universitas indonesia laporan praktek kerja...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI BUSINESS DEVELOPMENT PT. DEXA MEDICA
TITAN CENTER
JALAN BOULEVARD BINTARO BLOK B7/B1 NO.05
BINTARO JAYA SEKTOR 7
TANGERANG
PERIODE 2 APRIL - 5 JUNI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
YULIANA, S.Farm.
1106047511
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER-DEPARTEMEN FARMASI
DEPOK
JUNI 2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
i
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI BUSINESS DEVELOPMENT PT. DEXA MEDICA
TITAN CENTER
JALAN BOULEVARD BINTARO BLOK B7/B1 NO.05
BINTARO JAYA SEKTOR 7
TANGERANG
PERIODE 2 APRIL - 5 JUNI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker
YULIANA, S.Farm.
1106047511
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER-DEPARTEMEN FARMASI
DEPOK
JUNI 2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat melaksanakan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Dexa Medica pada periode 2 April-1 Juni
2012 dan menyelesaikan laporan ini. Kegiatan PKPA dilaksanakan dengan tujuan
meningkatkan pemahaman dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama
perkuliahan dalam dunia pekerjaan.
Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi Program Profesi Apoteker dan memperoleh gelar Apoteker Program Studi
Profesi Apoteker - Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Penulisan laporan ini tidak terlepas
dari bimbingan, arahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Raymond R. Tjandrawinata, Ph.D., MBA., selaku Director of
Scientific Affairs and Business Development dan Pembimbing yang telah
memberikan kesempatan kepada Penulis untuk dapat melaksanakan PKPA di
Departemen Business Development PT. Dexa Medica dan telah banyak
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan kepada
Penulis.
2. Ibu Helen Corana, S.Si., Apt., MM., selaku Business Development Manager
dan Pebyani S. Farm, Apt., selaku Business Development Senior Officer atas
kesempatan yang diberikan untuk dapat melaksanakan PKPA di Departemen
Business Development PT. Dexa Medica dan telah banyak meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan kepada Penulis.
3. Ibu Gloria S. Haslim, selaku Leader Dharma Dexa dan Ibu Gwendoline Desi
Pranatalia selaku Manager Dharma Dexa yang sudah memberikan kesempatan
dan membantu Penulis dalam pelaksanaan teknis PKPA di PT. Dexa Medica
4. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, Apt., MS., selaku Ketua Departemen Farmasi
FMIPA UI.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
iv
5. Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker dan pembimbing
PKPA dari Departemen Farmasi FMIPA UI yang telah banyak memberikan
bantuan, bimbingan, dan masukkan kepada penulis.
6. Seluruh staf dan karyawan Departemen Business Development PT. Dexa
Medica yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala keramahan dan
bantuan selama penulis melaksanakan PKPA.
7. Seluruh staf pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Departemen
Farmasi FMIPA UI atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
8. Keluarga tercinta, Yulia Setia dan Erik Lius atas semua dukungan, kasih
sayang, perhatian, kesabaran, semangat dan doa yang tidak henti-hentinya.
9. Teman-teman Apoteker Angkatan 74 D epartemen Farmasi FMIPA UI atas
dukungan dan kerja sama selama ini.
10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama
penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan PKPA ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan laporan PKPA ini. Semoga laporan PKPA ini dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi khususnya
dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
BAB 1 . PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................ 3
BAB 2. TINJAUAN UMUM ............................................................... 4
2.1 Industri Farmasi .................................................................. 4
2.2 Persyaratan Usaha Industri Farmasi.................................... 4
2.3 Perizinan Pendirian Industri Farmasi .................................. 4
2.4 Cara Pembuatan Obat yang Baik ........................................ 8
2.5 Pendaftaran Obat Jadi ......................................................... 16
BAB 3. TINJAUAN KHUSUS ............................................................. 20
3.1 PT. Dexa Medica ................................................................ 20
3.2 Visi dan Misi PT. Dexa Medica .......................................... 21
3.3 Logo PT. Dexa Medica ....................................................... 22
3.4 Produk PT. Dexa Medica .................................................... 22
3.5 Struktur Organisasi PT. Dexa Medica ................................ 23
3.6 Departemen Business Development PT. Dexa Medica ....... 23
3.7 Pengembangan Produk Obat Baru PT. Dexa Medica ......... 24
BAB 4. PEMBAHASAN ....................................................................... 25
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 30
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 30
5.2 Saran .................................................................................. 30
DAFTAR ACUAN ................................................................................. 32
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri farmasi merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang
memegang peranan penting dalam pengadaan obat yang bermutu. Konsistensi
pemenuhan mutu obat yang dihasilkan oleh industri farmasi wajib menerapkan
pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), baik industri pemilik modal
dalam negeri maupun pemilik modal asing.
Perkembangan industri farmasi di Indonesia berjalan dengan sangat cepat.
Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak
merupakan pasar farmasi yang sangat menjanjikan. Untuk itu sangat besar
peranan yang dapat diambil oleh industri farmasi dalam membantu pemerintah
untuk mewujudkan kesehatan masyarakat melalui penyediaan obat yang
dibutuhkan di sarana pelayanan kesehatan. Seiring dengan perubahan pola hidup
masyarakat modern, pola penyakit juga mengalami perubahan. Selain itu pesatnya
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang juga memberi dampak yang
cukup besar bagi semua perubahan, khususnya perubahaan di bidang industri
farmasi (Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012).
Pada kenyataan, tidak banyak industri farmasi yang mampu menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi bahkan untuk melesat mencapai puncak
keberhasilan ditengah kondisi seperti ini. Hanya industri farmasi yang memiliki
komitmen yang kuat dalam mengabdi bagi kemajuan kesehatan, memiliki strategi
perusahaan yang baik dan memanfaatkan peluang yang ada serta berusaha untuk
mengembangkan perusahaannya yang dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan perjalanan bisnis industri farmasinya. Salah satu perusahaan
industri farmasi di Indonesia yang tidak diragukan lagi komitmen dan perjalanan
usaha industri farmasinya adalah PT. Dexa Medica yang berdiri sejak tahun 1969
di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. PT. Dexa Medica merupakan
salah satu industri farmasi yang sangat tanggap akan perubahan dan berusaha
menjadi yang terdepan dalam hal pemenuhan kebutuhan di bidang farmasi. Hal ini
dapat dilihat dari prestasi yang telah dicapai oleh PT. Dexa Medica sampai saat ini.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Pada tahun 1993, PT. Dexa Medica berada pada posisi ke-25 di antara 160
perusahaan farmasi (40 perusahan asing, 4 BUMN dan 116 swasta nasional).
Kemudian dalam jangka waktu 5 tahun, di tahun 1998 PT. Dexa Medica masuk
dalam urutan 10 besar. Tahun 2001, Dexa naik peringkat menjadi urutan 5 besar
produsen farmasi dan obat-obat ethical. PT. Dexa Medica mencatat pertumbuhan
bisnis yang sangat signifikan yaitu 25-30% per tahun, jauh di atas angka
pertumbuhan industri farmasi dan obat-obatan yang hanya 15% (SWA Digital,
2004). PT. Dexa Medica sukses merambah pasar internasional. Selain menguasai
pasar dalam negeri dan menjadi lima besar di Indonesia dalam 10 tahun terakhir
ini, PT. Dexa Medica juga eksis di pasar global di tujuh negara dan Dexa Medica
terus mempersiapkan diri menjelang pasar perdagangan bebas AFTA tahun 2015
(Kompas, 2011a; Kompas, 2011b).
PT. Dexa Medica memiliki dedikasi tinggi dalam perkembangan di bidang
obat yang dapat dilihat dari setiap prestasi yang telah dicapai selama perjalanan
karirnya di bidang industri farmasi. Perkembangan ini sangat didukung dengan
adanya ide-ide pengembangan baru terhadap produk-produk obat sehingga dapat
senantiasa memenuhi kebutuhan masyarakat. Apoteker sebagai salah satu tenaga
profesional yang berkaitan erat dengan produk obat memiliki peran yang sangat
penting dalam pengembangan obat baru yang berkualitas, aman dan terjangkau.
Hal ini akan memberikan manfaat dalam meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat di samping industri farmasi juga akan mendapatkan
keuntungan dalam kemajuan bisnisnya.
Peran apoteker yang sangat potensial dalam industri farmasi terutama
dalam hal pengembangan produk obat mendorong Program Profesi Apoteker,
Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia bekerja sama untuk menyelenggarakan Program Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Dexa Medica pada Departemen Business
Development yang berlokasi di Kantor Pusat PT. Dexa Medica Group, Titan
Center, Jalan Boulevard Bintaro Blok B7/B1 nomor 5, Bintaro Jaya Sektor 7,
Tangerang. Diharapkan calon apoteker dapat lebih mengenal, memahami dan
memperoleh gambaran tentang aktivitas dan pekerjaan di industri farmasi
khususnya di bidang Business Development.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
3
Universitas Indonesia
1.2 Tujuan
Mengetahui peran dan tanggung jawab apoteker di industri farmasi, serta
mengamati dan memahami aktivitas kerja sehari-hari di industri farmasi,
khususnya di Departemen Business Development PT. Dexa Medica.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
4 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM
2.1 Industri Farmasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi, yang dimaksud dengan
Indusri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan
untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat
adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi
pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan
mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan.
2.2 Persyaratan Usaha Industri Farmasi
Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk semua tahapan dan/atau sebagian tahapan. Setiap
pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur
Jenderal. Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk
dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi
narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi terdiri atas:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
2.3 Perizinan Pendirian Industri Farmasi (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010 )
Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip.
Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
5
Universitas Indonesia
Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal setelah pemohon
memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah permohonan prinsip diberikan,
pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan,
pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan.
Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB yang berlaku 5 (lima)
tahun sepanjang masih memenuhi peryaratan.
Industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans yaitu seluruh kegiatan
tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek
samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Jika dalam
melakukan farmakovigilans, industri farmasi menemukan obat dan/atau bahan
obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal
tersebut kepada Kepala BPOM.
Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Sebelum pengajuan permohonan persetujuan
prinsip, pemohon wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) kepada Kepala BPOM. Persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala BPOM paling lama dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan persetujuan prinsip diterima.
Permohonan persetujuan prinsip diajukan dengan kelengkapan sebagai
berikut:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan
c. susunan direksi dan komisaris
d. pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi
e. fotokopi sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
6
Universitas Indonesia
f. fotokopi Surat Izin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan
(HO)
g. fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan
h. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan
i. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak
j. persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi
k. persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala BPOM
l. rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
m. asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing–masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu,
dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
n. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan.
Persetujuan prinsip diberikan atau ditolak oleh Direktur Jenderal paling
lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan persetujuan
prinsip diterima. Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga) tahun.
Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip dapat
mengajukan permohonan izin industri farmasi. Surat permohonan izin industri
farmasi harus ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi
b. daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan
c. jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya
d. fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan /Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
e. rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi
f. rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala BPOM
g. daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
7
Universitas Indonesia
h. asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu,
dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
i. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan
j. fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masing-
masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
k. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau
tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Permohonan izin industri farmasi diajukan kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
setempat. Dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
diterimanya tembusan permohonan maka Kepala BPOM akan melakukan audit
pemenuhan persyaratan CPOB. Dalam juga jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan izin industri famasi,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan
administratif. Kemudian paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak
dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB, Kepala BPOM mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon. Paling lama
dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan
persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan pemohon. Selanjutnya paling lama
dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima rekomendasi baik dari
Kepala BPOM maupun Dinas Kesehatan Propinsi serta persyaratan lainnya maka
Direktur Jenderal menerbitkan izin industri farmasi.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
8
Universitas Indonesia
2.4 Cara Pembuatan Obat yang Baik (Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, 2006)
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertlujuan untuk menjamin
obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan
sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi
dan pengendalian mutu. Dalam Pedoman CPOB tahun 2006, terdapat dua belas
aspek yang harus dipenuhi dalam penerapan CPOB, yaitu manajemen mutu,
personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi,
pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap
produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi,
pembuatan dan analisa berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi (BPOM,
2006).
2.4.1 Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai
dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak
efektif. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui
suatu “Kebijakan Mutu", yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari
semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan
para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat
diandalkan, diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan
diterapkan secara benar.
Unsur dasar manajemen mutu adalah suatu infrastruktur atau sistem mutu
yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya dan
tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan
akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan
tersebut disebut pemastian mutu. Semua bagian sistem hendaklah didukung
dengan tersedianya personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan
yang cukup dan memadai.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
9
Universitas Indonesia
Pemastian Mutu, CPOB dan Pengawasan Mutu merupakan aspek
manajemen mutu yang saling terkait. Pemastian Mutu adalah totalitas semua
pengaturan yang dibuat, dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan
dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaianya. CPOB adalah bagian dari
Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara
konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan
dan yang dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi mutu. Sedangkan
Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan
pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi,
dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang
diperlukan dan relevan telah dilakukan dan bahwa bahan yang belum diluluskan
tidak digunakan serta produk yang belum diluluskan tidak dijual atau dipasok
sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi syarat.
Pengkajian mutu produk merupakan unsur yang juga terkandung di dalam
manajemen mutu. Pengkajian mutu produk secara berkala hendaklah dilakukan
terhadap semua obat dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses,
kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi, untuk
melihat tren (kecenderungan) dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan
untuk produk dan proses.
2.4.2 Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan
sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh
sebab itu, industri farmasi bertanggungjawab untuk menyediakan personil yang
terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap
personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat.
Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB dan memperoleh pelatihan
awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan
dengan pekerjaan. Dalam industri farmasi terdapat personil kunci yang mencakup
kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian
Pemastian Mutu. Kepala produksi, pengawasan mutu, dan manajemen mutu
hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi serta memiliki
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
10
Universitas Indonesia
pengalaman praktis. Industri farmasi hendaklah memberikan pelatihan sesuai
dengan tugas yang diberikan dan berkesinambungan bagi seluruh personil yang
karena tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau
laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan) dan
bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk serta
dilakukan penilaian secara berkala efektifitas penerapannya.
2.4.3 Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain,
konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat
dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan
desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadinya
kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, dan memudahkan pembersihan,
sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang,
penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu
obat.
Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa untuk menghindari
pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, dikonstruksi, dilengkapi, dan dirawat
dengan tepat agar memperoleh perlindungan maksimal. Seluruh bangunan dan
fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area penyimpanan, koridor dan
lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dirawat dalam kondisi bersih dan rapi.
Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki di mana
perlu. Perbaikan dan perawatan bangunan dan fasilitas hendaklah dilakukan hati-
hati agar kegiatan tersebut tidak mempengaruhi mutu.
2.4.4 Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi
yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan
tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan
untuk memudahkan pembersihan serta perawatan.
Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara
atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorbsi yang
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
11
Universitas Indonesia
dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian. Peralatan hendaklah
ditempatkan sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
pencemaran silang antarbahan di area yang sama. Peralatan hendaklah dipasang
sedemikian rupa untuk menghindari resiko kekeliruan atau pencemaran dan
hendaklah dirawat sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau pencemaran
yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian produk.
2.4.5 Sanitasi dan Higiene
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil,
bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya dan
segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber
pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan
higiene yang menyeluruh dan terpadu.
Setiap personil yang masuk area pembuatan hendaklah mengenakan
pakaian pelindung yang sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan, yang berlaku
untuk semua karyawan yang berada di area pabrik. Bangunan yang digunakan
untuk pembuatan obat hendaklah didesain dan dikonstruksi dengan tepat untuk
memudahkan sanitasi yang baik. Bangunan harus dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memadai untuk mendukung dan memudahkan penerapan sanitasi
dan higiene di lingkungan pabrik, seperti jumlah toilet, ventilasi, tempat cuci,
tempat penyimpanan pakaian dan lain-lain.
Prosedur tertulis hendaklah tersedia yang menunjukkan penanggung jawab
untuk sanitasi serta menguraikan dengan cukup rinci mengenai jadwal, metode,
peralatan dan bahan pambersih yang harus digunakan untuk pembersihan sarana
dan bangunan. Prosedur tertulis terkait hendaklah dipatuhi. Prosedur pembersihan,
sanitasi dan higiene hendaklah divalidasi dan dievaluasi secara berkala untuk
memastikan efektivitas prosedur memenuhi persyaratan.
2.4.6 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
12
Universitas Indonesia
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi
ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Produksi hendaklah dilakukan
dan diawasi oleh personil yang kompeten. Penanganan bahan awal, produk antara,
produk ruahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan
sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengelolahan, pengemasan dan
distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau instruksi tertulis dan
bila perlu dicatat. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat
mungkin dihindarkan. Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ada
persetujuan tertulis dari kepala bagian pemastian mutu dan bila perlu melibatkan
bagian pengawasan mutu.
Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui
dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Pengolahan bahan awal hendaklah dicatat
mengenai pasokan nomor bets atau lot, tanggal penerimaan, atau penyerahan,
tanggal pelulusan, dan tanggal kadalursa. Bahan awal harus memenuhi spesifikasi
sebelum diluluskan. Sampel bahan awal hendaklah diuji pemenuhannya terhadap
spesifikasi. Hendaklah tersedia sistem yang menjelaskan secara rinci penomoran
bets dan lot dengan tujuan untuk memastikan bahwa tiap bets atau lot produk
antara, produk ruahan dan produk jadi dapat diidentifikasi.
Studi validasi hendaklah memperkuat pelaksanaan CPOB dan dilakukan
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hasil validasi dan kesimpulan
hendaklah dicatat. Perubahan yang berarti dalam proses, peralatan atau bahan
hendaklah disertai dengan tindakan validasi ulang untuk menjamin bahwa
perubahan tersebut akan tetap menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan
mutu.
Pencemaran bahan awal atau produk oleh bahan atau produk lain harus
dihindarkan. Tiap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba dan pencemaran lain.
2.4.7 Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan
Obat yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
13
Universitas Indonesia
komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan
keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai
kepada distribusi produk jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan
laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan
mutu produk. Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal
yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatannya dengan
memuaskan. Pengawasan Mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitis
yang dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan
pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini
mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang
dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan
memperbaharui spesifikasi bahan dan produk serta metode pengujiannya.
2.4.8 Inspeksi Diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek
produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Program inspeksi diri hendaklah dirancang
untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan
tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara
independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan. Inspeksi diri
hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya dalam hal
terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua
saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan
inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang
efektif.
Inspeksi diri dapat dilakukan per bagian sesuai dengan kebutuhan
perusahan, namun inspeksi diri yang menyeluruh hendaklah dilakukan minimal 1
(satu) kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam
prosedur tetap inspeksi diri. Laporan hendaklah dibuat setelah inspeksi diri selesai
dilaksanakan dan dilakukan evaluasi terhadap laporan inspeksi diri serta tindakan
perbaikan.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
14
Universitas Indonesia
Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri.
Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem
manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu
dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk
khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. Audit mutu juga dapat diperluas
terhadap pemasok dan penerima kontrak.
2.4.9 Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan
Produk Kembalian
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan
terjadi kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur
tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu
sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga
cacat dari peredaran secara cepat dan efektif. Penarikan kembali produk adalah
suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets
produk tertentu dari peredaran dilakukan. Penarikan kembali produk dilakukan
apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi
merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan. Penarikan kembali
produk dari peredaran dan dapat mengakibatkan penundaan atau penghentian
pembuatan obat tersebut.
Penanganan terhadap keluhan dan penarikan kembali haruslah ditunjuk
personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan dan memutuskan
tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang memadai untuk membantunya.
Penanganan terhadap keluhan dan penarikan kembali hendaklah tersedianya
prosedur tertulis yang merinci penyelidikan, evaluasi, tindak lanjut yang sesuai,
termasuk pertimbangan untuk penarikan kembali produk, dalam menanggapi
keluhan terhadap obat yang diduga cacat.
Industri farmasi hendaklah menyiapkan prosedur untuk penahanan,
penyelidikan, dan pengujian produk kembalian serta pengambilan keputusan
apakah produk kembalian dapat diproses ulang atau harus dimusnahkan setelah
dilakukan evaluasi secara kritis. Produk kembalian yang tidak dapat diolah
kembali hendaklah dimusnahkan. Penanganan produk kembalian dan tindak
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
15
Universitas Indonesia
lanjutnya hendaklah didokumentasikan dan dilaporkan. Bila produk harus
dimusnahkan, dokumentasi hendaklah mencakup berita acara pemusnahan yang
diberi tanggal dan ditandatangani oleh personil yang melaksanakan dan
menyaksikan pemusnahan.
2.4.10 Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan
dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu.
Dokumentasi yang jelas bertujuan untuk memastikan bahwa setiap personil
menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil
risiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya
mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, dokumen produksi induk atau
formula pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus
bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.
2.4.11 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,
disetujui, dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara
jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak
harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk
diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen mutu
(pemastian mutu).
2.4.12 Kualifikasi dan Validasi
Cara pembuatan obat yang baik (CPOB) mensyaratkan industri farmasi
untuk mengidentifikasi validasi yang perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian
terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap
fasilitas, peralatan dan proses yang dapat memperngaruhi mutu produk hendaklah
divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk
menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
16
Universitas Indonesia
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program
validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasi di dalam Rencana
Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen
yang singkat, tepat, dan jelas. Protokol validasi tertulis hendaklah dibuat untuk
merinci kualifikasi dan validasi yang akan dilakukan. Protokol hendaklah dikaji
dan disetujui oleh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu).
Kualifikasi mencakup kualifikasi desain, kualifikasi instalasi, kualifikasi
operasional, kualifikasi kinerja, kualifikasi fasilitas, peralatan dan sistem
terpasang yang telah operasional. Validasi proses dapat berupa validasi prospektif
dimana validasi proses dilakukan sebelum produk dipasarkan, validasi konkuren
untuk produk yang sudah rutin diproduksi dan validasi retrospektif yaitu validasi
proses yang sudah berjalan. Selain validasi proses, ada pula validasi pembersihan,
validasi ulang dan validasi metode analisis.
2.5 Pendaftaran Obat Jadi (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, 2011).
Dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat, maka perlu dilakukan
pengawasan melalui mekanisme pendaftaran obat jadi yang dibagi menjadi 2
tahap, yaitu tahap pra-registrasi dan registrasi (BPOM RI, 2011).
2.5.1 Pra-registrasi
Pra-registrasi adalah prosedur registrasi yang dilakukan untuk penapisam
registrasi obat, penentuan kategori registrasi, penentuan jalur evaluasi , penentuan
biaya evaluasi, dan penentuan dokumen registrasi obat. Permohonan pra-registrasi
dan registrasi diajukan oleh Pendaftar secara tertulis kepada Kepala BPOM
dilampiri dengan dokumen pra-registrasi atau dokumen registrasi. Dokumen
registrasi disusun sesuai dengan format ASEAN Common Techical Dossier
(ACTD). Permohonan pra-registrasi dan registrasi dikenakan biaya sebagai
penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pengajuan pra-registrasi dan registrasi diajukan secara elektronik.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
17
Universitas Indonesia
2.5.2 Kategori Registrasi Obat
Kategori registrasi obat terdiri dari registrasi baru, registrasi variasi, dan
registrasi ulang. Registrasi baru terdiri atas :
a. Kategori 1
Kategori 1 adalah registrasi obat baru dan produk biologi, termasuk Produk
Biologi Sejenis (PBS)/Similar Biotherapeutic Product (SBP).
b. Kategori 2
Kategori 2 adalah registrasi Obat Copy.
c. Kategori 3
Kategori 3 adalah registrasi sediaan lain yang mengandung obat.
Registrasi variasi terdiri atas :
d. Kategori 4
Kategori 4 adalah registrasi variasi major (VaMa).
e. Kategori 5
Kategori 5 adalah registrasi variasi minor yang memerlukan persetujuan
(VaMi-B)
f. Kategori 6
Kategori 6 adalah registrasi variasi minor dengan notifikasi (VaMi-A).
Registrasi ulang yaitu :
a. Kategori 7
Kategori 7 adalah registrasi ulang.
2.5.2 Registrasi
Registrasi obat adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk
mendapat ijin edar. Obat yang diregistrasikan dapat berupa obat produksi dalam
negeri atau obat impor. Obat produksi dalam negeri dapat berupa produksi sendiri,
produksi berdasarkan lisensi atau produksi berdasarkan kontrak. Obat produksi
dalam negeri dapat diedarkan di dalam negeri dan/atau untuk keperluan ekspor.
Obat impor dapat berupa bentuk ruahan atau dalam bentuk produk jadi. Obat
impor dapat diedarkan di dalam negeri dan/atau untuk keperluan ekspor.
Nama obat yang diregistrasi dapat menggunakan nama generik atau nama
dagang. Nama generik merupakan nama sesuai dengan Farmakope Indonesia atau
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
18
Universitas Indonesia
sesuai International Non-proprietary Names (INN) yang ditetapkan oleh World
Health Organization (WHO). Nama dagang berupa nama yang diberikan oleh
Pendaftar untuk identitias obatnya.
2.5.3 Dokumen Registrasi
Dokumen registrasi terdiri atas :
a. Bagian I : Dokumen Administratif, Informasi Produk, dan Penandaan
b. Bagian II : Dokumen Mutu
c. Bagian III : Dokumen Non-klinik
d. Bagian IV : Dokumen Klinik
2.5.4 Lama Hari Kerja Registrasi Obat
a. Jalur 40 (empat puluh) hari meliputi registrasi variasi minor yang memerlukan
persetujuan dan registrasi Obat Khusus Ekspor.
b. Jalur 100 (seratus) hari
Jalur 100 hari kerja meliputi :
1. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang diindikasikan untuk
terapi penyakit serius yang mengancam nyawa manusia (life saving),
dan/atau mudah menular kepada orang lain, dan/atau belum ada atau
kurangnya pilihan terapi yang aman dan efektif.
2. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang berdasarkan justifikasi
diindikasikan untuk penyakit serius dan langka (orphan drug).
3. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi ditujukan untuk program
kesehatan masyarakat.
4. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang telah melalui proses
obat pengembangan baru yang dikembangkan oleh Industri Farmasi atau
instansi riset di Indonesia dan seluruh tahapan uji kliniknya dilakukan di
Indonesia.
5. Registrasi Baru Obat Copy esensial generik yang dilengkapi dengan
dokumen penunjang kebutuhan program atau data pendukung sebagai obat
esensial.
6. Registrasi Baru Obat Copy dengan standar informasi elektronik (Stinel).
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
19
Universitas Indonesia
7. Registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru untuk untuk obat pada
bagian 1, 2, 3, dan 4.
8. Registrasi variasi major yang tidak termasuk pada bagian 7.
c. Jalur 150 (seratus lima puluh ) hari meliputi :
1. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, dan registrasi variasi major
indikasi baru/posologi baru yang telah disetujui di negara yang telah
menerapkan sistem evaluasi terharmonisasi dan di negara dengan sistem
evaluasi yang telah dikenal baik.
2. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, dan registrai variasi major
indikasi baru atau posologi baru yang telah disetujui paling sedikit di 3
(tiga) negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal baik.
3. Registrasi Baru Obat Copy tanpa Stinel.
d. Jalur 300 (tiga ratus) hari meliputi registrasi baru Obat Baru, Produk Biologi,
Produk Biologi Sejenis, atau registrasi variasi major indikasi baru atau
posologi baru yang tidak termasuk dalam jalur evaluasi Jalur 100 hari dan Jalur
150 hari.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
20 Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS
3.1 PT. Dexa Medica
PT. Dexa Medica didirikan pada tahun 1969 di Kota Palembang, Provinsi
Sumatera Selatan, Indonesia. Pada awal berdirinya, tujuan PT. Dexa Medica
hanyalah untuk memasok obat ke Palembang dan sekitarnya.
Dipicu oleh langkanya pasokan jumlah obat, Bapak Rudy Soetikno
seorang apoteker low profile muda yang kemudian menjadi tentara di Palembang,
merasa bahwa dengan latar belakang pendidikan farmasi, ia terpanggil untuk
melakukan sesuatu dalam hal pengobatan. Bersama dengan beberapa teman, ia
mulai memproduksi tablet sederhana di apotek kecil yang merupakan milik
bersama. Hal ini merupakan awal dari perjalanan PT. Dexa Medica.
Seiring dengan waktu, permintaan yang kuat akan obat terus meningkat.
Pada tahun 1975, produk PT. Dexa Medica sudah tersedia di seluruh Sumatera.
Percaya diri pada kemampuan untuk memberikan kualitas yang sangat baik pada
produk-produknya, PT. Dexa Medica kemudian mengambil langkah besar untuk
menembus pasar Jawa melalui Surabaya. Hal ini ternyata menjadi pintu untuk PT.
Dexa Medica memasuki pasar Indonesia. Pada tahun 1978, produk PT. Dexa
Medica mulai didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1984, PT.
Dexa Medica semakin memperkuat posisinya sebagai pemain secara nasional
dengan strategi memindahkan lokasi kantor pemasaran PT. Dexa Medica ke
Jakarta. Sejak tahun 1994, dari tahun ke tahun penjualan lokal PT. Dexa Medica
telah bertumbuh lebih tinggi secara konstan dibandingkan dengan industri farmasi
Indonesia lainnya. Pada tahun 2001, PT. Ferron Par Pharmaceuticals didirikan
untuk memberikan tambahan kapasitas produksi dan pemasaran untuk mendukung
pertumbuhan yang tinggi, dan untuk mengantisipasi persaingan global. PT. Ferron
Par Pharmaceutical memiliki pabrik di Cikarang untuk memproduksi sediaan oral,
semisolid, dan injeksi.
PT. Dexa Medica kini memperkuat tim manajemen yang baik dan tetap
fokus pada bisnis utamanya yaitu memproduksi dan memasarkan produk farmasi
yang berkualitas. PT. Dexa Medica bertujuan untuk mempertahankan posisinya
sebagai pemimpin pasar yang diakui secara nasional. Selain itu, PT. Dexa Medica
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
21
Universitas Indonesia
sudah memesarkan produknya di Negara ASEAN dan akan memantapkan
posisinya sebagai pemain regional.
Perusahaan yang tergabung dalam Dexa Medica Group adalah:
1. PT. Dexa Medica (DXM)
2. PT. Ferron Par Pharmaceuticals (FPP)
3. PT. Anugrah Argon Medica (AAM)
4. PT. Equilab International
5. PT. Djembatan Dua
3.2 Visi dan Misi PT. Dexa Medica
Visi dari PT. Dexa Medica adalah menjadi perusahaan terdepan yang
berbakti dalam menyediakan nilai tambah yang signifikan untuk pelanggan
(customer), mitra kerja dengan selalu bekerja efektif, efisien, berkesinambungan
untuk meraih “health for all”, bagi kesehatan dalam tingkat nasional, regional,
dan global. PT. Dexa Medica memiliki misi yaitu mengembangkan kapasitas di
bidang farmasi dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sistem pelayanan
kesehatan melalui inovasi dan perbaikan yang berkesinambungan, meningkatkan
pangsa pasar, dan mengadakan aliansi strategis.
Setiap karyawan PT. Dexa Medica adalah bagian dari sebuah tim besar
dimana diharapkan untuk menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan nilai-
nilai perusahan dan dasar keyakinan :
1. Striving for Excellence
Komitmen untuk memberikan nilai tambah yang terbaik untuk pelanggan
baik internal maupun eksternal melalui pertumbuhan kepercayaan dan
penerapan standar di setiap waktu.
2. Act Professionally
Selalu menunjukkan dedikasi untuk bekerja pintar dan profesional yang
mengedepankan kejujuran dan integritas.
3. Deal with Care
Kesunggguhan untuk berusaha memahami lebih dulu, menghargai sesama,
dan selalu dapat menghasilkan win-win solution pada seluruh aspek bisnis.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
22
Universitas Indonesia
3.3 Logo PT. Dexa Medica
Nama Dexa berada dari kata “deca” yang berarti 10, angka terbesar dan
sempurna yang merupakan hasil terbaik yang mungkin dicapai. Kata Dexa
Medica menunjukkan identitas dalam dunia medis. Segitiga merupakan bentuk
efektif yang paling efisien yang bisa berdiri dengan kokoh yang melambangkan 3
pilar yaitu Dexa-Distributor-Customer. Huruf d kecil yang berbentuk seperti
benzena yang berada dalam bentuk segitiga berarti deka yang artinya sepuluh dan
gugus benzena yang merupakan inti dari berbagai jenis bahan kimia. Warna
merah melambangkan sifat berani dan bersemangat. Warna putih melambangkan
intinya tetap putih atau pure. Sedangkan tulisan Dexa yang berwarna hitam
menunjukkan kokoh dan tegas. Arti logo secara keseluruhan adalah Dexa Medica
itu berani, kokoh, pure, efektif, efisien, dan bergerak dalam pelayanan kesehatan.
3.4 Produk PT. Dexa Medica
Secara garis besar produk PT. Dexa Medica dibagi menjadi :
3.4.1. Branded Medicine
Contoh produk Branded Medicine PT. Dexa Medica adalah Canderin,
Colergis, Deculin, Dexa-M, Dexazol, Fludexin, Vometa, Galvus, Gluvas, Laktafit,
Movileps, Noperten, Provula, Rhinos SR, Starcef, Stator, Supranasal, Vaclo,
Vastigo, Vectrine, Tranexid Kapsul, Tranexid Tablet Salut Selaput, Cefrin,
Decain, Granon, Fladex, Flamicort, Raivas, Remopain, Tranexid, Tetagam P,
Sedacum, Tramus, Tripenem, Tizos, Voluquin, dan Fladystin.
3.4.2. Obat Generik Berlogo (OGB)
Contoh produk Obat Generik Berlogo (OGB) PT. Dexa Medica adalah,
Bisoprolol, Captopril, Clindamycin, Clobazam, Glimepiride, Gliquidone, Kalium
diklofenak, Meloxicam, Metoclopramide, Ofloxacin, Piracetam Kapsul,
Risperidone, Spiramycin, Simvastatin, dan Tramadol, Ciprofloxacin Infus
Ceftazidime injeksi, Methylprednisolone injeksi, dan Piracetam Injeksi.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
23
Universitas Indonesia
3.4.3. Produk Nutraceutical / Herbal
Contoh produk Nutraceutical / herbal PT. Dexa Medica adalah Diven Plus
Flexor DS, Folamil Genio, Lacidofil, Psidii Sirup/Kapsul, dan Stimuno.
3.4.4. Produk Original Research
Contoh produk Original Research PT. Dexa Medica adalah FreeMe,
Inlacin, dan Disolf.
3.5 Struktur Organisasi PT. Dexa Medica
Dalam struktur organisasi PT. Dexa Medica, departemen-departemen
berada di bawah President Director, dibagi menjadi bagian operasional yang
dipimpin oleh Operational Director dan bagian fungsional yang dipimpin oleh
Functional Director.
Bagian operasional terbagi menjadi Departemen Marketing, Pabrik
(termasuk Departemen Produksi dan Departemen Quality) dan Departemen
Human Resources and Development (HRD). Sedangkan bagian fungsional
termasuk Departemen Business Development, Departemen Regulatory Affairs
(RA), Departemen Medical Affairs, Departemen Purchasing dan Departemen
Research and Development (R&D).
3.6 Departemen Business Development PT. Dexa Medica
Departemen Business Development dipimpin oleh seorang Direktur yang
membawahi Manager Business Development yang bertugas dalam mensupervisi
setiap kegiatan yang dilakukan oleh tim Business Development dalam hal
pengembangan bisnis perusahaan.
Business Development merupakan departemen yang bertanggungjawab
dalam memberikan layanan produk dan bisnis, menganalisis peluang usaha
terhadap produk-produk yang akan dikembangkan yang tepat serta sejalan dengan
kebijakan dan strategi bisnis perusahaan, melakukan kerjasama dengan pihak lain,
dan layanan lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Business
Development merupakan tempat untuk mengolah setiap ide produk baru yang
sekiranya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan dapat bermanfaat
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
24
Universitas Indonesia
bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam menjalankan perannya, Business
Development melakukan market research untuk menganalisis potensi bisnis dan
produk untuk dikembangkan berdasarkan kebutuhan pasar. Business Development
juga melakukan negosiasi dan persetujuan dengan principal baru yang potensial,
baik dalam bentuk lisensi maupun impor produk antara (misalnya bulk) dan
produk jadi. Business Development mengembangkan produk obat sesuai dengan
tren penyakit, pengobatan, tindakan pencegahan, dan gaya hidup (life style) yang
berhubungan dengan bidang kesehatan dan farmasi.
3.7 Pengembangan Produk Obat Baru PT. Dexa Medica
PT. Dexa Medica bertujuan untuk mempertahankan posisinya sebagai
pemimpin pasar yang diakui secara nasional dan memantapkan posisinya sebagai
pemain regional. Untuk mencapai tujuan ini maka PT. Dexa Medica terus
melakukan pengembangan produk-produk obat untuk dapat bersaing dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk-produk obat yang berkualitas.
Obat baru atau obat jadi baru adalah obat dengan zat aktif atau komposisi
atau bentuk sediaan/cara pemberian atau indikasi atau posologi baru yang belum
pernah disetujui di Indonesia. Penapisan awal terhadap ide pengembangan produk
obat baru adalah dengan mempertimbangkan aspek-aspek antara lain :
1. Potensi dan tren pasar
2. Profil produk
3. Dukungan ilmiah atau literatur
4. Persyaratan registrasi
5. Legal (paten)
Pengembangan produk membutuhkan ide yang kreatif dan inovatif agar
dapat menghasilkan produk baru dengan kualitas yang baik untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat atau produk dengan kualitas yang lebih baik daripada
produk sebelumnya.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
25 Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
PT. Dexa Medica berdiri sejak tahun 1969 di Kota Palembang, Sumatera
Selatan. PT. Dexa Medica merupakan salah satu industri farmasi yang sangat
tanggap akan perubahan dan berusaha menjadi yang terdepan dalam hal
pemenuhan kebutuhan di bidang farmasi yang dapat dilihat dari prestasi yang
telah dicapai oleh PT. Dexa Medica. Pada tahun 1993, PT. Dexa Medica berada
pada posisi ke-25 yang dalam jangka waktu 5 tahun yaitu pada tahun 1998, PT.
Dexa Medica masuk dalam urutan 10 besar. Tahun 2001, PT. Dexa Medica naik
peringkat menjadi urutan 5 besar produsen farmasi dan obat-obatan ethical. Dexa
mencatat pertumbuhan bisnis yang sangat signifikan yaitu 25-30% per tahun, jauh
di atas angka pertumbuhan industri farmasi dan obat-obatan yang hanya 15%
(Swa Digital, 2004). PT. Dexa Medica sukses merambah pasar internasional.
Selain menguasai pasar dalam negeri dan menjadi lima besar di Indonesia dalam
10 tahun terakhir ini, PT. Dexa Medica juga eksis di pasar global di tujuh negara
dan Dexa Medica terus mempersiapkan diri menjelang pasar perdagangan bebas
AFTA tahun 2015( Kompas, 2011a; Kompas, 2011b).
Aktivitas PT. Dexa Medica meliputi bidang penelitian dan pengembangan
produk, produksi dan pengemasan, distribusi serta pemasaran produk-produk
farmasi seperti produk obat resep atau ethical, obat bebas (over the counter),
suplemen kesehatan dan produk-produk konsumen lainnya. Selain itu PT. Dexa
Medica juga memiliki kekuatan dalam pemasaran Obat Generik berlogo (OGB)
Dexa. Jumlah produk OGB Dexa sekitar 90 item OGB, yang terdiri dari berbagai
jenis sediaan, baik berupa oral, injeksi, dan topikal. Jumlah ini akan terus
ditingkatkan mengingat masih ada 400 lebih item OGB (Kompas, 2012). Selain
PT Dexa Medica, memang sudah ada beberapa perusahaan yang memproduksi
OGB. Namun, menurut data IMS hingga kuartal ketiga tahun 2006, PT Dexa
Medica menduduki urutan pertama dalam pangsa pasar OGB, dengan market
share sebesar 18,43 persen (Farmacia, 2007).
Penyediaan produk-produk inovatif PT. Dexa Medica tidak terlepas dari
peran Departemen Business Development dalam memberikan dan
mengembangkan ide-ide produk baru yang kreatif dan inovatif sehingga
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
26
Universitas Indonesia
memberikan peluang yang besar untuk pengembangan bisnis PT. Dexa Medica.
PT. Dexa Medica merupakan perusahaan farmasi yang berkomitmen tinggi untuk
memberikan nilai tambah yang terbaik untuk pelanggan baik internal maupun
eksternal melalui pertumbuhan kepercayaan dan penerapan standar yang tinggi
serta bekerja profesional pada seluruh aspek bisnis dalam hak penyediaan produk-
produk farmasi yang berkualitas, seperti yang terkandung di dalam nilai-nilai
yang menjadi dasar dalam berperilaku setiap karyawan PT. Dexa Medica. Setiap
karyawan yang bekerja di Kantor Pusat PT. Dexa Medica memiliki waktu kerja
yang dimulai pukul 08.00 dan berakhir sampai pukul 17.00 WIB.
Pengembangan produk baru oleh Business Development dimulai dari
pencarian ide produk baru sampai persiapan launching produk baru. Departemen
Business Development memiliki tugas untuk :
1. Melakukan penilaian tehadap kelayakan suatu ide pengembangan produk.
2. Mendapatkan komitmen marketing dan persetujuan manajemen terhadap
business proposal produk baru.
3. Perencanaan dan pembuatan jadwal kegiatan yang akan dilakukan selama
pengembangan produk.
4. Pengumpulan data-data feasibility yang diperlukan untuk mendukung
pengembangan produk.
5. Memantau pelaksanaan pengembangan produk.
6. Melakukan persiapan launching produk baru tersebut.
Departemen Business Development dalam pelaksanaan kegiatan
pengembangan obat memiliki peran sebagai pemimpin project karena dalam
pelaksanaan pengembangan obat, departemen Business Development akan
berinteraksi dan bekerjasama dengan berbagai pihak. Kerjasama ini didasarkan
pada tugas dan fungsi masing-masing departemen yang terkait dengan
pengembangan obat. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan produk baru
adalah Departemen Research and Development (R&D), Departemen Purchasing,
Departemen Medical Affairs dan Departemen Regulatory Affairs (RA). Bentuk
kerjasama antara departemen Business Development dengan masing-masing
departemen adalah menganalisa feasibility ide baru dan memantau kegiatan
pengembangan dari masing-masing departemen agar tetap memenuhi target waktu
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
27
Universitas Indonesia
yang ditetapkan. Dalam melakukan kegiatannya, tim Business Development
menetapkan target jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan tahapan yang
terkait pengembangan produk agar dapat mencapai target waktu launching yang
telah ditetapkan.
Sebelum dimulainya pengembangan, Business Development harus
mendapatkan komitmen Departemen Marketing dan persetujuan manajemen
untuk Business Plan yang diajukan. Setelah pengembangan selesai, Business
Development perlu berkoordinasi dengan R&D, Production Planning and
Inventory Control (PPIC), purchasing, produksi, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu untuk persiapan launching new product.
Tahap pengembangan produk baru membutuhkan ide yang kreatif, inovatif,
potensial dan bersaing sehingga dapat diterima oleh konsumen pada saat
dipasarkan. Ide pengembangan produk obat baru dapat berasal dari siapa saja,
baik dari direksi, Departemen Marketing, Departemen Research and Development
(R&D) dan departemen lain serta departemen Business Development sendiri.
Dalam mengumpulkan ide untuk pengembangan produk baru, dapat dilakukan
dengan cara penelusuran informasi di internet, menghadiri seminar atau
simposium kedokteran, membaca dan mempelajari berita farmasi atau jurnal-
jurnal ilmiah yang terkait dengan bidang farmasi dan kesehatan, melakukan survei
ke dokter atau praktisi kesehatan lainnya terkait dengan ide pengembangan
produk dan tren pengobatan suatu penyakit yang banyak diderita masyarakat atau
penyakit yang pengobatannya masih belum banyak dikembangkan serta dapat
bersumber dari referensi lainnya yang memiliki kredibilitas tinggi dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Tahap awal pengembangan produk dimulai dengan penilaian terhadap ide
pengembangan produk obat baru. Tim Business Development mengamati pasar
(market) terkait dengan produk baru yang akan dikembangkan melalui market
research sehingga dapat diperoleh data pasar (market data). Market research
dilakukan untuk mengetahui potensi produk baru tersebut di pasar atau untuk
mengetahui kriteria produk yang dibutuhkan oleh pasar. Tim Business
Development menampung ide pengembangan produk baru, penawaran produk
baru atau kerja sama baru yang diusulkan. Selanjutnya tim Business Development
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
28
Universitas Indonesia
mengumpulkan dan mempelajari informasi yang terkait serta mencari peluang
terhadap pengembangan produk atau kerjasama baru tersebut.
Hal penting yang perlu diperhatikan pada saat pengembangan obat adalah
penelusuran paten dan evaluasi paten dari obat originator. Pada umumnya, suatu
paten obat mendapatkan perlindungan paten selama 20 tahun sejak inovasinya
dipatenkan. Hal ini berarti, perusahaan obat generik (baik branded generic
maupun pure generic) tidak berhak memasarkan produk obat yang masih dalam
perlindungan paten. Oleh karena itu sebelum mengembangkan produk, perlu
dipastikan bahwa produk tersebut tidak melanggar paten originator yang sudah
terdaftar di Indonesia. Penelusuran dan evaluasi paten dilakukan dalam beberapa
tahap untuk memastikan bahwa produk tidak melanggar paten.
Selain itu, tim Business Development juga harus melakukan internal
feasibility terhadap pengembangan produk atau kerjasama baru dari semua aspek
yang terkait seperti regulasi, biaya pengembangan dan produksi produk baru,
kapasitas pengembangan dan produksi produk baru, ketersediaan bahan awal, dan
bahan pendukung, serta investasi yang diperlukan untuk pengembangan produk
baru. Berdasarkan semua data yang sudah terkumpul, tim Business Development
melakukan analisis dan screening awal melalui scoring terhadap ide
pengembangan obat tersebut. Jika ide pengembangan ini dinilai menguntungkan
dan memungkinkan untuk dikembangkan maka ide ini dilanjutkan dengan
pembuatan Product Project Approval. Jika ide tidak menguntungkan maka ide
tersebut akan disimpan pada bank data.
Apabila dalam hal pengembangan produk, perusahaan membutuhkan
bantuan pihak luar seperti melakukan toll-out atau mengimpor maka tim Business
Development melakukan kerjasama dengan berbagai principal atau aliansi dalam
pengembangan produk tersebut. Dalam penyelenggaraan kerja sama dengan
principal atau aliansi maka tim Business Development harus melakukan penilaian
terhadap profil perusahaan aliansi tersebut. Bila dicapai kesepakatan antara kedua
belah pihak maka akan dibuat perjanjian kerjasama yang mencakup pengaturan
bisnis dan teknis mengenai kerjasama tersebut. Jika tidak mencapai kesepakatan
antara kedua belah pihak maka perjanjian kerjasama dapat dibatalkan.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
29
Universitas Indonesia
Selanjutnya tim Business Development bertugas untuk memantau setiap
kegiatan dan kemajuan kegiatan atau pencapaian yang dilakukan setiap pihak
yang terkait dengan pengembangan produk sesuai dengan jadwal kegiatan yang
sudah dibuat sebelumnya. Pihak-pihak yang terkait memberikan informasi
mengenai status pengembangan yang sudah dilakukan oleh tiap departemen,
seperti R&D memberikan laporan mengenai kesiapan produk, Departemen
Regulatory Affairs memberikan laporan mengenai perolehan persetujuan
pendaftaran produk, dan Departemen Purchasing mengenai ketersediaan bahan-
bahan yang diperlukan untuk pengembangan maupun untuk produksi produk baru.
Peran Business Development dalam pengembangan produk berlanjut
sampai persiapan launching produk tersebut. Rencana launching produk baru
diinformasikan kepada departemen-departemen lain yang terkait. Bila produk baru
telah selesai diproduksi dan disetujui oleh bagian Pemastian Mutu untuk
diedarkan, maka launching new product akan dilakukan oleh tim marketing. Tim
Business Development tetap memantau produk baru tersebut sampai 2 tahun
setelah launching.
Setelah melaksanakan Praktek Kerja Profei Apoteker (PKPA) di
Departemen Business Development PT. Dexa Medica, peserta mendapatkan
banyak pelajaran dan wawasan yang sangat bermanfaat untuk membekali diri
dalam menghadapi dunia pekerjaan khususnya di bidang Business Development.
Manfaat yang dirasakan adalah peserta memahami alur pengembangan produk
obat dan aktivitas yang dilakukan selama pengembangan produk obat baru. Selain
itu, juga akan meningkatkan kemampuan peserta secara teknis dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengembangan obat di
bidang Business Development.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
30 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Apoteker memiliki peranan yang penting dalam Departemen Business
Development. Ilmu yang dimiliki oleh Apoteker mendasari setiap pekerjaan yang
dilaksanakan dan keputusan yang dibuat terkait dengan pengembangan ide produk
baru di Departemen Business Development. Aktivitas sehari-hari yang diakukan
oleh setiap karyawan yang ada di Departemen ini terkait dengan pengembangan
produk obat baru secara menyeluruh mulai dari pencarian ide pengembangan
produk baru, pengumpulan informasi yang terkait termasuk market survey atau
market research untuk mengetahui data pasar, melakukan penilaian terhadap
setiap informasi yang sudah diperoleh, penelusuran paten terkait produk yang
akan dikembangkan, penilaian terhadap internal feasibility, dan dilanjutkan
dengan pemberian persetujuan suatu ide produk atau tidak. Setelah ide
pengembangan disetujui maka dilakukan pengembangan terhadap ide produk baru
dan Departemen Business Development memantau perjalanan pengembangan
produk baru, pendaftaran produk baru, sampai persiapan launching produk baru.
5.2 Saran
a. PT. Dexa Medica khususnya Departemen Business Development sebaiknya
tetap mempertahankan dan terus berusaha dalam meningkatkan kinerja
perusahaan serta semangat kerja yang sudah dimiliki sehingga tujuan-tujuan
perusahaan dapat tercapai dan dapat meningkatkan kemajuan bisnis PT. Dexa
Medica.
b. PT. Dexa Medica harus terus berusaha mengembangkan produk yang inovatif,
kreatif dan terjangkau sesuai dengan target market sehingga dapat
meningkatkan bisnis perusahaan dan dapat bersaing dengan kompetitor baik di
pasar farmasi nasional maupun internasional.
c. Pelaksanaan kerjasama antara PT. Dexa Medica dan Program Apoteker
Departemen Farmasi FMIPA UI dalam bentuk pelaksanaan Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) di Departemen Business Development sebaiknya
pada masa yang akan datang tetap dapat dilaksanakan. Pelaksanaan PKPA di
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Departemen Business Development sangat bermanfaat untuk calon apoteker
karena dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman bagi
calon apoteker mengenai pekerjaan yang dilakukan di Departemen Business
Development. Selain itu, pelaksanaan PKPA ini memberikan gambaran secara
menyeluruh atas pekerjaan yang dilakukan di Departemen Business
Development dan menjadi sumber penyerapan sumber daya manusia baru
dalam dunia pekerjaan khususnya Departemen Business Development.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
32 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta : Badan PengawasObat dan Makaanan
Republik Indonesia
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011). Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat. Jakarta : Badan PengawasObat dan Makaanan Republik
Indonesia
Dexa Medica. (2009). http://www.dexa-medica.com/. Diunduh pada tanggal 26
Mei 2012 pukul 09.00
Farmacia. (2007). http://www.majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=435. Diunduh pada tanggal 26
Mei 2012 pukul 14.50 WIB.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010
Tentang Industri Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kompas. (2011a).
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/31/19203225/Kiat.Ferry.Soeti
kno.Besarkan.Dexa.Medica. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul
08.00 WIB
Kompas. (2011b).
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/28/0027283/Ferry.Soetikno.D
exa.Rambah.Pasar.Global Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 08.00
WIB
Kompas. (2012).
http://health.kompas.com/read/2012/04/16/12064971/Dexa.Medica.Terus.B
erkomitmen.Memasyarakatkan.OGB. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012
pukul 14.50 WIB.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012).
Industri Farmasi Lokal Penuhi 90% Kebutuhan Farmasi Indonesia.
http://sehatnegeriku.com/industri-farmasi-lokal-penuhi-90-kebutuhan-
farmasi-indonesia/). Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 09.48 WIB
Swa Digital. (2004).
http://202.59.162.82/swamajalah/artikellain/details.php?cid=1&id=350.
Diunduh pada tanggak 26 Mei 2012 pukul 09.52 WIB
Wells, B., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. (2009).
Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. USA : The McGraw-Hill
Companies
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
i
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI BUSINESS DEVELOPMENT PT. DEXA MEDICA
TITAN CENTER
JALAN BOULEVARD BINTARO BLOK B7/B1 NO.05
BINTARO JAYA SEKTOR 7
TANGERANG
PERIODE 2 APRIL - 5 JUNI 2012
MARKET SURVEY PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIIK
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
YULIANA, S.Farm.
1106047511
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER-DEPARTEMEN FARMASI
DEPOK
JUNI 2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
ii Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iv
BAB 1 . PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................ 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 4
2.1 Gagal Ginjal Kronik ............................................................ 4
2.2 Patofisiologi ........................................................................ 5
2.3 Pengobatan Gagal Ginjal Kronik ........................................ 5
2.4 Hemodialisis ....................................................................... 11
BAB 3. METODOLOGI PENGKAJIAN ........................................... 13
3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian .......................................... 13
3.2 Metode Pengkajian.............................................................. 13
BAB 4. PEMBAHASAN ....................................................................... 14
4.1 Data IMDI 2010 .................................................................. 14
4.2 Data Indonesian Renal Registry (IRR) ............................... 16
4.3 Data Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) .............. 24
4.4 Obat-Obatan yang Digunakan untuk Gagal Ginjal Kronik . 31
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 45
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 45
5.2 Saran .................................................................................. 45
DAFTAR ACUAN ................................................................................. 46
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
iii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Persentase Pasien Gagal Ginjal Kronik dan Gagal Ginjal
Tidak Spesifik .................................................................. 15
Gambar 4.2 Jumlah Pasien Hemodialisis di Indonesia Tahun
2007-2011 ........................................................................ 17
Gambar 4.3 Pasien Gagal Ginjal Kronik di Indonesia ........................ 18
Gambar 4.4 Persentase Diagnosa Penyakit Utama Pasien
Hemodialisis di Indonesia Tahun 2011 ........................... 18
Gambar 4.5 Persentase Distribusi Usia Pasien Hemodialisis.............. 19
Gambar 4.6 Persentase Diagnosa Penyakit Penyerta Pasien
Hemodialisis di Indonesia pada Tahun 2011................... 19
Gambar 4.7 Persentase Penyebab Kematian pada Pasien Hemodialisis
di Indonesia pada Tahun 2011 ......................................... 20
Gambar 4.8 Jumlah Tindakan Hemodialisis Berdasarkan Jumlah
Pemakaian Dialisat di Seluruh Indonesia ........................ 20
Gambar 4.9 Jumlah Pemakaian Produk Eritopoietin pada Pasien
Hemodialisis di Indonesia ............................................... 22
Gambar 4.10 Persentase Distribusi Usia Pasien Hemodialisis YGDI... 25
Gambar 4.11 Persentase Lama Pasien Menjalankan Hemodialisis di YGDI 26
Gambar 4.12 Jumlah Pasien Hemodialisis Baru di Dialysis Center YGDI
(Jatiwaringin dan Rawalumbu)........................................ 26
Gambar 4.13 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume
Molekul Obat Golongan ACEi ........................................ 34
Gambar 4.14 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume
Molekul Obat Golongan ARB ......................................... 35
Gambar 4.15 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market Share in Value
dari Molekul-Molekul Golongan ARB ........................... 36
Gambar 4.16 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume
Molekul Obat Golongan Statin ........................................ 37
Gambar 4.17 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market Share in Value
Molekul-Molekul Eritropoietin Berdasarkan Brand ....... 38
Gambar 4.18 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market Share dalam
Nilai Rupiah Injeksi Suplemen Besi ................................ 39
Gambar 4.19 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume
Molekul Obat golongan Loop Diuretics .......................... 40
Gambar 4.20 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume
Molekul Obat Golongan Diuretik Tiazid .......................... 41
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
iv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Pasien Gagal Ginjal Kronik selama tahun 2010 . 15
Tabel 4.2 Perkiraan Frekuensi Tindakan Hemodialisis per Pasien
dalam Seminggu .............................................................. 21
Tabel 4.3 Estimasi Jumlah Pasien Hemodialisis yang Mengalami
Anemia ............................................................................ 23
Tabel 4.4 Data Teknis Dialysis Center YGDI Cabang Jatiwaringin
dan Rawalumbu ............................................................... 24
Tabel 4.5 Data Status Pasien yang Melakukan Hemodialisis ......... 25
Tabel 4.6 Data Dialysis Center yang Terdapat di Jabodetabek ....... 27
Tabel 4.7 Data Umum Hasil Sampling Terhadap Medical Record
Bulan Maret dan April 2012 Pasien Hemodialisis
di YGDI .......................................................................... 29
Tabel 4.8 Data Obat yang Diberikan kepada Pasien Selama
Tindakan Hemodialisis ................................................... 29
Tabel 4.9 Estimasi Penggunaan Obat-Obatan yang Diberikan pada
Pasien Hemodialisis di Indonesia ................................... 31
Tabel 4.10 Komplikasi yang Terjadi dan Pengobatan yang Diberikan
untuk Pasien Gagal Ginjal Kronik ................................... 32
Tabel 4.11 Obat Golongan ACEi, ARB dan Non-Dihiropiridin
Calcium Channel Blocker................................................ 33
Tabel 4.12 Jenis dan Nama Produk dari Obat Eritropoietin .............. 39
Tabel 4.13 Pengobatan untuk Komplikasi Hiperparatiroid Sekunder
dan Renal Distrofi............................................................ 42
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran penting dalam mengatur
keseimbangan air, garam dan elektrolit serta memiliki fungsi endokrin yaitu
memproduksi setidaknya tiga jenis hormon. Chronic Kidney Disease (CKD) atau
gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penurunan secara progresif fungsi ginjal
yang ditandai dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) dalam jangka
waktu beberapa bulan atau tahun yang ditandai dengan perubahan bentuk ginjal
normal menjadi jaringan parut pada organ ginjal. Berdasarkan Kidney Disease
Outcomes Quliaty Initiative (K/DOQI), GGK diklasifikasikan menjadi 5 tingkat
berdasarkan fungsi ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus atau glomerulus filtration
rate (GFR), menjadi stage atau tingkat 1 sampai 5. Peningkatan tingkat
menunjukkan tingkat keparahan yang lebih berat dan ditandai dengan penurunan
GFR (Wells, B., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2009).
Gagal ginjal kronik (GGK) saat ini mendapat banyak perhatian karena
sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan
karena semakin meningkatnya insiden dan prevalensi, dengan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular yang tinggi, serta biaya pengobatan GGK yang besar.
Dari survei National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) yang
dilakukan oleh The US Centres for Disease Control and Prevention, prevalensi
GGK meningkat dari 12% pada tahun 1988-1994 menjadi 15% pada 2003-2006.
Pada kelompok usia 60 tahun ke atas prevalensi tersebut semakin meningkat dari
31% menjadi 38%, suatu jumlah yang sangat banyak dan terus meningkat dari
tahun ke tahun. Dari hasil survei komunitas yang dilakukan Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), didapatkan bahwa 12,5% dari populasi sudah
mengalami penurunan fungsi ginjal (Suhardjono, 2009).
Pasien dengan gagal ginjal kronik tahap akhir atau End-Stage Renal
Disease membutuhkan Renal Replacement Theraphy (RRT) diantaranya
hemodialiasis, peritonial dialisis, dan transplantasi ginjal. Tindakan transplantasi
ginjal sudah terbukti lebih baik dibandingkan dialisis terutama dalam hal
perbaikan kualitas hidup. Namun pada kenyataannya transplantasi ginjal di
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Indonesia memiliki kendala yang besar diantaranya adalah kurangnya jumlah
donor ginjal hidup, biaya transplantasi mahal, peraturan perundang-undangan
yang tidak memperbolehkan komersialisasi organ tubuh, dan larangan
penggunaan donor ginjal dari jenazah (Vivanews, 2012).
Dialisis merupakan prosedur untuk menggantikan fungsi ginjal dalam
membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh karena ginjal pasien sudah tidak
mampu mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme dari dalam tubuh. Dialisis dimulai
ketika laju filtrasi glomerulus atau glomerulus filtration rate (GFR) pasien
menurun di bawah 15 ml/menit/1,73 m2
(Chisholm-Burns, M., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro,
J.T. ; 2008).
Terapi farmakologi yang digunakan untuk pengobatan gagal ginjal kronik
ditujukan untuk mengobati faktor penyebab dan komplikasi yang terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik (GGK). Pengobatan tersebut di antaranya adalah
antihiperglikemia, antihipertensi, antihiperlipidemia, pengobatan untuk
abnormalitas cairan dan elektrolit, antianemia dan pengobatan hiperparatiroid
sekunder dan osteodistrofi renal. Tujuan utama pengobatan penyakit gagal ginjal
kronik adalah memperlambat dan mencegah progresifitas penyakit.
Industri farmasi memiliki peran penting dalam menyediakan atau
memproduksi obat yang dibutuhkan oleh masyarakat sesuai dengan penyakit yang
banyak dialami. Industri farmasi juga harus dapat melakukan pengembangan
bisnis usahanya agar dapat tetap bersaing dan mempertahankan usahanya dalam
dunia bisnis. Dalam hal ini, jumlah pasien penyakit gagal ginjal kronik mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah kasus GGK yang meningkat ini menjadi
peluang bagi industri farmasi dalam mengembangkan ide pengobatan yang
diperlukan oleh pasien GGK. Dengan melakukan analisis produk-produk obat
yang diperlukan oleh pasien GGK terutama yang belum banyak di pasaran, dapat
menjadi peluang bagi industri farmasi dalam mengembangkan produk tersebut.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
3
Universitas Indonesia
1.2 Tujuan
Penyusunan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker ini bertujuan
untuk :
a. Mengetahui jumlah kasus gagal ginjal kronik dan pasien hemodialisis di
Indonesia
b. Mengetahui pengobatan untuk penderita gagal ginjal kronik
c. Mengusulkan ide baru untuk pengembangan produk Dexa Medica Group
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
4 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronik (GGK) (Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer,
T.L., Dipiro, C.V. ; 2009)
GGK merupakan penurunan secara progresif fungsi ginjal yang ditandai
dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) dalam jangka waktu beberapa
bulan atau tahun yang ditandai dengan perubahan bentuk ginjal normal menjadi
jaringan parut pada organ ginjal.
Berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative (K/DOQI)
tahun 2002 dan modifikasi dari National Institute of Health and Clinical
Excellence (NICE) pada tahun 2008, GGK diklasifikasikan menjadi beberapa
tingkatan yaitu :
a. Tingkat 1 : GFR normal atau terjadi peningkatan, kerusakan ginjal
terbukti dengan adanya mikroalbuminuria, proteinuria, hematuria, baik
perubahan secara radiologi maupun histologi.
b. Tingkat 2 : Penurunan ringan GFR (89-60 ml/menit/1.73 m2) dengan
kerusakan ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuria, proteinuria,
hematuria, baik perubahan secara radiologi maupun histologi.
c. Tingkat 3 : GFR 59-30 ml/menit/1.73 m2
d. Tingkat 3a : GFR 59-45 ml/menit/1.73 m2
e. Tingkat 3b : GFR 44-30 ml/menit/1.73 m2
f. Tingkat 4 : GFR 29-15 ml/menit/1.73 m2
g. Tingkat 5/ End Stage Renal Disease (ESRD) :
GFR < 15 ml/menit/1.73 m2. Pada tahap ini Renal Replacement Therapy
seperti dialisis atau tranplantasi ginjal diperlukan untuk mempertahankan hidup.
Perkembangan dan perjalanan penyakit GGK tersembunyi atau tidak
diketahui. Perkembangan penyakit GGK yang lambat dan kurangnya tanda-tanda
penyakit GGK pada tahap awal menyebabkan sulitnya penentuan prevalensi
penyakit GGK sampai pasien mencapai tingkat akhir (ESRD). Pasien dengan
penyakit GGK tingkat 1 atau tingkat 2 biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda
atau perubahan metabolisme seperti yang muncul pada GGK tingkat 3 sampai
tingkat 5 seperti anemia, hiperparatiroid sekunder, penyakit kardiovaskuler,
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
5
Universitas Indonesia
malnutrisi, dan abnormalitas cairan dan elektrolit. Gejala uremik juga dapat
muncul seperti letih, lesu, lemas, pernapasan yang pendek, perubahan mental,
mual, muntah, perdarahan, dan anoreksia. Gejala uremik ini tidak muncul pada
pasien GGK tingkat 1 dan 2, muncul gejala uremik ringan pada pasien tingkat 3
dan 4 dan gejala uremik sering muncul pada pasien GGK tingkat 5.
2.2 Patofisiologi (Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro,
C.V. ; 2009)
2.2.1. Faktor resiko (Susceptibility factors)
Faktor resiko merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
penyakit ginjal tapi tidak secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor
resiko meliputi umur, penurunan massa ginjal, bayi yang lahir dengan berat badan
rendah, ras dan etnik, riwayat keluarga, pendapatan atau pendidikan yang rendah,
inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
2.2.2. Faktor pencetus (Initiation factors)
Faktor yang menginisiasi atau mencetuskan terjadinya kerusakan ginjal
dan dapat diubah dengan pengobatan. Faktor pencetus termasuk di antaranya
adalah diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, polycystic kidney disease,
dan keracunan.
2.2.3. Faktor yang memperparah (Progression factors)
Faktor ini adalah faktor yang akan memperparah penurunan fungsi ginjal
setelah inisiasi kerusakan ginjal. Faktor yang memperparah di antaranya adalah
kadar gula darah pada penderita diabetes, hipertensi, proteniuria, dan merokok.
2.3 Pengobatan Gagal Ginjal Kronik (Wells, B.G., Dipiro, J.T.,
Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. ; 2009)
Hasil pengobatan yang diharapkan pada pasien GGK adalah menunda
progresi dari penyakit GGK, meminimalkan perkembangan atau keparahan
komplikasi.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
6
Universitas Indonesia
2.3.1. Pengobatan Non-farmakologi
Asupan rendah protein (0.6-0.75 g/kg/hari) dapat menunda keparahan
GGK pada pasien dengan atau tanpa diabetes, meskipun keuntungan yang
diperoleh hanya kecil.
2.3.2. Pengobatan Farmakologi
2.3.2.1.Hiperglikemia
Pengobatan hiperglikemia secara intensif pada pasien diabetes tipe 1 dan 2
akan mengurangi komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropati. Pengobatan
hiperglikemia secara intensif termasuk pemberian insulin atau obat oral dan
pemeriksaan kadar gula darah paling tidak 3 kali sehari.
2.3.2.2.Hipertensi
Patogenesis hipertensi pada pasien penderita GGK merupakan kejadian
multifaktor dan termasuk retensi cairan, peningkatan aktivitas simpatik,
peningkatan kadar endotelin-1, penggunakan eritopoietin, dan perubahan
struktural arterial. Asupan garam dan cairan perlu dibatasi.
Pengendalian tekanan darah yang baik maka dapat mengurangi penurunan
GFR dan albuminuria pada pasien dengan atau tidak dengan diabetes.
Antihipertensi pada pasien dengan atau tidak diabetik dapat diberikan Angiotensin
Converting Enzyme inhibitor (ACEi) dan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB).
Kedua golongan obat ini dapat menurunkan tekanan dan volume kapiler
glomerulus karena pengaruhnya pada angiotensin II sehingga dapat menurunkan
jumlah protein yang difiltrasi melewati glomerulus. Kemampuan ACEi dan ARB
dalam mereduksi proteinuria yang lebih tinggi dibanding senyawa antihipertensi
lainnya lebih dari 35-40%, menjadikan ACEi dan ARB merupakan obat pilihan
untuk semua pasien GGK (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer,
T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008).
Nondihidropiridin Calcium Channel Blockers (CCB) digunakan sebagai
pengobatan lini kedua apabila penggunaan ACEi dan ARB untuk pengobatan
tidak ditoleransi.
Mayoritas pasien dengan ESRD membutuhkan tiga atau lebih obat
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
7
Universitas Indonesia
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Obat antihipertensi yang
menjadi pilihan adalah ACEIs, ARBs dan nondihidropiridin Calcium Channel
Blockers.
2.3.3. Pengobatan tambahan (Supportive Therapy)
Pembatasan asupan protein, pengobatan untuk penurunan kadar lemak,
berhenti merokok, dan penanganan anemia dapat membantu memperlambat
progresi GGK. Sasaran utama penurunan kadar lemak pada pasien GGK adalah
menurunkan resiko terjadinya aterosklerosis pada penyakit jantung. Sasaran kedua
adalah untuk menurunkan proteinuria dan penurunan fungsi ginjal pada
pemberian statin.
2.3.4. Penanganan Komplikasi
Progresi penyakit GGK menjadi ESRD membutuhkan waktu tahunan atau
puluhan tahun, dengan mekanisme kerusakan ginjal bergantung pada etiologi
penyakit. Sasaran keseluruhan pengobatan adalah optimalisasi durasi dan kualitas
hidup pasien.
2.3.4.1 Abnormalitas Cairan dan Elektrolit
Kemampuan ginjal untuk mengatur perubahan mendadak pada asupan
natrium berkurang pada pasien ESRD. Pembatasan asupan natrium juga tidak
direkomendasikan karena dapat menimbulkan hipertensi dan edema.
Keseimbangan natrium yang negatif akan menurunkan perfusi ginjal dan
menyebabkan penurunan GFR.
Pemberian diuretik atau dialisis mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan
edema dan tekanan darah. Loop diuretik, bila dikombinasikan dengan infus maka
akan meningkatkan volume urine dan ekskresi natrium ginjal. Diuretik tiazid tidak
efektif apabila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit.
2.3.4.2 Homeostasis Kalium
Hiperkalemia sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal tingkat 5
(ESRD). Konsentrasi kalium serum biasanya diatur pada kadar normal sampai
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
8
Universitas Indonesia
GFR kurang dari 20 ml/menit per 1,73 m2 pada saat terjadi hiperkalemia ringan.
Homeostasis kalium pada pasien dapat dijaga dengan membatasi asupan kalium
sampai 50-80 mEq/hari dan perubahan konsentrasi kalium dalam dialisat pada
pasien yang menjalani hemodialisis atau peritonial dialisis.
2.3.4.3 Anemia
Penurunan fungsi ginjal akan mempengaruhi beberapa fungsi ginjal salah
satunya adalah penurunan produksi dan sekresi eritropoietin. Penyebab utama
anemia pada pasien GGK atau ESRD adalah penurunan produksi hormon
eritropoietin (EPO) oleh sel progenitor pada ginjal. Pengobatan lini pertama untuk
pasien GGK yang mengalami komplikasi anemia adalah penggantian eritropoietin
dengan senyawa penstimulasi eritropoesis (erythropoiesis-stimulating agents
(ESAs)). Pengunaan ESAs akan meningkatkan kebutuhan besi untuk produksi sel
darah merah. Hal tersebut akan mengakibatkan defisiensi besi sehingga
dibutuhkan suplemen besi untuk menjaga cadangan besi dan produksi sel darah
merah (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M.,
Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008).
Eritropoietin merupakan faktor pertumbuhan yang berperan dalam
pembentukkan eritroblas dari sumsum tulang, stimulasi pembelahan dan
diferensiasi normoblas, kemudian retikulosit, yang dilepaskan ke sirkulasi darah
sehingga terbentuk eritrosit (sel darah merah yang matang). Eritropoietin terdiri
dari beberapa jenis yaitu epoetin alfa, epoetin beta, darbepoetin dan metoksi-
polietilenglikol-epoetin beta. Pemberian epoetin alfa subkutan lebih dipilih karena
memberikan hasil yang dapat diprediksi dan efek yang diperlambat. (Chisholm-
Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M.,
Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008). Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh yang
lebih panjang.
Penggunaan ESAs akan menyebabkan defisiensi besi jika penyimpanan
besi tidak dijaga dengan baik. Suplemen besi dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan besi di dalam tubuh. Pemberian suplemen besi oral lebih efektif dalam
segi biaya dibandingkan pemberian intravena. Namun pemberian suplemen besi
oral secara umum kurang efektif dalam menjaga kadar besi pada pasien yang
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
9
Universitas Indonesia
menerima pengobatan ESAs karena suplemen besi oral memiliki absorpsi yang
buruk. Oleh karena itu, pemberian suplemen besi secara intravena lebih dipilih
untuk suplementasi besi dalam tubuh (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.;
2008).
2.3.4.4 Hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi renal
Keseimbangan kalsium-fosfor di dalam tubuh dimediasi oleh hormon dan
efeknya pada tulang, saluran gastrointestinal, ginjal, dan kelenjar paratiroid.
Progresifitas penyakit ginjal akan menyebabkan aktivasi vitamin D oleh ginjal
terganggu sehingga akan mengurangi absorpsi kalsium di usus. Konsentrasi
kalsium yang rendah di dalam darah akan menstimulasi pengeluaran hormon
paratiroid (PTH). Karena penurunan fungsi ginjal, keseimbangan kalsium di
dalam serum terganggu maka akan terjadi peningkatan penyerapan kalsium dari
tulang sehingga mengakibatkan terjadinya osteodistrofi ginjal atau renal
osteodystrophy (ROD).
Hiperparatiroid sekunder terjadi karena perubahan metabolisme lipid,
perubahan pengeluaran insulin, resistensi terapi eritropoietin, gangguan
neurologik dan fungsi imun, serta peningkatan kematian.
Banyak pasien gagal ginjal kronik, terutama pasien dengan gagal ginjal
tingkat akhir, membutuhkan kombinasi phosphate-bindings agents, vitamin D,
dan terapi kalsium untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh K/DOQI.
Pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien GGK dengan komplikasi hiperparatiroid
sekunder dan osteodistrofi renal adalah :
a. Preparat phosphate-bindings agents
Phosphate-bindings agents dapat menurunkan absorpsi fosfat di usus dan
merupakan agen lini pertama untuk mengendalikan konsentrasi fosfat dan
kalsium. Efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan phosphate-bindings
agents adalah diare, mual, muntah, dan nyeri perut. Resiko hiperkalsemia juga
penting untuk diperhatikan. Contoh phosphate-bindings agents : Sevelamer,
Lantanum.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
10
Universitas Indonesia
b. Preparat Vitamin D
Kalsitriol, 1,25-dihidroksivitamin D3, secara langsung menekan sintesis PTH
dan sekresi serta mengatur reseptor vitamin D yang dapat mereduksi
hiperplasia paratiroid. Dosis penggunaan vitamin D bergantung pada tingkat
GGK dan jenis dialisis yang dilakukan. Contoh preparat vitamin D adalah
kalsitriol dan vitamin D generasi baru yaitu parikalsitol dan dokserkalsiferol,
dimana memiliki efek hiperkalsemia yang lebih rendah. Parikarsitol memiliki
efek hiperfosfotemia yang lebih rendah dibandingkan kalsitriol.
c. Preparat kalsium
Preparat kalsium, Cinacalcet, berperan dalam meningkatkan sensitifitas
reseptor pada kelenjar paratiroid terhadap kadar kalsium dalam serum untuk
mereduksi sekresi PTH. Efek samping yang paling sering muncul adalah mual
dan muntah.
2.3.4.5 Asidosis Metabolik
Tanda klinis asidosis metabolik akan muncul pada saat GFR turun dibawah
20-30 ml/menit (GGK tingkat 4). Sasaran terapi GGK adalah mencapai pH darah
yang normal yaitu 7,35 – 7,45 dan bikarbonat serum 22 – 26 mEq/L.
Terapi farmakologi dengan natrium bikarbonat atau natrium sitrat atau
asam sitrat dibutuhkan oleh pasien dengan GGK tingkat 3 atau tingkat lebih tinggi
untuk memenuhi kembali kebutuhan bikarbonat.
Garam alkali oral seperti natrium bikarbonat, larutan Shohl dan Bicitra
dapat digunakan untuk pasien GGK tingkat 4 dan 5. Policitra yang mengandung
kalium sitrat tidak boleh digunakan untuk pasien dengan GGK parah karena dapat
terjadi hiperkalemia.
Asidosis metabolik pada pasien yang menjalani dialisis dapat selalu
dikendalikan dengan menggunakan bikarbonat dengan konsentrasi yang lebih
tinggi.
2.3.4.6 Hiperlipidemia
Prevalensi hiperlipidemia meningkat sejalan dengan penurunan fungsi
ginjal. Hiperlipidemia harus ditangani dengan baik pada pasien ESRD. Statin
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
11
Universitas Indonesia
merupakan obat pilihan pertama.
2.3.5 Komplikasi sekunder lain
2.3.5.1 Pruritus
Pruritus merupakan permasalahan yang paling sering pada pasien ESRD.
Patogenesis pruritus belum dipahami dengan jelas tetapi mungkin dikarenakan
dialisis yang tidak adekuat, kulit kering, hiperparatiroid sekunder, peningkatan
konsentrasi dari vitamin A dan histamin, serta peningkatan sensitivitas terhadap
histamin.
2.3.5.2 Status Gizi
Malnutrisi energi protein paling sering terjadi pada pasien GGK tingkat 4
atau tingkat 5. Asupan makanan kurang baik pada pasien dikarenakan timbulnya
anoreksia, perubahan perasa dan inpalabillitas.
Asupan protein per hari seharusnya 1,2 g/kg berat badan untuk pasien yang
melakukan hemodialisis dan 1,-1,3 g/kg untuk pasien yang melakukan peritonial
dialisis. Asupan energi per hari seharusnya 35 kckal/kg untuk pasien yang sedang
melakukan dialisis baik hemodialisis maupun peritonial.
2.3.5.3 Uremic Bleeding
Patofisiologi uremic bleeding merupakan kejadian multifaktorial.
Mekanisme utama adalah abnormalitas platelet dan perubahan interaksi antara
pembuluh darah dengan platelet. Pengobatan non-dialisis yang dapat
memperpendek peningkatan perdarahan temasuk pemberian kriopresipitat dan
desmopresin.
2.4 Hemodialisis (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L.,
Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T. ; 2008)
Hemodialisis merupakan metode yang digunakan untuk membuang produk
sisa seperti kreatinin dan urea dari darah ketika seseorang mengalami gagal ginjal.
Hemodialisis merupakan satu dari tiga jenis renal replacement therapy
(transplantasi ginjal dan dialisis peritonial). Hemodialisis terdiri dari perfusi darah
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
12
Universitas Indonesia
dan larutan garam fisiologis pada tempat yang berlawanan pada membran
semipermeabel. Beberapa substansi seperti air, urea, kreatinin, toksin uremik, dan
obat-obatan pindah dari darah ke cairan dialisat sehingga memfasilitasi
perpindahan zat-zat tersebut dari darah. Zat-zat yang terlarut bertransportasi
melewati membran baik secara difusi pasif maupun ultrafiltrasi. Difusi merupakan
perpindahan bahan mengikuti gradien konsentrasi, laju difusi bergantung pada
perbedaan konsentrasi dari zat terlarut dan dialisat, karakteristik zat terlarut, alat
dialisis, dan laju aliran (darah dan dialisat). Ultrafiltrasi merupakan perpindahan
air melewati membran dikarenakan tekanan hidrostatik atau osmotik.
Kelebihan hemodialisis adalah :
a. Pembersihan zat terlarut lebih besar memungkinkan perlakuan hanya sesaat.
b. Parameter yang menunjukkan dialisis berjalan dengan baik lebih mudah
ditentukan sehingga kondisi dialisis yang inadekuat dapat dengan mudah
terdeteksi.
c. Kegagalan teknis lebih jarang terjadi.
d. Meskipun membutuhkan heparinisasi, parameter hemostasis dapat dikoreksi
dengan baik dengan hemodialisis dibandingkan dialisis peritonial.
e. Mudah dalam memonitor pasien yang sedang menjalankan proses hemodialisis.
Kekurangan hemodialisis adalah :
a. Membutuhkan kunjungan berulang kali dalam seminggu untuk melakukan
hemodialisis
b. Efek samping yang sering terjadi adalah hipotensi dan kram otot.
c. Infeksi pada pasien hemodialisis mungkin disebabkan karena pemilihan
membran.
d. Akses ke pembuluh darah sering terkait dengan infeksi dan trombosis.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
13 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian
Pengambilan data dilakukan selama 3 minggu dari tanggal 9 April sampai
27 April 2012 dari berbagai tempat yang terkait dengan market survey penyakit
gagal ginjal kronik. Data market survey diperoleh dengan melakukan survei ke
Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI), pengambilan data dari Indonesian
Renal Registry, evaluasi data Indonesian Medical Data Index (IMDI), evaluasi
data IPA (Indonesia Pharmacy Audit) + IHPA (Indonesia Hospital Pharmacy
Audit) MATQ4 2011.
3.2 Metode Pengkajian
Metode pengkajian Market Survey obat untuk penyakit gagal ginjal kronik
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Mempelajari patofisiologi penyakit gagal ginjal kronik dan pengobatan yang
diperlukan untuk penderita gagal ginjal kronik berdasarkan literatur, buku,
yayasan ginjal, pusat informasi ginjal, dan jurnal yang terkait.
b. Mencari data-data mengenai jumlah penderita gagal ginjal kronik di Indonesia
dan jumlah pasien yang melakukan hemodialisis baik dari internet, yayasan
ginjal atau pusat informasi ginjal lainnya serta sumber-sumber lain yang
memiiki data tersebut.
c. Mempelajari dan menilai obat-obat yang berpotensi untuk dikembangkan baik
dari sisi farmakologi, jumlah resep yang tertera pada IMDI, market value dan
growth tiap molekul obat berdasarkan data IPA+IHPA MATQ4 2011, maupun
tingkat kebutuhan dari obat tersebut pada pengobatan gagal ginjal kronik.
d. Melakukan survei ke dialysis center.
e. Mengumpulkan, mengolah dan mempelajari data-data yang sudah diperoleh
dari berbagai sumber sehingga memperoleh gambaran tentang peluang
pengembangan obat untuk pengobatan gagal ginjal kronik.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
14 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Praktek Kerja Profesi Apoteker di Departemen Business
Development PT. Dexa Medica, Penulis mendapatkan tugas untuk melakukan
market survey mengenai penyakit gagal ginjal kronik. Penulis melakukan
penelusuran untuk mengetahui jumlah pasien yang mengalami gagal ginjal kronik
di Indonesia. Data yang digunakan dalam mengetahui jumlah pasien gagal ginjal
kronik adalah Indonesian Medical Data Index (IMDI) S1 2010. Penulis juga
melakukan penelusuran untuk memperoleh data mengenai jumlah pasien gagal
ginjal kronik di Indonesia yang dihemodialisis. Data ini diperoleh dengan
menghubungi pihak Indonesia Renal Registry (IRR) yang memiliki data pasien
yang dihemodialisis setiap tahunnya di Indonesia. Setelah penulis memperoleh
gambaran secara keseluruhan jumlah kasus gagal ginjal kronik yang
dihemodialisis se-Indonesia yang diperoleh dari data IRR maka penulis
melakukan sampling pada salah satu dialysis center yaitu Yayasan Ginjal
Diantrans Indonesia (YGDI) atau Indonesian Diatrans Kidney Foundation
(IDKY). Dari berbagai sumber data yang dikumpulkan kemudian diolah untuk
memperoleh estimasi-estimasi data yang mendukung ide pengembangan obat
untuk pengobatan gagal ginjal kronik dan hemodialisis.
4.1 Data IMDI 2010
Indonesian Medical Data Index (IMDI) adalah laporan data hasil survei
oleh suatu badan independen dimana survei yang dilakukan mencakup obat-
obatan yang digunakan atau diresepkan oleh dokter (baik dokter umum maupun
spesialis) di Indonesia, dalam suatu periode waktu tertentu. Berdasarkan hasil
penelusuran data pasien dari data IMDI 2010 diperoleh data jumlah pasien gagal
ginjal kronik sebagai berikut :
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Jumlah pasien gagal ginjal kronik selama tahun 2010
Pembagian kategori gagal ginjal pada data IMDI dibedakan berdasarkan
penggolongan menurut ICD-10 WHO yaitu :
a. N17-N19 : Gagal ginjal
b. N18 : Gagal ginjal kronik
1) N18.1 : Gagal ginjal kronik tingkat 1
2) N18.2 : Gagal ginjal kronik tingkat 2
3) N18.3 : Gagal ginjal kronik tingkat 3
4) N18.4 : Gagal ginjal kronik tingkat 4
5) N18.5 : Gagal ginjal kronik tingkat 5
c. N19 : Gagal ginjal tidak spesifik
Dari data tersebut dapat dilihat jika dari total pasien yang mengalami gagal
ginjal (N17-N19), terdapat sekitar 1,2% pasien tidak mendapatkan pengobatan.
Sedangkan untuk pasien gagal ginjal kronik (N18) dari total 100.000 pasien
terdapat 2% pasien yang tidak mendapatkan pengobatan. Untuk pasien dengan
gagal ginjal tidak spesifik, semua pasien mendapatkan pengobatan.
Gambar 4.1 Persentase pasien gagal ginjal kronik dan gagal ginjal tidak spesifik
60%
40%
N18 Chronic Renal Failure N19 Unspecified Renal Failure
Jenis GGK Total
Konsultasi
Pasien dengan
pengobatan
Pasien tanpa
pengobatan
N17-N19 Renal Failure 169.000 166.000 2.000
N18 Chronic Renal Failure 100.000 98.000 2.000
N19 Unspecified Renal Failure 68.000 68.000 0
Chronic Renal Failure Unspecified Renal Failure
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
16
Universitas Indonesia
Berdasarkan data yang ada, dapat dilihat jika terdapat 60% pasien dengan
gagal ginjal kronik dari seluruh kasus penyakit gagal ginjal, dan merupakan gagal
ginjal kronik yang tidak spesifik. Sedangkan terdapat 40% pasien gagal ginjal
tidak spesifik.
4.2 Data Indonesian Renal Registry (IRR)
Indonesian Renal Registry (IRR) atau Regitrasi Ginjal Indonesia adalah
suatu program dari Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) berupa
kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan penyakit ginjal dan hipertensi,
antara lain dialisis, transplantasi ginjal dan data epidemologi penyakit ginjal dan
hipertensi se-Indonesia.
Permohonan data pasien gagal ginjal kronik yang dihemodialisis seluruh
Indonesia dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada IRR.
Setelah disetujui maka pihak IRR mengirimkan data tersebut melalui email
kepada penulis.
Data yang diperoleh dari IRR mengenai pasien gagal ginjal kronik yang
dihemodialisis se-Indonesia adalah jumlah pasien yang dihemodialisis selama
tahun 2007-2011, baik pasien baru maupun pasien aktif, tipe penyakit gagal ginjal
yang dialami oleh pasien hemodialisis, umur pasien hemodialisis, penyakit
penyerta yang dialami oleh pasien hemodialisis, penyebab kematian pasien
hemodialisis, dan penggunaan dialisat selama tahun 2007-2011.
Data pasien yang dihemodialisa selama tahun 2007-2011 dapat dilihat
pada Gambar 4.2 berikut ini :
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
17
Universitas Indonesia
Gambar 4.2 Jumlah Pasien Hemodialisis di Indonesia Tahun 2007-2011
Berdasarkan data pada Gambar 4.2, dapat dilihat jumlah pasien
hemodialisis di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pasien
baru adalah pasien yang datang dengan maksud untuk dihemodidialisis.
Sedangkan pasien aktif adalah pasien yang masih tercatat menjalankan
hemodialisis sampai akhir tahun. Jumlah pasien aktif lebih sedikit dikarenakan
dari semua pasien baru yang pernah datang untuk dihemodialisis, tidak semuanya
melanjutkan proses hemodialisis sampai akhir tahun. Penyebab pasien tidak
melakukan hemodialisis sampai akhir tahun kemungkinan dikarenakan pasien
meninggal atau pasien tidak memiliki biaya yang cukup melanjutkan proses
hemodialisis secara rutin.
Dari data-data yang diperoleh mengenai jumlah pasien yang mengalami
gagal ginjal kronik, pasien yang melakukan hemodialisis dan pasien yang masih
aktif melakukan hemodialisis maka didapat potret estimasi kasus gagal ginjal
kronik di Indonesia yang dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini :
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
1 2 3 4 5
4977 5392
8193
9649
15353
1885 1936
4707 5184
6951
Ju
mla
h P
asi
en G
GK
(ora
ng)
Tahun
Pasien Baru Pasien Aktif
2007 2008 2009 2010 2011
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
18
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Pasien Gagal Ginjal Kronik di Indonesia
Selain jumlah pasien gagal ginjal kronik, data IRR juga meberikan
informasi tentang tipe gagal ginjal kronik yang dialami oleh pasien GGK seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut ini :
Gambar 4.4 Persentase diagnosa penyakit utama pasien hemodialisis di Indonesia
tahun 2011
Berdasarkan data pada Gambar 4.4, dapat dilihat bahwa paling banyak
pasien yang dihemodialisis adalah pasien dengan tipe gagal ginjal kronik tahap
Prevalensi gagal
ginjal kronik
(Survei Pernefri
Tahun 2009)
Pasien Gagal
Ginjal Kronik
(IMDI S1 2010)
Pasien
Hemodialisis
(IRR, 2011)
Pasien
hemodialisis aktif
(IRR, 2011)
28.750.000
100.000
15.353 6.951
Ju
mla
h P
asi
en (
ora
ng)
7%
87%
6% N17 – Gagal Ginjal Akut
N18 – Gagal ginjal kronik
tingkat 4 dan 5 (End Stage
Renal Disease)
N18.2 – Gagal ginjal akut
pada pasien GGK
(End Stage Renal Disease)
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
19
Universitas Indonesia
akhir sebanyak 87%. Pasien hemodialisis dengan tipe gagal ginjal akut sebesar
7% dan pasien gagal ginjal kronik yang mengalami kegagalan ginjal secara akut
sebesar 6%. Dari data ini dapat disimpulkan jika mayoritas pasien gagal ginjal
kronik tingkat akhir yang melakukan hemodialisis untuk membantu
mempertahankan fungsi dan kondisi normal tubuh.
Gambar 4.5 Persentase distribusi usia pasien hemodialisis
Berdasarkan data pada Gambar 4.5, jumlah pasien hemodialisis paling
banyak adalah pasien dengan usia 45-54 tahun.
Gambar 4.6 Persentase diagnosa penyakit penyerta pasien hemodialisis di
Indonesia pada tahun 2011
0% 3%
8%
15%
27% 22%
25% 1 – 14 tahun
15 – 24 tahun
25 – 34 tahun
35 – 44 tahun
45 – 54 tahun
55 – 64 tahun
> = 65 tahun
23%
46%
11%
3%
3% 2%
2% 2% 2% 1%
5%
Diabetes Mellitus
Hipertensi
Kardiovaskular
Urogenital
Keparahan
Serebrovaskular
Saluran cerna
Hepatitis B / Anti HbSAg+
Hepatitis C / Anti HCV+
Tuberkulosis
Lain-lain
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Berdasarkan data pada Gambar 4.6, dapat dilihat penyakit penyerta yang
dialami pasien hemodialisis mayoritas adalah penyakit hipertensi (46%), diabetes
melitus (23%), dan penyakit kardiovaskular lainnya (11%).
Gambar 4.7 Persentase penyebab kematian pada pasien hemodialisis di Indonesia
pada tahun 2011
Berdasarkan data pada Gambar 4.7, penyebab kematian terbesar pada
pasien hemodialisis adalah penyakit kardiovaskular (45%).
Gambar 4.8 Jumlah tindakan hemodialisis berdasarkan jumlah pemakaian dialisat
di seluruh Indonesia
45%
8%
4%
14%
11%
18%
Kardiovaskular
Serebrovaskular
Perdarahan Saluran
Cerna
Sepsis
Penyebab lain
Tidak diketahui
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
1 2 3 4 5
Ju
mla
h T
ind
ak
an
Tahun
Asetat
Bikarbonat
2007 2008 2009 2010 2011
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Berdasarkan data yang pada Gambar 4.8, dapat dilihat jika dialisat
bikarbonat lebih banyak digunakan dibandingkan dialisat asetat. Peningkatan
jumlah tindakan hemodialisis mengindikasikan terjadinya peningkatan jumlah
pasien yang mengalami gagal ginjal kronik di Indonesia. Berdasarkan penggunaan
dialisat per tahun, penulis mencoba memperkirakan frekuensi hemodialisis yang
dilakukan setiap pasien dalam satu minggu. Sebagai contoh, pada tahun 2011
terdapat total tindakan hemodialisis sebanyak 443.122 tindakan dengan jumlah
pasien hemodialisis aktif (Gambar 4.2) adalah 6.951 pasien, maka dapat dihitung :
a. Jumlah tindakan hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam setahun:
=
=
= 63,75 tindakan hemodialisis/pasien/tahun
b. Jumlah tindakan hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam seminggu:
=
= 1,33 tindakan hemodialisis/pasien/minggu
Perhitungan perkiraan frekuensi tindakan hemodialisis yang dilakukan
setiap pasien dalam satu minggu dilakukan terhadap data dari tahun 2007-2011
sehingga diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 4.2 Perkiraan frekuensi tindakan hemodialisis per pasien dalam seminggu
Tahun Total tindakan
dialisis
Jumlah pasien
aktif
Jumlah
tindakan
hemodialisis
tiap pasien per
tahun
Jumlah
tindakan
hemodialisis
tiap pasien per
minggu
2011 443.122 6.951 63,75 1,33
2010 282.357 5.184 54,47 1,13
2009 220.923 4.707 46,93 0,98
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
22
Universitas Indonesia
2008 178.836 1.936 92,37 1,92
2007 114.690 1.885 60,84 1,27
Rata-rata frekuensi tindakan hemodialisis/pasien/minggu 1,33
Hasil perhitungan perkiraan frekuensi tindakan hemodialisis yang
dilakukan setiap pasien dalam satu minggu menunjukkan rata-rata pasien
melakukan hemodialisis sebanyak 1-2 kali tindakan hemodialisis dalam
seminggu. Data ini dapat digunakan untuk menghitung besar penggunaan obat-
obatan yang diperlukan pasien selama melakukan hemodialisis.
IRR juga melakukan pengumpulan data obat-obat yang dipakai oleh
pasien-pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, antara lain obat
eritropoietin yang dipakai untuk pasien hemodialisis dengan anemia.
Gambar 4.9 Jumlah pemakaian produk eritopoietin pada pasien hemodialisis di
Indonesia
Data pada Gambar 4.9 menunjukkan penggunaan produk eritropoietin
pada pasien hemodialisis yang mengalami anemia adalah produk epoetin alfa
dengan berbagai jenis merk yaitu Hemapo® (Kalbe), Eprex
® (Janssen) dan epoetin
beta yaitu Recormon® (Roche). Berdasarkan data penggunaan eritropoietin pada
pasien hemodialisis, penulis mencoba untuk menghitung estimasi jumlah pasien
yang mengalami anemia pada saat tindakan hemodialisis.
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
1 2 3 4 5
Ju
mla
h p
emak
aia
n (
syri
nge)
Tahun
Produk lain
Hemapo KLB
Eprex JAN
Recormon ROC
2007 2008 2009 2010 2011
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
23
Universitas Indonesia
Tabel 4.3 Estimasi jumlah pasien hemodialisis yang mengalami anemia
2007 2008 2009 2010 2011
Hemapo KLB (syringe) 6756 7705 8477 17478 29612
Eprex JAN (syringe) 4401 6010 6937 10923 26108
Recormon ROC (syringe) 2304 3192 2852 5237 8606
Produk lain 1706 2855 3248 6212 7031
Total penggunaan 1 tahun
(syringe) 15167 19762 21514 39850 71357
Total penggunaan 1 bulan
(syringe) 1263,9 1646,8 1792,8 3320,8 5946,4
Total penggunaan 1 minggu
(asumsi 1 pasien 2 kali
hemodialisis/minggu)
316 412 448 830 1487
Estimasi jumlah pasien
dengan anemia 158 206 224 415 743
Total pasien hemodialisis
dalam 1 tahun 1885 1936 4707 5184 6951
Persentase pasien dengan
anemia dari seluruh pasien
hemodialisis
8,4 % 10,6 % 4,8 % 8,0 % 10,7 %
Contoh pada tahun 2011, total pemakaian eritropoietin dalam setahun
adalah 71.357 syringe. Hal ini berarti dalam 1 minggu penggunaan sebanyak 1487
syringe (1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 4 minggu). Dalam 1 minggu,
pasien diasumsikan melakukan tindakan hemodialisis sebanyak 2 kali sehingga
total penggunaan dalam seminggu dibagi 2 sehingga diperoleh jumlah pasien yang
memerlukan penggunaan eritropoietin selama dialisis yaitu 743 pasien. Jumlah
pasien ini dibandingkan dengan seluruh total pasien yang melakukan tindakan
hemodialisis dalam tahun 2011 (6951 pasien aktif) maka didapat persentase
pasien hemodialisis yang mengalami anemia sebesar 10,7%. Berdasarkan data
2007-2011, persentase perkiraan pasien yang mengalami anemia pada saat
hemodialisis berkisar antara 4-11%. Perhitungan ini dapat menjadi acuan dalam
menghitung penggunaan obat antianemia bagi pasien gagal ginjal kronik.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
24
Universitas Indonesia
4.3 Data Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI)
Keberadaan Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) adalah untuk
membantu meringankan beban para penderita gagal ginjal, meningkatkan kualitas
hidup serta membantu pemerintah meningkatkan kesehatan masyarakat. YGDI
memiliki 2 dialysis center di Jakarta yaitu di Jatiwaringin dan Rawalumbu. Untuk
pengambilan data, Penulis melakukan kunjungan ke dialysis center pusat yang
dimiliki oleh YGDI yaitu di Jatiwaringin. Berikut di bawah ini adalah data teknis
yang dimiliki oleh dialysis center YGDI untuk cabang Jatiwaringin dan
Rawalumbu :
Tabel 4.4 Data teknis dialysis center YGDI cabang Jatiwaringin dan
Rawalumbu
Jatiwaringin Rawalumbu
Jumlah tempat tidur 31 55
Jumlah mesin HD 35 7
Jumlah dokter jaga 4
Pelayanan yang disediakan Hemodialisis Hemodialisis
Jumlah pasien 133 pasien 62 pasien
Hasil wawancara dengan perawat dan penelusuran medical record pasien
diperoleh data bahwa pasien melakukan hemodialisis sekitar satu sampai dua kali
dalam seminggu. Namun pada pasien tertentu, hemodialisis dilakukan sampai tiga
kali dalam seminggu.
YGDI membagi tipe pasien berdasarkan penanggung biaya hemodialisis
menjadi pasien swasta/umum yang menggunakan biaya pribadi, pasien jaminan
kesehatan masyarakat (Jamkesmas), pasien Gakin (Keluarga miskin), pasien
SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dengan cakupan Wilayah DKI dan
Depok. Data pasien berdasarkan status pasien dialisis dapat dilihat pada Tabel 4.5:
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
25
Universitas Indonesia
Tabel 4.5 Data status pasien yang melakukan hemodialisis
Periode Swasta/
Umum Jamkesmas
Gakin
DKI
SKTM
DKI
SKTM
Depok
Total
HD
2009 1959 5351 2032 6806 571 16719
2010 1929 5612 1903 7151 973 17568
2011 2250 5165 1554 7729 933 17945
%Growth 17% -8% -18% 8% -4% 6%
YGDI juga melakukan pencatatan distribusi usia pasien yang ditangani
seperti pada Gambar 4.10 :
Gambar 4.10 Persentase distribusi usia pasien hemodialisis YGDI
Pasien hemodialisis di YGDI mayoritas berusia 41-60 tahun yaitu
sebanyak 54% dari total pasien.
YGDI melakukan pencatatan history berapa lama pasien sudah melakukan
hemodialisis seperti yang tertera pada Gambar 4.11 berikut ini :
30%
54%
16% 20-40 tahun
41-60 tahun
61 tahun ke atas
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
26
Universitas Indonesia
Gambar 4.11 Persentase lama pasien menjalankan hemodialisis di YGDI
Sesuai dengan Gambar 4.11, pasien YGDI mayoritas sudah menjalankan
hemodialisis selama dua sampai lima tahun.
Pada tahun 2011, dialysis center YGDI baik di Jatiwaringin maupun di
Rawalumbu, memiliki sejumlah pasien baru yaitu 50 pasien baru untuk
Jatiwaringin (43 pasien swasta/umum dan 16 pasien SKTM DKI) dan 74 pasien
baru untuk Rawalumbu (70 pasien swasta/umum dan 4 pasien Jamkesmas), yang
dapat dilihat pada Gambar 4.12 :
Gambar 4.12 Jumlah pasien hemodialisis baru di dialysis center YGDI
(Jatiwaringin dan Rawalumbu)
14%
20%
39%
21%
6% < 1 years
1-2 years
2-5 years
5-10 years
> 10 years
JATIWARINGIN RAWALUMBU
< 1 Tahun
1-2 Tahun
2-5 Tahun
5-10 Tahun
> 10 Tahun
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Kapasitas YGDI sudah dimaksimalkan dalam melayani pasien yang akan
melakukan hemodialisis. Namun pada kenyataannya karena kapasitas yang
dimiliki oleh YGDI terbatas, masih terdapat pasien yang tidak tertangani akibat
jumlah pasien gagal ginjal kronik yang harus dihemodialisis jumlahnya besar.
Jumlah pasien yang telah mendaftar untuk hemodialisis tetapi tidak dapat dilayani
berjumlah 108 pasien, dimana 90 orang mendaftarkan diri di Jatiwaringin dan 18
orang di Rawalumbu.
Pusat dialysis center di Indonesia tersebar di berbagai kota. dialysis center
yang terdapat di kota-kota besar di Indonesia sekitar 187 dialysis center. Angka
ini diperoleh berdasarkan perhitungan jumlah dialysis center di Indonesia yang
tersedia pada website YGDI. Selain itu, dari hasil survei ke YGDI juga diperoleh
data mengenai jumlah dialysis center yang ada di Jabodetabek dan jumlah mesin
yang dimiliki oleh masing-masing dialysis center seperti yang terdapat pada Tabel
4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Data dialysis center yang terdapat di Jabodetabek
Provinsi Jakarta Jumlah dialysis
center
Jumlah mesin
dialisis
Kapasitas
(2 shifts)
Jakarta Utara 7 33 198
Jakarta Selatan 11 106 636
Jakarta Timur 11 121 726
Jakarta Barat 3 36 216
Jakarta Pusat 7 83 498
Total 39 379 2274
Bogor 2 7 42
Depok 1 7 42
Tangerang 2 10 60
Bekasi 3 13 78
TOTAL 47 416 2.496 pasien
Berdasarkan data jumlah dialysis center yang ada di Jabodetabek, Penulis
melakukan proyeksi untuk mendapatkan estimasi jumlah pasien hemodialisis di
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Indonesia. Estimasi jumlah mesin yang dimiliki oleh masing-masing dialysis
center dihitung dengan membagi total mesin yang dimiliki oleh seluruh dialysis
center di Jabodetabek yaitu 416 mesin dengan total dialysis center yang ada di
Jabodetabek yaitu 47 sehingga diperoleh rata-rata dialysis center memiliki 8
mesin. Jumlah dialysis center yang ada di Indonesia sekitar 187 dialysis center.
Pasien rata-rata melakukan dialisis sebanyak dua kali dalam seminggu (6 hari
kerja dibagi 2, berarti dalam seminggu ada tiga pasien yang ditangani oleh per
mesin per shift) dan masing-masing dialysis center membagi jadwalnya dalam 2
shift kerja. Berarti dapat dihitung estimasi jumlah pasien hemodialisis di
Indonesia adalah sebagai berikut :
Estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia :
= Jumlah mesin tiap dialysis center x jumlah dialysis center di Indonesia x 3 x 2
= 8 mesin/dialysis center x 187 dialysis center x 3 x 2
= 8.976 pasien
Hasil estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia ini dibandingkan
dengan jumlah pasien hemodialisis yang bersumber dari data IRR yaitu 6.951
pasien aktif hemodialisis dan 15.353 pasien baru. Dari perbandingan tersebut
dapat disimpulkan jika hasil estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia
memiliki kedekatan dengan data dari IRR. Hasil estimasi jumlah pasien
hemodialisis ini dapat mewakili atau memberikan gambaran tentang besarnya
pasar yang dapat diraih oleh industri farmasi dalam hal ini PT. Dexa Medica
apabila mengembangkan obat-obatan yang diperlukan oleh pasien yang
melakukan hemodialisis.
Pada saat melakukan survei ke YGDI, Penulis melakukan sampling
terhadap medical record dari 25 pasien di Bulan Maret dan April 2012, untuk
mengetahui obat-obatan yang diterima pasien selama menjalani hemodialisis,
Data terkait dengan tindakan hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini
:
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
29
Universitas Indonesia
Tabel 4.7 Data umum hasil sampling terhadap medical record Bulan Maret dan
April 2012 pasien hemodialisis di YGDI
Data Jumlah
Jumlah sampel pasien 25 pasien
Jumlah tindakan hemodialisis
Maret 225 tindakan
April 184 tindakan
Total tindakan selama 2 bulan 409 tindakan
Total tindakan tiap pasien per bulan 8 tindakan/pasien/bulan
Total tindakan tiap pasien per minggu 2 tindakan/pasien/bulan
Obat-obat yang diberikan kepada pasien selama tindakan hemodialisis
terutama adalah heparin, eritropoietin, suplemen besi (injeksi) dan kalsitriol, yang
kemudian dilakukan analisis lebih lanjut terhadap penggunaan obat tersebut. Data
obat-obat yang diberikan pada pasien selama tindakan hemodialisis dapat dilihat
pada Tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 4.8 Data obat yang diberikan kepada pasien selama tindakan hemodialisis
1. Heparin
Jumlah sampel pasien 25 pasien
Jumlah pasien dengan heparinisasi 25 pasien
Rata-rata dosis heparinisasi per pasien
Dosis awal 2.079 IU
Dosis pemeliharaan 3.040 IU
Dosis sirkulasi 3.460 IU
Total pengunaan heparin/pasien/hemodialisis 8.579 IU
Total pengunaan heparin/pasien/bulan
( bulan = 8 tindakan hemodialisis)
68.632 IU
2. Eritropoietin (EPO)
(Eprex®2.000 IU/4.000IU; Hemapo
® 3.000 IU; Epotrex
®
2.000 IU)
Jumlah sampel pasien 25 pasien
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
30
Universitas Indonesia
Jumlah pasien yang diberikan EPO 7 pasien
Persentase pasien hemodialisis yang diberikan EPO 28 %
Total penggunaan EPO selama 2 bulan 24 syringe
~ 80.000 IU
Total penggunaan EPO/pasien/bulan 2 syringe
~ 6.600 IU
3. Suplemen besi (injeksi)
(Nefrofer®)
Jumlah sampel pasien 25 pasien
Jumlah pasien yang diberikan suplemen besi 1 pasien
Persentase pasien hemodialisis yang diberikan suplemen besi 4 %
Total penggunaan suplemen besi selama 2 bulan 6 ampul
Total penggunaan suplemen besi/orang/bulan 3 ampul
4. Kalsitriol
(Calcijex®)
Jumlah sampel pasien 25 pasien
Jumlah pasien yang diberikan kaslitriol 6 pasien
Persentase pasien hemodialisis yang diberikan kalsitriol 24 %
Total penggunaan kalsitriol selama 2 bulan 12 ampul
Total penggunaan kalsitriol/orang/bulan 1 ampul
Berdasarkan data pada Tabel 4.8, Penulis mencoba untuk memproyeksi
data tersebut sehingga dapat diperoleh data besarnya pasar obat-obat yang
digunakan di Indonesia selama tindakan hemodialisis. Hasil perhitungan proyeksi
untuk mengetahui estimasi obat-obatan yang diberikan pada pasien hemodialisis
di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut ini :
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Tabel 4.9 Estimasi penggunaan obat-obatan yang diberikan pada pasien
hemodialisis di Indonesia
Obat Jumlah
penggunaan
/pasien
/bulan
Persentase
pasien yang
diberikan obat
Estimasi jumlah
penggunaan obat
pada pasien
hemodialysis di
Indonesia*
Heparin 68.632 IU 100% 5.765.000.000 IU
Eritropoietin 2 syringe 28 % 47.000 syringe
Suplemen besi
(injeksi)
3 ampul 4 % 10.000 ampul
Kalsitriol 1 ampul 24 % 20.000 ampul
Keterangan :
*Jumlah penggunaan obat pada pasien hemodialisis di Indonesia dihitung dengan
menggunakan estimasi pasien hemodialysis aktif 7000 pasien per tahun.
4.4 Obat-obatan yang Digunakan untuk Gagal Ginjal Kronik
Penulis melakukan penelusuran dan survei terhadap pengobatan yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik baik yang menjalankan dialisis maupun
tidak menjalankan dialisis. Berdasarkan penelusuran literatur, pengobatan yang
dipakai dibagi berdasarkan komplikasi yang sering terjadi dan seperti yang tertera
pada Tabel 4.10 berikut ini :
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
32
Universitas Indonesia
Tabel 4.10 Komplikasi yang terjadi dan pengobatan yang diberikan untuk pasien
gagal ginjal kronik
Komplikasi Pengobatan
Hipertensi Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEi)
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Non-dihidropiridin Calcium Channel Blocker (CCB)
Hiperlipidemia Statin
Anemia Eritropoietin
Suplemen besi (injeksi)
Abnormalitas cairan
dan elektrolit
Diuretik
Dialisis
Hiperparatiroid
sekunder dan Renal
Osteodistrofi
Phospate-binding agents
Vitamin D
Kalsimimetik
Asidosis metabolik Natrium bikarbonat
Natrium sitrat
Dalam rangka pengumpulan ide baru untuk pengembangan obat penyakit
gagal ginjal kronik maka Penulis melakukan penilaian terhadap obat-obatan yang
digunakan melalui penelusuran literatur dan data sekunder IPA+IHPA MATQ4
2011 pada IMS untuk menilai efek farmakologi, resiko, manfaat, kelebihan,
kekurangan, dan penggunaannya serta data pasar. Setelah dilakukan penilaian
terhadap masing-masing obat maka Penulis akan menyimpulkan obat-obat yang
mungkin berpotensi untuk dikembangkan dalam pengobatan gagal ginjal kronik.
4.5.1 Antihipertensi
Obat antihipertensi yang disarankan untuk pengobatan komplikasi
hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik adalah golongan Angiotensin
Converting Enzyme inhibitor (ACEi) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB).
Apabila pasien tidak memberikan respon yang baik terhadap kedua golongan
tersebut, maka dapat diberikan obat antihipertensi golongan non-dihiropiridin
Calcium Channel Blocker (CCB).
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Tabel 4.11 Obat golongan ACEi, ARB dan non-dihiropiridin calcium channel
blocker
ACEi ARB non-dihiropiridin
calcium channel blocker
Rampiril Irbesartan Diltiazem
Lisinopril Valsartan Verampil
Kaptopril Losartan
Imidapril Kandesartan
Perindopril Telmisartan
Trandolapril Olmesartan medoxomil
Enalapril Eprosartan
Quinapril
Benazepril
Moexipril
Delapril
Fosinopril
Dexa Group sudah memiliki beberapa obat dari ketiga golongan di atas
diantaranya ramipril, lisinopril, kaptopril, dan diltiazem. Penilaian dilakukan
terhadap obat-obatan yang belum dimiliki oleh Dexa Group dari segi farmakologi
dan data pasar IPA+IHPA MATQ4 2011.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Gambar 4.13 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat
golongan ACEi
Berdasarkan pertumbuhan volume molekul obat, untuk obat dengan
pertumbuhan negatif akan tereliminasi dalam daftar obat yang dikembangkan.
Jika dilihat pada Gambar 4.13 maka obat golongan ACEi yang berpotensi untuk
dikembangkan adalah perindopril, quinapril, dan benazepril. Terhadap ketiga obat
ini dilakukan penilaian efek farmakologi, dari kelebihan dan kekurangannya.
Perindopril tidak memberikan efek pada ginjal secara signifikan (Bacanu, Botez,
2011) tetapi lebih efektif pada pengobatan kardiovaskular dan pencegahan stroke
(Arima, Chalmers, 2011). Quinapril secara signifikan menurunkan tekanan darah
namun tidak mempengaruhi fungsi ginjal (Miller, Gmerek, Robbins, Canter, ),
berfungsi untuk pengobatan infark miokard (Gaudron P., Fraccarollo D., Bauer,
W., Eilles, C., Ertl G., 2000). Benazepril dapat menurunkan protenuria pada
penelitian kucing yang mengalami gagal ginjal kronik (King, JN. Gunn-Moore
DA, Tasker S., Gleadhill A., Strehlau G. (2006). Benazepril memiliki sifat
proteksi terhadap renal pada pasien dengan atau tanpa diabetes (Hou, Fan fan,
2006). Benazepril memiliki market value (nilai atau peluang pasar) yang tidak
besar sehingga untuk antihipertensi golongan ACE-inhibitor tidak diusulkan untuk
dikembangkan.
-100,00
-80,00
-60,00
-40,00
-20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
Un
it
Molekul
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
35
Universitas Indonesia
Untuk obat antihipertensi golongan ARB, molekul kandesartan dan
valsartan sudah dimiliki oleh Dexa Group. Pada tahap awal, Penulis menilai dari
pertumbuhan penggunaan molekul ARB dalam satuan unit, yang ditunjukkan
pada Gambar 4.14 berikut ini :
Gambar 4.14 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat
golongan ARB
Berdasarkan penilaian terhadap pertumbuhan volume molekul obat
golongan ARB dalam unit, semua pertumbuhan bernilai positif, kecuali eprosartan
(Gambar 4.14). Pertumbuhan penggunaan unit molekul irbesatan memang positif
namun sudah banyak pemain di pasaran. Semakin banyak jumlah pemain di pasar
maka market share akan semakin kecil sehingga keuntungan yang akan diperoleh
juga akan semakin kecil. Oleh sebab itu, pemilihan molekul obat lebih dipilih
yang jumlah pemain di pasar masih sedikit dan dengan sifat farmakologi
molekulnya baik dibandingkan molekul yang sudah memiliki banyak pemain.
Selanjutnya, Penulis menilai dari sifat farmakologi, kelebihan dan kekurangan
setiap molekul ARB. Olmesartan lebih efektif dalam menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik dibandingkan losartan, valsartan, dan irbesartan (Norwood,
-120,00
-100,00
-80,00
-60,00
-40,00
-20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
Un
it
Molekul
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
36
Universitas Indonesia
Branch, Smith, Honeywell, 2002). Olmesartan lebih poten dalam menurunkan
tekanan arterial dibandingkan telmisartan (Nakayama, S. Watada, H., Mita T.,
Ikeda F., Shimiz, T., Uchino, H., Fujitani Y., Hirose T., Kawamori, R., 2008).
Penelitian menunjukkan telmisartan menurunkan tekanan sistolik dan diastolik
lebih efektif dibandingkan dengan losartan (Mallion, J., Siche J., Lacourciere Y.,
1999). Telmisartan juga menunjukkan pengendalian tekanan darah yang lebih
baik selama 24 jam dibandingkan dengan losartan (Vitale, C., Mercuro, G.,
Castiglioni, C., Cornoldi, A., Tulli, A., Fini, M., Volterrani, M., Rosano. G.,MC.,
2005). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa telmisartan memberikan efek
perlindungan pada jantung dan ginjal untuk pasien dengan hipertensi parah
(Wienen, W., Entzeroth, M., Mell, J., 2006). Nilai market telmisartan lebih besar
dibandingkan dengan olmesartan seperti yang tertera pada Gambar 4.15 berikut
ini :
Gambar4.15 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 market share in value dari molekul-
molekul golongan ARB
Dengan mempertimbangkan sifat farmakologi dan nilai market untuk
antihipertensi golongan ARB, Penulis mengusulkan untuk mengembangkan
telmisartan.
4.5.2 Antihiperlipidemia
Antihiperlipidemia yang efektif untuk pengobatan pada pasien gagal ginjal
kronik adalah golongan statin. Obat golongan statin terdiri dari atorvastatin,
25%
23% 19%
15%
13%
5%
IRBESARTAN
VALSARTAN
LOSARTAN
CANDESARTAN
CILEXETIL
TELMISARTAN
OLMESARTAN
MEDOXOMIL
Irbesartan
Valsartan
Losartan
Kandesartan
Telmisartan
Olmesartan
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
37
Universitas Indonesia
rosuvastatin, simvastatin, pravastatin, lovastatin, dan fluvastatin. Dexa Group
sudah memiliki molekul atorvastatin, simvastatin, dan lovastatin.
Gambar 4.16 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat
golongan statin
Berdasarkan penilaian terhadap pertumbuhan volume molekul obat
golongan statin dalam unit, fluvastatin memiliki nilai pertumbuhan yang negatif,
sedangkan molekul lain memiliki nilai pertumbuhan yang positif. Berdasarkan
penelusuran literatur, atorvastatin merupakan molekul yang paling efektif dalam
menurunkan kolesterol, LDL, non-HDL, dan lipoprotein remnant dibandingkan
fluvastatin, pravastatin, lovastatin dan simvastatin (Schaefer, E.J., McNamara,
J.R., Tayler, T., Daly, J.A., Gleason, J.L., Seman, L.J., Ferrai, A., Rubenstein, J.J.,
2004). Karena Dexa Group sudah memiliki atorvastatin maka untuk obat
golongan statin Penulis tidak mengusulkan obat dari golongan statin untuk
dikembangkan.
-40,00
-20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
38
Universitas Indonesia
4.5.3 Anti-anemia
Gambar 4.17 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 market share in value molekul-
molekul eritropoietin berdasarkan brand
Pengobatan antianemia terdiri dari eritropoietin dan suplemen besi.
Eritropoietin ada beberapa jenis yaitu epoetin alfa, epoetin beta, metoksi-PEG-
Epoetin beta dan darbepoetin. Berdasarkan data IRR, eritropoietin yang paling
banyak digunakan di Indonesia adalah epoetin alfa. Namun berdasarkan
penelusuran literatur, darbepoetin alfa memiliki waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan epoetin alfa sehingga frekuensi pemberiannya dapat berkurang.
Darbepoetin adalah molekul baru yang belum beredar di Indonesia. Metoksi-PEG-
Epoetin beta memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan lebih efektif dalam
menjaga kadar target hemoglobin dibandingkan darbepoetin dengan pemberian
satu kali sebulan meskipun dosis darbepoetin udah ditingkatkan (Carrera, F., et al,
2010). Oleh sebab itu, untuk molekul eritropoietin, Penulis mengusulkan untuk
mengembangkan metoksi-PEG-Epoetin beta.
36%
34%
6%
17%
0%
7%
Hemapo - Kalbe® (Epoetin
alfa)
Eprex - Jannsen® (Epoetin
alfa)
Epotrex - Novell® (Epoetin
alfa)
Recormon - Roche®(Epoetin
beta)
Epoglobin - Ikapharmindo®
(Epoetin beta)
Mircera - Roche® (Epoetin
PEG)
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Tabel 4.12 Jenis dan nama produk dari obat eritropoietin
Epoetin Alfa
Nama Produk (brand) Produsen
Hemapo®
Kalbe Ex. China
Eprex® Janssen Ex. Europe
Epotrex® Novell Pharma Ex. Korea
Epoetin Beta
Recormon®
Roche Ex. Europe
Epoglobin®
Ikapharmindo Ex. China
Metoksi-PEG-Epoetin Beta
Mircera®
Roche Ex. Germany
Darbepoetin (Belum tersedia di Indonesia)
Aranesp® (Originator) Amgen
Senyawa antianemia lainnya adalah suplemen besi dalam bentuk injeksi.
Market share dari suplemen besi dapat dilihat seperti pada Gambar 4.18 berikut
ini :
Gambar 4.18 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market share dalam nilai rupiah
injeksi suplemen besi
98%
2%
IRON FERRIC
IRON DEXTRAN
Iron Sucrose
Iron Dextran
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
40
Universitas Indonesia
Untuk suplemen besi, yang efektif digunakan pada pasien gagal ginjal
kronik adalah yang dalam bentuk sediaan injeksi (Chisholm-Burns, M., Wells,
B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C.,
Dipiro, J.T.; 2008). Berdasarkan Gambar 4.18 dapat disimpulkan jika injeksi
suplemen besi yang paling banyak digunakan adalah dalam bentuk iron sucrose
dibandingkan iron dextran. Hal ini dapat disebabkan karena iron dextran
memiliki resiko syok anafilakasis sehingga penggunaannya kurang dipilih
dibandingkan iron sucrose. Oleh karena itu, Penulis mengusulkan untuk
mengembangkan produk suplemen besi dalam bentuk injeksi dari iron sucrose.
4.5.4 Pengobatan untuk abnormalitas cairan dan elektrolit
Keseimbangan cairan dan natrium diatur oleh ginjal. Penurunan massa
nefron akan menurunkan filtrasi glomerulus dan selanjutnya reabsorpsi dari
natrium dan cairan sehingga menyebabkan edema. Pengobatan yang diberikan
adalah loop diuretic. Penggunaan diuretik tiazid tidak efektif pada pasien dengan
GFR kurang dari 30 ml/menit/1,73m2.
Penilaian awal untuk pengembangan obat, penulis mengamati dari
pertumbuhan penggunaan molekul loop diuretics dalam unit yang dapat diamati
pada Gambar 4.19 berikut ini :
Gambar 4.19 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat
golongan loop diuretics
-20,00
-15,00
-10,00
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
Furosemid Torsemid Bumetanid
Un
it
Molekul
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
41
Universitas Indonesia
Jika melihat pertumbuhan volume molekul obat golongan loop diuretics
maka molekul yang mungkin dikembangkan adalah furosemid yang memiliki
nilai pertumbuhan penggunaan unit yang positif. Namun hasil penelusuran
literatur, Penulis mendapatkan informasi jika penggunaan torsemid lebih dipilih
untuk pasien gagal ginjal kronik dibandingkan furosemid karena torsemid
mengurangi jumlah kematian serta hospitalisasi dibandingkan furosemid. Namun
market value obat loop diuretics kecil dan untuk furosemid sudah banyak brand
yang beredar. Untuk toresemid dan bumetanid memiliki pertumbuhan yang
negatif. Dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang ada, Penulis tidak
mengusulkan obat golongan loop diuretics untuk dikembangkan.
Penilaian awal untuk pengembangan obat, penulis mengamati dari
pertumbuhan penggunaan molekul diuretik tiazid dalam unit yang dapat diamati
pada Gambar 4.20 berikut ini :
Gambar 4.20 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat
golongan diuretik tiazid
Sedangkan untuk diuretik tiazid, hanya hidroklortiazid yang memiliki
pertumbuhan yang sangat baik (positif) sedangkan yang lainnya tidak. Tetapi dari
sumber lain yang didapat klortalidon mungkin merupakan pilihan yang paling
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
Indapamid Hidroklortiazid Klortalidon Xipamid
Un
it
Molekul
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
42
Universitas Indonesia
baik pada saat diuretik digunakan untuk terapi inisiasi (Reilly, R.F., Peixoto A.J.,
Desri, G.V., 2010) dan klortalidon lebih mengurangi resiko kardiovaskular
dibandingkan hidroklortiazid (Dorsch, M.P., Gillespie, B.W., Erikson, S.R.,
Bleske, B.E., Weder, A.B., 2011). Namun karena market value dari golongan
diuretik tiazid kecil maka dengan mempertimbangkan seluruh data-data yang ada,
Penulis tidak mengusulkan untuk mengembangkan produk obat dari golongan
diuretik tiazid. Jadi Penulis tidak mengusulkan pengembangan obat diuretik, baik
obat golongan loop diuretics maupun diuretik tiazid.
4.5.5 Hiperparatiroid sekunder dan Renal Osteodistrofi
Tabel 4.13 Pengobatan untuk komplikasi hiperparatiroid sekunder dan renal
distrofi
Phosphate Binding Agents
Lanthanum Fosforenol®
Sevelamer Tidak tersedia di Indonesia
Vitamin D
Kalsitriol Calcijex®
Parikalsitol Zemplar®
Dokserkalsiferol Tidak tersedia di Indonesia
Originator : Hectorol® (Injeksi)
Kalsimimetik
Cinacalcet Tidak tersedia di Indonesia
Originator : Sensipar®
Lantanum dapat terakumulasi di hati, paru-paru, dan jaringan lain dan
penimbunan ini bergantung dosis (dose-depent accumulation). Akumulasi
lantanum meningkat pada area osteoid sehingga dapat menurunkan pembentukkan
tulang. Toksisitas lantanum sudah dilaporkan baik pada studi in-vitro maupun
pada hewan. Sevelamer merupakan pengikat fosfat yang bebas kalsium dan
aluminium. Lantanum kurang digunakan dibandingkan sevelamer pada
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
43
Universitas Indonesia
pengobatan hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi renal. Berbagai studi klinis
telah dilakukan dan menunjukkan kemampuan sevelamer dalam mengendalikan
kadar fosfor dalam serum dan produk pengikatan kalsium-fosfor. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Abraham dan Ravichandran pada tahun 2005 menunjukkan
bahwa sevelamer aman dan efektif dalam pengobatan hiperfosfonemia pada
pasien di India yang melakukan dialisis (Abraham, G. Ravichandran, R., 2005).
Sevelamer dalam bentuk garam dengan HCl memiliki kekurangan yaitu dapat
menyebabkan asidosis metabolik. Berdasarkan penelitian yang ada, sevelamer
karbonat lebih aman karena dapat menurunkan resiko asidosis metabolik
dibandingkan sevelamer HCl (Rattray, D., 2010). Hasil pertimbangan data-data
yang ada, untuk produk phosphate binding agent Penulis mengusulkan sevelamer
karbonat untuk dikembangkan.
Produk vitamin D terdiri dari kalsitriol, parikalsitrol, dan dokserkalsiferol.
Parikalsitrol mereduksi konsentrasi PTH lebih cepat dengan kejadian
hiperkalsemia yang lebih sedikit dibandingkan kalsitriol (Sprangue, S.M., Llach,
F., Amdahl, M., Tacetta C., Battle, D., 2003). Parikalsitrol lebih sedikit
menyebabkan efek hiperkalsemia dan hiperfosfotemia (Monie-Faugere, M.C.,
Mawad, H., Malluche, H.H., 2007). Dokserkalsiferol merupakan molekul baru
dan meningkatkan jumlah kasium lebih tinggi dibandingkan parikalsitrol (Tentori,
F., Hubt, W.C., Stidley, C.A., Rohrscheib, M.R., Bedrick, E.J., Meyer, K.B.,
Johnson, H.K., Zager., P.G., 2007). Untuk vitamin D, Penulis mengusulkan untuk
mengembangkan dokserkalsiferol.
Kalsimimetik merupakan senyawa yang dapat mereduksi sekresi hormon
PTH melalui peningkatan sensitivitas dari reseptor sensitif-kalsium. Produk
kalsimimetik yaitu cinacalcet belum tersedia di Indonesia maka sebaiknya produk
tersebut dikembangkan sehingga dapat menjadi peluang untuk memenuhi
kebutuhan pasar akan produk cinacalcet.
4.5.6 Asidosis metabolik
Pengobatan asidosis metabolik dengan natirum bikarbonat natrium sitrat
atau asam sitrat seringkali dibutuhkan untuk pasien gagal ginjal kronik tingkat 3
atau lebih. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, penggunaan bikarbonat secara
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
44
Universitas Indonesia
terus menerus masih menjadi kontroversi terkait resiko hipernatremia,
hiperosmolaritas, dan kelebihan cairan. Natrium sitrat memiliki efek samping
terhadap saluran pencernaan yang lebih sedikit dibandingkan bikarbonat.
Pengunaan jangka panjang natrium sitrat pada pasien dengan gagal ginjal kronik
memerlukan perhatian khusus karena dapat menyebabkan peningkatan absorpsi
aluminium, yang akan menyebabkan keracunan tulang kronik. Adapun pilihan
produk bikarbonat dan sitrat sudah sangat banyak di pasar (market) sehingga tidak
dipertimbangkan untuk dikembangkan.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
45 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia di tahun 2010 sebesar 169.000 pasien
dimana 100.000 pasien adalah pasien gagal ginjal kronik. Jumlah pasien gagal
ginjal yang aktif melakukan hemodialisis di Indonesia selama tahun 2011
adalah 6.951 pasien.
b. Pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien gagal ginjal kronik adalah terapi
dialisis, antihipertensi, antihiperlipidemia, anti-anemia, obat untuk
abnormalitas cairan dan elektrolit, obat untuk hiperparatiroid sekunder dan
renal osteodistrofi, dan obat untuk asidosis metabolik.
c. Ide baru untuk pengembangan produk obat Dexa Medica Group berdasarkan
evaluasi profil produk dan market value diantaranya :
1) Antihipertensi : Telmisartan
2) Antianemia : Metoksi-PEG-Epoetin beta dan
iron sucrose
3) Obat Hiperparatiroid sekunder dan Renal Osteodistrofi :
Sevelamer karbonat, dokserkalsiferol, dan cinacalcet.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan market survey lebih dalam untuk memastikan bahwa
ide produk yang diusulkan memang diperlukan dan direkomendasikan oleh dokter
untuk pengobatan gagal ginjal kronik dan memiliki potensi pasar yang besar di
waktu mendatang.
Untuk ide produk telmisartan, metoksi-PEG-Epoetin beta, sevelamer
carbonate, dokserkalsiferol, dan cinacalcet, masih perlu dilakukan penelusuran
dan evaluasi status patennya di Indonesia sebelum dikembangkan.
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
46 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Arima, H., Chalmers, J. (2011). Progress : Prevention of Recurrent Stroke.
Sydney : George Institute for Global Health
Abraham, G. Ravichandran, R. (2005). Efficacy and Tolerability of Sevelamer in
Treatment of Hyperphosphotemia in Indian Patients on Dialysis)
Bacanu, E.V., Botez, C. (2011). Management of Arterial Hypertension in Adults
with Diabetes and Chronic Kidney Disese. Mangement in Health, Volume
15, 3(2011)
Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar,
J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T. (2008). Pharmacotherapy Principles &
Practice. New York : McGraw Hill Medical
Dorsch, M.P., Gillespie, B.W., Erikson, S.R., Bleske, B.E., Weder, A.B. (2011).
Chlortalidone Reduces Cardiovascular Events Compared with
Hydrochlorothiazide : A Retrospective Cohort Analysis. Hypertension
Journal of The American Heart Association. 689-694
Francisco, A., Locatelli, F., Mann, J.F.E., Canaud, B., Kerr., P.G., Macdougall,
L.C., Besarab, A., Villa, G., Kazes, I., Vlem, B.v., Jolly, S., Beyer, U.,
Dougherty,F.C. (2010). Maintenaqnce treatment of renal anemia in
haemodialysis patients woth methoxy polyethyleneglycol-epoetin beta
versus darbepoetin alfa administered monthly : a randomized comparative
trial. Nephology Dialysis Transplantation Oxford Journal, Volume 25(12)
Gaudron P., Fraccarollo D., Bauer, W., Eilles, C., Ertl G., 2000. Effect of quiapril
initiatesd during progressive remodeling in asymptomatic patients with
healed myocardial infarction. Jerman : Klinikum Mannheim der Universitat
Heidelberg.
Hou, Fan fan. (2006). Benazepril benefits nondiabetic patients with advanced
renal insufficiency.China :Southern Medical University)
King, JN. Gunn-Moore DA, Tasker S., Gleadhill A., Strehlau G. (2006).
Tolerability and efficacy of benazepril in cats with chronic kidney disease.
Switzerland : Novartis Animal Health Inc.).
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
47
Universitas Indonesia
Mallion, J., Siche J., Lacourciere Y. (1999). ABPM comparison of the
antihypertensive profiles of the selectivw angiotensin II receptors
antagonists telmisartan and losartan in patients with mild-to-moderate
hypertension. Journal of Human Hypertension, 13(10), 657 - 664
Monie-Faugere, M.C., Mawad, H., Malluche, H.H. (2007). Opposite Effects of
Calcitriol and Paricalcitol on the Parathyroid Hormone-(1-84)/Large
Carboxy-Terminal-Parathyroid Hormone Fragments Ratio in Patients with
Stage 5 Chronic Kidney Disease. Clinical Journal of The American Society
of Nephrology, 2(6), 1255-1260
Nakayama, S. Watada, H., Mita T., Ikeda F., Shimiz, T., Uchino, H., Fujitani Y.,
Hirose T., Kawamori, R. (2008). Comparison of effects of olmesartan and
telmisartan on blood pressure and metabolic parameters in Japanese early-
stage type-2 diabetics with hypertension. Japan : Jutendo Universty School
of Medicine
Norwood, Daryl, Branch, E., Smith B., Honeywell, M. (2002). Olmesartan
Medoxomil for Hypertension : A Clinical Review. P&T. Vol 27. No.12
Rattray, D. (2010). Sevelamer Carbonate. Inpharmation Pharmacy and
Tehrapeutics Comitte Newsletter, 1(3)).
Reilly, R.F., Peixoto A.J., Desri, G.V. (2010). The evidance-based use of thiazide
diuretics in hypertension and nephrolithiasis. Texas : The University of
TEXAS Southwestern Medical Center at Dallas
Schaefer, E.J., McNamara, J.R., Tayler, T., Daly, J.A., Gleason, J.L., Seman, L.J.,
Ferrai, A., Rubenstein, J.J. (2004). Comparisons of effects of statins
(atorvastatin, fluvastatin, lovastatin, pravastatin, and simvastatin) on
fasting and postprandial lipoproteins in patients with coronary heart
disease versus control subjects. USA : Tufts-New England Medical Center
Sprangue, S.M., Llach, F., Amdahl, M., Tacetta C., Battle, D. (2003). Paricalcitol
versusu calcitrol in the treatment of secondary hyperparatiroidism. National
Institrues of Health, 63(4), 1483-1490
Suhardjono. (2009). Penyqkit Ginjal Kronik, Suatu Epedmi Global Baru, Masalah
dan Tata Laksananya. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
48
Universitas Indonesia
Tentori, F., Hubt, W.C., Stidley, C.A., Rohrscheib, M.R., Bedrick, E.J., Meyer,
K.B., Johnson, H.K., Zager., P.G. (2007). Response to 'Survival differences
between activated injectable vitamin D2 and D3analogs'. Kidney
Internastional, 71, 827-828
Vitale, C., Mercuro, G., Castiglioni, C., Cornoldi, A., Tulli, A., Fini, M.,
Volterrani, M., Rosano. G.,MC. (2005). Metabolic Effects of Telmisartan
and Losartanin Hypertensive patients with Metabolic Syndrome.
CardiovascularDiabetology 2005, 4(6)
Vivanews. (2012). http://kosmo.vivanews.com/news/read/279526-transplantasi-
ginjal-terhambat-pendonor. Diunduh pada tanggal 3Juni 2012 Pukul 17.24
WIB
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. (2009).
Pharmacotherapy Handbook. New York ; Mc Graw Hill
Wienen, W., Entzeroth, M., Mell, J., (2006). A Review on Telmisartan : A Novel,
Long-Acting Angiotensin II-Receptor Antagonist. Cardiovascular Drug
Review, 18(2), 127-154
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012