uin syarif hidayatullah jakarta analisis merkuri...
TRANSCRIPT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISIS MERKURI DALAM KOSMETIK KRIM
SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphago)
YANG DIPEROLEH MELALUI INTERNET
SKRIPSI
LAILA NOVILIA MAKMUN
1111102000050
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2015
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISIS MERKURI DALAM KOSMETIK KRIM
SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphago)
YANG DIPEROLEH MELALUI INTERNET
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi
LAILA NOVILIA MAKMUN
1111102000050
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2015
vi
ABSTRAK
Nama : Laila Novilia Makmun
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Analisis Merkuri dalam Kosmetik Krim Sarang Burung
Walet (Collocalia fuciphago) yang Diperoleh Melalui
Internet
Krim sarang burung walet (Collocalia fuciphago) merupakan krim pemutih kulit
yang banyak dijual melalui internet. Terdapat kemungkinan penambahan merkuri
ke dalam krim sebagai pengganti sarang burung walet yang harganya mahal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis merkuri dalam krim sarang burung
walet yang diperoleh melalui internet. Krim sarang burung walet yang dianalisis
terdiri atas 2 merek yaitu merek A dan B. Masing-masing merek krim terdiri atas
krim siang (kode-1) dan krim malam (kode-2) sehingga jumlah total sampel
adalah 4 sampel (A-1, A-2, B-1, dan B-2). Sebelum proses penyiapan sampel,
dilakukan pemeriksaan organoleptis dan pengukuran pH sampel serta pemilihan
panjang gelombang merkuri. Penyiapan sampel dilakukan dengan metode digesti
basah dan dengan alat refluks. Analisis merkuri dilakukan dengan metode ICP-
OES (Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry). Panjang
gelombang yang digunakan yaitu pada 194,227 nm. Hasil pengukuran pH
menunjukkan bahwa keempat sampel tidak memenuhi syarat nilai rentang pH
berdasarkan SNI 16-4954-1998 mengenai krim pemutih kulit. Hasil validasi
metode menunjukkan nilai linearitas r = 0,999; nilai LOD dan LOQ adalah 0,460
μg/L dan 1,532 μg/L; nilai KV (Koefisien Variasi) yaitu 0,918%; dan nilai persen
perolehan kembali rata-rata adalah 75,658%. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini memenuhi persyaratan linearitas, LOD, LOQ, presisi, dan akurasi.
Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa keempat sampel positif mengandung
merkuri. Kandungan merkuri rata-rata dalam krim sarang burung walet merek A-1,
A-2, B-1, dan B-2 secara berturut-turut adalah 3577,370 μg/g; 4685,715 μg/g;
0,503 μg/g; dan 4007,172 μg/g.
Kata kunci : krim sarang burung walet (Collocalia fuciphago), merkuri, ICP-OES,
validasi
vii
ABSTRACT
Name : Laila Novilia Makmun
Major : Pharmacy
Title : Analysis of Mercury in Bird‟s Nest (Collocalia fuciphago)
Cream Cosmetic Obtained Over the Internet
Cream of bird's nest (Collocalia fuciphago) is a skin-whitening cream. It is sold
over the internet. There is possibility of adding mercury into the creams instead of
expensive bird‟s nest. The aim of this research was to analyze mercury in bird‟s
nest creams obtained over the internet. The bird‟s nest creams analyzed were
consist of two brands namely brand A and B. Each cream brand was consisting of
day cream (code-1) and night cream (code-2) so that the total number of the
samples were 4 samples (A-1, A-2, B-1 and B-2). Organoleptic examination, pH
measurement of the samples, and mercury wavelength selection was done before
the process of samples preparation. The samples preparation was done by wet
digestion method and reflux as its apparatus. Mercury analysis was conducted
using ICP-OES (Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry).
Wavelength used is at 194.227 nm. pH measurement results showed that the four
samples did not meet pH range value requirement based on SNI 16-4954-1998
about skin-whitening cream. The results of method validation showed linearity
value r = 0.999; LOD and LOQ value were 0.460 μg/L and 1.532 μg/L; CV
(Coefficient of Variation) value was 0.918%; and the value of average recovery
percent was 75.658%. The methods used in this study meet the requirements of
linearity, LOD, LOQ, precision, and accuracy. Qualitative test results showed that
the four samples contained mercury. Average mercury contents in the bird's nest
creams with brands of A-1, A-2, B-1, and B-2 were 3577.370 μg/g; 4685.715
μg/g; 0.503 μg/g; and 4007.172 μg/g respectively.
Keywords : cream of bird's nest (Collocalia fuciphago), mercury, ICP-OES,
validation
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil„alamiin, atas segala nikmat iman, islam, kesempatan,
serta kekuatan yang telah diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada
Rasulullah Muhammad SAW sebagai tauladan umat manusia, semoga kita dapat
menjunjung nilai-nilai Islam yang beliau ajarkan dan semoga kita mendapatkan
syafaat beliau.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana
farmasi dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi ini adalah
“Analisis Merkuri dalam Kosmetik Krim Sarang Burung Walet yang
Diperoleh Melalui Internet”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan tugas akhir ini adalah atas
bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ibu Lina Elfita, M.Si., Apt. dan Ibu Dra. Herdini, M.Si., Apt. selaku dosen
pembimbing yang senantiasa sabar dan ikhlas dalam memberikan ilmu,
waktu, nasehat, arahan serta semangat selama proses penyelesaian
penelitian dan skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Arif Soemantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Puteri Amelia M.Farm., Apt. selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan akademik.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program
ix
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Makmun, Ibunda Mauliah serta adik-
adik tercinta Anggi, Dede, dan Eki atas kasih sayang, perhatian, semangat,
doa yang tiada henti serta dukungan baik moral maupun materil. Semoga
selalu dalam lindungan Allah SWT.
7. Mba Srim, Mba Ika, dan Mba Sandra dari pihak Laboratorium Kesehatan
Daerah Provinsi DKI Jakarta atas ilmu, tenaga, nasehat, serta
kerjasamanya selama penelitian berlangsung.
8. Teman-teman terdekat Silvia, Athiyah, Tari, Karimah, Sonia, Arini,
Meryza, Sheila, dan Puput serta teman-teman Farmasi 2011 “effervescent”
yang dengan sabar menemani, mendukung, membantu serta sebagai
tempat berbagi keluh kesah.
9. Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu
per satu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan
pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca
pada umumnya.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............... ...................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............. x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi
DAFTAR ISTILAH... ................................................................................... xvii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... . 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ............................................................ 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5
2.1 Kosmetik .................................................................................... 5
2.1.1 Definisi Kosmetik ............................................................. 5
2.1.2 Penggolongan Kosmetik ................................................... 5
2.1.3 Jenis-Jenis Reaksi Negatif oleh Kosmetik ....................... 6
2.1.4 Reaksi Negatif Kosmetik pada Kulit ................................ 7
2.2 Krim ........................................................................................... 7
2.2.1 Definisi Krim .................................................................... 7
2.2.2 Krim Pemutih Kulit .......................................................... 8
2.3 Sarang Burung Walet ................................................................. 9
2.3.1 Morfologi Sarang Burung Walet ...................................... 9
2.3.2 Kandungan dan Khasiat .................................................... 10
2.4 Merkuri ...................................................................................... 12
2.4.1 Sumber Merkuri ............................................................... 12
2.4.2 Jenis-Jenis Merkuri ........................................................... 12
2.4.3 Kegunaan .......................................................................... 13
2.4.4 Persyaratan Kadar ............................................................. 14
2.4.5 Toksisitas .......................................................................... 14
2.4.6 Merkuri dalam Produk Pemutih Kulit ............................. 16
2.4.7 Metode Analisis Merkuri ................................................. 16
2.5 Inductively Coupled Plasma-Optical Emission
Spectrometry (ICP-OES) ........................................................... 17
2.5.1 Prinsip Kerja .................................................................... 17
2.5.2 Instrumentasi .................................................................... 19
2.5.3 Analisis Kualitatif dan Kuantitatif dengan ICP-OES ....... 27
2.5.4 Kelebihan dan Kekurangan .............................................. 28
xii
2.6 Metode Destruksi ....................................................................... 29
2.6.1 Metode Destruksi Basah ................................................... 30
2.6.2 Metode Destruksi Kering ................................................. 30
2.7 Teknik Sampling ........................................................................ 31
2.7.1 Definisi Populasi, Sampel, dan Sampling ....................... 31
2.7.2 Tipe Sampling Menurut Peluang Pemilihannya ............... 31
2.8 Validasi Metode Analisis ........................................................... 32
2.8.1 Kecermatan (Akurasi) ...................................................... 32
2.8.2 Keseksamaan (Presisi) ...................................................... 34
2.8.3 Linearitas .......................................................................... 35
2.8.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi .................................. 36
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 38
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 38
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ......................................................... 38
3.2.1 Alat Penelitian ................................................................. 38
3.2.1 Bahan Penelitian .............................................................. 38
3.3 Prosedur Penelitian ................................................................... 38
3.3.1 Perolehan Sampel ............................................................ 38
3.3.2 Pemeriksaan Organoleptis dan Pengukuran pH ............. 39
3.3.2.1 Pemeriksaan Organoleptis ................................... 39
3.3.2.2 Pengukuran pH .................................................... 39
3.3.3 Pembuatan Larutan Baku dan Pereaksi ........................... 39
3.3.4 Pemilihan Panjang Gelombang ....................................... 39
3.3.5 Pembuatan Kurva Kalibrasi ............................................. 40
3.3.6 Validasi Metode .............................................................. 41
3.3.6.1 Uji Linearitas ...................................................... 41
3.3.6.2 Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas
Kuantitasi (LOQ) ................................................ 41
3.3.6.3 Uji Presisi ............................................................ 42
3.3.6.4 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan
Kembali .............................................................. 43
3.3.7 Penyiapan Sampel ........................................................... 44
3.3.8 Uji Kualitatif dan Uji Kuantitatif Merkuri dalam
Sampel ............................................................................. 44
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 45
4.1 Perolehan Sampel ..................................................................... 45
4.2 Pemeriksaan Organoleptis dan Pengukuran pH ........................ 46
4.3 Pemilihan Panjang Gelombang ................................................. 47
4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linearitas ........................ 49
4.5 Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi
(LOQ) ........................................................................................ 50
4.6 Uji Presisi .................................................................................. 51
4.7 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali ........................ 51
4.8 Penyiapan Sampel ..................................................................... 52
4.9 Uji Kualitatif dan Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel ........ 53
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 57
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 57
5.2 Saran ......................................................................................... 57
xiii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 58
LAMPIRAN .................................................................................................. 63
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Morfologi Sarang Walet .......................................................... 10
Gambar 2.2 Penampang Sebuah Torch dan Load Coil ICP
yang Menggambarkan Urutan Penyalaan ................................ 19
Gambar 2.3 Komponen Utama dan Susunan Instrumen ICP-OES ............. 19
Gambar 2.4 Beberapa Contoh Nebulizer yang Digunakan untuk
ICP-OES .................................................................................. 20
Gambar 2.5 Pompa Peristaltik yang Digunakan untuk ICP-OES ............... 21
Gambar 2.6 Spray Chamber yang Digunakan untuk ICP-OES .................. 21
Gambar 2.7 Skema Generator Hidrida ........................................................ 22
Gambar 2.8 Torch yang Digunakan untuk ICP-OES ................................. 23
Gambar 2.9 Kekisi Difraksi Memisahkan Dua Panjang Gelombang
Cahaya ..................................................................................... 24
Gambar 2.10 Polikromator Rowland Circle .................................................. 25
Gambar 2.11 Monokromator Czerny-Turner (a) dan Ebert (b) .................... 26
Gambar 2.12 Tata Letak Photocathode, Dynode dan Anoda pada
Sebuah Tabung Photomultiplier .............................................. 27
Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Standar Merkuri (Konsentrasi VS
Intensitas) ................................................................................ 50
Gambar 4.2 Hasil Uji Kualitatif Merkuri dalam Sampel ............................ 54
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Sarang Burung Walet Putih dan
Sarang Burung Walet Merah ........................................................ 10
Tabel 2.2 Kandungan Asam Amino pada Sarang Burung Walet
Rumah dan Sarang Burung Walet Gua ........................................ 11
Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teknik-Teknik Analisis Unsur ........ 29
Tabel 2.4 Rentang Kesalahan yang Diijinkan pada Setiap Konsentrasi
Analit pada Matriks ...................................................................... 34
Tabel 4.1 Informasi Sampel ......................................................................... 46
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Organoleptis .................................................. 46
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran pH ................................................................... 47
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Intensitas Larutan Standar Merkuri pada
Panjang Gelombang 184,950 nm dan 194,227 nm ...................... 48
Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Intensitas Larutan Standar Merkuri pada
Panjang Gelombang 194,227 nm dan 253,652 nm ...................... 48
Tabel 4.6 Data Kurva Kalibrasi .................................................................... 50
Tabel 4.7 Hasil Uji Akurasi .......................................................................... 52
Tabel 4.8 Hasil Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel ............................... 55
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian .......................................................... 64
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Sampel Krim Sarang
Burung Walet A dan B ......................................................... 65
Lampiran 3. Hasil Pengukuran pH Sampel Krim Sarang Burung
Walet A dan B ...................................................................... 65
Lampiran 4. Perhitungan Pengenceran Larutan ........................................ 65
Lampiran 5. Data Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas
Kuantitasi (LOQ) ................................................................. 67
Lampiran 6. Data Uji Presisi .................................................................... 68
Lampiran 7. Data Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali .......... 69
Lampiran 8. Data Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel ........................ 72
Lampiran 9. Alat ICP-OES ....................................................................... 73
Lampiran 10. Proses Destruksi Sampel ....................................................... 74
Lampiran 11. Sertifikat Analisis Merkuri ................................................... 75
xvii
DAFTAR ISTILAH
AOAC : Association of Analytical Communities
ATSDR : Agency for Toxic Substances and Disease Registry
BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan
b/v : Bobot per volume
v/v : Volume per volume
DepKes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Ditjen Binfar dan Alkes :iDirektorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
FSSAI : Food Safety and Standards Authority of India
ICH : International Conference on Harmonisation
ICP-OES :iInductively Coupled Plasma Optical Emission
Spectrometry
LOD : Limit of Detection
LOQ : Limit of Quantitation
NRC : National Research Council
ppb : Part per billion
ppm : Part per million
US FDA : United States Food and Drug Administration
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Begitu banyak wanita yang terobsesi terlihat cantik dan memiliki kulit
putih. Mayoritas menganggap bahwa wanita yang memiliki kulit putih lebih
terlihat cantik, dan selalu melakukan perawatan kecantikan ke salon-salon
mahal (Crownia, 2014). Keinginan untuk mempunyai kulit putih tersebut
kemudian mendorong penggunaan produk-produk kosmetik pemutih kulit.
Salah satu bahan alam yang saat ini banyak digunakan untuk
mencerahkan kulit adalah sarang burung walet (Aerodramus fuciphagus)
(Rohmah, 2013). Sarang burung walet mengandung EGF (Epidermal
Growth Factor) atau Faktor Pertumbuhan Epidermal (Kong et al., 1987).
EGF banyak digunakan dalam kosmetik dan cosmeceuticals (paduan antara
kosmetik dan obat) sebagai pelembab atau bahan pemutih (Yun et al., 2013).
Seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai melirik bisnis sarang
burung walet. Salah satu contoh produk sarang burung walet yaitu krim
pemutih kulit yang diklaim mengandung sarang burung walet sebagai bahan
alami untuk memutihkan kulit. Saat ini, krim sarang burung walet banyak
dipasarkan melalui situs internet.
Di sisi lain, pada Operasi Pangea VIII yang dilaksanakan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berhasil diidentifikasi 216 situs
internet yang memasarkan obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, dan
kosmetik ilegal termasuk palsu. Kasus yang ditemukan bermacam-macam di
antaranya produk yang tanpa izin edar, kedaluwarsa, dan ada pula yang
ditambahkan dosisnya. Dalam keterangan persnya, Kepala BPOM
menyatakan bahwa peredaran produk obat, obat tradisional, suplemen
kesehatan, kosmetika dan pangan ilegal melalui internet semakin marak
seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan pemanfaatan internet.
Produk yang dijual melalui internet seringkali tidak jelas sumbernya,
sehingga tidak dapat dijamin keamanan, khasiat atau manfaat, dan mutunya
(Ditjen Binfar & Alkes, 2015).
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Krim sarang burung walet yang banyak dipasarkan melalui internet
perlu diteliti kandungannya sebab jika mempertimbangkan harga sarang
burung walet yang mahal, terdapat kemungkinan produsen-produsen curang
yang bisa saja mengklaim bahwa krim produksinya mengandung sarang
burung walet walaupun sebenarnya tidak. Jika demikian maka terdapat
kemungkinan pula untuk dilakukan penambahan bahan kimia pemutih kulit
yang harganya lebih murah sebagai pengganti sarang burung walet.
Sebagian besar produk pemutih kulit mengandung salah satu dari dua
bahan aktif yaitu hidrokuinon dan merkuri (Hg) (Olumide et al., 2008).
Produk OTC (over-the-counter) hidrokuinon dapat mengandung
hidrokuinon dengan konsentrasi 0,5% sampai 2% (konsentrasi 4% atau
kadang-kadang lebih tinggi hanya tersedia dari dokter). Kadar maksimum
merkuri dalam kosmetik yang dapat diterima yaitu 1 μg/g berdasarkan
United States Food and Drug Administration (US FDA) (Amponsah, 2010).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
445/MENKES/PER/V/1998 tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat
Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetika, raksa dan senyawanya dilarang
digunakan dalam kosmetika kecuali fenilraksa nitrat dan tiomersal sebagai
pengawet dalam sediaan sekitar mata, maksimum 0,007%, dihitung sebagai
Hg. Merkuri termasuk logam berat berbahaya yang dalam konsentrasi kecil
pun dapat bersifat racun (BPOM, 2009). Berdasarkan hal tersebut, analisis
merkuri dalam sediaan kosmetik pemutih kulit lebih diutamakan
dibandingkan hidrokuinon.
Merkuri mulai dimanfaatkan dalam bidang kosmetik sebagai bahan
pencerah kulit karena kemampuannya dalam menghambat pembentukan
melanin pada permukaan kulit. Merkuri mampu menjadikan kulit putih
mulus dalam waktu yang relatif singkat, akan tetapi zat ini memberikan efek
negatif bagi kesehatan karena dapat terakumulasi di bawah kulit (Syafnir &
Putri, 2011).
Pemakaian merkuri dalam krim pemutih dapat menimbulkan berbagai
hal, mulai dari perubahan warna kulit yang pada akhirnya dapat
menyebabkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit serta
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pemakaian dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan permanen
otak, ginjal, dan gangguan perkembangan janin bahkan paparan jangka
pendek dalam dosis tinggi juga dapat menyebabkan muntah-muntah, diare
dan kerusakan paru-paru serta merupakan zat karsinogenik (dapat
menyebabkan kanker) pada manusia (BPOM, 2009).
Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan analisis merkuri
dalam kosmetik krim sarang burung walet (Collocalia fuciphago) yang
diperoleh melalui internet. Terdapat beberapa metode dalam analisis
merkuri yaitu dengan titrasi ditizon dan spektrofotometri serapan atom
(DepKes RI, 1995). Selain itu, berbagai teknik analisis yang dapat
menjangkau analit dalam jumlah yang relatif kecil telah banyak dilaporkan,
antara lain adalah ICP-MS (Inductively Coupled Plasma Mass
Spectrometry), ICP-AES (Inductively Coupled Plasma Atomic Emission
Spectrometry), GC-AAS (Gas Chromatography Coupled Atomic Absorption
Spectrometry), CV-AAS (Cold Vapor Atomic Absorption Spectrometry),
AFS (Atomic Fluorescence Spectrometry), dan ASV (Anodic Stripping
Voltammetry) (Kristianingrum, 2009). Pada penelitian ini, analisis merkuri
dilakukan dengan metode ICP-OES (Inductively Coupled Plasma Optical
Emission Spectrometry) karena ICP-OES memiliki suhu atomisasi yang
lebih tinggi, lingkungan yang lebih inert, lebih tahan terhadap gangguan
matriks, batas deteksi rendah, serta stabilitas yang tinggi (Hou & Jones,
2000).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana metode analisis merkuri yang valid?
2. Apakah dalam sampel krim sarang burung walet yang diuji
mengandung merkuri?
3. Berapakah kadar rata-rata merkuri yang terkandung dalam sampel
krim sarang burung walet yang diuji?
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan metode analisis merkuri yang valid.
2. Menentukan apakah di dalam sampel krim sarang burung walet yang
diuji mengandung merkuri atau tidak.
3. Menentukan kadar rata-rata merkuri yang terkandung dalam sampel
krim sarang burung walet yang diuji.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
1. Menjadikan masyarakat lebih berhati-hati dalam membeli maupun
menggunakan krim sarang burung walet yang diperoleh melalui
internet.
2. Sebagai masukan kepada BPOM agar dilakukan pemantauan kembali
situs-situs internet yang masih memasarkan produk melalui internet
khususnya produk kosmetik krim sarang burung walet.
3. Memberikan pengetahuan tambahan dan pengalaman dalam
menganalisis kadar merkuri bagi peneliti.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kosmetik
2.1.1 Definisi Kosmetik
Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sediaan atau paduan bahan yang siap
untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir,
dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk
membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi
supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak
dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit
(Tranggono & Latifah, 2007).
2.1.2 Penggolongan Kosmetik
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibagi ke dalam
13 kelompok (Tranggono & Latifah, 2007) :
1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dll.
2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dll.
3. Preparat untuk mata, misalnya maskara, eye-shadow, dll.
4. Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, toilet water, dll.
5. Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut, hair spray, dll.
6. Preparat pewarna rambut, misalnya cat rambut, dll.
7. Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak, lipstick, dll.
8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mouth washes,
dll.
9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant, dll.
10. Preparat kuku, misalnya cat kuku, losion kuku, dll.
11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih, pelembab, pelindung,
dll.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3 Jenis-Jenis Reaksi Negatif oleh Kosmetik
Ada beberapa reaksi negatif yang disebabkan oleh kosmetik yang
tidak aman, baik pada kulit maupun pada sistem tubuh, antara lain
(Tranggono & Latifah, 2007) :
1. Iritasi
Reaksi langsung timbul pada pemakaian pertama kosmetik karena
salah satu atau lebih bahan yang dikandungnya bersifat iritan.
2. Alergi
Reaksi negatif pada kulit muncul setelah kosmetik dipakai beberapa
kali, kadang-kadang setelah bertahun-tahun, karena kosmetik itu
mengandung bahan yang bersifat alergenik bagi seseorang meskipun
mungkin tidak bagi yang lain.
3. Fotosensitisasi
Reaksi negatif muncul setelah kulit yang ditempeli kosmetik terkena
sinar matahari karena salah satu atau lebih dari bahan, zat pewarna atau zat
pewangi yang dikandung oleh kosmetik itu bersifat photosensitizer.
4. Jerawat (Acne)
Beberapa kosmetik pelembab kulit (moisturizer) yang sangat
berminyak dan lengket pada kulit, seperti yang diperuntukkan bagi kulit
kering di iklim dingin, dapat menimbulkan jerawat bila digunakan pada
kulit yang berminyak, terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia
karena kosmetik demikian cenderung menyumbat pori-pori kulit bersama
kotoran dan bakteri. Jenis kosmetik demikian disebut kosmetik aknegenik.
5. Intoksikasi
Keracunan dapat terjadi secara lokal atau sistemik melalui
penghirupan lewat mulut dan hidung, atau lewat penyerapan via kulit,
terutama jika salah satu atau lebih bahan yang dikandung oleh kosmetik itu
bersifat toksik.
6. Penyumbatan Fisik
Penyumbatan oleh bahan-bahan berminyak dan lengket yang ada di
dalam kosmetik tertentu, seperti pelembab (moisturizer) atau dasar bedak
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(foundation) terhadap pori-pori kulit atau pori-pori kecil pada bagian-bagian
tubuh yang lain.
2.1.4 Reaksi Negatif Kosmetik pada Kulit
Hebatnya reaksi negatif pada kulit akibat kosmetik tergantung pada
berbagai faktor, antara lain (Nater, 1983 dalam Tranggono & Latifah,
2007) :
1. Lamanya Kontak Kosmetik dengan Kulit
Kosmetik yang dikenakan pada kulit untuk waktu lama, misalnya
pelembab dan dasar bedak lebih mudah menimbulkan reaksi negatif
daripada yang hanya sebentar saja dikenakan pada kulit untuk kemudian
segera dihilangkan atau diangkat kembali, misalnya sabun atau sampo yang
cepat dibilas dengan air sampai bersih.
2. Lokasi Pemakaian
Kulit daerah sekitar mata, misalnya, lebih sensitif terhadap kosmetik
karena lebih tipis daripada kulit bagian tubuh lainnya.
3. pH Kosmetik
Semakin jauh beda antara pH kosmetik dan pH fisiologis kulit (dapat
jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah), semakin hebat kosmetik itu
menimbulkan reaksi negatif pada kulit. Karena itu yang terbaik adalah jika
pH kosmetik disamakan dengan pH fisiologis kulit, yaitu antara 4,5-6,5
(disebut kosmetik dengan pH Balanced).
4. Kosmetik yang Mengandung Gas
Menyebabkan konsentrasi bahan aktif di dalam kosmetik itu lebih
tinggi setelah menguap.
2.2 Krim
2.2.1 Definisi Krim
Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi
yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi
dalam bahan dasar yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60%
(Syamsuni, 2006). Krim juga dapat didefinisikan sebagai cairan kental atau
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
emulsi setengah padat baik bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air
(Ansel, 2008).
2.2.2 Krim Pemutih Kulit
Krim pemutih merupakan campuran bahan kimia dan atau bahan
lainnya dengan khasiat bisa memucatkan noda hitam (coklat) pada kulit.
Tujuan penggunaannya dalam jangka waktu lama agar dapat menghilangkan
atau mengurangi hiperpigmentasi pada kulit. Tetapi, penggunaan yang
terus-menerus justru akan menimbulkan pigmentasi dengan efek permanen
(Wasitaatmadja, 1997).
Mekanisme memutihkan kulit pada krim pemutih adalah dengan cara
mencegah proses pigmentasi kulit. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam
krim pemutih dapat memutihkan kulit dengan salah satu atau beberapa aksi
berikut (Wasitaatmadja, 1997):
1. Menghancurkan melanosit secara selektif.
2. Menghambat pembentukan melanosom dan mengatur struktur
melanosom tersebut.
3. Menghambat biosintesis enzim tirosinase.
4. Menghambat pembentukan melanin.
5. Mengganggu transfer melanosom ke sel-sel keratinosit di
sekelilingnya.
6. Dapat mempunyai efek kimia pada melanin atau meningkatkan proses
degradasi melanosom di sel keratinosit.
Kosmetik pemutih kulit yang ada saat ini mempunyai dua cara
pencegahan proses pigmentasi untuk mencerahkan warna kulit yaitu
menghilangkan warna pada melanin yang sudah ada dan menghambat
terjadinya pembentukan melanin baru (Wasitaatmadja, 1997).
Semua krim pencerah atau pemutih kulit efektif hanya jika pigmen
berada di epidermis. Jika pigmen berada lebih dalam, produk tersebut tidak
dapat membantu atau membuat perubahan. Dengan demikian, krim pemutih
dapat membantu menghilangkan warna cokelat atau menyebabkan
perubahan warna karena beberapa pigmen berada di lapisan atas kulit.
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Produk tersebut tidak dapat membuat orang yang hitam menjadi putih (Al-
Saleh & Al-Doush, 1997).
2.3 Sarang Burung Walet
Sarang walet, khususnya sarang putih yang dibuat oleh Aerodramus
fuciphagus, sudah sangat terkenal di masyarakat dunia, terutama di daratan
Cina. Sarang walet ini terbentuk dari air liur walet (Panduan Lengkap Walet,
2011). Menurut Kong et al. (1987), sarang burung walet dibuat oleh walet
laut jantan dari genus Collocalia.
Jenis walet yang menghasilkan sarang tidak dapat dimakan adalah
walet gunung, walet besar, walet sarang lumut, dan walet sapi. Sementara
sarang walet sarang hitam masih dapat dimakan, setelah terlebih dahulu
dibersihkan dari bahan lain yang terdapat di dalamnya. Walet putih
menghasilkan sarang burung yang seluruhnya terbuat dari air liur. Harga
sarang walet putih tentu menjadi paling mahal jika dibandingkan dengan
jenis sarang walet lainnya (Panduan Lengkap Walet, 2011).
2.3.1 Morfologi Sarang Burung Walet
Sarang burung walet terdiri dari beberapa bagian, yaitu kaki sarang,
fondasi sarang, dinding sarang, bibir sarang, dan dasar sarang. Kaki sarang
terletak di kedua ujung sarang walet dan berfungsi sebagai paku yang
menempel pada papan sirip dan tempat sarang menggantung. Kedua kaki
sarang dihubungkan oleh fondasi sarang yang berfungsi untuk mendukung
kaki dalam memperkuat sarang. Dasar sarang merupakan bagian alas sarang
sebagai tempat untuk bertelur, mengeram, dan kasur bagi anak walet (piyik).
Dinding sarang berbentuk lekukan seperti mangkuk dan berfungsi untuk
menampung telur atau piyik. Bibir sarang merupakan bagian luar dari
sarang yang berbentuk huruf U, seperti setengah lingkaran yang berfungsi
sebagai batas sehingga telur atau piyik tidak mudah jatuh dari sarang. Selain
itu, bibir sarang juga merupakan tempat untuk induk menggantung
menyuapi piyik (Panduan Lengkap Walet, 2011).
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.1 Morfologi Sarang Walet [Sumber : Panduan Lengkap Walet, 2011]
2.3.2 Kandungan dan Khasiat
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Sarang Burung Walet Putih dan Sarang
Burung Walet Merah
Kandungan Sarang Walet Putih Sarang Walet Merah
Kadar air (%) 7,50 8,00
Kadar abu (%) 2,10 2,10
Lemak (%) 0,14 1,28
Protein (%) 62,0 63,00
Karbohidrat (%) 27,26 25,62
Analisis unsur (ppm)
Natrium 650 700
Kalium 110 165
Kalsium 1298 798
Magnesium 330 500
Fosfor 40 45
Besi 30 60
Analisis asam lemak (%)
(P) Palmitat C16:0 23 26
(O) Stearat C18:0 29 26
(L) Linoleat C18:1 22 22
(Ln) Linolenat C18:2 26 26
Triasilgliserol (%)
PPO 16 14
OOL 13 15
PLnLn 19 18
Monogliserida 31 27
Digliserida 21 26
[Sumber : Marcone, 2005 dalam Arsih, 2014]
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.2 Kandungan Asam Amino pada Sarang Burung Walet Rumah dan
Sarang Burung Walet Gua
Asam Amino
Mean dan Standar Deviasi (% w/w)
Sarang Burung Walet
Rumah (%)
Sarang Burung Walet
Gua (%)
Asam aspartat 4,64 ± 0,57 4,94 ± 0,22
Serin 4,16 ± 0,39 4,57 ± 0,63
Asam glutamat 3,75 ± 0,52 3,83 ± 0,25
Glisin 1,80 ± 0,18 1,83 ± 0,15
Histidin 1,82 ± 0,14 1,59 ± 0,24
Arginin 3,27 ± 0,28 3,56 ± 0,44
Treonin 3,15 ± 0,30 3,34 ± 0,44
Alanin 1,34 ± 0,16 1,68 ± 0,07
Prolin 3,39 ± 0,35 3,57 ± 0,36
Sistein 0,73 ± 0,06 0,46 ± 0,02
Tirosin 2,49 ± 0,19 2,41 ± 0,32
Valin 3,51 ± 0,35 3,53 ± 0,40
Metionin 0,27 ± 0,02 0,20 ± 0,01
Lisin 2,30 ± 0,30 1,79 ± 0,24
Isoleusin 1,62 ± 0,17 1,72 ± 0,18
Leusin 3,32 ± 0,34 3,48 ± 0,29
Fenilalanin 2,68 ± 0,21 2,67 ± 0,30
[Sumber : Ismail et al., 2013 dalam Arsih, 2014]
Sarang burung walet merupakan makanan berkhasiat yang dihormati
oleh bangsa Cina yang telah terbukti memiliki nutrisi yang baik (protein
larut air, karbohidrat, besi, garam inorganik, dan serat) dan manfaat dari sisi
medis (anti-aging, antikanker, dan meningkatkan imunitas) (Marcone,
2005). Sarang burung walet juga terbukti dapat menghambat hemaglutinasi
terhadap virus influenza (Howe, Lee, & Rose, 1960; 1961). Matsukawa et al.
(2011) menemukan bahwa pemberian oral ekstrak sarang burung walet
meningkatkan kekuatan tulang dan kadar kalsium tulang.
Selain kandungan dan khasiat yang telah disebutkan di atas, sarang
burung walet juga mengandung EGF (Epidermal Growth Factor) atau
Faktor Pertumbuhan Epidermal (Kong et al., 1987). EGF adalah peptida
yang mendorong pertumbuhan berbagai jenis sel setelah mengikat reseptor
EGF pada permukaan sel (Yun et al., 2013).
EGF banyak digunakan dalam kosmetik dan cosmeceuticals (paduan
antara kosmetik dan obat) sebagai pelembab atau whitening agent (bahan
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pemutih) dan dalam sediaan topikal untuk mempercepat penyembuhan luka.
Berdasarkan hasil penelitian Yun et al. (2013), ditemukan adanya EGFR
(Epidermal Growth Factor Receptor) pada melanosit yang memediasi aksi
EGF untuk mengurangi peradangan yang disebabkan melanogenesis dan
hiperpigmentasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa EGF dapat
berpotensi untuk digunakan dalam kosmetik pemutih untuk mencegah
terjadinya PIH (postinflammatory hyperpigmentation), yaitu gangguan
hiperpigmentasi umum (Yun et al., 2013).
2.4 Merkuri
Logam merkuri atau air raksa mempunyai nama kimia hydrargyrum
yang berarti perak cair. Logam merkuri dilambangkan dengan Hg. Pada
tabel peroksida menempati urutan (NA) 80 dan mempunyai bobot atom
(BA) 200,59 (Palar, 1994).
2.4.1 Sumber Merkuri
a. Di Alam
Sebagai hasil tambang, merkuri dijumpai dalam bentuk mineral HgS.
Terdapat sebagai batuan dan lapisan batuan yang terhampar di Spanyol, Itali
dan bagian Amerika, serta banyak didistribusikan sebagai batuan, abu dan
larutan (Ariens, 1993).
b. Hasil Aktivitas Manusia
Dalam hal ini dapat dicontohkan dari hasil penambangan emas,
dimana penambangan tersebut mengandung bahan merkuri (Hg) yang
masuk ke aliran sungai sehingga menyebabkan air sungai tersebut menjadi
tercemar dan dapat menimbulkan penyakit yang membahayakan kesehatan
manusia (Ariens, 1993).
2.4.2 Jenis-Jenis Merkuri
Merkuri terdapat dalam beberapa bentuk yaitu logam merkuri (dikenal
juga sebagai unsur merkuri), merkuri anorganik, dan merkuri organik.
Logam merkuri merupakan logam mengkilap, berwarna perak-putih yang
berbentuk cair pada suhu kamar. Logam merkuri adalah bentuk unsur atau
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merkuri murni (yaitu tidak dikombinasikan dengan unsur-unsur lain). Pada
suhu kamar, sebagian dari logam merkuri akan menguap dan membentuk
uap merkuri. Uap merkuri tidak berwarna dan tidak berbau. Semakin tinggi
suhu, semakin banyak uap yang akan dilepaskan dari logam merkuri cair
(ATSDR, 1999).
Senyawa merkuri anorganik terbentuk ketika merkuri berikatan
dengan unsur-unsur seperti klorin, sulfur, atau oksigen. Senyawa merkuri ini
juga disebut garam merkuri. Kebanyakan senyawa merkuri anorganik
berupa serbuk atau kristal putih, kecuali merkuri sulfida (yang juga dikenal
sebagai sinabar) yang berwarna merah dan berubah warna menjadi hitam
setelah terpapar cahaya (ATSDR, 1999).
Ketika merkuri berikatan dengan karbon, senyawa yang terbentuk
disebut senyawa merkuri "organik" atau organomercurial. Sejauh ini
senyawa merkuri organik yang paling umum di lingkungan adalah
metilmerkuri (dikenal juga sebagai monometilmerkuri). Dahulu, senyawa
merkuri organik yang disebut fenilmerkuri digunakan dalam beberapa
produk komersial. Senyawa merkuri organik lain yang disebut
dimetilmerkuri juga digunakan dalam jumlah kecil sebagai standar acuan
untuk beberapa uji kimia. Seperti senyawa merkuri anorganik, baik
metilmerkuri dan fenilmerkuri terdapat sebagai "garam" (misalnya,
metilmerkuri klorida atau fenilmerkuri asetat). Jika dalam keadaan murni,
kebanyakan bentuk metilmerkuri dan fenilmerkuri adalah zat padat kristal
putih. Namun, dimetilmerkuri adalah cairan tak berwarna (ATSDR, 1999).
2.4.3 Kegunaan
Logam merkuri cair digunakan dalam memproduksi gas klorin dan
soda kaustik, dan dalam ekstraksi emas dari bijih yang mengandung emas.
Digunakan juga dalam termometer, barometer, baterai, dan saklar listrik
(ATSDR, 1999).
Beberapa senyawa merkuri anorganik digunakan sebagai fungisida.
Garam anorganik raksa, termasuk merkuri klorida dan merkuri iodida
teramoniasi, telah digunakan dalam krim pemutih kulit. Merkuri klorida
adalah agen antiseptik atau disinfektan topikal. Dahulu, merkuri klorida
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan secara luas dalam produk obat pencahar, obat cacing, dan serbuk
gigi. Sejak saat itu telah digantikan oleh agen yang lebih aman dan lebih
efektif. Bahan kimia lainnya yang mengandung merkuri masih digunakan
sebagai antibakteri. Produk tersebut termasuk mercurochrome (mengandung
sejumlah kecil merkuri, 2%), timerosal dan fenilmerkuri nitrat, yang
digunakan dalam jumlah kecil sebagai pengawet dalam beberapa obat resep
dan obat bebas (ATSDR, 1999). Timerosal digunakan sebagai pengawet
dalam larutan lensa kontak lunak sedangkan fenilmerkuri nitrat digunakan
sebagai pengawet dalam sediaan tetes mata (Rowe, Sheskey & Owen, 2006).
2.4.4 Persyaratan Kadar
United States Food and Drug Administration (US FDA) pada tahun
1992 menetapkan kadar maksimum merkuri dalam kosmetik yang dapat
diterima yaitu 1 μg/g (Amponsah, 2010). Sedangkan menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 445/MENKES/PER/V/1998
tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada
Kosmetika, raksa dan senyawanya dilarang digunakan dalam kosmetika
kecuali fenilraksa nitrat dan tiomersal sebagai pengawet dalam sediaan
sekitar mata, maksimum 0,007%, dihitung sebagai Hg.
2.4.5 Toksisitas
Pajanan akut terhadap uap merkuri bisa menyebabkan gejala dalam
beberapa jam berupa rasa lemah, menggigil, rasa logam, mual, muntah,
diare, batuk dan sesak napas. Pajanan kronis terhadap uap merkuri
menyebabkan toksisitas yang timbul lambat terutama gejala neurologis yang
disebut sindrom vegetatif astenik. Sindrom ini terdiri dari gejala neurastenik
ditambah tiga atau lebih gejala berikut : peningkatan ambilan yodium
radioaktif oleh kelenjar tiroid, takikardia, nadi labil, gingivitis, dermografia
dan peningkatan merkuri dalam urin. Pajanan yang terus-menerus
menimbulkan tremor dan perubahan psikologis misalnya depresi, iritabilitas,
rasa malu berlebihan, insomnia, emosi labil, pelupa, bingung dan gangguan
vasomotor (perspirasi berlebihan dan kemerahan di wajah) keseluruhan
gejala ini disebut eretism (Gunawan, 2009).
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Merkuri anorganik dan ionik (misalnya, merkuri klorida) dapat
menyebabkan toksisitas akut berat. Pengendapan protein selaput lendir
akibat garam merkuri mengakibatkan warna mulut, faring dan saluran cerna
keabu-abuan disertai nyeri hebat dan muntah. Efek korosif Hg anorganik
pada mukosa usus menyebabkan hematoschezia yang ditandai dengan
mukosa lepas dalam tinja. Efek sistemik paling serius dan paling sering
terjadi akibat Hg anorganik ialah toksisitas renal. Terjadi nekrosis tubuli
ginjal disertai oliguria atau anuria; namun kerusakan glomerular lebih
menonjol (Gunawan, 2009).
Sindrom akrodinia (pink disease) umumnya juga akibat pajanan kronis
terhadap ion merkuri anorganik. Sindrom akrodinia berupa eritem
ekstremitas, dada dan wajah, dengan fotofobia, diaforesis, mual, takikardia,
dan sembelit atau diare. Kompleks gejala ini terlihat secara eksklusif akibat
termakannya merkuri dan diduga merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap merkuri (Gunawan, 2009).
Kebanyakan data toksikologi Hg organik pada manusia menyangkut
metilmerkuri sebagai akibat pajanan tidak sengaja. Gejala pajanan
metilmerkuri sebagian besar bersifat neurologis seperti gangguan
penglihatan (skotoma atau penyempitan medan penglihatan), ataksia,
parestesia, neurastenia, kehilangan pendengaran, disartri, kemunduran
mental, tremor, gangguan motorik, paralisis dan kematian. Efek
metilmerkuri pada fetus dapat terjadi walaupun ibunya asimtomatik, yaitu
berupa kemunduran mental dan gangguan neuromuskular (Gunawan, 2009).
2.4.6 Merkuri dalam Produk Pemutih Kulit
Senyawa merkuri telah digunakan dengan berbagai keberhasilan
dalam mencerahkan pigmen kulit. Ion-ion merkuri diduga menghambat
sintesis melanin, pigmen hitam yang bertanggung jawab untuk penggelapan
kulit (Giunta et al., 1983 dalam Amponsah, 2010).
Sediaan kosmetik yang mengandung senyawa merkuri seringkali
digunakan dengan keteraturan serta frekuensi untuk jangka waktu lama.
Penggunaan kronis sediaan pemutih kulit yang mengandung merkuri ini
mengakibatkan akumulasi merkuri di dalam tubuh setelah menyerap melalui
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kulit; khususnya di ginjal terutama menumpuk di wilayah tubular, sehingga
menyebabkan terjadinya reaksi parah (Giunta et al., 1983 dalam Amponsah,
2010).
Merkuri yang diaplikasikan pada kulit akan bereaksi dengan sinar
ultraviolet dan tereoksidasi, mengarah ke pigmentasi yang lebih banyak dan
penuaan dini jika produk tersebut semakin banyak yang digunakan untuk
mengatasi munculnya noda gelap (Olumide et al., 2008).
Pada orang berkulit hitam, pigmentasi adalah perlindungan alami kulit
dari matahari. Setelah kulit diputihkan, ia kehilangan pelindung alaminya,
sehingga rentan terhadap kerusakan oleh sinar matahari. Inilah alasan
mengapa banyak produk pemutih mengandung tabir surya atau berisi
petunjuk yang menyarankan orang untuk menggunakan krim pelindung
sinar matahari (sun protection creams) bersama dengan produk tersebut.
Dengan menghambat produksi melanin, kulit lebih rentan terhadap kanker
kulit (Giunta et al., 1983 dalam Amponsah, 2010).
Orang-orang yang menggunakan produk pemutih dapat berakhir
dengan kulit kasar dan bernoda, dan kemudian terjebak dalam "perangkap
pemutih" dengan menggunakan lebih banyak krim untuk mencoba
mengatasi masalah tersebut, dan dengan demikian, mereka sendiri yang
menyebabkan semakin rusaknya kulit mereka. Atau mereka mungkin
menemukan bahwa karena paparan sinar matahari, kulit mereka yang telah
putih menjadi lebih gelap (Giunta et al., 1983 dalam Amponsah, 2010).
2.4.7 Metode Analisis Merkuri
Sejumlah metode telah digunakan untuk menentukan kadar merkuri
dalam sampel biologis dan lingkungan. Metode yang paling umum atau
sering digunakan yaitu spektrometri serapan atom (SSA), spektrometri
fluoresensi atom (SFA), atau analisis aktivasi neutron (AAN). Selain itu,
metode berdasarkan spektrometri massa (MS), spektrofotometri,
kromatografi gas dan anodic stripping voltammetry (ASV) juga telah diuji
(Amponsah, 2010).
Berbagai teknik analisis yang dapat menjangkau analit dalam jumlah
yang relatif kecil telah banyak dilaporkan, antara lain adalah ICP-MS
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry), ICP-AES (Inductively
Coupled Plasma Atomic Emission Spectrometry), GC-AAS (Gas
Chromatography Atomic Absorption Spectrometry) , CV-AAS (Cold Vapor
Atomic Absorption Spectrometry), AFS (Atomic Fluorescence
Spectrometry), dan ASV (Anodic Stripping Voltammetry) (Kristianingrum,
2009).
2.5 Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry (ICP-OES)
ICP-OES merupakan perangkat canggih untuk penentuan logam
dalam berbagai matriks sampel yang berbeda. ICP dikembangkan untuk
spektrometri emisi optik oleh Fassel et al. di Iowa State University, Amerika
Serikat dan oleh Greenfield et al. di Albright & Wilson, Ltd, Inggris pada
pertengahan 1960-an. Instrumen ICP-OES yang tersedia secara komersial
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 (Hou & Jones, 2000).
2.5.1 Prinsip Kerja
Teknik ini didasarkan pada emisi spontan foton dari atom dan ion
yang telah tereksitasi dalam radio frequency (RF) discharge. Sampel cair
dan gas dapat diinjeksikan langsung ke instrumen, sedangkan sampel padat
memerlukan ekstraksi atau digesti asam sehingga analit akan didapatkan
dalam bentuk larutan. Larutan sampel diubah menjadi aerosol dan diarahkan
ke saluran pusat plasma. Pada bagian inti inductively coupled plasma (ICP)
suhunya sekitar 10.000 K, sehingga aerosol cepat diuapkan. Unsur analit
dibebaskan sebagai atom-atom bebas dalam bentuk gas. Eksitasi tumbukan
lebih lanjut dalam plasma menghasilkan energi tambahan untuk atom
sehingga mempromosikannya ke keadaan tereksitasi. Energi yang cukup
mengubah atom menjadi ion dan selanjutnya mempromosikan ion ke
keadaan tereksitasi. Kedua jenis keadaan tereksitasi dari atom dan ion
kemudian dapat kembali ke keadaan dasar melalui emisi foton. Foton ini
memiliki energi khas yang ditentukan oleh struktur tingkat energi
terkuantisasi untuk atom atau ion. Dengan demikian panjang gelombang
dari foton dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur asalnya.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Total jumlah foton berbanding lurus dengan konsentrasi unsur dalam sampel
(Hou & Jones, 2000).
Pada ICP-OES, gas argon diarahkan melalui torch yang terdiri atas
tiga tabung konsentris yang terbuat dari kuarsa atau beberapa bahan lain
yang sesuai. Sebuah kumparan tembaga, yang disebut load coil,
mengelilingi ujung atas torch dan terhubung ke generator frekuensi radio
(radio frequency, RF). Bila daya RF diterapkan pada load coil, arus bolak-
balik bergerak di dalam kumparan, atau berosilasi, pada tingkat yang sesuai
dengan frekuensi generator. Osilasi RF dari arus dalam kumparan ini
menyebabkan terbentuknya medan listrik dan medan magnet RF di bagian
atas torch. Dengan gas argon yang berputar melalui torch, bunga api yang
diterapkan pada gas menyebabkan beberapa elektron akan terlepas dari atom
argonnya. Elektron ini kemudian terperangkap dan diakselerasi dalam
medan magnet. Menambahkan energi pada elektron dengan menggunakan
kumparan dengan cara ini dikenal sebagai inductive coupling. Elektron
berenergi tinggi ini selanjutnya bertumbukan dengan atom argon lainnya,
menyebabkan lepasnya lebih banyak elektron. Ionisasi tumbukan gas argon
ini berlanjut dalam reaksi berantai, mengubah gas menjadi plasma yang
terdiri atas atom argon, elektron, dan ion argon, membentuk apa yang
dikenal sebagai inductively coupled plasma (ICP) discharge. ICP discharge
tersebut kemudian dipertahankan dalam torch dan load coil selama energi
RF masih terus ditransfer melalui proses inductive coupling (Boss &
Fredeen, 1997).
Terdapat beberapa fungsi ICP discharge (selanjutnya disebut sebagai
ICP atau "plasma"). Fungsi pertama dari plasma suhu tinggi adalah
menghilangkan pelarut dari aerosol atau desolvasi, biasanya menyisakan
sampel sebagai partikel garam mikroskopis. Langkah selanjutnya
melibatkan dekomposisi partikel garam menjadi gas molekul individu
(penguapan) yang kemudian terdisosiasi menjadi atom (atomisasi). Setelah
sampel aerosol terdesolvasi, teruapkan dan teratomisasi, plasma memiliki
satu, atau mungkin dua fungsi yang tersisa yaitu eksitasi dan ionisasi. Agar
atom atau ion dapat memancarkan radiasi khasnya, salah satu elektronnya
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
harus dipromosikan ke tingkat energi yang lebih tinggi melalui proses
eksitasi (Boss & Fredeen, 1997).
Keterangan :
A : Gas argon berputar melalui torch.
B : Daya RF diterapkan pada load coil.
C : Sebuah percikan bunga api menghasilkan beberapa elektron bebas dalam argon
tersebut.
D : Elektron bebas diakselerasi oleh medan RF menyebabkan ionisasi lebih lanjut dan
membentuk plasma.
E : Aliran nebulizer pembawa aerosol sampel menghasilkan lubang dalam plasma.
Gambar 2.2 Penampang Sebuah Torch dan Load Coil ICP yang
Menggambarkan Urutan Penyalaan [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
2.5.2 Instrumentasi
Gambar 2.3 Komponen Utama dan Susunan Instrumen ICP-OES [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang mengubah cairan menjadi aerosol yang
dapat dibawa ke plasma. Banyak gaya yang dapat digunakan untuk
memecah cairan menjadi aerosol; namun, hanya dua yang berhasil
digunakan dengan ICP, gaya pneumatik dan gaya mekanik ultrasonik.
Kebanyakan nebulizer ICP komersial adalah dari jenis pneumatik. Nebulizer
ini menggunakan aliran gas berkecepatan tinggi untuk membuat aerosol
(Boss & Fredeen, 1997).
Gambar 2.4 Beberapa Contoh Nebulizer yang Digunakan untuk ICP-OES [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
b. Pompa
Pompa memanfaatkan serangkaian rol yang mendorong larutan
sampel melalui selang dengan menggunakan proses yang dikenal sebagai
gerakan peristaltik. Pompa tersebut tidak kontak dengan larutan, hanya
dengan selang yang membawa larutan dari bejana sampel ke nebulizer
(Boss & Fredeen, 1997).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.5 Pompa Peristaltik yang Digunakan untuk ICP-OES [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
c. Spray Chamber
Spray chamber ditempatkan diantara nebulizer dan torch. Fungsi
utama dari spray chamber adalah menghilangkan tetesan besar dari aerosol.
Fungsi kedua dari spray chamber adalah untuk melancarkan pulse yang
terjadi selama nebulisasi yang sering disebabkan oleh pemompaan larutan.
Secara umum, spray chamber ICP dirancang untuk memungkinkan tetesan
dengan diameter sekitar 10 mm atau lebih kecil lolos ke plasma (Boss &
Fredeen, 1997).
Gambar 2.6 Spray Chamber yang Digunakan untuk ICP-OES [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
Beberapa alternatif untuk nebulizer dan spray chambers telah
digunakan sebagai sistem penghantar sampel untuk ICP-OES. Teknik
alternatif yang paling banyak digunakan adalah hydride generation
Dari wadah
sampel
Ke
nebulizer
Ke Torch
Ke Torch
Ke Pembuangan
Tabung Pembuangan
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(generasi hidrida). Dengan teknik ini, sampel, dalam asam encer, dicampur
dengan zat pereduksi, biasanya larutan natrium borohidrida dalam natrium
hidroksida encer. Reaksi natrium borohidrida dengan asam menghasilkan
atom hidrogen. Atom hidrogen kemudian bereaksi dengan Hg, Sb, As, Bi,
Ge, Pb, Se, Te, dan Sn dalam larutan untuk membentuk hidrida stabil dari
unsur-unsur tersebut. Senyawa gas ini kemudian dipisahkan dari sisa
campuran reaksi dan dibawa ke plasma (Boss & Fredeen, 1997).
Gambar 2.7 Skema Generator Hidrida [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
Perbaikan dalam batas deteksi dengan faktor hingga 1000 untuk
unsur-unsur yang tercantum di atas telah dicapai dengan menggunakan
generasi hidrida. Alasan kemajuan besar dalam sensitivitas untuk unsur ini
adalah tingkat penghantaran sampel untuk generator hidrida seringkali
sebanyak sepuluh kali tingkat dibandingkan nebulizer pneumatik, dan
efisiensi dengan hidrida yang mudah menguap yang dihantarkan ke plasma
mendekati 100%, dibandingkan dengan efisiensi 1 - 5% bila menggunakan
nebulizer pneumatik dan spray chamber (Boss & Fredeen, 1997).
d. Torch
Torch teridiri atas tiga tabung konsentris untuk aliran argon dan
injeksi aerosol. Jarak antara dua tabung luar dipertahankan sempit sehingga
gas yang dihantarkan diantaranya mengalir dengan kecepatan tinggi. Salah
satu fungsi dari gas ini adalah untuk menjaga dinding kuarsa torch dingin.
Blangko
Sampel
Limbah
Ke
Limbah
Ke ICP Katup
Dua
Arah
Pompa Peristaltik
Tiga Saluran
Pemisah
Gas/Cairan
Tempat
Pencampuran
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk ICP argon, aliran gas luar biasanya sekitar 7-15 L/menit. Ruang
antara aliran luar dan aliran dalam menghantarkan gas langsung di bawah
toroid plasma. Dalam operasi normal torch, aliran ini, sebelumnya disebut
aliran tambahan tapi sekarang disebut aliran gas menengah, sekitar 1,0
L/menit. Aliran menengah biasanya digunakan untuk mengurangi
pembentukan karbon pada ujung tabung injektor ketika sampel organik
sedang dianalisis. Namun, hal tersebut juga dapat meningkatkan kinerja
dengan sampel air. Aliran gas yang membawa aerosol sampel diinjeksikan
ke plasma melalui tabung atau injektor pusat. Karena diameter di ujung
injektor kecil, kecepatan gas argon 1 L/menit yang digunakan untuk
nebulisasi dapat membentuk lubang melalui plasma (Boss & Fredeen, 1997).
Gambar 2.8 Torch yang Digunakan untuk ICP-OES [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
f. Generator Radio Frequency
Generator Radio Frequency (RF) adalah alat yang menyediakan daya
untuk pembentukan dan pemeliharaan plasma discharge. Daya ini, biasanya
berkisar antara 700-1500 watt, ditransfer ke gas plasma melalui load coil di
sekitar bagian atas torch. Load coil, yang bertindak sebagai antena untuk
mentransfer daya RF ke plasma, biasanya terbuat dari tabung tembaga dan
didinginkan dengan air atau gas selama pengoperasian. Kebanyakan
generator RF yang digunakan untuk ICP-OES beroperasi pada frekuensi
antara 27 dan 56 MHz (Boss & Fredeen, 1997).
Celah Pengamatan
Load coil
Tabung Injektor
Aliran
Nebulizer
Aliran Tambahan
Aliran Plasma
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. Transfer Optik
Radiasi emisi dari daerah plasma yang dikenal sebagai zona analitis
normal (NAZ) disampel untuk pengukuran spektrometri. Radiasi tersebut
biasanya dikumpulkan oleh fokus optik seperti lensa cembung atau cermin
cekung. Optik ini kemudian memfokuskan citra plasma ke celah masuk dari
alat pendispersi panjang gelombang atau spektrometer (Boss & Fredeen,
1997).
h. Pendispersi Panjang Gelombang
Tahapan selanjutnya dalam ICP-OES adalah diferensiasi radiasi emisi
suatu unsur dari radiasi yang dipancarkan oleh unsur dan molekul lainnya.
Pemilihan emisi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Dispersi panjang
gelombang yang berbeda secara fisik dengan diffraction grating (kekisi
difraksi) adalah yang paling umum. Perangkat lain yang kurang umum
digunakan yaitu prisma, filter dan interferometer (Boss & Fredeen, 1997).
Kekisi difraksi refleksi adalah sebuah cermin dengan garis yang
berjarak sangat dekat di permukaannya. Kebanyakan kekisi yang digunakan
pada instrumen ICP-OES memiliki garis, atau alur, kepadatan 600-4200
garis per milimeter. Ketika cahaya mengenai kekisi tersebut, cahaya
terdifraksi dengan sudut yang tergantung pada panjang gelombang cahaya
dan kepadatan garis kekisi (Boss & Fredeen, 1997).
Gambar 2.9 Kekisi Difraksi Memisahkan Dua Panjang Gelombang Cahaya [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
Untuk memisahkan cahaya polikromatik, kekisi digabungkan dalam
instrumen optik yang disebut spektrometer. Spektrometer menerima cahaya
putih atau radiasi polikromatik dan mendispersikannya menjadi radiasi
Cahaya Masuk
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
monokromatik. Satu atau lebih celah keluar pada bidang atau lingkaran
keluar kemudian digunakan untuk memungkinkan panjang gelombang
tertentu lolos ke detektor sambil menghalangi panjang gelombang yang lain
(Boss & Fredeen, 1997).
Ketika beberapa celah keluar dan detektor digunakan dalam
spektrometer yang sama, perangkat ini disebut polikromator. Setiap celah
keluar di polikromator sejajar dengan garis emisi atom atau ion dari unsur
tertentu yang memungkinkan analisis multiunsur secara bersamaan. Di sisi
lain, sebuah monokromator biasanya hanya menggunakan satu celah keluar
dan detektor. Monokromator digunakan dalam analisis multiunsur dengan
pemindaian secara cepat, atau slewing, dari satu garis emisi ke garis emisi
yang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah sudut difraksi kisi
dengan cara memutarnya atau dengan memindahkan detektor di bidang
keluar dari monokromator dan membiarkan kisi berada pada posisi tetap
(Boss & Fredeen, 1997).
Gambar 2.10 Polikromator Rowland Circle [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
Celah
Masuk Celah
Keluar
Lensa
Kondensasi
Sumber
Kekisi Cekung
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.11 Monokromator Czerny-Turner (a) dan Ebert (b) [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
i. Detektor
Setelah garis emisi yang tepat diisolasi oleh spektrometer, detektor
dan elektronik yang terkait digunakan untuk mengukur intensitas garis emisi.
Sejauh ini detektor yang paling banyak digunakan untuk ICP-OES adalah
tabung photomultiplier atau PMT. PMT adalah tabung vakum yang berisi
bahan fotosensitif yang disebut photocathode, yang melepaskan elektron
ketika terkena cahaya. Elektron yang dilepaskan dipercepat menuju dynode
yang melepaskan 2-5 elektron sekunder untuk setiap satu elektron yang
mengenai permukaannya. Elektron sekunder tersebut mengenai dynode
yang lain, sehingga melepaskan lebih banyak lagi elektron yang mengenai
dynode lainnya, menyebabkan efek penggandaan di sepanjang
perjalanannya. PMT biasanya memiliki 9 sampai 16 tahap dynode. Tahap
terakhir adalah pengumpulan elektron sekunder dari dynode terakhir dengan
menggunakan anoda. Sebanyak 106 elektron sekunder dapat dikumpulkan
sebagai hasil dari foton tunggal yang mengenai photocathode PMT yang
memiliki sembilan dynode. Arus listrik yang dihasilkan diukur pada anoda
kemudian digunakan sebagai ukuran relatif dari intensitas radiasi yang
mencapai PMT (Boss & Fredeen, 1997).
Celah Masuk Celah Masuk
Celah Keluar Celah Keluar
Kekisi Kekisi
Cermin
Pengumpul
Cermin
Pengumpul
Jarak Fokus Jarak Fokus
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.12 Tata Letak Photocathode, Dynode dan Anoda pada Sebuah
Tabung Photomultiplier [Sumber : Boss & Fredeen, 1997]
j. Komputer dan Prosesor
Setiap instrumen ICP-OES komersial yang tersedia saat ini
menggunakan beberapa jenis komputer untuk mengendalikan spektrometer
dan untuk mengumpulkan, memanipulasi, dan melaporkan data analitis
(Boss & Fredeen, 1997).
2.5.3 Analisis Kualitatif dan Kuantitatif dengan ICP-OES
Untuk mendapatkan informasi kualitatif, yaitu unsur apa yang terdapat
dalam sampel, melibatkan identifikasi adanya emisi pada panjang
gelombang khas dari unsur yang dituju. Secara umum, setidaknya tiga garis
spektrum dari unsur yang diperiksa untuk memastikan bahwa emisi yang
diamati memang benar merupakan milik unsur yang dituju. Terkadang
gangguan garis spektral dari unsur lain mungkin membuat suatu
ketidakpastian tentang adanya unsur dalam plasma. Untungnya, dari
sejumlah besar garis emisi yang tersedia untuk sebagian besar unsur
memperbolehkan salah satu garis emisi yang dapat mengatasi gangguan
tersebut dengan cara memilih diantara beberapa garis emisi yang berbeda
untuk unsur yang dituju (Boss & Fredeen, 1997).
Elektron
Sekunder
Anoda
Alat
Pengukur
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk mendapatkan informasi kuantitatif, yaitu, seberapa banyak
suatu unsur terdapat dalam sampel, dapat dicapai dengan menggunakan plot
intensitas emisi terhadap konsentrasi yang disebut kurva kalibrasi. Larutan
dengan konsentrasi analit yang diketahui, disebut larutan standar,
dimasukkan ke dalam ICP dan intensitas emisi khas untuk setiap unsur, atau
analit, diukur. Intensitas ini kemudian dapat diplot terhadap konsentrasi
standar untuk membentuk kurva kalibrasi bagi setiap unsur. Ketika
intensitas emisi dari analit diukur, intensitas diperiksa terhadap kurva
kalibrasi unsur tersebut untuk menentukan konsentrasi sesuai dengan
intensitasnya (Boss & Fredeen, 1997).
2.5.4 Kelebihan dan Kekurangan
Dibandingkan dengan teknik lain, ICP-OES memiliki suhu atomisasi
yang lebih tinggi, lingkungan yang lebih inert, dan kemampuan alami untuk
penentuan hingga 70 elemen secara bersamaan. Hal ini membuat ICP lebih
tahan terhadap gangguan matriks, dan lebih mampu untuk mengoreksinya
ketika terjadi gangguan matriks. ICP-OES menyediakan batas deteksi
serendah, atau lebih rendah dari pesaing terbaiknya, GFAAS. Selain itu, ICP
tidak menggunakan elektroda, sehingga tidak ada kontaminasi dari pengotor
yang berasal dari bahan elektroda. ICP juga relatif lebih mudah dalam
perakitannya dan murah, dibandingkan dengan beberapa sumber lain,
seperti LIP (laser-induced plasma). Berikut ini adalah beberapa sifat yang
paling menguntungkan dari sumber ICP (Hou & Bradley, 2000):
a. Suhu tinggi (7000-8000 K).
b. Kerapatan elektron tinggi (1014 -1016 cm3).
c. Derajat ionisasi yang cukup besar untuk banyak unsur.
d. Kemampuan analisa multiunsur secar bersamaan (lebih dari 70 unsur
termasuk P dan S).
e. Emisi backgroud (latar belakang) rendah, dan gangguan kimia yang
relatif rendah.
f. Stabilitas tinggi yang menyebabkan akurasi dan presisi yang sangat
baik.
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. Batas deteksi yang sangat baik untuk sebagian besar unsur (0,1- 100
ng/mL).
h. Linear dynamic range (LDR) yang lebar (4-6 kali lipat).
i. Dapat diterapkan untuk unsur-unsur refraktori.
j. Analisis dengan biaya efektif.
Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teknik-Teknik Analisis Unsur
Teknik Kelebihan Kekurangan
AAS (Atomic Absorption
Spectrometry)
Batas deteksi rendah Beberapa unsur,
membutuhkan waktu
lama, efek matriks
NAA (Neutron
Activation Analysis)
Batas deteksi rendah Beberapa unsur,
membutuhkan
reaktor
SSMS (Spark Source
Mass Spectrometry)
Batas deteksi rendah,
banyak unsur
Kuantifikasi sulit,
sensitif-permukaan
WDXRF (Wavelength
Dispersive X-ray
Fluorescence)
Banyak unsur,
sampel padat dan cair
Batas deteksi terlalu
tinggi
ICP-MS (Inductively
Coupled Plasma Mass
Spectrometry)
Batas deteksi rendah,
banyak unsur,
analisis isotop
Efek matriks
ICP-OES (Inductively
Coupled Plasma-Optical
Emission Spectrometry)
Batas deteksi rendah,
banyak unsur,
interferensi spektral
terbatas, stabilitas
baik, efek matriks
rendah
Hanya sampel cair
[Sumber : NRC, 2004]
2.6 Metode Destruksi
Destruksi merupakan suatu perlakuan pemecahan senyawa menjadi
unsur-unsurnya sehingga dapat dianalisis. Istilah destruksi ini disebut juga
perombakan, yaitu dari bentuk organik logam menjadi bentuk logam-logam
anorganik. Pada dasarnya ada dua jenis destruksi yang dikenal dalam ilmu
kimia yaitu destruksi basah (oksida basah) dan destruksi kering (oksida
kering). Kedua destruksi ini memiliki teknik pengerjaan dan lama
pemanasan atau pendestruksian yang berbeda (Kristianingrum, 2012).
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6.1 Metode Destruksi Basah
Destruksi basah adalah perombakan sampel dengan asam-asam kuat
baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi dengan menggunakan
zat oksidator. Pelarut-pelarut yang dapat digunakan untuk destruksi basah
antara lain asam nitrat, asam sulfat, asam perklorat, dan asam klorida.
Kesemua pelarut tersebut dapat digunakan baik tunggal maupun campuran.
Kesempurnaan destruksi ditandai dengan diperolehnya larutan jernih pada
larutan destruksi, yang menunjukkan bahwa semua konstituen yang ada
telah larut sempurna atau perombakan senyawa-senyawa organik telah
berjalan dengan baik. Senyawa-senyawa garam yang terbentuk setelah
destruksi merupakan senyawa garam yang stabil dan disimpan selama
beberapa hari (Raimon, 1993).
2.6.2 Metode Destruksi Kering
Destruksi kering merupakan perombakan organik logam di dalam
sampel menjadi logam-logam anorganik dengan jalan pengabuan sampel
dalam muffle furnace dan memerlukan suhu pemanasan tertentu. Pada
umumnya dalam destruksi kering ini dibutuhkan suhu pemanasan antara
400-800oC, tetapi suhu ini sangat tergantung pada jenis sampel yang akan
dianalisis. Untuk menentukan suhu pengabuan dengan sistem ini terlebih
dahulu ditinjau jenis logam yang akan dianalisis. Bila oksida-oksida logam
yang terbentuk bersifat kurang stabil, maka perlakuan ini tidak memberikan
hasil yang baik. Untuk logam Fe, Cu, dan Zn oksidanya yang terbentuk
adalah Fe2O3, FeO, CuO, dan ZnO. Semua oksida logam ini cukup stabil
pada suhu pengabuan yang digunakan. Oksida-oksida ini kemudian
dilarutkan ke dalam pelarut asam encer baik tunggal maupun campuran,
setelah itu dianalisis menurut metode yang digunakan. Contoh yang telah
didestruksi, baik destruksi basah maupun kering dianalisis kandungan
logamnya (Raimon, 1993).
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7 Teknik Sampling
2.7.1 Definisi Populasi, Sampel, dan Sampling
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan/ingin diteliti. Anggota
populasi dapat berupa benda hidup maupun benda mati, dimana sifat-sifat
yang ada padanya dapat diukur atau diamati (Nasution, 2003).
Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian
(sampel sendiri secara harfiah berarti contoh) (Nasution, 2003).
Sampling adalah proses pengambilan atau memilih n buah
elemen/objek/unsur dari populasi yang berukuran N (Setiawan, 2005).
2.7.2 Tipe Sampling Menurut Peluang Pemilihannya
a. Sampling Non-Probabilitas
Pada saat melakukan pemilihan satuan sampling tidak dilibatkan unsur
peluang, sehingga tidak diketahui besarnya peluang sesuatu unit sampling
terpilih ke dalam sampel. Sampling tipe ini tidak boleh dipakai untuk
menggeneralisasi hasil penelitian terhadap populasi, karena dalam penarikan
sampel sama sekali tidak ada unsur probabilitas (Setiawan, 2005).
Termasuk sampling non-probabilitas antara lain (Setiawan, 2005):
a) Haphazard Sampling : Satuan sampling dipilih sembarangan atau
seadanya, tanpa perhitungan apapun tentang derajat
kerepresentatipannya.
b) Snowball Sampling : Satuan sampling dipilih atau ditentukan
berdasarkan informasi dari responden sebelumnya.
c) Purposive Sampling : Disebut juga Judgment Sampling. Satuan
sampling dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dengan tujuan
untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang
dikehendaki.
b. Sampling Probabilitas
Dikenal pula dengan nama Random Sampling. Pada saat memilih unit
sampling sangat diperhatikan besarnya peluang satuan sampling untuk
terpilih ke dalam sampel, dan peluang itu tidak boleh sama dengan nol.
Sampling tipe ini bisa dipakai untuk melakukan generalisasi hasil penelitian
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap populasi walaupun data yang didapat hanya berasal dari sampel
(Setiawan, 2005).
Termasuk sampling probabilitas antara lain (Setiawan, 2005):
a) Simple Random Sampling : Satuan sampling dipilih secara acak.
Peluang untuk terpilih harus diketahui besarnya, dan untuk tiap satuan
sampling besarnya harus sama.
b) Stratified Random Sampling : Populasi dibagi ke dalam sub populasi
(strata), dengan tujuan membentuk sub populasi yang didalamnya
membentuk satuan-satuan sampling yang memiliki nilai variabel yang
tidak terlalu bervariasi (relatif homogen). Selanjutnya dari setiap
stratum dipilih sampel melalui proses simple random sampling.
c) Cluster Random Sampling : Populasi dibagi ke dalam satuan-satuan
sampling yang besar, disebut Cluster. Berbeda dengan pembentukan
strata, satuan sampling yang ada dalam tiap kluster harus relatif
heterogen. Pemilihan dilakukan beberapa tingkat.
2.8 Validasi Metode Analisis
Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk
membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk
penggunaannya (Harmita, 2004).
Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam
validasi metode analisis yaitu : kecermatan (accuracy), keseksamaan
(precision), selektivitas (spesifisitas), linearitas dan rentang, batas deteksi
dan batas kuantitasi, ketangguhan metode (ruggedness), serta kekuatan
(robustness) (Harmita, 2004).
2.8.1 Kecermatan (Akurasi)
Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil
analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai
persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan
ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo
recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method).
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding
kimia CRM atau SRM) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa
sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya
dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang
sebenarnya). Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu
sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel
dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar
yang sebenarnya (hasil yang diharapkan). Dalam kedua metode tersebut,
persen peroleh kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh
dengan hasil yang sebenarnya (Harmita, 2004).
Persen Perolehan Kembali dapat ditentukan dengan cara membuat
sampel plasebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit
dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit
yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan
divalidasi. Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena
matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya
berupa suatu senyawa endogen misalnya metabolit sekunder pada kultur
kalus, maka dapat dipakai metode adisi (Harmita, 2004).
Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit
dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis
dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan
menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan
(Harmita, 2004).
Perhitungan perolehan kembali dapat ditetapkan dengan rumus
sebagai berikut (Harmita, 2004):
Persen Perolehan Kembali = %
Keterangan :
CF = Konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran
CA = Konsentrasi sampel sebenarnya
C*A = Konsentrasi analit yang ditambahkan
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.4 Rentang Kesalahan yang Diijinkan pada Setiap Konsentrasi
Analit pada Matriks
Analit pada matrik sampel (%) Rata-rata yang diperoleh (%)
100
> 10
> 1
> 0,1
0,01
0,001
0,0001 (1 ppm)
0,00001 (100 ppb)
0,000001 (10 ppb)
0,0000001 (1 ppb)
98-102
98-102
97-103
95-105
90-107
90-107
80-110
80-110
60-115
40-120
[Sumber : Harmita, 2004]
2.8.2 Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian
antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari
rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang
diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai
simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi).
Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau
ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika
dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam
interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan
penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah
dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi
yang normal. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada
kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-
laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan
analis yang berbeda pula. Analis dilakukan terhadap sampel-sampel yang
diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Ketertiruan dapat juga
dilakukan dalam laboratorium yang sama dengan menggunakan peralatan,
pereaksi, dan analis yang berbeda. Kriteria seksama diberikan jika metode
memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit
yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium (Harmita, 2004).
Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:
1. Hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4, ......... xn maka simpangan bakunya
adalah :
SD = ∑(x − x )²
n − 1
Keterangan :
x = Nilai dari masing-masing pengukuran
x = Rata-rata (mean) dari pengukuran
n = Frekuensi penentuan
2. Simpangan baku relatif atau koefisien variasi (KV) adalah :
KV = SD x 100%
Percobaan keseksamaan dilakukan terhadap paling sedikit enam
replika sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang
homogen. Sebaiknya keseksamaan ditentukan terhadap sampel sebenarnya
yaitu berupa campuran dengan bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo)
untuk melihat pengaruh matriks pembawa terhadap keseksamaan ini.
Demikian juga harus disiapkan sampel untuk menganalisis pengaruh
pengotor dan hasil degradasi terhadap keseksamaan ini (Harmita, 2004).
2.8.3 Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan
respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik
yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel.
Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis
regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang
diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi
analit. Perlakuan matematik dalam pengujian linearitas adalah melalui
persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis
terhadap konsentrasi analit. (Harmita, 2004).
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda
konsentrasinya antara 50 – 150% kadar analit dalam sampel. Di dalam
pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0 –
200% (Harmita, 2004).
Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien
korelasi r pada analisis regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal
dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1 bergantung pada arah garis.
Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang
digunakan. Dengan menggunakan kalkulator atau perangkat lunak
komputer, semua perhitungan matematik tersebut dapat diukur (Harmita,
2004).
2.8.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan
blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi
merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas
terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat
dan seksama (Harmita, 2004).
Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui
garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan
nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku
blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x) (Harmita, 2004).
LOD = 3Sy x
Sl
LOQ = 10Sy x
Sl
Sy x = ∑(Y − Yi)²
n − 2
Keterangan :
LOD = Batas Deteksi
LOQ = Batas Kuantitasi
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sy/x = Simpangan Baku Residual
Sl = Slope (b pada persamaan garis y = a+bx)
Y = Intensitas yang terbaca
Yi = Intensitas yang sudah dimasukkan ke persamaan
n = Frekuensi penentuan
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi
DKI Jakarta yang berlangsung sejak bulan Maret hingga Oktober 2015.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat Penelitian
Seperangkat alat ICP-OES (Thermo, iCAP 7000 Series),
seperangkat alat refluks, batu didih (Merck), peralatan gelas (untuk
laboratorium), mikropipet beserta tip, pipet volumetrik, pipet tetes, kertas
saring Whatman No.42, spatula, batang pengaduk, timbangan analitik
(Sartorius), pH meter (Thermo), lemari asam, lemari pendingin.
3.2.2 Bahan Penelitian
Larutan standar merkuri (Hg) 1000 mg/L (Merck), larutan HNO3 p
(Merck), larutan H2SO4 p (Merck), larutan H2O2 (Merck), larutan HCl p
(Merck), SnCl2 (Merck), sediaan kosmetik krim sarang burung walet
merek A dan B, air demineralisasi (aquadem), larutan dapar pH 4 dan pH
10.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Perolehan Sampel
Sampel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kosmetik krim
sarang burung walet merek A dan B dimana masing-masing merek krim
terdiri atas krim siang (kode-1) dan krim malam (kode-2) sehingga
jumlah total sampel adalah 4 sampel (A-1, A-2, B-1, B-2). Pengambilan
sampel berdasarkan teknik sampling purposive sampling. Sampel dibeli
dari dua situs internet yang berbeda. Merek kosmetik krim sarang burung
walet yang dipilih yaitu merek yang paling banyak dijual melalui internet
dan memiliki harga yang relatif murah.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.2 Pemeriksaan Organoleptis dan Pengukuran pH
3.3.2.1 Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis yang dilakukan meliputi pemeriksaan
tekstur, warna, dan bau sediaan sampel.
3.3.2.2 Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.
Alat tersebut dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Kalibrasi
dilakukan dengan menggunakan larutan dapar pH 4 dan pH 10.
Pemeriksaan pH dilakukan dengan mencelupkan elektroda ke dalam 1
gram sediaan krim yang diencerkan dengan air suling hingga 10 ml
(DepKes RI, 1985).
3.3.3 Pembuatan Larutan Standar dan Pereaksi
Pembuatan larutan HCl : aquadem (1:1) sebanyak 1000 mL
dilakukan dengan mencampurkan 500 mL HCl p dan 500 mL aquadem
dalam labu ukur 1000 mL. Setelah itu larutan dikocok sampai homogen.
Pembuatan larutan standar merkuri 1 mg/L dilakukan dengan
mengambil sebanyak 50 µL larutan standar merkuri 1000 mg/L ke dalam
labu ukur 50 mL, ditambahkan sebanyak 5 mL (10%) campuran HCl :
aquadem (1:1), dicukupkan volumenya dengan aquadem sampai tanda
batas, kemudian dikocok sampai homogen.
Larutan SnCl2 2% (b/v) dalam HCl 4% (v/v) dibuat dengan
menimbang sebanyak 20 g SnCl2 lalu dipindahkan ke dalam beaker glass
500 mL. Setelah itu ditambahkan 40 mL HCl dan 250 mL aquadem lalu
diaduk hingga warna larutan bening. Kemudian dipindahkan ke labu ukur
1000 mL, dicukupkan volumenya dengan aquadem sampai tanda batas
dan dikocok sampai homogen.
3.3.4 Pemilihan Panjang Gelombang
Diambil sebanyak 50 μL, 250 μL, 750 μL, dan 1000 μL dari larutan
standar merkuri 1 mg/L ke dalam 4 labu ukur 50 mL, ditambahkan
sebanyak 5 mL (10%) campuran HCl : aquadem (1:1), dicukupkan
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
volumenya dengan aquadem sampai tanda batas, kemudian dikocok
sampai homogen sehingga didapat larutan standar merkuri dengan
konsentrasi 1 μg/L, 5 μg/L, 15 μg/L, dan 20 μg/L. Masing-masing
larutan standar merkuri dipindahkan ke wadah sampel untuk diinjeksikan
ke alat ICP-OES. Disiapkan juga larutan SnCl2 2% dan HCl : aquadem
(1:1). Larutan standar merkuri, SnCl2 2%, dan HCl : aquadem (1:1)
diinjeksikan ke alat ICP-OES dalam waktu yang sama. Larutan standar
merkuri 1 μg/L dan 5 ppb digunakan untuk mengamati intensitas larutan
merkuri pada panjang gelombang 184,950 nm dan 194,227 nm.
Selanjutnya larutan standar merkuri 15 ppb dan 20 ppb digunakan untuk
mengamati intensitas larutan merkuri pada panjang gelombang 194,227
nm dan 253,652 nm. Panjang gelombang untuk analisis merkuri dengan
ICP-OES dipilih berdasarkan garis emisi (panjang gelombang) yang
paling sensitif.
3.3.5 Pembuatan Kurva Kalibrasi
Diambil sebanyak 0 μL, 50 μL, 250 μL; 500 μL, 750 μL, dan 1000
μL dari larutan standar merkuri 1 mg/L ke dalam 6 labu ukur 50 mL,
ditambahkan sebanyak 5 mL (10%) campuran HCl : aquadem (1:1),
dicukupkan volumenya dengan aquadem sampai tanda batas, kemudian
dikocok sampai homogen sehingga didapat larutan standar merkuri
dengan konsentrasi 0 μg/L, 1 μg/L, 5 μg/L, 10 μg/L, 15 μg/L, dan 20
μg/L. Masing-masing larutan standar merkuri dipindahkan ke wadah
sampel untuk diinjeksikan ke alat ICP-OES. Disiapkan juga larutan
SnCl2 2% dan HCl : aquadem (1:1). Larutan standar merkuri, SnCl2 2%
dan HCl : aquadem (1:1) diinjeksikan ke alat ICPS dalam waktu yang
sama. Setelah itu diamati intensitasnya pada panjang gelombang terpilih.
Kurva kalibrasi dibuat dengan menghubungkan antara konsentrasi
dengan intensitas yang diperoleh. Setelah didapatkan kurva kalibrasi,
ditentukan persamaan garis regresinya (FSSAI, 2012 dengan modifikasi).
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.6 Validasi Metode
3.3.6.1 Uji Linearitas
Uji ini dilakukan setelah pembuatan kurva kalibrasi standar
merkuri dan didapatkan persamaan garis regresi. Selanjutnya, koefisien
korelasi (r) dihitung dari analisis regresi linier y = a + bx pada kurva
kalibrasi (ICH Guideline, 2005; Harmita, 2004).
Keterangan :
y = Intensitas yang terbaca
a = Tetapan regresi dan disebut juga dengan intersep
b = Koefisien regresi (juga menyatakan slope = kemiringan)
x = Konsentrasi
3.3.6.2 Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)
Sama seperti pada uji linearitas, penentuan LOD dan LOQ juga
dilakukan setelah pembuatan kurva kalibrasi standar merkuri dan
didapatkan persamaan garis regresi. Selanjutnya, LOD dan LOQ dihitung
secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi
berdasarkan rumus (ICH Guideline, 2005; Harmita, 2004):
LOD = 3Sy x
Sl
LOQ = 10Sy x
Sl
Sy x = ∑(y − yi)²
n − 2
Keterangan :
LOD = Batas Deteksi
LOQ = Batas Kuantitasi
Sy/x = Simpangan Baku Residual
Sl = Slope (b pada persamaan garis y = a+bx)
y = Intensitas yang terbaca
yi = Intensitas yang sudah dimasukkan ke persamaan
n = Frekuensi penentuan
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.6.3 Uji Presisi
Uji ini dilakukan dengan menggunakan satu sampel krim sarang
burung walet (Krim A-1) yang dipilih dari 4 sampel krim yang tersedia.
Sebanyak 0,3 g sampel krim ditimbang ke dalam 6 erlenmeyer asah.
Kemudian ditambahkan 1-2 butir batu didih serta 5 ml HNO3 p dan 5 ml
H2SO4 p. Selanjutnya sampel didestruksi menggunakan refluks hingga
sampel larut (bening) dan asap coklat menghilang. Setelah itu sampel
diteteskan H2O2 sebanyak 2 tetes lalu didinginkan. Larutan sampel hasil
destruksi dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan
aquadem sampai tanda batas. Dikocok sampai homogen. Larutan sampel
yang keruh disaring dengan kertas saring Whatman No.42. Larutan
sampel dipindahkan ke wadah sampel untuk diinjeksikan ke alat ICP-
OES. Disiapkan juga larutan SnCl2 2% dan HCl : aquadem (1:1). Larutan
sampel, SnCl2 2% dan HCl : aquadem (1:1) diinjeksikan ke alat ICP-
OES dalam waktu yang sama. Setelah itu dianalisis pada panjang
gelombang terpilih dan diamati konsentrasi yang didapat (ICH Guideline,
2005; Wijaya, 2013 dengan modifikasi). Presisi dihitung dengan cara
sebagai berikut (Harmita, 2004):
1. Hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4...xi, maka simpangan bakunya
(SD) adalah :
SD = ∑(x − x )²
n − 1
Keterangan :
x = nilai dari masing-masing pengukuran
x = rata-rata (mean) dari pengukuran
n = frekuensi penentuan
2. Simpangan baku relatif atau koefisien variasi (KV) adalah :
KV = SD
x x 100%
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.6.4 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali
Uji ini menggunakan salah satu sampel krim sarang burung walet
(Krim B-1) yang dipilih dari 4 sampel krim yang tersedia. Sebanyak 0,5
g sampel krim ditimbang ke dalam erlenmeyer asah. Setelah itu
ditambahkan larutan standar merkuri 1 mg/L dengan volume yang
disesuaikan untuk menghasilkan empat konsentrasi analit yang berbeda
(0 μg/L, 2 μg/L, 4 μg/L, 8 μg/L). Masing-masing konsentrasi analit
dibuat secara triplo. Selanjutnya sampel ditambahkan 1-2 butir batu didih
serta 5 ml HNO3 p dan 5 ml H2SO4. Kemudian sampel didestruksi
menggunakan refluks hingga sampel larut (bening) dan asap coklat
menghilang. Setelah itu sampel diteteskan H2O2 sebanyak 2 tetes lalu
didinginkan. Larutan sampel hasil destruksi dipindahkan ke dalam labu
ukur 50 mL dan ditambahkan aquadem sampai tanda batas. Dikocok
sampai homogen. Larutan sampel yang keruh disaring dengan kertas
saring Whatman No. 42. Larutan sampel dipindahkan ke wadah sampel
untuk diinjeksikan ke alat ICPS. Disiapkan juga larutan SnCl2 2% dan
HCl : aquadem (1:1). Larutan sampel, SnCl2 2% dan HCl : aquadem
(1:1) diinjeksikan ke alat ICP-OES dalam waktu yang sama. Setelah itu
dianalisis pada panjang gelombang terpilih dan diamati konsentrasi yang
didapat (ICH Guideline, 2005; Wijaya, 2013 dengan modifikasi). Persen
perolehan kembali (% PK) dihitung dengan rumus berikut (Harmita,
2004):
% PK = %
Keterangan :
CF = konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran
iiii(sampel + analit).
CA = konsentrasi sampel sebenarnya (sampel saja tanpa
iiiiditambahkan analit).
C*A = konsentrasi analit yang ditambahkan.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.7 Penyiapan Sampel
Masing-masing sampel krim sarang burung walet ditimbang
sejumlah tertentu ke dalam 3 erlenmeyer asah (triplo) lalu ditambahkan
1-2 butir batu didih. Kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 p dan 5 ml
H2SO4. Selanjutnya sampel didestruksi menggunakan refluks hingga
sampel larut (bening) dan asap coklat menghilang. Setelah itu masing-
masing sampel diteteskan H2O2 sebanyak 2 tetes lalu didinginkan.
Sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan
aquadem sampai tanda batas. Dikocok sampai homogen. Larutan sampel
yang keruh disaring dengan kertas saring Whatman No.42 (FSSAI, 2012
dengan modifikasi).
3.3.8 Uji Kualitatif dan Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel
Larutan sampel hasil destruksi yang telah diencerkan dipindahkan
ke wadah sampel untuk diinjeksikan ke alat ICP-OES. Disiapkan juga
larutan SnCl2 2% dan HCl : aquadem (1:1). Larutan sampel, SnCl2 2%
dan HCl : aquadem (1:1) diinjeksikan ke alat ICP-OES dalam waktu
yang sama.
Uji kualitatif merkuri dalam sampel dilakukan dengan mengamati
spektrum emisi masing-masing sampel pada panjang gelombang terpilih
dan dibandingkan dengan spektrum emisi pembanding (baku Hg)
(Wijaya, 2013 dengan modifikasi).
Uji kuantitatif merkuri dalam sampel dilakukan dengan mengamati
konsentrasi masing-masing sampel pada panjang gelombang terpilih.
Setelah didapatkan konsentrasi merkuri(μg/L) dalam sampel, dihitung
kadar merkuri (μg/g) dalam sampel (FSSAI, 2012 dengan modifikasi).
Kadar Hg (μg/g) = Konsentrasi Hg
μg
L x Volume mL x Faktor Pengenceran FP
Bobot Sampel g x 1000
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perolehan Sampel
Sampel yang dianalisis adalah kosmetik krim sarang burung walet
merek A dan B dimana masing-masing merek krim terdiri atas krim siang
(kode-1) dan krim malam (kode-2) sehingga jumlah total sampel adalah 4
sampel (A-1, A-2, B-1, dan B-2). Teknik sampling yang digunakan yaitu
teknik sampling purposive sampling. Dalam teknik sampling tersebut,
satuan sampling dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dengan tujuan
untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang
dikehendaki (Setiawan, 2005).
Karakteristik sampel krim sarang burung walet yang dikehendaki
yaitu krim yang diperkirakan banyak dipesan atau digunakan oleh
konsumen sehingga berpotensi ditambahkan zat kimia pemutih kulit seperti
merkuri oleh produsen krim tersebut. Pertimbangan pertama yang dilakukan
yaitu jumlah situs internet yang menjual krim sarang burung walet cukup
banyak maka dipilih dua situs internet yang dinilai telah sering melayani
pemesanan produk krim sarang burung walet. Situs internet yang dinilai
telah sering melayani pemesanan produk krim sarang burung walet yaitu
situs yang menjual krim sarang burung walet dengan mencantumkan secara
jelas uraian produk (foto produk, kandungan, khasiat, cara pakai, harga),
cara pemesanan, nomor telepon untuk pemesanan, nomor rekening bank
untuk pembayaran serta testimoni dari para pelanggan di situs tersebut.
Pertimbangan kedua yaitu beragamnya merek krim sarang burung walet
yang dijual di masing-masing situs internet sehingga dipilih dua merek krim
yang paling banyak (sering) dijual melalui internet. Pertimbangan ketiga
yaitu harga krim sarang burung walet yang bervariasi maka dipilih krim
dengan harga yang relatif murah yang diperkirakan akan lebih dipilih oleh
konsumen.
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.1 Informasi Sampel
Merek Produsen /
Importir
Nomor Izin
Edar Komposisi
A Tidak
dicantumkan
Tidak
dicantumkan
Tidak dicantumkan
B Walet
Singapore
pte. Ltd
Tidak
dicantumkan
Water, cylopentasiloxane,
glucerin, caprylyl methicone,
caprylic/capric tryglyceride,
dimethicone, sucrose distearate,
titanium dioxide, acrylate
crosspolymer, stearyl
dimethicone, parfum, stearic
acid, magnesium sulfate,
cholessterol, disteardimonium
hectorite, DMDM hydantoim,
isomerzed lonoteic acid,
ammonium lactate, disodium
EDTA, acetamide MEA,
octadacene, retinyl paltate,
cetyl alcohol, butilene glycol,
Helianthus annuus (sunflower)
seed oil, lodopropynyl
butyvatbanate, BHT, Cl 17200.
4.2 Pemeriksaan Organoleptis dan Pengukuran pH
Sebelum dilakukan penyiapan sampel, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan organoleptis serta pengukuran pH sampel. Pemeriksaan
organoleptis yang dilakukan yaitu pengamatan secara visual terhadap
tekstur, warna, dan bau sediaan sampel. Hasil pemeriksaan organoleptis
sampel dapat dilihat pada tabel 4.2 dan lampiran 2. Pengukuran pH
dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang telah dikalibrasi. Hasil
pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 4.3 dan lampiran 3.
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Organoleptis
Sampel Tekstur Warna Bau
A-1 Agak kasar, kaku Kuning muda Wangi
A-2 Halus, lengket Putih keabu-abuan Wangi
B-1 Agak kasar, kaku Kuning muda Wangi
B-2 Halus, lengket Putih keabu-abuan Wangi
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran pH
Sampel pH
A-1 8,21
A-2 8,24
B-1 8,15
B-2 8,17
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui apakah nilai pH sampel
memenuhi syarat nilai rentang pH. Berdasarkan persyaratan SNI 16-4954-
1998 mengenai krim pemutih kulit, rentang pH krim yang memenuhi syarat
yaitu 3,5-8. Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa keempat sampel
tidak memenuhi syarat nilai rentang pH karena memiliki nilai pH di atas 8.
Nilai pH sediaan yang tidak sesuai akan menyebabkan perubahan pH kulit
dan kerusakan pada mantel kulit. Rusaknya lapisan mantel kulit dapat
menyebabkan kulit kehilangan keasamannya, lebih mudah rusak, dan
teriritasi (Levin & Maibach, 2007).
4.3 Pemilihan Panjang Gelombang
Dalam ICP-OES, informasi kualitatif dan kuantitatif sampel diperoleh
dari cahaya atau radiasi yang dipancarkan oleh atom dan ion yang
tereksitasi. Spesies yang tereksitasi di dalam plasma memancarkan cahaya
pada lebih dari satu panjang gelombang (Wang, 2004). Agar didapatkan
akurasi yang optimum, garis emisi (panjang gelombang) yang digunakan
sebaiknya garis emisi yang paling baik (sensitif) yang biasanya diberikan
dari pihak supplier alat ICP-OES tersebut (FSSAI, 2012). Berdasarkan
literatur (Sansonetti & Martin, 2005), terdapat beberapa pilihan panjang
gelombang terbaik untuk analisis merkuri yang dapat dipilih. Termasuk di
antaranya tiga panjang gelombang yang tersedia pada alat ICP-OES yang
digunakan, yaitu 184,950 nm, 194,227 nm, dan 253,652 nm. Dari ketiga
panjang gelombang tersebut dipilih kembali salah satu panjang gelombang
yang paling sensitif.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan teori, tinggi rendahnya intensitas sinar karakteristik suatu
unsur merupakan representasi dari jumlah atom yang tereksitasi, sedangkan
atom yang tereksitasi sangat ditentukan oleh jumlah atom dalam sampel dan
matrik bahan yang diukur (Kriswarini et al., 2013). Oleh karena itu, untuk
penentuan panjang gelombang yang paling sensitif diantara ketiga panjang
gelombang yang akan dipilih, dilakukan perbandingan hasil pengukuran
intensitas larutan standar merkuri pada ketiga panjang gelombang tersebut.
Diketahui bahwa alat ICP-OES yang digunakan dapat melakukan
pengukuran intensitas larutan sampel pada dua panjang gelombang secara
bersamaan, maka pertama-tama dilakukan pengukuran intensitas larutan
standar merkuri 1 μg/L dan 5 μg/L pada panjang gelombang 184,950 nm
dan 194,227 nm. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.4, didapatkan
bahwa intensitas larutan standar merkuri yang terukur lebih tinggi pada
panjang gelombang 194,227 nm. Sehingga selanjutnya dilakukan
pengukuran intensitas larutan standar merkuri pada panjang gelombang
194,227 nm dan 253,652 nm dengan menggunakan larutan standar merkuri
15 μg/L dan 20 μg/L. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.5, intensitas
larutan standar merkuri yang terukur pun lebih tinggi pada panjang
gelombang 194,227 nm.
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Intensitas Larutan Standar Merkuri pada
Panjang Gelombang 184,950 nm dan 194,227 nm
Konsentrasi
(μg/L)
Intensitas pada
λ = 184,950 nm (Cts/s)
Intensitas pada
λ = 194,227 nm (Cts/s)
1 48,180 61,610
5 140,700 179,400
Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Intensitas Larutan Standar Merkuri pada
Panjang Gelombang 194,227 nm dan 253,652 nm
Konsentrasi
(μg/L)
Intensitas pada
λ = 194,227 nm (Cts/s)
Intensitas pada
λ = 253,652 nm (Cts/s)
15 182,500 8,297
20 248,200 9,358
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil yang didapatkan, dapat diketahui bahwa di antara
ketiga panjang gelombang yang diuji, panjang gelombang 194,227 nm
merupakan panjang gelombang atau garis emisi yang paling sensitif
sehingga panjang gelombang tersebut dipilih untuk analisis merkuri pada
penelitian ini.
4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linearitas
Kesesuaian antara tinggi intensitas dengan kandungan unsur dalam
bahan yang dilakukan dengan pengukuran kesetaraan bahan yang dianalisis
dengan menggunakan suatu bahan standar dikenal dengan istilah kalibrasi.
Kalibrasi dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara intensitas dan
konsentrasi. Kemudian ditentukan daerah linear untuk memberikan batas
pengukuran (Kriswarini, et al., 2013). Adapun rentang konsentrasi yang
digunakan untuk uji linearitas yang sering ditemukan dalam pustaka antara
0 – 200% dari target konsentrasi pada sampel dan minimal menggunakan 5
titik konsentrasi dari rentang konsentrasi tersebut (ICH Guideline, 2005;
Harmita, 2004).
Pada penelitian ini, kurva kalibrasi dibuat menggunakan seri
konsentrasi larutan standar merkuri pada rentang konsentrasi 0 μg/L – 20
μg/L dan menggunakan 6 titik konsentrasi yaitu 0 μg/L, 1 μg/L, 5 μg/L, 10
μg/L, 15 μg/L, dan 20 μg/L. Data kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel 4.6
dan kurva kalibrasi yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4.1.
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan
respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik
yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Sebagai
parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi (r) pada
analisis regresi linier y = a+bx (Harmita, 2004). Nilai koefisien korelasi (r)
harus mendekati 1 (Anantasinkul & Chaivanit, 2008). Berdasarkan hasil
yang didapat, nilai r mendekati 1 yang berarti bahwa terdapat hubungan
linier antara konsentrasi dengan intensitas.
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6 Data Kurva Kalibrasi
Konsentrasi (μg/L) Intensitas (Cts/s)
0 3,846
1 15,640
5 63,100
10 124,300
15 182,500
20 248,200
Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Standar Merkuri (Konsentrasi VS Intensitas)
4.5 Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)
LOD (Limit of Detection) atau batas deteksi adalah jumlah terkecil
analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih dapat memberikan
respon signifikan dibandingkan dengan blangko. LOQ (Limit of
Quantification) atau batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit
dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.
LOD dan LOQ dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kurva kalibrasi (Harmita, 2004). Nilai LOD yang diperoleh adalah 0,460
y = 12,14x + 3,028
0
50
100
150
200
250
300
0 5 10 15 20
Y-Values
Linear (Y-
Values)
Konsentrasi (μg/L)
Inte
nsi
tas
(Cts
/s)
Nilai-Y
Linier (Nilai-Y)
R² = 0,999
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
μg/L sedangkan nilai LOQ yang diperoleh yaitu 1,532 μg/L. Nilai LOD dan
LOQ yang diperoleh menunjukkan bahwa metode dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk analisis merkuri dengan konsentrasi diatas 1,532 μg/L.
Rincian hasil penentuan LOD dan LOQ tercantum dalam lampiran 5.
4.6 Uji Presisi
Presisi atau keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil
individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada
sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan
dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan
(reproducibility) (Harmita, 2004).
Uji presisi yang dilakukan yaitu uji keterulangan. Keterulangan adalah
keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama
pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek (Harmita, 2004).
ICH Guideline (2005) merekomendasikan uji keterulangan dilakukan
dengan minimal 6 kali penentuan pada 100% konsentrasi uji. Uji presisi
dilakukan dengan menggunakan salah satu sampel krim sarang burung walet
(Krim A-1) yang dibuat menjadi enam replika sampel. Uji presisi ditentukan
terhadap sampel sebenarnya untuk melihat pengaruh matriks pembawa
terhadap presisi (Harmita, 2004). Hasil uji presisi yang didapat ditunjukkan
dengan nilai koefisien variasi (KV) yaitu 0,918 % sedangkan persyaratan
nilai KV yaitu < 2% (Wells & Dantus, 2004). Hasil yang diperoleh
menunjukkan presisi yang baik. Hal tersebut juga berarti bahwa matriks
pembawa tidak terlalu berpengaruh terhadap presisi. Rincian hasil uji presisi
tercantum dalam lampiran 6.
4.7 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang
ditambahkan (Harmita, 2004). Uji akurasi dilakukan dengan metode
penambahan baku (standard addition method) atau metode adisi. Metode
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adisi dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi
tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut.
Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen
analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004). Tujuan
pemilihan metode adisi untuk uji akurasi yaitu untuk mengetahui apakah
metode destruksi dalam penelitian ini dapat digunakan untuk preparasi
sampel atau tidak.
Uji akurasi dilakukan dengan menggunakan salah satu sampel krim
sarang burung walet (Krim B-1) yang dipilih dari 4 sampel krim yang
tersedia. ICH Guideline (2005) merekomendasikan uji akurasi dilakukan
dengan menggunakan minimal 9 kali penentuan terhadap minimal 3 tingkat
konsentrasi yang mencakup rentang konsentrasi yang telah ditetapkan.
Analit yang ditambahkan ke sampel terdiri dari tiga konsentrasi yaitu 2
μg/L, 4 μg/L, dan 8 μg/L dimana masing-masing konsentrasi dibuat secara
triplo. Dari uji ini, diperoleh nilai persen perolehan kembali (% PK) dari
konsentrasi analit 2 μg/L, 4 μg/L, dan 8 μg/L secara berturut-turut yaitu
79,57%; 86,52%; dan 73,22%. Adapun % PK rata – rata yang didapat
adalah 75,658%. Hasil % PK yang didapat memenuhi persyaratan yaitu 60-
120% (AOAC, 2002) sehingga metode destruksi yang digunakan dalam
penelitian ini dapat diterapkan untuk preparasi sampel. Hasil uji akurasi
dapat dilihat pada tabel 4.7 sedangkan rincian hasilnya tercantum dalam
lampiran 7.
Tabel 4.7 Hasil Uji Akurasi
4.8 Penyiapan Sampel
Untuk dapat diinjeksikan ke dalam alat ICP-OES, sampel padat
memerlukan ekstraksi atau digesti asam sehingga analit akan didapatkan
Konsentrasi Analit yang
Ditambahkan (μg/L) % PK Persyaratan % PK
2 72,885%
60-120%
(AOAC, 2002)
4 82,623%
8 71,467%
% PK rata-rata 75,658%
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam bentuk larutan (Boss & Fredeen, 1997). Oleh karena itu, harus
dilakukan penyiapan sampel terlebih dahulu terhadap sampel krim sarang
burung walet. Penyiapan sampel dilakukan dengan metode destruksi basah.
Destruksi basah adalah perombakan sampel dengan asam-asam kuat baik
tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi dengan menggunakan zat
oksidator (Raimon, 1993). Metode destruksi basah dipilih karena merkuri
bersifat mudah menguap (ATSDR, 1999). Pada destruksi basah, suhu yang
digunakan lebih rendah sehingga dapat meminimalkan terjadinya penguapan
logam dalam sampel (Santoso, 2012). Selain itu, penggunaan alat refluks
dipilih sebab kondensor pada refluks berfungsi untuk mengurangi
kemungkinan kehilangan analit akibat penguapan selama proses destruksi
sampel (Matusiewicz, 2003).
Metode destruksi basah dalam penelitian ini menggunakan beberapa
zat pengoksidasi yaitu HNO3, H2SO4 dan H2O2. Ketiga zat tersebut
merupakan oksidator yang kuat. Fungsi oksidator yaitu untuk mengoksidasi
bahan-bahan pembawa yang terkandung di dalam sampel menjadi CO2 dan
H2O, selain itu dapat menghilangkan senyawa organik dan melepas unsur
logam yang akan diteliti yaitu merkuri (Anderson, 1987 dalam Wijaya,
2013). Campuran asam nitrat pekat dan asam sulfat pekat banyak digunakan
untuk mempercepat proses destruksi. Penambahan oksidator ini juga akan
menurunkan suhu destruksi sampel yaitu pada suhu 350oC (Sumardi, 1981).
Dengan demikian diharapkan komponen yang mudah menguap pada suhu
tinggi seperti merkuri dapat dipertahankan dalam sampel. Sedangkan
penambahan H2O2 berfungsi untuk meningkatkan kualitas digesti/destruksi
(Matusiewicz, 2003).
4.9 Uji Kualitatif dan Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel
Setelah dilakukan penyiapan sampel, tahapan selanjutnya adalah uji
kualitatif dan uji kuantitatif merkuri dalam sampel. Larutan sampel hasil
destruksi yang telah diencerkan dipindahkan ke wadah sampel untuk
diinjeksikan ke alat ICP-OES. Kemudian larutan sampel, SnCl2 2% dan HCl
: aquadem (1:1) diinjeksikan ke alat ICP-OES dalam waktu yang sama.
Penggunaan pereaksi HCl : aquadem (1:1) dan SnCl2 2% dalam penelitian
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ini mengikuti prosedur penggunaan pereaksi yang telah disesuaikan dengan
jenis alat ICP-OES yang digunakan serta disesuaikan dengan teknik
penghantaran sampel yang digunakan (teknik generasi hidrida).
Teknik penghantaran sampel yang digunakan yaitu teknik hydride
generation (generasi hidrida). Dengan teknik ini, sampel dalam asam encer,
dicampur dengan zat pereduksi yaitu SnCl2. Reaksi zat pereduksi dengan
asam akan menghasilkan atom hidrogen. Atom hidrogen kemudian bereaksi
dengan Hg dalam larutan dan membentuk hidrida stabil. Senyawa gas ini
kemudian dipisahkan dari sisa campuran reaksi dan dibawa ke plasma (Boss
& Fredeen, 1997). Alasan pemilihan sistem penghantaran sampel dengan
teknik generasi hidrida ini yaitu tingkat penghantaran sampel lebih tinggi
dibandingkan nebulizer pneumatik dan efisiensi dengan hidrida yang mudah
menguap yang dihantarkan ke plasma mendekati 100%, dibandingkan
dengan efisiensi 1-5% bila menggunakan nebulizer pneumatik dan spray
chamber (Boss & Fredeen, 1997).
Dalam uji kualitatif yang diamati adalah spektrum emisi masing-
masing sampel dan dibandingkan dengan spektrum emisi pembanding (baku
Hg) pada panjang gelombang 194,227 nm. Hasil uji kualitatif dapat dilihat
pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Hasil Uji Kualitatif Merkuri dalam Sampel
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil yang didapatkan yaitu keempat sampel menunjukkan bentuk
serta letak peak yang hampir sama dengan peak standar merkuri pada
kisaran panjang gelombang 194,227 nm. Berdasarkan hasil uji kualitatif
tersebut diketahui bahwa keempat sampel krim sarang burung walet positif
mengandung merkuri.
Dalam uji kuantitatif yang diamati adalah konsentrasi masing-masing
sampel yang ditampilkan oleh alat ICP-OES. Dalam penelitian ini tidak
dilakukan penghitungan konsentrasi sampel berdasarkan persamaan regresi
sebab alat ICP-OES yang digunakan telah terprogram untuk hanya
menampilkan data konsentrasi sampel (tanpa menampilkan data intensitas)
pada proses running sample. Oleh karena itu, setelah didapatkan data
konsentrasi merkuri dalam sampel (μg/L) dilakukan penghitungan kadar
merkuri dalam sampel (μg/g). Rangkuman hasil uji kuantitatif dan
pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 4.8 sedangkan rincian hasil uji
kuantitatif tercantum dalam lampiran 8.
Tabel 4.8 Hasil Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel
Sampel
Kadar Hg
Rata-rata
dalam
Sampel
(μg/g)
Memenuhi Persyaratan Kadar Maksimum
Merkuri dalam Kosmetik
US FDA Permenkes RI No.
445/MENKES/PER/V/1998
A-1 3577,370 Tidak Tidak
A-2 4685,715 Tidak Tidak
B-1 0,503 Ya Tidak
B-2 4007,172 Tidak Tidak
Berdasarkan hasil uji kuantitatif, keempat sampel positif mengandung
merkuri dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Kadar merkuri rata-rata
yang terkandung dalam sampel krim sarang burung walet merek A-1, A-2,
B-1, dan B-2 secara berturut-turut yaitu 3577,370 μg/g; 4685,715 μg/g;
0,503 μg/g; dan 4007,172 μg/g. Jika mengacu pada ketetapan US FDA, tiga
dari empat sampel krim sarang burung walet yang diuji (krim A-1, A-2, dan
B-2) mengandung merkuri dengan kadar melebihi syarat kadar maksimum
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merkuri dalam kosmetik sedangkan jika mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 445/MENKES/PER/V/1998, keempat
sampel mengandung merkuri dengan kadar melebihi syarat kadar
maksimum merkuri dalam kosmetik.
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pada validasi metode didapatkan nilai linearitas r = 0,999; nilai LOD
dan LOQ adalah 0,460 μg/L dan 1,532 μg/L; nilai KV (Koefisien
Variasi) yaitu 0,918%; dan nilai persen perolehan kembali rata-rata
adalah 75,658%. Berdasarkan hasil validasi metode tersebut, dapat
disimpulkan bahwa metode analisis merkuri yang digunakan dalam
penelitian ini valid karena telah memenuhi persyaratan uji linearitas,
batas deteksi dan batas kuantitasi, uji presisi, serta uji akurasi.
2. Keempat sampel krim sarang burung walet yang diuji positif
mengandung merkuri.
3. Kadar rata-rata merkuri yang terkandung dalam sampel krim sarang
burung walet merek A-1, A-2, B-1, dan B-2 secara berturut-turut yaitu
3577,370 μg/g; 4685,715 μg/g; 0,503 μg/g; dan 4007,172 μg/g.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah situs internet
serta jumlah sampel krim sarang walet yang diuji lebih banyak (lebih
representatif).
58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Toxic Substances and Disease Registry. 1999. Toxicological Profile
for Mercury. U.S. Department of Health and Human Services.
Al-Saleh, I. dan Al-Doush, I., 1997. Mercury content in skin lightening creams
and potential hazards to the health of Saudi women. J Toxicol Environ Hlth,
51:123-130.
Amponsah, Doreen. 2010. Levels of Mercury and Hydroquinone in Some Skin-
Lightening Creams and Their Potential Risk to the Health of Consumers in
Ghana. Faculty of Physical Science, Kwame Nkrumah University of
Science and Technology.
Anantasinkul, Nawaporn dan Hansa Chaivanit. 2008. Guidance for Method
Validation in Chemical Analysis. Thailand : Bureau of Cosmetics and
Hazardous Substances, Department of Medical Sciences, Ministry of Public
Health.
Anderson, R. 1987. Sample Pretreatment and Separation : Analytical Chemistry
by Open Learning, Singapore : John Wiley & Sons.
Anonim. 2005. ICH Harmonised Tripartite Guideline, Validation of Analytical
Procedures : Text and Methodology, Q2(R1).
Ansel, Howard C., 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI-Press.
Ariens, E. J., 1993. Toksikologi Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Arsih, Metharezqi Suci. 2014. Analisis Profil Protein dan Asam Amino Sarang
Burung Walet Putih (Collocalia fuciphago) dengan Menggunakan SDS-
PAGE dan KCKT. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Association of Analytical Communities. 2002. AOAC Guidelines for Single
Laboratory Validation of Chemical Methods for Dietary Supplements and
Botanicals.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009. Kosmetik Mengandung Bahan
Berbahaya dan Zat Warna Yang Dilarang. Public Warning No.
KH.00.01.43.2503, 11 Juni 2009.
Boss, C. B. dan Kenneth J. F., 1997. Concepts, Instrumentation, and Techniques
in Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry, Second
Edition. USA : Perkin Elmer
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Crownia, Elsya. 2014. Putih = Cantik, Persepsi Kecantikan dan Obsesi Wanita
untuk Tampil Cantik. Diakses dari: http://sosbud.kompasiana.com/2014
/01/16/putih-cantik-persepsi-kecantikan-dan-obsesi-wanita-untuk- tampil-
cantik-624982.html. Diakses tanggal 7 Februari 2015 pukul 21:03.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Formularium Kosmetika
Indonesia, Cetakan I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi
Keempat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2015. Badan POM
Musnahkan Obat, Kosmetik, dan Alat Kesehatan Ilegal. Diakses dari :
http://www.binfar.kemkes.go.id/2015/06/badan-pom-musnahkan-obat-kosm
etik-dan-alat-kesehatan-ilegal/. Diakses tanggal 14 Oktober 2015 pukul
22:11.
Food Safety and Standards Authority of India. 2012. Manual of Methods of
Analysis of Foods, Metals. New Delhi : Ministry of Health and Family
Welfare.
Giunta, F., Dilandro, D., dan Chiarmda, M., 1983. Severe acute poisoning from
the ingestion of a permanent wave solution of mercuric chloride. Human
Toxicol, 2(2): 243-246.
Gunawan, Sulistia Gan. 2009. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(3): 117-135, ISSN : 1693-9883.
Hou, Xiandeng dan Bradley T. Jones. 2000. Inductively Coupled Plasma/Optical
Emission Spectrometry. Chichester : John Wiley & Sons Ltd.
Howe, C., Lee, L. T., dan Rose, H. M., 1960. Influenza virus salidase. Nature,
188: 251-252.
Howe, C., Lee, L. T., dan Rose, H. M. 1961. Collocalia mucoid: a substrate for
myxovirus neuraminidase. Archives of Biochemistry and Biophysics, 95:
512-520.
Ismail, A. M., Amin, A., Hashim, D. M., Ismail, A., 2013. Using amino acids
composition combined with principle component analysist differentiate
house and cave bird's nests. Current Trends in Technology and Science,
Volume II, Issue VI.
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kong, Y. C., Keung, W. M., Yip, T. T., Ko, K. M., Tsao, S. W., dan Ng, M. H.,
1987. Evidence that epidermal growth factor is present in swiflet‟s
(Collocalia) nest. Comparative Biochemistry and Physiology, 87(2): 221–
226.
Kristianingrum, Susila. 2009. Kajian Teknik Analisis Merkuri yang Sederhana,
Selektif, Prekonsentrasi, dan Penentuannya secara Spektrofotometri.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta.
Kristianingrum, Susila. 2012. Kajian Berbagai Proses Destruksi Sampel dan
Efeknya. Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Kriswarini, R., Dian A., Boybul, Yusuf N., 2013. Kontrol Kurva Kalibrasi
Spektrometer Emisi dengan Standar Alumunium Cerified Reference
Materials (CRM). Seminar Nasional IX SDM Teknologi Nuklir, Yogyakarta,
ISSN 1978-0176.
Levin, J. Dan Maibach, H., 2007. Human skin buffering capacity. Journal of Skin
Research and Technology, 14:121-126.
Marcone, M. F., 2005. Characterization of the edible bird's nest the "caviar of the
east". Food Research International, 38(11) : 25-1134.
Matsukawa, N., Matsumoto, M., Bukawa, W., Chiji, H., Nakayama, K., Hara, H.,
dan Tsukahara, T., 2011. Improvement of bone strength and dermal
thickness due to dietary edible bird's nest extract in ovariectomized rats.
Biosci. Biotechnol. Biochem, 75(3) : 590-592.
Matusiewicz, Henryk. 2003. Wet Digestion Method. Poland : Politechnika
Poznańska, Department of Analytical Chemistry.
Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Nater JP, de Groot AC, Liem D. H., 1983. Unwanted Effects of Cosmetics and
Drugs Used in Dermatology. Amsterdam : Excerpta.
National Research Council. 2004. Forensic Analysis,Weighing Bullet Lead
Evidence . Diakses dari : http://www.nap.edu/openbook.php?recordid=109
24&page=15. Diakses tanggal 8 April 2015 pukul 14:19.
Olumide, Y. M., Akinkugbe, A. O., Altraide, D., Mohammed, T., Ahamefule, N.,
Ayanlowo, S., Onyekonwu, C., Essen, N., 2008. Complications of chronic
use of skin lightening cosmetics. International journal of Dermatology, 47:
344-353.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Palar, Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta :
Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.445/MENKES/PER/V/1998
tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada
Kosmetika.
Raimon. 1993. Perbandingan Metoda Destruksi Basah dan Kering Secara
Spektrofotometri Serapan Atom. Lokakarya Nasional, Jaringan Kerjasama
Kimia Analitik Indonesia, Yogyakarta.
Rohmah, Siti Dzatir. 2013. Formulasi Krim Sarang Burung Walet Putih
(Aerodramus fuciphagus) dengan Basis Tipe A/M sebagai Pencerah Kulit
Wajah. Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Owen, S. C., 2006. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, Fifth Edition. London : Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Association.
Sansonetti, J. E. dan W. C. Martin. 2005. Handbook of Basic Atomic
Spectroscopic Data. America : American Institute of Physics.
Santoso, Andre. 2012. Validasi Metode Analisis Hg (Merkuri) dalam Sediaan
Krim Pagi dan Malam. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.
Setiawan, Nugraha. 2005. Teknik Sampling. Diklat Metodologi Penelitian Sosial
Universitas Padjadjaran.
SNI 16-4954-1998 Mengenai Krim Pemutih Kulit. Diakses dari : http://sisni.bsn.
go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/5411. Diakses tanggal 27
September 2015 pukul 08.35.
Sumardi. 1981. Metode Destruksi Contoh Secara Kering Dalam Analisa Unsur-
Unsur Fe-Cu-Mn dan Zn Dalam Contoh-Contoh Biologis. Proseding
Seminar Nasional Metode Analisis, Lembaga Kimia Nasional, Jakarta, LIPI.
Syafnir, Livia dan Arlina Prima Putri. 2011. Pengujian Kandungan Merkuri
dalam Sediaan Kosmetik dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sains, Teknologi, dan Kesehatan,
ISSN : 2089-3582.
Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : EGC.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 2011. Panduan Lengkap Walet. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Tranggono, Retno I. S. dan Fatma Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu
Pengetahuan Kosmetik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wang, T., 2004, Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry
dalam Analytical Instrumentation Handbook, Jack Cazes, Edisi Ketiga,
USA : Merck Research Laboratories.
Wasitaatmadja, S. M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Wells, Margaret dan Mauricio Dantus, 2004, Validation of Chromatographic
Methods dalam Analytical Instrumentation Handbook, Jack Cazes, Edisi
Ketiga, USA : Merck & Co. Inc.
Wijaya, Fransisca. 2013. Analisis Kadar Merkuri (Hg) dalam Sediaan Hand Body
Lotion Whitening Pagi Merek X, Malam Merek X, dan Bleaching Merek X
yang Tidak Terdaftar pada BPOM. Calyptra : Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, Vol. 2, No. 2
Yun, W. J., Bang, S. H., Min, K. H., Kim, S. W., Lee, M. W., dan Chang, S. E.,
2013. Epidermal growth factor and epidermal growth factor signaling
attenuate laser-induced melanogenesis. Dermatol Surg : 1–9.
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian
Uji Kuantitatif Merkuri
dalam Sampel
Perolehan Sampel
Pemeriksaan
Organoleptis
Pengukuran pH Pembuatan Larutan
Standar dan Pereaksi
Pemilihan Panjang Gelombang
Pembuatan Kurva Kalibrasi
Uji
Linearitas
Penentuan
LOD
dan LOQ
Uji Presisi Uji Akurasi
Penyiapan Sampel
Uji Kualitatif Merkuri dalam
Sampel
Validasi Metode
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Sampel Krim Sarang Burung
Walet A dan B
Lampiran 3. Hasil Pengukuran pH Sampel Krim Sarang Burung Walet A dan B
A-1 A-2 B-1 B-2
pH = 8,21 pH = 8,24 pH = 8,15 pH = 8,17
Lampiran 4. Perhitungan Pengenceran Larutan
1. Pengenceran larutan standar merkuri 1000 mg/L menjadi 1 mg/L
M1 . V1 = M2 . V2
1000 µg/mL . V1 = 1 µg/mL . 50mL
V1 = 0,05 mL
V1 = 50 µL
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Pengenceran larutan standar merkuri 1 mg/L menjadi 1 μg/L, 2 μg/L, 4 μg/L,
5 μg/L, 8 μg/L, 10 μg/L, 15 μg/L, dan 20 μg/L.
a. 1 μg/L
M1 . V1 = M2 . V2
1000 μg/L . V1 = 1 μg/L . 50 mL
V1 = 0,05 mL
V1 = 50 µL
b. 2 μg/L
M1 . V1 = M2 . V2
1000 μg/L . V1 = 2 μg/L . 50 mL
V1 = 0,1 mL
V1 = 100 µL
c. 4 μg/L
M1 . V1 = M2 . V2
1000 μg/L . V1 = 4 μg/L . 50 mL
V1 = 0,2 mL
V1 = 200 µL
d. 5 μg/L
M1 . V1 = M2 . V2
1000 μg/L . V1 = 5 μg/L . 50 mL
V1 = 0,25 mL
V1 = 250 µL
e. 8 μg/L
M1 . V1 = M2 . V2
1000 μg/L . V1 = 8 μg/L . 50 mL
V1 = 0,4 mL
V1 = 400 µL
f. 10 μg/L
M1 .V1 = M2 .V2
1000 μg/L . V1 =10 μg/L . 50 mL
V1 = 0,5 mL
V1 = 500 µL
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. 15 μg/L
M1 .V1 = M2 .V2
1000 μg/L . V1 =15 μg/L . 50 mL
V1 = 0,75 mL
V1 = 750 µL
h. 20 μg/L
M1 .V1 = M2 .V2
1000 μg/L . V1 = 20 μg/L . 50 mL
V1 = 1 mL
V1 = 1000 µL
Lampiran 5. Data Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)
Konsentrasi
(μg/L) Intensitas (Y) Yi (Y=a+bx) (Y-Yi)
2
0 3,846 3,028 0,669
1 15,640 15,168 0,223
5 63,100 63,728 0,394
10 124,300 124,428 0,016
15 182,500 185,128 6,906
20 248,200 245,828 5,626
∑ 13,835
LOD 0,460 μg/L
LOQ 1,532 μg/L
Keterangan : y = 12,14x + 3,028
Cara perhitungan :
1. Simpangan Baku Residual (Sy/x)
Sy x = ∑(Y − Yi)²
n − 2
= 13,835
6−2
= 1,860
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. LOD
LOD = 3Sy x
Sl
= 3 x 1,860
12,14
= 0,460 μg/L
3. LOQ
LOQ = 10Sy x
Sl
= 10 x 1,860
12,14
= 1,532 μg/L
Lampiran 6. Data Uji Presisi
No. Bobot Sampel
(g)
Konsentrasi
Hg (μg/L)
Faktor
Pengenceran
(FP)
Kadar Hg
(x, μg/g) (x - 𝐱 )2
1. 0,301 5,400 =
100 mL
0,025 mL
= 4.000
3586,848 915,063
2. 0,304 5,427 3570,395 190,357
3. 0,307 5,496 3574,867 333,756
4. 0,307 5,453 3548,975 58,110
5. 0,306 5,351 3495,101 3781,881
6. 0,303 5,390 3563,401 46,281
Rata-rata ( x ) 3556,598 ∑
5325,448 SD 32,636
KV (Syarat < 2%) 0,918 %
Cara Perhitungan :
1. Kadar Hg (μg/g)
Diketahui : Bobot sampel = 0,301 g
Konsentrasi Hg = 5,400 μg/L
Faktor pengenceran (FP) = 4.000
Penyelesaian :
Kadar Hg (μg/g) = Konsentrasi Hg
μg
L x Volume mL x FP
Berat Sampel g x 1000
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
= 5,400
μg
L x 50 mL x 4.000
0,301 g x 1000
= 3586,848 μg/g
2. Simpangan baku (SD)
SD = ∑(x − x )²
n − 1
= 5325,448
6 − 1
= 32,636
3. Koefisien Variasi (KV)
KV = SD
x x 100%
= 32,636
3556,598 x 100%
= 0,918 %
Lampiran 7. Data Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali
1. Sampel Saja (Tanpa Ditambahkan Analit)
No. Bobot Sampel
(g)
Konsentrasi
Hg (μg/L) Volume (mL)
Kadar Hg
(μg/g)
1 0,503 5,191 50 0,516
2 0,506 5,037 50 0,498
3 0,506 5,009 50 0,495
Rata-rata 0,503
Cara Perhitungan Kadar :
Diketahui : Bobot sampel = 0,503 g
Konsentrasi Hg = 5,191 μg/L
Volume = 50 mL
Penyelesaian :
Kadar Hg (μg/g) = Konsentrasi Hg
μg
L x Volume (mL )
Bobot Sampel g x 1000
= 5,191 μg
L x 50 mL
0,503 g x 1000
= 0,516 μg/g
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Sampel Ditambahkan Analit
Konsentrasi
Analit yang
Ditambahkan
(μg/L)
Bobot
Sampel
(g)
Konsentrasi
Total
Sampel yang
Diperoleh
dari
Pengukuran
(μg/L)
Volume
(mL)
Konsentrasi
Sampel
Sebenarnya
(μg/L)
% PK
2
0,501 6,440 50 5,039 70,045
0,508 6,582 50 5,110 73,625
0,504 6,569 50 5,069 74,986
Rata-rata 72,885
4
0,505 8,278 50 5,075 80,067
0,509 8,573 50 5,120 86,336
0,506 8,348 50 5,089 81,465
Rata-rata 82,623
8
0,500 10,370 50 5,029 66,762
0,506 11,020 50 5,089 74,133
0,509 11,000 50 5,120 73,505
Rata-rata 71,467
% Perolehan Kembali Rata-rata 75,658
Cara Perhitungan :
a. Konsentrasi Sampel Sebenarnya
Penghitungan konsentrasi sampel sebenarnya dilakukan untuk
menyesuaikan konsentrasi sampel dengan bobot sampel yang ditimbang.
Diketahui :
Bobot sampel = 0,501 g
Konsentrasi rata-rata sampel saja tanpa ditambahkan analit = 0,503 μg/g
Volume = 50 mL
Penyelesaian :
Konsentrasi sampel sebenarnya adalah :
= Bobot sampel g x Konsentrasi rata −rata sampel tanpa penamba han analit
μg
g x 1000
Volume (mL )
= 0,501 g x 0,503
μg
g x 1000
50 mL
= 5,039 μg/L
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Persen Perolehan Kembali (% PK)
Diketahui :
Konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran = 6,440 μg /L
Konsentrasi sampel sebenarnya = 5,039 μg/L
Konsentrasi analit yang ditambahkan = 2 μg/L
Penyelesaian :
% PK = %
= 6,440 μg/L − 5,039 μg/L
2 μg/L x 100%
= 70,045%
Keterangan :
CF = konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran
i(sampel + analit).
CA = konsentrasi sampel sebenarnya (sampel saja tanpa
iditambahkan analit).
C*A = konsentrasi analit yang ditambahkan.
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Data Uji Kuantitatif Merkuri dalam Sampel
Sampel
Bobot
Sampel
(g)
Konsentrasi
(μg/L)
Volume
(mL)
Faktor
Pengenceran
(FP)
Kadar Hg
(μg/g)
A-1
0,301 5,400 50 =
100 mL
0,025 mL
= 4.000
3586,848
0,304 5,427 50 3570,395
0,307 5,496 50 3574,867
Rata-rata 3577,370
A-2
0,205 9,815 50
=50 mL
0,025 mL
= 2.000
4787,805
0,209 9,985 50 4777,512
0,208 9,343 50 4491,827
Rata-rata 4685,715
B-1
0,503 5,191 50
-
0,516
0,506 5,037 50 0,498
0,506 5,009 50 0,495
Rata-rata 0,503
B-2
0,208 8,138 50 =
100 mL
0,05 mL
= 2.000
3903,679
0,200 7,868 50 3932,034
0,201 8,421 50 4185,804
Rata-rata 4007,172
Cara Perhitungan :
Diketahui : Konsentrasi Hg dalam larutan sampel = 5,400 μg/L
Volume = 50 mL
Faktor pengenceran (FP) = 4.000
Bobot sampel = 0,301 g
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyelesaian :
Kadar Hg (μg/g) = Konsentrasi Hg
μg
L x Volume mL x FP
Bobot Sampel g x 1000
= 5,400
μg
L x 50 mL x 4000
0,301 g x 1000
= 3586,848 μg/g
Lampiran 9. Alat ICP-OES
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Proses Destruksi Sampel
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Sertifikat Analisis Merkuri