tradisi ruwatan anak gimbal di dieng
TRANSCRIPT
Eki Satria
155 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG
Eki Satria
Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
ABSTRAK
Saat ini rambut gimbal merupakan salah satu tren gaya rambut semata.
Namun siapa sangka dalam salah satu kebudayaan di Indonesia justru
anak kecil yang berambut gimbal dipercaya sebagai titisan dewa. Hal
ini merupakan adat-istiadat di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten
Banjarnegara. Kepercayaan ini diakhiri dengan upacara Ruwatan pada
anak-anak gimbal yang dipercaya sebagai utusan dewa tersebut.
Ruwatan ini merupakan proses pemotongan rambut anak gimbal yang
sudah pada usia balligh dan sudah memiliki ketentuan-ketentuan
khusus. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika
Roland Barthes untuk membedah makna yang terdapat pada tradisi
Ruwatan anak gembel di Dieng. Hasil peneilitian merupakan penemuan
makna ruwatan anak gimbal di Dieng secara teks maupun konteks.
Secara teks, tradisi ruwatan ini sebatas pemotongan rambut, sedangkan
makna secara konteks dari pemotongan rambut gimbal ini sendiri
sebagai upaya dan tadisi untuk membersihkan lahir dan batinnya dari
pengaruh jahat, agar dalam kehidupan dan perkembangannya terhindar
dari gangguan kekuatan gaib yang berada dalam dirinya serta masih
banyak sekali makna dibalik acara ruwatan dan prosesi acaranya yang
panjang.
Kata kunci: Ruwatan, anak gimbal, Dieng
A. Pendahuluan
Di era kekinian, rambut gimbal bisa dianggap tren mode.
Rambut model pilin ini dapat dibentuk kapster-kapster salon dengan
waktu relatif singkat, tapi biayanya mahal. Otomatis rambut pilin ini
dianggap sebatas ungkapan rasa seni pemiliknya. Namun tidak
demikian bagi masyarakat Dieng Jawa Tengah. Rambut gimbal di
Eki Satria
156 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
kalangan mereka, karena terkena gembel ( terpilin tak teratur ). Tapi
karena itu, dipercaya memiliki makna mistis sangat dalam. Anak balita
pemilik rambut gimbal dipercaya sebagai titisan roh kyai mumpuni.
Bagi warga Dieng dianggap titisan Kyai Kolodete.
Tradisi ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat di dataran
tinggi Dieng Jawa Tengah ini telah ada secara turun-temurun sehingga
menjadi suatu kebudayaan khususnya kebudayaan Jawa pada
masyarakat dataran tinggi Dieng. Kebudayaan merupakan hasil cipta,
rasa dan karsa serta nilai-nilai yang turun temurun dan digunakan
masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan
diri terhadap sesuatu baik dalam kehidupan individu maupun
masyarakat dan menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
Kebudayaan setiap bangsa berbeda-beda memiliki ciri khas masing-
masing yang menjadi warisan budaya bagi generasi berikutnya. Seperti
yang lainnya kebudayaan Jawa juga memiliki ciri khas tersendiri.
Menurut Karkono yang dikutip oleh Imam Sutardjo” Kebudayaan Jawa
adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang
mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai
kesejahteraan, keselamatan lahir dan batin” (Imam Sutardjo,2008: 14-
15). Menurut Paul B. Horton (1984: 59), “Masyarakat adalah
sekumpulan manusia yang relatif secara mandiri, yang hidup bersama-
sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki
kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian kegiatannya dalam
kelompok tersebut”. Selain itu masyarakat juga merupakan sekelompok
Eki Satria
157 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
manusia yang memiliki adat istiadat yang sama yang terikat oleh ciri
khas yang sama.
B. Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan studi mengenai analisis makna dari
tradisi ruwatan anak gimbal di Dieng. Metode penelitian yang
digunakan adalah semiotika. Semiotika merupakan sebuah cabang
disiplin ilmu yang mengkaji tentang tanda. Pendekatan yang dipilih
dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika sebagai teori dan
pendekatan. Konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan konsep representasi dari Roland Barthes. Dalam
representasi ini mencakup dua hal, yaitu teks (makna sebenarnya) dan
konteks (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan
personal) dimana keduanya harus dibedah dulu sehingga terlihat
penanda dan petandanya. Peneliti melakukan pencarian dan
pengumpulan sumber berupa literatur yang berkaitan dengan tradisi
Ruwatan anak Gimbal di Dieng.
C. Temuan Dan Pembahasan
Anak berambut gimbal dipercaya memiliki daya linuwih (orang
yang doanya senantiasa dikabulkan Tuhan) dibanding anak sebayanya
yang berambut normal dan dipercaya mampu berhubungan dengan
dunia maya. Maka jarang ada yang berani sembrono dengan si gimbal.
Keberadaan anak berambut gimbal di lingkungan keluarga, justru
dianggap sebagai berkah, bisa melindungi keluarga dari marabahaya.
Tak heran setiap permintaan dan ucapannya, dinilai sebagai sabda kyai,
Eki Satria
158 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
harus dituruti. Kalau tidak, petaka bisa menyergap keluarga. Bahkan
dampaknya bisa meluas ke warga sekitarnya.
Fenomena seperti ini sering terjadi pada masyarakat tradisional
Jawa mengingat masyarakat tradisional Jawa masih percaya pada
kekuatan di luar diri manusia seperti yang diungkapkan oleh
Koentjoroningrat: Orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang
melebihi segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu
kesakten, kemudian arwah atau ruh leluhur, dan mahluk-mahluk halus
seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, dhemit, serta jin, dan lain
sebagainya yang menempati sekitar tempat tinggal mereka
(Koentjoroningrat ,1993: 46).
Cerita dibalik rambut gimbal ini adalah kisah dari Kyai
Kolodete. Kyai Kolodite dipercaya sebagai kyai berilmu kanuragan
sangat tinggi. Jadi pembela kaum miskin dan lemah. Kyai Kolodete
adalah anak Kyai Badar, perangkat desa di masa kejayaan Mataram.
Kesaktian Kyai Badar, tentu melebihi anaknya. Kolodite muda dikenal
memiliki rambut gimbal. Dianggap pula sebagai cikalbakal pendiri
Kota Wonosobo. Selain punya ilmu tinggi, Kolodite juga sebagai sosok
kyai pengayom. Disegani musuhnya, dicintai teman dan warganya.
Ketika berlangsung pemilihan kepala desa di daerahnya, Kolodite
didorong mencalonkan diri. Tapi tanpa diketahui sebabnya, Mataram
menolak pencalonannya. Untuk memupus kekecewaan, Kolodite
memutuskan untuk menyepi. Mencoba mendalami makna hidup di
tengah kesepian, sekaligus mengadu kepada Sang Khalik, pengatur
semesta.
Eki Satria
159 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Dalam setiap doa dan semedinya, Kolodete memohon agar
keinginannnya untuk mengayomi masyarakat terkabul. Dia juga
bersumpah, bila keinginannya tak terkabul, dia akan menitiskan rohnya
pada anak yang baru lahir atau sedang mulai bisa berjalan. Sebagai
tanda titisannya, si anak akan berambut gimbal dan dianggap sebagai
cucu dari Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu. Berangkat dari
legenda itu, warga Dieng menempatkan anak berambut gimbal lebih
tinggi dari sebayanya. Secara spiritual, perilakunya dinilai sama dengan
Kyai Kolodete. Tapi berkah rambut gimbal berakhir saat anak berumur
7 tahun. Sebab anak mulai menginjak akhilbaligh. Kemudian diruwat
dengan upacara khusus.
Gambar 1. Kyai Kolodete
Rambut gimbal atau gembel yang dimiliki sejumlah anak di
Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, itu bukanlah tren
rambut yang mereka ikuti melainkan terbentuk dengan sendirinya.
Konon, anak-anak berambut gimbal ini memiliki keistimewaan
Eki Satria
160 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
dibanding anak-anak lainnya. Mereka yang berambut gimbal ini juga
memiliki impian maupun cita-cita seperti halnya anak-anak sebaya
termasuk ingin berambut normal. Sebenarnya fenomena anak berambut
gimbal dapat dijumpai tidak hanya di Dataran Tinggi Dieng (2010
mdpl), tapi juga di di Kawasan lereng Gunung Merbabu dan Sindoro
(Wonosobo). Rambut gimbal ini bukan mode yang meniru gaya artis
Bob Marley, atau pesepakbola Ruth Gulith, tetapi merupakan fenomena
alam yang muncul secara misterius di kawasan tersebut.
Gambar 2. Anak Gimbal
Kendati demikian, rambut gimbal yang mereka miliki tidak bisa
dihilangkan begitu saja atau dipotong karena gimbalnya akan kembali
tumbuh meskipun telah dihilangkan. Rambut-rambut gimbal tersebut
harus dipotong melalui sebuah prosesi ruwatan agar bisa tumbuh
normal dan dilaksanakan atas dasar keinginan si anak, bukan kemauan
orang tuanya. Selain itu, orang tua juga harus memenuhi permintaan si
Eki Satria
161 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
anak berambut gimbal yang sudah bersedia untuk diruwat. Oleh
karenanya, ruwatan rambut gimbal ini tidak dilaksanakan setiap saat.
Bahkan dalam satu tahun, belum tentu ada anak berambut
gimbal yang diruwat karena kadang kala orang tuanya belum mampu
menyiapkan permintaan si anak termasuk biaya untuk menggelar
ruwatan. Terkait hal itu, Kelompok Sadar Wisata ( Pokdarwis ) Dieng
Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara,
menggelar ruwatan massal anak berambut gimbal yang dirangkaikan
dengan ajang "Dieng Culture Festival”.
Masyarakat di kawasan lereng Sindoro dan Merbabu
mempercayai bahwa anak-anak berambut gimbal merupakan karunia
atau anugerah dari para dewa, bukan musibah atau kutukan, sehingga
mereka akan merasa bersyukur jika salah satu anak atau anggota
keluarga mereka mempunyai rambut gimbal. Hal ini tidak dipandang
sebagai aib keluarga. Bahkan, orangtua dari anak gimbal ini yakin
bahwa anak tersebut bukan murni anaknya sendiri, melainkan titipan
dari dewa, sehingga orang tua akan sangat memberikan perhatian
kepada anak-anak ini. Apapun permintaan anak ini akan dituruti,
sehingga dalam banyak hal, anak gimbal tampak lebih manja dari anak
lain yang tidak gimbal. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak rambut
gimbal ini tidaklah berbeda dengan anak normal lainnya, dari sisi anak-
anak mereka juga suka bermain dan bersenda gurau bersama teman-
temannya. Anak-anak lain memanggil anak gimbal ini bukan dengan
namanya, melainkan dengan sebutan “mbel”, pemendekan dari gembel.
Eki Satria
162 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Satu hal yang membedakan adalah kekuatan fisik mereka yang
melebihi anak-anak pada umumnya (yang tidak gimbal). Perilaku yang
agresif yang cenderung nakal dan manja, serta ketahanan dari berbagai
serangan penyakit yang sering menyerang anak-anak seperti flu, pilek,
adalah keunggulan anak-anak ini. Tetapi bukan berarti anak-anak
gimbal ini tanpa hambatan, karena biasanya pada setiap malam jumat
mereka rewel.
1. Makna Secara Teks
Ruwatan atau memotong rambut dari anak gimbal yang
melalui proses panjang layaknya sebuah acara atau pagelaran besar
padahal intinya hanya untuk memotong rambut yang berbentuk
gimbal tersebut. Ruwatan pemotongan rambut gimbal yang
dilakukan sendiri tidak sulit. Orangtua hanya perlu mengadakan
sebuah acara pengajian, memenuhi permintaan dari sang anak, dan
menyediakan beberapa sesaji terutama tumpeng. Sementara, jika
dilakukan secara massal, acara ruwatan akan melalui proses yang
amat panjang. Dalam acara ruwatan masal ini tidak hanya satu anak
yang diruwat, biasanya terdiri dari beberapa anak yang memang
sudah siap diruwat dan orang tua sudah memenuhi permintaan dari
anak yang akan diruwat tersebut. Biasanya dalam satu tahun hanya
diadakan beberapa kali ruwatan saja, mengingat dalam proses
ruwatan tidak sedikit biaya yang dikeluarkan tetapi itu semua
tergantung dari kemauan anak itu sendiri kapan siap dan mau untuk
diruwat. Biasanya ruwatan diadakan pada saat liburan sekolah anak.
Ruwatan masal ini termasuk dalam acara Dieng Culture Festival
Eki Satria
163 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
yang menjadi acara tahunan di Dieng, selain itu juga banyak acara
pertunjukan lainnya seperti pesta kembang api, menerbangkan
sampai 2000 lampion secara serentak, Musik Festival Jazz Negeri di
Atas Awan, Acara Kesenian Daerah Dieng, pesta kembang api dan
banyak lainnya.
Gambar 3. Poster Dieng Culture Festival 2014
Gambar 4. Pertunjukan Jazz Di Atas Awan
Eki Satria
164 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 5. Pelepasan Lampion
1. Makna Secara Konteks
Makna dari pemotongan rambut gimbal ini sendiri sebagai
upaya dan tadisi untuk membersihkan lahir dan batinnya dari
pengaruh jahat, agar dalam kehidupan dan perkembangannya
terhindar dari gangguan kekuatan gaib yang berada dalam dirinya.
Akan tetapi banyak sekali makna dibalik acara ruwatan dan prosesi
acaranya yang panjang. Menurut Budiono Herusatoto (1987: 9)
“Secara umum tradisi itu biasanya dimaksudkan untuk menunjukan
kepada suatu nilai, norma, dan adat kebiasaan tertentu yang
berkembang lama dan berlangsung hingga kini masih diterima, dan
diikuti bahkan dipertahankan oleh masyarakat tertentu”. Tradisi
diartikan sebagai adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan
masih terus dilakukan dalam masyarakat dan setiap tempat atau
daerah atau suku yang berbeda-beda.
Rangkaian dimulai beberapa hari sebelum dilakukan
ruwatan. Para tetua adat akan melakukan ziarah ke tempat-tempat
Eki Satria
165 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
yang dianggap suci dan mengambil air dari tujuh sumber mata air
yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Tempat-tempat yang diziarahi
berjumlah 21, termasuk tujuh sumber mata air. Prosesi ini dapat
dilakukan dalam satu hari atau beberapa hari. Ziarah ini bertujuan
meminta izin agar acara yang akan dilakukan dapat berjalan dengan
lancar. Selain itu, sekaligus berdoa agar acara ruwatan dapat
membawa keberkahan bagi si anak, keluarga, maupun seluruh
masyarakat Dataran Tinggi Dieng.
Pada hari pelaksanaan, rangkaian dimulai pada pagi hari.
Anak-anak berambut gimbal yang akan diruwat berkumpul di rumah
tetua adat. Di setiap desa yang ada di Dataran Tinggi Dieng, terdapat
seorang tetua adat. Tetua adat yang memimpin acara ruwatan massal
tergantung dari tempat pelaksanaan ruwatan massal tersebut. Selain
anak-anak rambut gimbal, di sini juga berkumpul wanita pengiring
yang membawa berbagai makanan persembahan atau biasa disebut
dengan nama domas. Kelompok-kelompok kesenian, serta para tetua
adat. Rombongan ini kemudian akan berkeliling kampung.
Setelah berkeliling kampung, arak-arakan akan menuju
Kompleks Candi Arjuna. Tempat pertama yang didatangi adalah
Sedang Sedayu. Di sumber mata air ini, anak-anak berambut gimbal
akan melalui ritual pensucian atau dikenal dengan nama penjamasan.
Setelah itu, ke Dharmasala untuk merapikan pakaian mereka. Acara
lalu dilanjutkan ke salah satu candi yang ada di Kompleks Candi
Arjuna. Di candi ini, dilakukan pemotongan rambut gimbal.
Eki Satria
166 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Diadakannya ruwatan massal, selain menjadi tujuan wisata,
juga lebih untuk memudahkan orangtua anak-anak berambut gimbal.
Sebelum dipotong, anak-anak berambut gimbal akan meminta
sesuatu yang harus dituruti. Permintaan ini dapat berwujud benda
atau yang lain. Pada suatu ketika, ada seorang anak berambut gimbal
yang ingin rambutnya dipotong oleh seorang pejabat. Adanya
ruwatan massal yang diadakan oleh pihak pemerintah daerah, dapat
meringankan beban orangtua dari permintaan semacam itu.
Selain itu, permintaan yang sering diajukan pun terdengar
‘aneh’. Misalnya, seorang anak berambut gimbal yang meminta dua
buah ikan asin. Masyarakat Dieng percaya bahwa permintaan
tersebut bukanlah permintaan si anak, tapi permintaan mahluk lain
yang menjaga si anak berambut gimbal. Rambut gimbal yang telah
dipotong kemudian akan dilarung di sumber air yang ada di Dieng.
Tempat yang biasanya dijadikan tempat pelarungan adalah Telaga
Warna, Telaga Balaikambang, atau Sungai Serayu. Setelah melalui
prosesi ini, rambut gimbal pada anak tersebut tidak akan tumbuh
kembali.
Eki Satria
167 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 6. Prosesi pemotongan rambut yang diadakan di kompleks
Candi Arjuna
Gambar 7. Prosesi iring-iringan ruwatan
Gambar 8. Iringan sesaji yang akan di tempatkan di tempat yang
dianggap sakral.
Eki Satria
168 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 9. Barang permintaan anak berambut gimbal.
Gambar 10. Tarian Kuda Kepang.
Eki Satria
169 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 11. Sendang Sedayu dan Dharma sala tempat penyucian diri
sebelum prosesi pemotongan rambut.
Gambar 12. Prosesi pelarungan rambut gimbal yang sudah dipotong.
Gambar 13. Ruwatan massal yang menjadi daya tarik pariwisata di
Dieng
B. Kesimpulan
Fenomena ruwatan pemotong rambut gimbal di Dieng menjadi
bentuk budaya yang perlu dilestarikan dan dijadikan aset pariwisata
Eki Satria
170 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
budaya bagi masyarakat setempat dan pemerintah. Dari sisi
kepercayaan masyarakat Dieng tradisi ruwatan bertujuan untuk
meminta suatu berkat dan kemakmuran untuk desa dan anak gimbal
tersebut, tapi di sisi ekonomi dan seni pertunjukan acara ruwatan seperti
itu mendatangkan daya tarik tersendiri kepada wisatawan lokal maupun
mancanegara sehingga mendatangkan rejeki dan keuntungan kepada
masyarakat disana. Pemanfaatan potensi pariwisata budaya oleh
masyarakat Dieng (Dieng Culture Festival) dalam mempertahankan
identitas sosial pada tradisi ruwatan anak rambut gimbal di dataran
tinggi Dieng dengan cara berperan aktif dan melaksanakan tradisi
ruwatan rambut gimbal secara rutin. Pemerintah setempat memotivasi
masyarakat Dieng, berperan aktif mementaskan seni pertunjukan
kesenian daerah untuk mempertahankan kebudayaan daerah dan
mendukung dalam tradisi ruwatan anak rambut gimbal.
Daftar Pustaka
Brandon, 2003. Jejak-Jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara.
Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
Seni Tradisional UPI
Fajrin, 2009. Identitas Sosial Dalam Pelestarian Tradisi Ruwatan
Anak Rambut Gimbal Dieng Sebagai Peningkatan Potensi
Pariwisata Budaya (Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng,
Dieng Kulon Banjarnegara ). Surakarta : FKIP Universitas
Sebelas Maret
Horton, Paul. B & Chester L. Hunt, 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Imam Sutardjo, 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta : FSSR UNS
Eki Satria
171 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Inglis & Hughson, 2005. The Sociology of Art Ways of Seeing. London
: Palgrave Macmilan
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT
RINEKA CIPTA
Soedarsono, 2003. Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial,
dan Ekonomi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sunarti, 2005. Tradisi Upacara Ruwatan Anak Massal ( Studi Kasus Di
Kelurahan Kadilangu Kabupaten Demak). Semarang : FIS
UNNES
Svasek, 2007. Anthropology, Art and Cultural Production. London :
Pluto Press
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/anak-anak-rambut-
gimbal-di-dieng-titipan-kyai-kolo-dete
http://travel.kompas.com/read/2014/10/04/084500227/asal.muasal.leg
enda.rambut.gimbal
http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/kisah-ruwatan-potong-
rambut-7-anak-gimbal-di-pegunungan-dieng.html
https://hendsmountenerings.wordpress.com/tentang-rambut-gimbal-di-
dieng/