tokoh & definisi kecerdasan emosi

2
Ketika filsafat hidup eksistensialisme menyebarkan pengaruhnya dalam kehidupan orang-orang barat, terutama setelah perang dunia ke dua eksistensi manusia menjadi tema sentral, kebebasan mutlak adalah ideologinya dan menopikan keberadaan orang lain adalah ajaranya. Sebgaimana difatwakan salah seorang tokoh eksistensialis yaitu Sarte, dia mengatakan : Orang lain itu adalah kematian yang tersembunyi bagi kemungkinan-kemungkinanku (B&N 264), dibagian lain diapun menulis asal mula kejatuhanku adalh eksistensi orang lain (B&N 263). Pendahuluan Kemampuan berkarya berdasar keunggulan dirinya (intelegensinya)adalah ajaran yang selalu dikobarkan oleh Nietzche (tokoh eksistensialis), karena bagi dirinya mencipta menjadi mungkin oleh karena para Tuhan sudah mati. Sudah lama sekali mati, mencipta dan berkreasi, sekali lagi mencipta dan berkreasi itulah satu-satunya kebajikan bagi manusia. Kehidupan yang kering dan kesepian itulah yang di dapat bagi oang-orang yang mendambakan kebebasan mutlak sebagai tuntutan eksistensinya tiada harmoni dalam dirinya apalagi harmoni dengan orang lain, menjadikan manusia hanya berfikir (kecerdasan intelektual) dan berfikir tanpa memperhatikan kemampuan beremosi, berimpati pada orang lain dan kecakapan-kecakapan social yang lain. Tetapi banyak penemuan dari berbagai penelitian yang diungkapkan oleh Daniel Goleman (1995) yang ternyata menemukan, bahwa kecerdasan emosi mempunyai peran yang sangat penting dalam kesuksesan hidup seseorang. Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional : Sebelum dikenalkannya istilah kecerdasan emosional oleh Peter Salorey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire pada tahun 1990 dan dimasyarakatkan oleh Daniel Goleman (1995) kecerdasan diartikan dengan amat sempit, yaitu sebagai kemampuan menyerap, mengolah, mengekspresikan, mengantisipasi dan mengembangkan hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, ilmu dan teknologi, dengan kata lain kecerdasan diartikan dengan Kemampuan berfikir yang hasilnya dapat diukur dengan angka-angka yang sering disebut dengan IQ, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal, termasuk ingatan, perbendaharaan kata, wawasan, abtraksi, logika, ketrampilan motorik visual (faktor intelegensi umum) yang biasanya berkorelasi dengan ujian bakat seperti ujian masuk PT dsb. Dan nilai dasa warsa terakhir abad 20 ini nilai dengan intensif dikembangkan konsep kecerdasan yang lebih luas, yaitu kecerdasan emosional. Menurut Dr. Patricia Patton (1997) kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik singgasana kemampuan intelektual. Makna yang dikemukakan di atas secara implisif bisa ditangkap adanya faktor-faktor lain yang sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang diluar faktor IQ yang selama ini diagung-agungkan. Salorey dan Meyer (1996) mendefiniskan kecerdasan emosional sebagai ; himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan menantau perasaan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan. Mereka memberikan batasan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan intelek. Dibukunya Goleman (1997) menguraikan tentang ciri-ciri kecerdasan emosi yang mencakup : kesadaran diri dan dorongan hari, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Berkenaan dengan adanya dua kecerdasan itu, yaitu kecerdasan intelektual yang menyatu pada kemampuan berfikir, dan kecerasan emosional yang menyatu pada kemampuan beremosi, dapat dikatakan bahwa dimungkinkan orang- orang yang IQ tinggi mengalami kegagalan, sedangkan atau mereka yang ber IQ sedang sedang saja dapat mencapai sukses besar. Goleman dalam bukunya juga menyatakan bahwa prosentase kontribusi IQ dalm menunjang kesuksesan seseorang tak lebih dari 20 persen didukung oeh faktor lainnya, termasuk kecerdasan emosional. Kedua jenis kecerdasan merupakan kekayaan yang tidak ternilai bagi individu yang tidak bersangkutan, pengembangan dan penggunaan secara optimal dan seimbang akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kesuksesan seseorang ( di samping kuasanya Tuhan ). Dan yang lebih menarik adalah bahwa IQ sangat di pengauhi oleh faktor keturunan tetapi EQ ( Kecerdasan Emosional ) bisa di latih dan di kembangkan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan pendidikan dan asuhan maupun perlakuan agar mereka mampu mengembangkn kecakapan-kecakapan emosionalnya dan pada akhirnya mampu membuka peluangnya lebih besar untuk mencapai keberhasilan. Pengukuran Kecerdasan Emosional Pengukuran kecerdasan emosional ( Emosional Quotient ) sebagai nama yang lazim di gunakan dalam pengukuran intelegeni Quoient ( pengukuran intelegensi ) sebagaimana yang di lakukan stanford-Briet mampu uji kecerdasan yang di lakukan olehWeeksler ( Weeksler Intellegence Scales ) belumlah banyak di lakukan orang . Dari kepustakaan yang ada saat ini ( 2000 ) barulah Cooper dan Sowaf sebagaimana di sampaikan johana E Prawitasari ( peneliti UGM ) bahwa sudah mengembangkan pengukuran kecerdasan emosi untuk para eksekutif dalam mengelola organisasi. Mereka mengembangkan 21 skala untuk menemukan EQ seorang ekskutif. Bagian I terdiri dari skala I sampai dengan 3 yaitu pernyataan tentang peristiwa hidup yang menimbulkan ketegangan, tekanan kerja dan tekanan pribadi; Bagian II berisi skala 4 sampai dengan II, pernyataan tentang kenekatan emosi, ekpresi emosi dankecerdasan emosi orang lain. Bagian III berisi skala 7 sampai dengan 11, pernyataan dalam skala-skala itu meliputi intensiolitas, kreatifitas,

Upload: flavia-viencia

Post on 24-Jun-2015

620 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tokoh & Definisi Kecerdasan Emosi

Ketika filsafat hidup eksistensialisme menyebarkan pengaruhnya dalam kehidupan orang-orang barat, terutama

setelah perang dunia ke dua eksistensi manusia menjadi tema sentral, kebebasan mutlak adalah ideologinya dan

menopikan keberadaan orang lain adalah ajaranya. Sebgaimana difatwakan salah seorang tokoh eksistensialis yaitu

Sarte, dia mengatakan : “ Orang lain itu adalah kematian yang tersembunyi bagi kemungkinan-kemungkinanku (B&N

264), dibagian lain diapun menulis “asal mula kejatuhanku adalh eksistensi orang lain (B&N 263).

Pendahuluan 

Kemampuan berkarya berdasar keunggulan dirinya (intelegensinya)adalah ajaran yang selalu dikobarkan oleh

Nietzche (tokoh eksistensialis), karena bagi dirinya mencipta menjadi mungkin oleh karena para Tuhan sudah mati.

Sudah lama sekali mati, mencipta dan berkreasi, sekali lagi mencipta dan berkreasi itulah satu-satunya kebajikan bagi

manusia.

Kehidupan yang kering dan kesepian itulah yang di dapat bagi oang-orang yang mendambakan kebebasan mutlak

sebagai tuntutan eksistensinya tiada harmoni dalam dirinya apalagi harmoni dengan orang lain, menjadikan manusia

hanya berfikir (kecerdasan intelektual) dan berfikir tanpa memperhatikan kemampuan beremosi, berimpati pada orang

lain dan kecakapan-kecakapan social yang lain.

Tetapi banyak penemuan dari berbagai penelitian yang diungkapkan oleh Daniel Goleman (1995) yang ternyata

menemukan, bahwa kecerdasan emosi mempunyai peran yang sangat penting dalam kesuksesan hidup seseorang.

Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional :

Sebelum dikenalkannya istilah kecerdasan emosional oleh Peter Salorey dari Harvard University dan John Meyer dari

University of New Hampshire pada tahun 1990 dan dimasyarakatkan oleh Daniel Goleman (1995) kecerdasan diartikan

dengan amat sempit, yaitu sebagai kemampuan menyerap, mengolah, mengekspresikan, mengantisipasi dan

mengembangkan hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, ilmu dan teknologi, dengan kata lain kecerdasan

diartikan dengan “Kemampuan berfikir” yang hasilnya dapat diukur dengan angka-angka yang sering disebut dengan

IQ, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal, termasuk ingatan, perbendaharaan kata, wawasan,

abtraksi, logika, ketrampilan motorik visual (faktor intelegensi umum) yang biasanya berkorelasi dengan ujian bakat

seperti ujian masuk PT dsb.

Dan nilai dasa warsa terakhir abad 20 ini nilai dengan intensif dikembangkan konsep kecerdasan yang lebih luas, yaitu

kecerdasan emosional.

Menurut Dr. Patricia Patton (1997) kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik singgasana kemampuan intelektual.

Makna yang dikemukakan di atas secara implisif bisa ditangkap adanya faktor-faktor lain yang sangat berperan

terhadap keberhasilan seseorang diluar faktor IQ yang selama ini diagung-agungkan.

Salorey dan Meyer (1996) mendefiniskan kecerdasan emosional sebagai ; himpunan bagian dari kecerdasan sosial

yang melibatkan kemampuan menantau perasaan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-

milah semuanya, dan menggunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Mereka memberikan batasan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan untuk

membantu pikiran, mengenal emosi dan intelek.

Dibukunya Goleman (1997) menguraikan tentang ciri-ciri kecerdasan emosi yang mencakup : kesadaran diri dan

dorongan hari, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial.

Berkenaan dengan adanya dua kecerdasan itu, yaitu kecerdasan intelektual yang menyatu pada kemampuan berfikir,

dan kecerasan emosional yang menyatu pada kemampuan beremosi, dapat dikatakan bahwa dimungkinkan orang-

orang yang IQ tinggi mengalami kegagalan, sedangkan atau mereka yang ber IQ sedang –sedang saja dapat mencapai

sukses besar. Goleman dalam bukunya juga menyatakan bahwa prosentase kontribusi IQ dalm menunjang kesuksesan

seseorang tak lebih dari 20 persen didukung oeh faktor lainnya, termasuk kecerdasan emosional.

Kedua jenis kecerdasan merupakan kekayaan yang tidak ternilai bagi individu yang tidak bersangkutan,

pengembangan dan penggunaan secara optimal dan seimbang akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi

kesuksesan seseorang ( di samping kuasanya Tuhan ).

Dan yang lebih menarik adalah bahwa IQ sangat di pengauhi oleh faktor keturunan tetapi EQ ( Kecerdasan Emosional )

bisa di latih dan di kembangkan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan pendidikan dan asuhan maupun

perlakuan agar mereka mampu mengembangkn kecakapan-kecakapan emosionalnya dan pada akhirnya mampu

membuka peluangnya lebih besar untuk mencapai keberhasilan.

Pengukuran Kecerdasan Emosional

Pengukuran kecerdasan emosional ( Emosional Quotient ) sebagai nama yang lazim di gunakan dalam pengukuran

intelegeni Quoient ( pengukuran intelegensi ) sebagaimana yang di lakukan stanford-Briet mampu uji kecerdasan yang

di lakukan olehWeeksler ( Weeksler Intellegence Scales ) belumlah banyak di lakukan orang .

Dari kepustakaan yang ada saat ini ( 2000 ) barulah Cooper dan Sowaf sebagaimana di sampaikan johana E

Prawitasari ( peneliti UGM ) bahwa sudah mengembangkan pengukuran kecerdasan emosi untuk para eksekutif dalam

mengelola organisasi.

Mereka mengembangkan 21 skala untuk menemukan EQ seorang ekskutif.

Bagian I terdiri dari skala I sampai dengan 3 yaitu pernyataan tentang peristiwa hidup yang menimbulkan ketegangan,

tekanan kerja dan tekanan pribadi;

Bagian II berisi skala 4 sampai dengan II, pernyataan tentang kenekatan emosi, ekpresi emosi dankecerdasan emosi

orang lain.

Page 2: Tokoh & Definisi Kecerdasan Emosi

Bagian III berisi skala 7 sampai dengan 11, pernyataan dalam skala-skala itu meliputi intensiolitas, kreatifitas,

kelenturan hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan kontruksif.

Bagian IV mengukur nilai dan keyakinan EQ dalam skala 12 sampai dengan skala 17 pernyataan-pernyataan dalam

skala itu menyangkut keharuan, optimisme, intuisi, radius, kepercayaan, kekuatan pribadi dan integritas.

Bagian V terdiri atas skala 18 sampai dengan 21 yang berisi tentang kesehatan umum, kualitas hidup, rasio hubungan

dankinerja optimal.

Angka-angka yang di peroleh dari skala-skala itu di bandingkan dengan penilaian melalui kisi-kisi pada peta EQ. Hasil

yang di peroleh dari EQ yang optimal yang tertinggi di susul dengan cukup EQ rapuh dan hati-hati merupakan angka

yang lebih ini perlu belajar dan berlatih untuk untuk mengembangkan kecerdasan emosinya.

Dalam skup yang lebih luas misal mengukur tentang empati, keramahan, percaya diri atau sikap hormat pada orang

lain, kehidupan pribadidan sosial yang sejuk semangat tinggi, aktif mengendalikan amarah dsb.

Sebagaimana yang di akui sendiri oleh Goleman, belum ada pengukuran baku untuk menentukan kecerdasan emosi

tersebut.

Tapi penerapan kecerdasan emosi bagi kehidupan bisa di latihkan dan di lakukan, sebagaimana yang di tulis dalam

buku Daniel Goleman ( Emotional Intelegence, 1995 ) dan di uraikan lebih operasional oleh Lawrence E Shapiro ( How

to Raise A Child With a High EQ, 1997 ) peranan EQ dalam pengembangan kesuksesan yang lebih bermakna oleh

Patrici Patton ( EQ-Development From Succes to Significance 1997 )

Penulis-penulis di atas telah menguraikan panjang lebar dengan mengutip penelitian-penelitian yang sudah ada

maupun melakukan penelitian dan pengamatan sendiri-sendiri tentang peranan dan penerapan kecerdasan emosional

pada bidang-bidang kehidupan.

Mayer dan Salovey ( 1997 ) yang bukunya banyak di ulas I buku Goleman ( dikutip dari Johana EP ) mencoba

menerangkan lebih detil diagramkecerdasan emosi untuk mempermudah, memahami kecerdasan emosi

Dalam diagram tersebut terdapat empat tahapan dan masing-masing tahapan terdiri dari empat hal : di bawah sendiri

di tulis persepsi, penilaian dan ekspresi emosi. Dalam tahapann ini dibutuhkan empat kemampuan, yang pertama

yaitu mengenal emosi secara fisik rasa dan pikir. Kedua perlu ada kemampuan untuk mengenal emosi orang lain,

desain, karya seni dsb, melalui bahasa, bunyi, penampilan dan perilaku.

Ketiga yaitu kemampuan untuk membedakan ungkapan rasa antara tepat dan tidak tepat, jujur versus tidak jujur

Diatasnya yaitu pada kedua berisi fasilitas emosi untuk berfikir yang juga terdiri dari empat hal :

Pertama, emosi memberikan prioritas pada pikiran dengan menggerakkan perhatian pada informasi penting.

Kedua, emosi cukup gamblang dan tersedia sehingga emosi tersebut dapat digunakan sebagai bantaun untuk menilai

dan mengingat yang berhubungan dengan rasa. Perubahan emosi mengubah perspektif individu dari optimis jadi

pesimis, mendorong adanya perbedaan pandangan. Keadaan emosi mendorong adanya perbedaan pendekatan

khusus dalam pemecahan masalah, misalnya ketika kebahagiaan memberikan fasilitas untuk penalaran induktif dan

kreativitas. Tahapan ketiga adalah pengertian dan penguraian emosi, penggunaan pengetahuan. Disini ada empat

kemampuan, yang pertama adalah kemampuan untuk memberikan label emosi, dan mengenal hubungan antara

berbagai kata dan emosi itu sendiri, misalnya hubungan antara suka, menyukai dan menyintai. Kedua adalah

kemampuan untuk mengartikan arti bahwa emosi berkaitan dengan hubungan, misalnya kesedihan sering menyertai

kehilangan. Ketiga yaitu mengerti rasa komplex, rasa cinta bersamaan dengan benci, atau campuran seperti takjub

adalah kombinasi takut dan terkejut. Keempat adalah kemampuan untuk mengenal adanya perpindahan diantara

berbagai emosi, seperti adanya perpindahan dari marah ke puas atau dari marah ke malu.

Diatas sendiri ada pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelek, ada empat

kemampuan disitu. Yang pertama adalah tetap terbuka untuk rasa. Kedua-duanya yaitu yang menyenangkan dan tak

menyenangkan. Kedua adalah kemampuan untuk melibatkan diri atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi

dengan mendasarkan pada pertimbangan adanya informasi dan kegunaan.

Ketiga yaitu kemampuan untuk memantau emosi secara reflektif dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain,

misalnya mengenal betapa jelas, khusus, berpengaruh atau bernalar semuanya itu. Keempat adalah kemampuan

untuk mengelola emosi dalam diri sendiri dan orang lain dengan memadyakan emosi negatif dan memperbesar yang

menyenangkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang menyertainya.

http://sholahuddin.edublogs.org/2010/05/02/apakah-kecerdasan-emosi-itu-1/comment-page-1/