uji aktivitas antibakteri metabolit sekunder isolat
TRANSCRIPT
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI
RHIZOSFER Centella asiatica
ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3
FROM RHIZOSPHERE Centella asiatica
SUMI
N111 14 033
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI RHIZOSFER Centella asiatica
ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3 FROM RHIZOSPHERE Centella
asiatica
SKRIPSI
Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
SUMI
N111 14 033
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.,
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Antibakteri
Metabolit Sekunder Isolat Actinomycetes PG 3 Dari Rhizosfer Centella
asiatica” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu di
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Ucapan salam serta shalawat juga
penulis ucapkan teruntuk Nabi besar Muhammad Shallallahualaihi Wa
Sallam., yang telah membawa umat muslim ke jalan yang benar.
Penulis menyadari banyak hambatan, kekurangan, serta kesulitan
dalam menyelesaikan penelitian ini, yang tentunya berkat bimbingan,
bantuan, dan motivasi dari beberapa pihak akhirnya penelitian ini dapat
terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada Ibu Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt.. selaku
pembimbing utama dan Prof.Dr.M.Natsir Djide, MS., Apt. selaku pembimbing
pertama yang telah meluangkan banyak waktu, memberi petunjuk,
menyumbangkan pikiran dan tenaganya dalam membimbing mulai selesainya
skripsi ini, serta Ibu Dr. Sartini, M.Si., Apt. selaku ketua penguji, Bapak Muh.
Aswad, S.Si., M.Si., Ph.D., Apt. selaku sekretaris penguji, dan Bapak Drs.
Syaharuddin Kasim, M.Si., Apt. selaku anggota penguji yang telah
meluangkan waktu untuk membagi ilmu dan menyumbangkan pikiran dalam
membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini.
vii
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada :
1. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Farmasi, seluruh staf pengajar dan staf
pegawai dan laboran Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin yang
telah banyak membantu dalam proses menyelesaikan studi kami.
2. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. selaku penasehat akademik
yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat
bermakna selama awal tahun penulis menginjakkan kaki di Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Kedua orang tua tercinta, Ayah Sude dan Ibu Kasma yang telah
mencurahkan segala kasih sayang, memberikan dukungan dari kecil
hingga sekarang, mengingatkan segala hal dan berkat mereka penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini. Karena mereka adalah motivasi penulis
dari kecil hingga sekarang.
4. Kepada kak Ismail, S.Si., M.Si., Apt. atas ilmu dan bantuannya selama
penelitian.
5. Sahabat seperjuangan penelitian Hikma, Nute, Evi, Asmi, Koi, Lina, Dala,
Jiraya, yang telah mendukung, memberi semangat dan berbagi saran
selama penelitian.
6. Saudaraku Farmasi UNHAS angkatan 2014 (Hios14min) khususnya Eka,
Nul, Roha, Ammi, Esta, Ulling, Nuwa, Hae, Dianabulat atas segala
bantuannya selama ini. Serta warga KEMAFAR-UH yang selalu memberi
semangat dalam perjalanan penulis di Farmasi UNHAS.
viii
7. Semua pihak yang terlibat, yang tidak sempat tersebut namanya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi terciptanya suatu karya yang lebih bermutu. Akhirnya,
semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di masa yang akan datang.
Makassar, 4 Mei 2018
Penulis
ix
ABSTRAK
SUMI. Uji Aktivitas Antibakteri Metabolit Sekunder Isolat Actinomycetes PG 3 Dari Rhizosfer Centella asiatica (dibimbing oleh Herlina rante, Natsir Djide)
Actinomycetes merupakan salah satu kelompok mikroorganisme
penghasil antibiotik paling banyak. Actinomycetes menjadi penting dalam
bidang kesehatan dan industri farmasi karena kemampuannya dalam
memproduksi metabolit sekunder untuk pengobatan, khususnya antibakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas metabolit sekunder isolat
Actinomycetes PG 3 yang berasal dari Rhizosfer Centella asiatica yang dapat
menghasilkan senyawa antibakteri. Isolat Actinomycetes PG 3 yang diperoleh
difermentasi selama 17 hari yang kemudian diekstraksi menggunakan Etil
asetat (1/1) dan biomassa dimaserasi dengan metanol. Ekstrak Etil asetat,
Ekstrak Metanol dan Ekstrak Air yang diperoleh dilakukan uji aktivitas
antibakteri dengan metode difusi agar terhadap bakteri S.aureus dan E.coli.
Ekstrak Etil asetat yang memiliki aktivitas paling besar, selanjutnya di
Kromatografi lapis tipis dan bioautografi menggunakan Fase diam silika gel
GF254 dan Fase gerak Kloroform : Etil asetat (3:1). Identifikasi isolat
Actinomycetes PG 3 dilakukan secara mikroskopik. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh bahwa isolat PG 3 diduga sebagai Actinomycetes yang
termasuk dalam genus Streptomyces sp spora rantai panjang dengan tipe
spora spiral tertutup, yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri E.coli
dan S.aureus dengan aktivitas kuat. Hasil KLT bioautografi Ekstrak Etil asetat
terhadap S.aureus menunjukkan zona hambat masing-masing pada Rf 0,05;
0,62; 0,76 dan 0,95 yang diduga merupakan senyawa golongan Polifenol,
Flavanoid dan Terpenoid.
Kata Kunci: Actinomycetes, kromatografi lapis tipis, bioautografi, antibakteri.
x
ABSTRACT
SUMI. Antibacterial Activity Test Of Secondary Metabolic isolated Actinomycetes PG 3 From Rhizosphere Centella asiatica (supervised by Herlina Rante, M. Natsir Djide) Actinomycetes is the richest microorganisms in the production of antibiotics. Actinomycetes plays an important role in medical and pharmaceutical industry because of its capability to produce secondary metabolite for therapeutics use, especially antibacaterial. The aim of this study was to know the potential of isolated Actinomycetes PG 3 From Rhizosfer Centella asiatica which known of antibacterial compound. Isolated Actinomycetes PG 3 were fermented for 17 consecutive days then extracted by ethyl acetate with 1:1 ratio and biomass were macerated by methanol. The antibacterial activity of ethyl acetate extract, methanol extract, and water extract were assessed by agar diffusion method againts S.aureus and E.coli. Ethyl acetate Extract shown to have the most antibacterial activity, then thin-layer chromatography and bioautography were performed by silica gel GF254 stationary phase and mobile phase chloroform : ethyl acetate (6:2). Isolate identification of Actinomycetes PG 3 was conducted based on microscopis characteristic. The results showed isolated PG 3 were predicted as Actinomycetes and in Classification of long chained spore with cyclic spore type of Streptomyces sp genus, that can potentially inhibit E.coli and S.aureus growth activities the most. Thin-layer chromatography and bioautography resulted ethyl acetate extract shown inhibition zone to S.aureus individually Rf 0,05 ; 0,62 ; 0,95 and were assumed as polyphenol, flavonoid and terpenoid compound. Keywords : Actinomycetes, thin-layer chromatography, bioautography,
antibacterial
xi
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xviii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
I.2 Rumusan Masalah 3
I.3 Tujuan Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
II.1 Actinomycetes 4
II.1.1 Karakteristik dan Lingkungan Actinomycetes 4
II.1.2 Klasifikasi Actinomycetes 8
II.1.3 Metabolit Sekunder Actinomycetes 9
II.2 Rhizosfer 10
II.3 Antimikroba 11
II.4 Metabolit Mikroba 14
II.5 Pertumbuhan Mikroorganisme 16
xii
II.6 Fermentasi 18
II.7 Metode Pengujian Antimikroba 20
II.7.1 Metode difusi 20
II.7.1 Metode dilusi 23
II.8 Uraian Mikroba 24
II.8.1 Escherichia coli 24
II.8.2 Staphylococcus aureus 24
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 26
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 26
III.1.1 Alat 26
III.1.2 Bahan 26
III.2 Metode Kerja 27
III.2.1 Sterilisasi Alat 27
III.2.2 Pembuatan Medium 27
III.2.3 Penyiapan Isolat Actinomycetes 28
III.2.3.1 Peremajaan isolat 28
III.2.3.2 Fermentasi Isolat Actinomycetes 28
III.2.3.3 Ekstraksi 28
III.2.4 Penyiapan bakteri Uji 29
III.2.4.1 Peremajaan Bakteri 29
III.2.4.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji 29
III.2.5 Pengamatan Morfologi Mikroba 29
III.2.6 Uji Aktivitas Antibakteri 30
xiii
III.2.7 KLT- Bioautografi 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32
IV.1 Hasil Peremajaan 32
IV.2 Fermentasi dan Ekstraksi 33
IV.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak 35
IV.4 KLT-Bioautografi 38
IV.5 Identifikasi Actinomycetes 42
BAB V PENUTUP 45
V.1 Kesimpulan 45
V.2 Saran 45
DAFTAR PUSTAKA 46
LAMPIRAN 50
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil Pengukuran rata-rata diameter zona hambat metabolit sekunder Actinomycetes terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli 35
2. Hasil Uji Skrinning Fitokimia 52
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Penampakan Isolat Actinomycetes pada media agar 5
2. Koloni Actinomycetes tumbuh pada agar yang menunjukkan miselium substrat dan miselium udara 6
3. Isolat Actinomycetes PG 3 yang diinkubasi 10 hari 32
4. Kurva penentuan fase stasioner berdasarkan lama fermentasi (hari) terhadap Diameter zona hambatan (mm) 34
5. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes terhadap bakteri uji pada kadar 2 mg 36
6. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes terhadap bakteri uji pada kadar 4 mg 36
7. Hasil Uji KLT Bioautografi pada bakteri Staphylococcus aureus 39
8. Identifikasi Golongan senyawa 42
9. Hasil Uji Mikroskopis Isolat PG 3 dengan perbesaran 1000x 43
10. A. Jenis struktur spora pada Streptomyces, B. Produksi spora Rantai Panjang 43
11. Hasil Fermentasi selama 17 hari 53
12. A. Ekstrak Etil asetat; B. Ekstrak Air; C. Ekstrak Metanol 53
13. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri A. Staphylococcus aureus B. Escherichia coli 53
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema kerja 50
2. Komposisi Medium 51
3. Tabel 52
4. Dokumentasi gambar 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah satu permasalahan dalam bidang
kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang (Rahayu, 2010).
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di negara berkembang
termasuk Indonesia (Darmadi, 2008). Berdasarkan data World Health
Organization (2015), penyebab kematian tertinggi didunia setelah penyakit
jantung koroner dan stroke adalah infeksi. Pengobatan yang sering
digunakan untuk mengobati infeksi tersebut adalah penggunaan antibiotik,
tetapi sekarang telah banyak mikroorganisme yang mengalami resistensi
terhadap antibiotik (Rahayu, 2010). Oleh karena itu diperlukan galur-galur
antibiotik untuk menemukan antibiotik baru dan lebih sensitif terhadap
mikroba patogen yang resisten (Sulistiani dan Narwanti, 2015).
Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan Bakteri, Actinomycetes,
Jamur dan beberapa mikroba lainnya (Kumalasari dkk, 2012; Adriani dan
Febriwanti, 2013). Salah satu sumber potensial molekul antibiotik baru adalah
Actinomycetes. Secara histori, Actinomycetes menghasilkan jumlah kelas
antibiotik terbanyak seperti tetrasiklin, aminoglikosida, sefalosporin dan
2
makrolida. Sekitar 70% antibiotik dihasilkan oleh Actinomycetes, 20% Fungi
dan 10% oleh Bakteri (Kumalasari dkk, 2012; Adriani dan Febriwanti, 2013).
Actinomycetes adalah organisme prokariotik yang termasuk bakteri gram
positif, hidup bebas, saprofit, terdistribusi secara luas di tanah, air, dan
membentuk kolonisasi pada jaringan tanaman atau endofit, juga penghasil
berbagai senyawa aktif dari hasil metabolisme sekunder. Karakteristik
morfologi dari prokariot ini menyerupai fungi karena memiliki hifa atau filamen
namun tidak bersekat, namun mikroba ini termasuk dalam golongan bakteri
karena bersifat prokariot dan memiliki kandungan peptidoglikan pada dinding
selnya (Fatmawati dkk, 2014). Actinomycetes memiliki distribusi pertumbuhan
yang luas. Sumber actinomycetes dapat dijumpai dalam air, pertumbuhan
yang berupa filamen di dalam tanah, koloni di permukaan akar maupun di
Rhizosfer (Fatmawati dkk, 2014).
Rhizosfer merupakan bagian tanah disekitar akar. Pada tanah di
daerah Rhizosfer memiliki jumlah bakteri, jamur, dan actinomycetes yang
lebih banyak dibandingkan tanpa Rhizosfer (Mukamto, 2015). Akar Tanaman
mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat, seperti halnya pada
tumbuhan lainnya. Hasil eksudasi akar tersebut kemudian menyebar ke
tanah Rhizosfer rumput. Hasil eksudasi merupakan
sumber makanan atausumber kehidupan untuk mikroflora tanah, termasuk
mikroorganisme. Akibatnya disekitar perakaran rumput dapat ditemukan
banyak mikroorganisme. Sehingga populasi mikroorganisme pada Rhizosfer
3
jauh lebih tinggi dibandingkan bagian tanah lainnya (Rahayu, 2006).
Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi Actinomycetes dari Rhizosfer
yang berpotensi sebagai penghasil antibiotik salah satunya Fatmawati,
(2014) telah melakukan penelitian mengenai aktivitas antibakteri
Actinomycetes dari Rhizosfer Tanaman Solanaceae yang mampu
menghambat pertumbuhan S.aureus, B.subtilis dan E.coli. Rante, dkk (2017)
telah melakukan isolasi Actinomycetes dari Rhizosfer Centella asiatica dan
salah satu isolat yang diperoleh diberi kode PG 3 yang belum diketahui
aktivitas antibakterinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini.
I.2 Rumusan Masalah
Apakah metabolit sekunder isolat Actinomycetes PG 3 dari Rhizosfer
Centella asiatica memiliki aktivitas sebagai penghasil antibakteri?
I.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aktivitas antibakteri metabolit sekunder isolat
Actinomycetes PG 3 dari Rhizosfer Centella asiatica.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Actinomycetes
II.1.1 Karakteristik dan Lingkungan Actinomycetes
Actinomycetes adalah kelompok bakteri gram positif dengan kadar
guanin dan sitosin tinggi dalam DNA-nya, yang terdapat di terestrial atau
perairan. Meskipun actinomycetes adalah uniseluler seperti bakteri, tidak
memiliki dinding sel yang berbeda, tetapi dapat menghasilkan miselium yang
nonseptate dan lebih ramping. Actinomycetes dapat dijumpai pada tanah, air
tawar dan laut. Actinomycetes mempunyai peran penting dalam penguraian
bahan organik, seperti selulosa dan kitin, melengkapi nutrisi dalam tanah,
dan merupakan bagian penting dari pembentukan humus. Koloni
actinomycetes menunjukkan konsistensi seperti tepung dan menempel kuat
pada permukaan agar (Dhanasekaran and Jiang, 2016).
Actinomycetes menghasilkan berbagai metabolit sekunder dengan
kepentingan farmakologis dan perdagangan yang tinggi. Dengan penemuan
actinomycin, sejumlah antibiotik telah ditemukan dari Actinomycetes,
terutama dari genus Streptomyces. Actinomycetes tersebar luas di tanah
dengan sensitivitas tinggi terhadap asam dan pH rendah. Actinomycetes
memiliki sejumlah fungsi penting, termasuk dalam degradasi
5
/dekomposisi semua jenis zat organik seperti selulosa polisakarida, lemak
protein, asam organik, dan sebagainya, mendekomposisi humus di tanah,
memberi bau tanah yang baru dibajak, menghasilkan sejumlah antibiotik
seperti streptomisin, terramisin, aureomisin, dan sebagainya (Dhanasekaran
dan Jiang, 2016).
Actinomycetes terdiri dari sekelompok mikroorganisme uniseluler
bercabang, yang sebagian besar terdiri dari miselium pembentukan aerobik
yang lebih dikenal sebagai substrat dan udara. Actinomycetes bereproduksi
dengan pembelahan biner atau dengan menghasilkan spora atau konidia,
dan sporulasi Actinomycetes dilakukan melalui fragmentasi dan segmentasi
atau pembentukan konidia. Penampakan morfologi dari Actinomycetes
(Gambar 1) adalah kompak, sering kasar, penampakan yang berbentuk
kerucut dengan permukaan yang kering pada media kultur dan sering ditutupi
dengan miselium aerial (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).
Gambar 1. Penampakan isolat Actinomycetes pada media agar. a, c Penampakan isolat Actinomycetes. b, d Morfologi koloni individu (Dhanasekaran dan
Jiang, 2016).
6
Berdasarkan perbedaan morfologi dan fungsi, miselia dapat dibagi menjadi
miselium substrat dan miselium udara (Gambar 2)
Gambar 2. Koloni Actinomycetes tumbuh pada agar yang menunjukkan miselium
substrat dan miselium udara (Dhanasekaran dan Jiang, 2016)
Seperti yang diketahui sebagai miselium vegetatif atau miselium
primer, miselium substrat tumbuh ke medium atau di permukaan media
kultur. Fungsi utama miselium substrat adalah penyerapan nutrisi untuk
pertumbuhan actinomycetes. Miselium substrat memiliki variasi dalam
ukuran, bentuk, warna dan ketebalan. Di bawah mikroskop, miselium substrat
berbentuk tipis, transparan, dan lebih bercabang daripada hifa udara. Hifa
tunggal memiliki ketebalan sekitar 0,4 sampai 1,2 μm, biasanya tidak
membentuk sekat dan retak sehingga mampu mengembangkan cabang.
Warnanya berkisar dari putih atau hampir tidak berwarna hingga kuning, biru,
ungu , coklat, merah, pink, orange, hijau, hitam atau warna lainnya.
Beberapa hifa dapat menghasilkan pigmen yang larut dalam air atau larut
dalam lemak. Pigmen yang larut dalam air bisa meresap ke media kultur,
7
yang membuat medium dengan warna yang sesuai. Pigmen yang tidak larut
dalam air (atau larut dalam lemak) membuat koloni dengan warna yang
sesuai (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).
Miselium udara merupakan hifa miselium substrat berkembang ke tahap
tertentu, dan tumbuh ke udara. Terkadang, hifa udara dan miselium substrat
sulit dibedakan. Hal ini dapat dibedakan dengan preparasi pada Cover slip,
dilihat dengan mikroskop cahaya dengan hifa substrat ramping, transparan,
dan gelap sedangkan Hifa udara kasar, refraktif, dan terang. Hifa miselium
udara ditandai dengan selubung berserat, kecuali genus Pseudonocardia dan
Amycolata (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).
Beberapa jenis Actinomycetes memiliki miselium aerial. Miselium aerial
merupakan bentuk dan struktur dari miselium vegetatif. Miselium aerial
muncul dari miselium substrat dan menutupi seluruh koloni, sehingga terlihat
seperti kapas atau tepung. Karakteristik miselium aerial lain dari
Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki warna dari putih atau
abu-abu sampai ke kuning, orange, lavender, biru, dan hijau (Dhanasekaran
dan Jiang, 2016).
Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang umum dijumpai
pada berbagai jenis tanah. Populasinya berada pada urutan kedua setelah
bakteri bahkan kadang kadang hampir sama. Actinomycetes hidup sebagai
saprofit dan aktif mendekomposisi bahan organik sehingga dapat
meningkatkan kesuburan tanah . Pada umumnya Actinomycetes tidak toleran
terhadap asam dan jumlahnya menurun pada keadaan lingkungan dengan
8
pH dibawah 5,0 . Rentang pH yang paling cocok untuk Actinomycetes adalah
antara 6,5-8,0. Temperatur yang cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes
adalah 25-30 oC, tetapi pada suhu 55-65 oC Actinomycetes masih dapat
hidup dalam jumlah cukup besar khususnya genus Thermoactinomycetes
dan Streptomyces (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).
Actinomycetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam
menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, Actinomycetes
memerlukan bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan
hidupnya dan beberapa jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan
chitin. Media isolasi Actinomycetes adalah Starch nitrate Agar (SNA). Shahat
dkk, 2011 telah melakukan penelitian dengan membandingkan beberpa
medium isolasi Actinomycetes dalam menumbuhkan Streptomyces griseolus
dan ditemukan bahwa medium SNA adalah medium yang paling baik,
kemudian medium fish-meal extract, inorganik salts starch, oat meal extract,
dan medium glycerol aspargine.
II.1.2 Klasifikasi Actinomycetes
Actinomycetes termasuk ordo Actinomycetales. Yang terbagi menjadi
3 famili yaitu (Waluyo, 2005) :
a. Family Mycobakteriaceae
Sel-sel tidak membentuk miselium atau hanya miselium yang
rudimentar. Misalnya Mycobacterium dan Mycococcus
9
b. Suku Actinomycetaceae
Membentuk miselium, spora terbentuk dalam fragmen-fragmen
miselium. Contoh : Actinomyces bovis, patogen penyebab penyakit
mulut pada ternak.
c. Suku Streptomycetaceae,
Membentuk miselium, miselium vegetative tidak terbagi-bagi. Contoh :
Streptomyces aureofaciens, menghasilkan aureomisin
Streptomyces griseus, menghasilkan streptomision
Streptomyces fradiae, menghasilkan neomisin dan fradisin
Streptomyces rimosus, menghasilkan teramisin
Streptomyces venezuelae, menghasilkan kloromisetin
II.1.3 Metabolit Sekunder Actinomycetes
Banyak metabolit sekunder mikroba yang menunjukkan aktivitas
sebagai antimiktoba. Dari semua produk microbial, hasil fermentasi
Streptomyces adalah sumber terbesar yang mengandung antibiotik.
Contohnya antimikroba yang mengandung betalaktam, aminoglikosida,
fenilpropanoid, dan sebagainya. Salah satunya adalah S. Clavugerus
memproduksi asam klavulanat yang merupakan inhibitor dari
betalaktamase (Solecka dkk, 2012). Selain itu, Senyawa yang diperoleh
dari actinomycetes bakau adalah Chalcomycin B yang diisolasi dari kultur
Streptomyces laut sp. B7064 yang dikumpulkan dari sedimen mangrove
Pohoiki, Hawaii, dimana makrolida ini menunjukkan aktivitas terhadap
Staphylococcus aureus (MIC = 0,39 μg / mL), Bacillus subtilis (MIC = 6,25
10
μg / mL) ,Chlorella vulgaris, Chlorella sorokiniana dan Scenedesmus
subspicatus (MIC = 50 μg / mL) (Asolkar dkk, 2002).
Yuan dkk (2011), telah mengidentifikasi dua lakton makrosiklik baru
sebagai azalomisin F4a 2-etilpentil ester dan azalomisin F5a 2-etilpentil
ester. Kedua Laktone tersebut diisolasi dari kaldu mangrove St
reptomyces sp. 211726 yang diisolasi dari Rhizosfer mangrove Heritiera
globosa yang dikumpulkan di Wenchang, China. Senyawa F4a dan F5a
menunjukkan aktivitas terhadap Candida albicans ATCC 10231 pada MIC
2,34 dan 12,5 μg / mL dan sitotoksisitas terhadap sel HCT-116 dengan
nilai IC50 5,64 dan 2,58 μg / mL.
II. 2 Rhizosfer
Istilah Rhizosfer menunjukkan bagian tanah yang dipengaruhi perakaran
tanaman. Rhizosfer merupakan daerah sekitar perakaran yang sifat-sifatnya
baik kimia, fisik dan biologi dipengaruhi oleh aktivitas perakaran. Rhizosfer
dibagi menjadi dua, yaitu Rhizosfer bagian dalam (inner rhizosphere) yaitu
daerah di permukaan perakaran tanaman, dan Rhizosfer bagian luar (outer
rhizosphere) merupakan daerah di sekitar perakaran (Dewi, 2007).
Daerah Rhizosfer tersebut sering disebut sebagai Rhizoplanne.
Rhizoplanne merupakan daerah permukaan akar pada Rhizosfer. Jumlah
mikroorganisme pada Rhizosfer bagian dalam biasanya lebih besar dari pada
Rhizosfer bagian luar, karena lebih banyak interaksi biokimia antara akar dan
mikroba. Rhizosfer dicirikan oleh lebih banyaknya aktivitas mikrobiologis
dibandingkan di dalam tanah yang jauh dari perakaran tanaman. Intensitas
11
aktivitas semacam ini tergantung dari panjangnya jarak tempuh yang dicapai
oleh eksudasi sistem perakaran. Pengaruh keseluruhan perakaran tanaman
terhadap mikroorganisme tanah disebut sebagai efek Rhizosfer. maka akan
lebih banyak jumal mikroorganisme pada tanah yang termasuk Rhizosfer.
Beberapa faktor seperti tipe tanah, kelembaban tanah, pH, temperatur, umur
dan kondisi tanaman mempengaruhi efek Rhizosfer. (Richards, 1974).
Laju kegiatan metabolik mikroorganisme Rhizosfer berbeda dengan
laju kegiatan metabolik mikroorganisme non-Rhizosfer. Pada umumnya
Rhizosfer dari kebanyakan tanaman mengandung bakteri gram-negatif , tidak
berspora, berbentuk batang, dan terdapat pada daerah Rhizosfer. Bakteri
yang membutuhkan asam amino lebih banyak terdapat di daerah Rhizosfer
dibandingkan tanah di luar Rhizosfer. Actinomycetes penghasil antibiotik lebih
banyak terdapat dalam Rhizosfer dibandingkan tanah tanpa Rhizosfer.karena
actinomycetes yang memiliki sifat antagonis dan kompetitif terhadap
mikroorganisme tanah lainnya. Rhizosfer dapat mengalami perubahan, di
antaranya diakibatkan oleh: (1) penambahan tanah; (2) pemberian nutrisi
melalui daun; dan (3) inokulasi artifisial biji atau tanah yang mengandung
sediaan mikroorganisme hidup, terutama bakteri (Richards, 1974).
II. 3 Antimikroba
Antimikroba adalah subtansi yang menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri maupun mikroorganisme lainnya, tetapi toksisitasnya bagi
manusia relatif kecil. Suatu antibakteri harus bersifat toksisitas yang selektif
artinya obat atau zat tersebut harus bersifatssangat toksik pada
12
mikroorganisme penyebab penyakit tetapi tidak toksik terhadap jasad inang
(Kee dan Hayes, 1996).
Berdasarkan sifat toksisitas selektif tersebut, antibakteri dapat dibagi
menjadi (Solecka dkk, 2012; Djide dan Sartini, 2008):
1. Bakteriostatika
Zat atau bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
(bakteri). Dalam keadaan ini jumlah mikroorganisme menjadi stasioner, tidak
dapat lagi multiplikasi dan berkembang biak. Sebagai contoh adalah
sulfonamide, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan sebagainya.
2. Bakteriosida
Zat atau bahan yang dapat membunuh mikroorganisme (bakteri) dalam
hal ini jumlah mikroorganisme akan berkurang atau bahkan habis, tidak dapat
lagi berkembanng biak. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin,
sefalosporin, neomisin. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai
kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibakteri
tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid
bila kadar anti bakterinya meningkat
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi atas (Djide dan
Sartini, 2008; Ganiswara 1995)
1. Antibakteri yang menghambat metabolisme sel bakteri
Bakteri membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.
Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar,
13
kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para
amino benzoate (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Antibakteri
bekerja memblok tahap metabolik spesifik bakteri, seperti sulfonamide,
trimethoprim, PAS dan sulfon.
2. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri teridiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks
polimer mukopeptida. Antibakteri golongan ini dapat menghambat
sintesis atau menghambat aktivitas enzim yang berperan dalam
pembentukan dinding sel mikrooganisme. Antibakteri yang termasuk
dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosforin, vankomisin dan
sikloserin.
3. Antibakteri yang menggangu keutuhan membran sel bakteri
Antibakteri secara langsung bekerja pada membran sel yang
mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa
intraseluler yang berupa komponen penting dari dalam sel
mikroorganisme yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida. Antibakteri
yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin, kolistin, dan
sebagainya.
4. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel bakteri
Dalam kelangsungan hidupnya, bakteri perlu mensintesis berbagai
protein, dimana sintesis protein berlangsung di ribosom dengan
bantuan mRNA dan tRNA. Antibakteri mempengaruhi fungsi ribosom
pada mikroorganisme yang menyebabkan sintesa protein terhambat.
14
Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua sub unit yang berdasarkan
konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S.
Antibakteri yang berinteraksi dengan ribosom 30S antara lain
aminoglikosida dan tetrasiklin, sedangkan yang berinteraksi dengan
ribosom 50S antara lain kloramfenikol, linkomisin, klindamisin dan
eritromisin.
5. Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri
Dalam hal ini antibakteri mempengaruhi metabolisme asam nukleat.
Antibakteri kelompok ini bekerja dengan cara berikatan dengan enzim
polymerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh
enzim tersebut. Sebagai contoh, kuinolon menghambat DNA girase
dan rifampisin mengikat dan menghambat DNA-dependent RNA-
polymerase yang ada pada bakteri.
II.4. Metabolit Mikroba
Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi
menjadi 2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit
primer dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan
katabolik yang menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan
diferensiasi. Metabolisme primer yang terjadi dalam semua sel hampir
semuanya memiliki kemiripan baik prosesnya maupun produk yang terjadi
maupun fungsi biologisnya. Sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa
kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara
langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi.
15
Metabolit sekunder merupakan produk spesifik dari setiap spesies (atau
hanya ditemukan dalam bagian kecil dari spesies dalam grup filogenik).
Tanpa senyawa ini maka organisme akan berakibat menderita karena kurang
dapat mempertahankan diri namun demikian tidak menyebabkan kematian
secara langsung, contohnya antifungi, antibakteri, antikolesterol, enzim
inhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam
organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan
melawan predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot dkk. 2002;
Luckner, 1990; Bennett dan Bentley, 1989 ).
Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping
atau limbah organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang
berlebih. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti
bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon
terhadap lingkungan yang tidak sesuai. Metabolit sekunder dihasilkan melalui
jalur biosintesis metabolit primer. Jalur biosintesis metabolit sekunder lebih
spesifik untuk setiap famili atau genus mikroba dan berhubungan terhadap
mekanisme evolusi suatu spesies (Dewick, 1997; Torssell, 1997).
Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer merupakan
metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup,
diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Metabolisme primer
telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs,
asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya
16
merupakan kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua
mikroorganime (Ganiswara, 1995).
Semua mikroba yang memiliki sistem jalur metabolisme yang sama
akan menghasilkan senyawa metabolit primer yang sama pula. Berbeda
halnya dengan metabolit sekunder, metabolit ini bukan merupakan metabolit
dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya tetapi mendukung
kelangsungan hidup suatu spesies untuk tetap hidup (Bennett dan Bentley,
1989).
Metabolit sekunder tidak memiliki peran dalam proses kehidupan dasar.
Metabolit sekunder disintesis dari substrat yang dihasilkan oleh metabolit
primer melalui lintasan metabolisme primer. Metabolit sekunder dalam
tumbuhan biasanya dapat divisualisasi dari warna, bau, dan rasa yang
dihasilkan dari senyawa kimia. Metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan
untuk pembuatan obat, insektisida, pewangi dan lain-lain. Ada beberapa
metabolit sekunder khususnya antibiotik yang dihasilkan dari jalur biosintesis
ini seperti antibiotik β-laktam (misalnya penisilin dan sefalosporin), antibiotik
aminoglikosid (streptomisin), steroid (gibberelin), makrolida (tetrasiklin),
aktinomisin, dan anthramisin (Torssell, 1997).
II.5 Pertumbuhan Mikroorganisme
Pertumbuhan secara umum dapat didefinisikan sebagai pertambahan
secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pertumbuhan sel bakteri
biasanya mengikuti suatu pola pertumbuhan tertentu berupa kurva
pertumbuhan sigmoid.
17
Apabila suatu mikroorganisme dimasukkan kedalam medium yang baru
pada umumnya tidak akan segera membelah diri, tetapi akan memerlukan
waktu untuk penyesuaian diri dalam medium tersebut. Pertumbuhan bankteri
dalam suatu medium memiliki beberapa fase pertumbuhan sebagai berikut
(Djide dan Sartini, 2008)
1. Fase permulaan
Pada fase ini mikroorganisme melakukan penyesuaian diri dengan
lingkungannya yang baru. Sel-sel pada fase ini mulai membesar, tetapi
belum melakukan pembelahan sel.
2. Fase pertumbuhan yang dipercepat
Pada fase ini mikroorganisme mulai melakukan pembelahan diri, tetapi
waktu generasinya masih panjang.
3. Fase pertumbuhan logaritma (eksponensial)
Pada fase pertumbuhan ini kecepatan pertumbuhan paling cepat,
waktu generasinya pendek dan konstan. Selama fase ini metabolisme
paling cepat dan pesat sehingga sintesa bahan sel sangat cepat dan
konstan. Keadaan tersebut berlangsung sampai salah satu atau
beberapa nutrient habis atau telah terjadi penimbunan hasil-hasil
metabolisme yang bersifat racun sehingga menyebabkan
pertumbuhan terhambat.
4. Fase pertumbuhan mulai terhambat
Pada fase ini pertumbuhan mulai terhambat karena adanya
pengurangan nutrient dan mulai terjadi penimbunan hasil-hasil
18
metabolisme yang bersifat racun, juga terjadi perubahan lingkungan
seperti pH dan lain-lain. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil,
tetapi jumlah populasi masih naik. Hal ini karena jumlah sel yang
masih tumbuh lebih banyak daripada jumlah sel yang mati.
5. Fase Pertumbuhan tetap (Stasioner)
Pada fase ini jumlah sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama
dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase ini lebih kecil
karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah habis. Pada
fase ini sel-sel lebih tahan terhadap keadaan ekstrim seperti panas,
dingin, radiasi dan bahan kimia.
6. Fase kematian yang dipercepat dan kematian logaritma
Pada fase ini kecepatan kematian meningkat terus menerus
sedangkan kecepatan pembelahan menjadi nol.
II.6 Fermentasi
Fermentasi dalam dunia mikrobiologi industri digambarkan sebagai
proses untuk mengubah bahan dasar mnjadi produk yang dikehendaki dalam
kultur bakteri tertentu. Sistem fermentasi dapat dilakukan dengan 3 macam,
yaitu (Djide, 2012) :
1. Sistem batch
Sistem ini merupakan sistem yang paling sederhana dan sering
digunakan di laboratorium untuk mendapatkan produk sel atau
metabolitnya. Fermentasi sistem batch adalah sistem tertutup, artinya
semua nutrisi yang dibutuhkan bakteri selama pertumbuhan dan
19
pembentukan produk berada di dalam 1 fermentor. Jadi tidak ada
penambahan bahan atau pengambilan hasil selama fermentasi
berlangsung.
2. Sistem fed-batch
Sistem ini tidak tertutup seperti sistem batch. Selama fermentasi,
substrat, nutrisi, atau induser dapat ditambahkan ke dalam fermentor.
Sistem fed-batch dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu sistem volume
tetap dan sistem volume berubah. Sistem volume tetap berarti setiap
ada penambahan medium baru ke dalam fermentor, ada medium
lama, produk, atau sel yang dikeluarkan sebanyak medium baru yang
dimasukkan fermentor, sedangkan sistem volume berubah berarti ke
dalam fermentor ditambahkan medium baru tetapi tidak ada medium
lama atau produk yang dikeluarkan dari dalam fermentor .
3. Sistem continuous
Sistem fermentasi ini biasanya digunakan dalam skala industri. Sistem
continuous adalah sistem batch yang fase eksponensialnya
diperpanjang, dengan tetap menjaga fluktuasi nutrisi dan jumah
sel/biomassa. Bakteri diberi nutrisi/medium segar, sementara itu
sejumlah sel atau medium dikeluarkan dari system batch dengan
kecepatan yang sama. Hal ini menjamin tingkat kestabilan dari faktor-
faktor seperti volume kultur, biomassa, konsentrasi produk dan
substrat, pH, suhu, dan oksigen terlarut.
20
II. 7 Metode pengujian antimikroba
Pengujian antimikroba ada berbagai macam metode yang dapat
digunakan. Metode yang paling sering digunakan adalah difusi dan dilusi.
Berikut akan diuaikan beberapa metode yang digunakan dalam pengujian
animikroba, yaitu (Balouri dkk, 2016)
II.7.1 Metode difusi
a. Metode difusi agar
Metode ini telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan merupakan
metode resmi yang banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi
klinis dalam menguji kepekaan antimikroba. Alat yang dapat digunakan
pada metode ini yaitu pencadang atau disk. Prinsip metode ini yaitu agen
antimikroba yang terdapat pada pencadang/disk akan berdifusi ke dalam
media agar yang berisi mikroorganisme uji dan akan menghambat
pertumbuhan mikroba yang ditandai dengan adanya zona hambat
(bening).
Prosedur pengerjaan dalam metode ini yaitu dengan cara
menginokulasikan mikroorganisme uji pada media agar. Kemudian,
pencadang/disk (berdiameter kurang lebih 6 mm) yang mengandung
senyawa antimikroba pada konsentrasi tertentu dimasukkan ke dalam
media agar yang telah berisi mikroorganisme uji. Cawan petri tersebut
kemudian diinkubasi pada kondisi yang sesuai.
Kelemahan metode ini yaitu tidak dapat membedakan efek bakterisida
dan bakteriostatik serta tidak sesuai untuk mennetukan konsentrasi
21
hambat minimum karena, tidak diketahui secara pasti jumlah agen
antimikroba yang berdifusi kedalam medium agar. Meskipun demikian,
metode ini memiliki kelebihan seperti sederhana, murah dan mudah untuk
mengintrepretasikan hasil yang diperoleh.
b. Metode gradient antimikroba (E-test)
Metode ini menggabungkan prinsip metode dilusi dan difusi dalam
menentukan nilai konsentrasi hambat minimal (KHM). Hal ini didasarkan
pada kemungkinan terbentuknya gradient konsentrasi zat antimikroba
yang diuji pada media agar. Adapun prosedur kerja metode ini yaitu strip
yang mengandung zat antimikroba dengan gradient konsentrasi
meningkat dari satu ujung ke ujung lainnya dimasukkan ke dalam media
agar yang telah berisi mikroba uji. Kemudian diinkubasi pada kondisi yang
sesuai. Nilai KHM ditentukan pada bagian antar strip yang memiliki zona
hambat paling kecil.
Metode ini dapat digunakan untuk penentuan nilai KHM antibiotik,
antijamur, dan antibakteri. Selain itu, metode ini dapat mengetahui
interaksi antara dua zat antimikroba seperti antibiotic. Sinergitas dari
kombinasi terdeteksi oleh penurunan KHM setelah pengkombinasian zat
antimikroba tersebut.
c. Metode kromatografi lapis tipis-Bioautografi
Metode ini menggabungkan Kromatografi Lapis tipis dengan deteksi
biologis dan kimia. Beberapa penelitian telah menggunakan metode ini
22
untuk menentukan aktivitas antibakteri dan antifungi. Ada tiga metode
bioautografi yang dapat digunakan yaitu sebagai berikut :
1. Metode kontak
Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan.
Prinsip dari metode ini sama dengan difusi agar yaitu zat antimikroba
dari kromatogram berdifusi ke dalam media agar yang telah
diinokulasikan dengan mikroorganisme uji. Setelah beberapa menit
atau jam untuk memungkinkan difusi, kromatogram yang dimasukkan
kedalam media agar kemudian dikeluarkan lalu diinkubasi. Zona
hambat muncul pada tempat senyawa antimikroba kontak dengan
media agar.
2. Metode bioautografi langsung
Metode ini juga banyak digunakan dalam pengujian antimikroba.
Prosedur pengerjaan metode ini yaitu dengan cara mencelupkan atau
menyemprotkan kromatogram dengan suspense mikroba. Kemudian
bioautogram diinkubasi pada suhu 25 0C selama 48 jam. Pertumbuhan
mikroba dapat ditentukan dengan melihatnya secara visual. Visualisasi
pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada indikator yaitu gram
tetrazolium. Indikator ini disemprotkan ke bioautogram kemudian
bioautgram diinkubasi lagi pada suhu 25 0C selama 24 jam atau pada
suhu 37 0C selama 3-4 jam.
23
3. Metode bioautografi pencelupan
Metode pencelupan merupakan gabungan dari dua metode
sebelumnya. Lempeng kromatogram ditutupi dengan media agar cair
yang telah terdapat mikroorganisme uji. Kemudian ditempatkan pada
suhu rendah selama beberapa jam sebelum inkubasi. Setelah inkubasi
dengan kondisi yang sesuai, pewarnaan dapat dilakukan dengan
menggunakan indikator tetrazolium untuk mendeteksi pertumbuhan
mikroba.
d. Metode difusi lainnya
Metode difusi lainnya lebih umum digunakan dalam menentukan
aktivitas antimikroba dari ektrak, hasil fraksinasi, dan zat murni. Metode
yang dimkasud yaiyu difusi agar sumuran, Agar Plug Diffusion method
and Cross Streak Method yang digunakan untuk menunjukkan
antagonism yang tinggi antara mikroorganisme, serta Poisined Food
Method yang digunakan untuk mengevaluasi efek antifungi terhadap
pertumbuhan fungi.
II.7.2 Metode Dilusi
Metode dilusi merupakan metode yang paling tepat untuk penentuan
konsentrasi hambat minimal (KHM) karena, konsentrasi zat antimikroba yang
terdapat pada media padat (dilusi padat) dan cair (mikro dan makrodilusi)
dapat diketahui. Dilusi cair dan dilusi padat dapat digunakan secara kuantitatif
untuk mengukur aktivitas antimikroba. Nilai KHM yang didapatkan
didefinisikan sebagai konsentrasi terendaah dari zat antimikroba yang
24
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan biasanya dinyatakan dalam
mg/L atau mg/mL.
II.8 Uraian Mikroba
II.8.1 Escherichia coli
Divisi : Protophyta
Kelas : Schyzomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Escherichia coli termasuk dalam bakteri gram negaiif, berbentuk batang
yang pendek dengan diameter 0,4-0,7 μm x 1,4 μm, mempunyai flagella
peritrik yang digunakan sebagai alat unuk bergerak dan ada juga yang tidak
nergerak. Bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif dapat memfermentasi lakosa
dan menghasilkan gas. Bakteri ini biasa ditemukan disaluran pencernaan
manusia maupun hewan vertebrata. Di alam bebas biasa terdapat dalam air,
tanah, dan bahan organik. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah
suhu 37 0C (Shabrina dan Bani, 2012).
II.8.2 Staphylococcus aureus
Divisi : Protophyta (schizophyta)
Kelas : Schyzomycetes
25
Bangsa : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakeri gram positif yang berbentuk
bola dengan diameter 0,5 - 1,5 µm tidak mempunyai alat gerak dan tidak
tahan asam. Bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu 37
0C. pada tubuh biasanya terdapat pada kulit, saluran pernafasan bagian
atas, saluran air kemih, mulut, hidung, luka yang erinfeksi, selaput lendir
dan tempat-tempat lainnya (Shabrina dan Bani, 2012).
26
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah Alat-alat gelas, Autoclav (All
American model 25X-2®), Cawan petri (OneMed®), Freeze dryer (Scanvac®),
Jangka sorong (Tricle Brand®), Inkubator (Memmert®), Laminar air flow
(Envirco®), Lemari pendingin (Pannasonic®), Mikro pipet (FisherBrand®),
Mikroskop Cahaya (Olympus CX 22LED®), Oven (Memmert®), Seperangkat
alat KLT, Shaker (Gemmy Orbit Model : VRN-480®), Timbangan analitik
(ACIS Model AD 6001®), Vortex .
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan Air steril, Cover glass, Etil asetat, Kertas
Cakram, Metanol, media SNA (Starch nitrate agar), media SNB (Starch
nitrate broth), media NA (Nutrient Agar), Isolat Actinomycetes, Biakan bakteri
Eschercia coli dan Staphylococcus aureus, NaCl 0,9%, Silica gel GF254.
27
III.2 Metode Kerja
III.2.1 Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan dicuci dengan deterjen, kemudian dibilas
dengan air dan dikeringkan. Alat-alat gelas disterilkan menggunakan oven
pada suhu 180 0C selama 2 jam. Untuk alat-alat logam disterilkan dengan
cara dipijarkan dengan menggunakan bunsen dan alat-alat yang terbuat dari
karet dan plastik serta alat-alat ukur disterilkan dengan autoklaf pada suhu
121 0C selama 15 menit
III.2.2 Pembuatan medium
1. Medium NA
Ditimbang medium NA sebanyak 2,3 gram masukkan ke dalam
erlenmeyer, kemudian dilarutkan dengan air steril 100 mL, diaduk,
diatur pH sampai 7,0 selanjutnya didihkan dan disterilkan dengan
autoklaf pada suhu 121 0C selama 1 jam dengan tekanan 2 atm.
2. Medium SNA
Ditimbang agar 20 g, Starch 20 g, KNO3 1 g, MgSO4 0,5 g, K2HPO4
0,5 g, NaCl 0,5 g, FeSO4 0,01 g kemudian masukkan ke dalam
erlenmeyer, dilarutkan dengan air steril 1000 mL, diaduk, diatur pH
sampai 7,0 selanjutnya didihkan dan disterilkan dengan autoklaf pada
suhu 121 0C selama 1 jam dengan tekanan 2 atm.
28
3. Medium SNB
Ditimbang agar 20 g, Starch 20 g, KNO3 1 g, MgSO4 0,5 g, K2HPO4
0,5 g, NaCl 0,5 g, FeSO4 0,01 g kemudian masukkan ke dalam
erlenmeyer, dilarutkan dengan air steril 1000 mL, diaduk, diatur pH
sampai 7,0 selanjutnya didihkan dan disterilkan dengan autoklaf pada
suhu 121 0C selama 1 jam dengan tekanan 2 atm.
III.2.3 Penyiapan Isolat Actinomycetes
III.2.3.1 Peremajaan isolat
Isolat yang diperoleh dari penelitian sebelumnya diremajakan dengan
cara diinokulasikan ke dalam medium SNA (Starch Nitrate Agar) dan
diinkubasi 10 x 24 jam pada 37 0C.
III.2.3.2 Fermentasi Isolat Actinomycetes
Isolat yang telah diremajakan dimasukkan ke dalam medium SNB
dalam erlenmeyer 500 mL yang berisi 200 mL media fermentasi dan
diinkubasi pada suhu kamar selama 17 hari dengan penggojogkan.
III.2.4.3 Ekstraksi
Setelah fermentasi selama 17 hari, media pertumbuhan mikroba
disaring untuk memisahkan biomassa dan cairan fermentasi. Biomassa di
ekstraksi pelarut metanol dengan metode maserasi sedangkan cairan
fermentasi diekstraksi dengan pelarut etil asetat dalam corong pisah selama
29
20 menit. Ekstrak yang diperoleh diuapkan lalu disimpan pada deksikator
untuk digunakan pada uji selanjutnya.
III.2.4 Penyiapan bakteri Uji
III.2.4.1 Peremajaan bakteri
Inokulasikan biakan segar (Staphylococcus aureus dan Eschercia coli)
ke dalam 10 mL medium NA dalam tabung reaksi dengan cara digores pada
agar miring, sebarkan secara merata dan diinkubasikan selama 1 x 24 jam
pada suhu 37 0C.
III.2.4.2 Pembuatan suspensi Bakteri Uji
Bakteri uji yang telah diremajakan disuspensikan dengan larutan NaCl
fisiologis 0,9% steril sebanyak 10 mL. Dengan kekeruhan standar Mc Farland
0,5 sebagai perbandingan visual dari kepadatan bakteri. Standar Mc Farland
0,5 dengan suspensi bakteri yang mengandung 1 X 10˄8 CFU/mL
III.2.5 Pengamatan Morfologi Mikroba
Uji secara morfologi dengan pengamatan menggunakan metode
culture slide yaitu koloni dari kultur stok digores pada media SNA dan cover
glass slip diletakkan pada media, kemudian diinkubasi pasa suhu 37 0C
selama 1 minggu, pengamatan terhadap struktur, warna dan bentuk spora
dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000 x (objektif 100x dan
okuler 10x).
30
III.2.6 Uji Aktivitas Antibakteri
Medium Nutient Agar (NA) sebanyak 20 mL dituang ke dalam cawan
petri dan disuspensikan 0,1 mL biakan bakteri uji, setelah medium setengah
padat dimasukkan kertas cakram yang mengandung Amoxicillin sebagai
kontrol positif, Etil asetat sebagai kontrol negatif, Esktrak etil asetat, Ekstrak
air dan Ekstrak metanol di atas media inokulum. Semua cawan petri
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C, diamati adanya aktivitas
antibakteri yang ditandai oleh adanya zona hambatan pertumbuhan bakteri
disekitar kertas cakram dan dilakukan pengukuran garis tengah daerah
hambatan dengan menggunakan mistar garis (milli poor).
II.2.7 KLT dan Bioautografi
Ekstrak yang aktif ditotolkan pada beberapa plat KLT yang
dikembangkan dengan campuran fase gerak Kloroform : Etil asetat (3:1).
Pembacaan kromatogram dilakukan dibawah sinar UV (254 nm dan 366 nm).
Kromatogram diletakkan dalam cawan petri yang telah berisi biakan bakteri
S. Aureus dan E.coli. Bercak-bercak pada kromatogram ditempel kecawan
petri yang berisi medium Nutrient Agar (NA), plat kromatogram kemudian
dibiarkan menempel pada medium agar selama 30 menit di lemari pendingin.
Setelah 30 menit, plat kromatogram diangkat dengan hati-hati. Kemudian
diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Setelah diinkubasi, dilakukan
31
pengamatan dengan melihat zona hambat yang terbentuk sebagai daerah
yang terang dan tidak ditumbuhi bakteri.
Selanjutnya beberapa plat KLT yang lain diidentifikasi senyawa kimia
dengan cara kromatogram disemprot dengan beberapa pereaksi semprot
untuk menentukan jenis senyawa yang menghambat pertumbuhan bakteri uji.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Peremajaan
Pada Penelitian ini dilakukan dengan meremajakan hasil isolat PG 3 dari
Rhizosfer Centella asiatica yang telah diperoleh menggunakan medium SNA
baru yang digores pada cawan petri dan diinkubasi pada suhu 37 0C. Hasil
peremajaan menunjukkan penampakan koloni yang sama dengan koloni
asalnya.
Gambar 3. Isolat Actinomycetes PG 3 yang ditumbuhkan pada medium SNA dan
diinkubasi 10 hari. A, Tampak depan; B, Tampak belakang
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa isolat PG 3 memiliki
pertumbuhan yang sangat lebat pada hari ke-10 dengan warna miselium
aerial/udara putih dan warna miselium substrat coklat kehitaman. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhanasekaran dan Jiang
(2016), yang menyatakan bahwa miselium substrat dari Actinomycetes dapat
memberikan Warna seperti putih atau hampir tidak berwarna hingga kuning,
biru, ungu , coklat, merah, pink, oranye, hijau, hitam atau warna lainnya.
A
B
33
Sedangkan Locci dan sharples (1984) mengatakan bahwa karakteristik
miselium aerial lain dari Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki
warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, orange, lavender, biru, dan
hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel”.
IV.2 Fermentasi dan Ekstraksi
Isolat yang telah diremajakan kemudian dilakukan fermentasi untuk
memperoleh senyawa metabolit sekundernya. Fermentasi dilakukan dengan
menggunakan isolat murni yang telah diremajakan selama 10 hari. Dalam
penelitian ini, fermentasi dilakukan dengan menggunakan media
pertumbuhan Starch Nitrate Broth (SNB). Media pertumbuhan yang baik
merupakan media yang mampu menyediakan sumber karbon dan mineral-
mineral lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitasnya (Todar
K, 2009). Penelitian ini menggunakan media SNB karena mempunyai
kandungan karbon dan mineral. Sumber karbon media SNB berasal dari
soluble starch yang mengandung sejumlah C yang beragam dari pati dan
gliserol. Sumber nitrogen anorganik berasal dari KNO3, mineral-mineral yang
berasal dari magnesium, natrium, besi, kalium yang merupakan komposisi
dari media SNB (Ali A, 2009). Lama fermentasi didasarkan pada aktivitas dari
cairan Fermentasi terhadap bakteri uji. Hasil peneletian cairan fermentasi
menunjukkan pada hari ke 17 aktivitas yang besar terhadap bakteri uji
sehingga dianggap telah mencapai fase stasioner. Fase stasioner merupakan
34
fase dimana jumlah sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan
jumlah sel yang mati (Djide dan Sartini, 2008). Aktivitas pertumbuhan pada
hari ke 17 dapat dilihat pada kurva penentuan fase stasioner (Gambar 4).
Gambar 4. Kurva penentuan fase stasioner berdasarkan lama fermentasi (hari)
terhadap diameter zona hambatan (mm).
Selanjutnya hasil fermentasi hari ke 17 disaring, sehingga terpisah
antara biomasssa dan supernatan. Biomassa yang diperoleh diekstraksi
menggunakan metanol dengan metode maserasi sedangkan supernatant
diekstraksi menggunakan etil asetat (1:1) yang diulang sebanyak 2 kali. Etil
asetat digunakan karena merupakan pelarut yang semi polar, memiliki
toksisitas rendah dan tidak bercampur dengan air. Selain itu, etil asetat sering
digunakan sebagai pelarut karena etil asetat dapat menyari lebih banyak
senyawa-senyawa metabolit sekunder yang dapat memberikan aktivitas
antibakteri (Sulistyani dan Akbar, 2014). Pada tahap ekstraksi, cairan
fermentasi : Etil asetat akan digojog, sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu
lapisan etil asetat dan lapisan air. Kemudian ekstrak yang diperoleh diuapkan
0
2
4
6
8
10
12
14
0 5 10 15 20 25
Dia
mete
r Z
on
a H
am
ba
tan
(m
m)
Lama Fermentasi (Hari)
35
dan ditimbang. Dari hasil medium produksi diperoleh bobot ekstrak etil asetat
sebanya 76 mg, ekstrak air sebanyak 3450 mg sedangkan ekstrak metanol
sebanyak 133 mg dari 1000 mL medium fermentasi. Ekstrak yang diperoleh
tergolong sedikit dikarenakan tidak dilakukannya optimasi media yang
digunakan untuk medium fermentasi. Optimasi medium fermentasi dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh media sebagai sumber nutrisi
untuk pertumbuhan isolat.
IV.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri
dengan metode difusi agar dengan menggunakan paper disk berbentuk bulat
dengan diameter 6 mm dan memiliki ketebalan 0,5 mm. Metode difusi agar
memiliki beberapa kelebihan yaitu sederhana untuk dilakukan dan dapat
digunakan untuk melihat sensitivitas berbagai jenis mikroba terhadap
antibakteri pada konsentrasi tertentu (Zainuddin, 2006). Hasil pengujian
dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1. Hasil Pengukuran rata-rata diameter zona hambat metabolit sekunder Actinomycetes terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus Escherichia coli
Kadar Ekstrak dalam paper
disk
Ekstrak Daya hambat (mm)
E.coli S.aureus
2 mg Etil asetat 8.36 8.81
Metanol 9.13 8.71
Air 7.6 7.63
4 mg Etil asetat 10.8 12.01
36
Metanol 9.7 9.03
Air 7.75 7.89
Kontrol positif Amoxicillin 22.6 20.3
Gambar 5. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes
terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan kadar 2 mg
0
5
10
15
20
25
Etil asetat Metanol Air Amoxicillin
Zon
a h
amab
at (
mm
)
Kadar 2 mg
E.coli
S.aureus
0
5
10
15
20
25
Etil asetat Metanol Air Amoxicillin
Zon
a h
amb
at (
mm
)
Kadar 4 mg
E.coli
S.aureus
37
Gambar 6. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes
terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan kadar 4 mg
Aktivitas antibakteri dari Ekstrak til asetat, Ekstrak metanol dan Ekstrak
air menunjukkan adanya diameter hambatan terhadap bakteri uji
Staphylococcus aureus (gram positif) dan Escherichia coli (gram negatif)
pada kadar 2 mg dan 4 mg yang dapat di kategorikan sebagai antibakteri
spektrum luas karena mampu menghambat bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif.
Menurut Davis dan Stout (1971), kriteria kekuatan daya antibakteri
sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan
lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20
mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan
sangat kuat (Sulistyani, 2006). Berdasarkan kriteria tersebut, pada kadar 2
mg Ekstrak etil asetat, Ekstrak metanol dan Ekstrak air memiliki aktivitas
antibakteri sedang (5-10 mm) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli sedangkan pada kadar 4 mg ekstrak etil asetat memiliki
aktivitas antibakteri yang kuat (10-20 mm) terhadap bakteri Staphylococcus
dan Escherichia coli, Ekstrak methanol dan Ekstrak air memiliki aktivitas
antibakteri yang sedang terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
Aktivitas penghambatan ekstrak etil asetat lebih besar dibandingkan
dengan Ekstrak metanol dan Ekstrak air, hal ini terlihat jelas pada kadar 4 mg
38
(Tabel 1) yang ditandai dengan terbentuknya diameter zona hambat ekstrak
etil asetat yang lebih besar dibandingkan ekstrak methanol dan ekstrak Air.
Perbedaan zona hambat yang terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan
struktur dinding sel antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
IV.4 Uji KLT-Bioautografi
Ekstrak aktif yang diperoleh dari uji aktivitas antibakteri kemudian di
KLT-bioautografi. Pada pengujian KLT-bioautografi dilakukan metode
bioautografi kontak karena lebih mudah, sederhana dan paling umum
digunakan. Selain itu, dengan bioautografi kontak diperoleh proses
perpindahan senyawa aktif ke dalam medium agar yang dapat menghasilkan
zona hambatan lebih besar. Dibandingkan dengan metode bioautografi
langsung dimana penyebaran bakteri pada lempeng sering tidak merata dan
kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih besar, begitu pula dengan
bioautografi pencelupan dimana zona hambatnya agar sukar diamati (Djide
dan Sartini, 2009).
Hasil pengujian KLT-Bioautografi menunjukkan bahwa spot dengan
nilai Rf 0,05; 0,62; 0,76 dan 0,95 (Gambar 7) memiliki aktivitas antibakteri.
Zona bening pada spot tersebut terbentuk karena pertumbuhan bakteri oleh
noda aktif yang merupakan komponen kimia yang bersifat antibakteri, yang
telah berdifusi dari kromatografi ke medium agar.
39
Gambar 7. Hasil uji KLT bioautografi pada bakteri Staphylococcus aureus
Analisis golongan senyawa dalam ekstrak etil asetat menggunakan
KLT dengan melihat warna bercak yang timbul setelah diberi pereaksi
semprot. Pereaksi semprot yang digunakan yaitu AlCl3, Vanilin-H2SO4,
Anisaldehid-H2SO4 dan FeCl3. Deteksi senyawa flavonoid dengan
menggunakan pereaksi AlCl3. Menurut Markham (1988) adanya flavonoid
dapat ditunjukkan dengan adanya pemadaman bercak di bawah sinar UV
254 nm dan dengan pereaksi semprot AlCl3 akan terbentuk warna kuning.
Hal ini menunjukkan adanya senyawa yang mengandung paling sedikit 2
ikatan rangkap terkonjugasi atau adanya cincin aromatik (Kumalasari, 2011).
Ekstrak etil asetat memiliki kandungan senyawa flavonoid setelah diberi
pereaksi AlCl3 kemudian diamati di bawah UV 366 nm menunjukan
fluoresensi warna kuning pada Rf 0,05 dan 0,28 (Tabel 2 dan Gambar 8 E).
Rf = 0,76 (Polifenol)
Rf = 0,62 (Terpenoid)
Rf = 0,05 (Flavanoid)
Rf = 0,95 (Terpenoid)
40
Pereaksi semprot Anisaldehid asam sulfat digunakan untuk
mendeteksi senyawa golongan Terpenoid. Menurut Stahl (1985) deteksi
Terpenoid dilakukan dengan sinar UV 254 nm dan pereaksi semprot yaitu
anisaldehid-asam sulfat. Bila terdapat senyawa terpen maka nampak bercak
berwarna violet, biru, merah, abu-abu atu hijau. Perubahan tersebut
disebabkan anisaldehid sulfat dapat mengubah ikatan C-C pada terpenoid
menjadi ikatan rangkap C=C sehingga ikatan rangkap terkonjugasi menjadi
lebih panjang (Maryati, 2004). Setelah KLT disemprot pereaksi dan diamati
dibawah sinar tampak menunjukan adanya bercak warna Hijau, Ungu dan
Abu-abu pada Rf 0,31; 0,34; 0,47; 0,62; 0,8 dan 0,9 (Tabel 2 dan Gambar 8
D). Ekstrak Etil asetat positif mengandung senyawa terpenoid. Pereaksi
vanilin-H2SO4 digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan saponin.
Setelah plat KLT disemprot vanillin-H2SO4 dan diamati di sinar tampak,
tampak bercak berwarna kuning coklat pada Rf 0,71 (Tabel 2 dan Gambar 8
G) sedangkan Menurut wagner (1996) Deteksi senyawa saponin
menunjukkan bercak warna biru dan biru-ungu pada sinar tampak setelah
diberi pereaksi semprot vanillin-H2SO4 sehingga pada ekstrak etil asetat tidak
mengandung saponin (Kumalasari, 2011). Pereaksi FeCl3 dapat
mengidentifikasi adanya senyawa polifenol/tannin. Menurut Robinson (1995)
Bercak yang muncul setelah disemprot dengan menggunakan FeCl3
menunjukkan warna biru kehijauan, ungu, coklat atau hitam yang kuat
dengan berlatar belakang kuning pada sinar tampak. Ini terjadi akibat reaksi
41
pembentukan kompleks antara gugus OH dari fenol dengan Fe pada
pereaksi semprot FeCl3 (Kumalasari, 2011). Dari hasil identifikasi polifenol
menggunakan KLT, terdapat bercak dengan nilai Rf pada 0,76 menunjukkan
warna ungu (Tabel 2 dan Gambar 8 F).
Berdasarkan hasil skrining fitokimia dengan Analisis KLT, dapat
disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki kandungan kimia golongan
Polifenol, flavonoid, dan terpenoid. Senyawa - senyawa ini diduga
memberikan kontribusi dalam aktivitas antimikroba. Hal ini bisa dijelaskan
bahwa secara umum flavonoid merupakan senyawa polifenol. Polifenol
sebagai agen antibakteri berfungsi sebagai toksin dalam protoplasma,
menembus dan merusak dinding sel serta mengendapkan protein sel bakteri.
Polifenol dapat menyebabkan kerusakan pada sel bakteri, menginaktifkan
enzim, denaturasi protein, dan menyebabkan kebocoran sel (Kumalasari,
2011). Selain flavonoid dan polifenol, kandungan terpenoid Ekstrak Etil
Asetat juga memberikan kontribusi sebagai antibakteri diduga melibatkan
kerusakan membrane oleh senyawa lipofilik. Terpenoid dapat bereaksi
dengan porin pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan
polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin, mengurangi
permeabilitas dinding sel bakteri sehingga sel bakteri kekurangan nutrisi yang
menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Bobbarala,2012)
42
Gambar 8. Identifikasi golongan senyawa A. Deteksi UV 254 nm; B. Deteksi UV 366 nm; C. Deteksi dengan H2SO4; D.; E. Deteksi dengan reagen Anisaldehid (+); E. Deteksi
dengan Reagen AlCl3(+); F. Deteksi dengan reagen FeCl3 (+) ; G. Deteksi dengan reagen Vanilin Asam sulfat (-)
IV.5 Identifikasi Actinomycetes
Identifikasi Actinomycetes PG 3 dilakukan secara mikroskopik.
Pengamatan mikroskopik dilakukan dengan metode slide culture. Metode ini
dilakukan karena sederhana dan tidak merusak miselia dari Actinomycetes.
Dalam pengamatan digunakan perbesaran mikroskop 1000x (okuler 10x dan
objektif 100x).
A
B
C
D
E
G
F
D
G
F
E
43
Gambar 9. Hasil uji mikroskopis isolat PG 3 dengan perbesaran 1000x
Gambar 10. A. Jenis Struktur spora pada Streptomyces (Dhanasekaran dan Jiang, 2016)
B. Produksi spora rantai panjang. Streptomyces: (A) tipe Rectiflexibiles, (B) tipe Retinaculiaperti, (C) Tipe Spira, (D) Tipe
Verticillati. Nocardiopsis: (E) fragmenting bercabang hifa aerial (Dhanasekaran and Jiang, 2016).
Menurut Rante (2010), actinomycetes yang memiliki miselium
bercabang yang membawa spora berbentuk spiral dikelompokkan dalam
genus Streptomyces sp. Dari hasil pengamatan mikroskop dapat diketahui
A
B
44
bahwa isolat PG 3 termasuk dalam genus Streptomyces sp spora rantai
panjang dengan tipe spora spiral tertutup (Gambar 9).
45
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa :
1) Ekstrak etil asetat, metanol dan air menunjukkan aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
2) Hasil KLT bioautografi menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki
aktivitas antibakteri pada nilai Rf 0,05; 0,61; 0,76 ; 0,95 dengan fase
diam Silica Gel GF254 dan fase gerak Kloroform : Etil asetat (3:1) yang
diduga merupakan golongan senyawa Polifenol, Flavanoid dan
Terpenoid.
V.2. Saran
Sebaiknya uji lanjutan untuk mengidentifikasi senyawa antibakteri
ekstrak Etil asetat yang memiliki aktivitas antibakteri.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Febriwanti Y. 2013. Isolasi dan karakterisasi Actinomycetes sebagai
penghasil antibiotik dari sampel tanah peternakan sapi di
Kecamatan galesong Kabupaten Takalar. Jurusan Pendidikan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, STKIP-
PI. Jurnal ilmiah biologi. 1 (2) : 97-100
Ali A. 2009. Skrining dan Karakterisasi Parsial Senyawa Antifungi dari
Actinomycetes Asal Limbah Padat Sagu Terdekomposisi, Berk Penel Hayati, (14) : 219–225.
Asolkar, R.N., Maskey, R.P., Helmke, E., Laatsch, H. 2002. Chalcomycin B,
a new macrolide antibiotik from the marine isolate Streptomyces sp. B7064. J. Antibiot., (55) : 893–898.
Balouri, M., Sadiki, M., dan ibnsouda. 2016. Methods for in Vitro Evaluating
Antimicrobial Activity: A Review. Journal of Pharmaceutical Analysis, ELSEVIER. (6): 71-79
Bobarrala, V. 2012. Antimicrobial agents. Intech, Croatia Bennett, J.W., Bentley, R. 1989. What's in a name? Microbial secondary
metabolism. Adv Appl Microbiol. (34) : 1-28 Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya 5,
Jakarta, Salemba Medika. Dewi, I.A. 2007. Rhizobacteria pendukung pertumbuhan tanaman . jatinagor.
Universitas padjajaran. Dewick, P.M.1997. Medicinal natural products, a biosynthetic approach. Third
avenue, New York, USA. pp. 153-173. Dhanasekaran, D., Jiang, Y. 2016. Actinobacteria - Basics and
Biotechnological Applications. InTech Djide, M.N. 2012. Dasar-Dasar Bioteknologi Farmasi . Laboratorium
Mikrobiologi-Bioteknologi Farmasi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Djide M.N., Sartini. 2009. Analisis Mikrobiologi Farmasi. Laboratorium
Mikrobiologi Farmasi Universtas Hasanuddin. Makassar. Djide M.N., Sartini. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi Farmasi. Lembaga
Penerbitan Universtas Hasanuddin. Makassar. 206-210
47
Fatmawati, U., Santosa, S., Rinanto, Y. 2014 . Antibacterial Activity of
Actinomycetes Isolated from SolanaceaePlants Rhizosphere. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. Jurnal Farmasi Indonesia. 11. (1) : 54-68
Ganiswara, G.S. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Harmita. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati ed.3 EGC : Jakarta. Hal.1-4 Kee. J.L., Hayes, E.R.1996. Farmakologi, Proses Pendekatan Keperawatan.
EGC. Jakarta. Hal 324 Kumalasari, A., Faturrahman, N., Nur, M. 2012. Potensi actinomycetes
sebagai sumber senyawabioaktif antibiotik dari kawasan karstbantimurung, sulawesi selatan. Fakultas MIPA UNY. 2 (1)
Kumalasari, E., Sulistyani, N. 2011. Antifungal Activity Of Ethanol Extract Of
Binahong Stem (Anredera Cordifolia (Tenore) Steen) Against Candida Albicans And The Phytochemical Screening. Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 1 (2) : 51-62
Luckner, M. 1990. Secondary Metabolism In Plants And Animals. Third
edition. Berling: Springer Verlag. Locci, R., Sharples, G.P. 1983. Morphology. di dalam: Goodfellow M.,
Mordarski M, Williams ST. 1984. The biology of the actinomycetes. London: Academic Press.
Maryati, Erindah W. 2004. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Tamarindus Indica L.
Dengan Metode Brine Shrimps Lethality Test. Fakultas Farmasi UMS Surakarta. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 5(1): 125-130
Mukamto. 2015. Isolation and Characterization of Phosphate Solubizing
Bacteria Bacillus sp.from the Rhizosphere of Leguminosae Plants. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya. 3 (2) : 62-67
Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi farmasi. Erlangga Medical series. Jakara. Hal
188-191 Prescott, Harley, Klein. 2002. Microbiology. Fifth Edition. New York: The
McGraw−Hill Companies.
48
Rahayu, T. 2010. Potential of antibiotiks isolates rare actinomycetesof the mount merapi volcanic material eruption in 2010. Seminar nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS, Prodi Pendidikan Biologi FKIP UMS, Surakarta.
Rahayu, T. 2006. The Potency Of Isolate Antibiotik Of Rhizosfer Bacteria
Toward Escherichia Coli Multiresisten Bacteria. Jurusan Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 7. (2) : 81 – 91
Rante, H., Wahyono., Murti, B.Y., Alam, G. 2010. Purifikasi dan karakterisasi
senyawa antibakteri dari actinomycetes asosiasi spons terhadap
bakteri patogen resisten. Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin. Makassar. Majalah Farmasi Indonesia. 21. (3) : 158 –
165.
Rante, H., Yuianty, R., Usmar. 2017. Laporan Akhir Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi: Determinasi Fungsi Metabolit Sekunder
Actinomycetes Rizosfer Tanaman Obat Sebagai Kandidat
Senyawa Antimultidrug Resistances Bacteria Serta Karakterisasi
Molekular Gen Penciri Spesies Terseleksi. Fakultas Farmasi,
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Richards, B.N. 1974. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman Inc. New York.
Shabrina, Bani, A. 2012. Pengenalan Mikroba: Pengamatan Bakteri, Jamur, dan
Yeast. Shahat, A.S., Abouwarda, A., El-wafa, W.M.A. 2011. Production of anti-
candida Albicans by Egyptian Streptomyces Isoltes in international journal of microbiological research.
Sulistyani, N., Narwanti, I. 2015. TLC-Bioautography Profile of Ethyl Acetate
Extract of 5 Bacteria Isolated from Ficus carica L Rhizosphere. Faculty of Pharmacy, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia. International Journal of Public Health Science. 4. (2) : 81-87
Sulistyani, N., Akbar, N.A. 2014. Aktivitas Isolat Actinomycetes dari Rumput
Laut (Eucheuma cottonii) sebagai Penghasil Antibiotik terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 12 (1) : 1-9
49
Sulistiyani, Tri R., 2006, Isolasi dan Karakterisasi Antibiotik dari Isolat Aktinomisetes Tanah Pulau Timor Bagian Barat (NTT), Skripsi, Faculty of Math and Sains, Bogor Farming Institute, Bogor.
Solecka, J., Zejko, J., Postek, M. 2012. A Biologically active secondary
metabolites from actinomycees .Central European journal pf biology.
Todar, K. 2009. Nutrition and growth of bacteria in Todar’s online Textbook of
bacteriology, Wisconsin: University Wincosin-Madison Deartement of bacteriology.
Torssell, K.B.G. 1997. Natural Product Chemistry; A mechanistic, biosynthetic
and ecological approach. Swedish: Apotekarsocieteten-Swedish Pharmaceutical Press.
Waluyo, L. 2005. Mikrobiologi Lingkungan. Universitas Muhammadiyah Malang press. Malang. Hal 298
World Health Organization. 2015. Top 10 cause of death worldwide [online].
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/, diakses 9 oktober 2017
Yuan, G., Lin, H., Wang, C., Hong, K., Liu, Y., Li, J. 2011. 1H and 13C
assignments of two new macrocyclic lactones isolated from Streptomyces sp. 211726 and revised assignments of azalomycins F3a, F4a and F5a. Magn. Reson. Chem. MRC. (49) : 30–37
Zainuddin, E.n. 2006. Chemical and Biological Investigations of Selected
Cyanobacteria (Blue-green Algae). PhD Thesis. University Greifswald
50
LAMPIRAN I
SKEMA KERJA
Dilakukan peremajaaan Isolat ActInomycetes PG 3
Dilakukan Fermentasi Isolat
dari hasil peremajaaan
Cairan fermentasi diekstraksi
dengan pelarut etil asetat
selama 20 menit (corong
pisah) dan biomassa di
ekstraksi dengan pelarut
methanol
Dikeringkan
Uji aktivitas antibakteri
Ditotol pada beberapa plat kromatogram yang kemudian dikembangkan dengan campuran Fase gerak kloroform : etil asetat (3:1)
Ekstrak
Ekstrak aktif
Zona hambat
Plat kromatogram
Cawan petri
Golongan senyawa
Bercak pada Kromatogram ditempel pada media
yang berisi medium dan suspensi bakteri uji
dibiarkan menempel selama 30’ dilemari pendingin
kemudian diangkat
Diinkubasi pada suhu
37°Cselama 24 jam
Plat kromatogram
Nilai Rf
Disemprot dengan
beberapa pereaksi Diamati pada sinar UV
254 nm dan 366 nm
Pembahasan dan penarikan kesimpulan
Isolat Actinomycetes PG 3
Isolat Hasil peremajaan
Isolat Hasil peremajaan
Dilakukan pengamatan secara mikroskopis
Morfologi sel Isolat PG 3
51
LAMPIRAN II
KOMPOSISI MEDIUM
1. Kompisis Medium NA (Nutrient Agar)
Komposisi NA untuk 1 liter :
- Beef Extract : 3 g
- Peptone : 5 g
- Agar : 15 g
- pH : 7,0
2. Kompisis Medium SNB (Starch Nutrient Broth)
Kompisisi medium SNB untuk 1 liter :
- KNO3 : 1 g
- MgSO4 : 0.5 g
- K2HPO4 : 0.5 g
- NaCl : 0.5 g
- Soluber Starch : 20 g
- FeSO4 : 0.01 g
- pH : 7,0
3. Komposisi Medium SNA (Starch Nutrient Agar)
Kompisisi medium SNA untuk 1 liter :
- KNO3 : 1 g
- MgSO4 : 0.5 g
- K2HPO4 : 0.5 g
- NaCl : 0.5 g
- Soluber Starch : 20 g
- Agar : 20 g
- FeSO4 : 0.01 g
- pH : 7,0
52
LAMPIRAN III
TABEL
Tabel 2. Hasil Uji Skrinning Fitokimia
Keterangan : C= Coklat K= Kuning B= Biru CH= Coklat Hitam P= Pemadaman KC= Kuning coklat U= Ungu H= Hijau HJ= Hijau Kuning A= Abu-abu HK= Hijau Kuning
Warna Bercak
Nilai
Rf
Sinar
Tampak
Sinar UV Vanilin
H2SO4
FeCl3 Anisaldehid
H2SO4
Sitroborat Perkiraan
senyawa
254
nm
366
nm
Sinar
Tampak
Sinar
tampak
Sinar
Tampak
UV 366
nm
0,05 C P B HK - CH K
(+)Flavanoid
0,28 - - - - - - K (+)Flavanoid
0,31 K P K - - H - (+)Terpenoid
0,34 - - - - - A - (+)Terpenoid
0,39 - P - - - - - -
0,47 K - - - - U - (+)Terpenoid
0,62 KC P K H - U - (+)Terpenoid
0,71 - - - KC - - - (-) Saponin
0,76 - - - - U - - (+) Polifenol
0,8 K - - - - U - (+)
Terpenoid
0,95 KC P B HK - H - (+)
Terpenoid
53
LAMPIRAN IV
DOKUMENTASI GAMBAR
Gambar 11. Hasil fermentasi selama 17 hari
Gambar 12. A. Ekstrak etil asetat; B. Ekstrak air; C. Ekstrak metanol
A B C
54
Gambar 13. Hasil uji aktivitas ekstrak terhadap bakteri A. Staphylococcus aureus; B. Escherichia coli
B A