tugas akhir

24

Click here to load reader

Upload: erohimasuri

Post on 01-Jul-2015

160 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Akhir

BAB I

I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Dengan diterapkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah terjadi pergeseran dalam sistem

pengelolaan keuangan publik di Indonesia. Pergeseran sistem pengeloalaan tersebut terjadi

berkaitan dengan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yaitu tentang

pergeseran pengalihan kewenangan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang

lebih desentralistik dan tidak lagi terpusat. Selain terjadi pergeseran pada pengelolaan

pembiayaan, pengelolaan sumber-sumber keuangan atau pendapatan juga mengalami

pergeseran, banyak sumber-sumber keuangan publik yang disentralisasikan kepada daerah

kabupaten dan kota, seiring dengan pengalihan kewenangan yang dibebankan kepada

daerah sesuai dengan prinsip money follows function, demi terselenggaranya rumah tangga

daerah otonomi dan terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Adanya optimalisasi pengelolaan keuangan di daerah dimaksudkan agar

pemerintah daerah sebagai penyelenggara otonomi tidak mengalami kesulitan pembiayaan

dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan yang

didelegasikan oleh pusat dan pemenuhan kebutuhan daerah. Oleh karena hal tersebut,

maka dilaksanakan reformasi di segala bidang meliputi reformasi kelembagaan dan

reformasi manajemen sektor publik terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan

publik demi untuk mendukung terciptanya good governance.Tuntutan terhadap pembaruan

sistem keuangan publik dimaksudkan agar pengelolaan uang rakyat secara transparan

sehingga tercipta akuntabilitas publik. Reformasi manajemen keuangan publik terkait

dengan perlunya digunakan modul pengelolaan keuangan publik yang baru yang sesuai

dengan tuntutan perkembangan zaman. Reformasi keuangan daerah berhubungan dengan

perubahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah.

b. Tujuan

1. Mengetahui pelaksanaan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah

sesuai dengan paradigma keuangan publik

2. Mengetahui dampak pelaksanaan hubungan keuangan pemerintah pusat dan

daerah tersebut

Page 2: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

BAB II

II. Isi

Pengertian dan Konsep Desentralisasi

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara,

khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan

proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat

diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya

untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),

terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan

adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.

Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai

bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan

administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara

umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization); administratif

(administrative decentralization); fiskal (fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or

market decentralization).

1. Desentralisasi Politik

Pelimpahan kepada daerah kewenangan yang lebih besar menyangkut berbagai

aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.

2. Desentralisasi administratif

Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk

mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam

penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut

perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah

Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas

tertentu, atau perusahaan tertentu. Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat

dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu:

• Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat

kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hirarkinya.

• Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang

lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah

Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal

tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan

tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas

pelaksanaan tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang

2

Page 3: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi

publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya.

Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi

dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.

• Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk

tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang

dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini

biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima

wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian

tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-

authority).

3. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila

Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam

pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat

dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli

Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari

Pemerintah Pusat.

• Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-

faktor berikut: Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan

enforcement;

• SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat;

• Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan

dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.

Dimensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal

Dimensi yang ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah stabilitas

makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi (Musgrave dan Musgrave, 1989). Menurut

para ahli ekonomi, aspek efisiensi merupakan raison d'etre untuk desentralisasi fiskal.

Karena preferensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem

fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal di sebuah

komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan preferensi mereka dalam rangka untuk

memaksimalkan kesejahteraan sosial.

Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa Pemerintah

Daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dan pendapat dari para penduduk dan dapat

mengalokasikan berbagai sumber daya (resources) secara lebih efisien dibandingkan

Pemerintah Pusat. Namun demikian, aspek efisiensi tidaklah satu-satunya dimensi ekonomi

3

Page 4: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal. Disain fiskal antar pemerintahan juga memiliki

implikasi penting atas] keadilan dan stabilitas makro ekonomi.

Efisiensi

Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa Pemerintah Pusat hanya dapat

menyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh karenanya,

sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi

fiskal, yaitu:

a. Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources)

Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena Pemerintah Daerah memiliki

informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibandingkan Pemerintah

Pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik yang dibuat oleh Pemerintah daerah akan

lebih responsif terhadap keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang

dibuat oleh Pemerintah Pusat.

b. Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local Governments)

Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan

mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Suatu analogi argumen untuk

menjelaskan hal ini dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai "The

Tiebout Model". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang

publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi

masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di

lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara

pelayanan publik dari Pemerintah Daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat.

Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak

untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga

masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut

dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 2002).

Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi

ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.

Stabilitas Makro Ekonomi

Penelitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi

(macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa desentralisasi inheren

dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dengan

pengelolaan makro ekonomi menemukan bahwa “sistem desentralisasi fiskal menawarkan

perbaikan potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi

dibandingkansistem fiskal yang tersentralisasi”. Faktanya, negara-negara federal yang

terdesentralisasi secara tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria, dan Amerika Serikat memiliki

kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah.

4

Page 5: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas makro

ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan diterapkannya desentralisasi

fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa jika suatu negara

mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan

sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Atau, Daerah akan

menekan Pusat untuk mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau

pinjaman yang lebih besar, atau kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-

kasus di negara Federasi Rusia. Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan daripada

pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana Daerah dapat menurun dan

ketidakseimbangan makro ekonomi dapat kembali muncul.

Keadilan (Equity)

Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan

redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik, redistribusi

biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk

mencapai keseimbangan dalam distribusi pendapatan.

Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua dimensi: keadilan

horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-locality equity). Keadilan horizontal

merujuk pada tingkat kapasitas Pemerintah Daerah (subnational governments) dalam

memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi

munculnya ketidakadilan horizontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda secara

signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2) karakteristik regional yang

mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan

horisontal ini, maka perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources)

yang lebih besar kepada Daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan (equalization

grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal

tersebut.

Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah miskin

hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan dalam kebijakan redistribusi juga

memerlukan perhatian yang khusus terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-

locality equity). Dalam merancang kebijakan redistribusi, Pemerintah Daerah memerlukan

dukungan dari Pemerintah Pusat.

Dengan kata lain, Pemerintah Daerah tidak dapat mengambil kebijakan redistribusi

secara efektif. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil Pemerintah Daerah untuk

menggunakan kebijakan redistribusi. Jika Pemerintah Daerah mengeluarkan program

redistribusi pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi

penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong penduduk

5

Page 6: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan program redistribusi

pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan subsidi bagi penduduk miskin.

Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal

Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting bagi

kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro. Pertama,

proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan

tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki

kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari

pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu,

seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari level

pemerintahan yang lain.

Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan

desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis

baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun

masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan

kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja

aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan

masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Di samping itu, Sidik (2002) juga

berpendapat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, maka Pemerintah Daerah harus

didukung sumbersumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue,

pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan

berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya Pemerintah

Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement dan (2) terdapat

keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan

retribusi Daerah.

Tujuan desentralisasi fiskal

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 dan UU

Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN, pada dasarnya bertujuan untuk :

1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks

kebijaksanaan ekonomi makro.

2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi

antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang dilakukan dengan

memperbesar taxing power Daerah.

3. Mengkoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar Daerah dalam kemampuan

keuangannya, dimana relatif masih sangat bervariasi

4. Akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah

Daerah.

6

Page 7: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

5. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

6. Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik

(demokratisasi).

Desentralisasi politik dan administrasi secara bersamaan diyakini menjadi prasyarat

awal bagi peningkatan kualitas layanan publik, terutama untuk kelompok miskin. Sebab,

partisipasi masyarakat (miskin) dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas

pemerintah daerah hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik sudah berlangsung.

Desentralisasi administrasi kemudian memperkuat kondisi tersebut lewat pembentukan

kelembagaan yang bertanggung jawab menjalankan proses itu. Kemudian, desentralisasi

fiskal menjadi bagian yang melengkapi persyaratan awal tadi agar ada kepastian bahwa

semua program dan target dapat dilaksanakan. Walaupun demikian, dengan desentralisasi

bukan berarti semua proses pengambilan keputusan di setiap tingkat pemerintahan

dilakukan terpisah (sendiri-sendiri) secara independen. Untuk banyak sektor, tidak jarang

keputusan dilakukan mixed oleh berbagai tingkat pemerintahan. Misalnya, bisa saja

keputusan mengenai pembiayaan keuangan suatu kegiatan layanan publik dilakukan oleh

pemerintah pusat sedangkan penentuan mengenai penyediaannya dilakukan oleh daerah.

Apabila peraturan perundangan tidak mengaturnya secara jelas dan eksplisit, hal ini sering

memunculkan kerancuan dalam tanggung jawab dan kewenangan akan pendapatan

perpajakan dan belanja publik serta transfer. Jadi kejelasan mengenai “siapa melakukan

apa dan bagaimana pendanaannya” sangat krusial di sini, meskipun memang amat tidak

mudah melakukan pengaturannya. Bentuk lain dari desentralisasi fiskal dan administrasi

adalah dekonsentrasi, dimana pusat menempatkan aparatnya di daerah untuk

melaksanakan fungsi-fungsi dan tugasnya, serta delegasi, dimana beberapa fungsi

didelegasikan ke daerah meskipun tanggung jawab dan kewenangan secara keseluruhan

tetap di pusat.

Lebih jauh dalam kaitannya dengan penyediaan layanan publik, pemerintah (pusat

maupun daerah) bisa juga menyerahkan fungsi kepada swasta lewat deregulasi dan

privatisasi. Ini menjadi pilihan yang menarik. Apalagi kalau dikaitkan dengan kenyataan

bahwa kemampuan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah itu relatif terbatas jika

dibandingkan dengan kebutuhan untuk menyediakan infrastruktur dasar dan berbagai

fasilitas layanan publik di seluruh negeri.

Makalah ini membahas aspek ekonomi dan keuangan dari pelaksanaan

desentralisasi serta bagaimana dampaknya pada kesejahteraan masyarakat secara umum.

Kaitan dengan kesejahteraan di sini dicoba dilihat dari bagaimana perkembangan kualitas

layanan publik dasar, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang dianggap akan

memiliki pengaruh kuat terhadap tingkat kemiskinan di dalam masyarakat. Jadi perihal

7

Page 8: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

bagaimana desentralisasi bisa berperan dalam pengentasan kemiskinan juga akan dibahas.

Namun, patut diberikan catatan di sini bahwa pola dan penyebab kemiskinan yang mungkin

spesifik di suatu negara (misalnya: diskriminasi dan sumber daya yang sangat kurang),

bersama dengan kondisi tata kelola pemerintahannya akan sangat mempengaruhi

efektivitas peran desentralisasi.

Besley (1997) mengelompokkan berbagai pendekatan pengentasan kemiskinan

dalam dua jenis, yakni pendekatan teknokratis dan institusional/ kelembagaan. Pendekatan

pertama menekankan pada penentuan target dan eksplorasi dari desain program yang

mencoba untuk mengarahkan sumber daya dan dana yang terbatas kepada masyarakat

yang paling membutuhkan. Sedangkan pendekatan kedua menekankan bahwa orang miskin

tidak berdaya secara politis, dan bahwa rendahnya kemampuan SDM pemerintah ditambah

dengan korupsi menyebabkan rendahnya kualitas layanan publik. Dengan demikian, upaya

mengentaskan kemiskinan membutuhkan pengembangan kelembagaan, perubahan struktur

politik, perbaikan tata kelola, dan juga perubahan sikap terhadap kelompok miskin.

Kebijakan desentralisasi akan punya implikasi atau kaitan yang erat dengan kedua

pendekatan ini.

Desentralisasi dapat memfasilitasi desain program teknokratis agar lebih efektif,

sebab pentargetan daerah bisa dilakukan, akuntabilitas birokrat bisa diperkuat, dan

manajemen program pengentasan kemiskinan dapat dikembangkan. Lalu, desentralisasi

juga bisa melahirkan kerangka legal yang akan menjadi alat untuk memfasilitasi pendekatan

kelembagaan dalam upaya pengentasan kemiskinan, dimana partisipasi publik (termasuk

rakyat miskin) menjadi signifikan.

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan

sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini (UU Nomor 25 Tahun 1999)

dan mengingat Indonesia tergolong negara dalam usia yang relatif muda, kita harus banyak

belajar dari sukses dan kegagalan negara-negara lain khususnya negara maju. Oleh karena

itu sistem disentralisasi fiskal yang baru, masih memerlukan peninjauan secara teratur untuk

menjamin kepekaannya terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek

sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik

dan ekonomi dunia.

Tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat: (1) meningkatkan

efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah; (2)

dapat memenuhi aspirasi dari Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi

pendapatan secara regional maupun nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi,

dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat Daerah; (4)

8

Page 9: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya pelayanan

masyarakat yang berkualitas di setiap Daerah; (5) menciptakan kesejahteraan sosial bagi

masyarakat. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal diperlukan keberadaan Pemerintah

Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement.

Prinsip money follows function harus dilaksanakan secara konsisten dan secara

eksplisit tertuang didalam pasal-pasal baik pada revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun

revisi UU Nomor 25 Tahun 1999. Hal ini untuk menghindari terjadinya transfer sumber

keuangan yang sudah dikuasai oleh Daerah tetapi tidak diikuti oleh tugas desentralisasi

yang menjadi tanggung jawab Daerah.

Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan

pungutan pajak dan retribusi Daerah (taxing power), sehingga penyimpangan penggunaan

anggaran Daerah terutama yang berupa transfer dari Pusat dapat diperkecil atau bahkan

ditiadakan.

Pemerintah Pusat harus tetap mempertahankan komitmennya terhadap pelaksanaan

desentralisasi dengan mematuhi perundang-undangan yang berlaku, sehingga kegiatan-

kegiatan dalam rangka desentralisasi sepenuhnya kewenangan diberikan kepada Daerah.

Bantuan Pemerintah Pusat yang berbentuk general grants (DAU) maupun revenue sharing

(bagi hasil) diarahkan untuk (i) penciptaan keseimbangan fiskal baik vertikal maupun

horizontal; (ii) menumbuhkan insentif dan/atau adanya kendali bagi Pemerintah Daerah

dalam melaksanakan segala fungsi/ kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya dengan

baik.

Sementara untuk specific grants (DAK) diarahkan kepada pemberian insentif kepada

Pemerintah Daerah untuk turut mensukseskan program-program nasional yang bersifat

prioritas.

Konsep perhitungan DAU harus mengacu pada konsep Fiscal Gap (Kebutuhan

Daerah – Kapasitas Daerah), dimana kebutuhan Daerah diukur dengan pendekatan

pengukuran Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB) masing-

masing Daerah.

Kendala dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Banyak yang mengatakan bahwa UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang direvisi menjadi

UU No 32/2004 dan UU No 33/2004, adalah cetak biru pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia. Akan tetapi, beberapa hal nampaknya masih perlu disempurnakan, karena

beberapa peraturan pemerintah (PP) yang krusial untuk mendukung pelaksanaan UU

tersebut masih belum terbit, seperti misalnya PP tentang kewenangan daerah. Disamping

itu, sosialisasi nampaknya masih perlu dilakukan lebih intensif lagi, karena baru beberapa

9

Page 10: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

waktu setelah UU No 32 dan 33 tahun 2004 terbit, sudah ada pihak-pihak yang menuntut

untuk dilakukan revisi. Isu koordinasi yang kurang baik nampak menonjol disini. Namun

demikian, pelaksanaan desentralisasi yang dimulai sejak 1 Januari 2001 tersebut ternyata

cukup lancar, meskipun banyak pihak sebelumnya merasa skeptis mengingat adanya

beberapa perubahan drastis yang dilakukan dalam berbagai bidang.

Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan

sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang sangat signifikan. Dibandingkan dengan

era sebelum desentralisasi, transfer dari pusat kepada daerah dalam bentuk Dana

Perimbangan, melonjak drastis, baik secara proporsi maupun jumlah absolut.

Seiring dengan itu, juga terjadi perubahan jumlah daerah otonom. Sejak tahun 2001

sampai dengan tahun 2004 terjadi peningkatan jumlah Kota, Kabupaten dan Provinsi, dari

total 362 menjadi 467 daerah, atau bertambah sekitar 29%. . Banyak pertimbangan atau

alasan yang digunakan sebagai dasar keputusan pemekaran daerah ini. Tetapi yang jelas,

implikasi fiskalnya cukup terasa ke APBN, karena daerah-daerah baru tersebut pada

umumnya amat menggantungkan penerimaan APBD-nya kepada bantuan transfer dari

APBN yang berwujud Dana Perimbangan.

Indikasi juga menunjukkan adanya inefisiensi di dalam sistem administrasi daerah-

daerah baru, sebab belanja per kapita daerah-daerah ini sangat tinggi untuk kualitas

layanan yang tidak berbeda dengan daerah lain.

Persoalan lain yang sangat serius adalah, khususnya di sebagian besar daerah-

daerah baru, kapasitas SDM yang kurang memadai menyebabkan kinerja mereka (dalam

arti efisiensi dan efektivitas) terutama di sektor dasar seperti pendidikan, kesehatan dan

penyediaan fasilitas umum sangat lemah. Ketergantungan yang amat sangat terhadap

transfer dari pemerintah pusat, diringi dengan besarnya fungsi atau kewenangan di era

desentralisasi ini justru memunculkan satu dampak kurang bagus bagi perekonomian.

Sebagian daerah berkeinginan untuk meningkatkan peran pendapatan asli daerah (PAD)-

nya, sebagai refleksi otonomi fiskal mereka. Namun, karena kurangnya pemahaman akan

prinsip-prinsip perpajakan yang baik, maka banyak upaya yang mereka lakukan justru

mengganggu (distortif) terhadap aktivitas perekonomian daerah tersebut, dan juga terhadap

perekonomian kawasan secara keseluruhan.

Berbagai penelitian yang pernah dilakukan menemukan bahwa pungutan-pungutan

yang dilakukan daerah justru mengganggu iklim investasi dan dunia usaha di daerah.

Sebagai konsekuensi logis, daya saing dan iklim investasi nasional pun sangat terganggu.

Keadaan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi

secara umum, dan desentralisasi fiskal secara khusus, pada hakekatnya bertujuan

mendekatkan pemerintah dengan masyarakat sedemikian sehingga akan meningkatkan

efisiensi sektor publik, dari sisi tranparansi dan akuntabilitas pengambilan kebijakan untuk

10

Page 11: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

penggunaan dana publik dalam rangka penyediaan layanan masyarakat dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat lokal. Disinilah krusialnya pengaturan mengenai pembagian

kewenangan dan urusan pemerintah yang PP-nya masih dinantikan. Masih kurang jelasnya

pembagian urusan dapat menimbulkan kesimpang-siuran, ketidakpastian dan fragmentasi

pendanaan. Dapat saja terjadi suatu fungsi didanai dari berbagai sumber, dan beberapa

observasi cukup memberi indikasi yang kuat tentang hal ini. Misalnya, satu kegiatan fisik

tertentu yang menjadi urusan daerah didanai dari (dan atas beban) APBN melalui Dokumen

Isian Pelaksanaan Anggaran Kementerian dan Lembaga (DIPA-K/L). Atau, kegiatan fisik

tertentu yang menjadi urusan pusat didanai dari (dan atas beban) APBD melalui Dokumen

Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Kerja Daerah (DPA-SKPD). Itulah

sebabnya, UU No 32 Tahun 2004 (Pasal 155) pun secara umum menggariskan perlunya

pemisahan sumber-sumber pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan/fungsi

pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

didanai dari dan atas beban APBD. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah di

daerah didanai dari dan atas beban APBN. Ini dipertegas lagi dalam Pasal 4 UU No 33

Tahun 2004.

Desentralisasi dan Good Governance

Secara sederhana, sejumlah pihak menerjemahkan governance sebagai Tata

Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan

manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah

salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua

aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani).

Karenanya memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran

antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang

disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi,

politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif

dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan

meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif

dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana

melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas tersebut. United National

Development Programme (UNDP,1997) mendefinisikan governance sebagai “penggunaan

wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada

semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-

lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan

mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-

perbedaan diantara mereka”.

11

Page 12: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

Selanjutnya berdasarkan pemahaman kita atas pengertian governance tadi maka

penambahan kata sifat good dalam governance bisa diartikan sebagai tata pemerintahan

yang baik atau positif. Letak sifat baik atau positif itu adalah manakala ada pengerahan

sumber daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki dari masing-masing aktor tersebut

atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin dicapai.

Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila memiliki ciri-ciri atau

indikator tertentu. Secara rinci World Bank memberikan 19 indikator good governance,

namun para akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut untuk

mengukur good governance. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM misalnya

hanya menggunakan 9 indikator yakni: partisipasi, penegakan hukum, transparansi,

responsifitas, efektifitas, efisiensi, akuntabilitas, keadilan dan manajemen konflik. Pemilihan

indikator secara selektif ini biasanya didasarkan pada relalitas empirik yang objektif yang

terjadi selama ini dalam pengembangan governance di tingkat lokal.

Hubungan Antara Desentralisasi dan Good Governance

Desentralisasi atau pendesentralisasian governance merujuk pada suatu upaya

restrukturisasi atau reorganisasi dari kewenangan yang yang menciptakan tanggung jawab

bersama diantara lembaga-lembaga di dalam governance baik di tingkat pusat, regional

maupun lokal sesuai dengan prinsip saling menunjang yang diharapkan pada akhirnya

adalah suatu kualitas dan efektifitas keseluruhan dari sistem governance tersebut termasuk

peningkatan kewenangan dan kemampuan dari governance di tingkat lokal (UNDP, 1997).

Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama

dari pusat ke daerah, tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural

menuju arah yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi diharapkan akan

meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan

kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi. Hal ini sangatlah

dimungkinkan karena karena lokus pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan

masyarakat. Melalui proses ini maka desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan

penegakan hukum; meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintah dan sekaligus

meningkatkan daya tanggap, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.

Beberapa pengalaman empirik memang telah membuktikan bahwa desentralisasi

tidak selalu berbanding lurus dengan terwujudnya good governance. Keberhasilan beberapa

pemerintah daerah dalam membangun kinerja pelayanan publiknya hingga saat ini masih

bisa dihitung dengan jari. Namun demikian pilihan untuk kembali ke arah sentralisasi

tentunya bukanlah pilihan yang bijaksana dan hanya akan bersifat kontraproduktif belaka.

Pilihan pada desentralisasi sesungguhnya haruslah disikapi dengan penuh

optimisme dan menjadikannya sebagai sebuah tantangan. Caranya adalah melalui

kampanye yang terus menerus akan pentingnya implementasi good governance di level

12

Page 13: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

pemerintahan daerah. Tentu saja perwujudan desentralisasi yang nyata dan bertanggung

jawab serta keberhasilan good governance di daerah bukanlah suatu hal yang instan

semudah membalikan telapak tangan. Diperlukan komitmen yang kuat, proses

pembelajaran yang terus menerus serta kesabaran kolektif dari segenap pemangku

kepentingan baik di pusat maupun di daerah.

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Balanced Scorecard

Balance Scorecard (BSC) adalah sistem manajemen (bukan hanya sebuah sistem

pengukuran) yang dapat membantu organisasi untuk menjelaskan visi dan strategi mereka

dan menerapkannya dalam kegiatan operasinya. BSC memberikan umpan balik, baik dari

sisi proses kegiatan internal maupun hasil-hasil dari luar, dalam rangka perbaikan kinerja

dan hasil suatu organisasi secara terus menerus. Ketika diimplementasikan, BSC

mentransformasikan perencanaan strategis dari hanya sekedar wacana akademis menjadi

sesuatu yang membumi.

BSC pun dapat dipergunakan di dalam pemerintahan. Karena dengan BSC pimpinan

pemerintahan dapat mengetahui apa harapan rakyat dan apa kebutuhan pegawai

pemerintah untuk memenuhi harapan rakyat itu.

Ada beberapa keuntungan bagi pemerintahan apabila menggunakan BSC, diantaranya:

1. BSC menempatkan seluruh organisasi dalam proses pembelajaran;

2. Keputusan penganggaran yang lebih rasional;

3. Memfasilitasi perbaikan kinerja;

4. Memperbaiki komunikasi kepada stakeholders;

5. Memberikan data untuk acuan (benchmark).

Sedangkan Robert S.Kaplan dan David P.Norton dalam bukunya Balanced

Scorecard Translating Strategy Into Action membahas konsep BSC dengan lebih

menekankan pada perspektif bisnis (private). Namun dalam perkembangannya, konsep

BSC sudah mulai diadopsi dalam sektor publik. BSC digunakan sebagai suatu alat

manajemen untuk mencapai tujuan yang berbasis pada perencanaan stratejik, yang

menekankan pada pencapaian tujuan yang berbasis pada visi dan misi. Penjabaran visi dan

misi dalam suatu rencana stratejik dilakukan dalam empat persprektif yang meliputi

keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.

Penerapan BSC pada sektor publik dimaksudkan untuk pemberdayaan institusi,

pengambilan keputusan penganggaran yang lebih rasional, peningkatan kinerja,

meningkatkan komunikasi kepada pihak-pihak berkepentingan (stakeholders), dan

penyediaan data untuk benchmarking. Pada dasarnya, pengembangan BSC baik pada

sektor swasta maupun publik dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kepuasan untuk

13

Page 14: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

para pelanggan. Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan maupun pihak-pihak yang

berkepentingan.

Penerapan BSC untuk sektor bisnis dimaksudkan untuk meningkatkan persaingan

(competitiveness), sedangkan untuk sektor publik lebih menekankan pada nilai misi dan

pencapaian (mission value and effectiveness). Dari aspek keuangan, untuk sektor bisnis

akan mengutamakan keuntungan, pertumbuhan dan pangsa pasar, sedangan pada sektor

publik dimaksudkan untuk pengukuran produktivitas dan tingkat efisiensi. Demikian juga

halnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan, sektor bisnis akan lebih mengutamakan

para pemegang saham, pembeli, dan manajemen, sedangkan untuk sektor publik akan

meliputi para pembayar pajak, pengguna jasa (recipients), dan legislatif.

Secara umum, penerapan konsep BSC dalam organisasi publik dapat dilakukan

mulai dari proses pembelajaran dibidang keahlian, pengetahuan, data, maupun masyarakat.

Proses pembelajaran ini akan mempengaruhi proses internal organisasi. Proses internal

akan mewarnai mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maupun para wakil

rakyat, mempengaruhi nilai dan manfaat, serta mempengaruhi keuangan dan biaya sosial,

dan secara keseluruhan akan bermuara pada misi organisasi yang telah ditetapkan terlebih

dahulu.

Secara konsepsional, kebijakan Pemerintah di bidang hubungan keuangan Pusat

dan Daerah akan mengacu pada berbagai konsep pembaruan untuk mewujudkan clean and

good governance. Salah satunya akan dapat dikembangkan konsep BSC. Konsep BSC

yang meskipun tidak 100% tapi secara filosofis dapat dianalogkan, seperti halnya dengan

perencanaan stratejik yang telah menjadi acuan dalam perencanaan pemerintah baik di

tingkat Pusat mapun Daerah. Secara formal hal ini sudah diatur dalam Inpres 7 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sama halnya

dengan tujuan BSC, yaitu untuk meningkatkan kinerja organisasi, Inpres 7/1999

mengamanatkan agar setiap pengalokasian atau pengeluaran anggaran pemerintah harus

didasarkan pada pencapaian tujuan sesuai dengan visi dan misi setiap unit organisasi yang

telah ditetapkan terlebih dahulu. Ukuran kinerja didasarkan pada pencapaian output,

outcome, benefit, dan impact.

Di bidang hubungan keuangan Pusat dan Daerah, khususnya berkaitan dengan

kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah telah ditetapkan berbagai tujuan

stratejik yang meliputi pemerataan kemapuan keuangan antar daerah (horizontal equity)

maupun pemerataan antar tingkat pemerintahan (vertical equity). Untuk mencapai tujuan

tersebut telah ditetapkan suatu rumus yang transparan, pasti, dan adil, sehingga setiap

daerah yang akan menerima dana alokasi umum dari Pusat akan dapat mengetahui secara

pasti bari segi jumlah dan waktu maupun cara memperoleh angka atau jumlah DAU

dimaksud. Tentunya, kebijakan dimaksud bukan hanya menekankan pada aspek

14

Page 15: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

pencapaian hasil, hal yang tidak kalah penting juga dengan menekankan pada aspek

partisipatif dan aspiratif dalam proses perumusan. Artinya, dalam proses perumusan

kebijakan DAU tidak lagi semata-mata hanya melibatkan unsur pemerintah tetapi sudah

melibatkan para stakeholders, termasuk perguruan tinggi, pemerintah daerah sebagai

penerima dana perimbangan, dan legislatif.

Pendekatan yang telah ditetapkan khususya sejak otonomi daerah dijalankan

diharapkan akan dapat memuaskan seluruh pihak khususnya Pemda sebagai penerima

DAU. Tentunya pemberian DAU dimaksud bukanlah menjadi tujuan akhir, akan tetapi yang

lebih penting lagi adalah bagaimana dana tersebut dialokasikan untuk meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat dan pada akhirnya dapat menyejahterakan kehidupan

masyarakat secara umum. Perlu kita pahami bersama, bahwa untuk mencapai tujuan

tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu singkat. Masih

diperlukan waktu dan pemikiran yang lebih komprehensif secara berkesinambungan. Untuk

ini keterlibatan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

pengembangan kebijakan Pemerintah di bidang hubungan keuangan Pusat dan Daerah

masih tetap dibutuhkan.

Konsep balanced scorecard (BSC) yang secara substansial dimaksudkan untuk

meningkatkan kinerja pelayanan konsumen (masyarakat), sangat relevan diadopsi dalam

pengembangan manajemen keuangan daerah ke depan. Secara konsepsional BSC sudah

sejalan dengan arah kebijakan pengelolaan keuangan daerah saat ini, yaitu dalam rangka

mencapai kinerja pemerintahan yang baik, APBD harus disusun dengan anggaran kinerja.

Penyusunan APBD harus dilakukan untuk mencapai output, outcome, benefit, dan impact,

sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan.

15

Page 16: Tugas Akhir

Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2011

BAB III

III. Penutup

a. Kesimpulan

Sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan

pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi, dan

secara bertahap akan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah

reformasi hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan kinerja

pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas publik.

Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana perimbangan, pajak dan retribusi daerah,

pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.

Meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan

sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini, masih diperlukan adanya

peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya terhadap perubahan-perubahan

baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun

pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.

Pelaksanaan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah harus

memperhatikan berbagai aspek demi terjadinya keseimbangan nasional. Selain itu,

hubungan pemerintah pusat dan daerah, walaupun dalam pelaksanaannya menemui

berbagai macam kendala, pemerintah harus dapat belajar dari berbagai pihak sehingga

kendala-kendala tersebut dapat diatasi dan tercipta hubungan pemerintah yang baik yang

baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada meningkatnya

kesejahteraan masyarakat.

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang berupa desentralisasi

harus dapat menjadi titik awal dari terciptanya pemerintahan yang baik. Desentralisasi harus

membawa perubahan kultural menuju arah yang lebih demokratis dan beradab karena saat

ini tidak ada pilihan lain untuk mencapai pemerintahan yang baik selain pelaksanaan

desentralisasi yang tepat dan seimbang karena pemerintah tidak mungkin menerapkan

kembali sistem desentralisasi yang terbukti tidak mampu membawa perbaikan terhadap

pemerintahan dan negara.

16