tinjaun teoritis pemotongan pajak

6
Tinjaun Teoritis: Pemotongan Pajak (Tax Cut) dalam Konteks Stimulus Fiskal A. Pemotongan Pajak dalam perspktif Teoritis dan Empiris Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenagan yang lebih besar di dalam menjalankan roda perekonomian daerah. Salah satu langkah utama peran pemerintah daerah dalam mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui kebijkan fiskal. Dengan instrumen kebijakan fiskal, pemerintah daerah dapat mengatur penerimaan dan belanja daerah dalam APBD. Pemerintah daerah dapat mengatur tingkat penerimaan dan surplus/defisit belanja daerah dalam APBD. Salah satu upaya kebijakan fiskal dalam meningkatkan penerimaan daerah adalah dengan mengelurkan kebijakan stimulus fiskal. Menurut pandangan Keynes-an, bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah tidak hanya memindahkan sumber daya dari sektor swasta ke pemerintah Keynes juga mengemukakan adanya dampak berganda (multiplier effect) dari pengeluaran tersebut. Dalam berbagai literatur kebijak publik, stimulus fiskal merupakam suatu instrumen yang dianggap sebagai solusi yang efektif dalam meredam masa resesi yang kelam dan memacu pertumbuhan ekonomi serta mengurangi gap antara GDP potensial dan GDP aktual yang terjadi akibat hilangnya output karena hantaman krisis. Konsep ini lah yang sering diapakai oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, dimana pada masa krisis atau ketika terjadi stagnasi perkenonomian pemerinta mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal untuk memacu perekonomiannya. Salah satunya yang populer pada saat krisis global 2008 adalah instrumen ekonomi berupa stimulus fiskal. Secara teoritis, stimulus fiskal bekerja dalam jangka pendek. Pada dasarnya stimulus fiskal ditujukan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang selanjutnya (diharapkan) akan berpangaruh pada aktivitas perekonomian dalam jangka pendek. Dalam konteks ini, stimulus fiskal lebih cepat mempengaruhi komponen- komponen permintaan agregat sehingga akan lebih cepat pula mendorong laju pertumbuhan output dari sektor usaha. Sesuai dengan konsepnya pula, kebijakan Stimulus Fiskal dirancang sedemikian rupa dengan menentukan sasaran-sasaran maupun mekanisme pelaksanaannya agar lebih tepat mengenai sasaran dan lebih cepat pula menggerakkan pertumbuhan di sektor riil. Stimulus Fiskal apabila tepat mengenai sasaran, selain waktu penyesuaian lebih pendek, juga akan menahan (sementara) merosotnya angka pertumbuhan ekonomi atau bahkan memacu pertumbuhan ekonomi.

Upload: diassatria

Post on 06-Aug-2015

165 views

Category:

Economy & Finance


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjaun teoritis pemotongan pajak

Tinjaun Teoritis:

Pemotongan Pajak (Tax Cut) dalam Konteks Stimulus Fiskal

A. Pemotongan Pajak dalam perspktif Teoritis dan Empiris

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenagan yang lebih besar

di dalam menjalankan roda perekonomian daerah. Salah satu langkah utama peran

pemerintah daerah dalam mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui

kebijkan fiskal. Dengan instrumen kebijakan fiskal, pemerintah daerah dapat mengatur

penerimaan dan belanja daerah dalam APBD. Pemerintah daerah dapat mengatur tingkat

penerimaan dan surplus/defisit belanja daerah dalam APBD.

Salah satu upaya kebijakan fiskal dalam meningkatkan penerimaan daerah adalah

dengan mengelurkan kebijakan stimulus fiskal. Menurut pandangan Keynes-an, bahwa

kenaikan pengeluaran pemerintah tidak hanya memindahkan sumber daya dari sektor

swasta ke pemerintah Keynes juga mengemukakan adanya dampak berganda (multiplier

effect) dari pengeluaran tersebut.

Dalam berbagai literatur kebijak publik, stimulus fiskal merupakam suatu instrumen

yang dianggap sebagai solusi yang efektif dalam meredam masa resesi yang kelam dan

memacu pertumbuhan ekonomi serta mengurangi gap antara GDP potensial dan GDP

aktual yang terjadi akibat hilangnya output karena hantaman krisis. Konsep ini lah yang

sering diapakai oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, dimana pada masa krisis atau

ketika terjadi stagnasi perkenonomian pemerinta mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal

untuk memacu perekonomiannya. Salah satunya yang populer pada saat krisis global

2008 adalah instrumen ekonomi berupa stimulus fiskal.

Secara teoritis, stimulus fiskal bekerja dalam jangka pendek. Pada dasarnya stimulus

fiskal ditujukan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang

selanjutnya (diharapkan) akan berpangaruh pada aktivitas perekonomian dalam jangka

pendek. Dalam konteks ini, stimulus fiskal lebih cepat mempengaruhi komponen-

komponen permintaan agregat sehingga akan lebih cepat pula mendorong laju

pertumbuhan output dari sektor usaha. Sesuai dengan konsepnya pula, kebijakan

Stimulus Fiskal dirancang sedemikian rupa dengan menentukan sasaran-sasaran

maupun mekanisme pelaksanaannya agar lebih tepat mengenai sasaran dan lebih cepat

pula menggerakkan pertumbuhan di sektor riil. Stimulus Fiskal apabila tepat mengenai

sasaran, selain waktu penyesuaian lebih pendek, juga akan menahan (sementara)

merosotnya angka pertumbuhan ekonomi atau bahkan memacu pertumbuhan ekonomi.

Page 2: Tinjaun teoritis pemotongan pajak

Dalam hal ini, permintaan agregat hanyalah sasaran antara. Sementara itu, sasaran

yang sesungguhnya adalah untuk mengurangi atau menahan menurunnya laju

pertumbuhan ekonomi dan mengurangi besarnya gelombang PHK. Oleh karena itu,

apabila penentuan sasaran dalam Stimulus Fiskal bisa tepat atau efektif, maka akan

semakin cepat pengaruhnya untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi, termasuk di

ataranya pula menahan laju gelombang PHK pada saat resesi ekonomi.

Secara garis besar, komposisi dari stimulus fiskal adalah berupa pengurangan beban

pajak (tax cut) dan tambahan belanja pemerintah (increased spending). Sebagaimana

yang telah diuraikan di atas, stimulus fiskal bekerja melalui sasaran antara (intermediate

targeting), yaitu permintaan agregat. Salah satu bentuk stimulus fiskal adalah

pemotongan pajak (tax cut). Misalnya, pemotongan pajak penghasilan (PPh), dimana

kebijakan ini akan mengurangi beban pendapatan sehingga pihak yang menerima beban

pajak akan menaikkan kapasitas konsumsinya. Ada dua jenis pajak yang dimaksudkan

menjadi sasaran dalam Stimulus Fiskal, yaitu pajak yang dikenakan kepada rumah

tangga dan pajak yang dikenakan pengusaha (swasta). Bagi pengusaha, pemotongan

pajak (tax cut) akan mengurangi beban biaya operasional sehingga akan lebih mampu

untuk mempertahankan kapasitas produksinya, termasuk di antaranya mengurangi

pilihan untuk melakukan rasionalisasi tenaga kerja.

Berdasarkan studi empiris, kebijakan pemotongan pajak (tax cut) efektif digunakan

dalam masa resesi ekonomi. Dalam beberapa hasil studi empiris di beberapa negara

berkembang menunjukkan bahwa stimulus fiskal berupa pengurangan beban pajak lebih

berhasil untuk menstimulasi pertumbuhan daripada stimulus fiskal dalam bentuk ekspansi

belanja. Dalam suasana penurunan permintaan global dan suku bunga yang rendah di

banyak negara, stimulus fiskal menjadi tumpuan harapan. Agar kebijakan stimulus fiskal

efektif, maka harus sesuai prinsip-prinsip 3 T. Prinsip 3 T yaitu: timely (cepat), targeted

(mengena), dan temporary (sementara). Kondisi ini akan menjadi lebih efektif apabila

kebijakan tersebut bersifat otomatis dan menjadi 'stabilizers' serta 'built-in' dalam

perekonomian.

Dalam konteks, rencana Pemerintah Jawa Timur dalam pemberian insentif fiskal

bagi investor di Jawa Timur Tahun 2013 dalam bentuk pembebasan atas PKB kendaraan

baru dan pembebasan BBN-KB bagi investor baru dan ekspansi perusahaan, maka

berdsarkan prinsip 3 T di atas dapat disimpulkan sudah tepat. Artinya secara timely dapat

dilaksanakan secara cepat, secara targeted memiliki sasaran atau target yang jelas, dan

temporary memiliki tenggang waktu yang pasti. Perlu dipahami bahwa kebijakan yang

akan diambil tentunya akan berdampak pada menurunnya penerimaan dalam jangka

Page 3: Tinjaun teoritis pemotongan pajak

pendek (periode tahun berjalan). Namun, dalam jangka panjang diharapkan akan

meningkatkankan investasi dan penerimaan daerah juga akan meningkat.

Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan pula bahwa, insentif fiskal bukan satu-

satunya upaya menarik investasi. Peningkatan investasi melalui insentif fiskal harus

didukung pula oleh daya tarik daerah dan negara, adanya iklim ivestasi yang sehat dan

kondusif, serta kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Dalam

perkembangannya faktor-faktor daya tarik investasi tidak hanya menyangkut stabilitas

politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur, dasar (listrik,

telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan

dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi

(dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance, termasuk korupsi,

konsistensi serta adanya kepastian dari kebijakan pemerintah (Tambunan, 2006).

Beberapa studi menemukan beberapa hal yang menjadi permasalahan investasi.

Laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World Bank, 2005) mengatakan terdapat

empat faktor terpenting dalam menarik investasi, antara lain stabilitas ekonomi makro,

tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi. Begitu juga studi yang

dilakukan oleh KPPOD (2003) tentang Pemeringkatan Daya Tarik Investasi tahun

terhadap 156 kabupaten/kota di Indonesia terdapat dari 5 (lima) faktor utama pembentuk

daya tarik investasi daerah yaitu faktor kelembagaan, faktor sosial politik, faktor ekonomi

daerah, faktor tenaga kerja dan produktifitas serta faktor infrastruktur fisik. Studi lainnya

yakni survei WEF (2007) menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi pengusaha

di Indonesia berturut-turut adalah masalah infrastruktur yang buruk, birokrasi yang tidak

efisien, akses dana terbatas, kebijakan yang tidak stabil, dan perpajakan.

Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan kebijakan insentif fiskal/pajak

daerah, maka harus disertai dengan seperangkat instrument pendukung dalam

menciptakan iklim investasi yang sehat dan peningkatan berbagai komponen daya saing

investasi daerah.

B. Analisis Statistik: Hubungan Pajak Daerah Dengan PMA dan PMDN di Jawa Timur

Untuk mengetahui tingkat hubungan antara Pajak Daerah (PD) dengan Penanaman

Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), maka digunakan

analisis uji korelasi.

Page 4: Tinjaun teoritis pemotongan pajak

1. Hubungan Pajak Daerak dengan PMA

Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa antara pajak daerah

dengan PMA memiliki hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari nilai korelasinya,

dimana diketahui bahwa hubungan antara PD dengan PMA memiliki nilai 0,83 yang

berarti hubungan antara PD dan PMA dikategorikan sangat kuat.

Tabel 1

Uji Korelasi

Correlations

PD PMA

Pearson Correlation PD 1.000 .830

PMA .830 1.000

Sig. (1-tailed) PD . .000

PMA .000 .

N PD 20 20

PMA 20 20

Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013

Selanjutnya, berdasarkan hasil regresi menunjukkan bahwa perubahan pajak daerah

akan berdampak pada PMA di Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara

PD dan PMA memiliki koefisien sebesar 0,081, yang artinya ketika Pajak Daerah

Jawa Timur naik 1% maka PMA di Jawa Timur akan naik sebesar 0,081%.

Tabel 2 Hasil Regresi

Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013

Page 5: Tinjaun teoritis pemotongan pajak

Pajak daerah akan dapat menaikkan PMA dimungkinkan terjadi karena para investor

melihat dari aspek kepastian hukum (certainty). Dengan jaminan kepastian hukum

terhadap pengenaan pajak daerah, maka investor akan dapat menghitung biaya-iaya

yang hars dikeluarkan dalam proses investasi mapun ketika sudah berlangsung

proses produksi. Sehingga sudah menajdi kewajiban pemerintah untuk memberikan

kepastian hukum di dalam pengenaan pajak daerah.

2. Hubungan antara Pajak Daerah dengan PMDN

Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa antara pajak daerah

dengan PMDN memiliki hubungan kurang kuat. Hal ini dapat dilihat dari nilai

korelasinya, dimana diketahui bahwa hubungan antara PD dan PMDN sebesar 0,46

yang artinya PD dan PMDN memiliki hubungan yang sangat sedang tidak telalu kuat

dan tidak terlalu tinggi

Tabel 3

Uji Korelasi

Correlations

PD PMDN

Pearson Correlation PD 1.000 .460

PMDN .460 1.000

Sig. (1-tailed) PD . .021

PMDN .021 .

N PD 20 20

PMDN 20 20

Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013

Selanjutnya, berdasarkan hasil regresi menunjukkan bahwa perubahan pajak daerah

akan berdampak pada PMDN di Jawa Timur. hal ini dapat dilihat dari hasil regresi

yang menunjukkan koefisien PD terhadap PMDN sebesar 0,065, dimana artinya

ketika Pajak daerah Jawa Timur D naik 1% maka PMDN di Jawa Timur akan naik

sebesar 0,065%.

Page 6: Tinjaun teoritis pemotongan pajak

Tabel 4 Hasil Regresi

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval

for B Correlations

B Std. Error Beta

Lower

Bound Upper Bound

Zero-

order Partial Part

1 (Constant) 886.951 203.330 4.362 .000 459.771 1314.132

PMDN .065 .030 .460 2.198 .041 .003 .127 .460 .460 .460

a. Dependent Variable:

PD

Sumber: data diolah dengan SPSS, 2013

REFERENSI

KPPOD, 2003, Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, Jakarta: KPPOD.

Tambunan, Tulus, 2006, Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi”, Artikel dalam www.kadin-indonesia.or.id

WEF, 2005, The Global Competitiveness Report 2005-2006,.Geneva: World Economic Forum.

World Bank, 2005, Laporan Pembangunan Dunia 200,Jakarta: Penerbit Salemba Empat.