tinjaun teoritis pemotongan pajak
TRANSCRIPT
Tinjaun Teoritis:
Pemotongan Pajak (Tax Cut) dalam Konteks Stimulus Fiskal
A. Pemotongan Pajak dalam perspktif Teoritis dan Empiris
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenagan yang lebih besar
di dalam menjalankan roda perekonomian daerah. Salah satu langkah utama peran
pemerintah daerah dalam mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui
kebijkan fiskal. Dengan instrumen kebijakan fiskal, pemerintah daerah dapat mengatur
penerimaan dan belanja daerah dalam APBD. Pemerintah daerah dapat mengatur tingkat
penerimaan dan surplus/defisit belanja daerah dalam APBD.
Salah satu upaya kebijakan fiskal dalam meningkatkan penerimaan daerah adalah
dengan mengelurkan kebijakan stimulus fiskal. Menurut pandangan Keynes-an, bahwa
kenaikan pengeluaran pemerintah tidak hanya memindahkan sumber daya dari sektor
swasta ke pemerintah Keynes juga mengemukakan adanya dampak berganda (multiplier
effect) dari pengeluaran tersebut.
Dalam berbagai literatur kebijak publik, stimulus fiskal merupakam suatu instrumen
yang dianggap sebagai solusi yang efektif dalam meredam masa resesi yang kelam dan
memacu pertumbuhan ekonomi serta mengurangi gap antara GDP potensial dan GDP
aktual yang terjadi akibat hilangnya output karena hantaman krisis. Konsep ini lah yang
sering diapakai oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, dimana pada masa krisis atau
ketika terjadi stagnasi perkenonomian pemerinta mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal
untuk memacu perekonomiannya. Salah satunya yang populer pada saat krisis global
2008 adalah instrumen ekonomi berupa stimulus fiskal.
Secara teoritis, stimulus fiskal bekerja dalam jangka pendek. Pada dasarnya stimulus
fiskal ditujukan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang
selanjutnya (diharapkan) akan berpangaruh pada aktivitas perekonomian dalam jangka
pendek. Dalam konteks ini, stimulus fiskal lebih cepat mempengaruhi komponen-
komponen permintaan agregat sehingga akan lebih cepat pula mendorong laju
pertumbuhan output dari sektor usaha. Sesuai dengan konsepnya pula, kebijakan
Stimulus Fiskal dirancang sedemikian rupa dengan menentukan sasaran-sasaran
maupun mekanisme pelaksanaannya agar lebih tepat mengenai sasaran dan lebih cepat
pula menggerakkan pertumbuhan di sektor riil. Stimulus Fiskal apabila tepat mengenai
sasaran, selain waktu penyesuaian lebih pendek, juga akan menahan (sementara)
merosotnya angka pertumbuhan ekonomi atau bahkan memacu pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, permintaan agregat hanyalah sasaran antara. Sementara itu, sasaran
yang sesungguhnya adalah untuk mengurangi atau menahan menurunnya laju
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi besarnya gelombang PHK. Oleh karena itu,
apabila penentuan sasaran dalam Stimulus Fiskal bisa tepat atau efektif, maka akan
semakin cepat pengaruhnya untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi, termasuk di
ataranya pula menahan laju gelombang PHK pada saat resesi ekonomi.
Secara garis besar, komposisi dari stimulus fiskal adalah berupa pengurangan beban
pajak (tax cut) dan tambahan belanja pemerintah (increased spending). Sebagaimana
yang telah diuraikan di atas, stimulus fiskal bekerja melalui sasaran antara (intermediate
targeting), yaitu permintaan agregat. Salah satu bentuk stimulus fiskal adalah
pemotongan pajak (tax cut). Misalnya, pemotongan pajak penghasilan (PPh), dimana
kebijakan ini akan mengurangi beban pendapatan sehingga pihak yang menerima beban
pajak akan menaikkan kapasitas konsumsinya. Ada dua jenis pajak yang dimaksudkan
menjadi sasaran dalam Stimulus Fiskal, yaitu pajak yang dikenakan kepada rumah
tangga dan pajak yang dikenakan pengusaha (swasta). Bagi pengusaha, pemotongan
pajak (tax cut) akan mengurangi beban biaya operasional sehingga akan lebih mampu
untuk mempertahankan kapasitas produksinya, termasuk di antaranya mengurangi
pilihan untuk melakukan rasionalisasi tenaga kerja.
Berdasarkan studi empiris, kebijakan pemotongan pajak (tax cut) efektif digunakan
dalam masa resesi ekonomi. Dalam beberapa hasil studi empiris di beberapa negara
berkembang menunjukkan bahwa stimulus fiskal berupa pengurangan beban pajak lebih
berhasil untuk menstimulasi pertumbuhan daripada stimulus fiskal dalam bentuk ekspansi
belanja. Dalam suasana penurunan permintaan global dan suku bunga yang rendah di
banyak negara, stimulus fiskal menjadi tumpuan harapan. Agar kebijakan stimulus fiskal
efektif, maka harus sesuai prinsip-prinsip 3 T. Prinsip 3 T yaitu: timely (cepat), targeted
(mengena), dan temporary (sementara). Kondisi ini akan menjadi lebih efektif apabila
kebijakan tersebut bersifat otomatis dan menjadi 'stabilizers' serta 'built-in' dalam
perekonomian.
Dalam konteks, rencana Pemerintah Jawa Timur dalam pemberian insentif fiskal
bagi investor di Jawa Timur Tahun 2013 dalam bentuk pembebasan atas PKB kendaraan
baru dan pembebasan BBN-KB bagi investor baru dan ekspansi perusahaan, maka
berdsarkan prinsip 3 T di atas dapat disimpulkan sudah tepat. Artinya secara timely dapat
dilaksanakan secara cepat, secara targeted memiliki sasaran atau target yang jelas, dan
temporary memiliki tenggang waktu yang pasti. Perlu dipahami bahwa kebijakan yang
akan diambil tentunya akan berdampak pada menurunnya penerimaan dalam jangka
pendek (periode tahun berjalan). Namun, dalam jangka panjang diharapkan akan
meningkatkankan investasi dan penerimaan daerah juga akan meningkat.
Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan pula bahwa, insentif fiskal bukan satu-
satunya upaya menarik investasi. Peningkatan investasi melalui insentif fiskal harus
didukung pula oleh daya tarik daerah dan negara, adanya iklim ivestasi yang sehat dan
kondusif, serta kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Dalam
perkembangannya faktor-faktor daya tarik investasi tidak hanya menyangkut stabilitas
politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur, dasar (listrik,
telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan
dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi
(dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance, termasuk korupsi,
konsistensi serta adanya kepastian dari kebijakan pemerintah (Tambunan, 2006).
Beberapa studi menemukan beberapa hal yang menjadi permasalahan investasi.
Laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World Bank, 2005) mengatakan terdapat
empat faktor terpenting dalam menarik investasi, antara lain stabilitas ekonomi makro,
tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi. Begitu juga studi yang
dilakukan oleh KPPOD (2003) tentang Pemeringkatan Daya Tarik Investasi tahun
terhadap 156 kabupaten/kota di Indonesia terdapat dari 5 (lima) faktor utama pembentuk
daya tarik investasi daerah yaitu faktor kelembagaan, faktor sosial politik, faktor ekonomi
daerah, faktor tenaga kerja dan produktifitas serta faktor infrastruktur fisik. Studi lainnya
yakni survei WEF (2007) menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi pengusaha
di Indonesia berturut-turut adalah masalah infrastruktur yang buruk, birokrasi yang tidak
efisien, akses dana terbatas, kebijakan yang tidak stabil, dan perpajakan.
Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan kebijakan insentif fiskal/pajak
daerah, maka harus disertai dengan seperangkat instrument pendukung dalam
menciptakan iklim investasi yang sehat dan peningkatan berbagai komponen daya saing
investasi daerah.
B. Analisis Statistik: Hubungan Pajak Daerah Dengan PMA dan PMDN di Jawa Timur
Untuk mengetahui tingkat hubungan antara Pajak Daerah (PD) dengan Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), maka digunakan
analisis uji korelasi.
1. Hubungan Pajak Daerak dengan PMA
Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa antara pajak daerah
dengan PMA memiliki hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari nilai korelasinya,
dimana diketahui bahwa hubungan antara PD dengan PMA memiliki nilai 0,83 yang
berarti hubungan antara PD dan PMA dikategorikan sangat kuat.
Tabel 1
Uji Korelasi
Correlations
PD PMA
Pearson Correlation PD 1.000 .830
PMA .830 1.000
Sig. (1-tailed) PD . .000
PMA .000 .
N PD 20 20
PMA 20 20
Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013
Selanjutnya, berdasarkan hasil regresi menunjukkan bahwa perubahan pajak daerah
akan berdampak pada PMA di Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara
PD dan PMA memiliki koefisien sebesar 0,081, yang artinya ketika Pajak Daerah
Jawa Timur naik 1% maka PMA di Jawa Timur akan naik sebesar 0,081%.
Tabel 2 Hasil Regresi
Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013
Pajak daerah akan dapat menaikkan PMA dimungkinkan terjadi karena para investor
melihat dari aspek kepastian hukum (certainty). Dengan jaminan kepastian hukum
terhadap pengenaan pajak daerah, maka investor akan dapat menghitung biaya-iaya
yang hars dikeluarkan dalam proses investasi mapun ketika sudah berlangsung
proses produksi. Sehingga sudah menajdi kewajiban pemerintah untuk memberikan
kepastian hukum di dalam pengenaan pajak daerah.
2. Hubungan antara Pajak Daerah dengan PMDN
Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa antara pajak daerah
dengan PMDN memiliki hubungan kurang kuat. Hal ini dapat dilihat dari nilai
korelasinya, dimana diketahui bahwa hubungan antara PD dan PMDN sebesar 0,46
yang artinya PD dan PMDN memiliki hubungan yang sangat sedang tidak telalu kuat
dan tidak terlalu tinggi
Tabel 3
Uji Korelasi
Correlations
PD PMDN
Pearson Correlation PD 1.000 .460
PMDN .460 1.000
Sig. (1-tailed) PD . .021
PMDN .021 .
N PD 20 20
PMDN 20 20
Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013
Selanjutnya, berdasarkan hasil regresi menunjukkan bahwa perubahan pajak daerah
akan berdampak pada PMDN di Jawa Timur. hal ini dapat dilihat dari hasil regresi
yang menunjukkan koefisien PD terhadap PMDN sebesar 0,065, dimana artinya
ketika Pajak daerah Jawa Timur D naik 1% maka PMDN di Jawa Timur akan naik
sebesar 0,065%.
Tabel 4 Hasil Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
95% Confidence Interval
for B Correlations
B Std. Error Beta
Lower
Bound Upper Bound
Zero-
order Partial Part
1 (Constant) 886.951 203.330 4.362 .000 459.771 1314.132
PMDN .065 .030 .460 2.198 .041 .003 .127 .460 .460 .460
a. Dependent Variable:
PD
Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013
REFERENSI
KPPOD, 2003, Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, Jakarta: KPPOD.
Tambunan, Tulus, 2006, Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi”, Artikel dalam www.kadin-indonesia.or.id
WEF, 2005, The Global Competitiveness Report 2005-2006,.Geneva: World Economic Forum.
World Bank, 2005, Laporan Pembangunan Dunia 200,Jakarta: Penerbit Salemba Empat.