trauma capitis (ria)

Upload: why-you-dean

Post on 17-Jul-2015

83 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Build your own FREE website at Angelfire.com | reddit | Twitter | facebook

Share: del.icio.us

| digg

Kehalaman utama.

#FF0000

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini : Search term: Case-sensitive exactSubmit

yes fuzzy

VI. 4. TRAUMA KEPALA Pendahuluan Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala. Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik. Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi. Anatomi, fisiologi dan patofisiologi Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium. Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg

terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera). Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam. Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala. Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran. Klasifikasi Didasarkan pada aspek : a. Mekanisme trauma (1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah (2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll b. Beratnya Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS) (1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15) (2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13) (3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8) c. Berdasar morfologi : (1). Fraktura tengkorak.

(a). Kalvaria : 1. Linier atau stelata. 2. Terdepres atau tidak terdepres. (b). Basiler : 1. Anterior. 2. Media. 3. Posterior. (2). Lesi intrakranial. (a). Fokal : (1). Perdarahan meningeal : 1. Epidural. 2. Subdural. 3. Sub-arakhnoid. (2). Perdarahan dan laserasi otak : Perdarahan intraserebral dan atau kontusi. Benda asing, peluru tertancap. (b). Difusa : 1. Konkusi ringan. 2. Konkusi klasik. 3. Cedera aksonal difusa. Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan pasca resusitasi. Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS 8, adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau tampaknya jaringan otak. Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan tindakan spesifik). BERDASAR MEKANISME Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk. BERDASAR BERATNYA Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan. BERDASAR MORFOLOGI

Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera. Fraktura Tengkorak Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat. Lesi Intrakranial Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam Lesi Fokal Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam. Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.

Cedera difusa Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering. Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika. Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.

Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi. Pemeriksaaan GCS Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi. Respon membuka mata (eye) (4). Spontan dengan adanya kedipan (3). Dengan suara (2). Dengan nyeri (1). Tidak ada reaksi Respon bicara (verbal) (5). Orientasi baik (4). Disorientasi (mengacau/bingung) (3). Keluar kata-kata yang tidak teratur (2). Suara yang tidak berbentuk kata (1). Tidak ada suara Respon bicara (verbal) untuk anak-anak (5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek (4). Menangis, tapi bisa diredakan (3). Teriritasi secara menetap (2). Gelisah, teragitasi (1). Diam saja Respon motorik (motor) (6). Mengikuti perintah (5). Melokalisir nyeri (4). Menarik ekstremitas yang dirangsang (3). Fleksi abnormal (dekortikasi) (2). Ekstensi abnormal (decerebrasi) (1). Tidak ada gerakan Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk) PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma. CEDERA KEPALA RINGAN Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15). (Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat). Pengelolaan setelah pasien distabilkan : 1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang 2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik 3. Pemeriksaan neurologis Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma: 1. Amnesia post traumatika jelas 2. Riwayat kehilangan kesadaran 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat) 8. Kejang 9. Cedera penyerta yang jelas 10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan Dipulangkan : 1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk 2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan tentang 'lembar peringatan' 3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu CEDERA KEPALA SEDANG Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13). Pengelolaan setelah pasien distabilkan : 1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang 2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf. CEDERA KEPALA BERAT Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (GCS 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT 1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik 90 mm Hg Kriteria Rawat: 1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat) 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

10. CT scan abnormal Dipulangkan dari UGD: 1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat 2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang 'lembar peringatan' 3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera diketahui. Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko: 1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak. 2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf. 3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan emergensi. Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk dirawat. Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan. Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik. Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil. Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis. CEDERA KEPALA SEDANG Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah

sederhana (SKG 9-13). Pengelolaan: Di Unit Gawat Darurat: 1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang 2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus 5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi 6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin 7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah 8. Tes darah dasar dan EKG 9. CT scan kepala 10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal Setelah dirawat: 1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam 2. CT scan bila ada perburukan neurologis Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi. CEDERA KEPALA BERAT Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (SKG 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8). PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat. Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masingmasing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek. Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika. 1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA HERNIASI Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya.

Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi normal. 2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA HERNIASI Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport. Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan. 1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal. Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral. Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS 8

Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. Paralisis Farmakologis (aksi pendek). Herniasi ?* Hiperventilasi * Perburukan ?* Mannitol 1 g/kg * * Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak karena kelainan ekstrakranial. 2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK) Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu. Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.

TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal. 3. HIPERVENTILASI Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang. Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik. 4. MANNITOL Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu. Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial. 5. BARBITURAT Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak. 6. STEROID Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan. 7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi : GCS < 10. Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT. Fraktur tengkorak terdepres. Hematoma subdural.

Hematoma epidural. Hematoma intraserebral. Cedera tembus tengkorak. Kejang dalam 24 jam sejak cedera. Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit. 8. INDIKASI OPERASI Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera. Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan. Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini. Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi : 1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih. 2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media berapapun jauhnya. 3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK. 4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan herniasi tentorial dengan sangat cepat. Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila

telah terjadi mati batang otak. Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial

Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm Hg. Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks). Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik. JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala

tempat tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih. Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah. Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif. RUJUKAN Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424. Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1611-1622. Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press, 1991. 235-291. Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain Trauma Fondation, New York. 2000, Brain Trauma Fondation. Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I : Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. A joint project of the Brain Trauma Fondation American Association of Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. 2000, Brain Trauma Fondation. Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of Moderate and Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718 Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery. Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.

Kehalaman utama.

Site Sponsors

KARAKTERISTIK PENDERITA TRAUMA KAPITIS YANG DILAKUKAN TINDAKAN CRANIOTOMY DI RS UMUM MATERNA MEDAN TAHUN 2008-2009 SKRIPSI Oleh : FRIDA. M.R. SIAHAAN NIM. 081000251 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 Universitas Sumatera Utara

KARAKTERISTIK PENDERITA TRAUMA KAPITIS YANG DILAKUKAN TINDAKAN CRANIOTOMY DI RS UMUM MATERNA MEDAN TAHUN 2008-2009 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Oleh : FRIDA. M.R. SIAHAAN NIM. 081000251 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 Universitas Sumatera Utara

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul KARAKTERISTIK PENDERITA TRAUMA KAPITIS YANG DILAKUKAN TINDAKAN CRANIOTOMY DI RS. UMUM MATERNA MEDAN TAHUN 2008-2009 Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh: FRIDA. M. R. SIAHAAN 081000251 Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 18 Juni 2011 dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji Ketua Penguji Penguji I Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH Drs. Jemadi, M.Kes NIP. 19490417 197902 1 001 NIP. 19640404 199203 1 005 Penguji II Penguji III Prof. dr. Nerseri Barus, MPH drh. Rasmaliah, M.Kes NIP. 19450817 197302 2 001 NIP. 19590818 198503 2 002 Medan, Juli 2011 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dekan, Dr. Drs. Surya Utama, MS NIP. 19610831 198903 1 001 Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Trauma kapitis craniotomy merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurolagis, bahkan kematian. Menurut Depkes RI tahun 2007, cedera intrakranial menempati urutan kedua penyakit terbanyak penderita rawat inap di RSU di Indonesia yang menyebabkan kematian dengan case fatality rate (CFR) 4,37%. Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita Trauma kapitis yang dilakukan tindakan craniotomy di RS Umum Materna Medan tahun 2008-2009, dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi dan sampel adalah seluruh penderita Trauma kapitis craniotomy sebanyak 107 orang (Total sampling). Analisa data dilakukan dengan menggunakan ttest dan chi-square test. Hasil penelitian menunjukkan distribusi proporsi penderita Trauma kapitis craniotomy berdasarkan umur terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun (20,6%) dengan sex ratio laki-laki (71%) dan perempuan (29%), dimana umur termuda adalah 4-14 tahun (14,0%) dan umur tertua adalah 75-84 tahun (4,7%), pendidikan akademik/PT (41,1%), pekerjaan wiraswasta (26,2%), status perkawinan menikah (66,4%), penyebab trauma kapitis karena kecelakaan lalu lintas (69,2%), klasifikasi trauma kapitis hematoma intraserebral (34,6%), tingkat keparahan berat (47,7%), lama rawatan rata-rata (14 hari), lokasi tempat kejadian di kota Medan (84,1%), keadaan sewaktu pulang dengan pulang berobat jalan (54,2%), CFR (7,5%). Penderita dengan tingkat keparahan berat, lama rawatan ratarata secara bermakna lebih lama dibandingkan dengan tingkat keparahan ringan-sedang (18 hari (47,7%) vs 10 hari (52,3%); p=0,042), proporsi penderita dengan tingkat keparahan ringan-sedang, keadaan sewaktu pulang sembuh/PBJ/PAPS secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keparahan berat ( 98,2% vs 86,3%; p=0,019), dan proporsi penderita dengan klasifikasi trauma hematoma epidural dan subdural, tingkat keparahan ringan-sedang secara bermakna lebih tinggi dengan klasifikasi trauma hematoma intracerebral dan fraktur basis kranii terbuka ( 100% vs 97,3%; p=0,000). Diperlukan kesadaran kepada masyarakat untuk mencegah benturan pada kepala yang dapat menyebabkan Trauma kapitis craniotomy oleh karena kecelakaan lalu lintas (KLL), dan diperlukan kesadaran kepada tim medis dan perawatan untuk mencegah tidak terjadinya infeksi nasokomial dirumah sakit. Kata kunci : Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy, Karakteristik Penderita. Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT Craniotomy head injury is a serius public health problem that directly or indirectly on the head which may result in disruption neurologis function, even death. According to the health department in 2007, intracranial injuries second highest disease patients hospitalized in public hospitals in indonesia that led to death with a case fatality rate (CFR) 4,37%. The study aims to determine the characteristic of patients with trauma capitis craniotomy performed actions in the General Hospital Materna Medan in 2008-2009, conducted a descriptive research design of case series. Population and sample is all Trauma capitis craniotomy patients were 107 people (Total sampling). Data analysis performed using t-test and chi-square test. The results showed the distribution of the proportion of patients with Trauma capitis craniotomy based on the largest age group of 25-34 years of age (20,6%) with male gender (16,8%), academic/PT (41,1%), job self-employed (26,2%), married marital status (66,4%), cause of head injury due to traffic accidents (69,2%), intracerebral hematoma classification of head injury (34,6%), severe severity (47,7%), duration of treatment on average (14 days), the location of the scene in the city field (84,1%), while home with the home state of outpatient (54,2%). Trauma capitis craniotomy in patients with severe severity, duration of treatment on average were significantly higher compared with mild to moderate severity (18 days vs 10 days; p=0,042), Trauma capitis craniotomy in patients with mild to moderate severity, circumstances when home cured/PBJ/PAPS was significantly higher compared with the severity of weight (98,2% vs 86,3%; p=0,019), and in patients with Trauma capitis classification trauma craniotomy with epidural and subdural hematoma, the severity of mild-was significantly higher with the classification of traumatic intracerebral hematoma and cranial base fracture is open (100% vs 97,3%; p=0,000). It takes awareness to the public to obey traffic regulations on the highway to prevent collisions on the head which can cause Trauma craniotomy capitis due to traffic accidents (KLL). Keywords : Trauma capitis with action craniotomy, patient characteristics Universitas Sumatera Utara

DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS Nama : Frida Mindo Romauli Siahaan Tempat/tanggal lahir : Medan/31 Oktober 1984 Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Belum Kawin Anak ke : 2 dari 3 bersaudara Nama Ayah : Drs. S. Siahaan Nama Ibu : R. Siagian Alamat Rumah : JL.SEMBADA, Psr.V Gang. Bunga Mawar XX No.30 Padang Bulan Koserna Medan Riwayat Pendidikan : SD Methodist 1 Medan (1990-1996)S : SMP Gajah Mada Medan (1996-1999) : SMU Kristen 1 Medan (1999-2002) : Akademik Keperawatan USU (2002-2005) : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU (2008-2011) Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Karakteristik Penderita Trauma Kapitis Yang Dilakukan Dengan Tindakan Craniotomy Di RSU Materna Medan Tahun 2008-2009. Dalam penulisan SKRIPSI ini, banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen penasehat akademik. 2. Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran dan masukan. 4. Bapak Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan. 5. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan. 6. Ibu Prof. Dr. Nerseri Barus, MPH selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan pengarahan dan masukan.

Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Dra. Apt. Lina Tarigan, MS selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberi bimbingan dan nasehat selama perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat. 8. Bapak Dr. Richard Sutanto, Aifk. MHA selaku Direktur RSU Materna Medan dan staff Rekam Medik yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk melakukan penelitian dalam memperoleh data-data. 9. Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan pengajaran selama penulis mengikuti proses perkuliahan di FKM-USU, beserta seluruh pegawai. 10. Ayahanda Drs. S. Siahaan dan Ibunda R. Siagian yang selalu mendoakan dan telah memberikan kasih dan sayangnya dalam membesarkan, mendidik, dan juga memberikan semangat, abang (Freddy Siahaan) serta adek (Fitriani Siahaan) yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. 11. Teman-teman peminatan Epidemiologi dan rekan-rekan stambuk 2008, serta semua pihak yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Medan, Mei 2011 Penulis Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... i ABSTRAK..................................................................................................................... ii KATA PENGANTAR................................................................................................... iv DAFTAR ISI ................................................................................................................. vi DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR..................................................................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .. .................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5 1.3.1. Tujuan Umum ............................................................................. 5 1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................................ 5 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Trauma kapitis craniotomy ........................................................ 7 2.2. Klasifikasi Trauma kapitis craniotomy ................................................... 8 2.2.1. Klasifikasi Trauma kapitis Berdasarkan Lokasi Anatomi ............. 8 2.2.2. Anatomi Trauma kapitis craniotomy............................................. 10 2.3. Etiologi Trauma kapitis craniotomy ....................................................... 11 2.4. Pathofisiologi Trauma kapitis craniotomy................................................ 12 2.4.1. Proses Primer ......................................................... ....................... 12 2.4.2. Proses Sekunder ............................................................................ 12 2.5. Cara Pengkajian Trauma kapitis craniotomy .......................................... 12 2.5.1. Adanya Fraktur dan CT-Scan ...................................................... 12 2.5.2. Status Neurologis ........................................................................ 13 2.5.3. Status Gastrointestinal ................................................................. 13 Universitas Sumatera Utara

2.5.4. Status Kardiopulmonal ................................................................ 13 2.6. Tanda dan Gejala Trauma kapitis craniotomy ......................................... 13 2.6.1. Gejala dari Hematoma Epidural ................................................... 13 2.6.2. Gejala dari Hematoma Subdural .................................................. 13 2.6.3. Gejala dari Hematoma Intraserebral .............................................. 14 2.6.4. Gejala dari Fraktur Basis Kranii Terbuka ........... .......................... 14 2.7. Tingkat Keparahan Trauma kapitis craniotomy ...................................... 14 2.7.1. Pemeriksaan Neurologis ................................................................ 14 2.7.2. Pemeriksaan Penunjang.................................................................. 16 2.8. Epidemiologi Trauma kapitis .................................................................. 17 2.8.1. Distribusi dan Frekuensi Trauma kapitis .......... .............................. 17 2.8.2. Determinan Trauma kapitis ............................................................. 19 2.9. Pencegahan Trauma kapitis craniotomy ................. ................................ 20 2.9.1. Pencegahan Tingkat Pertama ......................................................... 20 2.9.2. Pencegahan Tingkat Kedua ............................................................ 21 2.9.3. Pencegahan Tingkat Ketiga ........................................................... 21 BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep Penelitian .................................................................. 23 3.2. Definisi Operasional .............................................................................. 23 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ...................................................................................... 27 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 27 4.2.1. Lokasi Penelitian............................................................................ 27 4.2.2. Waktu Penelitian ........................................................................... 27 4.3. Populasi dan Sampel .............................................................................. 28 4.3.1. Populasi Penelitian ........................................................................ 28 4.3.2. Sampel .......................................................................................... 28 4.4. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 28 Universitas Sumatera Utara

4.5. Teknik Analisa Data ............................................................................... 28 BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Penelitian ............................................. 29 5.2. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin .................................. 30 5.3. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Pendidikan ........................................................................ 30 5.4. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Pekerjaan .......................................................................... 31 5.5. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Status Perkawinan .......................................................... 32 5.6. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Penyebab Trauma kapitis ................................................ 33 5.7. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis .............................................. 33 5.8. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Tingkat Keparahan ......................................................... 34 5.9. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Trauma kapitis craniotomy ........... 35 5.10. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Lokasi Tempat Kejadian ......................................... 35 5.11. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ........................................ 36 5.12. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Keparahan ................. 37 5.13. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Tingkat Keparahan .......................................................................................... 37 5.14. Distribusi Proporsi Tingkat Keparahan Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis .................................................................................... 38 Universitas Sumatera Utara

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin .................................. 40 6.2. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Pendidikan ........................................................................ 41 6.3. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Pekerjaan .......................................................................... 42 6.4. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Status Perkawinan ............................................................. 44 6.5. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Penyebab Trauma kapitis .................................................. 45 6.6. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis ................................................ 46 6.7. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Tingkat Keparahan ............................................................ 47 6.8. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Trauma kapitis craniotomy ............. 48 6.9. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Lokasi Tempat Kejadian ................................................... 49 6.10. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang .................................................. 49 6.11. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Keparahan .................. 51 6.12. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Tingkat Keparahan ............................................................................................. 52 6.13. Distribusi Proporsi Tingkat Keparahan Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis ...................................................................................... 53 BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan............................................................................................. 55 7.2. Saran ...................................................................................................... 56 Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN : 1. Master Data 2. Analisis Data 3.Surat Izin Penelitian Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ............................................................................. 30 Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ........ 31 Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 .......... 31 Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Status Perkawinan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ............................................................................................................ 32 Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Penyebab Trauma kapitis di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 .................................................................................................. 33 Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ........................................................................................ 34 Tabel 5.7. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Tingkat Keparahan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ............................................................................................................ 34 Tabel 5.8. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Trauma kapitis craniotomy di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009............................... 35 Tabel 5.9. Distribusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Lokasi Tempat Kejadian di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ................................................................................................... 36 Tabel 5.10. Distibusi Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 .................................................................................................. 36 Tabel 5.11. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Keparahan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ........................................... 37 Universitas Sumatera Utara

Tabel 5.12. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Tingkat Keparahan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......... 38 Tabel 5.13. Distribusi Proporsi Tingkat Keparahan Berdasarkan Klasifikasi Trauma di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ........................... 39 Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR Gambar 6.1. Diagram Bar Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......................................................................... 40 Gambar 6.2. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ..................................................................................... 42 Gambar 6.3. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 20082009.................................................................................................... 43 Gambar 6.4. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Status Perkawinan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......................................................................... 44 Gambar 6.5. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Penyebab Trauma kapitis di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......................................................................... 45 Gambar 6.6. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ............................................................ 46 Gambar 6.7. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Tingkat Keparahan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......................................................................... 47 Gambar 6.8. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Lokasi Tempat Kejadian di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......................................................................... 49 Gambar 6.9. Diagram Pie Proporsi Penderita Trauma kapitis craniotomy Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009 ......................................................................... 50 Gambar 6.10. Diagram Bar Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Keparahan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009...... 51 Gambar 6.11. Diagram Bar Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Tingkat Keparahan di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 2008-2009...... 52 Universitas Sumatera Utara

Gambar 6.12. Diagram Bar Proporsi Tingkat Keparahan Berdasarkan Klasifikasi Trauma kapitis di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 20082009.......................................................................................................... ... 53 Universitas Sumatera Utara