tugas historiografi malikul adil
DESCRIPTION
historiografi islamTRANSCRIPT
Tugas individu
MID HISTORIOGRAFI
HISTORIOGRAFI ISLAM
NAMA: MALIKUL ADIL
NIM : 40200111018
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013/2014
1) Uraikan pengertian dari ruang lingkup Historiografi islam pada periode klasik?
Jawab:
Historiografi yang merupakan kata gabungan dari dua kata history yang berarti
sejarah dan grafi yang berarti deskripsi atau penulisan. History berasal dari kata Yunani
yaitu istoria yang berarti ilmu. Akan tetapi dalam perkembangan zaman, kata latin yang
sama artinya yakni scientia lebih sering digunakan untuk menyebutkan pemamparan
sistematis non-kronologis mengenai gejala alam, sedangkan kata istoria diperuntukkan
bagi pemaparan mengenai gejala-gejala dalam urutan kronologis.
Kegunaan dan manfaat Historiografi diantaranya adalah: Untuk mengetahui
pandangan, metode penelitian, dan metode penulisan sejarah yang dilakukan para
sejarawan muslim di masa silam, sehingga dapat dilakukan kajian kritis terhadap karya-
karya sejarah mereka. Kita tidak akan mampu melakukan kajian terhadapsumber-sumber
sejarah Islam. Kita juga harus mengetahui latar belakan dan factor yang mendorong
penulisan sejarah oleh sejarawan itu, pendapat-pendapat sejarah mereka, cara mereka
meriwayatkan sejarah dalam tulisan.
kejayaan peradaban Islam, tidak ada bangsa lain yang menulis sejarah seperti
kaum muslimin. Sejarawan muslim menulis ribuan buku besar dengan tema yang
beragam. Tanpa mengenal dan melakukan studi kritis terhadap karya sejarawan muslim
itu, sejarawan masa kini akan mengalami kesulitan dalam memanfaatkan sumber sejarah
ivslam, melakukan kritik terhadap riwatnya, memisahkan yang kuat dari yang lemah,
yang primer dari yang lemah, yang primer dari yang sekunder yang autentik dari yang
palsu.
Penulisan sejarah di Arab-Islam dimulai dengan sejarah lisan. Di dalam sejarah
lisan yang berkembang terselip mitos dan legenda, yang oleh karena itu bila dituangkan
dalam tulisan, sejarah lisan itu lebih tepat dikatagorikan sebagai karya sastera ketimbang
karya sejarah. Akan tetapi, penulisan sejarah dalam Islam itu dengan cepat berkembang
dan melahirkan ribuan karya sejarah dalam tema yang sangat beragam. Perkembanganya
mencerminkan perkembangan kebudayaan dan perbedaan Islam itu sendiri. Di Arab
masa klasik dan pertengahan, pengaruh Islam sangat jelas. Perkembangan penulisan
awal sejarah jelas-jelas dipengaruhi oleh perkembangan periwayatan hadist.
1
Sekarang di Arab Islam sejarah sudah mengambil ahli pengertian dan metode
history. Pengambilahlian itu terjadi pada masa kembangkitan kembali penulisan sejarah
setelah beberapa abad mengalami kemunduyran. Penulisan sejarah dengan cara barat itu
disebut dengan penulisan sejarah modern.
Pengambilahlian metode penulisan sejarah modern berasal dari barat itu tentu
saja sangat ditentukan oleh persentuhan efektif anatara Arab Islam dengan bangsa-
bangsa barat. Bangsa Arab-Islam baru mengalami penjajahan barat akhir abad ke 18,
yaitu pendudukan Napoleon di Mesir yang hanya berlangsung beberapa tahun saja, dan
baru dijajah barat dalam gelombang yang besarsetelah perang Dunia Pertama.
Penjajahan itu muncullah tulisan-tulisan sejarah yang dilakuakan oleh para orientalis.
Dengan kata lain historiografi Islam merupakan penulisan sejarah yang dilakukan
oleh orang Islam baik kelompok maupun perorangan dari berbagai aliran dan pada masa
tertentu. Tujuan penulisannya adalah untuk menunjukkan perkembangan konsep sejarah
baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai
dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran bentuk-bentuk
ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Kebanyakan karya-
karya Islam banyak ditulis dalam bahasa Arab, dan banyak pula yang berbahasa lain
seperti Persia dan Turki. Adapun hal-hal yang mendorong perkembangan pesat bagi
penulisan sejarah Islam:
1. Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah Nabi Muhammad SAW
adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah. Nabi juga merupakan
pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan
tuntutan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah
sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan.
2. Adanya kesadaran sejarah yang di pupuk oleh Nabi Muhammad. Peristiwa sejarah
masa lalu dalam seluruh manifestasinya, sangat penting bagi perkembangan peradaban
Islam. Apa yang dicontohkan oleh Nabi semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah
yang harus menjadi suri tauladan bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang
besar ini, menjadi pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.
Ada beberapa tahap perkembangan dalam menciptakan mekanisme sejarah
tersebut, yaitu pada awalnya informasi disampaikan secara lisan, dan kemudian metode
2
penyampaian lisan ini (oral transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak
dipublikasikan, yaitu semacam pelapor catatan. 1
2) jelaskan motivasi yang mendorong tumbuh dan berkembangnya Historiografi islam
pada periode Klasik?
Jawab:
Pada periode klasik (650-1250 M), Islam mengalami dua fase penting
Fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di fase inilah Islam di
bawah kepemimpinan para khalifah mengalami perluasan pengaruh yang sangat
signifikan, kearah Barat melalui Afrika Utara Islam mencapai Spanyol dan kearah Timur
melalui Persia Islam sampai ke India. Masa ini juga ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan (di bidang agama maupun non agama) dan kebudayaan. Dalam bidang
hukum dikenal para imam mazhab seperti Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ibn Hanbal.
Di bidang teologi dikenal tokoh-tokoh seperti Abu Hasan al-Asy’ari, al-Maturidi, Wasil
ibn Atha’ al-Mu’tazili, Abu al-Huzail, al-Nazzam dan al-Juba’i. Di bidang
ketasawwufan dikenal Dzunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lainnya
lagi. Sementara dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan kita mengenal al-Kindi, al-
Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn al-Haytsam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-
Mas’udi dan al-Razi Fase disintegrasi (1000-1250 M) yang ditandai dengan perpecahan
dan kemunduran politik umat Islam hingga berpuncak pada terenggutnya Baghdad oleh
bala tentara Hulagu di tahun 1258 M.
Ada dua persoalan yang menjadi fokus utama dalam kajian historiografi Islam
klasik, yaitu persoalan materi (kandungan isi) bahasan dan metodologi. Yang pertama
berkaitan dengan dua persoalan yang saling berkaitan; persoalan politik oriented yang
kemudian memunculkan sejarah politik dan materialisme sejarah. Sedangkan yang
kedua berkaitan dengan penggunaan periwayatan (hadits), hauliyat (sejarah berdasarkan
tahun) sebagai metode dalam penulisan histoiografi Islam klasik.
Adanya gagasan sejarah sebagai senjata politik dalam memperjuangkan ideologi dan
politik adalah suatu hal yang tidak ditangani oleh sejarawan muslim secara terbuka dan
merata. Sejarawan ini sadar bahwa karya yang ditulis sering digunakan untuk
mengangkat posisi seseorang, atau memperkokoh kedudukan dinasti yang sedang
1 Pengarang Drs. H. Badri Yatim, M.A.”historiografi islam”
3
berkuasa. Adanya penelitian modern berhasil membuktikan bahwa kepentingan politik
terkadang membuat adanya manipulasi terhadap data atau bukti sejarah. Keadaan ini
tidaklah membuat sejarah muslim untuk berganti haluan, karena pada umumnya mereka
tetap merasa bahwa keberadaan nya sebagai sejarawan adalah pelindung, penerus
(transmitter) dari fakta yang tidak dapat diubah-ubah, atau ditafsirkan.Adanya gagasan
sejarah sebagai senjata politik dalam memperjuangkan ideologi dan politik adalah suatu
hal yang tidak ditangani oleh sejarawan muslim secara terbuka dan merata. Sejarawan
ini sadar bahwa karya yang ditulis sering digunakan untuk mengangkat posisi seseorang,
atau memperkokoh kedudukan dinasti yang sedang berkuasa. Adanya penelitian modern
berhasil membuktikan bahwa kepentingan politik terkadang membuat adanya
manipulasi terhadap data atau bukti sejarah. Keadaan ini tidaklah membuat sejarah
muslim untuk berganti haluan, karena pada umumnya mereka tetap merasa bahwa
keberadaan nya sebagai sejarawan adalah pelindung, penerus (transmitter) dari fakta
yang tidak dapat diubah-ubah, atau ditafsirkan.
Motivasi Sosial-Budaya
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah
Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan
bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak
punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup
dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal
menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak
mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di
sini pun ( Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri
Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah
dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita
kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan
kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti
halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi
harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur,
4
menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu
sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih
rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan
waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda
dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang
kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di
Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling
dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang
agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai
kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu
bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Motivasi Politik
Keberhasilan Dinasti Umayyah dalam berbagai aspek kehidupan memotivasi
tumbuhnya Historiografi Islam, salah satunya dalam bidang politik (tata pemerintahan)
maupun sosial kebudayaan. Dalam bidang politik, Bani Umayyah menyusun tata
pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah
dan admistrasi kenegaraan yang semakin kompleks.Tidak ada penulisan sejarah di masa
lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah
cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti
serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis
tentang raja-raja itu. Misalnya karya al-Qudla’i yang berjudul ‘Uyun al-Ma’arif. Maka
tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa.
Rakyat kecil maupun bawahan hanya menjadi footnote (catatan kaki) yang kadang
malah tidak tertulis sama sekali. Namun, bagaimanapun, biografi dinasti dan
penguasanya merupakan sebuah bentuk dasar historiografi Islam.
Motivasi Al Qura'an
pembukuan al-Quran pada masa pemerintahan Khalifah Usman, memberikan
pengaruh kepada masyarakat arab Islam untuk meningkatkan pengetahuan, dan sadar
5
akan pentingnya Budaya tulis menulis, bangsa Arab yang sebelumnya hanya mengenal
tradisi lisan akhirnya sadar akan kepentingan tulis baca, al Quran yang sebelumnya telah
di kumpulkan oleh khalifah Abubakar dan disimpandi rumah Al arqam, di buka kembali
kemudian ditulis dalam sebuah mushaf yang disebut mushaf Usmani. selain dari itu,
perintah Untuk membaca dalam al-Quran juga mmberikan motivasi bagi perkembangan
Historiografi, al Quraan dalam surah Al alaQ memerinthkan Manusia untuk membaca,
dan mensyukuri Nikmat tuhan yang telah mengajarkan kepada Manusia dengan
perantaran Kalam. perintah ini memberikan perintah bukan hanya membaca dalam Arti
sempit akan tetapi mempunyai makna yang luas, menyangkut perintah menulis dan
membaca.
MotiVasi Hadits
Pada Awalnya Rasulullah melarang penulisan Hadits, karena dikhawatirkn
bercampur dengan al-Quran, hadits adalah segala ucapan, perbuatan maupun diamnya
nabi, yang dijadikan sebagai Sumber hukum Islam, kan tetapi, setelah Wafatnya Nabi
Muhammad, dan runtuhnya khulafaurrasyidin dan berdirinya Khilafah Bani Umayyah,
Banyak pada periwayat hadits yang meninggal, syahid dan sebagainya, sehingga hadits
terancam Hilang, selain dari itu, kondisi politik yang tidak stabil, menyebabkan
munculnya hadits-hadits palsu, yang dikhawatirkan akan merusak tatnan hukum Islam,
oleh sebab itu, khalifah Dinasti Umayyah pada tahun 99 H yaitu Umar Bin abdul Aziz
Memerintahkan untuk melakukan pembukuan hadits, perintah ini kemudian disambut
oleh para muhaddits dan berlomba mengumpulkan Hadits, dari pengumpulan hadits ini
memunculkan Ilmu-ilmu baru, yang membrikan kontribusi besar dalam perkembangan
Historiografi Islam, seperti Ilmu kritik sanad, yang kemudian berkembang menjadi ilmu
kritik sejarah.2
3) Jelaskan tema-tema historiografi arab pra islam
Jawab:
2 Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997, cet.1,
6
Perlu diketahui bahwa historiografi Arab pra-Islam dimulai dari bentuk sejarah lisan.
Sejarah lisan itu tertuang dalam bentuk al-Ayyam dan al-Ansab. Kabilah-kabilah Arab
meriwayatkan al-Ayyam terdiri atas perang-perang dan kemenangan, untuk tujuan
membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah yang lain, baik dalam bentuk syair
maupun prosa yang diselang-selingi syair.
a. Al-Maghazi
Al-Maghazi berasal dari kata ghazwah (ekspedisi militer) yang dari sudut
pandang sejarah berarti perang dan penyerangan militer yang dilakukan Nabi
Muhammad. Belakangan, makna kata ini sering diperluas untuk mencakup seluruh misi
kerasulannya. Karena itu, terdapat hubungan erat atau bahkan tumpang tindih
antara maghazi dan sirah, Tetapi maghazi merupakan studi paling awal tentang sejarah
kehidupan Nabi, yang dilakukan beberapa sahabat terkemuka. Mereka mengumpulkan
hadis historis yang beredar pada masa mereka. Koleksi mereka inilah yang kemudian
menjadi data penting bagi para tabi'un. Horovitz, dalam buku Azra, menyatakan, meski
sebagian data hadis yang terekam di atas shaha'if (shuhuf) atau dalam kitab tidak jelas
nilainya, tetapi tak ada keraguan bahwa catatan tertuilis semacam itu bukan lagi
merupakan barang langka di kalangan tabi'un, yang memperoleh pengetahuan dari pada
sahabat.
Mengingat uraian diatas, tidak heran jika studi maghazi muncul berbarengan
dengan studihadits. Muhaddisun menunjukkan minat mereka terhadap maghazi, tetapi
sebagian di antara mereka, ketika mengkaji riwayat kehidupan Nabi melakukannya
dalam cara yang melampaui batas aspek hukum. Jadi, para pioner
studi maghazi adalah muhaddisun; mereka dipandang sebagai pengarang maghazi. Ini
juga menjelaskan kenapa isnad menduduki peranan penting dalam mengukur
nilai maghazi. Ini berarti, nilai hadits dan riwayat lain tergantung pada reputasi para
muhaddist atau perawi yang terdapat di dalam rangkaian isnad. Inilah, menurut Duri,
yang medorong timbulnya sikap kritis terhadap ruwah, perawi mereka yang
meriwayatkan atau mentransmisikan informasi. Selanjutnya, ini memperkenalkan unsur
penyelidikan dan penelitian atas berbagai riwayat dan, dengan demikian, meletakkan
dasar-dasar yang kokoh bagi studi sejarah kritis.
Penulis pertama maghazi adalah Aban Ibn 'Usman ibn 'Affan (w. 105 H/723 M)
dapat disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-
7
maghazi. Menurut Azra, 'Aban mempunyai reputasi sebagai muhaddis dan fakih, yang
pada 71/689 diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah Abd Al-Malik ibn
Marwan. Aban menuliskan sebuah kumpulan hadis khusus berkenaan
dengan maghazi. (Duri, 1986:21)
Penanganan lebih lengkap atas maghazi dilakukan 'Urwah ibn Zubayr (w. 94
H/712 M). Ia adalah orang pertama menulis menulis kitab lebih baik tentang maghazi,
dan kerenanya ia sering dipandang sebagai pendiri studi maghazi. Sayang, karyanya ini
hanya tinggal dalam bentuk kutipan pada karya para sejarawan semacam Al-Thabari,
Ibn Ishaq, Al-Waqidi, Ibn Sayyid Al-Nas dan Ibn Katsir. Kutipan-kutipan mereka
merupakan tulisan paling awal tentang maghazi yang sampai ke tangan kita.
Dari tulisan-tulisannya itu tampaknya Urwah menulis tentang al-maghazi-nya
secara berurutan mulai dari turunnya wahyu, mulai dakwah, hijrah ke Habasyah, hijrah
ke Madinah, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas-aktivitas di Madinah seperti
akspedisi Abdullah ibn Jahsy, perang Badar, Perang Qainuqa', Perang Khandaq, Perang
Bani Quraizhah, Perjanjian Hudaibiyah, ekspedisi Mu'tah, penaklukan Kota Mekah,
Perang Hunayn, Perang al-Tha'if, beberapa surat yang dikirim Nabi, dan hari-hari
terakhir hayat Rasulullah.
Dalam beberapa riwayatnya, Urwah menggunakan isnad, tetapi pada sebagian
lain ia tidak memakainya sama sekali. Dalam hal terakhir kelihatannya Urwah
menggabungkan sejumlah hadistke dalam narasi tunggal berkesinambungan. Kasus
tidak digunakannya isnad oleh Urwah tak harus mengherankan, karena pada masa
Urwah (ia termasuk tabi'un paling awal) ketentuan tentang isnadbelum sepenuhnya
baku. Pada masa ini dipandang cukup kuat mengambil riwayat langsung dari tabi'un.
Dua penulis maghazi berikutnya adalah Syurahbil Ibn Sa'ad (w.
123/741), seorang mawladari Bani Khatmah. dan Wahab ibn Munabbih (w. 110/728),
keturunan Persia Selatan yang menetap di Yaman. Kedua tabi'un ini dipandang tidak
terpercaya. Padahal Syurahbil sebenarnya termasuk ahli dalam hal maghazi, tetapi orang
mencurigainya sebagai suka menonjolkan pihak tertentu yang sebenarnya tidak berperan
banyak dalam sejarah Islam. Terdapat juga penilaian, hadis yang diriwayatkannya tidak
disenangi. Pada pihak lain, wahab ibn Munabbih dalam tulisan sejarahnya tidak
menggunakan isnad dan langgam bahasanya juga berbeda. Kitabnya juga memuat
khayal dan dongeng serta sangat memperhatikan isra'iliyyat (berita-berita Yahudi dan
8
Nasrani) dan dongeng-dongeng masa silam. Dalam pandangan Horovitz, Wahab secara
umum diakui sebagai perawihadits yang terpercaya (tsiqah), meski ia tidak
menggunakan isnad, dan bahkan memakai sumber-sumber Yahudi dan Kristen
dalam maghazi-nya yang berjudul kitab Al-Mubtada'. Tetapi Abbott dan Duri
menyanggah penilaian Horovitz. Keduanya menilai, Wahb ibn Munabbih bukanlah
penulis terpercaya dan cermat, dan kerena itu, laporan-laporannya tidak bernilai bagi
sejarawan yang serius. Ia tak lebih sekedar tukang cerita. Abbott dan Duri berhujjah,
wahab tidak bisa dipercaya karena ia dengan seenaknya bersandar pada cerita perjanjian
lama dan isra'iliyat, serta pada imajinasinya yang memang subur. Tetapi beberapa
historiografer lebih belakangan, seperti Ibn Ishaq, Ibn Qutayah, dan Al-Thabari,
mengutip banyak bagian karya Wahab tanpa memeriksa realibilitasnya. Selanjutnya
terdapat tiga ahli yang pada umumnya dipandang bertanggung jawab atas peningkatan
dan perluasan studi maghazi. Mereka adalah Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm (w. 130-
135/747-752), 'Ashim ibn Umar ibn Qatadah (w. 120/737), dan Muhammad ibn Muslim
ibn Syihab Al-Zuhri. Ketiga tokoh ini termasuk ke dalam kelompok muhaddisun yang
memberikan perhatian khusus kepada studi maghazi. Karya-karya mereka dengan
mantap mengukuhkan kerangka bagi penulisanmaghazi, materi yang mereka gunakan
menjadi bahan penting yang digunakan Ibn Ishaq dan, kemudian olel Al-Waqidi.
Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm adalah seorang qadhi di Madinah dan perawi
hadis yang berminat khusus pada maghazi. Ia mewariskan kitab Al-Maghazi kepada
kemenakannya Abd Al-Malik ibn Muhammad (w. 176/792). Sayang sekali, kitab ini
tidak atau belum ditemukan; selain kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Ishaq dan Al-
Waqidi. Dari kutipan itu terlihat karya Abdullah tidak terbatas pada pengertian
sempit maghazi, karena ia juga mengungkapkan masa remaja Nabi Muhammad.
Menurut Al-Thabari, ia merupakan orang pertama yang menetapkan urutan kronologis
peristiwa-peristiwa di masa Nabi; ia juga menyusun daftar perang yang dilakukan Nabi
dalam urutan kronologis, yang selanjutnya dipinjam Ibnu Ishaq di dalam karyanya.
Abdullah sangat memperhatikan khusus pada sumber-sumber yang digunakannya. Ia
juga memberikan perhatian khusus pada sumber-sumber tertulis, seperti surat Nabi
kepada seorang Pangeran Arabia Selatan dan dokumen yang diberikan Nabi kepada
kakeknya Amr ibn Hazm untuk dibawanya ke Najran ketika ia diperintahkan Nabi
menyebarkan Islam disana.
9
Ashim ibn Umar ibn Qatadah adalah perawi hadits yang terpercaya. Ashim
pernah ditugaskan Khalifah Umar II (Ibn Abd Al-Aziz) menyampaikan kepada kaum
Muslim, khususnya di Damaskus, riwayat perang yang dilakukan Nabi dan amal mulia
para sahabat. Ashim merupakan salah satu sumber utama Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Ia
juga mengunkapkan riwayat terinci tentang masa muda dan kehidupan Nabi di Madinah.
Ia sering menyebutkan isnad-nya, tetapi tak jarang pula tidak menyebutkannya sama
sekali. Sikapnya terhadap isnad sama dengan sikap Ibn Hazm. Ashim sering pula
memasukkan pernyataan aktor-aktor utama dalam riwayat yang disampaikannya; ia
tidak berlaku sebagai sekedar pengumpul riwayat, tetapi juga menyatakan pendapat dan
penilainnya sendiri atas berbagai peristiwa.
b. Sirah
Selain al-maghazi, bentuk historiografi awal adalah sirah Menurut Yatim,
penulisan sirah lahir dari aliran Madinah bersamaan dengan lahirnya maghazi.(Yatim,
1997: 183) Adapun penulissirah adalah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Al-Zuhri,
yang melakukan studi maghazi dalam cara yang lebih sesuai dengan metode penelitian
sejarah. Menurut Duri, al-Zuhri adalah orang pertama yang dapat disebut sebagai
sejerawan yang sebenarnya dimasa awal ini dan telah menempatkan sejarah pada
landasan yang jelas dan menggambarkan orientasi studi sejarah. Ia adalah orang pertama
memakai istilah sirah, merekontruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan
menggariskan kerangka dalam bentuk yang jelas. Tetapi ia tetap memakai istilah
maghazi ketimbang sirah sebagai judul karyanya. Dalam hal ini dia juga memulai
penulisan al-maghazi ataual-sirah dengan materi-materi yang berhubungan dengan
kehidupan Nabi sebelum kenabian, dan ada kemungkinan dia juga memberikan silsilah
keturunannnya. Setelah menyebutkan tanda-tanda kenabian, dia beralih kepada turunnya
wahyu pertama, kemudian tentang peristiwa-peristiwa penting pada periode Mekah, dan
setelah itu hijrah dan peristiwa-peristiwa penting pada periode Madinah sampai
wafatnya Rasulullah.(Duri, 1986: 99)
Pendekatan al-Zuhri terhadap sirah pada dasarnya merupakan pendekatan
seorangmuhaddits. Karena itu tidak mengherankan kalau al-Zuhri mengambil
kebanyakan bahan untuk sirahdari hadits. Metodenya dalam menyeleksi materi hadits
dan riwayat lainnya bersandar pada isnad. Sikapnya terhadap isnad merupakan sikap
10
tipikal muhaddits bahkan ia memainkan peranan besar dalam penekanan dan perluasan
penggunaan isnad dalam literatur hadits. Tetapi, al-Zuhri cenderung isnad kolektif;
mengumpulkan berbagai riwayat kedalam penuturan yang lancar dan berkesinambungan
dengan didahului suatu daftar isnad yang merupakan sumber asli riwayat yang
diungkapkannya.
Tampaknya al-Zuhri memperhatikan rangkaian dan kronologi sejarah, dan juga
sudah mencantumkan tahun kejadian sejarah itu. Pencantuman tahun kejadian ini sangat
membantu untuk merekontruksi kerangka buku karangan Al-Zuhri. Sayang kajian al-
Sirah al-Zuhri tidak sampai ke tangan kita hanya dalam bentuk bagian kajian al-Zuhri
bisa ditemukan terutama didalam karya Ibn Ishaq, al-Wakidi, Al-Thabari, Al-Balazduri
dan Ibn Sayyid Al-Nas.
Studi maghazi atau zirah dikembangkan lebih lanjut oleh tiga murid Al-Zuhri:
Musa ibn Uqbah (w. 141/758), Ma'mar ibn Rasyid (96-154/714-771) dan Muhammad
ibn Ishaq (w. 151/761). Musa ibn Uqbah terkenal sebagai seorang yang banyak meiliki
pengetahuan tentang al-maghazi. Ia sangat ketat bepegang pada metode isnad dan
penanggalan dan kronologis peristiwa. Musa juga semakin menekankan
pentingnya isnad dalam penulisan karya sejarah. Karya maghazi-nya mencakup masa al-
khulafa al-rasyidun dan bahkan periode Dinasti Umaiyah. Tetapi karyanya
tentang maghazi ini dipandang sebagian ahli hanya merupakan edisi lain dari karya al-
Zuhri.
Sedangkan murid yang paling termasyhur dari Al-Zuhri adalah Muhammad ibn
Ishaq ibn Yasar, yang lebih terkenal sebagai ibn Ishaq. Ia menyusun berjilid-
jilid sirah Nabi Muhammad dengan menggunakan materi yang amat banyak. Namun
yang sampai pada kita hanya bentuk ringkasan sirah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam
dalam karyanya al-sirah al-Nabawiyah yang lebih dikenal dengan nama Sirah ibn
Hisyam. Dia sangat dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang sirahdan, oleh
Muhammad Ahmad Tarhini, dipandang sebagai tonggak penting aliran Madinah.
(Tarhini, t.t: 50-1)
Dalam menyusun sirah Nabi, Ibn Ishaq memakai berbagai sumber. Sumber
utama al-mubtada' adalah Al-Qur'an, hadis yang diriwayatkan terutama Wahb ibn
Munabbih dan Ibn Abbas, pernyataan sastrawan Yahudi dan Kristen, dan teks Biblikal.
Dalam al-mab'ats, ia hampir sepenuhnya bersandar pada hadits yang diriwayatkan
11
Ahl Al-Madinah, dan dokumen-dokumen tertulis lainnya. Dalam bagian ini, ia kadang-
kadang memakai isnad. Sedangkan dalam al-maghazi, ia juga
memakai hadits dan isnad-nya secara ketat.
Karya ibn Ishaq merupakan perkembangan baru dalam tulisan sejarah di masa
awal Islam. Dalam hal ini, Duri, berpendapat bahwa perkembangan paling jelas adalah
penggunaaan dan pemaduan berbagai macam sumber oleh Ibn Ishaq, sejak dari Al-
Qur'an, hadits, riwayat historis, bahkan Isra'iliyat, kisah rakyat, dan syair. Bahkan Ibn
Ishaq sering dituduh membesar-besarkan riwayatnya dengan memperbanyak materi
hadits dengan pernyataan lain yang dikumpulkannya sendiri.
Umumnya dalam metode penulisan sejarah, ibn Ishaq, menggunakan isnad
tidak secara ketat seperti muhaddits; baginya cukup memadai menggunakan metode
isnad kolektif. Dengan begitu ia bisa menyajikan periwayatan yang menarik. Karenanya,
baik dari segi pandangnya tentang sejarah maupun dari segi metode, Muhammad Ahmad
Tarhini, menilai apa yang telah dilakukan oleh ibn Ishaq ini sudah melampaui batas-
batas metodologis aliran Madinah. Pada ibn Ishaq mulai terjadi pergeseran dikalangan
para ahli: mereka pertama-tama adalah sejerawan baru kemudian muhadits.
Terdapat empat penulis maghazi atau sirah lainnya: Abu Ma'syar al-Sindi (w.
170/787), Muhammad ibn Umar al-Waqidi (130-207/748-823), Ali ibn Muhammad al-
Mada'ini (135-225/753-840), dan Muhammad ibn Sa'd (w.230/844). Dalam karyanya,
yang terdapat dalam kutipan al-Waqidi dan al-Thabari, bahwa maghazi Abu ma'syar
membahas keseluruhan riwayat Nabi. Ia dikenal menggunakan isnad dalam kebanyakan
periwayatannya. Sementara al-Madani dipercaya menyusun sekitar 240 karangan
tentang berbagai topik sejak dari sejarah Nabi sampai sejarah Dinasti Abbasiah.
Apa yang penting dari karya al-Mada'ini bagi kita adalah bahwa ia mengikuti
metodemuhadits dalam kritisismenya atas sumber-sumbernya. Metode isnad lebih kuat
mempengaruhinya ketimbang para pendahulunya. Dengannya kita melihat munculnya
orientasi kearah pengumpulan lebih komprehensif dan pengorganisasian lebih ekstensif
atas riwayat-riwayat historis. Ia meminjam lebih banyak sumber-sumber Madinah
dibandingkan para pendahulunya, dan juga memakai sumber-sumber lain dengan baik,
seperti riwayat dari masyarakat Basrah. Karena ciri khas ini, al-Mada'ini menjadi
sumber fundamental bagi sejerawan lebih belakangan, dan riset modern
mengkonfirmasikan akurasi karya-karya.
12
Studi maghazi atau sirah berkembang lebih jauh dalam karya al-
Waqidi. Karya al-Waqidi yang sampai ke tangan kita adalah Al-Maghazi, yang
membatasi pembahasannya hingga kehidupan Nabi di Mekkah. Sementara periode-
periode lain dibahas dalam kitab Sirah-nya dan karya-karya lain.
Al-Waqidi mengikuti perencanaan baku dalam penyajiannya atas maghazi. Ia
mulai dengan daftar sumber primernya; tanggal kronologis pengiriman dari dan
kembalinya ekspedisi militer Nabi ke Madinah; dan nama orang-orang yang berada di
Madinah selama Nabi pergi. Dalam menulis Al-Maghazi, al-Waqidi menggunakan
seluruh sumber yang dapat dikumpulkannya, ia menawarkan banyak sekali bahan yang
tidak ditemukan sama sekali dalam karya ibn Ishaq. Karenanya, Al-Maghazi karya al-
Waqidi memberikan riwayat yang jauh lebih kaya tentang periode Madinah ketimbang
karya Ibn Ishaq, meski sebagian dari riwayat itu sebenarnya lebih menyangkut persoalan
hukum daripada perkembangan historis.
Dalam metode penulisannya, seperti tampak dari karyanya al-maghazi ini, ia
menyebutkan sumber-sumber periwayatan secara umum saja. Dalam hal ini, Badri
Yatim, melihat bahwa al-Waqidi merusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari
corak penulisan hadits. Oleh karena itulah ia tidak begitu taat menggunakan
metode isnad, sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadits. Disamping itu al-
Waqidi juga sangat kritis terhadap sumber-sumbernya. Ia memeriksa sangat hati-hati
segala sumber yang dihadapinya; mencari dokumen-dokumen baru; dan menyiapkan
daftar nama mereka yang ikut dalam ekspedisi militer. Ia bahkan melakukan perjalanan
ke berbagai medan tempur untuk menyesuaikan riwayat yang ada dengan situasi aktual
di lapangan. Melihat metode al-Waqidi, Gibb, menyimpulkan bahwa ilmu sejarah yang
berasal dari hadits mendekati cara pengumpulan meteri sejarah sebagaimana dilakukan
dalam filologi, sementara mempertahankan metode penyajian tradisionalnya yang khas.
Pengarang maghazi atau sirah terakhir disinggung adalah Ibn Sa'd yang juga
dikenal sebagai sekretaris Al-Waqidi. Ibn Sa'ad menulis dua buku: Kitab Akhbar Al-
Nabi dan Kitab Thabaqat al-Kabir. Dalam pendahuluan buku ini mengungkapkan
sejarah Nabi-nabi terdahulu, yang kemudian diikuti riwayat masa kanak-kanak Nabi
Muhammad sampai hijrah ke Madinah. Sementara pada buku yang lain mengabdikan
pada pertempuran-pertempuran yang dihadapi nabi atau maghazi dalam pengertian
13
sempit. Sedangkan bagian kedua volume ini memberikan kesimpulan tentang biografi
pribadi Nabi.
Dalam menyusun kitab-kitabnya Ibn Sa'ad banyak bersandar pada karya Al-
Waqidi. Tetapi ia melampaui Al-Waqidi dalam pengorganisasian dan pembagian
sistematik karyanya ke dalam bab-bab. Ia juga memperkenalkan penambahan penting
kepada studi sirah dengan menambahkan bagian-bagian tentang "tanda misi kenabian"
(alamat al-nubuwwah), dan tentang sifat kebiasaan dan karasteristik Nabi (sifat akhlaq
Al-Nabi). Perkembangan ini, menurut Gibb, merupakan satu tahap lebih maju dalam
penyatuan unsur hadits asli dengan arus kedua tradisi literatus—seperti terlihat Ibn Ishaq
—yang bertumpu pada seni iisah rakyat seperti dikembangkan Wahb ibn Munabbih.
(Gibb, 1938: 113)
Dengan arah baru sirah ini, karya Ibn Sa'ad akhirnya secara kuat memapankan
struktur sejarah kehidupan Nabi. Seluruh sirah yang ditulis sesudah itu mengikuti
kerangka yang sama dan bersandar terutama pada bahan-bahan yang disajikan dalam
karya-karya yang disebutkan di atas.
c. Asma' Al-Rijal
Literatur hadits menghasilkan tidak hanya maghazi dan sirah Nabi, tetapi juga
biografi para sahabat, tabi'un dan tabi' al-tabi'in. Biografi semacam ini secara umum
dikenal sebagai asma' al-rijal—yang secara harfiah berarti "nama-nama para tokoh".
Penulis pertama tentang asma' al-rijal adalah Layts ibn Sa'ad (w. 175 H/791
M). Layts mempunyai reputasi sebagai fukaha dan muhaddits yang terpandang dari
mazhab Maliki. Ia menyusun sebuat kitab berjudul Kitab Al-Tarikh. Di antara karya
dalam bidang ini pada abad kedua Hijriyah adalah kitab Al-Thabaqat, Kitab Ta'rikh Al-
Fuqaha wa Al Muhadditsin, dan kitab Tasmiyat Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin. Yang
terpenting di antara mereka adalah Thabaqat Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin karya Al-
Haytam ibn 'Adi. yang merupakan sumber penting bagi penulis-penulis belakangan,
seperti Ibn Sa'ad (w.230/844), Ibn Al-Khayyat (w. 240/854), dan lain-lain.
Karya-karya tentang asma' al-rijal terus meningkat setelah abad kedua hijriyah.
dalam abad ketiga hijriyah tidak hanya berbagai spesialis dalam bidang ini seperti Ibn
Sa'ad, Ibn Al-Khayyat, Ahmad ibn Zuhayr ibn Abi Khaytama, tetapi juga hampir
14
muhaddits terkemuka secara simultan dengan kumpulan hadits mengumpulkan pula
biografi para perawi mereka.
Salah satu karya asma' al-rijal terpenting adalah kitab Ibn Sa'ad berjudul
Kitab Thabaqat Al-Kabir, yang merupakan karya paling awal kita terima. Kitab ini
mengandung catatan biografis singkat para perawi terpenting pada masa terpenting pula
dalam hadits. Kitab ini bahkan mencakup pemimpin-pemimpin politik pada masa yang
sama. Ibn Sa'ad dalam karya ini melukiskan perbedaan di antara metode entry biografi
bagi pemimpin politik awal dengan metode bagi muhaddits. Karyanya digunakan
sebagai sumber penting bagi penulis terkenal semacam Al-Balazduri, Al-Thabari, Al-
Khatib Al-Baghdadi, Ibn Katsir, Al-Nawawi, Ibn Hajar, dan lain-lain.
Kitab Thabaqat Al-Kabir karya Ibn Sa'ad ini segera diikuti oleh Kitab Al-Ta'rikh
Al-Kabirkarya Al-Bukhari, yang sangat terkenal kerena otoritasnya dalam ilmu hadits.
Di dalam buku ini, ia mengumpulkan biografi para perawi pada umumnya, tetapi
diketahui, naskah lengkap karya ini tak dapat ditemukan lagi. Hanya berbagai bagiannya
yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan tertentu.
Al-Bukhari diikuti banyak pengarang dalam berbagai periode sejarah Islam,
sehingga menghasilkan literatur asma' al-rijal yang luar biasa banyak. Diantara yang
terpenting adalah Ibn Al-Atsir ('Izz Al-Din Muhammad, 555-630/1160-1230) dengan
karyanya Usd Al-Ghabah; dan Ibn Hajar Al-Asqalani (Syihab Al-Din Abdu Fadhi,
1371-1448) dengan karya-karya komprehenshif dalam bidang ini, berjudul Al-Ishabah fi
Tamyiz Al-Shahabah dan Thdzib Al-Tahzhib. Ketiga karya ini pada umumnya diterima
muhadditsun sebagai otoritas yang terpercaya dalam asma' al-rijal.(Siddiqy, 1961: 178-
9)
Karya-karya asma' al-rijal jelas membentuk pertumbuhan historiografi awal
Islam. Berbagai kamus biografi yang disebutkan di atas sangat diperlukan bagi setiap
orang yang ingin menulis sejarah Islam pada masa-masa awal. menurut Gibb, yang
ditulis oleh Azea, menyatakan bahwa konsepsi kamus biografi semacam itu menandai
perkembangan baru dalam seni sejarah, dan sekaligus mengilustrasikan hubungan yang
erat antara sejarah dengan ilmu hadits, karena ia semula dukumpulkan terutama untuk
kepentingan kritik hadits.( Gibb, 1938: 113)
Dari uraian di atas jelaslah, kemunculan historiografi awal Islam berkaiatan erat
dengan perkembangan doktrinal dan sosial Islam itu sendiri. Para penulis
15
historiografi paling awal dalam sejarah Islam hampir secara keseluruhan
adalah muhaddistun. Kesadaran dan kepedulian mereka terhadap kemurnian dan
kelestarian misi historis Nabi Muhammad mendorong mereka untuk mengabdikan diri
pada studi hadits. Inilah yang kemudian memunculkan pengumpulan dan penulisan
hadits, baik yang bersifat hukum maupun historis. Hadits historis pada gilirannya
memberikan bahan melimpah untuk penulisan sejarah kehidupan Nabi dalam
bentuk maghazi dansirah, yang selanjutnya diikuti dengan pengumpulan riwayat orang-
orang yang terlibat dalam proses transmisi hadits. Maghazi, sirah, dan asma' al-
rijal merupakan bentuk historiografi paling awal dalam sejarah Islam.
Sumbangan hadits kepada pembentukan pembentukan historiografi awal Islam
tidak terbatas pada sekedar penyediaan bahan yang luar biasa banyak untuk
penulisan maghazi dansirah, tetapi dalam membentuk metode penulisan historiografi itu
sendiri. Metode isnad yang terus semakin penting dalam ilmu hadits segera diterapkan
pula dalam penulisan historiografi awal Islam.
Penekanan kuat para muhaddits atas metode kronologis juga sangat
mempengaruhi metode penulisan historiografi awal Islam. Ini mewujudkan diri dalam
penulisan sejarah berdasarkan serangkaian thabaqat, urutan peristiwa, kesinambungan
pra-khalifah dalam dinasti-dinasti. Metode ini berpuncak pada sejarah annalistic—
ditulis berdasarkan tahun, seperti kitab, misalnya, dalamTa'rikh Thabari. Ini
mencerminkan sifat utama historiografer awal Islam; mereka menulis sejarah di bawah
pengaruh sudut pandang teologis. Mereka percaya bahwa pengungkapan tujuan Ilahiah
di muka bumi terjadi melalui fenomena historis atau berbagai peristiwa di dalam
masyarakat Muslim. Dengan kata lain, mereka mencoba menafsirkan sejarah dalam
kerangka rencana Tuhan, yang terungkap melalui berbagai peristiwa historis. Hanya
dalam bagian akhir karya Al-Thabari, kita melihat indikasi bahwa pendekatan "hadits
murni" tidak lagi memadai. Al-Mas'udi yang muncul lebih belakang mempertegas
terjadinya pergeseran dan pendekatan terhadap sejarah. Demikian, meski Al-Mas'udi
mempertahankan penggunaaan isnad dalam karya-karyanya, ia juga mulai melihat
sejarah dari sudut pandang sosiologis.3
3 H.A.R. Gibb, "Tarikh", Encyclopaedia of Islam, Suplement, (Leiden: 1938)
16
4) Jelaskan persamaan dan perbedaan tema historiografi islam antara aliran madina
dan aliran bazrah?
Jawab:
1. Aliran Madinah
Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam bermula di kota Madinah, kota ini
merupakan negara Islam pertama sampai berdirinya Dinasti Umawiyah yang
menjadikan Damaskus, Syria, sebagai ibu kota negara Islam. Di Madinah, kota hijrah,
Nabi Muhammad saw menerima wahyu dan menjalankan pemerintahan dan dakwahnya
hingga beliau wafat. Di kota suci agama Islam kedua setelah Mekkah ini berkumpul para
sahabat besar, yang dipandang sebagai “gudang” ilmu pengetahuan keagamaan Islam.
Ilmu pengetahuan keagamaan Islam yang pertama kali berkembang adalah ilmu
hadits, karena melalui ilmu hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui
hukum-hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan para sahabat,
keteladanan Rasulullah dan lain sebagainya.
Perkembangan ilmu hadits itu, sebagaimana telah disebutkan, dapat dikatakan
sebagai cikal bakal penulis sejarah. Dari penulisan hadits-hadits Nabi itu, para sejarawan
segera memperluas cakupannya sehingga membentuk satu tema sejarah tersendiri,
yaitu al-Maghazi(perang-perang yang dipimpin rasulullah) dan al-Sirah al-
Nabawiyah ( Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw).
Aliran sejarah yang muncul di Madinah ini kemudian disebut dengan aliran
Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak memperhatikan al-
maghazi (perang-perang yang dipimpin Rasulullah saw) dan biografi Nabi (al-Sirah al-
Nabawiyah) dan berjalan di atas pola ilmu hadits, yaitu sangat memperhatikan sanad.
Sejalan dengan riwayat pengembangannya, para sejarawan dalam aliran ini
terdiri dari para ahli hadits dan hukum islam (fiqh). Mereka itu adalah: Abdullah ibn al –
Abbas, Sa’id ibn al- Misayyab , Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad,
‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari, Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn
Syihab al-Zuhri dan Musa ibn ‘Uqbah.
Menurut ‘Abd al-Aziz al-Duri, perkembangan dan orientasi aliran Madinah ini
sangat ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama dalam bidang ilmu hukum (fiqih) dan
hadits, yaitu ‘ Urwah ibn al- Zubayr dan muridnya al-Zuhri.
17
2. Aliran Irak
aliran Irak (Kufah dan Bashrah). Aliran ini lebih luas di bandingkan dengan dua
lairan madinah, karena memperhatikan arus sejarah sebelum Islam dan masa Islam
sekaligus, dan sangat memperhatikan sejarah para khalifah. Dalam karya-karya
sejarawan aliran ini, sejarah Irak biasanya diuraikan lebih terperinci dan panjang,
sedangkan yang berkenan dengan kota-kota lain hanya sepintas saja.
Kelahiran aliran Irak ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya dan
peradaban adab. Perkembangan kebudayaaan bangsa Arab itu sendiri tidak dapat
dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial dan budaya Islam yang tumbuh di kota-kota
dan komunitas-komunitas baru.
Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di
Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lisan. Pada awal abad
kedua hijrah, mulai terlihat adanya perkembangan penulisan sejarah karena banyaknya
orang-orang yang ahli dalam bidang silsilah kabilah –kabilah dan warisan mereka yang
menulis buku-buku yang memuat nasab, syair, kisah sebagian kabilah.
Para penguasa Bani Umayyah yang sangat berorientasi kearaban itu sangat
mendorong kenyataan baru yang merupakan fenomena kebangkitan sastra dan
pemikiran, khusunya yang berhubungan dengan syair-syair jahiliyah dan adat istiadat
Arab pra- Islam itu. Dengan dukungan dari para penguasa itu, pada masa pemerintahan
Malik bin Marwan, Kufah dan Basrah berkembang menjadi kota-kota ilmu pengetahuan.
Para sejarawan aliran Irak ini, sebagaimana sejarawan Madinah, tidak dapat
menghindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits. Mereka tidak mungkin mengabaikan
peraturan isnad dalam tulisan mereka, karena prakatik-praktik penulisan sejarah yang
dilakukan saat itu telah berada di bawah pengaruh ahli hadits. Namun, para sejarawan
Irak ini menerapkan peraturan isnad dengan cara yang liberal. Bahkan kadang-kadang
tidak teliti. Ini mengakibatkan kita menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur
menyimpang dari peraturan periwayatan Hadits.
Di samping ‘Ubaidillah ibn Abi Rabi dan Zayd ibn Abih, para sejarawan alirana
Irak ini jumlahnya banyak, di antara yang terkenal adalah: Abu Amr ibn al-‘Ala,
Hammad al-Rawiyah, Abu Mikhnaf. Yang terpenting diantara mereka adalah ‘Awanah
ibn al-Hakam, Sayf ibn al-Asadi al- Tamimi dan Abu Mikhnaf. 4
4 Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997
18
5) Jelaskan contoh-contoh Historiografi Islam periode Klasik yang memiliki corak.
a. Sistematis
b. Kronologis
c. Tematis
Jawab:
1 . systematic
Some characteristics with respect to history , among others : the first , between a history with another history there is no relationship . Second , history is written in story form and sometimes in the form of dialogue . Third , these narrations occasionally interspersed with poetry to strengthen the content of the khabar .
Half a century after the death of the Prophet of the Muslims has not spawned a tradition of writing. At that time a history of moving from one person another keorang or from one generation to the next generation through oral tradition . At this time the historians did more than just become narrators and write it down in writing . Stand-alone history that is known in history as a science . Systematic Al Mas'udi praised at Thobary who criticize this method , he said :
Abu Ja'far Muhammad historical works of Ibn Jarir al Thobari , a brilliant work of historical works exceeds the others , has brought together some sort khabar , covering a variety of relics , containing a variety of sciences . This book is a book that has a great and very useful faidah .
2 . chronological
Previous period , the Muslim historians write history with a random and disorderly ( not kronoligis ) , then on the subsequent development of the historians writing method : chronological ( historical portrayal of events by year ) . As for the meaning of this method is the use of writing history tahundemi year approaches . In this method bermaca sorts of events collected in accordance events in the event. if the events that occurred in the year has been completed it will be presented switch ketahu berikutnya.at Tobari is one of the major figures in this category , by many observers of history he is seen as the first Muslim sejawaran hauliyat generating method , which is well known for his " chronicle al umam wa al mulk " .
Walaupn method of writing has progressed from a method sebelunya but still has the disadvantage that , breaking a long history of community and relationships berkelanjutna in a few years . So that history becomes fragmented and difficult to reconstruct held .
19
3 . thematic
Seeing the difficulties encountered in the thematic method Ibn Athir melontakan criticism of the methods and claimed as an alternative thematic patterns . However , it does not include the first historian in his thematic method , as previously has been no al Ya'qubi ( d. 284 H )5
5 Al Mas’udi, Muruzu az Zahab, Beirut : darl Fikr, 1973. hal. 15.
20
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997
Al Mas’udi, Muruzu az Zahab, Beirut : darl Fikr, 1973.
Muhammad Ahmad Tarhini, al Muarrikhun wa at tarikh inda al Arab, Beirut : Dar al
Kutb al Ilmiyah, 1991
H.A.R. Gibb, "Tarikh", Encyclopaedia of Islam, Suplement, (Leiden: 1938)
21