tugas resume perkuliahan falsafah sains 2013
DESCRIPTION
Resume materi Filsafat sainsTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Filsafat dan Pengetahuan
Ketika orang mulai mempertanyakan hakikat keberadaannya, siapa
dirinya, untuk apa dia hidup, pada saat itu dikatakan orang mulai berfilsafat.
Filsafat sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses berfikir, berkontemplasi,
berefleksi, sebagai bagian dari aktifitas manusia yang memiliki rasa
keingintahuanan/kecintaan akan hakikat keberadaannya didunia ini, hakikat
adanya alam semesta dan seisinya.
Belajar filsafati berarti
1. Belajar mengembangkan diri secara luas untuk memahami pemikiran
orang lain (out of the box)
2. Belajar mengembangkan daya nalar secara kritis untuk menjelaskan
fenomena yang dihadapi manusia untuk kepentingan kehidupan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping
berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama (Suriasumantri, 2009).
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu
yang diajukan manusia. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap
pengetahuan kita secara maksimal, maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang
mungkin bias diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain,
perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita
ajukan. Misalnya, kita tidak bisa mengajukan pertanyaan tentang apa yang terjadi
setelah kematian atau kehidupan sesudah mati kepada ilmu, karena ilmu tidak
akan dapat memberikan jawabannya. Maka pertanyaan-pertanyaan semacam itu
sebaiknya kita ajukan kepada agama.
Ilmu vs agama
Ilmu dan agama serta seni adalah pengetahuan. Secara ontologis ilmu
membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman
manusia, sedangkan agama mencakup daerah penjelajahan yang bersifat
transendental yang berada di luar pengalaman manusia.
John F. Haught [1995] membagi pendekatan ilmu dan agama menjadi:
1
1. Pendekatan konflik ; 2. Pendekatan kontras ; 3. Pendekatan kontak; dan 4.
Pendekatan konfirmasi.
Dalam pendekatan konflik, diyakini bahwa ilmu dan agama tidak dapat
dipadukan. Menurut pendekatan ini ilmu lebih bersifat tidak memihak, objektif,
dan berdasarkan fakta yang ada. Sedangkan agama lebih bersifat subyektif dan
berdasarkan imajinasi. Ilmu menguji hipotesa dan teori dengan pengalaman,
sedangkan agama hanya berdasarkan keyakinan semata. Jadi, menurut pendekatan
konflik keterkaitan antara agama dan ilmu tidak mudah dilakukan karena ada
perbedaan mendasar dan jika disandingkan jadi satu akan memicu persoalan,
terkait dengan benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”ilmu” dan
”agama”.
Pendekatan kontras menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara
agama dan ilmu, karena masing-masing memberi tanggapan pada masalah yang
berbeda. Sehingga tidak mungkin ada konflik diantara keduanya. Agama dan ilmu
sama-sama valid, tetapi mempunyai tugas yang berbeda sehingga tidak boleh
menilai agama dengan tolok ukur ilmu dan sebaliknya dan karena itu keduanya
tidak harus disatukan. Jadi, menurut pendekatan kontras ilmu dan agama memiliki
tugas yang tidak sama dan memiliki wilayah yurisdiksinya masing-masing, tidak
saling campur (?).
Pendekatan kontak merupakan pendekatan yang mengupayakan dialog,
interaksi, dan kemungkinan adanya penyesuaian antara agama dan ilmu.
Pendekatan kontak mengupayakan cara-cara bagaimana ilmu ikut mempengaruhi
pemahaman religius dan teologis. Pendekatan ini juga berpendapat bahwa agama
dan ilmu memang jelas berbeda (linguistik dan logika), namun tidak di dunia
nyata dan tidak dapat dikotak-kotakkan secara mutlak seperti pendekatan kontras.
Pendekatan konfirmasi mempertanyakan posisi agama dan ilmu yang
merupakan gambaran dari suatu pengakuan atau penjelasan yang menetapkan
kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru.
Namun demikian, apakah sikap skeptis (pandangan yang selalu mempertanyakan
sesuatu) dari seseorang tersebut merupakan sikap yang secara filsafati
mempertanyakan ataukah suatu ketidak percayaan secara empiris terhadap sesuatu
yang sebenarnya merupakan pernyataan sebuah pengakuan, ataukah sebaliknya.
2
Filsafat Ilmu
Istilah filsafat apabila ditinjau dari segi semantik berasal dari bahasa Arab
(Falsafah) dan Yunani (Philosophia), yang berarti : philos = cinta, suka, sophia =
pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi Philosoplhia berarti cinta pada kebenaran
atau kebijaksanaan. Orang yang cinta pada pengetahuan disebut philosopher, yaitu
orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidup atau pengabdian
dirinya pada pengetahuan. Sedangkan dari segi praktis, filsafat berarti alam
pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan
bersungguh-sungguh. Jadi filsafat adalah hasil akal seorng manusia yang mencari
dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat juga berarti
ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala
sesuatu.
Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab
beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar
filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain
ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat
dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat
menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan
pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan,
bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam
melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan
penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan
untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah
terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri
Filsafat ilmu merupakan cabang ilmu filsafat yang sangat berguna untuk
menjelaskan apa tujuan ilmu bagi manusia. Dalam pengertiannya filsafat ilmu
merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, karena hakekat
pandangan filsafat ilmu terhadap tujuan diciptakan ilmu oleh manusia adalah
untuk membantu manusia mengatasi masalah dalam kehidupannya. Sebagai alat
ilmu diyakini dapat mengantarkan manusia menemukan kebenaran dan atas dasar
itu manusia mempergunakannya untuk menjelaskan masalah, mengendalikan,
serta meramalkannya.
3
Semakin seseorang memahami makna filsafat ilmu, maka seharusnya akan
semakin terbuka pemikirannya, semakin bijak dalam memandang permasalahan
dan semakin ia meyakini bahwa tidak ada yang dapat disombongkan dari
keilmuannya, sebab semua yang dia pelajari pada hakikatnya adalah mencari
solusi bagi permasalahan kehidupannya yang mungkin hanya berupa satu sisi
kebenaran saja dibalik kebenaran-kebenaran lain yang tidak diketahuinya.
Karenanya dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu merupakan landasan atau
dasar dari perkembangan semua ilmu.
Lingkup filsafat
1. Filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran
2. Kebenaran dicari dengan cara:
a. Empirik Argumentatif : pemaparan pendapat yang rasional disertai
dasar-dasar penalarannya
b. Non-Empirik : tidak berdasarkan pemahaman inderawi
3. Penalarannya selalu mengandung ciri : skeptis, menyeluruh, mendasar, kritis
dan analisis
II. SEJARAH FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara
substansial maupun secara historis, sebab kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat - sebagai suatu proses berfikir manusia baik mengenai dirinya (ke
dalam/mikrokosmos) maupun mengenai alam semesta beserta isinya (ke
luar/makrokosmos) yang melahirkan pengetahuan tentang realita kehidupan
(ilmu). Karenanya perkembangan ilmu pengetahuan kemudian dibedakan
menjadi dua, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari/menganalisis hubungan
antara:
1. Manusia dengan alam : ilmu fisika, kimia dll, teknologi dan rekayasa
2. Manusia dengan manusia : sosial, hukum, psikologi dll
Perkembangan ilmu pengetahuan berinteraksi timbal balik terhadap
kebudayaan. Dimana perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan perbedaan
dalam eksplorasi realitas. Sebagai contoh, kebudayaan timur (Mesir Purba, India,
Cina, Islam) dan barat berbeda dalam memandang kebenaran, dimana kebenaran
4
menurut budaya barat harus dipandang secara riil/nyata, dan kebenaran haruslah
dapat diaplikasikan dalam kehidupan praktis (empiris-induksi). Sedangkan
Budaya Barat (Yunani Kuno) mengedepankan kemampuan pemikiran rasional
tentang hakekat alam (nalar deduktif- sains modern).
Perkembangan filsafat barat
1. Filsafat kuno
a. Periode pra-Socrates (Thales, Anaximander, Heraclitus dll):
spekulasi metafisik all is water, all is air, all is fire, all changes (panta
rei)
b. Socrates, 479-399 SM dialektik, (tesis, anti-tesis, sintesis Hegel) Plato
427-347SM, dualisme, bentuk dan persepsi Aristotle, 384-322 SM,
memperkenalkan silogisme logika formal, tesis, antitesis dan sintesis
2. Filsafat abad pertengahan (abad 9-13)
a. Ibnu Sina (980-1037) -------Avicenna
Allah mendasari teori tentang jiwa (soul) dan pikiran (intelect) serta alam
(cosmos)
b. Ibn Rusyd (1126-1198)
Penyelaras faham-faham Aristotelian dengan agama. Penciptaan adalah
proses perubahan dari waktu ke waktu. Kekuatan kreatif terus-menerus
bekerja dalam dunia, menggerakannya dan menjaganya
c. Thomas Aquinas (1225-1274) -------- pengikut Ibnu Sina
Analisis terhadap sifat-sifat alam dan Allah; analisis suatu kejadian atau
suatu materi, bentuk, ketidak nampakan, logis dan bahasa.
3. Filsafat modern
a. Rene Descartes (1596-1650)
Ragu (de omnibus dubitandum) – terhadap semuanya
Saya berpikir maka saya ada (cogito, ergo sum)
Semua tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan seseorang bisa
berpikir
Soul dan Body: berpikir adalah hakikat manusia, Tuhan adalah
sempurna,
5
III. EPISTEMOLOGI
Epistemologi berasal dari kata Episteme yang berarti pengetetahuan dan
logos yang berarti ilmu/nalar. Adalah Cabang filsafat yang membahas tentang
ruang lingkup dan batasan ilmu pengetahuan.
Adanya sikap SKEPTIS terhadap ada tidaknya kebenaran objektif dan
terhadap kemampuan manusia untuk bernalar melahirkan perenungan tentang
hakekat pengetahuan dan ada tidaknya kebenaran, hingga kemudian muncullah
Pertanyaan mendasar mengenai bagaimana cara mendapat pengetahuan yang
benar?
Pada hakikatnya manusia mengharapkan jawaban yang benar atas
pertanyaan-pertanyaannya dalam kehidupan atau mengenai kehidupan ini. Dalam
hal ini dalam sudut pandang filsafat epistemology adalah cara manusia menyusun
pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya. Landasan
epistemology ilmu disebut sebagai metode ilmiah. Dengan kata lain metode
ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Cara manusia dalam memperoleh ilmu atau pengetahuan ini, dalam filsafat
dibedakan menjadi: Rasionalisme , Empirisme, Skeptisme, dan
Konstruktivisme.
Rasionalisme memiliki dimensi yang sangat penting dalam pembahasan
tentang suatu teori pengetahuan. Paham ini dikaitkan dengan kaum Rasionalis
abad ke17 dan 18 Tokoh-tokohnya a.l Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan
Wolff. Akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik,
seperti lato, Aristoteles, dan lainnya. Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip
dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Dari prinsip-prinsip ini
diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia: Prinsip-prinsip pertama
ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan
pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Menurut Descartes (1596-1650), prinsip-prinsip dasar dunia disebut dengan
istilah substansi, yaitu ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran
yang tidak bisa diragukan lagi. Tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
Pemikiran; saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir maka
harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
6
Tuhan merupakan ujud yang sama sekali sempurna; karena saya memiliki ide
sempurna, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu karena suatu
akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi,
sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak
anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David
Hume, George Berkeley dan John Locke.
Skeptisisme umumnya adalah setiap sikap mempertanyakan terhadap
pengetahuan, fakta, atau pendapat / keyakinan yang dinyatakan sebagai fakta,
atau ragu mengenai klaim yang diambil untuk diberikan di/dari tempat lain.
Skeptisisme filosofis adalah pendekatan keseluruhan yang mengharuskan semua
informasi yang akan didukung oleh bukti. Klasik skeptisisme filosofis berasal dari
'Skeptikoi', sebuah sekolah yang "menegaskan tidak ada". Penganut Pyrrhonism,
misalnya, menangguhkan penilaian dalam penyelidikan skeptis. bahkan mungkin
meragukan keandalan indera mereka sendiri skeptisisme agama, di sisi lain adalah
"keraguan tentang prinsip-prinsip agama dasar (seperti keabadian, pemeliharaan,
dan wahyu)".
Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di dalam epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya
maupun eksistensinya.
Para skeptikus sudah ada sejak zaman yunani kuno: dalam filsafat modern,
Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Keraguan
Descartes dalam metode keraguannya adalah suatu sikap skeptis (skeptisisme)
yang bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk memeroleh kepastian
yang tak tergoyahkan, yaitu cogito atau subjectum sebagai onstansi akhir
pengetahuan manusia. Di dalam filsafat David Hume dijumpai skeptisme radikal,
yaitu tidak hanya menyangsikan hubungan kausal, tetapi juga adanya substansi
atau realitas akhir yang bersifat tetap.
7
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki
anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia
yang menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksinya dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila
pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan mensolusikan persoalan
yang sesuai.
Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat
konstruktivisme dalam proses belajar/perkembangan intelektual. Teori Piaget
yaitu teori adaptasi kognitif dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi.
Bahwa menurutnya setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya
untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup, begitu juga struktur
pemikiran manusia: dalam menanggapi pengalaman baru skema pengalaman
orang dapat terbentuk lebih rinci atau berubah total. Menurutnya pengetahuan
selalu memerlukan pengalaman baik fisik maupun mental.
Lalu apakah yang disebut “benar”? Dalam khasanah filsafat terdapat
beberapa teori kebenaran yang menjadi landasan kriteria kebenaran, yaitu:
1. Teori koherensi; menurut teori koherensi, kebenaran itu adalah adanya
kekonsistenan pernyataan dan kesimpulan yang ditarik dengan pernyataan dan
kesimpulan terdahulu. Teori ini dikembangkan oleh Plato (427-347 SM) dan
Aristotle (384-322 SM) .
2. Teori korespondensi; menurut teori korespondensi, kebenaran itu adalah
adanya hubungan antara pernyataan dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Betrand Russell (1872-1970)
3. Teori pragmatis; menurut teori pragmatis, kebenaran adalah fakta yang
dikumpulkan mendukung pernyataan tertentu. Teori ini dicetuskan oleh
Charles S. Peirce (1839-1914)
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontology), bagaimana (epistemology), untuk apa (aksiology) dan tujuan akhir
(teleology) pengetahuan tersebut disusun. Landasan-landasan ini saling berkaitan;
jadi ontology ilmu terkait dengan epistemology ilmu, dan epistemology ilmu
terkait dengan aksiologi ilmu, dan seterusnya. Jadi jika kita ingin membicarakan
8
epistemology ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontology, aksiologi dan
teleologinya.
Ontologi (onto= of being) mencari jawaban tentang hakikat apa yang dikaji:
fisik (thing, being, process) atau metafisik. Alam nyata menimbulkan berbagai
spekulasi tentang hakikatnya. Ontologi: membentuk konsep tentang alam nyata
(universal atau spesifik).
Aksiologi (axia = nilai) adalah nilai kegunaan ilmu (estetika dan etika)
Humanisasi dan Dehumanisasi , Ilmu - usage free - value free, Untuk apa
sebenarnya ilmu dipergunakan?, Dimana batas wewenang penjelajahan ilmu?,
Kearah mana sebaiknya perkembangan ilmu?
Teleologi (tolos= ujung, logos: nalar) adalah Tujuan akhir dari penjelajahan
ilmu, yaitu kaitannya dengan tujuan penciptaan alam dan manusia.
Berdasarkan landasan filosofis ilmu, maka dapat disusun kerangka
pembentukan ilmu, yaitu bermula dari asumsi dasar, kemudian asumsi meningkat
menjadi paradigma keilmuan, paradigma menjadi kerangka teori dan selanjutnya
terbentuk ilmu-ilmu.
IV. LOGIKA
Logika berasal dari kata Yunani Kuno yaitu λσγσς (Logos) yang artinya
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa. Secara singkat, logika berarti ilmu, kecakapan atau alat untuk berpikir
lurus. Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang
mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang hukum-hukum, asas-asas,
aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang harus ditaati supaya kita
dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau dapat pula didefinisikan
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas akal atau rasio
manusia dipandang dari segi benar atau salah. Dari sini dapat diketahui bahwa
tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya
berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari jawaban tentang bagaimana
manusia dapat berpikir dengan semestinya.
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa, dilihat dari
metodenya logika dapat dibedakan menjadi:
9
1) logika tradisional; logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika dari
logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika
Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau
mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang
menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan
perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika
Aristoteles.dan
2) logika modern. Logika modern tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai
abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlain dengan sistem
logika Aristoteles.
Dasar penalaran/proses berfikir dalam logika dapat dibedakan menjadi dua
bentuk, yakni deduktif dan induktif. Berfikir deduktif adalah cara berfikir dari
umum ke khusus sedangkan berfikir induktif adalah cara berfikir dari khusus ke
umum. Cara pertama dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-
dasar persesuaian (tidk adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan
mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar.
Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari
dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan
logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang
logika formal disebut juga logika minor, logika materia disebut logika mayor. Hal
inilah yang merupakan inti daripada logika
Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri
sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan
merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu,
menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti
sesuatu jalan fikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan
sebagainya.
Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia
dimana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujuaan
untuk mencapai suatu kebenaran.
Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan
manifestasinya yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,
10
manunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolang-golongkan,
membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran,
mecari kausalitasnya, mebahas secara realitas dan lain-lain.
Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan
berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir yang sesuai
dengan penggarisan logika yang disebut berpikir logis.
Agar supaya pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya guna dengan
membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih, ada 3 syarat
pokok yang harus dipenuhi : 1) pemikiran haruslah berpangkal pada kenyataan
atau kebenaran, 2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat, 3)
jalan pikiran haruslah logis.
Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan menjadi
beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi
kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis (alamiah), yaitu
kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal
manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum
logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat
membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan
bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.
Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda
tergantung dari tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus
dan mereka yang terbiasa bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran
dengan logis, meskipun barangkali mereka belum pernah membuka buku logika
sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam berfikir manusia
banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, disamping bahwa pengetahuan
manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan.
Untuk mengatasi kenyataan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika
naturalis, manusia menyusun hukum-hukum, patokan-patokan, rumus-rumus
berfikir lurus. Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmia h yang
bertugas membantu logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta
menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah
dan aman sehingga tercapai tujuan dari apa yang diinginkan.
11
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa logika adalah salah satu
cabang atau bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang aktivitas
akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah. Atau dengan
kata lain, filsafat ilmu sebagai penopang dalam kerangka menggunakan rasio guna
berpikir agar suapaya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah etika, moral dan
kesusialaan. Dengan kata lain hubungan filsafat ilmu dengan logika adalah filsafat
ilmu sebagai tolak ukur atau alat penilaian dari proses menggunakan rasio.
V. Normal Science, Paradigma dan Scientific Revolution
Normal Science
Normal science atau ilmu normal adalah konsep yang berasal dari Thomas
Samuel Kuhn dan dijabarkan dalam The Structure of Scientific Revolutions.
Istilah Normal science mengacu pada pekerjaan rutin ilmuwan yang melakukan
penelitian di dalam suatu paradigma atau kerangka penjelasan tertentu yang telah
ditetapkan. Sehubungan ilmu sebagai pemecah teka-teki (“puzzle solving”), Kuhn
menjelaskan ilmu pengetahuan normal sebagai akumulasi detil yang lambat sesuai
dengan teori umum yang dibentuk, tanpa mempertanyakan atau menantang
asumsi yang mendasari teori itu.
Kuhn membedakan adanya dua tahap atau periode dalam perkembangan
setiap ilmu, yaitu periode pra-paradigmatik dan periode ilmu normal (normal
science). Pada periode pra-paradigmatik, pengumpulan fakta atau kegiatan
penelitian dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat
dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima
umum. Pada tahap pra-paradigmatik ini sejumlah aliran fikiran saling bersaing,
tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum.
Namun secara perlahan-lahan, salah satu system teoritikal mulai memperoleh
penerimaan secara umum, dan dengan itu paradigm pertama sebuah disiplin
terbentuk. Dengan terbentuknya paradigm itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah
disiplin memasuki periode ilmu normal (normal science).
Gagasan Thomas Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap
pendekatan Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, popper
memutar balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu
empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun
12
Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk
menjustifikasi teorinya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir
Thomas Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala
penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati
kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah yang sesungguhnya. Begitu urgensinya
sejarah ilmu ini dalam membuktikan teori-teori atau sistem, dapat menghantarkan
kemajuan revolusi-revolusi ilmiah. Menurut Thomas Kuhn bahwa kemajuan
ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara kumulatif.
Paradigma
Paradigma adalah cara pandang atau “way of perceiving”. Paradigma
adalah konsep utama Thomas Kuhn. Menurutn Thomas Kuhn, paradigma menjadi
kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta. Artinya tidak ada observasi
peneliti yang netral. Semuanya dibentuk oleh kerangka konseptual yang kita
gunakan. Ilmuwan selalu bekerja di bawah payung paradigma yang akan memuat
asumsi dan metodologi sendiri. Dengan begitu, kebenaran ilmu tidaklah satu
melainkan plural. Hanya saja kebenaran itu dibuktikan oleh sekelompok kalangan
ilmiah.
Kuhn berpendapat bahwa sains atau ilmu pengetahuan itu terikat oleh
ruang dan waktu, maka dari itu suatu paradigma hanya sesuai untuk permasalahan
yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga ketika dihadapkan pada persoalan yang
berbeda dan dalam kondisi atau situasi yang berbeda pula, perpindahan antara satu
paradigma menuju paradigma yang baru yang lebih sesuai itu sangat dibenarkan
dan merupakan suatu keharusan. Hal itu menunjukan bahwa suatu paradigma
tidak akan bersifat mutlak, dalam artian mengikuti kondisi dan suatu
permasalahan tertentu.
Dengan demikian, paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi
segenap komunitas ilmiah. Dalam komunitas tersebut mereka membaca,
menafsirkan, mengungkap, dan memahami alam, sehingga menurut Kuhn
paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan oleh para
ilmuwan, tanpa paradigma tertentu para ilmuawan tidak bisa mengumpulkan
fakta-fakta, dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua
fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan
13
sama-sama relevan, akibatnya pengumpulan fakta hampir semuanya merupakan
aktivitas acak
Scientific revolution
Revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang
makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma
yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi
pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau
mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah
dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah
revolusi sains.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana
paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang ber-
tentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma
yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan
yang biasa dari sains yang telah matang.
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang
diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam
kegiatan ilmiah, puzzle solving dan penemuan paradigma baru.
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan
observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran.
Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting
atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan.
Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan
paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan
besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan
episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur.
Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan
bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh
paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan
eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya
berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang
14
menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam
penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
VI. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan bioetika
Bioetika merupakan istilah yang relatif baru dan terbentuk dari dua kata
Yunani (bios = hidup dan “ethos” = adat istiadat atau moral), yang secara harfiah
berarti etika hidup. Dalam arti yang lebih luas, bioetika adalah penerapan etika
dalam ilmu-ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan dan bidang-bidang
terkait.
Walaupun mungkin masih merupakan suatu istilah yang baru bagi
kebanyakan orang, bioetika kini telah menjadi semacam gerakan baru yang
melanda seluruh dunia. Kehadiran dan urgensinya tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan ilmu pengetahun, khususnya biologi dan ilmu kedokteran yang
menimbulkan masalah-masalah etis yang luar biasa.
Fransese Abel merumuskan definisi tentang bioetika yang diterjemahkan
sebagai berikut: Bioetika adalah studi interdisipliner tentang problem-problem
yang ditimbulkan oleh perkembagnan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik
pada skala mikro maupun pada skala makro, lagipula tentang dampaknya atas
masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa mendatang.
Tiga etika dalam bioetika
1. Etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu
kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya.
2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas (apa
yang dianggap baik atau buruk). Misalnya: Kode Etik Kedokteran, Kode Etik
Rumah Sakit.
3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma
dan nilai-nilai moral.
Sebagai sebuah etika rasional, bioetika bertitik tolak dari analisis tentang
data-data ilmiah, biologis, dan medis. Keabsahan campur tangan manusia dikaji.
Nilai transendental manusia disoroti dalam kaitan dengan sang pencipta sebagai
15
pemegang nilai mutlak. Terkadang, istilah bioetika juga digunakan untuk
mengganti istilah etika medis, yang mencakup masalah etis tentang ilmu-ilmu
biologis seperti penyelidikan tentang hewan, serta usaha-usaha manipulasi
spesies-spesies bentukan genetik non manusiawi.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
haruslah memperhatikan etika kehidupan atau nilai-nilai moral. Bahwa suatu ilmu
pengetahuan haruslah berkembang dengan berlandaskan nilai-nilai manfaat
manusiawi yang tidak bertentangan dengan moral dan agama.
VII. Penemuan, organisasi peneliti dan pertumbuhan
Penemuan (discovery)
Discovery dapat berarti penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik
berupa alat ataupun gagasan yang diciptakan oleh seseorang ataupun serangkaian
ciptaan beberapa individu.
Penemuan diawali karena kesadaran terhadap adanya anomali, sehingga
timbul harapan akan adanya paradigm baru yang dapat menjadi solusi atas
permasalahan yang tidak lagi bias dipecahkan dengan paradigm lama.
Karakteristik Penemuan:
Kesadaran sebelumnya tentang anomali.
Timbulnya pengetahuan konseptual dan teramati secara
gradual dan simultan.
Konsekuensi perubahan kategori dan prosedur paradigma
dikaitkan dengan resistensi.
Cara penemuan kebenaran
Penemuan secara kebetulan: adalah penemuan yang berlangsung tanpa
disengaja.
Penemuan trial and error: terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil
atau tidak berhasil kebenaran yang dicari.
Penemuan secara spekulatif, mirip dengan cara trial and error, akan tetapi,
perbedaanya dengan trial dan error memang ada.
16
Penemuan melalui otoritas, adalah pendapat orang-orang yang memiliki
kewibawaan (kedudukan & kekuasaan) sering diterima sebagai kebenaran
meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah.
Penemuan kebenaran lewat cara berpikir kritis & rasional, yaitu dengan
menganalisis berdasar pengalaman & pengetahuan yang dimiliki untuk
sampai pada pemecahan yang tepat.
Enam Cara Akumulasi Pengetahuan
1. Telah diterima sebagaimana adanya oleh masyarakat.
2. Intuisi (berproses tanpa melalui indera manusia)
3. Otoritas: Orang yang diakui masyarakat sebagai sumber pengetahuan
terpercaya (penguasa, tokoh agama, ilmuwan, orang arif.
4. Rasionalisme: doktrin yang menyatakan bahwa kebenaran pengetahuan
hanya dapat ditemukan melalui proses pemikiran atau penalaran.
5. Empirisme: Cara untuk memperoleh pengetahuan melalui pengamatan atas
kejadian-kejadian yang dapat ditemukan di alam raya.
6. Ilmu atau Pengetahuan Ilmiah: Proses berpikir yang menggabungkan
kekuatan rasionalisme dan empirisme di dalam mengakumulasikan
pengetahuan (Graziano dan Raulin 1989)
Penemuan merupakan fungsi dari individu (ilmuwan) penemu dan
pengorganisasiannya. Ilmuwan Penemu haruslah memiliki minat tinggi dalam
keilmuan, Intelegensia tinggi dalam arti bersikap inovatif dan kreativitas dan
memiliki motivasi tinggi sehingga mampu untuk menyususn metodologi riset.
Selain itu keberhasilan suatu penemuan tidak cukup dengan kemampuan intra
personal dari ilmuwannya, karena seorang ilmuwan harus memiliki kemampuan
organisasi yang baik dan mampu memimpin dan bekerjasama dalam mengelola
hasil risetnya agar memberi manfaat luas dan penemuannya dapat terus
berkembang.
VIII. Sifat Manusia (Jendela Johari)
Dalam sudut pandang filsafat, manusia adalah khalifah fil ardh yang
memiliki sifat-sifat Selalu ingin tahu, Bersifat tergesa-gesa, Suka membantah ,
Melampaui batas , Keluh kesah, Suka ingkar , Susah untuk bersyukur , Egoisme
(merasa serba cukup). Dengan segala instrument yang dimilikinya berupa jasad
17
dan ruh (mencakup akal, rasio, qalbu dan nafsu / thinking, feeling, willing)
manusia berusaha mencari jawaban atas tujuan hidupnya atau mencari jalan untuk
mencapai tujuan hidupnya.
Pemahaman akan hakikat diri dan kemampuan serta potensi diri ini
seringkali tidak disadari oleh seseorang. Padahal pemahaman tau self awareness
akan sifat dan kemampuan diri ini sangat penting dalam rangka mencapai tujuan
hidup manusia.
Johari Window atau Jendela Johari merupakan salah satu cara untuk
melihat dinamika dari self-awareness, yang berkaitan dengan perilaku, perasaan,
dan motif kita. Model yang diciptakan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham di
tahun 1955 ini berguna untuk mengamati cara kita memahami diri kita sendiri
sebagai bagian dari proses komunikasi. Johari Awareness Model terdiri dari
sebuah persegi yang terbagi menjadi empat kuadran, yaitu OPEN, BLIND,
HIDDEN, dan UNKNOWN.
Kuadran 1 (Open) merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi yang
diketahui oleh diri kita sendiri dan orang lain. (Quadrant 1, the open quadrant,
refers to behavior, feelings, and motivation known to self and others)
Kuadran 2 (Blind) merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi yang
diketahui oleh orang lain, tetapi tidak diketahui oleh diri kita sendiri. (Quadrant 2,
the blind quadrant, refers to behavior, feelings, and motivation known to others
but not to self)
Kuadran 3 (Hidden) merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi
yang diketahui oleh diri kita sendiri, tetapi tidak diketahui oleh orang lain.
(Quadrant 3, the hidden quadrant, refers to behavior, feelings, and motivation
known to self but not to others)
Kuadran 4 (Unknown) merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi
yang tidak diketahui, baik oleh diri kita sendiri ataupun oleh orang lain. (Quadrant
4, the unknown quadrant, refers to behavior, feelings, and motivation known
neither to self nor others)
Joseph Luft berpendapat bahwa seseorang harus terus meningkatkan self-
awarenessnya dengan mengurangi ukuran dari Kuadran 2-area Blind-nya.
Kuadran 2 merupakan area rapuh yang berisikan apa yang orang lain ketahui
18
tentang diri seseorang, tapi tidak diketahui oleh orang tersebuti, atau lebih di
anggap tidak ada dan tidak dipedulikan. Mengurangi area Blind juga berarti
bahwa seseorang memberbesar Kuadran 1-nya-area Open, yang dapat berarti
bahwa self-awareness serta hubungan interpersonal seseorang mungkin akan
mengalami peningkatan.
Known by Self Unknown by Self
Known by
other
Q1:
Open/Free Area
Q2:
Blind Area
Unknown
by other
Q3:
Hidden Area
Q4:
Unknown Area
IX. Ilmu Pengetahuan dan tanggung jawab ilmuwan
Ilmuwan secara etimologi bermakna orang yg ahli atau banyak
pengetahuannya mengenai suatu ilmu, sedangkan menurut terminologi ilmuwan
ilmuwan adalah seorang yang mempunyai kemampuan dan hasrat untuk mencari
pengetahuan baru, asas-asas baru, dan bahan-bahan baru dalam suatu bidang ilmu.
McGraw-Hill Dictionary Of Scientific and Technical Term
Dengan demikian orang yang disebut sebagai Ilmuwan harus memiliki
ciri-ciri sebagai ilmuwan yang dapat dikenali lewat paradigma serta sikapnya
dalam kehidupan sosial, memiliki daya kritis yang tinggi, jujur, bersifat terbuka,
dan netral. Selain itu pula seorang ilmuwan harus patuh pada sistematika
penulisan karya ilmiah serta syarat-syarat yang berkenaan dengan kode etiknya.
Peran dan fungsi ilmuwan dalam masyarakat juga perlu diperhitungkan,
karena ilmuwan merupakan orang yang dapat menemukan masalah spesifik dalam
ilmu. Selain itu, ilmuwan pula terbebani oleh tanggung jawab, tanggung jawab
yang diemban oleh ilmuwan meliputi tanggung jawab sosial, moral, dan etika.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai pelanggaran etika ilmiah
yang wajib dihindari oleh para ilmuwan adalah fabrikasi data, falsifikasi data, dan
plagiarisme.
19