v. faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan ... v... · penawaran dan permintaan minyak sawit...
TRANSCRIPT
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN MINYAK SAWIT DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA
5.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model
Model ekonometrika industri minyak sawit dalam penelitian ini merupakan
model simultan dinamis yang dibangun dari 39 persamaan, terdiri dari 27
persamaan perilaku dan 12 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui
beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah data deret
waktu (time series) dengan periode pengamatan tahun 1984 sampai dengan 2007.
Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan secara lengkap pada Lampiran
4, dapat dijelaskan bahwa secara umum semua variabel penjelas yang dimasukkan
kedalam persamaan-persamaan perilaku mempunyai tanda yang sesuai dengan
harapan, khususnya dilihat dari teori ekonomi. Kriteria-kriteria statistika yang
umum digunakan dalam mengevaluasi hasil estimasi model cukup meyakinkan.
Sebagian besar (56 persen) persamaan perilaku memiliki koefisien determinasi
(R2) di atas 0.8 dan hanya 26 persen persamaan yang memiliki nilai R2 di bawah
0.5 dengan kisaran antara 0.2 sampai 0.44. Kemudian dilihat dari nilai F, hanya 6
persamaan (22 persen) yang memiliki nilai peluang uji statistik-F lebih tinggi dari
taraf α = 0.05.
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-w (dw) didapatkan nilai dengan
kisaran 0.57 s/d 2.14 dan hasil uji statistik durbin-h (dh) didapatkan kisaran nilai
-4.17 s/d 4.48. Dari hasil tersebut diperoleh 8 persamaan yang tidak mengalami
masalah serial korelasi, juga terdapat 10 persamaan yang tidak terdeteksi serial
korelasinya, dan 9 persamaan mengalami masalah serial korelasi. Terlepas dari
ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991)
91
membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi
parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi.
Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, dengan mempertimbangkan model
yang cukup besar dengan periode pengamatan yang cukup panjang, maka hasil
estimasi model cukup representatif menangkap fenomena ekonomi dari industri
minyak sawit baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Hal ini sejalan dengan
pendapat Pindyc dan Rubinfield (1981), bahwa evaluasi model lebih tergantung
kepada tujuan dari perumusan model. Jika tujuan perumusan model adalah untuk
peramalan, maka indikator standard error of forecast lebih tepat daripada nilai-
nilai di atas. Lebih lanjut dikatakan Pindyc dan Rubinfield (1981) bahwa
walaupun semua persamaan secara individu mempunyai kriteria statistik yang
bagus, tidak menjamin model secara keseluruhan memberikan hasil simulasi yang
baik.
5.2. Keragaan Blok Perkebunan Kelapa Sawit
Keragaan blok perkebunan kelapa sawit hanya direpresentasikan oleh
persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan. Persamaan luas areal kelapa
sawit menghasilkan masing-masing terdiri atas 6 persamaan yang didisagregasi
berdasarkan wilayah (Sumatera dan Kalimantan) dan bentuk pengusahaan
perkebunan (Rakyat, Negara, dan Swasta).
5.2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan
Persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan didisagregasi menjadi 6
persamaan, yaitu : (1) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan
rakyat di Sumatera, (2) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan
92
rakyat di Kalimantan, (3) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan
besar negara di Sumatera, (4) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada
perkebunan besar negara di Kalimantan, (5) luas areal kelapa sawit menghasilkan
pada perkebunan besar swasta di Sumatera, dan (6) luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Hasil estimasi pada
Tabel 8 menunjukkan bahwa luas areal kelapa sawit menghasilkan pada
perkebunan rakyat di Sumatera dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak
sawit Indonesia t-3, harga riil minyak kelapa Indonesia t-3, pertumbuhan harga riil
pupuk, upah riil perkebunan t-1, dan tren, namun demikian luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera lebih responsif terhadap
perubahan tren daripada perubahan variabel lainnya. Variabel tren sebagai proksi
terhadap perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen, berpengaruh positif
sangat nyata. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera yang besar dari tahun ke tahun
selama periode pengamatan.
Besarnya perubahan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan
rakyat di Sumatera sebagai akibat perubahan tingkat upah sebesar 1 persen adalah
lebih kecil dari 1 persen. Hal ini dikarenakan umumnya perkebunan rakyat
menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga tidak responsif terhadap perubahan
tingkat upah. Begitu pula respon LAKSMRS terhadap perubahan harga riil
minyak kelapa Indonesia t-3 adalah inelastis, yang mana harga riil minyak kelapa
Indonesia t-3 berhubungan negatif dengan LAKSMRS. Ini menunjukkan bahwa
minyak sawit dan minyak kelapa, dalam pengusahaannya oleh produsen
merupakan dua komoditas yang saling berkompetisi. Kemudian dari hasil dugaan
93
diketahui bahwa perubahan harga riil minyak kelapa Indonesia t-3 hanya
menyebabkan perubahan yang kecil dalam LAKSMRS.
Tabel 8. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Rakyat di Sumatera
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 731.0415 0.0053 L3HRMSD 0.1345 0.6050 0.0179 Harga riil CPO Indonesia t-3
L3HRMKD -0.1138 -0.5360 0.0086 Harga riil minyak kelapa Indonesia t-3
L3HRKD -0.0323 -0.3060 0.1515 Harga riil karet Indonesia t-3 PHRF -5.7248 -0.0250 0.0585 pertumbuhan harga riil pupuk LUPRBUN -0.0652 -0.9900 0.0011 upah riil perkebunan t-1 LSBR -2.6474 -0.0260 0.2862 suku bunga BI riil t-1 TREN 42.2534 1.0190 0.0001 Teknologi R-squared 0.9786 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 1.5825
Sumber : Data diolah (2010)
Pada Tabel 8 juga ditunjukkan bahwa variabel suku bunga Bank Indonesia
(BI) riil t-1 memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera. Hal tersebut dikarenakan
umumnya perkebunan rakyat tidak menggunakan modal dari perbankan sehingga
tidak dipengaruhi oleh perubahan suku bunga BI. Harga riil karet domestik t-3
juga memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera. Dapat dijelaskan bahwa
perubahan harga karet tidak dapat mempengaruhi keputusan petani sawit di
Sumatera mengenai luas areal tanamnya.
Hasil pendugaan elastisitas luas areal kelapa sawit menghasilkan pada
perkebunan rakyat di Sumatera terhadap perubahan harga riil minyak sawit
Indonesia t-3 adalah inelastis (Tabel 8). Hal tersebut mengindikasikan bahwa
perubahan harga riil minyak sawit Indonesia t-3 hanya mampu membuat
perubahan luas areal dalam jumlah yang kecil. Pengaruh pertumbuhan harga riil
94
pupuk terhadap LAKSMRS adalah signifikan, namun respon LAKSMRS
terhadap perubahan pertumbuhan harga riil pupuk adalah inelastis. Hal ini berarti
perubahan harga pupuk hanya membuat perubahan yang kecil terhadap
LAKSMRS.
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 9, dapat dijelaskan bahwa persamaan
luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan
dipengaruhi secara nyata oleh upah riil perkebunan t-1 dan tren. Respon luas areal
kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan terhadap
perubahan variabel upah riil perkebunan t-1 adalah inelastis. Hal ini dikarenakan
umumnya perkebunan rakyat menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga
tingkat upah yang berlaku kurang memberikan pengaruh terhadap perluasan areal.
Adapun respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di
Kalimantan sebagai akibat perubahan tren adalah elastis. Ini berarti terjadi
kenaikan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di
Kalimantan yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan sebagai
hasil dari perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen.
Pengaruh variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3 terhadap luas areal
kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan (LAKSMRK)
adalah tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga riil
minyak sawit Indonesia t-3 tidak mampu membuat luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan berubah. Begitu pula halnya
dengan harga riil pupuk t-1, peningkatannya tidak membuat petani menurunkan
luas arealnya. Pengaruh harga riil karet Indonesia t-3 terhadap LAKSMRK adalah
tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan kesamaan dengan petani di Sumatera
95
bahwa perubahan harga karet tidak dapat mempengaruhi keputusan petani sawit di
Kalimantan mengenai luas areal tanamnya. Variabel suku bunga BI riil t-1 juga
memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan. Hal tersebut dikarenakan
umumnya perkebunan rakyat tidak menggunakan modal dari perbankan sehingga
tidak dipengaruhi oleh perubahan suku bunga BI.
Tabel 9. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Rakyat di Kalimantan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 21.0519 0.5338 L3HRMSD 0.0109 0.2580 0.2764 harga riil CPO Indonesia t-3 L3HRKD -0.0026 -0.1320 0.5189 harga riil karet Indonesia t-3 LHRF -0.0427 -0.3890 0.3297 harga riil pupuk t-1 LUPRBUN -0.0096 -0.7640 0.0205 upah riil perkebunan t-1 LSBR -0.0909 -0.0050 0.8348 suku bunga BI riil t-1 TREN 14.5119 1.8410 <.0001 Teknologi R-squared 0.9747 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 1.2074
Sumber : Data diolah (2010)
Hasil estimasi terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan
pada perkebunan besar negara di Sumatera (LAKSMNS) di Tabel 10
menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara nyata adalah harga riil
karet domestik t-3, pertumbuhan harga riil pupuk, dan tren. Respon luas areal
kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera terhadap
perubahan harga riil karet domestik t-3 adalah inelastis. Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan harga riil karet domestik t-3 tidak membuat perusahaan negara
segera beralih menanam karet, begitu pula sebaliknya, karena untuk mengganti
tanaman membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang lama. Adapun
respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di
Sumatera terhadap perubahan tren juga bersifat inelastis. Ini artinya terdapat
96
kenaikan dalam luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar
negara di Sumatera yang kecil dari tahun ke tahun selama periode pengamatan.
Peningkatan dalam harga riil minyak sawit domestik t-3 tidak membuat
perusahaan negara melakukan peningkatan luas areal, karena pembukaan areal
pada perkebunan besar negara lebih berorientasi kepada kebijakan pemerintah,
kewajiban perkebunan besar negara untuk mengalokasikan produksinya untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Pengaruh pertumbuhan harga riil pupuk terhadap
LAKSMNS adalah signifikan, namun respon LAKSMNS terhadap perubahan
pertumbuhan harga riil pupuk adalah inelastis. Hal ini berarti perubahan harga
pupuk hanya membuat perubahan yang kecil terhadap LAKSMNS.
Tabel 10. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Negara di Sumatera
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 320.1631 <.0001 L3HRMSD 0.0165 0.1180 0.2021 Harga riil CPO Indonesia t-3
L3HRMKD -0.0123 -0.0920 0.1994 Harga riil minyak kelapa Indonesia t-3
L3HRKD -0.0095 -0.1440 0.0912 Harga riil karet Indonesia t-3 PHRF -1.1749 -0.0080 0.1084 Pertumbuhan harga riil pupuk LUPRBUN -0.0014 -0.0330 0.7252 upah riil perkebunan t-1 LSBR -0.7547 -0.0120 0.2215 suku bunga BI riil t-1 TREN 7.7195 0.2960 0.0014 Teknologi R-squared 0.9443 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 1.5874
Sumber : Data diolah (2010)
Tabel 10 juga menunjukkan pengaruh dari tingkat upah terhadap luas areal
kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera
(LAKSMNS) adalah tidak signifikan. Hal ini dikarenakan pada perkebunan besar
negara penggunaan tenaga kerja sudah terikat pada suatu kesepakatan kerja.
Begitu pula pengaruh suku bunga BI riil t-1 terhadap luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera adalah tidak nyata. Ini
97
menunjukkan bahwa investasi yang berkaitan dengan upaya peningkatan luas
areal pada perkebunan besar negara di Sumatera tidak dipengaruhi oleh besarnya
suku bunga BI namun oleh kebijakan yang mengatur perluasan areal. Harga
minyak kelapa domestik t-3 mempengaruhi LAKSMNS secara tidak signifikan
pula. Ini dikarenakan nilai minyak kelapa sudah tidak ekonomis karena harganya
yang relatif lebih mahal dibandingkan harga minyak sawit.
Selanjutnya Tabel 11 menunjukkan pendugaan terhadap persamaan luas
areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan
(LAKSMNK) yang memperlihatkan bahwa LAKSMNK dipengaruhi secara nyata
oleh pertumbuhan suku bunga BI riil dan tren. Respon LAKSMNK terhadap
perubahan pertumbuhan suku bunga BI riil adalah inelastis. Hal ini berarti jika
pertumbuhan suku bunga BI riil naik sebesar 1 persen hanya akan menyebabkan
penurunan investasi untuk perluasan areal perkebunan besar negara di Kalimantan
yang lebih kecil dari 1 persen. Adapun respon luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan terhadap perubahan
tren juga bersifat inelastis. Ini artinya terdapat kenaikan dalam luas areal kelapa
sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan yang kecil dari
tahun ke tahun selama periode pengamatan.
Pengaruh harga riil pupuk t-1 terhadap LAKSMNK adalah tidak nyata. Hal
ini berarti walaupun harga pupuk berubah tidak dapat menyebabkan perubahan
pada LAKSMNK. Sama halnya dengan persamaan LAKSMNS (luas areal kelapa
sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera), peningkatan
dalam harga riil minyak sawit domestik t-3 tidak membuat pengusaha perkebunan
besar negara Kalimantan melakukan peningkatan luas areal, karena pembukaan
98
areal pada perkebunan besar negara lebih berorientasi kepada kebijakan
pemerintah, kewajiban perkebunan besar negara untuk mengalokasikan
produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Tabel 11. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 23.6435 0.0087 L3HRMSD 0.0011 0.0760 0.6322 harga riil CPO Indonesia t-3 L3HRKD -0.0008 -0.1260 0.3612 harga riil karet Indonesia t-3 LHRF -0.0045 -0.1270 0.6015 harga riil pupuk t-1 UPRBUN -0.0010 -0.2540 0.1658 upah riil perkebunan
PSBR -0.0091 -0.0240 0.0268 pertumbuhan suku bunga BI riil
TREN 1.8777 0.7410 0.0001 Teknologi R-squared 0.9419 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 2.0332
Sumber : Data diolah (2010)
Selanjutnya dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa pengaruh dari tingkat upah
terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di
Kalimantan juga tidak signifikan. Hal ini dikarenakan pada perkebunan besar
negara penggunaan tenaga kerja sudah terikat pada suatu kesepakatan kerja.
Adapun pengaruh harga riil karet Indonesia t-3 terhadap LAKSMNK adalah tidak
nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga karet tidak dapat
mempengaruhi keputusan pengusaha perkebunan sawit negara di Kalimantan
mengenai luas areal tanamnya, karena pengusaha perkebunan besar negara di
Kalimantan telah terikat kontrak dengan para investor atas lahan yang memang
hanya diperuntukkan untuk tanaman kelapa sawit.
Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera (LAKSMSS) di Tabel
12, dapat dijelaskan bahwa variabel LAKSMSS dipengaruhi secara signifikan
oleh variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3, harga riil karet Indonesia t-3,
99
upah riil perkebunan t-1, dan tren. Variabel tren sebagai proksi terhadap perbaikan
teknologi, infrastruktur, dan manajemen, berpengaruh positif sangat nyata
terhadap perubahan LAKSMSS, dimana respon LAKSMSS elastis terhadap
perubahan tren. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera yang besar dari tahun ke
tahun selama periode pengamatan karena adanya peningkatan teknologi budidaya
yang mendorong peningkatan LAKSMSS tersebut.
Upah riil perkebunan t-1 mempengaruhi persamaan LAKSMSS secara
nyata, namun respon yang diberikan oleh LAKSMSS terhadap perubahan upah
riil tersebut adalah inelastis. Hal ini berarti perubahan tingkat upah yang berlaku
hanya menyebabkan perubahan yang kecil pada LAKSMSS. Adapun pengaruh
pertumbuhan suku bunga BI riil terhadap LAKSMSS adalah tidak signifikan. Ini
menunjukkan bahwa perilaku pengusaha perkebunan besar swasta di Sumatera
atas luas areal tanamnya tidak ditentukan oleh besar kecilnya tingkat bunga yang
berlaku.
Variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3 mempengaruhi luas areal
kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera secara
nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai akibat kenaikan harga minyak sawit
akan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksi minyak sawitnya
melalui peningkatan luas areal kelapa sawit, namun respon perubahan luas areal
tersebut terhadap perubahan harga minyak sawit adalah inelastis. Hal itu
mengindikasikan bahwa perubahan harga minyak sawit yang besar hanya direspon
dalam jumlah kecil oleh LAKSMSS. Begitu pula respon LAKSMSS terhadap
perubahan harga riil karet domestik t-3 adalah inelastis. Hal ini berarti bahwa
100
peningkatan harga riil karet domestik t-3 tidak membuat perusahaan swasta segera
beralih menanam karet, begitu pula sebaliknya, karena untuk mengganti tanaman
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Pengaruh variabel
harga riil pupuk t-1 terhadap LAKSMSS adalah tidak signifikan, yang berarti
besar kecilnya harga pupuk tidak dapat membuat perubahan perilaku pengusaha
swasta di Sumatera atas luas arealnya.
Tabel 12. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 109.1232 0.3886 L3HRMSD 0.1508 0.5200 0.0009 harga riil CPO Indonesia t-3 L3HRKD -0.0541 -0.3930 0.0024 harga riil karet Indonesia t-3 LHRF -0.1902 -0.2530 0.2405 harga riil pupuk t-1 LUPRBUN -0.0375 -0.4360 0.0156 upah riil perkebunan t-1
PSBR -0.0467 -0.0060 0.4526 pertumbuhan suku bunga BI riil
TREN 76.4387 1.4120 <.0001 Teknologi R-squared 0.9896 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 1.7455
Sumber : Data diolah (2010)
Pendugaan terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada
perkebunan besar swasta di Kalimantan (LAKSMSK) di Tabel 13 menunjukkan
bahwa LAKSMSK dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak sawit
Indonesia t-3, harga riil pupuk t-1, upah riil perkebunan t-1, dan tren. Variabel
seperti harga riil minyak sawit Indonesia t-3 dan tren berhubungan positif dengan
luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di
Kalimantan. Sementara harga riil pupuk t-1, upah riil perkebunan t-1, dan suku
bunga BI riil berhubungan negatif dengan luas areal kelapa sawit menghasilkan
pada perkebunan besar swasta di Kalimantan.
Respon LAKSMSK terhadap perubahan variabel harga riil minyak sawit
Indonesia t-3 adalah elastis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga minyak
101
sawit yang besar direspon dalam jumlah yang besar pula oleh LAKSMSK.
Dibandingkan dengan luas areal perkebunan besar swasta kelapa sawit
menghasilkan di Sumatera (LAKSMSS), respon luas areal perkebunan besar
swasta kelapa sawit menghasilkan di Kalimantan (LAKSMSK) lebih elastis
terhadap perubahan harga minyak sawit. Ini dikarenakan Kalimantan merupakan
daerah pembukaan yang lebih baru daripada Sumatera, yang memiliki lahan yang
potensial untuk pengembangan kelapa sawit dan sebagai perkebunan yang relatif
baru umumnya sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar swasta di kalimantan, dapat dijelaskan pula
bahwa LAKSMSK responsif terhadap perubahan harga riil pupuk t-1, upah riil
perkebunan t-1, dan tren. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga pupuk
sebesar 1 persen dapat menyebabkan perusahaan berusaha mengurangi
penggunaan pupuk yang cukup besar sehingga terjadi penurunan luas areal kelapa
sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan yang lebih besar
dari 1 persen.
Tabel 13. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 182.8267 0.1489 L3HRMSD 0.0579 1.0060 0.0611 harga riil CPO Indonesia t-3 LHRF -0.4839 -3.2390 0.0013 harga riil pupuk t-1 LUPRBUN -0.0214 -1.2530 0.1024 upah riil perkebunan t-1 SBR -0.5294 -0.0200 0.7243 suku bunga BI riil TREN 35.3527 3.2900 <.0001 Teknologi R-squared 0.9406 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 2.1409
Sumber : Data diolah (2010)
102
Adapun kenaikan tingkat upah (sebesar 1 persen) dapat menyebabkan perusahaan
bertindak tidak menambah tenaga kerjanya atau mengurangi penambahan
terhadap tenaga kerjanya (yang berguna untuk meningkatkan LAKSMSK)
sehingga LAKSMSK mengalami penurunan (lebih besar dari 1 persen).
Begitu pula halnya dengan variabel tren sebagai proksi terhadap perbaikan
teknologi, infrastruktur, dan manajemen, berpengaruh positif sangat nyata
terhadap perubahan LAKSMSK, dimana respon LAKSMSK elastis terhadap
perubahan tren. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan yang besar dari tahun
ke tahun selama periode pengamatan karena adanya peningkatan teknologi
budidaya yang mendorong peningkatan LAKSMSK tersebut. Adapun pengaruh
suku bunga BI riil terhadap LAKSMSK adalah tidak nyata. Ini berarti bahwa
perilaku pengusaha perkebunan besar swasta di Kalimantan atas luas areal
tanamnya tidak ditentukan oleh tingkat bunga yang berlaku.
5.3. Keragaan Blok Minyak Sawit (CPO)
Keragaan blok minyak sawit dipelajari melalui perilaku produktivitas,
permintaan, penawaran, dan harga minyak sawit domestik; perdagangan minyak
sawit di pasar dunia yang meliputi ekspor minyak sawit negara-negara produsen
terbesar (Indonesia dan Malaysia), impor minyak sawit negara-negara importir
terbesar (Cina, India, dan Pakistan), dan harga minyak sawit di pasar dunia.
5.3.1. Produktivitas Minyak Sawit
Sama halnya dengan persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan,
persamaan produktivitas minyak sawit didisagregasi menjadi 6 persamaan, yaitu :
103
(1) produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera, (2)
produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan, (3)
produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera, (4)
produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan, (5)
produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera, dan (6)
produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan.
Berdasarkan hasil estimasi di Tabel 14 dapat dijelaskan bahwa produktivitas
minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera dipengaruhi oleh rasio harga
minyak sawit dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada
perkebunan rakyat di Sumatera t-1, dan curah hujan. Dapat dijelaskan bahwa
pengaruh ketiga variabel tersebut (rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk,
luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera t-1, dan
curah hujan) terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di
Sumatera adalah tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa harga minyak
sawit domestik atau harga pupuk yang ditunjukkan oleh rasio harga minyak sawit
dengan harga pupuk tidak dapat menjadi tolok ukur dalam pengukuran
produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera.
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera t-1 berpengaruh secara tidak
signifikan terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di
Sumatera. Ini berarti peningkatan luas areal tidak dapat diandalkan sebagai upaya
untuk peningkatan produktivitas, terdapat faktor lain yang lebih baik, yaitu
peningkatan teknologi dalam budidaya dan manajemen pasca panennya.
Sementara itu tidak signifikannya pengaruh perubahan curah hujan terhadap
104
produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera merupakan
indikasi bahwa curah hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan
tumbuh dan menghasilkan bagi tanaman sawit. Keadaan ini sesuai dengan hasil
penelitian Horley et al (1976) dalam Tukirin (1993) yang menyebutkan bahwa
tanaman sawit mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik, pada areal
bertopografi rata maupun topografi berombak, bergelombang dan berbukit-bukit,
dengan kriteria 2 brondolan per kg untuk areal bertopografi rata dan 2 brondolan
per TBS bagi areal yang bertopografi berombak, bergelombang, dan berbukit-
bukit.
Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Rakyat di Sumatera
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 3.0205 0.0014
RHMSF 0.1939 0.1870 0.2861 Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk
LLAKSMRS 0.0003 0.0570 0.2426 LAKSMRS t-1 CURAH -0.0003 -0.3050 0.1961 curah hujan R-squared 0.1945 Prob>|F| 0.2861 Durbin-w stat 2.1061
Sumber : Data diolah (2010)
Hasil pendugaan terhadap persamaan produktivitas minyak sawit pada
perkebunan rakyat di Kalimantan (YMSRK) di Tabel 15, menunjukkan bahwa
YMSRK dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, luas
areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1, upah
riil perkebunan t-1, dan produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di
Kalimantan t-1. Dapat dijelaskan bahwa YMSRK hanya dipengaruhi secara
signifikan oleh upah riil perkebunan t-1, namun respon YMSRK terhadap
perubahan upah riil perkebunan t-1 adalah inelastis dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, ditunjukkan dengan nilai elastisitas jangka pendek dan panjang
105
masing-masing sebesar 0.302 dan 0.338. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
tingkat upah yang berlaku hanya menyebabkan perubahan yang kecil pada
produktivitas minyak sawit di perkebunan rakyat Kalimantan, karena umumnya
perkebunan rakyat menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga tidak responsif
terhadap perubahan tingkat upah.
Pengaruh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk terhadap
produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan adalah tidak
nyata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rasio harga minyak sawit dengan
harga pupuk tidak dapat menjadi tolok ukur dalam mengukur tingkat produktivitas
minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan. Begitu pula halnya dengan
luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1
berpengaruh terhadap YMSRK secara tidak signifikan. Ini berarti peningkatan
luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1
tidak dapat menjadi tolok ukur bagi peningkatan YMSRK.
Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Rakyat di Kalimantan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 2.1427 0.0008
RHMSF 0.0926 0.1250 0.1400 0.3599 Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk
LLAKSMRK 0.0005 0.0250 0.0280 0.4440 LAKSMRK t-1 LUPRBUN -0.0001 -0.3020 -0.3380 0.0782 upah riil perkebunan t-1 LYMSRK 0.1076 0.4176 YMSRK t-1 R-squared 0.4356 Prob>|F| 0.0462 Durbin-h stat 0.8100
Sumber : Data diolah (2010)
Disamping faktor tersebut, dari Tabel 15 dapat ditunjukkan bahwa
produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan juga
dipengaruhi oleh variabel bedakalanya, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata
106
dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang
dibutuhkan oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di
Kalimantan untuk menyesuaikan diri kembali atau kembali kepada tingkat
keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Berdasarkan Tabel 16, persamaan produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar negara di Sumatera dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit
dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar
negara di Sumatera t-1, curah hujan, dan produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar negara di Sumatera t-1. Hanya variabel produktivitas minyak
sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera t-1 yang berpengaruh secara
nyata terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di
Sumatera (YMSNS). Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang
relatif lambat bagi YMSNS untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan
ekonomi yang terjadi.
Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Negara di Sumatera
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 1.3758 0.2593
RHMSF 0.1510 0.1020 0.3160 0.3765 Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk
LLAKSMNS 0.0003 0.0280 0.0870 0.8134 LAKSMNS t-1 CURAH -0.0002 -0.1440 -0.4460 0.3416 curah hujan LYMSNS 0.6775 0.0022 YMSNS t-1 R-squared 0.5505 Prob>|F| 0.0090 Durbin-h stat -0.2870
Sumber : Data diolah (2010)
Selanjutnya dari Tabel 16 dapat dijelaskan pula bahwa luas areal kelapa
sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera t-1 (lag
LAKSMNS), tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk perubahan produktivitas
minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera (YMSNS), karena
107
variabel lag LAKSMNS berpengaruh secara tidak nyata terhadap YMSNS.
Pengaruh perubahan curah hujan terhadap produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar negara di Sumatera adalah tidak signifikan. Hal ini merupakan
indikasi bahwa curah hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan
tumbuh dan menghasilkan bagi tanaman sawit. Begitu pula pengaruh rasio harga
minyak sawit dengan harga pupuk terhadap produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar negara di Sumatera (YMSNS) juga tidak nyata. Ini
menunjukkan bahwa perubahan pada harga minyak sawit atau harga pupuk yang
ditunjukkan dengan rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk tidak dapat
membuat perubahan pada YMSNS.
Hasil estimasi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa persamaan produktivitas
minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan (YMSNK)
dipengaruhi secara signifikan oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan
besar negara di Kalimantan t-1, sedangkan rasio harga minyak sawit dengan harga
pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di
Kalimantan t-1, curah hujan, dan tren, pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan
nol. Pengaruh yang nyata dari produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar
negara di Kalimantan t-1 (lag YMSNK) terhadap YMSNK, mengindikasikan
bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi YMSNK untuk menyesuaikan
diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Dapat dijelaskan bahwa peningkatan luas areal kelapa sawit menghasilkan
pada perkebunan besar negara di Kalimantan t-1 tidak dapat mendorong
peningkatan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di
Kalimantan. Pernyataan ini didukung oleh hasil tabulasi data historis bahwa
108
dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada
perkebunan besar negara di Kalimantan meningkat rata-rata 83.32 persen per
tahun akan tetapi pada kurun waktu yang sama produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar negara di Kalimantan hanya meningkat rata-rata 6.84 persen per
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas, luas
areal tidak dapat menjadi tolok ukur lagi, namun sangat diperlukan adopsi
teknologi dalam budidaya dan manajemen yang lebih baik.
Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 1.4039 0.2046
RHMSF 0.2772 0.2550 0.4980 0.2276 Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk
LLAKSMNK 0.0083 0.0920 0.1800 0.7296 LAKSMNK t-1 CURAH -0.0004 -0.3410 -0.6660 0.2137 curah hujan TREN 0.0119 0.0550 0.1080 0.8421 Teknologi LYMSNK 0.4883 0.0180 YMSNK t-1 R-squared 0.4999 Prob>|F| 0.0451 Durbin-h stat -2.1000 Sumber : Data diolah (2010)
Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa variabel tren yang merupakan proksi
terhadap perbaikan teknologi produksi dan manajemen, berpengaruh positif
terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di
Kalimantan, namun pengaruhnya tidak signifikan. Hal ini dikarenakan
Kalimantan sebagai daerah pembukaan perkebunan yang relatif baru daripada
Sumatera sehingga sebagian besar pengusaha perkebunan besar negara di
Kalimantan masih tertinggal dalam melakukan adopsi teknologi. Begitu pula
dengan pengaruh curah hujan terhadap produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar negara di Kalimantan adalah tidak nyata, yang berarti curah
109
hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan tumbuh dan menghasilkan
bagi tanaman sawit.
Hasil estimasi terhadap persamaan produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar swasta di Sumatera (YMSSS) di Tabel 18 menunjukkan bahwa
YMSSS dipengaruhi secara nyata oleh produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar swasta di Sumatera t-1, sedangkan rasio harga minyak sawit
dengan harga pupuk dan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan
besar swasta di Sumatera t-1, berpengaruh secara tidak nyata terhadap YMSSS.
Hal ini mengindikasikan bahwa variabel harga minyak sawit maupun harga pupuk
yang ditunjukkan dengan rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, tidak
dapat menjadi tolok ukur bagi pengusaha perkebunan besar swasta di Sumatera
dalam melakukan perubahan terhadap produktivitas perkebunannya.
Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 1.5125 0.0691
RHMSF 0.0779 0.0590 0.1210 0.5891 Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk
LLAKSMSS 0.00004 0.0080 0.0170 0.7670 LAKSMSS t-1 LYMSSS 0.5127 0.0188 YMSSS t-1 R-squared 0.3319 Prob>|F| 0.0704 Durbin-h stat 3.3870
Sumber : Data diolah (2010)
Hal yang sama juga dapat dijelaskan pada Tabel 18 bahwa pengaruh
variabel luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di
Sumatera t-1 terhadap YMSSS tidak signifikan. Ini berarti perubahan luas areal
tidak dapat menyebabkan produktivitas perkebunan besar swasta di Sumatera juga
berubah (hal ini bersesuaian dengan hasil tabulasi data bahwa dalam kurun waktu
1984 s/d 2007, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar
110
swasta di Sumatera meningkat rata-rata 16.32 persen per tahun akan tetapi pada
kurun waktu yang sama produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta
di Sumatera mengalami penurunan rata-rata 1.22 persen per tahun. Produktivitas
minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera hanya dipengaruhi
secara signifikan oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta
di Sumatera t-1. Hal itu menunjukkan bahwa ada tenggang waktu yang relatif
lambat bagi YMSSS untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan
ekonomi yang terjadi.
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 19, dapat dijelaskan bahwa
persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di
Kalimantan (YMSSK) dipengaruhi oleh harga riil minyak sawit Indonesia t-1,
luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di
Kalimantan t-1, curah hujan, dan tren. Dapat dilihat bahwa semua variabel
penjelas tersebut berpengaruh secara tidak signifikan terhadap produktivitas
minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan.
Berbeda halnya dengan persamaan produktivitas minyak sawit pada
perkebunan di Sumatera maupun pada perkebunan rakyat dan negara di
Kalimantan, produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di
Kalimantan tidak dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk,
namun oleh harga riil minyak sawit Indonesia t-1. Dapat dijelaskan bahwa
pengaruh harga riil minyak sawit Indonesia t-1 terhadap YMSSK adalah tidak
nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga riil minyak sawit
Indonesia t-1 tidak dapat membuat YMSSK berubah.
111
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa peningkatan luas areal kelapa sawit
menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan t-1 tidak dapat
mendorong peningkatan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar
swasta di Kalimantan. Pernyataan ini didukung oleh hasil tabulasi data historis
bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, luas areal kelapa sawit menghasilkan
pada perkebunan besar swasta di Kalimantan meningkat rata-rata 40.83 persen per
tahun akan tetapi pada kurun waktu yang sama produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar swasta di Kalimantan hanya meningkat rata-rata 16.66 persen
per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas
diperlukan adopsi teknologi dalam budidaya dan manajemen yang lebih baik
(Tabel 19).
Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan besar swasta di Kalimantan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 2.5683 0.1461 LHRMSD 0.0002 0.1931 0.8461 Harga riil CPO Indonesia t-1 LLAKSMSK 0.0014 0.0720 0.7534 LAKSMSK t-1 CURAH -0.0009 -0.9384 0.3871 Curah hujan TREN 0.0967 0.5775 0.4719 Teknologi R-squared 0.3208 Prob>|F| 0.1615 Durbin-w stat 1.9600
Sumber : Data diolah (2010)
Variabel tren yang merupakan proksi terhadap perbaikan teknologi produksi
dan manajemen, berpengaruh positif terhadap produktivitas minyak sawit pada
perkebunan besar swasta di Kalimantan, namun pengaruhnya tidak signifikan. Hal
ini dikarenakan Kalimantan sebagai daerah pembukaan perkebunan yang relatif
baru daripada Sumatera sehingga sebagian besar pengusaha perkebunan besar
swasta di Kalimantan masih tertinggal dalam melakukan adopsi teknologi. Begitu
pula dengan pengaruh curah hujan terhadap produktivitas minyak sawit pada
112
perkebunan besar swasta di Kalimantan adalah tidak nyata, yang berarti curah
hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan tumbuh dan menghasilkan
bagi tanaman sawit.
5.3.2. Produksi Minyak Sawit Indonesia
Produksi minyak sawit Indonesia diperoleh dari total produksi minyak sawit
pada perkebunan rakyat, swasta, dan negara di Sumatera dan Kalimantan
ditambahkan dengan total produksi minyak sawit pada perkebunan rakyat, swasta,
dan negara di wilayah selain Sumatera dan Kalimantan. Adapun produksi minyak
sawit pada perkebunan rakyat, swasta, dan negara di suatu wilayah dihitung
berdasarkan perkalian antara luas areal kelapa sawit menghasilkan dengan
produktivitas minyak sawit. Secara matematis total produksi minyak sawit
Indonesia dituliskan sebagai berikut :
QMSI = LAKSMRS*YMSRS + LAKSMRK*YMSRK + LAKSMNS*YMSNS + LAKSMNK*YMSNK + LAKSMSS*YMSSS + LAKSMSK*YMSSK + QMSL
5.3.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Dalam model ini, ekspor minyak sawit Indonesia tidak didisagregasikan
berdasarkan negara tujuan, melainkan diformulasikan sebagai ekspor total
Indonesia ke pasar dunia. Ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi secara
positif oleh pertumbuhan harga riil ekspor minyak sawit Indonesia, produksi
minyak sawit Indonesia, nilai tukar efektif riil t-1, dan ekspor minyak sawit
Indonesia t-1. Hal tersebut disajikan secara lengkap pada Tabel 20.
Ekspor minyak sawit Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh
produksi minyak sawit Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
jumlah minyak sawit yang dapat diproduksi mendorong pengusaha minyak sawit
113
untuk meningkatkan jumlah ekspor minyak sawit lebih banyak lagi. Kemudian
jika dilihat berdasarkan nilai elastisitas, dapat dijelaskan bahwa pengaruh
produksi minyak sawit Indonesia terhadap ekspor minyak sawit Indonesia adalah
inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang. Ini berarti
dalam jangka panjang, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia
dapat terus memenuhi kebutuhan domestik dan mampu memenuhi kebutuhan
minyak sawit dunia yang besar melalui ekspor yang besar.
Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -1234.5500 0.0649
PHRXMSI 1.1198 0.0015 0.0020 0.8795 pertumbuhan harga riil expor CPO Indonesia
QMSI 0.5654 0.9943 1.2740 0.0221 produksi CPO Indonesia LNTERI 0.0798 0.1251 0.1600 0.5074 nilai tukar efektif riil t-1 LXMSI 0.2195 0.5224 Export CPO Indonesia t-1 R-squared 0.9721 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010)
Kemudian dari Tabel 20 juga dapat dijelaskan bahwa pengaruh nilai tukar
efektif riil t-1 terhadap ekspor minyak sawit Indonesia adalah tidak nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar efektif riil t-1 tidak
menyebabkan terjadinya perubahan pada jumlah minyak sawit yang diekspor
pengusaha. Begitu pula dengan pengaruh pertumbuhan harga riil ekspor minyak
sawit Indonesia terhadap ekspor minyak sawit Indonesia juga tidak nyata. Ini
berarti ada kelambanan ekspor dalam merespon pertumbuhan harga ekspor yang
terjadi, yang diduga sebagai akibat praktek ikatan kontrak (forward trading)
antara eksportir dengan importir di negara tujuan ekspor. Selain faktor-faktor
tersebut, ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi secara tidak nyata oleh
variabel bedakalanya (ekspor minyak sawit Indonesia t-1). Hal ini
114
mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu bagi ekspor minyak sawit
Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang
terjadi.
5.3.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik
Persamaan permintaan minyak sawit Indonesia atau domestik merupakan
penjumlahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit dan
oleh industri lainnya. Hal tersebut dibangun berdasarkan analisis dalam kurun
waktu 1984-2007, diperoleh bahwa rata-rata permintaan minyak sawit oleh
industri minyak goreng adalah sebesar 77.54 persen, sedangkan rata-rata
permintaan minyak sawit untuk industri lain (seperti oleokimia, margarin, sabun,
dan biodiesel) hanya sebesar 22.46 persen. Persamaan permintaan minyak sawit
Indonesia atau domestik ditunjukkan dengan :
DMSDt = DMSIMGt + DMSILt
5.3.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan permintaan minyak sawit
oleh industri minyak goreng yang ditunjukkan pada Tabel 21, dapat dijelaskan
bahwa permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng (DMSIMG)
dipengaruhi secara positif oleh harga riil minyak goreng sawit domestik, harga riil
minyak kelapa domestik, tren, dan permintaan minyak sawit oleh industri minyak
goreng t-1. Adapun variabel harga riil minyak sawit Indonesia berpengaruh secara
negatif terhadap DMSIMG.
Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap permintaan minyak sawit
oleh industri minyak goreng adalah harga riil minyak goreng sawit domestik,
115
harga riil minyak kelapa domestik, dan tren. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan pada harga riil minyak goreng sawit domestik mempengaruhi
keputusan produsen minyak goreng sawit atas produksinya sehingga
permintaannnya terhadap minyak sawit sebagai bahan baku juga berubah.
Kemudian jika dilihat berdasarkan nilai elastisitasnya, respon permintaan minyak
sawit oleh industri minyak goreng terhadap perubahan harga riil minyak goreng
sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka
panjang. Hal ini mengindikasikan dalam jangka panjang perubahan harga riil
minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan permintaan
minyak sawit oleh industri minyak goreng berubah lebih besar dari 1 persen.
Tabel 21. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Sawit
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -2069.9700 0.0082 HRMSD -0.1185 -0.1546 -0.2198 0.5566 harga riil CPO Indonesia
HRMKD 0.1968 0.2198 0.3125 0.0777 harga riil minyak kelapa domestik
HRMGSD 0.3828 0.7022 0.9987 0.0626 harga riil minyak goreng sawit domestik
TREN 141.1295 0.9165 1.3033 0.0016 Teknologi LDMSIMG 0.2968 0.1570 DMSIMG t-1 R-squared 0.9498 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat -4.1670
Sumber : Data diolah (2010)
Begitu pula respon permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng
terhadap perubahan tren bersifat inelastis dalam jangka pendek namun elastis
dalam jangka panjang. Ini artinya terdapat kenaikan dalam permintaan minyak
sawit oleh industri minyak goreng yang besar dari tahun ke tahun selama periode
pengamatan. Selanjutnya, variabel permintaan minyak sawit oleh industri minyak
goreng t-1 (lag DMSIMG) berpengaruh secara tidak nyata terhadap permintaan
minyak sawit oleh industri minyak goreng (DMSIMG). Hal ini mengindikasikan
116
bahwa DMSIMG relatif cepat untuk menyesuaikan diri dalam merespon
perubahan ekonomi yang terjadi.
Tabel 21 menunjukkan bahwa harga riil minyak sawit Indonesia
berpengaruh secara tidak nyata terhadap permintaan minyak sawit oleh industri
minyak goreng. Ini berarti perubahan harga riil minyak sawit Indonesia tidak
dapat menyebabkan perubahan perilaku produsen dalam melakukan permintaan
terhadap minyak sawit untuk memproduksi minyak goreng. Permintaan minyak
sawit oleh industri minyak goreng dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak
kelapa domestik (substitusi dari minyak sawit). Hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin mahal minyak kelapa maka produsen minyak goreng akan beralih
menggunakan minyak sawit.
5.3.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
Hasil pendugaan terhadap persamaan permintaan minyak sawit oleh industri
lain (DMSIL) yang disajikan pada Tabel 22 menunjukkan bahwa DMSIL
dipengaruhi oleh harga riil minyak sawit Indonesia, harga riil minyak kelapa
Indonesia, harga riil minyak mentah dunia, upah riil industri t-1, suku bunga BI
riil, teknologi, dan DMSIL t-1. Variabel yang mempengaruhi DMSIL secara
positif adalah harga riil minyak kelapa Indonesia, harga riil minyak mentah dunia,
tren, dan DMSIL t-1. Adapun harga riil minyak sawit Indonesia, upah riil industri
t-1, dan suku bunga BI riil berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit oleh
industri lain secara negatif.
Dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak sawit oleh industri lain hanya
dipengaruhi secara signifikan oleh variabel suku bunga BI riil. Hal ini
mengindikasikan bahwa industri lain yang membutuhkan bahan baku minyak
117
sawit, seperti margarin, sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel memerlukan
insentif (seperti suku bunga kredit yang murah) sehingga mereka bersedia
meningkatkan kapasitas produksinya yang berarti meningkatkan permintaan
mereka terhadap minyak sawit.
Pengaruh harga riil minyak mentah dunia terhadap permintaan minyak sawit
oleh industri lain (sebagai proksi permintaan minyak sawit oleh industri seperti
sabun, mie, oleokimia, maupun biodiesel) adalah tidak nyata. Ini menunjukkan
bahwa perusahaan yang memproduksi biodiesel di Indonesia masih sedikit dengan
kapasitas produksi yang rendah sehingga perubahan harga riil minyak mentah
dunia tidak menyebabkan perubahan yang signifikan pada produksi biodiesel
(yang ditunjukkan oleh permintaan minyak sawit oleh industri lain).
Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 1400.7280 0.2487 HRMSD -0.0092 -0.0484 -0.0510 0.9639 harga riil CPO Indonesia
HRMKD 0.1838 0.8261 0.8701 0.2105 harga riil minyak kelapa Indonesia
HRMMW 0.6389 0.0317 0.0334 0.9513 harga riil minyak mentah dunia LUPRIN -0.1085 -2.6159 -2.7552 0.2052 upah riil industri t-1 SBR -22.6230 -0.2357 -0.2482 0.0537 suku bunga BI riil TREN 14.4842 0.3784 0.3986 0.6640 Teknologi LDMSIL 0.0506 0.8359 DMSIL t-1 R-squared 0.3968 Prob>|F| 0.3579 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010)
Variabel tren yang merupakan proksi terhadap adopsi teknologi pada
industri hilir minyak sawit (selain industri minyak goreng) memberikan pengaruh
yang tidak nyata pula terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain (seperti
margarin, sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel). Hal ini mengindikasikan bahwa
118
teknologi produksi guna menghasilkan produk-produk tersebut belum mengalami
kemajuan yang pesat.
Harga riil minyak sawit Indonesia secara statistik tidak berpengaruh nyata
terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain (seperti margarin, sabun, mie,
oleokimia, serta biodiesel). Hal ini menunjukkan bahwa para produsen yang
menghasilkan produk-produk tersebut dalam menentukan jumlah produksi tidak
berpatokan pada harga minyak sawit. Tanda positif pada harga minyak kelapa
domestik, menunjukkan bahwa minyak kelapa merupakan input substitusi guna
memproduksi produk olahan minyak sawit. Tidak nyatanya pengaruh harga
minyak kelapa diduga karena bagi industri olahan minyak sawit tersebut, minyak
kelapa atau minyak sawit bukan merupakan bahan baku utama, sehingga porsinya
dalam biaya produksi tidaklah besar.
Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui pula bahwa pengaruh dari tingkat
upah industri terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain adalah tidak
signifikan. Hal ini dikarenakan umumnya pada perusahaan penggunaan tenaga
kerja sudah terikat pada suatu kesepakatan kerja. Sementara itu, permintaan
minyak sawit oleh industri lain juga dipengaruhi oleh variabel bedakala, tetapi
secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa
tidak ada tenggang waktu dibutuhkan oleh permintaan minyak sawit oleh industri
lain untuk menyesuaikan diri kembali atau kembali kepada tingkat
keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
5.3.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik
Dalam studi ini penawaran minyak sawit domestik dinyatakan sebagai
produksi dikurangi ekspor, ditambah impor, ditambah stok tahun sebelumnya. Hal
119
ini dikarenakan peningkatan harga minyak sawit dunia yang semakin cepat,
menstimulus produsen minyak sawit domestik untuk mengekspor minyak sawit
yang dihasilkannya. Akibatnya, ketersediaan (penawaran) minyak sawit domestik
akan bersifat residual, yaitu sisa produksi setelah dikurangi ekspor. Kemudian
karena Indonesia juga mengimpor minyak sawit dan sebagian penawaran juga
berasal dari stok tahun lalu, maka persamaan penawaran domestik dapat dituliskan
sebagai berikut :
SMSDt = QMSIt - XMSIt + MMSIt + STKMSt-1
5.3.8. Harga Minyak Sawit Domestik
Persamaan harga minyak sawit domestik dari model yang telah diduga
ditentukan oleh penawaran minyak sawit Indonesia, permintaan minyak sawit
Indonesia, harga riil ekspor minyak sawit Indonesia, dan harga minyak sawit
domestik t-1. Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan pada Tabel 23,
diketahui bahwa koefisien harga ekspor bernilai 0.8602 yang berarti kenaikan
harga ekspor sebesar US.$ 1 per ton hanya akan meningkatkan harga minyak
sawit domestik sebesar Rp 860.2 per ton. Jika diasumsikan nilai tukar rupiah
terhadap US.$ adalah Rp 8 000, maka setiap kenaikan harga ekspor sebesar
US.$ 1 hanya akan berdampak kenaikan sekitar 10.75 persen terhadap harga
domestik.
Hasil tersebut juga sesuai dengan fenomena aktual yang terjadi selama ini,
yaitu terdapat selisih yang besar antara harga ekspor dan harga domestik dari
minyak sawit. Kondisi ini dipercayai oleh banyak pakar sebagai permasalahan
utama penyebab tingginya harga minyak goreng di dalam negeri karena produsen
120
minyak sawit lebih tertarik mengekspor produknya daripada menjualnya di dalam
negeri.
Variabel yang mempengaruhi harga minyak sawit domestik secara positif
dan secara statistik bersifat nyata adalah permintaan minyak sawit Indonesia. Hal
ini menunjukkan bahwa jika permintaan minyak sawit domestik yang digunakan
sebagai bahan baku industri hilir minyak sawit meningkat maka harga minyak
sawit meningkat yang kemudian harga TBS di tingkat petani juga akan
meningkat. Diketahui bahwa respon harga minyak sawit domestik terhadap
perubahan permintaan minyak sawit domestik bersifat inelastis dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Hal ini diduga karena umumnya perkebunan
besar swasta memiliki industri minyak goreng sawit sendiri, sehingga secara
eksplisit mencerminkan betapa kuatnya integrasi vertikal yang dibangun oleh
perusahaan tersebut. Akibatnya perkebunan rakyat yang memproduksi minyak
sawit rata-rata sebesar 21 persen (selama kurun waktu 1984-2007) dari total
produksi minyak sawit Indonesia harus bersikap sebagai penerima harga,
khususnya harga domestik yang selama ini diatur oleh pemerintah secara berkala.
Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Domestik
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 429.1900 0.5368 SMSD -0.0282 -0.0440 -0.0550 0.6190 Supply CPO Indonesia DMSD 0.5882 0.5630 0.7070 0.0200 Demand CPO Indonesia HRXMSI 0.8602 0.1310 0.1640 0.4056 harga riil expor CPO Indonesia LHRMSD 0.2033 0.3574 harga riil CPO Indonesia t-1 R-squared 0.6758 Prob>|F| 0.0008 Durbin-h stat 3.9290
Sumber : Data diolah (2010)
Secara statistik (Tabel 23), pengaruh penawaran minyak sawit domestik
terhadap harga minyak sawit domestik adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa perubahan pada penawaran minyak sawit domestik tidak dapat menjadi
121
tolok ukur bagi perubahan harga minyak sawit domestik. Selain faktor-faktor
tersebut, harga minyak sawit domestik dipengaruhi secara tidak nyata oleh
variabel bedakalanya (harga minyak sawit domestik t-1). Hal ini mengindikasikan
bahwa tidak ada tenggang waktu bagi harga minyak sawit domestik untuk
menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
5.3.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Hasil estimasi persamaan harga ekspor minyak sawit Indonesia disajikan
pada Tabel 24. Harga ekspor minyak sawit Indonesia dari model yang diestimasi
ditentukan oleh harga riil minyak sawit dunia, pertumbuhan harga riil minyak
mentah dunia, ekspor minyak sawit Indonesia, pajak ekspor minyak sawit
Indonesia, dan harga ekspor minyak sawit Indonesia t-1. Dapat diketahui bahwa
harga ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi secara positif oleh harga riil
minyak sawit dunia, pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia, dan harga
ekspor minyak sawit Indonesia t-1. Adapun ekspor minyak sawit Indonesia dan
pajak ekspor minyak sawit Indonesia mempengaruhi harga ekspor minyak sawit
Indonesia secara negatif.
Berdasarkan kriteria statistik, harga ekspor minyak sawit Indonesia hanya
dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak sawit dunia. Hal ini
merupakan salah satu konsekuensi dari perekonomian terbuka yaitu terjadi
integrasi harga antara harga di tingkat pasar global (harga dunia) dengan harga
ekspor pada negara yang bersangkutan. Harga dunia berpengaruh sangat nyata
terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia dengan koefisien parameter 0.8737
yang menjelaskan bahwa dari setiap kenaikan harga minyak sawit dunia sebesar
US.$ 10 per ton, ceteris paribus, menyebabkan harga ekspor minyak sawit
122
Indonesia meningkat sebesar US.$ 8.737 per ton. Kemudian bila dilihat
berdasarkan koefisien elastisitas, respon harga ekspor minyak sawit Indonesia
terhadap perubahan harga minyak sawit dunia bersifat elastis dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti, perubahan harga minyak sawit
dunia sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan yang lebih besar dari 1
persen pada harga ekspor minyak sawit Indonesia.
Perubahan-perubahan kebijakan perdagangan seperti pajak ekspor akan
melekat pada harga ekspor. Pada model ini, pajak ekspor berpengaruh nyata
terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia dengan koefisien -1.9879 yang
menunjukkan bahwa setiap kenaikan pajak ekspor sebesar 1 persen akan
menurunkan harga ekspor minyak sawit Indonesia sebesar US.$ 1.9879 per ton.
Namun demikian, respon harga ekspor minyak sawit Indonesia terhadap
perubahan pajak ekspor sangat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
Tabel 24. Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -57.7283 0.1381 HRMSW 0.8737 1.0130 1.2190 <.0001 harga riil CPO dunia
PHRMMW 0.0532 0.0008 0.0010 0.8653 pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia
XMSI -0.0009 -0.0090 -0.0100 0.6535 expor CPO Indonesia PXMSI -1.9879 -0.0380 -0.0460 0.0092 pajak expor CPO Indonesia
LHRXMSI 0.1689 0.0450 harga riil expor CPO Indonesia t-1
R-squared 0.9614 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat 0.5860 Sumber : Data diolah (2010)
Pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia berpengaruh secara positif
terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Ini berarti jika terdapat kenaikan
pada harga minyak mentah dunia akan menyebabkan kenaikan harga ekspor
123
minyak sawit Indonesia. Hal ini diduga adanya peningkatan harga ekspor minyak
sawit Indonesia tersebut sebagai akibat kenaikan permintaan minyak sawit di
pasar dunia yang merupakan kenaikan permintaan oleh industri biodiesel.
Namun berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 24, dapat ditunjukkan bahwa
pengaruh perubahan pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia terhadap harga
ekspor minyak sawit Indonesia adalah tidak signifikan. Terjadinya hal tersebut
disebabkan karena negara importir minyak sawit besar seperti Cina, India, dan
Pakistan belum terlalu maju dalam pengembangan biodiselnya, tidak seperti di
Amerika dan negara-negara Eropa.
Secara ekonomi (Tabel 24), variabel ekspor minyak sawit Indonesia
berpengaruh negatif terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Hal tersebut
berarti peningkatan pada ekspor minyak sawit Indonesia akan menyebabkan
penurunan pada harga ekspor minyak sawit Indonesia. Namun secara statistik
pengaruh ekspor minyak sawit Indonesia terhadap harga ekspor minyak sawit
Indonesia adalah tidak nyata, yang mengindikasikan bahwa perubahan pada
ekspor minyak sawit Indonesia hanya mampu mendorong perubahan yang sangat
kecil terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat terlihat pula
berdasarkan hasil tabulasi data historis dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, ekspor
minyak sawit Indonesia meningkat rata-rata 32.76 persen per tahun akan tetapi
pada kurun waktu yang sama harga ekspor minyak sawit Indonesia hanya
meningkat rata-rata 1.40 persen per tahun.
Kemudian variabel harga ekspor minyak sawit Indonesia t-1 (variabel
bedakala) berpengaruh secara nyata terhadap harga ekspor minyak sawit
Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif
124
lambat bagi harga ekspor minyak sawit Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam
merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
5.3.10. Ekspor Minyak Sawit Malaysia
Negara-negara eksportir minyak sawit di dunia yang dianggap sebagai
pesaing Indonesia adalah Malaysia, Papua New Guinea, dan Colombia. Penelitian
ini hanya mempelajari perilaku ekspor Malaysia sebagai pesaing terbesar
Indonesia untuk mengetahui daya saingnya di pasar dunia. Berdasarkan hasil
estimasi yang ditunjukkan pada Tabel 25, dapat dijelaskan bahwa perilaku ekspor
minyak sawit Malaysia ditentukan oleh perubahan harga riil ekspor minyak sawit
Malaysia, perubahan harga riil minyak kelapa dunia, produksi minyak sawit
Malaysia, nilai tukar efektif riil Malaysia, dan ekspor minyak sawit Malaysia t-1.
Ekspor minyak sawit Malaysia dipengaruhi secara signifikan oleh produksi
minyak sawit Malaysia dan nilai tukar efektif riil Malaysia. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar jumlah minyak sawit yang dapat diproduksi mendorong
pengusaha minyak sawit Malaysia untuk meningkatkan jumlah ekspor minyak
sawit lebih banyak lagi. Kemudian jika dilihat berdasarkan nilai elastisitas, dapat
dijelaskan bahwa pengaruh produksi minyak sawit Malaysia terhadap ekspor
minyak sawit Malaysia adalah inelastis dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, jika dibandingkan
dengan Malaysia maka Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia
lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik dan memenuhi kebutuhan
minyak sawit dunia yang besar melalui ekspor yang besar.
125
Tabel 25. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Malaysia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -1467.2300 0.0158
SHRXMSM 1.3529 0.0008 0.0010 0.1901 perubahan harga riil expor minyak sawit Malaysia
SHRMKW 0.2899 0.0005 0.0006 0.6237 perubahan harga riil minyak kelapa dunia
QMSM 0.6689 0.7488 0.8797 0.0002 produksi CPO Malaysia NTERM 734.3466 0.2818 0.3310 0.0066 nilai tukar efektif riil Malaysia LXMSM 0.1489 0.3647 expor CPO Malaysia t-1 R-squared 0.9925 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat 0.1890
Sumber : Data diolah (2010)
Pengaruh nilai tukar efektif riil Malaysia terhadap ekspor minyak sawit
Malaysia juga signifikan, namun respon ekspor minyak sawit Malaysia terhadap
perubahan nilai tukar efektif riil Malaysia bersifat inelastis dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal ini berarti bahwa perubahan yang terjadi pada nilai
tukar efektif riil Malaysia menyebabkan terjadinya perubahan pada jumlah
minyak sawit yang diekspor pengusaha Malaysia, walaupun perubahannya kecil
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun pengaruh perubahan harga
riil ekspor minyak sawit Malaysia terhadap ekspor minyak sawit Malaysia adalah
tidak nyata. Hal ini serupa dengan yang terjadi pada Indonesia, yakni adanya
kelambanan ekspor dalam merespon perubahan harga ekspor yang terjadi, yang
diduga sebagai akibat praktek ikatan kontrak (forward trading) antara eksportir
Malaysia dengan importir di negara tujuan ekspor.
Kemudian pada Tabel 25 juga dapat ditunjukkan bahwa perubahan harga
minyak kelapa dunia (sebagai barang substitusi) tidak dapat menyebabkan
perubahan yang signifikan terhadap jumlah ekspor minyak sawit Malaysia. Ini
disebabkan di dunia, harga minyak sawit relatif lebih murah daripada harga
minyak kelapa. Hal ini dapat terlihat pula berdasarkan hasil tabulasi data historis
dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, rata-rata harga minyak kelapa dunia adalah
126
US.$ 677.13 per ton sedangkan pada kurun waktu yang sama rata-rata harga
minyak sawit dunia sebesar US.$ 528.57 per ton. Selain faktor-faktor tersebut,
ekspor minyak sawit Malaysia dipengaruhi secara tidak nyata oleh variabel
bedakalanya (ekspor minyak sawit Malaysia t-1). Hal ini mengindikasikan bahwa
tidak ada tenggang waktu bagi ekspor minyak sawit Malaysia untuk
menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
5.3.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia
Disamping Indonesia dan Malaysia sebagai negara pengekspor minyak
sawit terbesar di dunia, ada beberapa negara lain yang juga memberi kontribusi
terhadap total ekspor minyak sawit dunia. Dalam penelitian ini ekspor dari
beberapa negara lain tersebut dikelompokkan ke dalam ekspor sisa dunia yang
merupakan variabel eksogen. Ekspor minyak sawit dunia merupakan penjumlahan
dari ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia, ditambah dengan ekspor
minyak sawit sisa dunia.
XMSWt = XMSIt + XMSMt + XMSRWt
5.3.12. Impor Minyak Sawit Cina
Cina merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia saat ini.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabulasi data historis selama kurun waktu 2003-
2007, dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor Cina terhadap total impor di
dunia adalah 17 persen. Perilaku impor Cina dipelajari untuk mengetahui peluang
pasar, khususnya untuk minyak sawit Indonesia dan Malaysia sebagai pesaing
terbesar Indonesia.
127
Perilaku impor minyak sawit Cina dijelaskan oleh harga riil minyak sawit
dunia, harga riil minyak kedele dunia, pendapatan per kapita riil Cina, nilai tukar
efektif riil Cina, dan impor minyak sawit Cina t-1 (Tabel 26). Harga riil minyak
sawit dunia dan nilai tukar efektif riil Cina mempengaruhi impor minyak sawit
Cina secara negatif, artinya jika harga riil minyak sawit dunia atau nilai tukar
efektif riil Cina meningkat maka impor minyak sawit Cina akan menurun. Adapun
harga riil minyak kedele dunia, pendapatan per kapita riil Cina, dan impor minyak
sawit Cina t-1 berpengaruh positif terhadap impor minyak sawit Cina.
Impor minyak sawit Cina dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil
minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia, dan pendapatan per kapita riil
Cina. Sementara nilai tukar efektif riil Cina dan impor minyak sawit Cina t-1
berpengaruh terhadap impor minyak sawit Cina secara tidak signifikan. Secara
ekonomi, respon impor minyak sawit Cina terhadap perubahan harga riil minyak
sawit dunia adalah inelastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Hal ini berarti jika terdapat kenaikan harga riil minyak sawit dunia yang besar
maka Cina hanya akan menurunkan impornya dalam jumlah yang kecil, begitu
pula sebaliknya.
Harga riil minyak kedele dunia juga mempengaruhi impor minyak sawit
Cina secara signifikan, yang mana respon impor minyak sawit Cina terhadap
perubahan harga riil minyak kedele dunia adalah inelastis dalam jangka pendek,
namun elastis dalam jangka panjang. Hal ini berarti dalam jangka panjang, jika
harga riil minyak kedele dunia (sebagai substitusi dari minyak sawit) meningkat
sebesar 1 persen akan menyebabkan impor minyak sawit Cina meningkat lebih
besar dari 1 persen.
128
Tabel 26. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Cina
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -1050.9500 0.1293 HRMSW -2.8644 -0.7051 -0.8614 0.0026 Harga riil CPO dunia HRMKDW 3.4553 0.9550 1.1667 0.0025 Harga riil minyak kedele dunia INCRC 0.3303 1.1733 1.4334 0.0003 pendapatan per kapita riil Cina NTERC -14.5294 -0.0573 -0.0700 0.8300 nilai tukar efektif riil Cina LMMSC 0.1814 0.3731 impor CPO Cina t-1 R-squared 0.9860 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat -1.1260
Sumber : Data diolah (2010)
Permintaan minyak sawit oleh Cina yang relatif lebih tinggi dibandingkan
permintaan minyak kedelenya dikarenakan minyak kedele mengandung TFA
(trans fatty acid) yang relatif tinggi dibandingkan minyak sawit sehingga banyak
industri makanan yang memilih dan membeli minyak sawit sebagai bahan
bakunya (Departemen Perdagangan RI, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat
diketahui bahwa Cina merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi negara
eksportir minyak sawit termasuk Indonesia.
Secara statistik (Tabel 26), pendapatan per kapita riil Cina juga berpengaruh
secara signifikan terhadap impor minyak sawit Cina. Selanjutnya, secara ekonomi,
respon impor minyak sawit Cina terhadap perubahan pendapatan per kapita riil
Cina adalah elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Bila dikaitkan
dengan perjanjian perdagangan bebas dalam ACFTA (Asean China Free Trade
Agreement), hal tersebut menjadikan Cina sebagai konsumen yang sangat
menjanjikan bagi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Pengaruh nilai tukar efektif riil Cina terhadap impor minyak sawit Cina
adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai
tukar efektif riil Cina, tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur berubahnya nilai
impor minyak sawit Cina. Selanjutnya, impor minyak sawit Cina juga dipengaruhi
129
secara tidak nyata oleh variabel bedakalanya. Hal ini mengindikasikan bahwa
tidak ada tenggang waktu yang lama bagi impor minyak sawit Cina untuk
menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
5.3.13. Impor Minyak Sawit India
Berdasarkan tabulasi data historis selama kurun waktu 2003-2007, dapat
dijelaskan bahwa rata-rata share impor India terhadap total impor di dunia adalah
14 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa India merupakan negara pengimpor
minyak sawit terbesar kedua setelah Cina.
Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan bahwa perilaku impor minyak
sawit India dijelaskan oleh perubahan harga riil minyak sawit dunia, harga riil
minyak kedele dunia t-1, pendapatan per kapita riil India, dan impor minyak sawit
India t-1. Dapat diketahui bahwa, secara statistik impor minyak sawit India
dipengaruhi secara signifikan hanya oleh variabel lagnya, yaitu impor minyak
sawit India t-1. Hal itu mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif
lambat dari impor minyak sawit India untuk menyesuaikan diri dalam merespon
perubahan ekonomi yang terjadi.
Perubahan yang terjadi pada harga riil minyak sawit dunia tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap impor minyak sawit India. Ini menunjukkan
kenaikan harga minyak sawit dunia tidak membuat pengusaha importir dari India
mengurangi pembeliannya terhadap minyak sawit, karena kebutuhan yang besar
terhadap minyak sawit tersebut. Kemudian dapat diketahui pula bahwa, secara
statistik pengaruh harga riil minyak kedele dunia t-1 terhadap impor minyak sawit
India adalah sangat tidak nyata. Hal itu mengindikasikan perubahan pada harga
riil minyak kedele dunia t-1 (sebagai substitusi dari minyak sawit) tidak dapat
130
menyebabkan perubahan permintaan minyak sawit India, karena harga minyak
kedele dunia relatif lebih mahal daripada harga minyak sawit dunia. Pernyataan
tersebut didukung bahwa selama kurun waktu 1984 s/d 2007, rata-rata harga
minyak kedele dunia adalah US.$ 598 per ton sedangkan pada kurun waktu yang
sama rata-rata harga minyak sawit dunia sebesar US.$ 528.57 per ton. Disamping
itu, diketahui bahwa isu minyak nabati merupakan salah satu alat kampanye untuk
melindungi minyak kedele negara tersebut, yang mana politikus di India
mengusung isu minyak nabati sebagai alat untuk memenangkan pemilu. India
merupakan produsen kedelai (Glycine soja) terbesar kelima di dunia, setelah
Amerika Serikat, Brasil, Argentina, dan Cina (Departemen Perdagangan RI,
2007).
Tabel 27. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit India
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -694.9250 0.4838
SHRMSW -1.0775 -0.0065 -0.0447 0.3104 perubahan harga riil minyak sawit dunia
LHRMKDW 0.2052 0.0582 0.4015 0.9102 harga riil minyak kedele dunia t-1
INCRIND 0.0502 0.5114 3.5307 0.3081 Pendapatan per kapita riil India
LMMSIND 0.8552 0.0007 impor CPO India t-1 R-squared 0.9126 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat 3.0130
Sumber : Data diolah (2010)
Berbeda dengan Cina, pengaruh perubahan pendapatan per kapita riil India
terhadap impor minyak sawit India adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa
perilaku impor minyak sawit India tidak ditentukan oleh perubahan pendapatan
per kapitanya, namun lebih ditentukan oleh kebutuhan minyak sawit yang besar.
Diketahui bahwa kebutuhan minyak nabati di India setiap tahun diperkirakan
mencapai 11 juta ton, yang mana produksi dalam negeri sebesar 5.5 juta ton (yang
131
merupakan produksi minyak kedele) dan sisanya 5.5 juta ton berasal dari impor
minyak sawit. minyak sawit dan turunannya yang dipasok oleh Indonesia sekitar
2.56 juta ton yang terdiri dari minyak sawit 1.79 juta ton dan sisanya berupa olein
dan stearin.
India hingga kini menjadi negara tujuan utama ekspor minyak sawit
Indonesia. Tahun 2005, dari total ekspor minyak sawit Indonesia sebanyak 10.38
juta ton, India merupakan negara penyerap terbesar mencapai 24.6 persen
kemudian diikuti dengan Cina sebesar 17.5 persen. Pasar ekspor minyak sawit ke
India sangat menjanjikan walaupun pemerintah India masih menerapkan
hambatan tarif berupa bea masuk guna memproteksi industri minyak kedelai
domestiknya (Departemen Perdagangan RI, 2007).
5.3.14. Impor Minyak Sawit Pakistan
Pakistan merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar ketiga setelah
Cina dan India. Hal ini sesuai dengan hasil tabulasi data historis selama kurun
waktu 2003-2007, dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor Pakistan terhadap
total impor di dunia adalah 6 persen. Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa
perilaku impor minyak sawit Pakistan ditentukan oleh harga riil minyak sawit
dunia, harga riil minyak kedele dunia, pendapatan per kapita riil Pakistan, nilai
tukar efektif riil Pakistan t-1, dan impor minyak sawit Pakistan t-1. Secara
statistik, pengaruh harga riil minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia,
dan impor minyak sawit Pakistan t-1 terhadap impor minyak sawit Pakistan
adalah nyata. Adapun pendapatan per kapita riil Pakistan dan nilai tukar efektif riil
Pakistan t-1 berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor minyak sawit
Pakistan.
132
Secara ekonomi, respon impor minyak sawit Pakistan terhadap perubahan
harga riil minyak sawit dunia atau harga minyak kedele dunia adalah inelastis
dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang. Hal tersebut berarti
dalam jangka panjang Pakistan merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi
negara eksportir minyak sawit termasuk Indonesia.
Pengaruh nilai tukar efektif riil Pakistan t-1 terhadap impor minyak sawit
Pakistan adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada
nilai tukar efektif riil Pakistan, tidak dapat membuat berubahnya jumlah impor
minyak sawit Pakistan. Kemudian, impor minyak sawit Pakistan dipengaruhi
secara nyata oleh variabel bedakalanya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada
tenggang waktu yang relatif lambat bagi impor minyak sawit Pakistan untuk
menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Sama halnya dengan India, pengaruh perubahan pendapatan per kapita riil
Pakistan terhadap impor minyak sawit Pakistan adalah tidak nyata. Ini
menunjukkan bahwa perilaku impor minyak sawit Pakistan tidak dapat ditentukan
oleh perubahan pendapatan per kapitanya.
Tabel 28. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Pakistan
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 206.2166 0.5071 HRMSW -1.0558 -0.4570 -13.6980 0.0161 harga riil CPO dunia HRMKDW 0.7428 0.3610 10.8220 0.0740 harga riil minyak kedele dunia
INCRP 0.0008 0.0160 0.4890 0.9383 pendapatan per kapita riil Pakistan
LNTERP -0.6576 -0.0260 -0.7830 0.9161 nilai tukar efektif riil Pakistan t-1
LMMSP 0.9666 <.0001 impor CPO Pakistan t-1 R-squared 0.9540 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat -3.1740
Sumber : Data diolah (2010)
133
Terdapat faktor lain yang lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan
impor minyak sawit Pakistan seperti kebutuhan minyak sawit yang semakin
meningkat yang mana rata-rata pertumbuhan impor minyak sawit Pakistan adalah
sebesar 3.13 persen selama kurun waktu 2005-2008 (Oil World, 2009) dan adanya
perubahan dalam penetapan bea masuk minyak sawit. Selama kurun waktu 2005-
2008, diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan impor minyak sawit Pakistan yang
berasal dari Indonesia adalah sebesar 19.97 persen (Oil World, 2009).
Berdasarkan hal itu diketahui bahwa Pakistan merupakan peluang pasar yang
cukup menjanjikan bagi Indonesia.
5.3.15. Impor Minyak Sawit Dunia
Cina, India, dan Pakistan merupakan negara pengimpor minyak sawit
terbesar di dunia serta ada Indonesia dan beberapa negara lain yang juga memberi
kontribusi terhadap total impor minyak sawit dunia. Dalam penelitian ini impor
dari beberapa negara lain tersebut dikelompokkan ke dalam impor sisa dunia yang
merupakan variabel eksogen. Impor minyak sawit dunia merupakan penjumlahan
dari impor minyak sawit Cina, India, Pakistan, dan Indonesia, ditambah dengan
impor minyak sawit sisa dunia.
MMSWt = MMSCt + MMSINDt + MMSPt + MMSIt + MMSRWt
5.3.16. Harga Minyak Sawit Dunia
Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan harga minyak sawit dunia
yang ditunjukkan pada Tabel 29, dapat dijelaskan bahwa harga minyak sawit
dunia (HRMSW) dipengaruhi secara positif oleh impor minyak sawit dunia dan
harga minyak sawit dunia t-1. Adapun variabel ekspor minyak sawit dunia
berpengaruh secara negatif terhadap HRMSW.
134
Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap harga minyak sawit dunia
hanya harga minyak sawit dunia t-1. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa secara
statistik harga minyak sawit dunia dipengaruhi secara signifikan hanya oleh
variabel lagnya, yaitu harga minyak sawit dunia t-1. Hal itu mengindikasikan
bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari harga minyak sawit dunia
untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Adapun ekspor maupun impor minyak sawit dunia berpengaruh secara tidak
nyata terhadap harga minyak sawit dunia. Ini berarti perubahan ekspor ataupun
impor minyak sawit dunia tidak dapat menyebabkan perubahan yang besar
terhadap harga minyak sawit dunia. Hal tersebut didukung oleh hasil tabulasi data
historis bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, ekspor minyak sawit dunia
meningkat rata-rata 10.02 persen per tahun, adapun impor minyak sawit dunia
meningkat rata-rata 9.58 persen per tahun, akan tetapi pada kurun waktu yang
sama harga minyak sawit dunia hanya meningkat rata-rata 0.98 persen per tahun.
Tabel 29. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Dunia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 279.8991 0.0956 XMSW -0.0089 -0.2700 -0.5370 0.6817 expor CPO dunia MMSW 0.0074 0.2130 0.4230 0.7187 impor CPO dunia LHRMSW 0.4968 0.0561 harga riil CPO dunia t-1 R-squared 0.2838 Prob>|F| 0.1201 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010)
5.4. Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit
Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk olahan dari industri
minyak sawit dan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kebijakan-
kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit (CPO) seringkali dihadapkan
pada persoalan yang dilematis. Pada satu sisi, industri minyak sawit merupakan
135
penghasil devisa yang cukup besar, sementara pada sisi lain setiap kebijakan yang
mendorong peningkatan ekspor minyak sawit menyebabkan konsumen minyak
goreng sawit domestik akan menanggung beban kenaikan harga. Dengan
pertimbangan tersebut, keberadaan blok minyak goreng sawit diperlukan sebagai
salah satu aspek keragaan industri minyak sawit. Blok ini terdiri dari enam
persamaan, yaitu produksi minyak goreng sawit Indonesia, ekspor minyak goreng
sawit Indonesia, penawaran minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak
goreng sawit domestik, harga minyak goreng sawit domestik, dan harga ekspor
minyak goreng sawit Indonesia.
5.4.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Produksi minyak goreng sawit Indonesia (domestik) dari model yang telah
diduga (Tabel 30), ditentukan oleh harga minyak goreng sawit domestik t-1, harga
minyak sawit domestik t-1, tren, dan produksi minyak goreng sawit domestik t-1.
Secara statistik harga minyak goreng sawit domestik t-1, harga minyak sawit
domestik t-1, dan tren berbeda nyata dengan nol terhadap produksi minyak goreng
sawit domestik pada taraf α 15%. Adapun produksi minyak goreng sawit domestik
t-1 tidak berbeda nyata dengan nol terhadap produksi minyak goreng sawit
domestik. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa tidak ada tenggang waktu yang
relatif lambat dari produksi minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan
diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
Peningkatan harga minyak goreng sawit domestik t-1 sebesar Rp 1 per kg
dapat mendorong kenaikan produksi sebesar 1 687.4 ton minyak goreng. Secara
ekonomi respon produksi minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan
harga minyak goreng sawit domestik t-1 adalah elastis dalam jangka pendek dan
136
jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak goreng sawit
domestik t-1 sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi minyak goreng sawit
domestik lebih besar dari 1 persen.
Pengaruh kenaikan harga minyak sawit domestik t-1 (sebagai input) sebesar
Rp 1 per kg akan menyebabkan penurunan produksi minyak goreng sawit
domestik sebesar 1 273.3 ton. Ditambah respon produksi minyak goreng sawit
domestik terhadap perubahan harga minyak sawit domestik t-1 yang bersifat
elastis (jangka pendek dan jangka panjang). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
produksi minyak goreng sawit domestik untuk memenuhi permintaan atas
komoditas tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan harga minyak sawit
domestik sebagai bahan bakunya.
Tabel 30. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -5591.9900 0.0317
LHRMGSD 1.6874 2.8430 3.5110 0.0437 harga riil minyak goreng sawit domestik t-1
LHRMSD -1.2733 -1.4800 -1.8270 0.1340 harga riil CPO domestik t-1 TREN 309.2388 1.8450 2.2780 0.0093 Teknologi
LQMGS 0.1902 0.4163 produksi minyak goreng sawit t-1
R-squared 0.7444 Prob>|F| 0.0001 Durbin-h stat tak terdef Sumber : Data diolah (2010)
Variabel tren yang merupakan proksi terhadap penggunaan teknologi
berpengaruh positif terhadap produksi minyak goreng sawit domestik. Secara
ekonomi pengaruh tren terhadap perubahan produksi minyak goreng sawit
domestik bersifat elastis. Hal ini memberikan indikasi bahwa industri minyak
goreng sawit telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi
produksi sehingga keberadaan teknologi ini dapat memacu pertumbuhan produksi
137
minyak goreng sawit domestik yang besar dari tahun ke tahun selama periode
pengamatan.
5.4.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Hasil estimasi persamaan ekspor minyak goreng sawit Indonesia disajikan
pada Tabel 31. Ekspor minyak goreng sawit Indonesia dari model yang diestimasi
ditentukan oleh harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1, harga riil
minyak goreng sawit domestik, produksi minyak goreng sawit domestik, nilai
tukar efektif riil Indonesia t-1, dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1.
Dapat diketahui bahwa ekspor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara
positif oleh harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1, produksi minyak
goreng sawit domestik, nilai tukar efektif riil Indonesia t-1, dan ekspor minyak
goreng sawit Indonesia t-1. Adapun harga riil minyak goreng sawit domestik
mempengaruhi Ekspor minyak goreng sawit Indonesia secara negatif.
Berdasarkan kriteria statistik, ekspor minyak goreng sawit Indonesia
dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil ekspor minyak goreng sawit
Indonesia t-1, produksi minyak goreng sawit domestik, nilai tukar efektif riil
Indonesia t-1, dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1. Harga riil ekspor
minyak goreng sawit Indonesia t-1 berpengaruh sangat nyata terhadap ekspor
minyak goreng sawit Indonesia dengan koefisien parameter 1.0967 yang
menjelaskan bahwa dari setiap kenaikan harga riil ekspor minyak goreng sawit
Indonesia t-1 sebesar US.$ 1 per ton, ceteris paribus, menyebabkan ekspor
minyak goreng sawit Indonesia meningkat sebesar 1 096.7 ton. Kemudian bila
dilihat berdasarkan koefisien elastisitas, respon ekspor minyak goreng sawit
Indonesia terhadap perubahan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1
138
bersifat inelastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Hal
ini berarti dalam jangka panjang, perubahan harga riil ekspor minyak goreng sawit
Indonesia t-1 sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan yang lebih besar dari
1 persen pada ekspor minyak goreng sawit Indonesia.
Produksi minyak goreng sawit domestik berpengaruh secara positif terhadap
ekspor minyak goreng sawit Indonesia dan secara statistik pengaruhnya
siginifikan. Ini berarti jika terdapat kenaikan pada produksi minyak goreng sawit
domestik akan menyebabkan kenaikan ekspor minyak goreng sawit Indonesia.
Namun berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 31, dapat ditunjukkan bahwa respon
ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap perubahan produksi minyak
goreng sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Tabel 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -642.0550 0.3284
LHRXMGSI 1.0967 0.5850 2.0250 0.0798 harga riil expor minyak goreng sawit Indonesia t-1
HRMGSD -0.0611 -0.2550 -0.8830 0.6710 harga riil minyak goreng sawit domestik
QMGS 0.0995 0.2470 0.8530 0.0802 produksi minyak goreng sawit domestik
LNTERI 0.0678 0.4440 1.5360 0.1776 nilai tukar efektif riil Indonesia t-1
LXMGS 0.7110 0.0006 expor minyak goreng sawit t-1
R-squared 0.8770 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat -2.7650 Sumber : Data diolah (2010)
Secara ekonomi, respon ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap
perubahan variabel nilai tukar efektif riil Indonesia t-1 adalah inelastis dalam
jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Hal tersebut berarti bahwa
dalam jangka panjang, dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dollar
139
amerika akan mendorong pengusaha eksportir minyak goreng sawit untuk
meningkatkan ekspornya.
Variabel ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1 berpengaruh secara
nyata terhadap ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Hal ini mengindikasikan
bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi ekspor minyak goreng sawit
Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang
terjadi. Adapun variabel harga riil minyak goreng sawit domestik berpengaruh
terhadap ekspor minyak goreng sawit Indonesia secara tidak signifikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa intervensi pemerintah melindungi konsumen pada pasar
minyak goreng sawit tidak menimbulkan dilema karena penekanan harga minyak
goreng sawit domestik tidak mendorong peningkatan ekspor minyak goreng sawit
Indonesia.
5.4.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
Pada penelitian ini penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan
selisih produksi minyak goreng sawit Indonesia dengan ekspor minyak goreng
sawit Indonesia. Secara matematis konsep tersebut disajikan pada persamaan
berikut.
SMGSt = QMGSt - XMGSt
5.4.4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
Sebagai barang konsumsi maka variabel yang diduga kuat mempengaruhi
permintaan minyak goreng sawit domestik yaitu harga minyak goreng sawit
domestik, harga minyak goreng kelapa domestik sebagai barang substitusi, dan
pendapatan per kapita masyarakat.
140
Tabel 32. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Dometik
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 402.6444 0.6943
HRMGSD -0.3088 -1.3040 -2.7350 0.0413 harga riil minyak goreng sawit domestik
HRMGKD 0.2199 1.1280 2.3660 0.1346 harga riil minyak goreng kelapa domestik
INCRI 0.0367 0.2320 0.4870 0.4932 pendapatan per kapita riil Indonesia
LDMGS 0.5232 0.0204 demand minyak goreng sawit domestik t-1
R-squared 0.5821 Prob>|F| 0.0053 Durbin-h stat 4.4800 Sumber : Data diolah (2010)
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 32 dapat diketahui hanya variabel
pendapatan per kapita Indonesia yang tidak nyata pengaruhnya terhadap
permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal itu berarti bahwa permintaan
minyak goreng sawit domestik lebih ditentukan oleh harga minyak goreng sawit
dan harga minyak goreng kelapa domestik sebagai substitusinya.
Respon permintaan minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan
harga minyak goreng sawit atau harga minyak goreng kelapa domestik adalah
elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika koefisien tersebut
diperbandingkan, permintaan minyak goreng sawit lebih responsif terhadap
perubahan harganya sendiri dibandingkan terhadap perubahan harga minyak
goreng kelapa. Hal itu menunjukkan bahwa minyak goreng kelapa tidak cukup
kuat mensubstitusi minyak goreng sawit.
5.4.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
Secara teori ekonomi, diketahui bahwa harga minyak goreng sawit domestik
dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran minyak goreng sawit serta variabel
lagnya (harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya). Namun pada
141
penelitian ini, setelah melalui tahapan respesifikasi, variabel permintaan dan
penawaran minyak goreng sawit digabung menjadi variabel excess demand
minyak goreng sawit.
Secara statistik, variabel yang mempengaruhi harga minyak goreng sawit
domestik secara signifikan hanya harga riil ekspor minyak goreng sawit
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga riil ekspor minyak
goreng sawit Indonesia maka harga minyak goreng sawit domestik juga
mengalami peningkatan. Namun secara ekonomi, respon perubahan harga minyak
goreng sawit domestik akibat perubahan harga riil ekspor minyak goreng sawit
Indonesia adalah inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Ini berarti
bahwa kenaikan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia sebesar 10
persen hanya menyebabkan kenaikan harga minyak goreng sawit domestik lebih
kecil dari 10 persen.
Adapun variabel excess demand minyak goreng sawit berpengaruh terhadap
harga minyak goreng sawit domestik secara tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa
permintaan dan penawaran minyak goreng sawit memiliki pengaruh yang kecil
terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik. Hal tersebut didukung
oleh hasil tabulasi data historis bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007,
permintaan minyak goreng sawit meningkat rata-rata 15 persen per tahun, adapun
penawaran minyak goreng sawit meningkat rata-rata 40 persen per tahun, akan
tetapi pada kurun waktu yang sama harga minyak goreng sawit domestik hanya
meningkat rata-rata 1 persen per tahun.
Selanjutnya pengaruh harga minyak goreng sawit domestik t-1 terhadap
harga minyak goreng sawit domestik adalah tidak berbeda nyata dengan nol. Hal
142
itu mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang relatif lambat dari
harga minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon
perubahan ekonomi yang terjadi.
Tabel 33. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Dometik
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept 2810.6300 0.0034
EXDMGS 0.0039 0.00049 0.00050 0.9627 excess demand minyak goreng sawit domestik
HRXMGSI 2.2225 0.2819 0.2840 0.0140 harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia
LHRMGSD 0.0068 0.9734 harga riil minyak goreng sawit domestik t-1
R-squared 0.3474 Prob>|F| 0.0587 Durbin-h stat 1.6350 Sumber : Data diolah (2010)
5.4.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Hasil estimasi persamaan harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia
disajikan pada Tabel 34. Harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia dari model
yang diestimasi ditentukan oleh harga riil minyak goreng sawit dunia dan
pertumbuhan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Dapat diketahui bahwa
harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara positif oleh harga
riil minyak goreng sawit dunia. Adapun pertumbuhan ekspor minyak goreng sawit
Indonesia mempengaruhi harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia secara
negatif.
Tabel 34. Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variable Parameter Elastisitas Prob > |T| Variable Estimate SR LR Label
Intercept -19.3125 0.0043
HRMGSW 0.9728 1.0370 <.0001 harga riil minyak goreng sawit dunia
PXMGS -0.0155 -0.0010 0.5426 pertumbuhan ekspor minyak goreng sawit Indonesia
R-squared 0.9979 Prob>|F| <.0001 Durbin-w stat 0.5700 Sumber : Data diolah (2010)
143
Berdasarkan kriteria statistik (Tabel 34), harga ekspor minyak goreng sawit
Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak goreng sawit
dunia. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari perekonomian terbuka yaitu
terjadi integrasi harga antara harga di tingkat pasar global (harga dunia) dengan
harga ekspor pada negara yang bersangkutan. Kemudian bila dilihat berdasarkan
koefisien elastisitas, respon harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap
perubahan harga minyak goreng sawit dunia bersifat elastis. Hal ini berarti,
perubahan harga minyak goreng sawit dunia sebesar 1 persen akan menyebabkan
perubahan yang lebih besar dari 1 persen pada harga ekspor minyak goreng sawit
Indonesia.
5.5. Ringkasan Hasil
Berdasarkan hasil pendugaan model industri minyak sawit Indonesia
diperoleh beberapa hasil penting sebagai berikut :
1. Secara umum hasil pendugaan model industri minyak sawit Indonesia cukup
baik. Semua tanda parameter dugaan untuk variabel yang digunakan dalam
model sesuai dengan yang diharapkan. Variabel penjelas yang digunakan
mampu menjelaskan variasi nilai variabel endogennya dengan cukup baik.
2. Respon luas areal tanaman menghasilkan pada perkebunan besar negara
terhadap perubahan harga minyak sawit lebih inelastis, dibandingkan respon
luas areal tanaman menghasilkan pada perkebunan rakyat maupun perkebunan
besar swasta terhadap perubahan harga minyak sawit.
3. Respon produktivitas minyak sawit terhadap peningkatan areal pada
perkebunan rakyat, negara, dan swasta, baik di Sumatera maupun Kalimantan
adalah inelastis. Respon produktivitas yang inelastis terhadap perubahan luas
144
areal tersebut dapat disebabkan karena pengaruh umur tanaman, dimana
tanaman yang berumur muda mempunyai produktivitas yang lebih rendah.
Disamping itu dapat pula disebabkan karena penurunan kualitas tanaman dan
manajemen perkebunan dengan semakin luasnya areal tanaman.
4. Harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan permintaan
minyak sawit domestik daripada perubahan harga ekspor minyak sawit.
Harga minyak sawit domestik selalu lebih rendah dari harga ekspornya karena
adanya intervensi pemerintah dalam tataniga minyak sawit dengan
ditetapkannya harga dan jumlah alokasi minyak sawit di dalam negeri. Di
samping itu, juga disebabkan karena umumnya perkebunan besar swasta
memiliki industri minyak goreng sawit sendiri yang mencerminkan betapa
kuatnya integrasi vertikal yang dibangun oleh perusahaan tersebut. Akibat dari
keadaan ini adalah perkebunan rakyat yang memasok sekitar 30 persen dari
total produksi minyak sawit Indonesia harus bersikap sebagai penerima harga
(price taker) karena disamping sebagian besar pekebun pada perkebunan
rakyat terikat perjanjian pemasaran antara Inti-Plasma pada program PIR, juga
disebabkan karena skala usaha yang tidak memungkinkan untuk melakukan
ekspor.
5. Harga ekspor minyak sawit Indonesia responsif terhadap perubahan harga
minyak sawit dunia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa jika terdapat kenaikan dalam harga minyak sawit dunia
akan mendorong para pengusaha eksportir minyak sawit untuk meningkatkan
ekspor minyak sawitnya. Namun dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa
peningkatan harga ekspor minyak sawit Indonesia, hanya menyebabkan
145
perubahan relatif kecil terhadap harga minyak sawit domestik dan jumlah
ekspor minyak sawit Indonesia.
6. Ekspor minyak goreng sawit Indonesia elastis terhadap perubahan harga
ekspor minyak goreng sawit Indonesia dan nilai tukar efektif riil Indonesia
dalam jangka panjang. Respon ekspor minyak goreng sawit Indonesia
terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik dan produksi minyak
goreng sawit domestik adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Sementara permintaan minyak goreng sawit domestik lebih
elastis terhadap perubahan harga minyak goreng sawit daripada perubahan
harga minyak goreng kelapa domestik. Hal ini menjelaskan bahwa minyak
goreng kelapa tidak cukup kuat mensubstitusi konsumsi minyak goreng sawit.
7. Variabel excess demand minyak goreng sawit berpengaruh terhadap harga
minyak goreng sawit domestik secara tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa
permintaan dan penawaran minyak goreng sawit memiliki pengaruh yang
kecil terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik.
8. Ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia signifikan dipengaruhi oleh
tingkat produksi minyak sawitnya dan tidak signifikan dipengaruhi oleh
perubahan harga ekspor yang terjadi. Hal ini dapat terjadi karena adanya
praktek forward trading atau perdagangan dengan ikatan kontrak kedua
negara ini dengan negara importir.
Ekspor minyak sawit Indonesia relatif lebih responsif terhadap perubahan
harga ekspornya dibandingkan ekspor minyak sawit Malaysia. Hal ini berarti
setiap peluang ekspor yang timbul akibat terjadinya kenaikan harga ekspor
akan direspon lebih besar oleh Indonesia, yang mencerminkan bahwa dari
146
aspek harga, Indonesia mempunyai daya saing yang lebih baik dibandingkan
dengan Malaysia sebagai kompetitornya.
9. Dalam jangka pendek, respon impor minyak sawit terhadap perubahan harga
minyak sawit dunia bersifat inelastis di semua negara importir besar minyak
sawit (Cina, India, dan Pakistan). Hal ini berarti jika terdapat kenaikan harga
minyak sawit dunia yang cukup besar, negara-negara pengimpor terbesar
minyak sawit hanya sedikit mengurangi pembelian minyak sawitnya.
Impor Cina dan Pakistan relatif lebih responsif terhadap perubahan harga
minyak kedele dunia (sebagai substitusi dari minyak sawit) dibandingkan
dengan India, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu,
kedua negara ini merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi negara
eksportir minyak sawit, termasuk Indonesia.
Disamping itu, respon impor Cina terhadap perubahan pendapatan per
kapitanya adalah elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bila
dikaitkan dengan perjanjian perdagangan bebas dalam ACFTA (Asean China
Free Trade Agreement), hal tersebut menjadikan Cina sebagai konsumen yang
cukup menjanjikan bagi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di
dunia.