tinjauan teori trauma mata.doc
DESCRIPTION
Gawat DaruratTRANSCRIPT
TRAUMA TUMPUL BOLA MATA
A. DEFINISI
Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari
cedera. Bola mata terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh
bubungan bertulang yang kuat. Kelopak mata bisa segera menutup untuk
membentuk penghalang bagi benda asing dan mata bisa mengatasi benturan
yang ringan tanpa mengalami kerusakan.
Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami
kerusakan akibat cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau
mata harus diangkat. Cedera mata harus diperiksa untuk menentukan
pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang
menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat
mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat
ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Alat rumah tangga sering menimbulkan perlukaan atau trauma mata.
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak disengaja yang
menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat
mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau
menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya kerusakan
yang berat, tetapi transfer energi yang dihasilkan dapat memberi konsekuensi
cedera yang fatal. Kerusakan yang terjadi bergantung kekuatan dan arah gaya,
sehingga memberikan dampak bagi setiap jaringan sesuai sumbu arah trauma.
Trauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Kontusio, yaitu kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan
benda dari luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab robekan
pada dinding bola mata
2. Konkusio, yaitu bila kerusakan terjadi secara tidak langsung.
Trauma terjadi pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya
sampai ke bola mata.
Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan
jaringan berupa kerusakan molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan.
Menurut Duke-Elder, kontusio dan konkusio bola mata akan memberikan
dampak kerusakan mata, dari palpebra sampai dengan saraf optikus.
Pasien Dengan Trauma Tumpul Mata dapat mengakibatkan hifema.
Hifema adalah darah dalam bilik mata depan sebagai akibat pecahnya
pembuluh darah pada iris, akar iris dan badan silia.
B. ETIOLOGI
Gejala yang ditimbulkan tergantung jenis trauma serta berat dan
ringannya trauma, Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu
penurunan penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam
bola mata, terlepasnya selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf
penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
Trauma Tumpul, misalnya: terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock,
membuka tutup botol tidak dengan alat, ketapel.
C. TANDA DAN GEJALA
1. subyektif
Penderita mengeluh nyeri disertai penglihatan yang menurun.
2. obyektif
a. pelebaran pembuluh darah perikornea,
b. visus menurun,
c. hifema,
d. darah yang menempel pada endotel kornea, dan
e. tes fluoresin dapat (+) atau (-).
D. MANIFESTASI KLINIS
Berbagai Kerusakan Jaringan Mata Akibat Trauma diantaranya:
1. Orbita
Trauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata
terdorong dan menimbulkan fraktur orbita. Fraktur orbita sering
merupakan perluasan fraktur dari maksila yang diklasifikasikan menurut
Le Fort, dan fraktur tripod pada zygoma yang akan mengenai dasar orbita.
Apabila pintu masuk orbita menerima suatu pukulan, maka gaya-gaya
penekan dapat menyebabkan fraktur dinding inferior dan medial yang
tipis, disertai dengan prolaps bola mata beserta jaringan lunak ke dalam
sinus maksilaris (fraktur blow-out). Mungkin terdapat cedera intraokular
terkait, yaitu hifema, penyempitan sudut, dan ablasi retina. Enoftalmos
dapat segera terjadi setelah trauma atau terjadi belakangan setelah edema
menghilang dan terbentuk sikatrik dan atrofi jaringan lemak.
Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai enoftalmus
dan paralisis otot-otot ekstraokular yang secara klinis tampak sebagai
strabismus. Diplopia dapat disebabkan kerusakan neuromuskular langsung
atau edema isi orbita. Dapat pula terjadi penjepitan otot rektus inferior
orbita dan jaringan di sekitarnya. Apabila terjadi penjepitan, maka gerakan
pasif mata oleh forseps menjadi terbatas.
2. Palpebra
Meskipun bergantung kekuatan trauma, trauma tumpul yang
mengenai mata dapat berdampak pada palpebra, berupa edema palpebra,
perdarahan subkutis, dan erosi palpebra.
3. Konjungtiva
Dampak trauma pada konjungtiva adalah perdarahan sub-
konjungtiva atau khemosis dan edema. Perdarahan subkonjungtiva
umumnya tidak memerlukan terapi karena akan hilang dalam beberapa
hari. Pola perdarahan dapat bervariasi, dari ptekie hingga makular.
Bila terdapat perdarahan atau edema konjungtiva yang hebat, maka
harus diwaspadai adanya fraktur orbita atau ruptur sklera.
4. Sklera
Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema
total, bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat rendah, dan
pergerakan bola mata terhambat terutama ke arah tempat ruptur. Ruptur
sklera dapat terjadi karena trauma langsung mengenai sklera sampai
perforasi, namun dapat pula terjadi pada trauma tak langsung.
5. Koroid dan korpus vitreus
Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan
koroid ke belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat (contra-
coup) sehingga dapat menyebabkan edema, perdarahan, dan robekan
stroma koroid. Bila perdarahan hanya sedikit, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan vitreus. Perdarahan dapat terjadi di subretina dan
suprakoroid. Akibat perdarahan dan eksudasi di ruang suprakoriud, dapat
terjadi pelepasan koroid dari sklera.
Ruptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih
berbatas tegas, biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini sering
terjadi pada membran Bruch. Kontusio juga dapat menyebabkan reaksi
inflamasi, nekrosis, dan degenerasi koroid.
6. Kornea
Edema superfisial dan aberasi kornea dapat hilang dalam beberapa
jam. Edema interstisial dalah edema yang terjadi di substania propria yang
membentuk kekeruhan seperti cincin dengan batas tegas berdiameter 2 – 3
mm.
Lipatan membrana Bowman membentuk membran seperti lattice.
Membrana descement bila terkena trauma dapat berlipat atau robek dan
akan tampak sebagai kekeruhan yang berbentuk benang. Bila endotel
robek maka akan terjadi inhibisi humor aquous ke dalam stroma kornea,
sehingga kornea menjadi edema. Bila robekan endotel kornea ini kecil,
maka kornea akan jernih kembali dalam beberapa hari tanpa terapi.
Deposit pigmen sering terjadi di permukaan posterior kornea,
disebabkan oleh adanya segmen iris yang terlepas ke depan. Laserasi
kornea dapat terjadi di setiap lapisan kornea secara terpisah atau
bersamaan, tetapi jarang menyebabkan perforasi.
7. Iris dan Korpus Siliaris
Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan kembali
normal bila trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan
segera diikuti dengan iridoplegi dan spasme akomodasi sementara. Dilatasi
pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot akomodasi, yang dapat
menetap bila kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya mengeluh
kesulitan melihat dekat dan harus dibantu dengan kacamata.
Konkusio dapat pula menyebabkan perubahan vaskular berupa
vasokonstriksi yang segera diikuti dengan vasodilatasi, eksudasi, dan
hiperemia. Eksudasi kadang-kadang hebat sehingga timbul iritis.
Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat melalui
deposit-deposit pigmen hemosiderin. Kerusakan vaskular iris, akar iris,
dan korpus siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah di kamera
okuli anterior, yang disebut hifema.
Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan
siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak
sudut kamar okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau
pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera
anterior, mengotori permukaan dalam kornea.
Perdarahan dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari
pembuluh darah iris atau korpus siliaris, biasanya di sertai odema kornea
dan endapan di bawah kornea, hal ini merupakan suatu keadaan yang
serius. Pembagian hifema:
1) Hifema primer, timbul segera oleh karena adanya trauma.
2) Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
3) Hifema ringan tidak mengganggu visus, tetapi apabila sangat hebat
akan mempengaruhi visus karena adanya peningkatan tekanan intra
okuler.
Tanda dan gejala hifema, antara lain:
1) Pandangan mata kabur
2) Penglihatan sangat menurun
3) Kadang – kadang terlihat iridoplegia & iridodialisis
4) Pasien mengeluh sakit atau nyeri
5) Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme
6) Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra
7) Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen
8) Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan
9) Pupil tetap dilatasi (midriasis)
10) Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah trauma.
11) Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
12) Kenaikan TIO (glukoma sekunder )
13) Sukar melihat dekat
14) Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil
15) Anisokor pupil
16) Penglihatan ganda (iridodialisis)
Hifema primer dapat cepat diresorbsi dan dalam 5 hari bilik mata
depan sudah bersih. Komplikasi yang ditakutkan adalah hifema sekunder
yang sering terjadi pada hari ke-3 dan ke-5, karena viskositas darahnya
lebih kental dan volumenya lebih banyak. Hifema sekunder disebabkan
lisis dan retraksi bekuan darah yang menempel pada bagian yang robek
dan biasanya akan menimbulkan perdarahan yang lebih banyak.
Penanganan: Istirahat, dan apabila karena peningkatan tekanan
intra okuli yang di sertai dengan glaukoma maka perlu adanya operasi
segera dengan di lakukannya parasintesis yaitu membuat insisi pada
kornea dekat limbus, kemudian di beri salep mata antibiotik dan di tutup
dengan verband.
8. Lensa
Kerusakan yang terjadi pada lensa paska-trauma adalah kekeruhan,
subluksasi dan dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat berupa cincin
pigmen yang terdapat pada kapsul anterior karena pelepasan pigmen iris
posterior yang disebut cincin Vosslus. Kekeruhan lain adalah kekeruhan
punctata, diskreta, lamelar aau difus seluruh massa lensa.
Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau
posterior. Bila robekan kecil, lesi akan segera tertutup dengan
meninggikan kekeruhan yang tidak akan mengganggu penglihatan.
Kekeruhan ini pada orang muda akan menetap, sedangkan pada orang tua
dapat progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata lain, trauma dapat
mengaktivasi proses degeneratif lensa.
Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa kadang-
kadang tidak mengganggu visus, namun dapat juga mengakibatkan
diplopia monokular, bahkan dapat mengakibatkan reaksi fakoanafilaktik.
Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus, subskleral, ruang
interretina, konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering
menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga harus segera
diekstraksi. Dislokasi ke posterior biasanya lebih tenang dan sering tidak
menimbulkan keluhan, tetapi dapat menyebabkan vitreus menonjol ke
bilik depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO.
9. Retina
Edema retina terutama makula sering terjadi pada kontusio dan
konkusio okuli. Bila hebat dapat meninggalkan bekas yang permanen.
Edem retina bisa terjadi pada tempat kontusio, tetapi yang paling sering
terjadi mengenai sekeliling diskus dan makula. Dapat pula terjadi nekrosis
dan perdarahan retina yang pada proses penyembuhan akan meninggalkan
atrofi dan sikatrik.
Pada edem makula, tampak retina di sekeliling makula berwarna
putih ke abu-abuan dengan bintik merah di tengahnya, menyerupai
gambaran oklusi arteri retina sentralis. Edema dapat berkembang menjadi
kistik atau macular hole. Bila edema tidak hebat, hanya akan
meninggalkan pigmentasi dan atrofi. Segera setelah trauma, terjadi
vasokonstriksi yang diikuti oleh vasodilatasi, menyebabkan edema dan
perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di retina, subhyaloid, atau bahkan
dapat ke vitreus, sehingga pada penyembuhannya menyebabkan retinopati
proliferatif.
Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya robekan
retina terjadi pada mata yang memang telah mengalami degenerasi
sebelumnya, sehingga trauma yang ringan sekalipun dapat memicu
robekan. Ruptur retina sering disertai dengan ruptur koroid. Dialisis ora
serata sering terjadi pada kuadran inferotemporal atau nasal atas,
berbentuk segitiga atau tapal kuda, disertai dengan ablasio retina.
Ablasio retina pada kontusio dan konkusio dapat terjadi akibat:
1) Kolaps bola mata yang tiba-tiba akibat ruptur
2) Perdarahan koroid dan eksudasi
3) Robekan retina dan koroid
4) Traksi fibrosis vitreus akibat perdarahan retina atau vitreus.
5) Adanya degenerasi retina sebelumnya, trauma hanya sebagai
pencetus.
10. Nervus Optikus
Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edem dan inflamasi di
sekitar diskus optik berupa papilitis, dengan sekuele berupa papil atrofi.
Keadaan ini sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan retina yang
luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga mengakibatkan ruptur atau
avulsi nervus optikus yang biasanya disertai kerusakan mata berat.
E. PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul pada kornea atau limbus menimbulkan tekanan sangat
tinggi dalam waktu singkat didalam bola mata sehingga terjadi penyebaran
tekanan kecairan badan kaca dan jaringan skelera yang tidak elastis yang
mengakibatkan peregangan dan robekan jaringan pada kornea dan skelera,
sudut irido-kornea, badan siliari sehingga terjadi perdarahan.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan paska-cedera bertujuan menilai ketajaman visus dan
sebagai prosedur diagnostik, antara lain:
1. Kartu mata snellen (tes ketajaman pengelihatan) : mungkin
terganggu akibat kerusakan kornea, aqueus humor, iris dan retina.
2. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi
vaskuler okuler, glukoma.
3. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO )
normal 12-25 mmHg.
4. Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila
TIO normal atau meningkat ringan.
5. Pemerikasaan oftalmoskopi dan teknik imaging lainnya (USG, CT-
scan, x-ray): mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk
pupil dan kornea.
6. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia
sistemik/infeksi.
7. Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes
Pada hifema Cara Pemeriksaan yaitu:
1. Anastesi lokal bila ada blefarospasme,
2. Tes fluoresin, dan
3. Pemeriksaan anterior dengan: lampu senter, loupe, dan slite lamp
biomicroscope.
Penyulit yaitu:
1. Glaukoma sekunder,
2. Uveitis,
3. Hefema sekunder, dan
4. Hemosiderosis.
G. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak
jelas adanya ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari
sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh
diberikan sikloplegik atau antibiotik topikal karena kemungkinan toksisitas
obat akan meningkat pada jaringan intraokular yang terpajan. Antibiotik
dapat diberikan secara parenteral spektrum luas dan pakaikan pelindung fox
pada mata. Analgetik, aneiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai
kebutuhan, dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum harus
menghindari substansi yang dapat menghambat depolarisasi neuromuskular,
karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola mata, sehingga dapat
memicu terjadinya herniasi isi intraokular.
Pada trauma yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat
kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak
perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Anestetik
topikal, zat warna, dan obat lainnya yang diberikan ke mata yang cedera
harus steril.
Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata, sebagian
besar efek kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi bedah segera.
Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan
intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma
memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus hifema.
Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti
edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan
menghilang sendiri dalam beberapa jam sampai hari. Kompres dingin dapat
membantu mengurangi edema dan menghilangkan nyeri, dilanjutkan dengan
kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat penyerapan
darah. Pada laserasi kornea , diperbaiki dengan jahitan nilon 10-0 untuk
menghasilkan penutupan yang kedap air. Iris atau korpus siliaris yang
mengalami inkarserasi dan terpajan kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke
dalam bola mata dengan viskoelastik. Sisa-sisa lensa dan darah dapat
dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atau vitrektomi. Luka di
sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0 interrupted yang tidak dapat
diserap. Otot-otot rektus dapat secara sementara dilepaskan dari insersinya
agar tindakan lebih mudah dilakukan.
Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya
cedera makula, robekan besar di retina, dan pembentukan membran
fibrovaskular intravitreus. Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk
mencegah kondisi tersebut.
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior,
maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik
pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk
mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea
akibat pigmentasi hemosiderin.
Penanganan hifema, yaitu :
1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema .
2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat
tekan.
3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat.
(asetasolamida).
5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata
depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma
sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari
tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
8. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.
9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih
50 mmH selama 5 hari.
10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar
anterior.
11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.
12. anastesi lokal dengan pentocain tetes mata 2% tiap menit selama 5
menit.
13. kelopak mata atas dan bawah dibuka dengan spekulum untuk mencari
benda asing.
14. pengeluaran benda sing dengan: kapas lidi steril, ujung jarum suntik
tumpul
15. salep mata antibiotik 3 kali perhari dan mata dibebat selama 2 hari.
H. KEGATDARURATAN MATA
Kedaruratan dalam ilmu penyakit mata dibedakan menjadi sangat
gawat, gawat dan semi gawat.
1. Sangat Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan “Sangat Gawat” adalah keadaan
atau kondisi pasien memerlukan tindakan yang harus sudah
diberikan dalam waktu beberapa menit. Terlambat sebentar saja
dapat mengakibatkan kebutaan. Adapun keadaan atau kondisi
pasien yang termasuk didalam kategori ini adalah :
a. Luka bakar kimia : trauma alkali, trauma asam
b. Oklusi arteri retina sentral
2. Gawat
Yang dimaksud dengan keadaaan “ Gawat “ adalah keadaan atau
kondisi pasien memrlukan penegakan diagnosis dan pengobatan
yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau beberapa jam.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk didalam
ketegori ini adalah :
a. Leserasi kelopak mata
b. Konjungtivitis gonorhoe
c. Erosi kornea
d. Leserasi kornea
e. Benda asing dikornea
f. Descemetokel
g. Tukak kornea
h. Hifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan
i. Skleritis (peradangan pada sklera)
j. Endoftalmitis
k. Glaucoma kongesif
l. Glaucoma sekunder
m. Ablasi retina (retinal detachment)
n. Selulitis orbita
o. Trauma tembus mata
p. Trauma radiasi
3. Semi Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan “semi gawat” adalah keadaan atau
kondisi pasien memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan
dalam waktu beberapa hari atau minggu. Adapun keadaan atau
kondisi pasien yang termasuk didalam kategori ini adalah :
a. Defisiensi (kekurangan vitamin A)
b. Trakoma yang disertai dengan entropion
Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau
membalik atau membalik kedalam tepi jaringan, terutama
tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion
terdapat pada kelopak atas.
c. Oftalmia simpatika
Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan
uvea, bersifat bilateral, dan didahului oleh trauma tembus
mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea
lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.
d. Katarak Kongenital
Kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan
merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak yang
cukup sering dijumpai.
e. Glaucoma kongenital
f. Glakoma simpleks
g. Perdarahan badan kaca
h. Retinoblastoma (tumor ganas retina)
Yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina
(sel kerucut dan batang).
i. Neuritis optikan/papilitis
j. Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus
(kelopak mata tidak dapat menutup sempurna).
k. Tumor intraobita
l. Perdarahan retrobulbar
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2.
Jakarta : EGC
Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis
Company.
Darling, V.H. & Thorpe, M.R. (1996). Perawatan Mata. Yogyakarta : Yayasan
Essentia Media.
Ilyas, Sidarta. (2000). Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI
Jakarta.
Wijana, Nana. (1983). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI Jakarta
Soemarsono. 1999. Contusio Oculi. Cermin Dunia Kedokteran;15:32-4