tugas filsafat komunikasi 4 (makalah)

28
Tugas Filsafat Komunikasi Tentang Merangkum Bab 6 Oleh: Febi Windya (915060014) Hellen Sanniwati (915060020)

Upload: khamda-rizki-damas

Post on 09-Dec-2014

187 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

KOMUNIKASI

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

Tugas Filsafat KomunikasiTentang

Merangkum Bab 6

Oleh:

Febi Windya (915060014)Hellen Sanniwati (915060020)

Universitas TarumanagaraFakultas Ilmu Komunikasi

Page 2: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

2008

Page 3: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

Ilmu sosial atau humaniora yang mencoba memahami tindak tanduk manusia akan

mengalami kesulitan ketika hendak membuat ukuran yang pasti dan tetap. Manusia selalu

berubah, tindakannya tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti.

A. POST-POSITIVISME

Post-positivisme merupakan pemikiran yang menggugat asumsi dan kebenara-kebenaran

positivisme. Beberapa asumsi dasar post-positivisme :

1. Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori

2. Falibilitas teori

Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti

empiris memiliki kemungkinan untuk menujukkan fakta anomali

3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai

4. Interaksi antara subjek dan objek peneliti

Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta

yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah

B. POST-POSITIVISME DALAM PENELITIAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI

Kekurangan-kekurangan dari pemikiran positivisme pada dasarnya membutuhkan dasar filsafat

ilmu yang berbeda, salah satunya adalah menolak dan mengganti prisip-prinsip positivisme

(seperti ontologi realisme, epistemologi objektif, dan aksiologi bebas-nilai) dengan bentuk

pemikiran yang menghargai prinsip nominalisme, subjketivisme, dan nilai-nilai yang hadir

dengan sendirinya (omnipresent).

I. ONTOLOGI POST-POSITIVISME

Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical realism memandang bahwa

realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil

bila manusia dapat melihat realitas tersebut secara benar. Oleh karena itu, secara metodologis

pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan

triangulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori (Denzin

dan Guba, 2001:40).

Page 4: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

Tiga bentuk ontologi yang berkembang :

1. Realisme

Kalangan realis meyakini bahwa realitas yang dapat diamati adalah realitas sebenarnya, yang

mutlak benar.

2. Nominalisme

Kalangan ini mengajukan gagasan bahwa keberadaan fenomena sosial hanya terwujud dalam

batas nama dan label yang subjek berikan pada realitas tersebut.

3. Konstruksionisme sosial

Kalangan ini menekankan bahwa realitas itu dianggap ada atau tidak bergantung pada

pengaruh makna sosial yang dimiliki subjek . Makna sosial ini dibentuk melalui interaksi

historis yang dialami subjek.

Pandangan post-positivisme mirip dengan pandangan konstruksionisme sosial dalam dua cara :

1. Kaum post-positivisme meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam berbagai cara

dan terpola secara relatif pada kerja penelitian. Semua orang mempunyai kehendak bebas

dan kreativitas, walaupun mereka menjalankan kreativitas tersebut dalam cara yang kerap

sudah terpola dan dapat diprediksi.

2. Banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut dapat ditemukan

secara objektif pada para pelaku dunia sosial. Dari konstruksi tersebut, peneliti harus

diarahkan untuk mempelajari ekses dari pengaruh konstruksi ini dalam kehidupan

komunikatif.

Dengan demikian, ontologi kalangan post-positivis sama dengan ontologi konstruksionis sosial.

Ontologi ini meyakini bahwa fenomena sosial memiliki pola-pola alamiah proses konstruksi

sosial dan memiliki dampak umum yang dapat diprediksi . Ontologi post-positivisme berbeda

dengan positivisme yang meyakini realitas sosial sebagai fenomena yang tetap, abadi dan tidak

berubah, Kalangan ini lebih menekankan pada kepercayaan tentang keteraturan dan pola

interaksi manusia dengan yang lainnya.

Page 5: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

II. EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

Asumsi-asumsi kalangan post-positivis tentang landasan ilmu-ilmu sosial dan aturan nilai dalam

produksi pengetahuan sosial pada dasarnya didasarkan pada prinsip-prinsip objektivisme.

Asumsi-asumsi ini mnecakup tiga gagasan yang saling terkait bahwa :

a. Ilmu pengetahuan bisa diperoleh melalui pencarian akan relasi kausal dan keteraturan antara

pelbagai komponen dunia sosial

b. Relasi kausal dan keteraturan tersebut bisa ditemukan bila ada pemisahan total antara

penyelidik dan subjek yang ditelitinya

c. Pemisahan ini dapat terjamin melalui penggunaan metode ilmiah

Kalangan teoritisi post-positivis secara umum mengacu pada asumsi objektivisme positivisme.

Ada dua asumsi objektivisme, yaitu :

1. pencarian atas pengetahuan dilakukan dengan bersandar pada penjelasan kausal dan

bergantung pada keteraturan yang ditemukan dalam dunia fisik dan sosial.

2. adaya pemisahan antara onjek yang diamati dengan subjek yang mengamati

Relasi kausal dan keteraturan yang dipelajari jarang bersifat sederhana dan seringkali

melibatkan multiplisitas faktor dan kekadaluarsaan hubungan (misalnya dalam komunikasi

organisasi).

Secara epistemologis, Denzin dan Guba (2001) mengatakan bahwa hubungan antara pengamat

dengan objek yang diteliti tidak bisa dipisahkan. Aliran post-positivis ini meyakini bahwa

subjek tidak mungkin dapat mencapai atau melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri di

belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan

antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus

bersifat senetral mungkin, sehingga subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.

Page 6: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

C. STRUKTUR DAN FUNGSI TEORI DALAM PERSPEKTIF POST-

POSITIVISME

1. STRUKTUR TEORI PERSPEKTIF POST-POSITIVISME

Teori pada dasarnya merupakan sebuah abstraksi. Kalangan sarjana post-positivis percaya

bahwa teori-teori tersebut harus menyediakan penjelasan umum yang melandasi penyelidikan

peristiwa-peristiwa individual. Pernyataan umum dalam sebuah teori harus tertata secara logis

dan memiliki keterhubungan yang tak dapat dipungkiri dengan realitas yang akan diteliti.

Untuk dapat memahami proses konstruksi teori , kita akan mengamati karya klasik Robert

Dublin (1978) tentang “Theory building”. Ia mengatakan bahwa teori terdiri dari satuan-satuan

pembentuk, sebelum digunakan penelitian suatu teori harus dibagi dalam unit-unit tertentu.

Teori harus dapat menspesifikasikan batas-batas konseptual penerapan suatu teori, itu berarti kita

telah meurmuskan bagian abstrak dari sebuah teori.

Theory building diterapkan dalam teori komunikasi, misalnya pada teori komunikasi empatik.

Komunikasi empatik adalah komunikasi yang melibatkan hubungan afektif dan kognitif antara

individu-individu yang berinterkasi.

Dalam teori komunikasi empatik, unit terdasarnya dalah konsep-konsep tentang :

- respon komunikatif

“kecakapan seorang pelaku interkasi dalam memahami dan merespons kebutuhan orang

lain secara tepat”

- perhatian empatik

“respons emosional nonparalel di mana seseorang ‘merasakan untuk’ yang lain”

- pengaruh emosional

“respons emosional yang sejajar di mana seseorang ‘merasakan dengan’ yang lain”

Struktur teori dalam tradisi post-positivisme mensyaratkan bahwa teori-teori yang ada mesti

menyediakan penjelasan abstrak fenomena empris dalam bentuk konsep-konsep spesifik ataupun

definisi-definisi, relasi-relasi spesifik (yang seringkali bersifat kausal) antara konsep-konsep

Page 7: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

tersebut, serta hubungan eksplisit antara konsep-konsep abstrak dan observasi empirik suatu

fenomena . Struktur seperti ini menekankan pendekatan deduktif dalam teori di mana abstraksi

tentang dunia diolah untuk kemudian diuji melalui observasi dalam dunia sosial.

Unit-unit teoritis Respons komunikatif : kecakapan pelaku komunikasi untuk

memahami kebutuhan orang lain dan merespons secara tepat.

Perhatian empatik : respons emosional yang bersifat tak sejajar

(non-paralel) di mana seseorang “merasakan untuk” yang lain.

Pengaruh emosional : respons emosional yang bersifat sejajar

(paralel) di mana seseorang “merasakan dengan” yang lain.

Hukum-hukum interaksi Hukum pertama : perhatian empatik akan meningkatkan kecakapan

dan hasrat untuk menjadi responsif dalam komunikasi.

Hukum kedua : pengaruh emosional akan mencampuri /

mengganggu kecakapan dan hasrat untuk menjadi responsif dalam

berkomunikasi.

Batas-batas Unit-unit dan hukum-hukum ini hanya untuk keadaan komunikasi

interpersonal orang yang sudah dewasa

Proposisi-proposisi Proposisi pertama : level tertinggi dari perhatian empatik akan

terhubung dengan level tertinggi respons komunikatif

Proposisi kedua : level tertinggi dari pengaruh emosional akan

terhubung dengan level terendah dari respons komunikatif

Indikator-indikator

empirik

Unit-unit teoritis bisa ditaksir lewat ukuran-ukuran catatan pribadi

Hipotesis Hipotesis pertama : korelasi positif akan eksis antara ukuran catatan

pribadi tentang perhatian empatik dan ukuran catatan pribadi

tentang respons komunikatif.

Hipotesis kedua : korelasi negatif akan eksis antara ukuran catatan

pribadi tentang pengaruh emosional dan ukuran catatan pribadi

tentang respons komunikatif

Page 8: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

2. FUNGSI TEORI PERSPEKTIF POST-POSITIVISME

Fungsi teori dalam kebanyakan pemikiran kalangan post-positivisme adalah untuk menentukan

beberapa keteraturan atas pengalaman yang tak teratur. Ada tiga fungsi teori yang paling sering

diyakini kaum post-positivis, yaitu fungsi yang saling terkait antara :

- penjelasan (explanation),

Fungsi penjelasan berarti bahwa teori-teori harus dapat menjelaskan bagaimana sesuatu itu

terjadi, dalam memindahkan dunia empirik ke dalam dunia abstrak, sebuah teori melalui

observasi berusaha menjelaskan mekanisme yang terjadi di balik suatu fenomena.

Ihwal penjelasan realitas, ada beberapa catatan yang harus disadari :

1. pada suatu teori mungkin saja memiliki beragam tipe penjelasan

2. tindakan penyelidikan yang sama dapat dijelaskan dalam cara dan teori yang berbeda

- Prediksi (prediction), dan

Presiksi berarti upaya teori dalam menyediakan penjelasan abstrak mengenai fenomena tertentu,

kemudian melalui penjelasan abstrak tersebut teori dapat digunakan untuk memprediksi apa yang

akan terjadi dalam situasi yang serupa

- Kontrol (control).

Berarti bila seseorang bisa menjelaskan dan memprediksi fenomena, maka ia juga kadangkala

bisa menggunakan informasi tersebut untuk mengontrol peristiwa yang akan terjadi

3. KRITERIA EVALUASI DAN PERBANDINGAN TEORI

Thomas Kuhn dalam Miller (2002;43-44) mengusulkan satu set kriteria evaluasi dan

perbandingan teori :

a. Sebuah teori harus akurat

Implikasi dari kriteria ini adalah bahwa sebuah teori harus layak uji. Darinya, penetapan

keakuratan sebuah teori membutuhkan para pakar untuk memasukkannya dalam

percobaan empris melalui evaluasi penelitian dunia sosial.

b. Sebuah teori harus konsisten

Baik secara internal maupun eksternal. Pada sisi internal, bermacam proposisi dan

hukum dair sebuah teori tidak boleh saling bertentangan satu sama lain. Dan pada sisi

eksternal, sebuah teori tidak boleh bertentangan dengan teori lain dalam bidang yang

sama.

Page 9: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

c. Sebuah teori harus punya ruang lingkup yang luas

Ini bukan berarti sebuah teori (terutama dalam bidang sosial), harus bersifat universal

dalam pelaksanaannya pada semua orang atau berbagai situasi.

d. Sebuah teori harus sederhana atau dalam term yang sering dipakai kalangan teoritisi.

Teori bersifat parsimonous (terbatas). Teori yang berkualitas tinggi akan menjadi satu-

satunya yang dapat menyediakan penjelasan yang jelas dan terang atas fenomena yang

diselidiki.

e. Sebuah teori harus menghasilkan .

Meski penjelasan sebuah teori terkadang justru menghalangi pemahaman kita tentang

fenomena tertentu, namun ia juga seharusnya membuka jalan untuk pencarian akan

persoalan yang dihadapi dan masa depan para ilmuwan sosial.

Page 10: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

4. Proses perkembangan teori

Postivisme meyakini bahwa teori dapat terbentuk ketika subjek menemukan hukum-

hukum dari realitas, maka post-postivisme (yang menolak adanya pemastian hukum pada realitas

teramati) pastilah memiliki pola pembentukan suatu teori.

Faktor utama dalam pengembangan teori dan pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam

tradisi post-positivisme adalah keterusterangan. Kalangan post-postivisme mengembangkan teori

dan mengakumulasi pengetahuan tentang dunia lewat proses pengujian teori secara empirik.

Ketika suatu teori yang abstrak tentang komunikasi dikembangkan, ia mesti diuji lewat observasi

atas tindakan komunikatif. Tegasnya, pada setiap proses pengujian dan pengembangan teori, kita

mesti merangkai observasi dengan metode ilmiah tertentu. Untuk dapat memahami metode

ilmiah dan penelitian perspektif post-positivisme dapat kita llihat pada tabel berikut ini :

Seleksi konsep-konsep abstrak untuk mempresentasikan fenomena yang diselidiki

Pendefinisian konsep-konsep, baik secara konseptual maupun operasional

Menghubungkan konsep-konsep tersebut lewat proposisi

Pengujian teori dengan bukti penyelidikan

Mengontrol penjelasan alternatif lewat disain studi

Pengolahan definisi dan prosedur-prosedur umum untuk penelitian oleh komunitas ilmiah

Penggunaan bukti-bukti yang tidak bersifat bias dalam membuat klaim kebenaran

Rekonsiliasi teori dan observasi secara objektif

Tabel : Perbedaan antara metode ilmiah dan metode observasi naif

Sumber : diadaptasi dari Watt dan Van den Berg (1995) dalam Miller (2002:42)

Metode ilmiah berbeda dengan metode naif. Metode naif yang dimaksud adalah cara-cara

kita meneliti suatu masalah yang hanya berdasarkan kebiasaan, atau tanpa metode yang jelas.

Sementara metode ilmiah mensyaratkan adanya penggunaan konsep abstrak tertentu dalam

mengamati kenyataan. Konsep abstrak itu dipilih dari konsep-konsep yang lain berdasarkan

tingkat kemampuannya dalam menerangkan masalah. Segera setelah pemilihan suatu konsep

abstrak, metode ilmiah akan melakukan urutan kerja, yaitu :

1. Membuat definisi operasional

Page 11: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

2. Pembuatan hubungan antar konsep

3. Pengujian teori melalui observasi, dan

4. Pembuktian empiris

Setelah suatu konsep abstrak terbukti secara empiris, maka temuannya itu diuji kembali oleh

komunitas ilmiah untuk ditentukan apakah teori itu dapat digunakan untuk penelitian lanjutan

atau tidak.

Mengapa metode ilmiah dianggap penting? Mengapa post-positivisme menggunakan

bentuk observasi tersebut. Ada banyak jawaban yang muncul atas pertanyaan ini, namun dalam

kesempatan ini hanya dua diantaranya akan diulas. Pertama, kita telah membicarakan bahwa

postivisme menggunakan teori observasi alami dan post-positivisme secara luas menolak

penyelidikan bebas prasangkan secara total. Tetapi, bagaimanapun juga suatu penyelidikan

haruslah sebisa mungkin sesuai dengan apa yang diselidiki, pada titik inilah metode ilmiah

dibutuhkan. Metode ilmiah dibutuhkan sebagai alat untuk mengeliminasi pengaruh prasangka

dalam observasi. Metode ilmiah menyediakan standar kontrol yang harus dipenuhi oleh peneliti

agar proses penelitian tidak bisa pengaruhi dirinya, juga agar interpretasi yang dilakukan pada

saat penelitian tidak memberikan tambahan yang mengurangi objektivitas kegiatan penelitian.

Kedua, kita telah mencatat bahwa post-postivisme mencari jalan untuk menjelaskan

fenomena sosial melalui teori mereka, dan penjelasan tersebut seringkali menggunakan bentuk

kausal (lihat Cook and Campbell, 1979). Dalam menguji penjelasan kausal, peneliti mencoba

memenuhi teori John Stuart Mills yang disebut undang-undang kausal. Undang-undang ini

menyatakan bahwa suatu variabel (x) dapat dikatakan penyebab variabel kedua (y), jika :

a. (x) mendahului (y) dalam waktu (x datang sebelum y)

b. x dan y berhubungan satu sama lain (ada korelasi antar x dan y)

c. Penjelasan alternatif dari kovariasi yang diobservasi dapat dihilangkan (penyebab lain

dari y dapat dihilangkan)

Sebagai contoh, kita dapat menyimpulkan bahwa ada pengaruh kekerasan tayangan televisi

pada sifat agresif pada anak, bila :

a. Dapat ditunjukkan bahwa tayangan televisi ada sebelum sifat agresif mereka

b. Dapat ditunjukkan bahwa jika tayangan TV tersebut meningkat, maka sifat agresi mereka

pun meningkat

Page 12: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

c. Penjelasan alternatif dan sifat agresif tersebut (contoh umur anak, faktor sosialisasi, minat

pada permen) dapat dihilangkan.

Memenuhi tiga cara ini, penelitian dilakukan sejumlah pengendalian tertentu. Contohnya,

dalam menghubungkan percobaan ilmiah, penelitian menentukan (mengendalikan) penjelasan

alternatif melalui prosedur tertentu seperti randomisasi dan pengendalian atas prosedur studi.

Singkatnya, penggunaan metode ilmiah menambah penggunaan kontrol yang meningkatkan

kemampuan dalam menilai kausalitas.

Persoalan lain yang mejadi bahasan pokok pada perspektif post-positivisme adalah soal

verifikasi. Verifikasi adalah metode pencocokan penelitian yang biasa digunakan perspektif

positivis.

Karl R. Popper (1902-1994) seorang pemikir Jerman yang sebenarnya aktif di Lingkaran

Wina, namun ia menolak prinsip verifikasi (pembuktian teori lewat cocoknya fakta-fakta). Teori

merupakan salah satu teori utama dalam Lingkaran Wina, melalui teori ini, Lingkaran Wina

menentukan batas antara pengetahuan dan non-pengetahuan. Bila suatu pengetahuan tidak

ditemukan fakta pendukungnya atau tidak bisa di verifikasi, maka ia bukanlah pengetahuan.

Popper menolak verifikasi dan mengajukan penggantinya, yaitu falsifikasi. Falsifikasi adalah

kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran suatu teori lewat fakta.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa inti pemikiran Popper. Popper menegaskan

bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika induksi semata.

Logika induksi adalah logika penarikan kesimpulan umum melalui pengumpulan fakta-fakta

konkret. Fakta-fakta konkret yang terkumpul atau dikumpulkan digunakan untuk membenarkan

suatu teori. Popper menolak logika ini dan mengajukan kelemahannya.

Menurut Popper, logika induksi akan menuntut ilmuwan berfokus pada fakta-fakta yang

mendukung saja sembari mengabaikan fakta-fakta yang mementahkan teori. Padahal suatu teori

ketika diakurkan dengan kenyataan berkemungkinan memiliki anomali (suatu peristiwa yang

berbeda dari yang diramalkan suatu teori. Oleh karena itu, menurut Popper daripada bersusah

payah mengumpulkan fakta-fakta yang membenarkan, lebih baik ilmuwan menggunakan

waktunya untuk mencari fakta anomali.

Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah

terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Adapun pengujian

terhadap kekuatan dua teori akan dilakukan melalui suatu tes empiris, yaitu suatu tes yang

Page 13: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

direncanakan untuk memfalsifikasi apa yang diujinya. Kalau dalam tes tersebut sebuah teori

ternyata terfalsifikasi, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan

dan lolos dalam akan diterima, sampai ditemukan cara pengujian yang lebih ketat untuk

mengujinya kembali. Disini pengetahuan menjadi maju, bukan karena hasil akumulasi

pengetahuan dari waktu ke waktu, melainkan oleh proses eliminasi yang semakin keras terhadap

kemungkinan kekhilafan dan kesalahan.

Dengan demikian apa yang dimaksud dengan objektif tidak pernah akan tercapai, karena

setiap ilmu memiliki kemungkinan salah atau keliru. Yang bisa dicapai dalam sebuah ilmu

hanyalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh mungkin dapat mendekati kebenaran

objektif. Pengetahuan tidak maju secara kumulatif, melainkan hanya berupa suatu aproximasi

(semakin mendekati) kebenaran.

Dari sisi lain hipotesis suatu pengetahuan mengharuskan adanya error elimination yang

terus-menerus, yang berarti melakukan kritik yang terus-menerus. Maka kemajuan pengetahuan

sebenarnya berarti pula meningkatnya sikap kritis.

(Baca : Problem pertama Teori Tentatif Error Eliminatiom Problem 2)

Berarti pengetahuan akan dimulai dengan suatu masalah (P1). Untuk memecahkan

masalah tersebut diajukan suatu teori yang bersifat tentatif. Kalau teori tersebut cukup sesuai dan

berguna, maka dengan bantuannya dapat tersingkir kekeliruan-kekeliruan yang antara lain telah

menimbulkan P1. Akan tetapi dengan dipecahkannya P1 maka serentak dengan itu lahir

persoalan baru (P2) -tidak peduli apakah kita menghendaki atau tidak) dan P2 kembali harus

diselesaikan dengan prosedur pada P1 dan begitu seterusnya.

Dari uraian Popper ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, teori

dijelaskan dalam hubungannya dengan masalah, karena pengetahuan selalu dimulai dengan

masalah. Untuk mengatasi masalah itu harus dimunculkan teori tentatif. Teori tentatif berarti

teori yang diduga dapat menyelesaikan masalah, yang baru terbukti setelah ia secara empiris

dapat menyelesaikan masalah. Kedua, fungsi teori tentatif adalah “menyingkirkan kontradiksi”

antara teori dan kenyataan yang diamati. Bila teori tentatif sanggup menyingkirkan kontradiksi

P1 TT EE P2

Page 14: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

maka teori tentatif itu dapat terus digunakan. Teori tentatif merupakan hipotesis atau prognosis

(rumusan yang bisa benar atau salah) yang diturunkan dari teori utama untuk menyelesaikan

suatu masalah. Bila teori tentatif tidak terbukti menyelesaikan masalah, maka teori utamanya

dianggap gagal atau tidak berlaku.

Falsifikasi adalah pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran teori

tersebut hanya sekedar dugaan sedangkan perkiraan kesalahan merupakan suatu kepastian.

Falsifikasi dijalankan menurut aturan logika modes tollens, yang berarti bahwa konsekuensi yang

ditarik dari suatu teori terbukti salah maka teori itu sendiri pun pasti salah.

Dari teori falsifikasi ini, Popper menyimpulkan bahwa data positif tidak pernah menjadi

dasar pengetahuan. Yang menjadi dasar pengetahuan, terciptanya teori baru atau runtuhnya teori

lama, adalah kemampuan teori untuk di falsifikasi. Kemudian Popper menjelaskan bahwa data

se-objektif apapun selalu sudah hasil interpretasi berdasarkan teori tertentu. Disinilah kemudian

Popper memperkenalkan apa yang dinamakannya sebagai dunia satu, yaitu dunia pengetahuan

objektif. Dunia tiga dibedakan dari dunia satu (dunia fisik) dan dunia dua (dunia kesadaran).

Bagi Popper yang benar-benar objektif (terlepas dari pengaruh subjek dan nilai) adalah dunia

tiga. Karena dunia satu (dunia benda-benda) yang diamati adalah benda-benda yang dipilih dan

ditafsirkan berdasar dunia satu. Dunia dua (kesadaran) juga demikian, kesadaran manusia tidak

pernah merupakan kesadaran hampa melainkan selalu berupa kesadaran yang terisi oleh pelbagai

teori, kepercayaan, dam pengetahuan yang berasal dari dunia tiga.

Dunia tiga dinamakan dunia pengetahuan objektif, karena pengetahuan pengetahuan yang

terkumpul dalam dunia tiga tidak lagi dapat di kontrol akibat-akibatnya oleh subjek yang

melahirkannya. Dia berkembang menurut hukumnya sendiri.

Konsep-konsep Popper ini kemudian banyak dikritik oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf

yang menuliskan gagasannya dalam buku The Structure of Scientific Refolution (1962). Kuhn

mengatakan, Popper dianggap sebagai pendukung positivisme terselubung, karena Popper masih

mempercayai kesatuan ilmu. Padahal menurut Kuhn, ilmu itu tidaklah tunggal melainkan plural.

Ilmu-ilmu atau teori-teori yang muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat dianggap

sebagai super teori yang menjadi sumber bagi munculnya teori-teori. (Gahral Adian. 2002:85).

Paradigma adalah : (1) kerangka konseptual untuk mengklasifikasi dan menerangkan

objek-objek fisikal alam; (2) patokan untuk menspesifikasi metode yang tepat, teknik-teknik, dan

Page 15: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

instrumen penelitian; (3) kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif yang absah (Gahral, 2003:

86).

Paradigma menjadi kerangka konseptual dalam memersepsi kenyataan. Suatu pemikiran

dapat berkembang menjadi paradigma bila :

(1) Memiliki cukup banyak pengikut, yang berarti ada banyak komunitas ilmiah yang

mendukungnya

(2) Pemikiran tersebut membicarakan dan membuka cukup banyak daerah persoalan

yang merangsang para ilmuwan untuk mencari pemecahannya.

Komunitas ilmuwan itulah yang kemudian memberikan legitimasi kebenaran suatu teori

jadi suatu paradigma mendapatkan legitimasinya bukan secara objektif melainkan secara

intersubjektif (antar ilmuwan). Positivisme berkembang bukan karena dirinya objektif,

melainkan karena ada komunitas ilmuwan yang menjunjung dan terus memperbaharuinya.

Sementara itu, suatu paradigma selalu memiliki dua sisi : sisi ilmiah empiris yang dapat

di-tes, dan sisi metafisis (keyakinan tentang dunia dan manusia). Seseorang menjadi penganut

paradigma tertentu biasanya karena tertarik pada sisi metafisis yang tidak bisa di-tes secara

empriris, karena itu ketertarikan dan ketidaktertarikan pada suatu paradigma tak bisa di

falsifikasi.

Bagi Kuhn, Popper sangat dipengaruhi oleh idea of progress, yaitu keyakinan bahwa

perkembangan pengetahuan akan berjalan secara linear dan bahwa setiap pergantian paradigma

lama oleh paradigma baru selalu berarti kemajuan. Kuhn meyakini idea of progress tidaklah

benar, atau suatu model yang tidak memiliki bukti dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Pertama, apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan prognosisnya, maka yang

pertama harus disalahkan bukanlah teori utama yang menjadi dasar prognosis itu, melainkan

ilmuwan yang merencanakan prosedur penelitian. Kedua, eksperimen yang secara sungguh-

sungguh hendak menjatuhkan suatu teori (experimentum crucis) merupakan peristiwa yang

sangat langka. Experimentum crucis diadakan bila terdapat krisis yang melanda suatu bidang

ilmu tertentu, dan karena itu mengundang para ilmuwan untuk mengatasinya. Krisis muncul bila

suatu hipotesis tidak terbukti dalam suatu tes empiris, namun hipotesis tersebut tidak langsung

dibatalkan melainkan dimasukkan dalam kelompok anomali, dan apabila anomali itu mulai

bertambah banyak dan kian menumpuk, barulah kemudian timbul krisis.

Page 16: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

Ketiga, Popper tidak membedakan dua jenis kerja ilmiah, yaitu kerja ilmiah normal dan

kerja ilmiah revolusioner. Ilmu normal adalah tahap pengembangan dan penerapan suatu teori.

Kekeliruan Popper adalah menganggap seluruh kerja ilmiah sebagai kerja revolusi yang

mengetes suatu teori kemudian menggugurkannya. Popper mengabaikan cara kerja ilmiah

normal, padahal banyak ilmuwan yang disiapkan untuk mengikuti cara kerja ilmiah normal

ketimbang cara kerja ilmiah revolusioner. Kerja ilmiah normal merupakan dasar dari kerja ilmiah

revolusioner, karena prosedur experimentum crucis direncanakan justru pada tahap ilmiah

normal; jadi tanpa kerja ilmiah normal, revolusi ilmiah sama sekali tidak mungkin ada.

Simpulnya, revolusi ilmiah bagaikan rencana-rencana baru yang membawa perubahan

penting, sedangkan ilmu normal kerja rutin keilmuan yang bila tidak ada akan mengakibatkan

proyek ilmiah tak dapat terpikirkan.

Keempat, setiap teori dengan sendirinya mengandung sifat kebal terhadap falsifikasi.

Kekebalan terhadap falsifikasi ini disebabkan karena setiap teori selalu mengandung unsur

hukum utama dan hukum empiris. Hukum utama merupakan unsur logis dari suatu teori,

sedangkan unsur empiris menetapkan seberapa luas penerapan teori itu dalam kenyataan. Bidang

terapan suatu teori sebenarnya dapat diperluas ke segala arah, namun ketika penerapann itu tidak

berhasil, tidak serta merta teori utama (unsur hukum) di falsifikasi. Bila teori terapan gagal maka

ada dua kemungkinan yang terjadi :

(1) Teori bersangkutan belum bisa diperluas ke bidang terapannya

(2) Bidang bersangkutan ternyata bukan bidang yang tepat untuk penerapan teori

tersebut.

Maka dengan dua kemungkinan ini, kegagalan teori terapan dalam tes empiris bukan

menggugurkan teori inti, melainkan memperluas atau mempersempit bidang terapan suatu teori.

Untuk lebih memahami pemikiran Kuhn, ada baiknya kita bicarakan Kuhn secara

terstuktur :

P1 : Paradigma 1

SN : Ilmu Pengetahuan Normal

A : Anomali

K : Krisis

P2 : Paradigma 2

P1 SN A K P2

Page 17: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

Dari model ini dapat dikemukakan bahwa :

a. Paradigma menjadi patokan bagi ilmu umtuk melakukan riset, memecahkan masalah

bahkan menyeleksi masalah apa saja yang layak dibicarakan.

b. Kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk

mendapatkan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmuwan

c. Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil menjadi paradigma. Ini adalah

periode ilmu pengetahuan normal yang menjalankan pengetahuan untuk melakukan

pembenaran berdasarkan paradigma yang dianut.

d. Ketika suatu teori/ ilmu pengetahuan normal tidak dapat menyelesaikan masalah, teori itu

tidak langsung di falsifikasi melainkan dianggap memiliki anomali. Ketika anomali itu

terus semakin melebar, terjadilah krisis ilmu pengetahuan normal.

e. Krisis memaksa komunitas ilmuwan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-dasar

ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini dianutnya. Krisis pada akhirnya

mendorong lahirnya paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan paradigma

sebelumnya.

f. Catatan : kita tidak mungkin membandingkan satu paradigma dengan paradigma lain yang

memiliki asumsi yang berbeda. Kuhn menyatakan, “Dua ilmuwan yang bekerja pada dua

paradigma yang berbeda “.

Karl R. Popper Thomas Kuhn

Ilmu pengetahuan bukan semata-mata produk

kesepakatan sosial

Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan

intersubjektif

Ilmu pengetahuan berkembang secara

evolusioner

Ilmu pengetahuan berkembang secara

revolusioner

Perkembangan ilmu pengetahuan melalui

subjek peneliti

Perkembangan ilmu pengetahuan melalui

subjek peneliti dalam suatu komunitas ilmu

pengetahuan

Rumus perkembangan ilmu pengetahuan: P1 -

TT – EE - P2

Rumus perkembangan ilmu pengetahuan: P1 -

SN – A – K - P2

Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung

secara sinambung

Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung

dalam ketidak sinambungan

Antar teori dapat dibandingkan walaupun Antarteori tak dapat diperbandingkan bila

Page 18: Tugas Filsafat Komunikasi 4 (Makalah)

asumsinya berbeda asumsinya berbeda

Tabel : Perbedaan antara Karl Popper dan Thomas Kuhn

Sumber : Gahral Adian. Menyoal Objektivisme Pengetahuan. 2002. Hlm.89

C. Catatan Akhir

Perspektif post-positivisme membawa pengaruh yang besar pada ilmu sosial yang

termasuk Ilmu Komunikasi. Melalui kritik yang mendasar terhadap positivisme yang terlalu

realis, bebas nilai, dan memisahkan subjek dan objek penelitian, post-positivisme memberikan

model penelitian khas yang ilmu sosial. Manusia bukanlah benda yang ketika diteliti hanya

menyajikan efek yang sama, manusia itu hidup dan dapat mengonstruksi tanggapan tertentu

ketika diteliti. Maka ke-objektivan tak bisa ditemukan sebagaimana kita menemukannya ketika

meneliti benda-benda. Walaupun demikian, menurut post-postivisme, keobjektivan dapat

ditemukan sejauh hubungannya dengan teori yang dipergunakan, dan post-positivisme tidak

terlepas dari kelemahan.