tugas makalah akhir 1412201204 farradina

Upload: farradina-choria-suci

Post on 18-Oct-2015

116 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • APLIKASI MEMBRAN DALAM BIDANG KESEHATAN

    BAHAN DAN MODUL MEMBRAN UNTUK

    PROSES DIALISIS PASIEN GAGAL GINJAL

    2013

    PASCASARJANA KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBERSURABAYA

    Dosen : Nurul Widiastuti, M.Si., Ph.D.

    Disusun oleh :

    Farradina Choria Suci

    1412201204

  • 2 KIMIA MEMBRAN SK092222

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Permasalahan dalam bidang kesehatan di Indonesia yang setiap tahunnya masih

    memiliki prevalensi sangat tinggi adalah kasus gagal ginjal. Jumlah penderita gagal ginjal di

    Indonesia semakin meningkat, WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan

    penderita gagal ginjal antara tahun 1995 - 2025 sebesar 41,4%. Menurut konsultan ginjal dan

    hipertensi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya dan RSU Dr Sutomo, Dr

    Djoko Santoso Sp PD-KGH, PhD, meski belum dilakukan survei secara nasional, tetapi

    berdasarkan perbandingan data dengan negara lain yakni Amerika Serikat kasus gagal ginjal

    di Indonesia terhitung tinggi (republika online, 2008).

    Ginjal merupakan organ ekskresi pada makhluk hidup yang berfungsi untuk

    menyaring limbah terutama urea dan zat-zat berlebihan dalam darah, serta menjaga agar

    tetap seimbang. Adapun limbah dan zat-zat berlebihan tersebut dikeluarkan dalam bentuk

    urin. Jika kerja ginjal mengalami penurunan kemampuan untuk menyaring limbah, maka

    limbah yang berbahaya bisa terakumulasi dan susunan kimiawi darah kemungkinan tidak

    seimbang, sehingga menyebabkan penyakit ginjal (Suwitra, 2009).

    Penyakit ginjal atau gagal ginjal disebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi),

    penggunaan obat-obat yang toksik terhadap ginjal, gangguan aliran darah ke ginjal, penyakit

    kronis seperti diabetes dan hipertensi. Selain itu makanan yang mengandung pewarna tekstil,

    formalin, boraks, penyedap, dan pemanis buatan juga dapat memicu terjadinya gagal ginjal

    (Spiritia, 2012). Salah satu penanganan akibat penyakit ginjal dapat dilakukan dengan

    dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

    Hemodialisis merupakan proses pembersihan darah melalui lapisan semi permeable

    ke dalam dialisat dengan menggunakan ginjal buatan (dialyzer), dari zat-zat yang

    konsentrasinya berlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut

    dalam darah, seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarutnya yaitu air atau serum darah

    (Klein, 1976). Pada proses dialisis molekul kecil seperti urea, keratin, glukosa, dan ion yang

    berukuran kurang lebih 12 kDa mampu melewati membran dengan mudah, sedangkan sel

    darah merah, sel darah putih, trombosit, albumin yang berukuran 66 kDa ditahan oleh

  • 3 KIMIA MEMBRAN SK092222

    membran dialisis. Oleh karena itu, membran yang digunakan dalam proses hemodialisis

    memiliki range ukuran pori 12 kDa sampai 66 kDa (Barzin, 2004).

    Membran dialisis yang digunakan harus memiliki sifat permeabilitas tinggi untuk zat

    terlarut, permeabilitas air yang tinggi, keseimbangan antara permeabilitas zat terlarut dan air,

    kekuatan mekanik yang memadai dalam keadaan basah, steril, dan biokompatibilitas optimal

    (Sakai, 1994). Biokompatibilitas optimal yakni kombinasi antara bahan membran yang

    bersifat hidrofilik dan hidrofobik. Untuk menghasilkan permeabilitas hidrolik tinggi

    membran harus memiliki porositas tinggi, adapun dalam mencapai fluks zat terlarut tinggi

    maka membran harus memiliki lapisan tipis yang aktif untuk pemisahan (Stamatialis, 2008).

    Membran dialisis telah banyak mengalami perkembangan dalam variasi penggunaan

    material penyusunnya. Membran selulosa merupakan material membran dialisis yang

    pertama kali digunakan secara komersial. Membran selulosa banyak digunakan untuk

    hemodialisis karena struktur hidrogel dan ketebalan yang sangat efektif menyerap zat terlarut

    kecil seperti urea dan kreatinin. Namun, membran ini mampu menahan molekul besar yang

    seharusnya tertahan, selain itu ketika kontak dengan darah gugus hidroksi (-OH) pada

    selulosa mampu mengaktifkan komplemen dalam darah ketika melewati membran dan pori

    yang dihasilkan berstruktur simetri. Sehingga perlu dilakukan modifikasi membran selulosa

    dengan melakukan pendekatan pada perubahan struktur material, agar diperoleh membran

    selulosa yang lebih bagus. Hal yang dilakukan yakni dengan mengganti kelompok hidrofilik

    pada selulosa (gugus hidroksil, OH) oleh kelompok benzil atau asetat. Adanya gugus

    tersebut mampu untuk menghambat aktivasi komplemen dalam darah sehingga modifikasi

    ini mengalami perbaikan material dibandingkan dengan selulosa tanpa modifikasi (Hoenich,

    1995). Pada penelitian Hoenich (1995) telah dilakukan penelitian selulosa klasik dan

    selulosa termodifikasi yang dibandingkan dengan membran sintetik. Adapun aktivasi

    komplemen tinggi untuk membran selulosa klasik dibandingkan membran selulosa

    termodifikasi dan membran sintetik, ini dikarenakan pada membran selulosa termodifikasi

    adanya penggantian gugus hidroksil menyebabkan penurunan aktivasi komplemen sehingga

    lebih biokompatibilitas daripada membran selulosa klasik. Hoenich (1997) juga melakukan

    penggantian gugus selulosa dengan benzil atau asetat yang dilapisi dengan polietilen glikol

    (PEG) atau vitamin C. Penambahan PEG pada membran selulosa asetat menghasilkan pori

    asimetri. Berat molekul PEG yang ditambahkan berpengaruh pada pori, apabila berat PEG

  • 4 KIMIA MEMBRAN SK092222

    besar maka laju difusi pembentukan inti berjalan lambat sehingga menghambat

    pembentukan pori. Karena membran selulosa termodifikasi kurang biokompatibel, maka

    dikembangkan membran sintetik yang memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik.

    Bahan membran sintetik kemudian dikembangkan untuk membuat material membran

    hemodialisis yang memiliki sifat biokompatibel baik dalam darah. Membran sintetik

    biasanya dibuat dari kopolimer hidrofilik seperti polietilena vinil alkohol (PVA) atau

    poliakrilonitril (AN69), serta campuran hidrofilik yakni polimer hidrofobik yang memiliki

    Tg tinggi seperti polisulfon (PSf), poliarileter sulfon (PES, PAES) dicampur dengan polimer

    hidrofilik seperti polivinil pirolidon (PVP) atau poliamida alifatik/aromatik (Ronco, 2003).

    Pada membran dialisis sintetik berbahan polimer harus memiliki morfologi yang

    tepat, karena akan mempengarui sifat biokompatibel dalam darah. Membran yang berasal

    dari PSf dan PVP memiliki sifat biokompatibilitas yang bagus dan pori asimetri dengan

    permukaan lapisan dalam bersifat hidrofilik dan bagian luar bersifat hidrofobik (H, 2003).

    Banyaknya PVP yang ditambahkan dapat meningkatkan biokompatibilitas membran. Pada

    membran PES memiliki kelarutan yang lebih baik dibandingkan PSf. Kelarutan PES dapat

    ditingkatkan dan biokompatibilitas juga dapat meningkat dengan penambahan PVP (Barzin,

    2004). Membran PES+PVP mempunyai struktur lapis ganda dengan lapisan bagian dalam

    hidrofilik dan bagian luar benar-benar hidrofobik yang berukuran kecil. Hal ini juga sama

    pada membran PEPA dan PVP, dimana terdapat lapisan hidrofilik dan hidrofobik. Campuran

    membran PEPA dan PVP memiliki keuntungan untuk blocking endotoksik (Et) dari cairan

    dialisat yang berbahaya apabila masuk dalam darah. (Hayama, 2003). Kemudian pada

    modifikasi membran PES dengan asam sitrat yang dicangkokkan poliuretenaa (PU) memiliki

    biokompatibilitas yang baik. Penambahan asam sitrat sebagai anti koagulan sangat baik

    dalam bidang pemurnian darah seperti pada proses hemodialisis.(Li, 2012). Dalam hal ini

    pemilihan bahan membran yang sesuai merupakan faktor penting dalam hemodialisis.

    Modul membran dialisis yang pertama kali digunakan berupa modul flat plate dan

    frame yang mengandung lembaran dari membran cellophane dan cuprophane (Hoenich,

    1996). Namun modul ini memiliki sifat mekanik yang kurang bagus, sehingga mulai

    digunakan modul hollow fiber. Pemilihan modul yang tepat akan mempengaruhi kinerja

    membran dalam proses hemodialisis.

  • 5 KIMIA MEMBRAN SK092222

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ginjal

    Ginjal merupakan organ ekskresi pada makhluk hidup yang berfungsi untuk

    mengekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan

    keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi berbagai hormon. Adapun produksi zat sisa

    metabolisme oleh orang sehat per harinya ditunjukkan pada Tabel 1 (Stamatialis, 2008).

    Tabel 1. Produksi zat sisa metabolisme oleh orang sehat per harinya

    Komponen Konsentrasi ( gram/hari)

    Air 1500

    Urea 30

    Kreatinin 0,6

    Asam Urat 0,9

    Sodium, Na+ 5

    Klorin, Cl- 10

    Kalium, K+ 2,2

    Kalsium, Ca2+

    0,2

    Fosfat, PO43-

    3,7

    HSO4- 8,2

    Fenol Hanya sedikit

    Pada orang dewasa, ukuran rata-rata ginjal, yakni memiliki panjang sekitar 12 sampai

    13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), dengan ketebalan 2,5 cm (1 inci), dan

    beratnya sekitar 150 gram (Suwitra, 2009). Di dalam tubuh manusia, darah melewati ginjal

    sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc fitrat

    glomerular per menitnya. Laju glomerular ini sering digunakan untuk melakukan tes

    terhadap fungsi ginjal (tes GFR atau glomerular filtration rate). Selain tes GFR, juga

    terdapat tes untuk mengetahui penanda fungsi ginjal yakni tes BUN (Blood Urea Nitrogen).

    Ginjal merupakan bagian penting dari proses metabolisme tubuh, apabila kerja ginjal

    mengalami penurunan kemampuan untuk menyaring limbah, maka limbah yang berbahaya

    bisa terakumulasi dan susunan kimiawi darah kemungkinan tidak seimbang, sehingga

    menyebabkan penyakit ginjal (Suwitra, 2009). Penyakit ginjal atau gagal ginjal disebabkan

    tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), penggunaan obat-obat yang toksik terhadap ginjal,

  • 6 KIMIA MEMBRAN SK092222

    gangguan aliran darah ke ginjal, penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi. Selain itu

    makanan yang mengandung pewarna tekstil, formalin, boraks, penyedap, dan pemanis

    buatan juga dapat memicu terjadinya gagal ginjal (Spiritia, 2012). Umumnya penderita gagal

    ginjal memiliki bentuk ginjal yang rusak dengan ukuran lebih keci, seperti ditunjukkan pada

    Gambar 1.

    Gambar 1. (a). Ginjal sehat dan (b) ginjal sakit

    Pengobatan akibat gagal ginjal ini dapat dilakukan melalui transplantasi ginjal atau

    terapi pengganti fungsi ginjal yang dikenal dengan dialisis (Suwitra, 2006). Transplantasi

    ginjal yang sehat dari donor merupakan cara terbaik dalam pengobatan. Namun, hal ini

    jarang dilakukan karena terbatasnya ketersediaan organ tubuh manusia (Stamatialis, 2008).

    Oleh karena itu dialisis merupakan langkah efektif untuk pengobatan ginjal. Dialisis terbagi

    menjadi dua yakni hemodialisis dan dialisis peritoneal, dimana untuk hemodialisis

    menggunakan ginjal buatan (dialyzer) yang berfungsi sebagai membran semi permeable,

    sedangkan pada dialisis peritoneal menggunakan membran peritoneum sebagai filter untuk

    menyaring sisa-sisa metabolisme. Metode tersebut memiliki perbedaan yang menguntungkan

    dan merugikan, pada Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara metode hemodialisis dan

    dialisis peritoneal.

    Tabel 2. Perbandingan antara hemodialisis dan dialisis peritoneal

    Hemodialisis Dialisis Peritoneal

    Efisien Kurang efisien

    Masa dialisa 4 jam tiap proses, dialisa cukup

    dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu

    minggu

    Masa dialisa empat kali per hari, masing-

    masing mengambil 30-60 menit (continuous

    ambulatory peritoneal dialisis/CAPD) atau

    8-10 jam setiap malam (automated

    peritoneal dialisis/APD)

    a

    .

    b

    .

  • 7 KIMIA MEMBRAN SK092222

    2-3 hari antara perlakuan Beberapa jam antara perlakuan

    Membutuhkan kunjungan ke rumah sakit

    (perawatan dapat dilakukan di rumah

    mungkin bagi beberapa pasien)

    Perawatan dilakukan di rumah dan dapat

    dilakukan sendiri

    Membutuhkan sirkulasi vena memadai

    untuk akses ke vaskular

    Membutuhkan rongga peritoneum utuh

    tanpa bekas luka besar dari operasi

    sebelumnya

    Terdapat pembatasan dalam diet dan cairan Diet dan cairan kurang dibatasi

    Pemindahan cairan dikompresi menjadi

    periode pengobatan, dapat menyebabkan

    gejala komplikasi dan ketidakstabilan

    hemodinamik

    Lambat pemindahan cairan terus menerus ,

    biasanya tanpa gejala komplikasi

    Dapat terjadi infeksi yang berhubungan

    dengan akses vaskuler

    Dapat terjadi infeksi peritonitis dan kateter

    Pasien yang sampai batas tertentu

    tergantung pada orang lain

    Pasien dapat mengambil tanggung jawab

    penuh untuk pengobatannya

    Sumber : healthwise, 2011; dan Khanna,1986

    Adapun resiko terjadinya kematian pada kedua metode dialisis tersebut menurut studi

    observasional menunjukkan bahwa risiko kematian pada pengobatan dialisis peritoneal lebih

    rendah dibandingkan dengan hemodialisis, hal ini untuk pasien dialisis peritoneal dalam 2

    tahun pertama terapi. Namun setelah 2 tahun pertama, resiko kematian kedua metode

    tersebut menjadi mirip,atau bahkan agak lebih baik pada pasien hemodialisis (Vonesh, dkk

    (2006); Mc Donald, dkk (2009); Termorshuizen dkk, (2003)). Dengan demikian pengobatan

    dengan hemodialisis masih tergolong efektif dan efisien untuk digunakan saat ini.

    2.2 Dialisis

    Dialisis adalah proses perpindahan molekul terlarut dari suatu campuran larutan yang

    terjadi akibat difusi pada membran semi-permeabel, proses dialisis ini menggunakan gaya

    penggerak berupa perbedaan konsentrasi. Pada proses dialisis, molekul terlarut yang

    berukuran lebih kecil dari pori-pori membran tersebut dapat keluar, sedangkan molekul

    lainnya yang lebih besar akan tertahan di dalam kantung membran. Pada proses dialisis, laju

    difusi ditentukan oleh beberapa kondisi :

  • 8 KIMIA MEMBRAN SK092222

    a. Konsentrasi molekul pelarut yang akan keluar dari kantung dialisis.

    Jika konsentrasi molekul terlarut di lingkungan lebih kecil dibandingkan dengan

    yang ada di dalam kantung dialisis, maka laju difusi akan semakin cepat.

    b. Luas permukaan kantung dialisis.

    Semakin luas permukaan membran yang digunakan maka laju difusi semakin cepat.

    c. Volume pelarut.

    Jika rasio luas permukaan membran dengan volume pelarut besar, maka laju difusi

    akan berlangsung dengan cepat karena molekul terlarut dapat berdifusi dalam jarak

    yang dekat

    Hemodialisis merupakan proses dialisis yang terjadi dalam darah, dimana terjadi

    proses perpindahan molekul terlarut dari suatu campuran larutan yang berdifusi melewati

    membran semi permeable ke dalam suatu dialisat. Pada proses dialisis molekul kecil seperti

    air, urea, keratin, glukosa, dan ion yang berukuran kurang lebih dari 12 kDa mampu

    melewati membran dengan mudah, sedangkan sel darah merah, sel darah putih, trombosit,

    albumin yang berukuran 66 kDa ditahan oleh membran dialisis (Barzin, 2004). Hemodialisis

    berfungsi membuang produk sisa metabolisme seperti potassium dan urea dari darah dengan

    menggunakan mesin dialiser.

    Prinsip dari hemodialisis yakni perpindahan zat terlarut dari dalam darah ke cairan

    dialisat atau sebaliknya, melalui suatu membran semi permeable. Cairan dialisat merupakan

    cairan steril yang berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sesuai dengan kandungan

    darah normal, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Cairan dialisat ini mengalir berlawanan

    arah dengan extracorporeal sirkuit untuk meningkatkan efektifitas dialisis.

    Gambar 2. Komposisi dan konsentrasi elektrolit dalam cairan dialisat

  • 9 KIMIA MEMBRAN SK092222

    Adapun proses yang terjadi saat hemodialisis yakni darah dipompa keluar dari tubuh

    lalu masuk kedalam mesin dializer untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi

    dan ultrafiltrasi oleh cairan dialisat. Pada proses difusi, adanya perbedaan konsentrasi racun

    dalam darah dengan cairan dialisat akan berperan penting sebagai gaya penggeraknya.

    Semakin besar beda konsentrasi racun dalam darah dan cairan dialisat, maka proses difusi

    akan semakin cepat terjadi. Selain itu untuk memisahkan zat yang terlarut dalam darah

    digunakan prinsip ultrafiltrasi. Gaya penggerak (driving force) yang digunakan pada

    ultrafiltrasi adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan dialyzer. Tekanan di

    dalam ruang dialisat (dialyzer) lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah,

    sehingga cairan limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui

    membran dan masuk ke dalam dialisat. Jika kedua proses telah berada pada keadaan

    setimbang maka didapatkan darah yang bersih, kemudian darah tersebut dialirkan kembali ke

    dalam tubuh (Stamatialis, 2008). Adapun proses hemodialisis ditunjukkan pada Gambar 3.

    Gambar 3. Kerja membran pada proses hemodialisis

    Pada proses hemodialisis, peralatan yang memiliki peran paling penting adalah ginjal

    buatan atau membran dialyzer. Membran ini berperan menggantikan fungsi ginjal yang tidak

    dapat berfungsi pada penderita gagal ginjal. Membran dialyzer ini harus dirancang

    sedemikian rupa sehingga menyerupai basal membran glomerulus. Membran dialyzer dapat

    dibuat dari beberapa bahan seperti selulosa, selulosa tersubtitusi, selulo sintetik dan polimer

    buatan, dimana bahan-bahan tersebut ada yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik.

  • 10 KIMIA MEMBRAN SK092222

    2.3 Membran untuk dialisis

    2.3.1 Karakteristik membran dialisis

    Membran yang digunakan dalam proses dialisis harus memiliki karakteristik tertentu,

    sebab membran tersebut akan berkontak langsung dengan darah pasien yang harus

    dimurnikan. Inilah yang menyebabkan faktor biokompatibilitas darah dengan bahan menjadi

    hal yang penting. Menurut Vienken (2002), telah diperkirakan untuk pasien yang menjalani

    dialisis selama 15 tahun, maka darah akan memiliki kontak dengan permukaan membran

    sekitar 4000 m2. Oleh karena itu, membran diharuskan tidak memiliki dampak klinis bagi

    pasien dan secara umum dapat dilihat dari lima parameter biokompatibilitas dibawah ini

    (Klinkmann, 1994), yaitu materi harus memiliki :

    1. Thrombogenicity rendah dan potensi koagulasi

    2. Stimulasi rendah dari sistem kekebalan tubuh (aktivitas komplemen/aktivasi sel)

    3. Tidak ada alergi atau reaksi hipersensitivitas

    4. Tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan pasien

    5. Tidak ada pengaruh hemodinamik (permukaan yang bermuatan negatif dapat

    merangsang kontak fasa koagulasi).

    Adapun karakteristik optimum dari membran dialisis antara lain (Strathmann, 1990; Krause,

    2003; Broek, 1992) :

    1. Biokompatibilitas optimal merupakan kombinasi dari hidrofilik atau hidrofobik

    2. Lapisan pemisahan aktif sebaiknya tipis agar fluks larutan tinggi

    3. Porositas tinggi agar dihasilkan permeabilitas hidrolik tinggi

    4. Distribusi ukuran pori sempit agar molecular weight cut-off (MWCO) meningkat.

    5. Difusi tidak bisa kembali dari dialisat ke darah

    6. Kekasaran permukaan minimum untuk mengurangi interaksi dengan komponen

    darah

    7. Stabilitas mekanik yang bagus untuk menahan tekanan

    8. Stabilitas kimia dan termal bagus agar dapat bertahan saat proses sterilisasi

    berlangsung.

    Selain beberapa karakteristik diatas membran juga harus memiliki harga rendah dengan

    kualitas optimum, hal ini unuk menekan harga untuk proses terapi dialisis (Sakai, 1994).

  • 11 KIMIA MEMBRAN SK092222

    2.3.2 Material membran dialisis

    Material membran yang digunakan dalam dialisis menurut bahan penyusunnya

    terbagi menjadi dua bagian yaitu material membran selulosa dan material membran sintetik.

    Adapun pengelompokkan material membran ditunjukkan pada Tabel 3 (Hoenich, 2004):

    Tabel 3. Pengelompokkan material membran

    Selulosa klasik Diproduksi oleh proses regenerasi Cellulosa

    Cuprophane

    Modifikasi selulosa Gugus hidroksil pada molekul selulosa

    diubah selama proses manufaktur

    dengan gugus lain

    Hemophan

    Excerban

    SMC

    Selulosa asetat (CA)

    Selulosa triasetat (CTA)

    Selulosa modifikasi PEG

    Membran Sintetik Bersifat hidrofilik atau dapat juga

    bersifat hidrofilik melalui

    pencampuran atau proses manufaktur

    Etilena vinil alcohol

    Polisulfon (PSf)

    Polietersulfon (PES)

    Poliamida

    Poliakrilonitril (AN69)

    Polimetilmetakrilat

    (PMMA)

    Poloariletersulfon (PAES)

    Poliamik

    1. Material membran selulosa

    Membran selulosa merupakan material membran dialisis yang pertama kali

    digunakan secara komersial hingga tahun 1960. Saat itu membran selulosa banyak

    digunakan untuk hemodialisis karena struktur hidrogel dan ketebalan yang sangat efektif

    menyerap zat terlarut kecil seperti urea dan kreatinin (Stamatialis, 2008). Akan tetapi

    kemudian diketahui bahwa membran ini mampu menurunkan konsentrasi molekul besar

    yang seharusnya tertahan, selain itu ketika kontak dengan darah gugus hidroksi (-OH) pada

    selulosa mampu mengaktifkan komplemen dalam darah ketika melewati membran dan pori

    yang dihasilkan berstruktur simetri. Sehingga perlu dilakukan modifikasi membran selulosa

    dengan melakukan pendekatan pada perubahan struktur material, agar diperoleh membran

    selulosa yang lebih bagus. Hal yang dilakukan yakni dengan mengganti kelompok hidrofilik

    pada selulosa (gugus hidroksil, OH) oleh kelompok benzil atau asetat. Adanya gugus

    tersebut mampu untuk menghambat aktivasi komplemen dalam darah sehingga modifikasi

  • 12 KIMIA MEMBRAN SK092222

    ini mengalami perbaikan material dibandingkan dengan selulosa tanpa modifikasi

    (Hoenich,dkk, 1995).

    Pada penelitian Hoenich,dkk (1995) telah dilakukan penelitian selulosa klasik dan

    selulosa termodifikasi yang dibandingkan dengan membran sintetik. Untuk selulosa klasik

    yang digunakan yakni Cuprophan, sedangkan untuk selulosa termodifikasi yakni gugus

    hidroksil diganti dengan gugus lain seperti dietilaminoetil (Hemophan), asetat (CA); triasetat

    (CTA); 2-5,acetate (Diaphen). Membran selulosa klasik dan selulosa termodifikasi tersebut

    selanjutnya dibandingkan dengan membran sintetik polisulfon. Untuk menentukan

    biokompatibilitas, maka dua faktor yang harus diuji adalah aktivasi komplemen dan

    neutropenia. Adapun aktivasi komplemen tinggi untuk membran selulosa klasik

    dibandingkan membran selulosa termodifikasi dan membran sintetik, ini dikarenakan pada

    membran selulosa termodifikasi adanya penggantian gugus hidroksil menyebabkan

    penurunan aktivasi komplemen sehingga lebih biokompatibilitas daripada membran selulosa

    klasik. Pada membran selulosa termodifikasi dan membran sintetik dalam penelitian ini

    menghasilkan struktur yang simetri. Struktur simetri ini memiliki kelemahan yakni kurang

    selektif dalam melewatkan molekul yang akan dihilangkan. Oleh karena itu harus dibentuk

    struktur pori asimetri yang lebih selektif untuk melewatkan molekul yang akan dihilangkan

    dan memiliki kekuatan mekanik yang baik. Perbedaan pori simetri dan asimetri membran

    ditunjukkan pada Gambar 4. Membran dialisis asimetri memiliki lapisan dalam dan luar

    yang mempengaruhi permeabilitas dan selektivitas tinggi.

    Gambar 4. Perbandingan membran simetri (a) dan membran asimetri (b)

    Penelitian tentang efek dari perbedaan berat molekul PEG yang ditambahkan dalam

    selulosa asetat sehingga membentuk struktur asimetri dilakukan oleh Idris dan Yet (2006).

  • 13 KIMIA MEMBRAN SK092222

    Penambahan PEG mampu untuk meningkatkan sifat hidrofilik dari membran. Variasi berat

    molekul PEG yang digunakan adalah 200, 400, 600, dimana variasi tersebut mempengaruhi

    kualitas membran untuk menghilangkan urea. Penambahan PEG 200 menghasilkan

    membran yang baik untuk penghilangan urea dengan permeabilitas urea tinggi. Akan tetapi

    pada berat molekul PEG sebesar 600, tidak mengalami kenaikan hasil pengurangan urea,

    dikarenakan terjadi peningkatan viskositas dobe dan penurunan susunan dinding makrovoid.

    Meskipun bentuk makrovoid masih berupa struktur asimetri namun struktur tersebut menjadi

    lebih padat dan tebal. Hal itu disebabkan laju difusi molekul aditif (PEG) lebih rendah

    daripada pelarut. Adapun rasio asam asetat/PEG juga berpengaruh terhadap penghilangan

    urea. Konsentrasi PEG kurang dari 5% sangat baik untuk meningkatkan penghilangan urea,

    namun berbeda dengan konsentrasi PEG yang tinggi, dimana PEG lebih dari 10%

    menyebabkan pembentukan inti berlangsung lambat dibandingkan dengan difusi non pelarut

    dalam larutan polimer. Jumlah penambahan PEG yang tinggi dapat meningkatkan viskositas

    larutan sehingga menyebabkan penghambatan pembentukan struktur seperti spon (spongy).

    Selanjutnya penelitian tentang penambahan aditif selain PEG juga dilakukan oleh

    Idris (2008), dimana selulosa asetat ditambahkan MSG untuk membentuk struktur asimetri

    dan mengamati kinerjanya dalam menghilangkan kandungan urea. MSG ini memiliki

    karakteristik yang sama dengan PEG karena bersifat sangat hidofilik. Variasi berat molekul

    MSG yang digunakan adalah 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, dan 8%, dimana variasi

    tersebut akan berpengaruh pada kinerja membran untuk menghilangkan kandungan urea.

    Peningkatan MSG pada larutan dope mampu meningkatkan kinerja membran dialisis dalam

    penghilangn urea. Sehingga hal ini benar bahwa MSG merupakan aditif sangat hidrofilik dan

    berperan dalam mengubah kinerja membran. Pada saat penambahan MSG 2% terlihat

    adanya pembentukan makrovoid, sedangkan pada MSG 4% dan 6% struktur makrovoid

    menghilang dan terjadi pembentukan struktur seperti jari. Berbeda pada MSG dengan berat

    molekul lebih dari 6% dimana struktur seperti jari menghilang sehingga kandungan urea

    tidak berkurang. Pada MSG kurang dari 6% telah terjadi mekanisme transit inversi fasa dari

    demixing tertunda ke demixing sesaat, menyebabkan pembentukan makrovoid dan struktur

    jari. Sebaliknya ketika MSG lebih dari 6% terjadi proses demixing tertunda dan membentuk

    struktur spon padat. Kejadian makrovoid ini dapat dijelaskan dengan teori nukleasi, dimana

    pembentukan makrovoid didominasi oleh rasio masuknya koagulan cair (non pelarut) dan

  • 14 KIMIA MEMBRAN SK092222

    masuknya pelarut dari casting larutan ke dalam non pelarut dalam larutan casting. Ada

    kemungkinan bahwa MSG dalam larutan mempromosikan pembentukan inti dengan

    konsentrasi pelarut tinggi. Dengan demikian, ukuran dan jumlah makrovoid meningkat

    sebagai jumlah MSG dalam larutan casting meningkat. Namun, ketika konsentrasi aditif

    terlalu tinggi, viskositas larutan dope meningkat. Oleh karena itu, ketika konsentrasi aditif

    lebih dari 6 % maka masuknya pelarut dari larutan polimer ke dalam non pelarut menurun.

    Tidak adanya inti dengan konsentrasi pelarut tinggi menyebabkan terbentuk struktur seperti

    spon. Hasil ini menunjukkan bahwa makrovoid menguntungkan dalam proses dialisis seperti

    yang ditunjukkan oleh kenaikan penghilang kandungan urea.

    2. Mateial membran sintetik

    Material membran sintetik memiliki sifat biokompatibel baik dalam darah dan

    memiliki pori asimetris, sehingga lebih baik dibandingkan membran selulosa. Membran

    sintetik biasanya dibuat dari kopolimer hidrofilik seperti polietilena vinil alkohol (PVA) atau

    poliakrilonitril (AN69), serta campuran hidrofilik yakni polimer hidrofobik yang memiliki

    Tg tinggi seperti polisulfon (PSf), poliariletersulfon (PES, PAES) dicampur dengan polimer

    hidrofilik seperti polivinil pirolidon (PVP) atau poliamida alifatik/aromatik (Ronco, 2003).

    Polimer hidrofobik dengan Tg tinggi membuat sifat mekanik dan ketahanan membran lebih

    bagus (Stamatialis, 2008).

    Membran dialisis sintetik berbahan polimer harus memiliki morfologi yang tepat,

    karena akan mempengarui sifat biokompatibel dalam darah. Membran yang berasal dari PSf

    dan PVP memiliki sifat biokompatibilitas yang bagus dan pori asimetri dengan permukaan

    lapisan dalam bersifat hidrofilik dan bagian luar bersifat hidrofobik. Adanya kombinasi dua

    lapisan tersebut membuat membran ini lebih selektif dalam memisahkan senyawa-senyawa

    terlarut dan senyawa yang tertahan pada membran (Hayama, 2003).

    Gambar 5. Membran asimetrik dengan kombinasi dua lapisan

  • 15 KIMIA MEMBRAN SK092222

    Banyaknya PVP yang ditambahkan dapat meningkatkan biokompatibilitas membran.

    Pada membran PES memiliki kelarutan yang lebih baik dibandingkan PSf. Kelarutan PES

    dapat ditingkatkan dan biokompatibilitas juga dapat meningkat dengan penambahan PVP

    (Barzin, 2004). Membran PES+PVP mempunyai struktur lapis ganda dengan lapisan bagian

    dalam hidrofilik dan bagian luar benar-benar hidrofobik yang berukuran kecil. Pada

    PES/PVP sebesar 18/6 dibandingkan dengan PES/PVP sebesar 18/3, maka adanya

    peningkatan PVP membuat struktur pori lebih sempit dan muncul struktur makroskopik pada

    lapisan aktif membran yakni ditemukan di lapisan bagian dalam. Hal inilah yang

    menyebabkan adanya peningkatan kelarutan PES.

    Dalam proses hemodialisis penting untuk memperhatikan kandungan dalam cairan

    dialisat. Adanya kandungan endotoksik (Et) dari cairan dialisat perlu untuk dihilangkan,

    sebab apabila kontak dalam darah maka dapat menimbulkan gangguan pembuluh darah.

    Stuktur pori membran PEPA bersifat hidrofobik dan struktur pori membran PVP bersifat

    hidrofilik. Struktur pori membran PEPA dengan penambahan PVP mampu membentuk

    struktur membran yang sesuai untuk bloking endotoksik. Membran dialisis yang sesuai

    untuk bloking Et dengan memiliki permeabilitas difusi tinggi dan hemokompatibilitas tinggi

    yakni harus mempunyai struktur lapis ganda dimana lapisan bagian dalam bersifat hidrofilik

    dan bagian luar hidrofobik yang berukuran kecil. Hal ini dikarenakan sifat yang bagus untuk

    bloking Et adalah bersifat hidrofobik dengan ukuran pori lebih sempit dan struktur pori yang

    homogen. Oleh karena itu, perpaduan antara membran PEPA dan PVP ini efektif untuk

    menghilangkan kandungan endotoksik (Et). Adapun struktur membran dialisis yang sesuai

    untuk bloking Et ditunjukkan pada Gambar 6 (Hayama, 2003).

    Gambar 6. Struktur tampang lintang membran dialisis yang sesuai untuk bloking Et.

  • 16 KIMIA MEMBRAN SK092222

    Hal penting yang harus diperhatikan agar membran dialisis memiliki

    biokompatibilitas yang bagus yakni adanya anti koagulan, sehingga kemurnian darah lebih

    baik. Anti koagulan yang biasanya digunakan dalam hemodialisis adalah heparin. Seiring

    dengan perkembangan modifikasi membran sintetik, beberapa jenis membran polimer

    seperti polisulfon, poliuretena, dan poliakrilonitril dapat menurunkan kerja heparin.

    Penelitian Li (2012) menggunakan anti koagulan sebagai tambahan dalam membran dialisis,

    adapun anti koagulan yang digunakan adalah asam sitrat (CA). Dalam penelitian tersebut

    asam sitrat akan dicangkokkan pada poliuretena (PU) sebagai aditif anti koagulan untuk

    kemudian berinteraksi dengan membran PES. Pada pencampuran PU-CA pada permukaan

    membran PES menunjukkan adanya gugus karboksil yang merupakan hasil dari

    pencangkokkan PU-CA. Rantai PU yang bersifat hidrofobik ini mampu untuk mengalami

    penurunan migrasi menjadi rantai hidrofilik ketika berinteraksi dengan PES. Secara umum

    ketika campuran terdiri dari hidrofilik dan hidrofobik dalam proses pemisahan fasa pada

    kondisi berair, maka komponen hidrofilik dengan energi permukaan yang lebih tinggi akan

    berinteraksi ke antarmuka polimer-air karena energi antarmuka rendah antara komponen

    hidrofilik dan air. Fenomena agregasi spontan pada permukaan ini merupakan pendekatan

    praktis untuk mendapatkan membran berpori dalam jumlah besar dalam kasus ini merupakan

    kelompok gugus karboksil yang muncul pada permukaan. Selain itu pencampuran secara

    efektif PU-CA dalam membran PES mampu meningkatkan kepadatan pori, diameter pori,

    serta ukuran pori dan distribusi ukuran pori homogen.

    Penelitian Li (2012) juga menjelaskan secara rinci kemampuan campuran PES/PU-

    CA yang sangat kompatibel untuk membran dialisis. Untuk mengevaluasi kompatibilitas

    membran, adsorpsi protein pada membran diukur sebagai salah satu faktor penting. Banyak

    faktor yang mempengaruhi interaksi antara permukaan membran dan protein, seperti muatan

    permukaan, kekasaran permukaan, permukaan energi bebas, struktur topologi, lingkungan

    (misalnya pH, konsentrasi garam, kekuatan ion, dan suhu), dan karakter protein. Hasil

    menunjukkan bahwa pencampuran kopolimer (PU-CA) mampu menekan adsorpsi protein,

    ini disebabkan akibat adanya fenomena migrasi permukaan seperti dalam penjelasan

    sebelumnya. Selain itu adhesi dan aktivasi trombosit juga diuji dengan uji in vitro adhesi

    platelet, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa membran dimodifikasi memiliki

    aktivasi platelet yang lebih rendah dan meningkatkan kompatibilitas darah. Adhesi trombosit

  • 17 KIMIA MEMBRAN SK092222

    secara signifikan menurun dan aktivasi platelet ditekan dengan kenaikan pencampuran

    kopolimer pada membran. Adhesi platelet pada membran dimodifikasi disebabkan oleh asam

    sitrat dalam kopolimer dan adsorpsi protein yang rendah. Kemudian pada uji adsorpsi

    kalsium menunjukkan aktivitas anti koagulan yang baik, dimana asam sitrat yang

    dicangkokkan pada PU dapat mengikat kalsium dalam darah, sehingga dapat

    memperpanjang waktu pembekuan darah. Pada uji compatibility yakni uji yang dilakukan

    untuk biokompatibilitas hati buatan menunjukkan bahwa, kopolimer PU-CA dapat

    mempromosikan hepatosit untuk berkumpul dan membentuk bola agregat multiseluler

    (spheroids), adanya spheroid hepatosit ini mampu untuk mempertahankan fungsi khusus hati

    dan kinerjanya dapat optimal dalam jangka waktu yang panjang. Membran PES dengan

    campuran aditif PU-CA ini menunjukkan kinerja yang baik sebagai membran dialisis dan

    memiliki potensi yang sangat baik dalam bidang biomedia untuk pendukung hati buatan.

    2.3.3 Modul dan proses sintesis membran dialisis

    Modul membran dialisis yang digunakan pertama kali berupa modul flat plate dan

    frame yang mengandung lembaran dari membran cellophane dan cuprophane. Namun

    membran tersebut memiliki sifat mekanik kurang bagus, sehingga dikembangkan membran

    dengan modul hollow fiber. Modul hallow fiber memiliki panjang 30 cm dan berisi ribuan

    serat sampai 15.000 dengan luas permukaan 2,2 m2. Serat memiliki diameter dalam 180-220

    m dan ketebalan dinding antara 20-50 m (Stamatialis, 2008). Untuk menghasilkan

    distribusi dialisat merata digunakan serat bergelombang. Bentuk bergelombang ini bertujuan

    untuk mencegah kemasan memadat dan menjaga agar sirkulasi dialisat optimal. Sirkulasi

    darah dan dialisa berlawanan sehingga dapat memaksimumkan gaya dorong dari zat yang

    akan dihilangkan. Elemen yang penting dari modul adalah potting dan housing. Material

    yang digunakan untuk potting adalah poliuretena. Material potting berfungsi untuk

    menyatukan membran dengan housing. Untuk housing material harus transparan, stabilitas

    mekanik yang bagus dan stabil apabila disterilisasi secara pemanasan maupun secara radiasi.

    Selain itu bahan harus inert dan tidak berinteraksi dengan darah atau dialisat. Bahan yang

    umum digunakan untuk housing terbuat dari polikarbonat atau polipropilen dengan injection

    molding.

  • 18 KIMIA MEMBRAN SK092222

    Membran hollow fiber dapat disintesis dengan berbagai metode antara lain :

    1. Spinning lelehan

    Sintesis membran hollow fiber dengan metode ini yaitu memompa polimer dengan

    kecepatan konstan menggunakan tekanan tinggi ke spinneret, kemudian polimer cair

    yang keluar dari spineret dibiarkan mengalir di udara dan mengeras hingga

    membentuk serat.

    2. Spinning basah

    Metode ini umumnya digunakan untuk larutan polimer yang kental. Setelah larutan

    polimer keluar dari spineret larutan dimasukkan ke dalam larutan yang dapat

    menggumpalkan polimer.

    3. Spinning kering

    Metode spinning kering dilakukan dengan membuat larutan polimer menggunakan

    pelarut yang volatil, kemudian setelah keluar dari spineret pelarut diuapkan di udara

    atau gas inert pada tekanan atmosfer.

    4. Gabungan spinning basah-kering.

    Metode spinning basah-kering digunakan pada larutan polimer yang kental, bebas

    gas, serta telah disaring dan ditekan ke alat spineret. Pada bagian dalam membran

    yang keluar dari spineret distabilkan oleh cairan penggumpal internal setelah itu

    dilakukan penggumpalan eksternal dengan air.

    Penelitian Barzin (2004) telah dijelaskan mengenai kinerja membran hemodialisis

    PES-PVP hollow fiber yang dibuat dengan metode spinning basah-kering dapat ditingkatkan

    fluks air dan MWCO dengan pemanasan pada saat preparasi membran. Sintesis hollow fiber

    dilakukan dengan pemanasan dalam air panas (T=95C) dan pemanasan di udara (T=150C).

    Kekasaran pada permukaan membran di bagian dalam, berkurang setelah perlakuan panas,

    hal ini menyebabkan berkurangnya interaksi dengan komponen darah sehingga presentase

    pemisahan meningkat. Adapun permukaan paling halus diperoleh setelah pemanasan di

    udara (T=150C). Kekasaran permukaan membran di bagian dalam dipengaruhi juga oleh

    konsentrasi PVP. Pada konsentrasi PVP tinngi menyebabkan nodul membentuk bintik

    agregat, sedangkan konsentrasi PVP rendah menyebabkna nodul tidak membentuk agregat,

    sehingga kekasaran menurun. Untuk kekasaran pada permukaan membran di bagian luar

    juga menurun akibat perlakuan panas. Dalam hal ini PVP juga mempengaruhi kekasaran,

  • 19 KIMIA MEMBRAN SK092222

    dimana pada permukaan luar adanya kenaikan konsentrasi PVP mengakibatkan kekasaran

    menurun. Pada membran PES/PVP ini nilai MWCO sebelum perlakuan panas adalah lebih

    dari 200 kDa. Setelah pemanasan dalam air panas (T=95C) MWCO menurun drastis,

    sedangkan pemanasan di udara (T=150C) MWCO menurun menjadi 45-35 kDa.

    Berdasarkan hasil MWCO yang didapatkan maka membran hollow fiber PES/PVP dengan

    pemanasan di udara (T=150C), cocok untuk hemodialisis karena molekul yang akan

    dihilangkan kurang dari 12 kDa dan molekul yang ditahan 66 kDa. Distribusi pori pada

    membran hollow fiber sebelum perlakuan panas dan setelah perlakuan dalam air panas

    menghasilkan distribusi pori yang luas sedangkan perlakuan panas di udara menghasilkan

    distribusi pori yang sempit.

    Liao (2005) melakukan karakterisasi membran PES, PS, PAES, CTA dengan modul

    hollow fiber untuk mengetahui permeabilitas hidrolik, permeabilitas difusi zat terlarut, dan

    koefisien refleksi zat terlarut. Membran PES menghasilkan permeabilitas hidrolik 4,5 kali

    lebih besar dari membran CTA, sedangkan membran PAES dan PS berada diantara nilai

    membran PES dan CTA. Perbedaan permeabilitas hidrolik ini dikarenakan perbedaan

    porositas yang merupakan fungsi dari ukuran pori, kepadatan pori, dan ketebalan membran.

    Permeabilitas difusi membran PES paling tinggi, sedangkan membran PAES memiliki nilai

    terendah. Hal ini dikarenakan permeabilitas difusi adalah rasio membran difusivitas dengan

    panjang jalur difusi, beberapa perbedaan permeabilitas dapat dijelaskan oleh perbedaan

    dalam ketebalan dinding membran serat berlubang. Adapun koefisien reflaksi merupakan

    sifar intrinsik dari membran, dimana PAES memiliki nilai terbesar, nilai ini berhubungan

    dengan besarnya penolakan asimptotic koefisien inulin.

  • 20 KIMIA MEMBRAN SK092222

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    Hemodialisis merupakan pengobatan penderita ginjal yang efektif dan efisien untuk

    digunakan saat ini. Pada proses hemodialisis pembersihan darah dilakukan melalui membran

    dengan menggunakan ginjal buatan (dialyzer), dimana zat-zat yang konsentrasinya

    berlebihan di dalam tubuh akan dihilangkan. Membran yang digunakan dalam hemodialisis

    memiliki syarat antara lain :

    1. biokompatibilitas optimal merupakan kombinasi dari hidrofilik atau hidrofobik

    2. lapisan pemisahan aktif sebaiknya tipis agar fluks larutan tinggi

    3. porositas tinggi agar dihasilkan permeabilitas hidrolik tinggi

    4. distribusi ukuran pori sempit agar molecular weight cut-off (MWCO) meningkat

    5. difusi tidak bisa kembali dari dialisat ke darah

    6. kekasaran permukaan minimum untuk mengurangi interaksi dengan komponen

    darah

    7. stabilitas mekanik yang bagus untuk menahan tekanan

    8. stabilitas kimia dan termal bagus agar dapat bertahan saat proses sterilisasi.

    Membran sintetik merupakan material yang tepat untuk digunakan dalam

    hemodialisis karena dapat mengkombinasi polimer yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik,

    sehingga memiliki biokompatibilitas yang optimum. Secara umum perbandingan sifat

    membran selulosa dan membran sintetik ditunjukkan pada Tabel 4.

    Tabel 4. Perbandingan sifat membran selulosa dan membran sintetik

    No Sifat Selulosa Sintetik

    1 Biokompatibilitas

    2 Fluks larutan tinggi

    3 Porositas kecil

    4 Distribusi ukuran pori sempit

    5 Stabilitas mekanik

    6 Stabilitas kimia

    Keterangan : : Kurang baik

    : Sedang

    : Baik

  • 21 KIMIA MEMBRAN SK092222

    Material membran yang tepat dan komersial untuk digunakan dalam hemodialisis

    adalah membran PES dengan kopolimer PU-CA. Hal ini dikarenakan pada pencampuran

    PU-CA pada permukaan membran PES menunjukkan adanya gugus karboksil yang

    merupakan hasil dari pencangkokkan PU-CA. Rantai PU yang bersifat hidrofobik ini mampu

    untuk mengalamai penurunan migrasi menjadi rantai hidrofilik ketika berinteraksi dengan

    PES. Secara umum ketika campuran terdiri dari hidrofilik dan hidrofobik dalam proses

    pemisahan fasa pada kondisi berair, maka komponen hidrofilik dengan energi permukaan

    yang lebih tinggi akan berinteraksi ke antarmuka polimer-air karena energi antarmuka

    rendah antara komponen hidrofilik dan air. Fenomena agregasi spontan pada permukaan ini

    merupakan pendekatan praktis untuk mendapatkan membran berpori dalam jumlah besar

    dalam kasus ini merupakan kelompok gugus karboksil yang muncul pada permukaan. Selain

    itu pencampuran secara efektif PU-CA dalam membran PES mampu meningkatkan

    kepadatan pori, diameter pori, serta ukuran pori dan distribusi ukuran pori homogen. Selain

    itu pencampuran kopolimer (PU-CA) mampu menekan adsorpsi protein dan memiliki

    aktivitas anti koagulan yang baik, dimana asam sitrat yang dicangkokkan pada PU dapat

    mengikat kalsium dalam darah, sehingga dapat memperpanjang waktu pembekuan darah.

    Pada uji compatibility yakni uji yang dilakukan untuk biokompatibilitas hati buatan

    menunjukkan bahwa, kopolimer PU-CA dapat mempromosikan hepatosit untuk berkumpul

    dan membentuk bola agregat multiseluler (spheroids), adanya spheroid hepatosit ini mampu

    untuk mempertahankan fungsi khusus hati dan kinerjanya dapat optimal dalam jangka waktu

    yang panjang. Membran PES dengan campuran aditif PU-CA ini menunjukkan kinerja yang

    baik sebagai membran hemodialisis dan memiliki potensi yang sangat baik dalam bidang

    biomedia untuk pendukung hati buatan. Penjelasan diatas tersebut yang menyebabkan

    material PES dengan kopolimer PU-CA efektif untuk digunakan secara luas.

    Modul membran yang tepat untuk hemodialisis adalah membran hollow fiber dengan

    metode gabungan spinning basah-kering menggunakan sistem koagulasi dua bath, sehingga

    efektif untuk menghasilkan distribusi ukuran pori yang sempit.

    3.2 Saran

    Dalam perkembangan membran selanjutnya perlu untuk dilakukan adsorpsi p-kresol

    sebagai proses pelengkap hemodialisis. P-kresol merupakan zat terlarut yang terikat pada

  • 22 KIMIA MEMBRAN SK092222

    protein dan tidak dapat dihilangkan secara efektif dengan sistem hemodialisis. Zat ini bila

    menumpuk dan tidak dihilangkan dalam tubuh pasien maka akan menyebabkan syndrome

    uremia. Telah dilakukan penelitian oleh Veronique Wernert (2006) dimana adsorpsi p-

    kresol dilakukan dalam berbagai membran dan zeolit, dimana diperoleh hasil sebagai

    berikut.

    1. Kinetika adsorpsi p-kresol ke membran lebih lambat dibandingkan dengan zeolit silikalit.

    Waktu yang diperlukan untuk mencapai 90 % dari konsentrasi kesetimbangan adalah

    sekitar 2 menit untuk zeolit silikalit dan lebih dari 3 jam untuk membran dialisis

    2. Adsorpsi p-kresol ke semua membran (adsorpsi maksimum < 37 mg.g-1 ) yang relatif

    rendah dibandingkan dengan zeolit silikalit (adsorpsi maksimum 106 mg.g-1

    )

    3. Adsorpsi dengan adsorben mikro dapat menjadi cara baru untuk menghilangkan racun

    uremik dari darah

    4. Zeolit menjanjikan adsorben alternatif untuk racun uremik karena selektivitasnya tinggi,

    sehingga racun uremik dapat difilter dengan hemodialisis dan adsorpsi

    Berdasarkan hal tersebut diatas, maka setelah membran dilakukan proses hemodialisis,

    meskipun membran yang digunakan berbeda namun diakhir proses dilakukan adsorpsi

    p-kresol dengan material zeolit silikat. Hal ini dilakukan mengingat p-kresol tidak dapat

    dipisahkan dari protein dan tidak dapat dihilangkan secara efektif dalam hemodialisis.

  • 23 KIMIA MEMBRAN SK092222

    DAFTAR PUSTAKA

    1. A.P. Broek, H.A. Teunis, D. Bargeman, E.D. Sprengers, C.A. Smolders,

    Characterization of Hollow Fiber Hemodialysis Membranes: Pore Size Distribution and

    Performance, J. Membr. Sci. 73 (23) (1992) 143.

    2. B. Krause, M. Storr, T. Ertl, R. Buck, H. Hildwein, R. Deppisch, H. Gohl, Polymeric

    Membranes for Medical Applications, Chem. Ingenieur Tech. 75 (11) (2003) 1725.

    3. Barzin, J., 2004, Characterization Of Polyethersulfone Hemodialysis Membrane By

    Ultrafiltration And Atomic Force Microscopy, Journal Of Membrane Science, Vol. 237,

    Hal. 7785

    4. C. Ronco, C. Crepaldi, A. Brendolan, L. Bragantini,V. dIntini, P. Inguaggiato, M.

    Bonello, B. Krause, R. Deppisch, H. Goehl, A. Scabardi, Evolution of Synthetic

    Membranes for Blood Purification: The Case of the Polyflux Family, Nephrol. Dial.

    Transplant. 18 (Suppl. 7) (2003).

    5. E. Klein., F.F. Holland, A. Lebeouf, A. Donnaud and J.K. Smith., Transport and

    Mechanical Properties of Hemodialysis Hollow Fiber,J. Membrane Sci. I (1976)371-396.

    6. H. Klinkmann, U. Baurmeister, A.M. Davison, The Consensus Conference on

    Biocompatibility: a Contribution to the Solution of the Biocompatibility Puzzle, Nephrol.

    Dial. Transplant. 9 (Suppl. 2) (1994) 12.

    7. H. Strathmann, H. Gohl, in: H. Klinkmann, L. Smeby (Eds.), Membranes for Blood

    Purification: State of the Art and New Developments. Terminal Renal Failure:

    Therapeutic Problems, Possibilities and Potentials, vol. 78, Kanger, S., Basel, 1990, pp.

    119141.

    8. Hana, Abu. 2013. Laboratorium normal. diakses dalam http://spiritia.or.id, berita pada 15

    Mei 2013.

    9. Hayama, M. Takeheiro Miyasaka, Seiichi Mochizuki, Hiroko Asahara, Ken-ichro

    Yamamoto, Fukashi Kohori, Katsuhiko Tsujioka, Kiyotaka Sakai, 2003,Optimum

    Dialysis Membrane For Endotoxin Blocking, Journal Of Membrane Science, Vol. 219,

    Hal 1525

  • 24 KIMIA MEMBRAN SK092222

    10. Healthwise, 2011, Hemodialysis Compared Peritoneal Dialysis,

    http://www.colonrectalhealth.com/health-library/hwview.php?DOCHWID=aa9474,

    berita pada 15 September 2011.

    11. Idris dan Yet, 2006, The Effect Of Different Molecular Weight Peg Additives On

    Cellulose Acetate Asymmetric Dialysis Membrane Performance, Journal Of Membrane

    Science, Vol. 280, Hal. 920927

    12. Idris,A., Chan Mieow Kee, Iqbal Ahmed., 2008, Effect of Monosodium Glutamate

    Additive on Performance of Dialysis Membrane, Journal of Engineering Science and

    Technology, Vol. 3, No. 2, Hal. 172-179.

    13. J. Vienken, Polymers in Nephrology: Characteristics and Needs, Int. J. Artif. Organs 25

    (5) (2002) 470.

    14. Ketut Suwitra . Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Dalam:

    Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting. Jilid 1. Edisi V. Jakarta. FK UI 2009:

    1035-7.

    15. Khanna, Ramesh and Oreopoulos, DG. 1986. Dialysis : Continous Ambulatory

    Peritoneal Dialysis and Haemodialysis. Clinics in Endocrinology and Metabolism-Vol.

    15, No.4.

    16. Li, Lulu., Cheng, C., Xiang, T., Tang, M., Zhao, W., Sun, S., Zhao, C., 2012,

    Modification pf Polyethersulfone Hemodialysis Membrane by Blending Citric Acid

    Grafted Polyurethane and its Anticoagulan Activity, Journal of Membrane Science, Vol.

    405-406, Hal. 261-274.

    17. Liao, Zhijie., Elias Klein, Churn K.P., Zhongping Huang., Junfeng Lu., Peter A.H.,

    Dayong Gao., 2005, Measurement of hollow fiber membrane transport properties in

    hemodialyzers, Journal of Membrane Science., Vol. 256, Hal. 176-183.

    18. McDonald SP, Marshall MR, Johnson DW, et al. Relationship between dialysis modality

    and mortality. J Am Soc Nephrol 2009;20:155163.

    19. N.A. Hoenich, 2004, Update on the Biocompatibility of Hemodialysis Membranes,

    Hong Kong J Nephrol . Vol. 6, No 2, Hal 74-78.

    20. N.A. Hoenich, C. Ronco, in: J. Winchester, K. Koch, C. Jacobs, C. Kjiellestrand (Eds.),

    1996, Replacement of Renal Function by Dialysis, Kluwer Academic, Dordrecht, pp.

    256270.

  • 25 KIMIA MEMBRAN SK092222

    21. N.A. Hoenich, C. Woffindin, S. Stamp, S.J. Roberts, J. Turnbull, Synthetically Modified

    Cellulose: an Alternative to Synthetic Membranes for use in Haemodialysis?

    Biomaterials, 18 (19) (1997) 12991303.

    22. N.A. Hoenich, C.Woffindin, J.N.S. Mathews, J. Vienken, Biocompatibilityof membranes

    used in the treatment of renal failure, Biomaterials 16 (8) (1995) 587.

    23. Republika. 2013. Kasus gagal ginjal di Indonesia tinggi. diakses dalam

    http://www.republika.co.id, berita Jumat, 19 Desember 2008.

    24. Sakai, K., 1994, Determination of pore size and pore size distribution dialysis membrane,

    Journal Membrane of Science, Vol. 96, Hal 91-130

    25. Stamatialis, D.F., 2008, Medical Applications Of Membranes: Drug Delivery, Artificial

    Organs And Tissue Engineering, Journal Of Membrane Science, Vol. 308, Hal. 134

    26. Suwitra, Ketut. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,

    Edisi IV, Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 581-584

    27. Termorshuizen F, Korevaar JC, Dekker FW, et al. Hemodialysis and peritoneal dialysis:

    comparison of adjusted mortality rates according to the duration of dialysis: analysis of

    The Netherlands Cooperative Study on the Adequacy of Dialysis 2. J Am Soc Nephrol

    2003;14:28512860.

    28. Vonesh EF, Snyder JJ, Foley RN, et al. Mortality studies comparing peritoneal dialysis

    and hemodialysis: what do they tell us? Kidney Int Suppl 2006;103:S3S11.