urgensi spesialisasi penyidik polri dalam …
TRANSCRIPT
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 1
Submitted: 26 Maret 2019 Revised: 18 April 2019 Accepted: 25 Mei 2019 Vol. 4, No. 2
JIHK is licensed under a Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional license, which permits
unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly
cited.
URL: https://journal.stihbiak.ac.id/index.php/kyadiren/article/view/19
DOI: 10.46924/jihk.v4i2.19
e-ISSN: 2715-5038, p-ISSN: 2502-5058
ORIGINAL ARTICLE
URGENSI SPESIALISASI PENYIDIK POLRI DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Nurul Chaerani Nur | Asdar Djabbar
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Papua
Correspondence
Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
Biak, Papua, Jl. Petrus Kafiar Biak
Brambaken, Samofa, Biak-Papua, Indonesia
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstract
The purpose of this research is to find out and analyze the urgency
of Polri's specialization in the eradication of Corruption in Biak
Numfor District, as well as to find out and analyze the juridical
obstacles faced by the Police in conducting Corruption Crime
investigations in Biak Numfor District. The approach used in this
research is empirical juridical research. This research was
conducted in Biak Numfor District at the Biak Numfor District
Police. The population in this study were all police officers in the
Biak Numfor Resort Police (POLRES), from this population, the
samples were determined as follows: Head of Human Resources
Section of Biak Numfor District Police, Head of the Corruption
Crime Unit. The type of data used in this study are primary data
and secondary data. This research uses qualitative data analysis.
The results of the study show that: Professional police
investigators supported by reliable behavior will be able to carry
out investigations of criminal acts of corruption properly in
accordance with public expectations. The obstacles faced by the
National Police in conducting investigations of corruption in Biak
Numfor Regency are that the quality of current police investigators
is not yet professional in enforcing criminal acts of corruption.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 2
investigations, the application of rewards and punishments
(awards and punishments) that have not been carried out
consistently, the limited facilities and infrastructure as well as the
budget owned by the Biak Numfor District Police, the provisions in
Law Number 31 of 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 which
gives investigative authority not only to the National Police, but
also the authority of the Prosecutors and the Corruption
Eradication Commission, the public image of the professionalism
of police investigators in law enforcement of corruption has not
been supported because quality is seen as not being able to
demonstrate the existence of reality in conduct law enforcement on
criminal acts of corruption, implementation of coordination between
competent officials in law enforcement on criminal acts of
corruption has not been implemented properly, there is still a
presumption among the public or other institutions (Institutional
and Non-Institutional) that the Police are not authorized in
investigating criminal acts of corruption.
Keywords: investigators, professionalism, corruption
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
urgensi spesialisasi Polri dalam pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi di Kabupaten Biak Numfor, serta untuk mengetahui dan
menganalisis hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam
melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Biak
Numfor. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian yuridis empiris.Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten
Biak Numfor pada Kepolisian Resor Biak Numfor. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua aparat polisi di Kepolisian Resor
(POLRES) Biak Numfor, dari populasi tersebut, maka ditentukan
sampel sebagai berikut : Kepala Bagian Sumber Daya Manusia
Polres Biak Numfor, Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi. Jenis
data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder.Penelitian ini menggunakan analisis data
kualitatif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Penyidik Polri yang
profesional dengan didukung perilaku yang handal maka akan
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 3
mampu melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi dengan
benar sesuai harapan masyarakat. Hambatan yang dihadapi Polri
dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Kabupaten
Biak Numfor yaitu kualitas penyidik Polri saat ini belum profesional
dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi,
adalah: pembinaan personil Polres Biak Numfor, masih
ditemukannya praktik-praktik penyimpangan hukum yang sering
terjadi dalam tugas penyidikan, penerapan reward and punishment
(penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara
konsisten, keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran
yang dimiliki Polres Biak Numfor, adanya ketentuan dalam
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penyidikan
tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan juga kewenangan
kepada Kejaksaan dan KPK, image masyarakat terhadap
profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak
pidana korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat
belum mampu menunjukan eksistensi secara realitas dalam
melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi, pelaksanaan
koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi masih belum terselenggara dengan
baik, masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau
Instansi lain (Kelembagaan dan Non Kelembagaan) bahwa Polri
tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
Kata kunci : penyidik, profesionalisme, korupsi
1 Pendahuluan
Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah
menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Untuk itu diperlukan upaya penegakan hukum
secara sungguh-sungguh dan bersifat luar biasa. Mengingat Peran Polri dalam struktur kehidupan
masyarakat sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom masyarakat, penegak
hukum dan pelayanan masyarakat menjalankan perannya agar mempunyai tanggung jawab khusus
menjalankan peranannya agar terpelihara ketertiban masyarakat, sehingga dalam menangani kejahatan
baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun dalam bentuk pencegahan kejahatan agar para
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 4
anggota masyarakat dapat hidup sejahtera, aman dan tenteram. Polri sebagai salah satu sub sistem dari
sistem Peradilan Pidana (criminal justice system), berwenang melakukan tugas Penyelidikan, Penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya termasuk kasus Korupsi, selain lembaga- lembaga hukum seperti Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK).
Dalam hal Polri melakukan tugas penyidikan, terhadap kasus-kasus korupsi, sejak awal penyidikan
kasus senantiasa berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (Selanjutnya disingkat JPU), untuk
menghindari bolak-balik perkara secara berulang. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang POLRI, bahwa :
Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk
Tindak Pidana Korupsi; dan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Untuk
dapat menjalankan tugasnya Penyidik mempunyai wewenang untuk :
a. Menerima laporan atau pengaduan adanya tindakan pidana.
b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal badan.
c. Mengambil sidik jari dan identitas orang.
d. Menggeledah badan.
Jaksa sebagai penuntut saling koordinasi dengan Polri untuk memberantas Korupsi, Pasal 30,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat UUKJ). Tugas dan wewenang jaksa dalam bidang pidana adalah: melakukan
penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Pidana bersyarat, putusan Pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik Polri. Polri dalam menyidik kasus terkesan sangat lambat, mengingat kewenangan Polri
sebagai Penyidik, untuk menyelidiki pelaku/tersangka tindak pidana korupsi, dimana masyarakat sebagai
penilai/monitoring kurang percayanya kepada Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana
korupsi.
1.1. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah urgensi spesialisasi penyidik Polri dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Kabupaten Biak Numfor?
2. Hambatan apakah yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Kabupaten Biak Numfor?
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis :
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 5
1. Urgensi spesialisasi Polri dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Biak Numfor.
2. Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Kabupaten Biak Numfor.
1.3. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Simons1, memberikan pengertian dari perkataan straafbaarfeit adalah sebagai berikut: Tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum. Menurut Simons2, memberikan pengertian dari perkataan Tindak Pidana
adalah sebagai berikut :
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”
Menurut Indriyanto Seno Adji3adalah :
“Perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,
terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya”.
Menurut Moeljatno4tindak pidana adalah :
“perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya”.
Sedangkan menurut Marshall5 sebagai berikut:
“a crime is any act or omission prohibited by law for the protection of the public, and
punnishable by the state in a judicial proceeding in its own name”
Suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi
masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.
Selanjutnya menurut Diening6 adalah :
“actus’ translate into conduct’, compromising commission and omission.”
Tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan
menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.
1.4. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam Bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke
berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam Bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam Bahasa
Prancis menjadi corruption dan dalam Bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptive (korruptie).
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 6
Agaknya dari Bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam Bahasa Indonesia7. Subekti dan
Tjitrosoedibio8 menyatakan :
“Corruptie adalah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan
Negara. Adapun Baharuddin Lopa9 mengutip pendapat David M. Chalmen
menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah
penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang
menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi financial
manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt”.
Secara harfiah menurut Sudarto10, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur
yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Campbell Black11 mendefinisikan korupsi sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan
hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan
suatu keuntutan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak0hak dari
pihak lain.
Menurut Sayed Hussein Alatas12, korupsi adalah:
“Subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup
pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,
pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang
diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi.”
Defenisi lain dikemukakan oleh Adami Chazawi13bahwa:
“Secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah penyuapan.”
Jeremy Pope14 menyatakan bahwa :
1 Hartanti. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Sinar Grafika. hal. 5. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid. hal. 29. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Adami Chazawi. 2017. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia(Edisi Revisi). Jakarta, RajaGrafindo Persada.
hal. 1. 8 Ruslan Renggong. 2017. Hukum Pidana Khusus(Memahami Delik-delik di Luar KUHP). Jakarta, Kencana.
hal. 60. 9 Ibid.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 7
“Korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Namun korupsi
dapat pula dilihat sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”,
artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah dilakukan oleh orang
perorang di sector swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak
memainkan peranan. Sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan
dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul.”
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2) Perbuatan melawan hukum;
3) Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4) Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
1.5. Sanksi Pidana Korupsi
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman maksimal adalah seumur hidup,
kecuali apabila dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan (vide pasal 2 ayat 2).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi
adalah sebagai berikut:
1. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
a. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dilakukan dalam keadaan
tertentu.
10 Ibid. 11 Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta, Sinar Grafika. hal. 137. 12 Ibid. 13 Adami Chazawi. 2017. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta, Rajawali Pers. hal. 2. 14 Jeremy Pope. 2003. Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
hal. 30
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 8
b. Pidana Penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara (Pasal 2 ayat 1).
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi(Pasal 21).
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36.
c. Pidana Tambahan
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang
yang menggantikan barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 9
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
2. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3
(sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 ayat (1) sampai (5) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut :
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili
oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan
dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus
atau ditempat pengurus berkantor.
1.6. Polisi
Di dalam Encyclopedia and Social Science dikemukakan bahwa pengertian polisi meliputi bidang fungsi,
tugas yang luas, yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan keseharian
umum. Dengan kata lain polisi diberikan pengertian sebagai hal-hal yang berhubungan dengan
pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan yang
melanggar hukum. Menurut Charles Reith15 mengemukakan pengertian polisi dalam bahasa Inggris yaitu:
"Police Indonesia the English language came to mean of planning for improving ordering
communal existence", yaitu sebagai setiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan
susunan kehidupan masyarakat.”
Selanjutnya dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwadarminta16 menyatakan bahwa istilah
polisi mengandung pengertian yaitu :
1. Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban umum.
2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.
3. Ditinjau dari segi ontologis kata “polisi” merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, menjadi kongkrit
ketika dilihat dari segi tampilan dan sikap tindakannya yang kasat mata, baik dari performance
aparatur, dari wujud bangunan gedung atau kantornya atau dilihat dari tugas dan wewenang yang
dijalankannya sehingga apa yang ditampilkan secara phisik akan dijadikan bahan atau dasar dalam
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 10
memberikan penilaian lembaga.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyebutkan bahwa :
"Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan". Kemudian Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa : "Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia".
Satjipto Rahardjo17, tipe polisi yang berada bersama-sama dengan rakyat tersebut disebut polisi yang
protagonist dan tipe kedua yakni pemolisian yang sekedar menjaga status quo dan yang tahu
menjalankan hukum saja disebut polisi yang antagonis. Adapula yang mendekatkan pada kebutuhan,
yakni diperlukan organ polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas).
Sebenarnya konsep kantibmas ini jauh lebih tua dari pada pengorganisasian dan pembentukan lembaga
kepolisian, karena Kamtibmas ini untuk menciptakan kontrol sosial resmi di lingkungan masyarakat besar
atau kecil, sehingga polisi diterima secara bulat sebagai penjaminan ketertiban masyarakat atau
cenderung dijadikan acuan sebagai penegak hukum atau ketertiban.
Mencermati tipe kepolisian di atas, tipe kepolisian di Indonesia berada pada kedua-duanya, yakni
protagonist dan antagonis, dalam arti bahwa polisi Indonesia di satu sisi berada di tengah-tengah
masyarakat dalam menjalankan fungsinya, untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
di sisi lain harus menegakkan hukum dan menjaga pemerintahan negara. Rasanya merupakan suatu
kondisi yang mensyaratkan adanya kemampuan yang lebih, karena benar-benar harus mampu
memetakan dan memilah kapan saatnya berdiri sebagai penegak hukum dan kapan saatnya sebagai
pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.
Tipe dan corak tersebut suatu ketika akan bergeser sejalan dengan pemahaman apa tujuan
kepolisian dalam masyarakat atau negara, dan apa visi, misi eksistensi kepolisian yang sebenarnya.
Visi dan misi polisi inilah yang kemudian dielaborasi menjadi cita-cita dan tujuan penyelenggaraan
kepolisian dalam negara. Tujuan penyelenggaraan kepolisian di Indonesia adalah (Pasal 4 UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) : Untuk mewujudkan keamanan dalam negeri
yang meliputi terperliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Tujuan kepolisian tersebut sebagai
konsep dasar yang harus diwujudkan, sehingga perlu adanya sinergi antara konsep dasar dengan
tindakan yang dilakukan. Ada suatu kemungkinan tujuan tidak akan tercapai ketika personil atau subyek-
subyek yang menghantar tujuan dimaksud tidak memahami dan mengerti sebenarnya tujuan itu, oleh
15 Ibid. hal. 6.
16 W.J.S. Poerwadarminta. 1990. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka. hal. 549. 17 Sadjijono. 2005. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta, Laksbang Mediatama.
hal. 159.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 11
karenanya tujuan eksistensi kepolisian menjadi suatu konsep yang harus dipahami bagi setiap anggota
kepolisian yang memiliki kewajiban untuk menghantar dan mengawal serta bertugas mewujudkan
tercapainya tujuan tersebut. Dari konsep inilah kemudian dapat dipahami dan dinilai sejauhmana tujuan
dapat dicapai dan pengaruh apa yang dominan dalam keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai
tujuan.
Konsep dasar dalam penyelenggaraan kepolisian tersebut jika dipetakan menjadi empat tujuan
utama, yakni terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri, terwujudnya tertib
hukum, terwujudnya tegaknya hukum, dan terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. Di dalam pencapaian itu semua harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Karena itu tujuan Polri di atas harus dijalankan secara seimbang, agar hukum berjalan sesuai dengan
fungsinya dan mampu mewujudkan cita-citanya untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatannya
bagi kehidupan masyarakat, dan masyarakat merasa terlindungi, terayomi dan terlayani dengan baik. Hal
dimaksud sejalan dengan apa yang menjadi misi kepolisian, sebagaimana dikemukakan oleh Sutanto18:
1. Menegakkan hukum secara adil, bersih dan menghormati HAM.
2. Memelihara keamanan dalam negeri dengan memperhatikan norma-norma dan nilai yang berlaku di
masyarakat.
3. Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
4. Mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat.
Kepolisian sebagai sosok lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk mewujudkan tujuan
tersebut, memerlukan kesadaran yang tinggi bagi para pelaku yang mengawaki atau membadani
lembaga, yakni person-person yang berperan dalam mengoperasionalkan lembaga. Oleh karenanya agar
berjalan searah dengan tujuan lembaga para stakeholder harus memahami apa sebenarnya tujuan
lembaga, dan memahami mengapa lembaga diberi tugas dan wewenang untuk itu. Dengan konsep
tersebut akan meminimalisasi penyimpangan tujuan dan kegagalan tujuan yang dicapai atau diwujudkan.
1.7. Tugas dan Wewenang Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, Presiden menginstruksikan kepada Kapolri agar dalam
hal upaya penegakan hukum dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana
korupsi agar meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi negara
yang terkait. Pelayanan dan perlindungan sebagai jiwa dari Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun
2002 merupakan konsep dasar/landasan setiap tindakan dan penggunaan kekuatan sehingga dalam
aksinya seorang pejabat profesi Kepolisian selalu bersikap dan berperilaku berdasarkan hal tersebut.
Pelayanan disini adalah konsep dimana bertitik tolak dari kepedulian kepada masyarakat, sehingga
pelayanan ini menjadi alat utama dalam strategi pencitraan Polri. Upaya Polri dalam memberikan
pelayanan terbaik ini adalah dengan menonjolkan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan,
tanggung jawab yang baik serta koordinasi.
Dalam hal Polri menerima laporan atau pengaduan tentang adanya dugaantindak pidana korupsi
dari masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 12
Penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Melakukan Penyelidikan/Penyidik dengan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti. Apabila sudah
ditemukan bukti pendukung, maka Polri sebagai penyidik melakukanpenyidikan terhadap kasus korupsi
yang dilaporkan. Kewenangan Polri dalam melakukan Penyelidikan/Penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 14 ayat 1 huruf g,
Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan Inpres No. 5 Tahun 2004tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya Polri bertugas melakukan Penyelidikan dan Penyidikan semua
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undang lainnya.
Pada tataran inilah tugas dan kewenangan Polri sebagai penegak hukum melakukan
penyelidikan/penyidikan kasus korupsi atas laporan atau pun pengaduan yang dilakukan masyarakat,
lembaga Swadaya Masyarakat atau pun dari laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Dalam hal penghitungan jumlah kerugian keuangan negara Penyidik Polri meminta bantuan dari
BPKP untuk melakukan penghitungan jumlah kerugian keuangan negara. Sebab dalam praktek
dilapangan bila Penyidik Polri mengirimkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum harus jelas
terinci jumlah kerugian keuangan negara, apabila tidak dilakukan penghitungan kerugian keuangan
negara Jaksa Penuntut Umum tidak akan menerima berkas perkara dari Penyidik Polri.
Dalam kenyataannya terdapat batasan-batasan tugas dan wewenang Polri dalam menangani kasus
perkara Korupsi terhadap kerugian negara yang lebih dari Rp. 1000.000.000,- (satu milyar rupiah)
ditangani oleh KPK.
2 Metode Penelitian
Studi dalam rangka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Biak Numfor pada Kepolisian Resor Biak Numfor. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
aparat polisi di Kepolisian Resor (POLRES) Biak Numfor, khususnya pada Bidang Tindak Pidana Korupsi
Polres Biak Numfor. Dari populasi di atas, maka ditentukan sampel sebagai berikut : Kepala Bagian
Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor, dan Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi. Jenis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
langsung diperoleh dari aparat pada Unit Tindak Pidana Korupsi Kepolisian Resor Biak Numfor, sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, media cetak, dokumen-dokumen, internet, dan
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Dalam penulisan ini, terdapat dua teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu :
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Sasaran penelitian kepustakaan ini terutama untuk mencari landasan teori dari objek kajian
dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku yaang berhubungan langsung dengan objek
dan materi penulisan skripsi ini.
18 Sutanto. 2005. Polri Menuju Era Baru. Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. hal. 16.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 13
2. Penelitian Lapangan (Fieeld Research)
Dalam penelitian ini penulis langsung ke lokasi penelitian untuk meminta data-data dan melakukan
wawancara dengan sampel yang menyangkut objek penelitian.
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif empiris dilakukan dengan
menganalisis data sekunder yang bersifat narasi maupun data yang bersifat empiris berupa teori, definisi
dan substansinya dari beberapa literatur, dokumen dan peraturan perundang-undangan
serta didukung dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara, kemudian dianalisis dalam rangka
menjawab permasalahan.
3 Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Urgensi Spesialisasi Penyidik Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Kabupaten Biak Numfor
Kurang berperannya penyidik Polri dalam menegakkan hukum tindak pidana korupsi karena adanya
beberapa penyebab antara lain19 :
1. Sisi yuridis
Adanya ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan pelaksanaannya yang
memberikan kewenangan-kewenangan dalam penyidikan tidak hanya kepada Polri tetapi juga kepada
kejaksaan, sehingga menimbulkan dualisme yang justru merugikan bagi eksistensi Polri dalam penyidikan
tindak pidana korupsi. Disamping itu dengan adanya UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang
mengatur tentang kewenangan kejaksaan didalam penanganan kasus tindak pidana tertentu (termasuk
korupsi) berdasarkan UU (sebelumnya didahului terbitnya Keppres No.86/1999 tentang Susunan OTK
Kejaksaan RI pada Pasal 17 mengenai kewenangan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAMPIDSUS)
menangani kasus tindak pidana tertentu termasuk korupsi), serta kewajiban Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung
(Kejagung), mempengaruhi kecepatan penyidik Polri dalam melakukan langkah-langkah penyelidikan
maupun penyidikan.
2. Sisi psikologis
Tindak pidana korupsi pada umumnya banyak melibatkan para pelaku dari kalangan pejabat yang
mempunyai poweruntuk melegalisasi perbuatannya dengan upaya intervensi kepada penyidik. Dalam
situasi demikian penyidik Polri sering terjebak pada posisi yang sulit untuk berada pada independensi
untuk melakukan penyidikan sebagai akibat adanya tekanan psikologis yang sering menurunkan moral
dan menghilangkan hati nurani penyidik Polri untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum.
3. Sisi teknis
Guna memahami kewenangan Polri selaku salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, akan selalu melihat pada kewenangan penegakan hukum tindak pidana
korupsi yang diberikan sesuai peraturan yang berlaku, yaitu :
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 14
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI diatur kewenangan
Polri sebagai berikut :
a) Pasal 14 ayat (1) huruf g: “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan”.
b) Pasal 15 ayat (1) huruf a : ”menerima laporan dan/atau pengaduan” (bahwa setiap pengaduan
mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi bisa dilaporkan kepada kepolisian).
c) Pasal 15 ayat (2) huruf g : ”melakukan tindakan pertama di tempat kejadian” (segera setelah
menerima laporan terjadinya tindak pidana korupsi, polisi berwenang untuk mendatangi TKP
untuk pengumpulan bukti-bukti lebih lanjut mengenai terjadinya tindak pidana korupsi
tersebut).
d) Pasal 15 ayat (2) huruf i : ”mencari keterangan dan barang bukti”.
e) Pasal 16 ayat (1) huruf a s/d I :
Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang untuk :
a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan.
c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri.
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
h) Mengadakan penghentian penyidikan.
i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mencantumkan kewenangan Polri
sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik sebagai berikut :
Sebagai Penyelidik
Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b) Mencari keterangan dan barang bukti.
c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
b) Pemeriksaan, penyitaan surat.
19 Hasil wawancara dengan Muntono, S.AN. (Kanit Tindak Pidana Korupsi, Polres Biak Numfor, tanggal 8 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 15
c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
d) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Sebagai Penyidik
Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a) Menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat-surat.
f) Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
seorang.
i) Mengadakan penghentian penyidikan.
j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Untuk mengetahui kewenangan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi maka dapat dilihat
dari ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 yang memberikan petunjuk/ketentuan
dalam proses acaranya (hukum materiil) seperti disebutkan dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39
sebagai berikut :
Pasal 26 :
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain, dalam
Undang- Undang.
Pasal 27 :
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim
gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana
korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka atau
di bidang moneter dan keuangan yang :
1. Bersifat lintas sektoral
2. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih.
3. Dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 tersebut bahwa kewenangan dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi terutama dalam pelaksanaan hukum materiilnya tetap berpedoman pada KUHAP walaupun ada
beberapa ketentuan yang ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang harus dipedomani seperti Pasal 27 tersebut.
Apabila diperhatikan pada ketentuan KUHAP terutama pada Pasal 4 dan Pasal 6 KUHAP, maka
akan jelas bahwa menurut ketentuan hukum yang berwenang sebagai penyelidik maupun penyidik adalah
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 16
Polri. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut sebagai berikut :
Pasal 4 : “Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”.
Pasal 6 :
Penyidik adalah :
1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Selain adanya ketentuan umum sebagaimana Pasal 4 dan Pasal 6 KUHAP tersebut masih perlu
diperhatikan adanya ketentuan peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan
acara pidana yang diatur dalam UU tertentu (termasuk UU No. 31/1999 jo. UU. No. 20 Tahun 2001) masih
berlaku.
Pasal 284 ayat (2) :
Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap perkara-perkara
diperlukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu, sampai ada perubahan dan
atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Adanya ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP telah dipertegas dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pada Pasal 17 yang menjelaskan sebagai berikut :
Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, Jaksa dan pejabat
penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Polri sebagai salah satu alat negara penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang yang sangat
luas oleh undang-undang dalam penegakan hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi, memerlukan kualitas penyidik Polri yang
memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dan taktis yang memadai untuk mampu dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi. Apabila penyidik Polri dapat menunjukan jati diri sebagai penegak hukum
yang handal untuk eksis melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan sorotan
masyarakat saat ini, maka akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyidik Polri,
karena adanya kepercayaan masyarakat merupakan modal untuk memperoleh dukungan ataupun
legitimasi guna mewujudkan kemandirian Polri. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kompol
Sam R. Mamisala20, bahwa polisi mandiri dapat diartikan :
1. Mandiri operasional dan pembinaan.
2. Mandiri dalam arti cukup jumlah personil (menuju 1 : 450, misalnya), kualitas atau profesionalisme
anggota (keahlian, keterampilan dengan kode etik sebagai pengayom, pelindung dan pelayan
masyarakat), kelengkapan peralatan (dengan teknologi Kepolisian yang canggih), kesejahteraan
anggota Polri dan sebagainya.
Demikian juga halnya dengan Muntono, S.AN21yang menyatakan bahwa :
Kemandirian Polri perlu ditopang oleh personil yang mampu mewujudkan sikap dan perilaku polisi
yang tulen atau otentik. Sikap dan perilaku Polisi yang tulen atau otentik dimaksudkan adalah
menjalankan fungsi Kepolisian secara layak polisi (Police Proper) yaitu sebagai polisi yang mempunyai
karakteristik tugas yang harus ditunjang oleh profesionalisme. Dengan demikian terwujudnya kemandirian
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 17
Polri sangat signifikan dipengaruhi dari keberhasilan penyidik Polri dalam tugas penegakan hukum
khususnya dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang sangat ditentukan dari kualitas penyidik Polri
sebagai penegak hukum yaitu penyidik Polri yang profesional. Menghadapi tuntutan masyarakat yang
menghendaki adanya wujud nyata dari pelaksanaan tugas Polri terutama dalam penegakan hukum, maka
kebutuhan kualitas penyidik Polri yang baik yaitu memiliki profesionalisme merupakan keharusan agar
dapat menjawab tantangan tugas khususnya dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Kebutuhan
dan harapan akan profesionalisme penyidik Polri dalam pelaksanaan tugas tidak hanya kebutuhan
organisasi Polri saja tetapi merupakan harapan bangsa Indonesia.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka kondisi profesionalisme penyidik Polri yang diharapkan
dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi meliputi22:
1. Kemampuan Penyidik Polri, Mampu memahami dan menguasai perundang-undangan/peraturan
hukum, terutama pemahaman terhadap UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
menyangkut kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain :
Penyidikan dalam perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian
secepatnya (Pasal 25).
Penyidik dapat meminta keterangan dari tersangka tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri/suami, anak dan setiap orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga oleh
penyidik mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 29).
Penyidik berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka
maupun memblokir rekening simpanan milik tersangka yang diduga hasil dari korupsi dengan
permintaan keterangan kepada bank diajukan kepada Gubernur BI sesuai peraturan yang
berlaku (Pasal 29).
Penyidik diberi hak untuk membuka, memeriksa dengan menyita surat dan kiriman melalui
pos, telekomunikasi atau alat lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak
pidana korupsi (Pasal 30).
Penyidik diberi hak untuk merahasiakan identitas pelapor atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahui pelapor.
2. Kemampuan penyidik Polri dalam menguasai ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang
ada akan memberikan kepercayaan diri serta wawasan dalam penegakan hukum terutama dalam
penyidikan tindak pidana korupsi.
3. Mampu memahami dan menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan tugas-tugas sebagai
penyidik dalam rangka memberikan wawasan/pola pikir, antara lain :
Pengetahuan tentang akuntansi.
Pengetahuan tentang moneter.
Pengetahuan tentang perbankan.
20 Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Kepolisian Resor (POLRES) Biak Numfor, tanggal 8 Juli 2019.
21 Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi, wawancara tanggal 9 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 18
Pengetahuan tentang pasar modal.
Pengetahuan tentang cessie.
Pengetahuan bidang ekonomi.
Memiliki dan menguasai pengetahuan teknis dan taktis penyidikan. Dengan menguasai
pengetahuan taktis dan teknis penyidikan secara spesialisasi terhadap tindak pidana korupsi
maka penyidik Polri secara kualitas akan baik dan dapat dihandalkan terutama dalam
mengambil langkah-langkah penyidikan dalam rangka pembuktian tentang telah terjadinya
tindak pidana korupsi. Kemampuan dalam menguasai taktis dan teknis penyidikan dapat
diketahui dari seberapa jauh penyidik Polri menguasai proses penyidikan tindak pidana sesuai
dengan Juklak dan Juknis yang telah ada.
4. Keterampilan
Keterampilan yang diharapkan dimiliki penyidik Polri yangprofesional antara lain :
Memiliki keterampilan dalam komputer yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam
pemeriksaan maupun dalam mengakses informasi-informasi yang diperlukan dalam pengungkapan
perkara korupsi yang ditangani.
Keterampilan dalam berkomunikasi.
Terutama dalam mencari informasi-informasi maupun dalam berkoordinasi antara instansi
terkait. Keterampilan dalam berkomunikasi diperlukan juga adanya dukungan penguasaan
bahasa yang baik diantaranya bahasa asing (bahasa Inggris).
Keterampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan taktis dan teknis penyidikan dalam pelaksanaan
tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
5. Sarana dan Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana yang diharapkan meliputi peralatan penyidikan, alat komunikasi dengan
teknologi maju dan kendaraan bermotor roda empat yang memadai yang dapat membantu mobilitas
penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya. Sarana dan prasarana tersebut dalam keadaan terawat dan
terpelihara dengan baik sehingga dapat memperpanjang usia pakai serta tingkat kesiapan yang prima
dalam mendukung kecepatan penyidikan. Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang diharapkan
bahwa penyidik Polri mampu membuat terang terjadinya tindak pidana korupsi dengan didukung oleh alat
bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP. Alat bukti yang sah ialah :
Keterangan saksi.
Keterangan Ahli.
Surat.
Petunjuk.
Keterangan terdakwa.
Pembuktian yang dilakukan melalui penyelidikan dan penyidikan secara benar berdasarkan
22 Kompol Sam R. Mamisala (Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor) tanggal 8 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 19
ketentuan perundang-undangan merupakan cerminan kualitas penyidik Polri yang diharapkan yaitu
penyidik yang profesional.
6. Penyelidikan
Dalam penyelidikan diharapkan penyidik Polri dapat menemukan bukti permulaan dari tindak pidana
korupsi secara cepat, dan dini yang merupakan kegiatan deteksi dini dimana kegiatan penyelidikan ini
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, antara lain23 :
Didukung dengan keterampilan wawancara dengan penguasaan keterampilan bertanya dan
berbicara efektif dengan sasaran yang tepat baik sebagai saksi, saksi ahli maupun tersangka.
Didukung keterampilan pengamatan dengan teknik pengamatan yang benar
Didukung keterampilan dalam penyamaran (undercover), dalam rangka memperoleh
keterangan/informasi.
7. Penyidikan
8. Penindakan
Penggeledahan. Penggeledahan dilakukan terhadap orang dan tempat-tempat yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi dimana penggeledahan dilaksanakan sesuai dengan prosedur yaitu
adanya surat perintah penggeledahan, surat ijin dan atau dilaporkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat, serta adanya saksi-saksi dan setelah itu penyidik membuat berita acara
penggeledahan.
Penyitaan. Penyitaan dilaksanakan terhadap surat-surat dan barang-barang yang berkaitan dengan
tindak pidana dimana penyitaan dilaksanakan sesuai prosedur, adanya surat perintah penyitaan,
surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, adanya saksi-saksi yang turut menandatangani,
dan dibuatkan berita acara penyitaan serta surat dan barang- barang yang disita dibuat label dan
dilak dengan baik.
Penangkapan.
a) Penangkapan dilaksanakan sesuai prosedur, adanya surat perintah penangkapan, satu
lembar diserahkan kepada keluarga dan dalam surat perintah disebutkan pasal-pasal yang
disangkakan dan alasan penangkapan, dilaksanakan dalam waktu 1 x 24 jam.
b) Penangkapan dilakukan secara baik dan cermat, dengan demikian tidak akan terjadi
kekeliruan terhadap orang yang ditangkap.
c) Tidak melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi.
Penahanan.
a) Penahanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur, adanya surat perintah penahanan dengan
memuat pasal-pasal dan alasan penahanan, satu lembar surat perintah penahanan
diserahkan pada keluarganya, waktu penahanan selama 20 hari dan dapat diperpanjang
selama 40 hari kepada Penuntut Umum.
b) Penahanan dilakukan dengan menghormati hak azasi, dengan demikian tidak membeda-
bedakan perlakuan terhadap tersangka.
c) Penahanan tidak mencari keuntungan pribadi, dengan memberikan jasa penangguhan namun
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 20
meminta imbalan kepada tersangka atau keluarganya.
Pemanggilan.
a) Pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menyebutkan status
yang dipanggil.
b) Pemanggilan harus menghormati hak-hak azasi, sehingga pada saat yang dipanggil datang
sesuai jadwal segera dilayani sebagaimana maksud dari pemanggilan.
c) Pemanggilan dilaksanakan tidak untuk kepentingan pribadi penyidik.
Pemeriksaan.
Pemeriksaan dilaksanakan dalam penyidikan diharapkan untuk dapat memperoleh keterangan baik dari
saksi maupun tersangka untuk kepentingan pembuktian.
a) Pemeriksaan tersangka.
1) Mengarah dan sesuai dengan unsur-unsur dan pasal-pasal yang disangkakan kepada
tersangka.
2) Pemeriksaan tersangka dan hasilnya harus disesuaikan dengan keterangan saksi-
saksi, saksi ahli dan barang bukti yang ada.
3) Hasil pemeriksaan tersangka dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditanda
tangani oleh tersangka serta penyidik yang memeriksa.
b) Pemeriksaan saksi/saksi ahli.
Pemeriksaan saksi-saksi/saksi ahli diarahkan :
1) Pemeriksaan dan hasilnya harus berhubungan dengan keterangan tersangka.
2) Diantara keterangan saksi-saksi/saksi ahli harus berhubungan satu dengan yang lain
serta dengan barang bukti yang ada.
3) Hasil pemeriksaan saksi /saksi ahli dituangkan dalam berita acara pemeriksaan
kemudian ditanda tangani oleh saksi/saksi ahli dan penyidik yang memeriksa.
c) Penyelesaian/pemberkasan perkara.
Penyelesaian/pemberkasan diharapkan dapat dilakukan dalam waktu cepat sejalan dengan
kecepatan dalam pemeriksaan maupun pengumpulan bukti-bukti.
d) Pengiriman berkas perkara kepada Penuntut Umum.
Berkas perkara yang dikirim oleh penyidik Polri kepada Penuntut Umum diharapkan dapat segera
diterima oleh Kejaksaan tanpa pengembalian dengan alasan tidak cukup bukti ataupun tidak terjadi bolak
balik berkas perkara secara berlarut-larut.
Dari kondisi di atas, maka diharapkan adanya spesialisasi penyidikan tindak pidana korupsi. Jajaran
penyidik Polres Biak Numfor khususnya Unit Tindak Pidana Korupsi harus memiliki mental kepribadian
yang baik bagi penyidik Polri, merupakan bagian dari cerminan kualitas penyidik Polri yang diharapkan
yang dapat mendukung keberhasilan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Adapun mental kepribadian yang diharapkan adalah24:
a. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam arti :
Beriman Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan dinas, pribadi, keluarga dan masyarakat.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 21
Menjaga kerukunan umat beragama.
b. Telah dihayati kode etik Kepolisian, Tri Brata dan Catur Parsetya sebagai pedoman hidup dan
pedoman kerja dalam kehidupan sehari-hari.
c. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tidak mudah putus asa dan tidak mengeluh tetapi mampu
mengatasi kesulitan yang dihadapi.
d. Dalam pekerjaannya tetap tekun walaupun kekurangan dukungan dan fasilitas serta tidak
terpengaruh akan godaan nafsu kebendaan.
e. Adanya kepercayaan kepada diri sendiri dalam melaksanakan tugas didasarkan atas kemampuan
dan kekuatan sendiri serta selalu mendahulukan kewajiban daripada hak.
f. Adanya kemampuan untuk mengendalikan diri dan berani bertanggung jawab serta dapat
menghargai dan menghormati orang lain.
g. Memiliki sikap dan tingkah laku yang dapat dijadikan contoh teladan oleh lingkungan kerja maupun
lingkungan sosialnya.
h. Berbudi luhur, jujur, penuh dedikasi dalam melaksanakan tugas yang dilandasi oleh nilai-nilai
agama.
Selain itu, penampilan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mendukung
pelaksanaan tugas khususnya para penyidik dalam bidang tindak pidana korupsi yang dapat mendukung
pelaksanaan tugas penyidikan. Menurut AIPTU Muntono, S.AN.25 bahwa :
1. Dilihat dari segi postur tubuh adanya keserasian antara tinggi badan dan berat badan.
2. Memiliki sikap tampan yang rapi dan bersih.
3. Dalam memakai peralatan dan atribut sesuai dengan ketentuan dan rapi serta terpelihara dan
terawat dengan baik.
4. Memiliki kecekatan, kelincahan dan tidak loyo dalam gerak-gerik sehari-hari.
5. Memiliki daya tahan yang tinggi dan prima.
6. Memiliki kemampuan dalam bela diri Polri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis melihat bahwa penyidik Polri yang profesional
dengan didukung perilaku yang handal maka akan mampu melaksanakan penyidikan tindak pidana
korupsi dengan benar sesuai harapan masyarakat. Hal demikian merupakan cerminan dari kualitas
penyidik Polri yang dapat mewujudkan eksistensi penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi karena mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat
(akuntabilitas publik), dengan demikian diharapkan dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat dan
memberikan legitimasi kepada penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi secara
mandiri sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Peningkatan kualitas penyidik Polri dalam rangka
penegakan hukum tindak pidana korupsi dituntut untuk profesional dalam penyidikan, sehingga setiap
bentuk tindak pidana korupsi yang diketahui dapat ditangani secara cepat dan tuntas. Guna menjadikan
penyidik Polri yang memiliki kualitas sebagai penyidik yang profesional sesuai harapan, maka dapat
dilakukan dengan upaya peningkatan sebagai metode yaitu :
1. Pembinaan Kemampuan
24 Kompol Sam R. Mamisala (Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor), tanggal 9 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 22
a. Subyek, subyek yang berperan dalam pembinaan kemampuan penyidik Polri meliputi :
1) Para pimpinan/pejabat Polri (Kapolri, Asrena, As SDM, Kalemdikpol, Kapolda dan
Kapolres)
Kapolri, sebagai pimpinan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
kebijakan pada peningkatan kemampuan penyidik Polri.
Asrena dan As SDM Kapolri, sebagai pembantu Kapolri dalam melaksanakan tugas
membuat perencanaan untuk pengembangan dan pembangunan personil penyidik Polri
agar mampu dan memiliki kualitas sesuai harapan masyarakat yaitu profesional dalam
penegakan hukum.
Kalemdikpol, bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan kemampuan melalui
pelaksanaan seleksi dan pelaksana pendidikan dan latihan secara terencana sesuai
kalender pendidikan.
Kapolda dan Kapolres, bertanggung jawab terhadap terselenggaranya pembinaan
kemampuan penyidik Polri dengan mengembangkan melalui pendidikan dan latihan
maupun pengembangan diri.
2) Para pejabat dilingkungan komuniti Reskrim (Kabareskrim, Dir Tipikor, Dirreskrim dan
Kasat Reskrim), bertanggung jawab terhadap pembinaan kemampuan khususnya dalam
kemampuan teknis dan taktis penyidikan secara berjenjang sesuai lapis-lapis
kemampuan dari tingkat KOD sampai dengan tingkat pusat (Bareskrim).
Obyek. Obyek dalam pembinaan kemampuan meliputi personil Polri yang bertugas di
jajaran fungsi Reskrim maupun yang dipersiapkan untuk mengemban tugas fungsi
Reskrim, namun yang lebih diutamakan adalah penyidik Polri.
Metode, adapun metode yang dilaksanakan dalam meningkatkan kemampuan
penyidik Polri agar memiliki kualitas yang diharapkan yaitu melalui upaya-upaya :
3) Pendidikan. Kualitas penyidik Polri yang ditopang dengan pendidikan yang memadai
akan membentuk penyidik yang profesional. Hal ini sulit untuk disangkal karena semakin
tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah dalam menangkap gagasan-
gagasan modern, seperti adanya issue demokratisasi, HAM, kemerdekaan berpendapat,
transparansi dan sebagainya. Berbagai penelitian yang menunjukan adanya kaitan yang
erat antara pendidikan dengan kinerja Polisi, antara lain dibuktikan bahwa Polisi yang
berpendidikan Akademi lebih memiliki kepekaan terhadap masyarakat, lebih memiliki
kemampuan berkomunikasi dan cara bertindak dalam pelaksanaan tugas. Secara
singkat polisi dengan pendidikan Akademi cenderung lebih adil, jujur dan efektif.
Penelitian lain menunjukan bahwa Polisi berpendidikan Akademi menunjukan toleransi
lebih besar dalam menghadapi golongan minoritas, kurang otoriterian dan dogmatis
dibandingkan dengan Polisi yang kurang berpendidikan. Menyadari pentingnya
25 Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Biak Numfor, tanggal 10 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 23
arti pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas penyidik Polri, maka diperlukan
pendidikan jenis kejuruan ataupun spesialisasi di bidang Reskrim serta pendidikan
pembentukan dan pengembangan yang mampu mendukung terealisasinya kualitas
penyidik Polri yang profesional. Adapun jenjang pendidikan yang perlu ditempuh, yaitu :
a) Pendidikan Kejuruan.
Kejuruan Pamen Senior Reskrim di bidang Korupsi :
Peserta adalah Pamen berpangkat AKBP atau Kompol yang telah lulus mengikuti
pendidikan Sespim Polri.
Telah mengikuti pendidikan kejuruan Reserse Spesialisasi Tipikor.
Tujuan dari pendidikan untuk membentuk Pamen yang mampu memenej proses
penyidikan secara profesional sesuai dengan spesialisasinya.
b) Pendidikan Kejuruan Spesialisasi Tipikor :
Peserta adalah terdiri dari Pama dengan pangkat IPTU/AKP, dan Bintara dengan
pangkat Briptu s/d Aiptu.
Peserta memenuhi persyaratan sebagai berikut :
c) Untuk golongan Perwira Pertama : Lulusan Pendidikan PTIK maupun Selapa,
telah mengikuti pendidikan Reserse Tipikor.
d) Untuk golongan Bintara :Lulusan Pendidikan Bintara, telah mengikuti pendidikan
kejuruan spesialisasi Reserse.
e) Pendidikan Kejuruan CID Luar Negeri : Peserta adalah Pama ke atas, telah
mengikuti pendidikan Reserse lanjutan Tipikor.
f) Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan. Bahwa penataan
lapis kemampuan tidaklah hanya dilaksanakan melalui pendidikan kejuruan
bagi anggota Polri dilapangan, namun secara mendasar harus dimulai dari
tingkat pendidikan pembentukan, yang selanjutnya secara simultan
dilaksanakan pula ditingkat pendidikan kejuruan dan pendidikan
pengembangan dalam rangka memantapkan lapis kemampuan fungsi
Reskrim, adalah sebagai berikut :
Pendidikan Pembentukan (Diktuk) Pa :
a) Akpol. Untuk lulusan Akpol, diarahkan memiliki kemampuan setingkat
dengan pendidikan kejuruan Reserse lanjutan, dan mereka diarahkan
sebagai Perwira Polri dengan kualitas penyidik.
b) PPSS Polri. Materi keresersean yang dimiliki merupakan pengetahuan
Reserse yang sifatnya umum dan pengetahuan tentang tugas serta peranan
penyidik. Tujuan agar memahami tugas, fungsi dan peranan Reserse Polri
serta dapat menjunjung tugas- tugas penyidik.
Pendidikan Pengembangan (Dikbang).
a) PTIK. Untuk lulusan PTIK diarahkan memiliki kemampuan setingkat dengan
pendidikan kejuruan lanjutan Reskrim Tipikor. Materi keresersean yang
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 24
dimiliki meliputi materi Dikjur Serse Tipikor dan ilmu-ilmu pengetahuan
(science) yang berkaitan dan mendukung tugas Reskrim. Tujuannya agar
membantu dan menunjang tugas, taktik dan tehnik fungsi Reserse Polri
dengan penerapan ilmu-ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam
pelaksanaan di lapangan.
b) Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa). Untuk lulusan Selapa diarahkan memiliki
kemampuan setingkat dengan pendidikan kejuruan Reserse setingkat
dengan pendidikan kejuruan Reserse Tipikor. Materi keresersean yang
dimiliki meliputi materi Dikjur Serse Tipikor dan mekanisme hubungan antar
fungsi guna berhasilnya tugas-tugas Reserse. Tujuannya agar dapat
membantu dan menunjang tugas, tehnik dan taktik fungsi Reserse Polri
dalam rangka pelaksanaan tugas di lapangan.
c) Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim Polri). Materi keresersean yang
dimiliki bersifat strategis, merupakan pengetahuan tugas-tugas Reserse
yang didasarkan pada kekuatan personil serta sarana peralatan yang ada
kaitan dengan ancaman kejahatan Tujuannya agar dapat mengatur
tugas-tugas Reserse di lapangan sehingga mampu menunjang
keberhasilan pengungkapan kasus-kasus yang terjadi.
2. Pelatihan. Peningkatan kualitas penyidik Polri tidak saja dilaksanakan melalui peningkatan
kemampuan berupa pengetahuan hukum dan pengetahuan lainnya yang bersifat wawasan
(knowledge) tetapi juga diperlukan peningkatan keterampilan (skill) sebagai aplikasi dari pengetahuan
yang dimiliki (pengetahuan hukum, pengetahuan teknis dan taktis) melalui pelaksanaan pelatihan
secara terprogram dan berkesinambungan. Dengan demikian setiap penyidik Polri baik secara
individu maupun kesatuan akan selalu terpelihara kemampuannya untuk tetap dalam kondisi
siap operasional dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Aktualisasi dari pelaksanaan pelatihan diarahkan pada sasaran yang dapat meningkatkan
keterampilan penyidik Polri secara perorangan maupun dalam team/unit, sebagai berikut :
Latihan diarahkan agar mampu mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi secara
cepat dan tuntas, untuk itu diperlukan pengembangan taktik dan teknik penyidikan untuk
tujuan pembuktian dalam mengungkap setiap modus operandi dari tindak pidana korupsi yang
terjadi.
Latihan diarahkan dalam rangka melancarkan dan meningkatkan keterpaduan operasional
dalam penyidikan antar individu penyidik Polri, tim/unit maupun antar fungsi-fungsi operasional
lainnya.
Pelaksanaan latihan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan
operasional penyidik Polri dalam penyelidikan dan penyidikan pada setiap tingkat kesatuan
Kepolisian mulai dari tingkat Mabes Polri hingga tingkat Kewilayahan (Bareskrim sampai
dengan Polres) guna memelihara tingkat lapis kemampuan penyidik Polri.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 25
Khusus untuk Polres Biak Numfor, berdasarkan hasil wawancara dengan Kompol Sam R.
Mamisala26, bahwa : Telah dilakukan upaya peningkatan spesialisasi khususnya penyidik
tindak pidana korupsi dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Bagian Reskrim bersama-sama Bagian Sumber Daya Manusia bersama dengan Polda Papua
memprogramkan pelatihan sebagai berikut :
a) Memprogramkan pelatihan secara teratur yang dilakukan terpusat di Polda Papua guna
meningkatkan kemampuan dan keterampilan penyidik Polri. Pelaksanaan pelatihan
dibedakan menurut tingkat kualifikasi kemampuan yang dimiliki yang secara berjenjang
mulai dari kemampuan dasar hingga kemampuan spesialisasi dalam penyidikan tindak
pidana korupsi.
b) Program pelatihan pada tingkat Polda Papua dilaksanakan minimal dua kali dalam
setahun yang melibatkan kepala kesatuan maupun penyidik Polri pada kesatuan tindak
pidana korupsi, guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan taktik dan teknik
penyidikan dalam rangka pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi khususnya
di Provinsi Papua.
c) Pelatihan diprogramkan dalam rangka pengenalan dan pemanfaatan teknologi
kepolisian dalam mendukung tugas operasional penyidikan tindak pidana korupsi.
d) Program pelatihan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
individu penyidik Polri maupun kerja sama dalam tim/unit.
e) Kemampuan back-up operasional penyidikan pada tingkat Polres.
Upaya peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pengembangan diri sangat didukung oleh
pimpinan Polri dari tingkat pusat sampai kewilayahan dengan memberikan kesempatan bagi setiap
penyidik Polri untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam rangka berguna
untuk menunjang pelaksanaan tugas dalam penyidikan tindak pidana korupsi, antara lain27:
Memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan program studi Sarjana dan Magister atas
biaya dari institusi Polri.
Kesempatan mengikuti kursus atau seminar yang bersifat nasional dalam rangka menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan.
Melaksanakan kursus-kursus dan pelatihan/keterampilan di bidang penyidikan bagi setiap
penyidik Reskrim Polri.
Pemanfaatan Teknologi Kepolisian.Penyidik Polri di masa datang akan dihadapkan pada
berbagai kasus tindak pidana korupsi dengan modus operandi menggunakan kecanggihan
dari teknologi, untuk itu dalam melakukan penyidikan diperlukan juga pemanfaatan teknologi
Kepolisian sebagai sarana maupun cara dalam pelaksanaan tugas penyelidikan maupun
penyidikan untuk mengungkap setiap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi.
Upaya untuk meningkatkan kualitas penyidik Polri sangat ditentukan juga oleh keberhasilan dalam
26 Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor, tanggal 10 Juli 2019.
27 AIPTU Muntono, S. AN. (Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Biak Numfor), tanggal 11 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 26
pembinaan karir penyidik Polri yang dilaksanakan secara benar dan teratur serta konsisten dari
unsur pimpinan (Kabareskrim, As SDM, Kapolda, Dirreskrim, Karo SDM dan Kapolres) sebagai
subyek yang bertanggung jawab dalam pembinaan personil. Pembinaan karir penyidik Polri untuk
dapat menjadikan penyidik-penyidik berkualitas yang profesional dalam penyidikan tindak pidana
korupsi dapat dilakukan dengan upaya antara lain28:
1. Personil Penyidik Polri. Untuk mendapat calon terbaik penyidik Polri tindak pidana korupsi
yang berkualitas diperlukan pemantauan dalam pembinaan personil sejak awal penerimaan
(rekrutmen) hingga dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Agar memperoleh calon terbaik
sebagai penyidik Polri maka harus dipersyaratkan melalui suatu penilaian antara lain :
Test psikologi
Mempunyai kejuruan spesialisasi dasar Reserse, kejuruan spesialisasi lanjutan maupun
kejuruan perwira senior (spesialisasi) dalam tindak pidana korupsi.
Mempunyai pendidikan khusus Reskrim di Luar Negeri (BKA, FBI, CID dan lain-lain).
Mempunyai pendidikan formal kesarjanaan (keahlian) yang dapat mendukung dalam
penyidikan tindak pidana korupsi antara lain :
a) Bidang akutansi.
b) Bidang perbankan.
c) Bidang moneter.
d) Bidang pasar modal.
e) Bidang cessie.
f) Bidang hukum.
Berpengalaman dalam pengungkapkan kasus-kasus yang berlatar belakang ekonomi.
Memiliki kemampuan fisik yang sehat dan samapta
Memiliki sikap mental yang mampu menunjukkan jati diri seorang penyidik yang
profesional.
2. Penempatan penyidik Polri (penugasan efektif).Penempatan/penugasan penyidik Polri agar
dapat secara efektif dan efisien serta profesional dalam pelaksanaan tugas sangat tergantung
dari efektifitas penempatan yang sesuai dengan bidang atau bagian serta kemampuan yang
dimiliki untuk menempati jabatan tertentu sesuai jenjang kepangkatan dan pengalaman dalam
rangka pembinaan karir penyidik Polri. Penempatan dan penugasan penyidik Polri yang efektif
akan mendukung proses pembentukan kualitas penyidik Polri yang profesional, tetapi
sebaliknya penempatan penyidik Polri yang tidak proporsional atau tidak memperhatikan
kualitas akan dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :
Adanya kejenuhan dalam diri personil tersebut.
Pengalaman, pengetahuan dan wawasan akan sempit serta tidak berkembang.
Kemampuan dan keterampilan tidak berkembang.
Cara berpikir sempit karena akan berpikir untuk kepentingan fungsi atau tugasnya saja.
Akan dapat memberi peluang atau kesempatan terjadinya kolusi dan penyimpangan-
penyimpangan.
Untuk dapat mewujudkan pembinaan karir yang terspesialisasi sebagai penyidik Polri tindak pidana
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 27
korupsi diperlukan upaya penempatan/penugasan yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut29:
1. Penempatan penyidik Polri pada jajaran Polda Papua memperhatikan kemampuan dan tingkat
pendidikan yang dimiliki.Penempatan penyidik Polri pada Direktorat Tipikor/Sat Tipikor
diutamakan memiliki pendidikan spesialisasi maupun pendidikan kesarjanaan (keahlian)
tertentu yang dapat berguna/dimanfaatkan untuk penyidikan tindak pidana korupsi.
2. Penempatan penyidik Polri memperhatikan pengalaman dan produktifitas dalam tugas
penyidikan tindak pidana. Penempatan penyidik Polri pada Direktorat Tipikor/Sat Tipikor
adalah penyidik Polri yang telah mempunyai pengalaman yang cukup dalam
melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana umum maupun tindak pidana ekonomi
sehingga dapat dijadikan modal dasar dalam mengungkapkan kasus-kasus tindak
pidana korupsi.
3. Penempatan penyidik Polri tindak pidana korupsi diutamakan bagi penyidik yang telah
terseleksi secara baik melalui penilaian unsur pimpinan dengan kategori antara lain :
Memiliki intelejensia yang baik.
Memiliki integritas pribadi yang baik (jujur, bertanggung jawab, ulet dan sebagainya).
Memiliki wawasan/pengetahuan.
Memiliki kemauan untuk mengembangkan diri.
Penempatan penyidik Polri memperhatikan usulan-usulan dari user yang telah
mempertimbangkan berbagai aspek penilaian.
Penempatan penyidik Polri diarahkan untuk dapat meningkatkan karir secara berjenjang
sesuai tingkat kualifikasi yang dimiliki dengan tidak terikat pada jabatan struktural tetapi
diarahkan pada jabatan fungsional dengan kualifikasi spesialisasi sebagai penyidik
tindak pidana korupsi.
4. Pemberian Penghargaan dan Sanksi (reward and punishment).
Upaya dalam peningkatan kualitas penyidik Polri melalui pembinaan karir dengan cara
pemberian penghargaan bagi penyidik Polri yang berprestasi dan memberikan
sanksi/menghukum bagi penyidik Polri yang telah melakukan pelanggaran atau melakukan
penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan tugas akan cukup memberikan andil untuk
terwujudnya peningkatan kualitas penyidik Polri.
5. Pemberian penghargaan diberikan kepada penyidik Polri yang telah mampu dan berhasil
dalam tugas penyidikan :
Berhasil dalam melakukan penyelidikan dalam rangka mengungkap dan membuktikan
telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Berhasil dalam melakukan penyidikan secara tuntas (mulai dari pemeriksaan hingga
pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum) dengan diterimanya berkas perkara
kasus korupsi dengan kategori lengkap.
28 KOMPOL Sam R. Mamisala (Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Polres Biak Numfor), tanggal 11 Juli 2019. 29 Muntono, S.AN. (Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Biak Numfor), tanggal 11 Juli 2019.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 28
Berhasil dalam melakukan kerjasama penyidikan tindak pidana korupsi dengan penyidik
kejaksaan maupun instansi terkait lainnya (BPKP, PPATK, Perbankan dan Kelembagaan
lainnya). Penghargaan yang diberikan dapat berupa pemberian tunjangan khusus
berupa insentif, yang diambilkan dari prosentase kerugian materi uang negara yang
dapat diselamatkan oleh penyidik melalui pengungkapan perkara korupsi yang
ditangani, misalnya besar prosentase adalah 1% dari jumlah kerugian uang negara
yang dapat diselamatkan. Untuk penentuan insentif ini diperlukan suatu instrumen yang
mengatur yang harus mendapat kesepakatan dan persetujuan dari DPR dan
Pemerintah.
Selain itu juga, diberlakukan pemberian tindakan sanksi dan koreksi kepada penyidik Polri
dilihat dari berat ringannya pelanggaran ataupun penyelewengan/penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dalam menentukan berat
ringannya hukuman bagi penyidik Polri maka pengoptimalan lembaga Pengawas Penyidik
Polri sesuai Pasal 142 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri adalah sebagai berikut :
1) Melakukan pemeriksaan intensif oleh perwira pengawas penyidik.
2) Pembuatan pernyataan tentang tindakan yang telah dilakukan oleh penyidik.
3) Melakukan teguran tertulis.
4) Tindakan penghentian kegiatan penyidik dari penanganan perkara.
5) Tindakan skorsing/larangan untuk melakukan kegiatan penyidikan dalam periode tertentu.
6) Tindakan pengguguran (grownded) dari tugas penyidikan.
7) Pembebanan kewajiban mengikuti kegiatan pembinaan.
8) Pembebanan kewajiban menyelesaikan tugas lain.
Pemberian koreksi dan sanksi hendaknya diberikan untuk dapat memotivasi penyidik Polri untuk
berprestasi dengan demikian koreksi dan sanksi ini diberikan dengan tujuan mendidik penyidik Polri
untuk lebih profesional dalam setiap melakukan penyidikan yang berpedoman pada penghargaan
terhadap HAM, kepastian hukum dan transparansi/keterbukaan.
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 29
Agar dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi dapat berjalan secara cepat dan tuntas
sebagai cerminan dari penyidik yang profesional harus mampu melakukan koordinasi sebagai
berikut :
1. Dengan unsur Criminal Justice System (CJS)
a) Dalam upaya mengoptimalkan hasil penyidikan tindak pidana korupsi diperlukan
koordinasi tanpa mengurangi independensi dari masing-masing unsur penegak hukum
sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dalam melakukan penegakan
hukum tindak pidana korupsi.
b) Menumbuhkan saling pengertian antar unsur CJS agar mempunyai persepsi dan
komitmen yang sama untuk segera menuntaskan penyidikan tindak pidana korupsi.
c) Adanya saling tukar informasi dalam rangka penyidikan terutama dalam penanganan
tindak pidana korupsi yang sulit.
d) Dengan adanya koordinasi yang intensif maka akan dapat menambah wawasan dan
kemampuan/keterampilan penyidik Polri terutama dalam penyidikan tindak pidana
korupsi dengan modus operandi baru.
2. Dengan Instansi terkait (BPKP, PPATK, Bank Indonesia, Kelembagaan/Non
Kelembagaan).Dalam kegiatan penyidikan tindak pidana korupsi diperlukan koordinasi dengan
instansi terkait terutama dalam rangka upaya pembuktian yang sering diperlukan keterangan
saksi ahli untuk menunjang hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.
3. Antar Fungsi Kepolisian.Keberhasilan penyidik Polri dalam mengungkap setiap kasus tindak
pidana korupsi sangat didukung pula oleh kemampuan penyidik dalam memanfaatkan
peranan fungsi kepolisian yang lain melalui koordinasi yang baik, seperti :
a) Intelkam, berperan dalam pengungkapan mata rantai/jaringan dengan kasus lain,
penajaman target operasi, serta pengawasan personil, materiil, kegiatan dan informasi.
b) Labfor Polri, berperan dalam upaya membantu pembuktian secara laboratorium
kriminalistik kedokteran forensik, terhadap kasus-kasus penting.
c) Bagian Psikologi Polda Papua, berperan dalam pengungkapan dan pemeriksaan
saksi/tersangka yang mengalami masalah mental kejiwaan.
d) Kedokteran, berperan dalam memberikan bantuan perawatan tersangka atau saksi yang
mengalami gangguan kesehatan atau diperlukan konsultasi medis.
e) Divisi hukum Polda Papua, berperan dalam rangka penerapan hukum dan perundang-
undangan serta bantuan hukum dalam melengkapi upaya hukum oleh anggota
masyarakat melawan penyidik (Pra Peradilan, tuntutan ganti rugi).
f) NCB/Interpol, kerjasama dalam rangka penyidikan perkara-perkara tindak pidana yang
berlingkup internasional.
3.2. Hambatan yang dihadapi Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Kabupaten Biak Numfor
Keberhasilan pelaksanaan tugas penyidik Polri terutama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 30
yang demikian kompleks tidak lepas karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yang bersifat
hambatan, khususnya untuk penyidik tindak pidana korupsi pada Polres Biak Numfor, dapat disebutkan
sebagai berikut :
1. Pembinaan personil penyidik Polri yang belum mendukung terutama dalam penempatan penyidik
Polri, maupun dalam rangka pendidikan kejuruan masih belum memperhatikan kualitas dan
cenderung menempatkan penyidik pada Unit Tipikor adalah personil yang belum berpengalaman,
sehingga tidak sebanding dengan tantangan tugas yang dihadapi yang melibatkan tersangka tindak
pidana korupsi adalah orang yang memiliki intelektualitas yang baik.
2. Masih ditemukannya praktik-praktik penyimpangan yang sering terjadi dalam tugas penyidikan,
berupa kolusi penyidik Polri dengan tersangka dalam pelaksanaan tugas sebagai upaya penegakan
hukum tindak pidana korupsi dengan jalan membuat kabur/dikaburkannya kasus posisi dengan
menjadikan kasus perdata dan sebagainya.
3. Penerapan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara
konsisten guna dapat mendorong persaingan dalam meningkatkan kualitas penyidik Polri untuk
lebih berprestasi dalam tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Polres Biak Numfor khususnya
dalam rangka menunjang kegiatan penyelidikan dan penyidikan dalam pengungkapan tindak pidana
korupsi.
5. Adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penyidikan tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan
juga kewenangan kepada Kejaksaan dan KPK. Apabila penyidik Polri tidak memiliki kualitas yang
mampu berperan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, maka akan menghilangkan
eksistensi penyidik Polri dalam kewenangan untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi.
6. Image masyarakat terhadap profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat belum mampu menunjukan eksistensi
secara realitas dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
7. Pelaksanaan koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi masih belum terselenggara dengan baik, khususnya antara penyidik Polri dengan
Kejaksaan maupun dengan pihak BPKP atau PPATK.
8. Masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau Instansi lain (Kelembagaan dan Non
Kelembagaan) bahwa Polri tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sehingga
penyidik Polri mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana
korupsi.
Dari semua faktor yang mempengaruhi penyidik Polri yang harus dihadapi dengan upaya peningkatan
kualitas penyidik Polri agar lebih proporsional dan profesional dalam pelaksanaan tugas penegakan
hukum tindak pidana korupsi.
4 Penutup
4.1. Kesimpulan dan Saran
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 31
Penyidik Polri yang profesional dengan didukung perilaku yang handal maka akan mampu melaksanakan
penyidikan tindak pidana korupsi dengan benar sesuai harapan masyarakat.
Hambatan yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Kabupaten Biak
Numfor yaitu kualitas penyidik Polri saat ini belum profesional dalam melakukan penegakan hukum tindak
pidana korupsi, adalah :
1. Pembinaan personil Polres Biak Numfor.
2. Masih ditemukannya praktik-praktik penyimpangan hukum yang sering terjadi dalam tugas
penyidikan.
3. Penerapan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) yang belum dilaksanakan secara
konsisten.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Polres Biak Numfor.
5. Adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penyidikan tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan
juga kewenangan kepada Kejaksaan dan KPK.
6. Image masyarakat terhadap profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi belum mendukung karena secara kualitas dilihat belum mampu menunjukan eksistensi
secara realitas dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
7. Pelaksanaan koordinasi antara aparat yang berkompeten dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi masih belum terselenggara dengan baik.
8. Masih adanya anggapan dikalangan masyarakat atau Instansi lain (Kelembagaan dan Non
Kelembagaan) bahwa Polri tidak berwenang dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
Mengoptimalkan Lembaga Pengawas Penyidik Polri sebagai lembaga independen internal Polri
yang terdiri dari para pakar hukum dan pejabat Polri di bidang penyidikan, untuk menghindari intervensi
internal Polri terhadap penyidikan tipikor sekaligus sebagai lembaga konsultasi penyidikan tindak pidana
korupsi. Pembinaan karir penyidik Tipikor agar diperhatikan jenjangnya untuk mendukung profesionalisme
penyidik tindak pidana korupsi agar diisi oleh personil yang berpengalaman dan profesional di bidangnya.
Daftar Pustaka
Adami Chazawi. 2017. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta, Rajawali Pers. Andi
Hamzah. 2007. Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Anton Tabah. 2005. Tentang Argumen Kepolisian Nasional. Tanpa Penerbit.
Awaloedin Djamin. 2001. Menuju Polri Mandiri yang Profesional. Pengayom, Pelindung, Pelayan
Masyarakat. Jakarta, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.
Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta, Sinar Grafika
Bismar Nasution. 2007. Hukum Kegiatan Ekonomi, Books Terrace and Library.
Chairul Huda. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta, Kencana.
Ediwarman. 2003. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal Protection For The
Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren. 2019; 1-32 journal.stihbiak.ac.id © 2019. PPPM STIH Biak, Papua 32
Victim of Land Cases). Pustaka Bina Bangsa.
Evi Hartanti. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Sinar Grafika.
Jeremy Pope. 2003. Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia.
Krisna Harahap. 2006. Pemberantasan Korupsi: Jalan Tiada Ujung. Bandung, Grafitri.
Ledeng Marpaung. 2007. Tindak Pidana Korupsi : Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta, Djambatan.
Martiman Prodjohanidjojo. 2001. Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi(Undang- undang
Nomor 31 Tahun 1999). Bandung, Mandar Maju.
Marwan Mas. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Momo Kelana. 2007. Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia. Jakarta, PTIK Press.
Ruslan Renggong. 2017. Hukum Pidana Khusus(Memahami Delik-delik di Luar KUHP). Jakarta, Kencana.
Sadjijono. 2005. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta, Laksbang
Mediatama.
Sianturi Rumida. 2009. Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sutanto. 2005. Polri Menuju Era Baru. Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
W.J.S. Poerwadarminta. 1990. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.
Peraturan Perundang-undangan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, tentang tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.