tugas kelompok sistem peradilan pidana

64
TUGAS KELOMPOK II UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Disusun Oleh : ARIE WINARDI (P0902212010) M. AKRAM (P0902212013) RESKY ANDRY ANANDA (P0902212019) MUSAKKIR (P0902212023) RAHMAT (P0902212024) DIAN REZKY AUGUSMI TAJUDDIN (P0902212015) ANDI AFDHALIAH SRI HAYATI (P0902212016) SYAHRAENI HARDIYANI ARSAM (P0902212021) MATA KULIAH SISTEM PERADILAM PIDANA KONSENTRASI HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

Upload: maryunita-yusmar

Post on 28-Oct-2015

152 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

TUGAS KELOMPOK II

UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM

PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Disusun Oleh :

ARIE WINARDI (P0902212010)M. AKRAM (P0902212013)RESKY ANDRY ANANDA (P0902212019)MUSAKKIR (P0902212023)RAHMAT (P0902212024)DIAN REZKY AUGUSMI TAJUDDIN (P0902212015)ANDI AFDHALIAH SRI HAYATI (P0902212016)SYAHRAENI HARDIYANI ARSAM (P0902212021)

MATA KULIAH SISTEM PERADILAM PIDANA

KONSENTRASI HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

HALAMAN JUDUL

UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM

PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Diajukan Oleh :

KELOMPOK II

ARIE WINARDI (P0902212010)M. AKRAM (P0902212013)RESKY ANDRY ANANDA (P0902212019)MUSAKKIR (P0902212023)RAHMAT (P0902212024)DIAN REZKY AUGUSMI TAJUDDIN (P0902212015)ANDI AFDHALIAH SRI HAYATI (P0902212016)SYAHRAENI HARDIYANI ARSAM (P0902212021)

Dosen :

Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H.

MATA KULIAH SISTEM PERADILAN PIDANA

KONSENTRASI HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

i

Page 3: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

KATA PENGANTAR

Kami pertama-tama mengucapkan puji syukur pada Tuhan Yang

Maha Kuasa yang selalu memberikan berkat dan kekuatan serta

kecerdasan pada kami untuk menyelesaikan tugas ini.

Kami juga bersyukur dengan kemajuan teknologi saat ini sehingga

kami dapat menemukan berbagai referensi yang mendukung pembuatan

tugas kami ini baik melalui internet maupun pemberitaan yang sedang

hangat di media elektronik lainnya.

Tugas ini dapat kami selesaikan atas hasil pemikiran – pemikiran

dari anggota kami masing-masing sehingga dapat kami rampungkan

dalam sebuah tulisan yang ada sekarang ini.

Dengan kerendahan hati, kami selaku penulis dari makalah ini

mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan yang

menjauhkannya dari kesempurnaan, hal ini karena keterbatasan kami

sebagai manusia biasa yang hanya bias terus berusaha untuk melakukan

yang terbaik dan memaksimalkan apa yang diberikan oleh Tuhan Yang

Maha Kuasa.

Demikian atas semua bantuannya kami mengucapkan terima kasih.

Makassar, 11 April 2013

Penulis

ii

Page 4: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

ABSTRAK

Kelompok II Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Konsentrasi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin : UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA, di bawah bimbingan dosen Prof. Dr. Andi Sofyan, SH.,MH.

Penelitian ini adalah kajian sosiologis empiris yang bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya apa sajakah yang dapat ditempuh untuk menghilangkan kecenderungan bolak-nalik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana.

Penelitian ini dilakukan melalui konstruksi pemikiran yang didasarkan pada materi-materi yang dirangkum dari berbagai macam referensi yang ada baik berupa buku-buku maupun dari media internet yang dikaji secara mendalam dengan lebih memandang masalah dari sudut pandang sosiologis.

Dari penelitian yang dilakukan, maka diperoleh temuan bahwa ; Upaya-upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam menangani masalah bolak-balik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana di Indonesia antara lain :1. Merealisasikan surat edaran Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni

membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.

2. Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proes pemeriksaannya sendiri.

Kata kunci : Praperadilan, pemeriksaan, Sistem Peradilan pidana.

iii

Page 5: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

ABSTRAK ................................................................................................ iii

DAFTAR ISI ............................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan ............................................ 1

B. Rumusan Masalah .............................................................. 4

C. Kerangka Pikir...................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum mengenai Sistem Peradilan Pidana ...... 6

B. Model – Model Sistem Peradilan Pidana ............................ 11

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 23

B. Metode Analisis Data .......................................................... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Permasalahan Pemeriksaan dalam Sistem Peradilan Pidana

di Indonesia ........................................................................ 25

B. Upaya hukum Praperadilan................................................. 32

C. Misi dalam Mencapai Tujuan Sistem Peradilan Pidana yang

Efisien Dan Lebih Maksimal dalam Menyelesaikan

Permasalahan Pidana......................................................... 33

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 35

B. Saran .................................................................................. 36

DAFTAR PUSTAKA

iv

Page 6: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar

dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Baik

dalam tataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak

mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian

hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan,

demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi,

pada sisi yang lain akan bisa berakibat pada dikorbankannya nilai

kepastian hukum.

Dalam literatur, penegakan hukum pidana melalui pendekatan

sistem dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana. Secara umum

sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya

beberapa lembaga penegak hukum melalui sebuah mekanisme yang

meliputi kegiatan bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang

dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.

Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya tahap yang satu

tidak boleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu bekerja di

dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan

subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara

satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja

1

Page 7: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

komponen-komponen fungsi yang masing-masing harus berhubungan dan

bekerja sama. Sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey berkaitan dengan

hal ini yaitu bahwa :

“Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness” 1.

Jadi adanya fragmentasi dalam arti masing-masing fungsi bekerja

sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-

subsistem yang ada harus dicegah bilamana akan dibangun suatu sistem

peradilan pidana yang efektif. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan

konsep “Integrated Approach” dari Hiroshi Ishikawa yang antara lain

menegaskan bahwa komponen-komponen fungsi itu walaupun fungsinya

berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri (diversity) tetapi harus

mempunyai suatu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan

suatu kekuatan yang utuh ( unity ), yang saling mengikat.

Hiroshi Ishikawa dalam hal ini menyatakan bahwa:

“Criminal justice agencies including the police, prosecution, judiciary institution should be compared with a chain of gears, and each of them should be precise and tenacious in maintaining good combination with each other”2

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh

pakar hukum pidana dan para ahli dalam “criminal justice science” di

1 M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi ( Diskresi Kepolisian ), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991, hl. 25.

2 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hl. 49.

2

Page 8: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja

aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan

pada pendekatan hukum dan ketertiban, yang sangat menggantungkan

keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi

kerja organisasi kepolisian. Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata

menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun

prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang

optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi

sebaliknya.

Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang

memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui

pendekatan sistem (system approach) dan gagasan mengenani sistem ini

terdapat dalam laporan Pilot Proyek Tahun 1958. Gagasan ini kemudian

dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi

nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan

disebarluaskan oleh The President’s Crime Commision3.

Diagram skematik “Criminal Justice System” telah disusun oleh The

Commision’s Task force on Science and Technology di bawah pimpinan

Alfred Blumstein. Sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan

pendekatan manajerial dengan bertopang pada pendekatan sistem

terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat itu dalam

penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan

3 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan pidana ( Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme ), Bandung: Binacipta, 1996, hl. 8.

3

Page 9: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum

dan ketertiban. Melalui pendekatan sistem ini kepolisian, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri

sendiri melainkan masing-masing merupakan unsur penting dan berkaitan

erat satu sama lain4.

Sistem peradilan pidana yang terpadu atau yang dikenal dengan

istilah integrated criminal justice system memerlukan berbagai

persyaratan untuk mewujudkannya. Mengacu pada unsur-unsur sistem,

maka keterpaduan dalam sistem peradilan pidana memerlukan

sinkronisasi baik yang menyangkut struktur, substansi maupun kultur.

Berdasarkan uraian di atas, maka kami terdorong untuk berpikir kritis

tentang. Hal ini perlu dilakukan guna membantu dalam menentukan arah

kebijakan hukum pidana yang dapat ditempuh, utamanya dengan

pembaharuan hukum pidana (Konsep KUHP Baru).

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

permasalahan yang dapat dirumuskan adalah : Upaya apakah yang dapat

dilakukan untuk menghilangkan bolak-balik pemeriksaan dalam proses

peradilan pidana di indonesia?

4 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 1996, hl. 23.

4

Page 10: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

C. Kerangka Pikir

1

UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Bolak-balik pemeriksaan dalam proses penyelesaian perkara dalam peradilan pidana yang sering dialihkan pada keluarnya Surat Pemberitahuan Pemberhentian Penyidikan (SP3)

Proses Praperadilan dalam Peradilan Pidana

Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk menghilangkan o Merealisasikan surat edaran

Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.

o Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proses pemeriksaannya sendiri yang menyangkut seringnya bolak-balik pemeriksaan.

PembahasanBagaimana permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pemeriksaan mulai dari tahap pengadiuan di kepolisian sampai dengan tahap penyidikan oleh pihak kejaksaan serta bagaimana upaya untuk memeperbaiki serta merenkonstruksinya sistemnya

Page 11: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Mengenai Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari dua kata yaitu

“sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat

diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling

terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi,

pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical

system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk

mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-

gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain

saling ketergantungan5.

Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti

terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling

berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.

Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan

perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan

seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan

pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem

peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah

pencapaian keadilan bagi masyarakat.

5 Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hl. 41.

6

Page 12: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah

menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan

sistem.

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh

pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika

Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur

penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti

dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.

Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum

adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan

hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law

enforcement”.

Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di

Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal

Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di

Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement

officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang

digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System. Untuk

mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal

justice sistem, di bawah ini penulis mengutip beberapa pengertian sistem

peradilan pidana6, sebagai berikut :

6 HR. Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hl. 11

7

Page 13: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai

”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s

enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu

pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan

maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana.

Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum

oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan

fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.

2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai

pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi

peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem

merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,

praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian

sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang

dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan.

4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel,

hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi,

menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial.

8

Page 14: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan

kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau

criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan

sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang

dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana

merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial

lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi

segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan

kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan

nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang

sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak

pidana).

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu

proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat

sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum

substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan

pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in

abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.

Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan

pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan

pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan

yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan

9

Page 15: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan

kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi,

semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya

berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan

hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama

yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana,

sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme

sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan

hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di

samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum

acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency

principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat

ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order).

Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga

adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin

beratnya beban sistem peradilan pidana7. Hal ini bisa berkaitan dengan

berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan

pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada

pelaku tindak pidana.

B. Model-Model Sistem Peradilan Pidana

7 J.W. Lapatra, Analyzing the Criminal Justice Systems, Massachusetts: Lexinton Books, 1978, hlm. 86.

10

Page 16: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana.

Menurut Herbert L. Packer, Michael King dan J.W. Lapatra, berkembang

beberapa model sistem peradilan pidana dalam rangka penyelenggaraan

peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini

bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem

yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai

yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana

di berbagai negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam

penyelenggaraan peradilan pidana di tujuh model dalam proses

pemeriksaan perkara pidana Sebagai berikut :

1. Due Process Model

Sistem peradilan pidana dengan Due Process Model

menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang bagaimana

sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan atau sifat yang ada

dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-

hak terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk

diadili secara adil, persamaan di depan hukum dan peradilan.

Menurut Herbert Packer mengenai Due Process Model

memiliki ciri-ciri dengan selalu menganggap penting adanya refresif

kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus

ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt.

Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse)

dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah

menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan

11

Page 17: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

yang sama bagi setiap orang di depan hukum sehingga model ini

dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi

manusia.

Pada Due Process Model, sangat diperlukan peranan Bantuan

Hukum yang dalam hal ini ialah pengacara untuk mendampingi

tersangka sejak di tingkat penahanan, penangkapan, maupun

tentunya di pengadilan sehingga para tersangka merasa tenang

dalam pemeriksaan dan terhindar dari segala bentuk tekanan,

paksaan dan penyiksaan.

Kritik kami terhadap Due Process Model yaitu :

1. Due Proses Model memperkecil kesalahan karena selalu

berjalan di atas rel aturan, namun akan menimbulkan lebih

banyak korban. Hal ini karena polisi tidak bisa bertindak

sebelum putusan yang mengikat artinya kewenangan polisi

bersifat terbatas.

2. Due process model akan menyebabkan proses peradilan

menjadi lama dan biaya yang lebih mahal karena proses

peradilan yang wajar selalu mengikuti prosedur-prosedur dan

aturan-aturan yang ada karena kekuasaan yang dominan dalam

model ini adalah konstitusi.

3. Due process model lebih mementingkan hak terdakwa daripada

hak korban sehingga tidak dapat menciptakan keadilan yang

seimbang di antara keduanya.

12

Page 18: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

2. Crime Control Model

Seorang tokoh bernama Herbert Packer berpendapat bahwa

Crime Control Model merupakan model peradilan pidana yang

bertujuan untuk menekan angka kejahatan dengan memberikan

toleransi yang kecil, disini fungsi peradilan pidana adalah untuk

mengontrol dan mengawasi. Kelemahan dalam model ini bila

terdapat ketidakmampuan komponen-komponen dalam sistem

peradilan pidana dapat menimbulkan runtuhnya ketertiban umum

yang mengarah pada hilangnya ketenangan sosial yang penting

bagi kebebasan manusia. Proses peradilan yang terdapat dalam

model ini cenderung cepat dan efisien, penekanan lebih ditekankan

pada kecepatan dan penyelesaiannya. Dalam model peradilan

pidana ini asas yang berlaku adalah asa praduga bersalah, dimana

timbul dalam sistem peradilan pidana yang mempunyai prinsip

pembuktian secara ekstensif dan professional, oleh karena itu

setiap tersangka yang tertangkap dan telah dikenakan suatu

tuduhan maka ia pasti bersalah.

Kritik kami mengenai Crime Control Model berdasarkan

penjelasan diatas maka dalam praktiknya, pertama, crime control

model lebih mengutamakan profesionalisme pada aparat penegak

hukum untuk menyingkap, mencari dan menemukan pelaku tindak

pidana. Profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang

bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk

mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan

13

Page 19: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

cara-cara ilegal untuk tujuan cepat dan efisiensi. Sehingga untuk

menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan

kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas sehingga

aparat penegak hukum dapat bertindak semena-mena demi

mendapatkan kebenaran. Kedua, walaupun proses peradilan

sangat cepat dan efisien namun dalam kenyataannya bahwa Crime

Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang

manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia karena inti

dari Crime Control Model ini adalah Punishment (hukuman)

3. Medical Model

Medical Model adalah model sistem peradilan pidana dimana

yang terbaik dalam menghadapi para individu yang melanggar

hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui

pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasan untuk

memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada

lembaga kerja sosial.

Kritik kelompok kami mengenai model sistem peradilan ini

adalah pertama, Medical model merupakan sistem yang

mengutamakan rehabilitasi dan resosialisasi daripada penjatuhan

hukuman sehingga belum tentu atau bahkan tidak mungkin pelaku

tindak pidana akan langsung sadar dengan hanya rehabilitasi saja,

justru menurut saya pelaku kejahatan akan mengulangi

perbuatannya lagi (residivis). Kedua, medical model tidak dapat

14

Page 20: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

mengurangi pelaku kejahatan justru hanya akan menambah pelaku

kejahatan karena rehabilitasi belum tentu dapat menyadarkan

pelaku kejahatan dengan begitu saja tanpa dijatuhi sanksi pidana

terlebih dahulu.

4. Bureaucratic Model

Bureaucratic Model merupakan model sistem peradilan pidana

yang menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili,

ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin

efisien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi

suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah

dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela

berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan

menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan

pembuktian.

Bureaucratic Model, hanya berupaya menciptakan suatu

sistem hukum yang cepat dan efisien tanpa melihat tujuan hukum

yang sebenarnya bagi masyarakat. Bureaucratic model juga

mengeyampingkan hak-hak terdakwa.

5. Status Passage Model

Status Passage Model merupakan model yang menekankan

bahwa para pelanggar harus diadili di depan umum dan dijatuhi

hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan

pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman

15

Page 21: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

perlu untuk menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum

yang kebal dari masyarakat. Hukum publik dan ungkapan

pencelaan dalam rehabilitasi dapat menyebabkan perasaan malu

para pelanggar.

Status Passage Model ini lebih menonjolkan kepada

pencitraan buruk terhadap tersangka sehingga terkesan

menciptakan suasana hukum yang kurang kondusif untuk

perbaikan psikologi terdakwa. Terdakwa akan merasa tertekan dan

merasa tersingkir dari pergaulan masyarakat.

6. Power Model

Power Model adalah Sistem Peradilan  Pidana yang pada

dasarnya memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat

hukum dan sekaligus menerapkannya di masyarakat. Hukum

Pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan dari

golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin dan lain-lain.

Kritik Penulis terhadap Power Model bahwa dengan model ini

akan menciptakan hukum yang represif yaitu hukum yang

mengabdi kepada kekuasaan dan kepentingan pemerintah

sehingga kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat

yang diperintahkan. Akibat dari model ini antara lain :

a. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan

kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.

Kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan

16

Page 22: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

dimana mereka dapat memperoleh perlindungan bersifat

terbatas.

b. Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya

menjadi pusat kekuasaan yang bebas. Badan-badan

pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat

kekuasaan yang bebas. power model” terutama bertujuan

untuk memelihara dominasi klas-klas dalam masyarakat.

Tugas-tugas kepolisian juga didominasi memelihara sistem ini,

yang tidak jarang memungkinkan pengabaian hukum positif

formal, sepanjang hubungan yang seimbang antar klas sosial

tetap terjaga.

c. pemerintah lebih banyak menginterfensi para penegak hukum

sehingga penegakan hukum yang terlaksana tidak obyektif.

17

Page 23: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

7. Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)

Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)

merupakan model keadilan yang hakikatnya penjatuhan pidana

kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif dalam artian kepada

orang yang bersalah saja yang harus dijatuhi pidana. Kemudian

penjatuhan pidana tersebut haruslah sesuai dengan tingkat dan

bobot kesalahan yang dilakukannya. Berikutnya dalam menjalani

proses peradilan tersebut maka hak-hak dari terdakwa berupa asas

praduga tidak bersalah (presumption of innocence)  harus

dilindungi dan dijunjung tinggi serta juga bagi korban diberikan

ganti kerugian. Konkretnya, pelaku tindak pidana diwajibkan

memberi ganti kerugian kepada korban akibat dari tindak pidana

yang telah dilakukannya.

Sistem peradilan pidana dengan model yang dikemukakan

oleh Michael King ini sifatnya lebih “positivis” sehingga membuat

jarak dengan dimensi keadilan. Kedua, model tersebut bersifat

prosedural dimana yang dituju adalah bagaimana menekan tingkat

kejahatan, memprosesnya dan berusaha secepat mungkin diadili

dalam sidang pengadilan. Tindakan represif merupakan fungsi

terpenting dari proses peradilan, sehingga efisiensi penegak hukum

dalam menyeleksi tersangka, penetapan kesalahannya dan

perlindungan hak tersangka dari proses peradilan merupakan

tujuan utama. Konsekuensi logisnya maka proses penegakan

18

Page 24: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

hukum berlandaskan prinsip cepat (speedy), tuntas (finality), dan

efisien yang dapat menciptakan terjadinya banyak kesalahan dalam

proses persidangan.

Model SistemPeradilan Pidana Fungsi Sosial Ciri-Ciri

1. Due Process Model Justice (Keadilan)

1. Kesetaraan di depan hukum dan pengadilan

2. Melindungi hak-hak terdakwa

3. Kewenangan polisi dibatasi

4. Asas praduga tidak bersalah

2. Crime Control Model Punishment (Hukuman)

1. Mengabaikan kontrol hukum

2. Mengenyampingkan hak-hak terdakwa

3. Pengadilan yang cepat dan efisien

4. Kewenangan polisi luas

5. Asas praduga bersalah

3. Medical Model (diagnosis, prediction, and treatment selection)

Rehabilitation (Rehabilitasi)

1. Prosedur pengumpulan informasi

2. Individualisasi3. Pendekatan dengan

pengobatan4. Polisi leluasa

menggunakan diskresi5. Relaksasi aturan

formal

19

Page 25: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

4. Bureaucratic Model Management of Crime and Criminals

1. Bebas dari pertimbangan politik

2. Pengadilan yang cepat dan efisien

3. Minimalisasi konflik4. Minimalisasi biaya5. Pelaksanaan hukum

menjadi perhatian utama

5. Status Passage Model

Denunciation and Degradation

1. Pencelaan moral dari masyarakat terhadap terdakwa

2. Pengadilan mencerminkan nilai-nilai dalam masyrakat

3. Kewenangan polisi bersifat tidak dibatasi

6. Power Model Maintenance of class domination

1. Memperkuat peranan penguasa sebagai pembuat hukum

2. Keterasingan dan penindasan terhadap terdakwa

3. Memperhatikan pemeliharaan stratifikasi/kelas dalam masyarakat

4. Ketidaksetaraan antara hakim dengan terdakwa di mata hukum

7. Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)

Compensation and Punishment

1. penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif dan sesuai dengan tingkat dan bobot kesalahan

2. Hak-hak dari terdakwa dilindungi dan dijunjung tinggi

3. Pelaku tindak pidana diwajibkan memberi ganti kerugian kepada korban

20

Page 26: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Pada dasarnya, ketujuh model Sistem Peradilan Pidana

tersebut mendeskripsikan “model keadilan” yang ingin dicapai dalam

takaran kebijakan aplikatif bagi hakim di pengadilan khususnya  saat

proses penjatuhan putusan.

Menurut pendapat kami sendiri sebagai akademisi hukum

maka sistem peradilan pidana yang tepat untuk diterapkan di

Indonesia adalah Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment).

Pada model keadilan ini pada hakikatnya memiliki kelebihan dan

keunggulan sehingga tepat untuk sistem peradilan pidana di Indonesia

yaitu :

1. Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif

dalam artian kepada orang yang bersalah saja yang harus dijatuhi

pidana.

2. Penjatuhan pidana tersebut haruslah sesuai dengan tingkat dan

bobot kesalahan yang dilakukannya.

3. Dalam menjalani proses peradilan tersebut maka hak-hak dari

terdakwa berupa asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence)  harus dilindungi dan dijunjung tinggi sehingga dapat

dikatakan model sistem peradilan ini melindungi dan menghargai

Hak Asasi Manusia

4. Korban diberikan ganti kerugian. Konkretnya, pelaku tindak

pidana diwajibkan memberi ganti kerugian kepada korban akibat

dari tindak pidana yang telah dilakukannya sehingga sangat

21

Page 27: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu mengembalikan kondisi

dalam keadaan yang semula.

22

Page 28: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

BAB III

METODE PENULISAN

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan Sumber Data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri

dari:

1. Bahan Hukum Primer

Adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat terdiri dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan

peraturan lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang berupa tulisan-tulisan ilmiah di

bidang hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer seperti artikel, kliping, seminar, internet,

kamus hukum dan lainnya.

E. Metode Analisa Data

Seluruh data yang dikumpulkan, selanjutnya diinventarisasi,

diklasifikasi, dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan-

kesimpulan dari bahan-bahan yang didapatkan sesuai dengan

23

Page 29: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

permasalahan yang dibahas oleh Penulis. Kesimpulan tersebut yang

diperoleh dari berbagai macam bahan yang telah dianalisis

digunakan untuk mengkaji dan membahas permasalahan yang

diteliti oleh Penulis pada penelitian ini. Hal ini bertujuan agar

memperolah hasil pembahasan dan kesimpulan yang relevan sesuai

dengan permasalahan yang diteliti.

24

Page 30: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Permasalahan Pemeriksaan dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia

Dalam Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil)

sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana telah dicoba diletakkan kerangka landasan untuk

melaksanakan sistem peradilan pidana. Hal ini tampak dalam pengaturan

hal-hal sebagai berikut :

1. Hubungan Penyidik POLRI Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) adalah sebagai berikut :

a. PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator dan pengawasan Penyidik POLRI (Pasal 7 ayat 2);

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat 1);

c. PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik POLRI (Pasal 107 ayat 2);

d. PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI (Pasal 107 ayat 3);

e. Dalam hal PPNS menghentikan penyidikan, segera memberitahukan penyidik POLRI dan Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 3).

2. Hubungan Penyidik POLRI Dengan Penuntut Umum.

a. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 8, Pasal 14 huruf a, Pasal 110 ayat 1);

b. Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik (Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2);

c. Dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik disertai

25

Page 31: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

petunjuknya dan penyidik wajib melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3);

d. Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan/ pemeriksaan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1);

e. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik (Pasal 140 ayat 2 huruf c);

f. Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik (Pasal 143 ayat 4), demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik (Pasal 144 ayat 3);

g. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum (demi hukum), melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang pengadilan (Pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal di atas, penyidik memberitahukan hari sidang kepada terdakwa (Pasal 207 ayat 1) dan menyampaikan amar putusan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3)

3. Hubungan Penyidik dan Hakim/Pengadilan.

a. Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas permintaan penyidik;

b. Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat 1);

c. Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;

d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3)

e. Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal 214 ayat 7).

4. Hubungan Antara Pengadilan dan Jaksa Di Satu Pihak dan Lembaga

Pemasyarakatan di Lain Pihak.

26

Page 32: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36 Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang

Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan.Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 36 ayat :

1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.

3) Pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Undang-undang yang dimaksud oleh Pasal 36 ayat (2) di atas

adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

yang pengaturannya terdapat di dalam Bab XX, Pasal 277-283. Ketentuan

selengkapnya adalah sebagai berikut :

Pasal 277 :1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas

khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.

2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun.

Pasal 278Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.

Pasal 279Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada pasal 278 wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh

27

Page 33: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatanani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 277.

Pasal 2801) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna

memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.

3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakansetelah terpidana selesai menjalani pidananya.

4) Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.

Pasal 281Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan haikm tersebut.

Pasal 282Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.

Pasal 283Hasil pengawasan dan pengamatan dlaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan negeri secara berkala.

Maksud diadakannya ketentuan ini adalah agar supaya terdapat

jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan

semestinya. Di samping itu untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak saja

dengan lembaga kejaksaan tetapi juga dengan pemasyarakatan.

Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian

proses pidana dan menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat

putusan dijatuhkan olehnya.

28

Page 34: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Di samping itu untuk memenuhi penyelenggaraan peradilan yang

terpadu, oleh Mahkamah Agung pernah dikeluarkan SEMA No. 10 Tahun

1983 tentang Penetapan Perpanjangan Penahanan jangan sampai

terlambat diserahkan kepada Penuntut Umum. Dalam SEMA dikatakan,

bahwa mengingat sering terjadinya penetapan perpanjangan penahanan

yang dikeluarkan oleh pengadilan, dimana salinannya sering terlambat

sampai di tangan Penuntut Umum (yang meminta permohonan

perpanjangan penahanan), sehingga ketika mau dilaksanakan oleh

Penuntut umum ternyata terdakwanya sudah dikeluarkan oleh kepala

Lembaga Pemasyarakatan demi hukum. Untuk tidak mengulangi hal itu,

maka ditentukanlah bahwa paling lambat 10 hari sebelum habisnya masa

penahanan pengadilan negeri harus sudah mengeluarkan penetapan

perpanjangannya dan pada hari itu juga ( hari penandatanganan surat

penetapan itu ) salinan surat tersebut sudah harus disampaikan kepada

Penuntut Umum dengan surat pengantar yang tembusannya disampaikan

kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana tempat terdakwa

ditahan.KUHAP memiliki sepuluh asas sebagai berikut :

1. perlakuan yang sama di muka hukum;2. praduga tidak bersalah;3. hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;4. hak untuk memperoleh bantuan hukum;5. hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;6. peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;7. peradilan yang terbuka untuk umum;8. pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan,

penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);

29

Page 35: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

9. hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;

10.kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya

Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa KUHAP menganut “due process of law” (proses hukum yang adil

atau layak). Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah hak

seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang

bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi; dalam pemeriksaan

terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihat hukum; diapun berhak

mengajukan pembelaan, dan penuntut umum harus membuktikan

kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim

yang tidak berpihak8.

Menurut Mardjono Reksodiputro, “desain prosedur” (procedural

design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP terbagi dalam

tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-

adjudikasi (pre- adjudication), tahap sidang pengadilan atau tahap

adjudikasi (adjudication), dan tahap setelah pengadilan atau purna

adjudikasi (post-adjudication). Beliau mendukung pandangan bahwa

tahap adjudikasi atau tahap sidang pengadilan harus dianggap dominan

dalam seluruh proses. Pandangan ini berdasarkan pada KUHAP yang

menyatakan bahwa setiap putusan apapn bentuknya harus didasarkan

pada “fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari

pemeriksan di sidang”, sehingga sustu sistem peradilan pidana yag jujur

dan melindungi hak seorang warga negara yang merupakan terdakwa,

akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adjudikasi. Hanya dalam

tahap adjudikasi inilah terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak

sebagai pihak yang benar-benar bersamaan derajatnya berhadapan

dengan penuntut umum9.

8 Romli Atmasasmita, op. Cit. hal 429 Ibid. Hal. 42

30

Page 36: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

Pandangan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh Romli

Atmasasmita, dengan alasan bahwa sekalipun memang benar bahwa

pada tahap ini dari sudut hukum masing-masing pemeran utama

(penasihat hukum/terdakwa dan penuntut umum) memiliki kedudukan

yang sederajat, akan tetapi pada tahap ini dilihat dari sudut kriminologi

dan viktimologi proses stigmatisasi dan viktimisasi struktural sudah

berjalan, bahkan sejak tahap penangkapan dan penahanan10.

Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu

menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan

negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk

kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Menurut Muladi

(1995:119),makna integrated criminal justice system ini adalah

sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan

dalam :

1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization)

2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);

3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization).

Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan

dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi

substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal

dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, sedangkan

sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam

menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara

menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

10 (Romli Atmasasmita, 1996: 43 )

31

Page 37: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

B. Upaya Hukum Praperadilan

Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk

memeriksa dan memutus:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan;c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP);

d. Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).

Yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah tersangka, yaitu apakah

tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan

Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati

batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP;

a. Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan;b. Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.

Tuntutan ganti rugi, rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya

atau penasihat hukumnya, harus didasarkan atas:

a. Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;b. Penggeledahan atau penyitaan yang pertentangan dengan

ketentuan hukum dan undang-undang;c. Kekeliruan mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.

32

Page 38: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

C. Misi dalam Mencapai Tujuan Sistem Peradilan Pidana yang Efisien

Dan Lebih Maksimal dalam Menyelesaikan Permasalahan Pidana.

Upaya-upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam menangani

masalah bolak-balik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana di

Indonesia antara lain :

1. Merealisasikan surat edaran Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni

membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan

terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.

2. Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya

proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus

pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proses

pemeriksaannya sendiri yang menyangkut seringnya bolak-balik

pemeriksaan.

Sedangkan upaya lain yang dapat di jalankan untuk memperbaiki sistem

peradilan pidana di indonesia adaah :

1. Menjadikan keempat aparatur penegak hukum yakni kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai suatu

instansi pelaksana perundang-undangan yang tidak dapat dipisahkan

satu sama lain dari suatu proses penegakan hukum.

2. Menciptakan suatu system social dimana masyarakat keseluruhan

mempunyai tanggung jawab akan keberhasilan maupun kegagalan

akan pengakan hukum dari keempat aparatur Negara tersebut.

3. Menciptakan sistem peradilan 1 pintu dimana semua proses

penanganan dilakukan tanpa adanya prosedur bolak balik perkara

mulai dari proses penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan.

4. Harus menciptakan sistem koordinasi dan sinkronisasi antara

komponen peradilan pidana (kepeolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan)

5. Setiap tingkatan aparatur penegak hukum melaksanakan tugasnya

sesuai dengan aturan profesinya dimana kepolisian yang seharusnya

33

Page 39: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

aktif mencari perkara dalam masyarakat kini malah sangat passif

menunggu masyarakat yang melakukan pengaduan.

6. Menumbuhkan kembali kesadaran akan tanggungjawab sosial individu

dalam masyarakat yang belakangan ini sudah sangat tergeruk oleh

pergeseran zaman yang mengarah pada kehidupan yang hedonisme

dan individualis.

7. Menciptakan suatu tatanan masyarakat yang saling menjaga satu

sama lain dengan mempercayai satu sama lain.

8. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia para aparat penegak

hukum sehingga kecendrungan selama ini yang menjadikan tugas

penegakan hukum hanya sebatas tugas saja, tidak ada tanggungjawab

moral terhadap masyarakat secara keseluruhan.

9. Meningkatkan volume sosialisi/penyuluhan kepada masyarakat yang

bukan hanya sebatas undang-undang yang berlaku melainkan juga

terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi saat ini dan

bagaimana penanggulangannya.

10.Mewujudkan sistem perekrutan aparat penegak hukum. Mulai dari

kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun dalam lembaga

pemasyarakatan yang transparan serta demokratis terhadap rakyat.

34

Page 40: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Upaya-upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam menangani

masalah bolak-balik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana di

Indonesia antara lain :

1. Merealisasikan surat edaran Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni

membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan

terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.

2. Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya

proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus

pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proses

pemeriksaannya sendiri yang menyangkut seringnya bolak-balik

pemeriksaan.

Sedangkan upaya lain yang dapat di jalankan untuk memperbaiki sistem

peradilan pidana di indonesia adaah :

1. Menjadikan keempat aparatur penegak hukum yakni kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai suatu

instansi pelaksana perundang-undangan yang tidak dapat dipisahkan

satu sama lain dari suatu proses penegakan hukum.

35

Page 41: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

2. Menciptakan suatu system social dimana masyarakat keseluruhan

mempunyai tanggung jawab akan keberhasilan maupun kegagalan

akan pengakan hukum dari keempat aparatur Negara tersebut.

3. Menciptakan sistem peradilan 1 pintu dimana semua proses

penanganan dilakukan tanpa adanya prosedur bolak balik perkara

mulai dari proses penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan.

4. Harus menciptakan sistem koordinasi dan sinkronisasi antara

komponen peradilan pidana (kepeolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan)

5. Setiap tingkatan aparatur penegak hukum melaksanakan tugasnya

sesuai dengan aturan profesinya dimana kepolisian yang seharusnya

aktif mencari perkara dalam masyarakat kini malah sangat passif

menunggu masyarakat yang melakukan pengaduan.

6. Menumbuhkan kembali kesadaran akan tanggungjawab sosial individu

dalam masyarakat yang belakangan ini sudah sangat tergeruk oleh

pergeseran zaman yang mengarah pada kehidupan yang hedonisme

dan individualis.

7. Menciptakan suatu tatanan masyarakat yang saling menjaga satu

sama lain dengan mempercayai satu sama lain.

8. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia para aparat penegak

hukum sehingga kecendrungan selama ini yang menjadikan tugas

penegakan hukum hanya sebatas tugas saja, tidak ada tanggungjawab

moral terhadap masyarakat secara keseluruhan.

36

Page 42: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

9. Meningkatkan volume sosialisi/penyuluhan kepada masyarakat yang

bukan hanya sebatas undang-undang yang berlaku melainkan juga

terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi saat ini dan

bagaimana penanggulangannya.

10.Mewujudkan sistem perekrutan aparat penegak hukum. Mulai dari

kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun dalam lembaga

pemasyarakatan yang transparan serta demokratis terhadap rakyat.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang Penulis telah lakukan, maka sebagai

manusia yang terus ingin melakukan kemajuan kedepannya, Penulis ingin

menyampaikan beberapa saran, yaitu: Dari segala upaya yang telah

dikemukakan di atas maka terlebih dahulu baiknya kita kembali pada diri

sendiri sebagai mahasiswa dan kaum intelektual yang nantinya akan

menggantikan mereka-mereka yang berjibaku di dunia penyidikan

maupun pemeriksaan perkara pidana, karena manurut kami bahwa

masing-masing dari kita nantinya akan memberikan sumbangsi tersendiri

bagi bangsa ini.

37

Page 43: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdussalam, HR dkk.2007.Sistem Peradilan Pidana. Restu Agung: Jakarta.

Atmasasmita, Romli.1996, Sistem Peradilan pidana ( Perspektif Eksistensialisme

dan Abolisionisme ).Binacipta: Bandung

---------------------------.1996, Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju: Bandung

Faal, M.1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian),

Pradnya Paramita:Jakarta.

Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;

Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika: Jakarta.

Lapatra, J.W.1978. Analyzing the Criminal Justice Systems. Lexinton Book:

Massachusetts:

Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP:

Bandung

II. PERUNDANG-UNDANGAN

UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

38

Page 44: Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana

4

5