan mesin yang tidak terlalu besar.
Nelayan di Muara Angke yang menjadi nelayan juragan atau pemilik rata-
rata merupakan nelayan juragan atau pemilik dari luar daerah atau nelayan yang
tidak berdomisili di Muara Angke. Nelayan yang menjadi juragan atau pemilik
terdapat juga orang asing (WNA) yang memiliki kapal dan memperkerjakan
nelayan Muara Angke. Selain itu terdapat nelayan Muara Angke yang tidak lagi
menjadi nelayan juragan atau pemilik karena tidak lagi memiliki modal untuk
biaya operasional melaut. Kenaikan harga solar dan bahan kebutuhan lainnya
merupakan salah satu penyebab berkurangnya nelayan juragan atau pemilik di
Muara Angke.
Sebagian besar dari kepala keluarga responden tidak memiliki pekerjaan
tambahan. Sebanyak 27 kepala keluarga (67,50%) tidak memiliki pekerjaan
tambahan ( Tabel 8), yaitu empat orang kepala keluarga (57,14%) yang berasal
dari kelompok juragan atau pemilik dan 23 (69,70%) orang kepala keluarga yang
berasal dari kelompok buruh. Sebagaimana dikemukakan oleh Kasmin (1985)
dalam Kusnadi (2000), sebagian besar nelayan yang tidak memiliki pekerjaan
sambilan, padahal waktu yang tersedia untuk melakukan pekerjaan lain selain
mencari ikan sangat banyak. Rendahnya tingkat penghasilan mereka disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Keterampilan nelayan terbatas sehingga mereka menghadapi kesulitan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan lain.
64
2. Sistem kredit yang berlaku antara nelayan pemilik dan nelayan buruh, dan
antara pedagang perantara dan nelayan pemilik telah memperlemah daya
kreatif dan inisiatif mereka. Nelayan beranggapan, walaupun tidak turun ke
laut mereka masih mendapat pinjaman dari nelayan pemilik.
3. Tujuan hidup nelayan tampaknya sangat sederhana sehingga mereka cepat
memperoleh kepuasan, bahkan banyak di antara mereka yang merasa sudah
puas apabila sudah dapat memenuhi kebutuhan primer dalam batas yang
minimum sekalipun.
Tabel 8. Sebaran Pekerjaan Tambahan Kepala Keluarga Responden Menurut Status Nelayan
Juragan Buruh Total Pekerjaan Tambahan Kepala
Keluarga n
(jiwa) Persen-tase (%)
n (jiwa)
Persen-tase (%)
n (jiwa)
Persen-tase (%)
Tidak memiliki pekerjaan tambahan 4 57,14 23 69,70 27 67,50Pedagang 2 28,57 3 9,09 5 12,50Buruh 1 14,29 5 15,15 6 15,00Tukang Becak 0 0,00 2 6,06 2 5,00
Total 7 100,00 33 100,00 40 100,00Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Rata-rata pekerjaan utama istri nelayan Muara Angke yang menjadi
responden adalah sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 23 orang (57,50%).
Namun ada beberapa ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan selain sebagai
ibu rumah tangga. Pekerjaan sebagai pedagang dilakukan oleh lima orang ibu
rumah tangga (12,50%), tiga orang ibu rumah tangga (7,50%) menjadi buruh
belah ikan, delapan orang ibu rumah tangga (20,00%) menjadi buruh cuci dan
setrika baju di pemukiman sekitar Muara Angke, serta terdapat satu orang ibu
rumah tangga (2,50%) yang menjadi pencari kerang hijau. Beberapa ibu rumah
tangga lain ikut menjadi buruh belah ikan apabila musim panen tiba. Beberapa
wanita yang merupakan istri nelayan ini memilih untuk bekerja dikarenakan
penghasilan terkadang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka pun
melakukan pekerjaan ini sebagai salah satu bentuk antisipasi ketika suami mereka
memasuki masa paceklik ikan.
65
Tabel 9. Sebaran Ibu Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jumlah Responden Ibu Jenis Pekerjaan n (jiwa) Persentase (%)
Ibu Rumah Tangga 23 57,50 Pedagang 5 12,50 Buruh Belah Ikan 3 7,50 Buruh Cuci Setrika Baju 8 20,00 Pencari Kerang Hijau 1 2,50 Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
5.2.4 Besar Keluarga
Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu
rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena
perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Besar keluarga dilihat dari
jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu pengelolaan sumberdaya
keluarga. Keluarga dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu keluarga inti (nuclear
family)dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti (nuclear family) yaitu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak kandung, anak angkat maupun
adopsi yang belum kawin, atau ayah dengan anak-anak yang belum kawin atau
ibu dengan anak-anak yang belum kawin. Keluarga luas (extended family) yaitu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu anak-anak baik yang sudah kawin atau belum,
cucu, orang tua, mertua maupun kerabat-kerabat lain yang menjadi tanggungan
kepala keluarga (Data Statistik Indonesia, 2007).
Keluarga nelayan di Muara Angke yang menjadi responden sebagian besar
termasuk tipe keluarga inti, kalaupun ada anggota keluarga lain yang tinggal di
rumah mereka sifatnya hanya menetap sementara. Keluarga yang menjadi
responden sebagian besar memiliki anggota keluarga lebih dari empat orang yaitu
sebanyak 22 kepala keluarga (55,00%). Keluarga yang memiliki anggota
keluarga sebanyak empat orang yaitu sebanyak 12 keluarga (30,00%), dan jumlah
keluarga dengan anggota keluarga kurang dari empat orang adalah sebanyak enam
kepala keluarga (15,00 persen). Apabila jumlah tanggungan keluarga ini
dikelompokkan berdasarkan kriteria Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN 2001) yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤
66
4 orang dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang, maka
sebagian besar keluarga responden merupakan keluarga kecil yaitu sebanyak 18
keluarga (45,00%) dan sebanyak 22 keluarga (55,00%) termasuk dalam kategori
keluarga besar (Tabel 11).
Tabel 10. Sebaran Keluarga Nelayan Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga
Total Jumlah Tanggungan Keluarga n (jiwa) Persentase (%)
Keluarga Kecil ( ≤ 4 orang) 18 45,00 Keluarga Besar (>4 orang) 22 55,00 Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Banyaknya jumlah tanggungan keluarga responden yang berjumlah lebih
dari empat orang memperlihatkan bahwa program Keluarga Berencana (KB) di
wilayah Muara Angke belum menunjukkan hasil yang baik karena target dari
program KB adalah setiap keluarga cukup memiliki dua orang anak saja. Semakin
besar tanggungan keluarga menyebabkan pendapatan perkapita keluarga semakin
kecil. Jumlah anak yang diinginkan dapat dijadikan dasar untuk melihat
pandangan suatu masyarakat terhadap anak.
5.2.5 Pendapatan Keluarga
Pendapatan total keluarga diperoleh dari pendapatan ayah, ibu, dan anak
yang sudah bekerja serta pendapatan anggota keluarga lain uang ikut
menyumbang. Besarnya pendapatan dinyatakan dalam rupiah per bulan.
Pendapatan total keluarga nelayan responden yang dikemukakan dalam penelitian
ini didapat jumlah pendapatan total keluarga selama satu bulan terakhir sebelum
penelitian dilaksanakan. Berdasarkan data yang didapat, pendapatan total keluarga
nelayan berkisar antara Rp 450.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00 perbulan
dengan rata-rata Rp 1.137.375,00. Pendapatan terbesar didapat dari pendapatan
per bulan ayah.
67
Tabel 11. Hasil Analisis Pendapatan Keluarga
Keterangan Y
(Rp/Bulan)Y1
(Rp/Bulan)Y2
(Rp/Bulan)Y3
(Rp/Bulan) Pendapatan Maksimal 3.000.000 3000.000 600.000 250.000 Pendapatan Minimal 450.000 450.000 120.000 70.000 Pendapatan Rata-Rata 1.137.375 1.137.375 260.294 151.235
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Keterangan: Y = Pendapatan total keluarga (Rp per bulan)
Y1 = Pendapatan ayah ( Rp per bulan)
Y2 = Pendapatan ibu (Rp per bulan)
Y3 = Pendapatan anggota keluarga lain (Rp per bulan)
Pendapatan total keluarga nelayan buruh (ABK) di kawasan Muara Angke
yang menjadi responden berkisar antara Rp 450.000,00 hingga Rp 1.929.000,00
per bulan. Pendapatan rata-rata nelayan buruh (ABK) adalah sebesar Rp
1.020.000,00 dengan mayoritas buruh berpenghasilan antara Rp 820.000,00
hingga Rp 1.189.000,00 dengan jumlah nelayan buruh yang memiliki penghasilan
pada rentang penghasilan tersebut adalah sebanyak empat belas orang (42,42%).
Hanya terdapat dua orang nelayan buruh (6,06%) yang memiliki penghasilan
antara Rp 1.560.000,00 hingga Rp 1.189.000,00.
Untuk mengukur cukup atau tidaknya pendapatan yang diperoleh nelayan
buruh tersebut untuk mencukupi kehidupan digunakan Upah Minimum Regional.
Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh
para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai,
karyawan, atau buruh di lingkungan usaha atau kerjanya, selain Upah Minimum
Regional ada pula Upah Minimum Propinsi yang ruang lingkupanya biasanya
hanya meliputi suatu propinsi. UMR dan UMP dihitung berdasarkan nilai
kebutuhan hidup layak (Wikipedia, 2008). Pemerintah propinsi DKI Jakarta
menetapkan Upah Minimum Propinsi untuk DKI Jakarta pada tahun 2008 sebesar
Rp 972.604,00 yang telah mengalami kenaikan sebesar delapan persen dari UMP
tahun sebelumnya yang sebesar Rp 900.555,00. Namun nilai UMP DKI Jakarta
berbeda dengan nilai KHL (Kebutuhan Hidup Layak) DKI Jakarta. Kebutuhan
Hidup Layak adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau
buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik, dan sosial untuk
kebutuhan selama satu bulan. KHL DKI Jakarta adalah senilai Rp 1.055.000,00
68
(Tempointeraktif, 2008). Berdasarkan UMP DKI Jakarta maka masih terdapat
sembilan belas orang nelayan buruh yang berpenghasilan di bawah UMP DKI
Jakarta dan jika menggunakan KHL maka masih terdapat 23 nelayan buruh
responden yang memiliki penghasilan dibawah nilai KHL DKI Jakarta.
Pendapatan yang kecil tersebut dikarenakan seluruh nelayan buruh yang
menjadi responden merupakan nelayan buruh yang bekerja pada kapal-kapal
kecil. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, seluruh anggota keluarga nelayan
bahu-membahu mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Beberapa istri nelayan buruh tersebut turut bekerja mencari nafkah dan terdapat
pula beberapa anak dari keluarga buruh nelayan yang ikut bekerja. Anak-anak
yang ikut bekerja tersebut ada yang tetap melanjutkan sekolahnya, namun ada
juga beberapa anak yang setelah bekerja memutuskan untuk keluar dari sekolah.
Tabel 12. Sebaran Pendapatan Total Perbulan Berdasarkan Status Nelayan Juragan Buruh Total
Pendapatan Total Perbulan (Rupiah) n
(jiwa)
Persen-tase (%)
n (jiwa)
Persen-tase (%)
n (jiwa)
Persen-tase (%)
450.000 - 819.000 0 0,00 9 27,27 9 22,50820.000 - 1.189.000 1 14,29 14 42,42 15 37,50
1.190.000 - 1.559.000 0 0,00 8 24,24 8 20,001.560.000 - 1.929.000 5 71,43 2 6,06 7 17,501.930.000 - 2.299.000 0 0,00 0 0,00 0 0,002.300.000 - 2.669.000 0 0,00 0 0,00 0 0,002.670.000 - 3.039.000 1 14,29 0 0,00 1 2,50Total 7 100,00 33 100,00 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Untuk kelompok nelayan pemilik yang menjadi responden, pendapatan
total keluarga berkisar antara Rp 820.000,00 hingga Rp 3.000.000,00 per bulan
dengan mayoritas nelayan pemilik memiliki penghasilan antara Rp 1.560.000,00
hingga Rp 1.929.000,00 yaitu sebanyak lima keluarga nelayan pemilik (71,43
persen), satu keluarga nelayan pemilik memiliki penghasilan antara Rp
820.000,00 hingga Rp 1.189.000,00 per bulan dan terdapat satu keluarga nelayan
pemilik yang memiliki penghasilan antara Rp 2.670.000,00 hingga Rp
3.039.000,00 per bulan. Terdapat satu orang nelayan pemilik yang mendapatkan
penghasilan di bawah UMR dan KHL. Jika menggunakan indikator kemisikinan
69
yang digunakan World Bank yaitu pengukuran tingkat kemiskinan dengan
menggunakan pendapatan perkapita. Sebuah keluarga disebut miskin jika
memiliki pendapatan perkapita kurang dari $2 atau sebesar kurang lebih Rp
20.000,00 pada bulan Agustus 2008 , dan keseluruhan nelayan responden dalam
penelitian ini tergolong ke dalam keluarga muskin karena memiliki pendapatan
perkapita kurang dari $2 sehari.
Mayoritas nelayan pemilik yang menjadi responden menggunakan armada
penangkapan ikan yang berukuran kecil dengan peralatan tangkap yang masih
sederhana. Kondisi tersebut menyebabkan terbatasnya daerah penangkapan ikan
sehingga mereka hanya mampu beroperasi dan hanya berkonsentrasi di daerah
sekitar penangkapan yang biasa mereka datangi tanpa mampu melebarkan daerah
penangkapan untuk meningkatkan produksi. Semakin sederhana peralatan
produksi yang digunakan para nelayan maka semakin besar ketergantungannya
pada alam yaitu pada musim dan iklim.
5.2.6 Akses dan Penggunaan Media Massa
Media massa merupakan sebuah sarana yang cukup efektif untuk
menyebarkan informasi-informasi penting untuk masyarakat baik itu informasi
yang berkaitan dengan politik, budaya, sosial, hukum, dan tentu saja merupakan
sebuah sarana yang cukup penting untuk menyebarkan informasi mengenai
pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian Aryani (2007) yang
menyebutkan bahwa jumlah nelayan yang mendapatkan informasi mengenai
Bantuan Operasional Pendidikan dari media massa sebanyak 59,67 persen dari
jumlah responden sebanyak 94 orang.
Tidak semua masyarakat atau nelayan pada khususnya mempergunakan
media massa untuk mendapatkan informasi kejadian sehari-hari baik yang terjadi
di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan ada nelayan yang tidak memiliki
televisi maupun radio sehingga mereka mendapatkan berita dari pembicaraan
antar tetangga saja. Pada umumnya nelayan hanya memiliki televisi saja dan
kebanyakan dari mereka tidak berlangganan koran atau tidak pernah membaca
surat kabar (Gambar 2).
70
Tabel 13. Kepemilikan Media Massa Responden Total Kepemilikan Media Massa n (jiwa) Persentase (%)
> 1 media massa 13 32,501 media massa 20 50,00tidak memiliki 7 17,50Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Sebanyak setengah dari jumlah responden memiliki satu jenis media
massa. Responden yang memiliki media massa lebih dari satu jenis berjumlah
sebanyak tiga belas orang, dan sebanyak tujuh orang responden tidak memiliki
jenis media massa apapun. Beberapa responden yang tidak memiliki jenis media
massa menyatakan bahwa mereka belum mampu membeli kembali media massa
jenis apapun setelah kebakaran pada tahun 2007 menghabiskan harta benda yang
mereka miliki.
koran, tv, dan radio
5%tv dan koran
3%tv dan radio
24%
radio3%
tv47%
tidak memiliki
18%
Gambar 2. Sebaran jenis media massa yang dimiliki oleh nelayan responden
Jenis media massa yang paling banyak dimiliki oleh responden adalah
televisi, baik itu oleh responden yang hanya memiliki satu jenis media massa
maupun responden yang memiliki lebih dari satu media massa. Mayoritas
responden memilih televisi karena selain sebagai sarana informasi televisi juga
merupakan sarana hiburan murah bagi keluarga.
Saat ini informasi mengenai dunia pendidikan sudah banyak ditampilkan
di media massa, seperti iklan BOS yang gencar ditayangkan ditelevisi dengan
dibintangi oleh Dik Doank, Reza, dan Sakurta Ginting serta adanya sosialisasi
71
mengenai home schooling yang dilakukan oleh Kak Seto dan beberapa praktisi
home schooling yang dilakukan melalui talkshow yang ditayangkan di beberapa
stasiun televisi swasta bahkan beberapa tabloid juga turut mengangkat topik
mengenai pendidikan alternatif dalam artikel-artikel mereka.
5.3 Sebaran Tingkat Pendidikan Anak Nelayan di Muara Angke
Sebaran tingkat pendidikan tertinggi anak keluarga nelayan di Muara
Angke cukup menyebar mulai dari belum tamat sekolah dasar hingga sudah tamat
perguruan tinggi. Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai
Sistem Pendidikan Nasional pasal 17, pendidikan dasar adalah pendidikan pada
tingkat Sekolah Dasar madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat
serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat. Pasal 18 dari UU tersebut menyebutkan bahwa
pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah
(MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat dan pasal 19 menyebutkan bahwa pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.
Tabel 14. Sebaran Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak Keluarga Responden Jumlah Tingkat Pendidikan n (jiwa) Persentase (%)
Belum Tamat Sekolah Dasar 4 10,00 Tamat Sekolah Dasar 9 22,50 Belum Tamat SMP 4 10,00 Tamat SMP 9 22,50 Belum Tamat SMA 5 12,50 Tamat SMA 5 12,50 Belum Tamat Perguruan Tinggi 2 5,00 Tamat Perguruan Tinggi 2 5,00 Jumlah 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Tabel 14 menginformasikan bahwa sebanyak tujuh belas keluarga
(42,50%) memiliki anak dengan pendidikan tertinggi belum menyelesaikan
pendidikan dasar sembilan tahun, dengan empat orang anak (10%) belum tamat
72
sekolah dasar, sembilan orang (22,50%) sudah tamat sekolah dasar, dan empat
orang (10,00%) belum menyelesaikan pendidikannya di sekolah lanjutan tingkat
pertama. Sebanyak sembilan keluarga (22,50%) memiliki anak dengan
pendidikan tertinggi sudah menyelesaikan pendidikan dasarnya hingga lulus
sekolah lanjutan tingkat pertama, namun mereka belum melanjutkan pendidikan
ke jenjang selanjutnya. Sebanyak lima keluarga (12,50%) memiliki anak dengan
tingkat pendidikan tertinggi belum menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah
menengah atas, jumlah tersebut sama dengan jumlah keluarga dengan pendidikan
tertinggi anak sudah menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah menengah atas.
Terdapat empat keluarga yang memiliki anak dengan pendidikan tertinggi di
tingkat perguruan tinggi, yaitu sebanyak dua orang (5,00%) belum menyelesaikan
pendidikan di perguruan tinggi dan dua orang (5,00%) sudah menyelesaikan
pendidikannya di perguruan tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 65 % keluarga nelayan
responden yang hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga menempuh
pendidikan dasar tanpa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, 25% keluarga
mampu menyekolahkan anaknya hingga menempuh pendidikan menengah, dan
hanya 10% keluarga yang mampu menyekolahkan anak hingga menempuh tingkat
pendidikan tinggi.
5.4 Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Aksesibilitas dan Keberlanjutan Pendidikan Anak Nelayan
Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan aksesibilitas dan
keberlanjutan pendidikan anak nelayan diuji dengan menggunakan analisis regresi
linear berganda yang menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Y = 6,9350 + 0,0015 X1 - 0,0338 X2 + 0,0828 X3 + 0,0134 X4 - 0,4269 X5
+ 0,5365 X6 + 0,1292 D1i - 0,2616 D2i
Keterangan: Y = Keberlanjutan pendidikan anak nelayan (tahun)
a = Konstanta
X1 = Umur kepala keluarga (tahun)
X2 = Lama sekolah kepala keluarga (tahun)
X3 = Usia ibu (tahun)
X4 = Lama sekolah ibu (tahun)
73
X5 = Jumlah tanggungan (jiwa)
X6 = Pendapatan (Rupiah/bulan)
D1i = Status usaha, i = 1 untuk nelayan pemilik
i = 0 untuk nelayan pandega
D2i = Jenis kelamin anak , i = 1 untuk anak laki-laki
i = 0 untuk anak perempuan
Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Pengaruh Faktor –Faktor yang Berhubungan dengan Aksesibilitas dan Keberlanjutan Pendidikan Anak Nelayan
Peubah Koefisien Regresi Standar Error t hitung
Konstanta 6,9350 2,7933 2,4827 umur KK 0,0015 0,0823 0,0183 lama sekolah KK -0,0338 0,1057 -0,3195 umur ibu 0,0828 0,0870 0,9518 lama sekolah ibu 0,0134 0,1054 0,1267 jml tanggungan -0,4269* 0,3286 -4,3419 Pendapatan 0,5365* 0,7824 6,8563 status usaha 0,1292 0,8970 -0,1441 jk anak -0,2616 0,7550 -0,3464
Keterangan: * = t hitung > t table, hipotesis nol ditolak P value < 5%, hipotesis nol ditolak Koefisien korelasi 0,8389 Koefisien determinasi disesuaikan 0,6273 Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Nilai koefisien korelasi antara pendapatan, usia kepala keluarga, jumlah
tanggungan, lama sekolah kepala keluarga, jenis kelamin anak, dan status usaha
kepala keluarga dengan keberlanjutan pendidikan anak nelayan adalah sebesar
0,8389. Nilai korelasi sebesar ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang
erat antara keberlanjutan pendidikan anak nelayan dengan faktor-faktor yang
telah disebutkan sebelumnya.
Hasil output memperlihatkan bahwa nilai koefisien determinasi yang
disesuaikan adalah sebesar 0,6273. Untuk menilai seberapa besar variasi dari
keberlanjutan pendidikan anak yang bisa dijelaskan oleh perubahan satu variasi
dari nilai faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak
nelayan digunakan nilai koefisien determinasi yang disesuaikan, karena
memberikan nilai yang telah disesuaikan dengan jumlah variabel independen.
74
Hasil koefisien determinasi yang telah disesuaikan menunjukan nilai sebesar
0,6273 yang berarti 62,73% perubahan atau variasi keberlanjutan pendidikan anak
nelayan bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi faktor-faktor yang telah
disebutkan sebelumnya yaitu pendapatan, usia kepala keluarga, jumlah
tanggungan, lama sekolah kepala keluarga, jenis kelamin anak, dan status usaha
kepala keluarga. Sedangkan 37,27% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diterangkan dalam model penelitian ini.
(a) Usia Kepala Keluarga dan Ibu
Hasil analisis regresi linear berganda untuk faktor umur kepala keluarga
memiliki nilai koefisien positif, artinya semakin tua usia kepala keluarga
menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pendidikan anak akan semakin tinggi.
Setiap terjadi peningkatan usia kepala keluarga sebesar satu tahun maka akan
terjadi peningkatan keberlanjutan pendidikan anak nelayan sebesar 0,0015 tahun.
Nilai thitung faktor usia kepala keluarga (X1) sebesar 0,265 sedangkan nilai ttabel
sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebut dapat dinyatakan bahwa
hipotesis nol diterima. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa faktor usia
kepala keluarga (X1) tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan
pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.
Hasil analisis regresi linear berganda untuk faktor umur ibu memiliki nilai
koefisien positif, artinya semakin tua usia ibu menunjukkan bahwa tingkat
keberlanjutan pendidikan anak akan semakin tinggi. Setiap terjadi peningkatan
usia ibu sebesar satu tahun maka akan terjadi peningkatan keberlanjutan
pendidikan anak nelayan sebesar 0,0828 tahun. Nilai thitung faktor usia ibu (X3)
sebesar 0,9518 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645 Dari nilai thitung dan tersebut
dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara statistik dapat disimpulkan
bahwa faktor usia ibu (X3) tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan
pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.
Variabel usia kepala keluarga dan umur ibu menurut analisis secara
kuantitatif tidak memiliki pengaruh yang signifikan Menurut Subrata (1986)
diacu dalam Heryanto (1998) mengatakan bahwa usia dapat mempengaruhi cara
berpikir seseorang, persepsi seseorang terhadap sesuatu, serta mempengaruhi cara
75
menyikapi sesuatu yang menjadi objeknya. Siagian (1995) diacu dalam Heryanto
(1998) mengungkapkan bahwa selain berkaitan dengan tingkat kedewasaan
seseorang, usia juga memiliki kaitan dengan kedewasaan psikologis yang berarti
bahwa semakin lanjut usia seseorang diharapkan akan menunjukkan kematangan
jiwa (dalam arti semakin bijaksana), semakin mampu berpikir secara rasional dan
semakin mampu untuk mengendalikan emosi dan sifat-sifat lainnya yang
menunjukkan kematangan intelektual dalam sisi psikologis.
Dalam hal pendidikan anak, usia responden yang lebih muda memiliki
penilaian positif dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan golongan usia
tua. Responden pada golongan usia muda lebih cepat menerima, menyerap, dan
beradaptasi terhadap lingkungan baru termasuk dalam penyerapan informasi.
Nelayan responden di Muara Angke terbagi menjadi dua kelompok dengan
jumlah nelayan yang berbeda pada kedua kelompok tersebut kelompok, yaitu
sebanyak enam belas orang (40 persen) untuk kelompok usia muda yaitu
kelompok dengan usia responden kurang dari empat puluh tahun dan sebanyak 24
orang (60 persen) untuk kelompok usia tua dengan usia responden lebih dari
empat puluh tahun. Responden pada kelompok usia tua ingin terus
menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan
pada kebijaksanaan dan kematangan jiwa yang mereka miliki, serta pengalaman
hidup mereka yang memperlihatkan bahwa seseorang dengan pendidikan yang
lebih tinggi mampu mendapatkan penghidupan yang lebih layak dibandingkan
dengan mereka yang berpendidikan rendah. Responden pada kelompok usia
muda ingin terus menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi karena informasi yang mereka peroleh menyebutkan bahwa pendidikan
adalah hak anak dan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan
yang layak bagi anaknya. Pada kelompok usia muda selain memiliki persepsi
positif tentang pendidikan diikuti pula dengan memasukkan anaknya ke
pendidikan khusus dan mendorong anak-anaknya untuk memiliki keterampilan-
keterampilan lain yang diharapkan dapat berguna dan menjadi bekal anaknya di
masa yang akan datang.
76
(b) Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Ibu
Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor lama sekolah kepala
keluarga (X2) memiliki nilai koefisien negatif, artinya semakin tinggi tingkat
pendidikan kepala keluarga maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan
akan semakin rendah. Setiap terjadi penambahan lama pendidikan kepala
keluarga selama satu tahun maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan
akan berkurang sebanyak 0,3195 tahun. Nilai thitung faktor lama sekolah kepala
keluarga (X2) 0,297 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel
tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat
disimpulkan bahwa faktor lama sekolah kepala keluarga (X2) tidak berpengaruh
nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan
95%.
Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor lama sekolah ibu (X4)
memiliki nilai koefisien positif, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu
maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan semakin tinggi. Setiap
terjadi penambahan lama pendidikan ibu selama satu tahun maka tingkat
keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan bertambah sebanyak 0,0134 tahun.
Nilai thitung faktor lama sekolah ibu (X4) 0,1267 sedangkan nilai ttabel sebesar
1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol
diterima. Secara stastistik dapat disimpulkan bahwa faktor lama sekolah ibu (X4)
tidak berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada
selang kepercayaan 95%.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995) diacu dalam Heryanto (1998)
pendidikan secara langsung dan tidak langsung akan menentukan baik buruknya
pola komunikasi antara anggota keluarga dan imbas dari pendidikan orang tua
akan mempengaruhi persepsinya terhadap pentingnya atau tidaknya pendidikan.
Berdasarkan hasil uji statistik pada kasus keluarga nelayan responden di Muara
Angke, tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu yang diukur berdasarkan lama
sekolah kepala keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
keberlanjutan pendidikan anak.
Hal ini terjadi karena banyaknya responden yang hanya pernah mengecap
pendidikan di tingkat pendidikan dasar saja namun mereka memiliki kesadaran
77
akan pentingnya pendidikan bagi anak sebagai bekal untuk masa depan anak yang
ditunjukkan oleh perilaku responden yang menyekolahkan anak mereka ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilihat di tabel 16 dari
sebaran tingkat pendidikan anak pada keluarga nelayan responden di Muara
Angke.
Tabel 16 . Hubungan Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Anak Tingkat Pendidikan Anak Responden Jenjang
Pendidikan Formal
Orangtua
BT SD
Tamat SD
BT SMP
Tamat SMP
BT SMA
Tamat SMA
BT PT
Tamat PT
Tidak Sekolah 1 1 Tidak Tamat SD 2 1 1 1 Tamat SD 4 3 3 6 2 1 1 Tidak Tamat SMP Tamat SMP 2 1 1 1 Tidak Tamat SMA Tamat SMA 1 2 1 2 1 Akademi 1 Total 4 9 4 9 5 5 2 2
Keterangan: BT = Belum Tamat Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Tabel 16 memperlihatkan bahwa sebanyak empat belas belas orang anak
nelayan responden (35,00 persen) mendapatkan pendidikan tingkat menengah
(tamat sekolah menengah atas dan belum tamat sekolah menengah atas) hingga
pendidikan tinggi (tamat perguruan tinggi hingga belum tamat perguruan tinggi),
sebanyak sembilan orang (22,50 persen) diantaranya berasal dari keluarga nelayan
dengan kepala keluarga yang hanya pernah mengecap pendidikan dasar bahkan
terdapat satu orang anak yang berasal dari keluarga dengan kepala keluarga yang
tidak pernah merasakan pendidikan formal sama sekali.
Berdasarkan hasil penelitian Heryanto (1998) disebutkan bahwa
pengalaman pendidikan memberikan kontribusi yang besar terhadap partisipasi
menyekolahkan anak ke tingkat SLTP atau tingkat yang lebih tinggi. Hal tersebut
tidak terjadi pada nelayan responden Muara Angke, karena walaupun nelayan
78
responden memiliki pendidikan rendah mereka tetap menginginkan kemajuan
pendidikan bagi anak-anaknya.
Berdasarkan hasil regresi linear berganda, tingkat pendidikan kepala
keluarga yang dihitung berdasarkan lama sekolah orang tua memiliki koefisien
negatif. Koefisien negatif tidak menjelaskan secara mutlak bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan orang tua nelayan maka akan semakin rendah tingkat
pendidikan anak nelayan, karena ada faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor
yang paling utama mempengaruhi adalah setengah dari jumlah keseluruhan
responden (nelayan responden) masih berusia muda, sehingga belum memiliki
anak pada jenjang pendidikan tinggi.
Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi keterlibatan dan
perhatian orang tua terhadap pendidikan anak. Bagi orang tua yang memiliki
pendidikan tinggi tidak memandang pendidikan semata-mata hanya untuk
menambah wawasan tetapi memandang pendidikan sebagai bekal untuk masa
depan anaknya dan mereka tidak segan untuk mengeluarkan biaya yang lebih
tinggi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya.
(c) Jumlah Tanggungan
Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor jumlah tanggungan
keluarga (X5) memiliki nilai koefisien negatif, artinya semakin banyak jumlah
tanggungan keluarga dalam keluarga nelayan tersebut maka tingkat keberlanjutan
pendidikan anak akan semakin rendah. Setiap terjadi penambahan jumlah
tanggungan keluarga sebanyak satu orang maka tingkat keberlanjutan pendidikan
anak nelayan dalam keluarga tersebut akan berkurang sebanyak 0,4269 tahun.
Nilai thitung faktor jumlah tanggungan kepala keluarga (X5) sebesar -4,3416
sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebut dapat
dinyatakan bahwa hipotesis nol ditolak. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa
faktor jumlah tanggungan keluarga (X5) berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan
pendidikan anak nelayan pada selang kecepercayaan 95%.
Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan regresi linear berganda,
jumlah tanggungan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
keberlanjutan pendidikan anak nelayan dan koefisien yang didapatkan memiliki
79
nilai negatif yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan dalam
keluarga tersebut maka tingkat pendidikan anak akan semakin rendah. Besar
kecilnya jumlah tanggungan akan sangat berkaitan erat dengan tingkat pendapatan
dan pengeluaran untuk keluarga ternasuk pengeluaran untuk biaya pendidikan.
Besarnya jumlah tanggungan akan sangat mempengaruhi pengeluaran
untuk keluarga. Pengeluaran yang diperoleh akan lebih banyak dihabiskan untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan primer anggota keluarga sehingga pendapatan
yang dialokasikan untuk pendidikan anak akan semakin sedikit. Apalagi untuk
keluarga yang tinggal di DKI Jakarta karena Jakarta merupakan kota dengan biaya
hidup termahal kedua di Indonesia setelah Balikpapan, kota dengan biaya hidup
termahal kedua setelah Singapura di ASEAN dan bahkan Jakarta menduduki
peringkat ke sebelas kota dengan biaya hidup termahal di Asia (Detikfinance,
2008). Dengan semakin mahalnya biaya untuk mencukupi kebutuhan primer di
Jakarta maka biaya yang dialokasikan untuk biaya pendidikan anaknya akan
semakin sedikit sehingga dengan semakin banyaknya jumlah tanggungan maka
tingkat pendidikan anak akan semakin rendah. Nelayan perlu mengatur jarak
kelahiran anak dan menerapkan program Keluarga Berencana untuk
mengantisipasi besarnya biaya untuk membesarkan anak.
(d) Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil persamaan regresi di atas, hasil analisis regresi untuk
faktor pendapatan keluarga memiliki koefisien yang positif, artinya semakin besar
pendapatan keluarga maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan
semakin tinggi. Nilai thitung faktor pendapatan keluarga (X6) adalah sebesar 6,8563
sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel dapat dinyatakan
bahwa hipotesis nol ditolak. Secara stastistik dapat disimpulkan bahwa faktor
pendapatan keluarga (X6) memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan
pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.
Faktor pendapatan keluarga yang memiliki pengaruh yang signifikan
bertolak belakang dengan hasil penelitian Suryani (2004) yang menyatakan bahwa
pendapatan nelayan tidak mempengaruhi tingkat pendidikan anak nelayan.
Rendahnya tingkat pendidikan anak pada keluarga nelayan di Muara Angke
80
disebabkan oleh kurang terjangkaunya biaya pendidikan, walaupun untuk
pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sudah terdapat
keringanan dengan adanya program BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Nelayan responden mengatakan bahwa jarak sekolah yang jauh dari tempat
tinggal nelayan responden menyebabkan orangtua nelayan harus mengeluarkan
dana lebih untuk biaya transportasi anak-anak mereka menuju sekolah, sehingga
walaupun sudah ada program BOS mereka harus tetap menyiapkan biaya yang
cukup besar untuk biaya pendidikan anak mereka. Menurut beberapa orang
responden transportasi anak nelayan ke sekolah rata-rata menggunakan becak dan
sekali menggunakan alat transportasi tersebut penumpang becak dikenai ongkos
sebesar Rp 3000,00. Selain biaya transportasi adanya biaya-biaya tambahan di
sekolah seperti biaya pembelian LKS (Lembar Kerja Siswa) dan biaya untuk
kegiatan ekstrakurikuler membuat biaya pendidikan semakin tinggi sehingga
keluarga nelayan merasa tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya.
Ketika sudah lulus sekolah lanjutan tingkat pertama kepala keluarga
nelayan menganggap bahwa anaknya sudah cukup dewasa untuk menentukan
pilihan, apakah anak nelayan tersebut akan melanjutkan sekolah atau ikut bekerja
membantu orang tua. Sikap tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Seperti diakui oleh salah seorang nelayan yang menginginkan anaknya untuk tetap
berada di daerah asalnya yang bukan merupakan daerah nelayan dengan alasan
anaknya akan disekolahkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Nelayan
tersebut tidak mau anaknya terkontaminasi dengan keadaan lingkungan Muara
Angke. Menurut nelayan tersebut rata-rata anak –anak nelayan yang tinggal di
Muara Angke berpendidikan rendah dan kebanyakan mulai bekerja mencari
nafkah sejak mereka kecil sehingga anak-anak nelayan tersebut melupakan
pendidikannya.
81
Tabel 17. Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Tingkat Pendidikan Anak Tingkat Pendidikan Anak Responden
Pendapatan total perbulan (Rupiah) BT
SDT
SD BT
SMP T
SMP BT
SMA T
SMA BT PT
T PT
450.000 - 819.000 2 2 3 2 820.000 - 1.189.000 2 6 1 1 2 3 1.190.000 - 1.559.000 1 4 3 1 1 1.560.000 - 1.929.000 2 1 1 1 1.930.000 - 2.299.000 2.300.000 - 2.669.000 2.670.000 - 3.039.000 1 Total 4 9 4 9 5 5 2 2
Keterangan: T = Tamat BT = Belum Tamat
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Dilihat dari sebaran pendapatan, mayoritas nelayan yaitu sebanyak 24
orang (60 persen) berada pada selang pendapatan Rp 450.000,00 – Rp
1.189.000,00 dan 23 orang diantaranya memiliki penghasilan dibawah nilai KHL
(Ketetapan Hidup Layak) dan nilai Upah Minimum Regional (UMR) yang sudah
ditetapkan di Propinsi DKI Jakarta. Upah yang mereka dapatkan seringkali hanya
mampu mencukupi kebutuhan dasar hidup mereka, yaitu kebutuhan akan
makanan, pakaian, dan tempat tinggal sehingga mereka tidak memiliki biaya lebih
untuk meningkatkan pendidikan anaknya. Tabel 17 memperlihatkan bahwa
tingkat pendidikan tertinggi anak nelayan yang berpenghasilan di bawah UMR
adalah tamat SLTP.
(e) Status Usaha
Status usaha dalam masyarakat nelayan yang dibedakan berdasarkan akses
terhadap kepemilikan armada dan alat tangkap yaitu status usaha sebagai nelayan
pemiliki atau juragan dan status usaha sebagai nelayan buruh (ABK). Status
usaha tersebut diukur dengan menggunakan variabel dummy. Hasil analisis
regresi linear berganda pada faktor status usaha (D1i) menunjukkan nilai thitung
sebesar -0,1441 dan ttabel sebesar 1,645. P value untuk status usaha nelayan
sebesar 0,8864, lebih besar dari 0,05. Dari nilai thitung dan ttabel serta p value
tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat
82
disimpulkan bahwa faktor status usaha (D1i) tidak berpengaruh nyata terhadap
keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.
Untuk menilai kedudukan responden di dalam penelitian ini digunakan
pendekatan objektif yaitu dengan menilai kedudukan sosial nelayan berdasarkan
status usaha. Status usaha nelayan dibagi berdasarkan kepemilikan armada dan
alat tangkap. Berdasarkan kepemilikan armada dan alat tangkap status usaha
nelayan dibedakan menjadi dua yaitu nelayan pemilik atau juragan dan nelayan
pandhega atau nelayan buruh atau biasa juga disebut nelayan ABK.
Berdasarkan uji statistik, status usaha tidak berpengaruh nyata terhadap
keberlanjutan pendidikan anak nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa baik nelayan
pemilik maupun nelayan buruh sama-sama berusaha memberikan pendidikan
terbaik untuk anak-anaknya. Uji statistik menunjukkan hasil positif yang
menggambarkan bahwa semakin tinggi status usaha nelayan maka keberlanjutan
pendidikan anak nelayan akan semakin tinggi, hal ini dikarenakan nelayan dengan
status usaha yang lebih tinggi memiliki penghasilan yang lebih besar sehingga
mereka memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk menyekolahkan anaknya
hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
(f) Jenis Kelamin Anak
Jenis kelamin anak yang dibedakan antara anak perempuan dan anak laki-
laki diukur dengan menggunakan variabel dummy. Hasil analisis regresi linear
berganda pada faktor jenis kelamin anak (D2i) menunjukkan nilai thitung sebesar -
0,3464 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. P value untuk faktor jenis kelamin
anak sebesar 0,7314. Dari nilai thitung dan ttabel serta p value tersebut dapat
dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat disimpulkan
bahwa faktor jenis kelamin anak (D1i) tidak berpengaruh nyata terhadap
keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.
Jenis kelamin anak digunakan sebagai salah satu faktor yang diduga
mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak nelayan karena diduga masih
terdapat perlakuan yang membedakan antara hak anak perempuan dan hak anak
laki-laki. Dalam pemenuhan hak pendidikan anak, para responden menyatakan
mereka tidak membeda-bedakan hak anak dalam mendapatkan kesempatan untuk
83
merasakan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Mereka menyatakan
keinginan untuk bersekolah dikembalikan lagi pada sang anak, selama mereka
merasa mampu untuk membiayai pendidikan anak mereka akan memberikan hak
pendidikan yang layak kepada anak-anak mereka tanpa memandang jenis kelamin
anak tersebut. Nelayan responden menyatakan banyaknya anak laki-laki yang
menempuh pendidikan lebih tinggi dikarenakan anak-anak perempuan mereka
memilih untuk berkeluarga di usia yang relatif muda.
(g) Keterdedahan terhadap informasi
Keterdedahan terhadap informasi mempengaruhi tingkat pendidikan
nelayan karena dari informasi yang didapat oleh nelayan itulah akan terbentuk
pola pikir mengenai penting atau tidaknya pendidikan anak. Informasi yang
didapatkan nelayan mengenai pendidikan sangat terbatas, hal itu dapat dilihat dari
penggunaan media informasi yang digunakan oleh nelayan. Media informasi
yang banyak dimiliki oleh nelayan adalah radio dan televisi, namun hal yang
sangat disayangkan adalah kebanyakan nelayan menggunakan kedua media
informasi tersebut hanya untuk mendapatkan hiburan. Hal ini menyebabkan para
nelayan lebih terfokus pada tayangan-tayangan yang bersifat hibutan dan kurang
memperhatikan informasi-informasi terkini terutama informasi yang terkait
dengan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari intensitas nelayan memanfaatkan
media informasi di tabel 18.
Tabel 18. Intensitas Penggunaan Media Massa Jumlah Intensitas penggunaan media massa
n (jiwa) Persentase (%) sangat sering 23 69,70 Sering 6 18,18 Jarang 4 12,12 Total 33 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Dari tabel 18 terlihat bahwa masyarakat yang sangat sering menggunakan
media massa adalah sebanyak 23 orang (69,70%) dari 33 orang nelayan yang
memiliki media massa, enam orang sering (18,18%) menggunakan media massa,
84
dan hanya empat orang (12,12%) yang jarang menggunakan media massa.
Namun dari tabel 19 terlihat bahwa mayoritas responden mendapatkan informasi
mengenai pendidikan dari orang lain, yaitu dari pemuka masyarakat dan dari
obrolan antar warga. Selain dari pemberitaan di media massa, informasi-
informasi mengenai pendidikan didapatkan responden dari sumber informasi lain
yaitu pemuka masyarakat setempat, serta dari obrolan antar tetangga di
lingkungan mereka.
Tabel 19. Sebaran Responden Menurut Sumber Informasi Pendidikan Sumber informasi n (jiwa) Persentase (%) Orang Lain (Pemuka Masyarakat, Obrolan antar tetangga) 7 17,50 Televisi 8 20,00 Orang lain dan televisi 13 32,50 Orang lain dan radio 1 2,50 Televisi dan radio 5 12,50 Koran dan televise 1 2,50 Orang lain, radio, dan televisi 2 5,00 Koran, radio, dan televisi 3 7,50 Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Dari tabel 19 diatas diketahui bahwa sebanyak tujuh orang responden
(17,50%) mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain yaitu pemuka
masyarakat setempat dan dari obrolan antar tetangga dan delapan orang (20,00%)
mendapatkan informasi pendidikan dari televisi. Mayoritas responden
mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain dan televisi yaitu dengan
jumlah responden sebanyak tiga belas orang (32,50%), satu orang (2,50%)
mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain dan radio, lima orang (12,5%)
mendapatkan informasi pendidikan dari televisi dan radio, dan terdapat satu orang
yang mendapatkan informasi pendidikan dari koran dan televisi. Sebanyak dua
orang (5,00%) responden mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain,
radio, dan televisi dan sebanyak tiga orang (7,5%) mendapatkan informasi
pendidikan dari koran, radio, dan televisi.
Kurangnya penerimaan informasi tidak semata-mata disebabkan oleh
kurang efektifnya penggunaan media massa tetapi juga akibat kurang tersedianya
85
informasi mengenai pendidikan di media massa, terutama radio dan televisi.
Informasi-informasi pendidikan sebenarnya cukup banyak diberitakan di koran
dan media cetak lain, namun penggunaan media cetak tersebut masih sangat
terbatas di lingkungan nelayan. Selain kurang efektifnya penggunaan media
massa, kurangnya peran pemerintah dalam mempopulerkan jenis-jenis pendidikan
non-formal membuat mayoritas masyarakat nelayan tidak mengetahui adanya
jenis pendidikan lain selain pendidikan formal.
(h) Persepsi Nelayan Responden Mengenai Pendidikan Anak
Persepsi yang dimiliki oleh seseorang mengenai pendidikan anak dapat
berbeda dengan persepsi orang lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi
persepsi orang tua nelayan mengenai pendidikan anak adalah pengalaman masa
lalu orang tua mengenai pendidikan, penerimaan informasi dari pihak lain,
keinginan dan cita-cita yang akan diwujudkan, serta harapan orang tua terhadap
anaknya.
Tabel 20. Persepsi Responden Nelayan Mengenai Tingkat Kepentingan Pendidikan Anak
Total Persepsi orang tua n (jiwa) Persentase (%) Sangat penting 34 85,00Cukup Penting 6 15,00tidak begitu penting 0 0,00Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Mayoritas responden menyatakan bahwa pendidikan anak merupakan hal
yang sangat penting, hal ini dapat dilihat pada tabel 20. Tabel tersebut
memperlihatkan bahwa sebanyak 34 orang (85 persen) responden menyatakan
bahwa pendidikan anak sangat penting. Hanya enam orang responden yang
menyatakan bahwa pendidikan anak cukup pentingdan tidak ada satu responden
pun yang menyatakan bahwa pendidikan anak tidak begitu penting. Persepsi
mayoritas nelayan responden mengenai pentingnya pendidikan untuk anak mereka
belum dapat menggambarkan kemampuan responden dalam menyekolahkan anak.
Hal ini berkaitan dengan persepsi responden mengenai biaya pendidikan anak.
86
Rata-rata responden menyatakan bahwa pendidikan anak sangat penting, namun
keinginan kuat untuk menyekolahkan anak tersebut tidak diimbangi oleh
tersedianya biaya sehingga tingkat pendidikan anak nelayan masih tetap rendah.
Biaya pendidikan anak tersebut mencakup biaya bulanan sekolah, biaya untuk
membeli peralatan sekolah (buku, Lembar Kerja Siswa, dan alat tulis), biaya
kegiatan ekstrakurikuler sekolah, hingga biaya transportasi menuju sekolah setiap
harinya.
Tabel 21. Persepsi Responden Nelayan Mengenai Biaya Pendidikan Anak Total Persepsi orang tua n (jiwa) Persentase (%)
Murah 0 0,00Sedang 11 27,50Mahal 29 72,50Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Mayoritas responden menyatakan bahwa biaya pendidikan anak
tergolong mahal untuk keluarga mereka. Jumlah nelayan responden yang
menyatakan bahwa biaya pendidikan tersebut mahal adalah sebanyak 29 nelayan
responden (72,50%), sebelas responden (27,50%) menyatakan bahwa biaya
pendidikan tergolong sedang, dan tidak ada satupun nelayan yang menyatakan
bahwa biaya pendidikan tergolong murah.
Alokasi dana pendidikan terendah diberikan oleh keluarga yang memiliki
anak dengan pendidikan tertinggi tamat sekolah dasar yaitu sebesar 8,89%. Dana
pendidikan sebesar 8,89% tersebut dialokasikan oleh keluarga yang memiliki
rentang pendapatan sebesar Rp 1.190.000,00 hingga Rp 1.559.000,00. Rendahnya
alokasi pendapatan tersebut dikarenakan banyaknya anggota keluarga sehingga
pendapatan per bulan diduga lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan primer.
Alokasi dana pendidikan tertinggi diberikan oleh keluarga yang yang memiliki
anak dengan pendidikan tertinggi tamat sekolah menengah atas yaitu sebesar
29,57%. Dana pendidikan sebesar 29,57% tersebut dialokasikan oleh keluarga
yang memiliki rentang pendapatan antara Rp 820.000,00 hingga Rp 1.189.000,00.
87
Tabel 22. Hubungan Pendapatan Orang Tua dan Rata-Rata Alokasi Dana Untuk Pendidikan
Rata-Rata Alokasi Dana Pendidikan Perjenjang Pendidikan (%) Pendapatan Total
Perbulan (Rupiah) BT SD T SD
BT SMP
T SMP
BT SMA
T SMA
BT PT T PT
450.000- 819.000 19,44 17,38 23,42 22,82 820.000 - 1.189.000 10,26 12,92 16,67 18,28 28,26 29,57
1.190.000 - 1.559.000 8,89 11,99 18,06 20,00 29,17 1.560.000 - 1.929.000 10,30 18,18 21,88 26,321.930.000 - 2.299.000 2.300.000 - 2.669.000 2.670.000 - 3.039.000 16,67Keterangan: T = Tamat
BT = Belum Tamat Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Persepsi terhadap biaya pendidikan anak cukup mempengaruhi orang tua
dalam membuat keputusan tentang pendidikan anak. Namun selain itu, perasaan
orang tua responden mengenai pendidikan di institusi pendidikan formal pun
memberikan pengaruh kepada orang tua dalam membuat keputusan-keputusan
tentang pendidikan anak. Mayoritas orang tua nelayan yang menjadi responden
menyatakan bahwa mereka sangat senang telah menyekolahkan anaknya di
lembaga pendidikan formal seperti yang tergambarkan pada tabel 22.
Tabel 23. Pendapat Responden Mengenai Perasaan Mereka Ketika Anak Mereka Bersekolah di Lembaga Pendidikan Formal
Total Perasaan Responden n (jiwa) Persentase (%)sangat senang 19 47,50biasa saja 11 27,50kurang senang 10 25,00Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Mayoritas responden yang menyatakan bahwa mereka sangat senang
menyekolahkan anak mereka menyatakan bahwa mereka sangat senang karena
mereka telah mampu menyekolahkan anak mereka dalam keterbatasan yang
dihadapi keluarga responden dan hal itu dianggap sebagai sebuah kebanggaan
88
tersendiri bagi mereka. Selain itu, responden pun merasa sangat senang telah
menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan formal karena dengan begitu
responden merasa telah menjadikan anak-anak mereka menjadi insan yang lebih
baik dari generasi sebelumnya. Selain adanya responden yang merasa sangat
senang telah menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal, ada pula
sebagian responden yang merasa biasa saja dan bahkan merasa kurang senang
telah menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan formal. Sebanyak
sebelas orang (27,50 persen) merasa biasa saja, dan sebanyak sepuluh orang (25
persen ) merasa kurang senang, responden yang merasakan kedua hal tersebut
menyatakan bahwa mereka merasa lembaga pendidikan formal tidak mampu
membuat kehidupan mereka dan anak mereka menjadi lebih baik seperti yang
mereka harapkan ketika mereka memasukkan anak mereka ke lembaga
pendidikan formal. Bahkan ada salah satu responden yang menyatakan bahwa dia
merasa kurang senang menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal
karena menurut responden tersebut sistem pendidikan di Indonesia masih buruk
dan perlu dibenahi lagi.
(i) Penyebab Anak Putus Sekolah
Terputusnya pendidikan anak di tengah jalan merupakan hal yang tidak
diinginkan oleh orang tua manapun, namun terkadang hal ini tidak dapat dihindari
jika keadaan ekonomi orang tua kurang mampu mengimbangi kebutuhan akan
biaya hidup keluarga sehingga anak-anak mereka pun harus meninggalkan bangku
sekolah pada waktu mereka belum menyelesaikan pendidikan mereka. Masalah
ekonomi bukan satu-satunya penyebab anak putus sekolah, sikap permisif orang
tua yang dalam mendidik anak juga dapat menjadi penyebab putusnya pendidikan
anak di tengah jalan. Sikap permisif ini dapat terlihat ketika orang tua
mengizinkan sang anak untuk keluar dari sekolah walaupun belum menyelesaikan
pendidikannya. Sikap seperti ini biasanya dibarengi dengan alasan bahwa anak-
anak tersebut lebih memilih untuk ikut bekerja dan membantu orang tua mencari
nafkah dan bahkan pada beberapa anak perempuan sikap permisif ini terlihat
ketika orang tua mengizinkan anaknya untuk menikah sebelum lulus sekolah.
89
Tabel 24. Sebaran Responden yang Memiliki Anak Putus Sekolah Total Keberadaan Anak
Putus Sekolah n (jiwa) Persentase (%) 0 25 62,501 9 22,50
>1 6 15,00Total 40 100,00
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008
Tabel 23 memperlihatkan bahwa mayoritas responden tidak memiliki anak
putus sekolah, sebanyak 25 (62,50%) keluarga responden nelayan tidak memiliki
anak putus sekolah. Terdapat sembilan keluarga nelayan (22,50%) yang memiliki
anak putus sekolah sebanyak satu orang. Terdapat enam keluarga (15,00%)
responden yang memiliki anak putus sekolah lebih dari satu orang, dari enam
keluarga tersebut diketahui terdapat empat belas orang anak putus sekolah. Empat
keluarga responden memiliki dua orang anak putus sekolah dan dua keluarga
responden memiliki tiga orang anak putus sekolah. Terdapat beberapa alasan dari
putusnya pendidikan anak-anak nelayan responden tersebut, beberapa diantaranya
adalah kekurangan biaya, membantu orang tua bekerja, dan anak tidak menyukai
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Gambar 4 memperlihatkan persentase
alasan-alasan tersebut.
Membantu orang tua bekerja
37%
Tidak senang sekolah
7%
kekurangan biaya56%
Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Alasan Putus Sekolah Anak
Gambar 3 memperlihatkan bahwa alasan utama dari putus sekolahnya
anak-anak mereka adalah kekurangan biaya, responden mengatakan bahwa
pendapatan yang mereka peroleh selama sebulan hanya mampu mencukupi
kebutuhan dasar mereka. Alasan ke-dua yang banyak diutarakan nelayan sebagai
90
penyebab anak-anak responden putus sekolah adalah anak-anak mereka lebih
memilih untuk membantu orang tua bekerja. Anak-anak usia sekolah dasar ada
yang ikut membantu orang tua bekerja sambil tetap bersekolah. Anak-anak yang
sudah lulus sekolah dasar atau sekolah lanjutan pertama lebih memilih untuk
bekerja saja tanpa kembali bersekolah. Dari lima belas keluarga responden yang
memiliki anak putus sekolah tidak terdapat satu keluarga pun yang memberikan
jenis layanan pendidikan lain di luar pendidikan formal untuk anak mereka.
(j) Pendidikan Alternatif
Orang tua yang tidak mampu untuk memberikan pendidikan formal bagi
anak-anaknya sebaiknya memberikan pendidikan lain diluar sekolah fromal atau
biasa disebut pendidikan alternatif. Hal ini dikarenakan agar anak-anak tersebut
tetap mampu mendapatkan informasi dan pengetahuan yang mereka butuhkan
sebagai bekal mereka untuk menjalani kehidupan setelah mereka dewasa. Namun
dari sejumlah lima belas orang responden yang memiliki anak putus sekolah, tidak
satupun dari orang tua tersebut yang memberikan pendidikan alternatif.
Responden menyatakan bahwa mereka sebelumnya tidak mengetahui adanya
jenis pendidikan lain di luar pendidikan formal di sekolah karena sebelumnya
tidak ada sosialisasi mengenai jenis-jenis pendidikan alternatif seperti Sanggar
Kegiatan Belajar, PKBM, ataupun home schooling.
Saat ini beberapa warga di Muara Angke berinisiatif untuk membuka
sebuah yayasan pendidikan yang bernama Yayasan Lentera Bangsa. Yayasan ini
berfungsi sebagai sebuah pendidikan alternatif yang akan memberikan beberapa
pelatihan kepada anak putus sekolah yang ada di wilayah Muara Angke. Para
penggagas yayasan itu berencana memberikan pelatihan berupa pelatihan
menjahit untuk wanita dan pelatihan montir untuk laki-laki dan direncanakan
yayasan ini akan mulai beroperasi pada awal tahun 2009. Nelayan responden
yang mengetahui rencana pendirian yayasan ini pun memiliki beberapa harapan
yang dapat dilihat pada gambar 4.
91
pendidikan yang bersifat
kejuruan18%
adanya penyaluran
kerja31%
dan lain-lain5%
waktu belajar fleksibel
6%
biaya pendidikan
murah40%
Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Harapan Terhadap Pendidikan Alternatif
Gambar 4 memperlihatkan bahwa harapan terbesar masyarakat terhadap
pendidikan alternatif adalah agar biaya pendidikan lebih murah sehingga biaya
pendidikan alternatif tersebut dapat dijangkau oleh responden. Responden pun
sangat mengharapkan adanya penyaluran kerja yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan alternatif karena responden menginginkan anak-anak mereka memiliki
pekerjaan tetap yang dapat dijadikan sandaran keluarga ketika terdapat kebutuhan-
kebutuhan yang mendesak. Responden menginginkan jenis pendidikan alternatif
yang bersifat kejuruan dengan harapan anak mereka akan memiliki kemampuan
yang spesifik dan dengan kemampuan tersebut responden berharap anak-anak
mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebagian responden
menginginkan waktu belajar yang fleksibel sehingga anak-anak mereka bisa
bekerja sambil tetap mendapatkan pengetahuan dari lembaga pendidikan alternatif
tersebut. Harapan lain yang diinginkan responden adalah lokasi lembaga
pendidikan yang dekat dengan rumah mereka sehingga tidak memerlukan biaya
transportasi dan harapan lainnya adalah adanya pengajar berkualitas yang
mengajar di lembaga pendidikan alternatif tersebut.
Harapan-harapan nelayan tersebut memberikan sedikit informasi mengenai
jenis pendidikan alternatif yang relevan untuk anak nelayan. Harapan nelayan
tersebut digabungkan dengan potensi sumber daya alam serta karakteristik
keluarga responden nelayan sehingga didapat jenis pendidikan alternatif yang
relevan untuk nelayan. Potensi sumber daya alam terbesar yang dimiliki Muara
92
Angke adalah pasokan ikan yang melimpah. Posisi Muara Angke yang terletak di
ibu kota sehingga posisi Muara Angke sangat dekat dengan pusat kegiatan
ekonomi dan informasi. Posisi Muara Angke tersebut memudahkan masyarakat
Muara Angke untuk melakukan usaha kecil dan menengah, baik usaha di bidang
pengolahan hasil perikanan ataupun jenis usaha di bidang lain.
Hal utama yang menyebabkan masyarakat nelayan kesulitan
meningkatkan tingkat pendidikan anaknya adalah rendahnya penghasilan
sehingga masyarakat nelayan tidak mampu memberikan akses pendidikan yang
layak bagi anak mereka. Oleh karena itu jenis pendidikan alternatif yang
diperlukan oleh masyarakat nelayan adalah jenis pendidikan yang mampu
memberikan kepastian yang lebih tinggi terhadap kondisi ekonomi yang lebih
baik. Jenis pendidikan yang biasa dipilih untuk mendapatkan kepastian yang
lebih tinggi terhadap kondisi ekonomi yang lebih baik adalah jenis pendidikan
kejuruan. Di tingkat perguruan tinggi, jenis pendidikan ini disebut juga
pendidikan vokasi pendidikan tinggi yaitu jenis pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu
maksimal setara dengan program sarjana (Penjelasan Pasal 15 Undang Undang
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Titik berat dari
pendidikan vokasi ini adalah adanya keahlian terapan tertentu yang dapat
dimanfaatkan untuk mengaktualisasikan diri di dunia kerja atau sebagai bekal
untuk membuka lapangan kerja baru dengan basis keahlian terapan yang dimiliki.
Bentuk pendidikan vokasi yang umum di masyarakat adalah kursus. Pendidikan
vokasi merupakan jenis pendidikan yang dapat dipilih oleh masyarakat nelayan,
namun jenis pendidikan ini masih cukup sulit untuk digapai nelayan karena biaya
pendidikan vokasi yang cukup tinggi.
Masih banyaknya anak nelayan yang putus sekolah di tingkat pendidikan
dasar memberikan petunjuk lain mengenai jenis pendidikan alternatif yang
relevan untuk nelayan, yaitu jenis pendidikan yang memiliki beberapa program
pendidikan. Program pendidikan yang dimaksud adalah program pendidikan
paket A, paket B, dan paket C serta program pendidikan kejuruan. Jenis layanan
pendidikan yang memiliki keseluruhan program adalah SKB dan PKBM. Namun
untuk SKB masih agak sulit diterapkan karena SKB hanya didirikan di satu
93
tempat untuk satu kotamadya di Propinsi DKI Jakarta dan untuk SKB Jakarta
Utara pun letaknya cukup jauh dari pusat konsentrasi nelayan. Jenis layanan
alternatif lain yang relevan untuk anak nelayan adalah PKBM. PKBM dapat
dibentuk dan dikelola oleh masyarakat sendiri ataupun dibentuk dan dikelola oleh
gabungan masyarakat dan pemerintah. Kurikulum pada PKBM pun dapat
ditentukan sendiri oleh pengelola PKBM tersebut, sehingga pengelola dapat
membuat kurikulum pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat.
PKBM yang relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat nelayan
adalah PKBM yang memiliki program Kejar Paket A, Kejar Paket B, Kejar Paket
C dan kejuruan. Kejar Paket A, dan Kejar Paket B merupakan program yang
ditujukan untuk anak-anak nelayan yang putus sekolah dan untuk anak-anak
nelayan yang tidak mampu mengakses pendidikan di sekolah formal, dengan
adanya paket ini sekaligus juga membantu pemerintah dalam mewujudkan
gerakan wajib belajar sembilan tahun. Adanya program Kejar Paket A dan Kejar
Paket B ini sekaligus sebagai pemberian bekal bagi anak nelayan untuk menerima
pendidikan di level yang lebih tinggi, yaitu level pendidikan menengah. Kejar
Paket C dan pendidikan kejuruan setara SMK ditujukan bagi anak nelayan yang
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah. Kejar Paket C
dapat dimanfaatkan untuk meraih ijazah SMA yang nantinya dapat digunakan
untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan pendidikan
kejuruan setara SMK dapat dimanfaatkan sebagai bekal untuk berwirausaha.
Program kejuruan yang sebaiknya diberikan adalah program kejuruan di bidang
pengolahan hasil perikanan seperti pengolahan kerupuk kulit kerang, pengolahan
manik-manik kulit kerang, pengolahan tepung ikan, dan jenis-jenis pengolahan
hasil perikanan yang lain. Program kejuruan pengolahan perikanan tersebut
diadakan karena jenis pendidikan tersebut dapat langsung dipraktikan oleh anak
nelayan untuk usaha kecil yang akan memberikan penghasilan bagi keluarga
nelayan, selain itu dengan potensi sumber daya alam yang ada maka bahan baku
akan mudah didapatkan. Saat ini di Maura Angke belum terdapat PKBM, namun
sudah ada keinginan nyata dari orang tua nelayan untuk meningkatkan tingkat
pendidikan anak mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari didirikannya Yayasan
Lentera Bangsa oleh warga Kampung Baru Muara Angke.