upaya pemerintah kota tangerang dalam menjaga...
TRANSCRIPT
UPAYA PEMERINTAH KOTA TANGERANG DALAM
MENJAGA DAN MEMELIHARA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh Gelar Sarjana
Hukum (S.H)
Oleh
Ahmad Fajarudin
NIM: 1111045200012
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
5. Penguji II : Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si. ( ) NIP: 19781230 201112 2 002
ABSTRAK
Ahmad Fajarudin, NIM: 1111045200012, (Upaya Pemerintah Kota Tangerang dalam menjaga dan memelihara kerukunan antar umat beragama), Konsentrasi Siyasah Syari’ah Program Hukum Tata NegaraFakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada peran Pemerintah Kota Tangerangdalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan sumber data primer dan sekunder seperti data/informasi, studi pustaka, wawancara dan dokumen.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Peran pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat bergama di Kota Tangerang adalah memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuhkembangkan keharmonisan, membina dan mengkoordinasikan lurah/kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan. Penyelesaian konflik di Kota Tangerang peran kecamatan adalah sebagai fasilitator yang memfasilitasi musyawarah yang dilakukan selama terjadinya konflik hingga ditemukannya titik terang konflik. Motivator yaitu memberikan motivasi kepada masyarakatnya agar saling menghargai setiap umat beragama.
Kata kunci : upaya pemerintah, memelihara, kerukunan umat beragama
Pembimbing : Dr. Rumadi, M.Ag,
v
حیم حمن الر بسم هللا الر
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan
kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas
kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat
manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak
luput kepada pembawa risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat, dan mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid
di muka bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani
kehidupan yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adanya bimbingan, kritikan dan masukan
yang sangat berarti diperlukan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan dan
memperbaiki agar penyajian skripsi ini lebih sempurna.
Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah
kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam
perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis
dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena
dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap
bisa penulis dapatkan.
vi
Menyelesaikan skripsi ini tentu banyak rintangan dan halangan yang
penulis hadapi. Butuh extra kerja keras untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis
faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh
ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu
bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang
membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan
menyayangi kalian, dimana kalian berada. Rasa terima kasih ingin penulis
sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para wakil Dekan yang telah
membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, MA,Ketua Program StudiSiyasah Syar’iahyang telah
memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis
selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag,Sekretaris Program StudiSiyasahSyar’iyah yang telah
banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan
berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-
baiknya.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti
vii
perkuliahan dan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi
dapat diseminarkan dengan baik.
5. Bapak Dr. Rumadi, M.Ag, dosen pembimbing yang sangat penulis hormati,
dengan sangat sabar dan keikhlasan beliau membimbing penulis, memberikan
banyak ilmu dan waktunya kepada penulis sehingga banyak hal baru yang
penulis dapatkan selama bimbingan bersama beliau dan menyelesaikan skripsi
ini dengan sebaik-baiknya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah membimbing penulis dan memberikan ilmunya selama masa
kuliah.
7. Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan literatur
selama masa kuliah.
8. Keluarga penulis, teristimewa ayahanda bapak. Haryadi dan ibunda tercinta
Masna yang senantiasa tiada henti mendoakan penulis, memberikan limpahan
kasih sayang, kesabaran, dukungan serta motivasi baik moral maupun materil
kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-kakak penulis tercinta, Eka Liesca
Haryani dan Ahmad Jaelani dan juga adik-adik penulis,Liesna Andriani dan
Ahmad Nur Muadzin terima kasih untuk segala doa yang kalian berikan,
semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayang-Nya dan keberkahan
untuk kalian.
9. Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Daarul Muttaqien, Alm Kyai H. Drs.
Ahmad Shonhaji kholili, beserta guru-guru yang berada di Pesantren tidak
viii
lupa ta’dzim dan hormat penulis, terima kasih atas doa dan ilmu yang sangat
berguna bagi penulis dalam membentuk kepribadian yang lebih baik lagi.
10. Teman-teman seperjuangan SS angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry,
Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi, Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi
dan Buya.Dan tidak lupa juga untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam
angkatan 2011.
11. Semua pihak yang sudah membantu, penulis berdo’a semoga kebaikan dan
ketulusan yang telah diberikan oleh berbagai pihak di balas oleh Allah SWT.
Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk para pembaca umumnya
dan penulis khususnya.
Jakarta, 29Juni 2018
Penulis
Ahmad Fajarudin
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................
LEMBAR PERENYATAAN .................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ............................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGFANTAR ............................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8
1. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
2. Manfaat penelitian ........................................................................ 8
D. Metode Penelitian ............................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 11
F. Sistematika Penelitian .......................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Kerukunan Umat Beragama .............................................. 14
B. Prinsp dalam kerukunan beragama ..................................................... 15
C. Tugas Pemerintah Daerahtentang Kerukunan Umat Beragama ......... 20
D. Regulasi-regulasi terkait Kerukunan Umat Beragama ....................... 21
1. Peraturan Bersama Menteri Agama dan menteri dalam Negeri No.8
dan 9 Tahun 2006 .......................................................................... 21
2. Penyiaran Agama ......................................................................... 24
3. Pengeras Suara ............................................................................. 25
x
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KOTA TANGERANG
A. Gambaran Umum Kota Tangerang ...................................................... 28
B. Peta Keagamaan di Kota Tangerang .................................................... 37
BAB IV UPAYA PEMERINTAH IKHWAL KERUKUNAN
BERAGAMA
A. Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Tangerang ....................... 38
1. Toleransi Umat Beragama di Kota Tangerang .............................. 38
2. Konflik Agama di Kota Tangerang……………………………… 41
B. Pelembagaan Lembaga Kerukunan Umat Beragama .......................... 51
C. Program-program Pemerintah Kota Tangerang dalam Menjaga dan
Memelihara Kerukunan Antar Umat Beragama……………………. . 54
1. Seminar Lintas Agama .................................................................. 54
2. Sosialisai Pemerintah Kota Tangerang tentang Peraturan Bersama
Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006 ................................................... 55
3. Kegiatan Lintas Agama Masyarakat Kota Tangerang ................. 57
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 60
B. Saran ................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63
LAMPIRAN...................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, termasuk dalam
kehidupan beragama. Kemajemukan (Pluralisme) agama di Indonesia telah
berlangsung lama dan lebih dahulu dibandingkan negara-negara di dunia ini pada
umumnya. Sebagai sebuah fakta deskriptif, pluralisme merupakan fakta alamiah
sebagaimana fakta-fakta lain seperti keragaman budaya, etnis atau jenis kelamin
yang berbeda.1
Hanya saja dalam beberapa tahun terakhir ini terutama sebelum tahun
2014 terjadi sejumlah peristiwa yang menunjukkan perilaku keagamaan sebagian
masyarakat Indonesia yang tidak atau kurang toleran. Hal ini masih mendapatkan
sorotan dari berbagai lembaga internasional, seperti UN Human Rights Council
(UNHCR), Asian Human Rights Commission (AHCR), dan US Commission on
Intertnastional Religious Freedom (USCIRF).2
Gejala tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
terjadi di negara-negara demokratis lainnya, termasuk negara-negara Barat yang
selama ini masyarakatnya dikenal sangat toleran. Secara sosiologis hal ini
merupakan ekses dari mobilitas sosial yang sangat dinamis sejalan dengan proses
globalisasi sehingga para pendatang dan penduduk asli dengan berbagai macam
latar belakang kebudayaan dan keyakinan mereka berinteraksi di suatu tempat.
Dalam interaksi ini bisa terjadi hubungan integrasi, damai dan kerja sama, tetapi
bisa juga terjadi prasangka, ketegangan, persaingan, intoleransi, konflik, dan
bahkan disintegrasi.
Tingginya pluralisme bangsa Indonesia membuat potensi konflik bangsa
Indonesia juga tinggi. Potensi perpecahan dan kesalahpahaman juga tinggi. Baik
1Ismatu Ropi, Pluralisme, Negara, dan Regulasi Agama, dalam MIMBAR Jurnal Agama & Budaya, Vol. 24, No. 3, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 415
2 Masykuri Abdillah, Merawat Kerukunan, Koran Kompas, Senin 21 Januari 2015, h. 7
2
konflik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Dalam skala kecil, konflik
tercermin pada komunikasi tidak sambung atau tidak berjalan sebagaimana
mestinya, sehingga menyebabkan rasa tersingggung, marah, frustasi, kecewa,
dongkol, bingung, bertanya-tanya dan lain-lain. Sementara itu konflik dalam skala
besar mewujud dalam, misalnya, kerusuhan sosial, kekacauan multibudaya,
perseteruan antar ras, etis dan agama.3
Kehidupan agama yang merupakan salah satu bentuk dan aspek pokok dari
kehidupan sosial terjadi suatu konflik mungkin disebabkan oleh problematik yang
menyangkut dengan agama itu sendiri, sebagai variabel yang dekat dengan maslah
tersebut. Ini tidak berarti ajaran-ajaran agama itu yang mendorong terjadinya
konflik, tetapi para penganutnyalah yang menyebabkan praktik keagamaan itu
menyimpang dari nilai ajaran yang sesungguhnya, sehingga terjadi ekses-ekses
yang tidak diingini yang merusak dan menghancurkan masyarakat.4
Toleransi mengandung pengerian adanya sikap seseorang untuk menerima
perasaan, kebiasaan, pendapat, atau kepercayaan yang berbeda dengan yang
dimilikinya. Namun, Susan Mendus dalam bukunya, Toleration and the Limit of
Liberalism, sebagaimana dikutip oleh Masykuri Abdillah membagi toleransi
menjadi dua macam: toleransi negative (negative interpretation of tolerance) dan
toleransi positif (positive interpretation of tolerance). Pertama, menyatakan
bahwa toleransi hanya mensyaratkan hanya cukup dengan membiarkan dan tak
menyakiti orang/kelompok lain. Kedua, menyatakan bahwa toleransi
membutuhkan lebih sekadar ini, meliputi juga bantuan dan kerja sama dengan
kelompok lain. Konsep toleransi positif inilah yang dikembangkan dalam
hubungan sosial di negara ini dengan istilah kerukunan (harmony).5
Jadi, kerukunan beragama adalah keadaan hubungan antarumat beragama
yang dilandasi toleransi, saling pengertian, dan saling menghormati dalam
3 Achmad Syahid, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Departemen
Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003, h. 1 4 Dinamika Kerukunan Hidup Beragama di Daerah, Laporan Observasi, Departemen
Agama (sekarang Kementerian Agama) Republik Indonesia, 1979-1980, h.4-5 5 Masykuri Abdillah, Merawat Kerukunan, Koran Kompas, Senin 21 Januari 2015, h. 7
3
pengamalan ajaran agama serta kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Eksistensi kerukunan ini sangat penting. Disamping karena ia merupakan
keniscayaan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM), juga karena
kerukunan ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi nasional. Kemudian,
integrasi ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional.6
Kerukunan umat beragama ditentukan oleh dua faktor: sikap dan prilaku
umat beragama, serta kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan.
Semua agama mengajarkan kerukunan ini sehingga agama idealnya berfungsi
sebagai faktor integratif. Berbicara kebijakan negara/pemerintah tentu negara
(sebagai entitas politik legal baik di tingkat pusat maupun daerah) adalah aktor
terpenting dalam regulasi. Pertanyaannya, apa kepentingan negara dengan regulasi
itu? Secara teoritis, negeara adalah pemegang amanat rakyat dan berjuang untuk
kepentingan dan keteraturan bersama (order) sebagai bentuk kontrak sosial
sebagaimana yang diungkap Jean Jacque Rousseau dalam bukunya yang terkenal
social contract. Konsekuensi, hal ini mengandaikan negara berhak melakukan
tindakan-tindakan dalam menjaga keteraturan tadi yang pada gilirannya secara
prinsipal mungkin bisa membatasi hak-hak masyarakat yang memberikan
amanah.7
Dalam kenyataannya, hubungan antar pemeluk agama di Indonesia selama
ini sesungguhnya sangat harmonis. Hanya saja, di era reformasi yang notabene
mendukung kebebasan ini muncul berbagai ekspresi kebebasan, baik dalam
bentuk pikiran, ideologi politik, paham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-
hak asasi. Dalam iklim seperti ini muncul pula ekspresi kelompok yang berpaham
radikal atau intoleran yang walaupun jumlahnya sangat sedikit, dalam kasus-kasus
tertentu Tangerang adalah satu daerah dengan jumlah penduduk besar yang
terletak di pinggiran ibukota. Secara historis, kota ini memiliki kisah menarik
untuk diikuti. Mulai dari asal-usul nama Tangerang, hingga cerita beragamnya
etnis penduduk yang bermukim di tempat ini.
6 Masykuri Abdillah, Merawat Kerukunan, Koran Kompas, Senin 21 Januari 2015, h. 7 7 Ismatu Ropi, Pluralisme, Negara, dan Regulasi Agama, dalam MIMBAR Jurnal Agama
& Budaya, Vol. 24, No. 3, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 418
4
Adapun persoalan konflik dan ketegangan internal agama, terutama islam,
umumnya dipicu adanya perbedaan paham keagamaan dalam hal yang sangat
mendasar dan munculnya aliran kepercayaan (cult) yang mengaitkan dirinya
dengan agama islam, serta penghinaan agama, seperti kasus Ahmadiyah, Jamaah
Salamullah, dan Al-Qiyadah al-Islamiyah.
Selain upaya-upaya tersebut, perlu juga dilakukan upaya-upaya
pencegahan konflik melalui penigkatan dialog antarumat beragama dengan
melibatkan tokoh agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejalan
dengan ini, perlu antisipasi dini terhadap potensi konflik atau ketegangan itu
sehingga potensi itu tak berkembang menjadi konflik nyata dan kekerasan. Hal ini
perlu disertai langkah-langkah penyelesaian perselisihan atau konflik yang terjadi
melalui musyawarah atau mediasi dengan melibatkan FKUB. Adapun pemerintah
(puasat dan daerah) memfasilitasinya sebagai bagian dari kewajibannya dalam
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.8
Propinsi Banten, khususnya Kota Tangerang, dapat dipotret sebagai
sebuah wilayah yang populasinya bercampur antara homogen di satu wilayah dan
heterogen di wilayah lain. Jika ditelusuri, di wilayah ini pun tidak luput dari
problem relasi antarumat beragama. Kondisi demikian, yang rata-rata sama
dengan wilayah lain dalam provinsi Banten.
Hal di atas dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam hal kerukunan
seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri (PBM) No 9 dan No. 8/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan FKUB Dan Pendirian Rumah Ibadah, masih menyisakan masalah.
Barangkali bukan hanya di Banten saja, bunyi PBM ini belum dipahami secara
luas. M. Atho Mudzhar (2008: 16) juga menyampaikan masih terdapat kendala
mengenai pemahaman isi PBM itu di beberapa daerah di Indonesia. Buntutnya,
8 Masykuri Abdillah, Merawat Kerukunan, Koran Kompas, Senin 21 Januari 2015, h. 7
5
wadah-wadah kerukunan yang sekarang dinamakan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) ini belum terbentuk di setiap daerah.
Khusus untuk wilayah Kota Tangerang, di luar masalah implementasi
kebijakan di atas, terjadi juga serentetan peristiwa empiris yang mengganggu
kerukunan umat beragama. Beberapa insiden malah belum ditemukan solusinya.
Sebagai kota yang dihuni oleh penganut agama yang beragam, wilayah Kota
Tangerang juga tidak sepi dari problem yang menyertainya. Sejauh ini, merujuk
pada catatan pihak kepolisian Resort Kota Tangerang, kasus-kasus yang muncul
terkait hubungan antarumat beragama di Kota Tangerang yang paling sering
timbul ke permukaan adalah di sekitar pendirian rumah ibadah, atau penggunaan
bangunan tertentu untuk beribadah9.
Perlu disadari bahwa dalam menanggulangi permasalahan ini yang
terpenting adalah komitmen pemda/pemkot terhadap kerukunan, Pemerintah baik
pusat maupun daerah berkewajiban melindungi semua umat beragama dari segala
ketidaknyamanan yang mengancamnya dalam menjalankan aktifitas
keberagamaannya, karena keberagamaan suatu warga negara adalah merupakan
hak yang wajib dilindungi dan hal tersebut telah diamanatkan dalam konstitusi.10
Sebagai pejabat atau pemilik otoritas jangan sampai keliru dalam membuat
kebijakan, yakni jangan sampai dari adanya kebijakan tersebut justru ada kesan
mendiskreditkan eksistensi sebagian warga/masyarakat yang berlainan keyakinan.
Tugas pemerintah adalah melindungi dan mengayomi masyarakat, jadi
bagaimanapun kondisinya kepentingan masyarakat harus di nomor satukan dan
kepadanya harus diberikan keseragaman menurut porsi masing-masing.
Hubungan antar umat beragama di Kota Tangerang, adalah suatu kondisi
yang merepresentasi hubungan antar umat beragama di Indonesia. Khusunya yang
terbawa oleh kondisi urbanisasi, dengan segala dampak sosial budayanya.
9 Https://marzanianwar.wordpers.com/2011/01/07/kerukunan-antar-umat-beragama-
dikota-tangerang diakses pada tgl 30/mei/2016 10 Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa, negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.
6
Ketegangan antarkelompok masyarakat adalah suatu pergolakan budaya yang
akan terus bergulir. Dalam konteks urbanisasi, agama berada dalam posisi
instrument, namun menemukan jatidirinya ketika umat penganutnya merasa
terusik oleh kekuatan luar yang mendesak secara tiba-tiba.
Pergolakan antar budaya dan agama tampaknya telah dengan sempurna
dimainkan oleh warga Kota Tangerang. Gaya konservatisme pada kelompok
warga asli dan pasca modern di lain pihak, diperankan kaum pendatang dengan
kekuatan ekonomi yang berlebih, ikut membayangi terjadinya persentuhan
antaragama. Dalam konteks budaya, hal itu menjadi suatu hal yang tidak bisa
dielakkan. Telah terjadi semacam cultural shock di tengah pergolakan tersebut.
Pola interaksi sosial, semakin dikendalikan struktur baru dalam hidup
kemodernan. Disumbang oleh perangkat teknologi kerumahtanggan dan
berkembangnya teknologi komunikasi. Telah menciptakan gaya hidup yang abu-
abu, antara keharusan mempertahankan konservatisme dan keharusan mengadopsi
kemodernan.
Bersamaan dengan itu, adalah berkembangnya pola-pola aktivitas
keagamaan, baik dalam bidang peribadatan, pendidikan dan sosial. Pertumbuhan
penduduk, dengan aneka ragam status sosial dan tingkat pendidikan, menciptakan
pluralitas tersendiri, termasuk dalam masalah keagamaan. Masih ada masalah di
tengah kondisi rukun dan damai antarumat beragama, karena terjadinya
simplifikasi pola dan konsepsi harmonitas antarumat beragama. Pendirian rumah
ibadah yang kemudian menjadi isu cukup signifikan di wilayah Kota Tangerang,
hanya satu contoh potensi konflik yang akan terus mengkhawatirkan. Ditambah
lagi dengan kekhawatiran penduduk Muslim terhadap merebaknya isu kristenisasi.
Sementara warga non Muslim, mengeluhkan sulitnya mendirikan rumah ibadah.
Dampak lanjutan pun muncul misalnya dengan maraknya rumah-rumah penduduk
dijadikan tempat ibadah.
Rasa sentimen dari pihak Muslim kepada non muslim juga masih cukup
tinggi. Dalam beberapa kasus keberatan warga terhadap perkembangan institusi
non muslim, sentimen anti agama lain bermunculan. Latar belakang keislaman
7
yang belum banyak berubah, artinya belum terbuka, ditambah problem
kesenjangan yang ada, diduga menjadi alasan kuat berkembangnya rasa sentimen
tersebut. Kasus renovasi geraja HKBP di Tanah Tinggi, serta kasus Sang Timur
dai Karang Tengah memberi gambaran, bahwa sentimen anti kristenisasi masih
cukup kuat dalam sebagian masyarakat muslim di wilayah Kota Tangerang. Setiap
pendirian rumah ibadah selalu saja diidentikkan dengan isu tersebut. Sementara
kehadiran umat non Muslum di wilayah ini tidak terbendung, bersamaan
meluasnya kawasan metropolis baru.
Masalah rumah ibadah tampaknya menjadi sangat sensitive dalam
hubungan antarumat beragama. Karena fungsinya yang sangat urgen, yakni
sebagai pusat peribadatan, dan pemusatan kegiatan keagamaan lainnya, maka
masing-masing agama menjadikannya sebagai pusat pengendalian para
penganutnya.
Keberadaan rumah ibadah juga dipandang sebagai simbol kekuatan
komunitas para penganut di sekitarnya, hingga pembangunan rumah ibadah
seakan menjadi simbol “kemenangan” agama tertentu, sementara bagi kelompok
yang lain, seakan menjadi simbol “perlawanan” bagi yang lainnya.
Keberadaan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) di Kota
Tangerang relative telah berhasil mengurangi ketegangan antarumat beragama.
Namun belum mampu menjawab maupun menyelesaikan sejumlah problem yang
menghadang bagi terciptanya hubungan harmonis kehidupan umat beragama di
kota Tangerang. Fungsi FKUB selama ini hanya sebatas memberikan
rekomendasi kepada pemerintah daerah, semisal terkait dalam persoalan pendirian
rumah ibadah. Namun, dalam beberapa hal, suara FKUB justru sangat
menentukan keputusan Kepala Daerah setempat.
Berangkat dari problematika keberagamaan sebagaimana dijelaskan diatas,
dan pitalitas peran pembuat kebijakan (yakni agar kebijakan yang dibuat dan
diberlakukan mencakup masyarkat secara umum tanpa ada hak warga negara yang
terdiskreditkan) perlu kita sadari dan ketahui bagaimana komitmen pembuat
8
kebijakan tersebut, terlebih pemerintah yang berada di daerah. Untuk itu maksud
dari penelitian yang akan menjadi bahan kajian adalah menyangkut peran dan
komitmen pemerintah (dalam hal ini difokuskan kepada pemerintah daerah) dalam
menjaga dan merawat kerukunan umat beragama baik dalam bentuk pelayanan
publik maupun dari kebijakan-kebijakan yang diberlakukan. Sehingga fokus
kajian skripsi ini berjudul
”UPAYA PEMERINTAH KOTA TANGERANG DALAM MENJAGA DAN
MEMELIHARA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis adalah :
1. Bagaimana kondisi kerukunan umat beragama di Kota Tangerang?
2. Bagaimana program dan upaya Pemerintah Kota Tangerang dalam
menjaga kerukunan antar umat beragama?
C. BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya
pembatasan yang terjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk
mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dan penulisan skripsi ini pada upaya Pemerinah Kota Tangerang
dalam menjaga kerukunan antar umat beragama.
D.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Dalam Penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis diantaranya:
1. Untuk mengetahui sejauh mana peran pemerintah Kota Tangerang dalam
menjaga dan memelihara kerukunan antar umat beragama di Kota
Tangerang
9
2. Untuk mengetahui kebijakan dan upaya apa saja yang dilakukan oleh Pem-
Kot Tangerang yang dibuat baik dalam bentuk PERDA maupun peraturan
pemerintah daerah lainnya dalam hal menjaga dan memelihara kerukunan
antar umat beragama.
2. Manfaat Penelitian
Semoga saja hasil penelitian ini bisa bermanfa’at dan berguna untuk:
1. Dapat menjadi landasan bagi Pemerintah dan masyarakat untuk terlahirnya
kerukunan antar umat beragama didalam kehidupan sehari-hari, begitu
juga bisa menjadi acuan untuk pemerintah dalam mengambil kebijakan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan beragama.
2. untuk bertambahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang Politik
Islam (Siyasah Syar’iah), khususnya mengenai kajian ini (pemeran
pemerintah kota Tangerang dalam menjaga dan memelihara kerukunan
antar umat beragama.
3. Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literature perpustakaan
bagi jurusan, fakultas dan juga Universitas, dengan kajian dan penyajian
baru, karena dirasa baru kali ini ada penelitian dengan objek kajian
kedaerahan yakni mngengkat Kota Tangerang sebagai fokus utama
D. METODE PENELITIAN
1. Sumber Data
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan Kajian Kepustakaan (library
research), yaitu dengan cara meneliti dan mengkaji literature-literatur seperti
buku, jurnal ilmiyah, majalah. Dan Penelitian Lapangan (field research) dalam hal
ini peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi yang didapat dari
berbagai narasumber yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Demi mendapat data yang akurat, serta menuliskan menggunakan referensi dari
10
buku-buku yang mempunyai relefansi dengan pembahasan dan permasalahannya
yang terdiri dari dua sumber, yaitu:
a. Sumber data primer
Kajian kepustakaan (library research), yaitu dengan cara meneliti dan
mengkaji literature-literatur seperti buku, jurnal ilmiyah, majalah. Penelitian
Lapangan (field research) dalam hal ini peneliti menggunakan metode wawancara
dan observasi yang didapat dari berbagai narasumber yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Demi mendapat data yang akurat.
b. Sumber Data Skunder
Adalah sumber data yang diperoleh dari komentar/pendapat masyarakat
atau tokoh masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota
Tangerang berkenaan dengan pemeliharaan kerukunan antar umat beragama di
Kota Tangerang.
2. Metode Pengumpulan Data
Menurut Sumardi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat
pengukurnya.11Berpijak dari keterangan tersebut, dalam penyusunan skripsi ini
penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan murni, maka penulis
menggunakan tekhnik yang diperoleh dariperpustakaan dan dikumpulkan dari
buku-buku tersebut yaitu hasil membaca dan mencatat dari berbagai buku ilmiah
yang berkaitan dengan tema yang penulis angkat.
11 Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998), hal. 84
11
3. Metode Analisi Data
Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat
ditafsirkan.12 Dalam hal ini peneliti menggunakan data kualitatif. Sebagaimana
pendekatannya digunakan metode deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecah
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek
penelitian.
Untuk membahas permasalahan yang ada, penulis menggukana
pendekatan deskriptif-analitik, yang mana data-data yang diperoleh dijabarkan
dan dihubungkan satusama lain yang kemudian dianalisis oleh penulis guna
mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang akan dibahas.
E. TINJAUAN PUSTAKA (Review Kajian Terdahulu)
Dari hasil pengetahuan penulis ada beberapa tulisan skripsi yang
membahas tentang peran pemerintah mengenai kerukunan antar umat beragama
diantaranaya adalah : Achmad Rizal, Nim: 109032100012 (Program Studi
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Dengan Judul Pembahasan
“Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembengan Kerukunan Umat Beragama Di
Kabupaten Tangerang”
Selain itu ada juga tulisan mengenai “peran pemerintah daerah dan kantor
kementrian agama dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama”, yang
dikeluarkan oleh kementrian agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Jakarta 2013, yang dieditori oleh Bhusori A. Hakim. Buku
12 H. Dadang Rahmat, Metode Penelitian Agama, (Bandung:CV. Pustaka Setia ,2000), hal. 102
12
ini berisikan penelitian tentang peran pemerintah Daerah dan Kementrian Agama
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai
materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam
sistematika penulisan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang
dibagi dalam sub bab dan setiap bab mempunyai batasan masing-masing yang
akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:
BAB I: Dalam permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan
yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Dalam bab ini berisi tentang landasan teori, dimana penulis memberi
penjelasan tentang pengertian kerukunan antar umat beragama, perinsip dalam
kerukunan antar umat beragama serta, tugas pemerintah daerah dalam menjaga
kerukunan antar umat beragama.
BAB III: Dalam bab ini penulis menguraikan gambaran umum seputar, profil
kota Tangerang dalam perspektik Geografis, Sosiologis serta Budaya dan Nilai-
nilai Sosial. Serta Potret Agama serta Masalah Hubungan Antar Umat Beragama
di Kota Tangerang.
BAB IV: Pada bab ini pembahasan mengenai upaya Pemerintah Kota Tangerang
Dalam Menjaga dan Memelihara Kerukunan Antar Umat Beragama.
13
BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, meliputi
kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran berkaitan dengan penulisan
skripsi dari awal sampai pembahasan ini diselesaikan.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Kerukunan Umat Beragama
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam negara
kesatuan republik Indonesia berdasarkan pancasila dan undang–undang dasar
negara republik Indonesia tahun 1945.12 Kerukunan intern umat beragama
yang masih sering kali menunjukkan gejala-gejala yang kurang mantap,
bahkan acapkali pula menimbulkan pertentangan dan perpecahan intern umat
beragama, perlu selalu ditingkatkan pembinaannya. Dalam hubungan ini saya
sering minta perhatian agar pertentangan intern yang mungkin akan timbul
diantara pemuka/pemimpinsuatu umat beragama yang bersifat pribadi
hendaknya tidak mengakibatkan perpecahan diantara para pengikutnya,
apalagi sampai mengakibatkan pertentangan diantara para pengikutnya yang
bersifat doktriner/aqidah.
Segala persoalan yang timbul di lingkungan intern umat beragama,
hendaknya dapat diselesaikan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa dan
dengan semangat kekeluargaan sesuai dengan ajaran agama dan Pancasila.
Masalah kehidupan beragama di dalam masyarakat kita merupakan
masalah yang sangat peka (sensitif) bahkan merupakan masalah yang paling
peka diantara masalah sosial-budaya lainnya. Sebab terjadinya sesuatu
masalah sosial akan menjadi semakin ruwet (complicated) jika masalah
tersebut menyangkut pula masalah agama dan kehidupan beragama.
12Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Pedoman Pelaksanaan Tugas Kpeada Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan umat Beragama dan Pendirian Rumah Adat Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomer 8 Tahun 2006, hal. 8.
15
Hal ini dapat disebabkan antara lain, karena situasi dan kondisi
masyarakat kita terutama di daerah pedesaan yang sangat komunialistis di
mana sebagian besar jiwa keagamaannya dibina dan dibentuk oleh lingkungan
sosialnya masing-masing. Sehingga dirasakan bahwa jiwa keagamaan orang-
seorang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jiwa keagamaan
lingkungannya. Pembinaan jiwa keagamaan pada umumnya merupakan
warisan dari kehidupan lingkungan sosialnya.13
B. Prinsip dalam Kerukunan beragama
1. Prinsip Persamaan (Equal)
Mendiskusikan masalah prinsip kerukunan antar umat beragama,
berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan adanya
kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam suatu landasan
bersama, (common platform). Maka sekarang pertanyaannya ialah, adalah
titik-temu agama-agama itu?. Pertanyaan yang hampir harian itu kita ketahui
mengundang jawaban yang bervariasi dari ujung ke ujung, sejak dari yang
tegas mengatakan “ada”, kemudian yang ragu dan tidak tahu pasti secara
skeptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas mengingkarinya. Mungkin,
mengikuti wisdom lama, yang benar ada di suatu posisi antara kedua ujung
itu, berupa suatu sikap yang tidak secara simplistik meniadakan atau
mengadakan, juga bukan sikap ragu dan penuh kebimbangan.
Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan – atau
dibanggakan – sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan agama
yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas pertanyaan diatas
kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab logika toleransi, apalagi
kerukunan, ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada urutannya
mengandung logika titik-temu, meskipun, tentu saja, terbatas hanya kepada
hal-hal prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan
13Departemen Agama RI, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1979), hal. 14-15
16
formalistik, tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan
sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama tertentu sendiri,
mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik, yakni, “hanya berlaku
secara intern”. Karena itulah ikut-campur oleh seorang penganut agama dalam
urusan rasa kesucian orang dari agama lain adalah rasional dan absurd.
Sebagai misal, agama Islam melarang para penganutnya berbantahan dengan
para penganut kitab suci yang lain melainkan dengan cara yang sebaik-
baiknya, termasuk menjaga kesopanan dan tenggang rasa–disebutkan kecuali
terhadap yang bertindak zalim–dan orang Islam diperintahkan untuk
menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda
itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama pasrah
kepada-Nya.
2. Kebebasan Untuk Memeluk Agama dan Keyakinan
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM),14 ditemukan juga di dalam
berbagai dokumen historis tentang HAM,15 seperti dokumen Rights of Man
France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights
(1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan:
“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan
14 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang
pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.
15 Dalam hal ini Groome menyebutkan sejumlah dokumen historis, yaitu: (1) Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights England (1689); (3) Rights of Man France (1789); (4) Bill of Rights USA (1791); (5) Rights of Russian People (1917); dan (6) International Bill of Rights (1966).
17
ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,
berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut
atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di
tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak
seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan
pilihannya.
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar
manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan
wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang
non-derogable.16 Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam
perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan
pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk
selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Hak
yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi
manusia.17 Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati
oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang
bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk
mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau
keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama
atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan
bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini
16 Pasal 4 (2) ICCPR menyebutkan: No derogation from articles 6,7,8(paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 1nd 18 may be made under this provision.
17 Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigation: A comprehensive guide to the investigation and documentation of violent human rights abuses, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001: 6.
18
diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan
pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan,
pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-
undang. Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan
pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata
perlindungan atas lima hal, yaitu: public safet; public order; public helth;
public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan
demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau
pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan
manusia atau hak milik mereka.18
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi
manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan
lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan
beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen,
yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-
discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status
legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-
derogability.19
Masalahnya kemudian, apakah yang dimaksud dengan agama dalam
dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen hak asasi
manusia tidak memberikan definisi yang konkret tentang apa itu agama.
Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis
serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat beragam dan
amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak
asasi manusia internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi
hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir,
18 Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights, 326. 19 Penjelasan tentang hal ini secara eksplisit ditemukan dalam ICCRP pasal 18 (1); ECHR pasal
9 (2); dan ACHR pasal 12 (3).
19
berkesadaran dan beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional
yang dikembangkan mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan.20 Dengan ungkapan lain, yang dilindugi dan
dihormati adalah hak dan kebebasan manusia untuk memilih atau tidak
memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap diperlukan manusia? Sebab, dalam menghadapi
realitas hidup yang serba kompleks ini, manusia secara fisik maupun psikis
selalu terhadang oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis
yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama
dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang
dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis eksistensial
tersebut. Agama dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk
mencapai niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial.
Karena itu, agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-
sungguh sosial.21 Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai
sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang
dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana
dinyatakan oleh Durkheim (1912). Agama juga didefinisikan sebagai
rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia, berupa
kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat dunia bermakna, seperti
diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi
di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia merumuskan pengertian
sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya
sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat diperlakukan
20 Lerner, Natan. "The Nature and Minimum Standards of Freedom of Religion or
Belieif." Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook,ed. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib-Lie. Norway, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
21T Theodorson, George A. and Theodorson, Achilles G., A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1970:344.heodorson & Theodorson, 1970: 344.
20
sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan
oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan sudah
barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat
yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama:
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir 2006 termasuk
Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang
merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang
dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian
tersebut, antara lain dalam wujud tiadanya perlindungan negara terhadap hak-
hak sipil mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak
diakui sebagai agama yang sah dan oleh karena itu pengikutnya mendapat
perlakuan yang bersifat diskriminatif, terutama dari institusi negara.22
C. Tugas Pemerintah Daerah Tentang Kerukunan Umat Beragama
Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut
agamanya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk
melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluk agamanya, sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak
menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan
ketertiban umum.
22 Untuk kajian ini lihat hasil penelitian ICRP dan KOMNAS HAM, tahun 2005. Perlakuan diskriminatif dari negara atas pengikut agama dan kepercayaan lokal serta selain keenam agama yang resmi diakui itu misalnya terjadi dalam pemenuhan hak sipil para pengikut agama-agama lokal dan aliran kepercayaan, seperti dipaksa menyebut agama lain yang 'diakui' dalam KTP, meski sebenarnya tidak memeluk agama yang 'diakui' itu, hak mendapatkan akta nikah dan hak untuk dicatatkan perkawinannya pada kantor Catatan Sipil atau KUA, dan hak mendapatkan akta lahir bagi anak-anak mereka.
21
Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan
pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat
berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib.
Arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama
antara lain peningkatnan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan
beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama.
Daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban
melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan
tata ruang serta kewajiban melindungi masyakarat, menjaga persatuan, kesatuan
dan kerukunan nasional sera keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan
nasional; Kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka melaksanakan
tugas dan wewenangnya mempunyai kewajiban memeliharna ketentraman dan
ketertiban masyakarat; pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi
tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan pemerintah. 23
D. Regulasi-Regulasi Terkait Kerukunan Umat Beragama
1. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8
Dan 9 Tahun 2006
Sebagaimana warga negara dalam alam demokrasi semua memiliki hak
untuk menjalankan keyakinannya tanpa ada satu pihak pun yang berwenang
untuk menghalang-halangi. Kebebasan berkeyakinan itu dijamin oleh Undang-
Undang Dasar 1945. Pasal 28E ayat (2) menyebutkan, "setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
23Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kpeada Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan umat Beragama dan Pendirian Rumah Adat Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomer 8 Tahun 2006, hal. 1-3.
22
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat
(2) pasal 28E menegaskan, "setiap orang berhak atas kekebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan ahti nuraninya".
Ayat (3) menyebutkan, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengelurkan pendapat".
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Peraturan Bersama Menteri No. 9
dan No. 8 tahun 2006, secara substansi memiliki beberapa titik krusial yang
patut dicermati dan perlu ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah atau
peraturan presiden. Berikut ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 8 Dan 9 Tahun 2006.
Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006, kerukunan umat beragama adalah
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian saling mengormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945.
Pentingnya sebuah RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) di
Indonesia, karena merupakan salah satu amanat UU No. 25/ 2000 tentang
program pembangunan nasional (Propenas). Dalam RUU KUB didefinisikan
KUB sebagai kondisi hubungan antar umat beragama yang ditandai oleh
suasana harmonis, serasi, damai akrab, saling menghormati, toleransi, dan
kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, baik suasana intern maupun antar
umat beragama. Namun usulan untuk membuat RUU KUB hanya salah satu
dari usulan program PROPENAS dalam bidang pembangunan agama. Alasan
lainnya adalah untuk “menghimpun ulang dan mengsinkronisasikan segala
peraturan yang ada serta melengkapinya dengan butir-butir pengalaman baru
yang diperlukan”.
Peraturan Bersama ini lengkapnya adalah Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006, dan Nomor: 8
23
Tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadah.
Dasar pembuatan Peraturan Bersama ini tentu saja merujuk kepada
Undang Jaminan tersebut dirumus undang Dasar 1945 khususnya dalam pasal
29 ayat (2) UUD 1945 bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. 24
Bila diteliti secara seksama Peraturan Bersama ini sebenarnya tidak
hanya mengatur tentang pendirian rumah ibadat saja, tapi lebih daripada itu
mengatur tugas-tugas dan Kebijakan Pemerintah daerah, baik provinsimaupun
kabupaten/kota dalam rangka membangun kerukunan umat beragama di
daerah. Dalam peraturan bersama tersebut dijelaskan bahwa kerukunan umat
beragama merupakankeadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.25
Pembuatan Perber ini melalui perjalanan yang sangat panjang, yakni
melalui diskusi mendalam dengan seluruh tokoh agama di Indonesia dan
berbagai pihak yang terkait seperti Jaksa Agung, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia dan elemen masyarakatt lainnya.
24 Khusus pasal ini, Majelis Permusyawaratn Rakyat (MPR) tidak melakukan amandemen,
sehingga sama teks dan bunyinya seperti sebelumnya, lebih jelas baca:Maria Farida Indrati, S, Prospek Hukum dan Peta Legislasi Untuk Perjuangan Kebebasan Berkeyakinan Di Indonesia, Newsletter Interfidei No. 5/II Desember 2007
25 Pengertian kerukunan antar umat beragama ini secara terrang dijelaskan oleh Perber tersebut dalam ketentuan umum Pasal 1
24
2. Penyiaran Agama
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Berikut ini
adalah regulasi pemerintah tentang penyiaran agama di Indonesia.
Agama dapat juga disebut sebagai Sistem kepercayaan kepada yang
maha mutlak yang memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan perilaku setiap
manusia dalam segala aspek kehidupannya.
Setiap individu berhak untuk memilih dan memeluk suatu agama. Hal
itu tidak boleh dipaksakan mauoun dikurangi dalam keadaan apapun. Karena
itu, tiap tiao individu bisa saja memeluk suatu agama yang berbeda dengan
agama yang dipeluk oleh orang lain.
Setiap Agama atau sistem kepercayaan yang heterogen secara natural
membawa ajaran tentang apa dan bagaimana seharusnya seorang pemeluk
agama atau kepercayaan itu berpikir, berperilaku dalam kehidupannya di
dunia. Di sisi lain agama atau kepercayaan itu juga berisi tentang ajaran dan
kehidupan akhirat (kehidupan manusia yang debut terakhir sangatditentukan
oleh ketaatannya kepada ajaran agamanya di dunia ini.
Suatu agama atau kepercayaan tentu saja mengklaim bahwa hanya
ajaran agamanya saja yang benar dan sah. Karena itu, hanya agama atau
sistem kepercayaan itulah yang harus dianut dan dipeluk oleh setiap individu,
masing masing pemeluknya berusaha untuk mempropagandakan, menyiarkan
dan mengajak orang lain untuk memperoleh kebenaran agama dan penalaman
kepercayaan itu.
Dalam hal ini setiap agama mempunyai kepentingan untuk melakukan
kegiatan penyiaran agama. Kegiatan ini bertujuan untuk mengokoh dan
mempertebal keimanan dan amal saleh komunitas internal pemeluknya
25
(tujuan intebsifikasI) serta bertujuan menambah atau memperluas pengaruh
dan kuantitas komunitas pemeluknya ke eksternal komunitas agama lain.
Setiap pemeluk agama mengklaim kebenaran mutlak adalah iliknya
sendiri. Klaim kebenaran mutlak seperti itu telah menjadi karakter dasar para
pemeluk suatu agama. Hal itu bila tidak dikendalikan , berpotensi dan bahkan
sering menimbulkan gesekan, benturan, dan kekerasan antar pemeluk agama
di tengah tengah masyarakat.
3. Pengeras Suara
Dirjen Pembinaan Masyarakat Islam Kementerian Agama sudah
mengeluarkan aturan untuk penggunaan speaker, toa atau pengeras suara sejak
tahun 1978. Hal ini dituangkan dalam Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushalla.
Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Bimas Islam
mempublikasikan aturan penggunaan pengeras suara di Masjid. Aturan
mencakup saat pelaksanaan Azan, Tilawah Al-Qur'an menjelang Sholat,
pengajian dan Upacara Hari Besar Islam.
Dalam aturan tersebut, Dirjen Bimas Islam Kemenag meminta agar
penggunaan pengeras suara tidak dilakukan secara sembarangan. Jangan
sampai penggunaan pengeras suara asal-asalan malah membuat bising.
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang
terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan
demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan
antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau mushala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca
Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak
tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan
anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh
26
daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain
menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu
meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan
menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak
menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam
keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat,
sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian
(kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya.
Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya
masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau
musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi
kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang
harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya
adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara
muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu. Tiap
waktu salatpun telah diatur secara tersendiri termasuk berapa lama boleh
menyalurkan suara melalui pengeras.
Untuk waktu Subuh, dibatasi 15 menit sebelumnya bisa menggunakan
pengeras suara untuk pembacaan ayat Alquran dan Adzan Subuh saja.
Sedangkan sholat subuh, kuliah subuh dan lainnya menggunakan pengeras
suara dalam.
Waktu Dhuhur maupun Salat Jumat diijinkan menggunakan Toa 5
menit jelang Dzuhur atau 15 menit jelang salat Jumat yang diisi dengan bacaan
27
Al Quran maupun adzan. Sementara bacaan sholat dan khutbahnya tetap
menggunakan suara ke dalam.26
26 https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ini-dia-aturan-bimas-islam-tentang-
penggunaan-pengeras-suara-di-masjid. Diakses pada 20 Maret 2018
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KOTA TANGERANG
A. Gambaran Umum Kota Tangerang
1. Sejarah Kota Tangerang
Berdirinya Kota Tangerang tidak lepas dari sejarah perjuangan
Kesultanan Banten melawan Kolonialisme Belanda. Nama “Tangerang” yang
menunjuk kepada suatu daerah yang berada di bantaran sungai Cisadane, yang
dahulu dikenal dengan nama Untung Jawa, lahir dari beberapa kejadian pada
masa lampau hingga akhirnya resmi disebut “TANGERANG”.
Sejarah mencatat lahirnya Tangerang bermula dari sebutan kepada
sebuah bangunan tugu berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangeran
Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu tersebut
terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini berada di
wilayah kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan tugu
tersebut disebut "tengger" atau "tetengger" yang dalam bahasa sunda berarti
tanda atau penanda.
Sesuai dengan julukannya, fungsi dari tugu tersebut memang sebagai
penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak VOC
Belanda. Wilayah kesultanan Banten berada di sebelah barat dan wilayah
yang di kuasai VOC di sebelah timur sungai Cisadane.27
Kota Tangerang genap berusia 25 tahun. Di usia peraknya ini, Kota
Tangerang yang tadinya bagian dari Kabupaten Tangerang, berkembang dan
menunjukkan diri sebagai kota metropolitan penyangga Jakarta. Namun
pesatnya pertumbuhan di Tangerang tak hanya terjadi di era modern. Sejak
lama, Tangerang telah dikenal sebagai pusat perekonomian yang
27 https://tangerangkota.go.id/sejarah. Diakses pada 20 Mei 2018.
29
dimanfaatkan penjajah. Dalam buku Sejarah Banten: Membangun Tradisi dan
Peradaban karangan Nina Lubis (2014), Banten sebagai induk Tangerang
sudah tercatat dalam perjalanan para penjelajah yakni Tome Pires dari
Portugis hingga Mao Kun dari China pada 1421. Penulis Claude Gillot dalam
buku Banten, Sejarah Peradaban Abad X-XVII (2008) mengungkapkan nama
Tangerang disebut dalam catatan ekspedisi Francisco de Sá pada 1527 sebagai
"Tamgaram". Banten adalah pelabuhan terbesar di Pulau Jawa ketika itu.
Banten berada di jalur perdagangan internasional. Penduduknya datang dari
bermacam-macam suku, mulai dari pedagang muslim yang berasal dari timur
Indonesia, hingga bangsa China yang bermukim di pinggir Sungai Cisadane
yang kini dikenal sebagai Cina Benteng.
Dalam perjalanannya membangun peradaban, Banten dan Tangerang
merupakan bagian dari Kesultanan Banten. Dikutip dari profil kota situs
Pemkot Tangerang, sejarah mencatat lahirnya Tangerang bermula dari sebutan
untuk sebuah bangunan tugu berbahan dasar bambu yang didirikan Pangerang
Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu tersebut
terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini berada di
wilayah Kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan tugu
tersebut disebut tengger atau tetengger yang dalam bahasa sunda berarti tanda
atau penanda. Sesuai dengan julukannya, fungsi tugu tersebut memang
sebagai penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak
Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang datang pada
abad ke-17. Wilayah kesultanan Banten berada di sebelah barat dan wilayah
yang di kuasai VOC di sebelah timur sungai Cisadane. Hingga pada sekitar
tahun 1652, penguasa Banten mengangkat tiga orang maulana, yang diberi
pangkat Aria. Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang Sultan
30
yang berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara,
Wangsakara dan Santika. 28
Pada perjuangannya ketiga maulana tersebut membangun benteng
pertahanan hingga mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan yang menjadi
pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Namun, dalam
pertempuran melawan VOC, ketiga maulana gugur satu demi satu. Aria
Santika wafat pada tahun 1717 di Kebon Besar Kec. Batuceper, Aria
Yudhanegara wafat pada tahun 1718 di Cikolol dan pada tahun yang sama
Aria Wangsakara menutup usia di Ciledug dan di makamkan di Lengkong
Kiai. Daerah di sekitar benteng pertahanan yang dibangun oleh ketiga
maulana disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah Benteng. Hal ini
turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota
Benteng.
Beralih ke latar belakang berubahnya istilah "Tangeran" menjadi
"Tangerang". Hal ini bermula pada tanggal 17 April 1684, pada saat
ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji atau Sultan Abunnashri
Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten dengan
VOC. Pada salah satu pasal perjanjian tersebut menyebutkan bahwa wilayah
yang kala itu dikenal dengan “Tangeran” sepenuhnya menjadi milik dan
ditempati oleh VOC.
Dengan adanya perjanjian tersebut, daerah Tangerang seluruhnya
masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari
bangsa asli Belanda tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari
Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah
benteng. Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati,
dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan
dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
28 Megapolitan.kompas.com/read/2018/02/28/09532151/kota-tangerang-dalam-catatan-sejarah. diakses pada 5 Juni 2018.
31
Berlanjut ke masa pemerintahan awal di Tangerang pasca
ditandatanganinya perjanjian Banten dengan VOC. Kala itu, Pemerintah
Belanda membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Kesultanan
Banten di bawah pimpinan seorang bupati. Para bupati yang pernah
memimpinan Tangerang di era pemerintahan Belanda pada periode tahun
1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII.
Setelah pemerintahan keturunan Aria Soetadilaga, Belanda menghapus
pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia. Kemudian Belanda
membuat kebijakan, sebagian tanah di Tangerang dijual kepada orang-orang
kaya di Batavia.
Nama wilayah Tangerang menjadi nama resmi pertama kali pada masa
pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang saat itu sempat
melakukan pemindahan pusat pemerintahan Jakarta Ken (wilayah
administratif setingkat Kabupaten) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo
M. Atik Soeardi. Peristiwa ini berdasarkan kepada keputusan Gunseikanbu,
yang merupakan pimpinan Departemen Militer Jepang, tanggal 9 boelan 11
hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834. Keputusan tersebut juga
akhirnya menunjuk Atik Soeardi untuk menjabat pembantu Wakil Kepala
Gunseibu Jawa Barat dan Raden Pandu Suradiningrat menjadi Bupati
Tangerang (1943-1944).
Seiring berjalannya waktu, daerah Tangerang yang kala itu berbentuk
Kabupaten Daerah Tingkat II mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Letaknya yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota menjadikan beberapa
kecamatan yang berbatasan langsung menjadi pusat segala kegiatan baik
Pemerintah, Ekonomi, industri dan Perdagangan, Politik, Sosial Budaya.
Hal tersebut mendasari pemerintah memandang perlu untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan secara khusus. Maka pada tanggal 28 Februari
1981 keluar Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981 tentang
Pembentukan Kota Administratif Tangerang, dengan demikian Kecamatan
32
Tangerang, Kecamatan Batuceper, Kecamatan Ciledug, Kecamatan Benda
dan Kecamatan Jatiuwung masuk ke dalam Wilayah Kota Administratif
Tangerang.
Dalam perjalanan kurun waktu 12 Tahun Kota Administratif
Tangerang kembali menunjukan perkembangan dan pertumbuhan yang sangat
pesat disegala bidang, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Dinamika
kehidupan perekonomian kota ditandai dengan berkembangnya unit-unit
usaha dan perdagangan termasuk pertumbuhan jumlah penduduk yang
mencapai 921.848 jiwa, dengan laju pertumbuhan mencapai 8,27 % yang
diakibatkan derasnya arus urbanisasi yang pada akhirnya berpengaruh bagi
kehidupan sosial - politik, budaya dan perekonomian masyarakat.
Perkembangan tersebut sejalan dengan Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Nomor 4 Tahun 1985 tentang
Rencana Umum Tata Ruang Kota yang peruntukannya sebagai daerah
industri, perumahan, perdagangan, dan jasa dalam skala lokal, regional,
nasional dan internasional.
Dengan struktur Pemerintahan yang masih berbentuk Kota
Administratif sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 650/SK-39-Pemda/1983 tanggal 14
Maret 1983 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Wilayah Kota
Administratif Tangerang, mengalami berbagai kesulitan karena terbatasnya
kewenangan pemerintah kota pada waktu itu.29
Selanjutnya Surat Keputusan Gubernur tersebut dijabarkan melalui
Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang Nomor :
188.45/SK.40-HUK/1984 tanggal 17 Maret 1984 tentang Pelimpahan
Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Tangerang kepada Walikota Administratif Tangerang.
29 https://tangerangkota.go.id/sejarah. Diakses pada 20 Mei 2018.
33
Dengan perubahan struktur Pemerintah Kota Administratif tetap tidak
dapat mendukung dinamika pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota
Tangerang, terlebih lagi aparat Pemerintah Kota hanya berjumlah 737 orang
yang terdiri dari 331 PNS dan 406 status magang/honor daerah. Untuk itulah
dalam rangka menunjang pelaksanaan pembinaan dan pengelolaan Kota
Administratif diperlukan struktur Pemerintahan yang lebih tinggi dari status
Kota Administratif yaitu dengan membentuk daerah otonom Kotamadya
Daerah Tingkat II yang mengatur rumah tangganya sendiri.30
2. Arti Lambang Kota Tangerang
Lambang daerah berbentuk perisai dengan warna hijau
Gambar 2.1. Lambang Kota Tangerang31
Didalam lambang tersebut terdapat lukisan-lukisan yang
merupakan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Bintang :
- Melambangkan keagamaan
- Melambangkan pula bahwa masyarakat Kotamadya Dati II Tangerang
adalah agamis
30 https://tangerangkota.go.id/profil-kota-tangerang. Diakses pada tanggal 20 Maret 2018 31 https://tangerangkota.go.id/logo-kota-tangerang. Diakses pada 20 Maret 2018
34
b. Roda Mesin :
Melambangkan bahwa Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang
adalah merupakan roda industri
c. Landasan Pacu (Run Way) :
Melambangkan adanya Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang
sekaligus melambangkan semangat pacu untuk mencapai cita-cita
Pembangunan yang luhur sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negeri
RI
d. Riak Air :
Melambangkan adanya Sungai Cisadane yang memberikan manfaat
dan kesuburan bagi masyarakat Kotamadya Daerah Tingkat II
Tangerang
e. Gerigi Roda Besi, Padi dan Kapas :
Melambangkan Tanggal, bulan dan Tahun Proklamasi Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945 dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tujuh belas gerigi roda besi melambangkan tanggal tujuh belas
b. Delapan Bunga Kapas melambangkan bulan delapan
c. Empat puluh lima butir padi melambangkan tahun empat lima
d. Dua Lingkaran didalam Roda Besi melambangkan tahun
lahirnya Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang pada bulan
Februari.
f. Jumlah Gelombang, Riak Air, Dua buah lingkaran dalam roda
mesin, tanda batas landasan dan lampu landasan :
Melambangkan tanggal, bulan dan tahun Hari Jadi Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang yaitu pada tanggal 28
Februari 1993 dengan penjelasan sebagai berikut :
35
a. Dua puluh delapan gelombak riak air melambangkan tanggal dua
puluh delapan.
b. Dua buah lingkaran dalam roda mesin melambangkan bulan dua
c. Sembilan tanda batas di dalam Run Way segi tiga lampu
landasan melambangkan tahun sembilan puluh tiga
g. Arti warna dalam lambang daerah adalah :
a. Warna Hijau mempunyai arti kemakmuran dan kesuburan
b. Warna Kuning mempunyai arti keadilan, kekuasaan,
kewibawaan dan keagungan
c. Warna Hitam mempunyai arti keteguhan dan ketabahan
d. Warna Biru mempunyai arti kesetiaan dan kebijaksanaan
e. Warna Putih mempunyai arti kesucian dan kebersihan
f. Warna Merah mempunyai arti keberanian
3. Geografis dan Tofografi Kota Tangerang
a. Geografis Kota Tangerang
Letak Kota Tangerang Secara gafis Kota Tangerang terletak pada
posisi 106 36 - 106 42 Bujur Timur (BT) dan 6 6 - 6 Lintang Selatan (LS).
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan
Sepatan Kabupaten Tangerang, sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dengan DKI Jakarta, sedangkan
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten
Tangerang.
Secara administratif luas wilayah Kota Tangerang dibagi dalam 13
kecamatan, yaitu Ciledug (8,769 Km2), Larangan (9,611 Km2), Karang
Tengah (10,474Km2), Cipondoh ((17,91 Km2), Pinang (21,59 Km2),
36
Tangerang (15,785 Km2), Karawaci (13,475 Km2), Jatiuwung (14,406
Km2), Cibodas (9,611 Km2), Periuk (9,543 Km2), Batuceper (11,583
Km2), Neglasari (16,077 Km2), dan Benda (5,919 Km2), serta meliputi
104 kelurahan dengan 981 rukun warga (RW) dan 4.900 rukun tetangga
(RT).
Letak Kota Tangerang tersebut sangat strategis karena berada di antara
Ibukota Negara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan
Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang
merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI Jakarta.
Posisi Kota Tangerang tersebut menjadikan pertumbuhannya pesat.
Pada satu sisi wilayah Kota Tangerang menjadi daerah limpahan berbagai
kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta. Di sisi lain Kota Tangerang dapat
menjadi daerah kolektor pengembangan wilayah Kabupaten Tangerang
sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif. Pesatnya
pertumbuhan Kota Tangerang dipercepat pula dengan keberadaan Bandara
Internasional Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk ke dalam
wilayah administrasi Kota Tangerang. Gerbang perhubungan udara
Indonesia tersebut telah membuka peluang bagi pengembangan kegiatan
perdagangan dan jasa secara luas di Kota Tangerang.32
b. Tofografi Kota Tangerang
Wilayah Kota Tangerang berada pada ketinggian antara 10-18 meter di
atas permukaan laut (m dpl). Wilayah Kota Tangerang bagian utara
memiliki rata-rata ketinggian 10 m dpl, seperti Kecamatan Benda.
Sedangkan wilayah KotaTangerang bagian selatan memiliki rata-rata
ketinggian 18 m dpl, seperti Kecamatan Ciledug, Kecamatan Larangan,
dan Kecamatan Karang Tengah.
32 https://tangerangkota.go.id/geografi. Diakses pada 20 Maret 2018.
37
Sebagian besar wilayah Kota Tangerang mempunyai tingkat
kemiringan tanah antara 0-3%. Hanya sebagian kecil di bagian selatan
wilayah Kota Tangerang yang kemiringan tanahnya antara 3-8%, yaitu di
sebagian wilayah Kecamatan Ciledug dan di sebagian wilayah Kecamatan
Larangan.33
B. Jumlah Penganut Agama di Kota Tangerang
Mayoritas masyarakat di Kota Tangerang menganut agama Islam yaitu
sebanyak 1.567.461 penduduk, yang kemudian disusul oleh penganut agama
Kristen sebanyak 103.233. Pada urutan ketiga adalah penganut agama Budha
sebanyak 72.920 penduduk dan pada urutan keempat adalah agama Katolik
sebanyak 48.041. Adapun tabel penduduk menurut agama pada tahun 2016
dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 2.1. Tabel Jumlah penganut Agama di Kota Tangerang Tahun 2016
No Agama Jumlah penganut (penduduk)
1. Islam 1.567.461
2. Kristen 103.233
3. Katolik 48.041
4. Hindu 2.982
5. Budha 72.920
6. Konghuchu 497
7. Lainnya 302
Sumber : Tangerang Dalam Angka Tahun 2016
33 https://tangerangkota.go.id/tofografi. Diakses pada 20 Maret 2018.
38
BAB IV
UPAYA PEMERINTAH IKHWAL KERUKUNAN BERAGAMA
A. Kerukukan Agama di Kota Tangerang
1. Toleransi Umat Beragama di Kota Tangerang
Islam di Indonesia sudah berwajah kebudayaan Indonesia, itu semua
terjadi karena islam dibumi nusantara sudah melebur dengan begitu eratnya
dengan kebudayaan lokal, ketika keislaman berwajah kenusantaraan dan
kenusantaraan pun berubah menjadi keindonesiaan, sebagai sebuah bangsa
dan islam pun hadir menjadi perekat utamanya.
Melestarikan kemajemukan, atau apa pun istilah yang akan digunakan
untuk menyebutnya misal: bhinneka, pluralism, pluralitas, dan atau
multikulturalitas. Itulah yang seharusnya dilakukan setiap anak bangsa
Indonesia. Kemajemukan adalah blessing in disgnise bagi bangsa ini. Cukup
dengan alasan yang sederhana saja, bahwa kemajemukan adalah sunnatullah,
hukum alam yang Bangsa dan Negara ini sangat beruntung memilikinya.
Landasan sosial budaya masyarakat Indonesia yang bercorak
masyarakat majemuk (plural society), sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi
masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa
tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis-ideoligis,
harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau
multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah sebuah paham atau sistem nilai yang
menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli
perbedaan budaya, gender, agama ataupun yang lain. Konsep ini tidak hanya
mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala
perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di ruang
publik.
39
KotaTangerang adalah sebuah kota yang memeliki masyarakat
majemuk, terdiri atas beberapa suku bangsa, yang baik secara langsung
maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem
Akhlakul Karimah. bukankah masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas
kesukuan yang didasari oleh stereotip dan prasangka, yang menghasilkan
penjenjangan sosial secara kesukuan yang subjektif. Konflik antaretnik dan
agama yag terjadi, berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli
setempat dengan pendatang
Kota Tangerang adalah sebuah daerah kecil yang menjadi “kota
satelit” Ibu Kota Jakarta. Kemajemukan identitas-identitas sosial menjadi
anugerah bagi kota ini, karena memang kota ini dahulu, tidak termasuk
katagori daerah pemukiman yang memiliki identas kesukuan. Melainkan
dipenuhi pelancong-pelancong yang berasal dari bumi nusantara, bahkan
sampai Asia.
Betawi, Sunda, Cina Benteng dan Arab Keturunan merupakan
identitas-identitas budaya yang ada beberapa wilayah Kota Tangerang,. Cina
Benteng misalnya adalah sebuah istilah yang disimbolkan kepada warga
keturunan Cina yag tinggal dan menetap di pinggiran Ibu Kota Jakarta (Kota
Tangerang) pada khususnya, yang sudah membaur dengan identitas-identias
budaya yang sudah lebih dulu ada sekitarnya, dan pada akhirnya memberikan
keunikan corak budaya tersendiri bagi daerah ini.
Saat ini ketika satu identitas budaya dijadikan ideologi, ditengah-
tengah kemajemuka identitas-identitas yang ada, dan pada ruang-ruang
tertentu posisinya dapat menyaingi nilai pemersatu bangsa ini. Lantas
pertanyaannya, bagaimana dengan identitas identitas budaya yang ada di Kota
Tangerang, yang memiliki keanekaragaman, sekaligus keunikan yang
memiliki nilai konstruktif bagi pemersatu daerah ini.
Otonomi daerah dapat diberikan pemaknaan, tidak saja “kebebasan
daerah untuk menentukan dirinya sendiri’ tetapi juga kebebasan dalam
membangun ‘garis-garis penghubung’ atau garis-garis dialogis antar identitas-
40
identitas budaya yang ada didaerah. Memang Garis-garis penghubung itu
sangat dinamis dan kompleks, yang memungkinkan terjadinya dialog budaya
antaretnik, serhingga tercapai suatu transformasi dan alkulturasi budaya yang
memberikan nilai tambah bagi pengkayaan budaya daerah. Dan pemerintah
daerah harus mau mengakui hak dan keberadaan semua kelompok budaya
yang ada di kota Tangerang termasuk kaum minoritas, agar terjalinnya dialog
multikultur, yang sangat diperlukan untuk membentuk pemahaman dan
toleransi antar budaya dalam masyarakat Kota Tangerang yang plural, dapat
berlangsung.
Nilai-nilai akhlakul karimah dapat tercermin pada keagungan budi
pekerti pribadi-pribadi masyarakat, manakala kesadaran eksistensial akan
kebergaman budaya adalah kepompong yang akan melahirkan segenap cita
rasa yang bebas dari arogansi, narcistik dan rasis-fasis kesukuan. Maka
kesadaran berbasis multikultural untuk daerah yang majemuk dengan
identitas-identitas culture agar secara psikologis bangsa kita lebih insklusif,
toleran dan mengakui perbedaan, sebagai cita-cita masyrakat yang
berakhlakul karimah.
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya kondisi keagamaan di kota
Tangerang masih tetap aman dan kondusif dan tidak ada gangguan yang
sifatnya dapat merugikan kerukunan umat beragama di Kota Tangerang,
untuk saat ini berbagai macam gesekan gesekan keagamaan yang berbau sara
masih bisa di redam dengan sebaik baiknya tentunya dengan bantuan peran
FKUB dan organisasi keagamaan serta di bantu oleh pihak pihak berwajib.36
Tentunya gambaran kerukunan umat beragama di Kota Tangerang
cukup bagus dan toleran bahkan hampir setiap kegiatan dari masing masing
keagamaan bisa saling menghormati dan mendukung satu sama lain, hal ini di
buktikan dengan adanya sikap saling menghormati dari berbagai kalangan
36Hasil wawancara dengan Achmad Dimyati, S.IP. (KASI Ketahanan Bangsa dan Masyarakat
Kesbangpol Kota Tangerang). Pada tanggal 20 Maret 2018.
41
agama ketika perayaan hari hari besar agama mereka saling membantu
terutama dalam bidang keamanan dan ketertiban.
Kasus yang begitu menonjol tidak terlalu ada, mungkin hanya ada
beberapa kasus saja itupun dapat diatasi dengan seksama seperti kasus
Jama’ah Ahmadiyah yang ada di Kota Tangerang, dimana hal ini (Kasus
Jama’ah Ahmadiyah) pernah jadi sorotan publik dengan ancaman dan
gangguan yang mereka dapati di tempat lain, disini mereka bisa hidup
bertetangga dan menjalankan ibadahnya dengan aman dengan syarat tidak
menyebarkan paham mereka, tapi selain itu kami juga memberikan penjelasan
bahwasanya apa yang mereka yakini itu melenceng dari nilai nilai agama dan
tidak di benarkan oleh hukum.Ada juga beberapa konflik lain seperti konflik
pembangunan tempat ibadah ataupun sarana ibadah umat beragama yang
belum mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat dan tidak sesuai
menurut hukum yang ada yaitu seperti yang tertera dalam peraturan bersama
mentri dalam negri dan mentri agama no 9/8 tahun 2006, tapi hal ini masih
bisa di tindak lanjuti dengan baik dengan di lakukannya musyawarah di antara
kedua belah pihak. Namun ada juga beberapa kasus seperti ini yang kemudian
di tindak lanjuti ke proses hukum (pengadilan) seperti yang terjadi di
kecamatan pinang yaitu pembangunan greja santa bernaded di mana mereka
sudah mempunyai izin pembangunan yang sesuai dengan peraturan akan
tetapi karena lingkungan tidak menghendaki (tidak dapat persetujuan
masyarakat setempat) maka pengadilan memutuskan untuk membatalkan izin
pembangunan gereja tersebut.
2. Konflik Agama di Kota Tangerang dan Penyelesaianya
Propinsi Banten, khususnya Kota Tangerang, dapat dipotret sebagai
sebuah wilayah yang populasinya bercampur antara homogen di satu wilayah
dan heterogen di wilayah lain. Jika ditelusuri, di wilayah ini pun tidak luput dari
problem relasi antarumat beragama. Kondisi demikian, yang rata-rata sama
dengan wilayah lain dalam provinsi Banten.
42
Hal di atas dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam hal kerukunan
seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri (PBM) No 9 dan No. 8/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan FKUB Dan Pendirian Rumah Ibadah, masih
menyisakan masalah. Barangkali bukan hanya di Banten saja, bunyi PBM ini
belum dipahami secara luas. M. Atho Mudzhar (2008: 16) juga menyampaikan
masih terdapat kendala mengenai pemahaman isi PBM itu di beberapa daerah
di Indonesia. Buntutnya, wadah-wadah kerukunan yang sekarang dinamakan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini belum terbentuk di setiap
daerah.
Khusus untuk wilayah Kota Tangerang, di luar masalah implementasi
kebijakan di atas, terjadi juga serentetan peristiwa empiris yang mengganggu
kerukunan umat beragama. Beberapa insiden malah belum ditemukan
solusinya, seperti peristiwa penutupan Gereja Sang Timur di Karang Tengah,
Ciledug, yang mulai meletup akhir Oktober 2004. Selain itu tempat ibadah
menjadi bulan-bulanan, seperti pengrusakan Gereja Ellem di ruko Jalan RE
Martadinata No 10 C RT 03/09, Cipayung, Ciputat; GPI di ruko Pondok Cabe,
Kompleks Mutiara Centre Blok A3-5; Gereja Bukit Sion di Ruko Pondok Cabe,
Kompleks Mutiara Centre Blok D12; dan Gereja Ellem di Ruko Pondok Cabe,
Kompleks Mutiara Centre, Blok 28 Pamulang, Tangerang, Banten (Suara
Pembaruan, 7 Juli 2004).
43
Tabel. 4.1.
Data Konflik Pendirian Rumah Ibadah Kota Tangerang
Kurun Waktu Tahun 2016
No Nama
Rumah
Ibadah
Alamat/Lokasi Pimpinan Permasalahan Solusi Keterangan
1. Gereja
HKBP
Keroncong
Permai
Perumahan
Keroncong
Permai Blok.
Db 5 No.
Gebang Raya
Kec. Periuk
Pdt.D.Lumban
Tobing. Sth.
Rumah
Tinggal Jadi
Tempat
Rumah
Ibadah
Disegel
Untuk
Dikembalikan
Kepada
Fungsi
Semula
Sudah Tidak
Aktif Lagi,
Dan Pindah
Lokasi Ruko
Kel. Periuk
2. Gbi Yayasan
Trans Porma
Si Bangsa
Ruko Permata
Cimone Blok.
20-21. Kel.
Cimone Jaya
Kec. Karawaci
Ronald Spl.
Tobing. Dan
Godeon
Rumah Dan
Toko ( Ruko
). Dijadikan
Tempat
Ibadah
Disegel Belum Ada
Niatan Untuk
Dikembalikan
Kepada Fungsi
Awal
3. Gereja Santa
Bernadet
Kel. Kunciran
Kec. Pinang
- Ada
Bangunan
Yang
Permanen
Tidak Boleh
Membangun
Yang
Permanen
Kegiatan
Ibadah Tetap
Berjalan
4. Yayasan
Gurd Wara
Dharma
Khalsa
Jl. Wana
Mulya No. 29
Rt 001/03 Kel.
Karang Mulya
Kec. Karang
Tengah
- Rumah
Tinggal Jadi
Vihara/Kuil
Disegel Kegiatanya
Terhenti
Diminta Untuk
Dikembalikan
Fungsi Awal
44
5. Yayasan
Bina Setia
Indonesia
(YBSI)
Sekolah
Tinggi
Theologi
Jl. Daan
Mogot No.18
Kel.
Batuceper
Kec.Batuceper
Daniel
Kristanto
Bangunan
Bekas Pabrik
Dijadikan
Sekolah
Bangunan
Dikembalikan
Dikembalikan
Sesuai
Rdtr/Rtrw
Sepakat Untuk
Dipindahkan
Tapi
Terkendala
Lahan
Akibat peristiwa di atas memunculkan krisis kepercayaan di antara umat
beragama khususnya di Kota Tangerang. Ketertutupam bahkan penolakan
terhadap umat berbeda agama, tentulah menjadi titik balik dari proses
demokratisasi serta pembangunan nasional yang sedang digalakkan. Perlu juga
dipertanyakan sejauh mana nilai kearifan lokal bertahan dan mampu
difungsikan menjadi perekat antarumat beragama di wilayah ini. Oleh sebab
itulah diperlukan analisis komprehensif terkait dengan kemunculan fenomena
tersebut.
Data dan informasi yang menyuguhkan fakta sosial di balik hubungan
antaragama yang pasif bahkan cenderung eksklusif di sebagian wilayah di Kota
Tangerang Banten di atas, telah mendorong untuk digali lebih dalam.
Minimnya informasi mengenai interrelasi umat beragama di wilayah tersebut,
tampaknya menyulitkan untuk diambil kebijakan terutama oleh pemerintah
dalam mengantisipasi, hingga mencegah kemungkinan munculnya pergesekan
antarumat beragama lebih lanjut.
Kota Tangerang merupakan salah satu penyangga ibukota Jakarta, dan
menjadi daerah limpahan berbagai kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta. Di
sisi lain Kota Tangerang dapat menjadi daerah kolektor sumber daya alam
Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif.
Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang juga dipercepat oleh keberadaan
45
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang sebagian arealnya termasuk ke
dalam wilayah administrasi Kota Tangerang.
Keragaman umat pemeluk agama membawa implikasi adanya
perjumpaan serta interaksi di antara mereka. Dalam konteks sosial masyarakat
dan etnisitas yang beragam, relatif tercipta suasana yang kondusif dalam
kehidupan bersama sebagai warga bangsa. Namun memang tidak dipungkiri,
bahwa di sela-sela kebersamaan tumbuh pula kesaling-curigaan di antara umat
beragama tersebut.
Aktivitas rumah-rumah ibadah, di samping telah “menyumbang” bagi
terwujudnya keharmonisan antaragama, tetapi juga dari sana tumbuh dan
berkembang sentiment keagamaan. Di samping untuk pusat peribadatan secara
ritual, fungsi rumah ibadah juga sebagai pemusatan pendidikan dan dakwah
keagamaan. Pusat pembinaan calon-calon missionaris bagi umat Kristiani, dan
pembinaan calon-calon mubaligh, bagi umat Muslim.
Untuk gangguan dalam beribadah sendiri, dalam pengertian ketika umat
sedang beribadah kemudian datang gangguan, sampai saat ini belum pernah
terjadi di Tangerang. Hal ini dinyatakan oleh salah seorang pengurus MUI Kota
Tangerang sebagai berikut.Bahwa belum pernah terdengar laporan adanya
larangan atau gangguan umat non Muslim beribadah, baik di gereja atau di
rumah-rumah yang dijadikan tempat ibadah. Perlu dibedakan persoalannya
dengan proses IMB-nya yang sering mendapat penolakan”.
Bentuk pelarangan fasilitas ibadah itu beragam, termasuk antara lain
munculnya sekelompok masyarakat yang mempersoalkan pembangunan rumah
ibadah, baik yang sifatnya renovasi maupun pembangunan dari awal. Selain itu,
masyarakat juga mempersoalkan penggunaan rumah tinggal sebagai tempat
ibadah. Munculnya protes warga itu biasanya bertepatan dengan momentum
perayaan Natal, yaitu selama Bulan Desember. Biasanya memasuki Bulan
Desember, persoalan sekitar masalah ini mulai muncul yang nanti agak mereda
lagi sampai menjelang pergantian tahun.
46
Pasca keluarnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006, di Kota Tangerang
juga didirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana bunyi
aturan dalam PBM tersebut. Setelah berdirinya FKUB, tidak lama berselang
bermunculanlah pengajuan permohonan pendirian rumah ibadah. Hal yang
paling menonjol adalah maraknya proses pengajuan IMB untuk pendirian
rumah ibadah. Hampir semua komunitas keagamaan terutama non muslim getol
mengajukan permohonan perijinan tersebut. Namun di sisi lain, rumah ibadah
yang ada selama ini juga sebagian besar belum memiliki IMB, termasuk masjid
sekalipun. Beberapa eksponen MUI Kota Tangerang yang mengetahui rencana
penerbitan PBM tersebut, dua bulan sebelumnya mengusulkan kepada pihak
pemkot supaya dilakukan pemutihan IMB terhadap masjid-masjid di wilayah
Kota Tangerang. Proses tersebut sempat berjalan, namun tidak mencakup
semua masjid ketika PBM itu disahkan karena terkendala urusan yang cukup
pelik menyangkut status tanah masjid yang antara lain
berstatus waqaf perorangan.Hal ini juga dipertanyakan oleh informan dari
kalangan non muslim yang kesulitan mengurus IMB bagi rumah ibadah
mereka. Asyuntapura dari Konghucu mengakui dengan PBM itu sebenarnya
menjamin hak beribadah warga Konghucu. Namun masalahnya, ketika
memproses pendirian rumah ibadah, umat Konghucu tidak mungkin dalam
waktu sekarang ini dengan mengikuti aturan dalam PBM itu akan
diperbolehkan mendirikan Litang. Kendalanya karena umat Konghucu
terpencar di beberapa wilayah dan sulit menemukan jumlah 90 jemaat dalam
satu wilayah setempat.
Komunitas Kekristenan juga banyak mengajukan perijinan ke pihak
FKUB. Beberapa perencanaan pembangunan Gereja memiliki persoalan dengan
perijinan, tanpa memilah gereja yang sudah lama berdiri maupun yang baru
akan berdiri. Gereja HKBP di wilayah Tanah Tinggi yang telah berdiri sejak
tahun 1970-an mendapatkan hambatan ketika melakukan renovasi. Kasusnya
sempat menghangat dan mencuat di publik. Konflik mulai menghangat di tahun
47
2007 dan perlahan mereda di tahun 2009 dengan sejumlah renovasi bangunan
berjalan seperti rencana.
Sama halnya dengan kelompok Kristen, kesulitan juga menimpa umat
Katolik. Namun dibandingkan kelompok Katolik, gereja Protestan dengan
banyaknya jumlah denominasi lebih sering mengemuka sebagai kasus, karena
masing-masing denominasi mengajukan ijin untuk mendirikan gereja. Bahkan,
di dalam gereja Protestan juga tidak luput dari warna kesukuan yang kental.
Kenyataan demikian ini, khusus maraknya gereja bernuansa kesukuan,
mengundang keberatan dari pengurus MUI Kota Tangerang. Ada pernyataan
dari salah seorang pengurus MUI Kota Tangerang sebagai berikut, “Dulu saya
datang pertama kali ke Tangerang, khotbah di masjid memakai Bahasa Sunda.
Ini wajar sebab kebanyakan memang orang Sunda. Tapi lama kelamaan
khutbahnya memakai Bahasa Indonesia. Maksudnya supaya jemaah paham
semua karena belakangan banyak pendatangnya. Nah, ini mengapa gereja
malah mundur?”mOleh sebab itu, muncullah anggapan dari sebagian kalangan
Islam di Kota Tangerang, bahwa komunitas “HKBP” ini tidak realistis dalam
konteks masyarakat Kota Tangerang.
Dalam pemahaman salah seorang pengurus MUI Kota Tangerang,
peraturan dalam PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang jemaat suatu tempat
ibadah terjemahannya adalah minimal 90 jemaat warga setempat, misalnya 1
RW., 1 Kelurahan, 1 kecamatan, atau 1 kabupaten/Kota. Namun hal ini tidak
berlaku bagi jemaat yang berasal dari lintas kabupaten, bahkan propinsi. Hal ini
karena dianggap kesulitan menentukan pihak mana yang akan memberi
legalitas wilayah tinggal jemaat bersangkutann untuk memenuhi prosedur
perijinan tempat ibadah.
Bersamaan dengan itu, gerakan proselitisasi (dakwah) untuk
menyebarkan suatu agama kepada umat lain juga kerap terjadi di wilayah Kota
Tangerang. Pihak yang sering mendapat iming-iming untuk pindah agama.
yang secara ekonomi memang kurang mampu. Dilihat dari pola ini
48
mengindikasikan adanya sikap saling curiga yang masih melekat dalam cara
pandang sebagian kalangan beragama di wilayah Kota Tangerang.
Seorang informan, dari kalangan pemuda Islam, mengungkapkan
adanya ketakutan warga umat Islam Tangerang terhadap meruyaknya tempat
pembangunan rumah ibadah dan pusat pendidikan agama lain. Ketakutan itu
lebih dipandang sebagai upaya pembelokan akidah anak-anak yang nantinya ke
agama lain. Hal ini menjawab juga mengapa perihal renovasi bangunan di
lokasi tempat ibadah, misalnya yang menimpa salah satu gereja di wilayah
Perum yang terletak di wilayah Kecamatan Tangerang, yang hendak
membangun auditorium ditentang oleh warga sekitar, dengan tuduhan hendak
merenovasi gereja.
Kasus jual beli tanah juga menjadi masalah jika pihak pembeli adalah
yayasan milik non muslim. Seperti yang terjadi pada kasus pembangunan gereja
Sang Timur, pembangunan Sekolah Strada di Pabuaran Indah plus rumah
ibadah oleh Yayasan St. Aquino. Letak kantor yayasan ini sendiri berada di
jantung Kota Tangerang dan menyatu dengan sekolah. Lokasinya agak masuk
ke dalam dari jalan raya Otista, Tangerang. Jarak sekolahan dengan jalan raya
berkisar 300an meter. Di samping sekolah ini didirikan perumahan Taman
Pabuaran Indah yang baru berusia satu tahun. Tidak jauh dari yayasan ini
berdiri masjid yang cukup besar, yaitu Masjid Al Khairat.
Diketahui masyarakat, bahwa tanah yang dibeli semula dianggap untuk
memperluas areal sekolah. Perkembangan kemudian menjadi memanas, setelah
beredar kabar akan juga dibangun gereja. Sekali lagi, soal gereja menjadi isu
sensitif di Kota Tangerang. Isunya menjadi ketakutan akan terjadinya “jual-
beli” akidah.
Di sisi lain, menjamurnya rumah ataupun ruko yang dijadikan tempat
ibadah bagi kelompok keagamaan tertentu belakangan ini masih terus marak
dan disertai penolakan. Salah satu kasusnya adalah protes warga terhadap
rumah yang dijadikan tempat ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pondok
49
Bahar, yang berada di wilayah Ciledug. Penolakan dari warga disampaikan
dalam bentuk protes dan membentangkan spanduk di pagar rumah yang
dijadikan gereja tersebut. Isi spanduk itu menegaskan penolakan warga atas
penggunaan rumah tersebut sebagai sarana ibadah.
Menurut penuturan beberapa pihak, sebenarnya sebagian dari kelompok
keagamaan ini telah mengajukan diri untuk membangun gereja, namun belum
terwujud. Proses perijinan dirasakan mampet. Kondisi ini dijadikan alasan,
mengapa mereka memilih menggunakan rumah sebagai tempat ibadah. Atas
kasus ini, seorang informan dari pihak GBI, mengharapkan seharusnya
pemerintah Kota Tangerang memberikan solusi. Paling tidak, menyikapi reaksi
masyarakat sedemikian rupa, misalnya membentuk tim untuk melakukan studi
kelayakan di mana tempatnya yang layak untuk mendirikan tempat ibadah.
Tidak kalah pentingnya juga menyelidiki mengapa umat Islam di Tangerang
paling alergi mendengar kata gereja, katanya.
Di komplek Benua Indah terdapat 7 blok, dari A sampai G dan terdiri
dari 6 RW. Selain masjid yang besar di atas, di komplek ini terdapat 3
musholla, yaitu masing-masing di Blok A, C dan D. Meski mayoritas penghuni
beretnis Cina, namun belum berdiri Gereja di komplek ini, kecuali rumah yang
sering dijadikan tempat ibadah bersama. Untuk pergi ke Gereja, mereka
kebanyakan pergi ke daerah Pasar Baru, Tangerang.
Segregasi sosial di Wilayah Kota Tangerang dapat ditelusuri dari
timbulnya rasa ketidaknyamanan bergaul dengan tetangga yang berbeda agama.
Penyebutan istilah kata “kita” dan “mereka” menjadi hal yang lumrah untuk
memberi tanda munculnya rasa ketidaknyamanan hidup bersebelahan dengan
masyarakat dengan identitas yang berbeda. Seperti penuturan tokoh MUI Kota
Tangerang di atas, relasi pendatang dengan penduduk pribumi, maupun apalagi
relasi antarpemeluk agama yang berbeda sangat kurang kondusif. Hampir
semua perumahan di wilayah Kota Tangerang cenderung mengalami segregasi
berdasarkan afiliasi etnis maupun agama.Jika dikaitkan dengan fakta penolakan
50
terhadap rumah ibadah non muslim di perumahan ini, maka sebetulnya
fenomena miskinnya interaksi antar warga berbeda agama/etnis ini sangat
berpengaruh terhadap kasus penolakan tersebut
Di wilayah Kotamadya Tangerang, terdapat tiga sekolah yang bernaung
di bawah yayasan Katolik Santa Maria, Sang Timur serta Santo Agustinus.
Kecuali Sang Timur, dua yayasan itu telah memiliki Gereja yang cukup besar.
Yayasan Sang Timur kebetulan yang memiliki masalah dengan warga sekitar
dan begitu menghebohkan hingga ke panggung internasional. Menurut
penuturan Sekretaris MUI Kota Tangerang, Baijuri Khotib, persoalan Sang
Timur di Karang Tengah, sejak tahun 2004 lebih disebabkan adanya
kesenjangan sosial yang belum terjembatani antara umat Katolik yang
berkepentingan dengan yayasan tersebut dengan masyarakat muslim sekitar
yang kebanyakan beragama Islam dan beretnis Betawi. Ditambah lagi,
pemahaman tokoh Islam setempat terhadap perbedaan juga sangat lemah.
Orang-orang penduduk asli yang umumnya beretnis Betawi terlanjur
terkenal dengan prinsipnya yang kuat, apalagi dalam soal fanatisme dalam
keberislaman mereka. Berangkat dari pemahaman tentang perbedaan yang
rendah itu, munculnya keberatan dari kalangan Islam setempat lebih
mengerucut karena belakangan di samping sekolahan tersebut hendak didirikan
Gereja. Rencana ini tercium oleh tokoh agama setempat dan sebagai reaksi atas
keberatan mereka, beberapa kali demonstrasi warga terjadi di depan sekolah
Sang Timur. Demonstrasi diisi dengan orasi serta pembakaran ban-ban bekas.
Media massa baik cetak maupun elektronik gencar memberitakan masalah
tersebut.
Umat Katolik di bawah Yayasan Karya Sang Timur mendirikan sekolah
itu pada 1992. Pada tahun 2004 saat ramainya polemik yang melanda sekolah
dan yayasan itu, Sang Timur mempunyai ribuan murid, termasuk siswa sekolah
luar biasa (SLB) untuk anak tunagrahita dan penyandang autis. Jenjang
pendidikan mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA. Selain itu, pada hari Jumat,
51
Sabtu dan Minggu, di salah satu gedung Sang Timur digelar misa bagi umat
Katolik. Sekolah itu ditutup paksa oleh sekelompok masyarakat yang
menamakan dirinya Front Pemuda Islam (FPI) Karang Tengah seiring dengan
digagalkannya misa pada hari Minggu, 3 Oktober 2004, dan beberapa hari
setelahnya sekolah belum dapat difungsikan. Sekelompok massa berorasi dan
berdemonstrasi menuntut diberhentikannya misa umat Katolik yang tengah
berlangsung di dalam komplek sekolah tersebut. Maklum saja, umat di Paroki
St. Bernadeth memang belum memiliki gereja, sehingga memakai Bangunan
Sementara Sekolah (BSS) Sang Timur yang terletak di lokasi Yayasan Sang
Timur tersebut. Massa berkerumun di depan sekolah pada suatu Minggu pagi 3
Oktober 2004. Pada misa Minggu pagi yang diganggu suara pendemo itu,
suasana kacau balau. Ketegangan menyelimuti selama misa berlangsung.
Menurut penuturan Suster Sylvia, FIJ, kekhusukan pada misa Minggu pagi itu
digemparkan oleh suara teriak pendemo yang menuntut penutupan gereja dan
penghentian misa. Ia menyayangkan, aparat kepolisian hanya berjaga-jaga dan
tak menghentikan, apalagi membubarkan kerumunan massa.37
B. Pelembagaan Lembaga Kerukunan Umat Beragama
Secara normatif-ideal, sebagaimana ditegaskan Pasal 6PBM, tugas Walikota
adalah sebagai berikut:
1. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umatberagama di kabupaten/kota;
2. Mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama;
3. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umatberagama;
37Sumber dari Achmad Dimyati, S.IP. (KASI Ketahanan Bangsa dan Masyarakat Kesbangpol
Kota Tangerang).
52
4. Membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalamkehidupan beragama;
5. Menerbitkan IMB rumah ibadat.
Pemerintah KotaTangerang dalam upayanya untuk menjaga kerukunan
umat beragama di Kota Tangerang membuat beberapa organisasi atau forum
forum seperti:
1. Melakukan koordinasi dengan FKUB (Forum Kesatuan Umat
Beragama) untuk menciptakan masyarakat yang toleran.
2. Membuat Forum Pemuda Lintas Agama (FPLA) dimana ini menjadi
sarana bagi anak muda di Kota Tangerang agar bisa hidup saling
berdampingan dan toleran.
3. Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK) dimana forum ini bertujuan
untuk menyatukan berbagai etnis dan kebudayaan yang ada di kota
tangerang.
4. Forum Kewaspadaan Dini (FKD) dimana ini bersifat seperti intelejen
yang melaporkan sesegera mungkin jika terjadi gesekan keagamaan
di masyarakat.38
Tentu saja pemerintah Kota Tangerang sangat bertanggung jawab untuk
menciptakan kerukunan antar umat beragama di Kota Tangerang sebagaimana
yang telah diatur oleh PBM 2 Menteri akan tetapi pemerintah juga melakukan
koordinasi-koordinasi dengan organisasi organisasi keagamaan yang ada di kota
tangerang seperti NU, Muhammadiyah, dan organisasi agama lainnya dari selain
organisasi agama islam dan tidak lupa juga dengan sangat pentingnya
komunikasi dan koordinasi dari lembaga-lembaga keagamaan yang ada di Kota
Tangerang untuk menciptakan tangerang yang rukun antar umat beragamanya.
38Hasil wawancara dengan Achmad Dimyati, S.IP. (KASI Ketahanan Bangsa dan Masyarakat
Kesbangpol Kota Tangerang). Pada tanggal 20 Maret 2018.
53
Kehadiran Kementerian Agama sendiri secara struktural dan secara
historis fungsional di Indonesia (didirikan pada tanggal 3 Januari 1946) adalah
merupakan implementasi dari UUD 1945, yakni negara berdasar atas
KeTuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya masing-
masing. Seiring dengan itu, tugas pokok Kementerian Agama adalah melayani,
membimbing dan membina kehidupan beragama warga negara Indonesia. Dan
dalam menjalankan pelayanan, pembimbingan dan pembinaan umat beragama
itu, pemerintah tidak diperkenankan mencampuri akidah atau teologi masing-
masing agama.
Tugas menjaga dan membina akidah umat fungsi majelis-majelis agama
dan pimpinan agama. Dalam kaitannya dengan ormas termasuk lembaga
keagamaan, pemerintah mempunyai kewenangan sebagai pembina lembaga dan
organisasi masyarakat agar supaya pranata-pranata yang ada didalamnya
berkembang sehat dan mandiri. Namun, pemerintah dalam hal ini Departemen
Agama menyadari memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk menangani seluruh
problema umat beragama secara sendiri. Departemen Agama tidak mempunyai
pretensi bahwa seluruh persoalan dan problema umat dapat ditangani dan diatasi
secara sepihak oleh pemerintah. Untuk menjalankan tugas berat itu, Kementerian
Agama menjalin kerjasama dengan semua pihak, terutama organisasi/lembaga
agama, pemuka agama dan masyarakat.
Dalam kaitan dengan pengembangan lembaga dan pemberdayaan umat,
pemerintah tentu mengacu dan berpedoman pada tata aturan dan perundang-
undangan yang berlaku. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Program
Pembangunan Nasional No. 25 tahun 2000 digariskan program pembangunan
bidang agama sebagai berikut: (1) program peningkatan pelayanan kehidupan
beragama; (2) program peningkatan pemahaman dan pengamalan agama, dan
kerukunan umat beragama; (3) program peningkatan kualitas pendidikan agama;
(4) program pembinaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan
54
tradisional keagamaan. Sasaran yang ingin dicapai melalui pelaksanaan program-
program tersebut antara lain adalah meningkatnya pemahaman dan pengamalan
ajaran agama dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara, serta
terciptanya kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.39
C. Program-program Pemerintah Kota Tangerang dalam Menjaga dan
Memelihara Kerukunan Antar Umat Beragama
1. Seminar Lintas Agama Kota Tangerang
Subbagian Tata Usaha melalui “Urusan Umum” menyelenggarakan
Seminar Kerukunan Umat Beragama Pada Kantor Kementerian Agama Kota
Tangerang. Acara dilaksanakan Selasa, (10/04 ) Bertempat di Aula Kantor
Kemenag Kota Tangerang Jalan Perintis Kemerdekaan 2 Babakan Kota
Tangerang.
Acara dibuka oleh Kepala Kantor Kemenag Kota Tangerang Dedi
Mahfudin. Dalam arahannya Dedi mengatakan menyikapi kondisi saat ini
yang oleh media cetak maupun elektronik disebut dengan “Tahun Politik”,
sebab kita akan menghadapi Pilkada Kota Tangerang, Pileg dan Pilpres. Kita
harus terus menjaga dan merawat kerukunan intra dan antar umat beragama.
Kerukunan itu tidak murah dan mudah, kerukunan menjadi hal yang mahal
dan itu harus kita jaga demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ).
Hampir saja kerukunan dan kebersamaan kita terganggu akibat adanya
berita berita yang menyerang para tokoh agama. Alhamdulillah kota
Tangerang cukup kondusip, hal ini berkat peran serta tokoh-tokoh agama
yang ada di Kota Tangerang termasuk bapak-ibu yang hadir disini. Intinya
semua agama mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan saling
menghargai bukan menyakiti”Imbuhnya
39Said Agil Husin, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Perss, 2003), hal. 99-107
55
Pemerintah di setiap tingkatan memiliki tugas dan kewajiban untuk
memelihara kerukunan umat beragama sesuai lingkup wilayahnya. Namun
satu hal juga yang harus diingat, dalam peraturan dinyatakan juga bahwa
walaupun tugas ada di Pemerintah Kota Tangerang namun tanggung jawab
akan hal tersebut diemban secara bersama sama oleh umat beragama. Oleh
karena itu Pemkot Tangerang beserta jajaran dibawahnya mengoptimalkan
silaturahmi, komunikasi dan pendekatan kepada tokoh agama atau tokoh
masyarakat dari umat atau golongan manapun.40
.
2. Sosialisai Pemerintah Kota Tangerang tentang Peraturan Bersama
Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006
Upaya Pemerintah Kota Tangerang dalam menyelesaikan konflik
agama yaitu mensosialisasikan kepada seluruh masayarakat tentang PBM No
9 dan 8 Tahun 2006 untuk tidak terjadinya konfilik antar umat beragama.
Lazimnya dalam suatu pemerintahan, apabila terdapat suatu permasalahan
maka segera dicari solusinya, supaya tidak mengganggu jalannya kinerja
pemerintahan. Tak terkecuali pada pelaksanaan pemeliharaan kerukunan
umat beragama di Kota Tangerang dilakukan dengan melalui beberapa
tahapan, telah ditemukan beberapa faktor penghambatnya. Kendati demikian
pihak Pemerintah Kota Tangerang telah mengambil langkah-langkah
alternatif sebagai upaya mengatasi hambatan dari aspek yuridis, aspek
sosiologis maupun aspek teknis yang muncul.
Untuk lebih sistematis dan agar mudah dipahami, maka upaya yang
dilakukan Pemerintah Kota Tangerang dalam mengatasi hambatan dalam
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kota Tangerang.
40https://tangerangkota.kemenag.go.id/seminar-kerukunan-umat-beragama-pada-kantor-
kemenag-kota-tangerang/. Diakses pada 20 Mei 2018.
56
Banyak masyarakat Kota Tangerang yang belum melihat dan
memahami Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri DalamNegeri
Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 secara menyeluruh sering
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Hal ini dapatdilihat dari
beberapa aksi penutupan rumah ibadah yang dicurigai tanpa ijin (ilegal) oleh
masyarakat yang mana masyarakat hanya menggunakan aturan dalam
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 secara sepotong-sepotong. Sehingga
sering menimbulkan permasalahan di dalam masyarakat itu sendiri.41
Upaya untuk mengatasi permasalahan ketidakpahaman dan
ketidaktahuan masyarakat akan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006, maka
Pemerintah Kota Tangerang bersama-sama Departemen Agama dan Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) terus melakukan sosialisasi dan
pemahaman dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006. Sosialisasi dan
pemahaman yang dilakukan antara lain :
a. Oleh Pemerintah Kota Tangerang
Dalam melakukan sosialisasi dan pemahaman akanPeraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006, Pemerintah Kota Tangerang
menggunakan struktur birokrasi pemerintahannya yaitu melalui
camat dan lurah. Setelah dibina dan diberikanpengarahan oleh
Walikota Kota Tangerang, maka seluruh camat dan lurah yang ada
di wilayah Kota Tangerang wajib mensosialisasikan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 kepada masyarakat di wilayah
tugasnya.
41Hsail Wawancara dengan Ahmad Dimyati, S.IP. (KASI Ketahan Bangsa dan Msayarakat
Kesbangpol Kota Tangerang) pada Tanggal 20 Maret 2018
57
b. Oleh Kantor Departemen Agama Kota Tangerang
Kantor Departeman Agama Kota Tangerang dalam melakukan
sosialisasi dan pemahaman akanPeraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8
Tahun 2006 menggunakan berbagai cara antara lain :
1. Sosialisasi melalui pertemuan-pertemuan agama dan kegiatan-
kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti pengajian,
ebaktian, pertemuan P2A dan kegiatan keagamaan yang lain.
2. Sosialisasi melalui ta’mir masjid atau pengelola rumah ibadat
yang lain yang mana ta’mir masjid atau pengelola rumah
ibadat tersebut kemudian dapat mensosialisasikanPeraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 kepada jama’ahnya.
c. Oleh FKUB Kota Tangerang
Upaya yang dilakukan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Tangerang dalam mensosialisasikan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 adalah dengan
menyelenggarakan workshop dan mengundang seluruh perwakilan
unsur agama, pimpinan ormas dan lembaga yang berkaitan dengan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 sehingga hasil dari
workshop dapat disosialisasikan kepada jama’ah atau pengikutnya.
3. Kegiatan Lintas Agama Masayrakat Kota Tangerang
Pemerintah Kota Tangerang memprogramkan sebuah kegiatan lintas
umat agama, seperti pentas budaya, pentas olah raga, pegelaran kebudayaan
dan lain sebagainya.Hal ini guna mempererat kerukunan umat beragama di
Kota Tangerang. Program ini dapat terwujud salah satunya melalui
58
partisipasi generasi muda yang dapat menjadi pelopor dalam harmonisnya
kehidupan beragama.
Kerukunan umat beragama merupakan sebuah kondisi yang terus
diperjuangkan tat kala kita menginginkan Kota Tangerang menjadi kota yang
senantiasa memberikan kedamaian bagi seluruh warganya. Untuk itu maka
diperlukan sebuah sikap tulus, sehingga kerukunan yang terjadi bukanlah
kerukunan “pasif” yaitu kerukunan yang hanya pada tataran konsep dan
sesuatu yang “hanya di bibir saja”, tetapi kerukunan yang dinamis, yakni
kerukunan yang menghendaki seluruh umat beragama mampu memberikan
kontribusi nyata dalam membangun kerukunan. Dengan demikian kerukunan
yang kita bangun diharapkan dapat menghasilkan karya-karya nyata, mampu
memadu sebuah jalinan kerjasama dalam menjawabi berbagai tantangan
zaman. Sudah menjadi sebuah keniscayaan jika kerukunan yang dibangun di
atas nilai-nilai ketulusan dan keikhlasan itu keluar dari lubuk hati yang dalam
dan bukan merupakan sebuah paksaan.
Salah satu program yang sudah terlaksana oleh Pemerintah Kota
Tangerang adalah Kegiatan Gerak Jalan Santai Bersama yang dilaksanakan
pada 31 Desember 2017. Guna menjaga kerukunan antar umat beragama di
Kota Tangerang, Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang melaksanakan
Gerak Jalan Santai di Plasa Pusat Pemerintahan Kota (Puspem) Tangerang.
Hadir dalam acara tersebut Wali Kota Tangerang Arief R.
Wismansyah didampingi Wakil Wali Kota Sachrudin dan Sekretaris Daerah
Dadi Budaeri. Dalam sambutannya Wali Kota berpesan agar heterogenitas
masyarakat Kota Tangerang bisa menjadi modal utama dalam mewujudkan
Kota Tangerang yang maju dan dinamis dalam bingkai Akhlakul Karimah.
“Mudah-mudahan kegiatan ini bisa semakin mempersatukan
masyarakat Kota Tangerang yang heterogen,” ujarnya dihadapan para
peserta Gerak Jalan Santai yang bertema Lebih Dekat Melayani Umat. Dalam
acara yang juga diikuti oleh berbagai unsur lintas agama seperti Forum
59
Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Wali Kota juga berpesan agar setiap
perbedaan bisa disikapi secara bijak demi kepentingan Negara dan Bangsa.
Hal senada juga disampaikan Wali Kota saat menghadiri acara
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Majelis Dzikir Darussegaf di
Gedung Da’wah Kota Tangerang. Dikatakannya ditengah masyarakat Kota
Tangerang yang heterogen sudah sepatutnya kita bisa terus menjalin
silaturahmi kekeluargaan dan persatuan serta kesatuan umat.
Wali Kota juga mengingatkan potensi kerawanan sosial dan gangguan
keamanan dan konflik keagamaan yang muncul di tengah masyarakat yang
heterogen. Namun demikian hal tersebut bisa dicegah bila masyarakat tidak
gampang terprovokasi oleh isu yang menggangu kerukunan masyarakat.
Selain mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah terpecah belah, Wali
Kota juga meminta masyarakat untuk bisa bahu-membahu menjaga
keamanan, kerukunan umat dan ketertiban di lingkungan masing-masing
sebagaimana yang Rasulullah contohkan.42
42https://tangerangkota.go.id/wali-kota-serukan-persatuan-dan-kesatuan-umat. Diakses pada 20
Mei 2018.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Toleransi agama di Kota Tangerang yang dihuni oleh penganut agama
yang beragam, wilayah Kota Tangerang juga tidak sepi dari problem yang
menyertainya. Sejauh ini, merujuk pada catatan pihak kepolisian Resort
Kota Tangerang, kasus-kasus yang muncul terkait hubungan antarumat
beragama di Kota Tangerang yang paling sering timbul ke permukaan
adalah di sekitar pendirian rumah ibadah, atau penggunaan bangunan
tertentu untuk beribadah.
2. Upaya Pemerintah Kota Tangerang dalam menjaga kerukunan antar umat
beragama yaitu dengan :
a) membuat beberapa organisasi atau forum forum seperti: Melakukan
koordinasi dengan FKUB (Forum Kesatuan Umat Beragama) untuk
menciptakan masyarakat yang toleran.
b) Membuat Forum Pemuda Lintas Agama (FPLA) dimana ini menjadi
sarana bagi anak muda di Kota Tangerang agar bisa hidup saling
berdampingan dan toleran.
c) Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK) dimana forum ini bertujuan
untuk menyatukan berbagai etnis dan kebudayaan yang ada di kota
tangerang.
d) Forum Kewaspadaan Dini (FKD) dimana ini bersifat seperti intelejen
yang melaporkan sesegera mungkin jika terjadi gesekan keagamaan
di masyarakat.
Selain itu Pemerintah Kota Tangerang dalam upayanya menjaga dan
memlihara kerukunan antar umat beragama juga mengadakan kegiatan-
kegiatan lintas agama, serta melakukan seminar atau dialog lintas agama
dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, kemudian
61
mensosialisakikan kepada seluruh masayarakat Kota Tangerang tentang
Peraturan Bersama Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006, dan mengadakan
program kegiatan lintas agama pada masyarakat di Kota Tangerang.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka saran dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Agar Pemerintah Kota Tangerang untuk lebih mensosialisasikan peraturan
perundangan yang berlaku dengan cara melakukan penyuluhan di tiap daerah
dan kecamatan agar tidak terjadi konflik antar agama sehingga tercipta suatu
kehidupan masyarakat yang harmonis.
2. Harus lebih baik lagi dalam mengkoordinasikan para tokoh agama, tokoh
masyarakat, Lurah, Polsek, Koramil, ketua lingkungan, Bhabinkamtibmas dan
ketua RT khususnya dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
3. Upaya yang perlu dilakukan ke depan dalam rangka menyelesaikan konflik
intern dan antar umat beragama di Kota Tangerang berupa:
a. Lebih memberdayakan FKUB untuk menyelesaikan segala masalah
konflik antar umat beragama di Kota Tangerang.
b. Penegakan hukum secara lebih tegas dan cepat sehingga konflik tidak
meluas.
4. Upaya yang perlu dilakukan ke depan dalam rangka menjaga kerukunan umat
beragama adalah:
a. Mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita
untuk meretas rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya
dengan proses “mengingat” dan “melupakan” masa lalu. Sehingga,
untuk membangun saling percaya antar komunitas agama diperlukan
kehendak untuk 'melupakan' hubungan-hubungan yang buruk
(pertikaian) di masa lalu dan bahkan bersedia untuk meminta maaf
atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah.
62
b. Komunitas agama-agama perlu membangun gerakan alternatif yang
didasarkan pada semangat perdamaian dan anti kekerasan dengan
dimotori oleh FKUB. Mutual trust akan bisa terbangun apabila terjadi
dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang berbagai
isu yang dianggap sensistif. Dalam Dialog Emansipatoris, lebih
didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak
dipenuhi oleh apa yang sering disebut dengan prasangka dan
stereotype.
c. Komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi masalah-
masalah kemanusiaan dan kemiskinan yang harus dihadapi dan
diselesaikan.
63
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku Achmad Syahid, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Departemen
Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003.
Dinamika Kerukunan Hidup Beragama di Daerah, Laporan Observasi, Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) Republik Indonesia, 1979-1980.
Departemen Agama RI, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1979), hal. 14-15. Pasal 4 (2) ICCPR menyebutkan: No derogation from articles 6,7,8(paragraphs 1and 2), 11, 15, 16 1nd 18 may be made under this provision. Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights.
Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigation: A comprehensive guide to the investigation and documentation of violent human rights abuses, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001
Dadang Rahmat, Metode Penelitian Agama, (Bandung:CV. Pustaka Setia,2000). Ismatu Ropi, Pluralisme, Negara, dan Regulasi Agama, dalam Mimbar Jurnal
Agama & Budaya, Vol. 24, No. 3, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Lerner, Natan. "The Nature and Minimum Standards of Freedom of Religionor Belieif."Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook,ed. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib-Lie.Norway, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.pasal 29 ayat (2) UUD 1945
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Pedoman Pelaksanaan Tugas Kpeada Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan umat Beragama dan Pendirian Rumah Adat Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomer 8 Tahun 2006,
Said Agil Husin, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Perss, 2003) Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,1998).
64
Theodorson, George A. and Theodorson, Achilles G., A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1970:344.
B. Sumber Lain Masykuri Abdillah,Kolom Toleransi Antar Umat Beragama, Koran Kompas, Sabtu,
24 Januari 2015. Dinamika Kerukunan Hidup Beragama di Daerah, Laporan Observasi, Departemen
Agama (sekarang Kementerian Agama) Republik Indonesia, 1979-1980
C. Sumber Internet
Profil Kota tangerang. Diakses pada tanggal 20 Maret 2018. https://tangerangkota.go.id/profil-kota-tangerang.
Meningkatkan kerukunan antar umat bergama. Diakses Tanggal 20 Maret 2018. https://banten2.kemenag.go.id/berita/421080/kemenag-kota-tangerang-meningkatkan-kualitas-kerukunan-antar-umat-beragama?lang=id.
Peran FKUB di Kota Tangerang. Diakses pada tanggal 20 Maret 2018. https://tangerangkota.go.id/wakil-apresiasi-peran-fkub-di-kota-tangerang.
Regulasi penggunaan pengeras suara. Diakses pada 20 Maret 2018.
https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ini-dia-aturan-bimas-islam-tentang-penggunaan-pengeras-suara-di-masjid.
D. Wawancara
Hasil wawancara dengan Achmad Dimyati, S.IP. (KASI Ketahanan Bangsa dan Masyarakat Kesbangpol Kota Tangerang). Pada tanggal 20 Maret 2018.