tradisi mappatabe dalam masyarakat bugis di …
TRANSCRIPT
1
TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN
TANRALILI KABUPATEN MAROS (ANALISIS IMPLEMENTASI
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP
PENGAMALAN SILA KEDUA PANCASILA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Jurusan Pen didikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Oleh :
Hasmawati
105431101316
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDIPENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
2020
2
ii
3
iii
4
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Hasmawati
Stambuk : 105431101316
Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas : Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Judul Skripsi : Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros (Analisis
Implementasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Terhadap
Sila Kedua Pancasila)
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim
penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau
dibuatkan oleh siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi
apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Agustus 2020
Yang Membuat Pernyataan
Hasmawati
iv
5
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SURAT PERJANJIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hasmawati
Stambuk : 105431101316
Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya
akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3 saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Agustus 2020
Yang Membuat Perjanjian
Hasmawati
v
6
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Teruslah Berusaha Berikan Usaha Sekuat Kemampuan
Biarkan Allah Yang Meneruskan Dan Menyempurnakan Setiap Usaha
Yang Kita LAKUKAN
Saya persembahkan karya ini untuk:
Orang tua saya tercinta Bapak Jamaluddin dan Ibu
Sania, ke lima saudara saya yang tersayang, serta
keluarga saya yang tiada hentinya selalu
mendoakan, memotivasi dan membimbing dengan
penuh kasih saying sampai terselesainya
penyusunan skripsi ini.
vi
7
ABSTRAK
Hasmawati 2020. Tradisi Mappatabe Dalam Masyarakat Bugis Di
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros (Analisis Implementasi Nilai-Nilai Kearifan
Lokal Terhadap Pengamalan Sila Kedua Pancasila) Mahasiswa Jurusan PPKn,
Fakultas keguruan dan ilmu pendidika, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesadaran masyarakat
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros terhadap tradisi mappatabe terhadap
pengamalan sila kedua pancasila untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan masyarakat di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros tidak
mengimplementasikan tradisi mappatabe.Jenis Penelitian ini yaitu penelitian
deskriptif kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah Mayarakat yang ada
dikecamatan tanralili, guru sekolah, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang
berjumlah 34 Informan, yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu
dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian kesadaran
masyarakat dalam mengimplementasikan tradisi mappatabe di Kecamatan
Tanralili Kabupaten Maros perlahan-lahan mulai hilang di kalangan masyarakat.
Hal ini terbukti dari tingkah laku dan sopan santun seorang saat berinteraksi
dengan kedua orang tuanya dan orang-orang di sekitarnya, dapat dilihat lebih
banyak anak usia dini yang tidak mengimplementasikan tradisi mappatabe
ketimbang orang tua saat ini yang sudah menjadi tradisi sejak dulu. Faktor-faktor
yang menyebabkan masyarakat di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros
meninggalkan tradisi mappatabe karena kurangnya didikan dari orang tua, akibat
pergaulan, dan lebih banyak anak-anak sekarang ini yang lebih sering
meggunakan sapaan gaul.
Kata Kunci : Tradisi Mappatabe, Kearifan Lokal, Sila Kedua Pancasila.
vii
8
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini
dengan baik, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana
pendidikan. Sholawat serta salam tetap tercurah kepada keharibaan pemimpin
sang Ilahi Rabbi Nabi Besar Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati, Sosok
pemimpin yang terpercaya, jujur, dan berakhlak karimah yang telah bersusah
payah mengeluarkan manusia dari kungkungan kebiadaban, sehingga sampai saat
ini manusia mampu memposisikan diri sebagai warga negara yang senantiasa
beriman dan bertaqwa dijalan Allah SWT.
Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah melibatkan berbagai pihak
sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik, meskipun terdapat hambatan dan
kesulitan yang dihadapi dalam penyusunan skripsi ini, namun atas dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak sehingga semua dapat terselesikan dengan baik.
Untuk itu dengan hati yang tulus penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan tak terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda
Jamaluddin dan Ibunda Sania yang telah mengasuh dan membesarkan dengan
penuh kasih sayang, serta memberikan bantuan moril dan materil. Beliau telah
banyak memberikan doa, nasehat, dorongan dan semangat, begitupun dengan
kakak kakakku dan adikku ST. Nurhalisa yang selalu menjadi penyemangat dan
menjadi motivasi tersendiri buat penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
viii
9
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Begitu pula penghargaan
yang setinggi-tingginya dan terima kasih banyak disampaikan dengan hormat
kepada :
1. Ucapan terima kasih pula yang tak terhingga kepada kedua orangtua saya
yang sangat banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan
selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh
pendidikan.
2. Prof. Dr. H. Abd Rahman Rahim, SE.,MM., Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar.
3. Dr. Erwin Akib, M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Dr. Muhajir M.Pd., Ketua Prodi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
5. Dr. Muhajir M.Pd., dan Dra. Jumiati Nur. M.Pd ,dosen pembimbing 1 Dan
dosen pembimbing 2 yang telah memberikan kritik dan saran yang
senantiasa menjadi arah dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini
6. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan khususnya kelas PPKn 16A yang telah banyak
memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti
perkuliahan maupun dalam penulisan proposal ini.
10
7. Para dosen pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang tidak bisa saya sebut satu persatu, terima kasih
atas didikan dan ilmu yang diberikan selama perkuliahan.
8. Seluruh staf tata usaha pada lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
9. Seluruh informasn masyarakat di Kecamatan Tanralili yang bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan banyak informasi yang sangat
bermanfaat kepada penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
Akhir kata, penulis mengucapkan permohonan maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafan. Terima kasih, Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi
Wabaraktuh.
Makassar, Agustus 2020
Hasmawati
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ....................................................................................... v
MOTTO ............................................................................................................... vi
ABSTRAK............................................................................................................vii
KATA PENGANTAR.........................................................................................viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ .ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................. ............ 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. ....... 5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. ......... 5
D. Manfaat Penulisan.............................................................................. ....... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .......................................................................................... 7
1. Tradisi Mappatabe .............................................................................. 7
2. Kerifan Lokal ...................................................................................... 12
3. Sila Kedua Pancasila ........................................................................... 17
B. Kerangka Pikir .......................................................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 26
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 26
C. Data dan Sumber Data .............................................................................. 27
D. Instrumen Penelitian.................................................................................. 27
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 28
F. Teknik Analisis Data ................................................................................. 29
12
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian....................................................................... 33
B. Deskripsi Informan.................................................................................... 44
C. Hasil Penelitian ......................................................................................... 46
D. Pembahasan ............................................................................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 64
B. Saran .......................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki beragam
budaya atau tradisi. Indonesia memiliki letak sangat trategis dan tanah dengan
kekayaan alam yang melimpah. Pengalaman masa lampau menempatkan
Indonesia sebagai wilayah yang menjadi sumber perekonomian yang ada di Asia
Tenggara dan dunia yang menyebabkan banyak penduduk dari Negara lain yang
datang ke Indonesia (Sutardi, 2016: 9).
Salah satu keunikan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain adalah
keanekaragaman suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat sedikitnya terdapat 633 kelompok suku besar di
Indonesia pada tahun 2013, jika diperinci hingga tingkat subsuku, angka ini
membesar menjadi 1331 kelompok. Setiap kelompok suku memiliki
kebudayaannya masing-masing sehingga kondisi ini berdampak pada keragaman
budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik,
kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi hilang tergerus zaman. Ancaman
pengklaiman aset budaya oleh pihak lain pun kerap mengintai (Kartini, 2016).
Budaya merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi tindakan,
perbuatan, tingkah laku dan hasil karyanya yang dapat dipelajari, kebudayaan
merupakan hal yang kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, hukum adat
istiadat, dan kemampuan lainnya serta kebiasaan yang dapat dilakukan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Pongsibanne, 2017: 8. Istilah kebudayaan
yang banyak dipakai saat ini yang pertama mengenai perkembangan intelektual,
1
1
14
spiritual, dan estetika individu, kelompok atau masyarakat. Kedua menangkap
sejumlah aktivitas intelektual dan artistik serta produk-produknya seperti film,
kesenian, dan teater. Ketiga mengenai seluruh cara hidup, aktivitas, kepercayaan,
dan kebiasaan seseorang (Sutrisno, 2014: 258).
Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnik yakni Bugis, Makassar, Toraja,
dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki ragam budaya dan tradisi
berbeda, meskipun cenderung memiliki kesamaan tertentu. Suku Bugis-Makassar,
yang memiliki berbagai suku dan bahasa, Masyarakat Bugis merupakan salah satu
suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku
Bugis yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Proto, berasal dari kata To Ugi,
yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina
Kebudayaan Bugis Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah
selatan dari pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan suatu provinsi Sulawesi
Selatan yang sekarang terdiri dari 23 kabupaten. Secara garis besar penduduk
provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu, Bugis, Makassar,
Toraja dan Mandar. Bugis Makassar mengenal dua Sistem kategori
kemasyarakatan yang pertama, Ana‟Karaeng yaitu lapisan masyarakat yang
berasal dari kaum raja-raja. Kedua, Tu-mara-deka, yaitu lapisan masyarakat yang
terdiri dari orang-orang merdeka, yang sebagian besar dari Sulawesi Selatan
(Pongsibanne, 2017: 32).
Banyak kebudayaan Sulawesi Selatan yang kini mulai hilang dalam
masyarakat Bugis, khususnya Kota Makassar. Pengetahuan mendalam tentang
prinsip-prinsip kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk
tatanan sosial seperti tradisi budaya Tabe‟. Tabe (permisi) merupakan budaya
2
15
yang sangat indah yang ditinggalkan oleh leluhur, yang mewariskan sopan santun
yang tidak hanya melalui ucapan tetapi juga dengan gerak, budaya gotong royong
dan saling menghargai juga sudah mulai hilang dikalangan masyarakat. Tabe‟
salah satu bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang bugis dalam
menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan orang tua,
maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang menyangkut
tentang perilaku ataupun sopan santun manusia. Sikap itu perlu dijaga karena
tidak hanya diperuntukkan kepada yang muda melakukan pada yang lebih tua
tetapi juga sebaliknya (Jamaluddin, 2016).
Realita budaya tabe‟ perlahan-lahan telah luntur dalam masyarakat,
khususnya pada kalangan anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki sikap
tabe‟ dalam dirinya. Mungkin karena orangtua mereka tidak mengajarkannya atau
memang karena kontaminasi budaya Barat yang menghilangkan budaya tabe‟ ini.
Mereka tidak lagi menghargai orang yang lebih tua dari mereka. Sopan santun itu
jika digunakan akan mempererat rasa persaudaraan dan mencegah banyak
keributan serta pertengkaran. Budaya pakkaraengan atau budaya tabe kini
perlahan-lahan mulai hilang ditimbulkan dari kurangnya pengenalan.
Tata krama ataupun sopan santun hendaknya tidak hilang dalam diri
manusia.Orang yang sopan akan disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, sangat
penting mengajarkan budaya tabe melalui pola asuhan keluarga, sekolah dan
lingkungan bermain. Karena sopan santun itu tidak mahal, tidak mengeluarkan
banyak biaya. Misal seorang kakak, ajarkan kepada adiknya untuk berbuat sopan
santun kepada kedua orang tua maupun kerabatnya. Selain itu, tabe juga
merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang
3
16
bugis dalam menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan
orang tua, maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang
menyangkut tentang hal perilaku ataupun sopan santun manusia.
Puluhan bahkan ratusan budaya terdapat dalam satu negara Indonesia, dan
salah satunya, yaitu buday sulawesi selatan dan terkhusus budaya yang ada di
Kabupaten Maros. Kabupaten Maros selain menjadi perlintasan dari Makassar ke
Toraja, juga merupakan daerah peralihan dan pertemuan dari dua kebudayaan dari
wtnis bugis dan Makassar. Budaya masyarakat maros diwarnai oleh budaya bugis
dan Makssar itu sendiri, yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal
perpaduan atau akulturasi yang memunculkan kekhasan budaya baru. Di desa
kurusumange kecamatan Tanralili Kabupaten Maros terdapat penggunaan tutur
bahasa yang mana begitu berbeda dengan bahasa bugis, dan baghasa Makassar.
Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa perpaduan
antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang dilatarbelakangi dan
diwarnai dua etnis besar Makassar dan bugis. Kedua etnis ini telah membentuk
watak dan karakteristik masyarakat kabupaten Maros yang mudah berinteraksi
terhadap masyarkat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Kekayaan budaya
kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian dari
kekegiatan parawisa karena buday dan pariwisata adalah suatu bagian yang tidak
tidak dapat di pisahkan.
Salah satu desa yang ada di Kabupaten Maros adalah Kecamatan
Tanralili adalah nama sebuah kecamatan yang berada di wilayah kabupaten
Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibukota kecamatan ini berada di
Ammarang dengan jarak 10 km dari kota Turikale yang merupakan ibu kota dan
4
17
pusat pemerintahan Kabupaten Maros. Kecamatan Tanralili kala itu dibentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1992 Pasal 7 dari hasil
pemekaran wilayah Kecamatan Mandai. Pembentukan wilayah Kecamatan
Tanralili dimulai pada tanggal 23 Mei 1992 dengan membawahi 8 desa.
Masyarakat Kecamatan Tanralili hubungan kekerabatan merupakan aspek
utama, baik dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu
struktur dasar dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang
prinsipprinsip kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk
tatanan sosial mereka. Seperti tradisi budaya Tabe. Tabe merupakan budaya yang
sangat indah yang ditinggalkan oleh leluhur di Kecamatan Tanralili, yang
mewariskansopan santun yang tidak hanya melalui ucapan tetapi juga dengan
gerak. Bagaimanapun itu, hal ini perlu tetap dijaga karena tidak hanya
diperuntukkan kepada yang muda melakukan ke yang lebih tua tetapi juga
sebaliknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dari
penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?
2. Bagaimana Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe
dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian ini
sebagai berikut.
5
18
1. Untuk mengetahui Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?
2. Untuk mengetahui Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe
dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai barikut.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dai penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Tanralili Kabupaten Maros
2. Manfaat Praktis
a. Penulis
Hasil penelitan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman langsung mengenai Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat
Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
b. Masyarakat dan pembaca
Hasil dari penelitian ini diharapkan masyarakat dan pembaca
mendapatkan informasi serta pengetahuan tentang Tradisi Mappatabe
dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
c. Pemerintah
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
masukan mengenai Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
6
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Tradisi Mappatabe
a. Pengertian Tradisi Mappatabe
Menurut Aab, 2018 Tradisi atau kebiasaan merupakan sesuatu yang telah
dijalank an untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
atau masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi kegenerasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena
tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Tradisi berasal dari kata traditium
pada dasarnya berarti semua sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi adalah
hasil cipta serta karya manusia objek material, keyakinan, imajinasi, insiden, atau
lembaga yang di wariskan dari sesuatu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti
contohnya adat-istiadat, kesenian dan properti yang dipakai. Sesuatu yang di
wariskan tidak berarti harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai
mati.
(Rahayu, 2018). Menjelaskan bahwa mappatabe merupakan suatu adat
yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Suku
Bugis. Adat ini merupakan suatu perilaku yang menunjukkan sikap penghormatan
kita kepada orang yang lebih tua. Jika dilihat dari segi pelaksanaannya, adat ini
memang cukup sederhana dan terlihat sepele karena kita cukup mengucapkan kata
Tabe sambil diikuti oleh gerakan tangan kanan yang mengarah ke tanah. Akan
7
1
20
tetapi, jika dilihat dari segi maknanya, adat Mappatabe ini memiliki makna yang
cukup mendalam. Pertama, kata Tabe merupakan simbol dari upaya menghargai
dan menghormati siapapun orang yang ada dihadapan kita, kita tidak boleh
berbuat sekehendak hati. Kedua, adat Mappatabe' merupakan perwujudan dari
sikap Taro Ada Taro Gau, yaitu keselarasan antara perkataan dan perbuatan.
Keselarasan antara kata Tabe yang diucapkan dan gerakan tubuh (tangan kanan)
yang dilakukan.
Tradisi mappatabe biasanya dikenal dengan kata permisi seperti yang di
uangkapkan oleh (Pratiwi 2017). Mengatakan bahwah Trasisi mappatabe
merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat bugis yang
menggambarkan adat sopan santun atau tingkah laku yang berarti “permisi”.
Sebagai gambaran, tradisi ini dilakukan untuk memberikan rasa hormat terhadap
orang yang lebih tua, misalnya ketika berjalan di depan orang tua, maka
diucapkanlah kata “tabe” sebagai permintaan maaf dibarengi dengan sikap tunduk
dan menggerakkan tangan ke bawah bahkan hingga badan membungkuk. Perilaku
seperti itulah yang dijadikan sebagai salah satu indikator oleh masyarakat Bugis
sehingga seorang anak dikatakan memiliki sopan santun.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mappatabe Pembangunan
insan yang berbudaya dan bermoral dapat dikembangkan melalui pelestarian nilai-
nilai luhur dalam budaya tabe. Adapun nilai-nilai luhuryang terkandung dalam
budaya tabe adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut :
1. Sipakatau: mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga
diartikan sebagai rasa kepedulian sesame.
2. Sipakalebbi: sikap hormat terhadap sesama, senantiasa memperlakukan orang
dengan baik. Budaya tabe menunjukkan bahwa yang ditabe‟ki dan yang
men‟tabe adalah sama-sama tau (orang) yang dipakalebbi.
3. Sipakainge: tuntunan bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan.
8
21
Demikianlah kearifan lokal masyarakat masyarakat bugis, Sangat
sederhana memang, namun memiliki makna yang mendalam agar kita saling
menghormati dan tidak mengganggu satu sama lainnya. Daerah-daerah lainnya di
Indonesia juga memiliki budaya yang serupa. Budaya luhur dan kearifan lokal
seperti ini sangat perlu dilestarikan baik dengan mengajarkannya kepada anak-
anak dan generasi muda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan akan menjadi
jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan nilai-nilai luhur
(Rahim, 2010: 21).
Merosotnya suatu budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas
budaya tersebut dalam penerapannya di setiap perkembangan zaman. Tradisi
mappatabe ini merupakan tradisi yang cukup fleksibel, artinya dalam
pengimplementasiannya bersifat bebas karena menyangkut tentang tata krama,
sehingga dapat dikatakanm bahwa kemerosotan yang mulai terjadi
tradisi mappatabe‟ merupakan salah satu efek dari pengaruh modernisasi.
Pengaruh tersebut memberi dampak terhadap penurunan kesadaran masyarakat
dalam membudayakan tradisinya sendiri. Kepunahan yang mulai terjadi pada
tradisi mappatabe ini sangat mudah diamati dengan melihat kebiasaan anak dalam
berbicara dan bertingkah laku. Beberapa di antara masyarakat bugis telah banyak
yang meremehkan budaya tersebut dan tanpa mereka sadari budaya tersebut
mengandung banyak nilai positif jika diajarkan pada anak-anak yang kelak akan
menjadi generasi pelanjut.
Sikap tabe dilakukan dengan melihat pada orang-orang yang dilewati lalu
memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan sambil sedikit menundukkan
badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Sikap tabe dimaksudkan sebagai
9
22
penghormatan kepada orang lain yang mungkin saja akan terganggu akibat
perbuatan kita meskipun kita tidak bermaksud demikian. Mereka yang mengerti
tentang nilai luhur dalam budaya tabe ini biasanya juga akan langsung merespon
dengan memberikan ruang seperti menarik kaki yang bisa saja akan menghalangi
atau bahkan terinjak orang yang lewat, membalas senyuman, memberikan
anggukan hingga memberikan jawaban “ye, de‟ megaga” (bahasa bugis) atau
dapat diartikan sebagai “iya tidak apa-apa” atau “silahkan lewat”.Sekilas sikap
tabe terlihat sepele, namun hal ini sangat penting dalam tata krama masyarakat di
daerah Sulawesi Selatan khususnya pada Suku Bugis. Sikap tabe dapat
memunculkan rasa keakraban meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu atau
tidak saling kenal. Apabila ada yang melewati orang lain yang sedang duduk
sejajar tanpa sikap tabe maka yang bersangkutan akan dianggap tidak mengerti
adat sopan santun atau tata krama (Mattulad, 2009: 21).
b. Implementasi Tabe Sebagai Tata Krama Masyarakat Bugis
Menerapkan budaya tabe dengan implementasi makna konseptual yaitu,
tidak menyeret sandal atau menghentakkan kaki, tetapi dengan mengucapkan
salam atau menyapa dengan sopan, juga bahwa sikap tabe adalah permohonan
untuk melintas. Tabe mengoptimasi untuk tidak berkacak pinggang, dan tidak usil
mengganggu orang lain. Tabe berakar sangat kuat sebagai etika dalam tradisi atau
sama halnya seperti pelajaran dalam hidup yang didasarkan pada akal sehat dan
rasa hormaat terhadap sesama.
Tradisi tabe adalah bahasa adat kesopanan/perilaku yang berarti permisi,
yakni kata sapaan yang sifatnya lebih halus umumnya diucapkan ketika lewat di
depan orang, khususnya orang yang kita hormati, teman, sahabat, orang tua, atau
10
23
siapa saja yang kita hormati. Mengucapkannya sambil menatap dengan ramah
kepada orang di depan kita, menundukkan kepala sedikit dan menurunkan tangan
kanan. Memperlihatkan Budaya tabe‟ sesunggunya sangat tepat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dalam mendidik anak dengan cara mengajarkan
hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan
tabe‟(permisi) sambil
c. Tradisi Tabe’dalam konteks Islam
Tabe yang artinyaa meminta permisi kepada orang lain, atau yang dikenal
dengan tradisi kesopanana dalam masyarakat bugis. Dalam pandangan Islam
kesopanan adalah slah satu perbuatan yang mulian dimata Allah dan manusia
dalam berinteraksi pada lingkungan, seperti etika berbicar berjalan, etika meminta
izin, etika berkumpul.
Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah
lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun
jika berada depan Imam Malik layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para
Sahabat Nabi shallahu „alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita
dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut, mereka tidak pernah
memotog ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin
khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan
Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar
suara Umar jika berbicara. Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu „anhu.
d. Tabe Sebagai Pola Asuhan
Pola berarti corak, model, atau cara kerja, sedangkan asuh berarti menjaga,
mendidik, membimbing dan memimpin. Jadi pola asuhan dalam budaya tabe
11
24
adalah pengasuhan dengan menampilkan orang tua sebagai model yang
menghargai, menghormati, dan mengingatkakan, memimpin sesuai dengan
budaya tabe yaitu sopan mendidik anak, sehingga mencertak anak yang
berkarakter sopan pula. Sebenarnya, budaya tabe‟ berperan besar dalam
pembentukan karakter anak dalam perkembangan sifat santun dan hormat. Oleh
karena mangaktualkan sikap tabe‟ ini dalam menghormati orang yang lebih tua
demi nilai etika dan budaya yang harus diingat. Sebab tabe‟ merupakan sejenis
kecerdasan sikap yang memungkinkan terbentuknya nilai-nilai luhur bangsa atas
anak didik atau generasi muda (Rahim, 2010).
2. Kearifan Lokal
a. Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal secara epistemologi terdiri dari dua kata yaitu kearifan
(wisdom) yang berarti kebijaksanaan dan lokal (local) berarti
setempat. Local wisdom dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai,
pandanganpandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Rosidi (2011 hlm 29) Istilah kearifan lokal adalah terjemahan dari “local
genius” yang pertama kali diperkenalkan Quaritch Wales tahun 1948-1949 yang
mengandung arti “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh
kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan.
Budaya lokal biasa pula diistilahkan sebagai kearifan lokal, sebuah istilah
yang sudah lama, namun istilah kearifan lokal dalam dekade belakangan ini
sangat banyak didiskusikan, baik dikalangan akademisi maupun dikalangan
birokrasi. Istilah ini menjadi lebih populer kembali bersamaan dengan penerapan
12
25
otonomi daerah di era reformasi yang ingin mengangkat kembali prinsip-prinsip
hidup, nasihat, tatanan sosial dan norma-norma sosial budaya/adat serta prilaku
sosial yang ada atau berlaku disetiap daerah masing-masing di Indonesia pada
umumnya khusunya dikalangan masyarakat muslim (Permana, 2002: 1).
Kearifan lokal adalah segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh
nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga
keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama (secara turun temurun)
oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang menjadi
tempat tinggal mereka. Hal tersebut dapat terwujud dalam bentuk seperti pola
pikir masyarakat yang berbudi pekerti baik, perasaan mendalam tanah kelahiran,
bentuk peragai atau tabiat msyarakat kebanyakan pada daerah tertentu yang akan
tetap melekat dan dibawa saat berbaur dengan kelompok masyarakat yang
berbeda dan keinginan besar untuk tetap menjalankan adat atau tradisi yang telah
lama diikuti secara turun menurun. Kearifan lokal tumbuh dan menjadi bagian
dari kebudayaan masyarakat itu sendiri, dimana beberapa hal akan berperan
penting dalam perkembangannya, diantaranya bahasa, agama, kesenian, taraf
pendidikan masyarat dan perkembangan teknologi (Akbar, 2017).
Kearifan lokal mrupakan suatau bentuk warisan budaya indonesia yang
telah berkembang sejak lama. Keraifan lokal dari pemikiran dan nilai yang
diyakini suatu masyarat terhadap alam dan lingkungannya. Didalam kearifan lokal
terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan dan ide-ide masyarakat
setempat. Kearifan Lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarat
setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal disetiap daerah
berbeda-beda berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
13
26
Masyarakat memiliki sudut pandang tersendiri terhadap alam lingkungannya
masyarakat mengembangkan cara-cara tesendiri untuk memelihara keseimbangan
alam dan lingkungan. Dewasa ini kearifan lokal menghadapi tantangan-tantangan
yang mengancam keberadaan dan kelestariannya yang telah terbentuk sejak lama
kini mulai terkikis seiring berkembangnya teknologi (Rapanna, 2016: 5-6).
Kearifan Lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan
menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Bentuk-bentuk
Kearifan Lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma,
kepercayaan dan aturan aturan khusus dapat dipahami sebagai pengetahuan
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mencakup di dalamnya
sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkaitan dengan model-model
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam secara lestari (Purwanto, 2017).
Kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassard iadopsi dari Lontara yang
memuat berbagai nasihat, prinsip, aturan/norma dan pedoman hidup dalam
bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai pendidikan, kepemimpinan, kejujuran
dan etoskerja. Kearifan lokal terdapat wasiat orang terdahulu khusunya orang
yang dituankanyang dapat dijadikan sarana untuk betingkah laku dalam
kehidupan. Di dalamnya banyak terkandung falsafah hidup untuk dipatuhi agar
manusia terhindar dari kebodohan, keserakahan, kemiskinan, dan keburukan.
Selain dari itu budaya dapat bersinergi dan relevan dengan ajaran Islam (Sapri,
2016).
Terbentuknya keraifan lokal dimulai sejak masyarakat belum mengenal
tulisan dan sejak manusia mulai melakukan interaksi dengan sesamanya atau
14
27
dengan lingkungan alam. Wujud kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat pada
suatu daerah atau komunitas dapat berwujud suatu perkataan pesan dan nasehat,
tindakan perbuatan dan perilaku, tulisan dan benda buatan manusia. Kearifan
lokal memiliki banyak fungsi yaitu: 1. Berfungsi untuk konservasi dan
peningkatan sumber daya alam, 2. Berfungsi untuk pengembangan dan
peningkatan sumber daya manusia 3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan
dan ilmu pengetahuan 4. Bermakna etika, moral dan politik (Martawijaya, 2016:
72).
b. Ciri-ciri Kearifan Lokal
Adapun ciri-ciri kearifan lokal adalah sebagai berikut:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli,
4. mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada
perkembangan budaya.
Kearifan lokal suatu pengetahuan yang secara eksplisit muncul dari
periode panjang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam
sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu
panjang dan melekat dalam masyarakat dapat dijadikan kearifan lokal sebagai
sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup
bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak
sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu
mendominasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
15
28
c. Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Dalam kearifan lokal memiliki berbagai nilai yang terkandung di
dalammya menurut (Widyanti, 2015). Nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku
dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi
acuan dalam bertingkah laku seharihari masyarakat setempat. Karena itu, sangat
beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti
kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan
pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan
dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Masyarakat pada dasarnya tidak dapatdilepaskan dari nilai-nilai tradisi
danbudaya yang turun dari generasi satu kegenarasi seterusnya. Menurut
(Yustisia, 2013). Mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yangsangat
menentukan harkat dan martabatmanusia dalam komunitasnya. Oleh karena itu
nilai-nilai tradisi yang adapada masyarakat terserabut dari akar budaya lokal,
maka masyarakat tersebutakan kehilangan identitas dan jati dirinya, sekaligus
kehilangan pula rasa kebanggaandan rasa memilikinya. Betapa
besarnyakedudukan dari nilai-nilai kearifan lokal, peran dan fungsi kearifan lokal
adalah: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, (2)
pengembangan sumber daya manusia, (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, (4) sebagai kepercayaan dan pantangan,(5) sebagai sarana mebentuk
membangunintregrasi komunal, (6) sebagai landasaanetika dan moral, (7) fungsi
politik.
16
29
d. Kearifan Lokal Dalam Konteks Pembentukan Karakter Bangsa
Dalam pembentukan karakter bangsa dapat melalui dengan kearifan lokal
menurut (Marpaun, 2013). kearifan lokal yang ada di Indonesia dalam konteks
pembentukan karakter bangsa. Kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya,
beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini
umumnya dapat dijumpai dalam adat Istilah inilah yang menjadi dasar dari
kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di
seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep sendiri pula.
Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah kuala.
Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan
syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut
dideskripsikan konsep kearifan lokal sebagai berikut:
1. Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu,
menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut-kemudian pelaksanaannya
diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka.
2. Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur
atau cepat menjadi adat.
3. Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak
diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan
raja, dan pemakaman raja.
3. Sila Kedua Pancasila
Pengertian sila kedua Pancasila dijelaskan oleh (Setiawan, 2019). ialah
sebagai dasar negara sering juga disebut dengan dasar falsafah negara (dasar
filsafat negara atau philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara
17
30
(staatsidee). Dalam hal tersebut Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk
mengatur pemerintahan negara. Sejak kelahirannya 01 Juni 1945 Pancasila adalah
Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai
Dasar Negara (Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat
Soekarno diminta ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara didepan
sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni
1945, menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai
dengan permintaan ketua. Menurut Soekarno, pembicaraan-pembicaraan
terdahulu belum menyampaikan dasar Indonesia Merdeka.
Pancasila sebagai ideologi membangkitkan keyakinan ideologis dan
sebagai dasar negara membangun keyakinan konstitusi. Seperti yang dijelaskan
oleh (Dieben, 2019). Pancasila harus dikembangkan sebagai ideologi terapan
karena pada hakikatnya Pancasila merupakan ideologi terbuka. Sebagai ideologi
terbuka, Pancasila harus senantiasa mampu berinteraksi secara dinamis. Nilai-nilai
Pancasila tidak boleh berubah, namun pelaksanaannya harus kita sesuaikan
dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang selalu akan kita hadapi dalam setiap
kurun waktu. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia haruslah menjadi sebuah
acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai tantangan
dan ancaman dalam menjalankan ideologi Pancasila juga tidak mampu untuk
menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Menurut (Dewantara, 2017: 10-11). Filsafat Pancasila merupakan bagian
dari Filsafat Timur (karena Indonesia kerap digolongkan sebagai Negara yang ada
di belahan dunia bagian timur). Sebenarnya, ada banyak nilai ketimuran yang
termuat dalam Pancasila, misalnya soal pengakuan akan adanya Tuhan,
18
31
kerakyatan, keadilan yang diidentikkan dengan paham mengenai „ratu adil‟ dan
seterusnya. Pancasila juga memuat paham-paham Barat, seperti: kemanusiaan,
demokrasi, dan seterusnya. Sebagai sistem filsafat, Pancasila ternyata juga harus
tunduk pada formulasi Barat yang sudah mapan sejak dulu. Jika Pancasila mau
dipertanggungjawabkan secara sahih, logis, koheren, dan sistematis, maka di
dalamnya harus memuat kaidah-kaidah filosofis. Pancasila harus memuat juga
dimensi metafisis (ontologis), epistemologis, dan aksiologis.
1. Secara Ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai
upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut
Notonagoro, hakikat dasar antologi Pancasila adalah manusia, karena
manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila Pancasila.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan
lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat
dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu
sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta
kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus
juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, Pancasila dijadikan dasar
negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi
oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan kodrat manusia yang monodualis
tersebut.
2. Kajian Epistemologi Filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini
dimungkinkan adanya karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang
membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian
19
32
epistemologi Pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan dengan
konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai suatu paham epistemologi,
Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan
suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,
Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam
membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.
3. Ketiga, kajian aksiologis Filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas
tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan mengenai Pancasila. Hal
ini disebabkan karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar yang terkandung di
dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Aksiologi Pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang
filsafat nilai Pancasila. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia
itulah yang mengakui, menghargai, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang
bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku
dan perbuatan bangsa Indonesia.
Sila kedua adalah kemanusian yang adil dan beradap artinya
hubungan manusia dengan manusia. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang paling sempurna, lebih sempurna dari ciptaan Tuhan lainnya di muka
20
33
bumi. Terdapat empat tingkatan ciptaan Tuhan yang memperlihatkan
keberadaan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Pada tingkat
pertama, Tuhan menciptakan benda mati (tanah, batu, pasir, air dll), yang
hanya mempunyai wujud. Tingkat kedua, diciptakannya tumbuhan (flora)
yang memiliki wujud dan kehidupan. Tingkat ketiga, diciptakannya hewan
yang memiliki wujud, kehidupan dan insting. Pada tingkat keempat, tuhan
menciptakan manusia dari tanah yang memiliki wujud, kehidupan, insting
dan akal (Roza, dkk, 2016: 12).
Adapun makna dari pancasila sila kedua adalah Mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mengakui persamaan derajat, persamaan
hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,
keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit
dan sebagainya. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Berani membela
kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.
Adapun hubungan butir kedua pancasila dengan kebudayaan masyarakat di
Indonesia menurut (Puspita, 2017). Pengamalan dari sila kedua pancasila adalah
sebagai berikut:
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia. Butir ini menghendaki bahwa setiap manusia mempunyai
21
34
martabat, sehingga tidak boleh melecehkan manusia yang lain, atau
menghalangi manusia lain untuk hidup secara layak, serta menghormati
kepunyaan atau milik (harta, sifat dan karakter) orang lain.
2. Saling mencintai sesama manusia. Kata cinta menghendaki adanya suatu
keinginan yang sangat besar untuk memperoleh sesuatu dan rasa untuk
memiliki dan kalau perlu pengorbanan untuk mempertahankannya. Dengan
perasaan cinta pula manusia dapat mempergiat hubungan social seperti
kerjasama, gotong royong, dan solidaritas. Dengan rasa cinta kasih itu pula
orang akan berbuat ikhlas, saling membesarkan hati, saling berlaku setia dan
jujur, saling menghargai harkat dan derajat satu sama lain.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa. Sikap ini menghendaki adanya usaha
dan kemauan dari setiap manusia Indonesia untuk menghargai dan
menghormati perasaan orang lain. Harusnya dalam bertingkah laku baik lisan
maupun perbuatan kepada orang lain, hendaknya diukur dengan diri kita
sendiri.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain. Semena-mena berarti sewenang-
wenang, berat sebelah, dan tidak berimbang. Oleh sebab itu butir ini
menghendaki, perilaku setiap manusia terhadap orang tidak boleh sewenang-
wenang, harus menjunjung tinggi hak dan kewajiban.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Setiap warga Negara harus menjunjung
tinggi dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dengan baik, seperti:
Mengakui adanya masyarakat yang bersifat majemuk. Melakukan
musyawarah dengan dasar kesadaran dan melakukan sesuatu dengan
pertimbangan moral dan ketentuan agama. Melakukan sesuatu dengan jujur
dan kompetisi yang sehat.
4. Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu)
Pada beberapa karya ilmiah maupun skripsi yang terkait dengan judul
penelitian ini akan menjadi referensi antara lain :
1. Hendra, mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi dengan judul penelitian.
‟Badik/Kawali dalam Budaya Bugis (Analisis Semiotika terhadap Budaya
Masyarakat Desa Watang Padacenga Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten
Bone).
2. Asri Maulida, judul penelitian „‟Tradisi Beteken dalam Acara Molong
Malik”. Penelitian ini menganalisis makna dan fungsi yang terkandung di
dalam tradisi tersebut, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif
22
35
kualitatif dengan proses analisis data menggunakan pendekatan fenomenologi
yang memfokuskan untuk menganalisis suatu konsep.
3. Ervina, judul penelitian “Pola Pewarisan Nilai Budaya Lokal dalam
Pembentukan Anak di Desa Madello, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru‟.
Penelitian ini menganalisis tentang pola-pola pewarisan nilai budaya local
pada masyarakat bugis dalam membentuk karakter anak. Jenis penelitian
yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan proses analisis data
menggunakan pendekatan fenomenologi yang memfokuskan untuk
menganalisis suatu konsep.
Penelitian yang berjudul „‟Tradisi tabe‟dalam Komunikasi Non verbal
(dalam Budaya Bugis) sebagai pembeda dari penelitian diatas dengan
menganalisis makna tradisi tabe, tentang bagaimana filosofi budaya tabe dan nilai
– nilai yang terkandung dalam budaya tabe.
Tabel. Perbandingan Penelitian Terdahulu
No Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Perbedaan Persamaan
1. Hendra,
2010
Badik/Kawali
dalam Budaya
Bugis
1. Menganalis
makna dengan
menggunakan
konsep semiotika
Umberto Eco
2. Mengkaji Nilai
Perilaku
Penelitian
Kualitatif
2. Asri Tradisi 1. Menganalisis 1. Menggunakan
23
36
Maulinda,
2011
Beteken dalam
Upacara
Molang Malik
makna dengan
menggunakan
konsep Mitologi
2. Mengkaji Nilai
Tradis
pendekatan
Fenomenologi
2. Penelitian
Kualitatif
3. Ervina,
2010
Pola Pewarisa
Nilai Budaya
Lokal dalam
Pembentukan
Anak di Desa
Madello,
Kecamatan
Balusu,
Menganalisis pola-
pola pewarisan
nilai budaya lokal
pada masyarakat
Bugis dalam
membentuk
karakter anak.
1. Menggunaka
n pendekatan
Fenomenolo
gi
2. Deskriptif
Kualitatif.
4. Jamaluddin,
2016
Tradisi
Mappatabe
dalam
Masyarakat
Bugis di Kab
Sinjai
Menganalilis
Tradisi Mappatabe
pada Masyarakat
Penelitian
Kualitatif
5. Nining
Kurniati
Akhmad,
2019
Tradisi
Mappatabe
dalam Nilai-
Nilai
Pendidikan
1. Menganilis
tardisi
mappatabe
dalam
lingkungan
Metode
penelitian
kualitatif dengan
pendekatan
deskriptif
24
37
Sumber: Data Olahan Peneliti, 2019
B. Kerangka Pikir
Untuk mempermudah sesuatu penelitian perlu dibut kerangka pikir
atau konsep dengan tujuan membuat arah penelitian lebih jelas. Tradisi
budaya Mappatabe‟. Tabe (permisi) merupakan budaya yang sangat indah
yang ditinggalkan oleh leluhur, yang mewariskan sopan santun yang tidak
hanya melalui ucapan tetapi juga dengan gerak, budaya gotong royong dan
saling menghargai juga sudah mulai hilang dikalangan masyarakat. Tabe‟
salah satu bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang bugis
dalam menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan orang
Islam Pada
Masyarakat
Bugis
pendidikan
2. Mengkaji Nilai
Tradis dalam
pendidikan
Islam
6. Husnawati,
2018
Makna
Simbolik
tradisi
mappatabe
masyarakat
bugis
dikecamatan
kejuara kab.
Bone
Menganalisis
Makna simbolik
Tradisi
Mappatabe
Deskriptif
Kualitatif
25
38
tua, maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang
menyangkut tentang perilaku ataupun sopan santun manusia. Sikap itu perlu
dijaga karena tidak hanya diperuntukkan kepada yang muda melakukan pada
yang lebih tua tetapi juga sebaliknya.
Realita budaya tabe‟ perlahan-lahan telah luntur dalam masyarakat,
khususnya pada kalangan anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki
sikap tabe‟ dalam dirinya. Mungkin karena orangtua mereka tidak
mengajarkannya atau memang karena kontaminasi budaya Barat yang
menghilangkan budaya tabe‟ ini. Mereka tidak lagi menghargai orang yang
lebih tua dari mereka. Adapun nilai-nilai luhuryang terkandung dalam budaya
tabe adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut : Sipakatau
mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga diartikan
sebagai rasa kepedulian sesama, Sipakalebbi sikap hormat terhadap sesama,
senantiasa memperlakukan orang dengan baik.
Bangan 1. Kerangka Pikir
Tradisi Mappatabe
Gambaran Tradisi
Mappatabe di
Kabupaten Maros
Kehidupan sosial
masyarakat di
Kabupaten Maros
Masyarakat dapat
menerapkan tradisi
mappatabe
26
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. (Sugiarto
2015: 8) menyatakan, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperbolehkan melalului prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya dan bertujuan mengungkapkan gejala holistik-kontekstual melalui
pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai
instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis, dengan pendekatan induktif.
Penelitian kualitatif biasanya difokuskan pada kata-kata, tindakan-
tindakanorang yang terjadi pada konteks tertentu. Konteks tersebut dapat dilihat
sebagai aspek relevan segera dari situasi yang bersangkutan, maupun sebagai
aspek relevan dari sistem social. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian sosial
yang menggunakan format deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, sebagai situasi atau berbagai
fenomena realita yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan
berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, model,
tanda atau gambaran tentang kodisi, situasi ataupun fenomena tertentu.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini yang akan dilaksanakan di kecamatan Tanralili
Kabupaten Maros yang berada provinsi sulawesi selatan. Alasan memilih
tempat penelitian ini karena dilihat dari realita yang terjadi di kecamatan
26
1
40
Tanralili bahwa kurangnya penerapan tradisi budaya tabe pada saat lewat
dihadapan orang yang lebih tua. Penelitian ini direncanakan berlangsung
selama kurang lebih 2 bulan dari bulan Mei sampai bulan Juni 2020.
C. Data dan Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh penulis
dilapangan, cara mengumpulkan data primer yaitu dengan melakukan
observasi,dokumentasi, dan hasil wawancara oleh informan yang telah
penulis tetapkan.Informan yang penulis tetapkan sebagai sumber data primer
adalah dari Tokoh Adatdan orang ysng menggunakan Tabe‟ tersebut.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang dikumpulkan untuk melengkapi
data primer yang diperoleh dari dokumentasi atau studi kepustakaan yang terkait
dalam permasalahan yang diteliti.
D. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian yaitu informan penelitian yang memahami
informasi tentang objek penelitian. Informan yang dipilih harus memiliki kriteria
agar informasi yang didapatkan bermanfaat untuk penelitian yang dilakukan.
Terdapat kriteria-kriteria untuk menentukan informan penelitian. informan harus
memiliki beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan, yaitu:
1. Informan kunci yaitu yang intensif menyatu dengan suatu kegiatan atau
aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian dan ini biasanya
ditandai oleh kemampuan memberikan informasi diluar kepala tentang
sesuatu yang ditanyakan dan yang mengetahui berbagai informasi pokok yang
27
41
diperlukan dalam penelitian. Dalam hal ini 3 orang dari pemuka agama dan guru
sekolah di kecamatan Tanralili.
2. Informan utama yaitu terlibat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan
kegiatan yang menjadi sasaran penelitian. Dan mereka yang terlibat secara
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam hal ini 15 orang dari
masyarakat untuk memberikan informasi di lingkungan sosial.
3. Informan tambahan yaitu dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah
atau dikemas terlebih dahulu dan dapat memberikan informasi walaupun tidak
langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam hal ini 3 orang dari
tokoh masyarakat di kecamatan tanralili.
Berdasarkan uraian diatas, maka Informan ditentukan dengan teknik
pourposive (memilih ahli yang berkomponen), artinya menentukan infornam
sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian.
E. Instrumen Penelitian
Adapun cara untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan
penelitian, maka dalam hal ini peneliti berperan aktif dalam instrumen penelitian.
Hal tersebut disebabkan karena dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai
perencana dan sekaligus sebagai pelaksanan darai rancangan penelitian yang
sudah disusun. Diharapkan proses pengambilan data tetap sesuai dengan
perencanaan yang telah dibuat dan mendapatkan hasil seperti tujuan yang telah
ditetapkan. Adapun yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lembar Observasi
Lembar observasi adalah pedoman terperinci yang berisi langkah-
langkah melakukan observasi mulai dari merumuskan masalah, kerangka
28
42
teori untuk menjabarkan perilaku yang akan diobservasi,prosedur dan teknik
perekaman, kriteria analisis hinggainterpretasi.
2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara adalah dapat digunakan sebagai panduan
melakukan wawancara penelitian baik penelitian kualitatif maupun
kuantitatif. Pedoman wawancara secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga
tahap, yaitu tahap persiapan wawancara, proses wawancara, dan evaluasi
wawancara, termasuk permasalahan yang kerap muncul pada penelitian yang
menggunakan teknik wawancara.
3. Alat / Bahan Dokumentasi
Alat / Bahan Dokumentasi yang digunakan saat melakukan penelitian
adalah tape recorder sebagai alat perekam wawancara, serta kamera digital
untuk mengambil gambar pada proses penelitian.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan peneliti
untuk mengumpulkan data yang bersumber dari penelitian lapangan. Maka teknik
pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut:
a. Teknik Observasi
Peneliti akan mengobservasi keadaan yang ada di Kecamatan Tanralili
tentang budaya tradisi tabe‟ mulai dari gambarannya, sampai kepada kehidupan
sosial. Apakah tradisi budaya tabe‟ ini masih dipergunakan secara sakral atau ada
pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam tradisi tabe‟ karena faktor-faktor
tertentu, atau secara perlahan bergeser karena sudah dianggap biasa saja tidak
29
43
seperti pada masa nenek moyang masyarakat kabupaten Maros yang mempercayai
adanya mitos yang terkandung di dalamnya.
b. Teknik Wawancara
Peneliti akan mewawancarai beberapa masyarakat setempat, tentang
bagaimana gambaran tradisi budaya tabe‟, dan bagaimana kehidupan sosial
mengenai tradisi budaya tabe‟ itu sendiri. Beberapa pertanyaan yang akan
diajukan peneliti kepada informan, diantaranya bagaimana gambaran tradisi
mappatabe dalam masyarakat bugis di kecamatan tanralili kab upaten Maros?,
dan bagaimana bapak/ibu melihat kehidupan sosial masyarakat mengenai tradisi
budaya mappatabe?. Adapun informan yang akan di wawancarai pada penelitian
tersebuat diantaranya: tokoh masyarakat dengan inisial (T) untuk mampu
memberikan gambaran mengenai tradisi mappatabe, pemuka agama dengan
inisial (B) untuk mampu memberikan bagaimana tradisi mappatabe dengan nilai
agama, masyarkat dengan inisial (J) untuk memberikan informasi tradisi
mappatabe dalam kehidupan sosial dan guru dengan inisial (F) mampu
memerikan informasi bagaimana mempertahankan tradisi budaya mappatabe
dengan pengamalan sila kedua pancasila.
c. Dokumentasi
Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari
wawancara dan observasi. Dokumen-dokumen yang berisi data-data yang
dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar dalam
proses wawancara.
30
44
G. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis dan dalam sebuah penelitian sangat dibutuhkan
bahkan merupakan bagian yang sangat menentukan dari beberapa langkah
penelitian sebelumnya. Dalam penelitian kualitatif, analisi data harus seiring
dengan pengalaman fakta-fakta dilapangan. Dengan demikian analisis data
dapat dilakukan sempanjang proses proses penelitian dengan menggunakan
teknik analisi sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. (Sugiyono,
2015:247). Data yang telah direduksi akan memberikan gambarang yang
lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang disusun, sehingga
memberikan kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini merupakan data-data dari
teknik analisis data deskriptif kualitatif. Data-data yang telah terkumpul
dianalisis, diklarifikasi, diinterpretasi, dan ditelaah lebih lanjut. Sehingga
kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh
suatu tindakan. Upaya penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan
peneliti secara terus menerus selama berada dilapangan. Dari permulaan
pengumpulan data, mulai mencatat keteraturan pola-pola (dalam catatan
31
45
teori), penjelasan-penjelasan, konfiguran-konfiguransi yang mungkin, alur
sebab akibat, dan proposal. Berdasarkan penjelasan tentang penarikan
kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa penarikan kesimpulan adalah
menyederhanakan kalimat, alur sebab-akibat yang menjadi inti pembahasa
dalam penelitian berdasarkan data yang diperoleh selama berada di lapangan.
32
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Sebelum masuk kehasil penelitian dan pembahasan maka terlebih
dahulu peneliti akan memberikan gambaran umum kondisi Kecamatan
tanralili kabupaten maros yang diteliti. Pada bagian ini akan dipaparkan
mengenai gambaran umum Kabupaten Maros, profil Kecamatan Tanralili,
sosial budaya Kabupaten Maros.
1. Gambaran Umum Kabupaten Maros
Sebelum membahas lebih jauh mengemukakan profil kemacatan
Tanralili maka terlebih dahulu di kemukakan tentantang gambaran umum
Kabupaten Maros.
Kabupaten Maros merupakan wilayah yang berbatasan langsung
dengan ibukota propinsi Sulawesi Selatan, dalam hal ini adalah Kota
Makassar dengan jarak kedua kota tersebut berkisar 30 km dan sekaligus
terintegrasi dalam pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata.
Dalam kedudukannya, Kabupaten Maros memegang peranan penting
terhadap pembangunan Kota Makassar karena sebagai daerah perlintasan
yang sekaligus sebagai pintu gerbang Kawasan Mamminasata bagian utara
yang dengan sendirinya memberikan peluang yang sangat besar terhadap
pembangunan. Luas Wilayah kabupaten Maros 1.619,11 KM2 yang terdiri
dari 14 ( empat belas) kecamatan yang membawahi 103 Desa/kelurahan.
Kabupaten Maros dengan luas wilayah 1.619,12 km2 dan terbagi dalam 14
33
1
1
47
wilayah kecamatan. yaitu : Purna Karya, Lekopancing, Kurusumange,
Sudirman, Damai Alleare, Borong, Toddo Pulia.
Kabupaten Maros secara administrasi wilayah berbatasan dengan
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Bone, sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Gowa dan Kota Makassar, sebelah Barat berbatasan
dengan Selat Makassar.
Penduduk kabupaten Maros berdasarkan sensus penduduk tahun 2019
berjumlah 341,355 jiwa, yang tersebar di 14 kecamatan, dengan jumlah
penduduk terbesar yakni 42,390 jiwa yang mendiami Kecamatan Turikale.
Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih
banyak dari penduduk yang berjenis kelamin laki-laki, namun di Kecamatan
Tanralili, rasio jenis kelamin laki-laki lebih besar, hal ini menunjukkan
jumlah penduduk di dua kecamtan tersebut lebih besar dari penduduk
perempuan.
Tingkat perkembangan jumlah penduduk yang ada di 14 wilayah
kecamatan Kabupaten Maros turut mempengaruhi struktur kehidupan
masyarakat secara umum. Jika pertumbuhan jumlah penduduk dalam keadaan
konstan akan mengakibatkan berlakunya hukum ekonomi terutama yang
tergolong dalam usia kerja. Jenis kelamin Kabupaten maros dapat dilihat pada
tabel berikut.
34
1
48
Tabel 4.1
Jumlah penduduk Kabupaten Maros berdasarkan jumlah Kecamatan
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
Mandai 19,296 19,310 38,606
Moncongloe 9,827 9,867 19,694
Maros Baru 12,300 12,650 24,950
Marusu 13,674 14,068 27,742
Turikale 20,497 21,893 42,390
Lau 13,114 13,608 26,722
Bontoa 13,110 13,670 26,780
Bantimurung 13,560 15,111 28,671
Simbang 11,766 12,634 24,400
Tanralili 14,313 13,741 28,054
Tompobulu 8,052 8,269 16,321
Camba 7,106 6,500 13,606
Cenrana 6,700 7,250 13,950
Mallawa 5,309 5,701 11,010
Jumlah 168,624 174,272 342,896
Dari hasil catatan registrasi yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa
tingkat kepadata penduduk Kabupaten Maros berdasarkan klasifikasinya
dibedakan atas 3 (tiga) bagian yaitu: kepadatan tinggi, sedang dan rendah.
Kepadatan tinggi berada diwilayah Kecamatan Turikale dengan jumlah
penduduk tebesar, kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan
35
1
49
Mallawa. Demikian pula halnya dengan pola penyebaran penduduk terjadi
secara tidak merata. Data yang diperoleh menunjukkan pola penyebaran
penduduk Kabupaten Maros terukumulasi di daerah pusat kota.
Demikian pula sarana transportasi udara terbesar di kawasan timur
Indonesia berada di Kabupaten Maros sehingga Kabupaten ini menjadi
tempat masuk dan keluar dari dan ke Sulawesi Selatan. Tentu saja kondisi ini
sangat menguntungkan perekonomian Maros secara keseluruhan.
Keadaan topografi wilayah sangat bervariasi mulai dari wilayah datar
sampai bergunung-gunung. Hampir semua kecamatan terdapat daerah dataran
dengan luas keseluruhan 70.822 ha atau 43% dari luas wilayah Kabupaten
Maros. Sedangkan daerah yang mempunyai kemiringan lereng di atas 40%
atau wilayah yang bergunung- gunung mempunyai luas 49.869 ha atau 30,8
% dan sisanya sebesar 26,2% merupakan wilayah pantai. Klasifikasi batuan
terbagi dalam 4 kelompok besar yaitu batuan permukaan, batuan sedimen,
batuan gunung api dan batuan terobosan.
Jenis air permukaan berasal dari sungai-sungai yang berjumlah 12
sungai, yaitu sungai Maros, Parang Pakku, Marusu, Puse, Borongkaluku,
Batu Pute, Matturunge, Marana, Campaya, Pattumanagasae, Bontotenga dan
Tanralili. Wilayah kabupaten Maros meliputi pantai yang terbentang
sepanjang 30 km di Selat Makassar. Maros mempunyai curah hujan yang
cukup, sehingga kondisi pertanian subur. Curah hujan tertinggi dalam satu
tahun terjadi di bulan Pebruari (839 mm) dan curah hujan terendah terjadi di
bulan Juni dan Agustus. Rata-rata suhu udara di Kabupaten Maros berkisar
antara 210-240C. Suhu terendah di Maros biasanya terjadi di bulan Mei
36
1
50
(210C). Kondisi suhu tersebut di Indonesia termasuk rendah, mengingat suhu
di kota lain di Indonesia dapat mencapai 300C, terutama kota-kota yang
terletak di dekat pantai.
Aspek geologi merupakan aspek yang mempunyai kaitan yang erat
hubungannya dengan potensi sumberdaya tanah. Struktur geologi tertentu
berasosiasi dengan ketersediaan air tanah, minyak bumi dan lain-lain. Selain
itu struktur geologi selalu dijadikan dasar pertimbangan dalam
pengembangan suatu wilayah misal pengembangan daerah dengan
pembangunan jalan, permukiman, bendungan, selalu menghindari daerah
yang berstruktur sesar, kekar, struktur yang miring dengan lapisan yang
kedap air dan tidak kedap air. Di Kabupaten Maros terdapat beberapa jenis
batuan seperti batu pasir, batu bara, lava, breksi, batu gamping, batu sedimen.
Keadaan geologi secara umum menggambarkan jenis, kedudukan, sebaran,
proses dan waktu pembentukan batuan induk, serta kemampuan morfologi
tanah seperti sesar tebing kaldera dan lain-lain.
2. Sosial dan Budaya Masyarakat Kabupaten Maros
Faktor penyebab perubahan sosial ini bisa terjadi akibat adanya
sesuatu yang dianggap sudah tidak memuaskan lagi bagi masyarakat. Atau
disebabkan adanya faktor-faktor baru yang oleh masyarakat dianggap
memiliki manfaat yang lebih besar. Terjadinya perubahan kultur dan sosial
budaya masyarakat merupakan proses tranformasi global akibat tidak
homogenisitasnya kultur budaya pada suatu daerah. Terjadinya dinamika
perkembangan perkotaan tidak lagi memandang kultur budaya dan adat
37
1
51
istiadat sebagai hukum masyarakat yang berlaku, akan tetapi tergantika oleh
sifat individualistis dan kepentingan sosial ekonomi akan menjadi dominan.
Perubahan proses tersebut sulit dihindari karena dipengaruhi oleh
masuknya budaya lain dan perkembangan teknologi menjadi orientasi
masyarakat untuk mengaktualisasikan diri. Perubahan karakter dan kultur
budaya sebagai ciri khas suatau komunitas tidak perlu terjadi, jika masyarakat
memegang teguh dan menjunjung tinggi nilai budaya yang secara turun-
menurun dianutnya. Salah satu kekuatan masyarakat di Kabupaten Maros
adalah pembaruan nilai religius keagamaan dalam suatu kebudayaan yang
masih melekat hingga kini.
Kabupaten Maros selain menjadi perlintasan dari Makassar ke Toraja,
juga merupakan daerah peralihan dan pertemuan dari dua kebudayaan dari
etnis Bugis dan Makassar. Budaya masyarakat Maros diwarnai oleh budaya
Bugis dan Makassar itu sendiri, yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi
tipikal perpaduan atau akulturasi yang memunculkan kekhasan budaya baru.
Nuansa budaya Bugis dapat ditemukan di bagian timur, utara, dan tengah dari
wilayah Maros, sedangkan nuansa budaya Makassar dapat ditemukan di
bagian selatan dan barat dari wilayah Maros. Di desa Labuaja, kecamatan
Cenrana, Maros, terdapat penggunaan tutur bahasa Dentong yang mana
begitu berbeda dengan bahasa Bugis dan bahasa Makassar.
Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa
perpaduan antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang
dilatarbelakangi dan diwarnai dua etnis besar Makassar dan Bugis. Kedua
etnis ini telah membentuk watak dan karakteristik masyarakat Kabupaten
38
1
52
Maros yang mudah berinteraksi terhadap masyarakat pada umumnya di
Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari sejarah Kabupaten Maros yang termasuk
keturunan dari kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar melalui suatu kaitan
perkawinan. Hal inilah yang melahirkan suatu nilai-nilai budaya dan tradisi
yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh kalangan masyarakatnya.
Sebagai tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari nama-nama kegiatan budaya
yang pada dasarnya berasal dari bahasa Makassar dan/atau Bugis. Kekayaan
budaya Kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian
dari kegiatan pariwisata karena budaya dan pariwisata adalah suatu bagian
yang tidak dapat terpisahkan. Beberapa ekspresi budaya yang dituangkan
dalam suatu bentuk kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kehidupan
manusia masa lampau di Kabupaten Maros.
Budaya Siri' Na Pacce atau Siri' Sibawang Pesse adalah salah satu
filosofi budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar di Kabupaten Maros, siri' mengajarkan
moralitas dalam bentuk nasihat kesusilaan, pelarangan, hak dan kewajiban
yang mendominasi tindakan manusia untuk melestarikan dan membela diri
dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi
martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang „tabu‟ bagi orang-orang Bugis-
Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, Pacce/Pesse
mengajarkan solidaritas dan kepedulian sosial secara tidak egois dan ini
adalah salah satu konsep yang membuat orang Bugis-Makassar mampu
bertahan dan dihormati diperantauan, pasrah dengan welas asih dan
merasakan beban dan penderitaan orang lain.
39
1
53
Faktor lain yang mempengaruhi adalah komunitas masyarakatdi
Kabupaten Maros sebagian masyarakat asli masih dalam satu ikatan rumpun
keluarga, sehingga konflik sosial tidak menjasi pemisah, tetapi dapat
terselesaikan secara kebersamaan dan kekeluargaan. Berdasarkan hasil
pengamatan diperoleh gambarang tentang terjadinya pembauran suku dan
kultur di Kabupaten Maros, yang secara umum dipengaruhi oleh etnis suku
bugis dengan bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa bahasa
makassar.
3. Profil Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros
Tanralili adalah nama sebuah kecamatan yang berada di wilayah
kabupaten maros, provinsi Sulawesi Selatan. Ibu kota kecamatan ini berada di
Ammarang dengan jarak 10 km dari kota Turikale yang merupakan ibu kota
dan pusat pemerintahan kabupaten Maros. Daerah ini merupakan wilayah
bekas kerajaan Tanralili yang diperintah oleh seorang raja bergelar Karaeng
Tanralili.
Keadaan geografi Kecamatan Tanralili merupakan daerah bukan
pantai yang sebagian besar berbentuk dataran. Dari delapan daerah wilayah
administrasi yang ada, mempunyai topografi dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata lima ratus meter diatas permukaan laut. Luas Kecamatan
Tanralili sekitar 89,45 Km. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan
Mandai, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bantimurung, sebelah
utara berbatasan dengan Kecamatan Simbang dan sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Tompobulu. Jarak antara desa dengan pusat pemerintahan
kabupaten cukup dekat yaitu rata-rata 8 Km.
40
1
54
Penduduk Kecamatan Tanralili sebanyak 28,054 jiwa. Yaitu laki-laki
sebanyak 14.313 jiwa dan perempuan 13.741 jiwa. Penduduk terbanyak
berada pada desa Lekopancing sebanyak 5.190 jiwa dan terkecil sebanyak
1.781 jiwa berada pada kelurahan Borong.
Tabel 4.2
Jumlah penduduk kecamatan Tanralili berdasarkan jumlah Desa/Kelurahan
Desa Laki-laki Perempuan Jumlah
Purna Karya 975 990 1.956
Lekopancing 2.573 2.617 5.190
Kurusumange 1.992 1.992 3.984
Sudirman 2.871 1.866 4.737
Damai 2.396 2.501 4.897
Allaere 1.105 1.250 2.355
Borong 878 903 1.781
Taddo Polia 1.523 1.622 3.145
Jumlah 14.313 13.741 28.054
Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat bahwa penyebaran penduduk
di kecamatan Tanralili yakni desa Purna Karya 1.965 terdiri dari laki-laki 975
jiwa perempuan 990 jiwa, desa Lekopancing sebanyak 5.190 terdiri dari laki-
laki 2.573 jiwa perempuan 2.617 jiwa, desa Kurusumange sebanyak 3.984
terdiri laki-laki 1.992 jiwa perempuan 1.992 jiwa, desa Sudirman sebanyak
41
1
55
4.737 terdiri dari laki-laki 1.871 jiwa perempuan 1.866 jiwa, desa Damai
sebanyak 4.897 terdiri dari laki-laki 2.396 jiwa perempuan 2.501 jiwa, desa
Allaere sebanyak 2.355 terdiri dari laki-laki 1.105 jiwa perempuan 1.250
jiwa, desa Borong sebanyak 1.781 terdiri dari laki-laki 878 jiwa perempuan
903 jiwa, desa Taddo Polia sebanyak 3.145 terdiri dari laki-laki 1.523 jiwa
perempuan 1.622.
Dari total jumlah penduduk yang telah dijabarkan di atas maka bisa
diambil kesimpulan bahwa jumlah laki-laki di kecamatan Tanralili lebih
banyak daripada jumlah laki-laki. Kecamtan tanralili terdiri dari 9 desa yakni:
desa Purna Karya, desa Lekopancing, desa Sudirman, desa Damai, desa
Allaere, desa Borong dan desa Toddo Polia.
Secara demografis membicarakantentng dinamika penduduk,
demografi meliputi ukuran struktur dan distribusi penduduk. Yang
dimaksudkan dalam uraian ini adalah jumlah penduduk Kecamatan Tanralili
diperinci menurut kelompok umur. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
Tabel 4.3
Jumlah penduduk kecamatan Tanralili berdasarkan jumlah kelompok umur
Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0 – 4 1.561 1.481 3.042
5 – 9 1.356 1.308 2.664
10 – 14 1.207 1.074 2.281
15 – 19 1.145 1.176 2.321
20 – 24 1.642 1.164 2.806
42
1
56
25 – 29 1.409 1.374 2.784
30 – 34 1.319 1.081 2.400
35 – 39 1,040 972 2.012
40 – 44 819 892 1.711
45 – 49 741 794 1.535
50 – 54 602 625 1.227
55 – 59 450 551 1,001
60 – 64 348 379 727
65 + 674 869 1.543
Jumlah 14.313 13.741 28.054
Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat bahwa jumlah kelahiran dan
pertumbuhan anak di kecamtan tanralili yakni umur 00 - 04 sebanyak 3.042
terdiri dari laki-laki 1.561 perempuan 1.481, umur 05 - 09 sebanyak 2.664
terdiri dari laki-laki 1.356 perempuan 1.308, umur 20 - 24 sebanyak 2.806
terdiri dari laki-laki 1.642 perempuan 1.164, umur 60 - 64 sebanyak 727
terdiri dari laki-laki 348 perempuan 379 sedangkan umur 65 keatas sebanyak
1.543 terdiri dari laki-laki 674 perempuan 869. Jadi dapat disimpulkan bahwa
angka kelahiran lebih besar dibandingkan dengan angka kematian.
B. Deskripsi Informan
Informan (subjek) dalam penelitian ini terdiri 13 orang. Jumlah
informan (subjek) terdiri dari 13 masyarakat dari berbagai macam profesi dan
kalangan yang berinisial H, S, M, S, N, FW, N, SA, N, MN, M, Y, N. Berikut
ini profil dari masing-masing responden.
43
1
57
1. Informan V, dengan inisial M 35 Tahun Selaku masyarakat desa
Sudirman. Wawancara dilakukan pada tanggal 07 Juli 2020 Pada pukul
14:15 WITA sampai dengan 14:35 WITA.
2. Informan XI, dengan inisial N 45 Tahun Selaku masyarakat di desa Purna
Karya. Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Juli 2020 Pada pukul 10:00
WITA sampai dengan 10:20 WITA.
3. Informan XII, dengan inisial H 40 Tahun Selaku masyarakat di desa Purna
Karya. Wawancara dilakukan pada tanggal 06 Juli 2020 Pada pukul 11:00
WITA sampai dengan 11:15 WITA.
4. Informan XIII, dengan inisial S 37 Tahun Selaku masyarakat di desa
Lekopancing. Wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juli 2020 Pada pukul
09:30 WITA sampai dengan 09:45 WITA.
5. Informan XIV dengan inisial S 45 Tahun Selaku masyarakat di desa
Lekopancing . Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juli 2020 Pada
pukul 10:00 WITA sampai dengan 10:15 WITA.
6. Informan XV dengan inisial FW 55 Tahun Selaku masyarakat di desa
Lekopancing. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Juli 2020 Pada pukul
11:00 WITA sampai dengan 11:20 WITA.
7. Informan XVI dengan inisial N 55 Tahun Selaku masyarakat di desa
Lekopancing. Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juli 2020 Pada pukul
09:30 WITA sampai dengan 09:45 WITA.
8. Informan XVII dengan inisial SA 50 Tahun Selaku masyarakat di desa
Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Juli 2020 Pada pukul 09:30
WITA sampai dengan 09:45 WITA.
44
1
58
9. Informan XVIII dengan inisial N 57 Tahun Selaku masyarakat di desa
Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2020 Pada pukul 13:30
WITA sampai dengan 13:45 WITA.
10. Informan XIX dengan inisial MN 64 Tahun Selaku masyarakat di desa
Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Juli 2020 Pada pukul 14:30
WITA sampai dengan 14:45 WITA.
11. Informan XX dengan inisial M 33 Tahun Selaku masyarakat di desa
Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2020 Pada pukul 09:30
WITA sampai dengan 09:45 WITA.
12. Informan XXI dengan inisial Y 59 Tahun Selaku masyarakat di desa
Borong. Wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juli 2020 Pada pukul
10:00 WITA sampai dengan 10:15 WITA.
13. Informan XXII dengan inisial N 33 Tahun Selaku masyarakat di desa
Borong. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Juli 2020 Pada pukul
11:30 WITA sampai dengan 11:45 WITA.
45
1
59
C. Hasil Penelitian
1. Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di
Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros
Arti dan tingkatan nilai mappatabe‟ dalam masyarakat Kabupaten
Maros terkhusus masyrakat Kecamatan Tanralili dapat dilihat secara jelas
melalui pengamatan tingkah laku mereka. Adakalanya tampak dan
muncul secara spontan, yang dapat menunjukan melalui perilakunya
dalam kehidupan sehari-harinya. Dapat dilihat juga memelalui interaksi
kepada keluarga, teman, kerabat dan lingkungannya. Di kalangan
masyarakat, di antara mereka banyak yang meremehkan budaya dari
mappatabe‟ itu sendiri, tanpa mereka sadari bahwa dalam mappatabe‟
mengandung nilai positif yang dapat mempererat persaudaraan, harga
diri, dan etika seseorang. Berbicara mengenai nilai mappatabe dalam
budaya Kabupaten Maros ada beberapa unsur nilai yang terkandung di
dalamnya seperti: saling menghargai, membudayakan mappatabe‟dan,
menjaga nilai siri‟.
Berdasarkan wawancara dengan H (Wawancara, 06 Juli 2020), sebagai
berikut :
“Tradisi mappatabe salah bentuk penghargaan sesama manusia
untuk saling menghargai dalam berkomunikasi, tetapi seiring
berkembangnya zaman tradisi itu lama kelamaan hilang di lingkungan
masyarakat khususnya di Kecamatan Tanralili”.
Hal serupa yang dituturkan oleh S (Wawancara, 17 Juli 2020), sebagai
berikut:
“Punna accarita ki di kanayya tradisi Mappatabe anjo
merupakan tradisi anu sallomo niaka punna lapala ki bantuan appala
tabe ki rong supaya sikatutui ki siparanta tau tapi anak-anak ka
46
1
60
sekarang tena mo na terapkanki anjo tradisi mappatabe. Yang artinya
(Kalau membahas mengenai tradisi mappatabe merupakan tradisi yang
sudah lama ada misalkan ingin meminta bantuan kita harus minta permisi
terlebih dahulu agar saling menghargai sesama manusia, tetapi anak-anak
sekarang tidak lagi menerapkan tradisi mappatabe)”.
Berdasarkan wawancara di atas maka dapat dikatakan tradisi
mappatabe perlahan-lahan luntur dikalangan masyarakat khususnya di
Kecamatan Tanralili dapat diketahui dari tingkah laku anak tersebut.
a. Makna tradisi mappatabe
1. Saling menghargai
Proses komunikasi mappatabe memiliki nilai mappatabe‟ adalah
saling menghargai. Hidup ini secara bersosial bukan individu, untuk itu
mewujudkan silahturahmi yang erat haruslah saling menghargai, salah
satu budaya adat Maros yang dapat melestarikan keakraban dan saling
menghargai satu sama lain yaitu tradisi mappatabe‟ yang mana dapat
kita lihat pada perilaku seseorang baik bertutur kata secara verbal
maupun secara non verbal.
Masyarakat Kecamatan Tanralili mengenal atau menyebut saling
menghargai dengan sebutan sipakatau yang berarti memanusiakan
manusia. Dalam interaksi sosial masyarakat Kecamatan Tanralili, baik
berinteraksi dengan etnis yang sama maupun bukan, nilai sipakatau,
sipakalebi dan sipakainge ini harus mengharuskan seseorang
memperlakuakan orang lain layaknya manusia dan menghargai hak-
haknya sebagai manusia.
47
1
61
Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh M (Wawancara, 07
Juli 2020), sebagai berikut :
“Sekarang ketika ada seorang anak yang berbicara kepada orang
yang lebih tua kadang menjawab dengan tidak sopan. Dan ketika anak
tersebut lewat di hadapan orang yang lebih tua langsung saja lewat
tanpa minta permisi”.
Sama halnya yang dikatakan oleh S (Wawancara, 22 Juli 2020) sebagai
berikut :
“Anak-anak ka kamma-kamma anne jai mi tena ampakei tradisi
mappatabe punna eroki abbicara silangsungan ji, biasa tong
ammentengi punna accaritai sigang tau toaya sikamma kana si umuru
ji, punna tau rioloa punna eroki accarita mempoi ri ampina tau toaya.
Yang artinya (Anak-anak zaman sekarang banyak yang tidak
menggunakan lagi tradisi mappatabe‟ seperti ketika mereka berbicara,
mereka berdiri seolah-olah mereka sederajat, padahal orangtua dahulu
ketika mereka ingin bercerita dia duduk disamping orang yang lebih
tua)”.
Hal ini sesuai dengan sila kedua pancasila pada butir yang 10
yang menyatakan bahwa Mengembangkan sikap hormat menghormati
dan bekerja sama dengan orang lain. Tapi jika di lihat dari hasil
wawancara di atas sila kedua pancasila pada butir ke 10 perlahan-lahan
tidak diamalkan lagi.
Hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi
mappatabe ini telah hilang dan ini sebagai bentuk peranan penting
orang tua dalam mendidik dan mengayomi anak-anaknya agar mereka
punya perilak baik dan sopan santu. Bukan hanya pada tradisi
mappatabe ini juga sangat berkaitan dengan nilai-nilai pancasila pada
butir ke 10.
48
1
62
2. Membungkuk (badan sedikit condong ke depan)
Simbolik Mappatabe yang dilakukan dengan cara sedikit
membungkuk sebagai bentuk simbol merendahkan diri dihadapan
orang lain.
Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh N (Wawancara, 30 Juli
2020), sebagai berikut :
“Apabila ada ditemui masyarakat di Kecamatan Tanralili yang
tidak tau lagi merendahkan diri di hadapan orang lain, maka dia akan
dinilai jelek oleh orang lain karena tidak taat terhadap tradisi yang sudah
turun-temurun. Tetapi masih banyak masyarakat di Kecamatan Tanralili
yang tidak lagi membungkukkan saat lewat di hadapan orang yang lebih
tua”.
Sama halnya yang dikatakan oleh FW (Wawancara, 31 Juli 2020) sebagai
berikut :
“Tradisi Mappatabe Bukan hanya dilingkungan masyarakat,
dilingkungan sekolah anak-anak juga diajarkan untuk mappatabe
terhadap guru-gurunya sebagai bentuk interaksi sopan santunnya, hal ini
sangat perlu dilakukan terutama di daerah Kecamatan Tanralili”.
Hal ini juga terdapat dalam sila kedua pancasila pada butir yang
pertama yang menyatakan bahwa Mengakui dan memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa. Jadi tradisi mappatabe sangat berkaitan dengan sila
kedua pancasila pada butir pertama.
Hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi
mappatabe dengan gerakan sedikit membungkuk ini sebagai acuan agar
seseorang tidak congkak terhadap orang lain, tidak merasa lebih tinggi
dari orang yang ingin dilaluinya saat berjalan. Mengayungkan tangan
dengan sedikit membungkuk sambil mengucapkan tabe la maloa atau
49
1
63
tabe sikedde (permisi, saya mau lewat). Namun ada juga orang yang
hanya melakukan gerakan tanpa harus mengucapkan kata tabe. Dan ini
juga dijelaskan dalam sila kedua pancasila pada butir pertama.
3. Mengayungkan Tangan Kebawa
Tradisi mappatabe yang dilakukan dengan cara mengayungkan
tangan ke bawah sebagai bentuk simbol menghormati orang yang akan
dilalui. Makna dari mengayungkan tangan ke bawah ini yaitu sipakatau
(saling menghargai). Dalam suatu kehidupan, apabila seseorang ingin
hidup bahagia dengan masyarakat di lingkungan tempat mereka
tinggal, mereka harus menghargai suatu tradisi yang dijunjung tinggi
daerah tersebut.
Berdasar dari mappatabe dalam ruang lingkup sosial
kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan umumnya apabila
kita berpijak dalam suatu keramaian kita harus menghormati orang
yang dilalui agar seseorang juga terketuk hatinya merasakan
kenyamanan, bukan cuma hal tersebut, dalam ruang lingkup sosial
yang lain kita juga harus menghormati orang yang lebih tua, maka
orang lain akan lebih dekat. Makna ini berkenan dengan sikap dan unsur
kesopanan dengan istilah mappatabeki, utamanya ketika kita berada
dilingkungan sosial dan orang banyak.
b. Membudayakan Mappatabe
Bagi Masyarakat Kabupaten Maros orang yang membudayakan
mappatabe dinilai sebagai orang yang baik dan berakhlaq mulia, akan
tetapi bagi yang tidak tahu permisi kesan ironisnya ialah akan merujuk
50
1
64
pada dirinya sendiri, karena di angkap dia adalah pembuat keresahan
dalam masyarakat, dalam komunikasi sosial etika tidak terlepas dari cara
pandang seseorang sebagai bentuk interaksi, dalam berinteraksi manusia
pada umumnya menggunakan nilai etika. Peneliti mengamati anak-anak
sampai orang dewasa saat ini, sudah jarang menggunakan tradisi tabe,
karena mereka merasa bahwa mappatabe sudah kuno tidak gaul jika
menggunakan kata tabe. Bentuk sapaan seperti permisi, halo, hai,
menjadi sapaan yang biasa terjadi dalam membentuk keakraban mereka.
Berdasarkan wawancara dengan N (Wawancara, 22 Juli 2019),
sebagai berikut :
“Sekarang itu budaya mappatabe tidak mi lagi diindahkan di sini
padahal itu kebiasaan mappatabe tidak boleh kita ditinggalkan”.
Sama halnya yang dikemukakan oleh SA ( Wawancara, 20 Juli 2020)
bahwa :
“Budaya mappatabe tidak lagi di temukan pada sekarang ini
kebanyakan anak-anak saat ini mengikuti era moderen seorang anak
lebih memilih gaya bahasa yang menurut mereka itu lebih moderen.”
Hasil wawanacara di atas, peneliti mengemukakan adanya sebuah
pergeseran yang terjadi pada saat ini di masyarakat Kecamatan Tanaralili
hal ini dikarenakan oleh sapaan-sapaan yang dibudayakan seperti, hai,
sambil mengangkat tangan, yang dimana masyarakat Kecamatan
Tanralili sebelumnya menggunakan kata tabe dengan menurunkan tangan
kanan kebawah sambil membungkukkan badan. Inilah salah satu bentuk
komunikasi dalam berinteraksi yang perlu kita dipertahankan.
Merosotnya suatu budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas
budaya tersebut dalam penerapannya di setiap perkembamgan di setiap
51
1
65
perkembangan zaman, dan perkembangan teknologi juga sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat bukan hanya perkembangan
memberikan banyak manfaatnya dalam memudahkan masyarakat untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari bukan hanya itu teknologi juga
berkembang bersama dampak negatif yang dihasilkannya, yang di mana
salah satu dampak tersebut yaitu menjadi pemicu anak dalam mengalami
krisis atau kemunduran moral.
Sebagaimana para leluhur kita telah mengajarkan tata cara dalam
berinteraksi kepada sesama makhluk sosial. Sehubung dengan
bergesernya nilai mappatabe dalam masyarakat bugis terkhusus di
Kecamatan Tanralili ini dikarenakan adanya pengaruh dunia barat yang
kemudian mendoktrin otak mereka untuk membudayakan bahasa tersebut
2. Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam
Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros
Tradisi mappatabe pada awalnya dilakukan dikalangan raja-raja,
seperti di Jawa cara menghormati Sultan yaitu berjalanan sambil jongkok
begitupun di Bugis dimulai dari adanya strata sosial. Dengan adanya
pepatah sipakallebbi ri paddanta tau (saling menghargai sesama manusia).
Mappatabe ini digunakan masyarakat Kecamatan Tanralili sebagai bentuk
interaksi satu sama lain. Masyarakat Bugis biasanya menggunakan kata tabe
ini sebagai bahasa sehari-hari baik verbal maupun nonverbal.
Komunikasi verbal yang dimaksud adalah penggunaan kata tabe
sebgaimana sudah dijelaskan dalam hasil penelitian bahwa anak siapapun
harus mappatabe jika hendak melewati orang lain, dan sudah sepantasnya
52
1
66
dia mengucapkan tabe ero ka ammalo (permisi, saya mau lewat) atau
cukup mengucapkan kata tabe maka orang akan paham bahwa si anak
meminta izin. Sedangkan komunikasi non verbal yaitu dengan
membungkukkan badan dengan mengulurkan tangan ke arah bawah
sesuai dengan penjelasan proses komunikasi simbolik di atas. Hal ini
sejalan dengan teori Mead. Mead mengemukakan dalam teorinya bahwa
kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama dengan tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka
dengan berinteraksi dengan individu lain.
Adapun beberapa makna tradisi mappatabe bagi masyarakat
Kecamatan Tanralili yaitu sebagai berikut:
a. Menjaga Nilai Kesopanan Kepada Sesama Manusia
Nilai kesopanan dalam tradisi mappatabe sangat berkaitan dengan
sila kedua pancasila terkhusus pada masyarakat bugis yang berarti saling
menjaga harga diri serta menaruh hormat terhadap orang lain. Apabila
ada masyarakat yang tidak lagi menggunakan kata tabe dan tidak
mengamalkam sila kedua pacasila maka dia telah melupakan tradisi
mappatabe yang telah diwariskan oleh para leluhur.
Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh N (Wawancara, 13 Juli
2020), sebagai berikut :
“Mappatabe merupakan suatu simbol penghormatan kepada
orang lain, bahkan orang dulu melakukan mappatabe sebagai
bentuk penghormatan kepada semua orang begitu juga dengan
pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua pancasila yang
berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradap maka dari itu sangat
penting di amalkan dalam masyarakat khususnya di Kecamatan
Tanralili”.
53
1
67
Sama halnya yang dikatakan oleh MN (wawancara 31 Juli 2020), sebagai
berikut:
“Tradisi Mappatabe sebagai bentuk kesopanan kepada raja,
betapa pentingnya tardisi Mappatabe bahkan seseorang tidak boleh
membelakangi raja saat ingin pulang, namun harus berjalan mundur. Dan
pada saat orang berbicara kita tidak boleh berdiri apa lagi berbicara
dengan orang yang lebih tua”.
Hal ini sangat jelas terlihat dalam sila kedua pancasila pada butir
ke 3 yang berbunyi Mengembangkan sikap saling mencintai sesama
manusia dan juga terdapat pada butir ke 4 yang berbunyi
mengembangkan sikap saling senggang rasa. Mappatabe dan nilai
pancasila sila kedua bagian dari nilai kesopanan.
Hasil wawancara di atas peneliti berpendapat bahwa dengan
mappatabe dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sila kedua seseorang
akan merasa dihargai. Tradisi yang diberikan oleh leluhur ini bersifat
sakral yang memang sudah melekat pada diri masyarakat Bugis
Kecamatan Tanralili, bukan hanya untuk pencitraan agar dinilai baik oleh
masyarakat akan tetapi hal ini dilakukan untuk mempertahankan diri di
lingkungan yang menjunjung tinggi sebuah tradisi. Mappatabe dan nilai
pancasila sila kedua bagian dari nilai kesopanan, jika tidak mengetahui
nilai kesopanan berarti dia tidak tahu cara menghargai sebuah tradisi.
b. Sikap Saat Melewati Orang Lain
Tradisi mapptabe ini muncul pertama kali saat seseorang ingin
melewati sang raja, namun seiring berjalannya waktu tradisi ini dilakukan
oleh masyarakat Kecamatan Tanralili. Saat ingin melewati seseorang
yang lebih tua seseorang harus mappatabe sebagai bentuk kesopanannya.
54
1
68
Seperti halnya saat seorang anak ingin lewat di depan orang tua dengan
satu tangan itu artinya orang yang dilalui hanya satu baris saja, namun
ketika dua baris maka dia harus mengulurkan kedua tangannya.
Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh M (Wawancara, 13 Juli
2020), sebagai berikut :
“Mappatabe dapat dilakukan ketika ada seseorang yang sedang
duduk-duduk atau berada di tempat keramaian dan kalau ingin lewat di
hadapan mereka, maka ucapkanlah kata tabe (permisi). Tetapi yang
terjadi sekarang saat cerita dengan banyak orang, anak-anak langsung lari
saja tanpa mengucapkan kata permisi”.
Sama halnya yang dikatakan oleh Y (wawancara 17 Juli 2020), sebagai
berikut:
“Anak-anak kamma-kamma anne tena mo mallana punna
naciniki agompo-gompo tena mo na tabe-tabe punna ammaloi langung
ji mange lari. Gagana tong antu punna na caniki jai ammempo
langsungki atabe-tabe. Yang artinya (anak zaman sekarang sudah tidak
memiliki rasa takut lagi saat melihat orang yang sedang berkumpul tidak
lagi meminta permisi mereka langsung saja lari. Padahal angat bagus
kalau saat melihat banyak orang duduk langsung meminta permisi”.
Dalam sikap menghargai sesama manusia pada tradisi mappatabe
sama halnya dalam sila kedua pancasila pada butir ke 2 yang menyatakan
bahwah: Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban
asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit.
Jadi berdasarkan wawancara tersebut, peneliti menyimpulkan
bahwa mappatabe dalam hal meminta izin memang sudah mengalami
pergeseran seiring berkembangnya zaman, anak-anak juga mulai
melupakan tradisi ini. Dan tidak lagi mengalkan sila kedua pancasila.
55
1
69
c. Meminta Pertolongan
Manusia hidup di dunia ini sebagai makhluk sosial (butuh
bantuan orang lain), maka dari itu setiap manusia pasti akan meminta
tolong kepada orang lain.
Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh N (Wawancara, 31 Juli
2020), sebagai berikut :
“Seseorang jika ingin meminta tolong harus mengucapkan kata
tabe, jika zaman dahulu jika tidak mengucapkan kata tabe maka
terkadang tidak digubris karena orang akan berpikir bahwa dia memiliki
kepribadian yang angkuh. Mappatabe saat ingin meminta tolong kepada
orang lain juga berguna agar orang lain merasa tidak diperintah, hal ini
sebagai bentuk ungkapan halus. Namun tradisi itu tidak lagi ditemui
karena berbagai macam faktor yang menyebabkan tidak di lakukan lagi”.
d. Meminta Maaf
Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seseorang tidak
sengaja melakukan kesalahan terhadap orang lain. Contohnya saat
berpapasan dengan orang lain di tengah jalan, seseorang tanpa sengaja
menyenggol bahu, maka orang tersebut akan lantas meminta maaf
sambil mengucpakan (maaf, saya tidak sengaja). Seseorang pasti akan
mengucapkan (tidak jadi masalah). Contoh dari penggunaan kata tabe
dalam hal meminta maaf yaitu pada saat Rudi sedang berjalan di depan
orang tuanya, kemudian tidak sengaja menabrak kaki mamanya, Rudi
akan memegang apa yang dia rasa terkena dengan kakinya sambil
mengucapkan kata tabe puang. Berbeda halnya jika seseorang
menabrak orang lain, namun lantas pergi begitu saja. Orang akan
memberikan penilaian buruk terhadapnya (dia siapa, kenapa tidak tahu
meminta maaf).
56
1
70
Budaya mappatabe dalam era pergaulan sekarang sudah
mulai mengalami pergeseran. Oleh karena itu, sangat penting
mempertahankan budaya mappatabe sebagai salah satu nilai lokalitas
khusunya pada masyarakat Bugis Kecamatan Kajuara.
D. PEMBAHASAN
Peneliti memberikan pengertian mappatabe dalam Budaya Bugis
dan bentuk intraksi antara sesama di Kecamatan Tanralili .Mappatabe adalah
prilaku sopan santun atau adat kesopanan yang disakralkan sebagai kearifan
lokal di bugis, terkhusus di Kecamatan Tanralili. Akan tetapi mappatabe
secara umum yang dikenal sebagai perilaku atau adat sopan santun.
Sama halnya pengamalan nilai-nilai sila kedua pancasila Manusia
yang mempunyai sikap adil dan beradap berarti mereka menjunjung tinggi
Nilai-nilai kemanusiaan dan mengerjakan untuk saling menghormati harkat
dan martabat manusia, dan menjamin hak-hak asasi manusia.
1. Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Tanralili Kabupaten Maros
Gaya hidup dan kehidupan dewasa ini merupakan suatu gambaran
dan pola pikir yang tercermin dalam pola tingkah laku yang teratur, konsep
pola kelakuan manusia di dalam suatu masyarakat, adalah perwujudan
salah satu aspek dalam system budaya mereka. Hal itu tumbuh dari ide dan
konsep sebagai satu kesatuan gejala dalam system budaya masyarakat
tersebut.Salah satu aspek dalam budaya yang menjelmakan sosial adalah
sistem sosial pembuluan. Pembuluan berasal dari kata asal
bulu yang berarti warna, ia merupakan symbol atau tanda dari tugas yang
59
1
57
1
71
harus di emban oleh seseorang tanda itu berupa darah yang mengalir yang
menandai posisi seseorang dalam masyarakat., khususnya mereka yang
disapa dengan sapaan puang.
Ia muncul dan keteraturan hubungan antara individu dalam
masyarakat yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan arti dan nilai
tertentu. Interaksi hubungan-hubungan yang berlangsung dalam
masyarakat adalah hakikat kehidupan sosial budaya ia tumbuh dan
berkembang sebagai ineraksi simbolik dalam kehidupan. Salah satu wujud
yang ingin diungkapkan sehubungan dengan pengertian puang dalam
pembuluan, dapat dilihat pada tigkah laku yang muncul dalam proses
sosialisasi, partisipasi, dan gaya hidup dalam kehidupan kemasyarakatan.
Salah satu hal yang menonjol adalah pengaruh yang nampak oleh
adanya kenyataan tentang kedudukan seseorang dalam masyarakat. Hal itu
menjadi salah satu unsur terjadinya dengan orang lain yang ada
disekitarnya, hal itu member arti penting bagi orang yang ada di sekitarnya
yang memilih adanya berbagai perilaku atau ikhwal yang memberikan
nilai dan penghargaan kepada orang-orang tertentu. Keadaan itu dapat
terjadi bila sesorang dipandang dan dinilai mampu mencapai suatu
presentasi tertentu yang berulang, berpola dalam waktu kedudukan
tersebut, yang member arti dan makna bagi diri sendiri, keluarga dan
kelompoknya, sebagai kedudukan atau jenjang di dalam masyrakat
tertentu.
Pada mulanya, waktu manusia berhubungan atau berinteraksi di
lingkungannya ada hal-hal yang mengatur yaitu tata karma. Arti tata karma
58
1
72
yaitu ada sopan santun pada dasarnya ialah segala tindak, tanduk, perilaku,
adat istiadat, tegur sapa, ucapan dan cakap sesuai kaidah dan norma
tertentu. Tata karma yang dikenal di Maros yaitu mappatabe‟.Dalam
praktik tradisi mappatabe‟ yang ada di masyarakat Kab Maros khusus di
Kecamatan Tanralili ini, peneliti mengamati sudah tidak banyak yang
melakukan adat ini, baik dari kalangan anak-anak maupun orang dewasa,
masih ada yang mempertahankan adat ini, akan tetapi banyak perbedaan-
perbedaan yang terjadi sekalipun itu adalah bentuk kesopanan dan sebagai
penghargaan diri terhadap orang lain. Mappatabe‟ atau sikap seseorang
untuk menghormati orang lain, punya arti luas. Mappatabe‟ dalam arti
sempit yaitu menundukkan kepal serta membungkukkan badan dan
menurunkan tangan kanan ke bawah sambil mengucapkan tabe. Bukan
hanya tradisi mappatabe saja yang harus di laksanakan akan tetapi
pengamalan pancasila pada sila sangat berperang pinting bagi kehidupan
sosial.
2. Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam
Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros
Tradisi mappatabe‟ pada awalnya dilakukan dikalangan Raja,
seperti di Jawa cara menghomati sultan yaitu berjalan sambil jongkok
begitpun di bugis dimulai dari adanya strata sosial. Rajalah yang
menanamkan kepada masyarakatnya dan lingkungan keluarganya tentang
rasa hormat-menghormati dan sikap saling menghargai. Dengan adanya
pepatah Sipakalebbi ri fadatta‟ rupa tau, ini menguatkan statme yang lain.
59
1
73
Narekko Punna Eroki Ammalo Ridallekangna Taua Tabeki.( jika hendak
melangkah di depan orang, minta permisilah ).
Mappatabe‟ bagi masyarakat bugis adalah bentuk komunikasi
sosial, di mana kata ini biasanya digunakan dalam berinteraksi, masyarakat
bugis biasanya menggunakan kata tabe ini sebagai bahasa sehari-hari, baik
itu secara verbal maupun secara nonverbal. Komunikasi verbal yang
dimaksud adalah penggunakan kata tabe sebagai mana yang telah di
jelaskan dalam hasil penelitian bahwa seorang anak atau siapa pun itu
ketika ingin lewat atau berjalan di depan orang tua atau orang yang di
tuakan maka sepantasnya dia mengucapkan kata tabe, saya mau lewat atau
cukup mengucapkan kata tabe. Sedakangkan komunikasi nonverbal yang
dimaksud adalah dengan cara tangan kebawah dan badan dibungkukkan.
Hal ini sejalan dengan teori yang telah dijelaskan oleh mead. Mead
mengemukakan dalam teorinya bahwa kemampuan untuk menggunakan
simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu
harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain.
Pancasila yang kedua yaitu berbunyi: “Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab” yang memiliki arti bahwa bangsa Indonesia sebagaimana
yang memeluk Ciptaan Tuhan yang maha Esa dan yang harus di junjung
tinggi harkat serta martabanya tanpa membeda-bedakan agama, suku dan
budaya keturunan.
Dengan berlandaskan Nila tersebut dan dikembangkan dengan
sikap saling mencintai antara sesama manusia, mempunyai sikap segang
60
1
74
rasa dan sikap tidak semaunya terhadap orang lain apa lagi terhadap
sesama manusia yang memeluk agama islam. Manusia yang mempunyai
sikap adil dan beradap berarti mereka menjunjung tinggi Nilai-nilai
kemanusiaan dan mengerjakan untuk saling menghormati harkat dan
martabat manusia, dan menjamin hak-hak asasi manusia.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di kecamatan
Tanralili, dapat diketahui bahwa pengamalan sila kedua Pancasila
khususnya pada tradisi mudaya mappatabe yaitu berkaitan dengan
kesadaran setiap masyarakat untuk lebih mengamalkan kembali nilai-
nilai positif tersebut, kecintaan terhadap tanah air, keyakinan pada
Pancasila, kerelaan berkorban untuk kemakmuran masyarakat agar tidak
ada lagi perpecahan setiap masyarakat dengan mengamalkan nilai-nilai
pancasila.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perkataan dan
perilaku seseorang diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah pengaruh pengaruh yang beradda pada
orang-orang terdekat kita dalam lingkungan hidup seperti, keluarga
seperti di bawah ini :
a. Didikan Orang Tua
Orang tua sangat berperan penting dalam tumbuh kembangnya
seorang anak, karena saat anak akan melakukan interaksi dengan
lingkungannya, saat anak bergaul dengan orang lain tentu yang paling
utama dilihat dan dinilai yaitu perilakunya baik dalam perilaku positif
61
1
75
maupun perilaku negative, seorang anak yang berperilaku baik
maupun buruk tentunya yang tidak tahu bersopan santun dalam
berperilaku akan dikatakan tau malu.
2. Faktor Eskternal
Faktor eksternal adalah pengaruh pengaruh yang beradda pada
orang-orang terdekat kita dalam lingkungan hidup seperti, teman-
teman, dan lingkungan sekitar seperti di bawah ini :
a. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah lingkungan formal atau tempat
kedua seorang anak untuk mendapatkan pelajaran serta didikan dari
guru, mulai dari anak usia dini sampai dewasa, guru sangat berperan
penting dalam atas perilaku anak didiknya, yang utama dan yang
wajib dilakuakan oleh guru ialah memprioritaskan pelajaran yang
tentang akhlak baik dalam metode pelajaran terlebih dalam
prakteknya.
b. Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar tempat nonformal yang sering ditempati
seorang anak dalam bergaul dan berinteraksi, dengan siapa seorang
anak berinteraksi maka itu yang akan mempengaruhi perilakunya, jika
anak tersebut bergaul dan sering bersama-sama dengan anak sholeh
maka perilakunya pun menjadi anak sholeh, akan tetapi jika anak
tersebut berada di lingkungan orang –orang yang kurang baik
akhlaknya maka anak tersebut pun perilakunya menjadi tidak
bermoral.
62
1
76
c. Penggunaan Media Massa
Penggunaaan media massa seperti TV, Gadget, dan Internet
dapat memberikan pengaruh yang baik juga pengaruh yang negative
terhadap penggunnya, sebagai contoh maanfaat baiknya adalah dapat
memberikan informasi setiap waktu, baik dalam negeri maupun di luar
negeri,dan sisi positif lain dari media massa adalah sebagai media
hiburan, dan pendidikan. sedangkan pengaruh negatifnya adalah ia
kemudian meniru apa yang dilihatnya, baik dari cara bergaulnya
kepada orang lain, cara berbicara, dan berpakaiannya.
Pengaruh inilah yang terdapat dalam masyarakat zaman
sekarang terkhusus masyarakat pulau Sembilan, anak-anak sampai
orang dewasa telah terkontaminasi dengan adanya media yang
membuat dirinya berprilaku seperti apa yang mereka lihat. Inilah salah
satu contoh yang peneliti lihat di lapangan, anak-anak sekarang
berbicara kepada orang tua tidak sopan, karena mereka memotong
pembicaraan orangtua tanpa adanya permisi terlebih dahulu.Serta
peneliti juga melihat pakaian yang kurang sopan, cara berpakaian
mereka kini mengikuti trend fashion tidak mau dibilang ketinggalan
zaman.
63
1
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian, maka peneliti berkesimpulan bahwa
mappatabe adalah sikap seseorang saat melewati orang lain dan sopan
santunnya ketika berkomunikasi. Di Kecamatan Tanralili tradisi mappatabe
ini sebagai bentuk kesopanan seseorang saat ingin meminta izin, dia akan
dipandang baik jika mengetahui tradisi mappatabe. Gambaran mappatabe di
Kecamatan Tanralili sudah banyak yang tidak menerapkan karena sudah
banyak anak- anak yang tidak lagi menghiraukan tradisi ini.
Gambaran sesuai hasil atau pembahasan dan tujuan penelitian
Bahwa gambaran tradisi mappatabe di Kecamatan Tanralili cenderung
mengalami pergeseran Karena di pengaruhi oleh penggunaan teknologi yang
mengdoktrin pemikiran mereka supaya lebih memilih trend budaya zaman
sekarang. Serta pengaruh dari lingkugan. Begitu pula dengan pengamalan sila
kedua pancasila sudah banyak anak sekarang ini yang tidak mengamalkan
nilai-nilai yang terkandung dalam sila pancasila.
Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam
Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros pada komunikasi
masyarakat Bugis Maros di kecamatan Tanralili merupakan komunikasi
verbal dan nonverbal dalam konteks apapun sebagai bentuk dasar adaptasi
lingkungan dan telah mengalami pergeseran. Mappatabe‟ juga bermakna
saling menghargai, beretika, adab kesopanan, dan suatu perilaku yang sakral.
1
64
1
78
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti
memberikan beberapa saran kepada:
1. Masyarakat Bugis Masyarakat Bugis
Tetap mempertahankan kebudayaannya yang telah diwariskan
budaya leluhur dan diharapkan para generasi muda dapat
melestarikan kebudayaannya, khususnya mappatabe. Mappatabe ini
mengandung nilai-nilai kesopanan yang sangat penting diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai wariasn budaya sudah menjadi kewajiban
untuk merawat dan melestarikan kebudayaan suku Bugis Kecamatan
Tanralili.
2. Pihak Pemerintah
Agar tetap mendukung serta mengawasi segala ketentuan adat
mappatabe dan berperan aktif menjaga, memelihara, mengembangkan
adat tersebut. Selain itu pemerintah dan masyarakat diharapkan untuk
saling menjaga hubungan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga interaksi
antar beberapa pihak dapat berjalan dengan baik.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan referensi untuk mengadakan
penelitian yang sejenis tentang tradisi masyarakat Kecamatan Kajuara
dalam pembahasan yang lebih luas.
65
1
79
DAFTAR PUSTAKA
Aab, 2018. Pengertian dan contoh Tradisi Mappatabe. Online dari
https://majalahpendidikan.com/tradisi-pengertian-manfaat-dan-contoh-
dari-tradisimappatabe. Diakses 23 September 2019
Akbar Firman, 2017 Pengertian Dan Contoh Kearifan Lokal. Online dari
https://www.infokekinian.com/pengertian-dan-contoh-kearifan-lokal.
Diakses pada tanggal 05 Oktober 2019.
Dieben Antonius, 2019. Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara. Online
dari https://www.kompasiana.com pancasila-sebagai-ideologi-dan-dasar-
negara. Diakses Pada Tanggal 10 Oktober 2019.
Gunawan, 2016. Metodologi Studi Agraria. Bogor: Pusat Kajian Agraria
Jamaluddin, Samsidar. 2014. Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di
Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai. Online dari
https://repositori.uin-alauddin.ac.id. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2019
Kartini. 2016. Data Statistik Kebudayaan. Online dari
https://www.Puplikasi.data.kemdikbud.go.id Diakses pada tanggal 06
Oktober 2019).
Marpaun, 2013. Urgensi Kearifan Lokal Membentuk Karakter Bangsa Dalam
Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Vol 2 No 2. Diakses pada tanggal
26 November 2019.
Martawijaya Agus, 2016 Model Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal untuk
Meningkatkan Karakter dan Ketuntasan Belajar. Jakarta: CV. Masagena.
Mattulada. H.A, 2009 Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassa
Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara LKPSM Yogyakart: PT.
Bumu Aksara.
Pongsibanne, L. K. 2017. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta. Kaukaba
Dipantara.
Permana Cecep Eka, 2002. Kearifan Lokal Masyarakat Budaya Dalam Mitigasi
Bencana. Jakarta: Wedatama.
Pratiwi, 2017 Fenomena Kemerosotan Tradisi Mappatabe pada Generasi
Millenial. Online dari https://secangkirliterasikpi.wordpress.com.fenomen.
tradisi-mappatabe-pada-generasi-millenial. Diakses pada tanggal 30
Sepetember 2019.
Purwanto Waid Agus, 2017. Kearifan Likal Masyarakat Desa Segoromulyo
Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang dalam Menghadapi Bencana
66
1
80
Keleringan. Online dari https://repositori.lib-unnes.ac.id. Diakses pada
tanggal 30 September 2019
Puspita, 2017. Implementasi Nilai-Nilai Sila Kedua Pancasila. Online dari
http://puspita.implementasi-nilai-nilai-sila-kedua-co.id. Diakses pada
tanggal 26 November 2019.
Rahayu Rifka, 2017. Budaya Indonesia Tentang Adat
Mappatabe. Online dari https://budaya-indonesia.org/Adat-Mappatabe-
Terlihat-Sepele-tetapi Sarat-Akan-Makna. Diakses pada tanggal 30
September 2019
Rahim, R, 2010 Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang:
Hasanuddin University
Rapanna Patta, 2016 Membumikan Kearifan Lokal Menuju Kemandirian
Ekonomi. Jakarta: PT. Sah Media
Rosidi, Ajip.2011. Kearifan Lokal Dalam perspektif Budaya Sunda. Bandung:
Kiblat Buku Utama
Sugiarto Eko, 2015. Proposal Penelotian Kualitatif Kuantitatif Skripsi dan Tesis.
Yogyakarta: Suaka Media
Sugiono, 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sutardi, T. 2016. Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung. PT. Setia Purna
Inves
Sutrisno, M. 2014. Teori-teori kebudayaan. Yogyakarta.
Kanisius
Sapri, 2016. Kearifan Lokal Adat Sampulo Rua Buluttana Kecamatan
Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Online dari https://repositori.uin-
alauddin.ac.id. Diakses pada tanggal 30 September 2019.
Setiawan Perta, 2019. Pancasila Sebagai Dasar Negara. Online dari
https://www.gurupendidikan.co.id/pancasila-sebagai-dasar-negara.
Diakses pada tanggal 05 Oktober 2019.
Yustisia, 2013. Nilai-Nilai Kearifan Lokal. Online dari
https://media.neliti.com/media/publications/271651-nilai-nilai-kearifan-
lokal-local-wisdom.pdf. Diakses pada tanggal 26 November 2019.
Widyanti Triani, 2015. Penerapan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Sebagai Sumber Pembelajaran
IPS. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol 24 No 2. Diakses pada tanggal 26
November 2019.
67
1
81
LAMPIRAN
1
82
LAMPIRAN NAMA-NAMA INFORMAN
NO
NAMA
PEKERJAAN
LAMA
DOMISILI
1 H Pemuka Agama 40 Tahun
2 S Masyarakat 33 Tahun
3 M Guru Sekolah 35 Tahun
4 S Masyarakat 40 Tahun
5 N Tokoh
Masyarakat
57 Tahun
6 FW Guru Sekolah 54 Tahun
7 N Masyarakat 60 Tahun
8 SA Masyarakat 27 Tahun
9 N Masyarakat 35 Tahun
10 MN Masyarakat 30 Tahun
11 M Masyarakat 60 Tahun
12 Y Masyarakat 35 Tahun
13 N Masyarakat 40 Tahun
1
83
Lampiran
PEDOMAN WAWANCARA
(INFORMAN)
TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN
TANRALILI KABUPATEN MAROS (ANALISIS IMPLEMENTASI
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP
PENGAMALAN SILA KEDUA PANCASILA)
Narasumber : Tokoh Masyarakat Kecamatan Tanralili
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Tanggal Wawancara :
1. Apa yang anda pahami tentang tradisi budaya mappatabe sebagai masyarakat
di kecamatan Tanralili ?
2. Apakah Budaya tradisi budaya mappatabe termasuk budaya yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat di kecamatan Tanralili ?
3. Apakah ada perbedaan pada masyarakat kecamatan Tanralili antara tradisi
budaya Mappatabe yang dahulu dengan yang sekarang ?
4. Apakah budaya tradisi budaya Mappatabe dapat mempererat tali
persaudaraan bagi masyarkat di kecamatan Tanralili
5. Apakah tradisi budaya mappatabe berperang penting dalam kemandirian
masyarakat di kecamatan Tanralili ?
6. Perubahan-perubahan apa sja yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi budaya
mappatabe ?
7. Sejak kapan terjadi adanya perubahan-perubagan tersebut ?
8. Adakah dampak dari perubahan ini bagi masyarakat ?
1
84
Narasumber : Masyarakat Kecamatan Tanralili
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Tanggal Wawancara :
1. Bagaimana pemahaman tentang tradisi Budaya Mappatabe ?
2. Bagaimanba penerapan traisi budaya mappatabe pada zaman dahulu ?
3. Bagaimanba penerapan traisi budaya mappatabe pada pasa sekarang ?
4. Bagi anak zaman sekarang apakah masih menerapkan tradisi budaya
mappatabe ?
5. Apakah ada pergeseran yang terjadi tentang tradisi budaya mappatabe
khususnya dikecamatan Tanralili ?
6. Apa harapan dan keinginan terhadap tradisi budaya mappatabe ?
7. Perubahan-perubahan apa sja yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi budaya
mappatabe ?
8. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perubahan tradisi budaya
mappatabe di kecamatan tanralili ?
Narasumber : Pemuka Agama Kecamatan Tanralili
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Tanggal Wawancara :
1. Apa yang anda pahami tentang tradisi budaya mappatabe sebagai masyarakat
di kecamatan Tanralili ?
2. Apakah tradisi budaya mappatabe bertentangan dengan nilai agama ?
3. Apakah dampak positif saat menerapkan tradisi budaya mappatabe ?
4. Apakah dampak negatif saat tradisi budaya mappatabe tidak di terapkan lagi di
kecamatan tanralili ?
1
85
5. Apakah semua kalangan masyarakat masih mempercayai dan melakukan
tradisi budaya mappatabe ?
Narasumber : Guru sekolah di Kecamatan Tanralili
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Tanggal Wawancara :
1. Apa yang anda pahami tentang tradisi budaya mappatabe sebagai masyarakat
di kecamatan Tanralili ?
2. Bagaiman upaya mempertahankan tradisi mappatabe dan makna yang
terkandung dalam nilai-nilai sila kedua pancasila ?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mempertahankan tradisi budaya
mappatabe ini seiring dengan perkembangan zaman ?
4. Menenurut bapak/ibu apa yang harus dilakukan agar tradisi budaya mappatabe
masih di terapkan hingga saat ini ?
5. Apakah alasan nilai-nilai kearifan lokal di kecamatan Tanralili yang telah
disebutkan patut untu diangkat dalam pengamalan sila kedua pancasila ?
1