urgensi spesialisasi penyidik polri dalam …

32
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 1 Submitted: 26 Maret 2019 Revised: 18 April 2019 Accepted: 25 Mei 2019 Vol. 4, No. 2 JIHK is licensed under a Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional license, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. URL: https://journal.stihbiak.ac.id/index.php/kyadiren/article/view/19 DOI: 10.46924/jihk.v4i2.19 e-ISSN: 2715-5038, p-ISSN: 2502-5058 ORIGINAL ARTICLE URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Nurul Chaerani Nur | Asdar Djabbar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Papua Correspondence Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Papua, Jl. Petrus Kafiar Biak Brambaken, Samofa, Biak-Papua, Indonesia Email: [email protected] Email: [email protected] Abstract The purpose of this research is to find out and analyze the urgency of Polri's specialization in the eradication of Corruption in Biak Numfor District, as well as to find out and analyze the juridical obstacles faced by the Police in conducting Corruption Crime investigations in Biak Numfor District. The approach used in this research is empirical juridical research. This research was conducted in Biak Numfor District at the Biak Numfor District Police. The population in this study were all police officers in the Biak Numfor Resort Police (POLRES), from this population, the samples were determined as follows: Head of Human Resources Section of Biak Numfor District Police, Head of the Corruption Crime Unit. The type of data used in this study are primary data and secondary data. This research uses qualitative data analysis. The results of the study show that: Professional police investigators supported by reliable behavior will be able to carry out investigations of criminal acts of corruption properly in accordance with public expectations. The obstacles faced by the National Police in conducting investigations of corruption in Biak Numfor Regency are that the quality of current police investigators is not yet professional in enforcing criminal acts of corruption.

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 1

Submitted: 26 Maret 2019 Revised: 18 April 2019 Accepted: 25 Mei 2019 Vol. 4, No. 2

JIHK is licensed under a Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional license, which permits

unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly

cited.

URL: https://journal.stihbiak.ac.id/index.php/kyadiren/article/view/19

DOI: 10.46924/jihk.v4i2.19

e-ISSN: 2715-5038, p-ISSN: 2502-5058

ORIGINAL ARTICLE

URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

Nurul Chaerani Nur | Asdar Djabbar

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Papua

Correspondence

Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum

Biak, Papua, Jl. Petrus Kafiar Biak

Brambaken, Samofa, Biak-Papua, Indonesia

Email: [email protected]

Email: [email protected]

Abstract

The purpose of this research is to find out and analyze the urgency

of Polri's specialization in the eradication of Corruption in Biak

Numfor District, as well as to find out and analyze the juridical

obstacles faced by the Police in conducting Corruption Crime

investigations in Biak Numfor District. The approach used in this

research is empirical juridical research. This research was

conducted in Biak Numfor District at the Biak Numfor District

Police. The population in this study were all police officers in the

Biak Numfor Resort Police (POLRES), from this population, the

samples were determined as follows: Head of Human Resources

Section of Biak Numfor District Police, Head of the Corruption

Crime Unit. The type of data used in this study are primary data

and secondary data. This research uses qualitative data analysis.

The results of the study show that: Professional police

investigators supported by reliable behavior will be able to carry

out investigations of criminal acts of corruption properly in

accordance with public expectations. The obstacles faced by the

National Police in conducting investigations of corruption in Biak

Numfor Regency are that the quality of current police investigators

is not yet professional in enforcing criminal acts of corruption.

Page 2: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 2

investigations, the application of rewards and punishments

(awards and punishments) that have not been carried out

consistently, the limited facilities and infrastructure as well as the

budget owned by the Biak Numfor District Police, the provisions in

Law Number 31 of 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 which

gives investigative authority not only to the National Police, but

also the authority of the Prosecutors and the Corruption

Eradication Commission, the public image of the professionalism

of police investigators in law enforcement of corruption has not

been supported because quality is seen as not being able to

demonstrate the existence of reality in conduct law enforcement on

criminal acts of corruption, implementation of coordination between

competent officials in law enforcement on criminal acts of

corruption has not been implemented properly, there is still a

presumption among the public or other institutions (Institutional

and Non-Institutional) that the Police are not authorized in

investigating criminal acts of corruption.

Keywords: investigators, professionalism, corruption

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis

urgensi spesialisasi Polri dalam pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi di Kabupaten Biak Numfor, serta untuk mengetahui dan

menganalisis hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam

melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Biak

Numfor. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yuridis empiris.Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten

Biak Numfor pada Kepolisian Resor Biak Numfor. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua aparat polisi di Kepolisian Resor

(POLRES) Biak Numfor, dari populasi tersebut, maka ditentukan

sampel sebagai berikut : Kepala Bagian Sumber Daya Manusia

Polres Biak Numfor, Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi. Jenis

data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder.Penelitian ini menggunakan analisis data

kualitatif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Penyidik Polri yang

profesional dengan didukung perilaku yang handal maka akan

Page 3: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 3

mampu melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi dengan

benar sesuai harapan masyarakat. Hambatan yang dihadapi Polri

dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Kabupaten

Biak Numfor yaitu kualitas penyidik Polri saat ini belum profesional

dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi,

adalah: pembinaan personil Polres Biak Numfor, masih

ditemukannya praktik-praktik penyimpangan hukum yang sering

terjadi dalam tugas penyidikan, penerapan reward and punishment

(penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara

konsisten, keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran

yang dimiliki Polres Biak Numfor, adanya ketentuan dalam

Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penyidikan

tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan juga kewenangan

kepada Kejaksaan dan KPK, image masyarakat terhadap

profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak

pidana korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat

belum mampu menunjukan eksistensi secara realitas dalam

melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi, pelaksanaan

koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan

hukum tindak pidana korupsi masih belum terselenggara dengan

baik, masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau

Instansi lain (Kelembagaan dan Non Kelembagaan) bahwa Polri

tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

Kata kunci : penyidik, profesionalisme, korupsi

1 Pendahuluan

Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah

menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Untuk itu diperlukan upaya penegakan hukum

secara sungguh-sungguh dan bersifat luar biasa. Mengingat Peran Polri dalam struktur kehidupan

masyarakat sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom masyarakat, penegak

hukum dan pelayanan masyarakat menjalankan perannya agar mempunyai tanggung jawab khusus

menjalankan peranannya agar terpelihara ketertiban masyarakat, sehingga dalam menangani kejahatan

baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun dalam bentuk pencegahan kejahatan agar para

Page 4: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 4

anggota masyarakat dapat hidup sejahtera, aman dan tenteram. Polri sebagai salah satu sub sistem dari

sistem Peradilan Pidana (criminal justice system), berwenang melakukan tugas Penyelidikan, Penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya termasuk kasus Korupsi, selain lembaga- lembaga hukum seperti Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK).

Dalam hal Polri melakukan tugas penyidikan, terhadap kasus-kasus korupsi, sejak awal penyidikan

kasus senantiasa berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (Selanjutnya disingkat JPU), untuk

menghindari bolak-balik perkara secara berulang. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang POLRI, bahwa :

Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk

Tindak Pidana Korupsi; dan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan

Korupsi.

Pasal 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Untuk

dapat menjalankan tugasnya Penyidik mempunyai wewenang untuk :

a. Menerima laporan atau pengaduan adanya tindakan pidana.

b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal badan.

c. Mengambil sidik jari dan identitas orang.

d. Menggeledah badan.

Jaksa sebagai penuntut saling koordinasi dengan Polri untuk memberantas Korupsi, Pasal 30,

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia

(selanjutnya disingkat UUKJ). Tugas dan wewenang jaksa dalam bidang pidana adalah: melakukan

penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Pidana bersyarat, putusan Pidana

pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan

dengan penyidik Polri. Polri dalam menyidik kasus terkesan sangat lambat, mengingat kewenangan Polri

sebagai Penyidik, untuk menyelidiki pelaku/tersangka tindak pidana korupsi, dimana masyarakat sebagai

penilai/monitoring kurang percayanya kepada Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana

korupsi.

1.1. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah urgensi spesialisasi penyidik Polri dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di

Kabupaten Biak Numfor?

2. Hambatan apakah yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di

Kabupaten Biak Numfor?

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis :

Page 5: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 5

1. Urgensi spesialisasi Polri dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Biak Numfor.

2. Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di

Kabupaten Biak Numfor.

1.3. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Simons1, memberikan pengertian dari perkataan straafbaarfeit adalah sebagai berikut: Tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

tindakan yang dapat dihukum. Menurut Simons2, memberikan pengertian dari perkataan Tindak Pidana

adalah sebagai berikut :

“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”

Menurut Indriyanto Seno Adji3adalah :

“Perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,

terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya”.

Menurut Moeljatno4tindak pidana adalah :

“perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya”.

Sedangkan menurut Marshall5 sebagai berikut:

“a crime is any act or omission prohibited by law for the protection of the public, and

punnishable by the state in a judicial proceeding in its own name”

Suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi

masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.

Selanjutnya menurut Diening6 adalah :

“actus’ translate into conduct’, compromising commission and omission.”

Tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan

menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

1.4. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam Bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke

berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam Bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam Bahasa

Prancis menjadi corruption dan dalam Bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptive (korruptie).

Page 6: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 6

Agaknya dari Bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam Bahasa Indonesia7. Subekti dan

Tjitrosoedibio8 menyatakan :

“Corruptie adalah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan

Negara. Adapun Baharuddin Lopa9 mengutip pendapat David M. Chalmen

menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah

penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang

menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi financial

manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt”.

Secara harfiah menurut Sudarto10, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur

yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Campbell Black11 mendefinisikan korupsi sebagai

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan

hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan

suatu keuntutan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak0hak dari

pihak lain.

Menurut Sayed Hussein Alatas12, korupsi adalah:

“Subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup

pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,

pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang

diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk

kepentingan pribadi.”

Defenisi lain dikemukakan oleh Adami Chazawi13bahwa:

“Secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat

disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina

atau memfitnah penyuapan.”

Jeremy Pope14 menyatakan bahwa :

1 Hartanti. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Sinar Grafika. hal. 5. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid. hal. 29. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Adami Chazawi. 2017. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia(Edisi Revisi). Jakarta, RajaGrafindo Persada.

hal. 1. 8 Ruslan Renggong. 2017. Hukum Pidana Khusus(Memahami Delik-delik di Luar KUHP). Jakarta, Kencana.

hal. 60. 9 Ibid.

Page 7: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 7

“Korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Namun korupsi

dapat pula dilihat sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”,

artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah dilakukan oleh orang

perorang di sector swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak

memainkan peranan. Sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan

dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul.”

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2) Perbuatan melawan hukum;

3) Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

4) Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan

kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

1.5. Sanksi Pidana Korupsi

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman maksimal adalah seumur hidup,

kecuali apabila dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan (vide pasal 2 ayat 2).

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi

adalah sebagai berikut:

1. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

a. Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dilakukan dalam keadaan

tertentu.

10 Ibid. 11 Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta, Sinar Grafika. hal. 137. 12 Ibid. 13 Adami Chazawi. 2017. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta, Rajawali Pers. hal. 2. 14 Jeremy Pope. 2003. Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

hal. 30

Page 8: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 8

b. Pidana Penjara

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara (Pasal 2 ayat 1).

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah,

merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi

dalam perkara korupsi(Pasal 21).

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36.

c. Pidana Tambahan

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak

bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk

perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang

yang menggantikan barang-barang tersebut.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian

keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta

bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang

pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman

maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Page 9: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 9

lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

2. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3

(sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 ayat (1) sampai (5) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut :

Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan

penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang

baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan

korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili

oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.

Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan

dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan

menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus

atau ditempat pengurus berkantor.

1.6. Polisi

Di dalam Encyclopedia and Social Science dikemukakan bahwa pengertian polisi meliputi bidang fungsi,

tugas yang luas, yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan keseharian

umum. Dengan kata lain polisi diberikan pengertian sebagai hal-hal yang berhubungan dengan

pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan yang

melanggar hukum. Menurut Charles Reith15 mengemukakan pengertian polisi dalam bahasa Inggris yaitu:

"Police Indonesia the English language came to mean of planning for improving ordering

communal existence", yaitu sebagai setiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan

susunan kehidupan masyarakat.”

Selanjutnya dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwadarminta16 menyatakan bahwa istilah

polisi mengandung pengertian yaitu :

1. Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan

ketertiban umum.

2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.

3. Ditinjau dari segi ontologis kata “polisi” merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, menjadi kongkrit

ketika dilihat dari segi tampilan dan sikap tindakannya yang kasat mata, baik dari performance

aparatur, dari wujud bangunan gedung atau kantornya atau dilihat dari tugas dan wewenang yang

dijalankannya sehingga apa yang ditampilkan secara phisik akan dijadikan bahan atau dasar dalam

Page 10: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 10

memberikan penilaian lembaga.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia menyebutkan bahwa :

"Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan". Kemudian Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa : "Anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia".

Satjipto Rahardjo17, tipe polisi yang berada bersama-sama dengan rakyat tersebut disebut polisi yang

protagonist dan tipe kedua yakni pemolisian yang sekedar menjaga status quo dan yang tahu

menjalankan hukum saja disebut polisi yang antagonis. Adapula yang mendekatkan pada kebutuhan,

yakni diperlukan organ polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas).

Sebenarnya konsep kantibmas ini jauh lebih tua dari pada pengorganisasian dan pembentukan lembaga

kepolisian, karena Kamtibmas ini untuk menciptakan kontrol sosial resmi di lingkungan masyarakat besar

atau kecil, sehingga polisi diterima secara bulat sebagai penjaminan ketertiban masyarakat atau

cenderung dijadikan acuan sebagai penegak hukum atau ketertiban.

Mencermati tipe kepolisian di atas, tipe kepolisian di Indonesia berada pada kedua-duanya, yakni

protagonist dan antagonis, dalam arti bahwa polisi Indonesia di satu sisi berada di tengah-tengah

masyarakat dalam menjalankan fungsinya, untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

di sisi lain harus menegakkan hukum dan menjaga pemerintahan negara. Rasanya merupakan suatu

kondisi yang mensyaratkan adanya kemampuan yang lebih, karena benar-benar harus mampu

memetakan dan memilah kapan saatnya berdiri sebagai penegak hukum dan kapan saatnya sebagai

pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.

Tipe dan corak tersebut suatu ketika akan bergeser sejalan dengan pemahaman apa tujuan

kepolisian dalam masyarakat atau negara, dan apa visi, misi eksistensi kepolisian yang sebenarnya.

Visi dan misi polisi inilah yang kemudian dielaborasi menjadi cita-cita dan tujuan penyelenggaraan

kepolisian dalam negara. Tujuan penyelenggaraan kepolisian di Indonesia adalah (Pasal 4 UU Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) : Untuk mewujudkan keamanan dalam negeri

yang meliputi terperliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya

ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Tujuan kepolisian tersebut sebagai

konsep dasar yang harus diwujudkan, sehingga perlu adanya sinergi antara konsep dasar dengan

tindakan yang dilakukan. Ada suatu kemungkinan tujuan tidak akan tercapai ketika personil atau subyek-

subyek yang menghantar tujuan dimaksud tidak memahami dan mengerti sebenarnya tujuan itu, oleh

15 Ibid. hal. 6.

16 W.J.S. Poerwadarminta. 1990. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka. hal. 549. 17 Sadjijono. 2005. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta, Laksbang Mediatama.

hal. 159.

Page 11: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 11

karenanya tujuan eksistensi kepolisian menjadi suatu konsep yang harus dipahami bagi setiap anggota

kepolisian yang memiliki kewajiban untuk menghantar dan mengawal serta bertugas mewujudkan

tercapainya tujuan tersebut. Dari konsep inilah kemudian dapat dipahami dan dinilai sejauhmana tujuan

dapat dicapai dan pengaruh apa yang dominan dalam keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai

tujuan.

Konsep dasar dalam penyelenggaraan kepolisian tersebut jika dipetakan menjadi empat tujuan

utama, yakni terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri, terwujudnya tertib

hukum, terwujudnya tegaknya hukum, dan terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada masyarakat. Di dalam pencapaian itu semua harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Karena itu tujuan Polri di atas harus dijalankan secara seimbang, agar hukum berjalan sesuai dengan

fungsinya dan mampu mewujudkan cita-citanya untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatannya

bagi kehidupan masyarakat, dan masyarakat merasa terlindungi, terayomi dan terlayani dengan baik. Hal

dimaksud sejalan dengan apa yang menjadi misi kepolisian, sebagaimana dikemukakan oleh Sutanto18:

1. Menegakkan hukum secara adil, bersih dan menghormati HAM.

2. Memelihara keamanan dalam negeri dengan memperhatikan norma-norma dan nilai yang berlaku di

masyarakat.

3. Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

4. Mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat.

Kepolisian sebagai sosok lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk mewujudkan tujuan

tersebut, memerlukan kesadaran yang tinggi bagi para pelaku yang mengawaki atau membadani

lembaga, yakni person-person yang berperan dalam mengoperasionalkan lembaga. Oleh karenanya agar

berjalan searah dengan tujuan lembaga para stakeholder harus memahami apa sebenarnya tujuan

lembaga, dan memahami mengapa lembaga diberi tugas dan wewenang untuk itu. Dengan konsep

tersebut akan meminimalisasi penyimpangan tujuan dan kegagalan tujuan yang dicapai atau diwujudkan.

1.7. Tugas dan Wewenang Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, Presiden menginstruksikan kepada Kapolri agar dalam

hal upaya penegakan hukum dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana

korupsi agar meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi negara

yang terkait. Pelayanan dan perlindungan sebagai jiwa dari Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun

2002 merupakan konsep dasar/landasan setiap tindakan dan penggunaan kekuatan sehingga dalam

aksinya seorang pejabat profesi Kepolisian selalu bersikap dan berperilaku berdasarkan hal tersebut.

Pelayanan disini adalah konsep dimana bertitik tolak dari kepedulian kepada masyarakat, sehingga

pelayanan ini menjadi alat utama dalam strategi pencitraan Polri. Upaya Polri dalam memberikan

pelayanan terbaik ini adalah dengan menonjolkan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan,

tanggung jawab yang baik serta koordinasi.

Dalam hal Polri menerima laporan atau pengaduan tentang adanya dugaantindak pidana korupsi

dari masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

Page 12: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 12

Penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Melakukan Penyelidikan/Penyidik dengan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti. Apabila sudah

ditemukan bukti pendukung, maka Polri sebagai penyidik melakukanpenyidikan terhadap kasus korupsi

yang dilaporkan. Kewenangan Polri dalam melakukan Penyelidikan/Penyidikan terhadap tindak pidana

korupsi didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 14 ayat 1 huruf g,

Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan Inpres No. 5 Tahun 2004tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Dalam melaksanakan tugas pokoknya Polri bertugas melakukan Penyelidikan dan Penyidikan semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undang lainnya.

Pada tataran inilah tugas dan kewenangan Polri sebagai penegak hukum melakukan

penyelidikan/penyidikan kasus korupsi atas laporan atau pun pengaduan yang dilakukan masyarakat,

lembaga Swadaya Masyarakat atau pun dari laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(BPKP). Dalam hal penghitungan jumlah kerugian keuangan negara Penyidik Polri meminta bantuan dari

BPKP untuk melakukan penghitungan jumlah kerugian keuangan negara. Sebab dalam praktek

dilapangan bila Penyidik Polri mengirimkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum harus jelas

terinci jumlah kerugian keuangan negara, apabila tidak dilakukan penghitungan kerugian keuangan

negara Jaksa Penuntut Umum tidak akan menerima berkas perkara dari Penyidik Polri.

Dalam kenyataannya terdapat batasan-batasan tugas dan wewenang Polri dalam menangani kasus

perkara Korupsi terhadap kerugian negara yang lebih dari Rp. 1000.000.000,- (satu milyar rupiah)

ditangani oleh KPK.

2 Metode Penelitian

Studi dalam rangka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini dilaksanakan di

Kabupaten Biak Numfor pada Kepolisian Resor Biak Numfor. Populasi dalam penelitian ini adalah semua

aparat polisi di Kepolisian Resor (POLRES) Biak Numfor, khususnya pada Bidang Tindak Pidana Korupsi

Polres Biak Numfor. Dari populasi di atas, maka ditentukan sampel sebagai berikut : Kepala Bagian

Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor, dan Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi. Jenis data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang

langsung diperoleh dari aparat pada Unit Tindak Pidana Korupsi Kepolisian Resor Biak Numfor, sedangkan

data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, media cetak, dokumen-dokumen, internet, dan

peraturan perundang-undangan yang terkait.

Dalam penulisan ini, terdapat dua teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu :

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Sasaran penelitian kepustakaan ini terutama untuk mencari landasan teori dari objek kajian

dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku yaang berhubungan langsung dengan objek

dan materi penulisan skripsi ini.

18 Sutanto. 2005. Polri Menuju Era Baru. Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. hal. 16.

Page 13: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 13

2. Penelitian Lapangan (Fieeld Research)

Dalam penelitian ini penulis langsung ke lokasi penelitian untuk meminta data-data dan melakukan

wawancara dengan sampel yang menyangkut objek penelitian.

Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif empiris dilakukan dengan

menganalisis data sekunder yang bersifat narasi maupun data yang bersifat empiris berupa teori, definisi

dan substansinya dari beberapa literatur, dokumen dan peraturan perundang-undangan

serta didukung dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara, kemudian dianalisis dalam rangka

menjawab permasalahan.

3 Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1. Urgensi Spesialisasi Penyidik Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di

Kabupaten Biak Numfor

Kurang berperannya penyidik Polri dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi karena adanya

beberapa penyebab antara lain19 :

1. Sisi yuridis

Adanya ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan pelaksanaannya yang

memberikan kewenangan-kewenangan dalam penyidikan tidak hanya kepada Polri tetapi juga kepada

kejaksaan, sehingga menimbulkan dualisme yang justru merugikan bagi eksistensi Polri dalam penyidikan

tindak pidana korupsi. Disamping itu dengan adanya UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang

mengatur tentang kewenangan kejaksaan didalam penanganan kasus tindak pidana tertentu (termasuk

korupsi) berdasarkan UU (sebelumnya didahului terbitnya Keppres No.86/1999 tentang Susunan OTK

Kejaksaan RI pada Pasal 17 mengenai kewenangan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAMPIDSUS)

menangani kasus tindak pidana tertentu termasuk korupsi), serta kewajiban Badan Pengawas Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung

(Kejagung), mempengaruhi kecepatan penyidik Polri dalam melakukan langkah-langkah penyelidikan

maupun penyidikan.

2. Sisi psikologis

Tindak pidana korupsi pada umumnya banyak melibatkan para pelaku dari kalangan pejabat yang

mempunyai poweruntuk melegalisasi perbuatannya dengan upaya intervensi kepada penyidik. Dalam

situasi demikian penyidik Polri sering terjebak pada posisi yang sulit untuk berada pada independensi

untuk melakukan penyidikan sebagai akibat adanya tekanan psikologis yang sering menurunkan moral

dan menghilangkan hati nurani penyidik Polri untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum.

3. Sisi teknis

Guna memahami kewenangan Polri selaku salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat, akan selalu melihat pada kewenangan penegakan hukum tindak pidana

korupsi yang diberikan sesuai peraturan yang berlaku, yaitu :

Page 14: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 14

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI diatur kewenangan

Polri sebagai berikut :

a) Pasal 14 ayat (1) huruf g: “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan”.

b) Pasal 15 ayat (1) huruf a : ”menerima laporan dan/atau pengaduan” (bahwa setiap pengaduan

mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi bisa dilaporkan kepada kepolisian).

c) Pasal 15 ayat (2) huruf g : ”melakukan tindakan pertama di tempat kejadian” (segera setelah

menerima laporan terjadinya tindak pidana korupsi, polisi berwenang untuk mendatangi TKP

untuk pengumpulan bukti-bukti lebih lanjut mengenai terjadinya tindak pidana korupsi

tersebut).

d) Pasal 15 ayat (2) huruf i : ”mencari keterangan dan barang bukti”.

e) Pasal 16 ayat (1) huruf a s/d I :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik

Indonesia berwenang untuk :

a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk

kepentingan penyidikan.

c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.

d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal

diri.

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

h) Mengadakan penghentian penyidikan.

i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mencantumkan kewenangan Polri

sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik sebagai berikut :

Sebagai Penyelidik

Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b) Mencari keterangan dan barang bukti.

c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda

pengenal diri.

Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

b) Pemeriksaan, penyitaan surat.

19 Hasil wawancara dengan Muntono, S.AN. (Kanit Tindak Pidana Korupsi, Polres Biak Numfor, tanggal 8 Juli 2019.

Page 15: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 15

c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

d) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Sebagai Penyidik

Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a) Menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat-surat.

f) Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

seorang.

i) Mengadakan penghentian penyidikan.

j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Untuk mengetahui kewenangan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi maka dapat dilihat

dari ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 yang memberikan petunjuk/ketentuan

dalam proses acaranya (hukum materiil) seperti disebutkan dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39

sebagai berikut :

Pasal 26 :

Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain, dalam

Undang- Undang.

Pasal 27 :

Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim

gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana

korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka atau

di bidang moneter dan keuangan yang :

1. Bersifat lintas sektoral

2. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih.

3. Dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 tersebut bahwa kewenangan dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi terutama dalam pelaksanaan hukum materiilnya tetap berpedoman pada KUHAP walaupun ada

beberapa ketentuan yang ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang harus dipedomani seperti Pasal 27 tersebut.

Apabila diperhatikan pada ketentuan KUHAP terutama pada Pasal 4 dan Pasal 6 KUHAP, maka

akan jelas bahwa menurut ketentuan hukum yang berwenang sebagai penyelidik maupun penyidik adalah

Page 16: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 16

Polri. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut sebagai berikut :

Pasal 4 : “Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”.

Pasal 6 :

Penyidik adalah :

1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Selain adanya ketentuan umum sebagaimana Pasal 4 dan Pasal 6 KUHAP tersebut masih perlu

diperhatikan adanya ketentuan peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan

acara pidana yang diatur dalam UU tertentu (termasuk UU No. 31/1999 jo. UU. No. 20 Tahun 2001) masih

berlaku.

Pasal 284 ayat (2) :

Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap perkara-perkara

diperlukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan

khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu, sampai ada perubahan dan

atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Adanya ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP telah dipertegas dengan

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pada Pasal 17 yang menjelaskan sebagai berikut :

Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, Jaksa dan pejabat

penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Polri sebagai salah satu alat negara penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang yang sangat

luas oleh undang-undang dalam penegakan hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi, memerlukan kualitas penyidik Polri yang

memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dan taktis yang memadai untuk mampu dalam penegakan

hukum tindak pidana korupsi. Apabila penyidik Polri dapat menunjukan jati diri sebagai penegak hukum

yang handal untuk eksis melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan sorotan

masyarakat saat ini, maka akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyidik Polri,

karena adanya kepercayaan masyarakat merupakan modal untuk memperoleh dukungan ataupun

legitimasi guna mewujudkan kemandirian Polri. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kompol

Sam R. Mamisala20, bahwa polisi mandiri dapat diartikan :

1. Mandiri operasional dan pembinaan.

2. Mandiri dalam arti cukup jumlah personil (menuju 1 : 450, misalnya), kualitas atau profesionalisme

anggota (keahlian, keterampilan dengan kode etik sebagai pengayom, pelindung dan pelayan

masyarakat), kelengkapan peralatan (dengan teknologi Kepolisian yang canggih), kesejahteraan

anggota Polri dan sebagainya.

Demikian juga halnya dengan Muntono, S.AN21yang menyatakan bahwa :

Kemandirian Polri perlu ditopang oleh personil yang mampu mewujudkan sikap dan perilaku polisi

yang tulen atau otentik. Sikap dan perilaku Polisi yang tulen atau otentik dimaksudkan adalah

menjalankan fungsi Kepolisian secara layak polisi (Police Proper) yaitu sebagai polisi yang mempunyai

karakteristik tugas yang harus ditunjang oleh profesionalisme. Dengan demikian terwujudnya kemandirian

Page 17: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 17

Polri sangat signifikan dipengaruhi dari keberhasilan penyidik Polri dalam tugas penegakan hukum

khususnya dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang sangat ditentukan dari kualitas penyidik Polri

sebagai penegak hukum yaitu penyidik Polri yang profesional. Menghadapi tuntutan masyarakat yang

menghendaki adanya wujud nyata dari pelaksanaan tugas Polri terutama dalam penegakan hukum, maka

kebutuhan kualitas penyidik Polri yang baik yaitu memiliki profesionalisme merupakan keharusan agar

dapat menjawab tantangan tugas khususnya dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Kebutuhan

dan harapan akan profesionalisme penyidik Polri dalam pelaksanaan tugas tidak hanya kebutuhan

organisasi Polri saja tetapi merupakan harapan bangsa Indonesia.

Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka kondisi profesionalisme penyidik Polri yang diharapkan

dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi meliputi22:

1. Kemampuan Penyidik Polri, Mampu memahami dan menguasai perundang-undangan/peraturan

hukum, terutama pemahaman terhadap UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

menyangkut kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain :

Penyidikan dalam perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian

secepatnya (Pasal 25).

Penyidik dapat meminta keterangan dari tersangka tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istri/suami, anak dan setiap orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga oleh

penyidik mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 29).

Penyidik berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka

maupun memblokir rekening simpanan milik tersangka yang diduga hasil dari korupsi dengan

permintaan keterangan kepada bank diajukan kepada Gubernur BI sesuai peraturan yang

berlaku (Pasal 29).

Penyidik diberi hak untuk membuka, memeriksa dengan menyita surat dan kiriman melalui

pos, telekomunikasi atau alat lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak

pidana korupsi (Pasal 30).

Penyidik diberi hak untuk merahasiakan identitas pelapor atau hal-hal lain yang memberikan

kemungkinan dapat diketahui pelapor.

2. Kemampuan penyidik Polri dalam menguasai ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang

ada akan memberikan kepercayaan diri serta wawasan dalam penegakan hukum terutama dalam

penyidikan tindak pidana korupsi.

3. Mampu memahami dan menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan tugas-tugas sebagai

penyidik dalam rangka memberikan wawasan/pola pikir, antara lain :

Pengetahuan tentang akuntansi.

Pengetahuan tentang moneter.

Pengetahuan tentang perbankan.

20 Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Kepolisian Resor (POLRES) Biak Numfor, tanggal 8 Juli 2019.

21 Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi, wawancara tanggal 9 Juli 2019.

Page 18: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 18

Pengetahuan tentang pasar modal.

Pengetahuan tentang cessie.

Pengetahuan bidang ekonomi.

Memiliki dan menguasai pengetahuan teknis dan taktis penyidikan. Dengan menguasai

pengetahuan taktis dan teknis penyidikan secara spesialisasi terhadap tindak pidana korupsi

maka penyidik Polri secara kualitas akan baik dan dapat dihandalkan terutama dalam

mengambil langkah-langkah penyidikan dalam rangka pembuktian tentang telah terjadinya

tindak pidana korupsi. Kemampuan dalam menguasai taktis dan teknis penyidikan dapat

diketahui dari seberapa jauh penyidik Polri menguasai proses penyidikan tindak pidana sesuai

dengan Juklak dan Juknis yang telah ada.

4. Keterampilan

Keterampilan yang diharapkan dimiliki penyidik Polri yangprofesional antara lain :

Memiliki keterampilan dalam komputer yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam

pemeriksaan maupun dalam mengakses informasi-informasi yang diperlukan dalam pengungkapan

perkara korupsi yang ditangani.

Keterampilan dalam berkomunikasi.

Terutama dalam mencari informasi-informasi maupun dalam berkoordinasi antara instansi

terkait. Keterampilan dalam berkomunikasi diperlukan juga adanya dukungan penguasaan

bahasa yang baik diantaranya bahasa asing (bahasa Inggris).

Keterampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan taktis dan teknis penyidikan dalam pelaksanaan

tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.

5. Sarana dan Prasarana

Kondisi sarana dan prasarana yang diharapkan meliputi peralatan penyidikan, alat komunikasi dengan

teknologi maju dan kendaraan bermotor roda empat yang memadai yang dapat membantu mobilitas

penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya. Sarana dan prasarana tersebut dalam keadaan terawat dan

terpelihara dengan baik sehingga dapat memperpanjang usia pakai serta tingkat kesiapan yang prima

dalam mendukung kecepatan penyidikan. Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang diharapkan

bahwa penyidik Polri mampu membuat terang terjadinya tindak pidana korupsi dengan didukung oleh alat

bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP. Alat bukti yang sah ialah :

Keterangan saksi.

Keterangan Ahli.

Surat.

Petunjuk.

Keterangan terdakwa.

Pembuktian yang dilakukan melalui penyelidikan dan penyidikan secara benar berdasarkan

22 Kompol Sam R. Mamisala (Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor) tanggal 8 Juli 2019.

Page 19: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 19

ketentuan perundang-undangan merupakan cerminan kualitas penyidik Polri yang diharapkan yaitu

penyidik yang profesional.

6. Penyelidikan

Dalam penyelidikan diharapkan penyidik Polri dapat menemukan bukti permulaan dari tindak pidana

korupsi secara cepat, dan dini yang merupakan kegiatan deteksi dini dimana kegiatan penyelidikan ini

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, antara lain23 :

Didukung dengan keterampilan wawancara dengan penguasaan keterampilan bertanya dan

berbicara efektif dengan sasaran yang tepat baik sebagai saksi, saksi ahli maupun tersangka.

Didukung keterampilan pengamatan dengan teknik pengamatan yang benar

Didukung keterampilan dalam penyamaran (undercover), dalam rangka memperoleh

keterangan/informasi.

7. Penyidikan

8. Penindakan

Penggeledahan. Penggeledahan dilakukan terhadap orang dan tempat-tempat yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi dimana penggeledahan dilaksanakan sesuai dengan prosedur yaitu

adanya surat perintah penggeledahan, surat ijin dan atau dilaporkan kepada Ketua Pengadilan

Negeri setempat, serta adanya saksi-saksi dan setelah itu penyidik membuat berita acara

penggeledahan.

Penyitaan. Penyitaan dilaksanakan terhadap surat-surat dan barang-barang yang berkaitan dengan

tindak pidana dimana penyitaan dilaksanakan sesuai prosedur, adanya surat perintah penyitaan,

surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, adanya saksi-saksi yang turut menandatangani,

dan dibuatkan berita acara penyitaan serta surat dan barang- barang yang disita dibuat label dan

dilak dengan baik.

Penangkapan.

a) Penangkapan dilaksanakan sesuai prosedur, adanya surat perintah penangkapan, satu

lembar diserahkan kepada keluarga dan dalam surat perintah disebutkan pasal-pasal yang

disangkakan dan alasan penangkapan, dilaksanakan dalam waktu 1 x 24 jam.

b) Penangkapan dilakukan secara baik dan cermat, dengan demikian tidak akan terjadi

kekeliruan terhadap orang yang ditangkap.

c) Tidak melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi.

Penahanan.

a) Penahanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur, adanya surat perintah penahanan dengan

memuat pasal-pasal dan alasan penahanan, satu lembar surat perintah penahanan

diserahkan pada keluarganya, waktu penahanan selama 20 hari dan dapat diperpanjang

selama 40 hari kepada Penuntut Umum.

b) Penahanan dilakukan dengan menghormati hak azasi, dengan demikian tidak membeda-

bedakan perlakuan terhadap tersangka.

c) Penahanan tidak mencari keuntungan pribadi, dengan memberikan jasa penangguhan namun

Page 20: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 20

meminta imbalan kepada tersangka atau keluarganya.

Pemanggilan.

a) Pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menyebutkan status

yang dipanggil.

b) Pemanggilan harus menghormati hak-hak azasi, sehingga pada saat yang dipanggil datang

sesuai jadwal segera dilayani sebagaimana maksud dari pemanggilan.

c) Pemanggilan dilaksanakan tidak untuk kepentingan pribadi penyidik.

Pemeriksaan.

Pemeriksaan dilaksanakan dalam penyidikan diharapkan untuk dapat memperoleh keterangan baik dari

saksi maupun tersangka untuk kepentingan pembuktian.

a) Pemeriksaan tersangka.

1) Mengarah dan sesuai dengan unsur-unsur dan pasal-pasal yang disangkakan kepada

tersangka.

2) Pemeriksaan tersangka dan hasilnya harus disesuaikan dengan keterangan saksi-

saksi, saksi ahli dan barang bukti yang ada.

3) Hasil pemeriksaan tersangka dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditanda

tangani oleh tersangka serta penyidik yang memeriksa.

b) Pemeriksaan saksi/saksi ahli.

Pemeriksaan saksi-saksi/saksi ahli diarahkan :

1) Pemeriksaan dan hasilnya harus berhubungan dengan keterangan tersangka.

2) Diantara keterangan saksi-saksi/saksi ahli harus berhubungan satu dengan yang lain

serta dengan barang bukti yang ada.

3) Hasil pemeriksaan saksi /saksi ahli dituangkan dalam berita acara pemeriksaan

kemudian ditanda tangani oleh saksi/saksi ahli dan penyidik yang memeriksa.

c) Penyelesaian/pemberkasan perkara.

Penyelesaian/pemberkasan diharapkan dapat dilakukan dalam waktu cepat sejalan dengan

kecepatan dalam pemeriksaan maupun pengumpulan bukti-bukti.

d) Pengiriman berkas perkara kepada Penuntut Umum.

Berkas perkara yang dikirim oleh penyidik Polri kepada Penuntut Umum diharapkan dapat segera

diterima oleh Kejaksaan tanpa pengembalian dengan alasan tidak cukup bukti ataupun tidak terjadi bolak

balik berkas perkara secara berlarut-larut.

Dari kondisi di atas, maka diharapkan adanya spesialisasi penyidikan tindak pidana korupsi. Jajaran

penyidik Polres Biak Numfor khususnya Unit Tindak Pidana Korupsi harus memiliki mental kepribadian

yang baik bagi penyidik Polri, merupakan bagian dari cerminan kualitas penyidik Polri yang diharapkan

yang dapat mendukung keberhasilan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Adapun mental kepribadian yang diharapkan adalah24:

a. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam arti :

Beriman Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan dinas, pribadi, keluarga dan masyarakat.

Page 21: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 21

Menjaga kerukunan umat beragama.

b. Telah dihayati kode etik Kepolisian, Tri Brata dan Catur Parsetya sebagai pedoman hidup dan

pedoman kerja dalam kehidupan sehari-hari.

c. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tidak mudah putus asa dan tidak mengeluh tetapi mampu

mengatasi kesulitan yang dihadapi.

d. Dalam pekerjaannya tetap tekun walaupun kekurangan dukungan dan fasilitas serta tidak

terpengaruh akan godaan nafsu kebendaan.

e. Adanya kepercayaan kepada diri sendiri dalam melaksanakan tugas didasarkan atas kemampuan

dan kekuatan sendiri serta selalu mendahulukan kewajiban daripada hak.

f. Adanya kemampuan untuk mengendalikan diri dan berani bertanggung jawab serta dapat

menghargai dan menghormati orang lain.

g. Memiliki sikap dan tingkah laku yang dapat dijadikan contoh teladan oleh lingkungan kerja maupun

lingkungan sosialnya.

h. Berbudi luhur, jujur, penuh dedikasi dalam melaksanakan tugas yang dilandasi oleh nilai-nilai

agama.

Selain itu, penampilan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mendukung

pelaksanaan tugas khususnya para penyidik dalam bidang tindak pidana korupsi yang dapat mendukung

pelaksanaan tugas penyidikan. Menurut AIPTU Muntono, S.AN.25 bahwa :

1. Dilihat dari segi postur tubuh adanya keserasian antara tinggi badan dan berat badan.

2. Memiliki sikap tampan yang rapi dan bersih.

3. Dalam memakai peralatan dan atribut sesuai dengan ketentuan dan rapi serta terpelihara dan

terawat dengan baik.

4. Memiliki kecekatan, kelincahan dan tidak loyo dalam gerak-gerik sehari-hari.

5. Memiliki daya tahan yang tinggi dan prima.

6. Memiliki kemampuan dalam bela diri Polri.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis melihat bahwa penyidik Polri yang profesional

dengan didukung perilaku yang handal maka akan mampu melaksanakan penyidikan tindak pidana

korupsi dengan benar sesuai harapan masyarakat. Hal demikian merupakan cerminan dari kualitas

penyidik Polri yang dapat mewujudkan eksistensi penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi karena mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat

(akuntabilitas publik), dengan demikian diharapkan dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat dan

memberikan legitimasi kepada penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi secara

mandiri sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Peningkatan kualitas penyidik Polri dalam rangka

penegakan hukum tindak pidana korupsi dituntut untuk profesional dalam penyidikan, sehingga setiap

bentuk tindak pidana korupsi yang diketahui dapat ditangani secara cepat dan tuntas. Guna menjadikan

penyidik Polri yang memiliki kualitas sebagai penyidik yang profesional sesuai harapan, maka dapat

dilakukan dengan upaya peningkatan sebagai metode yaitu :

1. Pembinaan Kemampuan

24 Kompol Sam R. Mamisala (Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor), tanggal 9 Juli 2019.

Page 22: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 22

a. Subyek, subyek yang berperan dalam pembinaan kemampuan penyidik Polri meliputi :

1) Para pimpinan/pejabat Polri (Kapolri, Asrena, As SDM, Kalemdikpol, Kapolda dan

Kapolres)

Kapolri, sebagai pimpinan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

kebijakan pada peningkatan kemampuan penyidik Polri.

Asrena dan As SDM Kapolri, sebagai pembantu Kapolri dalam melaksanakan tugas

membuat perencanaan untuk pengembangan dan pembangunan personil penyidik Polri

agar mampu dan memiliki kualitas sesuai harapan masyarakat yaitu profesional dalam

penegakan hukum.

Kalemdikpol, bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan kemampuan melalui

pelaksanaan seleksi dan pelaksana pendidikan dan latihan secara terencana sesuai

kalender pendidikan.

Kapolda dan Kapolres, bertanggung jawab terhadap terselenggaranya pembinaan

kemampuan penyidik Polri dengan mengembangkan melalui pendidikan dan latihan

maupun pengembangan diri.

2) Para pejabat dilingkungan komuniti Reskrim (Kabareskrim, Dir Tipikor, Dirreskrim dan

Kasat Reskrim), bertanggung jawab terhadap pembinaan kemampuan khususnya dalam

kemampuan teknis dan taktis penyidikan secara berjenjang sesuai lapis-lapis

kemampuan dari tingkat KOD sampai dengan tingkat pusat (Bareskrim).

Obyek. Obyek dalam pembinaan kemampuan meliputi personil Polri yang bertugas di

jajaran fungsi Reskrim maupun yang dipersiapkan untuk mengemban tugas fungsi

Reskrim, namun yang lebih diutamakan adalah penyidik Polri.

Metode, adapun metode yang dilaksanakan dalam meningkatkan kemampuan

penyidik Polri agar memiliki kualitas yang diharapkan yaitu melalui upaya-upaya :

3) Pendidikan. Kualitas penyidik Polri yang ditopang dengan pendidikan yang memadai

akan membentuk penyidik yang profesional. Hal ini sulit untuk disangkal karena semakin

tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah dalam menangkap gagasan-

gagasan modern, seperti adanya issue demokratisasi, HAM, kemerdekaan berpendapat,

transparansi dan sebagainya. Berbagai penelitian yang menunjukan adanya kaitan yang

erat antara pendidikan dengan kinerja Polisi, antara lain dibuktikan bahwa Polisi yang

berpendidikan Akademi lebih memiliki kepekaan terhadap masyarakat, lebih memiliki

kemampuan berkomunikasi dan cara bertindak dalam pelaksanaan tugas. Secara

singkat polisi dengan pendidikan Akademi cenderung lebih adil, jujur dan efektif.

Penelitian lain menunjukan bahwa Polisi berpendidikan Akademi menunjukan toleransi

lebih besar dalam menghadapi golongan minoritas, kurang otoriterian dan dogmatis

dibandingkan dengan Polisi yang kurang berpendidikan. Menyadari pentingnya

25 Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Biak Numfor, tanggal 10 Juli 2019.

Page 23: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 23

arti pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas penyidik Polri, maka diperlukan

pendidikan jenis kejuruan ataupun spesialisasi di bidang Reskrim serta pendidikan

pembentukan dan pengembangan yang mampu mendukung terealisasinya kualitas

penyidik Polri yang profesional. Adapun jenjang pendidikan yang perlu ditempuh, yaitu :

a) Pendidikan Kejuruan.

Kejuruan Pamen Senior Reskrim di bidang Korupsi :

Peserta adalah Pamen berpangkat AKBP atau Kompol yang telah lulus mengikuti

pendidikan Sespim Polri.

Telah mengikuti pendidikan kejuruan Reserse Spesialisasi Tipikor.

Tujuan dari pendidikan untuk membentuk Pamen yang mampu memenej proses

penyidikan secara profesional sesuai dengan spesialisasinya.

b) Pendidikan Kejuruan Spesialisasi Tipikor :

Peserta adalah terdiri dari Pama dengan pangkat IPTU/AKP, dan Bintara dengan

pangkat Briptu s/d Aiptu.

Peserta memenuhi persyaratan sebagai berikut :

c) Untuk golongan Perwira Pertama : Lulusan Pendidikan PTIK maupun Selapa,

telah mengikuti pendidikan Reserse Tipikor.

d) Untuk golongan Bintara :Lulusan Pendidikan Bintara, telah mengikuti pendidikan

kejuruan spesialisasi Reserse.

e) Pendidikan Kejuruan CID Luar Negeri : Peserta adalah Pama ke atas, telah

mengikuti pendidikan Reserse lanjutan Tipikor.

f) Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan. Bahwa penataan

lapis kemampuan tidaklah hanya dilaksanakan melalui pendidikan kejuruan

bagi anggota Polri dilapangan, namun secara mendasar harus dimulai dari

tingkat pendidikan pembentukan, yang selanjutnya secara simultan

dilaksanakan pula ditingkat pendidikan kejuruan dan pendidikan

pengembangan dalam rangka memantapkan lapis kemampuan fungsi

Reskrim, adalah sebagai berikut :

Pendidikan Pembentukan (Diktuk) Pa :

a) Akpol. Untuk lulusan Akpol, diarahkan memiliki kemampuan setingkat

dengan pendidikan kejuruan Reserse lanjutan, dan mereka diarahkan

sebagai Perwira Polri dengan kualitas penyidik.

b) PPSS Polri. Materi keresersean yang dimiliki merupakan pengetahuan

Reserse yang sifatnya umum dan pengetahuan tentang tugas serta peranan

penyidik. Tujuan agar memahami tugas, fungsi dan peranan Reserse Polri

serta dapat menjunjung tugas- tugas penyidik.

Pendidikan Pengembangan (Dikbang).

a) PTIK. Untuk lulusan PTIK diarahkan memiliki kemampuan setingkat dengan

pendidikan kejuruan lanjutan Reskrim Tipikor. Materi keresersean yang

Page 24: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 24

dimiliki meliputi materi Dikjur Serse Tipikor dan ilmu-ilmu pengetahuan

(science) yang berkaitan dan mendukung tugas Reskrim. Tujuannya agar

membantu dan menunjang tugas, taktik dan tehnik fungsi Reserse Polri

dengan penerapan ilmu-ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam

pelaksanaan di lapangan.

b) Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa). Untuk lulusan Selapa diarahkan memiliki

kemampuan setingkat dengan pendidikan kejuruan Reserse setingkat

dengan pendidikan kejuruan Reserse Tipikor. Materi keresersean yang

dimiliki meliputi materi Dikjur Serse Tipikor dan mekanisme hubungan antar

fungsi guna berhasilnya tugas-tugas Reserse. Tujuannya agar dapat

membantu dan menunjang tugas, tehnik dan taktik fungsi Reserse Polri

dalam rangka pelaksanaan tugas di lapangan.

c) Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim Polri). Materi keresersean yang

dimiliki bersifat strategis, merupakan pengetahuan tugas-tugas Reserse

yang didasarkan pada kekuatan personil serta sarana peralatan yang ada

kaitan dengan ancaman kejahatan Tujuannya agar dapat mengatur

tugas-tugas Reserse di lapangan sehingga mampu menunjang

keberhasilan pengungkapan kasus-kasus yang terjadi.

2. Pelatihan. Peningkatan kualitas penyidik Polri tidak saja dilaksanakan melalui peningkatan

kemampuan berupa pengetahuan hukum dan pengetahuan lainnya yang bersifat wawasan

(knowledge) tetapi juga diperlukan peningkatan keterampilan (skill) sebagai aplikasi dari pengetahuan

yang dimiliki (pengetahuan hukum, pengetahuan teknis dan taktis) melalui pelaksanaan pelatihan

secara terprogram dan berkesinambungan. Dengan demikian setiap penyidik Polri baik secara

individu maupun kesatuan akan selalu terpelihara kemampuannya untuk tetap dalam kondisi

siap operasional dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Aktualisasi dari pelaksanaan pelatihan diarahkan pada sasaran yang dapat meningkatkan

keterampilan penyidik Polri secara perorangan maupun dalam team/unit, sebagai berikut :

Latihan diarahkan agar mampu mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi secara

cepat dan tuntas, untuk itu diperlukan pengembangan taktik dan teknik penyidikan untuk

tujuan pembuktian dalam mengungkap setiap modus operandi dari tindak pidana korupsi yang

terjadi.

Latihan diarahkan dalam rangka melancarkan dan meningkatkan keterpaduan operasional

dalam penyidikan antar individu penyidik Polri, tim/unit maupun antar fungsi-fungsi operasional

lainnya.

Pelaksanaan latihan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan

operasional penyidik Polri dalam penyelidikan dan penyidikan pada setiap tingkat kesatuan

Kepolisian mulai dari tingkat Mabes Polri hingga tingkat Kewilayahan (Bareskrim sampai

dengan Polres) guna memelihara tingkat lapis kemampuan penyidik Polri.

Page 25: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 25

Khusus untuk Polres Biak Numfor, berdasarkan hasil wawancara dengan Kompol Sam R.

Mamisala26, bahwa : Telah dilakukan upaya peningkatan spesialisasi khususnya penyidik

tindak pidana korupsi dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Bagian Reskrim bersama-sama Bagian Sumber Daya Manusia bersama dengan Polda Papua

memprogramkan pelatihan sebagai berikut :

a) Memprogramkan pelatihan secara teratur yang dilakukan terpusat di Polda Papua guna

meningkatkan kemampuan dan keterampilan penyidik Polri. Pelaksanaan pelatihan

dibedakan menurut tingkat kualifikasi kemampuan yang dimiliki yang secara berjenjang

mulai dari kemampuan dasar hingga kemampuan spesialisasi dalam penyidikan tindak

pidana korupsi.

b) Program pelatihan pada tingkat Polda Papua dilaksanakan minimal dua kali dalam

setahun yang melibatkan kepala kesatuan maupun penyidik Polri pada kesatuan tindak

pidana korupsi, guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan taktik dan teknik

penyidikan dalam rangka pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi khususnya

di Provinsi Papua.

c) Pelatihan diprogramkan dalam rangka pengenalan dan pemanfaatan teknologi

kepolisian dalam mendukung tugas operasional penyidikan tindak pidana korupsi.

d) Program pelatihan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan

individu penyidik Polri maupun kerja sama dalam tim/unit.

e) Kemampuan back-up operasional penyidikan pada tingkat Polres.

Upaya peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pengembangan diri sangat didukung oleh

pimpinan Polri dari tingkat pusat sampai kewilayahan dengan memberikan kesempatan bagi setiap

penyidik Polri untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam rangka berguna

untuk menunjang pelaksanaan tugas dalam penyidikan tindak pidana korupsi, antara lain27:

Memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan program studi Sarjana dan Magister atas

biaya dari institusi Polri.

Kesempatan mengikuti kursus atau seminar yang bersifat nasional dalam rangka menambah

wawasan dan ilmu pengetahuan.

Melaksanakan kursus-kursus dan pelatihan/keterampilan di bidang penyidikan bagi setiap

penyidik Reskrim Polri.

Pemanfaatan Teknologi Kepolisian.Penyidik Polri di masa datang akan dihadapkan pada

berbagai kasus tindak pidana korupsi dengan modus operandi menggunakan kecanggihan

dari teknologi, untuk itu dalam melakukan penyidikan diperlukan juga pemanfaatan teknologi

Kepolisian sebagai sarana maupun cara dalam pelaksanaan tugas penyelidikan maupun

penyidikan untuk mengungkap setiap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi.

Upaya untuk meningkatkan kualitas penyidik Polri sangat ditentukan juga oleh keberhasilan dalam

26 Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor, tanggal 10 Juli 2019.

27 AIPTU Muntono, S. AN. (Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Biak Numfor), tanggal 11 Juli 2019.

Page 26: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 26

pembinaan karir penyidik Polri yang dilaksanakan secara benar dan teratur serta konsisten dari

unsur pimpinan (Kabareskrim, As SDM, Kapolda, Dirreskrim, Karo SDM dan Kapolres) sebagai

subyek yang bertanggung jawab dalam pembinaan personil. Pembinaan karir penyidik Polri untuk

dapat menjadikan penyidik-penyidik berkualitas yang profesional dalam penyidikan tindak pidana

korupsi dapat dilakukan dengan upaya antara lain28:

1. Personil Penyidik Polri. Untuk mendapat calon terbaik penyidik Polri tindak pidana korupsi

yang berkualitas diperlukan pemantauan dalam pembinaan personil sejak awal penerimaan

(rekrutmen) hingga dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Agar memperoleh calon terbaik

sebagai penyidik Polri maka harus dipersyaratkan melalui suatu penilaian antara lain :

Test psikologi

Mempunyai kejuruan spesialisasi dasar Reserse, kejuruan spesialisasi lanjutan maupun

kejuruan perwira senior (spesialisasi) dalam tindak pidana korupsi.

Mempunyai pendidikan khusus Reskrim di Luar Negeri (BKA, FBI, CID dan lain-lain).

Mempunyai pendidikan formal kesarjanaan (keahlian) yang dapat mendukung dalam

penyidikan tindak pidana korupsi antara lain :

a) Bidang akutansi.

b) Bidang perbankan.

c) Bidang moneter.

d) Bidang pasar modal.

e) Bidang cessie.

f) Bidang hukum.

Berpengalaman dalam pengungkapkan kasus-kasus yang berlatar belakang ekonomi.

Memiliki kemampuan fisik yang sehat dan samapta

Memiliki sikap mental yang mampu menunjukkan jati diri seorang penyidik yang

profesional.

2. Penempatan penyidik Polri (penugasan efektif).Penempatan/penugasan penyidik Polri agar

dapat secara efektif dan efisien serta profesional dalam pelaksanaan tugas sangat tergantung

dari efektifitas penempatan yang sesuai dengan bidang atau bagian serta kemampuan yang

dimiliki untuk menempati jabatan tertentu sesuai jenjang kepangkatan dan pengalaman dalam

rangka pembinaan karir penyidik Polri. Penempatan dan penugasan penyidik Polri yang efektif

akan mendukung proses pembentukan kualitas penyidik Polri yang profesional, tetapi

sebaliknya penempatan penyidik Polri yang tidak proporsional atau tidak memperhatikan

kualitas akan dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :

Adanya kejenuhan dalam diri personil tersebut.

Pengalaman, pengetahuan dan wawasan akan sempit serta tidak berkembang.

Kemampuan dan keterampilan tidak berkembang.

Cara berpikir sempit karena akan berpikir untuk kepentingan fungsi atau tugasnya saja.

Akan dapat memberi peluang atau kesempatan terjadinya kolusi dan penyimpangan-

penyimpangan.

Untuk dapat mewujudkan pembinaan karir yang terspesialisasi sebagai penyidik Polri tindak pidana

Page 27: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 27

korupsi diperlukan upaya penempatan/penugasan yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut29:

1. Penempatan penyidik Polri pada jajaran Polda Papua memperhatikan kemampuan dan tingkat

pendidikan yang dimiliki.Penempatan penyidik Polri pada Direktorat Tipikor/Sat Tipikor

diutamakan memiliki pendidikan spesialisasi maupun pendidikan kesarjanaan (keahlian)

tertentu yang dapat berguna/dimanfaatkan untuk penyidikan tindak pidana korupsi.

2. Penempatan penyidik Polri memperhatikan pengalaman dan produktifitas dalam tugas

penyidikan tindak pidana. Penempatan penyidik Polri pada Direktorat Tipikor/Sat Tipikor

adalah penyidik Polri yang telah mempunyai pengalaman yang cukup dalam

melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana umum maupun tindak pidana ekonomi

sehingga dapat dijadikan modal dasar dalam mengungkapkan kasus-kasus tindak

pidana korupsi.

3. Penempatan penyidik Polri tindak pidana korupsi diutamakan bagi penyidik yang telah

terseleksi secara baik melalui penilaian unsur pimpinan dengan kategori antara lain :

Memiliki intelejensia yang baik.

Memiliki integritas pribadi yang baik (jujur, bertanggung jawab, ulet dan sebagainya).

Memiliki wawasan/pengetahuan.

Memiliki kemauan untuk mengembangkan diri.

Penempatan penyidik Polri memperhatikan usulan-usulan dari user yang telah

mempertimbangkan berbagai aspek penilaian.

Penempatan penyidik Polri diarahkan untuk dapat meningkatkan karir secara berjenjang

sesuai tingkat kualifikasi yang dimiliki dengan tidak terikat pada jabatan struktural tetapi

diarahkan pada jabatan fungsional dengan kualifikasi spesialisasi sebagai penyidik

tindak pidana korupsi.

4. Pemberian Penghargaan dan Sanksi (reward and punishment).

Upaya dalam peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pembinaan karir dengan cara

pemberian penghargaan bagi penyidik Polri yang berprestasi dan memberikan

sanksi/menghukum bagi penyidik Polri yang telah melakukan pelanggaran atau melakukan

penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan tugas akan cukup memberikan andil untuk

terwujudnya peningkatan kualitas penyidik Polri.

5. Pemberian penghargaan diberikan kepada penyidik Polri yang telah mampu dan berhasil

dalam tugas penyidikan :

Berhasil dalam melakukan penyelidikan dalam rangka mengungkap dan membuktikan

telah terjadinya tindak pidana korupsi.

Berhasil dalam melakukan penyidikan secara tuntas (mulai dari pemeriksaan hingga

pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum) dengan diterimanya berkas perkara

kasus korupsi dengan kategori lengkap.

28 KOMPOL Sam R. Mamisala (Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor), tanggal 11 Juli 2019. 29 Muntono, S.AN. (Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Biak Numfor), tanggal 11 Juli 2019.

Page 28: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 28

Berhasil dalam melakukan kerjasama penyidikan tindak pidana korupsi dengan penyidik

kejaksaan maupun instansi terkait lainnya (BPKP, PPATK, Perbankan dan Kelembagaan

lainnya). Penghargaan yang diberikan dapat berupa pemberian tunjangan khusus

berupa insentif, yang diambilkan dari prosentase kerugian materi uang negara yang

dapat diselamatkan oleh penyidik melalui pengungkapan perkara korupsi yang

ditangani, misalnya besar prosentase adalah 1% dari jumlah kerugian uang negara

yang dapat diselamatkan. Untuk penentuan insentif ini diperlukan suatu instrumen yang

mengatur yang harus mendapat kesepakatan dan persetujuan dari DPR dan

Pemerintah.

Selain itu juga, diberlakukan pemberian tindakan sanksi dan koreksi kepada penyidik Polri

dilihat dari berat ringannya pelanggaran ataupun penyelewengan/penyalahgunaan wewenang

yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dalam menentukan berat

ringannya hukuman bagi penyidik Polri maka pengoptimalan lembaga Pengawas Penyidik

Polri sesuai Pasal 142 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan

dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri adalah sebagai berikut :

1) Melakukan pemeriksaan intensif oleh perwira pengawas penyidik.

2) Pembuatan pernyataan tentang tindakan yang telah dilakukan oleh penyidik.

3) Melakukan teguran tertulis.

4) Tindakan penghentian kegiatan penyidik dari penanganan perkara.

5) Tindakan skorsing/larangan untuk melakukan kegiatan penyidikan dalam periode tertentu.

6) Tindakan pengguguran (grownded) dari tugas penyidikan.

7) Pembebanan kewajiban mengikuti kegiatan pembinaan.

8) Pembebanan kewajiban menyelesaikan tugas lain.

Pemberian koreksi dan sanksi hendaknya diberikan untuk dapat memotivasi penyidik Polri untuk

berprestasi dengan demikian koreksi dan sanksi ini diberikan dengan tujuan mendidik penyidik Polri

untuk lebih profesional dalam setiap melakukan penyidikan yang berpedoman pada penghargaan

terhadap HAM, kepastian hukum dan transparansi/keterbukaan.

Page 29: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 29

Agar dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi dapat berjalan secara cepat dan tuntas

sebagai cerminan dari penyidik yang profesional harus mampu melakukan koordinasi sebagai

berikut :

1. Dengan unsur Criminal Justice System (CJS)

a) Dalam upaya mengoptimalkan hasil penyidikan tindak pidana korupsi diperlukan

koordinasi tanpa mengurangi independensi dari masing-masing unsur penegak hukum

sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dalam melakukan penegakan

hukum tindak pidana korupsi.

b) Menumbuhkan saling pengertian antar unsur CJS agar mempunyai persepsi dan

komitmen yang sama untuk segera menuntaskan penyidikan tindak pidana korupsi.

c) Adanya saling tukar informasi dalam rangka penyidikan terutama dalam penanganan

tindak pidana korupsi yang sulit.

d) Dengan adanya koordinasi yang intensif maka akan dapat menambah wawasan dan

kemampuan/keterampilan penyidik Polri terutama dalam penyidikan tindak pidana

korupsi dengan modus operandi baru.

2. Dengan Instansi terkait (BPKP, PPATK, Bank Indonesia, Kelembagaan/Non

Kelembagaan).Dalam kegiatan penyidikan tindak pidana korupsi diperlukan koordinasi dengan

instansi terkait terutama dalam rangka upaya pembuktian yang sering diperlukan keterangan

saksi ahli untuk menunjang hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.

3. Antar Fungsi Kepolisian.Keberhasilan penyidik Polri dalam mengungkap setiap kasus tindak

pidana korupsi sangat didukung pula oleh kemampuan penyidik dalam memanfaatkan

peranan fungsi kepolisian yang lain melalui koordinasi yang baik, seperti :

a) Intelkam, berperan dalam pengungkapan mata rantai/jaringan dengan kasus lain,

penajaman target operasi, serta pengawasan personil, materiil, kegiatan dan informasi.

b) Labfor Polri, berperan dalam upaya membantu pembuktian secara laboratorium

kriminalistik kedokteran forensik, terhadap kasus-kasus penting.

c) Bagian Psikologi Polda Papua, berperan dalam pengungkapan dan pemeriksaan

saksi/tersangka yang mengalami masalah mental kejiwaan.

d) Kedokteran, berperan dalam memberikan bantuan perawatan tersangka atau saksi yang

mengalami gangguan kesehatan atau diperlukan konsultasi medis.

e) Divisi hukum Polda Papua, berperan dalam rangka penerapan hukum dan perundang-

undangan serta bantuan hukum dalam melengkapi upaya hukum oleh anggota

masyarakat melawan penyidik (Pra Peradilan, tuntutan ganti rugi).

f) NCB/Interpol, kerjasama dalam rangka penyidikan perkara-perkara tindak pidana yang

berlingkup internasional.

3.2. Hambatan yang dihadapi Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di

Kabupaten Biak Numfor

Keberhasilan pelaksanaan tugas penyidik Polri terutama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi

Page 30: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 30

yang demikian kompleks tidak lepas karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yang bersifat

hambatan, khususnya untuk penyidik tindak pidana korupsi pada Polres Biak Numfor, dapat disebutkan

sebagai berikut :

1. Pembinaan personil penyidik Polri yang belum mendukung terutama dalam penempatan penyidik

Polri, maupun dalam rangka pendidikan kejuruan masih belum memperhatikan kualitas dan

cenderung menempatkan penyidik pada Unit Tipikor adalah personil yang belum berpengalaman,

sehingga tidak sebanding dengan tantangan tugas yang dihadapi yang melibatkan tersangka tindak

pidana korupsi adalah orang yang memiliki intelektualitas yang baik.

2. Masih ditemukannya praktik-praktik penyimpangan yang sering terjadi dalam tugas penyidikan,

berupa kolusi penyidik Polri dengan tersangka dalam pelaksanaan tugas sebagai upaya penegakan

hukum tindak pidana korupsi dengan jalan membuat kabur/dikaburkannya kasus posisi dengan

menjadikan kasus perdata dan sebagainya.

3. Penerapan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara

konsisten guna dapat mendorong persaingan dalam meningkatkan kualitas penyidik Polri untuk

lebih berprestasi dalam tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.

4. Keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Polres Biak Numfor khususnya

dalam rangka menunjang kegiatan penyelidikan dan penyidikan dalam pengungkapan tindak pidana

korupsi.

5. Adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penyidikan tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan

juga kewenangan kepada Kejaksaan dan KPK. Apabila penyidik Polri tidak memiliki kualitas yang

mampu berperan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, maka akan menghilangkan

eksistensi penyidik Polri dalam kewenangan untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi.

6. Image masyarakat terhadap profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat belum mampu menunjukan eksistensi

secara realitas dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

7. Pelaksanaan koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi masih belum terselenggara dengan baik, khususnya antara penyidik Polri dengan

Kejaksaan maupun dengan pihak BPKP atau PPATK.

8. Masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau Instansi lain (Kelembagaan dan Non

Kelembagaan) bahwa Polri tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sehingga

penyidik Polri mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana

korupsi.

Dari semua faktor yang mempengaruhi penyidik Polri yang harus dihadapi dengan upaya peningkatan

kualitas penyidik Polri agar lebih proporsional dan profesional dalam pelaksanaan tugas penegakan

hukum tindak pidana korupsi.

4 Penutup

4.1. Kesimpulan dan Saran

Page 31: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 31

Penyidik Polri yang profesional dengan didukung perilaku yang handal maka akan mampu melaksanakan

penyidikan tindak pidana korupsi dengan benar sesuai harapan masyarakat.

Hambatan yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Kabupaten Biak

Numfor yaitu kualitas penyidik Polri saat ini belum profesional dalam melakukan penegakan hukum tindak

pidana korupsi, adalah :

1. Pembinaan personil Polres Biak Numfor.

2. Masih ditemukannya praktik-praktik penyimpangan hukum yang sering terjadi dalam tugas

penyidikan.

3. Penerapan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara

konsisten.

4. Keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Polres Biak Numfor.

5. Adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penyidikan tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan

juga kewenangan kepada Kejaksaan dan KPK.

6. Image masyarakat terhadap profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat belum mampu menunjukan eksistensi

secara realitas dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

7. Pelaksanaan koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi masih belum terselenggara dengan baik.

8. Masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau Instansi lain (Kelembagaan dan Non

Kelembagaan) bahwa Polri tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

Mengoptimalkan Lembaga Pengawas Penyidik Polri sebagai lembaga independen internal Polri

yang terdiri dari para pakar hukum dan pejabat Polri di bidang penyidikan, untuk menghindari intervensi

internal Polri terhadap penyidikan tipikor sekaligus sebagai lembaga konsultasi penyidikan tindak pidana

korupsi. Pembinaan karir penyidik Tipikor agar diperhatikan jenjangnya untuk mendukung profesionalisme

penyidik tindak pidana korupsi agar diisi oleh personil yang berpengalaman dan profesional di bidangnya.

Daftar Pustaka

Adami Chazawi. 2017. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta, Rajawali Pers. Andi

Hamzah. 2007. Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.

Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Anton Tabah. 2005. Tentang Argumen Kepolisian Nasional. Tanpa Penerbit.

Awaloedin Djamin. 2001. Menuju Polri Mandiri yang Profesional. Pengayom, Pelindung, Pelayan

Masyarakat. Jakarta, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.

Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta, Sinar Grafika

Bismar Nasution. 2007. Hukum Kegiatan Ekonomi, Books Terrace and Library.

Chairul Huda. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban

Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta, Kencana.

Ediwarman. 2003. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal Protection For The

Page 32: URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM …

Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 32

Victim of Land Cases). Pustaka Bina Bangsa.

Evi Hartanti. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Sinar Grafika.

Jeremy Pope. 2003. Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta, Yayasan Obor

Indonesia.

Krisna Harahap. 2006. Pemberantasan Korupsi: Jalan Tiada Ujung. Bandung, Grafitri.

Ledeng Marpaung. 2007. Tindak Pidana Korupsi : Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta, Djambatan.

Martiman Prodjohanidjojo. 2001. Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi(Undang- undang

Nomor 31 Tahun 1999). Bandung, Mandar Maju.

Marwan Mas. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Ghalia Indonesia.

Momo Kelana. 2007. Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia. Jakarta, PTIK Press.

Ruslan Renggong. 2017. Hukum Pidana Khusus(Memahami Delik-delik di Luar KUHP). Jakarta, Kencana.

Sadjijono. 2005. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta, Laksbang

Mediatama.

Sianturi Rumida. 2009. Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sutanto. 2005. Polri Menuju Era Baru. Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

W.J.S. Poerwadarminta. 1990. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.

Peraturan Perundang-undangan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, tentang tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat

dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.