tugas psikologi klinis - makalah skizofrenia
DESCRIPTION
Tugas Psikologi Klinis - Makalah SkizofreniaTRANSCRIPT
BAB I
LANDASAN TEORI
1. Definisi Psikopatologis Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi dan perilaku – pikiran yang terganggu, dimana
berbagai pemikiran tidak saling berhubungaan secara logis. Persepsi dan
perhatian yang keliru; afek yang datar atau tidak sesuai; dan berbagai
gangguan aktivitas motorik yang bizarre. Pasien skizofrenia menarik diri dari
orang lain dan kenyataan, sering kali masuk dalam kehidupan fantasi yang
penuh delusi dan halusinasi. ( Davison, dkk.,444: 2012).
Sedangkan dalam buku “Skizofrenia-Memahami Dinamika Keluarga
Pasien” karangan Iman Setiadi Arif (2006), menjelaskan bahwa skizofrenia
termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis. Pasien
psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas.
Pasien skizofrenia mengalami beberapa gejala psikotik utama yaitu delusi
(waham), halusinasi, disorganized speech (pembicaraan kacau), disorganized
behavior(tingkah laku kacau), dan simtom-simtom negatif berupa
berkurangnya ekspresi emosi, berkurangnya kelancaran dan isi pembicaraan,
kehilangan minat untuk melakukan berbagai hal (avolition).
Jadi, dari definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa skizofrenia
merupakan gangguan psikosis berupa gangguan dalam pikiran, emosi dan
perilaku yang tidak saling berhubungan secara logis. Dan pasien yang
didiagnosa mengalami skizofrenia harus menunjukkan gejala psikotik di atas
dan juga durasi gangguan yang dialaminya.
1
2. Gejala & Tipe Skizofrenia menurut PPDGJ III dan DSM V
1. Gejala
skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi serta oleh afek
yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang
Pedoman Diagnostik:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
a) - thought echo: isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya.
- Thought insertion or with drawal: isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion), atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).
-Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b) – Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar.
– Delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhioleh
suatu kekuatan tertentu dari luar.
– Dellusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar
– Delusional perception:pengalaman indrawi yang tidak wajaryang
bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c) Halusinasi auditorik
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien.
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri, atau
2
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain.).
Atau paling sedikit ada dua gejala dibawah ini:
- Halusinasi yang menetap pada panca indera.
- Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan.
- Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh-gelisah, posturing,
negativisme, mutisme,dan stupor.
- Gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik
prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut
dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.
2. Tipe-tipe Skizofrenia
1. Skizofrenia paranoid
Pasien skizofrenik paranoid memiliki tipikal tegang, pencuriga, berhati-
hati, dan tidak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau
agresif. Pasien skizofrenik paranoid terkadang dapat menempatkan diri
3
mereka secara adekuat didalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak
terpengaruh oleh kecenderungan psikosis mereka.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi
biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan
(determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami
jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia tipe katatonik
Ciri utama pasien skizofrenia tipe katatonik ini adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi motoric immobility yang dimunculkan
berupa catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi sangat fleksibel
untuk digerakkan atau diposisikan dengan berbagai cara, sekalipun
untuk orang biasa posisi tersebut akan sangat tidak nyaman).
4. Skizofrenia tipe undifferentiated
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostik menurut PPDGJ
III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebrefrenik, atau katatonik.
4
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
5. Skizofrenia tipe residual
Suatu stadium kronis dalamperkembangan dalam suatu skizofrenia
dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari
satu atau lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria
umum untuk skizofrenia diatas) kestadium lebih lanjut yang ditandai
secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang, walaupun belum
tentu ireversibel.
3. Faktor Penyebab Skizofrenia
1. Data genetik
Data genetik merupakan sebuah literatur yang mengindikasikan
bahwa predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik.
(Davison,2012:457).
Pada penelitian ini sample yang digunakan adalah orang yang
memiliki saudara kembar identik yang mengidap skizofrenia. Sebuah
analisis cerdas dikemukakan oleh Fischer yang mendukung interpretasi
genetik terhadap tingginya tingkat kesesuaian bagi kembar identik
pengidap skizofrenia. Ia menjelaskan bahwa anak-anak dari orang yang
bahkan tidak memiliki kesesuaian atau non skizofrenik yang merupakan
saudara kembar identik – pasien skizofrenia – akan beresiko tinggi
terhadap gangguan skizofrenia tersebut. Salah satu saudara kembar
identik yang tidak menderita skizofrenia tersebut diasumsikan memiliki
genotip skizofrenia meskipun tidak terwujud secara behavioral, dan
dengan demikian dapat diwariskan risiko yang lebih tinggi terhadap anak-
anak mereka.
Malaspina, dkk, dalam buku Psikologi Abnormal (Davidson,
dkk.,2012) menjelaskan bahwa para pasien yang memiliki riwayat
skizofrenia dalam keluarga, mengalami lebih banya simtom negatif
5
dibanding para pasien yang tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam
keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa simtom negatif lebih dapat
mengandung komponen genetik yang lebih kuat. Para kerabat pasien
skizofrenia juga memiliki resiko lebih tinggi terhadap gangguan lain yang
dianggap sebagai bentuk skizofrenia yang tidak parah. (Kendler,
dkk.,1995 dalam Psikologi Abnormal (Davidson, dkk.,2012)).
Namun kita juga tidak dapat menyimpulkan bahwa skizofrenia adalah
gangguan yang sepenuhnya disebabkan oleh faktor genetik.
2. Faktor Biokimia
Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari
ketidak seimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter.
Neurotransmitter dopamine, serotonin, dan neropinephrine juga
memainkan peran untuk skizofrenia. (Setiadi Arif, 2006)
3. Abnormalitas otak
Pasien skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus
frontalis otak. Korteks prefrontalis berperan dalam perilaku seperti
berbicara, pengambilan keputusan, dan tindakan yang bertujuan, dan
semuanya mengalami gangguan dalam pasien skizofrenia. (Davidson,
dkk.,2012)
4. Stress psikologis
Para pasien skizofrenia sangat rentan terhadap stress sehari-hari. Terdapat
dua stressor yang mengambil bagian penting dalam terjadinya stres
kehidupan pasien skizofrenia yaitu kelas sosial dan keluarga.
Serangkaian studi di London mengindikasikan bahwa keluarga memiliki
peran penting terhadap penyesuaian pasien setelahmereka keluar dari
rumah sakit. Brown dan para koleganya (1966) melakukan studi
pemantauan selama 9 bulan terhadap suatu sampel pasien skizofrenia yang
kembali ke keluarga mereka setelah dirawat di rumah sakit. Di akhir
6
periode pemantauan, 10% dari pasien yang kembali ke keluarga dengan
ekspresi emosi rendah, mengalami kekambuhan, dan secara sangat
kontras dalam periode yang sama, 58% dari pasien yang kembali ke
keluarga dengan ekspresi emosi tinggi, kembali dirawat ke rumah sakit.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa lingkungan dimana pasien tinggal
akan mempengaruhi seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di
rumah sakit
4. Penanganan (Intervensi)
Dalam upaya mencapai kesembuhan atau setidaknya mengurangi gejala-
gejala psikotik, individu dengan skizofrenia dapat dirawat sebagai pasien rawat
inap atau rawat jalan di rumah sakit tergantung dari beratnya gejala yang di
deritanya. (Minister Supply and Service Canada, 2005).
Kopelowicz, dkk. (dalam Davison, dkk. 2012) menyebutkan bahwa
ketepatan suatu terapi tergantung pada tahap penyakit pasien. Yaitu bila pasien
berada dalam fase psikotik akut, maka pelatihan ketrampilan sosial atau
intervensi psikologis lain tidak mungkin akan berhasil karena pasien dalam
kondisi sangat terganggu, dan sangat tidak mampu untuk berkonsentrasi pada
apa yang dikatakan terapis. Pada fase tersebut diperlukan suatu jenis
pengobatan psikoaktif. Setelah orang yang bersangkutan berada dalam kondisi
tidak terlalu psikotik, intervensi psikologis dapat mulai berdampak
menguntungkan, dan dosis obat dapat dikurangi seiring pasien mempelajari
berbagai cara untuk mengurangi stres yang memicu timbulnya episode.
Penanganan atau intervensi yang diberikan kepada para individu (pasien)
dengan skizofrenia terdiri dari penanganan biologis dan penanganan
psikologis.
1. Penanganan Biologis
A. Terapi Koma Insulin, & Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
7
Di awal tahun 1930-an, praktik menimbulkan koma dengan
memberikan insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel, yang
mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang ditanganinya
menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh
para peneliti lain kurang mendukung hal itu, dan terapi koma insulin
(yang beresiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak
dapat disadarkan dan kematian) secara bertahap ditinggalkan (Davison,
dkk., 2012)..
Terapi elektokonvulsif (ECT) juga digunakan setelah diciptakan
pada tahun 1938 oleh Cerletti dan Bini; terapi ini juga terbukti memiliki
efektivitas minimal (Davison, dkk., 2012).
B. Terapi Obat
Pada tahun 1950-an, telah dikembangkan jenis obat neuroleptik
dan anti-psikotik yang sangat efektif untuk mengatasi gejala-gejala
positif skizofrenia. Obat-obatan neuroleptik menghalangi reseptor-
reseptor bagi senyawa kimia otak seperti dopamine, yang merupakan
salah satu neurotransmitter otak yang bertugas membawa pesan dari
sel-sel syaraf tertentu menuju sel-sel lainnya di dalam otak manusia.
Bukti yang dikumpulkan, menunjukkan bahwa individu-individu
dengan skizofrenia memiliki terlalu banyak reseptor dopamine atau
reseptor lain yang sensitif terhadap dopamine yang menyebabkan
individu dengan skizofrenia menerima terlalu banyak pesan. Kelebihan
pesan ini bersaing dalam banyak hal dengan transmisi sinyal-sinyal
yang melalui jalan kimia lainnya dan menyebabkan individu dengan
skizofrenia mengalami gejala psikotik. (Minister Supply and Service
Canada, 2005).
Untuk mengurangi gejala psikotik tersebut, individu dengan
skizofrenia dapat menggunakan terapi obat neuroleptik. Neuroleptik
diberikan baik dalam bentuk tablet, cairan atau melalui suntikan.
Sebagian besar pasien, awalnya diberikan obat-obatan melalui mulut
8
yang memberikan kestabilan dan dosis rendah ke dalam sistem
tubuhnya. Orang-orang yang sedang mengalami serangan skizofenia
akut sering diberikan suntikan yang bekerja lebih cepat daripada
pengobatan oral (Minister Supply and Service Canada, 2005).
2. Penanganan Psikologis
A. Terapi Seni (Art Theraphy)
Dalam sebuah peneitian, terapi seni secara signifikan terbukti
memiliki pengaruh yang positif untuk mengurangi simtom negatif pada
individu dengan skizofrenia. (Richardson dkk., 2007).
Dalam aplikasi terapetik, tujuan melukis (Seni) sebagai sarana
pemulihan (terutama yang bekaitan dengan klien yang mempunyai
masalah psikologis/kejiwaan), tidak untuk mencapai tingkat artistik
tertentu sebagaimana seorang seniman, namun lebih pada pencapaian
Katarsis (istilah Psikoanalisa untuk menyebut “pembersihan jiwa”). Art
therapy banyak digunakan untuk terapi pasien penderita depresi, stres,
dan skizofrenia dan menurut penelitian selanjutnya, disimpulkan bahwa
pasien yang menjalani sesi terapi ini mengalami kemajuan yang sangat
baik
Banyak hal-hal yang tidak dapat disampaikan dalam bahasa verbal,
sedangkan memori dalam pikiran bawah sadar (yang berisi endapan-
endapan memori negatif) pasien menumpuk (over load), oleh karenanya
art therapy sangat bermanfaat sebagai katup pelepasan impuls-iimpuls
memori negative yang sebelumnya terpendam
Dalam mengerjakan karya yang melibatkan kreativitas, semua
emosi dan pikiran yang mengendap akan „tereksternalisasi‟ atau
tersalurkan, sehingga semua emosi dan pikiran tersebut pada akhirnya
akan menjadi jelas akar permasalahannya karena terbacanya simbol-
simbol dari bentuk yang ada pada karya tersebut, kadangkala dibentuk,
baik secara sadar maupun tidak sadar memiliki makna yang
9
berhubungan secara langsung dengan akar permasalahan yang sedang
dihadapi oleh pasien tersebut
B. Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan ketrampilan sosial dirancang untuk mengajari para
penderita skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi
interpersonal yang sangat beragam. Bagi para penderita skizofrenia,
ketrampilan kehidupan tersebut bukan hal yang dapat dilakukan begitu
saja; para individu semacam itu harus berusaha keras untuk
menguasainya atau kembali menguasainya. Dengan melakukan hal-hal
tersebut memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil bagian
lebih besar dalam hal-hal positif yang terdapat di luar tembok-tembok
institusi mental sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka
(Davison, 2012).
Dalam demonstrasi pelatihan ketrampilan sosial terdahulu, Bellack,
Hersen, dan Turner (dalam Davison, 2012) merekayasa berbagai situasi
sosial bagi tiga pasien skizofrenik kronis dan kemudian mengamati
apakah mereka berperilaku secara pantas. Contohnya seorang pasien
diminta untuk mengumpamakan bahwa ia baru saja sampai di rumah
dari suatu liburan akhir minggu dan melihat bahwa rumput di halaman
rumahnya telah dipotong. Ketika ia turun dari mobil, teteangga sebelah
rumahnya mendekatinya dan berkata bahwa ia telah memotong rumput
di halaman rumah pasien, karena ia juga telah memotong rumput di
halaman rumahnya sendiri. Pasien kemudian harus merespons situasi
tersebut. Sesuai perkiraan, pada awalnya pasien tidak telalu baik dalam
memberikan respon yang pantas secara sosial, yang dalam hal ini
semacam ucapan terimakasih. Pelatihan berlanjut. Terapis mendorong
pasien untuk memberikan respon, memberikan komentar yang
membantu upaya mereka. Jika perlu, terapis juga memberikan contoh
perilaku yang pantas sehingga pasien dapat mengamati kemudian
mencoba menirukannya.
10
Keterlibatan dengan kelompok sosial juga sangat membantu
dalam upaya penyembuhan pasien skizofrenia dan juga bagi keluarga
para penderita. Intervensi sosial termasuk meningkatkan kontak antara
orang-orang skizofrenik dan orang-orang suportif, sering melalui
kelompok pendukung menolong diri sendiri (self help). Kelompok ini
bertemu untuk mendiskusikan dampak gangguan terhadap kehidupan
mereka, frustasi-frustasi dalam berusaha membuat orang mengerti
gangguan itu, kekhawatirannya akan kekambuhan, pengalaman-
pengalaman dengan berbagai macam obat, dan kesungguhannya untuk
melaksanakan cara hidup sehari-hari (Wiramihardja, 2005)
C. Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi
Penelitian yang telah dilakukan oleh Brown dan koleganya (1966)
menunjukkan bahwa tingginya tingkat ekspresi emosi (EE) dalam
keluarga yang mencakup hostilitas, terlalu mengkritik dan terlalu
melindungi dalam keluarga, berhubungan dengan kekambuhan dan
kembalinya individu dengan skizofrenia di rawat di rumah sakit.
Berdasarkan temuan ini telah dikembangkan sejumlah intervensi
keluarga. Meskipun berbeda dari segi lama intervensi, tempat
pelaksanaan dan teknik spesifik yang digunakan, berbagai terapi
tersebut memiliki beberapa kesamaan diluar tujuan menyeluruhnya
yaitu meredakan segala sesuatu bagi pasien dengan cara meredakan
segala sesuatu bagi keluarga, diantaranya;
Edukasi tentang skizofrenia (terutama kerentanan biologis yang
mempredisposisi seseorang terhadap penyakit tersebut), berbagai
masalah kognitif yang melekat dengan skizofrenia, simtom-
simtomnya, dan tanda-tanda akan terjadinya kekambuhan.
Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan
antipsikotik.
Menghindari saling menyalahkan, terutama mendorong keluarga
untuk tidak menyalahkan diri sendiri maupun pasien atas penyakit
11
tersebut dan atas semua kesulitan yang dialami seluruh keluarga
dalam menghadapi penyakit tersebut.
Memperbaiki komunikasi dan ketrampilan penyelesaian masalah
dalam keluarga
Mendorong pasien dan keluarganya untuk memperluas kontak sosial
mereka, terutama jaringan dukungan mereka
Menanamkan sebentuk harapan bahwa segala sesuatu dapat menjadi
lebih baik, termasuk harapan bahwa pasien bisa untuk tidak kembali
di rawat di rumah sakit.
Berbagai program menggunakan bermacam teknik untuk menerapkan
beberapa strategi di atas. Beberapa contoh termasuk mengidentifikasi
berbagai stressor yang dapat mengakibatkan kekambuhan, pelatihan
komunikasi dan penyelesaian masalah, dan meminta keluarga dengan
ekspresi emosi (EE) tinggi untuk menonton rekaman video mengenai
interaksi dalam keluarga dengan EE rendah. Dibandingkan dengan
berbagai terapi standar (biasanya hanya berupa pemberian obat), terapi
keluarga ditambah pemberian obat umumnya menurunkan tingkat
kekambuhan dalam periode satu hingga dua tahun. Temuan positif ini
diperoleh terutama dalam berbagai studi dimana penanganan
berlangsung selama sekurang-kurangnya 9 bulan (Davison, 2012).
D. Terapi Kognitif-Behavioral (Cognitive Behavioral Theraphy)
Salah satu bentuk penanganan dengan pendekatan kognitif
behavioral adalah terapi personal. Hogarty dkk ( dalam Davison,
2012). menyebutkan bahwa terapi personal adalah suatu pendekatan
kognitif behavioral berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah
yang dialami para pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit.
Terapi individualistik ini dilakukan secara satu persatu maupun dalam
kelompok kecil (lokakarya). Satu elemen utama dalam pendekatan ini,
berdasarkan penemuan dalam penelitian EE bahwa penurunan jumlah
reaksi emosi para anggota keluarga menurunkan tingkat kekambuhan
12
setelah keluar dari rumah sakit, adalah mengajari pasien bagaimana
mengenali afek yang tidak sesuai.. Jika diabaikan, afek yang tidak
sesuai dapat semakin berkembang dan menyebabkan berbagai distorsi
kognitif dan perilau sosial yang tidak sesuai. Para pasien juga diajari
untuk memperhatikan tanda-tanda kekambuhan meskipun kecil, seperti
penarikan diri dari kehidupan sosial atau intimidasi yang tidak pantas
kepada orang lain, dan mereka mempelajari berbagai ketrampilan untuk
mengurangi masalah-masalah tersebut. Perilaku semacam itu jika tidak
terdeteksi, sangat mungkin akan menghambat upaya pasien untuk
hidup sesuai aturan sosial konvensional, termasuk bekerja dan
membangun serta mempertahankan hubungan sosial. Terapi tersebut
juga mencakup terapi rasional emotif untuk membantu pasien
mencegah berbagai frustasi dan tantangan yang tidak terhindarkan
dalam kehidupan menjadi bencana dan dengan demikian membantu
mereka menurunkan kadar stres.
Selain itu pasien juga sering diajari teknik-teknik relaksasi otot
sebagai suatu alat bantu untuk belajar mendeteksi kecemasan atau
kemarahan yang berkembang secara perlahan kemudian menerapkan
ketrampilan relaksasi untuk mengendalikan berbagai emosi tersebut
secara lebih baik.
Perlu dicatat bahwa fokus terapi ini sebagian besar terletak pada
pasien, tidak pada keluarga. Tujuan terapi pribadi (personal) adalah
mengajarkan ketrampilan coping internal kepada pasien, berbagai cara
baru dalam berpikir dan mengendalikan berbagai reaksi afektif terhadap
tantangan apa pun yang terdapat di lingkungannya. Terakhir, hal
penting dalam terapi ini adalah apa yang disebut Hogarty dkk. Sebagai
“manajemen kritisisme dalam penyelesaian konflik”. Istilah tersebut
merujuk pada cara menghadapi umpan balik negatif dari orang lain dan
cara menyelesaikan berbagai konflik interpersonal yang merupakan
bagian tak terhindarkan dalam berhubungan dengan orang lain.
Berbagai indikasi menunjukkan bahwa bentuk intervensi ini dapat
13
membatu banyak pasien skizofrenik tetap hidup di luar rumah sakit dan
berfungsi dengan lebih baik, dengan hasil yang positif dicapai oleh
mereka yang dapat hidup bersama keluarga mereka sendiri (Davison,
2012).
Selain Karya Hogarty dkk. yang mencakup berbagai upaya untuk
menerapkan terapi perilaku rasional emotif untuk membantu para
pasien skizofrenik agar tidak menganggap sebagai suatu bencana bila
segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, juga terdapat
bukti-bukti bahwa beberapa pasien dapat didorong untuk menguji
berbagai keyakinan delusional mereka dengan cara yang sama seperti
yang dilakukan oleh orang normal dengan terapi reatribusi
(Reatribution Theraphy). Melalui diskusi kolaboratif (dan dalam
konteks berbagai moda intevensi lain, temasuk pemberian obat-obatan
antipsikotik), beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna
non psikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi
intensitas dan karakteristiknya yang berbahaya (Davison, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian, terapi kognitif terbukti secara
signifikan menurunkan simtom psikiatri dan tampaknya menjadi
alternatif yang aman dan dapat diterima bagi orang-orang dengan
gangguan spektrum skizofrenia yang telah memilih untuk tidak
mengkonsumsi obat-obatan antipsikotik (Morrison dkk, 2014).
14
BAB II
CONTOH KASUS
Hana Alfikih - Talkshow Kick Andy MetroTV
Hana Al Fikih terlahir sebagai penyandang Skizofrenia. Wanita yang gemar
melukis ini sering mendapatkan halusinasi berupa sosok hitam besar yang
menyeramkan disertai bisikan-bisikan. Selain itu ia kerap dihantui rasa putus asa
yang berujung pada keinginannya untuk selalu mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri. Ketakutan yang diderita hana dapat dipicu oleh bermacam hal, bahkan
hal-hal kecil pun seperti langkah kaki orang tuanya dapat menjadi pemicu
ketakutan dan kegelisahannya.
Hana memiliki kebiasaan merekam keadaan dirinya melalui webcam
dilaptop-nya ketika sedang kambuh. Dengan alasan, disaat dia dalam keadaan
sadar, dia ingin mengetahui gambaran dirinya sendiri dan apa yang terjadi pada
saat itu. Dia sering terharu melihat dirinya sendiri.
Sempat menjadi gelandangan karena kelakuannya yang aneh-aneh
menyebabkan dirinya diusir dari rumah, sampai mengharuskan dia mengamen dan
hidup dijalanan. Sampai saat ini pun Hana mengakui masih trauma dan masih
sering mendapatkan bisikan-bisikan, suara gemuruh, dan seperti ada yang
mengintai dirinya ketika dirinya berada dirumah. Hal itu lah yang menyebabkan
dia jarang berada dirumah dan tinggal sendiri.
Namun kini semua itu menjadi cerita masa lalu. Mahasiswi jurusan
periklanan salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu sudah mulai pulih.
Hana Al Fikih yang sejak Sekolah Dasar menderita Skyzophrenia. Dia mulai
mencari-cari cara untuk mengurangi kegelisahannya itu dengan menggambar dan
menulis.
Hana yang sekarang berprofesi sebagai freelance designer ini semakin
percaya diri untuk tampil, bergaul dengan orang banyak. Hana terus berkarya dan
dia bercita-cita untuk dapat memamerkan karya-karyanya kepada masyarakat
luas.
15
BAB III
PEMBAHASAN (ANALISIS KASUS)
1. Kaitan Dengan Teori
Sesuai dengan teori mengenai skizofrenia yang telah diuraikan
sebelumnya yaitu berdasarkan gejala-gejala skizofrenia yang mengacu pada
PPDGJ III dan DSM V, Hana Alfikih termasuk dalam individu yang
mengalami gangguan kejiwaan skizofrenia, dan termasuk ke dalam tipe
skizofrenia paranoid. Hana mulai merasakan gejala-gejala skizofrenia sejak
kecil dan mengalami fase akut ketika Hana duduk di bangku SMP.
Berdasarkan penjelasan dari Hana, skizofrenia yang ia alami disebabkan oleh
trauma yang pernah ia alami dan menimbulkan stres , Hal tersebut sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa salah satu faktor penyebabskizofrenia
adalas stres psikososial.
2. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnostik berdasrkan PPDGJ III & DSM V:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
a. -Thought echo: isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya. (tidak dialami Hana)
- Thought insertion or with drawal: isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion), atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal). (Hana merasa
pikirannya sering dipengaruhi oleh bisikan-bisikan tanpa bisa ia
kendalikan)
-Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.(tidak dialami Hana)
16
b. – Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar. (tidak dialami Hana)
– Delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar. (tidak dialami Hana)
– Dellusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar (Hana memiliki
Delusi bahwa ia bisa berubah menjadi sesuatu tanpa bisa ia
kendalikan)
– Delusional perception:pengalaman indrawi yang tidak wajaryang
bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau
mukjizat. (tidak dialami Hana)
c. Halusinasi auditorik
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien. (Hana Sering mengalami halusinasi auditorik
berupa mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya takut)
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri, (tidak
dialami Hana)
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
tidak dialami Hana)
d. Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain.).
(tidak dialami Hana)
Atau paling sedikit ada dua gejala dibawah ini:
- Halusinasi yang menetap pada panca indera. (Hana Sering
berhalusinasi Melihat bayangan Hitam Besar yang selalu
mengintai ketika berada di rumah orangtuanya)
17
- Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan. (tidak dialami
Hana)
- Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh-gelisah, posturing,
negativisme, mutisme,dan stupor. (Hana sering marah dan sedih
secara tidak terkendali)
- Gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial. (karena depresi yang ia alami , Hana sering
menarik diri dari pergaulan sosial)
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik
prodromal). (Hana mengalami gejala-gejala itu sejak SD dan mulai
mengalami fase akut saat SMP / lebih dari sebulan)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut
dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial (Hana mengalami
perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek tsb)
Skizofrenia paranoid
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia (Kriteria umum
terpenuhi)
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit, mendengung, atau bunyi tawa. (Hana sering berhalusinasi
mendengar bisikan –bisikan)
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi
18
jarang menonjol. (Halusinasi berupa bayangan hitam hanya
dilihat Hana ketika ia berada di rumah orang tuanya)
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas. (saat kambuh Hana
selalu yakin merasa dipengaruki oleh bisikan dan selalu diintai)
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relative tidak nyata / tidak menonjol. ( meskipun sering
mengalami gangguan afektif/ mood, tapi ia tidak menunjukkan dorongan
kehendak atau katatonik)
3. Intervensi yang Mungkin Dilakukan
1. Terapi Obat
Individu dengan skizofrenia seperti Hana, perlu mendapatkan
terapi obat ketika ia mulai mengalami gejala-gejala psikotik yang
membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri, pengobatan
sangat diperlukan khususnya saat Hana ada mengalami fase akut
untuk menghilangkan gejala positif (halusinasi, delusi,gangguan
berpikir)
2. Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi
Keluarga dari Individu dengan Skizofrenia seperti Hana, harus
memperoleh edukasi mengenai penanganan , perlakuan & pengobatan
yang tepat untuk anggota keluarganya yang menderita skizofrenia.
Anggota keluarga juga harus mengurangi ekspresi emosi agar anggota
keluarganya yang mengalami skizofrenia dapat segera memperoleh
kesembuhan dan tidak kambuh kembali ketika kondisinya sudah mulai
membaik.
3. Terapi Kognitif-Behavioral (Cognitive Behavioral Theraphy)
19
Individu dengan skizofrenia seperti Hana, perlu mendapatkan
terapi berbasis kognitif –perilaku seperti terapi personal dan terapi
reatribusi agar individu tersebut dapat menemukan strategi coping
yang tepat untuk menghadapi stres yang sangat mungkin akan ia alami
ketika kembali berada di masyarakat serta untuk membatunya
mengubah persepsinya terhadap halusinasi dan delusi yang mungkin
akan ia alami kembali.
4. Art Theraphy
Melalui terapi seni, hana dapat mengembangkan bakatnya. Hana
yang sekarang berprofesi sebagai freelance designer ini semakin
percaya diri untuk tampil, bergaul dengan orang banyak. Hana terus
berkarya dan dia bercita-cita untuk dapat memamerkan karya-
karyanya kepada masyarakat luas.
Di samping terapi-terapi tersebut, individu dengan skizofrenia
yang sudah melewati fase akut dan ada di fase stabil perlu
mendapatkan terapi okupasional (kegiatan untuk mengisi waktu) dan
terapi/rehabilitasi vokasional (untuk melatih keterampilan kerja
tertentu yang dapat digunakan pasien untuk mencari nafkah).
Bagi penderita skizofrenia dan keluarga yang memiliki anggota
keluarga penderita skizofrenia dapat bergabung dengan komunitas
dapat dijadikan tempat saling berbagi dan saling memberikan
dukungan, diantaranya seperti Komunitas Peduli Skizofrenia
Indonesia (KPSI).
20