tugas akhir jesika
TRANSCRIPT
TUGAS AKHIR
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON FISIOLOGIS TENAGA KERJA
AKIBAT HEAT STRESS DI CONFINED SPACE
(Studi Di Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT Nippon Shokubai
Indonesia)
JESIKA WULANDARI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS VOKASI
PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA III
PROGRAM STUDI HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA
SURABAYA
2015
TUGAS AKHIR
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON FISIOLOGIS TENAGA KERJA
AKIBAT HEAT STRESS DI CONFINED SPACE
(Studi Di Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT Nippon Shokubai
Indonesia)
JESIKA WULANDARI
NIM 101210113039
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS VOKASI
PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA III
PROGRAM STUDI HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA
SURABAYA
2015
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga dapat terselesaikannya tugas akhir dengan judul “FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA RESPON FISIOLOGIS TENAGA
KERJA AKIBAT HEAT STRESS DI CONFINED SPACE (Studi di Unit Heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia)”, sebagai salah
satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan kuliah di Program
Pendidikan Diploma III Program Studi Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas
Vokasi Universitas Airlangga.
Dalam tugas akhir ini dijabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya respon fisiologis tenaga kerja akibat heat stress di confined space,
sehingga nantinya dapat digunakan bahan pertimbangan dalam pelaksanaan
pekerjaan yang berhubungan dengan heat stress di confined space. Pada
kesempatan ini disampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi–tingginya
kepada Meirina Ernawati, drh., M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan petunjuk, koreksi serta saran hingga terselesaikannya tugas akhir ini.
Terima kasih dan penghargaan disampaikan pula kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dian Agustia, S.E., M.Si, CMA., Ak., CA, selaku Dekan
Fakultas Vokasi Universitas Airlangga;
2. Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga;
3. Eni Inayati, drg., M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Fakultas
Vokasi Universitas Airlangga;
4. Erwin Dyah Nawawinetu, dr., M.Kes, selaku Koordinator Program
Pendidikan Diploma III Program Studi Higiene Industri, Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Fakultas Vokasi Universitas Airlangga;
5. Retno Adriyani, S.T., M.Kes, selaku ketua tim penguji tugas akhir;
6. Wahzani Syukri Setyawan, S.T, selaku anggota tim penguji tugas akhir;
7. Dr. Y. Denny Ardyanto Wahyudiono, Ir. M.S yang telah memberikan
arahan dan bimbingan agar tugas akhir ini terselesaikan dengan baik;
8. Dr. Diah Andriani, S.Si., M.Si selaku dosen biostatistika yang telah
membimbing penulisan tugas akhir ini;
9. Sayid Jakfar, selaku Kepala Departemen Safety and Environment PT.
Nippon Shokubai Indonesia;
10. Tri Winarno selaku Kepala Departemen Superabsorbent Polymer Plant
11. Reza, Julius, Nasorudin, Firmansyah, Wisnu, Andri, Asnawi, Sofwan,
Fuad dan Rifky, selaku responden dalam penelitian tugas akhir;
vi
12. Khoiri, Ukki, Yolanda, Nina, Firman, Eka, Alifuddin, Susan, Herman
dan seluruh tenaga kerja PT. Nippon Shokubai Indonesia yang telah
membantu dan membimbing saya dalam penyelesaian tugas akhir;
13. Bapak Salim, Ibu Marmi dan Reza, selaku keluarga yang telah
memberikan dukungan agar tugas akhir ini terselesaikan dengan baik;
14. Shella, Dinia, Mirantika, Kurnia dan Onny, sahabat yang telah
memberikan dukungan, bantuan dan do’a demi kelancaraan tugas akhir
ini;
15. Rekan – rekan seperjuangan Hiperkes dan Keselamatan Kerja 2012 yaitu
Ajeng, Alfiya, Awan, Andik, Bagas, Bagus, Dewangga, Dwiajeng, Dian,
Eindo, Faisal, Fitria, Hardianti, Igusti, Ita, Japri, Kurnia, Lailatul,
Lailiyah, Lukman, Isa, Putra, Maisaroh, Mareta, Mila, Niken, Nurmalla,
Rambang, Rendhar, Reymon, Ria, Rima, Rizki, Sheilla, Suci, Tyta dan
Wulan yang saling mendukung, membantu dan mendo’akan supaya
tugas akhir lancar;
16. Amirul yang memberikan dukungan dan do’a sampai tugas akhir ini
selesai.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga tugas akhir ini berguna baik bagi diri saya maupun pihak lain
yang memanfaatkan.
Surabaya, 18 Juni 2015
Penulis
vii
ABSTRACT
Factor Influencing Physiological Response of Workers due to Heat Stress in
the Confined Space (Studi in Heater Unit Superabsorbent Polymer Plant PT.
Nippon Shokubai Indonesia)
Hot work environment is additional workload for workers. Heat stress is the
limit of ability to accept heat workers received from the combination of body
metabolism, clothing and environmental factors such as temperature, humidity, air
movement, radiation. Heat stress can cause physiological response such as increase
the body temperature, pulse rate and blood pressure (systole and diastole) and
decrease the weight.
The aim of this study is to measure heat stress and workload and analyze
factors influencing physiological response in workers exposed to heat in confined
space heater PT. Nippon Shokubai Indonesia. This was an observational study with
cross-sectional research design. The sample was all of population (10 workers).
Data was collected by measuring physiological response before and after working,
heat stress with ISBB measurement and workload. Workload was calculated based
on SNI 7269-2007 about calorie needs according to energy expenditure.
The result of heat stress measurement show that value of ISBB is above the
Threeshold Limit Value established by PER.13/MEN/X/2011 (34,9oC) with the
workload of the workers was in the heavy category (461,94 ccal). Based on data
analysis, there was difference in the result of body temperature, pulse rate, blood
pressure and weight measurement before and after working. Based on analysis
using regression logistic statistical test, it was discovered that factors influencing
physiological response was worker’s age, smoking behavior and consume water.
The suggestion is the workers drinking small amount of water 250 ml every
half hour or so, avoid beverages such as tea and coffe, avoid eating hot, and heavy
meals. Do training and education about heat stress and make schedule to charging
water in drinking room.
Keyword: Heat stress, confined space, physiological response.
viii
ABSTRAK
Faktor Yang Mempengaruhi Respon Fisiologi Tenaga Kerja Akibat Heat
Stress di Confined Space (Studi di Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant
PT. Nippon Shokubai Indonesia)
Lingkungan kerja panas merupakan beban tambahan bagi tenaga kerja. Heat
stress adalah batasan kemampuan penerimaan panas yang diterima tenaga kerja dari
kombinasi metabolisme tubuh, pakaian kerja dan faktor lingkungan seperti
temperatur udara, kelembapan, kecepatan udara dan suhu radiasi. Heat stress dapat
menyebabkan respon fisiologis tenaga kerja seperti meningkatnya suhu tubuh,
denyut nadi, tekanan darah (sistolik dan diastolik) dan menurunnya berat badan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur iklim kerja dan beban
kerja serta menganalisis faktor yang mempengaruhi terjadinya respon fisiologis
tenaga kerja akibat heat stress di confined space unit heater PT. Nippon shokubai
Indonesia. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan desain cross-sectional.
Jumlah sampel adalah keseluruhan populasi yaitu 10 orang. Data didapatkan dari
pengukuran respon fisiologis sebelum dan sesudah bekerja, heat stress dengan
pengukuran ISBB dan pengukuran beban kerja. Beban kerja dihitung berdasarkan
SNI 7269-2007 tentang tingkat kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi.
Hasil pengukuran heat stress didapatkan rerata nilai ISBB adalah 34,9oC
sehingga telah melebihi Nilai Ambang Batas berdasarkan PER.13/MEN/X/2011
dengan beban kerja termasuk dalam kategori berat yaitu 461,94 kkal. Berdasarkan
analisis, diperoleh data bahwa terdapat perbedaan antara suhu tubuh, denyut nadi,
tekanan darah (sistolik dan diastolik) dan berat badan sebelum dan sesudah bekerja.
Berdasarkan uji statistika regresi logistik didapatkan pula hasil bahwa faktor yang
mempengaruhi terjadinya respon fisiologis tenaga kerja adalah umur, kebiasaan
merokok dan intake cairan tenaga kerja.
Disarankan pekerja mengkonsumsi air minum secara rutin setiap setengah
jam sekali minimal 250 ml atau lebih, menghindari konsumsi teh, kopi, makan
makanan panas dan berat. Dilakukan pula pelatihan dan edukasi mengenai heat
stress dan membuat jadwal pengisian air minum yang terdapat di ruang minum.
Kata kunci : Tekanan panas, ruang terbatas, respon fisiologis.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ..................................................................................................... i
PENGESAHAN ....................................................................................... ii
PERSETUJUAN ...................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS ........................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
ABSTRACT .............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ................................. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................... 3
1.3 Rumusan Masalah .......................................................... 5
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 5
1.4.1 Tujuan Umum .................................................... 5
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................... 5
1.4.3 Manfaat Penelitian .............................................. 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Hukum ........................................................... 8
2.2 Pengertian Ruang Terbatas ............................................ 8
2.3 Bahaya Ruang Terbatas .................................................. 9
2.4 Persyaratan Keselamatan Ruang Terbatas ..................... 13
2.4.1 Persyaratan Umum ............................................. 13
2.4.2 Persyaratan Dengan Izin Khusus ........................ 14
2.4.3 Persyaratan Kesehatan Pekerja yang Memasuki
Ruang Terbatas ................................................... 18
2.5 Heat Stress ..................................................................... 18
2.6 Beban Kerja .................................................................... 21
2.7 Komponen Pengukuran Temperatur Lingkungan .......... 24
2.8 Mekanisme Pertukaran dan keseimbangan Panas .......... 25
2.9 Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Tekanan Panas ...... 28
2.9.1 Pengeluaran Keringat ......................................... 29
2.9.2 Peningkatan Suhu Tubuh ................................... 29
2.9.3 Berat Badan ........................................................ 32
2.9.4 Denyut Nadi ....................................................... 33
2.9.5 Tekanan Darah ................................................... 34
2.10 Karakteristik Individu yang Mempengaruhi Kerentanan
Tubuh Terhadap Tekanan Panas .................................... 37
2.10.1 Umur ................................................................... 37
2.10.2 Jenis Kelamin ..................................................... 37
x
2.10.3 Masa Kerja ......................................................... 38
2.10.4 Lama Kerja ......................................................... 38
2.10.5 Intake Cairan ...................................................... 38
2.10.6 Status Gizi .......................................................... 39
2.10.7 Ukuran Luas Permukaan Tubuh .......................... 39
2.10.8 Kesegaran Jasmani ............................................. 39
2.10.9 Kebiasaan Merokok ............................................ 40
2.11 Aklimatisasi ................................................................... 40
2.12 Pengaruh Tekanan Panas Pada Manusia ......................... 42
2.12.1 Heat Rash ........................................................... 42
2.12.2 Heat Cramps ...................................................... 42
2.12.3 Heat Exhaustion ................................................. 42
2.12.4 Heat Stroke ......................................................... 43
2.13 Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) ............................. 43
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL
1.1 Kerangka Konseptual ..................................................... 46
1.2 Penjelasan Kerangka Konseptual ................................... 47
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ............................................................... 48
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................... 48
4.2.1 Populasi .............................................................. 48
4.2.2 Sampel dan Besar Sampel .................................. 48
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................... 48
4.4 Variabel Penelitian, Cara Pengukuran dan Definisi
Operasional ..................................................................... 49
4.4.1 Variabel Penelitian ............................................. 49
4.4.2 Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan
Skala Data .......................................................... 50
4.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ..................... 53
4.6 Prosedur Pengukuran dan Pemeriksaan ......................... 54
4.6.1 Pengukuran Heat Stress ..................................... 54
4.6.2 Pemeriksaan Suhu Tubuh ................................... 55
4.6.3 Pemeriksaan Denyut Nadi dan Tekanan Darah .. 56
4.6.4 Pemeriksaan Berat Badan dan Tinggi Badan ..... 56
4.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................... 57
4.7.1 Teknik Pengolahan Data .................................... 57
4.7.2 Analisis Data ...................................................... 58
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum PT. Nippon Shokubai Indonesia ...... 59
5.1.1 Sejarah Singkat PT. Nippon Shokubai Indonesia 59
5.1.2 Visi dan Misi Perusahaan ................................... 62
5.1.3 Kebijakan K3L di PT. Nippon Shokubai
Indonesia ............................................................ 63
5.1.4 Superabsorbent Polymer Plant .......................... 64
5.2 Karakteristik Tenaga Kerja ............................................ 67
5.2.1 Umur Tenaga Kerja ............................................ 68
5.2.2 Masa Kerja Tenaga Kerja ................................... 68
5.2.3 Status Gizi Tenaga Kerja .................................... 69
xi
5.2.4 Kebiasan Merokok Tenaga Kerja ....................... 70
5.2.6 Intake Cairan Tenaga Kerja ................................ 70
5.3 Beban Kerja Tenaga Kerja ............................................. 71
5.4 Waktu Kerja Tenaga Kerja ............................................. 73
5.5 Iklim Kerja di Confined Space Unit Heater ................... 74
5.6 Respon Fisiologis Tenaga Kerja .................................... 75
5.6.1 Suhu Tubuh Tenaga Kerja .................................. 75
5.6.2 Denyut Nadi Tenaga Kerja ................................. 77
5.6.3 Tekanan Darah Tenaga Kerja ............................. 78
5.6.4 Pemeriksaan Berat Badan ................................... 81
5.7 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap Respon
Fisiologis Tenaga Kerja ................................................. 82
5.7.1 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap
Perubahan Suhu Tubuh ........................................ 82
5.7.2 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap
Perubahan Denyut Nadi ....................................... 84
5.7.3 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap
Perubahan Tekanan Darah ................................... 86
5.7.4 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap
Perubahan Berat Badan ........................................ 89
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Tenaga Kerja ............................................ 92
6.2 Beban Kerja dan Waktu Kerja ....................................... 94
6.3 Iklim Kerja di Confined Space Unit Heater ................... 95
6.4 Respon Fisiologis Tenaga Kerja .................................... 97
6.5 Pengaruh Karakteristik Tenaga kerja Terhadap Respon
Fisiologis Tenaga Kerja ................................................. 102
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan .................................................................... 107
7.2 Saran .............................................................................. 108
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
2.1 Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Lingkungan Panas
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13
Tahun 2011
21
2.2 Perkiraan Beban Kerja Menurut Pengeluaran Energi
Berdasarkan SNI 13-7269-2007
23
4.1 Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan Skala Data
Penelitian di PT. Nippon Shokubai Indonesia Mei 2015
50
5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Tenaga Kerja di
Confined Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant
PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
68
5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja Tenaga
Kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei
Tahun 2015
69
5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Tenaga
Kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei
Tahun 2015
69
5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiaaan Merokok
Tenaga Kerja di Confined Space Unit Heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai
Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
70
5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Intake Cairan Tenaga
Kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei
Tahun 2015
70
5.6 Total Beban Kerja Tenaga Kerja di Confined Space Unit
Heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon
Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
72
5.7 Hasil Perhitungan Waktu Kerja Tenaga Kerja di Confined
Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT.
Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
73
5.8 Hasil Pengukuran Iklim Kerja di Confined Space Unit
Heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon
Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
74
5.9 Distribusi Perubahan Suhu Tubuh Tenaga Kerja
Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space
Unit Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai
Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
83
5.10 Distribusi Perubahan Denyut Nadi Tenaga Kerja
Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space
Unit Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon
Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
84
xiii
5.11 Distribusi Perubahan Tekanan Darah Sistolik Tenaga Kerja
Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space
Unit Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon
Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
86
5.12 Distribusi Perubahan Tekanan Darah Diastolik Tenaga
Kerja Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined
Space Unit Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon
Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
88
5.13 Distribusi Perubahan Berat Badan Tenaga Kerja
Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space
Unit Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai
Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
89
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Tabel Halaman
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Tentang Analisa Faktor
Yang Mempengaruhi Respon Fisiologis Pekerja Akibat
Paparan Heat Stress di Confined Space (Studi di
Superabsorbent Polymer Plant unit Heater PT. Nippon
Shokubai Indonesia)
46
5.1 Proses Produksi Superabsorbent Polymer 65
5.2 Grafik Perubahan Suhu Tubuh Sebelum dan Sesudah
Bekerja
76
5.3 Grafik Perubahan Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah
Bekerja
77
5.4 Grafik Perubahan Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan
Sesudah Bekerja
79
5.5 Grafik Perubahan Tekanan Darah Diastolik Sebelum dan
Sesudah Bekerja
80
5.6 Grafik Perubahan Berat Badan Sebelum dan Sesudah
Bekerja
81
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Lampiran
1 Lembar Kuesioner
2 Lembar Penjelasan Penelitian
3 Output Hasil Perhitungan Statistik Penelitian
4 Hasil Perhitungan Beban Kerja
5 Peta PT. Nippon Shokubai Indonesia
xvi
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Daftar Arti Lambang
< = Lebih kecil
> = Lebih besar
≥ = Lebih besar atau sama
≤ = Lebih kecil atau sama
± = Lebih kurang
% = Persen oC = Derajat celcius
cm = Sentimeter
kg = Kilogram
kg/jam = Kilogram per jam
kkal = Kilokalori
m = meter
mmHg = Milimeter higranium
Daftar Arti Singkatan
2EHA = 2-Ethylexyl Acrylate
AA = Acrylic Acid
ACGIH = American Conference of Govermental Industrial Hygienist
AE = Acrylic Ester
APD = Alat Pelindung Diri
BA = n-Butyl Acrylate
BK = Beban Kerja
EA = Ethyl Acrylate
IMT = Indeks Masa Tubuh
ISBB = Indeks Suhu Basah dan Suhu Bola
K3 = Keselamatan dan Kesehatan Kerja
LHK3 = Lingkungan Hidup Keselamatan dan Kesehatan Kerja
MB = Metabolisme Basal
NAB = Nilai Ambang Batas
NIOSH = National Institute for Occupational Safety and Health
OSHA = Occupational Safety and Health Administration
PMA = Penanaman Modal Asing
PT = Perseroan terbatas
SAP = Super Absorbent Polymer
SNI = Standar Nasional Indonesia
WBGT = Wet Bulb Globe Temperature
WHO = World Health Organization
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja, yang dimaksudkan dengan tempat kerja adalah ruangan atau lapangan,
tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, yang menjadi tempat tenaga kerja atau
sering dimasuki oleh tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan terdapat
sumber atau sumber–sumber bahaya. Pada suatu kondisi tertentu pekerja dapat
melakukan pekerjaan pada suatu ruang terbatas atau confined space.
Sumber bahaya yang terdapat di ruang terbatas atau confined space cukup
banyak, salah satunya adalah bahaya kondisi fisik berupa iklim kerja yang panas.
Energi panas yang berasal dari sumber panas dipancarkan ke lingkungan kerja
sehingga menyebabkan temperatur udara lingkungan kerja menjadi naik. Dengan
demikian iklim kerja akan berubah dan menimbulkan tekanan panas (heat stress)
pada pekerja sebagai beban panas tambahan (Soeripto, 2008). Sehingga tenaga
kerja dengan iklim kerja panas membutuhkan energi yang lebih besar
dibandingkan dengan tenaga kerja yang bekerja di lingkungan kerja yang bersuhu
nyaman yaitu 24–26oC (Suma’mur, 2009).
Selama bekerja pada lingkungan panas tersebut, suhu tubuh manusia
dipertahankan hampir menetap oleh suatu pengaturan suhu. Suhu menetap ini
dapat dipertahankan akibat keseimbangan di antara panas yang dihasilkan dari
metabolisme tubuh dan pertukaran panas di antara tubuh dan lingkungan
sekitarnya (Tarwaka, 2004).
2
American Conference of Government Industrial Hygienist (ACGIH) telah
membuat ketentuan untuk mengevaluasi lingkungan kerja yang panas yaitu
dengan menggunakan parameter Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) atau
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Faktor Kimia di Tempat Kerja adalah Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB).
Apabila tekanan panas yang diterima tenaga kerja melebihi Nilai Ambang
Batas (NAB) yang diperkenankan dan tidak dilakukan upaya pengendalian dengan
baik maka dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan menurunkan
produktivitas tenaga kerja. Sehingga tekanan panas merupakan salah satu faktor
penting yang harus diperhatikan agar produktivitas pekerja tidak menurun,
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja dapat dikendalikan secara maksimal.
Munculnya gangguan kesehatan akibat paparan panas dikarenakan oleh
respon fisiologis tubuh yang berlebihan terhadap kondisi lingkungan kerja
tersebut. Respon fisiologis tubuh karena peningkatan temperatur udara diluar
comfort zone tersebut adalah vasodilatasi, denyut jantung meningkat, dan suhu inti
tubuh meningkat. Selanjutnya apabila pemaparan terhadap tekanan panas terus
berlanjut, maka resiko terjadi gangguan kesehatan juga akan meningkat (Bernard,
2000). Kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan respon fisiologis terhadap
paparan panas juga dipengaruhi oleh faktor individu diantaranya adalah umur,
jenis kelamin, ukuran dan luas tubuh, intake cairan dan status gizi (Siswanto,
1991).
Berdasarkan data dari NIOSH (1986), Divisi Riset dan Statistik Buruh di
California, Amerika Serikat pernah terjadi kasus kematian yang menimpa 3 orang
3
pekerja akibat paparan panas dan kelembaban udara yang tinggi. Berdasarkan
hasil penelitian Siswantara (2004) yang dilakukan pada pekerja bagian peleburan
dan forming PT. IGLAS (Persero) Gresik diketahui bahwa area kerja tersebut
telah melebihi nilai ISBB yang diperkenankan yaitu 41,67oC dengan beban kerja
sedang dalam 8 jam kerja. Pada kondisi tersebut, tenaga kerja mengalami
perbedaan yang bermakna antara denyut nadi dan tekanan darah sebelum dan
sesudah bekerja.
Pada penelitian Rahmawati (2005) di PT. IGLAS (Persero) Gresik, iklim
kerja pada bagian peleburan dan forming telah melebihi NAB dengan nilai ISBB
berkisar antara 31,32oC–38,75oC. Pada kondisi tersebut sebagian besar suhu tubuh
tenaga kerja naik, dan terjadi pengeluaran keringat berlebihan selain itu pekerja
mengalami dehidrasi, kelelahan dan kram otot. Suhu tubuh yang meningkat
membutuhkan oksigen yang lebih banyak sedangkan dengan suhu lingkungan
kerja yang panas akan menganggu kekuatan otot dan pengangkutan oksigen dalam
darah tersebut.
Berdasarkan data tersebut, maka untuk mencegah terjadinya gangguan
kesehatan atau bahkan kematian pada pekerja akibat paparan panas dilakukan
penelitian untuk mengetahui nilai ISBB yang terdapat di ruang terbatas atau
confined space yang akan digunakan untuk melihat respon fisiologis terhadap
pekerja. Serta menganalisis pengaruh faktor–faktor individu terhadap respon
fisiologis pekerja tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
PT. Nippon Shokubai Indonesia merupakan perusahaan Petrokimia yang
memproduksi Acrylic Acid (AA), Acrylic Ester (AE) seperti Ethyl Acrylate (EA),
4
n-Butyl Acrylate (BA), 2-Ethylexyl Acrylate (2EHA) dan Super Absorbent
Polymer (SAP). Super Absorbent Polymer (SAP) Plant merupakan hasil produksi
yang akan digunakan sebagai bahan baku disposable diapers atau popok sekali
pakai yang digunakan oleh bayi, anak–anak dan juga orang dewasa. Salah satu
peralatan yang digunakan dalam proses produksi di SAP Plant adalah heater yang
memiliki temperatur saat beroperasi mencapai ±200oC, untuk mempertahankan
kinerja heater tersebut dilakukan pembersihan kerak secara rutin setiap tahun
sehingga heater akan menjadi area kerja confined space bagi pekerja dengan
temperatur yang cukup tinggi.
Pekerja yang membersihkan confined space heater tersebut adalah tim
khusus dari Production Departement dengan rutinitas bekerja rata–rata selama 4
jam. Pekerja akan bergantian masuk ke dalam confined space, sehingga apabila
pekerja mengalami kelelahan dan kemampuan bertahan di confined space
menurun, pekerja tersebut diwajibkan segera keluar dan pekerja yang berada di
luar segera menggantikannya. Daya tahan waktu bekerja di confined space untuk
setiap pekerja berbeda–beda.
Adanya paparan heat stress terhadap pekerja tersebut memiliki dampak
terhadap fisiologis pekerja seperti kenaikan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi,
tekanan darah, dan penurunan berat badan ditambah area kerja yang berupa
confined space yang memiliki kadar oksigen minimum. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan dengan pihak PT. Nippon Shokubai Indonesia, belum dilakukan
pemeriksaan terhadap respon fisiologis pekerja yang terpapar panas di confined
space sebelumnya. Selain respon fisiologis, faktor–faktor lain yang berasal dari
karakteristik individu juga perlu dilakukan pemeriksaan karena antara satu pekerja
5
dan pekerja lainnya memiliki karakteristik yang berbeda sehingga kemampuan
tubuh menjaga keseimbangan panas saat terpapar panas pun juga berbeda.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka diperlukan pengukuran
iklim kerja dengan parameter ISBB di area confined space heater, pemeriksaan
respon fisiologis pekerja setelah terpapar dan memeriksa karakteristik pekerja
untuk mengetahui apakah karakteristik tersebut ikut mempengaruhi respon
fisiologis terhadap heat stress yang diterima pekerja. Sehingga dengan adanya
penelitian tersebut diperoleh upaya pengendalian yang sesuai di area kerja
tersebut.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor–faktor apa saja yang
mempengaruhi respon fisiologis pekerja akibat paparan heat stress di confined
space unit heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisa faktor–faktor yang mempengaruhi terjadinya respon
fisiologis pada pekerja akibat paparan heat stress di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengukur dan mengidentifikasi karakteristik tenaga kerja yaitu umur,
status gizi, masa kerja, kebiasaan merokok, dan intake cairan terhadap
pekerja yang terpapar heat stress di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia;
6
2. Menghitung beban kerja dan waktu kerja tenaga kerja di confined
space unit heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai
Indonesia;
3. Mengukur dan menganalisis iklim kerja dengan menggunakan Indeks
Suhu Basah dan Bola (ISBB) di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia;
4. Mengukur dan menganalisis respon fisiologis pekerja yaitu suhu
tubuh, tekanan darah, denyut nadi dan berat badan pada pekerja yang
terpapar heat stress confined space unit heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia;
5. Menganalisis faktor yang mempengaruhi respon fisiologis pekerja
akibat paparan heat stress di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia.
1.4.3 Manfaat Penelitian
1. Bagi Industri
Sebagai masukan dan informasi bagi perusahaan mengenai iklim kerja,
respon fisiologis pekerja serta faktor–faktor yang mempengaruhi respon
fisiologis pekerja akibat paparan heat stress di confined space unit heater.
Sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah terjadinya gangguan
kesehatan bagi pekerja.
2. Bagi Fakultas
Sebagai literatur keilmuan keselamatan dan kesehatan kerja mengenai
faktor–faktor yang mempengaruhi respon fisiologis pekerja akibat paparan
heat stress di confined space.
7
3. Bagi Peneliti
Menambah dan meningkatkan wawasan pengetahuan, kemampuan
mengaplikasikan pengetahuan, serta pengalaman belajar khususnya
mengenai faktor–faktor yang mempengaruhi respon fisiologis pekerja
akibat paparan heat stress di confined space.
4. Bagi Pembaca
Sebagai tambahan informasi untuk perkembangan ilmu pengetahuan
dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja khususnya mengenai
faktor–faktor yang mempengaruhi respon fisiologis pekerja akibat paparan
heat stress di confined space serta dapat digunakan sebagai masukan yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Pasal 2 ayat 2 huruf 1 tentang
Ketentuan Keselamatan Kerja Dalam Tangki Sumur atau Lubang;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 86 ayat 1 huruf a tentang Hak Pekerja Memperoleh Perlindungan
Atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
3. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan
Nomor Kep.113/DJPPK/IX/2006 tentang Pedoman dan Pembinaan
Teknis Petugas Keselamatan dan Kesehatan Kerja Ruang Terbatas
(Confined Space);
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun
2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja;
5. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269:2009 Penilaian Beban Kerja
Berdasarkan Tingkat Kebutuhan Kalori Menurut Pengeluaran
Keringat;
6. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0229-1987 Pekerjaan di Dalam
Ruang Tertutup.
2.2 Pengertian Ruang Terbatas
Ruang terbatas (Confined Space) didefinisikan sebagai setiap ruang atau
tempat kerja yang memiliki ventilasi alami yang jelek dan dimana dalam udara
atmosfer ruang tersebut terdapat gas atau uap yang mudah terbakar, beracun,
9
menyebabkan iritasi, atau kadar oksigennya kurang dari 17% atau defisiensi
oksigen. Contoh confined spaces misalnya, tangki, silo, digester, ketel uap
(boiler), palka kapal, lubang atau terowongan (pit atau tunnel), saluran air kotor
(sewer) dan lain-lain (Siswanto,2010). Ciri- ciri ruang terbatas (confined space)
adalah memiliki ventilasi yang buruk, didesain untuk tidak berada di dalam secara
terus menerus, dan memiliki risiko kekurangan oksigen.
National Institute Occupational Safety and Health (NIOSH)
mendefinisikan bahwa ruang terbatas (confined space) adalah ruang dengan pintu
yang sangat terbatas untuk jalan masuk dan keluar, mempunyai ventilasi udara
yang terbatas yang memungkinkan mengandung atau menghasilkan pencemaran
udara yang berbahaya, dan tidak dimaksudkan untuk pekerjaan yang terus
menerus di dalamnya. Selanjutnya Occupational Safety and Health
Administration (OSHA), 1996 dalam 29 CFR 1926.21 mendefinisikan bahwa
ruang terbatas adalah suatu ruang tertutup yang cukup luas, di mana pekerja dapat
masuk ke dalamnya dan melakukan pekerjaan tertentu. Dimana ruang terbatas
memiliki beberapa karakteristik, diantaranya yaitu memiliki jalan masuk dan jalan
keluar terbatas, tidak dirancang dan ditujukan sebagai tempat bekerja normal dan
memiliki ventiasi yang terbatas.
2.3 Bahaya Ruang Terbatas
Bahaya ruang terbatas (confined space) menurut Tarwaka (2012) antara
lain adalah:
1. Kurangnya kadar oksigen (oxygen-deficient atmosphere)
Kadar oksigen pada ruang terbatas kurang dari 19,5% sebaiknya tidak
dimasuki tanpa menggunakan alat pelindung yang sesuai, seperti Self-
10
Contained Breathing Apparatus (SCBA). Apabila kadar oksigen turun
sampai 16–17%, maka akan meningkatkan volume pernafasan dan
memacu denyut jantung. Kadar oksigen antara 14–16% menurunkan
koordinasi otot, cepat lelah dan respirasi intermiten. Pada kadar oksigen
6% akan menyebabkan kehilangan kesadaran dan kematian dalam
beberapa menit.
Kadar oksigen di dalam ruang terbatas dapat menurun karena
pekerjaan yang sedang dilakukan, seperti pengelasan, pemotongan,
penempaan dan lain–lain. Selain itu dapat menurun karena reaksi kimia
tertentu atau melalui proses bakterisasi atau fermentasi. Kadar oksigen
juga dapat menurun jika oksigen dipindahkan atau didesak oleh gas
lainnya seperti karbon dioksida atau nitrogen. Pemindahan total oksigen
dengan gas lain seperti karbon dioksida akan mengakibatkan pingsan dan
bahkan kematian karena kehabisan oksigen.
2. Udara mudah terbakar (flammable atmospheres)
Dua hal yang menyebabkan udara mudah terbakar yaitu kadar oksigen
di udara dan gas, uap air atau debu yang mudah terbakar dalam campuran
komposisi yang cukup. Perbedaan jenis gas mempunyai tingkat
kemudahan untuk terbakar. Jika sumber penyalaan seperti peralatan listrik,
percikan bunga api dan lain–lain terdapat di dalam suatu ruang yang
mengandung udara mudah terbakar, maka akan menyebabkan kebakaran
atau peledakan.
Suatu kadar oksigen di udara di atas 21% akan menyebabkan bahan–
bahan menjadi mudah terbakar, seperti pakaian dan rumput akan terbakar
11
apabila mendapat penyalaan. Oleh sebab itu, jangan menggunakan oksigen
murni (pure oxygen) untuk membuat ventilasi di dalam ruang terbatas.
3. Udara beracun (toxix atmosphere)
Sebagian besar bahan–bahan seperti cairan, uap air, gas, kabut,
material padat dan debu harus dipertimbangkan sebagai bahan berbahaya
di dalam ruang terbatas. Bahan–bahan beracun dapat berasal dari beberapa
sebab seperti berikut ini:
a. Penyimpanan produk di dalam ruangan.
Suatu produk dapat diserap ke dalam dinding dan terlepas menjadi
gas beracun pada saat dipindahkan kembali atau pada saat
pembersihan sisa produk yang disimpan, gas beracun dapat terlepas.
Sebagai contoh, pemindahan endapan dari tangki penguraian material
tersebut akan dapat melepaskan gas hidrogen sulfida mematikan.
b. Pekerjaan yang sedang dilakukan di ruang terbatas
Pekerjaan–pekerjaan yang dilakukan di ruang terbatas (confined
space) antara lain adalah pengelasan, pemotongan, penempaan,
pengecatan, scraping, sanding, degresing dan lain–lain. Udara beracun
biasanya dihasilkan dari berbagai proses. Sebagai salah satu contohnya
adalah bahan pelarut (solvent) yang digunakan pada banyak industri
untuk pembersihan atau pelepasan lemak. Uap air dari bahan pelarut
tersebut sangat beracun di dalam ruang terbatas.
c. Area yang berdekatan dengan ruang terbatas
Bahan–bahan yang beracun biasanya dihasilkan dari pekerjaan di
area sekitar ruang terbatas yang akan masuk dan terakumulasi di dalam
12
ruang terbatas tersebut dan mengakibatkan udara di dalamnya sangat
berbahaya.
Di samping potensi–potensi bahaya seperti diuraikan sebelumnya, terdapat
pula potensi–potensi bahaya fisik yang berkaitan dengan pekerjaan di confined
space. Antara lain adalah sebagai berikut:
1. Temperatur yang terlalu tinggi (Temperature extremes)
Temperatur udara yang sangat panas atau dingin dapat menyebabkan
masalah bagi pekerja. Sebagai contoh, apabila ruang terbatas sedang
dibersihkan dengan cara penguapan, maka harus didinginkan terlebih
dahulu sebelum pekerja memasuki ruang terbatas tersebut.
Temperatur udara ruang terbatas yang terlalu panas akan
mengakibatkan pekerja mudah mengalami kelelahan, karena tubuh
kehilangan garam dan cairan. Apabila temperatur panas berlebihan, maka
suhu tubuh akan meningkat sehingga dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan. Pada keadaan yang berat, suhu tubuh menjadi sangat tinggi
dapat menyebabkan pekerja pingsan sampai dengan kematian.
2. Bahaya tertelan material (Engulfment hazard)
Pelepasan butiran material yang disimpan di dalam bin dan hopper
seperti butiran pasir, batu bara atau material sejenisnya dapat meliputi atau
menelan pekerja. Material–material tersebut dapat menelan dan membuat
mati lemas pekerja yang bekerja di dalamnya.
3. Kebisingan (Noise)
Intensitas kebisingan di ruang terbatas dapat diperkuat atau
intensitasnya menjadi lebih tinggi karena akustik dan desain yang sempit.
13
Intensitas kebisingan yang berlebihan tidak hanya merusak pendengaran,
namun juga mempengaruhi komunikasi seperti menyebabkan tidak
didengarnya tanda peringatan atau tanda bahaya
4. Permukaan lantai yang basah atau genangan air
Terpeleset dan jatuh dapat terjadi pada suatu permukaan kerja yang
basah yang dapat menyebabkan cedera pada pekerja. Selain itu permukaan
kerja yang basah akan meningkatkan kemungkinan terjadinya sengatan
arus listrik pada area dimana digunakan peralatan–peralatan yang
menggunakan listrik.
5. Kejatuhan objek (Falling objects)
Pekerja yang bekerja di ruang terbatas harus sadar akan kemungkinan
kejatuhan objek, khususnya pada ruangan yang menggunakan pintu
pembuka dari bagian atas untuk masuk, dan dimana pekerjaan dilakukan
di atas pekerja.
2.4 Persyaratan Keselamatan Ruang Terbatas
Persyaratan–persyaratan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan
di ruang terbatas (confined space) meliputi persyaratan umum, persyaratan khusus
dan persyaratan untuk kesehatan orang yang memasuki ruang terbatas (Tarwaka,
2012).
2.4.1 Persyaratan Umum
1. Pengurus wajib melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap tempat
kerja untuk menentukan apakah terdapat ruang terbatas dengan izin
khusus.
14
2. Jika pada tempat kerja terdapat ruang terbatas dengan izin khusus,
maka pengurus wajib menginformasikannya kepada pekerja dengan
memasang tanda bahaya atau peralatan lain yang efektif, mengenai
keberadaan dan lokasi serta bahaya yang terdapat dalam ruang terbatas
yang memerlukan izin khusus tersebut.
3. Jika pengurus memutuskan bahwa pekerja tidak diperbolehkan
memasuki ruang terbatas dengan izin khusus, maka pengurus wajib
melakukan langkah–langkah untuk mencegah dan melarang pekerja
memasuki ruang terbatas tersebut.
2.4.2 Persyaratan Dengan Izin Khusus
1. Jika pengurus memperbolehkan pekerja memasuki ruang terbatas
dengan izin khusus, maka pengurus wajib mengembangkan dan
mengimplementasikan program tertulis (izin khusus) dan harus
diketahui oleh pekerja dan perwakilannya.
2. Persyaratan yang wajib dilakukan untuk memasuki ruang terbatas
dengan izin khusus, adalah :
a. Jika penutup akses pintu masuk dibuka, maka jalur tersebut harus
dipasang selusur, penutup sementara atau penghalang sementara
lainnya untuk mencegah masuknya pekerja tanpa disengaja dan
untuk melindungi kepala pekerja di dalam ruang terbatas tersebut
dari masuknya benda asing ke dalam ruangan.
b. Sebelum pekerja memasuki ruang terbatas, udara di dalam ruangan
harus diuji terlebih dahulu, berturut–turut untuk kadar oksigen, gas
dan uap yang mudah terbakar dan kontaminan yang berpotensi
15
berbahaya, dengan peralatan yang telah dikalibrasi. Setiap pekerja
tersebut, wajib diberi kesempatan mengawasi pengujian tersebut.
Jika pemberian ventilasi tidak memungkinkan dan tetap harus
memasuki ruang, maka pekerja harus menggunakan alat pelindung
diri yaitu respirator yang memadai sesuai dengan kondisi ruang
terbatas.
c. Wajib menyediakan sistem aliran udara secara kontinyu, dengan
ketentuan sebagai berikut :
1) Pekerja tidak boleh memasuki ruangan sebelum udara
berbahaya di dalamnya dibersihkan terlebih dahulu.
2) Aliran udara tersebut diarahkan sedemikian rupa sehingga
dapat mencapai area dimana pekerja akan berada dan harus
berlangsung terus menerus selama pekerja akan berada di
dalam. Pengaturan aliran udara tersebut harus diperoleh dari
sumber yang bersih dan tidak boleh meningkatkan bahaya
dalam ruangan. Ventilasi dapat diperoleh melalui difusi
mekanik dengan penggunaan blower dan fan.
3) Udara dalam ruangan harus diuji secara berkala sesering
mungkin untuk memastikan bahwa pengaturan aliran udara
dapat mencegah akumulasi udara yang berbahaya dalam
ruangan. Setiap pekerja yang memasuki ruangan, atau
perwakilan pekerja tersebut, wajib diberi kesempatan untuk
mengamati proses pengujian tersebut.
16
4) Jika ternyata terdeteksi udara berbahaya di ruang terbatas
selama kegiatan berlangsung, maka
a) Setiap pekerja harus meninggalkan ruangan terbatas
tersebut secepatnya.
b) Ruangan harus dievaluasi untuk menentukan bagaimana
udara berbahaya tersebut dapat terjadi, dan
c) Harus dilakukan pemeriksaan untuk melindungi pekerja
dari udara berbahaya tersebut sebelum kegiatan berikutnya
berlangsung.
5) Pengurus wajib memastikan bahwa ruang tersebut telah aman
dan telah dilakukan pemeriksaan sebelum kegiatan berlangsung
melalui pernyataan tertulis, yang memuat tanggal, lokasi ruang
dan tanda tangan petugas pemeriksa. Pernyataan tertulis
tersebut harus dibuat sebelum kegiatan berlangsung dan dapat
dilihat oleh pekerja yang akan melakukan kegiatan daam ruang
tersebut, atau perwakilan pekerja tersebut.
3. Jika terdapat perubahan pada penggunaan atau konfirmasi ruang
terbatas tanpa izin khusus yang mungkin meningkatkan bahaya pada
pekerja di dalamnya pengurus wajib melakukan evaluasi ulang
terhadap ruang tersebut, dan bila perlu mengklasifikasikannya sebagai
ruang terbatas dengan izin khusus.
4. Ruang yang diklasifikasikan sebagai ruang terbatas dengan izin khusus
oleh pengurus, dapat dikasifikasikan kembali sebagai ruang terbatas
tanpa izin khusus dengan persyaratan berikut :
17
a. Jika ruang terbatas dengan izin khusus tersebut tidak mengandung
udara berbahaya, dan jika bahaya didalamnya telah dieliminasi
tanpa perlu masuk ke dalam ruangan tersebut, ruang tersebut dapat
diklasifikasikan kembali sebagai ruang terbatas tanpa izin khusus
selama tetap tidak terdapat udara berbahaya di dalamnya.
b. Jika dirasakan perlu untuk memasuki ruang tersebut untuk
menghilangkan bahaya di dalamnya, kegiatan tersebut harus
dilakukan sesuai prosedur kerja aman. Jika pengujian dan
pemeriksaan selama kegiatan membuktikan bahwa bahaya dalam
ruang tersebut dapat diklasifikasikan kembali sebagai ruang
terbatas tanpa izin khusus selama tetap tidak terdapat bahaya di
dalamnya.
c. Pengurus wajib mendokumentasikan dasar penentuan bahwa
seluruh bahaya dalam ruang terbatas dengan izin khusus telah
dihilangkan, melalui sertifikasi yang memuat tanggal, lokasi ruang
dan tanda tangan petugas yang membuat penentuan tersebut.
Sertifikasi tersebut dapat dibaca oleh seluruh pekerja yang
memasuki ruang tersebut atau oleh perwakilan pekerja.
d. Jika bahaya timbul dalam ruang terbatas dengan izin khusus yang
telah diklasifikasikan sebagai ruang terbatas tanpa izin khusus,
seluruh pekerja wajib meninggalkan ruangan. Pengurus wajib
mengevaluasi kembali ruang tersebut dan menentukan apakah
ruang tersbut harus diklasifikasikan kembali sebagai ruang terbatas
dengan izin khusus.
18
2.4.3 Persyaratan Kesehatan Pekerja yang Memasuki Ruang Terbatas
Bekerja di ruang terbatas dapat memberikan tekanan fisik dan psikologis
bagi pekerja. Hal ini dikarenakan kualitas penerangan yang buruk dan ruangan
yang sempit, dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan keseimbangan karena
menurunnya fungsi koordinasi dan peredaran darah yang tidak normal. Pengurus
wajib memastikan petugas yang bekerja di ruang terbatas dalam keadaan sehat
secara fisik dan dinyatakan oleh dokter pemeriksa kesehatan kerja bahwa petugas
tersebut tidak mempunyai riwayat:
1. Sakit sawan atau epilepsi;
2. Penyakit jantung atau gangguan jantung;
3. Asma, bronchitis atau sesak napas apabila kelelahan;
4. Gangguan pendengaran;
5. Sakit kepala seperti migrain ataupun vertigo yang dapat menyebabkan
disorientasi;
6. Klaustropobia, atau gangguan mental lainnya;
7. Gangguan atau sakit tulang belakang;
8. Kecacatan penglihatan permanen;
9. Penyakit lainnya yang dapat membahayakan keselamatan selama
bekerja di ruang terbatas.
2.5 Heat Stress
Tekanan panas atau heat stress adalah batasan kemampuan penerimaan
panas yang diterima tenaga kerja dari kontribusi kombinasi metabolisme tubuh
akibat melakukan pekerjaan dan faktor lingkungan seperti temperatur udara,
19
kelembapan, pergerakan udara radiasi dan pakaian yang digunakan (ACGIH,
2011)
Menurut Santoso (2004), tekanan panas (heat stress) adalah beban iklim
kerja yang diterima oleh tubuh manusia. Tekanan panas adalah kombinasi dari
suhu udara, kelembapan udara, kecepatan udara dan suhu radiasi yang
dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh (Suma’mur, 2009).
Dalam bukunya yang berjudul Occupational Safety and Health for
Technologist, Engineer, and Managers, David Goetsch (2008) mengemukakan
bahwa:
“Heat stress is the heat load to which a worker may be exposed from the
combined contributions of metabolic effect to work, environmental factors
(i.e., air temperature, humidity, air movement, and radiant heat exchange)
and clothing requirements. A mild or moderate heat stress may cause
discomfort and may adversely affect performance and safety, but it is not
harmful to health”
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja pasal 1 ayat 13 menyatakan bahwa:
“Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembapan, kecepatan
gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh
tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya”.
Istilah iklim kerja dan tekanan panas (heat stress) mempunyai interpretasi
yang sama yaitu merupakan kombinasi diantara suhu udara, kelembapan udara,
kecepatan udara dan suhu radiasi. Interpretasi yang sama sehingga memudahkan,
selanjutnya mempergunakan istilah tekanan panas (heat stress).
Kemampuan manusia beradaptasi dengan temperatur lingkungan secara
umum dilihat dari perubahan suhu tubuh. Manusia dianggap mampu beradaptasi
20
dengan temperatur lingkungan bila perubahan suhu tubuh tidak terjadi atau
perubahan suhu tubuh yang terjadi masih pada rentang yang aman. Sebagaimana
diketahui bahwa suhu tubuh atau core body temperature harus berkisar 37–38OC
(Hendra, 2009).
Apabila suhu lingkungan tinggi (lebih tinggi daripada suhu tubuh normal),
maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh karena tubuh
menerima panas dari lingkungan, sedangkan hal yang sebaliknya terjadi, yaitu bila
suhu lingkungan rendah (lebih rendah daripada suhu tubuh normal). Maka panas
tubuh akan keluar melalui evaporasi dan ekspirasi sehingga tubuh dapat
mengalami kehilangan panas (Hendra, 2009)
Tubuh manusia dapat menyesuaikan diri dengan temperatur luar jika
perubahan temperatur luar yang terjadi tidak lebih dari 20% untuk suhu panas dan
35% untuk suhu dingin, semuanya dari keadaan normal tubuh. Batas toleransi
untuk suhu tinggi adalah 35oC–40oC, kecepatan gerakan udara 0,2 m/detik,
kelembapan udara 40%-50% dan perbedaan suhu permukaan 40oC.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja, Nilai Ambang Batas (NAB) iklim kerja berdasarkan nilai
Indeks Suhu Basah dan Suhu Bola (ISBB) dapat dijelaskan sebagai berikut:
21
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Lingkungan Panas Berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun
2011
Sumber: Lampiran I Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011
Catatan:
1. Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 kkal per jam
2. Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan
kurang dari 350 kkal per jam
3. Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang
dari 500 kkal per jam
2.6 Beban Kerja
Beban kerja menurut Hart dan Staveland 1988 dalam Tarwaka (2011),
merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas,
lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, ketrampilan, perilaku,
dan persepsi dari pekerja. Setiap pekerjaan apapun jenisnya baik memerlukan otot
atau pemikiran merupakan beban bagi pekerjanya. Beban tersebut bisa fisik,
mental, atau sosial. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam
hubungannya dengan beban kerja, mungkin diantara mereka lebih cocok untuk
beban fisik, mental atau sosial, namun merkea hanya mampu memikul beban
sampai pada batas tertentu, bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang.
Pengaturan waktu kerja
setiap jam
ISBB (OC)
Beban Kerja
Ringan Sedang Berat
75 % - 100 % 31,0 28,0 -
50 % - 75 % 31,0 29,0 27,5
25 % - 50 % 32,0 30,0 29,0
0 % - 25 % 32,2 31,1 30,5
22
Dengan demikian penempatan tenaga kerja harus tepat di bidang pekerjaan dan
tempatnya (Suma’mur, 2009).
Ada dua macam metode pengukuran beban kerja yaitu pengukuran secara
tidak langsung dan pengukuran secara langsung. Pengukuran beban secara tidak
langsung biasanya dilakukan dengan mengukur berat dan ringan beban fisik
secara subyektif, denyut nadi dan aktivitas kerja. Pengukuran beban kerja secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan kalorimeter (Tarwaka,
2004).
Beban kerja adalah beban yang dirasakan setiap pekerja saat
melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan panas yang diakibatkan oleh
metabolisme sangat bergantung pada kegiatan tubuh manusia.
Menurut SNI 13-7269-2007 Tentang Penilaian Beban Kerja Berdasarkan
Tingkat Kebutuhan Kalori Menurut Pengeluaran Energi, beban kerja adalah beban
yang dialami oleh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaan yang dilakukan olehnya.
Prosedur penilaian beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut
pengeluaran energi adalah (SNI 13-7269-2007) :
1. Mengukur berat badan tenaga kerja;
2. Mengamati aktivitas tenaga kerja (kategori pekerjaan dan posisi badan)
3. Menghitung dan mencatat waktu aktivitas tenaga kerja dengan
menggunakan stop watch dan menilai beban keja setiap aktivitas
tenaga kerja dengan menggunakan Tabel 2.2
4. Menghitung rerata beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori
menurut pengeluaran energi dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
23
Rerata BK = (BK1XT1) + (BK2XT2) + ... + (BKnXTn) X 60 kkal per jam
(T1 + T2 + ... + Tn)
Metabolisme basal untuk laki – laki = berat badan (kg) x 1 kkal per jam
Metabolisme basal untuk wanita = berat badan (kg) x 0.9 kkal per jam
Total BK = Rerata BK + MB
Keterangan:
BK = Beban kerja per jam
BK1, BK2, BKn = Beban kerja sesuai aktivitas tenaga kerja
T1, T2, Tn = Waktu sesuai aktivitas tenaga kerja (menit)
MB = Metabolisme Basal
Tabel 2.2 Perkiraan Beban Kerja Menurut Pengeluaran Energi Berdasarkan SNI
13-7269-2007
Pekerjaan Posisi Badan
Duduk
hmkjhj
0,3
Berdiri
Jhkjhh
0,6
Berjalan
.jjjkjkjkj
3,0
Berjalan
Mendaki
3,8
Pekerjaan dengan tangan
Kategori I (contoh: menulis, merajut) 0,30
Kategori II (contoh: menyetrika) 0,70
Kategori III (contoh: mengetik) 1,10
0,60
1,00
1,40
0,90
1,30
1,70
3,30
3,70
4,10
4,10
4,50
4,90
Pekerjaan dengan satu tangan
Kategori I (contoh: menyapu lantai) 0,90
Kategori II (contoh: menggergaji) 1,60
Kategori III (contoh: memukul paku) 2,30
1,20
1,90
2,60
1,50
2,20
2,90
3,90
4,60
5,30
4,70
5,40
6,1
Pekerjaan dengan dua lengan
Kategori I (contoh: mengemas barang dalam dus) 1,25
Kategori II (contoh: memompa, menempa besi) 2,25
Kategori III (contoh: mendorong kereta bermuatan) 3,25
1,55
2,55
3,55
1,85
2,85
3,85
4,25
5,25
6,25
5,05
6,05
7,05
Pekerjaan dengan menggunakan gerakan tangan
Kategori I (contoh: pekerjaan administrasi) 3,75
Kategori II (contoh: mengepel, membersihkan karpet) 8,75
Kategori III (contoh: menggali lubang, menebang pohon) 13,75
4,95
9,05
14,05
4,35
9,35
14,35
6,75
11,75
16,75
7,55
12,55
17,55
Sumber: Lampiran A dalam SNI 13-7269-2007
24
2.7 Komponen Pengukuran Temperatur Lingkungan
Pengukuran temperatur lingkungan dilakukan dengan mengukur
komponen temperatur yang terdiri dari suhu kering, suhu basah alami, dan suhu
radiasi. Disamping itu juga perlu dilakukan pengukuran terhadap kelembapan
udara relatif dan kecepatan angin. Temperatur lingkungan umumnya dinyatakan
dalam Wet-Bulb Gobe Temperature (WBGT) atau juga dikenal dengan Indeks
Suhu Basah dan Bola (ISBB) (ACGIH, 2001).
Komponen dari iklim kerja atau heat stress adalah sebagai berikut
(ACGIH, 2001):
1. Suhu Kering (Dry Bulb Temperature)
Suhu kering adalah suhu udara lingkungan tanpa adanya pengaruh dari
radiasi yang ditunjukkan oleh suatu termometer yang akurat setelah panas
radiasi yang dapat mempengaruhi hasil pembacaan dikoreksi.
2. Suhu Basah Alami (Natural Wet Bulb Temperature)
Suhu basah alami adalah suhu yang menunjukkan bahwa udara telah
jenuh dengan uap air. Pengukuran suhu basah alami dilakukan dengan
menggunakan termometer yang dilengkapi dengan kain katun yang bersih
dan diberi air yang telah disuling atau didistalasi.
3. Kelembapan udara (Humadity)
Kelembapan udara adalah kandungan uap air dalam udara. Pengukuran
kelembapan udara penting dilakukan karena merupakan salah satu faktor
kunci dari iklim yang mempengaruhi proses perpindahan panas dari tubuh
dengan lingkungan melalui evaporasi. Kelembapan yang tinggi
menyebabkan proses evaporasi menjadi rendah. Kelembapan dibedakan
25
menjadi kelembapan absolut dan kelembapan relatif atau nisbi.
Kelembapan absolut adalah berat uap air per unit volume udara (gram uap
air per liter udara). Sedangkan kelembapan nisbi atau relative adalah rasio
dari banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap
banyaknya uap air pada saat udara telah jenuh dengan uap air pada
temperature tersebut, yang dinyatakan dalam bentuk %.
4. Kecepatan Udara (Air Movement)
Kecepatan aliran udara adalah kecepatan angin yang bergerak pada
tempat kerja. Kecepatan angin sangat penting perannya dalam proses
pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan khususnya melalui proses
konveksi dan evaporasi. Kecepatan angin umumnya dinyatakan dalam feet
per minute (fpm) atau meter per second (m/sec).
5. Suhu Bola (Globe Temperature)
Suhu bola merupakan suhu dari radiasi inframerah yang merupakan
gelombang elektromagnetik yang terdapat di lingkungan kerja.
2.8 Mekanisme Pertukaran dan Keseimbangan Panas Tubuh
Suhu tubuh manusia dipertahankan hampir menetap oleh suatu sistem
pengaturan suhu (thermoregulatory system). Suhu menetap adalah akibat
keseimbangan antara panas yang dihasilkan oleh tubuh dan pertukaran panas di
antara tubuh dan lingkungan sekitar (Suma’mur, 2009).
Suhu tubuh dalam keadaan normal dan sedang istirahat akan tetap. Hal ini
adalah akibat adanya keseimbangan antara panas yang dihasilkan oleh tubuh dan
panas lingkungan sekitar, panas dalam tubuh dikurangi melalui permukaan kulit
(Suma’mur, 2009).
26
Menurut Suma’mur (2009), suhu nikmat adalah sekitar 24–26oC bagi orang
Indonesia, namun pada umumnya orang Indonesia mampu beraklimatisasi dengan
iklim tropis yang suhunya sekitar 29-30 oC. Pada suhu ini pekerja dapat bekerja
dengan optimal, apabila suhu dinaikkan atau diturunkan maka akan terjadi
penurunan produktivitas. Lingkungan yang sangat panas atau sangat dingin akan
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia.
Terjadinya proses pemindahan panas dari dalam tubuh ke lingkungan akan
menjadi hal yang sangat penting dalam usaha mempertahankan suhu tubuh agar
tetap konstan. Panas dari dalam tubuh akan dibawa oleh darah menuju kulit
kemudian dipindahkan ke lingkungan luar melalui proses konduksi, konveksi,
radiasi dan penguapan atau evaporasi (Guyton & Hall, 2000). Faktor yang dapat
menyebabkan pertukaran panas diantara tubuh dengan lingkungan luar meliputi
konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Guyton & Hall, 2000).
1. Konduksi
Konduksi yaitu perpindahan panas antara tubuh dan benda sekitar
melalui sentuhan kontak. Pertukaran secara konduksi terjadi pada kontak
tubuh dengan udara, cairan, atau padat. Udara merupakan suatu konduktor
yang kurang baik sehingga dalam rumus persamaan keseimbangan panas
tidak ikut diperhitungkan. Namun, peranan konduksi tidak dapat diabaikan
bila kulit kontak dengan logam, karena logam umumnya konduktor baik.
Apabila terjadi perpindahan panas dari kulit ke udara, maka supaya
perpindahan panas dari tubuh tetap dapat berlangsung maka temperature
udara harus lebih dingin dari suhu kulit (Soeripto, 2008).
27
2. Konveksi
Konveksi adalah proses pertukaran panas dari tubuh dengan
lingkungan melalui kontak udara dengan tubuh. Faktor yang
mempengaruhi proses konveksi ini adalah perbedaan suhu kulit dan suhu
udara sekitarnya serta kecepatan aliran udara atau angin.
3. Radiasi
Radiasi adalah pertukaran panas tubuh dengan lingkungan melalui
radiasi gelombang elektromagnetik. Pertukaran panas dengan cara radiasi
antara tubuh dan benda sekitarnya yakni dengan cara menyerap atau
memancarkan panas. Pertukaran panas dengan cara demikian, tidak
dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan aliran udara, tetapi dipengaruhi oleh
perbedaan suhu kulit dan suhu dari benda padat yang berada di sekitar
tubuh. Panas yang diakibatkan metabolisme sangat tergantung dari
kegiatan tubuh.
Radiasi merupakan mekanisme kehilangan panas paling besar pada
kulit yaitu sebesar 60% seluruh mekanisme kehilangan panas. Panas
adalah energi kinetik pada gerakan molekul. Sebagian besar energi pada
gerakan ini dapat dipindahkan ke udara apabila suhu udara lebih dingin
dari kulit. Sekali suhu udara bersentuhan dengan kulit, suhu udara menjadi
sama dan tidak terjadi lagi pertukaran panas.
4. Evaporasi
Evaporasi adalah proses pertukaran panas tubuh dengan lingkungan
melalui penguapan keringat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
banyaknya penguapan keringat yaitu kecepatan aliran udara dan perbedaan
28
tekanan uap air pada suhu kulit dan tekanan parsial uap air dalam udara
atmosfer (Siswanto, 1991).
Penguapan keringat oleh tubuh akan terganggu apabila suhu dan
kelembapan udara lingkungan sekitarnya sangat tinggi (Hot Humid
Environment) karena udara telah jenuh dengan uap air. Sebagai akibat dari
terganggunya evaporasi ini, maka suhu tubuh akan meningkat. Cara tubuh
dalam mempertahankan suhu tubuhnya agar selalu normal yaitu 37oC
adalah sebagai berikut (Siswanto, 1991):
a. Peningkatan aliran darah ke kulit;
b. Pengeluaran keringat;
c. Peningkatan produksi panas oleh tubuh dengan cara menggigil
apabila suhu udara di lingkungan sekitar tubuh rendah.
2.9 Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Tekanan Panas
Heat strain adalah reaksi fisiologis tenaga kerja oleh karena peningkatan
temperatur udara di luar comfort zone. Heat strain ditandai dengan meningkatnya
suhu tubuh >38oC. (Siswanto, 1991). Reaksi fisiologis yang terjadi seperti
vasodilatasi, denyut jantung meningkat, temperatur kulit meningkat, dan suhu inti
tubuh yang pada awalnya menurun menjadi meningkat. Selanjutnya apabila
pemaparan panas terus berlanjut, maka resiko terjadinya gangguan kesehatan akan
meningkat. Reaksi fisiologis akibat pemaparan panas yang berlebihan juga dapat
menyebabkan penurunan berat badan (Bernard, 2000). Beberapa indeks yang
digunakan untuk menentukan besarnya respon fisiologis terhadap tekanan panas,
antara lain adalah (Siswanto, 1991):
29
2.9.1 Pengeluaran Keringat
Respon tubuh terhadap tekanan panas dapat dilihat dari banyaknya
keringat yang dihasilkan oleh tubuh. Banyak keringat akan ditentukan oleh jumlah
kelenjar keringat yang aktif dan banyaknya keringat yang diproduksi oleh kelenjar
keringat tersebut. Seseorang yang telah beraklimatisasi dapat mengeluarkan
keringat sebanyak 1–1,5 kg per jam dan keadaan ini berlangsung sampai beberapa
jam. Keringat menetes pada permukaan kulit apabila intensitas keringat telah
melampaui 1/3 dari kapasitas evaporasi maksimal (Siswanto, 1991).
Menurut Siswanto (1991), satu gram keringat dapat mengelimanisasi
panas tubuh sebanyak 0,58 kkal dan banyak keringat yang menguap akan
ditentukan oleh perbedaan antara tekanan uap air pada kulit dan tekanan parsial
uap air yang terdapat dalam udara atmosfer. Apabila udara suatu ruang telah jenuh
terhadap uap air maka penguapan keringat tidak berlangsung lagi sehingga suhu
tubuh akan meningkat dan produksi keringat akan terganggu apabila suhu tubuh
meningkat hingga 1,2oC. Oleh sebab itu, suhu tubuh dari pekerja yang terpapar
panas diusahakan agar tidak melebihi batas aman yaitu 38oC.
2.9.2 Peningkatan Suhu Tubuh
Manusia mempunyai komponen dalam menjaga keseimbangan energi dan
keseimbangan suhu tubuh pada kisaran 37,0±2oC, diantaranya adalah
hipotalamus, asupan makanan, kelenjar keringat, pembuluh darah kulit dan otot
rangka. Pemakaian energi oleh tubuh menghasilkan panas yang penting dalam
pengaturan suhu tubuh. Manusia dapat hidup di beberapa wilayah dengan suhu
yang berbeda, oleh karena itu mereka harus terus menerus mengatur panas
30
internal untuk mempertahankan suhu tubuh, karena kecepatan reaksi kimia sel
bergantung pada suhu tubuh (Suma’mur, 2009).
Pelepasan suhu tubuh dan lingkungan sekitar selalu terjadi pertukaran
panas. Proses pertukaran panas tergantung dari suhu lingkungan. Suhu tetap
akibat adanya keseimbangan panas antara panas yang dihasilkan tubuh akibat
proses metabolisme dengan panas yang ada di lingkungan (Suma’mur, 2009). Hal
ini disebabkan oleh adanya sistem pengatur suhu, yang dikendalikan oleh
hipotalamus (Guyton, 2000)
Suhu tubuh normal manusia mulai dari 36oC–37oC. Apabila diukur
melalui rectal nilainya sekitar 0,6oC lebih tinggi dari pada suhu oral (Ganong,
2001). Suhu tubuh normal manusia di ukur melalui oral sekitar 37oC. Apabila
suhu tubuh sampai dibawah 35oC atau meningkat hingga 40,6oC maka beberapa
reaksi kimia dan aktivitas enzim dalam tubuh akan terganggu dan kematian terjadi
apabila suhu tubuh menurun hingga dibawah 27oC atau meningkat hingga diatas
42oC (Siswanto, 1991)
Beberapa cara pengukuran suhu tubuh, meliputi (Liana, 2012) :
1. Oral (sublingual), yaitu mengukur suhu tubuh melalui mulut.
Keuntungan:
a. Mudah dijangkau dan tidak membutuhkan perubahan posisi;
b. Nyaman bagi pasien;
c. Memberi pembacaan suhu permukaan yang akurat.
Kerugian:
a. Tidak boleh dilakukan pada pasien yang bernafas lewat mulut;
31
b. Tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengalami bedah oral,
trauma oral, riwayat epilepsi, atau gemetar karena kedinginan;
c. Tidak boleh dilakukan pada pasien konfusi, tidak sadar atau tidak
kooperatif;
2. Axila, yaitu mengukur suhu tubuh melalui ketiak.
Keuntungan:
a. Aman dan non-invasif;
b. Cara yang lebih disukai pada pasien yang tidak kooperatif.
Kerugian:
a. Waktu pengukuran lama;
b. Memerlukan bantuan perawat untuk mempertahankan posisi klien.
3. Rectal, yaitu mengukur suhu tubuh melalui rectum atau dubur.
Keuntungan:
a. Terbukti lebih dapat diandalkan bila suhu oral tidak dapat
diperoleh;
b. Menunjukkan suhu inti
Kerugian:
a. Tidak boleh dilakukan pada klien yang mengalami bedah rektal,
kelainan rektal, nyeri pada area rektal, atau cenderung pendarahan;
b. Memerlukan perubahan posisi dan dapat merupakan sumber rasa
malu dan asietas pasien;
c. Risiko terpajan cairan tubuh;
d. Memerlukan lubrikasi.
32
4. Membran timpani, yaitu mengukur suhu tubuh melalui telinga (jarang
dipakai).
Keuntungan:
a. Tempat mudah dicapai;
b. Perubahan posisi yang dibutuhkan minimal;
c. Memberi pembacaan inti yang akurat;
d. Waktu pengukuran sangat cepat (2-5 detik).
Kerugian:
a. Pasien yang memakai alat bantu dengar, harus mengeluarkan alat
bantu dengar sebelum pengukuran;
b. Tidak boleh dilakukan pada klien yang mengalami bedah telinga
atau membran timpani;
c. Membutuhkan pembungkus probe sekali pakai;
d. Impaksi serumen dan otitis media dapat menganggu pengukuran
suhu.
2.9.3 Berat Badan
Penurunan berat badan pada pekerja diakibatkan karena pengeluaran
keringat (Suma’mur, 2009). Penurunan berat badan sebesar 1,4% dapat ditolerir
oleh pekerja tanpa menimbulkan pengaruh yang serius. Kehilangan air sebanyak
1,5 kg atau lebih selama bekerja dapat mengakibatkan naiknya denyut nadi dan
suhu tubuh, rasa haus dan ketidak nyamanan. Apabila tubuh kehilangan air
sebanyak 2–4 kg (3–6% dari berat badan), maka keadaan ini dapat menyebabkan
gangguan dalam melakukan pekerjaan (Siswanto, 1991).
33
2.9.4 Denyut Nadi
Denyut nadi adalah frekuensi irama denyut atau detak jantung yang dapat
dipalpasi atau diraba di permukaan kulit pada tempat tertentu. Pada jantung
manusia normal, setiap denyut berasal dari noddus SA (irama sinus normal) dan
NSR (Normal Sinus Rhythm). Waktu istirahat, jantung berdenyut kira–kira 70
kali, kecepatannya berkurang dalam waktu tidur dan bertambah karena emosi,
kerja, demam dan banyak rangsangan lainnya. Denyut nadi seseorang akan terus
meningkat apabila suhu tubuh meningkat kecuali apabila tenaga kerja yang
bersangkutan telah beraklimatisasi terhadap suhu udara yang tinggi (Siswanto,
1991).
Denyut jantung adalah jumlah denyutan jantung per satuan waktu,
biasanya dalam satuan menit. Denyut jantung didasarkan pada jumlah kontraksi
ventrikel (bilik bawah jantung). Denyut jantung mungkin terlalu cepat (takikardia)
atau terlalu lambat (bradikardia). Denyut nadi adalah denyutan arteri dari
gelombang darah yang mengalir melalui pembuluh darah sebagai akibat dari
denyutan jantung. Denyut nadi sering diambil di pergelangan tangan untuk
memperkirakan denyut jantung.
Denyut jantung yang optimal untuk setiap individu berbeda–beda
tergantung pada kapan waktu dilaksanakannya pengukuran denyut jantung
tersebut, pada saat istirahat atau beraktivitas. Variasi dalam denyut jantung sesuai
dengan jumlah oksigen yang diperlukan oleh tubuh saat itu. Denyut jantung atau
juga dikenal dengan denyut nadi adalah tanda penting dalam bidang medis yang
bermanfaat untuk mengevaluasi dengan cepat kesehatan atau mengetahui
kebugaran seseorang secara umum.
34
Denyut jantung seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu beban fisik dan beban tambahan misalnya tekanan panas.
Denyut jantung akan terus meningkat jika suhu tubuh meningkat, kecuali apabila
pekerja telah beraklimatisasi terhadap suhu yang tinggi. Reaksi denyut jantung
berlangsung cepat dan berbanding lurus dengan menggunakan energi atau
peningkatan beban kerja pada berbagai jenis pekerjaan. Denyut jantung
maksimum untuk orang dewasa adalah 180–200 denyut per menit dan keadaan ini
biasanya hanya dapat berlangsung dalam waktu beberapa menit saja. Faktor yang
dapat mempengaruhi denyut jantung adalah beban kerja, jenis kelamin, umur,
keadaan fisik, suhu serta kondisi psikologis pekerja.
Denyut nadi dapat diraba melalui (Siswanto, 1991):
1. Pergelangan tangan bagian depan sebelah atas pangkal ibu jari tangan
(Arteri radialis);
2. Leher sebelah kiri atau kanan depan otot stermo cleido mastoidues
(Arteri carolis);
3. Dada sebelah kiri tepat di apex jantung (Arteri Temparalis).
2.9.5 Tekanan Darah
Tekanan darah menunjukkan keadaan dimana tekanan yang dikenakan
oleh darah pada pembuluh arteri ketika darah dipompa oleh jantung ke seluruh
anggota tubuh, dengan kata lain tekanan darah juga berarti kekuatan yang
dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh (Guyton dan
Hall, 2000).
Tekanan darah dihasilkan dari denyut jantung dan jantung berdenyut
secara otomatis selama hidup seseorang. Mengecilnya ukuran jantung dinamakan
35
kontraksi, pada setiap susunan peredaran darah setelah itu jantung mengalami
relaksasi untuk kemudian berkontraksi kembali dan seterusnya dalam keadaan
rileks, jantung diisi oleh darah. Dengan demikian peredaran darah menerima
darah setiap kali jantung berkontraksi dan mengisi ruang jantung setiap kali
jantung berelaksasi. Lingkaran yang dibentuk oleh susunan peredaran darah dari
jantung dinamakan lingkaran jantung atau sirkulasi jantung atau sirkulasi
kardiovaskuler (Guyton dan Hall, 2000).
Tekanan darah sangat penting dalam sistem sirkulasi darah dan selalu
diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola, kapiler
dan sistem vena, sehingga terbentuklah aliran darah yang menetap (Pearce 1999).
Adapun tekanan darah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tekanan sistolik dan
diastolik (Ganong, 2001):
1. Tekanan sistolik, yaitu tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung
berkontraksi;
2. Tekanan diastolik, yaitu tekanan ketika jantung sedang berelaksasi
Menurut Grandjean (1993), apabila suhu lingkungan meningkat, maka
efek fisiologis yang terjadi adalah:
a. Peningkatan kelelahan;
b. Peningkatan denyut nadi;
c. Peningkatan tekanan darah;
d. Peningkatan aktivitas organ pencernaan;
e. Sedikit peningkatan suhu inti dan peningkatan tajam suhu shell
atau suhu kulit;
f. Peningkatan aliran darah melalui kulit;
36
g. Meningkatkan produktivitas keringat apabila suhu tubuh mencapai
34oC atau lebih.
Hal yang diperhatikan sebelum melakuan pemeriksaan tekanan darah
adalah sebagai berikut (Ganong, 2011):
1. Memastikan kondisi kandung kemih dalam keadaan kosong;
2. Menghindari konsumsi kopi, alkohol dan rokok, obat yang dapat
memicu peningkatan tekanan darah dari nilai sebenarnya;
3. Melakukan pemeriksaan pasien dalam kondisi pikiran yang tenang,
karena pikiran yang tegang dan stress akan meningkatkan tekanan
darah;
4. Melakukan pemeriksaan tekanan darah sebaiknya dilakukan dalam
posisi duduk.
Menurut World Health Organization (WHO) dan International Society
Hypertension (ISH) (1999), klasifikasi tekanan darah adalah sebgai berikut:
1. Normal, dengan tekanan sistolik 120–139 mmHg dan tekanan diastolik
sebesar 80–89 mmHg;
2. Prohipertensi, dengan tekanan sistolik 140–159 mmHg dan tekanan
diastolik sebesar 90–99 mmHg;
3. Hipertensi Stadium 1, dengan tekanan sistolik 160–179 mmHg dan
tekanan diastolik sebesar 100–109 mmHg;
4. Hipertensi Stadium 2, dengan tekanan sistolik ≥180 mmHg dan
tekanan diastolic ≥110 mmHg.
37
2.10 Karakteristik Individu yang Mempengaruhi Kerentanan Tubuh
Terhadap Tekanan Panas
Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan panas setiap individu
meliputi:
2.10.1 Umur
Tenaga kerja yang berusia diatas 40 tahun sebaiknya tidak ditempatkan di
tempat kerja yang panas karena kelenjar keringat mereka menunjukkan respon
yang lebih lambat terhadap beban panas metabolik dari lingkungan. Mereka yang
berusia lanjut mulai mensekresikan keringat 29 menit setelah masuk ke dalam
waktu ruangan yang panas, sedangkan orang muda hanya membutuhkan 15 menit
(Siswanto, 1991).
Kondisi temperatur ruangan kerja yang tinggi, tenaga kerja yang berusia
lanjut akan menyerap lebih banyak panas dari lingkungan dari pada orang muda
terutama arena pembuluh darah mereka yang terdapat atau dekat dengan
permukaan kulit lebih banyak terpapar panas (Siswanto, 1991) selain itu maximal
oxygen intake pekerja yang berusia tua lebih rendah dibandingkan pekerja yang
muda (Siswanto, 1991). Selain itu proses menjadi tua diikuti pula dengan
berkurangnya kemampuan kerja, dikarenakan perubahan baik kardiovaskuler
maupun hormonal (Suma’mur, 2009).
2.10.2 Jenis Kelamin
Pria pada umumnya memiliki daya tahan tubuh tubuh terhadap panas yang
lebih baik daripada wanita. Seorang wanita lebih tahan terhadap suhu dingin
daripada suhu panas. Hal ini disebabkan karena tubuh seorang wanita mempunyai
jaringan dengan daya konduksi yang lebih rendah terhadap dingin dan daya
38
konduksi yang lebih besar terhadap panas dibandingkan pria, sehingga praktis
wanita akan lebih banyak memberikan reaksi perifer apabila bekerja dengan cuaca
yang panas (Siswanto, 1991).
2.10.3 Masa Kerja
Semakin lama masa kerja seseorang, maka besar pemaparan panas yang
diterimanya. Oleh karena itu semakin besar kemungkinan anak mendapat keluhan
kesehatan (Siswanto, 1991).
2.10.4 Lama Kerja
Lamanya orang bekerja sehari secara baik umumnya 6–8 jam dan sisanya
digunakan untuk istirahat. Memperpanjang waktu kerja lebih dari 8 jam biasanya
disertai menurunnya efisiensi, timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan kerja
(Suma’mur, 2009).
2.10.5 Intake Cairan
Menurut Suma’mur (2009), pekerjaan di tempat panas harus di perhatikan
secara khusus kebutuhan air dan garam sebagai pengganti cairan untuk
penguapan. Lingkungan kerja yang panas dan berat diperlukan minimal 2,8 liter
air minum, bagi tenaga kerja dengan pekerjaan ringan dianjurkan 1,9 liter. Kadar
garam tidak boleh lebih tinggi melainkan sekitar 0,2% (Siswanto, 1991). Tenaga
kerja yang bekerja di lingkungan kerja yang panas diharuskan minum air tanpa
menunggu tenaga kerja merasa haus dan minum sebanyak 250 ml setiap 30 menit
(Construction Safety Association of Ontario, 2000).
Kekurangan air lebih dari 6% dari berat tubuh berakibat dengan
munculnya tanda kelemahan kemampuan fisik dan mental, kekurangan garam
39
mengakibatkan gejala serius. Kekurangan 0,5 gram/kg dari berat tubuh
mengakibatkan lesu, pusing, pingsan dan kejang otot (Siswanto, 1991).
2.10.6 Status Gizi
Tenaga kerja yang status gizinya jelek akan menunjukkan respon yang
berlebihan terhadap tekanan panas dan hal ini disebabkan oleh sistem
kardiovaskuler yang tidak stabil. Pengeluaran elemen penting dari makanan yang
dikonsumsi oleh tenaga kerja dapat dipercepat oleh kerja keras khususnya apabila
dilakukan di tempat kerja yang panas (Siswanto, 1991)
2.10.7 Ukuran Luas Permukaan Tubuh
Apabila suatu pekerjaan dilakukan di suatu tempat kerja yang panas, maka
mereka yang bertubuh kecil dengan luas permukaan tubuh yang kecil dan individu
yang terlalu gemuk dengan rasio luas permukaan tubuh atau berat badan yang
besar adalah rentan terhadap pengaruh tekanan panas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tenaga kerja yang berat badannya ≤50 kg selain mempunyai
oksigen intake yang rendah, juga kurang toleran terhadap panas daripada mereka
yang memiliki berat badan rata–rata (Siswanto, 1991)
2.10.8 Kesegaran Jasmani
Kesegaran jasmani adalah kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan
penuh kesanggupan dan kemampuan secara efisien terhadap pembebanan fisik
yang diterimanya. Kesanggupan dan kemampuan bekerja tanpa menimbulkan
kelelahan yang berelbihan dengan cukup energi. Apabila tenaga kerja yang
kesegaran jasmaninya kurang tidak akan dapat melakukannya (Suma’mur, 2009)
40
2.10.9 Kebiasaan Merokok
Nikotin menyebabkan kenaikan tekanan arteri dan denyut jantung oleh
beberapa mekanisme (Kaplan dan Stamler dalam Kapten, 2006) :
1. Nikotin merangsang pelepasan epinetrin lokal dan saraf adrenergic
dan meningkatkan sekresi katekolamin dan modula adrenalis dan dari
jaringan kromafin di jantung;
2. Nikotin bekerja pada kemoreseptor di gomus caroticus dan glomera
aotica yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan
arteri;
3. Nikotin bekerja langsung pada miokardium untuk menginduksi efek
inotropik dan kromotropik positif.
Menurut Singgih (2005), nikotin dalam rokok dapat mengakibatkan
jantung berdenyut lebih cepat dan penyempitan saluran nadi sehingga
menyebabkan jantung terpaksa memompa dengan lebih kuat untuk memenuhi
kebutuhan darah ke seluruh tubuh.
Rokok mengandung nikotin sebagai penyebab ketagihan yang akan
merangsang jantung, saraf, otak dan organ tubuh lainnya bekerja tidak normal,
nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan
darah, denyut nadi dan tekanan kontraksi otot jantung (Sidabutar, 2005).
2.11 Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis yang ditandai dengan
pengeluarankeringat yang meningkat, penurunan denyut jantung dan suhu tubuh.
Proses adaptasi ini biasanya memerlukan waktu 7–10 hari dan aklimatisasi yang
41
telah didapat ini dapat pula menghilang dengan cepat apabila pekerja tidak masuk
bekerja selama satu minggu (Siswanto, 1991).
Aklimatisasi ini ditujukan kepada suatu pekerjaan dan suhu tinggi untuk
beberapa waktu misalnya 2 jam. Mengingat pembentukan keringat tergantung
pada kenaikan suhu tubuh. Aklimatisasi panas biasanya tercapai sesudah 2
minggu. Dengan bekerja dalam suhu tinggi saja belum dapat menghasilkan
aklimatisasi yang sempurna. World Health Organization (1999), mengemukakan
adanya perbedaan kecil aklimatisasi antara laki–laki dan perempuan. Perempuan
tidak dapat beraklimatisasi dengan baik seperti laki–laki. Hal ini dikarenakan
mereka mempunyai kapasitas kardiovaskuler yang lebih kecil. Faktor yang perlu
diperhatikan sehingga timbul aklimatisasi adalah faktor pembebanan dan lamanya
kerja. Cara atau proses aklimatisasi adalah sebagai berikut (Santosa, 2004) :
1. Pada hari pertama kerja, pembebanan fisik dan lamanya kerja
diusahakan agar tidak melebihi 50% dari beban kerja yang sebenarnya;
2. Pada hari kedua beban kerja ditambah 10% menjadi 60% dari beban
dan lamanya kerja yang sebenarnya;
3. Demikian seterusnya hingga pada hari keenam pembebanan fisik dan
lama kerja mencapai 100%.
Proses aklimatisasi perlu dilakukan bila mana suhu basah tempat kejra
25oC–28oC atau bila suhu kering 33oC–35oC. Hal ini tergantung dari keadaan
aklimatisasi alami pekerja yang bersangkutan. Bagi mereka yang beraklimatisasi
dianjurkan agar minum air yang bergaram dapur (Siswanto, 1991).
42
2.12 Pengaruh Tekanan Panas Pada Manusia
Tekanan panas yang berlebih di tubuh baik akibat proses metabolisme
tubuh maupun paparan panas dari lingkungan kerja dapat menimbulkan masalah
kesehatan dari yang sangat ringan seperti heat rash, heat syncope, heat cramps,
heat exhaustion hingga yang sangat serius aitu heat stroke (Siswanto, 1991) :
2.12.1 Heat Rash
Menurut Construction Safety Association of Ontario (2000), heat rash
yang disebut juga prickly heat merupakan masalah yang paling umum dalam
lingkungan kerja yang panas. Heat rash ini terjadi dalam apabila kondisi lembab
dimana keringat tidak mampu menguap dari kulit dan pakaian. Penyakit ini
mungkin terjadinya pada sebagian kecil area kulit atau sebagian tubuh (Siswanto,
1991)
Gejala terjadinya heat rash pada pekerja adalah (Siswanto, 1991):
1. Merah bercak dan gatal–gatal yang ekstrem di daerah yang terus
menerus lembab oleh keringat;
2. Di area kulit yang berkeringat terjadi sensasi seperti tertusuk – tusuk.
2.12.2 Heat Cramps
Gejala dari heat cramps adalah rasa nyeri dan kejang pada kaki, tangan
dan abdomen dan banyak mengeluarkan keringat. Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan cairan dan garam selama melakukan kerja fisik yang berat di
lingkungan kerja yang panas (Siswanto, 1991).
2.12.3 Heat Exhaustion
Heat exhaustion diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume
darah. Kondisi ini terjadi jika jumlah air yang dikeluarkan seperti keringat
43
melebihi dari air yang diminum selama terkena panas (Siswanto, 1991). Menurut
Construction Safety Association of Ontario (2000), heat exhaustion terjadi ketika
tubuh tidak bisa lagi mengalirkan darah menuju organ–organ vital di dalam tubuh
dan dalam waktu yang sama tidak dapat mengirim darah menuju kulit untuk
mengurangi suhu tubuh.
Gejala yang terjadi apabila heat exhaustion mengenai pekerja adalah
(Construction Safety Association of Ontario, 2000):
1. Kelelahan;
2. Kesulitan untuk melanjutkan pekerjaan;
3. Sakit kepala;
4. Sesak nafas;
5. Mual atau muntah;
6. Pingsan.
2.12.4 Heat Stroke
Heat stroke terjadi apabila tubuh tidak dapat lagi menjaga keseimbangan
panas sehingga suhu tubuh meningkat pada level kritis. Heat stroke dapat
menyebabkan koma hingga kematian.
Gejala pada heat stroke adalah kebingungan, perilaku irasioanal,
penurunan kesadaran, kejang - kejang, keringat berkurang, kulit kering dan panas,
detak jantung cepat dan suhu tubuh tinggi (Construction Safety Association of
Ontario, 2000).
2.13 Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
ISBB banyak digunakan sebagai pengukur lingkungan kerja yang panas
karena cara pengukurannya tidak membutuhkan keterampilan khusus, cara atau
44
metode pengukuran tidak sulit dan besarnya tekanan panas di lingkungan kerja
dapat ditentukan dengan mudah dan cepat (ACGIH, 2001).
Formula ISBB merupakan suatu model matematika yang memuat
indikator iklim kerja. Kecepatan angin dan kelembapan udara diperlukan agar
lingkungan kerja dapat dievaluasi dengan baik (Ardyanto, 2006).
ISBB dan Nilai ambang Batas (NAB) dari ISBB berasal dari Amerika
Serikat telah diadopsi oleh Indonesia untuk menjadi NAB yang dapat diterapkan
bagi tenaga kerja maupun iklim kerja di Indonesia. Namun diketahui bahwa iklim
kerja dan tenaga kerja antara Amerika Serikat dan Indonesia berbeda, sehingga
memungkinkan untuk meneliti kembali NAB yang sesuai untuk diterapkan sesuai
dengan kondisi Indonesia (Ardyanto, 2006).
Langkah pengukuran ISBB dengan menggunakan Digital Questemp 36
dapat dilaksanakan dengan tahap – tahap sebagai beikut:
1. Tahap persiapan
Beberapa hal yang dilakukan pada tahap persiapan adalah sebagai
beikut (Hendra, 2009):
a. Peralatan yang harus dipersiapkan antara lain Questemp 36,
aquadest, kain katun dan baterai yang sesuai;
b. Memastikan alat dalam kondisi baik dan berfungsi dengan benar
serta masih dalam masa kalibrasi, terutama Questemp 36;
c. Memeriksa daya baterai pada alat masih dalam kondisi dapat
digunakan;
45
2. Tahap pengukuran
a. Meletakkan alat pada titik pengukuran dan sesuaikan ketinggian
sensor dengan kondisi pekerja;
b. Membuka tutup termometer suhu basah alami, lalu basahi sumbu
yang terdapat di dalam termometer dengan aquadest sampai wadah
hampir terisi penuh untuk menjamin agar termometer dalam
kondisi basah selama pengukuran;
c. Menyalakan alat dan menunggu alat membaca kondisi lingkungan
kerja selama 15 menit;
d. Apabila telah 15 menit, mencatat hasil yang didapatkan dan
menonaktifkan alat kemudian dipindahkan ke titik pengukuran lain;
e. Dan prosedur kerja dapat diulang dari poin c.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama proses pengukuran di
tempat kerja adalah sebagai berikut (Hendra, 2009):
1. Meletakkan alat harus pada posisi yang aman, waspadai alat jangan
sampai bergetar, bergoyang atau kondisi lain yang membahayakan;
2. Meletakkan alat pada titik pengukuran yang tidak menganggu
aktivitas tenaga kerja;
3. Operator harus memperhatikan aspek keselamatan diri saat
melakukan pengukuran. Bila diperlukan gunakan alat pelindung diri
yang sesuai dengan kondisi bahaya di lingkungan kerja;
4. Berkoordinasi dengan tenaga kerja dan penanggung jawab tempat
kerja untuk kelancaran proses pengukuran.
46
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual
= Diteliti
= Tidak Diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Tentang Faktor Yang
Mempengaruhi Respon Fisiologis Pekerja Akibat Heat Stress di
Confined Space (Studi di Superabsorbent Polymer Plant unit
Heater PT. Nippon Shokubai Indonesia)
Karakteristik Pekerja
1. Umur
2. Status Gizi
3. Masa Kerja
4. Kebiasaan Merokok
5. Intake Cairan
Respon Fisiologis Pekerja
1. Suhu Tubuh
2. Tekanan Darah
3. Denyut Nadi
4. Berat Badan
Faktor Lingkungan
1. Suhu Basah Alami
2. Suhu Kering
3. Suhu Radiasi
4. Kelembapan Udara
5. Kecepatan Angin
6. Heat Stress
Faktor Pekerjaan
Beban Kerja
Pakaian Kerja
Confined Space
Potensi Bahaya
1. Kekurangan Oksigen
2. Kebisingan
3. Kejatuhan Objek
4. Keracunan Gas atau Uap Beracun
5. Electric Shock
6. Jenis Kelamin
7. Lama Kerja
8. Ukuran Luas
Permukaan Tubuh
9. Kesegaran Jasmani
47
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual
Confined space merupakan suatu tempat kerja di mana pekerja yang
berada di dalamnya memiliki ruang gerak dan jarak visual yang terbatas serta
ventilasi yang kurang. Di dalam confined space terdapat potensi bahaya bagi para
pekerja yaitu heat stress, kekurangan oksigen, kebisingan, kejatuhan objek,
keracunan gas atau uap beracun dan electric shock. Dalam penelitian ini yang
menjadi perhatian adalah potensi bahaya dari heat stress, karena potensi bahaya
tersebut belum pernah dilakukan pengukuran di confined space.
Heat stress merupakan kombinasi dari faktor lingkungan seperti suhu
basah alami, suhu bola, suhu kering, kelembapan udara dan kecepatam aliran
udara, lalu faktor pekerjaan yaitu beban kerja dan faktor pakaian kerja. Sedangkan
dalam penelitian ini yang menjadi perhatian adalah faktor lingkungan dan faktor
pekerjaan.
Pekerja yang terpapar heat stress akan menunjukkan respon – respon
fisiologis yang ditunjukkan oleh perubahan suhu tubuh, tekanan darah, denyut
nadi dan perubahan berat badan. Selain akibat paparan heat stress, besar kecilnya
respon fisiologis pada pekerja juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik pekerja.
Karakteristik pekerja tersebut adalah umur, status gizi, masa kerja, intake cairan,
kebiasaan merokok, beban kerja, jenis kelamin, lama kerja, ukuran luas
permukaan tubuh dan kesegaran jasmani. Dalam penelitian ini yang akan diteliti
adalah umur, status gizi, masa kerja, kebiasaan merokok dan intake cairan.
48
BAB 4
METODE PENELITIAN
4. 1 Jenis Penelitian
Penelitian ini apabila ditinjau dari aspek tujuan dan sifatnya termasuk
rancang bangun observasional yang bersifat deskriptif karena bertujuan untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya respon fisiologis pekerja akibat
paparan heat stress. Berdasarkan waktunya, penelitian ini menggunakan
pendekatan cross sectional dimana subjek yaitu pekerja yang bekerja di confined
space unit heater akan diobservasi 1 (satu) kali dengan pengukuran variabel
terikat (dependent variable) dan variabel tidak terikat (independent variable).
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan cleaning di dalam confined space unit heater yaitu sebanyak 10 orang.
4.2.2 Sampel dan Besar Sampel.
Sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari jumlah populasi.
Besar sampel dalam penelitian ini adalah 10 orang.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di PT. Nippon Shokubai Indonesia yang
terletak di Jalan Raya Anyer KM 122 Kawasan Industri Panca Puri Ciwandan,
Cilegon Banten. Pemilihan lokasi penelitian pada perusahaan ini dikarenakan
terdapat confined space dengan temperatur tinggi dan belum pernah dilakukan
pengukuran lingkungan kerja tersebut serta belum pernah dilakukan pula
49
pemeriksaan suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi, berat badan secara khusus
untuk pekerja yang bekerja dengan tekanan panas di confined space.
Waktu pengambilan data penelitian dilaksanakan pada tanggal 27 April
sampai dengan 15 Mei 2015. Sedangkan waktu penelitian dimulai pada tanggal 23
Maret 2015 yaitu awal pembuatan proposal.
4.4 Variabel Penelitian, Cara Pengukuran dan Definisi Operasional
4.4.1 Variabel Penelitian
1. Variabel Tidak Terikat (Independet Variable), yaitu :
a. Heat stress, yang terdiri dari :
1) Suhu basah alami;
2) Suhu kering;
3) Suhu radiasi;
4) Kelembapan udara;
5) Kecepatan angin;
6) Beban kerja.
b. Karakteristik pekerja, yang meliputi :
1) Umur;
2) Status gizi;
3) Masa kerja;
4) Kebiasaan merokok;
5) Intake cairan;
2. Variabel Terikat (Dependent Variable):
a. Suhu tubuh;
b. Tekanan darah;
50
c. Denyut nadi;
d. Berat badan;
4.4.2 Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan Skala Data
Tabel 4.1 Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan Skala Data Penelitian
di PT. Nippon Shokubai Indonesia Mei 2015
No Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran
dan Kriteria
Skala
Data
1 Heat Stress Tekanan panas pada
lingkungan kerja
dengan mengukur
faktor lingkungan yaitu
suhu basah alami, suhu
kering, suhu radiasi,
kelembapan udara dan
kecepatan angin dan
faktor pekerjaan yaitu
beban kerja.
Menggunakan
Thermal Environment
Monitor Questemp34.
Interval
Faktor
Lingkungan
Faktor kombinasi heat
stress meliputi suhu
basah alami, suhu
kering, suhu radiasi,
Kelembapan udara dan
kecepatan angin.
2 Suhu Basah
Alami
Suhu yang
menunjukkan bahwa
udara telah jenuh
dengan uap air, dengan
satuan oC
Menggunakan
Thermal Environment
Monitor Questemp34.
Interval
3 Suhu Kering Suhu udara lingkungan
tanpa pengaruh dari
radiasi yang
ditunjukkan dengan
satuan oC.
Menggunakan
Thermal Environment
Monitor Questemp34.
Interval
4 Suhu radiasi Suhu yang
menunjukkan panas
radiasi yang terdapat di
tempat kerja dengan
satuan oC.
Menggunakan
Thermal Environment
Monitor Questemp34.
Interval
5 Kelembapan
udara
Banyaknya kandungan
uap air dalam udara
yang ditunjukkan
dengan satuan %.
Menggunakan
Thermal Environment
Monitor Questemp34.
Rasio
51
No Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran
dan Kriteria
Skala
Data
5 Kecepatan
angin
Kecepatan angin yang
bergerak pada tempat
kerja dengan satuan
m/det atau meter per
second.
Menggunakan
Thermal Environment
Monitor Questemp34.
Rasio
Faktor
Pekerjaan
Faktor kombinasi heat
stress yang berasal dari
pekerjaan yaitu beban
kerja
6 Beban Kerja Beban yang ditanggung
oleh pekerja dalam
melakukan
pekerjaannya
Penilaian besar beban
kerja dengan cara
observasi langsung
berdasarkan SNI
7269 2009. Kategori:
1. Ringan = 100–200
kkal/jam
2. Sedang = >200-
350 kkal/jam
3. Berat = >350–500
kkal/jam
Ordinal
7 Waktu Kerja Lama kerja responden
di dalam confined space
Mengamati langsung
dan menggunakan
stopwatch
Ordinal
Karakteristik
Tenaga Kerja
Faktor individu yang
dimiliki oleh setiap
tenaga kerja meliputi
umur, status gizi, masa
kerja, kebiasaan
merokok dan intake
cairan
8 Umur Lamanya responden
telah menjalani hidup
sampai dilakukannya
penelitian.
Kuesioner dengan
kategori :
1. 18–20 tahun
2. 21–23 tahun
3. 24–26 tahun
Ordinal
9 Status Gizi Kondisi fisik responden
dengan mengukur berat
badan dan tinggi badan.
Menggunakan IMT
(Indeks Masa Tubuh)
yaitu berat badan
dalam kg dibagi
dengan dua kali
tinggi badan dalam
meter.
Kategori :
<18,5 = kurus
18,5–25 = normal
>25 = gemuk
Ordinal
52
No Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran
dan Kriteria
Skala
Data
10 Masa Kerja Lama kerja responden
pada confined space
saat dilakukannya
penelitian
Kuesioner dengan
ukuran:
1. ≤3 tahun
2. 4–6 tahun
3. ≥7 tahun
Ordinal
13 Kebiasaan
Merokok
Tindakan responden
dalam mengkonsumsi
rokok
Kuesioner dengan
kategori:
1. Ya = Merokok
2. Tidak = Tidak
Merokok
Nominal
14 Intake Cairan Banyaknya air minum
(air mineral) yang
dikonsumsi pekerja
selama bekerja di
confined space. Ukuran
botol yang digunakan
yaitu 600 ml
Kuesioner dengan
kategori :
1. Kurang = ≤ 1
botol
2. Cukup = 2-3
botol
3. Banyak = ≥4
botol
Ordinal
Respon
Fisiologis
Respon individu secara
fisik akibat paparan
panas ditandai dengan
perubahan suhu tubuh,
tekanan darah, denyut
nadi dan berat badan.
15 Suhu Tubuh Suhu yang dihasilkan
oleh tubuh. Pengukuran
dengan cara oral dan
ditambah 0,6oC agar
akurat dan sama dengan
suhu inti. Satuan yang
digunakan adalah oC
(derajat celcius).
Pengukuran
dilakukan dengan
menggunakan digital
thermometer
Ordinal
14 Tekanan
Darah
Keadaan dimana
tekanan yang dikenakan
oleh darah pada
pembuluh arteri ketika
darah dipompa oleh
jantung ke seluruh
anggota tubuh, dengan
komponen
pemeriksaannya
diastole dan systole.
Pemeriksaan
dilakukan sebelum
dan sesudah bekerja
dengan pekerja dalam
kondisi duduk. Alat
yang digunakan
adalah Automatic
Blood Pressure
Monitor Omron HEM
– 7117.
Rasio
53
4.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Jenis data, teknik dan instrumen dalam pengumpulan data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Pengambilan data primer dilakukan dengan cara :
a. Pengukuran heat stress dilakukan di dalam confined space unit
heater. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat pengukur
digital yang disebut Thermal Environment Monitor Questemp 34;
b. Pemeriksaan suhu tubuh dilakukan dengan menggunakan Digital
Thermometer with Beeper MS-202. Pemeriksaan dilakukan dengan
cara oral, agar sesuai dengan suhu inti manusia maka akan
ditambahkan faktor koreksi sebesar 0,6oC;
No Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran
dan Kriteria
Skala
Data
15 Denyut Nadi Frekuensi irama denyut
atau detak jantung yang
dapat dipalpasi atau
diraba di permukaan
kulit pada tempat
tertentu.
Pemeriksaan denyut
nadi dilakukan
sebelum dan sesudah
bekerja, dengan
pekerja dalam kondisi
duduk. Alat yang
digunakan adalah
Automatic Blood
Pressure Monitor
Omron HEM – 7117.
Rasio
16 Berat Badan Berat badan adalah
indeks masa dalam
tubuh.
Pemeriksaan berat
badan dilakukan
sebelum dan sesudah
bekerja. Alat yang
digunakan adalah
microtoise and
bathroom scale.
Rasio
54
c. Pemeriksaan denyut nadi dan tekanan darah. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan alat Automatic Blood Pressure
Monitor Omron HEM-7117;
d. Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan dengan
menggunakan alat microtoise dan bathroom scale;
e. Pengukuran intake cairan dengan cara menghitung banyaknya air
yang dikonsumsi. Ukuran botol yang digunakan sama yaitu 600
ml;
f. Data umur, masa kerja, kebiasaan merokok diperoleh dari hasil
pengisian kuesioner kepada pekerja;
g. Pengukuran beban kerja dilakukan dengan mengamati pekerja saat
melakukan pekerjaan berdasarkan SNI 7269-2009, dengan satuan
kkal (kilokalori).
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Human Resource and Personil
Administration Departement. Dokumen berisi tentang sejarah perusahaan,
gambaran umum perusahaan dan jumlah pekerja yang melakukan
pekerjaan di confined space unit heater.
4.6 Prosedur Pengukuran dan Pemeriksaan
4.6.1 Pengukuran Heat Stress
Pengukuran heat stress dilakukan di dalam confined space. Pengukuran
dilaksanakan saat pekerja melakukan pekerjaan dalam waktu 15 menit. Alat dan
bahan yang digunakan adalah Thermal Environment Monitor Questemp 34,
aquades, kain kasa dan alat tulis. Prosedur kerja dilakukan sebagai berikut :
55
1. Menyiapkan Thermal Environment Monitor Questemp 34, kemudian
diberikan aquades;
2. Memasang instrumen di dalam confined space dan dipaparkan selama
15 menit;
3. Membaca dan mencatat hasil yang di tunjukkan oleh alat pengukuran;
4.6.2 Pemeriksaan Suhu Tubuh
Pemeriksaan suhu tubuh dilakukan 2 (dua) kali, yaitu sebelum bekerja dan
sesudah bekerja. Alat dan bahan yang digunakan adalah digital thermometer
sebanyak 5 buah, alkohol sebagai pembersih termometer, sarung tangan, kapas
dan alat tulis. Prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan kepada responden tindakan apa yang akan dilakukan
kemudian alat disimpan didekat responden;
2. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan;
3. Menempatkan termometer dibawah lidah responden dalam kantung
sub lingual lateral ke tengah rahang bawah dan meminta responden
menahan termometer dengan bibir terkatup dan hindari penggigitan;
4. Menunggu termometer digital selesai membaca suhu tubuh dengan
tanda suara beep lalu mengeluarkan termometer dengan hati – hati;
5. Mencatat hasil pemeriksaan yang ditunjukkan oleh thermometer;
6. Membersihkan termometer dengan menggunakan alkohol swab dengan
gerakan memutar dari ataske arah reservoir, kemudian membuang
kapas di bengkok;
7. Mengulangi prosedur kerja terhadap pekerja lainnya dan setelah
dilakukan pekerjaan.
56
4.6.3 Pemeriksaan Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Pemeriksaan denyut nadi dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yaitu sebelum
dan setelah bekerja. Pemeriksaan dilakukan dengan alat dan bahan sebagai
berikut; Automatic Blood Pressure Monitor dan alat tulis. Prosedur kerja
pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
1. Menjelaskan kepada responden perlunya pemeriksaan yang akan
dilakukan dan membuat responden santai dan nyaman;
2. Responden dalam keadaan duduk, alat diletakkan setinggi jantung
responden, kira – kira ICS IV;
3. Lengan dalam keadaan bebas santai, membebaskan dari tekanan oleh
pakaian dan memasang manset 1 – 2 cm diatas siku;
4. Menekan tombol start dan menunggu hingga hasil pemeriksaan
muncul di layar monitor;
5. Mencatat hasil pemeriksaan;
6. Mengulangi pemeriksaan pada pekerja lain dan mengulanginya
kembali setelah pekerjaan selesai.
4.6.4 Pemeriksaan Berat Badan dan Tinggi Badan
Pemeriksaan berat badan dan tinggi badan dilakukan sebelum dan setelah
bekerja. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat microtoise and
bathroom scale dengan timbangan jarum. Prosedur pengukuran adalah sebagai
berikut:
1. Responden berdiri pada alat pengukuran;
2. Badan tegak menghadap kedepan;
3. Memeriksa berat badan yang tertera dan mencatatnya;
57
4. Dalam posisi yang sama, dengan menarik microtoise ke atas hinggua
ubun ubun kepala;
5. Lalu mencatat hasil tinggi badan responden.
4.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4.7.1 Teknik Pengolahan Data
Data primer yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan tahap
sebagai berikut :
1. Editing (pemeriksaan data)
Editing yaitu pengecekan terhadap semua isian kuesioner yang telah
dikumpulkan yang dilakukan setelah pengambilan data di lapangan dan
hasil pengukuran sudah ada. Mengolah data karakteritik responden, hasil
pengukuran heat stress, dan hasil pemeriksaan respon fisiologis pekerja
meliputi suhu tubuh, denyut nadi, tekanan darah dan berat badan.
a. Intake cairan diukur dengan cara menghitung banyak air minum
yang dikonsumsi saat bekerja. Ukuran botol yang digunakan sama
yaitu 600 ml sehingga dapat diketahui berapa banyak air minum
yang dikonsumsi.
b. Status gizi diperoleh dengan menghitung nilai IMT dengan
menggunakan rumus :
IMT = Berat Badan / Tinggi Badan2 (meter)
2. Entry data
Data hasil pengukuran iklim kerja, karakteristik pekerja dan hasil
pemeriksaan respon fisiologis pekerja diolah dengan menggunakan
program komputer.
58
3. Penyajian data atau laporan
Penyajian data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan deskriptif
serta penyajian dengan menggunakan grafik
4.7.2 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dilakukan analisis dengan :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat atau analisis secara deskriptif yang digunakan untuk
menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti. Deskripsi berupa hasil
pengukuran dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis yaitu respon
fisiologi tenaga kerja sebelum dan sesudah terpapar heat stress dan
pengaruh karakteristik pekerja terhadap adanya respon fisiologis tenaga
kerja. Uji statistik dilakukan dengan uji regression logistic untuk
mengetahui pengaruh karakteristik tenaga kerja terhadap respon fisiologis
59
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum PT. Nippon Shokubai Indonesia
5.1.1 Sejarah Singkat PT. Nippon Shokubai Indonsia
PT. Nippon Shokubai Indonesia adalah PMA (Penananam Modal Asing)
Jepang yang berlokasi di Kawasan Industri Pancapuri, Jl. Raya Anyer km 112,
Ciwandan Cilegon Banten. PT. Nippon Shokubai Indonesia merupakan
perusahaan Petrokimia yang memproduksi Acrylic Acid (AA), Acrylic Ester (AE)
seperti Ethyl Acrylate (EA), n-Butyl Acrylate (BA), 2-Ethylexyl Acrylate (2EHA)
dan Super Absorbent Polymer (SAP). PT Nippon Shokubai merupakan anak
perusahaan Nippon Shokubai CO. Ltd. Japan yang memiliki anak perusahaan di
beberapa Negara (Nippon Shokubai Group).
PT. Nippon Shokubai Indonesia merupakan perusahaan manufaktur
pertama di Asia Tenggara yang memproduksi Acrylic Acid (AA) dan Acrylic
Ester (AE), serta merupakan perusahaan manufaktur pertama di Indonesia yang
memproduksi Super Absorbent Polymer (SAP) yang mulai produksi komersial
pada Tahun 2013.
PT. Nippon Shokubai Indonesia didirikan pada Bulan Agustus 1996
dengan nama PT. Nisshoku Trypolyta Acrylindo. Pada Januari 1997 dilakukan
Ground Breaking Ceremony untuk memulai pembangunan pabrik. Pembangunan
selesai pada Juli 1998 dan November 1998 dimulai produksi secara komersial 1
AA atau first Acrylic Acid dan Esters. Pada Tahun 2000 PT. Nisshoku Trypolyta
Acrylindo terkena dampak dari adanya krisis moneter, tepatnya Bulan Agustus
PT. Nisshoku Trypolyta Acrylindo melakukan pengalihan saham kepada Nippon
60
Shokubai CO.,LTD dan Tomen Corporation yang telah berganti nama menjadi
Toyota Tsusho Corporation. Sehingga pada Bulan Januari 2001 berganti nama
menjadi PT. Nippon Shokubai Indonesia. Demi mengembangkan produknya, PT.
Nippon Shokubai Indonesia membulai pembangunan pabrik baru untuk Super
Absorbent Polymer (SAP) dan 2AA (Second Acrylic Acid) pada Juli 2011 yang
selesai pada Agustus 2013. Proses produksi secara komersial dilakukan mulai
Oktober 2013. Toyota Tsusho Corporation melakukan pengalihan saham kepada
Nippon Shokubai Co, LTD. Lalu Nippon Shokubai Co, LTD melakukan
pengalihan saham sebesar 0,002 dan kepada PT. Indochemical Citra Kimia.
Sehingga saat ini saham yang dimiliki oleh Nippon Shokubai Co, LTD adalah
sebesar 99,998%.
PT. Nippon Shokubai Indonesia memiliki filosofi yaitu TechnoAmenity
yang memberikan kemakmuran dan kenyamanan bagi kehidupan manumur dan
masyarakat melalui inovasi teknologi. NSI yang merupakan singkatan dari PT.
Nippon Shokubai Indonesia memiliki makna yang lain yang yaitu Never-ending of
Spirit yang berarti semangat yang tak pernah berakhir demi kemajuan. Sejalan
dengan slogan tersebut, PT. Nippon Shokubai Indonesia berkomitmen dapat
memuaskan pelanggan dengan menyediakan produk dan pelayanan dengan
kualitas tinggi serta meningkatkan perlindungan terhadap keselamatan dan
lingkungan.
PT. Nippon Shokubai Indonesia merupakan perusahaan multinasional
yang memiliki kewajiban untuk menyediakan produk dan jasa dengan kualitas
yang tinggi. Dengan adanya predikat tersebut serta untuk mewujudkan
61
komitmennya, PT. Nippon Shokubai Indonesia membentuk 12 divisi kerja.
Divisi–divisi kerja tersebut adalah sebagai berikut:
1. Human Resource and Personil Administration (HRPA), divisi ini
menangani bagian rekruitmen karyawan baru, gaji, asuransi dan
sebagainya;
2. General Affair, menangani bagian kantin, transportasi, gedung,
security dan sebagainya;
3. Finance Accounting, hal–hal yang berhubungan dengan keuangan
yang keluar dan masuk ditangani oleh divisi ini;
4. Logistic, menyediakan dan menyimpan barang–barang yang
diperlukan di perusahaan, baik di area pabrik maupun gedung;
5. Information and Technology, divisi yang berhubungan dengan
teknologi, informasi, internet yang diperlukan di perusahaan;
6. Production, merupakan divisi dengan tenaga kerja paling banyak dan
berhadapan langsung di area proses produksi;
7. Safety Environment, divisi yang menangani K3 dan lingkungan yang
bertujuan untuk menjadikan tempat kerja aman dan nyaman bagi
tenaga kerja, serta tidak menimbulkan kecelakaan kerja, penyakit
akibat kerja serta pencemaran lingkungan. Inspeksi, patrol, monitoring
lingkungan, work permit dan sebagainya merupakan bagian dari divisi
ini;
8. Quality Assurance, adanya pengecekan kualitas, kontrol kualitas dari
awal proses hingga akhir proses dilaksanakan oleh divisi ini. Hal ini
62
merupakan cara untuk menjaga proses dan hasil proses produksi agar
tetap baik dan berkualitas tinggi;
9. Engineering and Maintenance, divisi yang bertugas menangani semua
equipment di seluruh area pabrik yang berhubungan dengan proses,
berkaitan dengan modifikasi, pemeliharaan, perbaikan suatu
kerusakan di seluruh area perusahaan dan seterusnya;
10. Marketing, merupakan divisi pemasaran. Pada perusahaan ini,
menjaga hubungan baik dengan pelanggan merupakan cara marketing
yang dilakukan;
11. Purchasing, divisi yang menangani tentang pembelian bahan baku,
bahan penolong, bahan bakar dan sebagainya;
12. Distribution and Shipping Receiving, merupakan divisi yang
menangani pengemasan dan pengiriman barang–barang yang akan
dipasarkan baik melalui darat maupun laut.
5.1.2 Visi dan Misi Perusahaan
PT. Nippon Shokubai Indonesia berkeyakinan bahwa pelaksanaan
program Lingkungan Hidup, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (LHK3) yang
baik akan menuju pengelolaan usaha yang efisien dan menguntungkan serta
selaras dengan lingkungan, keselamatan dan kesehatan Kerja dengan visi dan misi
sebagai berikut :
Visi : Meningkatkan LHK3 dan prosesnya secara terus menerus untuk
melindungi keselamatan, lingkungan dan orang–orang dimana kita bekerja dan
tinggal.
63
Misi : Menerapkan semua aktifitas bisnis dengan cara yang bertanggung
jawab untuk mencegah insiden, penyakit dan bahaya–bahaya terhadap orang–
orang dan kerusakan terhadap lingkungan.
PT. Nippon Shokubai Indonesia dan karyawannya, dengan bekal konsep
“Techno-Amenity” bertekad untuk mengelola LHK3 sebagai bagian usaha yang
terpadu sesuai dengan misi di atas dengan cara sebagai berikut:
1. Bersungguh–sungguh menaati setiap peraturan LHK3 dari Pemerintah
dan ketentuan lainnya.
2. Mengkaji-ulang serta melaksanakan program dan mencapai sasaran
LHK3 secara berkesinambungan untuk memperbaiki sistem
pengolahan lingkungan dan kinerjanya
3. Melindungi lingkungan di masyarakat dimana kita bekerja dan tinggal
serta berusaha keras secara bertahap untuk mengurangi emisi pada
lingkungan dan limbah yang dihasilkan.
4. Memelihara kondisi kerja yang aman, sehat dan ramah lingkungan
PT. Nippon Shokubai Indonesia akan mengkomunikasikan tekad tersebut
kepada setiap orang yang bekerja atas nama PT. Nippon Shokubai Indonesia.
5.1.3 Kebijakan K3L di PT. Nippon Shokubai Indonesia
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan tanggung jawab semua
pihak serta merupakan hal yang sangat penting di dalam sebuah industri. PT.
Nippon Shokubai Indonesia berusaha untuk mencapai nihilnya angka kecelakan
kerja (zero accident), penyakit akibat kerja dan selalu menaati peraturan
perundang–undangan yang mengatur hal tersebut. Program–program K3
dilakukan dan dikembangkan sehingga tingkat kesadaran pekerja terhadap K3
64
dapat diterapkan dengan baik, demikian pula dengan pelatihan–pelatihan untuk
menanggapi keadaan darurat yang dilaksanakan secara rutin sehingga kesiapaan
pekerja saat terjadi kondisi darurat sangat baik.
Selain dalam bidang K3, PT. Nippon Shokubai Indonesia juga
bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup dengan cara mengelola
dampak–dampak dari segala aktifitas perusahaan sehingga tidak merugikan
masyarakat dan lingkungan hidup dan selalu menaati peraturan perundang–
undangan serta mengelola lingkungan dengan menerapkan system yang memadai.
Kegiatan–kegiatan yang dilakukan seperti pengurangan emisi CO2, konservasi
sumber daya alam, penghijauan, dan lain–lain. Sehingga dengan dilaksanakannya
segala kegiatan–kegiatan tersebut dapat tercapai industri yang ramah lingkungan.
Keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan merupakan dasar kedua
dalam pelaksanaan manajemen aset untuk mencapai kaidah pengelolaan yang
terkendali. Serta untuk meningkatkan budaya kerja dan menjaga citra perusahaan,
maka mutlak diperlukan adanya kedisiplinan dan kesadaran akan pentingnya
unsur keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan bagi seluruh pekerja
bersama jajaran manajemen.
5.1.4 Superabsorbent Polymer Plant
Superabsorbent Polymer merupakan bahan baku pembuatan disposable
diapers atau popok sekali pakai yang kini digunakan oleh bayi, anak–anak, dan
juga orang dewasa. Dalam penggunaannya yang lain, sebagian kecil produk ini
digunakan untuk mnahan air dalam pemasangan kabel bawah tanah, holtikultura
dan lain–lain. Superabsorbent Polymer adalah sejenis polimer berikatan silang
yang dapat mengembang, yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan
65
menyimpan cairan berkali–kali lipat lebih banyak dari beratnya sendiri dengan
membentuk sebuah gel. Cairan tersebut dapat dipertahankan, walaupun diberikan
tekanan.
Proses produksi dari Superabsorbent Polymer (SAP) terdiri dari beberapa
tahap, yaitu netralisasi, polymeralisasi, pengeringan, pengayakan dan
penggilingan, pelapisan dan pengemasan. Bahan baku utama dari produk ini
adalah acrylic acid (AA) dan sodium hidroksida (NaOH).
Sumber : UKL-UPL
Gambar 5.1 Proses Produksi Superabsorbent Polymer
Neutralization
Surface
Treatment
Fine Powder
Recovery
Polymerization Drying
Pulverizing Classification
Packing
Bahan
Penolong
NaOH
Product
Bahan Penolong
AA
66
Acrylic acid (AA) dan larutan sodium hidroksida (NaOH) secara terus
menerus dimasukkan kedalam bagian netralisasi untuk dinetralisasikan sebagian.
Campuran yang telah dinetralkan, dimasukkan ke dalam bagian polymerisasi lalu
dicampur dengan larutan sodium hidroksida dan beberapa aditif, dan kemudian
dimasukkan ke dalam reactor. Gel–gel polimer dalam bentuk lembaran–lembaran
secara terus menerus terbentuk ke dalam reactor.
Bubuk–bubuk halus dari bag filter dan sifter dikumpulkan dan dicampur
dengan air di mixer untuk mengaglomerasi bubuk–bubuk tersebut. Gel–gel
aglomerasi dikirimkan ke dryer. Gel–gel polimer yang keluar dari reactor
dimasukkan ke dryer setelah dihancurkan terlebih dahulu di gel crusher. Dryer
memiliki sistem sirkulasi udara panas yang mana udara tersebut dipanaskan oleh
steam pada heat exchanger. Pada keluaran dryer, gel–gel polimer yang telah
kering dan berupa agregat dihancurkan menjadi bagian–bagian yang lebih kecil.
Polymer gel yang sudah dihancurkan dimasukkan ke bagian puliverizing
dan ditimbuk menjadi bubuk. Bubuk diayak dengan menggunakan ayakan untuk
mengontrol ukuran partikel bubuk. Bubuk tersebut lalu dicampur dengan
menggunakan beberapa bahan kimia dalam mixer dan campuran tersebut secara
terus menerus dimasukkan kedalam pemanas. Setelah melalui proses pelapisan
tersebut, bubuk didinginkan dan dicampur dengan beberapa bahan kimia di dalam
pendingin. Bubuk kemudian dimasukkan ke sifter dan dikontrol ukuran partikel
produknya. Setelah pengontrolan ukuran partikel, produk di transfer ke bagian
pengepakan.
Heater merupakan salah satu mesin produksi di Superabsorbent Polymer
Plant, mesin ini memiliki temperatur saat beroperasi mencapai ±200oC, untuk
67
mempertahankan performa heater tersebut dilakukan pembersihan kerak secara
rutin yaitu satu kali dalam setahun saat pabrik dalam kondisi shut down. Sehingga
heater akan menjadi area kerja confined space bagi pekerja dengan temperatur
yang cukup tinggi.
Pekerja yang membersihkan confined space unit heater tersebut adalah tim
khusus dari Production Departement dengan rutinitas bekerja rata–rata bekerja
selama 4 jam dengan pengaturan kerja 2 jam bekerja mulai pukul 09.00–11.00
WIB lalu istirahat dan dimulai kembali pukul 14.00 hingga 16.00 WIB. Pekerja
akan bergantian masuk ke dalam confined space, sehingga apabila pekerja
mengalami kelelahan dan kemampuan bertahan di confined space menurun,
pekerja tersebut diwajibkan segera keluar dari confined space dan pekerja yang
berada diluar segera menggantikannya. Daya tahan waktu bekerja di confined
space setiap pekerja berbeda–beda. Telah disediakan Alat Pelindung Diri (APD)
bagi pekerja seperti helmet, goggles, gloves, safety shoes dan dust and chemical
respirator. Di area kerja juga telah disediakan ruang minum yang terletak di lantai
4, sedangkan area kerja confined space heater terletak di lantai 5.
5.2 Karakteristik Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi respon
fisiologis pada pekerja yang terpapar heat stress di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia, diperoleh data
mengenai karakteristik tenaga kerja yaitu seluruh tenaga kerja berjenis kelamin
laki–laki. Selain itu diperoleh pula data umum responden seperti umur, masa
kerja, status gizi, kebiasaan merokok dan intake cairan.
68
5.2.1 Umur Tenaga Kerja
Distribusi tenaga kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia menurut umur dapat dilihat pada
Tabel 5.1 berikut:
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Tenaga Kerja di Confined
Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon
Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015.
Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
18 – 20 1 10
21 – 23 6 60
24 – 27 3 30
Jumlah 10 100 Sumber: Data Primer
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengisian kuesioner, diketahui
bahwa umur tenaga kerja termuda yaitu 19 tahun dan yang paling tua adalah 26
tahun. Berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa kelompok umur responden 21–
23 tahun merupakan kelompok umur dengan jumlah tenaga kerja terbanyak yaitu
6 orang (60%), dan kelompok umur 18–20 tahun merupakan kelompok dengan
jumlah tenaga kerja paling sedikit yaitu sebanyak 1 orang (10%).
5.2.2 Masa Kerja Tenaga Kerja
Distribusi tenaga kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia menurut masa kerja dapat dilihat
pada Tabel 5.2
69
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja Tenaga Kerja di
Confined Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT.
Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015.
Masa Kerja Jumlah (Orang) Persentase (%)
≤ 3 Tahun 5 50
4 – 6 Tahun 3 30
≥ 7 Tahun 2 20
Jumlah 10 100 Sumber: Data Primer
Merujuk pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kelompok masa kerja
responden ≤3 tahun merupakan kelompok dengan jumlah tenaga kerja terbanyak
yaitu 5 orang (50%), dan kelompok masa kerja ≥7 tahun merupakan kelompok
dengan jumlah tenaga kerja paling sedikit yaitu sebanyak 2 orang (20%).
5.2.3 Status Gizi Tenaga Kerja
Distribusi tenaga kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia menurut status gizi yang diperoleh
dari perhitungan IMT dapat dilihat pada Tabel 5.3 sebagai berikut:
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Tenaga Kerja di
Confined Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT.
Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015.
Status Gizi Jumlah (Orang) Persentase (%)
Kurus 3 30
Normal 5 50
Gemuk 2 20
Jumlah 10 100 Sumber: Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.3 menunjukkan bahwa tenaga kerja yang termasuk
dalam kategori status gizi normal adalah sebanyak 5 orang (50%), lalu jumlah
tenaga kerja dengan kategori status gizi kurus sebanyak 3 orang (30%) dan
terdapat 2 orang (20%) tenaga kerja termasuk dalam status gizi kategori gemuk.
70
5.2.4 Kebiasaan Merokok Tenaga Kerja
Distribusi tenaga kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia menurut kebiasaan merokok dapat
dilihat pada Tabel 5.4 berikut:
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok Tenaga Kerja
di Confined Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT.
Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015.
Kebiasaan Merokok Jumlah (Orang) Persentase (%)
Ya 3 30
Tidak 7 70
Jumlah 10 100 Sumber: Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.4 menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang
memiliki kebiasaan merokok adalah sebanyak 3 orang (30%) dan jumlah tenaga
kerja yang tidak merokok adalah sebanyak 7 orang (70%).
5.2.5 Intake Cairan Tenaga Kerja
Distribusi tenaga kerja di Confined Space Unit Heater Superabsorbent
Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia menurut intake cairan dengan air
mineral yang disediakan perusahaan dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut:
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Intake Cairan Tenaga Kerja di
Confined Space Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT.
Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei Tahun 2015.
Intake Cairan Jumlah (Orang) Persentase (%)
Tidak Minum 5 50
Kurang (≤ 1 botol) 5 50
Cukup (2-3 botol) 0 0
Banyak (≥4 botol) 0 0
Jumlah 10 100
Sumber: Data Primer
71
Berdasarkan Tabel 5.5 seluruh tenaga kerja yang bekerja di confined space
unit heater diketahui bahwa sebesar 5 orang pekerja (50%) pekerja tidak
mengkonsumsi air minum saat bekerja dan sebesar 5 orang pekerja (50%)
memiliki kategori kebiasaan minum kurang yaitu ≤1 botol dengan ukuran botol
yang digunakan adalah 600 ml.
5.3 Beban Kerja Tenaga Kerja
Prosedur penilaian beban kerja dilakukan dengan mengukur berat badan,
mengamati aktivitas tenaga kerja dan menghitung kebutuhan kalori berdasarkan
pengeluaran energi sesuai Tabel penilaian energi menurut SNI 7269-2009.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, responden melakukan pekerjaan
dengan posisi duduk membersihkan kerak dan powder di dalam confined space
dengan waktu kerja masing masing responden berbeda–beda, dan pekerja juga
bekerja dengan posisi duduk dan membawa lampu tambahan yang digunakan
untuk penerangan tambahan untuk pekerja lain yang sedang membersihkan
confined space dengan waktu kerja setiap responden juga berbeda–beda.
Sehingga apabila dilihat pada Tabel klasifikasi pekerjaan yang terdapat di
SNI 7269-2009, pekerjaan pertama termasuk dalam pekerjaan posisi duduk
dengan menggunakan gerakan tangan kategori 2, dan pekerjaan kedua termasuk
dalam pekerjaan posisi duduk dengan satu tangan kategori 1.
Dari hasil pembacaan Tabel tersebut, dihitung beban kerja masing –
masing responden tenaga kerja yang telah diamati setiap jam dengan rumus
berikut:
Rerata Beban Kerja = (BK1 x T1) + (BK2 x T2) + … + (BKn x Tn) x 60 kkal/jam
(T1 +T2 + …+ Tn)
72
Metabolisme Basal untuk laki–laki = berat badan dalam kg x 1 kkal per jam
Total Beban Kerja = Rerata Beban Kerja + Metabolisme Basal
Dari perhitungan total beban kerja setiap responden tenaga kerja,
didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:
Tabel 5.6 Total Beban Kerja Tenaga Kerja di Confined Space Unit Heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan
Mei Tahun 2015
No
Rerata Beban Kerja
(kkal/jam)
Metabolisme Total
Beban
Kerja
(kkal/jam)
Kategori Basal
(kkal)
Jam 1 Jam 2 Jam 3 Jam 4 Rerata
1 346,75 543,00 435,95 543,00 467,18 56 523,18 Berat
2 543,00 268,25 543,00 346,75 425,25 83 508,25 Berat
3 260,40 72,00 405,63 443,84 295,47 49 344,47 Berat
4 543,00 543,00 543,00 543,00 543,00 43 586,00 Berat
5 371,73 0,00 276,10 543,00 297,71 58 355,71 Berat
6 361,85 543,00 354,60 472,35 432,95 55 487,95 Berat
7 543,00 260,40 543,00 306,60 413,25 61 474,25 Berat
8 325,62 413,07 442,07 543,00 430,94 44 474,94 Berat
9 543,00 543,00 543,00 0,00 407,25 92 499,25 Berat
10 543,00 213,30 473,22 0,00 307,38 58 365,38 Berat
Rata–Rata Total Beban Kerja 461,94 BERAT
Sumber: Data Primer
Seluruh responden merupakan tenaga kerja dengan jenis kelamin laki–laki
sebanyak 10 orang. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa rata–rata total
beban kerja tenaga kerja di confined space adalah 461,94 kkal per jam.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269-2009 dan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, maka beban
73
kerja responden di confined space tersebut termasuk dalam kategori berat dengan
kebutuhan kalori per jam sebesar 350–500 kkal per jam.
5.4 Waktu Kerja Tenaga Kerja
Dilakukan perhitungan waktu kerja responden dengan paparan panas
setiap jam. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kategori waktu kerja
responden setiap jamnya. Berikut adalah hasil perhitungan waktu kerja pekerja
yang terpapar panas di confined space:
Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Waktu Kerja Tenaga Kerja di Confined Space Unit
Heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai
Indonesia Bulan Mei Tahun 2015
No. Waktu Kerja (Menit)
Jam 1 Jam 2 Jam 3 Jam 4
1 12 19 44 17
2 21 12 41 12
3 20 9 24 19
4 12 19 44 17
5 11 0 30 6
6 13 12 15 20
7 31 5 11 8
8 13 29 28 6
9 56 7 49 0
10 19 10 27 0
Rata–Rata 20,8 10 27 10,5 Sumber: Data Primer
Dari hasil yang tertera pada Tabel 5.7 tersebut dapat dilakukan
perhitungan rata–rata waktu kerja tenaga kerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
Rerata waktu kerja = (20,8 + 10 + 27 + 10,5) menit = 18,7 menit
4
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa rata–rata waktu kerja
tenaga kerja di confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant adalah
74
selama 18,7 menit. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, maka waktu kerja tenaga kerja
termasuk dalam pengaturan waktu kerja 0–25 %, artinya tenaga kerja bekerja
selama 18,7 menit dengan paparan heat stress di confined space unit heater dan
beristirahat selama 41,3 menit di luar confined space unit heater.
5.5 Iklim Kerja di Confined Space Unit Heater
Pengukuran iklim kerja dilakukan di dalam confined space pada 2 (dua)
titik pengukuran, yaitu titik 1 pada area manhole 1 dan titik kedua pada area
manhole 2. Setiap titik dilakukan pengukuran sebanyak 2 (dua) kali yaitu sebelum
istirahat dan setelah istirahat. Hasil pengukuran iklim kerja dapat disajikan
sebagai berikut:
Tabel 5.8 Hasil Pengukuran Iklim Kerja di Confined Space Unit Heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia
Bulan Mei Tahun 2015
Lokasi
Pengukuran
Pengukuran Suhu
Basah
(oC)
Suhu
Kering
(oC)
Suhu
Bola
(oC)
Kelembapan
Udara
(%)
ISBB
(oC)
Heater 1 CA
(titik 1)
I 29,9 39,4 43,9 44 33,0
II 27,8 37,4 38,0 52 31,1
Heater 1 CA
(titik 2)
I 29,1 41,8 43,9 42 33,9
II 38,2 41,7 43,4 50 33,7
Heater 2 CA
(titik 1)
I 31,2 40,5 48,9 46 35,3
II 27,9 36,7 37,0 50 31,0
Heater 2 CA
(titik 2)
I 53,0 33,4 56,5 28 42,5
II 31,0 46,6 48,0 33 38,9
Rata–Rata 33,5 39,7 45,0 43,13 34,9 Sumber: Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.8 menunjukkan bahwa rerata suhu basah di confined
space unit heater adalah 33,5oC, sedangkan rerata suhu kering adalah 39,7 oC.
75
Rerata dari hasil dari pengukuran suhu bola yang merupakan suhu radiasi di
lingkungan kerja adalah 45 oC. Selanjutnya rerata dari kelembapan udara yang
merupakan parameter banyaknya kandungan uap air dalam udara adalah sebesar
43,13 %. Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) digunakan sebagai pengukur iklim
kerja yang panas, dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa rerata nilai ISBB di
confined space unit heater adalah 34,9oC.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor:PER.12/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Faktor Kimia di Tempat Kerja, menunjukkan bahwa dengan beban kerja yang
termasuk kategori beban kerja berat dan dengan pengaturan waktu kerja kategori
0–25%, nilai Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) di unit heater Supeabsorbent
Polymer Plant sebesar 34,9oC telah melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang
ditetapkan yaitu 30,5 oC.
5.6 Respon Fisiologis Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi respon
fisiologis pada pekerja yang terpapar heat stress di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia, diperoleh data
mengenai respon fisiologis responden tenaga kerja sebelum dan sesudah
melakukan pekerjaan. Respon fisiologis tersebut adalah suhu tubuh, denyut nadi,
tekanan darah dan berat badan.
5.6.1 Suhu Tubuh Tenaga Kerja
Pengukuran suhu tubuh tenaga kerja dilakukan sebelum bekerja dan
setelah bekerja. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu sebelum dan
sesudah istirahat.
76
Berdasarkan hasil pengukuran suhu tubuh tenaga kerja yang dilakukan,
diperoleh hasil sebagai berikut:
Sumber: Data Primer
Gambar 5.2 Grafik Perubahan Suhu Tubuh Sebelum dan Sesudah Bekerja
Merujuk pada Gambar 5.2 menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh tenaga
kerja mengalami peningkatan dari sebelum bekerja dan setelah bekerja. Setiap
responden mengalami perubahan suhu tubuh yang berbeda–beda, peningkatan
suhu tubuh tertinggi adalah pada responden nomor 1 dari suhu tubuh sebelum
bekerja sebesar 36,6oC dan naik sesudah bekerja sebesar 38,45oC dengan selisih
1,85oC. Sedangkan peningkatan suhu tubuh terendah adalah pada responden
nomor 5 dengan selisih 0,85oC, dengan suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja
berturut – turut adalah 36,55oC dan 38,6oC.
Berdasarkan Gambar 5.2 juga diketahui bahwa rata–rata hasil pemeriksaan
nilai suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja pada tenaga kerja yang bekerja di
36,636,75 36,8
36,55 36,55
36,95 36,95
36,55
36,95
36,65
38,4538,35
38,2538,2
37,4
38,2 38,238,05
38,2
38
35,5
36
36,5
37
37,5
38
38,5
39
TK.1 TK.2 TK.3 TK.4 TK.5 TK.6 TK.7 TK.8 TK.9 TK.10
Sebelum Sesudah
77
confined space unit heater adalah 36,73oC dan 38,13oC. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat peningkatan antara suhu tubuh responden sebelum
dan sesudah bekerja akibat paparan panas di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant. Dari hasil pemeriksaan tersebut, disimpulkan
bahwa seluruh pekerja yang bekerja di confined space unit heater mengalami heat
strain dengan ditandai terjadinya kenaikan suhu tubuh ≥38oC.
5.6.2 Denyut Nadi Tenaga Kerja
Pemeriksaan denyut nadi tenaga kerja dilakukan sebelum bekerja dan
setelah bekerja. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu sebelum dan
sesudah istirahat.
Berdasarkan hasil pengukuran denyut nadi tenaga kerja yang dilakukan,
diperoleh hasil sebagai berikut:
Sumber: Data Primer
Gambar 5.3 Grafik Perubahan Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja
109,5
97,5
86,5
80,5 83,5
94,5 96,5
75,5
97,5
87
120115
82,5
8588
106,5 106
78,597
82,5
0
20
40
60
80
100
120
140
TK.1 TK.2 TK.3 TK.4 TK.5 TK.6 TK.7 TK.8 TK.9 TK.10
Sebelum Sesudah
78
Dari Gambar 5.3 tersebut menunjukkan bahwa rerata denyut nadi tenaga
kerja sebelum dan sesudah bekerja sebanyak 7 orang responden mengalami
peningkatan sedangkan 3 orang responden mengalami penurunan. Dari hasil
pengukuran tersebut reponden nomor 3, 9 dan 10 mengalami penurunan nilai
denyut nadi, dengan penurunan tertinggi dialami oleh pekerja nomor 3 dengan
denyut nadi sebelum bekerja sebesar 86,5 denyut per menit dan setelah bekerja
menjadi 82,5 denyut per menit. Sedangkan 7 responden lainnya mengalami
peningkatan denyut nadi, dengan peningkatan tertinggi dialami oleh responden
nomor 2 dengan hasil pengukuran sebelum bekerja sebesar 97,5 denyut per menit
menjadi 115 denyut per menit sesudah bekerja.
Berdasarkan Gambar 5.3 maka dapat diketahui bahwa rata–rata hasil
pemeriksaan denyut nadi tenaga kerja sebelum bekerja adalah 90,85 denyut per
menit sedangkan rata–rata denyut nadi sesudah bekerja adalah 96,1 denyut per
menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan antara denyut
nadi tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja akibat paparan panas di confined
space unit heater Superabsorbent Polymer Plant.
5.6.3 Tekanan Darah Tenaga Kerja
Pemeriksaan tekanan darah tenaga kerja dilakukan sebelum bekerja dan
setelah bekerja. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu sebelum dan
sesudah istirahat. Pengukuran dibedakan menjadi pengukuran tekanan darah
sistolik dan tekanan darah diastolik.
79
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah sistolik dan tekanan darah
diastolik tenaga kerja yang dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Sumber: Data Primer
Gambar 5.4 Grafik Perubahan Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah
Bekerja
Dari Gambar 5.4 tersebut menunjukkan bahwa rerata tekanan darah
sistolik tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja sebanyak 6 orang responden
mengalami peningkatan sedangkan 4 orang responden mengalami penurunan.
Dari 6 orang responden yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik,
responden nomor 1 mengalami peningkatan tertinggi dengan tekanan darah
sistolik sebelum bekerja sebesar 125 mmHg dan sesudah bekerja menjadi 132,5
mmHg. Sedangkan dari 4 responden yang mengalami penurunan, penurunan
tertinggi dialami responden nomor 2 dengan tekanan darah sistolik sesudah
bekerja 142 mmHg yang mengalami penurunan sebesar 9 mmHg dari tekanan
sebeum bekerja yaitu 151 mmHg.a;l;
125
151
129,5
112 111
134,5
115
110
136
124,5
132,5
142
134,5
118115,5
128,5
114,5
113,5
135,5129,5
0
20
40
60
80
100
120
140
160
TK.1 TK.2 TK.3 TK.4 TK.5 TK.6 TK.7 TK.8 TK.9 TK.10
Sebelum Sesudah
80
Berdasarkan Gambar 5.4 diketahui bahwa rata–rata hasil pemeriksaan
tekanan darah sistolik tenaga kerja sebelum bekerja adalah 124,85 mmHg
sedangkan rata-rata tekanan darah sistolik sesudah bekerja adalah 126,05 mmHg.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan antara tekanan darah
sistolik tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja akibat paparan panas di
confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant.
Sumber: Data Primer
Gambar 5.5 Grafik Perubahan Tekanan Darah Diastolik Sebelum dan Sesudah
Bekerja
Dari Gambar 5.5 tersebut menunjukkan bahwa rerata tekanan darah
diastolik tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja sebanyak 5 orang responden
mengalami peningkatan sedangkan 5 orang responden mengalami penurunan.
Dari 5 orang responden yang mengalami penurunan tekanan darah diastolik,
responden nomor 7 mengalami penurunan tertinggi dengan tekanan darah
diastolik sebelum bekerja sebesar 62,5 mmHg dan sesudah bekerja menjadi 70
mmHg. Sedangkan dari 5 responden yang mengalami penurunan, penurunan
61,5
85
5762,5
65,5
83,586,5
62,5
85
71,5
59
76 60,5
7,5 71,582,5 82
62
82,5
73,5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
TK.1 TK.2 TK.3 TK.4 TK.5 TK.6 TK.7 TK.8 TK.9 TK.10
Sebelum Sesudah
81
tertinggi dialami responden nomor 2 dengan tekanan darah diastolik sebelum
bekerja sebesar 85 mmHg dan menurun saat sesudah bekerja menjadi 76 mmHg.
Berdasarkan Gambar 5.5 diketahui bahwa rata–rata hasil pemeriksaan
tekanan darah diastolik tenaga kerja sebelum bekerja adalah 72,05 mmHg
sedangkan rata–rata tekanan darah diastolik sesudah bekerja adalah 72,45 mmHg.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan antara tekanan darah
diastolik tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja akibat paparan panas di
confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant.
5.6.4 Pemeriksaan Berat Badan
Pemeriksaan berat badan tenaga kerja dilakukan sebelum bekerja dan
setelah bekerja. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu sebelum dan
sesudah istirahat.
Berdasarkan hasil pengukuran berat badan tenaga kerja yang dilakukan,
diperoleh hasil sebagai berikut :
Sumber: Data Primer
Gambar 5.6 Grafik Perubahan Berat Badan Sebelum dan Sesudah Bekerja
56
82,75
49,25
43
5853,75
61,25
44,5
92
58
54,5
81,5
47,7540,75
56,25 54,75
59,75
43,25
90,5
56
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
TK.1 TK.2 TK.3 TK.4 TK.5 TK.6 TK.7 TK.8 TK.9 TK.10
Sebelum Sesudah
82
Berdasarkan Gambar 5.6, menunjukkan bahwa berat badan sebelum dan
sesudah bekerja di confined space pada tenaga kerja mengalami penurunan.
Penurunan tertinggi dialami oleh responden nomor 4 dengan penurunan berat
badan sebesar 2,25 kg, berat badan responden tersebut sebelum bekerja adalah 43
kg dan sesudah bekerja menurun hingga 40,75 kg. Sedangkan penurunan berat
badan terendah dialami oleh responden nomor 6 dengan penurunan berat badan
sebesar 1 kg, berat badan sebelum bekerja adalah 53,75 kg lalu sesudah bekerja
menjadi 52,75 kg.
Merujuk pada Gambar 5.6 maka dapat diketahui nilai rata–rata hasil
pengukuran berat badan tenaga kerja sebelum bekerja sebesar 59,85 kg dan
sesudah bekerja adalah sebesar 58,3 kg. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat penurunan berat badan tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja akibat
paparan panas di confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant
5.7 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap Respon Fisiologis Tenaga
Kerja
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi respon
fisiologis pada pekerja yang terpapar heat stress di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia, diperoleh data
mengenai faktor karakteristik tenaga kerja yang mempengaruhi terjadinya respon
fisiologis tenaga kerja sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan.
5.7.1 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap Perubahan Suhu Tubuh
Distribusi perubahan suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja berdasarkan
karakteristik tenaga kerja di confined space unit heater Superabsorbent Polymer
Plant dapat dilihat pada Tabel 5.9 berikut:
83
Tabel 5.9 Distribusi Perubahan Suhu Tubuh Tenaga Kerja Berdasarkan
Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space Unit Heater
Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei
Tahun 2015
Karakteristik Tenaga
Kerja
Perubahan Suhu Tubuh Tenaga Kerja
Turun Naik
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Umur
18 – 20 Tahun - - 1 10
21 – 23 Tahun 2 20 4 40
24 – 27 Tahun - - 3 30
Masa Kerja
≤ 3 Tahun 1 10 4 40
4 – 6 Tahun 1 10 2 20
≥ 7 Tahun - - 2 20
Status Gizi
Kurus 1 10 2 20
Normal 1 10 4 40
Gemuk 1 10 1 10
Kebiasaan Merokok
Ya 1 10 2 20
Tidak 2 20 5 50
Intake Cairan
Tidak Minum 1 10 4 40
Kurang 2 20 3 30 Sumber: Data Primer
Jumlah tenaga kerja yang bekerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant sebanyak 10 orang. Sebanyak 8 orang mengalami
peningkatan suhu tubuh setelah terpapar panas di confined space unit heater.
Berdasarkan Tabel 5.9 diketahui bahwa pekerja yang berumur 21–23 tahun,
pekerja dengan masa kerja ≤3 tahun dan pekerja dengan intake cairan kurang dan
pekerja yang tidak minum saat bekerja di confined space merupakan kategori
paling banyak untuk jumlah pekerja yang mengalami peningkatan suhu tubuh
yaitu sebanyak 4 orang (40%). Peningkatan suhu tubuh terbanyak juga dialami
pekerja dengan status gizi kurus dan normal dengan jumlah sebanyak 3 orang
84
(30%). Sedangkan pekerja yang tidak merokok juga mengalami jumlah
peningkatan suhu tubuh tertinggi yaitu sebanyak 6 orang (60%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja di confined
space unit heater diperoleh hasil bahwa umur tenaga kerja memiliki
kecenderungan signifikan terhadap peningkatan suhu tubuh tenaga kerja. Tenaga
kerja yang memiliki umur 21–23 tahun memiliki kecenderungan 4,216 x 1037 kali
lebih besar menyebabkan peningkatan suhu tubuh dibandingkan dengan tenaga
kerja yang berumur 18–20 tahun.
5.7.2 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap Perubahan Denyut Nadi
Distribusi perubahan denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja
berdasarkan karakteristik tenaga kerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant dapat dilihat pada Tabel 5.10 berikut:
Tabel 5.10 Distribusi Perubahan Denyut Nadi Tenaga Kerja Berdasarkan
Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space Unit Heater
Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan Mei
Tahun 2015
Karakteristik Tenaga
Kerja
Perubahan Denyut Nadi Tenaga Kerja
Turun Naik
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Umur
18 – 20 Tahun - - 1 10
21 – 23 Tahun 3 30 3 30
24 – 27 Tahun - - 3 30
Masa Kerja
≤ 3 Tahun 1 10 4 40
4 – 6 Tahun 1 10 2 20
≥ 7 Tahun - - 2 20
85
Karakteristik Tenaga
Kerja Perubahan Denyut Nadi Tenaga Kerja
Turun Naik
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Status Gizi
Kurus - - 3 30
Normal 2 20 3 30
Gemuk - - 2 20
Kebiasaan Merokok
Ya 1 10 2 20
Tidak 1 10 6 60
Intake Cairan
Tidak Minum 1 10 4 40
Kurang 1 10 4 40
Sumber: Data Primer
Jumlah tenaga kerja yang bekerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant sebanyak 10 orang. Sebanyak 5 orang mengalami
peningkatan denyut nadi setelah terpapar panas di confined space unit heater.
Merujuk pada Tabel 5.10 diketahui bahwa pekerja yang berumur 21–23 tahun dan
24–27 tahun serta pekerja dengan masa kerja ≤3 tahun merupakan kategori yang
paling banyak mengalami peningkatan denyut nadi yaitu sebanyak 3 orang (30%).
Tenaga kerja dengan masa status gizi normal dan pekerja yang tidak minum saat
bekerja di confined space juga merupakan kategori terbanyak mengalami
peningkatan yaitu sebanyak 4 orang (40%). Peningkatan denyut nadi terbanyak
juga dialami pekerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 5
orang (50%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja di confined
space unit heater diperoleh hasil bahwa kebiasaan merokok memiliki
kecenderungan signifikan terhadap peningkatan denyut nadi tenaga kerja. Tenaga
86
kerja yang memiliki kebiasaan merokok memiliki kecenderungan 6,811 x 1036
kali lebih besar menyebabkan peningkatan denyut nadi dibandingkan dengan
tenaga kerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
5.7.3 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap Perubahan Tekanan
Darah
Distribusi perubahan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah bekerja
berdasarkan karakteristik tenaga kerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plamt dapat dilihat pada Tabel 5.11 berikut
Tabel 5.11 Distribusi Perubahan Tekanan Darah Sistolik Tenaga Kerja
Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space Unit
Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai Indonesia
Bulan Mei Tahun 2015
Karakteristik Tenaga
Kerja
Perubahan Tekanan Darah Sistolik Tenaga Kerja
Turun Naik
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Umur
18 – 20 Tahun - - 1 10
21 – 23 Tahun 1 10 5 50
24 – 27 Tahun 2 20 1 10
Masa Kerja
≤ 3 Tahun - - 5 50
4 – 6 Tahun 2 20 1 10
≥ 7 Tahun 1 10 1 10
Status Gizi
Kurus - - 3 30
Normal 2 20 3 30
Gemuk 1 10 1 10
Kebiasaan Merokok
Ya 1 10 2 20
Tidak 2 20 5 50
Intake Cairan
Tidak Minum 1 10 4 40
Kurang 2 20 3 30 Sumber: Data Primer
87
Jumlah tenaga kerja yang bekerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant sebanyak 10 orang. Sebanyak 7 orang mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik setelah terpapar panas di confined space unit
heater. Berdasarkan Tabel 5.11 diketahui bahwa kategori dengan jumlah pekerja
terbanyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik adalah pekerja yang
berumur 21–23 tahun, pekerja dengan masa kerja ≤3 tahun dan pekerja yang tidak
memiliki kebiasaan merokok dengan jumlah sebanyak 5 orang (50%).
Peningkatan tekanan darah sistolik terbanyak juga dialami pekerja dengan status
gizi kurus dan normal yaitu sebanyak 3 orang (30%). Dan para pekerja yang tidak
minum air saat bekerja di confined space juga merupakan kategori dengan nilai
peningkatan tekanan darah sistolik tertinggi yaitu sebanyak 5 orang (50%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah bekerja di
confined space unit heater diperoleh hasil bahwa kebiasaan merokok memiliki
kecenderungan signifikan terhadap peningkatan tekanan darah sistolik tenaga
kerja. Tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok memiliki kecenderungan
6,811 x 1036 kali lebih besar menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik
dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
Distribusi perubahan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah bekerja
berdasarkan karakteristik tenaga kerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant dapat dilihat pada Tabel 5.12 berikut:
88
Tabel 5.12 Distribusi Perubahan Tekanan Darah Diastolik Tenaga Kerja
Berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space Unit
Heater Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai Indonesia
Bulan Mei Tahun 2015
Karakteristik Tenaga
Kerja
Perubahan Tekanan Darah Diastolik Tenaga Kerja
Turun Naik
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Umur
18 – 20 Tahun 1 10 - -
21 – 23 Tahun 2 20 4 40
24 – 27 Tahun 2 20 1 10
Masa Kerja
≤ 3 Tahun 2 20 3 30
4 – 6 Tahun 2 20 1 10
≥ 7 Tahun 1 10 1 10
Status Gizi
Kurus 1 10 2 20
Normal 3 30 2 20
Gemuk 1 10 1 10
Kebiasaan Merokok
Ya 1 10 2 20
Tidak 4 40 3 30
Intake Cairan
Tidak Minum 2 20 3 30
Kurang 3 30 2 20
Sumber: Data Primer
Jumlah tenaga kerja yang bekerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant sebanyak 10 orang. Sebanyak 6 orang mengalami
peningkatan tekanan darah diastolik setelah terpapar panas di confined space unit
heater. Berdasarkan Tabel 5.12 diketahui bahwa pekerja yang berumur 21–23
tahun merupakan kategori jumlah pekerja paling banyak mengalami peningkatan
tekanan darah diastolik yaitu sebanyak 4 orang (40%). Peningkatan tekanan darah
89
diastolik terbanyak juga dialami pekerja dengan masa kerja ≤3 tahun, pekerja
yang tidak memiliki kebiasaan merokok dan pekerja yang tidak minum saat
bekerja di confined space yaitu sebanyak 3 orang (30%). Pekerja dengan status
gizi kurus dan normal juga mengalami peningkatan tertinggi yaitu sebanyak 2
orang (20%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah bekerja di
confined space unit heater diperoleh hasil bahwa kebiasaan merokok memiliki
kecenderungan signifikan terhadap peningkatan tekanan darah diastolik tenaga
kerja. Tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok memiliki kecenderungan
6,811 x 1036 kali lebih besar menyebabkan peningkatan tekanan darah diastolik
dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
5.7.4 Pengaruh Karakteristik Pekerja Terhadap Perubahan Berat Badan
Distribusi perubahan berat badan sebelum dan sesudah bekerja
berdasarkan karakteristik tenaga kerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant dapat dilihat pada Tabel 5.13 berikut:
Tabel 5.13 Distribusi Perubahan Berat Badan Tenaga Kerja Berdasarkan
Karakteristik Tenaga Kerja di Confined Space Unit Heater
Superabsorbent Polymer PT. Nippon Shokubai Indonesia Bulan
Mei Tahun 2015
Karakteristik Tenaga
Kerja
Perubahan Berat Badan Tenaga Kerja
Turun ≤1,5 kg Turun >1,5 kg
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Umur
18 – 20 Tahun - - 1 10
21 – 23 Tahun 1 10 5 50
24 – 27 Tahun 2 20 1 10
90
Karakteristik Tenaga
Kerja
Perubahan Berat Badan Tenaga Kerja
Turun ≤1,5 kg Turun >1.5 kg
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Masa Kerja
≤ 3 Tahun 1 10 4 40
4 – 6 Tahun 1 10 2 20
≥ 7 Tahun 1 10 1 10
Status Gizi
Kurus 1 10 2 20
Normal 1 10 4 40
Gemuk 1 10 1 10
Kebiasaan Merokok
Ya - - 3 30
Tidak 3 30 4 40
Intake Cairan
Tidak Minum 1 10 4 40
Kurang 2 20 3 30
Sumber: Data Primer
Jumlah tenaga kerja yang bekerja di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant sebanyak 10 orang. Tenaga kerja yang mengalami
penurunan berat badan ≥1,5 kg setelah terpapar panas di confined space unit
heater adalah sebanyak 7 orang. Berdasarkan Tabel 5.13 diketahui bahwa pekerja
yang berumur 21–23 tahun adalah kategori jumlah pekerja yang paling banyak
mengalami penurunan berat badan ≥1,5 kg yaitu sebanyak 5 orang (50%). Pekerja
yang memiliki masa kerja ≤3 tahun, pekerja dengan status gizi normal, pekerja
yang tidak memiliki kebiasaan merokok dan pekerja yang tidak minum saat
bekerja di confined space juga merupakan kategori jumlah pekerja yang paling
banyak mengalami penurunan berat badan ≥1,5 kg dengan jumlah sebanyak 4
orang (40%).
91
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan berat badan sebelum dan sesudah bekerja di confined
space unit heater diperoleh hasil bahwa faktor yang memiliki kecenderungan
signifikan terhadap penurunan berat badan hingga ≥1,5 kg tenaga kerja adalah
intake cairan. Tenaga kerja yang tidak minum saat bekerja di confined space unit
heater memiliki kecenderungan 2,610 x 1018 kali lebih besar menyebabkan
penurunan berat badan hingga ≥1,5 dibandingkan dengan tenaga kerja yang
minum saat bekerja di confined space unit heater dengan jumlah kurang.S
92
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Tenaga Kerja
Sampel penelitian adalah sebesar 10 orang yang bekerja membersihkan
confined space unit heater yang terpapar panas dari mesin heater. Tenaga kerja
yang bekerja di dalam confined space seluruhnya berjenis kelamin laki–laki.
Laki–laki umumnya memiliki daya tahan tubuh terhadap panas yang lebih baik
dibandingkan wanita, karena tubuh wanita mempunyai jaringan dengan daya
induksi yang lebih besar terhadap panas dibandingkan laki-laki (Siswanto, 1991).
Umur tenaga kerja yang bekerja membersihkan confined space unit heater
bervariasi. Pekerja dengan umur paling muda adalah 19 tahun dan umur paling tua
adalah 26 tahun. Merujuk pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar
tenaga kerja berada pada rentang umur 21–23 tahun dengan persentase 60%.
Umur tenaga kerja yang masih tergolong muda (<35 tahun) akan memudahkan
tenaga kerja tersebut bekerja di confined space dengan lingkungan kerja yang
panas. Karena dengan kondisi temperatur lingkungan kerja yang tinggi, tenaga
kerja yang berumur lanjut akan menyerap lebih banyak panas dari lingkungan dari
pada orang muda terutama pada area pembuluh darah mereka yang terdapat atau
dekat dengan permukaan kulit lebih banyak terpapar panas (Siswanto, 1991).
Selain itu proses menjadi tua diikuti pula dengan berkurangnya kemampuan kerja,
dikarenakan perubahan baik kardiovaskuler maupun hormonal (Suma’mur, 2009)
Masa kerja tenaga kerja dalam pekerjaan di confined space juga bervariasi
dari 6 bulan hingga 8 tahun. Tenaga kerja yang menjadi responden dalam
penelitian sebagian besar mempunyai masa kerja ≤3 tahun (50%). Masa kerja
93
dengan waktu yang belum lama dapat diasumsikan bahwa paparan panas yang
dirasakan di dalam confined space belum cukup besar dan kemungkinan akan
mendapat keluhan kesehatan pun tidak cukup besar dibandingkan dengan tenaga
kerja yang memiliki masa kerja dalam waktu yang lama. Karena semakin lama
masa kerja seseorang, maka besar pemaparan panas yang diterimanya. Oleh
karena itu semakin besar kemungkinan akan mendapat keluhan kesehatan
(Siswanto, 1991).
Berdasarkan Tabel 5.3 menunjukkan bahwa 50% tenaga kerja memiliki
status gizi dalam kategori normal, sedangkan 30% memiliki status gizi dalam
kategori kurus dan kategori gemuk sebanyak 20%. Tenaga kerja yang status
gizinya jelek akan menunjukkan respon yang berlebihan terhadap tekanan panas
dan hal ini disebabkan oleh sistem kardiovaskuler yang tidak stabil. Pengeluaran
elemen penting dari makanan yang dikonsumsi oleh tenaga kerja dengan status
gizi jelek dapat dipercepat oleh adanya beban kerja yang berat khususnya apabila
dilakukan di tempat kerja yang panas (Siswanto, 1991).
Jumlah tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok berdasarkan Tabel
5.4 adalah sebanyak 3 orang (30%). Nikotin dalam rokok dapat mengakibatkan
jantung berdenyut lebih cepat dan penyempitan saluran nadi sehingga
menyebabkan jantung terpaksa memompa dengan lebih kuat untuk memenuhi
kebutuhan darah ke seluruh tubuh (Singgih, 2005) sehingga nikotin dapat
merangsang jantung, syaraf, otak dan organ tubuh lainnya bekerja tidak normal,
nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan
darah, denyut nadi dan tekanan kontraksi otot jantung. Sehingga dengan paparan
94
panas cukup tinggi dan beban kerja berat dapat menyebabkan kinerja jantung,
saraf, otak dan organ tubuh lainnya bekerja lebih keras (Sidabutar, 2005).
Berdasarkan Tabel 5.5, diketahui bahwa 50% tenaga kerja tidak memiliki
kebiasaan minum saat bekerja di confined space dan 5 orang (50%) tenaga kerja
yang memiliki kategori kebiasaan minum kurang yaitu ≤1 botol dengan ukuran
botol yang digunakan adalah 600 ml. Pekerjaan di tempat panas harus di
perhatikan secara khusus kebutuhan air dan garam sebagai pengganti cairan untuk
penguapan. Tenaga kerja yang bekerja di lingkungan kerja yang panas diharuskan
minum air 200–300 cc setiap 30 menit tanpa menunggu haus dengan tujuan
supaya cairan tubuh tetap dalam keadaan seimbang (Construction Safety
Association of Ontario, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebiasaan minum tenaga
kerja dalam kategori kurang, hal ini dapat menimbulkan munculnya tanda
pelemahan kemampuan fisik dan mental serta menyebabkan dehidrasi. Pihak
perusahaan telah menyediakan fasilitas tempat minum bagi tenaga kerja, Namun
ketersediaan air minum sangat terbatas dan sering dalam keadaan kosong tanpa
adanya air minum.
6.2 Beban Kerja dan Waktu Kerja
Merujuk pada Tabel 5.6 yaitu hasil pengukuran beban kerja yang
dilakukan dengan metode pengamatan selama bekerja pada tenaga kerja yang
terpapar heat stress di confined space berdasarkan SNI 7269-2009 diperoleh hasil
bahwa rata–rata total beban kerja tenaga kerja di confined space adalah 461.94
kkal per jam. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269-2009 dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER.13/MEN/X/2011
95
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja,
maka beban kerja responden di confined space tersebut termasuk dalam kategori
berat dengan kebutuhan kalori per jam sebesar 350–500 kkal per jam.
Beban kerja yang berlebihan dan terus menerus dapat menyebabkan
persedian oksigen dalam jaringan berkurang sehingga pengeluaran
karbondioksida terbatas dan asam laktat menumpuk yang akhirnya dapat
menimbulkan kelelahan pada tenaga kerja (Siswanto, 1991). Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari tenaga kerja yang menyatakan mengenai keluhan subjektif yang
dirasakannya yaitu pusing, kelelahan, tubuh pegal–pegal dan dehidrasi.
Berdasarkan Tabel 5.7 diperoleh data mengenai rata–rata waktu kerja
tenaga kerja setiap jam yaitu selama 18,7 menit. Berdasarkan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER.13/MEN/X/2011, maka waktu kerja
tenaga kerja termasuk dalam pengaturan waktu kerja 0–25 %, artinya tenaga kerja
bekerja selama 18,7 menit dengan paparan heat stress di confined space unit
heater dan beristirahat selama 41,3 menit.
6.3 Iklim Kerja di Confined Space Unit Heater
Berdasarkan pengukuran iklim kerja yang dilakukan sebanyak 2 (dua) kali
yaitu sebelum istirahat dan setelah istirahat yang dilakukan pada 2 (dua) titik yaitu
area manhole 1 dan area manhole 3 pada unit heater 1 CA dan 2CA yang tertera
pada Tabel 5.8 diketahui bahwa rerata suhu basah yang merupakan indikator
banyaknya uap air di udara adalah sebesar 33,4 oC. Semakin tinggi nilai dari suhu
basah maka akan semakin tinggi kadar uap air yang ada di tempat kerja tersebut.
Nilai suhu basah tersebut disebabkan karena adanya panas yang dihasilkan dari
proses metabolisme tubuh dan confined space yang memiliki ukuran sangat
96
terbatas serta ventilasi yang tidak mencukupi. Untuk meminimalisi panas di dalam
confined space, pihak perusahaan menyediakan 2 (dua) buah blower yang
dimasukkan melalui manhole.
Suhu kering menunjukkan suhu udara lingkungan tanpa pengaruh dari
radiasi, berdasarkan Tabel 5.8 menunjukkan bahwa rerata suhu kering di confined
space unit heater cukup tinggi yaitu 39,7 oC.
Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui pula rerata suhu bola yang merupakan
indikator suhu radiasi ditempat kerja cukup tinggi yaitu sebesar 45 oC. Hal ini
diduga karena pancaran panas dari heater masih cukup tinggi sehingga
memancarkan panas ke seluruh confined space termasuk ke tubuh tenaga kerja.
Kelembaban udara relatif atau nisbi merupakan rasio dari banyaknya uap
air dalam udara pada suatu temperature terhadap banyaknya uap air pada saat
udara telah jenuh dengan uap air pada temperature tersebut. Hasil pengukuran
rerata kelembaban udara di confined space unit heater merujuk pada Tabel 5.8
adalah 45,6 %. Kelembaban udara yang tinggi akan menganggu ekskresi keringat
sehingga dapat menganggu keseimbangan cairan dalam tubuh tenaga kerja.
Rerata nilai Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) di confined space unit
heater adalah sebesar 34.9oC apabila merujuk pada Tabel 5.8. Apabila dilakukan
perbandingan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
13 Tahun 2011 dan mengikutsertakan beban kerja tenaga kerja yang termasuk
dalam kategori berat yaitu 461,94 kkal per jam. Sehingga didapatkan hasil bahwa
nilai ISBB di confined space unit heater telah melebihi nilai ambang batas yang
ditentukan dengan jam kerja 0–25 % yaitu 30,5oC.
97
6.4 Respon Fisiologis Tenaga Kerja
Manusia dianggap mampu beradaptasi dengan perubahan temperatur
lingkungan bila perubuhan suhu tubuh tidak terjadi atau perubahan suhu tubuh
terjadi namun masih pada rentang yang aman yaitu tidak melebihi 38oC. Apabila
temperatur lingkungan lebih tinggi dibandingkan suhu tubuh normal, maka akan
menyebabkan terjadinya perubahan suhu tubuh karena tubuh menerima panas dari
lingkungan (Siswanto, 1991).
Merujuk pada Gambar 5.2 dipaparkan hasil pengukuran suhu tubuh tenaga
kerja sebelum dan sesudah bekerja. Pada Gambar tersebut menunjukkan bahwa
terjadi perubahan suhu tubuh tenaga kerja. Setiap responden mengalami
perubahan suhu tubuh yang berbeda–beda, peningkatan suhu tubuh tertinggi
adalah pada responden nomor 1 dari suhu tubuh sebelum bekerja sebesar 36,6oC
dan naik sesudah bekerja sebesar 38,45oC dengan selisih 1,85oC. Sedangkan
peningkatan suhu tubuh terendah adalah pada responden nomor 5 dengan selisih
0,85oC, dengan suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja berturut–turut adalah
36,55 oC dan 38,6 oC.
Berdasarkan Gambar 5.2, diketahui bahwa rata–rata hasil pemeriksaan
suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja pada tenaga kerja yang bekerja di
confined space unit heater adalah 36,73oC dan 38,13oC. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat peningkatan antara suhu tubuh responden sebelum
dan sesudah bekerja akibat paparan panas di confined space unit heater. Dan
dengan suhu tubuh mencapai >38oC maka dapat disimpulkan pula bahwa tenaga
kerja telah mengalami heat strain (Siswanto. 1991).
98
Iklim kerja yang panas dapat menyebabkan beban tambahan pada sirkulasi
darah. Pada waktu melakukan kerja fisik yang berat di lingkungan yang panas,
maka darah akan mendapat beban tambahan, karena harus membawa oksigen ke
bagian otot yang sedang bekerja. Di samping itu darah juga harus membawa
panas dari dalam tubuh ke permukaan kulit. Hal demikian merupakan beban
tambahan bagi jantung yang harus memompa darah lebih banyak lagi. Akibat dari
pekerjaan dengan paparan panas, maka frekuensi denyut nadi pun akan meningkat
(Santosa, 2004)
Berdasarkan Gambar 5.3, diketahui bahwa rerata denyut nadi tenaga kerja
sebelum dan sesudah bekerja sebanyak 7 orang responden mengalami
peningkatan sedangkan 3 orang responden mengalami penurunan. Dari hasil
pengukuran tersebut reponden nomor 3, 9 dan 10 mengalami penurunan nilai
denyut nadi, dengan penurunan teretinggi dialami oleh pekerja nomor 3 dengan
denyut nadi sebelum bekerja sebesar 86,5 denyut per menit dan setelah bekerja
menjadi 82,5 denyut per menit. Sedangkan 7 responden lainnya mengalami
peningkatan denyut nadi, dengan peningkatan tertinggi dialami oleh responden
nomor 2 dengan hasil pengukuran sebelum bekerja sebesar 97,5 denyut per menit
menjadi 115 denyut per menit sesudah bekerja.
Merujuk pada Gambar 5.3, diketahui bahwa rata–rata hasil pemeriksaan
denyut nadi tenaga kerja sebelum bekerja adalah 90,85 denyut per menit
sedangkan rata – rata denyut nadi sesudah bekerja adalah 96,1 denyut per menit.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat kenaikan antara denyut nadi tenaga
kerja sebelum dan sesudah bekerja akibat paparan panas di confined space.
99
Hasil penelitian sesuai dengan teori tentang denyut nadi dalam Physiologi
Bases of Exercise bahwa latihan atau bekerja lama pada lingkungan yang panas
menyebaban denyut nadi lebih tinggi daripada latihan pada lingkungan yang
temperatur yang rendah. Denyut nadi dapat berubah karena meningkatnya
Cardiac Output (curah jantung) yang diperlukan otot yang sedang bekerja dan
karena penambahan strain pada aliran darah karena terpapar panas, pada saat
bekerja terjadi peningkatan metabolisme sel–sel otot sehingga aliran darah
meningkat untuk memindahkan zat–zat makanan dari darah yang dibutuhkan
jaringan otot. Semakin tinggi aktivitas maka semakin untuk mensuplai kebutuhan
zat makanan melalui peningkatan aliran darah. Peningkatan curah jantung akan
meningkatkan frekuensi denyut nadi yang akan meningkatkan kinerja jantung
untuk mengalirkan darah ke kulit untuk meningkatkan penguapan keringat dalam
rangka mempertahankan suhu tubuh.
Selain peningkatan denyut nadi, pekerjaan di lingkungan panas juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah. Tekanan darah sistolik bertugas
memompa darah masuk ke aorta dan dialirkan ke seluruh tubuh. Tekanan darah
normal untuk orang dewasa adalah 120 mmHg. Tekanan darah diastolik adalah
tekanan minimal terhadap dinding arteri yang terjadi saat ventrikel relaksasi.
Tekanan darah diastolik normal untuk dewasa yaitu 80 mmHg (Grandjean, 1993).
Merujuk pada Gambar 5.4 menunjukkan bahwa rerata tekanan darah
sistolik tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja sebanyak 6 orang responden
mengalami peningkatan sedangkan 4 orang responden mengalami penurunan.
Dari 6 orang responden yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik,
responden nomor 1 mengalami peningkatan tertinggi dengan tekanan darah
100
sistolik sebelum bekerja sebesar 125 mmHg dan sesudah bekerja menjadi 132.5
mmHg. Sedangkan dari 4 responden yang mengalami penurunan, penurunan
tertinggi dialami responden nomor 2 dengan tekanan darah sistolik sesudah
bekerja 142 mmHg yang mengalami penurunan sebesar 9 mmHg dari tekanan
sebeum bekerja yaitu 151 mmHg.
Dari Gambar 5.5 tersebut menunjukkan bahwa rerata tekanan darah
diastolik tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja sebanyak 5 orang responden
mengalami peningkatan sedangkan 5 orang responden mengalami penurunan.
Dari 5 orang responden yang mengalami penurunan tekanan darah diastolik,
responden nomor 7 mengalami penurunan tertinggi dengan tekanan darah
diastolik sebelum bekerja sebesar 62,5 mmHg dan sesudah bekerja menjadi 70
mmHg. Sedangkan dari 5 responden yang mengalami penurunan, penurunan
tertinggi dialami responden nomor 2 dengan tekanan darah diastolik sebelum
bekerja sebesar 85 mmHg dan menurun saat sesudah bekerja menjadi 76 mmHg.
Berdasarkan pada Gambar 5.4 dan 5.5, diketahui bahwa rata–rata hasil
pemeriksaan tekanan darah sistolik tenaga kerja sebelum bekerja adalah 124,85
mmHg sedangkan rata–rata tekanan darah sistolik sesudah bekerja adalah 126,05
mmHg dan rata–rata hasil pemeriksaan tekanan darah diastolik tenaga kerja
sebelum bekerja adalah 72,05 mmHg sedangkan rata–rata tekanan darah diastolik
sesudah bekerja adalah 72,45 mmHg. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan antara tekanan darah sistolik dan diatolik tenaga kerja sebelum dan
sesudah bekerja akibat paparan panas di confined space unit heater
Superabsorbent Polymer Plant.
101
Respon tubuh terhadap tekanan panas selain dari peningkatan suhu tubuh,
denyut nadi dan tekanan darah dapat dilihat pula dari banyaknya keringat yang
dihasilkan oleh tubuh. Pengeluaran keringat dapat menyebabkan penurunan berat
badan pada pekerja. Penurunan berat badan sebesar 1,4% dapat ditolerir oleh
pekerja tanpa menimbulkan pengaruh yang serius. Kehilangan air sebanyak 1,5 kg
atau lebih selama bekerja dapat mengakibatkan naiknya denyut nadi dan suhu
tubuh, rasa haus dan ketidak nyamanan. Apabila suhu tubuh kehilangan air
sebanyak 2–4 kg (3–6% dari berat badan), maka keadaan ini dapat menyebabkan
gangguan dalam melakukan pekerjaan (Siswanto, 1991)
Berdasakan Gambar 5.6, menunjukkan bahwa berat badan sebelum dan
sesudah bekerja di confined space pada tenaga kerja mengalami penurunan.
Penurunan tertinggi dialami oleh responden nomor 4 dengan penurunan berat
badan sebesar 2,25 kg, berat badan responden tersebut sebelum bekerja adalah 43
kg dan sesudah bekerja menurun hingga 40,75 kg. Sedangkan penurunan berat
badan terendah dialami oleh responden nomor 6 dengan penurunan berat badan
sebesar 1 kg, berat badan sebelum bekerja adalah 53,75 kg lalu sesudah bekerja
menjadi 52,75 kg.
Berdasarkan pada Gambar 5.6, diketahui bahwa rata–rata hasil pengukuran
berat badan tenaga kerja sebelum bekerja sebesar 59,85 kg dan sesudah bekerja
adalah sebesar 58,3 kg. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan
berat badan tenaga kerja sebelum dan sesudah bekerja akibat paparan panas di
confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant.
102
6.4 Pengaruh Karakteristik Tenaga Kerja Terhadap Respon Fisiologis
Tenaga Kerja
Faktor – faktor karakteristik yang dimiliki tenaga kerja memiliki peluang
menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan respon fisiologis antara sebelum
dan sesudah bekerja di lingkungan kerja yang panas. Jumlah tenaga kerja yang
bekerja di confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant sebanyak 10
orang.
Berdasarkan Tabel 5.9 terdapat sebanyak 8 orang dari 10 orang pekerja
mengalami peningkatan suhu tubuh setelah terpapar panas di confined space unit
heater bahwa pekerja yang berumur 21–23 tahun, pekerja dengan masa kerja ≤ 3
tahun dan pekerja dengan intake cairan kurang dan pekerja yang tidak minum saat
bekerja di confined space merupakan kategori paling banyak untuk jumlah pekerja
yang mengalami peningkatan suhu tubuh yaitu sebanyak 4 orang (40%).
Peningkatan suhu tubuh terbanyak juga dialami pekerja dengan status gizi kurus
dan normal dengan jumlah sebanyak 3 orang (30%). Sedangkan pekerja yang
tidak merokok juga mengalami jumlah peningkatan suhu tubuh tertinggi yaitu
sebanyak 6 orang (60%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan suhu tubuh sebelum dan sesudah bekerja di confined
space unit heater diperoleh hasil bahwa umur tenaga kerja memiliki
kecenderungan signifikan terhadap peningkatan suhu tubuh tenaga kerja. Tenaga
kerja yang memiliki umur 21–23 tahun memiliki kecenderungan 4,216 x 1037 kali
lebih besar menyebabkan peningkatan suhu tubuh dibandingkan dengan tenaga
kerja yang berumur 18–20 tahun.
103
Dalam kondisi temperatur yang tinggi, tenaga kerja yang berumur lebih
tua akan menyerap lebih banyak panas dari lingkungan kerja. Sedangkan
kemampuan untuk mensekresikan keringat menjadi lebih lambat karena kelenjar
keringat mereka menunjukkan respon yang lebih lambat terhadap beban panas
metabolik dari lingkungan (Siswanto, 1991).
Sebanyak 5 orang dari 10 orang mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik setelah terpapar panas di confined space unit heater. Merujuk pada Tabel
5.10 diketahui bahwa pekerja yang berumur 21–23 tahun dan 24–27 tahun serta
pekerja dengan masa kerja ≤3 tahun merupakan kategori yang paling banyak
mengalami peningkatan denyut nadi yaitu sebanyak 3 orang (30%). Tenaga kerja
dengan masa status gizi normal dan pekerja yang tidak minum saat bekerja di
confined space juga merupakan kategori terbanyak mengalami peningkatan yaitu
sebanyak 4 orang (40%). Peningkatan denyut nadi terbanyak juga dialami pekerja
yang tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 5 orang (50%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja di confined
space unit heater diperoleh hasil bahwa kebiasaan merokok memiliki
kecenderungan signifikan terhadap peningkatan denyut nadi tenaga kerja. Tenaga
kerja yang memiliki kebiasaan merokok memiliki kecenderungan 6,811 x 1036
kali lebih besar menyebabkan peningkatan denyut nadi dibandingkan dengan
tenaga kerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
Sebanyak 7 dari 10 orang pekerja mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik setelah terpapar panas di confined space unit heater. Berdasarkan Tabel
5.11 diketahui bahwa pekerja yang berumur 21–23 tahun yang paling banyak
104
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik yaitu sebanyak 5 orang (50%).
Tenaga kerja dengan masa kerja ≤3 tahun juga merupakan kategori terbanyak
mengalami peningkatan yaitu sebanyak 5 orang (50%). Peningkatan tekanan
darah sistolik terbanyak juga dialami pekerja dengan status gizi kurus dan normal
yaitu sebanyak 3 orang (30%). Dan para pekerja yang tidak merokok dan pekerja
yang tidak minum air saat bekerja di confined space juga merupakan kategori
dengan nilai peningkatan tekanan darah sistolik tertinggi yaitu masing–masing
sebanyak 5 orang (50%) dan 4 orang (40%).
Sedangkan untuk peningkatan tekanan darah diastolik terdapat 5 orang
pekerja yang mengalami peningkatan. Berdasarkan Tabel 5.12 diketahui bahwa
pekerja yang berumur 21–23 tahun yang paling banyak mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik yaitu sebanyak 4 orang (40%). Peningkatan tekanan darah
diastolik terbanyak juga dialami pekerja dengan masa kerja ≤ 3 tahun dan pekerja
yang tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu 3 orang (30%). Pekerja dengan
status gizi kurus dan normal juga mengalami peningkatan tertinggi yaitu sebanyak
2 orang (20%). Dan pekerja yang tidak minum air saat bekerja di confined space
juga merupakan kategori dengan nilai peningkatan tekanan darah diastolik
tertinggi yaitu 3 orang (30%).
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dan
sesudah bekerja di confined space unit heater diperoleh hasil bahwa kebiasaan
merokok memiliki kecenderungan signifikan terhadap peningkatan tekanan darah
sistolik dan diastolik tenaga kerja. Tenaga kerja yang memiliki kebiasaan
merokok memiliki kecenderungan 6,811 x 1036 kali lebih besar menyebabkan
105
peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dibandingkan dengan tenaga
kerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
Nikotin yang terdapat di dalam rokok dapat menyebabkan kenaikan
tekanan arteri dan denyut nadi dengan beberapa mekanisme yaitu nikotin
merangsang pelepasan epinetrin lokal dan saraf adrenergic dan meningkatkan
sekresi katekolamin dan modula adrenalis dan dari jaringan kromafin di jantung,
lalu nikotin bekerja pada kemoreseptor di gomus caroticus dan glomera aotica
yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan arteri. Selain itu
nikotin juga bekerja langsung pada miokardium untuk menginduksi efek inotropik
dan kromotropik positif (Kaplan dan Stamler dalam Kapten, 2006).
Nikotin dalam rokok dapat mengakibatkan jantung berdenyut lebih cepat
dan penyempitan saluran nadi sehingga menyebabkan jantung terpaksa memompa
dengan lebih kuat untuk memenuhi kebutuhan darah ke seluruh tubuh. Nikotin
juga sebagai penyebab ketagihan yang akan merangsang jantung, saraf, otak dan
organ tubuh lainnya bekerja tidak normal (Singgih, 2005).
Tenaga kerja yang mengalami penurunan berat badan ≥1,5 kg setelah
terpapar panas di confined space unit heater adalah sebanyak 7 orang.
Berdasarkan Tabel 5.13 diketahui bahwa pekerja yang berumur 21-23 tahun
adalah kategori jumlah pekerja yang paling banyak mengalami penurunan berat
badan ≥1,5 kg yaitu sebanyak 5 orang (50%). Pekerja yang memiliki masa kerja
≤3 tahun, pekerja dengan status gizi normal, pekerja yang tidak memiliki
kebiasaan merokok dan pekerja yang tidak minum saat bekerja di confined space
juga merupakan kategori jumlah pekerja yang paling banyak mengalami
penurunan berat badan ≥1,5 kg dengan jumlah sebanyak 4 orang (40%).
106
Berdasarkan uji regresi logistik mengenai pengaruh karakteristik tenaga
kerja terhadap perubahan berat badan sebelum dan sesudah bekerja di confined
space unit heater diperoleh hasil bahwa faktor yang memiliki kecenderungan
signifikan terhadap penurunan berat badan hingga ≥1,5 kg tenaga kerja adalah
intake cairan. Tenaga kerja yang tidak minum saat bekerja di confined space unit
heater memiliki kecenderungan 2,610 x 1018 kali lebih besar menyebabkan
penurunan berat badan hingga ≥1.5 dibandingkan dengan tenaga kerja yang
minum saat bekerja di confined space unit heater dengan jumlah kurang.
Pekerjaan di tempat panas harus di perhatikan secara khusus kebutuhan air
dan garam sebagai pengganti cairan untuk penguapan. Lingkungan kerja yang
panas dan berat diperlukan minimal 2,8 liter air minum, bagi tenaga kerja dengan
pekerjaan ringan dianjurkan 1,9 liter (Suma’mur, 2009). Tenaga kerja yang
bekerja di lingkungan kerja yang panas diharuskan minum air sebanyak 200–300
cc setiap 30 menit (Construction Safety Association of Ontario, 2000).
Penurunan berat badan sebesar 1,4% dapat ditolerir oleh pekerja tanpa
menimbulkan pengaruh yang serius. Kehilangan air sebanyak 1,5 kg atau lebih
selama bekerja dapat mengakibatkan naiknya denyut nadi dan suhu tubuh, rasa
haus dan ketidak nyamanan. Apabila suhu tubuh kehilangan air sebanyak 2–4 kg
(3–6% dari berat badan), maka keadaan ini dapat menyebabkan gangguan dalam
melakukan pekerjaan (Siswanto, 1991).
107
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Seluruh pekerja berjenis kelamin laki-laki dengan rentang umur
terbanyak 21–23 tahun (60%), masa kerja ≤ 3 tahun (50%), status gizi
normal (50%), tidak memiliki kebiasaan merokok (70%). Sedangkan
pekerja yang tidak minum dan minum dalam jumlah yang kurang
berjumlah 50%.
2. Seluruh pekerja memiliki beban kerja yang berat dengan jumlah
kebutuhan kalori rata-rata sebanyak 461,94 kkal per jam dan waktu
kerja termasuk dalam pengaturan waktu kerja 0–25% yaitu selama
18,7 menit kerja.
3. Rerata suhu kering dan suhu basah sebesar 39,7 oC dan 33,5oC.
Sedangkan rerata suhu bola sebesar 45 oC dan rerata kelembaban
udara mencapai 43,13 %. Nilai Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
adalah sebesar 34,9oC. Sehingga dengan jam kerja kategori 0–25%,
ISBB di confined space unit heater telah melebihi Nilai Ambang
Batas Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun
2011 yaitu 30,5oC
4. Hasil pemeriksaan fisiologis diketahui bahwa terdapat peningkatan
antara pemeriksaan sebelum dan sesudah bekerja. Rerata suhu tubuh
36,73oC meningkat menjadi 38,13oC, rerata denyut nadi 90,85 denyut
per menit dan menjadi 96,1 denyut per menit, rerata tekanan darah
sistolik 124,85 dan 126,05 mmHg dan tekanan darah diastolik 72,05
mmHg dan dan 72,45 mmHg. Respon fisiologis pekerja lainnya
108
adalah penurunan berat badan dengan penurunan sebesar 1,55 kg,
dengan rerata sebelum kerja 9,85 kg dan sesudah bekerja 58,3 kg.
5. Umur memiliki kecenderungan signifikan terhadap peningkatan suhu
tubuh. Pekerja yang memiliki umur 21–23 tahun memiliki
kecenderungan 4,216x1037 kali lebih besar menyebabkan peningkatan
suhu tubuh dibandingkan dengan tenaga kerja yang berumur 18–20
tahun.
6. Kebiasaan merokok pekerja memiliki kecenderungan signifikan
terhadap peningkatan denyut nadi, tekanan darah sistolik dan
diastolik. Pekerja yang memiliki kebiasaan merokok memiliki
kecenderungan 6,811 x 1036 kali lebih besar menyebabkan
peningkatan denyut nadi dibandingkan dengan tenaga kerja yang
tidak memiliki kebiasaan merokok.
7. Intake cairan menjadi faktor yang memiliki kecenderungan signifikan
terhadap terjadinya penurunan berat badan pekerja. Pekerja yang
tidak minum saat bekerja di confined space unit heater memiliki
kecenderungan 2,610 x 1018 kali lebih besar menyebabkan penurunan
berat badan hingga ≥1,5 dibandingkan dengan tenaga kerja yang
minum saat bekerja di confined space unit heater dengan jumlah
kurang.
7.2 Saran
1. Membuat jadwal rutin pengisian air minum yang berada di lantai 4
Superabsorbent Polymer Plant, sehingga pekerja dapat secara rutin
109
mengkonsumsi air minum untuk mempertahankan tingkat cairan dalam
tubuh dan menghindari dehidrasi;
2. Pekerja disarankan untuk mengkonsumsi air minum saat bekerja
minimal sebanyak 250 ml setiap setengah jam dan pekerja diharapkan
tidak menunggu hingga merasa haus untuk mengkonsumsi air minum;
3. Melakukan training dan education mengenai heat stress di confined
space dengan materi training berdasarkan National Institute of
Occupational Safety and Health (NIOSH) adalah:
a. Pengetahuan mengenai bahaya heat stress;
b. Pengenalan faktor resiko, tanda bahaya dan gejala yang yang
ditimbulkan akibat heat stress;
c. Pengetahuan mengenai pertolongan pertama first aid apabila
terdapat pekerja yang mengalami gangguan kesehatan akibat heat
stress seperti heat cramps, heat stroke dan lain – lain;
d. Tanggung jawab tenaga kerja dalam pencegahan terjadinya
gangguan kesehatan seperti rutin mengkonsumsi cairan.
4. Pekerja disarankan untuk menghindari minuman seperti teh dan kopi
sebelum bekerja, karena minuman–minuman tersebut dapat membuat
pekerja buang air kecil lebih sering;
5. Pekerja disarankan menghindari makanan panas dan makanan berat
sebelum melakukan pekerjaan. Karena makanan tersebut cenderung
meningkatkan suhu tubuh internal dengan mengarahkan aliran darah
dari kulit ke sistem pencernaan;
110
6. Pekerja disarankan menghindari mengkonsumsi rokok sebelum
bekerja. Karena nikotin yang terdapat dalam rokok mampu
meningkatkan denyut nadi dan penyempitan pembuluh darah yang
dapat menganggu kinerja tubuh dalam mempertahankan suhu tubuh
sehingga akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi tenaga kerja;
7. Safety and Environment Departement melakukan monitoring heat
stress di confined space unit heater Superabsorbent Polymer Plant, hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan kerja dan
memantau apakah lingkungan kerja tersebut aman atau tidak bagi
pekerja.
111
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, R. 2013. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Heat Strain Pada
Tenaga Kerja Yang Terpapar Panas di PT Aneka Boga Makmur. Tesis.
Surabaya
Ardyanto. 2006. Perbedaan Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja pada Iklim
Kerja Panas di Unit Workshop PT. IGLAS Persero Gresik. Skripsi.
Surabaya
Bernard, T.E. 2000. Occupational Heat Stress. USA : Marcel Dekker, Inc.
Construction Safety Association in Ontario. 2000. Heat Stress.Ontario
Ganong, William F., 2001. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Goetsch, David.L. 2008. Occupational Safety and Health for Technologist,
Engineer, and Managers.
Granjean, E. 1993. Fitting The Task to the Man. New York
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2000. Text book of Medical Physiology. New York: W.B
Saunders Company
Guyton, A.C. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Hendra. 2009. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Suhu Tubuh Dan
Denyut Nadi Pada Pekerja Yang Terpapar Panas (Studi Kasus Di Dapur Cor
Divisi Tempa Dan Cor). Tesis. Universitas Indonesia
Kapten, M. 2005. Hubungan Faktor Individu Pekerja Terhadap Perubahan Denyut
Nadi dan Tekanan Darah Akibat Terpapar Panas di Pandai Besi Desa
Jagalan Kecamatan Jebres Surakarta . Skripsi. Universitas Sebelas Maret
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor
Kep. 113/DJPPK/IX/2006 tentang Pedoman dan Pembinaan Teknis Petugas
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Ruang Terbatas (Confined Space)
Khafidz, M. 2012. Perbedaan Denyut Nadi dan Suhu Tubuh Sebelum dan Sesudah
Terpapar Panas Pada Tenaga Kerja Bagian produksi di PT. IGLAS Persero
Gresik. Skripsi. Surabaya
Nawawinetu, E.D. 2010. Modul Kuliah Heat Stress. Surabaya : Universitas
Airlangga
Pearce. 19999. Anatomi dan Fisiologis Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
112
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja
Rahmawati. 2005. Hubungan Keluhan Subyektif Akibat Tekanan Panas Terhadap
Karakteristik Tenaga Kerja yang Bekerja di Bagian Forming PT. IGLAS
Persero Gresik. Skripsi. Surabaya
Santosa, Gempur. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Sidoarjo;
Prestasi Pustaka Publisher
Setiawan, Budi. 2015. Teknik Praktis Analisis Data Penelitian Sosial dan Bisnis
dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset
Sidabutar. Ilmu Penyakit dalam Jilid II Hipertensi Essensial. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Singgih, A. 2005. Pembakuan Pengukuran Tekanan Darah Bagian Faal Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo
Siswantara. 2004. Studi Tentang Iklim Kerja dan Karakteristik Tenaga Kerja di PT.
IGLAS Persero. Skripsi. Surabaya
Siswanto, A. 1991. Tekanan Panas. Surabaya : Balai Hiperkes Dan Keselamatan
Kerja Jawa Timur
Soeripto. 2008. Higiene Industri. Jakarta : Balai FK Universitas Indonesia
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0229-1987 Pekerjaan di Dalam Ruang
Tertutup.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269 : 2009 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan
tingkat Kebutuhan Kalori Menurut Pengeluaran Keringat;
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : Sagung Seto
Tarwaka. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesejatan Kerja dan Produktivitas.
Surakarta : Uniba Press
Tarwaka. 2011. Dasar – Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat
Kerja.Surakarta: Harapan Press
Tarwaka. 2012. Dasar – Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan
Di Tempat Kerja. Surakarta : Harapan Press
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1970 Pasal 2 ayat 2 huruf 1 tentang Ketentuan
Keselamatan Kerja Dalam Tangki Sumur Atau Lubang
113
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 86 ayat 1
huruf a tentang Hak Pekerja Memperoleh Perlindungan Atas Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
World Health Organization. 1999. Health Factors Involve in working Under
Conditions of Heat Stress. Geneva
LEMBAR KUESIONER
PENELITIAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON FISIOLOGI
TENAGA KERJA AKIBAT HEAT STRESS DI CONFINED SPACE
Bersama ini saya mohon bantuan dan kerja sama anda untuk bersedia
menjawab pertanyaan kami dengan jujur, tulus dan ikhlas. Adapun tujuan dari
pertanyaan yang kami ajukan semata-mata untuk penelitian dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Kami berjanji menjaga kerahasiaan setiap responden. Kami ucapkan
terima kasih yang tak terhingga atas partisipasi dan kerja sama anda.
Nama Responden :
A. Karakteristik Responden
1. Umur :
2. Tinggi Badan :
B. Data Pekerjaa
1. Sudah berapa lama pengalaman anda bekerja di confined space? ........ tahun
2. Berapa lama anda bekerja dalam satu pekerjaan di confined space per
harinya? ....... jam
C. Intake Cairan
1. Apakah tersedia air minum berupa air mineral di area kerja confined space
(Ya/Tidak)
2. Berapa banyak air yang anda minum dalam satu hari kerja di confined
space? ........botol (600 ml)
D. Kebiasaan Merokok
1. Apakah anda merokok? (Ya/Tidak)
2. Berapa batang rokok yang anda habiskan dalam satu hari? .... batang
E. Keluhan Subyektif
1. Apakah anda mengalami keluhan saat dan sesudah bekerja di confined
space? (Ya/Tidak)
2. Apa jenis – jenis keluhan yang anda rasakan? .......................................
........................................................................................................................
3. Apakah keluhan – keluhan tersebut (pada nomor 2) sering anda rasakan saat
bekerja di confined space? (Ya/Tidak)
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Jesika Wulandari
NIM : 101210113039
Mahasiswa : D-III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Universitas Airlangga
Surabaya
Saat ini sedang melakukan penelitian tentang “Faktor Yang Mempengaruhi
Respon Fisiologis Tenaga Kerja Akibat Heat Stress di Confined Space (Studi di
Unit Heater Superabsorbent Polymer Plant PT. Nippon Shokubai Indonesia)”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
respon fisiologis tenaga kerja, sedangkan manfaat penelitian ini adalah dapat
menjadi masukan bagi pihak perusahaan guna peningkatan produktivitas kerja.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu saya konfirmasikan terkait dengan
keikutsertaan anda sebagai responden dalam penelitian ini:
1. Keikutsertaan anda dalam penelitian ini bukan merupakan suatu paksaan,
melainkan atas dasar sukarela. Oleh karena itu, anda berhak memutuskan
untuk melanjutkan ataupun menghentikan keikutsertaan karena alasan
tertentu yang dikomunikasikan kepada peneliti.
2. Anda berhak meminta penjelasan terkait tujuan dan prosedur penelitian
kepada peneliti, dengan menghubungi saya Jesika Wulandari sebagai
peneliti di nomor hand phone 085708011769.
3. Segala informasi yang diperoleh selama penelitian akan dijaga
kerahasiaannya dan menjadi tanggung jawab peneliti.
4. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan memberikan kuesioner,
observasi, pengukuran dan pemeriksaan. Data primer yang dikumpulkan
melalui kuesioner adalah umur, masa kerja dan kebiasaan merokok.
Observasi dilakukan untuk mengamati pekerjaan anda sehingga didapatkan
beban kerja dan intake cairan. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
iklim kerja, sedangkan pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui respon
Lampiran 2
fisiologis seperti suhu tubuh, denyut nadi, tekanan darah dan berat badan
sebelum dan sesudah bekerja.
5. Seluruh prosedur penelitian tidak akan mendatangkan efek samping bagi
responden. Justru sebaliknya akan memberikan manfaat bagi anda karena
dapat mengetahui kondisi fisik sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan
sedini mungkin.
6. Namun demikian jika ada masalah yang ingin dikomunikasikan harap
menghubungi saya seperti yang tercantum pada poin 2.
7. Terhadap semua repsonden akan diperlakukan secara adil dan mendapatkan
perlindungan yang sama.
Dengan penjelasan tersebut di atas, saya berharap anda bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini. Atas kesediaannya saya ucapkan terima kasih.
Cilegon, 15 Mei 2015
Yang Menerima Penjelasan
....................................
Yang Memberi Penjelasan
Peneliti,
Jesika Wulandari
Saksi
...........................................
Lampiran 3
Logistic Regression Body Temperature
[DataSet0]
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 10 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 10 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 10 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
< 38 0
> 38 1
Categorical Variables Codings
Frequency
Parameter coding
(1) (2)
Status Gizi Kurus 3 1.000 .000
Normal 5 .000 1.000
Gemuk 2 .000 .000
Masa Kerja < 3 Tahun 5 1.000 .000
4 - 6 Tahun 3 .000 1.000
> 7 Tahun 2 .000 .000
Usia 18 - 20 Tahun 1 1.000 .000
21 - 23 Tahun 6 .000 1.000
24 - 27 Tahun 3 .000 .000
Kebiasaan Merokok Ya 3 1.000
Tidak 7 .000
Intake Cairan Tidak Minum 5 1.000
Kurang 5 .000
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
SuhuTubuh Percentage
Correct < 38 > 38
Step 0 SuhuTubuh < 38 0 2 .0
> 38 0 8 100.0
Overall Percentage 80.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant 1.386 .791 3.075 1 .080 4.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Usia 1.667 2 .435
Usia(1) .278 1 .598
Usia(2) 1.667 1 .197
MasaKerja .833 2 .659
MasaKerja(1) .000 1 1.000
MasaKerja(2) .476 1 .490
StatusGizi 2.500 2 .287
StatusGizi(1) 1.071 1 .301
StatusGizi(2) 2.500 1 .114
KebiasaanMerokok(1) .476 1 .490
IntakeCairan(1) .000 1 1.000
Overall Statistics 6.875 8 .550
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 7.235 8 .511
Block 7.235 8 .511
Model 7.235 8 .511
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 2.773a .515 .814
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has
been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .000 6 1.000
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
SuhuTubuh = < 38 SuhuTubuh = > 38
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 1 1.000 0 .000 1
2 1 1.000 1 1.000 2
3 0 .000 1 1.000 1
4 0 .000 1 1.000 1
5 0 .000 1 1.000 1
6 0 .000 1 1.000 1
7 0 .000 2 2.000 2
8 0 .000 1 1.000 1
Classification Tablea
Observed
Predicted
SuhuTubuh Percentage
Correct < 38 > 38
Step 1 SuhuTubuh < 38 2 0 100.0
> 38 1 7 87.5
Overall Percentage 90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a Usia .000 2 1.000
Usia(1) 106.014 2.510E5 .000 1 1.000 1.100E46
Usia(2) 63.609 2.309E5 .000 1 1.000 4.216E27
MasaKerja .000 2 1.000
MasaKerja(1) -106.014 3.035E5 .000 1 1.000 .000
MasaKerja(2) -42.406 1.392E5 .000 1 1.000 .000
StatusGizi .000 2 1.000
StatusGizi(1) .000 5.684E4 .000 1 1.000 1.000
StatusGizi(2) -42.406 8.039E4 .000 1 1.000 .000
Kebiasaan
Merokok(1) -42.406 1.137E5 .000 1 1.000 .000
IntakeCairan(1) .000 5.684E4 .000 1 1.000 1.000
Constant 63.609 8.987E4 .000 1 .999 4.216E27
a. Variable(s) entered on step 1: Usia, MasaKerja, StatusGizi, KebiasaanMerokok,
IntakeCairan.
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
8 ┼
┼
│
│
│
>│
F │
>│
R 6 ┼
>┼
E │
>│
Q │
>│
U │
>│
E 4 ┼
>┼
N │
>│
C │
>│
Y │
>│
2 ┼ >
>┼
│ >
>│
│< <
>│
│< <
>│
Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼────────
─┼─────────┼─────────┼─────────┼──────────
Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5
.6 .7 .8 .9 1
Group: <<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Predicted Probability is of Membership for > 38
The Cut Value is .50
Symbols: < - < 38
> - > 38
Each Symbol Represents .5 Cases.
Logistic Regression Pulse Rate
[DataSet0]
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 10 90.9
Missing Cases 1 9.1
Total 11 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 11 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Turun 0
Naik 1
Categorical Variables Codings
Frequency
Parameter coding
(1) (2)
Status Gizi Pekerja Kurus 3 1.000 .000
Normal 5 .000 1.000
Gemuk 2 .000 .000
Masa Kerja Pekerja < 3 Tahun 5 1.000 .000
4 - 6 Tahun 3 .000 1.000
> 7 Tahun 2 .000 .000
Usia Pekerja 18 - 20 Tahun 1 1.000 .000
21 - 23 Tahun 6 .000 1.000
24 - 27 tahun 3 .000 .000
KebiasaanMerokok Ya 3 1.000
Tidak 7 .000
IntakeCairan Tidak Minum 5 1.000
Kurang 5 .000
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Denyut Nadi Percentage
Correct Turun Naik
Step 0 Denyut Nadi Turun 0 5 .0
Naik 0 5 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .632 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Usia 1.333 2 .513
Usia(1) 1.111 1 .292
Usia(2) .000 1 1.000
MasaKerja .533 2 .766
MasaKerja(1) .400 1 .527
MasaKerja(2) .476 1 .490
StatusGizi .533 2 .766
StatusGizi(1) .476 1 .490
StatusGizi(2) .400 1 .527
KebiasaanMerokok(1) .476 1 .490
IntakeCairan(1) .400 1 .527
Overall Statistics 8.000 8 .433
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 11.090 8 .197
Block 11.090 8 .197
Model 11.090 8 .197
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 2.773a .670 .893
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations
has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .000 5 1.000
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Denyut Nadi = Turun Denyut Nadi = Naik
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 1 1.000 0 .000 1
2 1 1.000 0 .000 1
3 1 1.000 0 .000 1
4 1 1.000 0 .000 1
5 1 1.000 1 1.000 2
6 0 .000 2 2.000 2
7 0 .000 2 2.000 2
Classification Tablea
Observed
Predicted
Denyut Nadi Percentage
Correct Turun Naik
Step 1 Denyut Nadi Turun 4 1 80.0
Naik 0 5 100.0
Overall Percentage 90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a Usia .000 2 1.000
Usia(1) -63.609 2.510E5 .000 1 1.000 .000
Usia(2) -106.014 2.309E5 .000 1 1.000 .000
MasaKerja .000 2 1.000
MasaKerja(1) 148.420 3.035E5 .000 1 1.000 2.871E64
MasaKerja(2) 42.406 1.392E5 .000 1 1.000 2.610E18
StatusGizi .000 2 1.000
StatusGizi(1) .000 5.684E4 .000 1 1.000 1.000
StatusGizi(2) .000 8.039E4 .000 1 1.000 1.000
Kebiasaan
Merokok(1) 84.812 1.137E5 .000 1 .999 6.811E36
IntakeCairan(1) -42.406 5.684E4 .000 1 .999 .000
Constant -21.203 8.987E4 .000 1 1.000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Usia, MasaKerja, StatusGizi,
KebiasaanMerokok, IntakeCairan.
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
4 ┼T
N┼
│T
N│
│T
N│
F │T
N│
R 3 ┼T
N┼
E │T
N│
Q │T
N│
U │T
N│
E 2 ┼T N
N┼
N │T N
N│
C │T N
N│
Y │T N
N│
1 ┼T T
N┼
│T T
N│
│T T
N│
│T T
N│
Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼──
───────┼─────────┼─────────┼─────────┼──────────
Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5
.6 .7 .8 .9 1
Group: TTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTNN
NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN
Predicted Probability is of Membership for Naik
The Cut Value is .50
Symbols: T - Turun
N - Naik
Each Symbol Represents .25 Cases.
Logistic Regression Sistole
[DataSet0]
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 10 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 10 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 10 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Turun 0
Naik 1
Categorical Variables Codings
Frequency
Parameter coding
(1) (2)
Status Gizi Tenaga Kerja Kurus 2 1.000 .000
Normal 6 .000 1.000
Gemuk 2 .000 .000
Usia Tenaga Kerja 18 - 20 Tahun 1 1.000 .000
21 - 23 Tahun 6 .000 1.000
24 - 27 Tahun 3 .000 .000
Masa Kerja Tenaga Kerja < 3 Tahun 5 1.000 .000
4 - 6 Tahun 3 .000 1.000
> 7 Tahun 2 .000 .000
Intake Cairan Tenaga Kerja Tidak Minum 5 1.000
Kurang 5 .000
KebiasaanMerokok Ya 3 1.000
Tidak 7 .000
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Sistole Percentage
Correct Turun Naik
Step 0 Sistole Turun 0 4 .0
Naik 0 6 100.0
Overall Percentage 60.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .405 .645 .395 1 .530 1.500
Variables not in the Equationa
Score df Sig.
Step 0 Variables MasaKerja 1.806 2 .405
MasaKerja(1) 1.667 1 .197
MasaKerja(2) 1.270 1 .260
Usia 1.667 2 .435
Usia(1) .741 1 .389
Usia(2) .278 1 .598
KebiasaanMerokok(1) .079 1 .778
IntakeCairan(1) 1.667 1 .197
StatusGizi .278 2 .870
StatusGizi(1) .104 1 .747
StatusGizi(2) .278 1 .598
a. Residual Chi-Squares are not computed because of redundancies.
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 10.688 7 .153
Block 10.688 7 .153
Model 10.688 7 .153
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 2.773a .657 .888
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations
has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .000 6 1.000
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Sistole = Turun Sistole = Naik
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 1 1.000 0 .000 1
2 1 1.000 0 .000 1
3 1 1.000 0 .000 1
4 1 1.000 1 1.000 2
5 0 .000 1 1.000 1
6 0 .000 1 1.000 1
7 0 .000 1 1.000 1
8 0 .000 2 2.000 2
Classification Tablea
Observed
Predicted
Sistole Percentage
Correct Turun Naik
Step 1 Sistole Turun 3 1 75.0
Naik 0 6 100.0
Overall Percentage 90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a MasaKerja .000 2 1.000
MasaKerja(1) 106.014 2.010E5 .000 1 1.000 1.100E46
MasaKerja(2) .000 7.519E4 .000 1 1.000 1.000
Usia .000 2 1.000
Usia(1) -63.609 1.531E5 .000 1 1.000 .000
Usia(2) -63.609 1.557E5 .000 1 1.000 .000
Kebiasaan
Merokok(1) 84.812 1.101E5 .000 1 .999 6.811E36
IntakeCairan(1) .000 4.923E4 .000 1 1.000 1.000
StatusGizi .000 1 .999
StatusGizi(1) -42.406 5.684E4 .000 1 .999 .000
Constant -21.203 4.019E4 .000 1 1.000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: MasaKerja, Usia, KebiasaanMerokok,
IntakeCairan, StatusGizi.
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
8 ┼
┼
│
│
│
│
F │
│
R 6 ┼
┼
E │
│
Q │
N│
U │
N│
E 4 ┼
N┼
N │
N│
C │T
N│
Y │T
N│
2 ┼T N
N┼
│T N
N│
│T T
N│
│T T
N│
Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼──
───────┼─────────┼─────────┼─────────┼──────────
Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5
.6 .7 .8 .9 1
Group: TTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTNN
NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN
Predicted Probability is of Membership for Naik
The Cut Value is .50
Symbols: T - Turun
N - Naik
Each Symbol Represents .5 Cases.
Logistic Regression Diastole
[DataSet0]
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in
Analysis 10 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 10 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 10 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable
Encoding
Original Value Internal Value
Turun 0
Naik 1
Categorical Variables Codings
Frequency
Parameter coding
(1) (2)
Status Gizi Tenaga Kerja Kurus 2 1.000 .000
Normal 6 .000 1.000
Gemuk 2 .000 .000
Usia Tenaga Kerja 18 - 20 Tahun 1 1.000 .000
21 - 23 Tahun 6 .000 1.000
24 - 27 Tahun 3 .000 .000
Masa Kerja Tenaga Kerja < 3 Tahun 5 1.000 .000
4 - 6 Tahun 3 .000 1.000
> 7 Tahun 2 .000 .000
Intake Cairan Tenaga
Kerja
Tidak Minum 5 1.000
Kurang 5 .000
KebiasaanMerokok Ya 3 1.000
Tidak 7 .000
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Diastole Percentage
Correct Turun Naik
Step 0 Diastole Turun 0 5 .0
Naik 0 5 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .632 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equationa
Score df Sig.
Step 0 Variables MasaKerja .533 2 .766
MasaKerja(1) .400 1 .527
MasaKerja(2) .476 1 .490
Usia 2.000 2 .368
Usia(1) 1.111 1 .292
Usia(2) 1.667 1 .197
KebiasaanMerokok(1) .476 1 .490
IntakeCairan(1) .400 1 .527
StatusGizi .000 2 1.000
StatusGizi(1) .000 1 1.000
StatusGizi(2) .000 1 1.000
a. Residual Chi-Squares are not computed because of redundancies.
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 11.090 7 .135
Block 11.090 7 .135
Model 11.090 7 .135
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 2.773a .670 .893
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations
has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .000 6 1.000
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Diastole = Turun Diastole = Naik
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 1 1.000 0 .000 1
2 1 1.000 0 .000 1
3 1 1.000 0 .000 1
4 1 1.000 0 .000 1
5 1 1.000 1 1.000 2
6 0 .000 1 1.000 1
7 0 .000 1 1.000 1
8 0 .000 2 2.000 2
Classification Tablea
Observed
Predicted
Diastole Percentage
Correct Turun Naik
Step 1 Diastole Turun 5 0 100.0
Naik 1 4 80.0
Overall Percentage 90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a MasaKerja .000 2 1.000
MasaKerja(1) 106.014 2.010E5 .000 1 1.000 1.100E46
MasaKerja(2) .000 7.519E4 .000 1 1.000 1.000
Usia .000 2 1.000
Usia(1) -106.014 1.531E5 .000 1 .999 .000
Usia(2) -63.609 1.557E5 .000 1 1.000 .000
Kebiasaan
Merokok(1) 84.812 1.101E5 .000 1 .999 6.811E36
IntakeCairan(1) .000 4.923E4 .000 1 1.000 1.000
StatusGizi .000 1 .999
StatusGizi(1) -42.406 5.684E4 .000 1 .999 .000
Constant -21.203 4.019E4 .000 1 1.000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: MasaKerja, Usia, KebiasaanMerokok,
IntakeCairan, StatusGizi.
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
4 ┼T
N┼
│T
N│
│T
N│
F │T
N│
R 3 ┼T
N┼
E │T
N│
Q │T
N│
U │T
N│
E 2 ┼T N
N┼
N │T N
N│
C │T N
N│
Y │T N
N│
1 ┼T T
N┼
│T T
N│
│T T
N│
│T T
N│
Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼──
───────┼─────────┼─────────┼─────────┼──────────
Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5
.6 .7 .8 .9 1
Group: TTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTNN
NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN
Predicted Probability is of Membership for Naik
The Cut Value is .50
Symbols: T - Turun
N - Naik
Each Symbol Represents .25 Cases.
Logistic Regression
[DataSet0]
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 10 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 10 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 10 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value
Internal
Value
Turun < 1.5 kg` 0
Turun > 1.5 kg 1
Categorical Variables Codings
Frequency
Parameter coding
(1) (2)
Status Gizi Kurus 3 1.000 .000
Normal 5 .000 1.000
Gemuk 2 .000 .000
Masa Kerja < 3 Tahun 5 1.000 .000
4 - 6 Tahun 3 .000 1.000
> 7 Tahun 2 .000 .000
Usia 18 - 20 Tahun 1 1.000 .000
21 - 23 Tahun 6 .000 1.000
24 - 27 Tahun 3 .000 .000
Kebiasaan Merokok Ya 3 1.000
Tidak 7 .000
Intake Cairan Tidak Minum 5 1.000
Kurang 5 .000
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Berat Badan
Percentage
Correct
Turun < 1.5
kg`
Turun > 1.5
kg
Step 0 Berat Badan Turun < 1.5 kg` 0 4 .0
Turun > 1.5 kg 0 6 100.0
Overall Percentage 60.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .405 .645 .395 1 .530 1.500
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Usia 1.667 2 .435
Usia(1) .741 1 .389
Usia(2) .278 1 .598
MasaKerja 1.806 2 .405
MasaKerja(1) 1.667 1 .197
MasaKerja(2) 1.270 1 .260
StatusGizi .139 2 .933
StatusGizi(1) .079 1 .778
StatusGizi(2) .000 1 1.000
KebiasaanMerokok(1) .079 1 .778
IntakeCairan(1) 1.667 1 .197
Overall Statistics 7.917 8 .442
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 10.688 8 .220
Block 10.688 8 .220
Model 10.688 8 .220
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 2.773a .657 .888
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations
has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .000 7 1.000
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Berat Badan = Turun < 1.5
kg`
Berat Badan = Turun >
1.5 kg
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 1 1.000 0 .000 1
2 1 1.000 0 .000 1
3 1 1.000 0 .000 1
4 1 1.000 1 1.000 2
5 0 .000 1 1.000 1
6 0 .000 1 1.000 1
7 0 .000 1 1.000 1
8 0 .000 1 1.000 1
9 0 .000 1 1.000 1
Classification Tablea
Observed
Predicted
Berat Badan
Percentage
Correct
Turun < 1.5
kg`
Turun > 1.5
kg
Step 1 Berat Badan Turun < 1.5 kg` 3 1 75.0
Turun > 1.5 kg 0 6 100.0
Overall Percentage 90.0
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a Usia .000 2 1.000
Usia(1) 106.014 2.510E5 .000 1 1.000 1.100E46
Usia(2) 106.014 2.309E5 .000 1 1.000 1.100E46
MasaKerja .000 2 1.000
MasaKerja(1) -106.014 3.034E5 .000 1 1.000 .000
MasaKerja(2) -84.812 1.392E5 .000 1 1.000 .000
StatusGizi .000 2 1.000
StatusGizi(1) -42.406 5.684E4 .000 1 .999 .000
StatusGizi(2) -42.406 8.039E4 .000 1 1.000 .000
Kebiasaan
Merokok(1) .000 1.137E5 .000 1 1.000 1.000
IntakeCairan(1) 42.406 5.684E4 .000 1 .999 2.610E18
Constant 21.203 8.987E4 .000 1 1.000 1.615E9
a. Variable(s) entered on step 1: Usia, MasaKerja, StatusGizi, KebiasaanMerokok,
IntakeCairan.
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
8 ┼
┼
│
│
│
│
F │
│
R 6 ┼
┼
E │
│
Q │
2│
U │
2│
E 4 ┼
2┼
N │
2│
C │1
2│
Y │1
2│
2 ┼1 2
2┼
│1 2
2│
│1 1
2│
│1 1
2│
Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼──
───────┼─────────┼─────────┼─────────┼──────────
Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5
.6 .7 .8 .9 1
Group: 1111111111111111111111111111111111111111111111111122
222222222222222222222222222222222222222222222222
Predicted Probability is of Membership for Turun > 1
.5 kg
The Cut Value is .50
Symbols: 1 - Turun < 1.5 kg`
2 - Turun > 1.5 kg
Each Symbol Represents .5 Cases.
HASIL PERHITUNGAN BEBAN KERJA
Hasil perhitungan perhitungan total beban kerja masing – masing responden :
1. Responden 1
Jam 1 : (9,05 x 7) + (1,2 x 5) x 60 kkal per jam = 346,75 kkal per jam
( 7 + 5)
Jam 2 : (9,05 x 19) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
19
Jam 3 : (9,05 x 34) + (1,2 x 10) x 60 kkal per jam = 435,95 kkal per jam
(34 + 10)
Jam 4 : (9,05 x 17) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
17
Rerata BK = (346,75 + 543 + 435,95 + 543) kkal per jam = 467,18 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 56 x 1 kkal per jam = 56 kkal per jam
Total Beban Kerja = (467,18 + 56) kkal per jam = 523,18 kkal per jam
2. Responden 2
Jam 1 : (9,05 x 21) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
21
Jam 2 : (9,05 x 5) + (1,2 x 7) x 60 kkal per jam = 268,25 kkal per jam
(5 + 7)
Jam 3 : (9,05 x 41) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
41
Jam 4 : (9,05 x 7) + (1,2 x 5) x 60 kkal per jam = 346,75 kkal per jam
(7 + 5)
Lampiran 4
Rerata BK = (543 + 268,25 + 543 + 346,75) kkal per jam = 425,25 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 83 x 1 kkal per jam = 83 kkal per jam
Total Beban Kerja = (425,25 + 83) kkal per jam = 508,25 kkal per jam
3. Responden 3
Jam 1 : (9,05 x 8) + (1,2 x 12) x 60 kkal per jam = 260,4 kkal per jam
( 8 + 12)
Jam 2 : (1,2 x 9) x 60 kkal per jam = 72 kkal per jam
9
Jam 3 : (9,05 x 17) + (1,2 x 7) x 60 kkal per jam = 405,63 kkal per jam
(17 + 7)
Jam 4 : (9,05 x 15) + (1,2 x 4) x 60 kkal per jam = 443,84 kkal per jam
(15 + 4)
Rerata BK = (260,4 + 72 + 405,63 + 443,84) kkal per jam = 295,43 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 49 x 1 kkal per jam = 49 kkal per jam
Total Beban Kerja = (295,43 + 49) kkal per jam = 344,47 kkal per jam
4. Responden 4
Jam 1 : (9,05 x 7) + (1,2 x 5) x 60 kkal per jam = 346,75 kkal per jam
( 7 + 5)
Jam 2 : (9,05 x 19) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
19
Jam 3 : (9,05 x 34) + (1,2 x 10) x 60 kkal per jam = 435,95 kkal per jam
(34 + 10)
Jam 4 : (9,05 x 17) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
17
Rerata BK = (346,75 + 543 + 435,95 + 543) kkal per jam = 467,18 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 56 x 1 kkal per jam = 56 kkal per jam
Total Beban Kerja = (467,18 + 56) kkal per jam = 523,18 kkal per jam
5. Responden 5
Jam 1 : (9,05 x 7) + (1,2 x 4) x 60 kkal per jam = 371,73 kkal per jam
( 7 + 4)
Jam 2 : Tidak melakukan pekerjaan di confined space = 0 kkal per jam
Jam 3 : (9,05 x 13) + (1,2 x 17) x 60 kkal per jam = 276,10 kkal per jam
(13 + 17)
Jam 4 : (9,05 x 6) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
6
Rerata BK = (371,73 + 0 + 276,10 + 543) kkal per jam = 297,71 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 58 x 1 kkal per jam = 58 kkal per jam
Total Beban Kerja = (297,71+ 58) kkal per jam = 355,71 kkal per jam
6. Responden 6
Jam 1 : (9,05 x 8) + (1,2 x 5) x 60 kkal per jam = 361,85 kkal per jam
( 8 + 5)
Jam 2 : (9,05 x 12) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
12
Jam 3 : (9,05 x 9) + (1,2 x 6) x 60 kkal per jam = 354,6 kkal per jam
(9 + 6)
Jam 4 : (9,05 x 17) + (1,2 x 3) x 60 kkal per jam = 475,35 kkal per jam
(17 + 3)
Rerata BK = (361,85 + 543 + 354,6 + 475,35) kkal per jam = 432,95 kkal perjam
4
Metabolisme Basal = 55 x 1 kkal per jam = 55 kkal per jam
Total Beban Kerja = (432,95 + 55) kkal per jam = 487,95 kkal per jam
7. Responden 7
Jam 1 : (9,05 x 31) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
31
Jam 2 : (9,05 x 2) + (1,2 x 3) x 60 kkal per jam = 260,4 kkal per jam
(2 + 3)
Jam 3 : (9,05 x 11) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
11
Jam 4 : (9,05 x 4) + (1,2 x 4) x 60 kkal per jam = 306,6 kkal per jam
(4+ 4)
Rerata BK = (543 + 260,4 + 543+306,6) kkal per jam = 413,25 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 61 x 1 kkal per jam = 61 kkal per jam
Total Beban Kerja = (413,25+ 61) kkal per jam = 474,25 kkal per jam
8. Responden 8
Jam 1 : (9,05 x 7) + (1,2 x 6) x 60 kkal per jam = 325,62 kkal per jam
(7 + 6)
Jam 2 : (9,05 x 21) + (1,2 x 8) x 60 kkal per jam = 413,07 kkal per jam
(21 + 8)
Jam 3 : (9,05 x 22) + (1,2 x 6) x 60 kkal per jam = 442,07 kkal per jam
(22 + 6)
Jam 4 : (9,05 x 6) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
6
Rerata BK = (325,62 + 413,07 + 442,07 + 543) kkal per jam = 430,94 kkal/jam
4
Metabolisme Basal = 44 x 1 kkal per jam = 44 kkal per jam
Total Beban Kerja = (430,94 +44) kkal per jam = 474,94 kkal per jam
9. Responden 9
Jam 1 : (9,05 x 56) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
56
Jam 2 : (9,05 x 7) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
7
Jam 3 : (9,05 x 49) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
49
Jam 4 : Tidak melakukan pekerjaan di confined space = 0 kkal per jam
Rerata BK = (543 + 543 + 543 + 0) kkal per jam = 407,25 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 92 x 1 kkal per jam = 92 kkal per jam
Total Beban Kerja = (407,25 + 92) kkal per jam = 499,25 kkal per jam
10. Responden 10
Jam 1 : (9,05 x 19) x 60 kkal per jam = 543 kkal per jam
19
Jam 2 : (9,05 x 3) + (1,2 x 7) x 60 kkal per jam = 213,3 kkal per jam
(3 + 7)
Jam 3 : (9,05 x 23) + (1,2 x 4) x 60 kkal per jam = 472,22 kkal per jam
(23 + 4)
Jam 4 : Tidak melakukan pekerjaan di confined space = 0 kkal per jam
Rerata BK = (543 + 213,3 + 472,22 + 0) kkal per jam = 307,38 kkal per jam
4
Metabolisme Basal = 58 x 1 kkal per jam = 58 kkal per jam
Total Beban Kerja = (307,38 + 58) kkal per jam = 365,38 kkal per jam